Laporan Kasus FIXX

54
Laporan Kasus SIROSIS HEPATIS DEKOMPENSATA STADIUM 3 ET CAUSA HEPATITIS B KRONIS Disusun Oleh: Reynatta Audralia Namara NIM: 030.10.234 Pembimbing: dr. Irwin, Sp.PD KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM RSUD KARAWANG PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI JAKARTA

description

gcgcv

Transcript of Laporan Kasus FIXX

Laporan Kasus

SIROSIS HEPATIS DEKOMPENSATA STADIUM 3

ET CAUSA HEPATITIS B KRONIS

Disusun Oleh:

Reynatta Audralia Namara

NIM: 030.10.234

Pembimbing:

dr. Irwin, Sp.PD

KEPANITERAAN KLINIK SMF PENYAKIT DALAM

RSUD KARAWANG

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN DOKTER

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TRISAKTI

JAKARTA

PENDAHULUAN

Istilah sirosis hepatis diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata

Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada

nodul-nodul yang terbentuk. Sirosis hepatis adalah penyakit hepar menahun difus

ditandai dengan adanya pembentukan jaringan ikat disertai nodul yang mengelilingi

parenkim hepar.

Gejala klinis dari sirosis hepatis sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala sampai

dengan gejala yang sangat jelas. Gejala patologik dari sirosis hepatis mencerminkan

proses yang telah berlangsung lama dalam parenkim hepar dan mencakup proses fibrosis

yang berkaitan dengan pembentukan nodul-nodul regeneratif. Kerusakan dari sel-sel

hepar dapat menyebabkan ikterus, edema, koagulopati, dan kelainan metabolik lainnya.

Secara lengkap, sirosis hepatis adalah suatu penyakit dimana sirkulasi mikro,

anatomi pembuluh darah besar dan seluruh sistem arsitektur hepar mengalami perubahan

menjadi tidak teratur dan terjadi penambahan jaringan ikat (fibrosis) di sekitar parenkim

hepar yang mengalami regenerasi.

Menurut Ali, angka kasus penyakit hati menahun di Indonesia sangat tinggi. Jika

tidak segera diobati, penyakit itu dapat berkembang menjadi sirosis atau kanker hati,

sekitar 20 juta penduduk Indonesia terserang penyakit hati menahun. Angka ini

merupakan perhitungan dari prevalensi penderita dengan infeksi hepatitis B di Indonesia

yang berkisar 5-10 persen dan hepatitis C sekitar 2-3 persen. Dalam perjalanan

penyakitnya, 20-40 persen dari jumlah penderita penyakit hati menahun itu akan menjadi

sirosis hati dalam waktu sekitar 15 tahun, tergantung sudah berapa lama seseorang

menderita hepatitis menahun itu.

Sirosis hepatis merupakan penyakit yang sering dijumpai di seluruh dunia

termasuk di Indonesia, kasus ini lebih banyak ditemukan pada kaum laki-laki

dibandingkan kaum wanita dengan perbandingan 2-4 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak

antara golongan umur 30-59 tahun dengan puncaknya sekitar 40-49 tahun.

BAB I

STATUS PASIEN

1.1 IDENTITAS PASIEN

Nama : Tn. Kusnadi

Jenis Kelamin : Laki- laki

TTL : 04/09/1961

Umur : 53 tahun 3 bulan 15 hari

Pekerjaan : Petani

Pendidikan : -

Agama : Islam

Status Pernikahan : Kawin

Alamat : Dusun Gardu Jaya, Desa Gompangsari

No.RM : 00.56.92.45

Tanggal masuk : 19 Desember 2014

DPJP : dr. Budowin, Sp.PD

1.2 ANAMNESIS

Dilakukan autoanamnesis pada tanggal 22 Desember 2014 pukul 16.30 WIB di Ruang Rengasdengklok, Rumah Sakit Umum Daerah Karawang.

Keluhan Utama

Bengkak di perut 3 hari SMRS.

Keluhan Tambahan

BAB mencret, >4x, warna merah kehitaman seperti aspal, BAK warna seperti teh, mual

(+)

Riwayat Penyakit Sekarang

3 hari SMRS OS baru menyadari bahwa perutnya membuncit, sesak (-). Awalnya OS

mengeluh BAB mencret >4x, warna merah kehitaman seperti aspal pada hari Sabtu

(20/12/2014), frekuensi semakin meningkat sampai hari Senin (22/12/2014), mual (+),

muntah (-), BAK seperti warna teh, demam (+) sampai 40° hari Minggu (21/12/2014),

dan sudah turun pada hari Senin (22/12/2014). OS juga mengeluh mata dan kulit

berwarna kuning 1 minggu SMRS.

Riwayat Penyakit Dahulu

OS belum pernah mengalami hal seperti ini sebelumnya.OS mempunyai riwayat Diabetes

Melitus, tidak ada riwayat Hipertensi.

Riwayat Sosial dan Kebiasaan

Riwayat konsumsi alcohol (-), jamu-jamuan (-), juga tidak menggunakan jarum suntik

maupun tato, riwayat seksual tidak pernah melakukan seks bebas sebelumnya.

1.3 PEMERIKSAAN FISIK

Pemeriksaan fisik di Ruang Rengasdengklok RSUD Karawang tanggal 22 Desember

2014.

Keadaan Umum : Tampak Sakit Sedang

Kesadaran : Compos Mentis, GCS 15

Tanda Vital

Tekanan darah : 110/40 mmHg2 Nadi : 96 x/menit, regular, kuat, isi cukup, ekual Pernapasan : 26 x/menit, reguler Suhu : 38,3oC

Status Generalis

Kulit : ikterik (+) efluoresensi (-)

Kepala : normosefali, rambut hitam distribusi merata tidak mudah dicabut

Mata : konjungtiva anemis +/+, sklera ikterik +/+, RCL +/+, RCTL +/+

Telinga : normotia, serumen -/-, darah -/-

Hidung : normal, deviasi septum (-) discharge (-) pernapasan cuping hidung (-)

Mulut : sianosis (-) pucat (-), lidah tidak ada kelainan, uvula tidak dapat dinilai,

arcus faring tidak dapat dinilai, mukosa faring tidak dapat dinilai, tonsil tidak

dapat dinilai

Leher : trakea lurus tidak ada deviasi, pembersaran KGB (-), pembesaran Tiroid

(-) JVP 5+2 cm

Dinding dada: simetris

Jantung:

Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat

Palpasi : Ictus cordus tidak teraba

Perkusi : Batas kanan ICS IV Linea Sternalis Dextra, batas kiri ICS V, 2

jari medial linea Midclavikularis Sinistra

Auskultasi : S1 – S2 reguler, murmur (-), gallop (-)

Paru:

Inspeksi : Thoraks simetris kanan dan kiri, gerak nafas simetris kanan dan

kiri

Palpasi : Tidak dapat dinilai

Perkusi : Sonor di kedua lapang paru

Auskultasi : Vesikuller +/+ rhonki -/- wheezing -/-

Abdomen

Inspeksi : Buncit, spider nervi (-), caput medusa (-)

Palpasi :

Nyeri tekan epigastrium (+)

Undulasi (+)

Hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae, konsistensi lunak, tidak

berbenjol-benjol, permukaan rata, tepi tumpul

Lien tidak teraba

Ballotement (-)

Perkusi :

Shifting dullness (+)

Pekak pada regio epigastrium, hipokondrium kanan dan lumbar kanan.

Timpani pada regio umbilikus, hipogastrium, lumbar kiri, inguinal kanan

dan kiri

Auskultasi : BU (+) normal

Ekstremitas :Akral teraba hangat, ikterik (+), CRT < 3 detik, edema (+)/(+)

Follow Up: 23/12/14

S: BAB mencret berkurang, lendir (+), hitam, BAK seperti teh

O: CM, TSR

TD: 115/70 mmHg HR: 96x RR:20x S: 370C

Mata : KA +/+, SI +/+

Jantung : BJ 1-2 reg. Murmur (-), Gallop (-)

Paru : Vasikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-

Abdomen : Buncit, nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae, konsistensi lunak, tidak berbenjol-benjol, permukaan rata, tepi tumpul, undulasi (+), shifting dullness (+), BU (+) normal

Ekstremitas: Akral teraba hangat, pitting oedem tungkai +/+

Follow Up: 24/12/14

S: Perut sakit dan perih

O: CM, KU TSS

TD: 100/50 mmHg HR: 84x RR: 20x S: 38,40C

Mata : KA +/+, SI +/+

Jantung : BJ 1-2 reg. Murmur (-), Gallop (-)

Paru : Vasikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-

Abdomen: Buncit, Keras, Ikterik (+), nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae, konsistensi lunak, tidak berbenjol-benjol, permukaan rata, tepi tumpul, undulasi (+), shifting dullness (+), BU (+) normal

Ekstremitas: Akral teraba hangat, pitting oedem tungkai +/+

Follow Up: 25/12/14

S: Bengkak berkurang, perut masih sakit

O: CM, KU TSS

TD: 100/70 mmHg HR: 94x RR: 20x S: 37,50C

Mata : KA +/+, SI +/+

Jantung : BJ 1-2 reg. Murmur (-), Gallop (-)

Paru : Vasikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-

Abdomen: Buncit, Keras, Ikterik (+), nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae, konsistensi lunak, tidak berbenjol-benjol, permukaan rata, tepi tumpul, undulasi (+), shifting dullness (+), BU (+) normal

Ekstremitas: Akral teraba hangat, pitting oedem tungkai +/+

Follow Up: 26/12/14

S: -

O: CM, KU TSS

TD: 110/70 mmHg HR: 86x RR: 20x S: 370C

Mata : KA +/+, SI +/+

Jantung : BJ 1-2 reg. Murmur (-), Gallop (-)

Paru : Vasikuler +/+ Rhonki -/- Wheezing -/-

Abdomen: Buncit, Keras, Ikterik (+), nyeri tekan epigastrium (+), hepar teraba 3 jari dibawah arcus costae, konsistensi lunak, tidak berbenjol-benjol, permukaan rata, tepi tumpul, undulasi (+), shifting dullness (+), BU (+) normal

Ekstremitas: Akral teraba hangat, pitting oedem tungkai +/+

Follow Up: 27/12/14

Pasien diperbolehkan pulang

1.4 PEMERIKSAAN PENUNJANG

Laboratorium

19/12/14, 23:29

Pemeriksaan Hasil Satuan Nilai normal

HEMATOLOGI

Hemoglobin

Hematokrit

Leukosit

Trombosit

9,9

27,5

19,3

27,5

g/dL

%

ribu/ul

ribu/ul

13,2-17,3

33-45

5.0-10,0

150-440

FUNGSI GINJAL

Ureum

Kreatinin

34,7

0,69

mg/dL

mg/dL

15,0 – 50,0

0,60 – 1,10

FUNGSI HATI

SGOT

SGPT

Bilirubin Direk

Bilirubin indirek

Protein Total

104,8

141,8

5,69

0,95

5,03

U/l

U/l

mg/dL

mg/dl

g/dl

s/d 37

s/d 40

s/d 0,25

s/d 0,75

6,60 – 8,70

Albumin

Globulin

2,29

2,74

mg/dl

mg/dl

3,50 – 5,00

3,10 – 3,70

DIABETES

Glukosa Darah Sewaktu 124 mg/dl < 140

23/12/14 (11:53)

Hasil USG

Hepar : Membesar, echoparenkim meningkat, tak tampak nodul

Lien, pancreas, gall blader : Tidak membesar, tak tampak nodul/batu

Ginjal kanan, kiri : Tidak membesar, batas sinus cortex kabur, tak tampak

batu

Buli-buli : Kesan normal

Tampak gambaran cairan dalam kavum abdomen

Kesan : Suspek sirosis hepatis, ascites, nephritis bilateral

1.5 DIAGNOSIS

Diagnosis kerja

Sirosis Hepatis Dekompensata Stadium 3 et causa Hepatitis B Kronik

Diagnosis banding Non-Alcoholic steatohepatitis Hepatitis C Fatty liver

1.6 TATALAKSANA

IMUNOLOGI

HBsAg Rapid Reaktif Non-reaktif

19/12/14

IUVD Dextrose 5% 500cc / 24 jam

Cefotaxim 2x1 sr PO

Furosemid 3x1 IV

Spironolacton 3x100 mg PO

Curcuma 3x1 PO

Ranitidin 2x50 mg IV

Ekstrak putih telur

20/12/14

IUVD Dextrose 5% 500cc / 24 jam

Lactulac 1x10 cc

Furosemid 3x1 IV

Spironolacton 3x100 PO

Curcuma 3x1 PO

Ranitidin 2x50 IV

Ceftriaxone 2x1 gram IV

PCT 5x1 PO

Ekstrak putih telur

21/12/14

IUVD Dextrose 5% 500cc / 24 jam

Lactulac 1x10 cc

Furosemid 3x1 IV

Spironolacton 3x100 PO

Curcuma 3x1 PO

Ranitidin 2x50 IV

Ceftriaxone 2x1 gram IV

PCT 5x1 tab PO

Ekstrak putih telur

22/12/14

IUVD Dextrose 5% 500cc / 24 jam

Lactulac 1x10 cc

Furosemid 3x1 IV

Spironolacton 3x100 PO

Curcuma 3x1 PO

Ranitidin 2x50 IV

Ceftriaxone 2x1 gram IV

Ekstrak putih telur

23/12/14

IUVD Dextrose 5% 500cc / 24 jam

Lactulac 1x10 cc

Furosemid 3x1 IV

Spironolacton 3x100 PO

Curcuma 3x1 PO

Ranitidin 2x50 IV

Ceftriaxone 2x1 gram IV

Ekstrak putih telur

25/12/14

IUVD Dextrose 5% 500cc / 24 jam

Lactulac 1x10 cc

Furosemid 3x1 IV

Spironolacton 3x100 PO

Curcuma 3x1 PO

Ranitidin 2x50 IV

Ceftriaxone 2x1 gram IV

Ekstrak putih telur

26/12/14

IUVD Dextrose 5% 500cc / 24 jam

Lactulac 1x10 cc

Furosemid 3x1 IV

Spironolacton 3x100 PO

Curcuma 3x1 PO

Ranitidin 2x50 IV

Ceftriaxone 2x1 gram IV

Ekstrak putih telur

27/12/14

Lactulac 1x10 cc

Furosemid 3x1 PO

Spironolacton 3x100 PO

Curcuma 3x1 PO

Ranitidin 2x1 PO

Ekstrak putih telur

1.7 PROGNOSIS

Ad Vitam : ad bonam

Ad Functionam : ad malam

Ad Sanationam : ad malam

1.8 RENCANA PENJAJAKAN

1. Pemeriksaan HBV DNA, HBeAg

2. Pemberian antivirus : Lamivudine 100 mg selama 48-52 minggu

3. Pemberian albumin 1,5 gram per kg IV dalam 6 jam, 1 gram per kg IV hari ke 3

4. Pengecekan ulang LFT

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 ANATOMI HATI

Hepar (hati) merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar pada manusia terletak

pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar

terdapat pada sebelah kanan. Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah

diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen. Hepar difiksasi secara erat

oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang

berdekatan dengan vena cava inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang

tidak diliputi oleh peritoneum disebut bare area. Terdapat refleksi peritoneum dari dinding abdomen

anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa ligamen. Macam-macam ligamen:

1. Ligamentum falciformis: Menghubungkan hepar ke dinding anterior abdomen dan

terletak di antara umbilicus dan diafragma.

2. Ligamentum teres hepatis/round ligament: Merupakan bagian bawah ligamentum

falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan vena umbilicalis yg telah menetap.

3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis: Merupakan bagian

dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan duodenum

sebelah prox ke hepar.Di dalam ligamentum ini terdapat arteri hepatika, vena porta

dan ductus choledocus communis. Ligamen hepatoduodenale turut membentuk tepi

anterior dari Foramen Wislow.

4. Ligamentum Coronaria Anterior ki–ka dan Lig coronaria posterior ki-ka:Merupakan

refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.

5. Ligamentum triangularis ki-ka: Merupakan fusi dari ligamentum coronaria anterior

dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.

Secara anatomis, organ hepar tereletak di hipochondrium kanan dan epigastrium,

dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum toraks dan bahkan pada

orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada pembesaran hepar). Permukaan

lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/ 5 tepat di bawah aerola mammae. ligamentum

falciformis membagi hepar secara topografisbukan scr anatomis yaitu lobus kanan yang

besar dan lobus kiri.

Hepar memiliki dua sumber suplai darah, dari saluran cerna dan limpa melalui

vena porta hepatica dan dari aorta melalui arteri hepatika. Arteri hepatika keluar dari

aorta dan memberikan 80% darahnya kepada hepar, darah ini masuk ke hepar

membentuk jaringan kapiler dan setelah bertemu dengan kapiler vena akan keluar sebagai

vena hepatica. Vena hepatica mengembalikan darah dari hepar ke vena kava inferior.

Vena porta yang terbentuk dari vena lienalis dan vena mesenterika superior,

mengantarkan 20% darahnya ke hepar, darah ini mempunyai kejenuhan oksigen hanya

70 % sebab beberapa O2 telah diambil oleh limpa dan usus. Darah yang berasal dari vena

porta bersentuhan erat dengan sel hepar dan setiap lobulus dilewati oleh sebuah

pembuluh sinusoid atau kapiler hepatika.Pembuluh darah halus yang berjalan di antara

lobulus hepar disebut vena interlobular. Vena porta membawa darah yang kaya dengan

bahan makanan dari saluran cerna, dan arteri hepatika membawa darah yang kaya

oksigen dari sistem arteri. Arteri dan vena hepatika ini bercabang menjadi pembuluh-

pembuluh yang lebih kecil membentuk kapiler di antara sel-sel hepar yang membentik

lamina hepatika.Jaringan kapiler ini kemudian mengalir ke dalam vena kecil di bagian

tengah masing-masing lobulus, yang menyuplai vena hepatika. Pembuluh-pembuluh ini

menbawa darah dari kapiler portal dan darah yang mengalami deoksigenasi yang telah

dibawa ke hepar oleh arteri hepatika sebagai darah yang telah deoksigenasi.Selain vena

porta, juga ditemukan arteriol hepar didalam septum interlobularis. Anterior ini

menyuplai darah dari arteri ke jaringan jaringan septum diantara lobules yang berdekatan,

dan banyak arterior kecil mengalir langsung ke sinusoid hepar, paling sering pada

sepertiga jarak ke septum interlobularis.

Hepar terdiri atas bermacam-macam sel. Hepatosit meliputi 60% sel hepar,

sedangkan sisanya terdiri atas sel-sel epithelial sistem empedu dalam jumlah yang

bermakna dan sel-sel non parenkimal yang termasuk di dalamnya endothelium, sel

Kuppfer dan sel Stellata yang berbentuk seperti bintang.

Hepatosit sendiri dipisahkan oleh sinusoid yang tersusun melingkari eferen vena

hepatika dan ductus hepatikus. Saat darah memasuki hepar melalui arteri hepatica dan

vena porta menuju vena sentralis maka akan didapatkan pengurangan oksigen secara

bertahap. Sebagai konsekuensinya, akan didapatkan variasi penting kerentanan jaringan

terhadap kerusakan asinus. Membran hepatosit berhadapan langsung dengan sinusoid

yang mempunyai banyak mikrofili. Mikrofili juga tampak pada sisi lain sel yang

membatasi saluran empedu dan merupakan penunjuk tempat permulaan sekresi empedu.

Permukaan lateral hepatosit memiliki sambungan penghubungan dan desmosom yang

saling bertautan dengan disebelahnya.

Sinusoid hepar memiliki lapisan endothelial berpori yang dipisahkan dari

hepatosit oleh ruang Disse (ruang perisinusoidal). Sel-sel lain yang terdapat dalam

dinding sinusoid adalah sel fagositik Kuppfer yang merupakan bagian penting dalam

sistem retikuloendotelial dan sel Stellata (juga disebut sel Ito, liposit atau perisit) yang

memiliki aktivitas miofibriblastik yang dapat membantu pengaturan aliran darah

sinusoidal disamping sebagai faktor penting dalam perbaikan kerusakan hepar.

Peningkatan aktivitas sel-sel Stellata tampaknya menjadi faktor kunci pembentukan

fibrosis di hepar.

2. 2. FISIOLOGI HATI

Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber energi

tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada beberapa fungsi

hati yaitu :

1. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat

Pembentukan, perubahan dan pemecahan KH, lemak dan protein saling berkaitan 1

sama lain.Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap dari usus halus menjadi

glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis. Glikogen lalu ditimbun di dalam hati

kemudian hati akan memecahkan glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan

glikogen mjd glukosa disebut glikogenelisis.Karena proses-proses ini, hati merupakan

sumber utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui

heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa

mempunyai beberapa tujuan: menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida,

nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C) yaitu

piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs).

2. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak

Hati tidak hanya membentuk/mensintesis lemak tetapi sekaligus mengadakan

katabolisis asam lemak Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :

1. Senyawa 4 karbon – Keton Bodies

2. Senyawa 2 karbon – Active Acetate (dipecah menjadi asam lemak dan gliserol)

3. Pembentukan cholesterol

4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid

Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi kolesterol,

dimana serum kolesterol menjadi standar pemeriksaan metabolisme lipid.

3. Fungsi hati sebagai metabolisme protein

Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. dengan proses deaminasi,

hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino. Dengan proses

transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan non nitrogen. Hati

merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma albumin dan ∂-globulin dan

organ utama bagi produksi urea. Urea merupakan end product metabolisme protein. ∂

- globulin selain dibentuk di dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang β

– globulin hanya dibentuk di dalam hati. Albumin mengandung ± 584 asam amino

dengan BM sekitar 66.000.

4. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah

Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan dengan

koagulasi darah, misalnya membentuk fibrinogen, protrombin, faktor V, VII, IX, X.

Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi adalah faktor ekstrinsi,

bila ada hubungan dengan katup jantung – yang beraksi adalah faktor intrinsik. Fibrin

harus isomer biar kuat pembekuannya dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan

Vitamin K dibutuhkan untuk pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.

5. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin

Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, dan K.

6. Fungsi hati sebagai detoksikasi

Hati adalah pusat detoksikasi tubuh, Proses detoksikasi terjadi pada proses oksidasi,

reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai macam bahan seperti

zat racun dan obat-obatan.

7. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas

Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan melalui

proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂-globulin sebagai

immune livers mechanism.

8. Fungsi hemodinamik

Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ± 1500 cc/

menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam a.hepatica ± 25%

dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati. Aliran darah ke hepar

dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan dan hormonal, aliran ini

berubah cepat pada waktu berolahraga, terpapar terik matahari, dan syok. Hepar

merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.

2. 3. SIROSIS HEPATIS

2. 3. 1. DEFINISI

Istilah Sirosis hati diberikan oleh Laence tahun 1819, yang berasal dari kata

Khirros yang berarti kuning orange (orange yellow), karena perubahan warna pada nodul-

nodul yang terbentuk. Pengertian sirosis hati dapat dikatakan sebagai berikut yaitu suatu

keadaan disorganisasi yang difuse dari struktur hati yang normal akibat nodul regeneratif

yang dikelilingi jaringan mengalami fibrosis. Secara lengkap sirosis hati adalah

kemunduran fungsi liver yang permanen yang ditandai dengan perubahan histopatologi.

Yaitu kerusakan pada sel-sel hati yang merangsang proses peradangan dan perbaikan sel-

sel hati yang mati sehingga menyebabkan terbentuknya jaringan parut. Sel-sel hati yang

tidak mati beregenerasi untuk menggantikan sel-sel yang telah mati. Akibatnya, terbentuk

sekelompok-sekelompok sel-sel hati baru (regenerative nodules) dalam jaringan parut.

2. 3. 2. INSIDENS

Penderita sirosis hati lebih banyak dijumpai pada kaum laki-laki jika

dibandingkan dengan kaum wanita sekita 1,6 : 1 dengan umur rata-rata terbanyak antara

golongan umur 30 – 59 tahun dengan puncaknya sekitar 40 – 49 tahun.

2. 3. 3. ETIOLOGI

1. Alkohol

Alkhol adalah suatu penyebab yang paling umum dari cirrhosis, terutama didunia

barat. Perkembangan sirosis tergantung pada jumlah dan keteraturan dari

konsumsi alkohol. Konsumsi alkohol pada tingkat-tingkat yang tinggi dan kronis

melukai sel-sel hati. Tiga puluh persen dari individu-individu yang meminum

setiap harinya paling sedikit 8 sampai 16 ounces minuman keras (hard liquor)

atau atau yang sama dengannya untuk 15 tahun atau lebih akan mengembangkan

sirosis. Alkohol menyebabkan suatu jajaran dari penyakit-penyakit hati; dari hati

berlemak yang sederhana dan tidak rumit (steatosis), ke hati berlemak yang lebih

serius dengan peradangan (steatohepatitis atau alcoholic hepatitis), ke sirosis.

Nonalcoholic fatty liver disease (NAFLD) merujuk pada suatu spektrum yang

lebar dari penyakit hati yang, seperti penyakit hati alkoholik (alcoholic liver

disease), mencakup dari steatosis sederhana (simple steatosis), ke nonalcoholic

Steatohepatitis (NASH), ke sirosis. Semua tingkatan-tingkatan dari NAFLD

mempunyai bersama-sama akumulasi lemak dalam sel-sel hati. Istilah

nonalkoholik digunakan karena NAFLD terjadi pada individu-individu yang tidak

mengkonsumsi jumlah-jumlah alkohol yang berlebihan, namun, dalam banyak

aspek-aspek, gambaran mikroskopik dari NAFLD adalah serupa dengan apa yang

dapat terlihat pada penyakit hati yang disebabkan oleh alkohol yang berlebihan.

NAFLD dikaitkan dengan suatu kondisi yang disebut resistensi insulin, yang pada

gilirannya dihubungkan dengan sindrom metabolisme dan diabetes mellitus tipe 2.

Kegemukan adalah penyebab yang paling penting dari resistensi insulin, sindrom

metabolisme, dan diabetes tipe 2. NAFLD adalah penyakit hati yang paling umum

di Amerika dan adalah bertanggung jawab untuk 24% dari semua penyakit hati.

2. Sirosis Kriptogenik,

Cryptogenic cirrhosis (sirosis yang disebabkan oleh penyebab-penyebab yang

tidak teridentifikasi) adalah suatu sebab yang umum untuk pencangkokan hati.

Di-istilahkan sirosis kriptogenik (cryptogenic cirrhosis) karena bertahun-tahun

para dokter telah tidak mampu untuk menerangkan mengapa sebagian dari pasien-

pasien mengembangkan sirosis. Dipercaya bahwa sirosis kriptogenik disebabkan

oleh NASH (nonalcoholic steatohepatitis) yang disebabkan oleh kegemukan,

diabetes tipe 2, dan resistensi insulin yang tetap bertahan lama. Lemak dalam hati

dari pasien-pasien dengan NASH diperkirakan menghilang dengan timbulnya

sirosis, dan ini telah membuatnya sulit untuk para dokter membuat hubungan

antara NASH dan sirosis kriptogenik untuk suatu waktu yang lama. Satu petunjuk

yang penting bahwa NASH menjurus pada sirosis kriptogenik adalah penemuan

dari suatu kejadian yang tinggi dari NASH pada hati-hati yang baru dari pasien-

pasien yang menjalankan pencangkokan hati untuk sirosis kriptogenik. Akhirnya,

suatu studi dari Perancis menyarankan bahwa pasien-pasien dengan NASH

mempunyai suatu risiko mengembangkan sirosis yang serupa seperti pasien-

pasien dengan infeksi virus hepatitis C yang tetap bertahan lama. Bagaimanapun,

kemajuan ke sirosis dari NASH diperkirakan lambat dan diagnosis dari sirosis

secara khas dibuat pada pasien-pasien pada umur kurang lebih 60 tahun.

3. Hepatitis Virus Yang Kronis

Hepatitis virus kronis adalah suatu kondisi dimana hepatitis B atau hepatitis C

virus menginfeksi hati bertahun-tahun. Kebanyakan pasien-pasien dengan

hepatitis virus tidak akan mengembangkan hepatitis kronis dan sirosis.

Contohnya, mayoritas dari pasien-pasien yang terinfeksi dengan hepatitis A

sembuh secara penuh dalam waktu berminggu-minggu, tanpa mengembangkan

infeksi yang kronis. Berlawanan dengannya, beberapa pasien-pasien yang

terinfeksi dengan virus hepatitis B dan kebanyakan pasien-pasien terinfeksi

dengan virus hepatitis C mengembangkan hepatitis yang kronis, yang pada

gilirannya menyebabkan kerusakan hati yang progresif dan menjurus pada sirosis,

dan ada kalanya kanker-kanker hati.

4. Kelainan-Kelainan Genetik Yang Diturunkan/Diwariskan

Berakibat pada akumulasi unsur-unsur beracun dalam hati yang menjurus pada

kerusakkan jaringan dan sirosis. Contoh-contoh termasuk akumulasi besi yang

abnormal (hemochromatosis) atau tembaga (penyakit Wilson). Pada

hemochromatosis, pasien-pasien mewarisi suatu kecenderungan untuk menyerap

suatu jumlah besi yang berlebihan dari makanan. Melalui waktu, akumulasi besi

pada organ-organ yang berbeda diseluruh tubuh menyebabkan sirosis, arthritis,

kerusakkan otot jantung yang menjurus pada gagal jantung, dan disfungsi

(kelainan fungsi) buah pelir yang menyebabkan kehilangan rangsangan seksual.

Perawatan ditujukan pada pencegahan kerusakkan pada organ-organ dengan

mengeluarkan besi dari tubuh melaui pengeluaran darah. Pada penyakit Wilson,

ada suatu kelainan yang diwariskan pada satu dari protein-protein yang

mengontrol tembaga dalam tubuh. Melalui waktu yang lama, tembaga

berakumulasi dalam hati, mata, dan otak. Sirosis, gemetaran, gangguan-gangguan

psikiatris (kejiwaan) dan kesulitan-kesulitan syaraf lainnya terjadi jika kondisi ini

tidak dirawat secara dini. Perawatan adalah dengan obat-obat oral yang

meningkatkan jumlah tembaga yang dieliminasi dari tubuh didalam urin.

5. Primary biliary cirrhosis (PBC)

PBC adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu kelainan dari sistim

imun yang ditemukan sebagian besar pada wanita-wanita. Kelainan imunitas pada

PBC menyebabkan peradangan dan perusakkan yang kronis dari pembuluh-

pembuluh kecil empedu dalam hati. Pembuluh-pembuluh empedu adalah jalan

dalam hati yang dilalui empedu menuju ke usus. Empedu adalah suatu cairan

yang dihasilkan oleh hati yang mengandung unsur-unsur yang diperlukan untuk

pencernaan dan penyerapan lemak dalam usus, dan juga campuran-campuran lain

yang adalah produk-produk sisa, seperti pigmen bilirubin. (Bilirubin dihasilkan

dengan mengurai/memecah hemoglobin dari sel-sel darah merah yang tua).

Bersama dengan kantong empedu, pembuluh-pembuluh empedu membuat saluran

empedu. Pada PBC, kerusakkan dari pembuluh-pembuluh kecil empedu

menghalangi aliran yang normal dari empedu kedalam usus. Ketika peradangan

terus menerus menghancurkan lebih banyak pembuluh-pembuluh empedu, ia juga

menyebar untuk menghancurkan sel-sel hati yang berdekatan. Ketika

penghancuran dari hepatocytes menerus, jaringan parut (fibrosis) terbentuk dan

menyebar keseluruh area kerusakkan. Efek-efek yang digabungkan dari

peradangan yang progresif, luka parut, dan efek-efek keracunan dari akumulasi

produk-produk sisa memuncak pada sirosis.

6. Primary Sclerosing Cholangitis (PSC)

PSC adalah suatu penyakit yang tidak umum yang seringkali ditemukan pada

pasien-pasien dengan radang usus besar. Pada PSC, pembuluh-pembuluh empedu

yang besar diluar hati menjadi meradang, menyempit, dan terhalangi. Rintangan

pada aliran empedu menjurus pada infeksi-infeksi pembuluh-pembuluh empedu

dan jaundice (kulit yang menguning) dan akhirnya menyebabkan sirosis. Pada

beberapa pasien-pasien, luka pada pembuluh-pembuluh empedu (biasanya sebagai

suatu akibat dari operasi) juga dapat menyebabkan rintangan dan sirosis pada hati.

7. Hepatitis Autoimun

Hepatitis autoimun adalah suatu penyakit hati yang disebabkan oleh suatu

kelainan sistim imun yang ditemukan lebih umum pada wanita-wanita. Aktivitas

imun yang abnromal pada hepatitis autoimun menyebabkan peradangan dan

penghancuran sel-sel hati (hepatocytes) yang progresif, menjurus akhirnya pada

sirosis.

8. Bayi-bayi dapat dilahirkan tanpa pembuluh-pembuluh empedu (biliary atresia)

dan akhirnya mengembangkan sirosis. Bayi-bayi lain dilahirkan dengan

kekurangan enzim-enzim vital untuk mengontrol gula-gula yang menjurus pada

akumulasi gula-gula dan sirosis. Pada kejadian-kejadian yang jarang,

ketidakhadiran dari suatu enzim spesifik dapat menyebabkan sirosis dan luka

parut pada paru (kekurangan alpha 1 antitrypsin).

9. Lain-lain

Penyebab-penyebab sirosis yang lebih tidak umum termasuk reaksi-reaksi yang

tidak umum pada beberapa obat-obat dan paparan yang lama pada racun-racun,

dan juga gagal jantung kronis (cardiac cirrhosis). Pada bagian-bagian tertentu dari

dunia (terutama Afrika bagian utara), infeksi hati dengan suatu parasit

(schistosomiasis) adalah penyebab yang paling umum dari penyakit hati dan

sirosis.

2. 3. 4. PATOFISIOLOGI

Darah vena dari lambung, pancreas, usus, limpa, dan kandung empedu berjalan

melalui vena porta menuju hati. Di dalam sinusoid, darah tersebut akan bercampur

dengan darah kaya oksigen dari arteri hepatica, untuk selanjutnya berhubungan erat

dengan hepatosit. Sekitar 15% curah jantung akan mengalir ke hati, tetapi resistensi

alirannya sangat rendah sehingga tekanan vena porta normal 4-8 mmHg. Jika daerah

potongan melintang di jalinan pembuluh darah hati terbatas, tekanan vena porta

meningkat dan terjadi hipertensi portal. Penyebabnya dapat berupa peningkatan resistensi

pembuluh darah berikut, meskipun perbedaan yang jelas dari ketiga bentuk obstruksi

intrahepatik tidak selamanya ada atau memungkinkan :

Prahepatik: Trombosis vena porta

Pascahepatik: Gagal jantung kanan, perikarditis konstriktif, dll

Intrahepatik:

Prasinusoid: Hepatitis kronis, sirosis bilier primer, granuloma pada

sistomiasis, tuberculosis, leukemia, dll

Sinusoid : Hepatitis akut, kerusakan akibat alcohol (perlemakan hati,

sirosis), toksin, amiloidosis

Pascasinusoid : Penyakit oklusi vena pada vena kecil dari venula, sindrom

Bud-Chiari (obstruksi vena hepatica besar)

Pembesaran hepatosit (penimbunan lemak, pembengkakan sel, hyperplasia) dan

peningkatan pembentukan matriks ekstrasel mempermudah terjadinya obstruksi sinusoid.

Karena matriks ekstrasel juga mengganggu pertukaran zat dan gas antara sinusoid dan

hepatosit, pembengkakan sel akan semakin meningkat. Penimbunan amiloid dapat

memiliki efek obstruksi sama. Akhirnya, pada hepatitis akut dan nekrosis hati akut,

ruangan sinusoid dapat tersumbat oleh debris sel. Akibat dari hipertensi portal.

Dimanapun tempat obstruksinya, peningkatan tekanan vena portal akan menyebabkan

gangguan di organ sebelumnya (malabsorbsi, splenomegali, dengan anemia, dan

trombositopenia) serta aliran darah dari organ abdomen melalui saluran pembuluh darah

yang melewati hati. Sirkuit yang melewati portal ini menggunakan pembuluh darah

kolateral yang normalnya berdinding tipis, namun kemudian menjadi sangat membesar

(pembentukan varises: “hemoroid” pleksus vena rectum; caput medusa di vena

paraumbilikalis). Pembesaran vena esophagus terutama menimbulkan bahaya ruptur.

Vasodilator yang dilepaskan pada hipertensi portal (glucagon, VIP, substansi P,

prostasiklin, NO, dll) juga mengakibatkan turunnya tekanan darah sistemik. Hal ini

meningkatkan curah jantung kompensasi sehingga menyebabkan hiperperfusi di organ

abdomen dan sirkuit kolateral. Kerusakan hati dapat menyebabkan obstruksi sinusoid,

pascasinusoid, dan pascahepatik. Akibatnya, drainase limfe hepatic yang kaya protein

menjadi terganggu dan tekanan portal meningkat, kadang-kadang bersama dengan

penurunan tekanan osmotic plasma karena kerusakan hati (hipoalbuminemia), sehingga

menekan cairan yang kaya protein ke dalam rongga abdomen, yakni cairan ascites. Hal

tersebut menyebabkan hiperaldosteronisme sekunder yang mengakibatkan peningkatan

volume ekstrasel. Karena darah yang dibuang melewati hati dari usus mengandung zat

toksik (NH3, aminbiogenik, asam lemak rantai pendek, dll) yang normalnya dibuang dari

darah portal melalui sel hati diantaranya akan mencapai SSP sehingga terjadi ensefalopati

portal sistemik.

Sirosis hati adalah penyakit dengan proses nekrosis, inflamasi, fibrosis, regenerasi

nodular, dan pembentukan anastomosis vaskular yang kurang lebih terjadi secara

bersamaan. Biasanya disebabkan oleh efek jangka panjang dari faktor yang berbahaya,

terutama penyalahgunaan alkohol yang merupakan penyebab dari 50% kasus di seluruh

dunia. Kemungkinan terjadinya sirosis setelah mengkonsumsi 13 kg etanol/kgBB secara

kumulatif. Zat yang paling berperan dalam pembentukan fibrosis dan sirosis adalah

metabolit etanol berupa asetaldehid. Sirosis juga merupakan stadium akhir dari virus

hepatitis. Pada penyakit fluminan akut, sirosis dapat terjadi dalam beberapa minggu; pada

penyakit kronis rekuren dapat terjadi setelah berbulan-bulan maupun bertahun-tahun.

Faktor yang terlibat dalam kerusakan sel hati adalah :

Defisiensi ATP akibat gangguan metabolisme energi sel

Peningkatan pembentukan metabolit oksigen yang sangat reaktif (O2-, HO2, H202)

Defisiensi antioksidan (misal : glutation) dan/ atau kerusakan enzim perlindungan

(glutation peroksidase, superoksida dismutase) yang timbul bersamaan

Metabolit O2 misalnya akan bereaksi dengan asam lemak tidak jenuh pada fosfolipid

(peroksidase lemak). Hal ini membantu terjadinya kerusakan membran plasma dan

organel sel (lisosom, retikulum endoplasma). Akibatnya, konsentrasi Ca2+ di sitosol

meningkat, yang mengaktifkan protease dan enzim lain sehingga akhirnya terjadi

kerusakan sel yang bersifat ireversibel. Fibrosis hati terjadi dalam beberapa tahap. Jika

hepatosist yang rusak mati, diantaranya akan terjadi kebocoran enzim lisosom dan

pelepasan sitokin dari matriks ekstrasel. Sitokin ini bersama dengan debris sel yang mati

akan mengaktifkan sel Kupffer dan sel inflamasi yang terlibat. Faktor pertumbuhan ini

dan sitokin selanjutnya mengubah sel Ito penyimpan lemak di hati menjadi miofibroblas,

mengubah monosit yang bermigrasi menjadi makrofag aktif, memicu proliferasi

fibroblas. Aksi kemotaktik TGF-β dan protein kemotaktik monosit 1 (MCP-1), yang

dilepaskan dari sel ito (dirangsang oleh TNF-α, Platelete Derived Growth Factor/PDGF,

dan interleukin yang memperkuat proses ini demikian pula dengan sejumlah zat sinyal

lainnya. Akibat sejumlah reaksi ini, pembentukan matriks ekstrasel ditingkatkan oleh

fibroblas dan miofibroblas, berarti menyebabkan peningkatan penimbunan kolagen,

proteoglikan, dan glikoprotein di ruang Disse. Fibrosis glikoprotein diruang Disse

menghambat pertukaran zat antara sinusoid darah dan hepatosit, serta meningkatkan

resistensi aliran sinusoid. Jumlah matriks yang berlebihan dapat dirusak oleh mula-mula

leh metaloprotease, dan hepatosit akan mengalami regenerasi. Jika nekrosis terbatas pada

pusat lobulus hati, penggunaan struktur hati yang sempurna dimungkinkan terjadi.

Namun, jika nekrosis telah meluas menembus parenkim perifer lobulus hati, akan

terbentuk septa jaringan ikat. Akibatnya regenerasi fungsional yangs sempurna tidak

mungkin lagi terjadi dan akan terbentuk nodul.

2. 3. 5. KLASIFIKASI

A. Berdasarkan morfologi Sherlock membagi Sirosis hati atas 3 jenis, yaitu :

1. Mikronodular

Ditandai dengan terbentuknya septa tebal teratur, di dalam septa parenkim hati

mengandung nodul halus dan kecil yang merata. Sirosis mikronodular besar

nodulnya sampai 3 mm, sedangkan sirosis makronodular ada yang berubah

menjadi makronodular sehingga dijumpai campuran mikro dan makronodular.

2. Makronodular

Sirosis makronodular ditandai dengan terbentuknya septa dengan ketebalan

bervariasi, mengandung nodul yang besarnya juga bervariasi ada nodul besar

didalamnya ada daerah luas dengan parenkim yang masih baik atau terjadi

regenerasi parenkim.

3. Campuran (yang memperlihatkan gambaran mikro-dan makronodular)

B. Secara Fungsional Sirosis terbagi atas :

1. Sirosis hati kompensata. Sering disebut dengan Laten Sirosis hati. Pada stadium

kompensata ini belum terlihat gejala-gejala yang nyata. Biasanya stadium ini

ditemukan pada saat pemeriksaan screening.

2. Sirosis hati Dekompensata Dikenal dengan Active Sirosis hati, dan stadium ini

Biasanya gejala-gejala sudah jelas, misalnya : ascites, edema dan ikterus. Sesuai

dengan konsensus Baveno IV, sirosis hepatis dapat diklasifikasikan menjadi

empat stadium klinis berdasarkan ada tidaknya varises, ascites, dan perdarahan

varises, yaitu:

a. Stadium 1 : tidak ada varises, tidak ada ascites

b. Stadium 2 : varises tanpa ascites

c. Stadium 3 : ascites dengan atau tanpa varises

d. Stadium 4 : perdarahan dengan atau tanpa ascites

Stadium 1 dan 2 dikategorikan sebagai kelompok sirosis kompensata, sementara

stadium 3 dan 4 dalam kelompok sirosis dekompensata.

2. 3. 6. MANIFESTASI KLINIS

Gejala yang timbul tergantung pada tingkat berat sirosis hati yang terjadi. Sirosis

Hati dibagi dalam tiga tingkatan yakni Sirosis Hati yang paling rendah Child A, Child B,

hingga pada sirosis hati yang paling berat yakni Child C. Gejala yang biasa dialami

penderita sirosis dari yang paling ringan yakni lemah tidak nafsu makan, hingga yang

paling berat yakni bengkak pada perut, tungkai, dan penurunan kesadaran. Pada

pemeriksaan fisik pada tubuh penderita terdapat palmar eritem, spider nevi seperti

gambar dibawah ini.

Beberapa dari gejala-gejala dan tanda-tanda sirosis yang lebih umum termasuk:

1. Spider angioma atau spider nervi

2. Palmar eritema

3. Perubahan kuku (Muehrche’s lines, Terry lines, Clubbing)

4. Osteoartropati hipertrofi

5. Kontraktur Duputeyrn

6. Ginekomastia

7. Hipoganadisme

8. Ukuran hati: Besar, normal, mengecil

9. Splenomegali

10. Ascites

11. Caput medusa

12. Mur-mur Cuveihier Baungarten

13. Fetor hepaticus

14. Ikterus

15. Asterixis/Flapping tremor

Pada keadaan sirosis hati lanjut, terjadi pemecahan protein otot. Asam amino

rantai cabang (AARC) yang terdiri dari valin, leusin, dan isoleusin digunakan sebagai

sumber energi (kompensasi gangguan glukosa sebagai sumber energi) dan untuk

metabolisme amonia. Dalam hal ini, otot rangka berperan sebagai organ hati kedua

sehingga disarankan penderita sirosis hati mempunyai massa otot yang baik dan bertubuh

agak gemuk. Dengan demikian, diharapkan cadangan energi lebih banyak, stadium

kompensata dapat dipertahankan, dan penderita tidak mudah jatuh pada keadaan koma.

Penderita sirosis hati harus meringankan beban kerja hati. Aktivitas sehari-hari

disesuaikan dengan kondisi tubuh. Pemberian obat-obatan (hepatotoksik) harus dilakukan

dengan sangat hati-hati. Penderita harus melakukan diet seimbang, cukup kalori, dan

mencegah konstipasi. Pada keadaan tertentu, misalnya, asites perlu diet rendah protein

dan rendah garam.

2. 3. 7. KOMPLIKASI

1. Ascites

Penyebab ascites yang paling banyak pada SH adalah HP, disamping adanya

hipoalbuminemia, dan disfungsi ginjal yang akan mengakibatkan akumulasi cairan ke

peritoneum.

2. Spontaneous Bacterial Peritonitis (SBP)

Peritonitis bacterial spontan merupakan komplikasi berat dan sering terjadi pada

ascites yang ditandai dengan infeksi spontan ascites tanpa disertai focus infeksi

intraabdominal. Escherichia coli merupakan salah satu bakteri usus yang paling

sering menyebabkan SBP. Diagnosis SBP ditegakkan bila pada sampel cairan asites

ditemukan neutrofil >250/mm2.

3. Varises esofagus

Pada sirosis hati, jaringan parut menghalangi aliran darah yang kembali ke jantung

dari usus-usus dan meningkatkan tekanan dalam vena portal (hipertensi portal).

Ketika tekanan dalam vena portal menjadi cukup tinggi, ia menyebabkan darah

mengalir di sekitar hati melalui vena-vena dengan tekanan yang lebih rendah untuk

mencapai jantung. Vena-vena yang paling umum yang dilalui darah untuk

membypass hati adalah vena-vena yang melapisi bagian bawah dari kerongkongan

(esophagus) dan bagian atas dari lambung. Sebagai suatu akibat dari aliran darah

yang meningkat dan peningkatan tekanan yang diakibatkannya, vena-vena pada

kerongkongan yang lebih bawah dan lambung bagian atas mengembang dan mereka

dirujuk sebagai esophageal dan gastric varices; lebih tinggi tekanan portal, lebih besar

varices-varices dan lebih mungkin seorang pasien mendapat perdarahan dari varices-

varices kedalam kerongkongan (esophagus) atau lambung. Perdarahan juga mungkin

terjadi dari varices-varices yang terbentuk dimana saja didalam usus-usus, contohnya,

usus besar (kolon), namun ini adalah jarang.Untuk sebab-sebab yang belum

diketahui, pasien-pasien yang diopname karena perdarahan yang secara aktif dari

varices-varices kerongkongan mempunyai suatu risiko yang tinggi mengembangkan

spontaneous bacterial peritonitis.

4. Ensefalopati hepatikum

Mekanisme terjadinya ensefalopati hepatikum adalah akibat hiperamonia, terjadi

penurunan uptake hapatik akibat HP dan atau penurunan sintesis urea dan glutamik.

5. Sindrom hepatorenal

Sindrom ini adalah suatu komplikasi yang serius dimana fungsi dari ginjal-ginjal

berkurang. Hal tersebut adalah suatu persoalan fungsi dalam ginjal-ginjal, yaitu, tidak

ada kerusakn fisik pada ginjal.Sindroma hepatorenal tipe 1 ditandai dengan gangguan

progresif fungsi ginjal dan penurunan kliren kreatinin secara bermakna dalam 1-2

minggu. Tipe 2 ditandai dengan penurunan filtrasi glomerulus dengan peningkatan

serum kreatinin.

6. Splenomegali

Limpa (spleen) secara normal bertindak sebagai suatu saringan (filter) untuk

mengeluarkan/menghilangkan sel-sel darah merah, sel-sel darah putih, dan platelet-

platelet (partikel-partikel kecil yang penting uktuk pembekuan darah) yang lebih tua.

Darah yang mengalir dari limpa bergabung dengan darah dalam vena portal dari usus-

usus. Ketika tekanan dalam vena portal naik pada sirosis, ia bertambah menghalangi

aliran darah dari limpa. Darah tersendat dan berakumulasi dalam limpa, dan limpa

membengkak dalam ukurannya, suatu kondisi yang dirujuk sebagai splenomegali.

Ketika limpa membesar, ia menyaring keluar lebih banyak dan lebih banyak sel-sel

darah dan platelet-platelet hingga jumlah-jumlah mereka dalam darah berkurang.

7. Kanker Hati

II. 3. 8. DIAGNOSTIK DAN PENATALAKSANAAN

A. Pemeriksaan Diagnostik

a. Scan/biopsy hati : Mendeteksi infiltrate lemak, fibrosis, kerusakan

jaringan hati,

b. USG : Ekodensitas hati meningkat dengan ekostruktur kasar homogen

atau heterogen pada sisi superficial, sedang pada sisi profunda ekodensitas

menurun. Ascites tampak sebagai area bebas gema (ekolusen) antara organ

intra abdominal dengan dinding abdomen.

c. CT Scan, MRI : Menilai derajat berat SH dengan menilai ukuran lien,

ascites, dan kolateral vaskular.

d. Kolesistografi/kolangiografi : Memperlihatkan penyakit duktus empedu

yang mungkin sebagai faktor predisposisi.

e. Esofagoskopi : Dapat melihat adanya varises esophagus

f. Portografi Transhepatik perkutaneus : Memperlihatkan sirkulasi system

vena portal

B. Pemeriksaan laboratorium

- ALT, AST, ALP, Γgt, bilirubin, albumin, globulin, PT, natrium, trombosit,

lekosit dan neutrofil, anemia makrositik, mikrositik, normokrom).

- Serologi virus hepatitis, auto antibodi untuk autoimun hepatitis (ANA, ASM,

Anti-LKM), saturasi transferin dan feritin untuk hemokromatosis, ceruloplasmin

dan cooper untuk penyakit wilson, alpha 1-antitrypsin, AMA untuk sirosis bilier

primer, antibodi ANCA untuk kolangitis sklerosis primer.

C. Penatalaksanaan

Pengobatan sirosis hati pada prinsipnya berupa :

1. Simtomatis

2. Pengobatan yang spesifik dari sirosis hati akan diberikan jika telah terjadi

komplikasi seperti :

1) Asites

2) Spontaneous bacterial peritonitis

3) Hepatorenal syndrome

4) Ensefalophaty hepatic

1. Asites

Dikendalikan dengan terapi konservatif yang terdiri atas :

- istirahat

- diet rendah garam : untuk asites ringan dicoba dulu dengan istirahat dan diet rendah

garam berupa 5,2 gram atau 90 mmol/hari.

- Diuretik

Pemberian diuretik hanya bagi penderita yang telah menjalani diet rendah garam dan

pembatasan cairan namun penurunan berat badannya kurang dari 1 kg setelah 4 hari.

Mengingat salah satu komplikasi akibat pemberian diuretic adalah hipokalemia dan hal

ini dapat mencetuskan encephalopaty hepatic, maka pilihan utama diuretic adalah

spironolacton, dan dimulai dengan dosis rendah, 100-200 mg sekali sehari maks 400 mg,

apabila dengan dosis maksimal diuresinya belum tercapai maka dapat kita kombinasikan

dengan furosemid 20-40 mg/hari, maksimal 160 mg/hari. Parasintesis jika ascites

mencapai 4-6 liter dan dilindungi pemberian albumin, 8-10 gram IV per liter cairan

parasisntesis (jika >5L), restriksi cairan jika Natrium serum <120-125 mmol/L.

2. Spontaneous bacterial peritonitis

Pengobatan SBP dengan memberikan Cephalosporins Generasi III (Cefotaxime), secara

parental selama lima hari, dan albumin 2 gram IV tiap 8 jam atau 1,5 gram per kg IV

selama 6 jam, 1 gram per kg IV hari ke 3. Mengingat akan rekurennya tinggi maka untuk

Profilaxis dapat diberikan Norfloxacin (400mg/hari) oral 2x/hari untuk terapi, 400 mg

oral 2x/hari selama 7 hari untuk perdarahan GIT, 400 mg oral per hari untuk profilaksis,

Trimethroprim/sulfamethoxazole 1 tablet oral/hari untuk profilaksis, 1 tablet oral 2x/hari

untuk perdarahan GIT.

3. Hepatorenal Syndrome

Transjuguar intrahepatic portosystemic shunt efektif menurunkan hipertensi porta dan

memperbaiki HRS, serta menurunkan perdarahan GIT. Bila terapi medis gagal

dipertimbangkan transplantasi hati merupakan terapi definitif.

4. Perdarahan karena pecahnya Varises Esofagus

Kasus ini merupakan kasus emergensi sehingga penentuan etiologi sering

dinorduakan, namun yang paling penting adalah penanganannya lebih dulu. Prinsip

penanganan yang utama adalah tindakan Resusitasi sampai keadaan pasien stabil,

dalam keadaan ini maka dilakukan :

Pasien diistirahatkan dan dipuasakan

Pemasangan IVFD berupa garam fisiologis dan kalau perlu transfusi

Pemberian obat-obatan berupa propanolol 40-80 mg oral 2x/hari, isosorbid

mononitrat 2 mg oral 2x/hari, saat perdaran akut diberikan somatostatin atau

oktreotid diteruskan skleroterapi atau ligasi endoskopi

5. Ensefalopati Hepatikum

Pemberian laktulosa 30-45 mL sirup oral 3-4x/hari atau 300 mL enema sampai 2-4x

BAB/hari dan perbaikan status mental dan neomisin 4-12 gram oral/hari dibagi tiap 6-8

jam, dapat ditambahkan pada pasien yang refrakter laktulosa

3. 3.9. PROGNOSIS

Skor/parameter 1 2 3

Bilirubin(mg %) < 2,0 2 - < 3 > 3,0

Albumin(mg %) > 3,5 2,8 - < 3,5 < 2,8

Protrombin time

( Quick %)

> 70 40 - < 70 < 40

Asites 0 Min. – sedang

(+) – (++)

Banyak (+++)

Hepatic

Encephalopathy

Tidak ada Stadium 1 & 2 Stadium 3 & 4

Klasifikasi sirosis hati menurut Child – Pugh :

Skor Child-Pugh atau sering disebut juga skor Child-Turcotte-Pugh digunakan untuk

menilai prognosis pasien dengan penyakit hepar kronik terutama sirosis hepatis.

Meskipun pada awalnya skor ini hanya digunakan untuk memprediksi mortalitas pasien

selama menjalani pembedahan, saat ini skor ChildPugh digunakan untuk menilai

prognosis yang diperlukan untuk transplantasi hepar serta staging secara klinis pada

sirosis hepatis.

Skor Child-

Pugh A

menunjukkan

sirosis hepatis

kompensata,

sedangkan B

menunjukkan

sirosis hepatis dekompensata.

Variabel-variabel yang digunakan untuk perhitungan skor Child-Pugh bukan spesifik

marker untuk menggambarkan fungsi sintesis dan eliminasi hepar. Perubahan serum

albumin dapat menunjukkan peningkatan permeabilitas vaskuler karena sepsis dan

ascites. Demikian juga peningkatan bilirubin dapat disebabkan oleh kegagalan fungsi

ginjal, proses hemolisis, atau sepsis. Akan tetapi, secara umum, skor Child-Pugh dapat

menilai kondisi umum pasien sirosis dan menilai perubahan multiorgan yang disebabkan

oleh sirosis hepatis. Penelitian-penelitian sebelumnya membuktikan bahwa skor Child-

Pugh dapat digunakan sebagai perangkat prognostik pada kejadian ascites, rupture varises

esofagus, sirosis alkoholik, sirosis hepatis terkait hepatitis C, sirosis biliaris primer,

primary sclerosing cholangitis, dan sindrom Budd-Chiari. Oleh karena kelima variabel

yang digunakan dalam skor Child-Pugh dipilih secara empiris, maka tidak semua variabel

tersebut merupakan variabel independen terhadap prediksi prognosis. Nilai cut-off untuk

tiap variabel juga ditetapkan secara empiris sehingga belum dapat mencakup semua

kemungkinan.

BAB III

KESIMPULAN

Mengingat pengobatan sirosis hati hanya merupakan simptomatik dan mengobati

penyulit, maka prognosa Sirosis Hepatis bisa buruk. Umumnya menegakkan diagnosis

diperlukan pemeriksaan klinis dan pemeriksaan laboratorium terhadap sirosis hepatis

tersebut. Namun penemuan sirosis hati yang masih terkompensasi mempunyai prognosa

yang baik. Oleh karena itu ketepatan diagnosa dan penanganan yang tepat sangat

dibutuhkan dalam penatalaksanaan sirosis hati.

DAFTAR PUSTAKA

1. Sutadi SM. Sirosis hati. Usu repository. 2003. [cited on 2014 December 24th].

Available from : URL : http:// repository.usu.ac.id/ bitstream/ 123456789 /3386/1/

penydalam-srimaryani5.pdf

2. Suyono,Sufiana,Heru,Novianto,Riza,Musrifah. Sonografi sirosis hepatis di RSUD

Dr. Moewardi. Kalbe. 2006. [cited on 2011 2014 December 24th]. Available

from : URL

http://www.kalbe.co.id/files/cdk/files/09_150_Sonografisirosishepatis.pdf/

09_150_Sonografisirosishepatis.html

3. Raymon T.Chung, Daniel K.Podolsky. Cirrhosis and its complications. In :

Kasper DL et.al, eds. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16 th Edition.

USA : Mc-Graw Hill; 2005. p. 1858-62.

4. Nurdjanah Sitti. Sirosis hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit Dalam Fakultas

Kedokteran UI; 2006. hal. 443-53.

5. Amiruddin Rifai. Fisiologi dan Biokimia Hati. Dalam : Sudoyo AW et.al, eds.

Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 4. Jakarta : Pusat Penerbitan ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran UI; 2006. hal. 415-6.

6. Faiz O, Moffat D. The liver, gall-bladder, biliary tree. In : Anatomy at a glance.

USA: Blackwell Publishing Company; 2002. p. 44-5.

7. Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas. Dalam :

Sylvia A.Price et.al, eds. Patofisiologi. Edisi 6. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC ; 2006. Hal.472-5.

8. Netter FH. Surface and bed of liver. In : Atlas of Human Anatomy. 4 th Edition.

USA : Saunders Elsevier; 2006. p. 287.

9. Douglas Eder. Histology. In : Laboratory Atlas of Anatomy and Physiology. 4 th

Edition. USA : McGraw-Hill Science; 2001. p.35

10. Hall & Guyton. Fisiologi Kedokteran. Edisi 11. Jakarta : Penerbit Buku

Kedokteran EGC; 2004. hal. 902-6.

11. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Hati dan saluran empedu Dalam : Hartanto H,

Darmaniah N, Wulandari N. Robbins Buku Ajar Patologi. 7 th Edition. Volume 2.

Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC; 2004. hal. 671-2.

12. Taylor CR. Cirrhosis. emedicine. 2009. [cited on 2014 December 24th]. Available

from: URL : http://emedicine.medscape.com/article/366426-overview

13. Marc S. Sabatine, Sirosis dalam Buku Saku Klinis, The Massachusetts General

Hospital Handbook of Internal Medicine, 2004, p.106-10

14. David C. Dale, Daniel D.Fedeman, AMP Medicine 2007 Edition, Washington

D.C., 2007,p.IX : 1-26