Laporan Kasus copd
-
Upload
anusha-chandransikaran -
Category
Documents
-
view
40 -
download
0
description
Transcript of Laporan Kasus copd
LAPORAN KASUS
STROKE HEMORAGIK
Oleh:
ANNISA 060100088ANDY 060100134DINDA SARTIKA F. J. 060100188WINDA OLYSIA P. 060100206VIJAY TYNDALL LOPEZ 060100296
Pembimbing:Dr. Suherman A. Tambunan
DEPARTEMEN ILMU PENYAKIT SARAFFAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARARSUP H. ADAM MALIK
MEDAN2010
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas rahmat dan
karunia-Nya sehingga pembuatan karya tulis berupa laporan kasus departemen
neurologi yang berjudul “Stroke Hemoragik” dapat tersusun dan terselesaikan tepat
pada waktunya.
Terima kasih kami ucapkan kepada Dr. Suherman A. Tambunan, selaku
pembimbing penulisan yang telah memberikan arahan dalam penyelesaian laporan
kasus ini.
Adapun pembuatan tulisan ini bertujuan untuk mendiskusikan kasus stroke
hemoragik, mulai dari pengertian hingga penatalaksanaannya pada pasien yang dirawat
inap selama masa kepaniteraan klinik penulis di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam
Malik Medan, sehingga diharapkan dapat meningkatkan pemahaman dan mendukung
penerapan klinis yang lebih baik dalam memberikan kontribusi positif sistem pelayanan
kesehatan secara optimal.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa tulisan yang telah disusun ini masih
banyak terdapat kekurangan di dalam penulisannya, baik di dalam penyusunan kalimat
maupun di dalam teorinya, mengingat keterbatasan dari sumber referensi yang
diperoleh penulis serta keterbatasan penulis selaku manusia biasa yang selalu ada
kesalahan. Oleh karena itu, penulis membutuhkan kritik dan saran. Semoga karya tulis
ini bermanfaat bagi semua pihak.
Medan, Mei 2010
Penulis
i
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR…………………………………………………………..…. i
DAFTAR ISI……………………………………………………………………..… ii
BAB 1 Pendahuluan…………………………………………………………….….. 1
1.1. Latar Belakang………………………………………………………………… 1
1.2. Manfaat………………………………………………………………………... 2
BAB 2 Laporan Kasus……………………………………………………………... 3
BAB 3 Tinjauan Pustaka…………………………………………………………… 26
3.1. Pengertian Stroke dan Stroke Hemoragik……………………………………... 26
3.2. Epidemiologi Stroke dan Stroke Hemoragik………………………………….. 26
3.3. Etiologi Stroke Hemoragik……………………………………………………. 26
3.4. Faktor Resiko Stroke Hemoragik…………………………………………….... 27
3.5. Patogenesis Stroke Hemoragik………………………………………………... 32
3.6. Patofisiologi Stroke Hemoragik……………………………………………….. 33
3.7. Gejala Klinis Stroke Hemoragik………………………………………………. 35
3.8. Diagnosis dan Pemeriksaan Penunjang Stroke Hemoragik………………........ 38
3.9. Penatalaksanaan Stroke Hemoragik…………………………………………… 41
3.10. Komplikasi dan Prognosis Stroke Hemoragik……………………………….. 47
3.11. Pencegahan Stroke Hemoragik......................................................................... 48
BAB 4 Diskusi Kasus………………………………………………………………. 49
BAB 5 Permasalahan………………………………………………………………. 50
BAB 6 Penutup…………………………………………………………………….. 52
6.1. Kesimpulan…………………………………………………………..………... 52
6.2. Saran…………………………………………………………………..………. 53
Daftar Pustaka…………………………………………………………………….... 54
ii
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Penyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit yang
mempunyai karakteristik keterbatasan jalan napas yang irreversibel atau reversibel
parsial. Gangguan yang bersifat progresif ini disebabkan inflamasi kronik akibat
pajanan partikel atau gas beracun yang terjadi dalam waktu lama dengan gejala
utama sesak napas, batuk dan produksi sputum.
Beberapa penelitian terakhir menemukan bahwa PPOK sering disertai
dengan kelainan ekstra paru yang disebut sebagai efek sistemik pada PPOK.
American Thoracic Society (ATS) melengkapi pengertian PPOK menjadi suatu
penyakit yang dapat dicegah dan diobati ditandai dengan keterbatasan aliran udara
yang tidak sepenuhnya reversibel. Keterbatasan aliran udara ini bersifat progresif
dan berhubungan dengan respons inflamasi paru abnormal terhadap partikel atau
gas beracun terutama disebabkan oleh rokok. Meskipun PPOK mempengaruhi
paru, tetapi juga menimbulkan konsekuensi sistemik yang bermakna.
Keterbatasan aktivitas merupakan keluhan utama penderita PPOK yang
sangat mempengaruhi kualitas hidup. Disfungsi otot rangka merupakan hal utama
yang berperan dalam keterbatasan aktivitas penderita PPOK. Inflamasi sistemik,
penurunan berat badan, peningkatan risiko penyakit kardiovaskuler, osteoporosis
dan depresi merupakan manifestasi sistemik PPOK. Efek sistemik ini penting
dipahami dalam penatalaksanaan PPOK sehingga didapatkan strategi terapi baru
yang memberikan kondisi dan prognosis lebih baik untuk penderita PPOK.
Menurut WHO, PPOK merupakan salah satu penyebab kematian yang
bersaing dengan HIV/AIDS untuk menempati tempat ke-4 atau ke-5 setelah
Penyakit Jantung Koroner, Penyakit Serebrovaskuler, dan Infeksi Saluran Akut
(COPD International, 2004).
Di level global, PPOK adalah masalah kesehatan masyarakat yang
signifikan dan menduduki peringkat keempat sebagai penyebab penyakit dan
kematian di dunia, dan pada tahun 2030 diperkirakan akan menduduki peringkat
ketiga sebagai penyebab kematian (Papadopoulos, 2011).
WHO memperkirakan, 600 juta orang menderita PPOK di seluruh dunia.
Dan ini diperkirakan akan terus meningkat. Jumlah penderita PPOK di Amerika
Serikat 12,1 juta orang dan di Asia Pasifik sebanyak 56,7 juta orang (GOLD,
2010).
Di Indonesia, diperkirakan terdapat 4,8 juta (5,6%) penderita PPOK. Dan
pada penelitian Khairun Nisa (2010) jumlah penderita PPOK di RSUP H. Adam
Malik Medan pada tahun 2009 sebanyak 54 orang. Kejadian ini akan terus
meningkat yang salah satunya disebabkan oleh banyaknya jumlah perokok karena
90% penderita PPOK disebabkan oleh current smoker atau ex-smoker (JRI, 2007).
BAB 2TINJAUAN PUSTAKA
2.1 DEFINISI.
Penyakit Paru Obstruksi Kronis (PPOK) adalah suatu penyakit yang
dikarakteristikkan oleh adanya hambatan aliran udara secara kronis dan
perubahan-perubahan patologi pada paru, dimana hambatan aliran udara saluran
nafas bersifat progresif dan tidak sepenuhnya reversibel dan berhubungan dengan
respon inflamasi yang abnormal dari paru-paru terhadap gas atau partikel yang
berbahaya.1,2
2.2 EPIDEMIOLOGI.
Pada studi populasi selama 40 tahun, didapati bahwa hipersekresi mukus
merupakan suatu gejala yang paling sering terjadi pada PPOK, penelitian ini
menunjukkan bahwa batuk kronis, sebagai mekanisme pertahanan akan
hipersekresi mukus di dapati sebanyak 15-53% pada pria paruh umur, dengan
prevalensi yang lebih rendah pada wanita sebanyak 8-22%. Studi prevalensi
PPOK pada tahun 1987 di Inggris dari 2484 pria dan 3063 wanita yang berumur
18-64 tahun dengan nilai VEP1 berada 2 simpang baku di bawah VEP prediksi,
dimana jumlahnya meningkat seiring usia, khususnya pada perokok.16
WHO memperkirakan bahwa menjelang tahun 2020 prevalensi PPOK
akan meningkat sehingga sebagai penyebab penyakit tersering peringkatnya
meningkat dari ke-12 menjadi ke-5 dan sebagai penyebab kematian tersering
peringkatnya juga meningkat dari ke-6 menjadi ke-3. Pada 12 negara Asia Pasifik,
WHO menyatakan angka prevalensi PPOK sedang-berat pada usia 30 tahun
keatas, dengan rerata sebesar 6,3%, dimana Hongkong dan Singapura dengan
angka prevalensi terkecil yaitu 3,5% dan Vietnam sebesar 6,7%.
Indonesia sendiri belumlah memiliki data pasti mengenai PPOK ini
sendiri, hanya Survei Kesehatan Rumah Tangga DepKes RI 1992 menyebutkan
bahwa PPOK bersama-sama dengan asma bronkhial menduduki peringkat ke-6
dari penyebab kematian terbanyak di Indonesia.1,2,7
Tingkat morbiditas dan mortalitas PPOK sendiri cukup tinggi di seluruh
dunia. Hal ini di buktikan dengan besarnya kejadian rawat inap, seperti di
Amerika Serikat pada tahun 2000 terdapat 8 juta penderita PPOK rawat jalan dan
sebesar 1,5 juta kunjungan pada Unit Gawat Darurat dan 673.000 kejadian rawat
inap. Angka kematian sendiri juga semakin meningkat sejak tahun 1970, dimana
pada tahun 2000, kematian karena PPOK sebesar 59.936 vs 59.118 pada wanita vs
pria secara berurutan. Di bawah ini di gambarkan angka kematian pria per
100.000 populasi
2.3. Faktor Risiko.
PPOK yang merupakan inflamasi lokal saluran nafas paru, akan ditandai
dengan hipersekresi mucus dan sumbatan aliran udara yang persisten. Gambaran
ini muncul dikarenakan adanya pembesaran kelenjar di bronkus pada perokok dan
membaik saat merokok di hentikan. Terdapat banyak faktor risiko yang diduga
kuat merupakan etiologi dari PPOK. Faktor-faktor risiko yang ada adalah genetik,
paparan partikel, pertumbuhan dan perkembangan paru, stres oksidatif, jenis
kelamin, umur, infeksi saluran nafas, status sosioekonomi, nutrisi dan
komorbiditas.1,16
2.3.1 Genetik.
PPOK merupakan suatu penyakit yang poligenik disertai interaksi
lingkungan genetik yang sederhana. Faktor risiko genetik yang paling besar dan
telah di teliti lama adalah defisiensi α1 antitripsin, yang merupakan protease serin
inhibitor. Biasanya jenis PPOK yang merupakan contoh defisiensi α1 antitripsin
adalah emfisema paru yang dapat muncul baik pada perokok maupun bukan
perokok, tetapi memang akan diperberat oleh paparan rokok. Bahkan pada
beberapa studi genetika, dikaitkan bahwa patogenesis PPOK itu dengan gen yang
terdapat pada kromosom 2q.1
2.3.2 Paparan Partikel Inhalasi.
Setiap individu pasti akan terpapar oleh beragam partikel inhalasi selama
hidupnya. Tipe dari suatu partikel, termasuk ukuran dan komposisinya, dapat
berkontribusi terhadap perbedaan dari besarnya risiko dan total dari risiko ini akan
terintegrasi secara langsung terhadap pejanan inhalasi yang didapat. Dari berbagai
macam pejanan inhalasi yang ada selama kehidupan, hanya asap rokok dan debu-
debu pada tempat kerja serta zat-zat kimia yang diketahui sebagai penyebab
PPOK. Paparan itu sendiri tidak hanya mengenai mereka yang merupakan
perokok aktif, bahkan pada perokok pasif atau dengan kata lain environmental
smokers itu sendiri pun ternyata risiko menderita PPOK menjadi tinggi juga. Pada
perokok pasif didapati penurunan VEP1 tahunan yang cukup bermakna pada
orang muda yang bukan perokok. Bahkan yang lebih menarik adalah pengaruh
rokok pada bayi jika ibunya perokok aktif atau bapaknya perokok aktif dan ibunya
menjadi perokok pasif, selain didapati berat bayi lebih rendah, maka insidensi
anak untuk menderita penyakit saluran pernafasan pada 3 tahun pertama menjadi
meningkat.1,16 Shahab dkk melaporkan hal yang juga amat menarik bahwa
ternyata mereka mendapatkan besarnya insidensi PPOK yang telah terlambat
didiagnosis, memiliki kebiasaan merokok yang tinggi. PPOK yang berat
berdasarkan derajat spirometri, didapatkan hanya sebesar 46,8% ( 95% CI 39,1-
54,6) yang mengatakan bahwa mereka menderita penyakit saluran nafas, sisanya
tidak mengetahui bahwa mereka menderita penyakit paru dan tetap merokok.
Status merokok justru didapatkan pada penderita PPOK sedang dibandingkan
dengan derajat keparahan yang lain. Begitu juga mengenai riwayat merokok yang
ada, ternyata prevalensinya tetap lebih tinggi pada penderita PPOK yang sedang
(7,1%, p<0,02).23
Paparan lainya yang dianggap cukup mengganggu adalah debu-debu yang
terkait dengan pekerjaan ( occupational dusts ) dan bahan-bahan kimia. Meskipun
bahan-bahan ini tidak terlalu menjadi sorotan menjadi penyebab tingginya
insidensi dan prevalensi PPOK, tetapi debu-debu organik dan inorganik
berdasarkan analisa studi populasi NHANES III didapati hampir 10.000 orang
dewasa berumur 30-75 tahun menderita PPOK terkait karena pekerjaan. American
Thoracic Society (ATS) sendiri menyimpulkan 10-20% paparan pada pekerjaan
memberikan gejala dan kerusakan yang bermakna pada PPOK.16
Polusi udara dalam ruangan yang dapat berupa kayu-kayuan, kotoran
hewan, sisa-sisa serangga, batubara, asap dari kompor juga akan menyebabkan
peningkatan insidensi PPOK khususnya pada wanita. Selain itu, polusi udara
diluar ruangan juga dapat menyebabkan progresifitas kearah PPOK menjadi tinggi
seperti seperti emisi bahan bakar kendaraan bermotor. Kadar sulfur dioksida
(SO2) dan nitrogen dioksida (NO2) juga dapat memberikan sumbatan pada
saluran nafas kecil (Bronkiolitis) yang semakin memberikan perburukan kepada
fungsi paru.1,17
2.3.3 Pertumbuhan dan perkembangan paru.
Pertumbuhan dan perkembangan paru yang kemudian menyokong kepada
terjadinya PPOK pada masa berikutnya lebih mengarah kepada status nutrisi bayi
bayi pada saat dalam kandungan, saat lahir, dan dalam masa pertumbuhannya.
Dimana pada suatu studi yang besar didapatkan hubungan yang positif antara
berat lahir dan VEP1 pada masa dewasanya.1
2.3.4 Stres Oksidatif.
Paparan oksidan baik dari endogen maupun eksogen terus menerus
dialami oleh paru-paru. Sel paru-paru sendiri sebenarnya telah memiliki proteksi
yang cukup baik secara enzimatik maupun non enzimatik. Perubahan
keseimbangan antara oksidan dan anti oksidan yang ada akan menyebabkan stres
oksidasi pada paru-paru. Hal ini akan mengaktivasi respon inflamasi pada paru-
paru. Ketidak seimbangan inilah yang kemudian memainkan peranan yang
penting terhadap patogenesis PPOK.1
2.3.5 Jenis Kelamin.
Jenis kelamin sebenarnya belum menjadi faktor risiko yang jelas pada
PPOK. Pada beberapa waktu yang lalu memang tampak bahwa prevalensi PPOK
lebih sering terjadi pada Pria di bandingkan pada wanita, tetapi penelitian dari
beberapa negara maju menunjukkan bahwa ternyata saat ini insidensi antara pria
dan wanita ternyata hampir sama, dan terdapat beberapa studi yang mengatakan
bahwa ternyata wanita lebih rentan untuk dirusak oleh asap rokok dibandingkan
pria. Hal ini dikarenakan perubahan kebiasaan, dimana wanita lebih banyak yang
merupakan perokok saat ini.24
2.3.6 Infeksi.
Infeksi, baik viral maupun bakteri akan memberikan peranan yang besar
terhadap patogenesis dan progresifitas PPOK dan kolonisasi bakteri berhubungan
dengan terjadinya inflamasi pada saluran pernafasan dan juga memberikan
peranan yang penting terhadap terjadinya eksaserbasi. Kecurigaan terhadap
infeksi virus juga dihubungkan dengan PPOK, dimana kolonisasi virus seperti
rhinovirus pada saluran nafas berhubungan dengan peradangan saluran nafas dan
jelas sekali berperan pada terjadinya eksaserbasi akut pada PPOK. Riwayat
tuberkulosis juga dihubungkan dengan di temukannya obstruksi saluran nafas
pada dewasa tua pada saat umur diatas 40 tahun.1,17
2.3.7 Status sosioekonomi dan nutrisi.
Meskipun tidak terlalu jelas hubungannya, apakah paparan polutan baik
indoor maupun outdoor dan status nutrisi yang jelek serta faktor lain yang
berhubungan dengan kejadian PPOK, tetapi semua faktor-faktor tersebut
berhubungan erat dengan status sisioekonomi.1
2.3.8 Komorbiditas.
Asma memiliki faktor risiko terhadap kejadian PPOK, dimana didapatkan
dari suatu penelitian pada Tucson Epidemiologi Study of Airway Obstructive
Disease, bahwa orang dewasa dengan asma akan mengalami 12 kali lebih tinggi
risiko menderita PPOK.1
2.4 PATOLOGI, PATOGENESIS dan PATOFISIOLOGI.
Perubahan patologi pada PPOK mencakup saluran nafas yang besar dan
kecil bahkan unit respiratori terminal. Secara gamblang, terdapat 2 kondisi pada
PPOK yang menjadi dasar patologi yaitu bronkitis kronis dengan hipersekresi
mukusnya dan emfisema paru yang ditandai dengan pembesaran permanen dari
ruang udara yang ada, mulai dari distal bronkiolus terminalis, diikuti destruksi
dindingnya tanpa fibrosis yang nyata.16
Penyempitan saluran nafas tampak pada saluran nafas yang besar dan kecil
yang disebabkan oleh perubahan konstituen normal saluran nafas terhadap respon
inflamasi yang persisten. Epitel saluran nafas yang dibentuk oleh sel skuamous
akan mengalami metaplasia, sel-sel silia mengalami atropi dan kelenjar mukus
menjadi hipertropi. Proses ini akan direspon dengan terjadinya remodeling saluran
nafas tersebut, hanya saja proses remodeling ini justru akan merangsang dan
mempertahankan inflamasi yang terjadi dimana T CD8+ dan limfosit B
menginfiltrasi lesi tersebut. Saluran nafas yang kecil akan memberikan beragam
lesi penyempitan pada saluran nafasnya, termasuk hiperplasia sel goblet, infiltrasi
sel-sel radang pada mukosa dan submukosa, peningkatan otot polos.17
Pada emfisema paru yang dimulai dengan peningkatan jumlah alveolar
dan septal dari alveolus yang rusak, dapat terbagi atas emfisema sentrisinar
(sentrilobular ), emfisema panasinar ( panlobular ) dan emfisema periasinar
(perilobular ) yang sering dibahas dan skar emfisema atau irreguler dan emfisema
dengan bulla yang agak jarang dibahas. Pola kerusakan saluran nafas pada
emfisema ini menyebabkan terjadinya pembesaran rongga udara pada permukaan
saluran nafas yang kemudian menjadikan paru-paru menjadi terfiksasi pada saat
proses inflasi.16
Inflamasi pada saluran nafas pasien PPOK merupakan suatu respon
inflamasi yang diperkuat terhadap iritasi kronik seperti asap rokok. Mekanisme ini
yang rutin dibicarakan pada bronkitis kronis, sedangkan pada emfisema paru,
ketidak seimbangan pada protease dan anti protease serta defisiensi α 1 antitripsin
menjadi dasar patogenesis PPOK. Proses inflamasi yang melibatkan netrofil,
makrofag dan limfosit akan melepaskan mediator-mediator inflamasi dan akan
berinteraksi dengan struktur sel pada saluran nafas dan parenkim. Secara umum,
perubahan struktur dan inflamasi saluran nafas ini meningkat seiring derajat
keparahan penyakit dan menetap meskipun setelah berhenti merokok.18
Peningkatan netrofil, makrofag dan limfosit T di paru-paru akan
memperberat keparahan PPOK. Sel-sel inflamasi ini akan melepaskan beragam
sitokin dan mediator yang berperan dalam proses penyakit, diantaranya adalah
leucotrien B4, chemotactic factors seperti CXC chemokines, interlukin 8 dan
growth related oncogene α, TNF α, IL-1ß dan TGFß. Selain itu
ketidakseimbangan aktifitas protease atau inaktifitas antiprotease, adanya stres
oksidatif dan paparan faktor risiko juga akan memacu proses inflamasi seperti
produksi netrofil dan makrofagserta aktivasi faktor transkripsi seperti nuclear
factor κß sehingga terjadi lagi pemacuan dari faktor-faktor inflamasi yang
sebelumnya telah ada.19,20
Hipersekresi mukus menyebabkan abtuk produktif yang kronik serta
disfungsi silier mempersulit proses ekspektorasi, pada akhirnya akan
menyebabkan obstruksi saluran nafas pada saluran nafas yang kecil dengan
diameter < 2 mm dan air trapping pada emfisema paru. Proses ini kemudian akan
berlanjut kepada abnormalitas perbandingan ventilasi : perfusi yang pada tahap
lanjut dapat berupa hipoksemia arterial dengan atau tanpa hiperkapnia.
Progresifitas ini berlanjut kepada hipertensi pulmonal dimana abnormalitas
perubahan gas yang berat telah terjadi. Faktor konstriksi arteri pulmonalis sebagai
respon dari hipoksia, disfungsi endotel dan remodeling arteri pulmonalis
(hipertropi dan hiperplasi otot polos) dan destruksi Pulmonary capillary bad
menjadi faktor yang turut memberikan kontribusi terhadap hipertensi
pulmonal.16,25
2.5 INFLAMASI PADA PPOK.
2.5.1 Inflamasi Lokal dan Sistemik.
Belakangan ini banyak bukti terhadap inflamasi sistemik pada PPOK
peningkatan kadar sitokin pro inflamasi dan protein fase akut tampak pada PPOK
yang stabil, dimana sebelumnya memang sudah diketahui luas bahwa kedua faktor
inflamasi itu terkait dengan eksaserbasi pada PPOK. Inflamasi ini kemudian akan
mempengaruhi banyak sistem sehingga menelurkan pendapat bahwa PPOK
sebagai penyakit multi komponen.19
Hambatan aliran udara pada saluran nafas, terkait dengan perubahan-
perubahan seluler dan struktural pada PPOK ketika proses inflamasi tersebut
meluas keparenkim dan arteri pulmonalis. Asap rokok diamati memang
memancing reaksi inflamasi yang ditandai dengan infiltrasi limfosit T, neutropil
dan makrofag pada dinding saluran nafas. Disamping itu terjadi juga pergeseran
akan keseimbangan limfosit T CD4+/CD8+, dimana limfosit T sitotoksik (CD8+)
akan menginfiltrasi saluran nafas sentral dan perifer. Neutrofil yang juga
meningkat pada kelenjar bronkus pasien dengan PPOK memberikan peranan yang
penting juga terhadap hipersekresi mukus, dimana hal ini kemudian memacu
ekspresi gen IL-4 yang mengekspresikan sejumlah besar sel-sel inflamasi pada
subepitel bronkus dan kelenjar submukosa penghasil sekret.19
TNF α yang merupakan sitokin proinflamasi yang potensial akan
berkoordinasi dan menyebabkan peningkatan sitokin-sitokin lainnya seperti IL-1
dan IL-6 yang kemudian akan menginduksi angiogenesis. Peningkatan sitokin-
sitoin diatas selain berada didalam saluran nafas, juga beredar di sirkulasi
sistemik. Peningkatan sitokin-sitokin proinflamasi pada saluran nafas sebagai
petanda inflamasi lokal, juga akan memberikan gambaran pada peningkatan sel-
sel inflamasi secara sistemik, termasuk didalamnya neutrofil dan limfosit pada
gambaran darah tepi.5
Asal inflamasi sistemik pada PPOK sebenarnya tidaklah terlalu jelas
dimengerti, tetapi terdapat beberapa jalur yang diperhitungkan dapat menjelaskan
proses tersebut. Mekanisme pertama yang telah diketahui luas adalah salah satu
faktor risiko yaitu asap rokok.
Selain menyebabkan inflamasi pada saluran nafas, asap rokok sendiri
secara independen menyebabkan efek ekstra pulmoner seperti kejadian
kardiovaskular dan inflamasi sistemik melalui stres oksidatif sistemik dan
disfungsi endotel vaskular perifer dan menariknya kejadian ini juga akan dialami
oleh perokok pasif meski hanya terpapar beberapa tahun. Mekanisme kedua yang
bertolak belakang dari mekanisme pertama menyatakan bahwa respon inflamasi
lokal ber diri sendiri, begitu juga inflamasi sistemik. Hal ini dibuktikan dari
penelitian akan kadar TNFαR dan IL8 pada sputum yang ternyata meskipun tinggi
pada sputum, ternyata tidak menunjukkan adanya inflamasi sistemik yang berat.
Begitu juga pada orang sehat yang dipaparkan akan produk bakterial yang pro
inflamasi, lipopolisakarida memang menunjukkan adanya proses inflamasi lokal
berupa kenaikan temperatur tubuh, reaktifitas saluran nafas dan penurunan FEV1,
hanya saja terjadi perbedaan dimana memang inflamasi sistemik tampak pada
subjek yang mengalami demam, tetapi tidak pada subjek yang hanya mengalami
gangguan saluran nafas tanpa demam. Mekanisme ketiga yang diduga adalah
hipoksia, dan ini merupakan masalah berulang pada PPOK, dimana hipoksia yang
terjadi akibat penyempitan saluran nafas, akan mengaktivasi sistem TNF dan
makrofag yang menyebabkan peningkatan sitokin proinflamasi pada sirkulasi
perifer.21
Gambar 3. Lingkaran terjadinya proses kerusakan pada PPOK.26
DIAGNOSIS.
Penderita yang datang dengan keluhan klinis dispneu, batuk kronik atau
produksi sputum dengan atau tanpa riwayat paparan faktor risiko PPOK sebaiknya
dipikirkan sebagai PPOK. Diagnosis PPOK di pastikan melalui pemeriksaan
spirometri paksa bronkhodilator. Perasaan rasa sesak nafas dan dada terasa
menyempit merupakan gejala non spesifik yang dapat bervariasi seiring waktu
yang dapat muncul pada seluruh derajat keparahan PPOK.1
Pemeriksaan fisik memainkan peranan penting untuk diagnosis PPOK.
Tanda fisik hambatan aliran udara biasanya tidak muncul hingga terdapat
kerusakan yang bermakna dari fungsi paru muncul, dan deteksi memiliki nilai
sensitifitas dan spesifisitas yang rendah. Pada inspeksi dapat di temukan sentral
sianosis, bentuk dada “barel-shaped”, takhipneu, edema tungkai bawah sebagai
tanda kegagalan jantung kanan. Perkusi dan palpasi jarang membantu diagnosis
PPOK kecuali tanda-tanda hiperinflasi yang akan mengaburkan batas jantung dan
menurunkan batas paru-hati. Auskultasi sering memberikan kelemahan saluran
nafas, dapat dengan disertai adanya mengi.17
Uji faal paru dengan spirometri merupakan suatu hal yang wajib di
lakukan pada penderita yang memang sudah di curigai PPOK untuk lebih
memastikan diagnosa yang ada sekaligus memantau progresifitas penyakit.
Perangkat ini merupakan alat bantu diagnosis yang paling objektif, terstandarisasi
dan most reproducible akan adanya hambatan aliran nafas. Spirometri akan
menilai Kapasitas Vital Paksa (KVP) Paru dan Volume Ekspirasi Paksa 1 detik
(VEP1) yang didasarkan pada umur, tinggi badan, jenis kelamin dan ras. Diagnosa
PPOK ditegakkan bila didapati nilai paksa paska bronkodilatornya VEP1/KVP <
0,70 dan VEP1 < 80% prediksi, dan berdasarkan penilaian VEP1 tadi, dapat
dinilai derajat keparahan dari PPOK.27,28
Gambaran foto dada yang abnormal jarang tampak pada PPOK, kecuali
adanya bulosa pada paru. Perubahan radiologis yang mungkin adalah adanya
tanda hiperinflasi (pendataran diafragma dan peningkatan volume udara pada
rongga retrosternal), hiperlusensi paru dan peningkatan corak vaskuler paru.
Selain itu radiologis membantu dalam melihat komorbiditas seperti gambaran
gagal jantung. Untuk kepentingan operatif, CT Scan paru juga memegang peranan
penting.1
PENATALAKSANAAN
2.9 Penatalaksanaan
Tata laksana PPOK secara umum berupa tata laksana farmakologis dan non
farmakalogis.
A. Penatalaksanaan Non farmakologis
Penatalaksaan non farmakologis memegang peranan penting dalam PPOK.
Di negara maju, telah disediakan layanan yang disebut dengan Pulmonary
rehabilitation. Kegiatan disesuaikan dengan jenis penyakit dan kondisi pasien.
Menurut American Thoracic Society, Pulmonary rehabilitation adalah program
multidisiplin yang merawat pasien-pasien dengan kegagalan respiratori yang
kronik yang secara individual disesuaikan dan dirancang secara individual untuk
mengoptimalkan kemampuan fisik, sosial dan autonomi7,8. Di Indonesia sendiri
disebut dengan Rehabilitasi PPOK. Program dilaksanakan di dalam maupun diluar
rumah sakit oleh suatu tim multi disiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi,
respiratori terapis dan psikolog2.
1.Edukasi2
Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada
PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena
PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif, inti dari edukasi
adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan
fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari
pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan
dari asma.
Tujuan edukasi pada pasien PPOK:
1. Mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan
2. Melaksanakan pengobatan yang maksimal
3. Mencapai aktivitas optimal
4. Meningkatkan kualitas hidup
Secara umum bahan edukasi yang harus diberikan adalah pengetahuan dasar
tentang PPOK, obat - obatan, manfaat dan efek sampingnya, cara pencegahan
perburukan penyakit, menghindari pencetus (berhenti merokok), penyesuaian
aktivitas.
2. Nutrisi
Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya
kebutuhan energi akibat kerja otot respirasi yang meningkat karena hipoksemia
kronik dan hiperkapni menyebabkan terjadi hipermetabolisme3.
Malnutrisi dapat dievaluasi dengan2 :
Penurunan berat badan
Kadar albumin darah
Antropometri
Pengukuran kekuatan otot (MVV, tekanan diafragma, kekuatan otot pipi)
Hasil metabolisme (hiperkapni dan hipoksia)
Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan
mengatasi masalah, karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat
mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Komposisi
nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan
protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit
oxygen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapni.2
3. Latihan Fisis
Ditujukan untuk memperbaiki efisiensi dan kapasiti sistem transportasi
oksigen. Latihan fisis yang baik akan menghasilkan peningkatan VO2 max,
perbaikan kapasiti kerja aerobik maupun anaerobik, peningkatan cardiac output
dan stroke volume, peningkatan efisiensi distribusi darah, pemendekkan waktu
yang diperlukan untuk recovery, latihan untuk meningkatkan kemampuan otot
pernapasan, latihan untuk meningkatkan otot pernapasan2.
a. Latihan untuk meningkatkan kemampuan otot pernapasan
Latihan ini diprogramkan bagi penderita PPOK yang mengalami kelelahan
pada otot pernapasannya sehingga tidak dapat menghasilkan tekanan insipirasi
yang cukup untuk melakukan ventilasi maksimum yang dibutuhkan. Latihan
khusus pada otot pernapasan akan mengakibatkan bertambahnya kemampuan
ventilasi maksimum, memperbaiki kualitas hidup dan mengurangi sesak napas.
b. Endurance exercise
Respons kardiovaskuler tidak seluruhnya dapat terjadi pada penderita PPOK.
Bertambahnya cardiac output maksimal dan transportasi oksigen tidak sebesar
pada orang sehat. Latihan jasmani pada penderita PPOK akan berakibat
meningkatnya toleransi latihan karena meningkatnya toleransi karena
meningkatnya kapasitas kerja maksimal dengan rendahnya konsumsi oksigen.
Pada penderita PPOK berat, kelelahan kaki mungkin merupakan faktor yang
dominan untuk menghentikan latihannya. Berkurangnya aktivitas kegiatan sehari-
hari akan menyebabkan penurunan fungsi otot skeletal. Berbaring ditempat tidur
dalam jangka waktu yang lama menyebabkan menurunnya oxygen uptake dan
control kardiovaskuler.
4. Latihan Pernapasan
Tujuan latihan ini adalah untuk mengurangi dan mengontrol sesak napas.
Teknik latihan meliputi pernapasan diafragma dan pursed lips guna memperbaiki
ventilasi dan menyinkronkan kerja otot abdomen dan toraks. Serta berguna juga
untuk melatih ekspektorasi dan memperkuat otot ekstrimitas2,3,7.
5. Psikososial
Banyak pasien dengan PPOK memiliki kecemasan dan depresi, yang pada
gilirannya akan menyebabkan penurunan kualitas hidup. Keadaan ini mungkin
desibabkan oleh banyaknya faktor seperti isolisasi sosial, gejala yang persisten,
dan ketidakmampuan pada berbagai aktivitas sehari-hari. Perlu digali keadaan
psikis pasien untuk menghindari kemunduran status mental pasien. Disinilah
peran psikolog dan keluarga. Jika ternyata kecemasan dan depresi ditemukan,
penggunaan obat-obatan seperti benzodiaxepin dapat dilakukan walaupun hal ini
harus berada dalam pengawasann ketat karena penggunaan yang agresif justru
dapat mengakibatkan penekanan pada respiratori3.
B. Penatalaksanaan Farmakologis
1. Obat –obatan
a. Bronkodilator
Diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkodilator dan
disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat
diutamakan inhalasi, nebuliser tidak dianjurkan pada penggunaan jangka panjang.
Pada derajat berat diutamakan pemberian obat lepas lambat (slow release) atau
obat berefek panjang (long acting).
Macam - macam bronkodilator :
Golongan antikolinergik
Karakteristik obstruksi saluran napas pada PPOK yaitu adanya banyaknya hal
yang dapat menginduksinya dan secara reversibel parsial dapat meningkatkan
respon kolinergik. Lebih lanjut, mekanisme yang dimediasi oleh nervus vagus
menjelaskan bagaiman peningkatan sekresi kelenjar submukosa pada pasien
PPOK. Hal ini lah yang mendasari pemberian antikolinergik3. Ada tiga jenis
reseptor muskarinik. M1 dan M3 menyebabkan bronkokonstriksi sedangkan M2
bekerja sebaliknya. Obat-obat yang bekerja pada reseptor yang tepat dapat
menghasilkan relaksasi otot polos dan dilatasi saluran napas3,8. Pengguaan
tiotropium dan salmaterol dapat meningkatkan outcome pada pasien PPOK.
Golongan agonis β-2
β-2 agonis bekerja langsung pada β-2 adrenoceptor menyebabkan otot polos
relaksasi dan saluran napas berdilatasi. Obat ini dibagi atas Short Acting β-2
Agonist (SABA) dan Long Acting β-2 Agonist (LABA)3,7,8.
Bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak, peningkatan jumlah
penggunaan dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat
pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Bentuk
nebuliser dapat digunakan untuk mengatasi eksaserbasi akut, tidak dianjurkan
untuk penggunaan jangka panjang. Bentuk injeksi subkutan atau drip untuk
mengatasi eksaserbasi berat2.
Kombinasi antikolinergik dan agonis beta - 2
Kombinasi kedua golongan obat ini akan memperkuat efek bronkodilatasi,
karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu
penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita2.
Golongan xantin
Dalam bentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang,
terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk
mengatasi sesak (pelega nafas), bentuk suntikan bolus atau drip untuk mengatasi
eksaserbasi akut. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar
aminofilin darah.
b. Antiinflamasi
Digunakan bila terjadi eksaserbasi akut dalam bentuk oral atau injeksi
intravena, berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan
metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang
diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan VEP1
pasca bronkodilator meningkat > 20% dan minimal 250 mg.
c. Antibiotika
Hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan :
Lini I : amoksisilin makrolid
Lini II : amoksisilin & asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, makrolid
baru
Perawatan di Rumah Sakit (dapat dipilih) :
Amoksilin dan klavulanat
Sefalosporin generasi II & III injeksi
Kuinolon per oral ditambah dengan yang anti pseudomonas
Aminoglikose per injeksi
Kuinolon per injeksi
Sefalosporin generasi IV per injeksi
d. Antioksidan
Dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualiti hidup, digunakan N -
asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak
dianjurkan sebagai pemberian yang rutin2.
e. Mukolitik
Hanya diberikan terutama pada eksaserbasi akut karena akan mempercepat
perbaikan eksaserbasi, terutama pada bronkitis kronik dengan sputum yang
viscous. Mengurangi eksaserbasi pada PPOK bronkitis kronik, tetapi tidak
dianjurkan sebagai pemberian rutin2.
1. Terapi Oksigen
Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang
menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan
hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah
kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen antara
lain mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmonal,
mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi
neuropsikiatri, meningkatkan kualitas hidup2.
Indikasi terapi oksigen sendiri yaitu PaO2 < 60mmHg atau Sat O2 < 90%, atau
PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau Sat O2 > 89% disertai Kor Pulmonal, perubahan
P pulmonal, Ht >55% dan tanda-tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, penyakit
paru lain2,3,7,8.
Terapi oksigen dapat dilaksanakan di rumah maupun di rumah sakit. Terapi
oksigen di rumah diberikan kepada penderita PPOK stabil derajat berat dengan
gagal napas kronik. Sedangkan di rumah sakit oksigen diberikan pada PPOK
eksaserbasi akut di unit gawat darurat, ruang rawat ataupun ICU. Pemberian
oksigen untuk penderita PPOK yang dirawat di rumah dibedakan :
Pemberian oksigen jangka panjang (Long Term Oxygen Therapy = LTOT)
Pemberian oksigen pada waktu aktivitas
Pemberian oksigen pada waktu timbul sesak mendadak
Terapi oksigen jangka panjang yang diberikan di rumah pada keadaan stabil
terutama bila tidur atau sedang aktivitas, lama pemberian 15 jam setiap hari,
pemberian oksigen dengan nasal kanul 1-2 L/menit. Terapi oksigen pada waktu
tidur bertujuan mencegah hipoksemia yang sering terjadi bila penderita tidur.
Terapi oksigen pada waktu aktivitas bertujuan menghilangkan sesak napas dan
meningkatkan kemampuan aktivitas. Sebagai parameter digunakan analisis gas
darah atau pulse oksimetri. Pemberian oksigen harus mencapai saturasi oksigen di
atas 90%2,8.
1. Ventilasi Mekanik
Ventilasi mekanik pada PPOK digunakan pada eksaserbasi dengan gagal
napas akut, gagal nafas akut pada gagal napas kronik atau pada pasien PPOK
derajat berat dengan nafas kronik. Ventilasi mekanik dapat digunakan di rumah
sakit di ruang ICU atau di rumah. Ventilasi mekanik dapat dilakukan dengan cara2
:
ventilasi mekanik dengan intubasi
ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi
Ventilasi mekanik tanpa intubasi digunakan pada PPOK dengan gagal napas
kronik dan dapat digunakan selama di rumah. Bentuk ventilasi mekanik tanpa
intubasi adalah Nonivasive Intermitten Positif Pressure (NIPPV) atau Negative
Pessure Ventilation (NPV)2.
NIPPV bila digunakan bersamaan dengan terapi oksigen terus menerus
(LTOT/ Long Tern Oxygen Theraphy) akan memberikan perbaikan yang
signifikan pada analisis gas darah, kualitas dan kuantitas tidur, kualitas hidup,
analisis gas darah2.
Indikasi penggunaan NIPPV :
Sesak napas sedang sampai berat dengan penggunaan muskulus respirasi
dan abdominal paradoksal
Asidosis sedang sampai berat pH < 7,30 - 7, 35
Frekuensi nafas > 25 kali per menit
Ventilasi mekanik dengan intubasi
Pasien PPOK dipertimbangkan untuk menggunakan ventilasi mekanik di
rumah sakit bila ditemukan keadaan gagal nafas yang pertama kali, perburukan
yang belum lama terjadi dengan penyebab yang jelas dan dapat diperbaiki,
misalnya pneumonia, aktivitas sebelumnya tidak terbatas2.
Indikasi penggunaan ventilasi mekanik invasif2 :
Sesak napas berat dengan penggunaan muskulus respirasi tambahan dan
pergerakan abdominal paradoksal
Frekuensi napas > 35 permenit
Hipoksemia yang mengancam jiwa (Pao2 < 40 mmHg)
Asidosis berat pH < 7,25 dan hiperkapni (Pao2 < 60 mmHg)
Henti nafas
Samnolen, gangguan kesadaran
Komplikasi kardiovaskuler (hipotensi, syok, gagal jantung)
Komplikasi lain (gangguan metabolisme, sepsis, pneumonia, emboli paru,
barotrauma, efusi pleura masif)
Telah gagal dalam penggunaan NIPPV
Ventilasi mekanik sebaiknya tidak diberikan pada pasien PPOK dengan
kondisi sebagai berikut2 :
PPOK derajat berat yang telah mendapat terapi maksimal sebelumnya
Terdapat ko-morbid yang berat, misalnya edema paru, keganasan
Aktivitas sebelumnya terbatas meskipun terapi sudah maksimal
Karakteristik dan Rekomendasi Pengobatan berdasarkan Derajat PPOK
Derajat Karakteristik Rekomendasi Pengobatan
Edukasi (Hindari faktor pencetus) Bronkodilator kerja singkat (SABA,
antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu Vaksinasi influenza
Derajat I : PPOK Ringan
VEP1/KVP < 70%.
VEP1 ≥ 80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala
Bronkodilator kerja singkat (SABA, antikolinergik kerja cepat, xantin) bila perlu
Derajat II : PPOK Sedang
VEP1/KVP < 70%.
50% < VEP1 < 80% prediksi
Dengan atau tanpa gejala
1. Pengobatan regular dengan bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
b. LABAc. Simptomatik
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)
Derajat III : PPOK Berat
VEP1/KVP < 70%.
30% ≤ VEP1 ≤ 50% prediksi
Dengan atau tanpa gejala
1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
b. LABAc. Simptomatikd. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respon klinis atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)
Derajat III : PPOK Berat
VEP1/KVP < 70%.
30% ≤ VEP1 ≤ 50% prediksi
Dengan atau tanpa gejala
1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
b. LABAc. Simptomatikd. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respon klinis atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi
respirasi)
Derajat IV : PPOK Sangat Berat
VEP1/KVP < 70%.
VEP1 < 30% prediksi atau gagal nafas atau gagal jantung kanan
1. Pengobatan regular dengan 1 atau lebih bronkodilator:
a. Antikolinergik kerja lama sebagai terapi pemeliharaan
b. LABAc. Simptomatikd. Kortikosteroid inhalasi bila memberikan
respon klinis atau eksaserbasi berulang
2. Rehabilitasi (edukasi, nutrisi, rehabilitasi respirasi)
3. Terapi oksigen jangka panjang jika gagal nafas
4. Ventilasi mekanis noninvasif5. Pertimbangkan terapi pembedahan
Algoritme penanganan PPOK Stabil
Penatalaksanaan PPOK Eksaserbasi
Gejala eksaserbasi :
Batuk makin sering / hebat
Produksi sputum bertambah banyak
Sputum berubah warna
Sesak nafas bertambah
Keterbatasan aktivitas bertambah
Terdapat gagal nafas akut pada gagal nafas kronik
Kesadaran menurun
Penatalaksanaan eksaserbasi akut dapat dilakukan di :
poliklinik rawat jalan
unit gawat darurat
ruang rawat
ruang ICU
Prinsip penatalaksanaan eksaserbasi PPOK :
Komplikasi
Komplikasi yang dapat terjadi pada PPOK adalah gagal napas kronik, gagal napas
akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan kor pulmonale. Gagal napas
kronik ditunjukkan oleh hasil analisis gas darah berupa PaO2<60 mmHg dan
PaCO2>50 mmHg, serta pH dapat normal. Gagal napas akut pada gagal napas kronik
ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, volume sputum bertambah dan
purulen, demam, dan kesadaran menurun. Pada pasien PPOK produksi sputum yang
berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman, hal ini memudahkan terjadi infeksi
berulang. Selain itu, pada kondisi kronik ini imunitas tubuh menjadi lebih rendah,
ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah. Adanya kor pulmonale ditandai
oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit>50 %, dan dapat disertai gagal jantung
kanan. PDPI
PROGNOSIS
Beberapa faktor yang telah diidentifikasikan dapat memprediksi survival
jelek pada PPOK adalah FEV1 rendah, masih merokok, hipoksemia, nutrisi jelek,
cor pulmonal, penyakit komorbid dan kapasitas difusi rendah. Untuk five years
survival dengan sesak berat mencapai 30%. Sedahgkan 30% penderita PPOM
dengan sumbatan yang berat akan meninggal dalam waktu 1 tahun, dan 95%
meninggal dalam waktu 10 tahun. Kematian bisa disebabkan oleh kegagalan
pernafasan, pneumonia, pneumotoraks (masuknya udara ke dalam rongga paru),
aritmia jantung atau emboli paru (penyumbatan arteri yang menuju ke paru-paru).
Penderita PPOM juga memiliki resiko tinggi terhadap terjadinya kanker paru.####