LAPORAN AKHIR ANJAK TApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_02.pdf · LAPORAN AKHIR...
-
Upload
duongthuan -
Category
Documents
-
view
231 -
download
0
Transcript of LAPORAN AKHIR ANJAK TApse.litbang.pertanian.go.id/ind/pdffiles/anjak_2013_02.pdf · LAPORAN AKHIR...
LAPORAN AKHIR ANJAK TA.2013
STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN
Oleh:
Erwidodo
PUSAT SOSIAL EKONOMI DAN KEBIJAKAN PERTANIAN
BADAN PENELITIAN DAN PENGEMBANGAN PERTANIAN
KEMENTERIAN PERTANIAN 2013
1
STABILISASI HARGA DAN KETAHANAN PANGAN
ABSTRACT
UU Pangan No 12/2012 mengamatkan kepada pemerintah untuk mencapai kemandirian
dan ketahanan pangan nasional. Istilah „kemandirian‟ pangan menjadi menarik dan
kontroversial mengingat kenyataan terus menurunnya kapasitas produksi pangan
nasional dan terus meningkatnya ketergantungan Indonesia terhadap produk pangan
impor. Tujuan untuk mencapai ketahanan dan kemandirian pangan merupakan
„legitimate objective‟ yang perlu didukung semua komponen bangsa. Namun untuk
mencapainya perlu strategi, kebijakan dan instrumen kebijakan yang tepat, tidak hanya
terbatas kepada langkah melarang dan/atau membatasi impor yang membebani
konsumen dan perekonomian. Disamping memberikan perlindungan dari ancaman
produk impor („border measures‟), sangat diperlukan kebijakan dan program „behind
the border‟ yang mencerminkan keberpihakan dan perhatian lebih besar untuk
meningkatkan kapasitas produksi pangan nasional. Kebijakan stabilisasi harga pangan
pokok (strategis) merupakan salah satu kebijakan yang dinilai penting dalam mencapai
tujuan ini, khususnya untuk menjamin keuntungan layak dan kelangsungan usaha
petani. Namun, kebijakan stabilisasi harga pangan tidak mungkin efektif jika tidak
dibarengi dengan kebijakan dan program lain, khususnya kebijakan dan program
peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, pembenahan standar mutu produk
pangan dan perluasan Sistem Resi Gudang (SRG). Roadmap pembenahan dan
penerapan standar mutu produk pangan sangat penting dilakukan, tidak hanya karena
standar mutu menjadi syarat memperoleh RG tetapi „urgent‟ untuk menghadapi pasar
tunggal ASEAN 2015.
PENDAHULUAN
Beberapa bulan terakhir ini, media masa diramaikan oleh berita seputar
kelangkaan pasokan dan lonjakan harga eceran beberapa produk pangan. Belum
sampai lonjakan harga satu komoditas pangan selesai ditangani dan dicari
pemecahannya oleh pemerintah, muncul lagi berita kelangkaan dan lonjakan harga
komoditas pangan lainnya. Tidak hanya beras, gula, jagung, kedele yang selama ini
2
dikenal sebagai komoditas pangan rawan gejolak, tetapi juga terjadi pada komoditas
pangan lain seperti daging sapi dan beberapa produk sayuran. Situasi ini tidak hanya
meresahkan konsumen, khususnya para ibu rumah tangga, tetapi juga meresahkan
para pedagang dan membuat sibuk pemerintah. Bahkan dua-tiga kali sidang Kabinet
terbatas digelar untuk secara khusus mencari jalan keluar untuk menangani lonjakan
harga daging sapi, cabe dan bawang merah, serta kedele.
Situasi ini telah memancing debat publik, pro-kons, seputar politik pangan dan
kebijakan pertanian umumnya. Kebijakan pemerintah dinilai gagal dalam menciptakan
stabilitas harga dan ketahanan pangan nasional. Sebagian politisi dan pengamat
ekonomi mengungkapkan kerisauan mereka dengan terus meningkatnya impor produk
pangan dan menuntut pemerintah untuk mengendalikan dan kalau perlu menyetop
impor beberapa produk pangan. Yang menarik, karena harga terus meningkat dan tidak
terkendali, pemerintah justru mengambil langkah ad-hoc yang sebaliknya, yakni
melonggarkan aturan impor dengan menghilangkan tarif impor dan meningkatkan
kuota impor kedele, daging sapi dan sapi bakalan.
Beberapa tahun terkahir memang ada keinginan kuat dari pemerintah yang
didukung para politisi di Parlemen (DPR) untuk mencapai swasembada dan kemandirian
pangan, tidak hanya pangan mencakup beras, gula, kedele dan jagung, tetapi juga
daging sapi dan beberapa produk hortikultura. Terbitnya UU No 18/2009 tentang
Peternakan dan Kesehatan Hewan, UU No 13/2010 tentang Hortikultura dan UU No
18/2012 tentang Pangan, menjadi bukti komitmen politik untuk mencapai tujuan itu.
Kementerian Pertanian (Kementan) bahkan mentargetkan surplus beras 10 juta ton,
mencapai swasembada jagung, kedele, gula dan daging sapi pada tahun 2014.
Keinginan kuat untuk merealisasi swasembada daging sapi dan meningkatkan
kemandirian produk hortikultura terlihat dari langkah Kementan bersama Kemendag
untuk membatasi impor daging sapi dan produk hortikultura lewat kebijakan
Rekomendasi Impor Produk Peternakan (RIPP) dan Rekomendasi Impor Produk
Hortikultura (RIPH) (Erwidodo dan Sayaka, 2013).
Sesuai alam demokrasi saat ini, silang pendapat (pro-kons) sering terjadi seputar
kebijakan perdagangan dan ketahanan pangan. Ada pendapat moderat ada pula
3
pendapat ekstrim dalam menyikapi kebijakan perdagangan. Pendapat moderat
menyatakan pentingnya negara hadir dan berperan untuk menjamin stabilisasi harga
dan ketahanan pangan (pokok) tanpa mendistorsi pasar secara berlebihan, serta tetap
konsisten dengan aturan perdagangan multilateral (WTO). Sementara pendapat yang
ekstrem menyatakan bahwa pemerintah harus „berdaulat‟ dan berperan aktif untuk
mencapai kemandirian dan ketahanan serta stabilisasi harga pangan „at all costs‟, tidak
harus mengikuti aturan WTO. Mereka yang terakhir ini berpandangan bahwa impor
pangan harus dikendalikan atau kalau perlu distop dan urusan pangan tidak dapat
diserahkan kepada mekanisme pasar. Mereka ini juga berpandangan bahwa
keterpurukan sektor pertanian dan membanjirnya produk pangan impor sebagai akibat
masuknya Indonesia dalam berbagai perjanjian perdagangan internasional, baik
perdagangan multilateral (WTO) maupun regional (AFTA dan ASEAN+partner).
Diluar kebijakan perdagangan, ada juga keinginan kuat untuk mencapai
diversifikasi produksi pertanian, yang diartikan meningkatkan produksi semua produk
pangan khususnya dan produk pertanian umumnya. Mereka menganggap, impor
pangan berapapun besarnya dan prosentasinya terhadap total konsumsi tetap dianggap
sebuah kegagalan Negara dalam mencapai kemandirian pangan. Semua produk
pangan, mulai dari beras, kedele, jagung, sayuran buah2an harus meningkat
produksinya, tanpa kejelasan dimana lokasi, berapa luas area dan produksinya. Tidak
heran jika program peningkatan produksi dan produktivitas hanya sebatas angka2
target area tanam dan produksi tanpa disertai pemetaan lokasi. Mereka kurang
memperhitungkan kenyataan adanya keterbatasan dan kompetisi dalam penggunaan
lahan, baik secara total wilayah maupun pemilikan lahan petani.
Tulisan ini mencoba menganalisa beberapa pertanyaan diatas dan polemik
tentang kebijakan stabilisasi harga, „kemandirian‟ dan ketahanan pangan, dengan
mengambil kasus komoditas pangan beras, kedele, dan jagung. Sengaja hanya
mengambil ketiga komoditas ini karena ketiganya diusahakan secara intensif di Jawa
dan sangat terkait dengan masalah konversi lahan dan kompetisi penggunaan lahan.
Tulisan ini menjelaskan aturan WTO dan keterikatan Indonesia dalam perjanjian
perdagangan bebas regional yang membatasi kebebasan negara anggota untuk memilih
4
instrumen kebijakan perdagangan. Kebijakan harga dan stabilisasi harga pangan
menjadi fokus bahasan dalam tulisan ini. Selain kebijakan stabilisasi harga juga dibahas
kebijakan lain dalam upaya menyiasati masalah instabilitas harga yakni kebijakan dan
program peningkatan kapasitas produksi pangan nasional, Sistem Resi Gudang (SRG)
dan penerapan standar mutu produk pangan.
KEDAULATAN, KEMANDIRIAN DAN KETAHANAN PANGAN
Sebelum membahas lebih lanjut ketahanan pangan (food security) yang menjadi
fokus bahasan makalah ini, ada baiknya memperjelas beberapa definisi terkait lainnya,
yaitu kedaulatan pangan (food severegnity), kemandirian pangan (food resilience),
swasembada pangan (food self sufficiency) dan keamanan pangan (food safety)
sebagaimana tertuang dalam UU No. 18/2012, sebagai berikut:
„Kedaulatan Pangan adalah hak negara dan bangsa yang secara mandiri
menentukan kebijakan Pangan yang menjamin hak atas Pangan bagi rakyat dan
yang memberikan hak bagi masyarakat untuk menentukan sistem Pangan yang
sesuai dengan potensi sumber daya lokal‟.
„Kemandirian Pangan adalah kemampuan negara dan bangsa dalam
memproduksi Pangan yang beraneka ragam dari dalam negeri yang dapat
menjamin pemenuhan kebutuhan pangan yang cukup sampai di tingkat
perseorangan dengan memanfaatkan potensi sumber daya alam, manusia,
sosial, ekonomi, dan kearifan lokal secara bermartabat‟.
„Ketahanan Pangan adalah kondisi terpenuhinya Pangan bagi negara sampai
dengan perseorangan, yang tercermin dari tersedianya Pangan yang cukup, baik
jumlah maupun mutunya, aman, beragam, bergizi, merata, dan terjangkau serta
tidak bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat, untuk
dapat hidup sehat, aktif, dan produktif secara berkelanjutan‟.
5
„Keamanan Pangan adalah kondisi dan upaya yang diperlukan untuk mencegah
Pangan dari kemungkinan cemaran biologis, kimia, dan benda lain yang dapat
mengganggu, merugikan, dan membahayakan kesehatan manusia serta tidak
bertentangan dengan agama, keyakinan, dan budaya masyarakat sehingga aman
untuk dikonsumsi‟.
Kata „kedaulatan‟, sebagaimana diuraikan dalam bagian penjelasan, merupakan
landasan filosofis yang memberikan pesan bahwa sebagai negara merdeka dan
berdaulat maka Indonesia punya kebebasan atau kedaulatan untuk menentukan
strategi, kebijakan dan program serta sistem pangan sesuai dengan potensi
sumberdaya yang dimilikinya, tidak dapat atau tidak boleh diatur, didekte atau
diintervensi oleh negara lain. Namun demikian, perlu dicatat bahwa keterikatan
Indonesia dalam perjanjian perdagangan internasional (WTO) yang juga telah
diratifikasi dalam UU nasional, memberikan makna bahwa „kebebasan atau kedaulatan‟
tersebut tidak lagi penuh dalam menentukan „instrumen kebijakan‟ tetapi harus
disesuaikan atau konsisten dengan aturan internasional/regional yang telah disepakati
dan diratifikasi dalam UU Republik Indonesia.
Kata „kemandirian‟ menjelaskan perlunya kemampuan negara dan bangsa untuk
memproduksi sendiri pangan yang beraneka ragam di dalam negeri dengan
memanfaatkan potensi sumber daya alam di dalam negeri. Definisi ini juga perlu
interpretasi secara hati-hati karena dapat mengarah ke interpretasi bahwa Indonesia
harus memproduksi beragam pangan sendiri dan kegiatan impor adalah suatu bentuk
kegagalan sehingga harus dibatasi atau dilarang. Yang lebih mengkawatirkan adalah
interpretasi bahwa untuk memproduksi dan mencukupi kebutuhan pangan nasional
adalah tanggung jawab sepenuhnya Kementerian Pertanian, sementara para Menteri
terkait tidak secara langsung turut bertanggung-jawab. Contoh nyata dari situasi ini
adalah terus berlangsungnya konversi lahan pertanian/sawah di Jawa sementara
pembukaan lahan pertanian dan pencetakan sawah baru di luar Jawa berjalan sangat
lambat. Kementerian keuangan, Bappenas dan kementerian PU tidak menganggap
situasi ini sebagai situasi darurat yang harus disikapi bersama dengan menyusun
6
program nasional pencetakan sawah sawah. Hal ini menunjukan bahwa politik pangan
nasional belum ada atau baru sebatas wacana.
Definisi ketahanan pangan dalam UU No 18 2012 diatas merupakan
penyempurnaan dan „pengkayaan cakupan‟ dari definisi dalam UU No 7 tahun 1996
yang memasukan „perorangan‟ dan „sesuai keyakinan agama‟ serta „budaya‟ bangsa.
Definisi UU No 18 secara substantif sejalan dengan definisi ketahanan pangan dari FAO
yang menyatakan bahwa ketahanan pangan sebagai suatu kondisi dimana setiap orang
sepanjang waktu, baik fisik maupun ekonomi, memiliki akses terhadap pangan yang
cukup, aman, dan bergizi untuk memenuhi kebutuhan gizi sehari-hari sesuai
preferensinya.
Satu lagi definisi yang kita kenal adalah swasembada pangan, yakni merujuk
kepada suatu keadaan dimana suatu Negara dapat mencukupi seluruh atau sebagian
besar kebutuhan pangan penduduknya dari produksi dalam negeri 1 . Dalam kaitan
dengan komoditas beras, Indonesia pernah pertama kali mencapai swasembada pada
tahun 1994 dan berhasil mengekspor sebagian berasnya. Namun beberapa tahun
kemudian status swasembada beras secara perlahan tergerus dengan seiring
pertambahan jumlah penduduk dan meluruhnya kapasitas produksi beras dalam negeri.
Selanjutnya dan sampai sekarang, Indonesia menggunakan istilah swasembada “on
trend” dengan membuka kemungkinan untuk impor maksimal 10 persen dari jumlah
konsumsi.
Interpretasi atau penjelasan lebih detail yang tertuang dalam bagian „Penjelasan‟
dari UU No 18 2012 tidak cukup jelas dan masih dapat memicu perbedaan interpretasi.
Namun demikan, makalah ini tidak membahas lebih lanjut. Dari 5 definisi tersebut
diatas, sesuai judul makalah ini, penulis fokus kepada „ketahanan pangan‟ dan
mengkaitkannya dengan isu kemandirian. Penulis berpendapat bahwa yang paling
penting bagi Indonesia sebagai negara berdaulat dan berpenduduk besar (250 juta
jiwa) adalah langkah kongkrit dan berkelanjutan untuk meningkatkan kapasitas
1 Yang menarik definisi ‘swasembada pangan’ tidak masuk dalam UU no 18 2012. Alasannya adalah bahwa definisi
‘kemandirian’ dinilai lebih penting dan mencakup kondisi swasembada, dimana kemandirian dapat mencapai 100 persen (swasembada), kurang atau lebih dari 100 persen.
7
produksi pangan nasional yang berdaya-saing sehingga tercapai ketahanan dan
sekaligus kemandirian pangan. Semakin besar „kapasitas‟ Indonesia untuk memproduksi
produk pangan secara efisien maka semakin besar peluang Indonesia mencapai
ketahanan dan kemandirian pangan. Polemik dan „pro-kons‟ terkait dengan definisi
menjadi tidak lagi muncul.
PERKEMBANGAN KAPASITAS PRODUKSI PANGAN NASIONAL
Banyak faktor yang menentukan besarnya kapasitas produksi pangan nasional.
Salah satunya yang penting adalah ketersediaan lahan yang dapat ditanami tanaman
pangan. Ketersediaan lahan pada gilirannya menentukan luas pengusaan dan skala
usaha tani. Sayangnya pemerintah tidak menyadari hal ini. Terus berkurangnya luas
lahan sawah dan lahan kering untuk tanaman pangan, akibat konversi lahan ke
penggunaan non-pertanian dan perkebunan (khususnya kelapa sawit), mengakibatkan
kapasitas produksi pangan nasional semakin menurun. Dengan terus meningkatnya
kebutuhan pangan akibat terus meningkatnya jumlah penduduk dan berkembangnya
industri pangan, tidak mengherankan apabila Indonesia beberapa tahun terkahir
mengalami defisit pangan dan impor produk pangan terus meningkat. Kalau situasi ini
dibiarkan terus berlangsung, hampir dapat dipastikan dari sekarang, ketergantungan
terhadap pangan impor akan terus meningkat membuat Indonesia menjadi salah satu
negara importir pangan terbesar di dunia.
Tabel 1 memperlihatkan bahwa dalam periode 2005-2010, total luas lahan
pertanian di Indonesia hanya sedikit bertambah, dari 40.1 juta ha tahun 2005 menjadi
40.7 juta ha tahun 2010. Penambahan tersebut terjadi di areal sawah irigasi dan lahan
kering, sementara terjadi penurunan luas pada jenis lahan sawah non-irigasi dan lahan
terlantar. Statistik juga memperlihatkan bahwa sebagian besar dari pertambahan luas
lahan kering didominasi oleh usaha perkebunan, khususnya kelapa sawit.
Sampai saat ini Pulau Jawa masih menjadi penyedia pangan nasional. Konversi
lahan pertanian ke non-pertanian di Jawa terus berlangsung. Tabel 2 memperlihatkan
penurunan luas lahan sawah beririgasi di wilayah Pantura akibat dikonversi menjadi
8
kawasan industri dan sebagian untuk pembangunan jalan (tol). Selama periode 2005-
2010, luas lahan sawah irigasi di Jawa Barat menurun dari 748 ribu ha menjadi 674 ribu
ha, atau berkurang dengan laju 2 persen per tahun. Situasi ini perlu diwaspadai
mengingat sawah irigasi di Jawa Barat, khususnya di daerah Pantura, merupakan
sawah berigasi teknis. Berkurangnya luas lahan berigisasi teknis tentu saja akan
menurunkan produksi dan kontribusi Jawa Barat secara nyata. Situasi yang sama juga
terjadi di DI Yogyakarta. Lebih jauh, minimnya anggaran untuk pemeliharaan sarana
dan saluran irigasi membuat kualitas irigasi juga terus menurun. Situasi ini akan
semakin menurunkan kapasitas produksi beras (pangan) nasional.
Tabel 1. Luas Lahan Pertanian menurut Jenis di Indonesia, 2005-2010 (Juta Ha)
Jenis Lahan 2005 2010 Growth rataan
Sawah 7.8 8.1 0.8
Irigasi 4.4 5.7 5.9
non-irigasi 3.1 2.4 -4.5
Tegal 11.5 11.9 0.7
Ladang/Huma 5.2 5.3 0.4
Lahan terlantar 15.6 14.9 -0.9
Total 40.1 40.7 0.3
Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian.
Tabel 2. Perkembangan Lahan Sawah di Jawa, 2005-2010
Jenis lahan 2005 2010 Growth rataan
Sawah Irigasi 2483.9 2684.6 1.6
Jawa Barat 748.3 674 -2.0
Banten 116.7 156.9 6.9
Jawa Tengah 704.3 902.3 5.6
Yogyakarta 47.9 40.9 -2.9
Jawa Timur 866.7 910.5 1.0
Sawah Non-irigasi 791.8 758.5 -0.8
Jawa Barat 177.6 251.6 8.3
Banten 79.5 34.1 -11.4
Jawa Tengah 291.6 199.5 -6.3
Yogyakarta 9.3 31 46.7
Jawa Timur 233.8 242.3 0.7
Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian.
9
Terus merosotnya luas lahan pertanian (arable land) juga telah diutarakan oleh
beberapa penulis lain termasuk Kasryno (2013) dan Soemarno (2013). Menurut
Soemarno (2013), dari luas lahan yang dapat ditanami 24.9 juta ha, sekitar 11 juta ha
merupakan lahan perkebunan, sisanya 13.4 juta ha merupakan lahan sawah dan lahan
kering yang diperuntukan bagi usaha produksi tanaman pangan. Kalau tidak ada
penambahan area, maka pada tahun 2020 pengusaan lahan per kapita hanya 495 m2
turun dibandingkan pada tahun 2000 seluas 608 m2 per kapita (Soemarno, 2013).
Mengingat teknologi ada batasnya, maka masalah defisit pangan tidak mungkin
dipecahkan jika tidak dibarengi dengan perluasaan lahan yang dapat ditanami
(Soemarno (2013); Suyamto dan Zaini (2009)).
Tabel 3 memperlihatkan perkembangan penguasaan lahan pertanian per kapita
tahun di beberapa negara tahun 1970, 1990 dan 2010 (World Bank, 2012). Secara
keseluruhan, penurunan luas lahan per kapita terjadi di semua negara, yang berbeda
luas penguasaan dan laju penurunan. Eksportir utama produk pangan dunia umumya
adalah negara-negara yang mempunyai lahan pertanian dan penguasaan lahan per
kapita yang luas, seperti Australia, Brazil, Canada, Amerika Serikat, New Zealand, dan
Thailand. Oleh karena itu, agar Indonesia dapat mencapai ketahanan sekaligus
kemandirian dan surplus pangan, maka program intensifikasi harus disertai dengan
program ekstensifikasi yang didukung dengan perluasan lahan pertanian, khususnya
lahan sawah beririgasi baru.
Pemerintah, dipimpin oleh Presiden dan seluruh anggota Kabinet, seharusnya
segera menyadari situasi ini, dan segera mengambil langkah proaktif untuk menambah
luas lahan pertanian (pangan) dan mencetak lahan sawah baru. Penambahan lahan
pertanian dan pencetakan sawah di luar Jawa harus menjadi program nasional dan
prioritas kedepan. Terlepas adanya „Pro-Kons‟ waktu itu, progran „Sawah Sejuta Hektar‟
jaman pemerintah Orde baru merupakan langkah terobosan „kongkrit‟ yang didasari
oleh pemahaman pentingnya kecukupan lahan pertanian untuk mencapai ketahanan
sekaligus kemandirian pangan nasional. Presiden Suharto, berani mengambil keputusan
tidak populer dan melaksanakannya meskipun mengundang pro-kons. Sayangnya,
pemerintahan era reformasi tidak meneruskan langkah tersebut dengan mengambil sisi
10
positif dan meninggalkan sisi negatif, tetapi terlalu banyak „berwacana‟ tanpa dibarengi
langkah nyata untuk keluar dari permasalahan.
Tabel 3. Perkembangan Lahan Pertanian per Kapita di Beberapa Negara, 1970-2010.
Negara 1970 1990 2010
Argentina 1.0843 0.8146 0.9218
Australia 3.3273 2.8069 1.9292
Brazil 0.3644 0.3387 0.3602
Canada 2.0061 1.6374 1.2716
China 0.1223 0.1090 0.0832
Indonesia 0.1578 0.1134 0.0981
India 0.2892 0.1874 0.1306
Korea, Rep. 0.0674 0.0456 0.0305
Malaysia 0.0843 0.0933 0.0637
New Zealand 1.0549 0.7943 0.1142
Pakistan 0.3237 0.1844 0.1187
Philippines 0.1304 0.0885 0.0578
Thailand 0.3335 0.3092 0.2373
United States 0.9204 0.7438 0.5167
Vietnam 0.1318 0.0809 0.0740
Sumber: World Bank: World Development Indicators.
PERKEMBANGAN HARGA BEBERAPA PRODUK PANGAN
Kurangnya pasokan dan terus meningkatnya permintaan mengakibatkan
lonjakan harga. Situasi ini yang terjadi di pasar domestik untuk beberapa komoditas
pangan beberapa tahun terakhir ini. Lonjakan harga kedele dan harga beberapa produk
sayuran merupakan bukti kurangnya pasokan. Gambar 1, 2 dan 3, memperlihatkan
perkembangan dan fluktuasi harga eceran beras, kedele dan jagung beberapa tahun
terakhir disandingkan dengan harga paritas impor di tingkat eceran dari ketiga
kemoditas tersebut. Ketiga gambar memperlihatkan pola perkembangan harga yang
serupa, yakni berfluktuasi dan cenderung terus meningkat.
Kecuali untuk beras, harga eceran kedele dan Jagung selama periode 2009-2013 lebih
tinggi dibandingkan harga paritas impor di tingkat eceran. Perbedaan harga ini
memperlihatkan bahwa konsumen kedele dan jagung menanggung beban harga yang
11
lebih tinggi dibandingkan jika tidak ada hambatan impor. Selisih harga tersebut besar
kemungkinan dinikmati oleh importir dan pedagang dalam bentuk rente ekonomi
(keuntungan diatas normal), belum tentu petani ikut menikmatinya. Untuk beras agak
berbeda karena beras impor yang digunakan untuk perhitungan harga paritas adalah
beras kualitas Thai 5% broken yang kualitasnya lebih baik dibandingkan beras yang
beredar di pasar domestik pada umumya. Jika menggunakan beras kualitas Thai 20%
broken, dapat dipastikan harga eceran beras akan lebih tinggi dibandingkan harga
paritas impornya.
Relatif kecilnya fluktuasi harga ketiga komoditas tersebut merupakan hasil dari
intervensi pemerintah. Pemerintah menerapkan kebijakan stabilisasi harga untuk ketiga
komoditas tersebut, hanya berbeda dalam instrumen kebijakan yang dipergunakan.
Untuk beras, stabilisasi harga dilakukan dengan menugaskan BULOG mengelola stok
penyangga dan menerapkan operasi pasar dengan menetapkan Harga Pembelian
Pemerintah (HPP) dan Harga Jual Pemerintah (HJP), sementara untuk kedele dan
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
8000
9000
Jan
Mar
Me
i
Jul
Sep
No
v
Jan
Mar
Me
i
Jul
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l2009 2010 2011 2012 2013
Gambar 1: Harga Paritas Impor dan Eceran Beras di Jawa
H-Eceran H-Paritas
12
jagung intervensi pemerintah terbatas kepada pengaturan impor (membatasi dan
membuka kran impor) untuk mencegah gejolak dan lonjakan harga eceran kedua
komoditas tersebut. Sampai bulan Agustus 2013, Pemerintah belum menetapkan HPP
untuk kedele dan jagung dan belum menugaskan BULOG untuk mengelola stok
penyangga.
Beberapa bulan lalu Media ramai memberitakan gejolak harga kedele dan
langkah mogok berproduksi pengrajin tahu dan tempe sebagai bentuk tuntutan agar
pemerintah menurunan harga kedele. Tidak demikian halnya untuk komoditas jagung.
Ada beberapa alasan mengapa hal ini terjadi. Pertama, relatif masih rendahnya
ketergantungan terhadap impor jagung (rasio dibawah 10%) membuat kenaikan harga
jagung dunia tidak secara langsung memacu kenaikan harga eceran jagung di pasar
domestik. Kedua, jagung tidak dikonsumsi secara langsung melainkan sebagai bahan
baku pakan ternak sehingga gejolak harganya tidak langsung dirasakan oleh konsumen.
Oleh karena itu, lonjakan harga jagung tidak dirasakan langsung oleh konsumen rumah
tangga sehingga tidak menimbulkan keresahan rumah tangga. Berbeda halnya dengan
kedele, besarnya ketergantungan terhadap kedele impor membuat harga kedele
domestik ikut bergejolak seiring dengan gejolak harga kedele di pasar dunia. Kenaikan
harga kedele dunia ditransmisikan secara sempurna ke pasar domestik, yakni menaikan
harga kedele, harga tahu dan tempe yang merupakan menu keseharian masyarakat
Indonesia. Oleh karena itu, kenaikan harga kedele secara bersamaan meresahkan
pengrajin dan konsumen tahu dan tempe secara luas.
Dalam merespon tuntutan para pengrajin tahu-tempe, pemerintah mengambil
langkah adhoc-jangka pendek dengan menambah kuota impor kedele dan menentukan
patokan harga kedele di tingkat penrajin serta mengharuskan para impotir terdaftar
(IT) untuk menjual kedele ke pengrajin tahu-tempe pada tingkat harga tersebut. Untuk
kepentingan jangka menengah-panjang, pemerintah memutuskan untuk melakukan
stabilisasi harga kedele dengan menentukan HPP dan HJP kedele serta menugaskan
BULOG untuk menangani operasi pasar, terutama pembelian kedele pada saat panen
raya pada tingkat HPP tersebut. Namun, informasi yang penulis peroleh, pemerintah
tidak menyediakan anggaran untuk melaksanakan kebijakan dukungan harga (price
13
support) tetapi meminta BULOG untuk melaksanakannya dengan dana
komersial/BULOG. Kebijakan pemerintah seperti ini dinilai tidak serius dan belum jelas
apakah akan dilaksanakan oleh BULOG atau tidak.
0100020003000400050006000700080009000
10000
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
2009 2010 2011 2012 2013
Gambar 2: Harga Paritas Impor dan Eceran Kedele di Jawa
H-Eceran H-Paritas
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
7000
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
Sep
No
v
Jan
Mar
Mei Ju
l
2009 2010 2011 2012 2013
Gambar 3: Harga Paritas Impor dan Eceran Jagung di Jawa
H-Eceran H-Paritas
14
PRODUKSI, KEBUTUHAN DAN IMPOR PRODUK PANGAN
Sebagaimana disajikan dalam Tabel 4, produksi beras nasional terus meningkat
dari tahun ke tahun. Namun demikian, kebutuhan atau konsumsi beras juga terus
meningkat, melebihi peningkatan produksi. Akibatnya, sebagian dari tambahan
kebutuhan tersebut harus dipenuhi dari impor. Situasi inilah yang dihadapi oleh
Indonesia, tidak hanya beras tetapi juga produk pangan lain termasuk jagung dan
kedele.
Pada tahun 2006, misalnya, produksi beras 33.8 juta ton meningkat menjadi
40.8 juta ton pada tahun 2011. Meningkatnya kebutuhan beras memaksa Indonesia
harus tetap mengimpor beras bahkan dalam jumlah lebih besar, yakni meningkat dari
0.438 juta ton pada tahun 2006 menjadi 2.7 juta ton pada tahun 2011. Kenyataan ini
mengakibatkan rasio impor (terhadap total konsumsi) meningkat dari 1.3 persen
menjadi 6.3 persen. Meskipun masih dibawah 10 persen, peningkatan rasio impor beras
ini seharusnya menjadi perhatian serius pemerintah.
Perhatian serius perlu diberikan terhadap kenyataan bahwa lebih dari 50 persen
produksi padi/beras dihasilkan di pulau Jawa. Ketergantungan produksi beras (dan
produk pangan lain) ke pulau Jawa menjadi sangat rentan manakala konversi lahan
pertanian ke non-pertanian di Jawa semakin tidak terkendali, sementara perluasan
lahan untuk tanaman pangan, khususnya lahan sawah irigasi, di luar jawa tidak
dilakukan. Lebih dari 17 persen beras di produksi di Jawa Barat, sementara luas lahan
sawah irigasi di wilayah ini terus berkurang akibat konversi dengan laju penurunan 2
persen per tahun.
Kenyataan bahwa kebutuhan beras terus meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah penduduk haruslah menyadarkan para pemimpin, khususnya
Presidem sebagai Kepala Negara/Pemerintahan dan jajaran Kabinetnya, untuk segera
mengambil langkah kongkrit dan antisipatif untuk meningkatkan kapasitas produksi
beras nasional. Langkah antisipatif utama adalah dengan menambah luas lahan baku
tanaman pangan dan mencetak sawah irigasi baru, khususnya di luar Jawa. Menjadi
sangat ironis bilamana defisit beras dan pangan lainnya yang dihadapi selalu
15
diselesaikan dengan langkah adhoc-jangka pendek dengan cara menambah impor,
tanpa dibarengi dengan langkah jangka menengah-panjang untuk meningkatkan
kapasitas produksi melalui program perluasan area atau ekstensifikasi.
Dari sudut devisa, perluasan areal perkebunan sawit memang menguntungkan,
namun tidak seharusnya melupakan pentingnya untuk mempertahankan atau
meningkatkan luas areal tanaman pangan bila „ketahanan atau kemandirian‟ pangan
menjadi tujuan nasional. Bagaimana mungkin mencapai ketahanan pangan bila
pemerintah hanya mengandalkan kebijakan pembatasan atau pelarangan impor. Bisa
saja kemandirian pangan tercapai, dengan melarang atau membatasi impor, tetapi
dengan harga pangan mahal yang tidak terjangkau oleh konsumen secara luas,
termasuk para petani sendiri. Artinya, kemandirian pangan mungkin dapat tercapai
tetapi ketahanan pangan tidak.
Tabel 4. Produksi, Impor dan Kebutuhan Beras, 2005-2012
Tahun
Produksi
Gabah
Produksi
Beras Impor Permintaan Rasio
2005 na 190
2006 54455 33762 438 34200 1.3
2007 57157 35437 1396 36833 3.8
2008 60326 37402 289 37691 0.8
2009 64399 39927 250 40177 0.6
2010 66469 41211 688 41899 1.6
2011 65757 40769 2744 43513 6.3
2012 68956 42753 Na na Na
Situasi lebih rawan terjadi di kedele, dimana produksi kedele dalam negeri yang
sangat fluktuatif dan cenderung menurun sementara konsumsi terus meningkat.
Akibatnya impor kedele terus meningkat, dari 1.1 juta ton tahun 2006 meningkat
menjadi 2.1 juta ton tahun 2011 (Tabel 5). Ketergantungan terhadap impor meningkat
dari 60 persen menjadi 71 persen. Kalau situasi saat ini dibiarkan terus berlansung,
maka target kemandirian kedele hanya sekedar retorika dan impian belaka.
Pada tahun 2011, lebih dari 67 persen produksi kedele nasional dihasilkan di
Pulau Jawa. Jawa Timur merupakan penghasil kedele terbesar dengan kontribusi 43.1
16
persen, disusul Jawa Tengah 13.2 persen dan Jawa Barat 6.6 persen. Propinsi Aceh
merupakan penghasil kedele terbesar di Luar Jawa dengan kontribusi 5.9 persen,
sementara kontribusi propinsi-propinsi lain sebesar 26.7 persen dari total produksi
kedele 2011.
Tabel 5. Produksi, Impor dan Kebutuhan Kedele 2005-2011
Tahun Produksi Impor Permintaan Rasio
2005 na 1086
2006 748 1132 1880 60.2
2007 593 1420 2013 70.5
2008 776 1177 1953 60.3
2009 975 1321 2296 57.5
2010 907 1741 2648 65.7
2011 851 2089 2940 71.1
2012 783 Na Sumber: Statistik Pertanian, Kementerian Pertanian
Situasi serupa juga terjadi di jagung. Sebagaimana terlihat dalam Tabel 6,
produksi jagung nasional mengalami peningkatan dari 11.6 juta ton tahun 2006
menjadi 17.6 juta ton. Namun demikian, kenaikan konsumsi jagung untuk industri
pakan dan industri makanan membuat impor jagung meningkat drastic periode 2008-
2011, dari 0.265 juta ton menjadi 3.2 juta ton. Rasio atau ketergantungan terhadap
impor meningkat dari 1.6 persen menjadi 15.4 persen.
Produksi jagung nasional juga sangat tergantung ke Pulau Jawa, dimana 53.7
persen produksi jagung nasional tahun 2011 (17.6 juta ton) dihasilkan pulau Jawa. Dari
total produksi nasional tersebut, Jawa Timur memberikan kontribusi sebesar 31 persen,
disusul oleh Jawa Tengah dengan kontribusi 16 persen dan Lampung 10 persen.
Dengan meningkatnya persaingan penggunaan lahan di Jawa kedepan, produksi jagung
di Jawa dikuatirkan kontribusi produksi jagung di Jawa akan menurun dan
rasio/ketergantungan terhadap impor akan semakin bertambah.
17
Tabel 6. Produksi, Impor dan Kebutuhan Jagung 2005-2011
Tahun Produksi Impor Permintaan Rasio
2005 na 186 na Na
2006 11609 1775 13384 13.3
2007 13288 702 13990 5.0
2008 16317 265 16582 1.6
2009 17630 339 17969 1.9
2010 18328 1528 19856 7.7
2011 17643 3208 20851 15.4
2012 18962 na na na Sumber: Statistik Indonesia, Kementerian Pertanian
Dari data dan uraian diatas nampak jelas bahwa laju peningkatan produksi ketiga
komoditas pangan tersebut tidak dapat mengimbangi laju peningkatan
konsumsi/permintaan akibat pertambahan penduduk, perkembangan industri pangan
dan industri perunggasan. Gejolak dan lonjakan harga eceran yang terjadi merupakan
indikator situasi kelangkaan pasokan. Sampai saat ini, membuka kran impor menjadi
langkah ad-hoc pemerintah dalam upaya meredam gejolak harga. Merosotnya luas
lahan pertanian dan sawah di Jawa akibat konversi dipastikan akan memperburuk
situasi dan ketahanan pangan kedepan. Defisit pangan dan ketergantungan impor
kedepan semakin besar, akibatnya „kemandirian‟ menjadi sekedar „jargon‟ politik dan
impian belaka. Oleh karenanya, agar kemandirian pangan dapat dicapai tanpa harus
melanggar aturan WTO, menjadi keniscayaan dan keharusan bagi pemerintah untuk
menggulirkan program nasional ekstensifikasi produksi pangan didukung program
pencetakan sawah dan pembangunan sarana irigasi di Luar Jawa. Dalam ketentuan
WTO, program seperti ini termasuk kategori „Green Box‟ yang diperbolehkan.
WTO DAN ATURAN PERDAGANGAN PRODUK PERTANIAN
WTO adalah organisasi perdagangan Dunia yang beranggotakan Negara-negara,
baik kelompok Negara anggota pendiri maupun Negara anggota yang melalui proses
aksesi. Saat ini WTO beranggotakan 159 Negara anggota, terdiri dari 123 Negara
pendiri dan siasanya 36 Negara anggota lewat proses aksesi. Untuk menjadi anggota
WTO lewat proses aksesi melewati proses yang panjang dan membutuhkan waktu
18
lama. China, misalnya, menjadi anggota WTO lewat proses aksesi selama lebih dari 10
tahun dan harus melakukan berbagai “economic and trade reforms” sebelum akhirnya
diterima menjadi anggota WTO. Demikian pula Rusia, baru resmi diterima menjadi
anggota WTO tahun 2012 setelah melalui proses aksesi selama 15 tahun.
Aturan WTO bersifat mengikat (binding) bagi seluruh Negara anggota, tidak ada
pengecualian. Artinya, aturan WTO mengikat setiap negara anggota sehingga kebijakan
dan aturan perdagangan nasional tetap konsisten dengan ketentuan WTO. Adalah
menjadi kewajiban setiap negara anggota untuk menyelaraskan aturan dan kebijakan
perdagangannya sehingga konsisten dengan ketentuan WTO. Konsistensi aturan dan
kebijakan perdagangan nasional secara periodik dievaluasi oleh seluruh anggota WTO
dalam forum „Trade Policy Review Mechanism (TPRM)‟ dan laporan kuartalan Dirjen
WTO dalam sidang TPRB. Disamping itu, aturan WTO memberikan hak kepada anggota
untuk mempertanyakan atau menggugat aturan dan kebijakan nasional yang tidak
konsisten dengan ketentuan WTO dalam sidang regular komite dan kemungkinan
berakhir dalam proses penyelesaian sengketa dagang di forum „Dispute Settlement
Mechanism‟.
Aturan WTO yang terkait dengan perdagangan produk pertanian antara lain
adalah: (i) perjanjian di bidang pertanian (Agreement on Agriculture-AoA), (ii) aturan
Sanitary and Phyto-sanitary (SPS), (ii) aturan Import licencing, dan (iv) aturan General
Agreement on Tarif and Trade (GATT 1994). Perjanjian Pertanian (AoA) terutama
mencakup ketentuan tentang akses pasar sesuai „schedule of concession‟ Negara
anggota, ketentuan tentang subsidi domestik, ketentuan kompetisi ekspor, dan
ketentuan subsidi ekspor dan pembatasan larangan ekspor. Aturan SPS terutama terkait
dengan ketentuan „basic right and obligation‟, ketentuan harmonisasi, adaptasi kondisi
regional, dan ketentuan transparansi melalui notifikasi, control dan inspeksi. Aturan
„Import Licensing‟ mencakup ketentuan automatic import licensing dan non-automatic
import licensing. Aturan GATT 1994, antara lain terkait dengan ketentuan penerapan
Most Favored Nation (MFN), ketentuan „National Treatment on internal taxation and
regulation‟, ketentuan tentang „General Elimination of Quantitative Restriction‟, dan
General Assistance to Economic Development. Perdagangan produk pertanian juga
19
terikat oleh aturan WTO lainnya, seperti ketentuan Technical Barriers to Trade (TBT),
State Trading Enterprises (STE), Anti-dumping and Counterveiling Measures, Safeguard
dan trade defense lainnya.
KEBIJAKAN PERDAGANGAN DAN INSTRUMEN PEMBATASAN IMPOR
Secara umum, kebijakan pengaturan dan pembatasan impor diperlukan untuk
melindungi petani dan produk pertanian domestik agar tidak merugi atau tersingkir
akibat melimpahnya produk impor. Dalam teori perdagangan internasional, dikenal
argumen „Terms of Trade‟ dan „Domestic market failure‟ sebagai justifikasi penerapan
proteksi perdagangan. Teori dan ilmu perdagangan internasional memberikan landasan
teoritis untuk memilih instrumen kebijakan impor yang efektif dan tidak berdampak
negatif terhadap konsumen dan perekonomian. Sejalan dengan landasan teoritis,
aturan WTO juga mengatur instrumen pembatasan impor yang „less trade distorting‟.
Aturan WTO, sebagaimana tertuang dalam GATT 1994 Article XI “General
Elimination of Quantitative Restriction” melarang negara anggota menerapkan restriksi
kuantitatif, termasuk kuota impor, dan menggantikannya dengan tariff (tariffication)
karena didasari landasan teoritis dan bukti empiris bahwa kuota impor tidak transparan
dan lebih distortif dibandingkan tariff impor. Namun demikian, disamping
memanfaatkan bound tariff, masih ada instrumen pembatasan impor dan perlindungan
kepada produsen domestik antara lain, lisensi impor, standar atau technical barriers to
trade, „trade remedies‟ (anti-dumping, safeguard, anti-subsidy dan counterveiling
measures) dan instrumen trade defense lainnya. Indonesia dapat menaikan tarif impor
dan mengkombinasikan dengan kebijakan lisensi impor secara „automatic‟ untuk
melindungi petani produsen di Indonesia dari serbuan produk pangan impor.
Secara teoritis tariff impor lebih „superior‟ dibandingkan kuota (Timmer, 1986;
Krugman dan Obstfeld, 2003). Pertama, pemerintah menerima „revenue‟ dari tariff
impor yang berlaku. Kedua, tariff impor dikenal sebagai „the second best policy‟ karena
„less trade distorting‟ dan lebih transparan dibandingkan kuota. Ketiga, tariff impor tidak
menyuburkan praktek „rent seeking‟. Keempat, kebijakan tariff tidak mengakibatkan
20
melonjaknya harga produk yang bersangkutan di pasar domestik manakala terjadi
kenaikan permintaan, sebaliknya terjadi untuk kebijakan kuota impor (Erwidodo dan
Sayaka, 2013).
Permasalahnya adalah apakah kebijakan menaikan tariff impor dimungkinkan
dalam konteks FTA (ASEAN)? Ada pemahaman banyak pihak, baik di Kemendag
maupun Kementan, bahwa instrumen „import tariff‟ tidak lagi efektif dalam memberikan
perlindungan kepada petani dan produsen domestik umumnya, karena tingkat tariff
impor di AFTA dan ASEAN+partner umumnya sdh „rendah‟ dan bahkan „zero‟. Mereka
berpendapat bahwa menaikan tarif tidak berlaku bagi Negara anggota ASEAN dan
ASEAN+partner. Mereka berpandangan bahwa kalau Indonesia menaikan tarif impor,
harus melakukan renegosiasi dengan seluruh anggota ASEAN dan ASEAN+partner,
sedangkan kalau menerapkan kuota impor tidak perlu renegosiasi. Tidak mengherankan
kalau kuota impor belakangan menjadi populer dan menjadi andalan Kemendag
maupun Kementan2.
Benarkah pemahaman seperti itu? Memang benar, dalam perdagangan intra-
ASEAN, pemerintah Negara ASEAN tidak lagi leluasa menerapkan kebijakan tariff,
kecuali dalam situasi emergensi akibat lonjakan impor yang menyebabkan atau
mengancam akan menyebabkan kerugian petani produsen, sebagaimama diatur dalam
Artikel 6 tentang „Emergency Measures‟ perjanjian CEPT-AFTA (1992) dan Chapter 9
ATIGA (ASEAN Trade in Good Agreement) tentang „Trade Remedy Measures‟, artikel 86
tentang „safeguard measure‟ dan artikel 87 tentang „Anti-dumping and Countervailling
Measures‟.
Dengan demikian, dalam perdagangan intra-ASEAN pemerintah Negara anggota
masih dapat menerapkan kebijakan tarif untuk melindungi petani dan sektor pertanian,
sesuai dengan aturan yang telah disepakati. Bilamana terjadi lonjakan produk impor
yang merugikan atau berpotensi merugikan petani, Negara anggota ASEAN dapat
menerapka tariff beamasuk sesuai dengan aturan general safeguard-WTO, Demikian
juga, jika terjadi lonjakan impor akibat „dumping‟ yang diterapkan oleh Negara eksportir
2 Pemahaman ini secara resmi tercermin dalam Nota Dinas dari Kepala Badan Ketahanan Pangan kepada Menteri Pertanian, tanggal 7 Mei 2013, tentang pertimbangan penggunaan tarif impor produk hortikultura
21
anggota ASEAN, maka pemerintah dapat menerapkan „anti-dumping measures‟ berupa
kenaikan tariff bea-masuk, sesuai dengan aturan Anti-Dumping Measures WTO. Namun
Negara anggota yang menerapkan kebijakan „safeguard‟ dan „anti-dumping‟ tersebut
harus dapat membuktikan terjadinya lonjakan impor yang secara potential akan
merugikan petani.
KEBIJAKAN HARGA DAN KETAHANAN PANGAN
Hampir semua pemerintahan/negara di dunia melakukan kebijakan harga dan
intervensi pasar terhadap produk pangan utama (Timmer, 1986). Kebijakan harga
dilakukan pemerintah dengan cara mempengaruhi besar-kecilnya kuantitas dan
distribusi dari produk di pasar. Umumnya intervensi pemerintah hanya fokus ke proses
pembentukan (formasi) harga sedangkan fungsi „engineering‟ lain dari pemasaran suatu
produk, yakni fungsi transportasi, pengelolaan cadangan (storage) dan pengolahan
produk, diserahkan kepada meanisme pasar. Kebijakan harga yang mengkombinasikan
intervensi pemerintah dan mekanisme pasar semacam ini yang paling banyak
diterapkan, termasuk di negara yang menganut sistem pasar bebas. Kebijakan harga
semacam ini tidak memerlukan anggaran pemerintah dan efektif dalam menekan
gejolak dan fluktuasi harga pangan.
Secara umum formasi harga terdiri dari: (i) determinasi harga domestik untuk
petani dan konsumen relative harga paritas dan harga produk pangan lain, (ii)
stabilisasi harga pangan domestic terhadap pengaruh fluktuasi harga pangan dunia,
dan (iii) penentuan „margin harga‟ antar wilayah dan antar waktu (transportasi dan
storage), serta margin harga antar bentuk produk akibat pengelolahan produk (Timmer,
1986; Newbery and Stiglitz, 1981). Sangat mungkin kebijakan harga hanya berfokus
tujuan pertama, yakni pembentukan harga domestik. Penerapan tariff impor, tanpa
intervensi lainnya, hanya membuat harga domestik lebih mahal dibanding harga paritas
impornya. Tujuannya terutama untuk memperoleh penerimaan negara dari tariff dan
tidak untuk tujuan stabilisasi harga dari produk pangan yang bersangkutan.
22
Kebijakan stabilisasi harga pangan merupakan salah satu kebijakan penting
untuk menjamin harga layak bagi produsen untuk keberlansungan usahatani dan
ketahanan pangan. Stabilisasi harga tidak hanya untuk kepentingan produsen tetapi
juga konsumen, yakni kebijakan harga yang bertujuan untuk menjamin harga „layak‟
(remunerative) bagi produsen dan pedagang tetapi masih terjangkau konsumen.
Pertanyaan yang sering muncul adalah berapa tingkat harga yang dipandang layak dan
harga mana yang dijadikan pembanding?
Bagaimana menentukan harga „layak‟ bagi petani dan konsumen domestik dalam
situasi pasar dunia yang terdistorsi. Demikian juga, berapa nilai tukar yang seharusnya
dipergunakan?. Dalam bukunya „Getting Prices Right‟ Timmer (1986) membahas “harga
tepat” untuk produk pertanian. Terlepas perlunya catatan dan koreksi, harga
perbatasan “border price” masih tetap penting sebagai referensi dalam menentukan
harga layak untuk produk pertanian tertentu. Dalam pasar bersaing, pembentukan
harga domestik yang mengacu kepada harga perbatasan menghasilkan tingkat
kesejahteraan masyarakat maksimum. Namun, mengingat pasar tidak bersaing
sempurna dan kenyataan bahwa pasar dunia “terdistorsi” maka diperlukan koreksi
terhadap penggunaan harga perbatasan dengan pendekatan „harga bayangan (shadow
price)‟ atau dengan rataan harga untuk jangka waktu tertentu. Pendekatan serupa juga
dilakukan untuk memilih nilai tukar.
Kebijakan harga tidak selalu bertentangan dengan mekanisme pasar. Namun,
kebijakan harga yang menggunakan pembatasan impor kuantitatif (kuota) mendistorsi
mekanime pasar dalam pembentukan harga keseimbangan. Kebijakan harga yang tetap
membuka peluang terjadinya proses pembentukan harga antar wilayah, waktu dan
bentuk produk serta interaksi antar penjual-pembeli secara kompetitif masih tetap
dapat mencapai efisiensi eonomi. Dengan demikian, penerapan kebijakan harga tidak
selalu bertentangan dengan mekanisme pasar bebas dan kalau dilakukan dengan „tepat‟
justru dapat mengkoreksi kegagalan pasar untuk tujuan melindungi petani dan
konsumen.
23
ATURAN WTO DAN STABILISASI HARGA
Awal tahun 2013, Presiden memberikan penugasan kepada kementerian terkait
dan Perum Bulog untuk melaksanakan pengelolaan cadangan dan stabilisasi harga 4
komoditas pangan lain, disamping beras, yaitu kedele, jagung, gula dan daging sapi.
Belum sampai rencana ini dilaksanakan, ada wacana yang berkembang agar
pemerintah perlu hadir dan proaktif dalam menjamin stabilisasi harga pangan lainnya
termasuk sayuran (cabe, bawang merah dan bawang putih) yang juga sering
mengalami gejolak harga akhir-akhir ini.
Dalam diskusi terbatas yang dikoordinasi oleh Staff Khusus Presiden Bidang
Pangan dan Energi, dibahas beberapa pertanyaan berikut : (i) apakah aturan WTO
melarang Negara anggota untuk menerapkan kebijakan stabilisasi harga pangan dan
„public stock holding‟, (ii) apakah aturan WTO melarang Negara anggota untuk
memberikan hak monopoli impor kepada state trading Enterpises (STE), (iii) Negara-
negara mana yang menerapkan program stabilisasi dan stok penyangga ?
Aturan WTO tidak melarang Negara anggota untuk melakukan kebijakan harga.
Secara umum Article GATT XXXVIII 1994 bahkan memberikan hak Negara anggota
untuk melakukan „joint action including action through international arrangements to
stabilize and improve conditions of the world markets in commodities‟. Tidak ada aturan
WTO yang melarang keterlibatan STE. Namun demikian ada aturan yang mengharuskan
Negara anggota untuk memperlakukan STE konsisten dengan “general principles of
non-discriminatory treatment” dalam kegiatan impor dan ekspor yang diberlakukan bagi
pemain swasta (Understanding on the interpretation of Artcle XVII of GATT 1994).
Tidak ada aturan WTO yang melarang Negara memberikan hak monopoli kepada STE
sepanjang tidak melanggar prinsip-prinsip Most Favored Nation (MFN) and National
Treatment yang merugikan Negara anggota lain. Upaya untuk
membatasi/mendisiplinkan STE sedang dalam proses perundingan Doha (DDA) yang
sampai sekarang belum selesai.
Namun demikian, mengingat program stabilisasi harga secara langsung terkait
dengan peran pemerintah untuk melakukan intervensi pasar, mengatur impor dan
24
ekspor serta mengelola stock, maka dalam pemilihan “policy instruments” dan
pelaksanaannya perlu konsisten dengan aturan WTO. Misalnya, dalam pengelolaan
stock, operasi pasar (pembelian oleh STE pada saat musim panen dan penjualan saat
musim paceklik) perlu mengacu kepada aturan WTO tentang “domestic subsidy”
(aturan de minimis dan amber box). Demikian juga aturan WTO melarang pemerintah
Negara anggota melakukan pelarangan impor/ekspor dan menerapkan restriksi
kuantitatif (quota) kecuali disebutkan/termasuk dalam Schedule of commitment tahun
1994 (UR disepakati). Dengan demikian, program stabilisasi harga tidak dilarang tetapi
pemilihan instrument kebijakan “subject to” atau harus “compliance with” aturan WTO
yang berlaku.
Negara-negara anggota WTO yang menerapkan program stabilisasi harga antara
lain India, China, Pakistan, Singapura, Malaysia, Philipina, Thailand, Korea Selatan,
Turki, Swiss, Finlandia dan Estonia. Hampir semua Negara „net-food importing‟,
pemerintahnya melaksanakan program stabilisasi harga pangan, menggunakan
berbagai instrumen kebijakan mulai dari pengaturan/pembatasan impor, public
stockholding dan operasi pasar. Seperti Indonesia, India dan China menerapkan
program stabilisasi melalui pengaturan impor, pembelian pemerintah dan pengelolaan
stok, serta melakukan operasi pasar.
KEBIJAKAN STABILISASI HARGA KEDELE
Untuk kedele pemerintah telah memutuskan untuk melakukan stabilisasi harga
dengan menugaskan Bulog untuk melakukan pembelian kedele petani, melakukan
impor dan mengelola cadangan (stok penyangga), serta melakukan penjualan (operasi
pasar) saat pasokan ke pasar langka dan harga kedele melonjak. Pada awal Juli 2013,
pemerintah lewat Permendag 25/M-Dag/Per/6/2013 menetapkan HPP kedele petani
seharga Rp7000 per kg, dan lewat Permendag no 26/M-Dag/Per/6/2013 memutuskan
untuk melakukan penjualan kedele ke pengrajin tahu dan tempe per 1 Juli 2013 dengan
harga Rp7450 per kg. Selanjutnya, melalui Permendag 37/M-Dag/Per/6/2013
25
menugaskan Bulog untuk penjualan ke pengrajin tahu dan tempe per 1 Agustus dengan
harga jual Rp7700 per kg.
Kebijakan stabilisasi harga kedele tidak berjalan efektif terlihat dari kenyataan
terus meningkatnya harga kedele di tingkat pengrajin diatas Rp9500 per kg. Salah satu
penyebabnya adalah terus meningkatnya harga kedele impor seiring dengan kenaikan
harga kedele di pasar dunia dan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap US dollar.
Diperoleh informasi bahwa Bulog diminta untuk melakukan operasi pasar dengan „dana
komersial‟, tidak didukung dengan „dana pemerintah‟ sebagaimana dilakukan untuk
stabilisasi harga beras. Situasi inilah yang membuat kebijakan stabilisasi harga kedele
tidak berjalan efektif. Ketersediaan „anggaran pemerintah‟ untuk pengelolaan cadangan
dan operasi pasar merupakan suatu keniscayaan agar kebijakan stabilisasi harga suatu
komoditas pangan tertentu berjalan efektif. Keniscayaan ini menjadi semakin nyata
pada situasi dimana Bulog diwajibkan untuk membeli kedele pada tingkat harga subsidi
(HPP) dan menjual stok penyangga dibawah harga keseimbangan pasar.
Apa yang sebaiknya dilakukan pemerintah agar stabilisasi harga kedele berjalan
efektif? Mungkinkah stabilisasi harga berjalan efektif tanpa anggaran pemerintah yang
besar? Jawabannya mungkin, yakni dengan mengkombinasikan peran Perum Bulog
sebagai pengelola stok penyangga dan kebijakan impor yang lebih terbuka dan
transparan dengan instrumen tariff impor dan automatic import licensing, dimana Bulog
bersama Importer Terdaftar (IT) sebagai pelaku impor. Pemerintah harus mendorong
agar swasta (importir) berkembang agar bisa lebih cepat merespon signal yang muncul
baik di pasar domestik maupun pasar dunia. Stok penyangga yang dikelola Bulog masih
tetap diperlukan, namun jumlahnya relatif kecil. Agar dapat befungsi efektif, Perum
Bulog membutuhkan keuangan yang kuat, manajemen handal dan jadwal pembelian
dan penjualan yang ketat. Kebijakan stabilisasi harga pangan di beberapa Negara
terbukti berjalan efektif melalui kombinasi kebijakan pengelolaan stok penyangga dan
kebijakan perdagangan (impor) secara transparan.
Pemerintah menerapkan tariff impor optimum, yakni tingkat tarif impor yang
menjamin keuntungan layak bagi petani dan harga eceran yang terbentuk tidak
memberatkan konsumen (Erwidodo dan Sayaka, 2013). Dengan tingkat tarif optimum
26
ini, semua IT dan Bulog dapat melakukan impor sepanjang mereka membayar tariff
impor yang berlaku. Bulog dapat menjalankan perannya untuk mengamankan HPP,
melakukan impor untuk mengisi stok penyangga, dan melakukan operasi penjualan
manakala harga di pasar domestik melebihi HJP yang ditetapkan pemerintah.
Secara ringkas langkah yang harus diambil dalam melakukan kebijakan stabilisasi
harga pangan adalah sebagai berikut:
(1) Menghitung berapa Break Even Point (BEP)3 dan tingkat harga yang membuat
produsen memperoleh keuntungan yang wajar untuk terus berusahatani
komoditas dimaksud
(2) Secara periodik menghitung dan menetapkan Harga Pembelian Pemerintah
(HPP) dan Harga Jual Pemerintah (HJP). Pengamanan kedua „administered
prices‟ ini dilakukan oleh Perum Bulog melalui operasi pembelian kedele petani
khususnya saat musim panen raya, manakala harga farm-gate kedele anjlok, dan
penjualan kedele ke pasar manakala harga pasar melampaui HJP.
(3) Melakukan pengendalian impor untuk mencegah membanjirnya kedele impor ke
pasar domestik khususnya bila harga kedele impor jauh lebih murah dari harga
di pasar domestik. Dalam situasi ini pemerintah perlu menerapkan tarif impor
optimum agar HPP dapat diamankan berlakunya. Instrumen kuota impor harus
dihindari, karena melanggar ketentuan WTO dan berpotensi menyuburkan
perilaku mencari rente ekonomi (rent seeking behavior) serta sangat rawan
terhadap penyalah-gunaan wewenang dan suap-menyuap.
(4) Kebijakan pengendalian atau pembatasan impor harus dilakukan secara
transparan, yakni dengan menerapkan „automatic import licensing‟. Pemerintah
harus bertindak sebagai promotor persaingan sehat, tidak malah sebaliknya.
Kebijakan lisensi impor ekstra ketat yang membatasi jumlah importir dengan
persyaratan-persyaratan berlebihan justru membuka peluang terjadinya pasar
3 Ketersediaan data ‘Struktur Ongkos Usahatani’ yang ‘reliable’ dan ‘updated’ menjadi sangat penting untuk mengetahui biaya produksi dan keuntungan petani. Sampai dengan akhir tahun 1990an, BPS secara rutin melakukan survei dan mempublikasikan data ini, namum kemudian ditiadakan. Lewat tulisan ini, penulis mengusulkan agar BPS kembali melakukan kegiatan survei dan mempublikasi data ‘struktur ongkos usahatani’ sebagai referensi resmi untuk menentukan HPP dan HJP dalam perumusan kebijakan impor dan kebijakan stabilitas hraga pangan (strategis).
27
tidak bersaing/oligopoli, praktek kartel dan imperfeksi pasar lain yang merugikan
konsumen dan perekonomian. Pengalaman selama ini membuktikan situasi ini,
dan pemerintah tidak mampu mencegah atau mengendalikan. Gejolak dan
lonjakan harga daging sapi dan kedele belakangan ini menjadi bukti adanya
imperfeksi pasar sebagai akibat kesalahan kebijakan pemerintah (policy failure).
(5) Untuk melaksanakan kebijakan stabilisasi harga kedele dan empat produk
strategis lain (beras, jagung, gula dan daging sapi), pemerintah menugaskan
Perum Bulog sebagai Badan Penyangga untuk mengelola stock penyangga dan
melakukan operasi pasar guna menjamin berlakunya HPP dan HJP.
(6) Mengingat kebijakan stabilisasi harga terkait dengan anggaran pemerintah
(subsidi) dan untuk menghindari polemik politik (terkait Hak Budget DPR), perlu
disiapkan UU Stabilisasi Harga Pangan dan aturan pelaksanaan sebagai payung
hukum bagi pemerintah dan kementerian terkait untuk meyiapkan dan
membelanjakan anggaran „subsidi‟ stabilisasi harga pangan.
Butir ke-6 diatas sangat penting mengingat kebijakan ini mmemerlukan
anggaran pemerintah/Negara. Dengan adanya UU seperti ini, secara politik DPR telah
memberikan mandat kepada pemerintah untuk menganggarkan dan membelanjakan
dana publik untuk stabilisasi harga ke-5 komoditas pangan strategis diatas. Keberadaan
anggaran ini mirip dengan „Dana Pengadaan Pangan dan Stabilisasi Harga Pangan‟ di
masa Orde Baru. Bedanya adalah sekarang pemerintah harus mengikuti aturan dan
disiplin anggaran dan Bank Indonesia tidak lagi dalam pengaruh langsung pemerintah.
Pada masa Orde Baru anggaran tersebut berasal dari „Kredit Likuiditas Bank Indonesia
(KLBI)‟ yang jumlahnya tidak terbatas tergantung kebutuhan dan BI berada dalam
komando pemerintah. Artinya, kebijakan stabilisasi harga pangan kedepan menuntut
akuntabilitas anggaran dan kredibilitas Pemerintah dan Bulog.
Agar efektif, kebijakan stabilisasi harga pangan harus menjadi keputusan politik
dan dipayungi oleh UU. Kebijakan ini menjadi terbuka dan transparan baik dalam
pelaksanaan maupun pertanggung-jawaban anggarannya. Perum Bulog sebagai
pengelola stok penyangga dan pelaksana operasi pasar mempunyai kepastian hukum
28
dalam melaksanakan tugas stabilisasi dan didukung dengan anggaran yang cukup dan
jelas keberadaannya. Penggunaan anggaran stabilisasi harga pangan harus dimonitor
dan di-audit secara ketat, pemerintah harus transparan dan bersedia memfasilitasi
kelompok-kelompok penggiat pemberantasan korupsi untuk ikut memonitor
penggunaan anggaran ini.
Langkah transparansi anggaran seperti diatas juga sesuai dengan aturan „subsidi
domestik‟ di WTO. Negara anggota berkewajiban untuk menotifikasikan anggaran
„subsidi domestik‟ dalam kategori „Amber box‟ yakni subsidi yang dinilai akan
mendistorsi pasar dan perdagangan. Bagi Negara berkembang umumnya termasuk
Indonesia, batas maksimum subsidi domestik mengacu ketentuan „de minimis‟, yakni
10% dari nilai total produksi pertanian (Value of Agricultural Production). Sampai saat
ini, Indonesia baru sekali menyampaikan notifikasi subsidi domestik, yakni pada tahun
2005. Alasannya adalah anggaran subsidi domestik yang dikeluarkan pemerintah
secara total maupun per komoditas pertanian tidak pernah diketahui dan dihitung
berapa besarnya. Dengan transparansi anggaran seperti tersebut diatas, tidak akan
ada kesulitan lagi untuk memenuhi kewajiban notifikasi di WTO.
Kebijakan stabilisasi harga kedele akan lebih mudah dilakukan pada saat harga
kedele di pasar dunia lebih murah dibandingkan harga di pasar domestik. Dalam situasi
ini, yang harus dilakukan pemerintah adalah pengendalian/pembatasan impor dengan
penerapan tariff impor optimum agar petani, tidak dirugikan oleh banjir impor kedele
dari manca-negara. Dengan tarif impor optimum harga kedele eceran di pasar domestik
akan meningkat tetapi tidak kelewat tinggi sehingga tetap terjangkau konsumen secara
luas.
Polemik muncul pada saat harga dunia kedele tinggi seperti saat ini. Meskipun
semua hambatan impor termasuk tariff telah dihilangkan, harga kedele impor masih
kelewat tinggi karena depresaiasi nilai tukar rupiah terhadap dollar AS. Dalam kondisi
seperti ini, komitmen pemerintah untuk menjamin stabilisasi harga diuji. Pemerintah
harus konsisten untuk menjamin berlakunya HJP. Tentu saja pemerintah harus
menanggung biaya subsidi, yakni selisih harga pasar dengan HJP. Dalam situasi seperti
ini, keberadaan UU Stabilisasi Harga Pangan sebagaimana dibahas diatas sangat
29
diperlukan sebagai pijakan hukum dalam menyiapkan dan menggunakan anggaran
(APBN).
Ulasan diatas sebagai ilustrasi „kehadiran‟ pemerintah/Negara dalam mengatasi
masalah instabilitas harga dan keberpihakan kepada petani produsen dan konsumen
komoditas pangan secara luas. Kebijakan stabilisasi harga berperan sangat penting
dalam mendukung program peningkatan produksi dan produktivitas untuk mencapai
ketahanan dan swasembada pangan secara berkelanjutan. Dari ulasan diatas dan
instrument yang dipergunakan, sangat jelas bahwa kebijakan stabilisasi harga pangan
mencakup tidak hanya „border measures‟ tetapi juga „measures beyond the border‟.
Keberadaan program peningkatan produksi dan produktivitas yang kongkrit dan
terukur, sebagaimana dibahas diatas, harus menjadi komitmen politik Negara agar
ketahahan pangan secara berkelanjutan dapat dicapai.
Pengalaman negara lain memperlihatkan bahwa kebijakan stabilisasi harga yang
dikombinasikan dengan kebijakan impor secara transparan dapat berjalan efektif tanpa
perlu anggaran publik (stok penyangga) yang besar. Instrumen kebijakan lain yang
efektif dalam menghadapi instabilitas harga pangan adalah sistem resi gudang
(warehouse receipt system).
SISTEM RESI GUDANG
Sifat musiman dari produksi pertanian pada umumnya rentan terhadap fluktuasi
dan gejolak harga. Harga jatuh pada saat musim panen raya (peak harvest season) dan
naik pada saat non-musim (off season). Banyak negara, khususnya negara maju,
memiliki instrumen untuk menghadapi fluktuasi harga produk pertanian, mulai dari
bursa berjangka komoditas, sistem kontrak serah (future contract) sampai ke Sistem
Resi Gudang-RSG (warehouse receipt system). Sistem ini sudah lama diterapkan di
banyak negara, termasuk negara berkembang pengekspor produk pertanian. SRG baru
mulai dikenal di Indonesia sejak terbitnya UU No 9/2006 tentang Resi Gudang, dan
mulai diterapkan secara bertahap sejak tahun 2007.
30
Resi Gudang (RG) adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di
suatu gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang dan merupakan sekuriti yang
menjadi instrumen perdagangan. RG merupakan surat berharga yang dapat
diperdagangkan, diperjaul-belikan, dipertukarkan atau digunakan sebagai jaminan bagi
pinjaman maupun dapat dipergunakan untuk pengiriman barang dalam transaksi
derivative seperti halnya kontrak serah (future contract). RG dapat digunakan oleh
petani untuk memperoleh kredit pembiayaaan dari per-bank-an untuk usahataninya.
SRG sangat cocok untuk komoditas pertanian yang rentan terhadap fluktuasi
harga. Untuk mengatasi masalah anjloknya harga saat panen raya, petani dapat
menyiasatinya dengan cara menunda penjualan produksinya, tetapi tetap mendapatkan
uang tunai untuk melaksanakan usahatani dan menyambung hidup keluarganya. SRG
merupakan alternatif bagi petani untuk melakukan strategi pemasaran hasil
produksinya.
Sesuai Permendag No 26/M-DAG/PER/2007, pemerintah telah menetapkan 8
komoditas pertanian sebagai produk yang dapat disimpan di gudang dalam
penyelenggaraan SRG, yaitu: gabah, beras, kopi, kakao, lada, karet, rumput laut dan
jagung, belakangan menyusul dua tambahan produk yaitu rotan dan garam. Adapun
persyaratannya produknya adalah: (i) memiliki daya simpan minimal 3 bulan, (ii)
memenuhi standar mutu tertentu, dan (iii) memenuhi jumlah minimum yang disimpan.
Bank dan Lembaga Keuangan yang telah berpartisipasi dalam menyalurkan pembiayaan
resi gudang, antara lain, Bank BRI, Bank Jabar, Bank Jatim, Bank Kalsel.
Data resmi dari Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi (Bappebti),
Kementerian Perdagangan, memperlihatkan bahwa pelaksanaan SRG masih terbatas,
meskipun terjadi peningkatan cukup nyata dalam peneribitan resi gudang selama tiga
tahun terakhir (Gambar 4). Sejak 2008-November 2013, dilaporkan 1216 resi gudang
telah diterbitkan dengan total nilai Rp213 milyar, mencakup 1070 RG untuk gabah
dengan nilai Rp 197 milyar, 77 RG untuk beras dengan nilai Rp 32 milyar, 45 RG untuk
jagung dengan nilai Rp 4 milyar, sisanya 24 RG untuk produk lain dengan nilai Rp 3.1
milyar. Dari total RG yang telah diterbitkan, sebanyak 975 pemilik RG memperoleh
kredit dari lembaga keuangan/perbankan dengan total nilai kredit Rp141 milyar. Dari
31
total nasabah penerima kredit 863 pemilik RG gabah dan 61 pemilik RG beras dengan
total nilai kredit masing-masing sebesar Rp 119 milyar dan Rp 17 milyar.
Menteri Perdagangan (2013) menyatakan bahwa Indonesia kekurangan gudang
penyimpanan pangan, yang bisa dikelola secara modern untuk menerapkan SRG.
Menurut Mendag, saat ini baru ada 81 unit dan hanya mampu menampung 5 persen
kebutuhan pangan (beras) nasional. Kondisi ini sangat merugikan petani, yang sulit
mendapatkan kepercayaan kredit dari bank, karena tak ada bukti kepemilikan hasil
produksi yang dapat dijadikan jaminan (agunan) untuk memperoleh kredit perbankan.
Mendag menyatakan perlunya situasi ini terus disuarakan agar pemerintah bersedia
menambah anggaran untuk membangun gudang modern. Pertanyaannya adalah
mengapa Mendag (Kemendag) tidak mengusulkan rencana ini ke Menteri Keuangan
(Kemenkeu) dan Ka-Bappenas dalam sidang Kabinet yang dipimpin oleh Presiden?
Bukankah keberadaan SRG merupakan amanat Undang-Undang yang harus
dilaksanakan oleh pemerintah? Mengapa Mendag masih harus berwacana di dalam
Seminar?
Jika pemerintah benar-benar serius untuk membangun sektor pertanian,
membantu dan melindungi petani dari masalah anjloknya harga saat musim panen
serta memfasilitasi petani untuk memperoleh kredit perbankan maka sudah seharusnya
pemerintah melaksanakan amanat UU SRG No 9/2006 secara penuh. Jika SRG
diterapkan secara meluas di seluruh propinsi, maka instabilitas harga produk pangan
dapat dikurangi, petani memperoleh margin keuntungan lebih besar serta dapat
memperoleh kredit perbankan untuk usahataninya. Pemerintah tidak harus melakukan
program „stabilisasi harga pangan‟ secara konvensional dengan mengelola stok
penyangga yang memerlukan anggaran besar. Stok penyangga pemerintah (yang
dikelola BULOG) tidak perlu terlalu besar, digantikan oleh stok swasta (pedagang) dan
petani yang dibentuk lewat SRG. Disamping itu, penerapan SRG yang memerlukan
syarat „standar mutu‟ akan mendorong dan membudayakan petani untuk menghasilkan
produk yang memenuhi standar mutu.
32
Standar mutu menjadi penting tidak hanya karena menyadi syarat penerbitan RG tetapi
sangat „urgent‟ untuk menghadapi pasar tunggal ASEAN dengan diberlakukannya
Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Perdagangan antar negara ASEAN (intra-ASEAN
trade) bebas hambatan tariff, namun harus memenuhi standar mutu yang disepakati
bersama. Jika Indonesia tidak segera membenahi, mensosialisasikan dan menerapkan
standar mutu secara wajib (Standar Nasional Indonesia-SNI) maka produk pangan
Indonesia tidak dapat masuk ke pasar negara ASEAN, sementara produk pangan
Negara ASEAN membanjiri pasar Indonesia. Jadi, Kementan perlu menyusun roadmap
penerapan standar mutu produk pertanian (pangan) agar dapat membantu petani
memanfaatkan SRG dan sekaligus menghadapi persaingan di era MEA 2015.
0
100
200
300
400
500
2008 2009 2010 2011 2012 2013 **)
16 13 57
271
379,0
480,0
6 5 35
218
334 377
Res
i Gu
dan
g Gambar 4 Penerbitan dan Pembiayaan Resi Gudang
Penerbitan RG Pembiayaan RG
33
MELINDUNGI PETANI TANPA MEMBEBANI KONSUMEN DAN PEREKONOMIAN
Melonjaknya harga beberapa produk pangan beberapa bulan terakhir sangat
membebani konsumen rumah tangga termasuk rumah tangga di pedesaan. Lonjakan
harga beberapa produk pangan tersebut memicu inflasi dan membebani perekonomian
nasional. Apakah petani produsen diuntungkan dengan lonjakan harga tersebut? Secara
teoritis kenaikan harga akan mendorong petani produk yang bersangkutan untuk
memperluas areal tanam dan meningkatkan produksi. Namun, harus juga disadari
bahwa peningkatan harga produk juga akan memacu permintaan dan harga input
produksi. Mungkin keuntungan petani sedikit meningkat, tetapi belum tentu meningkat
kesejahteraannya karena ikut meningkatnya harga kebutuhan pokok lainnya. Yang pasti
jutaan rumah tangga miskin termasuk rumah tangga petani di pedesaan akan terbebani
oleh lonjakan harga pangan pada umumnya.
Tujuan pemerintah (Kementan) untuk mencapai ketahanan dan kemandirian
pangan merupakan „legitimate objective‟ dan perlu didukung seluruh komponen bangsa.
Namun untuk mencapainya diperlukan strategi, kebijakan, program dan instrumen
kebijakan yang tepat. Mustahil dapat mencapai tujuan tersebut hanya dengan
membatasi atau melarang impor. Keberpihakan pemerintah kepada petani tidak
seharusnya dilakukan dengan instrumen kuota impor yang justru menyuburkan praktek
„rent seeking‟ dan membebani konsumen. Menjadi sangat keliru manakala keberpihakan
tersebut justru tidak dinikmati oleh petani produsen namun hanya dinikmati oleh
segelintir pedagang dan importir. Fenomena ini yang belakangan ini terjadi. Jika
keadaan ini terus berlangsung, dapat dipastikan target untuk mencapai ketahanan dan
kemandirian pangan tidak akan pernah tercapai.
Disamping memberikan perlindungan dari ancaman produk impor (border
measures), sangat diperlukan kebijakan dan program yang mencerminkan
keberpihakan dan perhatian lebih besar untuk meningkatkan kapasitas produksi,
produktivitas dan kualitas produk pangan pada umumnya (behind the border
measures). Bahkan yang terakhir ini lebih penting bila „kemandirian‟ produk pangan
(kedele) menjadi tujuan nasional. Behind the border measures mencakup antara lain
34
kebijakan dan program penigkatan kapasitas produksi, stabilisasi harga pangan,
perluasan sistem resi gudang. Tidak hanya komitmen politik dan kecukupan anggaran,
langkah ini harus menjadi gerakan nasional, sebagaimana dilakukan pemerintah saat
menggulirkan program swasembada beras akhir tahun 70an.
Mengambil pelajaran dari sukses pemerintah mencapai swasembada beras,
dapat kita ingat kembali berbagai program dan langkah kongkrit yang dilakukan antara
lain, dibentuknya Badan Bimas mulai dari Pusat sampai daerah termasuk Dewan
Pembina Bimas yang diketuai langsung oleh Presiden, program intensifikasi dan
ekstensifikasi, pencetakan sawah baru, dan pembangunan sarana dan saluran irigasi.
Program peningkatan produksi dan produktivitas pertanian tidak akan berhasil tanpa
ada dukungan kementerian terkait lainnya. Dukungan kementerian Pekerjaan Umum
sangat vital untuk memastikan ketersediaan dan peningkatan sarana irigasi, pencetakan
lahan sawah dan sarana jalan pedesaan. Terus menurunnya kualitas irigasi dan luas
lahan baku pertanian harus disikapi serius oleh pemerintah kalau ingin
mempertahankan dan meningkatkan kapasitas produksi pertanian nasional. Demikian
pula dukungan Kementerian Keuangan dan Bappenas untuk memastikan ketersediaan
dan kontinuitas anggaran roadmap peningkatan produksi dan produktivitas komoditas
strategis yang telah ditetapkan.
Pertanyaan menarik adalah apakah kebijakan, program dan langkah kongkrit
seperti itu dilakukan Pemerintah saat ini untuk mencapai ketahanan dan kemandirian
pangan umumnya dan kedele atau jagung khususnya? Nampaknya tidak demikian yang
terjadi. Bahkan hasil penelusuran penulis mendapatkan kenyataan sampai saat ini
belum ada roadmap dan program yang kongkrit dalam upaya peningkatan kapasitas
produksi pangan. Dari sisi kebijakan perdagangan juga belum ada roadmap
pengembangan dan perluasan SRG. Dengan demikian, haruslah diakui masih banyak
pekerjaan rumah yang segera harus dilakukan agar ketahanan dan kemandirian pangan
dapat dicapai, tidak hanya sekedar „jargon‟ politik.
35
KESIMPULAN
1. Gejolak dan lonjakan harga eceran kedele dan jagung serta beberapa produk
pangan lain yang terjadi akhir-akhir ini merupakan indikator kelangkaan pasokan.
Peningkatan produksi domestik tidak dapat mengimbangi laju peningkatan konsumsi
akibat pertambahan penduduk, perkembangan industri pangan dan industri
perunggasan.
2. Terus berkurangnya luas lahan pertanian dan sawah berigasi, khususnya di Jawa,
akibat konversi lahan dipastikan akan semakin meningkatkan defisit pangan,
meningkatkan ketergantungan terhadap pangan impor dan memperburuk ketahanan
pangan. Perluasan lahan pertanian pangan dan pencetakan sawah (beririgasi) di
luar Jawa harus menjadi program nasional prioritas untuk mewujudkan ketahanan
sekaligus kemandirian pangan.
3. Tujuan untuk mencapai „ketahanan‟ dan „kemandirian‟ pangan merupakan
„legitimate objective‟ yang perlu didukung semua komponen bangsa. Namun untuk
mencapainya perlu strategi, kebijakan, program dan instrumen kebijakan yang
tepat, tidak hanya terbatas kepada langkah melarang dan/atau membatasi impor
yang justru membebani konsumen dan perekonomian.
4. Disamping kebijakan yang memberikan perlindungan dari ancaman melimpahnya
produk pangan impor (border measures), sangat diperlukan kebijakan yang
mencerminkan keberpihakan untuk meningkatkan kapasitas produksi pangan
nasional dan kebijakan yang dapat menjamin keuntungan dan kelangsungan usaha
petani (behind the border measures). Kebijakan stabilisasi harga pangan (strategis)
merupakan salah satu kebijakan penting dalam menjamin keuntungan layak dan
kelangsungan usaha petani dan pada gilirannya mencapai „ketahanan‟
dan „kemandirian‟ pangan. Kebijakan stabilisasi harga pangan tidak hanya
menguntungkan petani tetapi juga konsumen secara luas.
5. Aturan WTO tidak melarang Negara anggota melakukan stabilisasi harga pangan di
pasar domestik, dan tidak melarang State Trading Enterpises (STE) untuk
melaksanakan dan mengelola stok pangan. Tidak ada aturan WTO yang melarang
36
Negara memberikan hak monopoli kepada STE sepanjang tidak melanggar prinsip-
prinsip Most Favored Nation (MFN) and National Treatment yang merugikan Negara
anggota lain.
6. Mengingat program stabilisasi harga secara langsung terkait dengan peran
pemerintah untuk melakukan intervensi pasar, mengatur impor dan ekspor serta
mengelola stock penyangga, maka dalam pemilihan “instrumen kebijakan” dan
pelaksanaannya perlu memperhatikan dan konsisten dengan aturan WTO.
Pengelolaan stock dan operasi pasar perlu mengacu kepada aturan WTO tentang
“domestic subsidy” (aturan de minimis dan Agregate Measures of Support-AMS).
7. Pengalaman beberapa Negara maju memperlihatkan bahwa kebijakan stabilisasi
harga yang dikombinasikan dengan kebijakan impor secara transparan dan terbuka
dapat berjalan efektif tanpa perlu anggaran publik (stok penyangga) yang besar.
Kebijakan dan instrumen lain yang penting dan efektif dalam menghadapi
instabilitas harga pangan dan membantu kelangsungan usahatani adalah sistem resi
gudang (SRG).
8. Resi Gudang (RG) adalah dokumen bukti kepemilikan barang yang disimpan di suatu
gudang yang diterbitkan oleh pengelola gudang dan merupakan sekuriti yang
menjadi instrumen perdagangan. RG merupakan surat berharga yang dapat
diperdagangkan, diperjaul-belikan, dipertukarkan atau digunakan sebagai jaminan
untuk memperoleh kredit dari per-bank-an dan lembaga keuangan.
9. SRG sangat cocok untuk komoditas pertanian yang rentan terhadap fluktuasi harga.
Untuk mengatasi masalah anjloknya harga saat panen raya, petani dapat
menyiasatinya dengan menunda penjualan produksinya, tetapi tetap mendapatkan
uang tunai untuk melaksanakan usahataninya dan menyambung hidupnya. SRG
merupakan alternatif bagi petani untuk melakukan strategi pemasaran hasil
produksinya.
10. Data resmi memperlihatkan pelaksanaan SRG masih terbatas, baik dalam cakupan
produk, jumlah RG yang terbit dan nilai transaksi. Sejak mulai beroperasi sampai
sekarang (2008-Nov 2013), baru mencakup 10 produk, yaitu gabah, beras, kopi,
kakao, lada, karet, rumput laut, jagung, rotan dan garam. Total RG yang diterbitkan
37
baru 1216 buah dengan total nilai Rp213 milyar. Kendala utama adalah kurangnya
Gudang modern yang dapat digunakan. Sampai saat ini baru ada 81 unit gudang
dan hanya mampu menampung 5 persen kebutuhan pangan (beras) nasional.
11. Penerapan standar mutu produk pangan menjadi sangat penting tidak hanya karena
menyadi syarat penerbitan RG tetapi sangat „urgent‟ untuk menghadapi pasar
tunggal ASEAN 2015. Oleh karenanya, Kementan perlu segera menyusun roadmap
penerapan standar mutu produk pertanian (pangan) agar dapat membantu petani
memanfaatkan SRG dan sekaligus menghadapi persaingan pada era MEA 2015.
DAFTAR PUSTAKA
Erwidodo dan B. Sayaka. 2013. Kebijakan Impor dan Stabilisasi Harga Mendukung
Peningkatan Produksi Hortikultura. Makalah di Seminar Kebijakan Diversifikasi
Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian jangka Panjang Badan
Litbang Pertanian, Cipayung 24-25 Oktober 2013
Hermanto, 2013. Diversifikasi Pnagan Menuju Kemandirian Pangan: Pemikiran untuk
Implementasi UU No 18/2012 Tentang Pangan. Makalah di Seminar Kebijakan
Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan Pertanian jangka Panjang
Badan Litbang Pertanian, Cipayung 24-25 Oktober 2013
Kasryno, Faisal. 2013. Politik Revitalisasi Pertanian dan Dampak Pelaksanaannya: Politik
Pertanian adalah Pelaksanaan Pasal 33 UUD 1945 di Sektor Pertanian. Makalah
di Seminar Kebijakan Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan
Pertanian jangka Panjang Badan Litbang Pertanian, Cipayung 24-25 Oktober
2013
Kenyon, Don and David Lee. 2006. The Struggle for Trade Liberalization in Agriculture:
Australia and the Cairns Group in the Uruguay Round. Department of Foreign
Affairs and Trade, Australia. Commonwealth of Australia 2006.
Krugman, Paul R and M. Obstfeld. 2003. Internasional Economics: Theory and Policy.
6th edition. World Student Series, Addison Wesley, New York.
Newbery, D.M and J.E. Stiglitz. 1981. The Theory of Commodity Price Stabilization: A
Study in the Economics of Risk. Oxford: Clarendon Press.
38
Norton, RD. 2004. Agricultural Development Policy: Concepts and Experiences. FAO
published by John Wiley & Sons Ltd, the Atrium, Southern gate, Chichester, West
Sussex, England.
Soemarno, 2013. Evolusi Kemajuan Usaha Pertanian Tanaman Pangan. Makalah di
Seminar Kebijakan Diversifikasi Pangan dan Transformasi Pembangunan
Pertanian jangka Panjang Badan Litbang Pertanian, Cipayung 24-25 Oktober
2013
Suyamto dan Z. Zaini. 2009. Kapasitas Produksi Bahan Pangan pada Lahan Sawah
Irigasi dan Tadah Hujan. Dalam: Suyamto dan N. Suharta (eds): Analisis
Sumberdaya Lahan menuju Ketahanan Pangan Berkelanjutan. Badan Litbang
Pertanian, Jakarta.
Timmer ; Peter C. 1986. Getting Prices Right: The Scope and Limits of Agricultural Price
Policy. Cornell University Press, Ithaca and London.
WTO. 1995. The Legal Text. World Trade Organization, Geneve, Switzerland.