LAPORAN TEKNISbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis-2015.pdf · 2020. 6. 19. ·...

331
KEMENTERIAN PERTANIAN DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN DAN KESEHATAN HEWAN BALAI BESAR VETERINER DENPASAR Jalan Raya Sesetan No. 266 LAPORAN TEKNIS HASIL SURVEILANS, MONITORING DAN PENGEMBANGAN METODE UJI BALAI BESAR VETERINER DENPASAR TAHUN 2015

Transcript of LAPORAN TEKNISbbvdps.ditjenpkh.pertanian.go.id/.../Laporan-Teknis-2015.pdf · 2020. 6. 19. ·...

  • KEMENTERIAN PERTANIANDIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN

    DAN KESEHATAN HEWANBALAI BESAR VETERINER DENPASAR

    Jalan Raya Sesetan No. 266

    LAPORAN TEKNISHASIL SURVEILANS, MONITORINGDAN PENGEMBANGAN METODE UJIBALAI BESAR VETERINER DENPASARTAHUN 2015

  • Denpasar 80223 Bali2016

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    i

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur kami panjatkan Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas rakhmat yang

    telah diberikan sehingga Laporan Hasil Surveillans dan Monitoring di Wilayah

    Kerja Balai Besar Veteriner (BB-Vet) Denpasar Tahun Anggaran 2015 dapat

    diselesaikan dengan tepat waktu. Laporan ini memuat kegiatan Surveilans dan

    Monitoring di wilayah kerja BB-Vet Denpasar di Provinsi Bali, NTB, dan NTT

    selama satu tahun anggaran, terhitung mulai Januari sampai dengan 31

    Desember 2015.

    Berdasarkan Tugas Pokok dan Fungsi Balai Besar Veteriner Denpasar yang

    mengacu pada Keputusan Menteri Pertanian Nomor :

    54/Permentan/OT.140/5/2013 Tanggal 24 Mei 2013 tentang Organisasi dan Tata

    Kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, yang mempunyai tugas melakukan

    surveilans, monitoring, dan pelayanan penyidikan secara aktif di lapangan, juga

    melakukan pengujian veteriner di laboratorium sesuai dengan jenis spesimen.

    Kegiatan surveilans dan monitoring Balai Besar Veteriner Denpasar di wilayah

    kerja pada tahun 2015 dibiayai sepenuhnya oleh DIPA Balai Besar Veteriner

    Denpasar tahun anggaran 2014 Nomor : SP DIPA-018.06.2.239022/2015,

    tanggal 14 Nopember 2014.

    Sumbangan pemilkiran / saran yang bersifat membangun untuk penyempurnaan

    Laporan Teknis Balai Besar Veteriner Denpasar dengan senang hati diterima.

    Selain untuk kepentingan administratif, diharapkan laporan ini ada manfaatnya

    bagi peningkatan dan pengembangan kesehatan hewan dan kesehatan

    masyarakat veteriner khususnya di wilayah kerja. Akhirnya kepada staf dan

    semua pihak yang telah membantu penyelesaian Laporan Teknis ini, diucapkan

    banyak terima kasih.

    Denpasar, 15 Pebruari 2016Kepala Balai Besar Veteriner Denpasar,

    Drh. I Wayan Masa Tenaya, M.Phil.,Ph.D.NIP. 19620504 198903 1 001

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    ii

    DAFTAR ISI

    Halaman

    1 KATA PENGANTAR ……………………………………………………… i

    2 DAFTAR ISI ……………………………………………………………….. ii

    I. BAKTERIOLOGI

    1. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT ANTHRAXDI WILAYAH KERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2015…........... 1-11

    2. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSIS DIWILAYAHKERJA BB-VET DENPASAR, TAHUN 2015.................................... 12-23

    3. SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI PULAU SUMBA PROVINSI NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015..................................................................................... 24-32

    4. MONITORING DAN SURVEILANS SE DI WLAYAH KERJABB-Vet DENPASAR TAHUN 2015.................................................... 33-46

    5. SURVEILANS SEPTICAEMIA EPIZOOTICA (SE) DALAMRANGKA PROGRAM PEMBERANTASAN SE DI NUSAPANIDA............................................................................................. 47-68

    II. PARASITOLOGI

    6. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT SURRA(TRYPANOSOMIASIS) DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015………….... 69-78

    7. SURVEILANS DAN MONITORING PARASIT GASTROINTESTINAL DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARA BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015................................ 79-90

    III. PATOLOGI

    8. ANALISA RESIKO DAN SURVEILANS BOVINE SPONGIFORMENCEPHALOPATHY DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015................... 91-108

    9. SURVEILANS PENYAKIT GANGGUAN REPRODUKSIDI WILAYAH KERJA (PROVINSI BALI, NUSA TENGGARABARAT DAN NUSA TENGGARA TIMUR)TAHUN 2015........................................………………………............. 109-125

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    iii

    10. PENYIDIKAN DAN PENGUJIAN RABIES SECARA VIROLOGIS,DI PROVINSI BALI, NUSA TENGGARAN BARATDAN NUSA TENGGARA TIMUR TAHUN 2015……………………… 126-148

    IV. KESMAVET

    11. MONITORING DAN SURVEILANS RESIDU DANCEMARAN MIKROBA PADA PANGAN ASAL HEWAN DIPROPINSI BALI, NUSA TENGGARA BARAT (NTB)DAN NUSA TENGGARA TIMUR(NTT) TAHUN 2015……………….. 149-175

    12. MONITORING DAN SURVEILANS ZOONOSIS (Salmonellosis)PADA TELUR AYAM DI PROVINSI BALI, NTB DAN NTTTAHUN 2015……………………………………………………………... 176-186

    V. BIOTEKNOLOGI

    13. SURVEILANS PENYAKIT JEMBRANA DI PROVINSI BALITAHUN 2015............................................................................................... 187-200

    14. SEROSURVEILANS RABIES DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015............................................................................................ 201-216

    VI. VIROLOGI

    15. SURVEILANS DAN MONITORING AVIAN INFLUENZA DANNEW CASTLE DISEASE DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015…………………………………………………………….. 217-237

    16. SURVEILANS DAN MONITORING INFECTIOUS BOVINERHINOTRACHITIS (IBR) DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT (NTB) DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015.............................................................. 238-250

    17. SURVEILANS DAN MONITORING PENYAKIT MULUT DANKUKU (PMK) DI PROVINSI BALI DAN NUSA TENGGARATIMUR (NTT) TAHUN 2015.....................................................…….. 251-261

    18. SURVEILANS PENYAKIT HOG CHOLERA DI PROVINSI BALI,NUSA TENGGARA BARAT DAN NUSA TENGGARA TIMURTAHUN 2015..................................................................................... 262-278

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    iv

    VII. PENGEMBANGAN METODE PENGUJIAN

    19. PENGEMBANGAN METODE UJI DIAGNOSA RABIESDENGAN REVERSE TRANSCRIPTION POLYMERASECHAIN REACTION MENGGUNAKAN PRIMER SPESIFIKSTRAIN BALI…………………………………………………………….. 279-297

    VIII. PELAYANAN VETERINER

    20. SURVEILANS PENYAKIT HEWAN MENULAR STRATEGISDI BALAI PEMBIBITAN TERNAK UNGGUL SAPI BALIBALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015…………………………….. 298-306

    21. PELAKSANAAN PENANGANAN GANGGUAN REPRODUKSITERNAK SAPI DAN KERBAU DI PROVINSI BALI, NUSATENGGARA BARAT, DAN NUSA TENGGARA TIMUR…………….. 307-325

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    1

    SURVEILANS DAN MONITORING ANTRAKSDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR

    TAHUN 2015

    Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, , Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari

    Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

    Kementerian Pertanian

    ABSTRAK

    Situasi Antraks di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, berbeda antara satu pulaudengan pulau lainnya. Provinsi Bali diketahui sebagai daerah bebas Antraks. Di Provinsi NusaTenggara Barat (NTB), kasus Antraks terakhir dilaporkan terjadi Tahun 1987 di KabupatenLombok Tengah. Di Pulau Sumbawa, sejak lama diketahui sebagai daerah endemis Antraks dankasus terjadi hampir setiap tahun. Sedangkan di Nusa Tenggara Timur kasus Antraks di PulauFlores dilaporkan terjadi di Kabupaten Sikka, Manggarai, Ngada, dan di Kabupaten Ende terjadipada Tahun 2004. Pada tahun 2007 kasus Antraks kembali dilaporkan terjadi di KabupatenSikka dan di Sumba. Berdasarkan data dari Dinas Peternakan Provinsi NTT, kejadian Antraks diPulau Sabu pernah dilaporkan terjadi pada periode tahun 1906 – 1942 dan tahun 1987, sertakasus terakhir terjadi pada bulan Agustus 2011 pada kuda dan manusia.

    Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di Propinsi NTBdan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi umumnya dapat dicapai apabilacakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat kekebalan kelompok minimal 70%. Untuk mengetahuikekebalan kelompok (herd immunity) ternak terhadap Antraks maka tahun 2015 BBVetDenpasar telah melakukan surveilans dan monitoring di beberapa kabupaten di Provinsi NTBdan NTT. Sampel serum di uji dengan metode ELISA. Hasil uji sampel dari Pulau Lombokdiketahui bahwa hanya 4/547 sampel (0,17%), di Pulau Sumbawa 399/1.347 (29,62%), PulauFlores 55,96%, Pulau Timor 12,55%, Pulau Sumba 67,22%, Kabupaten Sabu Raijua 69,11%positif antibodi Antraks, sedangkan Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negatif.

    Mengingat tingkat kekebalan kelompok ternak yang masih rendah dan durasi kekebalanterhadap Antraks dapat bertahan sampai enam bulan pasca vaksinasi, serta kasus/wabahAntraks biasanya terjadi pada akhir musim kemarau serta berlanjut sampai musim hujansehingga dengan demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2 kali setahun, yakni bulanJuni – Agustus dan bulan Februari – Maret tahun berikutnya.

    Kata Kunci : Antraks, ELISA, NTB, NTT.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    2

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Antraks adalah penyakit hewan menular yang dapat menyerang berbagai jenis

    hewan mammalia, bersifat perakut, akut atau subakut dan bersifat zoonosis.

    Burung unta juga dilaporkan peka terhadap antraks (Noor, dkk. 2001;

    Hardjoutomo, dkk.2002). Ada dua bentuk antraks yaitu bentuk kulit dan bentuk

    septisemik (Ezzel, 1986). Bila kuman Bacillus anthracis berada dalam

    lingkungan yang tidak menguntungkan perkembanganya dan memperoleh

    jumlah oksigen yang cukup maka ia akan membentuk spora, dan spora ini akan

    bertahan hidup puluhan tahun. Penyembelihan hewan tertular antraks akan

    mendorong kuman ini membentuk spora, oleh karena itu hewan tertular antraks

    dilarang disembelih. Padang pengembalaan atau lingkungan budidaya ternak

    yang telah tercemar spora antraks akan mengakibatkan penyakit menjadi

    bersifat endemis apabila tidak ditangani secara baik.

    Di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar, Provinsi Bali merupakan

    daerah bebas Abtraks. Provinsi Nusa Tenggara Barat, Pulau Sumbawa

    merupakan daerah endemis Antrkas, dan di Pulau Lombok kasus Antraks

    terakhir dilaporkan pada tahun 1987 di Kabupaten Lombok Tengah, setelah itu

    sampai tahun 2015 tidak ada lagi laporan kasus Antraks. Situasi Antraks di

    Provinsi Nusa Tenggara Timur bervariasi diantara pulau yang menjadi wilayah

    NTT. Pulau Flores (kecuali Kabupaten Flores Timur) dan Pulau Sumba

    diketahui sebagai daerah endemis Antraks. Kabupaten Lembata, Alor dan

    Rotendau belum ada laporan. Kasus Antraks di beberapa kabupaten di Provinsi

    NTT terakhir dilaporkan terjadi di Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai

    Barat 2008, Manggarai 2001, Ngada 2009, Nagekeo 2007, Ende 2012, Sikka

    2007, Saburaijua tahun 20111 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,

    2015).

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    3

    Program pengendalian Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar, khususnya di

    Propinsi NTB dan NTT dilakukan melalui vaksinasi. Keberhasilan vaksinasi

    umumnya dapat dicapai apabila cakupan vaksinasinya tinggi dan tingkat

    kekebalan kelompok minimal70%, untuk mengetahui keberhasilan vaksinasi

    Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar maka telah dilakukan surveilans dan

    monitoring tahun 2015 untuk mengetahui kekebalan kelompok (herd immunity).

    2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat dirumuskan permasalahan

    penyakit Antraks di wilayah kerja sebagai berikut :

    1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Antraks di di wilayah kerja;

    2. Belum diketahuinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah

    kerja;

    3. Terdapat target sampel yang harus dipenuhi dalam rangka surveilans dan

    monitoring Antraks di wilayah kerja;

    4. Belum terbinanya Puskeswan di wilayah kerja secara intensif.

    3. Tujuan Kegiatan

    a. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit Antraks di wilayah

    kerja;

    b. Mengetahui tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja;

    c. Mencapai target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan Kepala

    BBVet Denpasar;

    d. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

    4. Manfaat Kegiatan

    a. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit Antraks di di wilayah

    kerja;

    b. Terdeteksinya tingkat kekebalan kelompok (herd immunity) di wilayah kerja;

    c. Tercapainya target sampel sesuai kontrak kinerja antara Dirjen PKH dan

    Kepala BBVet Denpasar;

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    4

    d. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

    5. Output

    1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Antraks serta tingkat

    kekebalan kelompok (herd immunity) hasil vaksinasi Antraks pada daerah

    endemis di wilayah kerja;

    2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

    representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

    Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

    peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;

    3. Turunnya kejadian penyakit Antraks di wilayah kerja dan terciptanya

    lingkungan peternakan yang bebas Antraks dan tersedianya produk hewan

    yang bebas penyakit Antraks.

    MATERI DAN METODE

    1. Materi

    Bahan dan peralatan yang dipergunakan dalam surveilans antraks di wilayah

    kerja BBVet Denpasar tahun 2015 antara lain antigen Elisa Antraks, conjugate,

    substrat, buffer pencuci ELISA, PBS, mikroplate, ELISA reader dan washer,

    tube, handle, jarum venoject, mikrotube, dan sebagainya.

    2. Metode

    Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi antraks dengan metode

    mengukur aras ( Martin, 1987) yaitu : n = 4PQ /L2 dan teknik sampling yang

    digunakan adalah multi stage random sampling.

    n : adalah besaran sampel,P : adalah tingkat prevalensi,Q : adalah (1 – P) danL : adalah galat yang diinginkan

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    5

    Jumlah sampel untuk Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) dengan asumsi

    prevalensi 51% (data BBVet Denpasar 2014) dengan konfidensi 95%, eror 5%

    n = 4 x 0,51 x (1- 0,51) 0,052

    n = 4 x 0,49 x 0,49 0,0025n = 399,84, jadi di NTB sampel minimal yang diambil 400 sampel.

    Untuk di NTT dengan prevalensi 37,8% (data BBVet Denpasar 2014) minimal

    pengambilan sampel 376,18 sampel (dibulatkan 376 sampel). Kegiatan ini juga

    dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan Kabupaten/Kota di wilayah

    kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan, dokter hewan/medik

    veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang tersebar di wilayah

    kerja, khususnya di Provinsi NTB dan NTT.

    Kegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak

    sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentunkan

    berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan ELISA di

    Laboratorium Bakteriologi BBVet Denpasar (Hardjoutomo, dkk 1993; Anon,

    1999). Prosedur Elisa sebagai berikut :o Titrasi antigen (untuk mengetahui titer antigen)

    o Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam pada

    suhu 40C.

    o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

    o Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam PBS

    tween pada row 1 sampai 10.

    o Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan 12.

    o Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

    o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

    o Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

    o Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap lubang,

    inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

    o Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci ELISA).

    o Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,

    kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    6

    HASIL

    Hasil surveilans tahun 2015 menunjukan bahwa jumlah sampel yang positif

    mengandung antibodi Antraks di wilayah kerja BBVet Denpasar adalah di Pulau

    Lombok 0,17%, Pulau Sumbawa 29,62%, Pulau Flores 55,96%, Pulau Sumba

    67,22%, Daratan Timor 12,55%, Kabupaten Saburaijua 69,11%, Kabupaten

    Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negative (0%), seperti dalam Tabel 1

    dan 2.

    Tabel 1. Hasil Uji ELISA Antraks di Provinsi NTB

    Kabupaten Kecamatan JumlahSampelPositif

    AntibodiAntraks

    Bayan 80 4Tanjung 80 0Pemenang 80 0

    Lombok Utara

    Jumlah 240 4 (1,67%)Suralaga 40 0Wanasaba 163 0Aikmal 131 0

    Lombok Timur

    Jumlah 334 0Jumlah Lombok 574 4 (0,17%)

    Alas barat 288 136SumbawaJumlah 288 136 (47,22%)

    Seteluk 50 26Taliwang 62 11Pototano 50 22

    Sumbawa Barat

    Jumlah 162 59 (36,42%)Bolo 120 52Langgudu 30 15

    Bima

    Jumlah 150 67 (44,67%)Dompu 37 18Woja 141 115

    Dompu

    Jumlah 173 133 (76,88%)Jumlah Sumbawa 773 395 (51,09%)

    TOTAL NTB 1.347 399 (29,62%)

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    7

    Tabel 2. Hasil Uji ELISA Antraks di Provinsi NTTKabupaten Kecamatan Jumlah Sampel Positif Antibodi Antraks

    Maulafa 20 0Kalapa Lima 50 8Alak 30 0

    Kota Kupang

    Jumlah 100 8 (8%)Amanuban Selatan 50 0TTS

    Jumlah 50 0Naibenu 81 21TTU

    Jumlah 81 21 (25,93%)Jumlah Pulau Timor 231 39 (12,55%)Sabu Barat 44 25Sabu Liae 41 26Hawu Mehara 39 30Sabu Timur 80 60

    Saburaijua

    Jumlah Saburaijua 204 141 (69,11%)Lobalin 79 0

    Rote Tengah 158 0Rotendao

    Jumlah Rotendau 237 0Ila Ape 47 0Lebatukan 46 0Nubatukan 24 0

    Lembata

    Jumlah Lembata 117 0Alor Barat Daya 26 0Kabola 18 0Teluk Mutiara 35 0

    Alor

    Jumlah Alor 79 0Bajawa 20 1Ngada

    Jumlah 20 1 (5%)Boawae 65 39Nagekeo

    Jumlah 65 39 (60%)Kewapante 50 40Magepanda 68 15Mapitara 52 29Mego 50 33Waiblama 53 38Wargete 53 35

    Sikka

    Jumlah 326 190 (58,28%)Jumlah Pulau Flores 411 230 (55,96%)Pahonga Lodu 140 140Sumba Timur

    Jumlah 140 140 (100%)Umbu ratu Nggai 151 54Katikutana 22 16

    SumbaTengah

    Jumlah 173 70 (40,46%)Tanarighu 26 20Wanokaka 77 56Loli 58 31

    Sumba Barat

    Jumlah 161 107 (66,46%)Kodi Bangedo 26 19Kodi 17 13Wewewa Barat 23 17Wewewa Timur 64 40

    Sumba BaratDaya

    Jumlah 130 89 (68,46%)Jumlah Pulau Sumba 604 406 (67,22%)

    TOTAL 1.879

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    8

    Tahun 2015, Balai Besar Veteriner Denpasar tidak mendapatkan laporan

    adanya kasus Antraks di wilayah Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa

    Tenggara Timur. Kasus Antraks terakhir di Provinsi NTT dilaporkan terjadi di

    Sumba Barat Daya tahun 2011, Manggarai Barat tahun 2008, Manggarai tahun

    2001, Ngada tahun 2009, Nagekeo tahun 2007, Ende tahun 2012, Sikka tahun

    2007, Saburaijua tahun tahun 2011 dan kota Kupang tahun 2003 (Dany Suhadi,

    2015).

    PEMBAHASAN

    Kasus Antraks di Pulau Lombok terakhir dilaporkan terjadi pada tahun 1987 di

    Kabupaten Lombok Tengah. Sejak tahun 1988 sampai 2015 tidak ada lagi

    laporan kasus Antraks di Pulau Lombok, dan berdasarkan informasi dari petugas

    dinas peternakan setempat, bahwa di Pulau Lombok sudah tidak dilakukan

    vaksinasi Antraks. Adanya ternak yang positif antibodi di Pulau Lombok,

    kemungkinan ternak tersebut berasal dari Pulau Sumbawa atau daerah lainnya

    yang sudah melakukan vaksinasi Antraks. Hal ini sesuai dengan informasi dari

    Kepala Bidang Kesehatan Hewan (Kabid Keswan) Dinas Peternakan Kabupaten

    Lombok Utara, bahwa banyak pemasukan ternak dari daerah luar Kabupaten

    Lombok Utara. Namun demikian adanya ternak yang positif mengandung

    antibodi Antraks perlu diwaspai dan penelitian lebih lanjut, apakah ternak

    tersebut betul berasal dari luar Pulau Lombok atau pernah terinfeksi.

    Hasil uji serologis dari sampel yang diambil di Pulau Sumbawa sebanyak

    51,09% positif antibodi Antraks. Hal ini mungkin disebabkan karena cakupan

    vaksinasi yang kurang optimal, seperti informasi dari petugas Dinas Peternakan

    Kabupaten Sumbawa Barat cakupan vaksinasi Antraks pada tahun 2015 hanya

    35,322 ekor (47,74%) dari populasi target 73.987 ekor. Pulau Sumbawa

    diketahui sebagai daerah endemis Antraks, dengan kekebalan kelompok yang

    belum optimal ini, dikhawatirkan kemungkinan akan munculnya kasus

    dilapangan. Untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau yang

    membidangi fungsi peternakan di Pulau Sumbawa untuk meningkatkan cakupan

    vaksinasi Antraks.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    9

    Berdasarkan data laporan Dinas Peternakan dan Kesehatan Hewan provinsi

    NTT bahwa Antraks di Daratan Timor, pernah dilaporkan terjadi tahun 2003 di

    Kota Kupang dan vaksinasi dilakukan juga di Kabupaten Timor Tengah Utara

    (Dany Suhadi, 2015). Hal ini sesuai dengan hasil monitoring BBVet Denpasar

    dimana antibody positif ditemukan pada sampel yang diambil di Kota Kupang

    dan Kabupaten Timor Tengah Utara.

    Hasil yang diperoleh dari Pulau Flores, Sumba, dan Saburaijua, dimana rata-rata

    tingkat kekebalan ternak yang disampling kurang dari 70% (Flores 55,96%,

    Sumba 67,22%, dan Saburaijua 69,11%). Untuk dapat terhindar dari wabah

    diperlukan minimal 70% populasi ternak rentan memiliki antibodi protektif. Tidak

    optimalnya tingkat protektifitas ternak yang disampling mungkin disebabkan oleh

    beberapa hal, antara lain 1. Cakupan vaksinasi yang dilakukan rendah, 2. Waktu

    pengambilan sampel yang kurang tepat (baru divaksinasi atau sudah terlampau

    lama divaksinasi) sehingga antibodi yang ada belum maksimal atau sudah

    mengalami penurunan. Berdasarkan penelitian lapangan yang dilakukan pada

    sapi Bali di Kecamatan Janapria Kabupaten Lombok Tengah, di ketahui bahwa

    durasi kekebalan terhadap Antraks dapat bertahan sampai enam bulan pasca

    vaksinasi, sehingga dengan demikian program vaksinasi sebaiknya dilakukan 2

    kali setahun (Arsani, 2010 dikutif oleh Putra, dkk., 2011).

    Hasil uji sampel dari Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau semuanya negatif

    antibodi Antraks. Hal ini sesuai dengan informasi dari dinas peternakan

    setempat bahwa di daerah ini memang tidak dilakukan vaksinasi antraks karena

    belum pernah ada laporan kasus antraks. Namun demikian perlu diwaspadai

    apabila ada pemasukan ternak dari luar wilayah tersebut terutama dari wilayah

    endemis Antraks.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    10

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpilan

    Berdasarkan data diatas dapat disimpulkan bahwa tingkat kekebalan kelompok

    ternak di daerah endemis Antraks di NTB dab NTT masih rendah (kurang dari

    70%).

    5.2 Saran

    Untuk tetap menjaga Kabupaten Lembata, Alor, dan Rotendau terhindar dari

    kasus Antraks, maka disarankan untuk tidak memasukkan ternak berasal dari

    daerah endemis antraks seperti Flores, Sumba, dan sebagainya. Untuk

    meningkatkan tingkat kekebalan kelompok ternak terhadap Antraks di Pulau

    Sumba, Flores, dan Saburaijua disarankan untuk meningkatkan cakupan

    vaksinasi sesuai dengan populasi ternak rentan.

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Terimakasih yang sebesar-besarnya disampaikan kepada Kepala Dinas dan staf

    Dinas Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan

    hewan di Provinsi dan Kabupaten/Kota Nusa Tanggra Barat, serta Kepala Dinas

    Peternakan / dinas yang membidangi fungsi peternakan dan Kesehatan Provinsi

    dan Kabupaten/Kota di Nusa Tanggra Timur, atas bantuan dan kerjasamanya

    sehingga kegiatan ini dapat terlaksana dngan baik.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    11

    DAFTAR PUSTAKA

    OIE, (2008), Antraks, Terrestrial Manual Hal. 135 – 142.

    Dany Suhadi, (2015). Langkah-langkah Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur dalamMendukung Monitoring Surveilans Penyakit Hewan Menular strategis dan Upaya BebasPenyakit AI. Rapat Koordinasi Keswan dan Kesmavet wilayah Bali, NTB, NTT diDenpasar 2-4 Maret 2015.

    Ezzel Jr.,JW.(1986) bacillus anthracis. In Patogenesis of Bacterial Infection in Animals. Edited byCarton L. Gyles and Charles O.Thoen. Lowa state University Press, ames, pp.21-25

    Hardjoutomo,s., Purwadikarta.M.B., Patten.B. dan Barkah.K. (1993) The application of ELISA tomonitor the vaccinal respon of antraks vaccinated ruminants. Penyakit Hewan XXV :46A.

    Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B. dan Martindah.E.(1995) antraks pada hewan dan manusiadi Indonesia. Prosiding Seminar Nasional Peternakan dan Veteriner 7-8 Nopember1995, Cisarua Bogor. Halaman :305-318.

    Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B.(1996) Seratus sebelas tahun antraks di Indonesia : sampaidimana kesiapan kita? Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian XV (2): 35-40

    Hardjoutomo, S., Purwadikarta, M.B., dan Barkah.K. (2002) Antraks pada burung unta diPurwakarta, Jawa Barat, Indonesia. Wartazoa 12(3):114-120.

    Kertayadnya, I G. dan Nyoman Suendra (2003). Laporan Penyidikan Wabah Penyakit Antrakspada ternak di Desa Doridungga, Kecamatan Donggo, Kabupaten Bima. BalaiPenyidikan dan Pengujian Veteriner Regional VI Denpasar.

    Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods : VeterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

    Noor,S.M., Darminto, dan Hardjoutomo,S. (2001) Kasus antraks pada manusia dan hewan diBogor pada awal tahun 2001. Wartazoa 11(2):8-14.

    Putra, A.A.G., Helen Scoot-Orr, Nuri Widowati (2011), Antraks di Nusa Tenggara, DirektoratJendral Peternakan dan Kesehatan Hewan bekerjasama dengan ACIAR. Hal. 37 - 75.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    12

    SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI WILAYAH KERJA BBVET DENPASAR TAHUN 2015

    Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok.R. Kresna A., Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.

    Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

    Kementerian Pertanian

    ABSTRAK

    Wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar (BBVet) meliputi Provinsi Bali, Nusa tenggaraBarat (NTB) dan Nusa Tenggara Timur (NTT). Provinsi Bali dan NTB sudah dinyatakan bebasBrucellosis. Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebasBrucellosis. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara pulau yang ada. Di PulauTimor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah tertular berat brucellosis dengan prevalensi>2%, sedangkan pulau-pulau lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya.Satu reaktor Brucellosis ditemukan di Kabupaten Ende pada tahun 2006. Surveilans yangberkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam upaya tetap dapat menjaga sebagaidaerah bebas Brucellosis dan memonitor kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru diwilayah tersebut, serta untuk mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebasBrucellosis.

    Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis dilakukan denganmenggunakan metode detect disease dan teknik sampling yang digunakan adalah multi stagerandom sampling. Kegiatan pengambilan sampel dilakukan bekerjasama dengan DinasPeternakan atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan Kabupaten /Kota di wilayah Provinsi Bali, NTB dan NTT. Sampel serum diuji secara RBPT sebagai ujiskrining, jika ada positif dilanjutkan dengan uji CFT. Sampel positif CFT dinyatakan sebagaireactor Brucellosis.

    Hasil pengujian terhadap 1.395 sampel serum dari Provinsi Bali dan 3.154 sampel serum dariProvinsi NTB semuanya negatif antibodi brucella. Sedangkan sampel serum dari Provinsi NTTsebanyak 2.344 sampel, 5 sampel positif brucellosis secara CFT, yaitu tiga (3) sampel positifdari 108 sampel serum berasal dari Kota Kupang, satu (1) sampel positif dari 402 sampel serumberasal dari Kabupaten Kupang, dan satu (1) sampel positif dari 396 sampel serum darikabupaten Alor). Berdasarkan data tersebut dapat disimpulkan bahwa Provinsi Bali dan NTBmasih bebas Brucellosis. Untuk dapat mempertahankan Provinsi Bali dan NTB tetap sebagaidaerah bebas Brucellosis, maka diperlukan pengawasan lalu lintas ternak yang lebih ketat dansurveilans yang berkelanjutan.

    Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Bali, NTB. NTT.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    13

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Brucellosis merupakan salah satu dari 22 penyakit hewan menular strategis di

    Indonesia, bersifat zoonosis (menular pada manusia) dan merupakan penyakit

    yang sulit diobati. Pulau Bali, Pulau Lombok, dan Pulau Sumbawa telah

    dinyatakan sebagai daerah bebas Brucellosis oleh Menteri Pertanian Repubik

    Indonesia dengan SK Mentan No. 443/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Bali, SK

    Mentan No. 444/Kpts/TN.540/7/2002 untuk Pulau Lombok di Prop NTB, dan SK

    Mentan No. 97/Kpts/PO.660/2/2006 untuk Pulau Sumbawa di Prop NTB.

    Namun khusus di Provinsi NTT, baru Pulau Sumba yang dinyatakan bebas

    Brucellosis dengan SK Menteri Pertanian Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015

    tanggal 19 Januari 2015. Situasi Brucellosis di Provinsi NTT bervariasi diantara

    pulau yang ada. Di Pulau Timor, Kabupaten Belu dan TTU merupakan daerah

    tertular berat brucellosis dengan prevalensi >2%, sedangkan pulau-pulau

    lainnya ada yang belum diketahui dengan pasti prevalensinya. Brucellosis

    pernah ditemukan di beberapa kabupaten di Pulau Flores seperti di Kabupaten

    Ende pada tahun 2002 (Dartini, dkk, 2006), Kabupaten Sikka pada tahun 1996.

    Surveilans yang berkelanjutan dilakukan sebagai langkah deteksi dini dalam

    upaya tetap dapat menjaga sebagai daerah bebas Brucellosis dan memonitor

    kemungkinan masuknya/munculnya reaktor baru di wilayah tersebut, serta untuk

    mengetahui prevalensi Brucellosis di daerah yang belum bebas Brucellosis.

    Untuk itu Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan surveilans di wilayah

    kerja yaitu Provinsi Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

    2. Rumusan Masalah

    Berdasarkan latar belakang di atas maka dalam kegiatan ini dapat dirumuskan

    permasalahan penyakit Brucellosis di wilayah kerja sebagai berikut :

    1. Belum diketahuinya perkembangan penyakit Brucellosis di beberapa daerah

    khususnya di Provinsi NTT.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    14

    2. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di

    Provinsi NTB harus dipertahankan.

    3. Belum terbinanya secara keseluruhan Puskeswan yang ada di wilayah kerja

    BBVet Denpasar secara intensif.

    3. Tujuan Kegiatan

    1. Mengamati dan memetakan kasus dan kejadian Penyakit Brucellosis di

    wilayah kerja;

    2. Mempertahankan status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok

    dan Sumbawa di Provinsi NTB.

    3. Membina puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

    4. Manfaat Kegiatan

    1. Tersedianya data dan informasi tentang situasi Penyakit Brucellosis di

    wilayah kerja;

    2. Terjaganya status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan

    Sumbawa di Provinsi NTB serta dapat terbebaskannya daerah lain dari

    Brucellosis;

    3. Terbinanya puskeswan di wilayah kerja BBVet Denpasar.

    5. Output

    1. Termonitor dan terpetakannya kejadian penyakit Brucellosis di wilayah kerja;

    2. Terjadinya efisiensi dan efektifitas kegiatan pengambilan sampel yang

    representatif dan terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas

    Puskeswan dan petugas Laboratorium Dinas yang membidangi fungsi

    peternakan dan kesehatan hewan provinsi/ kabupaten di wilayah kerja;

    3. Status bebas Brucellosis di Provinsi Bali, Pulau Lombok dan Sumbawa di

    Provinsi NTB tetap terjaga.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    15

    MATERI DAN METODE

    1. Materi

    Dalam surveilans brucellosis di wilayah kerja Balai Besar Veteriner Denpasar

    tahun 2015 dipergunakan bahan berupa antigen Brucella abortus RBPT dan

    CFT, Komplemen, hemolysin, cell darah domba, cft buffer, dan alat yang

    dipergunakan adalah mikroplate, WHO plate, pipet, inkubator, rotary

    agglutinator, dan sebagainya.

    2. Metode

    Penentuan lokasi surveilans dan monitoring Brucellosis secara serologis

    dilakukan dengan menggunakan metode detect disease dan teknik sampling

    yang digunakan adalah multi stage random sampling, dengan perhitungan

    estimasi besaran sampel metode detect disease (Martin, 1987) yaitu n = [1-(1-

    p1)1/d] x [N-(d-1)/2] dengan keterangan sebagai berikut ;

    n : adalah besaran sampel,p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkand : adalah jumlah hewan yang terinfeksi danN : adalah besaran populasi unit observasi

    Asumsi prevalensi di masing-masing provinsi 0,5%, dengan tingkat kepercayaan

    yang digunakan adalah 95 %, dan populasi lebih dari 10.000, maka dengan

    menggunakan rumus diatas / tabel sample size (Thrusfield W., 1995). diperoleh

    besaran sampel yang harus diambil di masing-masing provinsi minimal 598.

    Kegiatan ini juga dikoordinasikan dengan seluruh Dinas Peternakan

    Kabupaten/Kota di wilayah kerja serta melibatkan Kabid/Kasi Kesehatan Hewan,

    dokter hewan/medik veteriner dan paramedik veteriner pada puskeswan yang

    tersebar di wilayah kerja, khususnya di Provinsi Bali, NTB dan NTT.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    16

    Kegiatan di lapangan berupa pengambilan serum sapi dan kerbau sebanyak

    sampel yang telah ditargetkan dan pada lokasi yang telah ditentukan

    berdasarkan kaidah-kaidah epidemiologis untuk kemudian diuji dengan

    menggunakan metode uji RBPT, apabila positif dilanjutkan dengan uji CFT di

    Laboratorium Bakteriologi Balai Besar Veteriner Denpasar (IKP-Bak No 1;

    Anon, 1999; Anon, 2010). Prosedur uji RBPT sebagai berikut :

    1. Sampel serum dikeluarkan dari freezer dan antigen brucella RBT

    dikeluarkan dari kulkas dan biarkan beberapa menit pada suhu kamar.

    2. Serum yang akan diuji diambil dengan pipet pasteur dan diteteskan pada

    WHO plate (80 lubang), pada lubang nomor 1 sampai nomor 78 untuk

    serum yang diuji. Kontrol serum positif diteteskan pada lubang nomor 80,

    setelah itu diteteskan antigen brucella RBT (25μl) sama banyak pada semua

    lubang.

    3. Kocok selama 4 menit sampai homogen menggunakan rotary aglutinator

    dan lakukan pembacaan hasil.

    Prosedur Uji CFT sebagai berikut :

    1. Masukan serum yang akan diuji keplate tiap lubang 50µl dari lubang 1A

    serum untuk sampel no 1, sampai lubang 10A serum untuk sampel no 10,

    lubang 11A serum kontrol negatif, lubang 12B kontrol serum positif. Plate di

    waterbath selama 30 menit untuk inaktifasi. (semua serum termasuk kontrol

    positif dan negatif)

    2. Tambahkan 25µl CFT buffer pada lubang B1 – B12 sampai lubang H1 –

    H12 (lubang A1 – A12 tidak ditambah CFT buffer)

    3. Encerkan Serum : secara berseri, diambil 25µl dari lubang A1-12 ke B1-12

    sampai ke lubang H1-12

    4. Tambahkan Antigen (tergantung titer antigen yang tersedia) 25 µl ke lubang

    C1-12 sampai lubang H1-12. Pada lubang A1-12 dan B1-12 sebagai control

    antikomplemen ditambahkan 25µl CFT buffer (untuk menyamakan volume)

    5. Tambahkan Komplemen (tergantung titer komplemen yang tersedia) 25µl

    kesemua lubang plate dari A sampai H, inkubasi pada suhu 37oC selama 30

    menit.

    6. Tambahkan ke semua lubang plate 25µl sel, lalu dishaker selama 45 menit.

    7. Diamkan sebentar dan lakukan pembacaan.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    17

    HASIL

    Hasil Uji 1.395 sampel serum dari Provinsi Bali dan 3.154 sampel serum dari

    Provinsi NTB semuanya negatif Brucellosis. Sedangkan hasil uji 2.344 sampel

    dari Provinsi NTT, 5 sampel positif Brucellosis secara CFT yaitu 3 sampel dari

    Kota Kupang, 1 sampel dari Kabupaten Kupang, dan 1 sampel dari Kabupaten

    Alor, hasil lengkap seperti disajikan pada Tabel 1, 2 dan 3.

    Tabel 1. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi Bali

    NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPEL HASIL UJIKerambitan 45 NegatifKediri 50 NegatifSelemadeg Timur 30 NegatifSelemadeg 16 Negatif

    1 Tabanan

    Jumlah 141 NegatifBangli 57 NegatifKintamani 57 NegatifSusut 55 NegatifTembuku 14 Negatif

    2 Bangli

    Jumlah 183 NegatifBebandem 50 NegatifSidemen 45 NegatifSelat 45 Negatif

    3 Karangasem

    Jumlah 140 NegatifBusungbiu 2 NegatifGerokgak 90 NegatifKubutambahan 26 NegatifSeririt 2 NegatifSukasada 51 Negatif

    4 Buleleng

    Jumlah 171 NegatifBanjarakan 50 Negatif5 Klungkung

    Jumlah 50 NegatifJembrana 53 NegatifNegara 55 NegatifMelaya 6 NegatifMendoyo 1 NegatifPekutatan 251 Negatif

    6 Jembrana

    Jumlah 366 NegatifGianyar 3 NegatifPayangan 61 NegatifTegalalang 90 Negatif

    7 Gianyar

    Jumlah 154 NegatifMengwi 45 Negatif8 Badung

    Jumlah 45 NegatifDenpasar Selatan 50 NegatifDenpasar Timur 45 NegatifDenpasar Utara 50

    9 Denpasar

    Jumlah 145 NegatifTotal 1.395 Negatif

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    18

    Tabel 2. Hasil Uji Serologi Brucellosis di Provinsi NTB

    KABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPEL HASIL UJI RBPTAikmal 2 Negatif

    Jerowaru 2 Negatif

    Sakra Barat 2 Negatif

    Sakra 24 Negatif

    Selong 1 NegatifSuwela 1 NegatifSukamulia 6 NegatifSuralaga 68 NegatifWanasaba 202 NegatifPringgasela 18 NegatifSakra Timur 3 Negatif

    Lombok Tengah

    Jumlah 329 NegatifGerung 297 NegatifNarmada 42 NegatifKuripan 110 NegatifLabuan Api 10 NegatifSekotong Tengah 11 NegatifKediri 200 Negatif

    Lombok Barat

    Junlah 670 NegatifBatukliang Utara 23 NegatifPraya Barat daya 86 NegatifPringgarata 83 NegatifBatukliang 41 NegatifJonggak 30 NegatifPraya 25 Negatif

    Lombok Timur

    Jumlah 288 NegatifPemenang 90 NegatifGangga 4 NegatifKayangan 9 NegatifTanjung 99 NegatifBayan 80 Negatif

    Lombok Utara

    Jumlah 282 NegatifAlas Barat 288 NegatifLabangka 10 NegatifMoyo Utara 6 NegatifMoyo Hilir 9 Negatif

    Sumbawa Besar

    Jumlah 313 NegatifPoto Tano 50 NegatifSeteluk 50 NegatifTaliwang 60 Negatif

    Sumbawa Barat

    Jumlah 160 NegatifDompu 160 NegatifWoja 334 Negatif

    Dompu

    Jumlah 494 NegatifMadapangga 237 NegatifWoha 147 NegatifBolo 120 NegatifLanggudu 30 Negatif

    Bima

    Jumlah 534 NegatifAsakota 36 NegatifRaba 1 NegatifRasanae Timur 27 NegatifEmpunda 20 Negatif

    Kota Bima

    Jumlah 84 NegatifTotal 3.154 Negatif

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    19

    Tabel 3 . Hasil Uji Serologis Brucellosis Provinsi NTT

    HASIL UJIKABUPATEN KECAMATAN JUMLAH SAMPELRBPT CFT

    Molo Utara 8 Negatif NegatifMiomaffo Barat 9 Negatif NegatifMussi 14 Negatif NegatifNeomutiara 12 Negatif NegatifNaibenu 81 Negatif NegatifNailanu 81 Negatif Negatif

    TTU

    Jumlah 205 Negatif NegatifAmanuban Selata 122 Negatif NegatifMolo Utara 8 Negatif NegatifTTS

    Jumlah 130 Negatif NegatifAlak 35 Negatif NegatifMaulafa 20 Negatif NegatifKota Raja 53 3 (Positif) 3 (Positif)

    Kota Kupang

    Jumlah 108 3 (Positif) 3 (Positif)/2,78%Kupang Tengah 161 Negatif NegatifKupang Timur 139 1 (Positif) 1 (Positif)Amarasi Barat 16 Negatif NegatifFatu Leu 16 Negatif NegatifTaebeno 26 Negatif NegatifTakari 11 Negatif NegatifHawumehara 39 Negatif NegatifSulamu 12 Negatif Negatif

    KabupatenKupang

    Jumlah 420 1 (Positif) 1 (Positif)/0,24%Ileape 47 Negatif NegatifLebatukan 46 Negatif NegatifLembata

    Jumlah 93 Negatif NegatifSabu Barat 42 Negatif NegatifSabu Timur 162 Negatif NegatifSaburaijua

    Jumlah 204 Negatif NegatifTeluk Mutiara 85 Negatif NegatifKabala 19 1 (Positif) 1 (Positif)Alor Barat Daya 83 Negatif NegatifAlor Barat laut 22 Negatif NegatifAlor Tengah Utara 14 Negatif NegatifAlor Timur Laut 10 Negatif NegatifAlor Timur 23 Negatif NegatifLembur 63 Negatif NegatifPantar Tengah 72 Negatif NegatifPantar barat Laut 5 Negatif Negatif

    Alor

    Jumlah 396 1 (Positif) 1 (Positif)/0,25%Magepanda 68 Negatif NegatifHewokluang 3 Negatif NegatifKangae 4 Negatif NegatifMapitra 52 Negatif NegatifWaigete 53 Negatif NegatifKewapante 50 Negatif NegatifMego 50 Negatif NegatifWaiklana 53 Negatif Negatif

    Sikka

    Jumlah 333 Negatif NegatifRote Barat Daya 16 Negatif NegatifRote Barat Laut 15 Negatif NegatifRote Tengah 162 Negatif NegatifLobalae 79 Negatif Negatif

    Rotendao

    Jumlah 272 Negatif NegatifMalaka Barat 103 5 Positif NegatifMalaka Tengah 30 Negatif NegatifWewiku 50 Negatif NegatifMalaka

    Jumlah 183 Negatif NegatifTotal 2.344 10 Positif 5 Positif

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    20

    PEMBAHASAN

    Pulau Bali sudah dinyatakan bebas Brucellosis secara historis. Pulau Lombok,

    berhasil dibebaskan dari Brucellosis sejak tahun 2002 (Keputusan Menteri

    Pertanian Nomor 444/Kpts/TN.540/7/2002), melalui surveilans secara massal

    selama tiga tahun. Kemudian disusul dengan dibebaskannya Pulau Sumbawa

    pada tahun 2006 (Keputusan Menteri Pertanian Nomor :

    97/Kpts/PO.660/2/2006), dengan pola pembebasan yang sama dengan Pulau

    Lombok (Putra,dkk., 2006). Semua reaktor yang ditemukan dalam periode waktu

    pembebasan telah dimusnahkan atau di potong paksa.

    Hasil monitoring Brucellosis tahun 2015 di Provinsi Bali, dari 1.395 sampel

    serum yang diuji semuanya negatif Brucellosis. Demikan halnya untuk Provinsi

    Nusa Tenggara Barat, dari 3.154 sampel serum yang diuji berasal dari Pulau

    Sumbawa dan Pulau Lombok, semuanya negatif mengandung antibodi brucella.

    Hal ini, mengindikasikan bahwa sampai saat ini Provinsi Bali dan NTB masih

    bebas dari Brucellosis.

    Hasil pengujian terhadap sampel serum yang berasal dari Provinsi Nusa

    Tenggara Timur, Brucellosis ditemukan di Kota Kupang (2,78%). Seperti

    diketahui bahwa daratan timur merupakan wilayah terinfeksi Brucellosis dengan

    prevalensi

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    21

    dapat dihindari dan dimasa mendatang, agar dapat dipertimbangkan kembali

    apabila ingin memasukkan ternak sapi dari daratan timor. Hasil uji Brucellosis

    dari kabupaten di daratan timornya lainnya seperti Timor Tengah Selatan, Timor

    Tengah Utara, dan Malaka pada tahun 2015 semuanya negatif. Seperti diketahui

    bahwa Kabupaten TTU dan Malaka (pemekaran dari Kabupaten Belu)

    merupakan daerah Brucellosis dengan prevalensi >2% dan di kedua daerah

    tersebut pernah dilakukan vaksinasi brucellosis, dengan hasil uji semua negatif

    pada tahun 2015 masih perlu dilakukan konfirmasi lebih lanjut dengan

    pengambilan sampel yang memadai sesuai dengan kaidah epidemiologi

    sehingga prevalensi yang sebenarnya dapat diketahui dengan jelas.

    Hasil surveilans Brucellosis di Pulau Flores tahun 2015 di Kabupaten Sikka,

    Ngada, Nagekeo semuanya negatif, seperti diketahui bahwa prevalensi

    Brucellosis di Pulau Flores masih sangat rendah, Brucellosis di Pulau Flores

    pernah dilaporkan di Kabupaten Ende pada 1 ekor sapi pada tahun 2006

    (Dartini, dkk 2007) dan sapi tersebut sudah dipotong bersyarat. Berdasarkan

    data hasil surveilans dalam beberapa tahun di Pulau Flores maka kemungkinan

    untuk program pemberantasannya sangat memungkinkan untuk dilakukan,

    sebelum berkembang menjadi lebih besar.

    Brucellosis di Kabupaten lainnya di Provinsi NTT seperti Kabupaten Lembata,

    Kabupaten Saburaijua, Kabupaten Rotendau masih negatif, namun untuk bisa

    dinyatakan sebagai wilayah bebas Brucellosis perlu dilakukan surveiulans

    secara terstruktur dengan sampel yang memenuhi persyaratan epidemiologi dan

    dilakukan secara serentak dan berkesinambungan, serta memperketat lalu lintas

    ternak antar pulau.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    22

    KESIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Kesimpulan

    Berdasarkan hasil surveilans diatas dapat disimpulkan bahwa

    1. Provinsi Bali dan Nusa Tenggara Barat masih merupakan daerah bebas

    Brucellosis

    2. Perlu dilakukan surveilans lebih intensif di daratan timor untuk

    mendapatkan prevalensi Brucellosis yang lebih akurat.

    3. Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Alor, Lembata, Flores, dan

    Rotendau sangat memungkinkan untuk dilakukan

    5.2 Saran

    Untuk mendapatkan data prevalensi Brucellosis yang lebih akurat di Daratan

    Timor perlu dilakukan surveilans lebih lanjut dengan pengambilan sampel yang

    lebih representatif dan memenuhi kaidah-kaidah epidemiologi.

    UCAPAN TERIMAKASIH

    Terimakasih yang sebesar-besarnya kami sampaikan kepada Dinas peternakan

    atau dinas yang membidangi fungsi peternakan dan kesehatan hewan di

    Provinsi Bali, Provinsi Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur yang

    telah membantu terselanggaranya surveilans ini.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    23

    DAFTAR PUSTAKA

    Dartini dan Rince MB (2007), Deteksi Dini Reactor Brucellosis di Kabupaten Ende danKabupaten Ngada, Bulletin veteriner, BBVet Denpasar.

    Instruksi Kerja Metode Pengujian, Jaminan Mutu Laboratorium Balai Penyidikan dan PengujianVeteriner regional VI Denpasar.

    Martin, W., Meek, A. H., dan Willeberg, P., 1987. Principles and Methods :eterinaryEpidemiology. IOWA State University Press/ames. USA.

    OIE (2009) Terrestrial Animal . Halaman 10 – 11

    Putra.A.A.G.; Ekaputra.I.G.M.; Semara Putra.A.A.G.; dan Dartini.N.L.; (1995). Prevalensi danDistribusi Reactor Brucellosis di Kawasan Nusa Tenggara pada Tahun1994 – 1995.Laporan BPPH Wilayah VI Denpasar.

    Putra.A.A.G., (2001). Kajian Epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadappendapatan petani, daerah danb nasional : Dengan penekanan pada Propinsi NusaTenggara Timur, Bulletin Veteriner, XIII (58) : 8 – 18.

    Putra.A.A.G., Arsanai.N.M., Dartini.N.L., Semara Putra.A.A.G., Rince.M.B., (2006). Evaluasiakhir pemberantasan brucellosis pada sapi/kerbau di Pulau Sumbawa, BulletinVeteriner, BPPV Regional VI Denpasar, Vol. XVIII, No. 68, hal. 46 – 54.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    24

    SURVEILANS DAN MONITORING BRUCELLOSISDI PULAU SUMBA

    Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati,Cok. G.R.Krisna Ananda, Mamak Rohmanto, Surya Adekantari.

    Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

    Kementerian Pertanian

    ABSTRAK

    Program pemberantasan brucellosis di Pualu Sumba telah dilakukan melalui surveilans selama 3(tiga) tahun, yaitu tahun 2012 sebagai survei pendahuluan, 2013 surveilans massal tertarget(sapi/kerbau umur 1 tahun atau lebih) di seluruh desa yang ada di Pulau Sumba, dan tahun 2014surveilans penyisiran terhadap desa-desa yang belum terambil pada tahun 2013 dan desa denganhasil uji positif CFT. Sampel serum diuji secara RBPT sebagai uji skrining jika ada positifdilanjutkan dengan uji CFT. Dari tahun 2012, 2013 dan 2014 sebanyak 60.809 ekor sapi/kerbauumur 1 tahun atau lebih telah diperiksa serumnya dan menunjukan hasil negatif antiboditerhadap Brucella abortus. Sampel serum diambil dari seluruh desa yang ada di Pulau Sumba.Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, sebanyak 187 dikategorikan sebagai desa monitoringnegatif dan 239 desa sebagai desa uji masal negatif. Selama surveilans tidak ditemukan adanyasapi/kerbau yang memperlihatkan gejala klinis Brucellosis. Berdasarkan data tersebut diatas danpersyaratan yang ditetapkan oleh OIE, yang mengisyaratkan bahwa prevalensi reaktor setinggi-tingginya 0,2% sebagai daerah bebas Brucellosis, maka Pulau Sumba sudah dinyatakan sebagaidaerah bebas brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keputusan Menteri PertanianRepublik Indonesia Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015. Untukmenpertahankan Pulau Sumba sebagai daerah bebas brucellosis maka Balai Besar VeterinerDenpasar telah melakukan monitoring pada tahun 2015. Dari 602 sampel yang diuji semuanegatif Brucellosis dan berdasarkan informasi dari petugas dinas peternakan tidak ada laporanternak yang menunjukkan gejala klinis mengarah ke Brucellosis. Berdasarkan data tersebutdapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih bebas Brucellosis.

    Kata Kunci : Brucellosis, Brucella abortus, RBPT, CFT, Pulau Sumba.

    PENDAHULUAN

    1. Latar Belakang

    Di Indonesia, Brucellosis secara serologi dikenal pertama kali pada tahun 1935,

    ditemukan pada sapi perah di Grati, Kabupaten Pasuruhan, Jawa Timur dan

    kuman Brucella abortus berhasil diisolasi pada tahun 1938. Pada tahun 1940

    Brucellosis juga dilaporkan muncul di Sumatra Utara dan Aceh, yang dikenal

    dengan sebutan sakit sane (radang sendi) atau sakit burut (radang testis) (Roza,

    1958).

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    25

    Secara serologis kejadian Brucellosis telah ditemukan di beberapa pulau di

    Indonesia, yaitu di Pulau Sumatra, Jawa, Sulawesi (Hamidjojo, 1984;

    Partodihardjo dkk., 1979; Sudiana dkk, 1989; Sulaiman, 1996; 2005; Witono, dkk.,

    1999), Timor, Sumba, Flores (Putra, dkk., 1995; Putra, 2002b,c; Putra, 2005;

    Putra dkk., 2001; Dartini dkk, 2006, 2006a).

    Brucellosis merupakan salah satu penyakit yang dapat menimbulkan kerugian

    ekonomi yang cukup besar (Putra, 2001). Kerugian utama ialah terjadinya

    keguguran dan gangguan fertilitas serta dapat menghambat perdagangan ternak

    (Siregar, 2000). Di samping kerugian secara ekonomi, Brucella abortus dapat juga

    mengancam kesehatan masyarakat karena bersifat zoonosis.

    Indonesia merupakan negara kepulauan, secara geografis memiliki potensi yang

    besar untuk dapat mencegah, mengendalikan dan bila perlu memberantas suatu

    penyakit hewan menular, termasuk Brucellosis. Dalam kaitan ini, perlu

    dikaji/dipelajari teknik pemberantasan Brucellosis dengan pendekatan pulau per

    pulau seperti yang pernah dilaksanakan di Denmark (Seit, 1958).

    Penularan Brucellosis biasanya terjadi secara oral, melalui hidung atau mata

    (Alton, 1981). Proses terjadinya penularan yang utama ialah melalui bahan

    makanan atau minuman yang terkontaminasi kuman Brucella abortus. Di samping

    itu, penularan juga dapat terjadi secara kongenital, progeni yang dilahirkan dari

    induk penderita cendrung menjadi latent carrier, dan abortus terjadi pada saat

    terjadinya kebuntingan yang pertama (Dolan, 1980; Lapraik dan Moffat, 1982).

    Hewan latent carrier (pada sapi dara) ini sangat sulit dideteksi secara serologis.

    Pada saat sapi bunting, fetus atau membrannya mengandung banyak karbohidrat

    yang disebut erythritol. Karbohidrat ini sangat dibutuhkan untuk perkembang

    biakan kuman Brucella, akhirnya menimbulkan peradangan pada uterus, dan

    kondisi tersebut mengakibatkan terjadinya keguguran. Material inilah yang

    selanjutnya akan mengkontaminasi lingkungan (misalnya padang

    penggembalaan, air) dan merupakan sumber penularan bagi ternak lainnya

    (Alton, 1981).

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    26

    Pulau Sumba merupakan satu-satunya pulau yang merupakan pusat

    pemeliharaan/pembibitan sapi Ongole di Indonesia. Namun demikian ada

    beberapa permasalahan yang dapat menghambat pengembangan sapi Ongole

    tersebut, diantaranya adalah penyakit hewan menular seperti Brucellosis. Secara

    serologis, reaktor Brucellosis di pulau Sumba pertama kali didiagnosa pada tahun

    1996 yaitu di Kabupaten Sumba Timur (Putra, dkk. 1997). Program

    pemberantasan Brucellosis telah dilakukan melalui surveilans yang intensip pada

    tahun 2012 – 2014 dan Pulau Sumba sudah ditetapkan sebagai daerah bebas

    Brucellosis pada sapi dan kerbau dengan Surat Keptusan Menteri Pertanian

    Republik Indonesi Nomor 52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015.

    Untuk tetap mempertahankan Pulau Sumba bebas Brucellosis dan deteksi dini

    kemungkinan adanya Brucellosis di Pulau Sumba, maka Balai Besar Veteriner

    Denpasar telah melakukan monitoring pada tahun 2015.

    2. Tujuan

    Pada prinsipnya tujuan monitoring Brucellosis pada sapi dan kerbau tahun 2015

    di Pulau Sumba adalah:

    1. Untuk mengetahui secara dini (deteksi dini) kemungkinan adanya Brucellosis

    di Pulau Sumba.

    2. Untuk mempertahankan Pulau Sumba sebagai daerah bebas Brucellosis.

    3. Untuk memperbaiki lingkungan budidaya peternakan yang bebas Brucellosis.

    4. Untuk meningkatkan produktivitas dan reproduktivitas ternak sapi dan kerbau

    di pulau Sumba,

    MATERI DAN METODA

    1. Materi

    Bahan yang dipergunakan dalam surveilans dan monitoring Brucellosis di Pulau

    Sumba antara lain antigen Brucella abortus Rose Bengal dan antigen CFT

    beserta reagennya. Tabung venoject untuk pengambilan sampel, mikrotube,

    makroplate untuk uji RBPT, rotary agglutinator, inkubator, waterbath, dan lain

    sebagainya.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    27

    2. Metode

    Program pemberantasan Brucellosis di Pulau Sumba dilakukan dengan

    surveilans bertahap dan terstruktur dari tahun 2012 sampai dengan 2014.

    Setelah Pulau Sumba ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi

    dan kerbau tahun 2015, maka monitoring harus terus dilakukan untuk

    mempertahankan Pulau Sumba tetap sebagai daerah bebas Brucellosis.

    Monitoring dilakukan dengan pengambilan sampel serum sapi dan kerbau di

    semua kabupaten di Pulau Sumba. Spesimen serum diuji secara bertahap yaitu

    dengan Rose Bengal Plate Test (RBPT) sebagai uji pendahuluan/screening dan

    apabila ada yang positif dilanjutkan dengan uji konfirmasi Complemen Fixation

    Test (CFT) (Alton.et al, 1975; OIE, 2009). Ternak yang positif CFT dinyatakan

    sebagai reaktor. Bila ada reaktor positif akan dipotong bersyarat dan diawasi

    oleh petugas Dinas Peternakan setempat, serta organ reproduksi diambil

    kemudian dikirim ke laboratorium BBVet Denpasar untuk isolasi dan identifikasi

    bakteri Brucella abortus.

    HASIL

    Sejak hasil uji CFT positif ditemukan di Pulau Sumba, survei/monitoring terus

    dilakukan sampai tahun 2011. Kemudian dilakukan surveillans terstruktur pada

    tahun 2012, 2013 dan 2014. Pada tahun 2012 selain melakukan pengambilan

    dan pengujian spesimen, juga dilakukan pengumpulan data dasar baik

    terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah desa, serta kecamatan yang ada

    di Pulau Sumba . Hasil uji spesimen tahun 2012 terhadap 3165 spesimen

    serum hasilnya negatif. Populasi sapi dan kerbau umur ≥ 1 tahun pada tahun

    2012 sebanyak 51.529 ekor. Pada tahun 2013, dari 50.716 spesimen serum

    yang diuji. ditemukan hanya satu reaktor terdapat di Kabupaten Sumba Timur

    di desa Patawang, Kecamatan Umalulu.

    Dari 426 desa yang ada di Pulau Sumba, pada tahun 2013 sebanyak 346 desa

    yang disampling. Dari 346 desa tersebut ditemukan satu reaktor Brucellosis,

    yaitu di Desa Patawang, Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur, dan

    dikategorikan sebagai desa tertular. Setelah dilakukan penelusuran kembali

    pada desa tertular tersebut pada tahun 2013 dan 2014, hasilnya negatif,

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    28

    sehingga bisa dikategorikan sebagai desa monitoring negatif. Pada tahun 2014

    jumlah spesimen yang diambil secara keseluruhan di Pulau Sumba sebanyak

    6.928 spesimen semuanya negatif Brucellosis.

    Berdasarkan hasil surveillans Brucellosis di Pulau Sumba dari tahun 2012

    sampai tahun 2014, diketahui bahwa seluruh desa yang ada di Pulau Sumba

    (426 desa) telah diperiksa, dengan kategori sebagai desa monitoring negatif 187

    dan sebagai desa uji masal negatif 239 desa. Berdasarkan data tersebut maka

    Pulau Sumba telah ditetapkan sebagai daerah bebas Brucellosis pada sapi dan

    kerbau dengan Surat Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesi Nomor

    52/Kpts/PD.630/1/2015 tanggal 19 Januari 2015 . Pada tahun 2015 sebanyak

    602 sampel serum diambil dari kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah,

    Sumba Barat, dan Sumba Barat Daya. Hasil uji terhadap serum tersebut semua

    negatif Brucellosis (Tabel 1).

    Tabel 1. Hasil Uji Serologis Brucellosis Pul;au Sumba Provinsi NTT Tahun2015

    Berdasarkan laporan Dinas Peternakan se Pulau Sumba dan hasil pengamatan

    petugas surveillans BBVet Denpasar tidak ditemukan adanya gejala klinis

    seperti keguguran, retensi plasenta, orchitis, epididimitis, arthritis/hygroma,

    ataupun gejala lainnya yang mengarah ke Brucellosis.

    HASIL UJIKABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPEL RBPT CFTPahungaLodo 140 Negatif NegatifSumba Timur

    Jumlah 140 Negatif NegatifUmburatuNggai 151 Negatif NegatifKatikutana 22 Negatif Negatif

    Sumba Tengah

    Jumlah 173 Negatif NegatifWanokaka 77 Negatif NegatifLoli 58 Negatif NegatifTanarighu 24 Negatif Negatif

    Sumba Barat

    Jumlah 159 Negatif NegatifWewewa Barat 23 Negatif NegatifWewewaTimur 64 Negatif NegatifKodiBangedo 26 Negatif NegatifKodi 17 Negatif Negatif

    Sumba BaratDaya

    Jumlah 130 Negatif NegatifTotal 602 Negatif Negatif

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    29

    PEMBAHASAN

    Pada tahap pertama, surveillans pendahuluan yang dilakukan pada tahun 2012

    selain melakukan pengambilan dan pengujian spesimen, juga melakukan

    pengumpulan data dasar baik terhadap jumlah populasi ternak, data jumlah

    desa serta kecamatan yang ada di Pulau Sumba. Hasil uji spesimen tahun 2012

    terhadap 3165 spesimen, masing-masing berasal dari Kabupaten Sumba Barat

    Daya sebanyak 789 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Barat sebanyak

    813 spesimen, hasilnya negatif RBPT, Sumba Tengah sebanyak 843 spesimen

    (dua sampel positif dengan uji RBPT, dilanjutkan dengan uji CFT hasilnya

    negatif) dan Sumba Timur sebanyak 720 spesimen, hasilnya negatif RBPT.

    Data tersebut dijadikan sebagai dasar untuk menentukan program pembebasan

    Brucellosis selanjutnya pada tahun 2013.

    Pada tahun 2013 telah dilakukan pemeriksaan terhadap spesimen serum sapi

    dan kerbau yang berumur ≥ 1 tahun, sebanyak 49.571, dengan hasil pengujian

    semuanya negatif sebagai reaktor Brucellosis. Spesimen tersebut diambil di

    346 desa dari 426. Namun demikian pada tahun yang sama, Balai Karantina

    Pertanian Kelas I Kupang juga melakukan pengambilan dan pengujian

    spesimen untuk Brucellosis, dimana dari 1.145 spesimen yang diuji, satu

    spesimen diantaranya positif antibodi Brucellosis secara CFT. Berdasarkan

    hasil tersebut, maka BBVet Denpasar melakukan penelusuran tentang asal dan

    lokasi pengambilan spesimen yang positif tersebut, bekerjasama dengan BKP

    Kelas I Kupang dan Dinas Peternakan se Pulau Sumba. Dari hasil penelusuran

    tersebut diketahui bahwa spesimen tersebut diambil dari Desa Patawang,

    Kecamatan Umalulu, Kabupaten Sumba Timur. Berdasarkan hasil tersebut,

    BBVet Denpasar, Disnak Sumba Timur dan BKP Kelas I Kupang melakukan

    penelusuran kembali dengan pengambilan spesimen sapi dan kerbau di Desa

    Petawang dan desa-desa yang kemungkinan pernah menerima ternak dari

    Desa Petawang, yakni Desa Kombapari Kecamatan Hamu Lingu, Desa

    Hanggororu Kecamatan Rindi dan Kelurahan Kambajawa Kecamatan Kota

    Waingapu. Dari 233 sampel yang diambil, hasilnya semua negatif sebagai

    reaktor.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    30

    Pada tahun 2014 kembali dilakukan pengambilan dan pemeriksaan spesimen di

    80 desa yang berstatus belum diperiksa dan di desa yang berstatus monitoring

    negatif, serta pengambilan spesimen di satu desa tertular (lokasi positif CFT

    hasil uji tahun 2013). Hasil pengujian spesimen di tahun 2014 sebanyak 6.928

    (sapi/kerbau) menunjukan bahwa satu spesimen dari Sumba Barat positif

    RBPT namun setelah dikonfirmasi dengan uji CFT hasilnya negatif.

    Berdasarkan hasil-hasil tersebut maka desa yang ada di Pulau Sumba dapat

    dikategorikan sebagai berikut, dari 426 desa yang ada, 187 (43,90%) desa

    dengan status monitoring negatif, 239 desa (56,10%) sebagai desa dengan uji

    massal negatif dan tidak ada desa dengan status desa tertular.

    Hasil surveilans tahun 2015 menunjukkan bahwa dari 602 sampel yang diuji

    semuanya negatif Brucellosis dan berdasarkan laporan Dinas Peternakan dan

    hasil pengamatan petugas surveillans BBVet Denpasar tahun 2015 tidak

    ditemukan adanya gejala klinis seperti keguguran, retensi plasenta, orchitis,

    epididimitis, arthritis/hygroma, ataupun gejala lainnya yang mengarah ke

    Brucellosis. Berdasarkan data tersebut diatas maka dapat disimpulkan bahwa

    Pulau Sumba masih bebas dari Brucellosis pada sapi dan kerbau.

    Pengawasan lalu lintas ternak dari satu desa ke desa lainnya di Pulau Sumba

    perlu dilakukan secara ketat. Hal ini dilakukan untuk mempertahankan status

    desa yang sudah diketahui, mengingat antara desa yang satu dengan desa

    yang lainnya di Pulau Sumba berada dalam satu daratan yang lalu lintas

    ternaknya cukup tinggi dan sulit dilakukan pengawasan. Pengawasan lalu lintas

    ternak antar pulau perlu mendapat perhatian serius, untuk hal tersebut, peran

    aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah Pulau Sumba

    dinyatakan bebas Brucellosis.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    31

    KESIMPULAN DAN SARAN

    1. Kesimpulan

    Berdasarkan hasil pengujian sampel Brucellosis tahun 2015 di Pulau Sumba

    dan pengamatan di lapangan dapat disimpulkan bahwa Pulau Sumba masih

    bebas Brucellosis pada sapi dan kerbau.

    2. Saran-Saran

    a. Pengawasan lalu lintas ternak perlu mendapat perhatian serius. Untuk hal

    tersebut, peran aktif dari Karantina Pertanian sangat diperlukan setelah

    Pulau Sumba dinyatakan bebas Brucellosis.

    b. Pelaksanaan surveillans tetap dilaksanakan, walaupun Pulau Sumba sudah

    mendapatkan status bebas Brucellosis.

    DAFTAR PUSTAKA

    Alton.G.G.; Jones.L.M.; Angus.R.D.; Verger.J.M., (1975). Techniques for The BrucellosisLaboratory. Hal.81-87.

    Alton, G.G. (1981) The control of bovine brucellosis: Recent developments. World Animal Review39: 17-24.

    OIE (2009), Bovine Brucellosis. Chapter 11.3, article 11.3.2 dan 11.3.3: 581 - 584.

    Dartini N.L.; Rince M.B; Suendra ; Suka ; Suparta. (2006a). Laporan Surveilans Brucellosis diProvinsi Nusa Tenggara Timur. BPPV Regional VI Denpasar.

    Dartini N.L. dan Rince M.B., (2006b). Deteksi Dini Reaktor Brucellosis di Kabupaten Ende danNgada Provinsi Nusa Tenggara Timur tahun 2006. Bulletin Veteriner.

    Dolan, L. A. (1980). Latent carrier of brucellosis. Veterinary Record 106: 241-243.

    Hamidjojo, A. N. (1984) Epidemiologi brucellosis pada ternak sapi di Sulawesi Utara. PenyakitHewan XVI: 246-248.

    Lapraik, R. D. and Moffat R. (1982) Latent bovine brucellosis. Veterinary Record 111: 578-579.

    Partodihardjo, S., Noordin M., Darodjat S. M., Sugijanto dan Djojosoedarmo S. (1979) Surveiserologik terhadap brucellosis dan leptospirosis pada ternak potong di Jawa Tengah, JawaTimur dan Bali. Media Veteriner 1: 30-34.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    32

    Putra, A.A.G. (2001) Kajian epidemiologi dan dampak ekonomi brucellosis terhadap pendapatanpetani, daerah dan nasional: Dengan penekanan pada Propinsi Nusa Tenggara Timur.Buletin Veteriner XIII (58): 8-18.

    Putra, A.A.G., Muthalib, A., Arsani, N.M., Sunarya, G.M. dan Yuwana, W.S. (2002a) Evaluasipemberantasan brucellosis pada sapi dan kerbau di pulau Lombok. Dalam “Brucellosis.Program dan evaluasi pemberantasan: Suatu model Pemberantasan di pulau Lombok,Nusa Tenggara Barat”. Monograph No. 1, Balai Penyidikan Penyakit Hewan Wilayah VIDenpasar, 1-93.

    Putra, A.A.G. (2002b) Prevalensi reaktor bovine brucellosis di Kabupaten Kupang, Propinsi NusaTenggara. Buletin Veteriner XIV (60): 7-12.

    Putra, A.A.G. (2002c) Evaluasi pemberantasan brucellosis dengan vaksinasi di Kabupaten TimorTengah Utara dan Belu Propinsi Nusa Tenggara Timur. Buletin Veteriner XIV (60): 13-20.

    Putra, A.A.G. (2005) Analisis faktor risiko berjangkitnya bovine brucellosis di breeding farmBaturraden Jawa Tengah dan upaya pemberantasannya. Laporan BPPV Regional VIDenpasar.

    Putra, A.A.G. dan Arsani, N.M. (2005) Evaluasi tahun ke tiga pemberantasan brucellosis padasapi/kerbau di pulau Sumbawa: Data surveilans sampai dengan Desember 2004. LaporanBPPV Regional VI Denpasar.

    Putra, A.A.G., Ekaputra I G.M., Semara Putra.A.A.G. dan Dartini. N.L. (1995) Prevalensi dandistribusi reaktor brucellosis di kawasan Nusa Tenggara pada tahun 1994-1995. LaporanBPPH Wilayah VI Denpasar.

    Putra, A.A.G., Sulaiman, I., Loasana, A., Hendrina dan Ben, R. (2001) Pemberantasan brucellosisdengan test and slaughter: Suatu model dengan pendekatan desa. Buletin Veteriner XIII(59): 1-15.

    Roza, M. (1958) Beberapa segi dari pemberantasan brucellosis bang. Hemera Zoa LXV (No. 3-4):128-149.

    Seit, B. (1958) Brucellosis in man and animals, with special respect to denish laws concerningbrucellosis bovis and the eradication of the disease. Hemera Zoa LXV (No. 3-4): 150-172.

    Sudiana, E., Hirst, R.G., and Patten, B. (1989) Epidemiological study on brucellosis in dairy cattle inthe Bogor area. Proceedings Seminar Nasional Epidemiologi Veteriner ke I, DirektoratKesehatan Hewan, Ditjennak, Jakarta, 95-102.

    Sulaiman, I. (1996) Beberapa aspek mengenai program penanggulangan dan pemberantasanbrucellosis. Laporan BPPH VII Maros.

    Sulaiman, I. (2005) Hasil sero-survey brucellosis di pulau Jawa. Laporan disajikan pada RapatKoordinasi Penanggulangan Penyakit Zoonosis pada Ternak Besar di Pulau Jawa,diselenggarakan oleh Dinas Peternakan Propinsi Jawa Tengah di Semarang pada tanggal22-23 Mei 2005.

    Witono, S., Poermadjaja, B., Usman, T.B., dan Sapardi, M. (1999) Letupan brucellosis pada suatupeternakan sapi perah di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Makalah disajikan pada RapatTeknis dan Pertemuan Ilmiah Kesehatan Hewan, Ditjennak, Yogyakarta 03-06Nopember1999.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    33

    MONITORING DAN SURVEILANS SEDI ILAYAH KERJA BBVet DENPASAR TAHUN 2015

    ( Ni Luh Dartini, I Ketut Narcana, Ni Ketut Harmini Saraswati;Cok. R.K. Ananda; Mamak Rohmanto; Surya Adekantari

    Balai Besar Veteriner DenpasarDirektorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan

    Kementerian Pertanian

    ABSTRAK

    Septicaemia Epizootica (SE) / Haemorrhagic septicaemia (HS) merupakan salah satu penyakitmenular pada ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal.Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesiamasih bersifat endemis dan terkadang mewabah. Di Proninsi Bali, Nusa Tenggra Barat, danNusa Tenggara Timur yang merupakan wilayah kerja BBVet Denpasar, diketahui merupakanwilayah endemis SE atau hampir setiap tahun ada laporan kasus SE, kecuali di Pulau Lombokyang telah dinyatakan sebagai wilayah bebas SE. Untuk mengetahui situasi SE terkini di ProvinsiBali, NTB, dan NTT, maka BBVet Denpasar telah melakukan surveilans melalui pengambilansampel darah dari hewan peka terutama sapi dan kerbau. Sampel serum diuji dengan metodeELISA untuk deteksi antibody terhadap Pasteurella multocida type B2. Hasil surveilansmenunjukkan bahwa tingkat kekebalan kelompok ternak yang di sampling tahun 2015 rata-ratamasih sangat rendah (kurang dari 70%), yaitu di Provinsi Bali 33,19%, Pulau Sumbawa 47,47%,dan Provinsi NTT 47,15%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinyakasus SE. untuk itu disarankan kepada dinas peternakan atau dinas yang membidangi fungsipeternakan dan kesehatan hewan untuk melakukan vaksinasi SE dengan cakupan yangmemadai.

    Kata Kunci: SE, Antibodi, Bali, NTB, NTT

    PENDAHULUAN

    Septicaemia Epizootica (SE) atau Haemorrhagic Septicaemia (HS), di Indonesia

    dikenal sebagai penyakit ngorok, disebabkan oleh bakteri Pasteurella multocida.

    Septicaemia Epizootica merupakan salah satu penyakit menular pada

    ruminansia terutama pada ternak sapi dan kerbau yang bersifat akut dan fatal

    (OIE, 2009; Jaglic et al.,2006). Situasi penyakit ini secara umum dibeberapa

    Negara Asia dan Afrika, termasuk di Indonesia masih bersifat endemis dan

    terkadang mewabah (Benkirane and Alwis, 2002). Penyakit ini secara ekonomis

    sangat merugikan. Selain akibat kematian yang ditimbulkan juga karena

    turunnya produktifitas ternak, hilangnya tenaga kerja, dan tingginya biaya untuk

    penanggulangannya, (Farooq et al., 2007) seperti biaya untuk pembelian vaksin,

    operasional vaksinasi, pengobatan, dan sebagainya.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    34

    Sebagai salah satu penyakit strategis di Indonesia, SE merupakan penyakit

    yang harus mendapat prioritas dalam penanggulangan dan pemberantasannya.

    Program pengendalian dan pemberantasan SE di Indonesia secara umum

    masih difokuskan pada kegiatan pencegahan wabah melalui vaksinasi massal

    hanya dikantung-kantung penyakit disuatu wilayah. Kegiatan ini masih belum

    efektif karena belum dilakukan secara intensif dan berkelanjutan. Keberhasilan

    untuk menciptakan suatu wilayah atau pulau yang bebas dari SE dapat

    diwujudkan dengan melakukan program pemberantasan yang terencana,

    melaksanakan program vasinasi massal yang mencakup seluruh populasi, dan

    dilanjutkan dengan program monitoring dan surveilans yang intensif. Hal ini

    dibuktikan dengan keberhasilan pembebasan SE di Pulau Lombok pada tahun

    1985 dan status bebasnya dinyatakan dengan surat keputusan Direktorat

    Jenderal Peternakan tanggal 29 April 1985, Nomor.

    213/TN.510/Kpts/DJP/Deptan/85 (Direktorat Bina Kesehatan Hewan, 1995).

    Program serupa juga dicoba diterapkan di wilayah lainnya, seperti di Pulau

    Sumba, NTT dan Pulau Nusa Penida, Bali. Sejak tahun 1984/1985 sampai

    dengan 1986/1987 di Pulau Sumba telah dilakukan program pemberantasan

    penyakit SE (Haemorrhagic Septicaemia/HS). Program tersebut dilakukan

    dengan vaksinasi secara serentak dengan cakupan mencapai hingga 100%

    (Ndima, 1986), akan tetapi kelanjutan program tersebut menjadi tidak jelas, data

    hasil evaluasi dan surveilans tidak dapat ditelusuri. Kemudian sejak tahun 2002

    program pemberantasan kembali dicanangkan, namun sampai tahun 2014

    laporan kasus SE secara klinis masih ada. Di Pulau Nusa Penida, Bali, program

    vaksinasi secara masal dengan cakupan mendekati 100% telah dilakukan sejak

    tahun 1991 sampai dengan tahun 1994, dan sejak tahun 1992 sampai sekarang

    tidak ada laporan kejadian penyakit SE di Pulau Nusa Penida sehingga

    Kecamatan Nusa Penida sudah memenuhi syarat untuk diusulkan sebagai

    wilayah bebas SE. Untuk mengetahui situasi dan tingkat kekebalan kelompok

    ternak terhadap SE, maka Balai Besar Veteriner Denpasar telah melakukan

    surveilans pada tahun 2015 di Provinsi Bali, NTB, dan NTT.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    35

    MATERI DAN METODA

    Penentuan lokasi surveilans dan monitoring SE secara serologis dilakukan

    dengan menggunakan metode detect disease (pada wilayah kerja yang tidak

    melakukan vaksinasi SE, seperti di Pulau Lombok) dan mengukur aras di

    wilayah kerja lainnya (seperti Pulau Bali, Pulau Sumbawa dan Provinsi Nusa

    Tenggara Timur), teknik sampling yang digunakan adalah multi stage dan

    proporsional random sampling. Di Pulau Lombok (tidak melakukan vaksinasi),

    dengan tingkat kepercayaan yang digunakan adalah 95 %, dan asumsi

    prevalensi 0,5 % (data BBVet Denpasar 2013), populasi lebih dari 10.000,

    maka dapat diperoleh perhitungan estimasi besaran sampel menggunakan tabel

    sample size atau rumus n = [1-(1-p1)1/d] x [N-(d-1)/2] sebesar 528 sampel,

    dimana;

    n : adalah besaran sampel,p1 : tingkat kepercayaan (konfidensi) yang diinginkand : adalah jumlah hewan yang terinfeksi danN : adalah besaran populasi unit observasi = ekor ≥10.000

    Jadi minimal sampel yang harus diambil di Pulau Lombok adalah 598. Untuk

    kegiatan tahun 2015 di Pulau Lombok besaran sampel yang diambil sebanyak

    1.323 sampel di 5 kabupaten, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling.

    Di wilayah kerja yang memprogramkan vaksinasi SE (Pulau Bali, Pulau

    Sumbawa dan Provinsi NTT) dengan metode mengukur aras (Martin, 1987)

    yaitu :

    n = 4PQ / L2

    n : adalah besaran sampel,P : adalah tingkat prevalensi,Q : adalah (1 – P) danL : adalah galat yang diinginkan

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    36

    Dengan asumsi prevalensi 38,3 dibulatkan 40% (data Bbvet Denpasar 2013),

    dengan konfidensi 95%, eror 5% , maka jumlah sampel minimal yang harus

    diambil adalah:

    n = 4 x 0,4 x (1- 0,4) 0,052

    n = 4 x 0,4 x 0,6 0,0025n = 384

    Untuk di NTT dengan prevalensi 40% minimal pengambilan sampel 384 sampel

    (dibulatkan 400 sampel). Karena teknik sampling menggunakan multi stage dan

    proposional random sampling, maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di

    kalikan 6, dengan kecamatan sebagai satuan unit sampling. Sehingga di NTT

    besaran sampel yang diambil 400 sampel x 6 = 2.400 sampel.

    Untuk Pulau Sumbawa dengan prevalensi 30% maka sampel minimal yang

    diambil sebesar 336. Di Bali dengan prevalensi 24,39% dibulatkan 25 % adalah

    n = 4 x 0,25 x (1- 0,25) 0,052

    n = 4 x 0,25 x 0,75 0,0025n = 300

    Untuk di Provinsi Bali dengan prevalensi 25% minimal pengambilan sampel 300

    sampel. Karena teknik sampling menggunakan multi stage random sampling,

    maka untuk mengurangi bias hasil perhitungan di kalikan 6, dengan kecamatan

    sebagai satuan unit sampling. Sehingga di Provinsi Bali besaran sampel yang

    diambil 300 sampel x 6 = 1.800 sampel.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    37

    Penentuan Antibodi SE

    Untuk menentukan tingkat kekebalan ternak terhadap SE, sampel serum sapi dan

    kerbau diuji dengan metode Enzyme-linked immunosorbent assay ( ELISA ),

    menggunakan antigen Pasteurella multocida type B2 strain 0332 (ACIAR

    PN.9202/VIAS Australia). Titer ELISA 200 elisa unit (EU) atau lebih dianggap

    protektif, (Widder et al., 1996), dengan prosedur sebagai berikut :

    - Titrasi antigen (untuk mengetahui teter antigen)

    - Coating mikroplate dengan 100 µl antigen per well, inkubasikan semalam

    pada suhu 40C.

    - Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

    ELISA).

    - Masukan serum sampel yang sudah diencerkan sebelumnya 1:200 dalam

    PBS tween pada row 1 sampai 10.

    - Pada setiap mikroplate selalu diisi kontrol positif dan negatif pada row 11 dan

    12.

    - Inkubasikan 1 jam pada temperatur kamar.

    - Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

    ELISA).

    - Titrasi konjugate (untuk mengetahui titer konjugate)

    - Masukan 100 µl konjugate siap pakai (sudah diencerkan) pada setiap

    lubang, inkubasikan 1 jam pada suhu kamar.

    - Cuci mikroplate sebanyak tiga kali dengan PBS tween (buffer pencuci

    ELISA).

    - Tambahkan substrat 100 µl pada setiap lubang, inkubasikan 30 - 45 menit,

    kemudian dibaca pada panjang gelombang 405 nm.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    38

    Isolasi Pasteurella multocida

    Untuk keperluan isolasi/identifikasi kuman, sampel organ nasopharynk atau

    limfoglandula retropharengea baik dari sapi, kerbau atau babi di rumah potong

    hewan (RPH), khusus di wilayah kerja yang tidak ada RPH sampel berupa swab

    trachea/nasopharynk, kemudian di lakukan penanaman di media agar, sesuai

    metode isolasi dan identifikasi Pasteurella multocida (OIE,2008). Prosedur

    Isolasi sebagai berikut :

    - Inokulasi sampel pada media agar darah selektif dengan cara digores.

    - Inkubasi semalam pada suhu 370C, amati koloni yang tumbuh. Pada media

    agar darah koloni berwarna putih keabu-abuan, berukuran sekitar 1,5 µm x

    0,3 µm.

    - Koloni yang dicurigai diwarnai dengan pewarnaan Gram’s dan amati

    morfologinya secara mikroskopis dengan menggunakan minyak immersi dan

    pembesaran mikroskop 1000x. Pasteurella multocida adalah Gram’s negatif,

    ovoid, pendek, bipolar yang sering dilihat coccoid.

    - Murnikan koloni yang dicurigai dengan melakukan subkultur ke media agar

    darah yang baru dan MacConkey Agar. Inkubasikan semalam pada suhu

    370C. Pasteurella multocida tidak tumbuh pada media MacConkey agar.

    - Selanjutnya lakukan uji biokimia dan gula-gula.

    - Amati hasil uji biokimia dan gula-gula yang dilakukan kemudian dicocokkan

    dengan standard / kontrol positif.

    - Isolat Pasteurella multocida yang diidentifikas diuji dengan PCR untuk

    penetuan serotype B2.

    HASIL

    Hasil surveilans di Provinsi Bali tahun 2015 menunjukkan bahwa rata-rata hanya

    33,19% ternak yang disampling mempunyai antibodi protektif terhadap SE. Hasil

    uji disetiap kabupaten sangat bervariasi. Hasil yang paling tinggi (63%) diperoleh

    dari Kabupaten Buleleng (Tabel 1).

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    39

    Di Provinsi NTB, hasil uji dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu hasil uji dari

    Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa. Di Pulau Lombok jumlah ternak yang positif

    mengandung antibodi SE sebanyak 2,95% (Tabel 2), sedangkan di Pulau

    Sumbawa sebanyak 47,47% ternak yang disampling tahun 2015 positif antibodi

    SE (Tabel 3).

    Tabel 1 . Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi di Provinsi Bali

    NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPELJUMLAH POSITIF

    ANTIBODI SEBaturiti 37 1Kerambitan 30 0Selemadeg Timur 30 0

    1 Tabanan

    Jumlah 97 1 (1,03%)Mengwi 100 28Kuta 41 6Kuta Utara 50 16

    2 Badung

    Jumlah 191 50 (26,18%)Susut 95 41Tembuku 50 7Bangli 45 23Kintamani 50 4

    3 Bangli

    Jumlah 240 75 (31,25%)Denpasar Timur 96 49Denpasar Selatan 135 69Denpasar Utara 50 0

    4 Denpasar

    Jumlah 281 118 (41,99%)Karangasem 40 2Selat 45 45Bebandem 50 0Abang 50 6Sidemen 45 4

    5 Karangasem

    Jumlah 230 57 (24,78%)Sawan 50 46Sukasada 51 36Kubutambahan 50 27Gerokgak 45 16

    6 Buleleng

    Jumlah 196 125 (63,76%)Bannjarakan 146 9Dawan 50 0

    7 Klungkung

    Jumlah 196 9 (4,59%)Jembrana 95 10Melaya 100 49Mendoyo 50 32Pekutatan 251 119

    8 Jembrana

    Jumlah 496 210 (42,34%)Denpasar Timur 96 49Denpasar Selatan 135 69Denpasar Utara 50 0

    9 Gianyar

    Jumlah 188 57 (30,32%)TOTAL 2.115 702 (33,19&)

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    40

    Tabel 2. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbaudi bebrapa Kabupaten di Pulau Lombok Provinsi NTB

    NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPELJUMLAH POSITIF

    ANTIBODI SE

    Wanasaba 163 0Aikmal 131 0Suralaga 40 0

    1 Lombok Timur

    Jumlah 334 0Pringgarata 158 02 Lombok Tengah

    Jumlah 158 0Bayan 80 1Pemenang 80 1Tanjung 80 21

    3 Lombok Utara

    Jumlah 240 23 (9,58%)Kediri 232 7Gerung 200 8Kuripan 105 4

    4 Lombok Barat

    Jumlah 537 19 (3,54%)Tanjung Karang 123 0Sekar Bela 52 1Sandubayu 48 1

    5 Mataram

    Jumlah 223 2 (0,90%)Total 1.492 44 (2,95%)

    Tabel 3. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbau di Kabupaten di Pulau Sumbawa Provinsi NTB

    NO KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPELJUMLAH POSITIF

    ANTIBODI SE

    Bolo 120 5Langgudu 30 3Woha 147 27Madapagga 223 41

    6 Bima

    Jumlah 250 76 (30,4%)Alas Barat 288 1207 Sumbawa

    Jumlah 288 120 (41,67%)Taliwang 60 12Pototano 50 17Seteluk 50 38

    8 Sumbawa Barat

    Jumlah 160 67 (41,88%)Woja 392 241Dompu 37 31

    9 Dompu

    Jumlah 429 272 (63,40%)Total 1.127 535 (47,47%)

    Pada tabel 4 disajikan hasil uji ampel serum dari Provinsi NTT. Pada tahun

    2015 di Provinsi NTT hanya 47,15% ternak yang disampling positifi antibodi SE.

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    41

    Tabel 4. Gambaran Antibodi SE pada Ternak Sapi dan Kerbaudi beberapa Kabupaten Provinsi NTT

    KABUPATEN KECAMATAN JUMLAHSAMPELJUMLAH POSITIF

    ANTIBODI SEAmanuban 122 83Molo Utara 8 6

    TTS

    Jumlah 130 89 (68,46%)Naibenu 81 66Nailanu 81 60

    TTU

    Jumlah 162 126 (77,78%)Maulafa 20 5Alak 30 4Kota Raja 50 38

    Kota Kupang

    Jumlah 100 47 (47%)Kupang Tengah 159 90Kupang Timur 91 67

    Kupang

    Jumlah 250 157 (62,80%)Boawae 65 15Nagekeo

    Jumlah 65 15 (23,08%)Sabu Timur 162 94Sabu Barat 42 29

    Sabu Raijua

    Jumlah 204 123 (60,29%)Bajawa 20 10Ngada

    Jumlah 20 10 (50%)Ileape 47 10Lebatukan 46 26

    Lembata

    Jumlah 93 36 (38,71%)Rote Tengah 185 27Rote Barat Laut 50 50Lobalain 79 69

    Rotendao

    Jumlah 314 146 (46,50%)Waiterang 17 4Nangalobong 36 16Mapitora 52 16Waitlama 53 0Mego 50 16Kewapante 49 28Magepanda 68 8

    Sikka

    Jumlah 325 88 (27,08%)Teluk Mutiara 120 47Kabala 39 13Alor Barat Daya 109 14Alor Barat laut 22 0Alor Tengah Utara 14 0Alor Timur Laut 10 0Alor Timur 23 0Lembur 63 0Pantar Tengah 72 14Pantar barat Laut 5 2

    Alor

    Jumlah 477 90 (18,87%)Pahunga Lodo 140 57Sumba Timur

    Jumlah 140 57 (40,71%)

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    42

    Pada tahun 2015 tidak ada sampel organ atau swab untuk isolasi dan identifikasi

    Pasteurella multocida.

    PEMBAHASAN

    Program pengendalian dan pemberantasan SE bertujuan untuk menghilangkan

    atau menekan terjadinya kasus di daerah tertular, mencegah penyebaran

    penyakit ke daerah yang lebih luas, dan mempertahankan daerah bebas untuk

    tetap bebas. Program pengendalian dan pemberantasan SE, salah satunya

    dilakukan melalui vaksinasi. Vaksinasi dilakukan bertujuan untuk menimbulkan

    kekebalan ternak peka. Status kekebalan terhadap SE pada seekor hewan

    memperlihatkan apakah hewan tersebut rentan atau tahan terhadap infeksi

    kuman Pasteurella multocida. Adanya zat kebal yang cukup dalam tubuh

    hewan, baik yang diperoleh dari hasil vaksinasi maupun akibat infeksi alam akan

    mampu melindungi ataupun memberikan proteksi pada hewan tersebut. Data

    hasil surveilans serologis BBVet Denpasar tahun 2015 menunjukkan bahwa

    tingkat kekebalan kelompok ternak yang disampling rata-rata kurang dari 70%,

    yaitu di Provinsi Bali 33,19%, NTB khususnya Pulau Sumbawa 47,47% dan NTT

    47,15%. Secara umum keadaan ini sangat mengkhawatirkan akan terjadinya

    kasus SE. Rendahnya persentase ternak yang memiliki kekebalan terhadap

    penyakit SE mengakibatkan terjadinya kasus SE setiap tahun.

    Umbu ratunggai 130 70Katikutana 22 18Umburatunggai II 21 18

    Sumba Tengah

    Jumlah 173 106 (61,27%)Wanokaka 77 36Loli 33 20Tanarighu 26 13Loli 25 18

    Sumba Barat

    Jumlah 161 87 (54,04%)Wewewa Barat 17 9Wewewa Timur 64 53Kodi Bangedo 32 16Kodi 17 7

    Sumba BaratDaya

    Jumlah 130 85 (65,39%)Malaka Barat 169 94Wetolus 11 6Wewiku 50 36

    Malaka

    Jumlah 230 136 (59,13%)TOTAL 2.944 1.388 (47,15%)

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    43

    Hal ini didukung oleh adanya laporan kasus penyakit SE secara klinis setiap

    tahun di Provinsi Bali, NTB, dan NTT. Untuk dapat menghindari terjadinya

    wabah,diperlukan minimal 70% ternak memiliki antibodi yang protektif (Widder,

    et al., 1996).

    Rendahnya persentase ternak yang memilili antibodi positif mungkin disebabkan

    oleh beberapa faktor, antara lain : 1. Rendahnya cakupan vaksinasi yang

    mungkin disebabkan karena vaksin yang disediakan pemerintah sangat sedikit.

    2. Mungkin waktu pengambilan sampel yang kurang tepat, belum divaksinasi

    atau vaksinasinya sudah terlalu lama, sehingga antibodi yang ada tidak

    terdeteksi karena kemungkinan baru mulai terbentuk atau sudah dalam proses

    penurunan titer. 3. Sampel yang diambil merupakan ternak yang tidak

    mendapatkan vaksinasi SE. Cakupan vaksinasi yang tidak konsisten dari tahun

    ke tahun dan data laporan kasus yang masih terjadi setiap tahun,

    mengindikasikan bahwa, program pengendalian dan pemberantasan penyakit

    SE tidak direncanakan dengan baik. Hal ini mengakibatkan tidak tercapainya

    target cakupan vaksinasi yang memadai dan tidak adanya evaluasi yang

    berkesinambungan terhadap program yang dilakukan sehingga keberhasilan

    program pemberantasan menjadi tidak tercapai seperti yang pernah dilakukan di

    Pulau Sumba, Nusa Tenggara Timur (Dartini, 2012).

    Adanya antibodi SE di Pulau Lombok yang merupakan daerah bebas SE dan

    tidak melakukan vaksinasi, mungkin disebabkan karena uji ELISA yang dipakai

    spesifisitasnya yang belum memadai (79%) (Ekaputra et al., 1996) sehingga

    sampel yang seharusnya negatif terdeteksi menjadi positif, hal ini didukung oleh

    hasil uji sampel positif SE dengan ELISA di Nusa Penida pada tahun 2015,

    ternyata setelah di konfirmasi dengan uji Passive Mouse Protection Test (PMPT)

    hasilnya negatif semua (Dartini,dkk, 2015). Kemungkinan yang lain adalah

    adanya reaksi silang dari antibodi yang ditimbulkan oleh Pasteurella multocida

    lainya (selain B2), bisa Pasteurella serotipe A atau serotipe B lainnya. Sawada

    et al (1985) menemukan 81% serum sapi yang disampling di Amerika Serikat

    mengandung antibodi protektif yang mampu menahan tantangan / infeksi

    pasteurella multocida serotype B dan E, padahal sapi-sapi tersebut belum

  • LAPORAN TEKNIS BALAI BESAR VETERINER DENPASAR 2015

    44

    pernah divaksin SE (Putra, 2004). Adanya Pasteurella multocida serotype lain

    yang tidak merupakan penyebab SE, tetapi mungkin dapat bereaksi silang pada

    uji serologis dengan Pasteurella multocida menyebab SE. Di Australia, Sri

    Langka, dan mungkin di tempat lain terdapat Pasteurella multocida serotype

    11:B tetapi tidak menimbulkan SE pada hewan (De Alwis, 1980; Namioka,

    1980). Disamping itu, mungkin juga terdapat strain Pasteurella multocida yang

    tidak ganas seperti dilaporkan oleh Hoskins (1921), dan mampu bereaksi atau

    menimbulkan proteksi silang dengan Pasteurella multocida penyebab SE.

    Dugaan atau terjadinya proteksi atau reaksi silang ini telah banyak dilaporkan

    baik yang terjadi diantara serotype / strain dari Pasteurella multocida (Cameron

    and Bester, 1984; Gupta, 1980; Sawada, 1991) maupun yang terjadi antar

    spesies (Sawada et al., 1985).

    Pada tahun 2015, laboratorium Bakteriologi tidak menerima sampel organ atau

    swab untuk isolasi