lap.kec. kelarutan
-
Upload
revipebriani702 -
Category
Documents
-
view
674 -
download
3
Transcript of lap.kec. kelarutan
KECEPATAN KELARUTAN
I. Tujuan
1. Menentukan kecepatan pelarutan suatu zat
2. Menggunakan alat-alat unbtuk penentuan kecepatan pelarutan suatu zat
3. Menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan pelarutan
suatu zat
4. Dapat membuat grafik kecepatan pelarutan suatu zat
II. Dasar Teori
Kecepatan pelarutan adalah ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat
terlarut dalam pelarut tertentu tiap satuan waktu. Proses pelarutan suatu zat
padat dikembangkan oleh Noyes dan whitney dalam bentuk persamaan
sebagai berikut :
dc = k . s (Cs-C)
dt
Keterangan :
dc = Kecepatan pelarutan
dt
K = Konstanta kecepatan pelarutan
S = Luas permukaan zat
Cs = Kelarutan zat
C = Konsentrasi zat dalam larutan dalam waktu t
Harga konstanta K tergantung pada harga koefisien difusi dari zat
terlarut dan tebal lapisan.
K=Dh
Keterangan :
D = Koefisien difusi dalam cm2/detik
h = Tebal lapisan difusi dalam cm
Dari persamaan tersebut di atas dapat dilihat beberapa faktor yang
mempengaruhi kecepatan pelarutan suatu zat yaitu :
1. Temperatur
Naiknya temperatur umumnya memperbesar kelarutan (Cs) zat
yang endotermis serta memperbesar harga koefisien difusi zat.
Menurut Einstein, koefisien difusi dapat dinyatakan dengan persamaan
sebagai berikut :
D=K xT6×η×r
Keterangan :
D = Koefisien difusi
K = Konstanta Boltzman
T = Temperatur
r = Jari-jari molekul
η = Viskositas pelarut
2. Viskositas
Turunnya viskositas pelarut akan memperbesar kecepatan
pelarutan suatu zat sesuai dengan persamaan Einstein. Naiknya
temperatur juga akan menurunkan viskositas sehingga memperbesar
kecepatan pelarutan.
3. pH pelarut
pH pelarut sangat berpengaruh terhadap kelarutan zat-zat yang
bersifat asam lemah atau basa lemah.
Untuk asam lemah :
dc = K.S.Cs.( 1 + Kw )
dt ( H+ )
Kalau ( H+ ) kecil, atau pH besar maka akan meningkatkan kelarutan
zat, sehingga kecepatan pelarutan besar.
Basa lemah :
dc = K.S.Cs.( 1 + ( H+ ) )
dt Kw
Kalau ( H+ ) besar, atau pH kecil maka akan meningkatkan kelarutan
zat, sehingga kecepatan pelarutan besar.
4. Pengadukan
Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi tebal lapisan difusi
(h). Bila pengadukannya cepat maka tebal lapisan difusi berkurang
sehingga menaikan kecepatan pelarutan, sebaliknya apabila
pengadukan lambat maka tebal lapisan difusi akan tetap atau akan
memerlukan waktu yang cukup lama untuk mengurangi ketebalan pada
lapisan difusi.
5. Ukuran partikel
Bila partikel zat terlarut kecil maka luas permukaan efektif besar
sehingga menaikan kecepatan pelarutan, hal ini terjadi karena jika
ukuran partikel tersebut kecil maka partikel tersebut hanya
memerlukan tempat yang kecil sehingga luas permukaan yang tersisa
efektif akan lebih besar dibandingkan dengan partikel yang memiliki
ukuran partikel yang relatif lebih besar.
Seperti diketahui kelarutan suatu zat bergantung pada ukuran
partikel zat tersebut. Persamaan Ostwald-Freundlich sebagai
menyatakan:
ln S sebanding dengan 1/r
dimana S adalah kelarutan zat dan r adalah jari-jari ukuran partikel.
Jadi log naturalis kelarutan berbanding terbalik dengan ukuran partikel.
Bila ukuran partikel makin kecil (jari-jari kecil) maka harga ln S akan
makin besar maka S (kelarutan) akan makin besar juga. Bila kelarutan
makin besar maka diharapkan kecepatan disolusi akan bertambah besar
pula. Karena itu untuk meningkatkan kecepatan disolusi zat aktif dari
tablet bila memungkinkan perlu dilakukan pengecilan ukuran partikel
zat aktif sampai tingkat yang mikro. Pengecilan partikel secara ekstrem
ini tidak dapat dilakukan secara milling biasa tetapi harus dengan
metoda khusus seperti mendispersikan zat aktif dalam pembawa yang
larut air seperti larutan PVP.
6. Polimorfis
Kelarutan suatu zat dipengaruhi oleh adanya polimorfis, karena
bentuk kristal yang berbeda akan mempunyai kelarutan yang berbeda
pula. Kelarutan bentuk kristal yang meta stabil lebih besar
dibandingkan bentuk stabil, sehingga kecepatan pelarutannya besar.
7. Keadaan kristal
Karakteristik keadaan padat zat aktif seperti amorfisitas,
kristalinitas, keadaan hidrasi, solvasi dan struktur polimorfik diketahui
memberi pengaruh pada kecepatan disolusi. Banyak penelitian
menunjukkan bahwa bentuk anhidrat memiliki kelarutan yang lebih
tinggi daripada bentuk hidratnya, hal ini terbukti pada ampisilin,
kalsium sulfat dan teofilin, yang bentuk anhidratnya memiliki
kelarutan lebih besar dari bentuk hidratnya, dengan demikian
kecepatan disolusinya juga lebih tinggi dari bentuk hidratnya.
8. Sifat permukaan zat
Pada umumnya zat-zat yang digunakan sebagai bahan obat
bersifat hidrofob. Dengan adannya surfaktan di dalam pelarut akan
menurunkan tegangan permukaan antara partikel zat dengan pelarut,
sehingga zat mudah terbasahi dan kecepatan pelarutan bertambah.
Selain faktor-faktor yang telah disebutkan di atas kecepatan pelarutan
suatu zat aktif dari bentuk sediaannya dipengaruhi pula oleh faktor
formulasi dan teknik pembuatan sediaan tersebut penentuan kecepatan
pelarutan suatu zat dapat dilakukan dengan metode :
a. Metode suspensi
Pada metode ini bubuk zat padat ditambahkan pada pelarut tanpa
pengontrolan yang eksak terhadap luas permukaan partikelnya.
Sample diambil pada waktu-waktu tertentu dan jumlah zat yang
larut ditentukan dengan cara yang sesuai.
b. Metode permukaan konstan
Zat ditempatkan dalam suatu wadah yang diketahui luasnya,
sehingga variabel perbedaan luas permukaan efektif dapat
dihilangkan. Biasanya zat dibuat tablet terlebih dahulu kemudian
sampel ditentukan seperti pada metode suspensi.
Dalam bidang farmasi, penentuan kecepatan pelarutan suatu zat
perlu dilakukan karena kecepatan pelarutan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi absorpsi obat. Penentuan kecepatan
suatu zat aktif dapat dilakukan pada beberapa tahap pembuatan
sediaan obat yaitu :
1. Tahap pre formulasi
2. Tahap formulasi
3. Tahap produksi
Dalam percobaan penentuan kecepatan pelarutan digunakan alat
Collapse tester alat ini biasanya digunakan untuk penentuan waktu
hancur tablet tetapi dapat juga digunakan untuk penentuan
kecepatan pelarutan.
III. Uraian Bahan
1. Asam Salisilat (FI III, 56)
a. Sinonim : Acidum salicylicum
b
.
Pemerian : Hablur ringan, tidak berwarna atau serbuk
berwarna putih, hampir tidak berbau, rasa agak
manis dan tajam
c. Kelarutan : Larut dalam 550 bagian air, dan dalam 4 bagian
etanol (95%)P, mudah larut dalam kloroform P,
dan dalam eter P, larut dalam larutan amonium
asetat P, dinatrium hidrogenfosfat P, kalium
sitrat P dan Natrium sitrat P
d
.
Kegunaan : Sebagai sampel
2. Asetosal (FI III, 43)
a. Sinonim : Acidum acetylsalicylicum, asam asetilsalisilat
b
.
Pemerian : Hablur tidak berwarna atau serbuk hablur
putih, tidak berbau atau hampir tidak berbau,
rasa asam
c. Kelarutan : Agak sukar larut dalam air, mudah larut dalam
etanol (95%)P, larut dalam kloroform P, dan
dalam eter P
d
.
Kegunaan : Sebagai sampel
3. Aquadest (FI III, 96)
a. Sinonim : Air suling (FI III, 96)
b
.
Pemerian : Cairan jernih, tidak berwarna, tidak berbau,
tidak mempunyai rasa
c. Kegunaan : Pelarut
4. Natrium hidroksida
a. Sinonim : Natrii hydroxydum
b
.
Pemerian : Bentuk batang, butiran, massa hablur atau
keping, kering, keras, rapuh dan menunjukkan
susunan hablur, putih, mudah meleleh basah.
Sangat alkalis dan korosif. Segera menyerang
karbondioksida
c. Kelarutan : Sangat mudah larut dalam air, dan dalam etanol
(95%)P
d
.
Kegunaan : Untuk titrasi
5. Fenolftalein
Membentuk larutan tidak berwarna dalam suasana asam dan alkali lemah
dan memberikan warna merah dalam larutan alkali kuat. Kegunaannya
yaitu sebagai indikator.
IV. Cara Kerja
A. Alat
Erlenmeyer
Bejana 900 ml
Motor penggerak
Buret
Termometer
Corong
Pipet
Stopwatch
Magnetic stirer
Beaker glass
Hotplate
B. Bahan
Asam salisilat 2 g
Air
Fenolftalein
NaOH 0,05 N
Asetosal 2 g
C. Cara Kerja
a. Pengaruh pengadukan terhadap kecepatan pelarutan zat
1. Diisi bejana dengan 900 ml air
2. Dipasang termostat pada temperatur ruangan
3. Setelah temperatur air dalam bejana telah mencapai suhu yang
ruang, dimasukkan 2 g asam salisilat dan dijalankan motor
penggerak pada kecepatan 20 RPM
4. Diambil sebanyak 20 ml dalam bejana setiap selang waktu 1, 5, 10,
20, 25, dan 30 menit setelah pengocokan. Ganti dengan 20 ml air
dalam bejana setiap selesai pengambilan sampel
5. Ditentukan kadar asam salisilat yang larut dalam masing-masing
sampel dengan cara titrasi asam basa dengan menggunakan NaOH
0,05 N dan indikator fenolftalein
6. Dilakukan percobaan yang sama untuk kecepatan pengadukan 30
RPM
7. Dibuat tabel dari hasil yang diperoleh
8. Dibuat grafik antara konsentrasi asam salisilat yang diperoleh
dengan waktu (dalam satu grafik)
b. Pengaruh suhu terhadap kecepatan pelarutan zat
1. Diisi bejana dengan 900 ml air
2. Setelah temperatur air dalam sudah mencapai suhu ruang,
masukkan 2 g asetosal menggunakan alat magnetic stirer pada
kecepatan 20 RPM
3. Diambil sebanyak 20 ml air dalam bejana setiap selang waktu 1, 5,
10, 20, 25, dan 30 menit setelah pengocokan. Ganti dengan 20 ml
air setiap selesai pengambilan sampel dan dicek suhunya
4. Ditentukan kadar asetosal yang larut dalam masing-masing sampel
dengan cara titrasi asam basa dengan menggunakan NaOH 0,05 N
dan indikator fenolftalein.
5. Dibuat tabel dari hasil yang diperoleh
6. Dibuat grafik antara konsentrasi asetosal yang diperoleh dengan
waktu untuk masing-masing temperatur (dalam satu grafik)
V. Data Percobaan
1. Pengaruh pengadukan terhadap kecepatan pelarutan zat
a. Kecepatan (v) = 20 RPM
No Waktu (menit)Volume NaOH
0,05 N (ml)
Konsentrasi Asam
Salisilat (N)
1 1 2,3 0,0575
2 5 3 0,075
3 10 5,1 0,1275
4 20 6,7 0,1675
5 25 6,9 0,1725
6 30 19,6 0,49
b. Kecepatan (v) = 20 RPM
No Waktu (menit)Volume NaOH
0,05 N (ml)
Konsentrasi Asam
Salisilat (N)
1 1 5,2 0,13
2 5 6,7 0,1675
3 10 7,1 0,1775
4 20 7,3 0,1825
5 25 7,5 0,1875
6 30 7,8 0,195
2. Pengaruh suhu terhadap kecepatan pelarutan zat
Kecepatan (v) = 300 RPM, suhu (T) = 90°C
NoWaktu
(menit)Suhu (oC)
Volume NaOH
0,05 N (ml)
Konsentrasi
Asetol (N)
1 1 28,5 7 0,175
2 5 33,0 6,8 0,17
3 10 38,5 11,6 0,29
4 20 46 11,5 0,2875
5 25 48 13,3 0,3325
6 30 50 13 0,325
Perhitungan konsentrasi Asam Salisilat
Rumus : N1 x V1 = N2 x V2
Ket : V1 = gr As. Salisilat
N1 = Normalitas asam salisilat
V2 = Volume NaOH
N2 = Normalitas NaOH
a. Kecepatan 20 RPM (asam salisilat)
1. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×2,3
2
= 0,0575 N
2. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×3
2
= 0,075 N
3. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×5,1
2
= 0,1275 N
4. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×6,7
2
= 0,1675 N
5. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×6,9
2
= 0,1725 N
6. N1 x V1 = N2 x V2
N1 =
0,05×19,62
= 0,49 N
b. Kecepatan 30 RPM (asam salisilat)
1. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×5,2
2
= 0,13 N
2. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×6,7
2
= 0,1675 N
3. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×7,1
2
= 0,1775 N
4. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×7,3
2
= 0,1825 N
5. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×7,5
2
= 0,1875 N
6. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×7,8
2
= 0,195 N
Perhitungan Konsentrasi Asetosal
Rumus : N1 x V1 = N2 x V2
Ket : V1 = gr Asetosal
N1 = Normalitas asetosal
V2 = Volume NaOH
N2 = Normalitas NaOH
Konsentrasi Asetosal
1. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×7
2
= 0,175 N
2. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×6,8
2
= 0,17 N
3. N1 x V1 = N2 x V2
N1 =
0,05×11,52
= 0,2875 N
4. N1 x V1 = N2 x V2
N1 =
0,05×13,32
= 0,3325 N
5. N1 x V1 = N2 x V2
N1 =
0,05×11,62
= 0,29 N
6. N1 x V1 = N2 x V2
N1 = 0,05×13
2
= 0,325 N
7. Pengaruh Pengadukan terhadap Kecepatan Pelarutan dengan Motor Penggerak
1 5 10 20 25 300
0.0500000000000001
0.1
0.15
0.2
0.250000000000001
0.300000000000001
0.350000000000001
0.400000000000001
0.450000000000001
0.500000000000001
0.05750.0750000000000
001
0.12750.16750.1725
0.49
Kecepatan 20 RPM
Kecepatan 20 RPM
1 5 10 20 25 300
0.02
0.04
0.06
0.08
0.1
0.12
0.14
0.16
0.18
0.2
0.13
0.16750.1775 0.1825 0.1875
0.195
Kecepatan 30 RPM
Kecepatan 30 RPM
8. Pengaruh Suhu terhadap Kecepatan Pelarutan dengan Magnetic Stirer
1 5 10 20 25 300
0.05
0.1
0.15
0.2
0.25
0.3
0.35
0.175 0.17
0.29 0.2875
0.3325 0.325
Kecepatan 300 RPM
Kecepatan 300 RPM
VI. Pembahasan
Pada praktikum kali ini, praktikan melakukan percobaan tentang
kecepatan pelarutan. Adapun tujuan dari praktikum ini adalah agar
mahasiswa bisa menentukan kecepatan pelarutan suatu zat, mahasiswa dapat
menggunakan alat-alat untuk penentuan kecepatan pelarutan suatu zat,
mahasiswa dapat menerangkan faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan
pelarutan suatu zat dan mahasiswa dapat membuat grafik kecepatan pelarutan
suatu zat.
Kecepatan pelarutan adalah ukuran yang menyatakan banyaknya suatu
zat terlarut dalam pelarut tertentu tiap satu satuan waktu. Kecepatan pelarutan
disebut juga kecepatan disolusi. Disolusi secara umum didefinisikan sebagai
proses melarutnya zat padat dalam zat cair.
Dalam bidang farmasi, pengetahuan mengenai kecepatan disolusi atau
kelarutan sangat diperlukan untuk membantunya memilih modrum pelarut
yang paling baik untuk obat atau kombinasi obat, membantu mengatasi
kesulitan-kesulitan tertentu yang timbul pada waktu pembuatan larutan
farmasetis (di bidang farmasi), dan lebih jauh lagi, dapat bertindak sebagai
standar atau uji kemurnian. Kelarutan obat dapat dinyatakan dalam beberapa
cara. Menurut US. Pharmacopeia dan National Formulary, definisi kelarutan
obat adalah jumlah ml pelarut dimana akan larut 1 gram zat terlarut. Sediaan
obat yang diberikan secara oral di dalam saluran cerna harus mengalami
proses pelepasan dari sediaannya kemudian zat aktif akan melarut dan
selanjutnya diabsorpsi. Proses pelepasan zat aktif dari sediaannya dan proses
pelarutannya sangat berpengaruh atau dipengaruhi oleh sifat-sifat kimia dan
fisika zat tersebut serta formulasinya atau formulasi sediaannya. Salah satu
sifat zat aktif yang penting untuk diperhatikan adalah kelarutan karena pada
umumnya zat baru diabsorpsi setelah terlarut dalam cairan saluran cerna.
Oleh karena itu, salah satu usaha untuk meningkatkan ketersediaan hayati
suatu sediaan adalah dengan menaikkan kelarutan zat aktifnya.
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kecepatan disolusi suatu zat
antara lain suhu, pH, viskositas, pengadukan, ukuran partikel, polimorfisme,
dan sifat permukaan zat.
Dengan semakin meningginya suhu maka akan memperbesar kelarutan
suatu zat yang bersifat endotermik serta akan memperbesar harga koefisien
zat tersebut. Turunnya viskositas suatu pelarut juga akan memperbesar
kelarutan suatu zat. pH sangat mempengaruhi kelarutan zat-zat yang bersifat
asam maupun basa lemah. Zat yang bersifat basa lemah akan lebih mudah
larut jika berada dalam suasana asam sedangkan asam lemah akan lebih
mudah larut jika berada dalam suasana basa. Makin kecil ukuran partikel
maka luas permukaan sel tersebut akan semakin meningkat sehingga akan
mempercepat kelarutan suatu zat. Polimorfisme dan sifat permukaan zat akan
sangat mempengaruhi kelarutan suatu zat. Adanya polimorfisme seperti
struktur internal zat yang berlainan, akan mempengaruhi kelarutan zat
tersebut dimana kristal meta stabil akan lebih mudah larut daripada bentuk
stabilnya. Dengan adanya surfaktan dan sifat permukaan zat yang hidrofob,
akan menyebabkan tegangan permukaan antar partikel menurun sehingga zat
mudah terbasahi dan lebih mudah larut. Pada praktikum kali ini, akan
ditentukan pengaruh pengadukanterhadap kecepatan pelarutan dan pengaruh
suhu terhadap kecepatan pelarutan.
Cara umum, pengadukan akan menyebabkan tebal lapisan difusi semakin
tipis, dimana semakin tipis lapisan difusi maka akan mempercepat kelarutan
suatu zat.
Laju disolusi obat secara invitro dipengaruhi beberapa faktor antara lain
yaitu sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi.
Luas permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran
partikel. Laju disolusi akan diperperbesar karena kelarutan terjadi pada
permukaan solute. Kelarutan obat dalam air juga mempengaruhi laju disolusi.
Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah larut daripada obat
berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu polimorfi
yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun
memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih
keras, kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf,
kondisi ini menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada
bentuk kristal.
Faktor formulasi adalah berbagai macam bahan tambahan yang
digunakan pada sediaan obat dapat mempengaruhi kinetika pelarutan obat
dengan mempengaruhi tegangan muka antara medium tempat obat melarut
dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung dengan bahan obat.
Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti magnesium
stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium disolusi.
Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan
obat misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk
kompleks tidak larut dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat
terdisolusi menjadi lebih sedikit dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat
yang diabsorpsi.
Faktor alat dan kondisi lingkungan yaitu adanya perbedaan alat yang
digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan perbedaan kecepatan
pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi kecepatan
pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan
semakin cepat sehingg adpat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu,
temperatur, viskositas dan komposisi dari medium serta pengambilan sampel
juga dapat mempengaruhi kecepatan pelarutan obat.
Pada praktikum kali ini, sampel yang dipakai adalah asam salisilat dan
asetosal. Asam salisilat dipakai untuk mengetahui pengaruh pengadukan
terhadap kecepatan pelarutan zat dan asetosal dipakai untuk mengetahui
pengaruh suhu terhadap kecepatan pelarutan zat.
Penetapan kadar asam salisilat dan asetosal dapaat dilakukan dengan
titrasi asam basa dengan menggunakan natrium hidroksida dan indikator
fenolftalein. Pada penetapan kadar asam salisilat, reaksi yang terjadi :
Asam salisilat + NaOH → Natrium salisilat + H2O
dan reaksi yang terjadi pada asetosal yaitu :
Asetosal + NaOH → Natrium asetil salisilat + H2O
Pada praktikum ini, akan ditentukan kecepatan disolusi dari asam salisilat
dan asetosal. Dari rumus strukturnya asam salisilat dan asetosal memiliki
gugus polar dan gugus nonpolar. Gugus polarnya adalah ─OH dan ─COOH
dan gugus nonpolarnya adalah gugus cincin benzen. Dari rumus struktur ini
dapat dilihat bahwa asam salisilat dan asetosal larut dalam sebagian pelarut
polar dan sebagian pada pelarut nonpolar, tapi sukar larut dengan sempurna
pada pelarut polar saja atau pelarut nonpolar saja karena memiliki gugus polar
dan nonpolar sekaligus dalam senyawanya, sehingga otomatis mudah larut
dalam pelarut semipolar seperti alkohol dan eter. Hal ini sesuai dengan
literatur yang menyebutksn bshwa asam salisilat sukar larut dalam air dan
asetosal agak sukar larut dalam air yang merupakan pelarut polar.
Pada pengaruh pwngadukan terhadap kecepatan pelarutan yang
menggunakan sampel asam salisilat, digunakan dua kecepatan yaitu 20 RPM
dam 30 RPM dengan 6 kali pengambilan sampel yaitu setisp selang waktu 1,
5, 10, 20, 25 dan 30 menit. Setelah dibandingakan berdasarkan hasil
perhitungan didapatkan hasil bahwa dengan kecepatan pengadukan 30 RPM
lebih banyak asam salisilat yang terlarut daripada kecepatan pengadukan 20
RPM. Hal ini sesuai dengan literatur yang membuktikan bahwa semakin
cepat pengadukan maka gerakan medium akan semakin cepat sehingga dapat
menaikkan kecepatan pelarutan dan bila pengadukannya cepat maka tebal
lapisan difusi berkurang sehingga menaikkan kecepatan pelarutan.
Pada pengaruh suhu terhadap kecepatan pelarutan yang menggunakan
sampel asetosal, digunakan kecepatan 300 RPM dan suhu 90o pada hotplate
dengan 6 kali pengambilan sampel yaitu setiap selang waktu 1, 5, 10, 20, 25
dan 30 menit. Setelah dibandingakan berdasarkan hasil yang tidak sesuai
dengan literatur. Seharusnya apabila temperatur semakin naik maka akan
semakin besar kelarutan atau kecepatan pelarutan. Hasil yang didapat tidak
sesuai dengan literatur, hal ini terjadi mungkin dikarenakan :
1. Kurangnya ketelitian dalam melakukan percobaan sehingga data yang
didapatkan tidak sesuai dengan data yang sebenarnya.
2. Sulitnya menjaga kestabilan temperatu atau suhu yang mungkin
terpengaruh oleh suhu luar atau sekitarnya.
3. Kesalahan dalam titrasi
VII. Kesimpulan
Setelah melakukan percobaan dapat disimpulkan bahwa :
1. Kecepatan pelarutan adalah ukuran yang menyatakan banyaknya suatu zat
terlarut dalam pelarut tertentu setiap satu satuan waktu.
2. Semakin cepat pengadukan maka akan semakin cepat pula kecepatan
pelarutannya begitupula sebaliknya semakin lambat pengadukan maka
akan semakin lambat pula kecepatan pelarutannya.
3. Semakin tinggi suhu maka akan semakin cepat kecepatan pelarutannya
sebaliknya semakin rendah suhu maka akan semakin lambat pula
kecepatan pelarutannya.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 1979. Farmakope Indonesia Edisi III. Depkes RI : Jakarta.
Anonim. 1995. Farmakope Indonesia Edisi IV. Depkes RI : Jakarta.
Ansel, H. C. 1989. Pengantar bentuk Sediaan Farmasi Edisi IV. Universitas Indonesia Press. London.
Astuti. 2007. Kecepatan Pelarutan. http//kecepatan disolusi.html. Diakses tanggal 8 Januari 2011.
Voight,R. 1994. Buku Pelajaran Teknologi Farmasi Edisi V. UGM Press. Yogyakarta.