Kelarutan intrinsik obat
-
Upload
khoirilliana12 -
Category
Science
-
view
311 -
download
2
Transcript of Kelarutan intrinsik obat
LAPORAN PRAKTIKUM
PRAKTIKUM FARMASI FISIK I
KELARUTAN INTRINSIK OBAT
DOSEN PENGAMPU :
Dewi Ekowati, M.Si., Apt
Kelompok : V.7.I
Tanggal Praktikum : 23 November 2012
Nama : Khoiril Liana
NIM : 18123657A
LABORATORIUM FARMASI FISIK I
FAKULTAS FARMASI
UNIVERSITAS SETIA BUDI
SURAKARTA
2012
LAPORAN PRAKTIKUM
PRAKTIKUM FARMASI FISIK I
“KELARUTAN INTRINSIK OBAT”
I. Judul
Kelarutan intrinsik obat
II. Tujuan
Memperkenalkan konsep dan proses pendukung sistem kelarutan obat dan
menentukan parameter kelarutan zat
III. Dasar Teori
Kelarutan adalah kadar jenis solute dalam sejumlah solven pada suhu tertentu
yang menunjukkan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solute dengan solven telah
terjadi dan membentuk dispersi mokuler yang homogen. (Purba, 2007) Suatu larutan
dikatakan larutan jenuh apabila terjadi kesetimbangan antara fase solute dan fase solute
dalam larutan yang bersangkutan.
Suatu larutan yang disusun dari hannya dua zat dikenal sebagai larutan binair, di
mana zat yang satu yang dianggap terlarut, dinamakan solut dan kondisi zat lain yang
dianggap sebagai pelarut, dinamakan solven. Biasanya komponen yang besar jumlahnya
dinyatakan dengan solven sedang komponen yang sedikit jumlahnya dinamakan sebaga
solut. Tapi, bila mana zat padat merupakan salah satu dari komponen suatu larutan,
maka zat padat tersebut biasannya dianggap sebagai solut sedang komponen lainnya
(yang berupa zat cair) dianggap sebagai solven. Adanya solut dalam larutan mempunyai
efek – efek tertentu pada sifat – sifat zat, dimana solute terlarut didalamnya dan sering
kali efek – efek tersebut dapat memberikan informasi yang berguna bagi kita mengenai
bagaimana zat – zat berinteraksi satu sama lain. (Moechatar, 1989)
Kelarutan untuk menyatakan kelarutan zat kimia, istilah kelarutan dalam
pengertian umum kadang – kadang perlu digunakan, tanpa mengindahkan perubahan
kimia yang mungkin terjadi pada pelarut tersebut. Pernyataan kelarutan zat dalam
bagian tertentu pelarut adalah kelarutan pada suhu 20o dan kecuali dinyatakan lain
menunjukkan bahwa, 1 bagian bobot zat padat atau 1 bagian volume zat cair larut dalam
volume tertentu pelarut. Pernyataan kelarutan yang tidak disertai angka adalah kelarutan
pada suhu kamar. Kecuali dinyatakan lain, zat jika dilarutkan boleh menunjukkan
sedikit kotoran mekanik seperti bagian kertas saring, serat dan butiran debu.
Pernyataan bagian dalam kelarutan berarti bahwa mg zat padat atau 1 ml zat cair
dalam sejumlah ml pelarut. Jika kelarutan sutu zat tidak diketahui dengan pasti,
kelarutannya dapat ditunjukkan dengan istilah berikut :
Istilah kelarutan Jumlah bagian pelarut
Diperlukan untuk melarutkan
1 bagian zat.
Sangat mudah larut
Mudah larut
Larut
Agak sukar larut
Sukar larut
Sangat sukar larut
Praktis tidak larut
Kurang dari 1
1 sampai 10
10 sampai 30
30 sampai 100
100 sampai 1000
1000 sampai 10.000
Lebih dari 10.000
Kelarutan yang tertera pada kelarutan etanol merupakan syarat baku obat yang
bersangkutan.(FI, 1979)
Variabel – variabel yang dapat dipilih untuk penetapan kelarutan dirumuskan
oleh aturan fase Gibbs pada tahun 1876 oleh J. Willard Gibbs di dalam teori ini
mendapatkan hubungan antara :
- Jumlah derajat kebebasan
- Jumlah komponen
- Jumlah fase
Dalam suatu sistem, hubungan ini disebut hukum fase. Misalnya sistem tersusun
dari P fase dan C komponen.persoalannya ialah menentukan, beberapa jumlah variabel
agar sistem menjadi tertentu.
Sistem selalu tergantung dari variabel tekanan dan temperatur. Untuk
menentukan susunan tiap – tiap fase, perlu ditentukan konsentrasi (C - 1) konsentrasi,
konsentrasi konstituen sisa adalah perbedaannya.
Dalam sistem ada P fase, jadi jumlah variabel konsentrasi aadalah P(C – 1),
variabel tekanan ada 1 dan variabel temperatur ada 1. Jadi jumlah variabel yang harus
ditentukan adalah :
P(C-1) +2
Bila jumlah variabel sama dengan jumlah persamaan, maka sistem tertentu.
Umumnya hal ini tidak demikian. Jumlah variabel melebihi persamaannya dan
selisihnya disebut derajat kebebasan F. yaitu
F =C – P + 2.
F = derajat kebebasan (variabel, misal : T, P, C).
C = jumlah komponen.
P = jumlah fase.
Disini dianggap, tiap komponen terdapat dalam tiap fase. Bila satu komponen
tidak ada dalam satu fase, maka C berkurang satu, demikian pula persamaannya, hingga
rumus tetap.
Menurut hukum fase, sistem dibagi berdasarkan jumlah komponen yang ada
seperti: sistem satu komponen, sistem dua komponen dan sebagainya. (Drs. Sukardjo,
1985).
Kelarutan dapat diungkapkan melalui banyak cara antara lain dengan
menyatakan jumlah pelarut (dalam ml) yang dibutuhkan untuk setiap gram solute,
dengan pendekatan yang berupa perbandingan, misal : 1 bagian solute dapat larut dalam
100 – 1000 bagian solven disebut sukar larut, fraksi mol dan molar.
Zat – zat dengan struktur kimia yang mirip, umumnya dapat saling bercampur
baik, sedang yang tidak biasanya sukar bercampur (“like dissolves like”). Air dan
alkohol bercampur sempurna (completey miscible), air dan eter bercampur sebagian
(patrially miscible). Sedang air dan minyak sama sekali tidak bercampur (complety
immiscible). (Drs. Sukardjo, 1985).
Kelarutan suatu zat (solute) dalam solven tertentu digambarkan sebagai like
disolves like (senyawa atau zat yang strukturnya menyerupai akan saling melarutkan),
dengan tetapan dielektrikum atau momen dipol, ikatan hidrogen, ikatan van der waals
(london) atau ikatan elektrostatik yang lain.
Kelarutan gas dalam cairan dipengaruhi tekanan, suhu, salting out dan reaksi
kimia sedangkan perhitungan kelarutan dapat dilakukan menurut hukum Henry (tetapan
α ) maupun koefisien absorpsi Bunsen (tetapan α ). Kelarutan cairan dapat digolongkan
menjadi dua atas dasar ada tidaknya penyimpangan terhadap hukum Raoult. Disebut
larutan ideal (larutan nyata = real solution) apabila tidak ada penyimpangan terhadap
hukum Raolt dan disebut larutan non ideal apabila ada penyimpangan. Dalam hal ini
perlu diperhatikan tentang sistemnya (tercampur sempurna / sebagian). Pengaruh zat
asing, komponen penyusun (binair/ternair), tetapan dielektrik, hubungan molekular, dan
luas permukaan molekular.
Kelarutan zat padat dalam cairan merupakan masalah yang lebih kompleks tetapi
lebih banyak dijumpai dalam kefarmasian. Asumsi dasar untuk kelarutan zat padat
dalam (sebagai) larutan ideal adalah tergantrung pada suhu percobaan (proses larut),
suhu (titik) lebur solute, dan beda entalpi peleburan molar (∆ H f) solute (yang dianggap
sama dengan panas pelarutan molar solute). Hubungan tersebut yang diturunkan dari
hukum – hukum termodinamika dirumuskan oleh Hildebrand dan Scott sebagai berikut:
−log X 2i=
∆ H f
2,303 R (T o−T
T . To)…………….(1)
X2i = kelarutan ideal zat dalam fraksi mol
∆ = beda entalpi peleburan
To = suhu lebur
T = suhu percobaan
R = tetapan gas
Tetapi tipe larutan ideal ini jarang sekali di jumpai dalam praktek. Untuk larutan
non - ideal harus diperhitungkan pula faktor – faktor aktivitas solute yang koefisiennya
sebanding dengan volume (molar) solute dan fraksi volume solven, parameter kelarutan
(δ) yang besarnya sama dengan harga akar tekanan dalam (Pi) solute interaksi antara
solven – solute. Dengan demikian persamaan yang paling sederhana untuk larutan non-
ideal, dinyatakan sebagai kelarutan reguler oleh Scatchard-Hilderbrand sebagai berikut :
−log X 2i=
∆ H f
2,303 R (T o−TT .To
) ,V 2 .Φ2
1
2,303R( δ1. δ 2) … ………….(2)
Dimana =
V2= volume molar solute
δ 1 = parameter kelarutan solven
δ 2 = parameter kelarutan solut
Φ = fraksi volume solven
Keterbatasan persamaan ini ialah tidak cocok untuk proses – proses yang
didalamnya terjadi solvasi dan asiosiasi antara solute dengan solven, demikian pula
untuk larutan elektrolit. Persamaan (2) hannya berlaku apabila dalam larutan tidak
terdapat ikatan selain ikatan Van der Waals.
Akan tetapi, suatu penyelidikan sifat fisik dari molekul obat adalah merupakan
suatu syarat formulasi suatu produk dan seiring membuat kita terjadi lebih mengerti
akan suatu hubungan timbal balik antara struktur molekul dan kegiatan obat. Sifat –
safiat ini boleh dianggap sebagai salah satu sifat adiktif (diturunkan dari sifat atom
sendiri atau ggus fungsi di dalam molekul), atau sifat jonstitutif (bergantung pada
susunan struktural ataom di dalam molekul). Massa merupakan sifat adiktif, sedangkan
rotasi optik dianggap sebagai suatu sifat konstitutif.
Beberapa sifat fisik adalah konstitutif dan juga sudah diukur sifat adiktifnya.
Bias molar dari suatu senyawa, sebagai contoh, adalah panjumlahan dari bias atom dan
gugusnya yang menyusun senyawa tersebut. Tetapi susunan kerangka atom dalam
masing – masing gugus adalah berbeda, sehingga indeks bias dari dua molekul akan
berbeda yaitu masing – masing gugus di dalam dua molekul yang berbeda memberikan
harga yang berbeda terhadap indeks bias molekul – molekul secara keseluruhan.
Suatu perhitungan sampel akan menjelaskan prinsip dari sifat adiktif dan
konstitutif. Bias molar dari dua senyawa.
O
C2H5 - C – CH3 atau CH3 – CH = CH – CH2 – OH
Yang secara pasti mempunyai jumlah atom karbon, hidrogen, dan oksigen yang
sama, dihitung dengan menggunakan andil atom dan gugus terhadap bias molar.
O
C2H5 – C – CH3
8 H 8 X 1,100 = 8,800
3C (tunggal) 3 X 2,418 = 7,254
1C (ganda) 1 X 1,733 = 1,733
1O (C=O) 1 X 2,211 = 2,211
19,998 = 20,0
CH3 – CH = CH – CH2 – OH
8H 8 X 1,100 = 8,800
2C (tunggal) 2 X 2,418 = 4,836
2C (ganda) 2 X 1,733 = 1,733
1O (OH) 1 X 1,525 = 1,525
18,627 = 18,7
Dengan demikian, walaupun kedua senyawa ini mempunyai jumlah atom yang
sama secara pasti, bias molarnya tidak sama. Bias molar dari atom adalah aditif, tetapi
atom karbon dan oksigen pembiasannya adalah konstitutif. Ikatan tunggal karbon sama
dengan ikatan rangkap karbon, dan karbonil oksigen (C=O) tidak sama dengan hidroksil
oksigen karena itu, kedua senyawa tersebut memperlihatkan sifat adiktif – konstitutif
dan mempunyai bias molar yang berbeda.
Andil atom dan gugus keseluruhan sifat fisik dari molekul merupakan suatu
dasar yang berguna karena kemungkinan seseorang untuk memperkierakan sesuatu sifat
fisik apabila sukar atau tidak mungkin untuk mendapatkan suatu pengukuran atau
eksperimen.
Sifat fisik meliputi hubungan tertentu antara molekul dan bentuk energi yang
telah ditentukan dengan baik atau pengukuran perbandingan standar luar lainnya.
Sebagai contoh, suatu pengertian dari berat menggunakan suatu gaya gravitasi sebagai
suatu ukuran luar untuk membandibngkan massa benda, sementara itu rotasi optik
menggunakan bidang cahaya yang dipolarisasikan untuk menentukan rotasi optik
molekul. Secara ideal, sifat fisik seharusnya secara mudah diukur atau dihitung, dan
harus dapat diulang.
Dengan menghubungkan sifat fisik tertentu dengan sifat kimia dari molekul –
molekul yang hubungannya sangat dekat, kesimpulan yang dapat diambil adalah (1)
menggambarkan susunan ruang dari molekul obat, (2) memberikan keterangan untuk
sifat kimia atau sifat fisik relatif dari sebuah molekul, dan (3) memberikan metode
untuk analisis kualitatif dan kuantitatif untuk suatu zat farmasi tertentu. Hubungan yang
pertama dan kedua sering menunjukkan pengertian tentang sifat kimia dan aksi
potensial yang diperlukan untuk penciptaan molekul baru dengan aktifitas farmakologi
yang selektif. Yang ketiga memberikan kepada peneliti alat untuk mendesain obat dan
buatannya, sedang kepada analisis adalah metode untuk menilai kualitas obat secara
luas. (Alferd Martin,2009)
Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi kelarutan suatu zat adalah:
1. pH
2. Temperatur
3. Jenis pelarut
4. Bentuk dan ukuran partikel
5. Konstanta dielektrik pelarut
6. Adanya zat - zat lain, misalnya surfaktan pembentuk kompleks ion sejenis dll.
Disolusi didefinisikan sebagai suatu proses melarutnya zat kimia atau senyawa
obat dari sediaan padat ke dalam suatu medium tertentu. Laju disolusi suatu obat adalah
kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi terlarut dalam medianya setiap waktu
tertentu. Jadi disolusi menggambarkan kecepatan obat larut dalam media disolusi
Disolusi dapat diartikan sebagai proses dimana suatu zat padat masuk ke dalam pelarut
menghasilkan suatu larutan. Secara prinsip, disolusi dikendalikan oleh afinitas antara zat
padat dengan dengan pelarut. Dalam penentuan kecepatan disolusi dari berbagai bentuk
sediaan padat, terlibat berbagai proses disolusi yang melibatkan zat murni. Karakteristik
fisik sediaan, proses pembasahan sediaan, kemampuan penetrasi media disolusi ke
dalam sediaan, proses pengembangan, proses disintegrasi, dan degradasi sediaan,
merupakan sebagian dari faktor yang mempengaruhi karakteristik disolusi obat dari
sediaan.
Waktu yang diperlukan obat untuk larut dalam cairan tempat absorpsi dikenal
dengan laju disolusi. Laju disolusi merupakan tahap yang menentukan laju dalam proses
absorpsi. Hal tersebut berlaku untuk sediaan obat-obat yang diberikan per oral, seperti
kapsul,tablet, suspensi, serta obat-obat yang diberikan secara intramuskular dalam
bentuk pellet atau suspensi. Bila laju disolusi merupakan tahap yang menentukan laju,
apa pun yang mempengaruhinya akan mempengaruhi absorpsi. Akibatnya laju disolusi
dapat mempengaruhi onset, intensitas dan lama respon, serta kontrol bioavailabilitas
obat tersebut secara keseluruhan dari bentuk Oleh karena itu laju disolusi sebagai salah
satu bagian fase biofarmasetik sangat penting untuk diketahui, karena akan sangat
mempengaruhi bioavailabilitas obat dalam tubuh,sediaannya. apalagi untuk bahan-
bahan yang sangat sukar larut (misalnya griseovulvin), maka disolusi merupakan rate
limiting step.
Profil disolusi suatu senyawa, akan mempengaruhi formulasinya. Misalnya obat
dengan profil disolusi yang tidak bagus disolusinya dapat ditingkatkan dengan
dimanipulasi sifat fisika kimianya. Salah satu cara yang dapat ditempuh yaitu
meningkatkan luas permukaan melalui mikronisasi secara grinding atau milling. Untuk
bahan-bahan yang bersifat lipofil, solusinya yaitu dengan peningkatan luas kontak
antara bahan obat dengan cairan, yaitu dengan penambahan surfaktan. Cara lain adalah
dengan meningkatkan kelarutan dalam lapisan difusi. Cara yang paling efektif dalam
memperoleh laju disolusi yang lebih tinggi adalah menggunakan suatu garam yang larut
dalam air dari fase induknya.
Laju disolusi obat secara in vitro dipengaruhi beberapa faktor, antara lain:
1. Sifat fisika kimia obat
Sifat fisika kimia obat berpengaruh besar terhadap kinetika disolusi. Luas
permukaan efektif dapat diperbesar dengan memperkecil ukuran partikel. Laju disolusi
akan diperbesar karena kelarutan terjadi pada permukaan solut. Kelarutan obat dalam air
juga mempengaruhi laju disolusi. Obat berbentuk garam, pada umumnya lebih mudah
larut dari pada obat berbentuk asam maupun basa bebas. Obat dapat membentuk suatu
polimorfi yaitu terdapatnya beberapa kinetika pelarutan yang berbeda meskipun
memiliki struktur kimia yang identik. Obat bentuk kristal secara umum lebih keras,
kaku dan secara termodinamik lebih stabil daripada bentuk amorf, kondisi ini
menyebabkan obat bentuk amorf lebih mudah terdisolusi daripada bentuk kristal
(Shargel dan Yu, 1999).
2. Faktor formulasi
Berbagai macam bahan tambahan yang digunakan pada sediaan obat dapat
mempengaruhi kinetika pelarutan obat dengan mempengaruhi tegangan muka antara
medium tempat obat melarut dengan bahan obat, ataupun bereaksi secara langsung
dengan bahan obat. Penggunaan bahan tambahan yang bersifat hidrofob seperti
magnesium stearat, dapat menaikkan tegangan antar muka obat dengan medium
disolusi. Beberapa bahan tambahan lain dapat membentuk kompleks dengan bahan obat,
misalnya kalsium karbonat dan kalsium sulfat yang membentuk kompleks tidak larut
dengan tetrasiklin. Hal ini menyebabkan jumlah obat terdisolusi menjadi lebih sedikit
dan berpengaruh pula terhadap jumlah obat yang diabsorpsi (Shargel dan Yu, 1999).
3. Faktor alat dan kondisi lingkungan
Adanya perbedaan alat yang digunakan dalam uji disolusi akan menyebabkan
perbedaan kecepatan pelarutan obat. Kecepatan pengadukan akan mempengaruhi
kecepatan pelarutan obat, semakin cepat pengadukan maka gerakan medium akan
semakin cepat sehingga dapat menaikkan kecepatan pelarutan. Selain itu temperatur,
viskositas dan komposisi dari medium, serta pengambilan sampel juga dapat
mempengaruhi kecepatan pelarutan obat (Swarbrick dan Boyland, 1994b; Parrott,
1971).
Supaya partikel padat terdisolusi maka molekul solut pertama-tama harus
memisahkan diri dari permukaan padat, kemudian bergerak menjauhi permukaan
memasuki pelarut. Tergantung pada kedua proses ini dan bagaimana cara proses
transpor berlangsung maka perilaku disolusi dapat digambarkan secara fisika. Dari segi
kecepatan disolusi yang terlibat dalam zat murni, ada tiga dasar model fisika yang
umum.
A. Hukum Fase
1. Hukum Fase Gibbs
Variabel – variabel yang dapat dipilih untuk penetapan kelarutan dirumuskan
oleh aturan fase Gibbs pada tahun 1876 oleh J. Willard Gibbs di dalam teori ini
mendapatkan hubungan antara :
- Jumlah derajat kebebasan
- Jumlah komponen
- Jumlah fase
Dalam suatu sistem, hubungan ini disebut hukum fase. Misalnya sistem tersusun
dari P fase dan C komponen.persoalannya ialah menentukan, beberapa jumlah variabel
agar sistem menjadi tertentu.
Sistem selalu tergantung dari variabel tekanan dan temperatur. Untuk
menentukan susunan tiap – tiap fase, perlu ditentukan konsentrasi (C - 1) konsentrasi,
konsentrasi konstituen sisa adalah perbedaannya.
Dalam sistem ada P fase, jadi jumlah variabel konsentrasi aadalah P(C – 1),
variabel tekanan ada 1 dan variabel temperatur ada 1. Jadi jumlah variabel yang harus
ditentukan adalah :
P(C-1) +2
Bila jumlah variabel sama dengan jumlah persamaan, maka sistem tertentu.
Umumnya hal ini tidak demikian. Jumlah variabel melebihi persamaannya dan
selisihnya disebut derajat kebebasan F yaitu :
F =C – P + 2.
F = derajat kebebasan (variabel, misal : T, P, C).
C = jumlah komponen.
P = jumlah fase.
Disini dianggap, tiap komponen terdapat dalam tiap fase. Bila satu komponen
tidak ada dalam satu fase, maka C berkurang satu, demikian pula persamaannya, hingga
rumus tetap.
Menurut hukum fase, sistem dibagi berdasarkan jumlah komponen yang ada
seperti : sistem satu komponen, sistem dua komponen dan sebagainya.(Drs. Sukardjo,
1985).
Ada beberapa istilah yang perlu diketahui sebelum dibicarakan apa isi dari
hukum fase, yaitu: sistem, fase, kesetimbangan sejati, menstabil dan stabil, jumlah
komponen, derajat kebebasan.
1. Sistem
Sistem adalah suatu zat atau campuran, yang diisolasikan dari zat – zat lain
dalam suatu bejana inert, untuk diselidiki pengaruh perubahan temperatur, tekanan dan
konsentrasi terhadap zat tersebut, misalnya : sistem air, air dan garam, gas dan
sebagainya.
2. Fase
Fase ialah bagian dari sistem, yang fisis berbeda dan dapat dipisahkan secara
mekanis. Dapat dipisahkan secara mekanis berarti fase tersebut dapat dipisahkan dengan
cara – cara : filtrasi, sedimentasi, dekantasi dan sebagainya.
Dalam hal ini tidak termasuk pemisahan dengan cara penguapan, destilasi,
adsorbsi, atau ekstraksi. Contoh : dalam sistem air terdapat fase padat (es) fase cair (air)
dan fase gas (uap air).
Jumlah fase padat banyak sekali, jumlah fase cair yang terdapat dalam satu
sitem, ternyata maksimum hannya delapan, gas selalu tercampur sempurna, hingga
hanya ada 1 fase gas.
a. Kesetimbangan sejati
Sistem dalam kesetimbangan sejati, bila keadaan yang sama dapat didekati dari
kedua arah. Air pada 0oC kesetimbangan dengan es pada tekanan 1 atm, terdapat dalam
kesetimbangan sejati.
Kesetimbangan ini dapat diperoleh dari peleburan es atau pembekuan air.
Kesetimbangan tidak stabil terdapat dalam suatu sistem, bila pendekatan ke keadaan
setimbang dalam sistem dicapai sangat lambat. Pelarutan NaCl dalam larutan yang
hampir jenuh, berada dalam kesetimbangan tidak stabil.
b. Jumlah komponen
Jumlah komponen ialah jumlah terkecil dari variabel bebas konstituen dalam
sistem, yang dapat dipakai untuk menyatakan susunan fase – fase yang ada.
c. Derajat kebebasan
Derajat kebebasan adalah variance dari sistem ialah jumlah terkecil variabel
bebas ( temperatur, tekanan atau konsentrasi) yang harus ditentukan, agar supaya
variabel yang sisa dalam sistem tertentu.
B. Larutan Dapar
Dapar adalah senyawa – senyawa atau campuran senyawa yang dapat
meniadakan perubahan pH tehadap penambahan sedikit asam atau basa. Peniadaan
perubahan pH tersebut dikenal sebagai aksi dapar.
Bila ke dalam air atau larutan natrium klorida ditambahkan sedikit asam atau
basa kuat, pH larutan akan berubah. Sistem semacam ini dikatakan tidak beraksi dapar.
Kombinasi asam lemah dengan basa konjugasinnya yaitu garamnya, atau basa
lemah dengan basa konjugasinya bertindak sebagai dapar. Jika 1 mol 0,1 N larutan HCL
ditambahkan kedalam 100 ml air murni, pH air akan turun dari 7 menjadi 3. Jika asam
kuat ditambahkan ke 0,01 M larutan yang mengandung asam asetat dan natrium asetat
dalam jumlah yang sama, pH larutan itu hannya berubah sebesar 0,09 satuan pH, karena
basa Ac- mengikat ion hidrogen sebagai berikut :
Ac- + H3O+ HAC + H2O
Jika suatu basa kuat, NaOH misalnya, ditambahkan ke dalam campuran dapar
itu, asam asetat akan menetralisir ion hidroksilnya sebagai berikut :
HAC + OH- H2O + AC-
Efek sifat fisika molekul obat dan juga reaksi ion yang sejenis dan persamaan
dapar untuk Asam Lemah dan Garamnya. pH dari suatu larutan dapar dan perubahan pH
dari suatu larutan Dapar dan perubahan pH larutan akibat penambahan asam atau basa
dapat dihitung dengan menggunakan persamaan dapar. Pernyataan ini berkembang
dengan menganggap adanya pengaruh garam pada ionisasi asam lemah apabila asam
memiliki ion sejenis.
C. Pengaruh Konsentrasi Larutan Jenuh
1. Sifat solvent
Kelarutan suatu zat (solute) dalam solven tertentu digambarkan sebagai like
disolves like (senyawa atau zat yang strukturnya menyerupai akan saling melarutkan),
dengan tetapan dielektrikum atau momen dipol, ikatan hidrogen, ikatan van der waals
(london) atau ikatan elektrostatik yang lain.
Kelarutan gas dalam cairan dipengaruhi tekanan, suhu, salting out dan reaksi
kimia sedangkan perhitungan kelarutan dapat dilakukan menurut hukum Henry (tetapan
α ) maupun koefisien absorpsi Bunsen (tetapan α ). Kelarutan cairan dapat digolongkan
menjadi dua atas dasar ada tidaknya penyimpangan terhadap hukum Raoult. Disebut
larutan ideal (larutan nyata = real solution) apabila tidak ada penyimpangan terhadap
hukum Raolt dan disebut larutan non ideal apabila ada penyimpangan. Dalam hal ini
perlu diperhatikan tentang sistemnya (tercampur sempurna / sebagian). Pengaruh zat
asing, komponen penyusun (binair/ternair), tetapan dielektrik, hubungan molekular, dan
luas permukaan molekular.
2. Sifat solute
Penggantian solute berarti pengubahan interaksi solute – solute dan solven -
solven.
3. Suhu
Kelarutan gas dalam air biasannya menurun jika suhu larutan dinaikkan.
Gelembung – gelembung kecil yang dibentuk bila air dipanaskan adalah kenyataan
bahwa udara yang terlarut menjadi kurang larut pada suhu – suhu yang lebih kecil.
4. Tekanan
Kelarutan dari semua gas naik jika tekanan saham dari gas yang terletak di atas
larutan dinaikkan. Secara kuantitatif, hal ini dinyatakan dalam Hukum Henry, yang
menyatakan bahwa pada suhu tetap perbandingan dari tekanan saham dari solute gas
dibagi dengan mol – fraksi dari gas dalam larutan adalah tetap.
D. Sifat Fisik – Kimia Molekul Obat
Sifat fisika molekul organik seperti pKa dan koefisien partisi berhubungan erat
dengan bidang farmasi, meskipun dengan sifat – sifat fisika ini kurang begitu
diperhatikan oleh bidang kimia analisis.sangat mengherankan jika seoang ahli kimia
analisis tidak bisa membedaan antara asam, basa, asam lemah, dan basa lemah. sifat
fisika molekul obat dan juga reaksi – reaksi degradasi suatu obat memegang peranan
yang penting dalam mendesain metode analisis. Bentuk molekul obat ada yang
sederhana dan ada yang sangat kompleks yang mengandung beberapa gugus fungsional.
Gabungan beberapa gugus fungsional dalam satu molekul obat akan menentukan
keseluruhan sifat - sifat molekul obat tersebut. Mengenai sifat fisika, kimia, molekul
obat yang akan berpengaruh pada perkembangan metode analisisnya.
Beberapa jenis obat yang mewakili kelompok suatu molekul obat dan juga daftar
sifat fisika dan kimia gugus fungsionalnya. Perhitungan pH untuk asam dan basa dalam
larutan air.
A. asam dan basa
Ada 3 pengertian mengenai apa yang disebut dengan asam dan apa yang disebut
dengan basa.
1. Menurut arrhenius, asam adalah senyawa yang jika dilarutkan dalam air
akan terurai menjadi ion Hidrogen (H+) dan anion, sedangkan basa adalah senyawa yang
jika dilarutkan dalam air akan menghasilkan ion hidroksida (OH-) dan kation. Teori
Arrhenius hanya berlaku untuk senyawa organik dalam pelarut air.
2. Untuk dapat berlaku dalam segala pelarut, maka Bronsted pada tahun
1923 memberikan batasan yaitu : asam adalah senyawa yang cenderung melepaskan
proton, sedangkan basa adalah senyawa yang cenderung menangkap proton.
A H+ + B
Asam proton + basa konjugasinya
Dengan demikian maka asam dapat berada dalm bentuk – bentuk :
Molekul Netral seperti :
CH3COOH H+ + CH3COO-
HCl H+ + Cl-
Ion yang positif seperti :
NH4 H+ + NH3
Ion yang negatif seperti :
H2PO4- H+ + HPO2-
4
3. Batasan lain diberikan oleh Lewis pada tahun 1938 yang menyatakan bahwa
asam adalah aksektor atau penerima pasangan elektron,sedangkan basa adalah donor
atau pemberi pasangan elektron.dengan batasan ini maka konsentrasi mengenai asam
basa berubah sama sekali yaitu : senyawa asam itu tidak harus mengandung
hidrogen.menurut lewis raksi berikut adalah reaksi asam basa:
NH3 + BF3 H3NBF3
basa asam
Secara skematis ketiga teori diatas dapat digmbarkan dalam skema sebagai
berikut :
Teori Asam Basa
Arrhenius
Bronsted
Lewis
Donor proton (H+)
Donor proton
Akseptor pasangan
elektron
Donor hidroksida (OH-)
Akseptor proton
Donor pasangan elektron
Ph suatu larutan didefinisikan sebagai logaritma dari kebalikan H+ merupakan
konsentrasi ion hidrogen dalam larutan.
pH = log 1¿¿ (4 – 1)
pH = log 1 – log [H+]
pH = 0 – log [H+]
pH = - log [H+] ................................................................(4 – 2)
dengan demikian harga pH dapat dihitung dari konsentrasi ion hidrogen diatur
oleh persamaan berikut :
Ka
H2O H+ +OH-
Ka merupakan tetapan disosiasi pada saat kesetimbangan, khusus untuk air
dikenal dengan Kw. Besarnya Kw ditentukan dengan persaamaan berikut :
Kw = ¿¿ = [H+][OH-] = 10-14 (4 – 3)
Didalam air yang murni serta pada suhu kamar, konsentrasi ion H- sama dengan
konsentrasi ion OH-, dan karena Kw = 10-4 maka [H+] = [OH-] = √ Kw = √10−14 = 10-7,
karenanya pH air = - log [H-] = -log 10-7 = 7.
B. Asam Kuat
Jika suatu asam dimasukkan ke dalam larutan air, maka konsentrasi H+ akan
meningkat. Jika suatu pH larutan diketahui maka konsentrasi H+ dapat dihitung dengan
rumus sebagai berikut :
[H+] = 10ph ..................................................................(4-4)
C. Asam Lemah dan Basa Lemah
Asam lemah dalam larutan air tidak terionisasi secara sempurna dan berada
dalam kesetimbangan dengan asam yang teridisosiasi asam (Ka) diberikan oleh
persamaan berikut ini.
Ka
HA H+ + A-
Ka = ¿¿¿ .....................................................................(4-5)
E. pKa dan Kekuatan Asam – Basa
Reaksi suatu larutan tergantung pada tetapan disosiasi asan (Ka) dan tetapan
disosiasi basa (Kb). Suatu larutan bereaksi netral jika Ka = Kb, dan bereaksi asam Ka >
Kb, dan bereaksi basa jika Ka >Ka.
Nilai pKa suatu senyawa didefinisikan sebagai :
pKa = - log Ka = log 1
Ka. Nilai ini dapat digunakan baik oleh asam atau basa.
Jika nilai ini dapat digunakan sebagai ukuran kekuatan asam atau basa, maka :
Untuk asam, semakin kecil nilai pKa maka asam tersebut semakin kuat
begitu juga sebaliknya.
Untuk basa, semakin besar nilai pKa maka basa tersebut semakin kuat
begitu juga sebaliknya.
F. Ionisasi molekul Obat
Ionisasi molekul obat merupakan hal yangpenting karena terkait dengan absorbsi
obat dan distribusinya dalaam jaringan – jaringan tubuh. Nilai pKa suatu molekul yang
terkait dengan formulasi sediaan obat dan juga dalam desain mode analisi untuk
keperluan penentuan kadarnya.
Cara yang digunakan untuk menghitung prosentase ionisasi asam dan basa pKa
dan pH tertentu antara lain sebagai berikut :
Untuk Asam ,
Persen (%) ionisasi = 10pH−pKa
1+10pH−pKa X 100%
Untuk Basa,
Persen (%) ionisasi = 10pKa−pH
1+10pKa−pH X 100%
Catatan :
Gunakan kedua rumus ini untuk menghitung dan membuktikan banyaknya
persentase ionisasi asam asetat pada pH 4,76 yang memberikan hasil 50%. Nilai pKa
asam asetat sebesar 4,76.
IV. Alat
1. Tabung uji kelarutan
2. Shaking thermostaic waterbath
3. Spektofotometer UV – Vis
4. Alat – alat gelas
5. Labu erlenmeyer 100 ml
6. Pipet ukur
7. Pipet volume
8. Labu erlenmeyer 25 ml
9. Siring
10. Puvet
11. Spektofotometer
12. Disolasi tester
13. Tissue
14. Batang pengaduk
15. Beker glass
16. Kertas saring
17. Corong glass
V. Bahan
1. Asam asetat glisial
2. alkohol
3. Asetosal
4. Aquadest
5. Natrium asetat
VI. Cara Kerja
1. Membuat larutan Dapar
Timbang Natrium Asetosal sebanyak 5,85 gram
Tambahkan 3,32 ml Asam Asetat Glasial dalam labu ukur 2 L
Kemudian tambahkan aquadest hingga volumenya menjadi 2 L
Aduk atau gojog larutan hingga tercampur
2. Menentukan kadar kurva baku
Masukkan 140 mg Asetosal kedalam labu ukur 100 ml
Tambahkan alkohol 95 % secukupnya hingga asetosal terlarut (± 1-2ml)
Aduk atau gojog hingga larutan tercampur merata
Ambil 1 ml, 2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml dari larutan tersebut
Timbang 25 mg asetosal dan tambahkan larutan dapar 250 ml.
Kemudian masukkan larutan tersebut ke dalam disolusi tester.
Masukkan larutan tersebut dalam disolusi tester dengan suhu yang
kostan tetapi dengan kecepatan 50 rpm, 75 rpm , dan 100 rpm selama
20 menit.
Kemudian saring dengan kertas saring dalam glas beker dan setelah itu
masukkan dalam pufet dengan pipet tetes setelah itu masukkan kedalam
spektrofotometer dengan panjang gelombang 265 nm .
Mengamati dan mencatat berapa absorbansinya.
4. Hitung dan tentukan absorbansi kelarutan asetosal.
VII. Hasil Praktikum
Data dan Perhitungan
λ = 265 nm
Kurva baku (X)
Y = a + bx
No. Kurva baku mg ( %) Absorbansi
1 11,2 mg % 0,123
2 22,4 mg% 0,297
3 33,6 mg % 0,459
4 44,8 mg % 0,614
5 56 mg % 0,774
Kurva baku, ambil 280 mg Asetosal, alkohol 95 %, Aquadest 25 ml
1 ml = V1.N1 = V2.N2
Asam asetat 1 ml. 280 mg = 25 ml. N2
N2 = 28025
= 11,2 mg %
2ml = V1.N1 = V2.N2
Asam asetat = 2 ml. 280 mg = 25 ml. N2
N2 = 56025
N2 = 33,6 mg%
3 ml = V1.N1 = V2.N2
Asam asetat = 3 ml . 280 mg = 25 ml . N2
N2 = 84025
N2 = 33,6 mg %
4 ml = V1. N1 = V2. N2
Asam asetat = 4 ml . 280 mg = 25 ml . N2
N2 = 112025
N2 = 44,8 mg%
5 ml = V1. N1 = V2. N2
Asam asetat = 5 ml . 280 mg = 25 ml. N2
N2 = 1400
25
N2 = 56
mg%
No. Kecepatan
pengadukan (rpm)
Absorbansi Kadar (mg %)
1. 50 rpm 0,36 27,0695
2. 75 rpm 1,33 94,6
3. 100 rpm 1,31 93,22
a = - 0,0323
b = 0,0144
r = 0,9997
konsentrasi yang terlarut pada kecepatan pengadukan 50 rpm
Y = a + bx
0,359 = - 0,0323 + 0,0144 x
0,359 + 0,0323 = 0,0144 x
x = 0,359+0,0323
0,0144
x = 27,0695
konsentrasi yang terlarut pada kecepatan pengaduk 75 rpm
Y = a + bx
1,330 = - 0,0323 + 0,0144 x
1,330 + 0,0323 = 0,0144 x
x = 1,330+0,0323
0,0144
x = 94,604
konsentrasi zat terlarut pada kecepatan pengaduk 100 rpm
Y = a + bx
1,310 = - 0,0323 + 0,0144 x
1,310 + 0,0323 = 0,0144 x
x = 1,310+0,0323
0,0144
x = 93,2153
Grafik
1. Grafik kurva baku
0 10 20 30 40 50 600
0.1
0.2
0.3
0.4
0.5
0.6
0.7
0.8
0.9
11,2 mg % = 0,123
22,4 mg %=0,297
33,6 mg %=0,459
44,8 mg %=0,614
56 mg %=0,774
Abso
rban
si
2. Grafik absorbansi asetosal
0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.50
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
0,36 rpm
1,33 rpm 1,31 rpm
Absorbansi Asetosal
VIII. Pembahasan
Suatu larutan adalah disperse yang serba sama (homogen) dari suatu zat
terlarut (solute) didalam pelarutnya (solven),untuk disperse tersebut diperlukan
informasi tentang kelarutan (solute) didalam pelarutnya.Kelarutan dapat diartikan
sebagai jumlah (bagian) terbesar dari suatu komponen (solute) yang dapat
didistribusikan kepada komponen lainnya (solvent), pada satu suhu dan tekanan
Kurva Baku
Kecepatan pengadukan (rpm)
Abso
rban
si
tertentu seingga menghasilkan suatu disperse molekuler homogeny yang terdiri dari
suatu fase tunggal (larutan).Laju tercapainya kelarutan maksimum (jenuh) disebut
laju disolusi.
Larutan juga dikatakan sebagai sistem disperse molekular. Jadi suatu zat dapat
dikatakan melarut jika dia terlepas dari padatannya dan terdispersi dalam
cairan.Bentuk kelarutan yang paling sering digunakan adalah sangat larut, larut
bebas, larut, larut sedikit, sukar larut, sangat sukar larut, dan tidak larut.
Kelarutan senyawa bergantung pada sifat fisika dan sifat kimia zat terlarut
dan pelarut, juga bergantung pada temperature,tekanan, pH larutan dan untuk
jumlah yang kecil bergantung pada hal terbaginya zat terlarut. Dikatakan sebagai
pelarut ketika kondisi fisiknya (padat/cair/gas) sama dengan hasil larutannya itu.
Dengan menghubungkan sifat fisik tertentu dengan sifat kimia dari molekul –
molekul yang hubungannya sangat dekat, kesimpulan yang dapat diambil adalah (1)
menggambarkan susunan ruang dari molekul obat, (2) memberikan keterangan
untuk sifat kimia atau sifat fisik relatif dari sebuah molekul, dan (3) memberikan
metode untuk analisis kualitatif dan kuantitatif untuk suatu zat farmasi tertentu.
Hubungan yang pertama dan kedua sering menunjukkan pengertian tentang sifat
kimia dan aksi potensial yang diperlukan untuk penciptaan molekul baru dengan
aktifitas farmakologiyang selektif. Yang ketiga memberikan kepada peneliti alat
untuk mendesain obat dan buatannya, sedang kepada analisis adalah metode untuk
menilai kualitas obat secara luas.
Adapun cara dalam percobaan yang di lakukan adalah antara lain adalah
membuat larutan Dapar. Cara pertama untuk membuat larutan dapar adalah dengan
timbang Natrium Asetosal sebanyak 5,85 gram, kemudian tambahkan 3,32 ml
Asam Asetat Glasial dalam labu ukur 2 L, kemudian tambahkan aquadest hingga
volumenya menjadi 2 L, setelah itu aduk atau gojog larutan hingga tercampur.
Setelah itu dilakukan, menentukan kadar kurva baku masukkan 140 mg
Asetosal kedalam labu ukur 100 ml, Tambahkan alkohol 95 % secukupnya hingga
asetosal terlarut (± 1-2 ml), Aduk atau gojog hingga larutan tercampur, Ambil 1 ml,
2 ml, 3 ml, 4 ml, dan 5 ml dari larutan tersebut. Timbang 25 mg asetosal dan
tambahkan larutan dapar 250 ml. Kemudian masukkan larutan tersebut ke dalam
disolusi tester. Masukkan larutan tersebut dalam disolusi tester dengan suhu yang
kostan tetapi dengan kecepatan 50 rpm, 75 rpm , dan 100 rpm selama 20 menit.
Kemudian saring dengan kertas saring dalam glas beker dan setelah itu masukkan
dalam pufet dengan pipet tetes setelah itu masukkan kedalam spektrofotometer
dengan panjang gelombang λ 265 nm . Mengamati dan mencatat berapa
absorbansinya. Hitung dan tentukan absorbansi kelarutan asetosal.
Setelah itu menentukan perhitungan dalam kurva baku dengan hasil yang
telah diperoleh dari data tersebut, perhitungan itu antara lain sebagai berikut :
Dalam percobaan yang telah dilakukan mengenai kelarutan intrinsik obat kali
ini memperoleh hasil dalam kurva baku antara lain sebagai berikut antara lain :
No. Kurva baku mg ( %) Absorbansi
1 11,2 mg % 0,123
2 22,4 mg% 0,297
3 33,6 mg % 0,459
4 44,8 mg % 0,614
5 56 mg % 0,774
Absorbansi pada tabel di atas diperoleh dengan menggunakan
spektrofotometer dan dengan λ 265 mm. Kurva baku, di peroleh dengan mengambil 280
mg Asetosal, alkohol 95 %, Aquadest 25 ml diperoleh hasil sebagai berikut jika 1 ml
Asam asetat di hitung dengan rumus V1.N1 = V2.N2 maka akan di peroleh hasil
perhitungan antara lain 1 ml. 280 mg = 25 ml. N2 . Diperoleh 1 ml adalah dari asam
asetat, 280 mg diperoleh dari asetosal, setrta 25 ml didapatkan dari aquadest. Jadi N2
dalam kadar 1 ml Asam asetat adalah 11,2 mg %, 2ml Asam asetat = 33,6 mg%, 3 ml
Asam asetat = 33,6 mg %, 4 ml Asam asetat = 44,8 mg%, 5 ml Asam asetat = 56 mg%.
No. Kecepatan
pengadukan (rpm)
Absorbansi Kadar (mg %)
1. 50 rpm 0,36 27,0695
2. 75 rpm 1,33 94,6
3. 100 rpm 1,31 93,22
Memperoleh hasil data hasil absorbansi dengan perhitungan kalkulator antara
lain sebagai berikut:
a = -0,0323
b = 0,01444
r = 0,9997
Dengan rumus Y = a + bx memperoleh data kadar mg% dapat diperoleh, dalam
suhu 50 rpm, dengan absorbansi 0,36 memperoleh mg% sejumlah 27,0695 mg
%, jika suhu nya 75 rpm, dengan absorbansi 1,33 dapat memperoleh hasil mg%
sejumlah 94,6 mg%, dan jika suhunya 100 rpm, dan jika terdapat absorbansi
1,31 maka akan didapatkan mg% sejumlah 93,22 mg%.
IX. Kesimpulan
Dalam percobaan yang telah dilakukan mengenai kelarutan intrinsik obat kali
ini adalah menggunakan disolusi terster selama 20 menit dengan kecepatan
pengadukan 100 rpm dan menggunakan spektro λ = 265 nm serta memperoleh hasil
dalam kurva baku antara lain sebagai berikut antara lain :
No. Kurva baku mg ( %) Absorbansi
1 11,2 mg % 0,123
2 22,4 mg% 0,297
3 33,6 mg % 0,459
4 44,8 mg % 0,614
5 56 mg % 0,774
Kurva baku, ambil 280 mg Asetosal, alkohol 95 %, Aquadest 25 ml
diperoleh hasil sebagai berikut :
1 ml Asam asetat = 11,2 mg %
2ml Asam asetat = 33,6 mg%
3 ml Asam asetat = 33,6 mg %
4 ml Asam asetat = 44,8 mg%
5 ml Asam asetat = 56 mg%
No. Kecepatan
pengadukan (rpm)
Absorbansi Kadar (mg %)
1. 50 rpm 0,36 27,0695
2. 75 rpm 1,33 94,6
3. 100 rpm 1,31 93,22
Memperoleh hasil data absorbansi sebagai berikut antara lain :
a = - 0,0323
b = 0,01444
r = 0,9997
Dengan rumus Y = a + bx memperoleh data kadar mg % antara lain sebagai
berikut :
1. 50 rpm 0,36 27,0695 mg %
2. 75 rpm 1,33 94,6 mg %
3. 100 rpm 1,31 93,22 mg %
Adapun kesimpulan dari percobaan ini adalah kelarutan diartikan sebagai
konsentrasi bahan terlarut dalam suatu larutan jenuh pada suatu suhu tertentu.
Temperatur atau suhu, tekanan, pH dan Kecepatan pengadukan (rpm) larutan
merupakan beberapa faktor yang mempengaruhi kelarutan intrinsik obat. Dan jika
Kecepatan pengadukan (rpm) pada percobaan naik maka kadar mg dan absorbansi pada
percobaan juga akan naik. Akan tetapi, di dalam percobaan ini diperoleh data dari
percobaan pertama dan percobaan kedua mengalami peningkatan pada absorbansi dan
kadar mg%, tetapi pada percobaan ketiga tidak mengalami penurunan kadar mg% serta
absorbansi, padahal tingkat kecepatan pada pengadukan tinggi.
Adapun pengaruhnya atas kesalahan yang telah dilakukan kemungkinan pada
banyaknya kesalahan yang dilakukan pada praktikum yang disebabkan oleh banyaknya
yang memegang kendali pada praktikum, yang menyebabkan kurang efisien dalam
praktikum. Itulah yang menyebabkan kesalahan – kesalahan dalam praktikum.
X. Daftar Pustaka
1. Dzakwan , Muhammad dan Dewi Ekowati. 2011 . Petunjuk praktikum
farmasi fisik I . Universitas Setia Budi , 11
2. http://lia-ardyta.blogspot.com/2012/03/kelarutan-intrinsik-obat.html?m=1
3. http://sweetest-tea.blogspot.com/2012/04/kelarutan-intrinsik-obat.html
4. Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik edisi 3. Jakarta: Universitas
Indonesia press
5. Drs. Sukardjo. 1985. KIMIA FISIKA. Yogyakarta: Bina Aksara
6. Prof. Dr. Hardjono Sastrohamidjojo. 1997. Kimia Dasar. Yogyakarta:
Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam UGM Yogyakarta
7. Nursusilowati, dkk. Penentuan Praktikum KIMIA. Bandung: ARMICO
Bandung
Lampiran 1
A. Tujuan
Tujuan percobaan ini adalah sebagai berikut.
a. Menerapkan faktor - faktor yang mempengaruhi kelarutan zat
b. Menjelaskan pengaruh pelarut campur terhadap kelarutan zat
B. Landasan Teori
Kelarutan suatu zat terlarut adalah jumlah maksimum dari zat terlarut yang dapat
dilarutkan dalam sejumlah tertentu pelarut atau sejumlah larutan pada temperature
tertentu. Senyawa yang terlarut disebut solut dan cairan yang melarutkan disebut solven,
yang bersama-sama membentuk suatu larutan. Proses pelarutan disebut solvasi atau
hidrasi jika pelarutnya air. Suatu larutan saat kesetimbangan tidak dapat menahan solut
lagi dan disebut jenuh. Larutan dalam keadaan tertentu dapat menahan lebih banyak
solut lebih dari keadaan normal solven. Ini disebut lewat jenuh. (Jones, L. 2005).
Pada perendaman menggunakan larutan NaOH, menunjukkan bahwa dengan
semakin meningkatnya konsentrasi NaOH dan waktu proses perendaman maka dapat
menaikkan kelarutan aluminium. Hal ini menunjukkan semakin banyak logam
aluminium yang terkikis berarti semakin banyak nuklidanuklida yang menempel di
logam yang terlepas. kelarutan aluminium meningkat, jikawaktu perendaman yang
digunakan terlalu lama maka proses dekontaminasi menjaditidak efektif. ( Mirawati,
2006 )
F. Pembahasan
Suatu larutan adalah dispersi yang serba sama (homogen) dari suatu zat terlarut
(solut) didalam pelarutnya (solven), untuk dispersi tersebut diperlukan informasi
tentang kelarutan (solut) di dalam pelarutnya. Kelarutan dapat diartikan sebagai jumlah
(bagian) terbesar dari suatu komponen (solut) yang dapat didistribusikan kepada
komponen lainnya (solven), pada satu suhu dan tekanan tertentu sehingga menghasilkan
suatu dispersi molekular homogen yang terdiri dari suatu fase tunggal (larutan). laju
tercapainya kelarutan maksimum (jenuh) disebut laju disolusi.
Larutan juga dikatakan sebagai sistem dispersi molekular. jadi suatu zat dapat
dikatakan melarut jika dia terlepas dari padatannya dan terdispersi dalam cairan. Bentuk
kelarutan yang paling sering digunakan adalah sangat larut, larut bebas, larut, larut
sedikit, sulit larut, sangat sulit larut, dan tidak larut.
Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan sifat kimia zat terlarut
dan pelarut, juga bergantung pada temperatur, tekanan, pH larutan dan untuk jumlah
yang lebih kecil ; bergantung pada hal terbaginya zat terlarut. Dikatakan sebagai pelarut
ketika kondisi fisiknya (padat/cair/gas) sama dengan hasil larutannya itu. Misal gula dan
air, hasilnya larutan gula yang cair..jadi pelarutnya air.
Berdasarkan percobaan yang telah dilakukan, pada gliserol sifatnya lebih
kental dibandingkan air dan alcohol, sehingga pada saat ketiga cairan tersebut
dicampur, propilen glikolol tidak mudah larut dalam air,sehingga dilakukan pengocokan
selama 30 menit agar larutan tersebut bisa homogen dengan ketiga campuran tersebut.
Setelah itu cairan yang telah dibuat dengan kadar yang berbeda-beda dimasukan asam
salisilat sebanyak 1 gram, karena bentuk asam salisilat yang berupa serbuk, maka cara
memasukannya yaitu di tuang sedikit demi sedikit di dalam tabung reaksi,dan agar asam
salisilat tersebut dapat jenuh dalam cairan campuran, maka dilakukan pengkocokan
selama 30 menit sampai didapat larutan yang benar-benar jenuh. Setelah itu saring
menggunakan kertas saring dan gelas kimia sebagai wadah penyimpanan asam salisilat
yang telah terlarut. Setelah masing – masing larutan disaring, larutan yang larut itu kita
tambahkan dengan NaOH 0,1 N, dan selanjutnya itu kita titrasi dengan menggunakan
indicator penolphetalin Pada pencampuran antara air dan propilen glikol didapat kadar
asetosal yang lebih tinggi apabila dibandingakan dengan campuran antara air, alkohol
dan propilen glikol tetapi kadar propilen glikol lebih sedikit dibandingkan dengan kadar
kedua cairan lainnya.
Adapun faktor-faktor utama yang dapat mempengaruhi kelarutan adalah :
1. Kemurnian solut atau solven. Temperatur, secara umum peningkatan temperatur larutan
meningkatkan kelarutan zat padat. Untuk semua gas kelarutan menurun dengan
peningkatan temperatur.
2. Tekanan, untuk solut padat dan cair perubahan dalam tekanan secara praktis tidak
mempengaruhi kelarutan.
3. Laju kelarutan adalah suatu ukuran dari seberapa cepat suatu zat terlarut.
4. Temperatur, untuk solut padat dan cair, kenaikkan temperatur tidak hanya
meningkatkan jumlah solut yang terlarut tapi juga meningkatkan laju saat solut melarut.
Ketika suatu solven melarutkan suatu solut, partikel solven harus memecah
partikel solut dan menempati ruang yang terhalangi. pelarut yang polar dapat dengan
efektif memecah senyawa yang polar. Ini terjadi saat ujung positif dari suatu molekul
solven mendekati ujung negatif dari molekul solut..
Hanya ada satu prinsip dalam pelarutan, yaitu like dissolved like. Larutan satu
akan mampu bercampur sempurna dengan larutan lain apabila memiliki sifat (polaritas)
yang sama atau tidak jauh berbeda. Bila pencampuran dilakukan antarlarutan yang
memiliki tingkat polaritas yang berbeda, maka akan terbentuk lapisan antarmuka
(interface) yang memisahkan kedua fase larutan. Peristiwa tersebut dapat kita lihat
dengan nyata pada campuran air dan minyak. Salah satu hal yang dapat kita lakukan
agar larutan yang tidak saling campur tersebut menjadi bercampur yaitu dengan
mengatur temperatur campuran. Pengaturan temperatur dapat dilakukan dengan
memanaskan atau mendinginkan campuran. Dengan begitu, campuran tersebut tidak
akan terpisah lagi. Ada beberapa campuran yang membutuhkan suhu ekstrim (sangat
tinggi atau sangat rendah) agar dapat saling bercampur satu sama lain.
G. Kesimpulan
Pada percobaan yang kami lakukan, kesimpulan yang dapat kami tarik adalah :
1. Kelarutan suatu senyawa bergantung pada sifat fisika dan sifat kimia zat terlarut
dan pelarut, juga bergantung pada temperatur, tekanan, pH larutan dan untuk
jumlah yang lebih kecil ; bergantung pada hal terbaginya zat terlarut.
2. Larutan satu akan mampu bercampur sempurna dengan larutan lain apabila memiliki
sifat (polaritas) yang sama atau tidak jauh berbeda. Bila pencampuran dilakukan
antarlarutan yang memiliki tingkat polaritas yang berbeda, maka akan terbentuk lapisan
antarmuka (interface) yang memisahkan kedua fase larutan.
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 1979. Farmakope Indonesia edisi III. Depkes RI, Jakarta
Jones, L. 2005. Farmasi Fisika edisi 1. Yogyakarta: UGM press
Martin, Alfred, dkk. 1990. Farmasi Fisik edisi 3. Jakarta: Universitas Indonesia press
Swarbrick, J. 1995. Kimia Fisika. Solo : Penerbit Erlangga
Diposkan oleh Lia Ardyta di 04:38
http://lia-ardyta.blogspot.com/2012/03/kelarutan-intrinsik-obat.html
Lampiran 2
Kamis, 05 April 2012
Diposkan oleh Asti Fiandari di 03:55
PERCOBAAN I
KELARUTAN INTRINSIK OBAT
A. Tujuan
Tujuan dilakukannya percobaan ini adalah untuk memperkenalkan konsep dan
proses pendukung sistem kelarutan obat dan menemukan parameter kelarutan zat.
B. Landasan Teori
Kelarutan adalah kadar solut dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang
menunjukan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solut atau solven telah terjadi dan
membentuk dispersi molekuler yang homogen. Kelarutan dapat diungkapkan melalui
banyak cara yaitu dengan jumlah pelarut (dalam ml) yang dibutuhkan untuk setiap gram
solut, dengan pendekatan berupa perbandingan (Purba, 2007).
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk
diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi
sediaan. Beberapa metode dapat digunakan untuk meningkatkan kelarutan obat, antara
lain: melalui pembentukan garam, perubahan struktur internal kristal (polimorfi) atau
penambahan suatu bahan penolong, misalnya bahan pengompleks, surfaktan dan
kosolven (Yalkowsky, 1981).
Secara kuantitatif, kelarutan dapat diartikan sebagai konsentrasi bahan terlarut
dalam suatu larutan jenuh pada suatu suhu tertentu. Kelarutan obat sebagian besar
disebabkan oleh polaritas pelarut yaitu momen dipolnya. Kelarutan suatu zat padat
dalam air akan semakin tinggi bila suhunya dinaikan. Adanya panas (kalor)
mengakibatkan semakin renggangnya jarak antar molekul zat padat tersebut.
Merenggangnya jarak antar molekul zat padat menjadikan kekuatan gaya antar molekul
tersebut menjadi lemah sehingga mudah terlepas oleh gaya tarik molekul-molekul air.
Berbeda dengan zat padat, adannya pengaruh kenaikan suhu akan menyebabkan
kelarutan gas dalam air berkurang. Hal ini disebabkan karena gas yang terlarut di dalam
air akan terlepas meninggalkan air bila suhu meningkat (Voight, 1994).
Kelarutan suatu zat sangat dipengaruhi oleh polaritas pelarut. Pelarut polar
akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik, begitu pula sebaliknya. Kelarutan
juga bergantung pada struktur zat, seperti perbandingan gugus polar dan non polar dari
suatu molekul. Makin panjang rantai gugus non polar suatu zat, makin sukar zat tersebut
larut dalam air. Menurut Hilderbrane : kemampuan zat terlarut untuk membentuk ikatan
hidrogen lebih pentig dari pada kemolaran suatu zat.
Senyawa polar (mempunyai kutub muatan) akan mudah larut dalam senyawa
polar. Sedangkan senyawa nonpolar akan mudah larut dalam senyawa nonpolar,
misalnya lemak mudah larut dalam minyak.Pelarut non polar tidak dapat mengurangi
daya tarik-menarik antara ion-ion karena konstanta dielektiknya yang rendah. Pelarut
polar mempunyai konstanta dielektrik yang tinggi dapat melarutkan zat-zat non polar
sukar larut di dalamnya, begitu pula sebaliknya. Tetapan dielektrik suatu campuran
pelarut merupakan hasil penjumlahan dari tetapan dielektrik masing-masing yang sudah
dikalikan dengan % volume masing-masing komponen pelarut (Idris, 2003).
Kelarutan suatu zat (solut) dalam solven tertentu digambarkan sebagai senyawa
atau zat yang strukturnya menyerupai akan saling melarutkan, yang penjabarannya
didasarkan atas polaritas antara solven dan solut yang dinyatakan dengan tetapan
dielektrikum, atau momen dipol, ikatan hidrogen, ikatan van der waals (Suharsini dan
Saptarini, 2007).
F. Pembahasan
Larutan merupakan campuran homogen dua zat atau lebih yang saling
melarutkan dan masing-masing zat penyusunnya tidak dapat dibedakan lagi secara fisik.
Suatu larutan dikatakan jenuh apabila terjadi kesetimbangan antara fase solut dan fase
solven dalam larutan yang bersangkutan (Purba, 2007).
Kelarutan adalah kadar solut dalam sejumlah solven pada suhu tertentu yang
menunjukan bahwa interaksi spontan satu atau lebih solut atau solven telah terjadi dan
membentuk dispersi molekuler yang homogen. Kelarutan dipengaruhi oleh beberapa
faktor yaitu pH, temperatur(suhu), jenis pelarut, bentuk dan ukuran partikel zat,
konstanta dielektrik pelarutdan adanya zat-zat lain, misalnya surfaktan pembentuk
kompleks, ion sejenis.
Pada percobaan ini digunakan beberapa larutan sebagai sampel diantaranya,
Aquades, Etanol, Propylenglycol, Natrium hidroksida (NaOH) dan fenolptalein sebagai
indikator. Seringkali zat terlarut lebih larut dalam campuran pelarut dari pada dalam
satu pelarut saja. Gejala ini dikenal dengan melarut bersama (cosolvency). Metode yang
digunakan adalah metode titrasi asam basa, yaitu suatu metode yang digunakan untuk
menentukan konsentrasi suatu larutan yang belum diketahui konsentrasinya dengan
menggunakan larutan standar yang telah diketahui konsentrasinya, oleh karena itu pada
percobaan digunakan larutan NaOH yang telah diketahui konsentrasinya yaitu 0,1 N.
Percobaan dilakukan dengan menggunakan 7 tabung yang berbeda. Etanol dan
Propylenglycol dimasukkan secara terpisah kedalam masing-masing tabung yang telah
berisi 6 ml aquades berdasarkan volume yang telah ditentukan, yaitu etanol pada tabung
2 = 0,5 ml, tabung 3 = 1 ml, tabung 4 = 1,5ml, tabung 5 = 3ml, tabung 6 = 3,5ml dan
tabung 7 = 4 ml. Sedangkan volume Propylenglycol pada masing-masing tabung yaitu :
tabung 1 = 4 ml, tabung 2 = 3,5 ml, tabung 3 = 3ml, tabung 4 = 1,5 ml, tabung 5 = 1ml,
dan tabung 6 = 0,5 ml. Kemudian masing-masing ditambahkan ditambahkan 1 gr Asam
Salisilat dan beberapa tetes Indikator dan dititrasi dengan larutan NaOH. Masing-
masing tabung memiliki volume titrasi yang berbeda, tabung 1 = 1,2 ml, tabung 2 = 3,6
ml, tabung 3 = 6,8ml, tabung 4 = 1,5 ml, tabung 5 = 1,9 ml, tabung 6 = 3,5 ml, dan
tabung 7= 2,0 ml.
Setelah diketahui volume titrasinya, ditentukan kadar asam salisilat pada
masing – masing tabung. Diperoleh kadar asam salisilat yang paling besar yaitu pada
tabung 3 yaitu 0,136 M karena mempunyai volume yang besar, dan yang paling sedikit
yaitu pada tabung 4 yaitu 0,006 M, dari sini dapat dikatakan bahwa besarnya kadar
asam salisilat ditentukan pula dengan volume NaOH, semakin besar volumenya maka
semakin besar pula kadar asam salisilatnya begitupun sebaliknya.
Kemudian ditentukan pula konstanta dielektrik air dalam pelarut campur, yaitu
dengan mengalikan jumlah dan persen volume air yaitu : 48,24. Dengan cara yang
sama ditentukan yaitu 10,28 pada tabung 7, sedangkan konstanta dielektrik pelarut
campur pada Porpilenglikol yaitu pada tabung 1 = 20.
Gugus polar dari asam salisilat adalah gugus -OH dan gugus nonpolar pada
asam salisilat adalah gugus cincin benzen. Struktur tersebut menyebabkan asam salisilat
dapat larut pada sebagian pelarut polar dan sebagian pada pelarut non polar. Namun,
karena memiliki gugus polar dan non polar sekaligus dalam satu gugus, asam salislat
sukar larut dengan sempurna pada pelarut polar saja atau pelarut non polar saja. Asam
salisilat sukar larut pada air yang merupakan pelarut non polar, tetapi mudah larut pada
etanol yang merupakan pelarut semi polar.
Berdasarkan teori terjadi perbedaan dengan hasil percobaan yang telah
dilakukan. Hal ini kemungkinan dikarenakan, pengocokan terhadap larutan tidak
merata dan kurang hati-hati serta kecepatan tirasi larutan NaOH yang berlebihan
sehingga volumenya besar dan menghasilkan warna yang lebih terang.
Dari hasil percobaan, dapat diketahui bahwa semakin kecil volume NaOH
maka jumlah kadar asam salisilatnya akan semakin besar. Sebaliknya, apabila volume
NaOHnya besar maka kadar asam salisilatnya juga sedikit. Pada keadaan ini, suhu dan
ukuran permukaan sangat berpengaruh, semakin tinggi suhu semakin cepat suatu zat
akan larut. Semakin kecil luas permukaan, semakin cepat pula suatu zat itu larut.
G. Kesimpulan
Kelarutan merupakan salah satu sifat fisikokimia yang penting untuk
diperhatikan pada tahap preformulasi sebelum memformula bahan obat menjadi
sediaan. Proses kelarutan zat dipengaruhi oleh polaritas pelarut yaitu momen dipolnya,
dimana pelarut polar akan melarutkan lebih baik zat-zat polar dan ionik. Besarnya
tetapan dielektrik yang terjadi pada proses kelarutan dapat diatur dengan penambahan
pelarut lain.
DAFTAR PUSTAKA
Purba, Michael.2006.Kimia untuk SMA kelasXI .Jakarta : Erlangga.
Suharsini.M, Saptarini.M.2007.Kimia dan Kecakapan Hidup kelas XI.Jakarta : Ganeca
Exact.
Voight, 1994. Buku pelajaran Teknologi Farmasi edisi V. Penerbit Gadjah Mada
University Press: Yogyakarta.
http://sweetest-tea.blogspot.com/2012/04/kelarutan-intrinsik-obat.html
Lampiran 3