LAPKAS
-
Upload
brilliant-b-iskandar -
Category
Documents
-
view
19 -
download
0
description
Transcript of LAPKAS
BAB I
PENDAHULUAN
Secara konseptual kerangka wajah terdiri dari empat pasang dinding penopang
(buttress) vertikal dan horizontal. Buttress merupakan daerah tulang yang lebih tebal yang
menyokong unit fungsional wajah (otot, mata, oklusi dental, airway) dalam relasi yang
optimal dan menentukan bentuk wajah dengan cara memproyeksikan selubung soft tissue
diatasnya. Vertical buttresses terdiri dari sepasang maksilari lateral (dinding orbital
lateral) atau zygomatic buttress, maksilari medial (dinding orbital medial) atau nasofrontal
buttress, pterygomaxillary buttress dan posterior vertical buttress atau mandibular buttress.
Horizontal buttresses juga terdiri dari sepasang maksilari tranversal atas (lantai orbital),
maksilari transversal bawah (palatum), mandibular transversal atas dan mandibular
tranversal bawah.
Gambar 1. Kerangka wajah
Skeleton fasial secara kasar dapat dibagi menjadi 3 daerah, yaitu sepertiga bawah atau
mandibula, sepertiga atas yang dibentuk oleh tulag dahi dan sepertiga tengah daerah yang
membentang dari tulang dahi menuju kepermukaan gigi geligi atas. Fraktur yang terjadi pada
daerah sepertiga tengah dan atau mandibula dikenal segabai trauma maksillo fasial.
Trauma maksillo facial cukup sering terjadi. Fraktur maksila sendiri sebagai bagian
dari trauma maxillofacial cukup sering ditemukan, walaupun lebih jarang dibandingkan
dengan fraktur mandibula. Kecelakaan kendaraan bermotor merupakan penyebab tersering
fraktur maksila maupun fraktur wajah lainnya. Pada fraktur maksila juga dapat muncul
berbagai komplikasi yang cukup berat, dimana apabila tidak ditangani dengan baik dapat
mengakibatkan kecacatan dan kematian.
Fraktur maksila juga dapat terjadi pada anak-anak, dengan peningkatan prevalensi
seiring dengan meningkatnya usia anak terkait dengan peningkatan aktivitas fisik. Fraktur
maksila pada anak berbeda secara signifikan dibandingkan dengan orang dewasa baik
itu dari segi pola, maupun treatment. Dengan demikian, adanya fraktur maxillofacial harus
dapat didiagnosis dan ditangani dengan tepat dan akurat untuk menghindari gangguan
pertumbuhan dan perkembangan selanjutnya, mengingat adanya gangguan fungsional dan
masalah estetika yang mungkin terjadi.
BAB II
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. F
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 22 thn
Alamat : Desa Uteun Bayii, Lhokseumawe
Status Perkawinan : Belum Kawin
Agama : Islam
Pekerjaan : Mahasiswa
Pendidikan : S 1
Suku Bangsa : WNI
No RM : 1-05-58-76
Tanggal Kunjungan RS : 16 September 2015
Poliklinik : Syaraf
II. ANAMNESIS
Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan pandangan ganda.
Keluhan Tambahan
Sulit membaca buku dan sebelah wajah terasa kebas.
Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang dengan keluhan pandangan ganda. Keluhan dirasakan sudah sejak 3
bulan yang lalu. Keluhan pertama kali muncul setelah pasien terkena pukulan di daerah
sekitar mata. Keluhan ini muncul sehari setelah pasien terkena pukulan. Pasien juga
mengeluhkan sulit membaca buku dan sebelah wajah bagian pipi mendekati hidung terasa
kebas. Keluhan ini juga timbul setelah terkena pukulan. Pasien mengatakan mata merah dan
lebam setelah dipukul. Tidak ada riwayat penurunan kesadaran setelah terkena pukulan. tidak
ada riwayar perdarahan dari hidung. Pasien tidak mengeluhkan kepala pusing, tidak ada mual
dan muntah. Pasien mengatakan kalau keluhan mulai dirasakan membaik setelah beberapa
kali kontrol ke poli syaraf.
Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengaku belum pernah mengalami keluhan yang sama sebelumnya. Tidak ada
riwayat alergi, asama, hipertensi dan diabetes melitus.
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang mengalami keluhan serupa.
Riwayat Kebiasaan Sosial
Pasien adalah seorang mahasiswa.
Riwayat Pengobatan
Pasien mengaku tidak pernah mengonsumsi obat untuk mengurangi keluhan
sebelumnya.
III. PEMERIKSAAN FISIK
A. Keadaan umum
Kesadaran : compos mentis
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Denyut nadi : 88 x/mnt, isi cukup, irama regular teratur, equal
Frekuensi Nafas : 18 x /mnt
Suhu : 36,7oC
BB : 65 kg
TB : 163 cm
B. STATUS GENERALIS
Kepala
Bentuk : normochepali, simetri
Nyeri tekan : (-)
Rambut : hitam ikal, distribusi merata, allopecia (-)
Wajah : simetris, pucat (-), ikterik (-), petekie (-)
Mata : ptosis (-/-), edema kelopak mata (-/-), pupil bulat isokor Ø 3 mm/3mm,
RCL (+/+) RCTL (+/+) konjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-),
sekret (-/-), pseudoptosis (-/-), lagoftalmus (-/-)
Hidung : Simetris , septum deviasi (-), deformitas (-), sekret (-/-)
Telinga : normotia, pendengaran normal, nyeri tekan tragus dan mastoid (-)
Gigi Mulut : Jumlah gigi 31, terdapat gigi tanggal molar 1 dan premolar 1, karies
gigi (-), perdarahan gusi (-), oral hygiene cukup baik.
Lidah : coated tongue (-), papil atrofi (-)
Tenggorokan : normal, tidak hiperemis, tonsil T1-T1
Leher
Kelenjar Getah Bening : Tidak teraba membesar
Kelenjar Tiroid : Tidak teraba membesar
Trakhea : Lurus, tidak ada deviasi
JVP : 5-2 cm H20
Thoraks
Paru
Inspeksi : Hemithoraks simetris saat statis dan dinamis, retraksi sela iga (-),
deformitas (-)
Palpasi : Vokal fremitus kanan dan kiri simetris
Perkusi : Sonor di kedua lapang paru
Auskultasi : Suara nafas vesikuler, ronkhi (-/-), wheezing (-/-)
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak terlihat
Palpasi : Ictus cordis teraba di ICS V , 1 cm medial linea midclavicularis
sinistra
Perkusi : Batas jantung atas : ICS III linea parasternal kiri
Batas jantung kanan : ICS IV linea sternalis kiri
Batas jantung kiri : ICS V 1 cm medial linea midclavicularis sinistra
Auskultasi : BJ I-II regular , murmur (-), gallop (-)
Abdomen
Inspeksi : Dinding abdomen datar, jaringan parut (-)
Auskultasi : Bising usus 2x/menit
Palpasi : Soepel, nyeri tekan tidak ada, hepar dan lien tidak teraba membesar
Perkusi : Timpani (+) pada 9 regio abdomen
Ekstremitas
- atas : akral hangat (+/+), oedem (-/-)
- bawah : : akral hangat (+/+), oedem (-/-) -
C. STATUS NEUROLOGIS
1) Kesadaran : Compos mentis
2) GCS : E 4 V5 M 6
3) Tanda Rangsang meningeal :
Kaku kuduk : -
Brudzinsky 1 : -
Brudzinsky 2 : -|-
Laseque : >700 | >700
Kernig : >1350 | >1350
4) Saraf kranial :
1. N. I (Olfactorius )
Kanan Kiri Keterangan
Daya pembau Dbn dbn Dalam batas
normal
2. N.II (Opticus)
Kanan Kiri Keterangan
Daya penglihatan
Lapang pandang
Pengenalan warna
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dalam batas
normal
3. N.III (Oculomotorius)
Kanan Kiri Keterangan
Ptosis
Pupil
Bentuk
Ukuran
akomodasi
Refleks pupil
Langsung
Tidak langsung
(+)
Bulat
Φ2mm
baik
(+)
(+)
(-)
Bulat
Φ2mm
baik
(+)
(+)
Dalam batas
normal
Gerak bola mata
Kedudukan bola mata
Dbn
Ortoforia
Dbn
Ortoforia
4. N. IV (Trokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata Dbn Terganggu Gangguan N. IV
(Troklearis)
sinistra
5. N. V (Trigeminus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Sensibilitas
Opthalmikus
Maxilaris
Mandibularis
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Dbn
Terganggu
Dbn
Gangguan N. V
(trigeminus)
ramus
maksilaris
sinistra
6. N. VI (Abduscens)
Kanan Kiri Keterangan
Gerak bola mata
Strabismus
Dbn
(-)
Dbn
(-)
Dalam batas
normal
7. N. VII (Facialis)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Saat diam
Mengernyitkan dahi
Senyum
memperlihatkan gigi
Daya perasa 2/3
anterior lidah
simetris
Dbn
Dbn
Dbn
Tidak
dilakukan
simetris
Dbn
Dbn
Dbn
Tidak dilakukan
Dalam batas
normal
8. N. VIII (Vestibulo-Kokhlearis)
Kanan Kiri Keterangan
Pendengaran
Tuli konduktif
Tuli sensorieural
Vestibular
Vertigo
Nistagmus
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Dalam batas
normal
9. N. IX (Glossofaringeus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings
Daya perasa 1/3
posterior lidah
Simetris
Tidak
dilakukan
Simetris
Tidak dilakukan
Dalam batas
normal
10. N. X (Vagus)
Kanan Kiri Keterangan
Arkus farings
Disfonia
Refleks muntah
Simetris
-
Tidak
dilakukan
Simetris
-
Tidak dilakukan
Dalam batas
normal
11. N. XI (Assesorius)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik
Menoleh
Mengankat bahu
Trofi
dbn
dbn
Eutrofi
dbn
dbn
Eutrofi
Dalam batas
normal
12. N. XII (Hipoglossus)
Kanan Kiri Keterangan
Motorik Dbn Dbn
Trofi
Tremor
Disartri
Eutrofi
(-)
(-)
Eutrofi
(-)
(-)
Dalam batas
normal
5) Sistem motorik
Kanan Kiri Keterangan
Ekstremitas atas
Kekuatan
Tonus
Trofi
Ger.involunter
5555
N
Eu
(-)
5555
N
Eu
(-) Dalam Batas
NormalEkstremitas bawah
Kekuatan
Tonus
Trofi
Ger.involunter
5555
N
Eu
(-)
5555
N
Eu
(-)
6) Sistem sensorik
Sensasi Kanan Kiri Keterangan
Raba
Nyeri
Suhu
Propioseptif
Baik
baik
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
baik
baik
Tidak dilakukan
Tidak dilakukan
Dalam batas
normal
7) Refleks
Refleks Kanan Kiri Keterangan
Fisiologis
Biseps
Triseps
Patella
Achilles
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
(+)
Patologis
Hoffman Tromer (-) (-)
Babinski
Chaddock
Openheim
Gordon
Schaeffer
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
(-)
Dalam batas
normal
8) Fungsi koordinasi dan keseimbangan
Pemeriksaan Kanan Kiri Keterangan
Jari tangan – jari tangan
Jari tangan – hidung
Tumit – lutut
Pronasi – supinasi
Romberg test
Baik
Baik
Baik
Baik
Tidak
dilakukan
Baik
Baik
Baik
Baik
Tidak dilakukan
9) Sistem otonom
Miksi : Baik
Defekasi : Baik
Keringat : Baik
10) Fungsi luhur : Tidak ada gangguan fungsi luhur.
11) Vertebra : Tidak ada kelainan, tidak ada nyeri tekan.
IV. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Laboratorium darah
Tidak ada data.
2. CT – Scan
CT – Scan kepala tanpa kontras tanggal 16 Juni 2015.
Kesan:
- Pembengkakan jaringan lunak regio anterior orbita kiri.
- Fraktur dinding anterior sinus maksilaris kiri dengan hematosinus maksilaris
dan ethmoidalis kiri.
- Tidak tampak perdarahan intrakranial.
CT – Scan kepala dengam kontras tanggal 17 Juni 2015.
Kesan:
- Hematoma regio anterior orbita kiri.
- Fraktur dinding anterior sinus maksilaris kiri dengan hematosinus maksilaris
dan ethmoidalis kiri.
V. DIAGNOSIS KERJA
a. Diagnosis klinis : Paresis nervus troklearis dan nervus trigeminus sinistra
b. Diagnosis Topis : Nervus troklearis dextra dan nervus trigeminus ramus maksilaris
sinistra.
c. Diagnosis Etiologi : Trauma
d. Diagnosis Patologis : -
VI. PENATALAKSANAAN
Medikamentosa
- Citicolin 1000 mg 2x1 tab.
- Mecobalamin 500 mg 2x1 tab.
- Na. Diklofenat 50 mg 2x1 tab.
VII. PROGNOSIS
Ad Vitam : dubia ad bonam
Ad fungsionam : dubia ad bonam
Ad sanationam : dubia ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
3.1 ANATOMI
a. Anatomi Fasioskaletal.
Maksila terbentuk dari dua bagian komponen piramidal iregular yang berkontribusi
terhadap pembentukan bagian tengah wajah dan bagian orbit, hidung dan palatum. Maksila
berlubang pada aspek anteriornya untuk menyediakan celah bagi sinus maksila sehingga
membentuk bagian besar dari orbit, nasal fossa, oral cavity dan sebagian besar palatum, nasal
cavity, serta apertura piriformis. Maksila terdiri dari badan dan empat prosesus; frontal,
zygomatic, palatina dan alveolar. Badan maksila mengandung sinus maksila yang besar.
Pada masa anak-anak, ukuran sinus ini masih kecil, tapi pada saat dewasa ukuran akan
mebesar dan menembus sebagian besar struktur sentral pada wajah.
Terdapat otot-otot kecil dan tipis yang melekat pada maksila dan termasuk dalam
golongan otot mimik yang mendapat persarafan motorik dari N. VIII. Secara mikroskopis
maksilla merupakan tulang kanselous, dimana pada fraktur akan terjadi penyembuhan primer.
Oklusi merupakan suatu konsep dinamis dimana menurut Sicher posisi oklusi adalah
terjadinya kontak antara beberapa atau seluruh gigi atas dan bawah. Oklusi median
menunjukkan adanya interdigitasi dari geligi, mandibula dan maksila. Untuk mendapatkan
penyembuhan yang sempurna maka perlu diperhatikan oklusi median, oleh karena reduksi
dan fiksasi dari fraktur wajah tergantung pada restorasi dan immobilisasi pada posisi oklusi
median selama beberapa waktu.
Tujuan utama reduksi fraktur tulang adalah mengembalikan bentuk dan fungsi normal
dari tulang keposisi normal dengan mengembalikan posisi gigi dan struktur tulang. Oleh
karena gigi-geligi mempunyai hubungan yang sangat penting dengan proc. Alveolaris dan
terhadap struktur utama mandibula dan makssila, maka hubungan ini akan tetap konstan.
Adanya oklusi intermaksilaris yang normal menunjukkan posisi fragmen tulang pada posisi
normal. Hubungan intermaksilaris yang normal juga beeguna sebagai petunjuk pada reposisi
tulang maksila dan zygomaticus pada trauma wajah multipel.
Klasifikasi fraktur sepertiga tengah muka.
1. Dento alveoler.
Bagian dento alveoler maksila dapat mengalami fraktur oleh karena trauma baik
langsung maupun tak langsung. Fraktur proc. Alveolaris dapat disertai dengan
displacement fragmen fraktur.
2. Kompleks zygomaticus.
3. Kompleks nasalis.
4. Fraktur vertikal.
Tipe fraktur ini akan menyebabkan separasi bagian maksila. Pada umumnya garis
fraktur melewati satu atau kedua os. Nasale dan bagian tipis dari proc. Palatinus,
maksila dan os. Palatina.
5. Fraktur dasar orbita.
Dikenal 2 macam fraktur dasar orbita, yaitu:
a. Orbita blow out fracture
Terjadi karena fragmen fraktur dasar orbital berpindah tempat kebawah dan
masuk kedalam rongga antrum dan melekat pada periosteum orbital
membentuk suatu perangkap bagi lemak periorbita.
b. Orbita blow in fracture
Pada fraktur ini fragmen dasar orbita menekuk ke dalam cavum occuli. Fraktur
ini terjadi akibat trauma pada pinggir orbita bagian bawah.
6. Fraktur Le Fort I (frac. Guerin/maksiler-transversa).
Dikenal pula sebagai ‘low level fracture.’ Garis fraktur berupa garis transversal
diatas proc. Alveolaris maksila. Fragmen fraktur terdiri atas proc. Alveolaris,
sebagian dinding proc. Alveolaris, palatum dan bagian bawah proc. Pterigoideus
dan os. Sphenoid.
7. Fraktur Le Fort II (pyramidal/infra zygomatik).
Disebabkan oleh tenaga pukulanpada bagian atas maksila, dan menyebabkan
fraktur os. Nasale dan proc. Frontalis maksila. Garis fraktur akan diteruskan ke
arah lateral melalui os. Lakrimale, tepi bawah cavum orbita, serta zygomatiko
maksilar. Garis fraktur akan berlanjut kebelakang sepanjang sisi lateral dinding
maksila, permukaan pterigoideum dan masuk kedalam fossa pterigo-maksilar.
8. Fraktur Le Fort III (fraktur supra zygomatik).
Terjadu akibat trauma kuat wajah, sehingga menyebabkan terlepasnya tulang-
tulang wajah dari perlekatannya pada kranuim. Garis fraktur melewati sutur
azygomatico-frontal, maksilo-frontal dan naso-frontal, melalui dasar orbita dan os.
Etmoidal dan spenoid, disertai dengan terlepasnya tulang sepertiga tengah wajah
dari perlekatannya pada kranium.
Gambar 2. Fraktur Le fort I (maksiler-transversa), fraktur Le Fort II (infra zygomatik) dan
fraktur Le Fort III (supra zygomatik).
b. Neuroanatomi Nervus Troklearis dan Nervus Trigeminus.
Saraf otak terdiri atas 12 pasang, saraf otak pertama langsung berhubungan dengan
otak tanpa melalui batang otak, saraf otak kedua sampai keduabelas semuanya berasal dari
batang otak. Saraf otak kedua dan ketiga berpangkal di mesensefalon, saraf otak keempat,
lima, enam dan tujuh berinduk di pons, dan saraf otak kedelapan sampai keduabelas berasal
dari medulla oblongata.
Nucleus syaraf troklearis terletak di dalam substansia grisea, dorsal dari otak tengah,
berdampingan dengan nucleus syaraf okulomotor. Fasikulus nervus troklearis sangat pendek,
mengandung 2000 serat syaraf. Nervus troklearis merupakan satu-satunya syaraf cranial yang
keluar dari batang otak, sehingga rentan terganggu oleh trauma kepala. Kemudian melewati
sinus kavernosus dan fissura orbitalis superior mempersyarafi m. oblique superior.
Nervus trigeminus merupakan nervus cranial terbesar, sensorik pada leher dan kepala
serta merupakan nervus motorik pada otot-otot pengunyahan. Nervus trigeminus muncul dari
pons, dekat dengan batas sebelah atas dengan radiks motorik kecil yang terletak di depan dan
radiks sensorik besar yang terletak di medial. Nervus ini terdiri atas tiga cabang, yaitu : n.
Opthalmicus, n. Maxillaris dan n. Mandibularis. Seperti halnya bagian tubuh manusia, saraf
juga sering mengalami cedera atau kelainan, begitu juga dengan saraf trigeminus. Adapun
kelainan atau yang sering terjadi pada nervus ini adalah trigeminal neuralgia dan cedera
trigeminal. Cedera saraf sensoris pada daerah maksilofasial biasanya terjadi akibat fraktur
fasialis, selama terapi neoplasma atau ketika tindakan rekonstruksi. Untungnya sebagian
besar dari cedera tersebut pulih dengan sendirinya. Namun demiklian sebagian ada yang
memerlukan terapi akibat gangguan yang persisten pada saraf sensorisnya.
Nervus trigeminus dinamai saraf tiga serangkai sebab terdiri atas tiga cabang (rami)
utama yang menyatu pada ganglion Gasseri. Ketiga cabang tersebut adalah:
1. Nervus ophtalmicus, yang mensarafi dahi, mata, hidung, selaput otak, sinus
paranasalis dan sebagian dari selaput lendir hidung. Saraf ini memasuki rongga
tengkorak melalui fissura orbitalis superior.
2. Nervus maxillaries, yang mensarafi rahang atas serta gigi-gigi rahang atas, bibir
atas, pipi, palatum durum, sinus maxillaries dan selaput lendir hidung. Saraf ini
memasuki rongga tengkorak melalui foramen rotundum.
3. Nervus mandibularis, yang mensarafi rahang bawah, bibir bawah, mukosa pipi,
lidah, sebagian dari meatus accusticus externus, meatus accusticus internus dan
selaput otak. Saraf ini memasuki rongga tengkorak melalui foramen ovale.
Ketiga nervi (rami) ini bertemu di ganglion semilunare Gasseri. Dalam ganglion
semilunar Gasseri terdapat sel-sel ganglion unipolar. Juluran aferen perifer dari sel-sel
unipolar ini lewat pada ketiga cabang utama dari nervus trigeminus itu. Juluran aferen sentral
dari sel-sel unipolar itu lewat di dalam porsio mayor nervus V yang masuk ke pons. Setelah
msuk ke dalam pons (di perbatasan 1/3 depan dengan 2/3 belakang pons), maka porsio mayor
nervus V itu bercabang dua, yaitu:
a. Rami ascendens (pendek), yang bersinaps di nukleus sensibilis prinseps nervi
trigemini. Serabut-serabut ini menghantarkan rasa peraba.
b. Rami desendens (panjang), yang menjulur ke distal dan membentuk tractus
spinalis nervi trigemini. Tractus ini menjulur ke caudal, sampai di bagian atas dari
medulla spinalis cervicalis. Dalam perjalanan ke caudal ini, serabut tractus
spinalis N V ini melepaskan kolateral-kolateral untuk bersinaps dalam nuklei
tracti spinalis nervi trigemini. Serabut-serabut ini menghantarkan rasa peraba,
nyeri dan suhu.
Nervus opthalmicus merupakan divisi pertama dari trigeminus dan merupakan saraf
sensorik. Cabgng-cabang n. opthalmicus menginervasi kornea, badan ciliaris dan iris,
glandula lacrimalis, conjunctiva, bagian membran mukosa cavum nasal, kulit palpebra, alis,
dahi dan hidung. Nervus opthalmicus adalah nervus terkecil dari ketiga divisi trigeminus.
Nervus opthalmicus muncul dari bagian atas ganglion semilunar sebagai berkas yang pendek
dan rata kira-kira sepanjang 2.5 cm yang melewati dinding lateral sinus cavernous, di bawah
nervus occulomotor (N III) dan nervus trochlear (N IV). Ketika memasuki cavum orbita
melewati fissura orbitalis superior, nervus opthalmicus bercabang menjadi tiga cabang:
lacrimalis, frontalis dan nasociliaris.
Persarafan otot mata
1. Superior oblique (SO)—oleh nervus ke IV (Trochlear).
2. Inferior oblique (IO)— oleh nervus ke III (Oculomotor).
3. Superior rectus (SR)— oleh nervus ke III (Oculomotor).
4. Inferior rectus (IR)— oleh nervus ke III (Oculomotor).
5. Medial rectus (MR)— oleh nervus ke III (Oculomotor).
6. Lateral rectus (LR)— oleh nervus ke VI (Abducens).
Gambar 3: Nervus ophtalmicus.
Nervus opthalmicus bergabung dengan serabut dari pleksus cavernous dan
berhubungan dengan nervus occulomotor, trochlear dan abdusen dan mengeluarkan filamen
recurrent yang melewati diantara lapisan tentorium.
Yang berperan dalam mengurus gerakan ke dua bola mata adalah sara otak ke 3, ke 4,
dan ke 6. Oleh karena itu maka ke tiga saraf otak tersebut dinamakan nervi okulares yang
didalam klinik diperiksa secara bersama sama. Dalam gerakan tersebut ke dua mata bertindak
sebagai organ visual yang tunggal, dimana gambaran obyek yang tiba di retina kedua sisi
menduduki tempat yang identik, gerakan ini dikenal sebagai gerakan konyugat. Jika terdapat
selisih dalam sinkronisasi itu akan menyebabkan timbulnya diplopia.
Untuk mengatur gerakan mata secara konyugat tersebut dikelola oleh area 8
Brodmann di lobus frontalis, yang impulsnya di batang otak dikordinasikan melalui fasikulus
longitudinalis medialis, serebelum dan alat keseimbangan. Sinkron dengan dikirimnya impuls
okulomotorik oleh area 8, dikirim pula impuls akulomotorik yang mengatur fiksasi ke dua
bola mata sehingga proyeksi di retina kedua sisi terjadi pada tempat yang identik. Sumber
impuls tersebut yaitu 19 Broadmann.
Otot penggerak bola mata disebut juga otot ekstraokuler yang sangat kecil ukurannya
namun sangat kuat dan efisien gerakannya. Ada enam otot penggerak bola mata yang melekat
pada bola mata. Keenam otot ini harus bekerja secara bersama-sama secara sinkron dan tepat
serta serentak agar manusia bisa melihat secara normal untuk melihat ke atas, bawah,
samping kanan, samping kiri dan rotasi atau memutar.
Otot-otot tersebut adalah:
a. medial rectus (MR),
b. lateral rectus (LR),
c. superior rectus (SR),
d. inferior rectus (IR),
e. superior oblique (SO),
f. inferior oblique (IO).
Pergerakan mata
Medial rectus (MR)— menggerakkan mata ke arah dalam atau mendekati
hidung (adduction).
Lateral rectus (LR)— menggerakan mata ke arah luar atau menjauhi hidung
(abduction).
Superior rectus (SR)— menggerakkan mata ke atas (elevation)
o membantu otot superior oblique memutarkan bagian atas mata kearah
mendekati hidung (intorsion)
o membantu otot medial rectus melakukan gerakan adduction
inferior rectus (IR)— menggerakkan mata ke bawah (depression)
o membantu otot inferior oblique memutarkan bagian tas mata ke arah
menjauhi hidung (extorsion)
o membantu oto lateral rectus melakukan gerakan abduction.
superior oblique (SO)— memutarkan bagian atas mata mendekati hidung
(intorsion)
o membantu gerakan depression dan abduction
inferior oblique (IO)— memutarkan bagian atas mata menjauhi hidung
(extorsion)
o membantu gerakan elevation dan abduction.
Gambar 4: Otot-otot pergerakan bola mata
Nervus maxillaris merupakan divisi dua dan merupakan nervus sensorik. Ukuran dan
posisinya berada di tengah-tengah nervus opthalmicus dan mandibularis. N. maxillaris
bermula dari pertengahan ganglion semilunar sebagai berkas berbentuk pleksus dan datar dan
berjalan horizontal ke depan keluar dari cranium menuju foramen rotundum yang kemudian
bentuknya menjadi lebih silindris dan teksturnya menjadi lebih keras. N. maxillaris lalu
melewati fossa pterygopalatina, menuruni dinding lateral maxilla dan memasuki cavum
orbital lewat fissure orbitalis inferior. Lalu melintasi fissure dan canalis infraorbitalis dan
muncul di foramen infraorbital. Akhiran sarafnya terletak di bawah musculus quadratus labii
superioris dan terbagi menjadi serabut yang lebih kecil yang mengincervasi hidung, palpebra
bagian bawah dan bibir superior bersatu dengan serabut nervus facial.
Gambar 5: Percabangan Nervus Trigeminus.
3.2 DEFINISI
Paresis nervus adalah gangguan fungsi fisiologis baik motorik maupun sensorik akibat
dari adanya lesi pada jaringan saraf pada nervus.
3.3 EPIDEMIOLOGI
Foester melaporkan bahwa kerusakan saraf fasialis sebanyak 120 dari 3907 kasus (3%)
dari seluruh trauma kepala saat Perang Dunia I. Friedman dan Merit menemukan sekitar 7
dari 430 kasus trauma kepala. Adapun kelumpuhan saraf fasialis yang tidak diketahui
penyebabnya (Bell’s Palsy) sekitar 20-30 kasus per 100.000 penduduk pertahun, sekitar 60-
75% dari semua kasus merupakan paralysis nervus fasialis unilateral.
Insiden pada laki-laki dan perempuan sama, namun rata-rata muncul pada usia 40 tahun
meskipun penyakit ini dapat timbul di semua umur. Insiden terendah adalah pada anak di
bawah 10 tahun, meningkat pada umur di atas 70 tahun. Frekuensi kelumpuhan saraf fasialis
kanan dan kiri sama. Kausa tumor merupakan hal yang jarang, hanya sekitar 5% dari semua
kasus kelumpuhan saraf fasialis.
3.4 ETIOPATOFISIOLOGI
Tempat dimana saraf okuler sering mendapat gangguan perifer ialah fisura orbitalis superior,
sinus kavernosus dan didalam ruang orbita. Karena proses patologik di tempat tempat
tersebut,maka kelumpuhan nervus okulomotorius, nervus abducens dan nervus trokhlearis
sering ditemukan secara tergabung berupa suatu sindroma.
1) Lesi di Fissura orbitalis superior dan orbita:
Lesi disini biasanya disebabkan oleh tumor:
a) Meningioma
b) Haemangioma
c) Gliomas
d) Retro orbital carcinoma
2) Lesi di sinus kavernosus
a) Sinus cavernosus trombosis, biasanya terjadi sebagai komplikasi dari sepsis infeksi
dari kulit muka atas atau dari sinus paranasal
b) Meningioma dari sphenoid wing
c) Chordoma pada basis sphenoid
d) Craniopharyngioma
e) Tumor intra sellar
f) Aneurisma arteri karotis interna di intra cavernosus
g) Aneurisma arteri komunikans posterior
h) Perluasan lobus temporal atau displacement yang menyebabkan saraf teregang di tepi
bebas tentorium cerebeli karena dinding sinus kavernosus melanjutkan dirinya ke
lateral sebagai dura yang membungkus tulang yang membentuk fisura orbitalis
superior. Maka sindroma fisura orbitalis superior dan sindroma sinus kavernosus pada
intinya sama. Keduanya mencakup kelumpuhan N3, N4, N6, N5 ke 1 dan 2 disertai
proptosis dan edema kelopak mata serta konjunctiva.
3) Lesi di area basiler
a) Meningitis basalis
b) Nasopharynx carcinoma
c) Meningovaskular syphilis
d) Aneurisma arteri basiler
e) Guillain-Barre Syndrome
f) Herpes zoster
g) Sarcoid
h) Frakture
4) Lesi di intinya
a) Vascular disease (DM, hipertensi dan aterosklerosis)
b) Multiple aklerosis
c) Pontine glioma
d) Kompresi extrinsik
e) Poliomyelitis
f) Werbicke encephalopaty
g) Kelainan kongenital
Lesi nuklearis di inti nervus trokhlearis yang ipsilateral menimbulkan kelumpuhan
otot oblikus superior kontralateral. Gejala tersebut jarang terjadi secara tersendiri. Pada
umunya lesi nuklearis trokhlearis merupakan bagian dari lesi yang lebih luas, sehingga
kelumpuhan otot oblikus superior menjadi salah satu gejala dari sindroma ophtalmopegia
internuklearis atau sindroma fasikulus longitudinalis medialis pada tingkat medula oblongata
(lesi yang merusak FLM disebut lesi internuklearis, gejalanya disebut ophtalmoplegia
internuklearis).
3.5 GEJALA DAN MANIFESTASI KLINIS
Otot-otot bagian atas wajah mendapat persarafan dari 2 sisi. Karena itu, terdapat
perbedaan antara gejala kelumpuhan saraf VII jenis sentral dan perifer. Pada gangguan
sentral, sekitar mata dan dahi yang mendapat persarafan dari 2 sisi, tidak lumpuh ; yang
lumpuh ialah bagian bawah dari wajah. Pada gangguan N VII jenis perifer (gangguan berada
di inti atau di serabut saraf) maka semua otot sesisi wajah lumpuh dan mungkin juga
termasuk cabang saraf yang mengurus pengecapan dan sekresi ludah yang berjalan bersama
N. Fasialis.
Bagian inti motorik yang mengurus wajah bagian bawah mendapat persarafan dari
korteks motorik kontralateral, sedangkan yang mengurus wajah bagian atas mendapat
persarafan dari kedua sisi korteks motorik (bilateral). Karenanya kerusakan sesisi pada upper
motor neuron dari nervus VII (lesi pada traktus piramidalis atau korteks motorik) akan
mengakibatkan kelumpuhan pada otot-otot wajah bagian bawah, sedangkan bagian atasnya
tidak. Penderitanya masih dapat mengangkat alis, mengerutkan dahi dan menutup mata
(persarafan bilateral) ; tetapi pasien kurang dapat mengangkat sudut mulut (menyeringai,
memperlihatkan gigi geligi) pada sisi yang lumpuh bila disuruh. Kontraksi involunter masih
dapat terjadi, bila penderita tertawa secara spontan, maka sudut mulut dapat terangkat.
Pada lesi motor neuron, semua gerakan otot wajah, baik yang volunter maupun yang
involunter, lumpuh. Lesi supranuklir (upper motor neuron) nervus VII sering merupakan
bagian dari hemiplegia. Hal ini dapat dijumpai pada strok dan lesi-butuh-ruang (space
occupying lesion) yang mengenai korteks motorik,kapsula interna, talamus, mesensefalon
dan pons di atas inti nervus VII. Dalam hal demikian pengecapan dan salivasi tidak
terganggu. Kelumpuhan nervus VII supranuklir pada kedua sisi dapat dijumpai pada paralisis
pseudobulber.
3.6 KLASIFIKASI PARESE FASIALIS
Gambaran dari disfungsi motorik fasial ini sangat luas dan karakteristik dari parese ini
sangat sulit. Beberapa sistem telah usulkan tetapi semenjak pertengahan 1980. Sistem house-
Brackmann yang selalu atau sangat dianjurkan . pada klasifikasi ini grade 1 merupakan
fungsi yang normal dan grade 6 merupakan parese yang komplit. Pertengahan grade ini
sistem berbeda penyesuaian dari fungsi ini pada istirahat dan dengan kegiatan. Ini diringkas
dalam tabel:
Grade Penjelasan KarakteristikI Normal Fungsi fasialis normalII Disfungsi
ringanKelemahan yang sedikit terlihat pada inspeksi dekat, bisa ada sedikit sinkinesis. Pada istirahat simetri dan selaras. Pergerakan dahi sedang sampai baik. Menutup mata dengan usaha yang minimal. Terdapat sedikit asimetris pada mulut jika melakukan pergerakan.
III Disfungsi sedang
Terlihat tapi tidak tampak adanya perbedaan antara kedua sisi. Adanya sinkinesis ringan. Dapat ditemukan spasme atau kontraktur hemifaisal. Pada istirahat simetris dan selaras. Pergerakan dahi ringan sampai sedang. Menutup mata dengan usaha. Mulut sedikit lemah dengan pergerakan yang maksimum.
IV Disfungsi sedang berat
Tampak kelemahan bagian wajah yang jelas dan asimetris. Kemampuan menggerakkan dahi tidak ada. Tidak dapat menutup mata dengan sempurna. Mulut tampak asimetris dan sulit digerakkan.
V Disfungsi berat
Wajah tampak asimetris. Pergerakan wajah tidak ada dan sulit dinilai. Dahi tidak dapat digerakkan. Tidak dapat menutup mata. Mulut tidak simetris dan sulit digerakkan.
VI Disfungsi total
Tidak ada pergerakan.
3.7 PEMERIKSAAN PENUNJANG
Salah satu pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan untuk mengetahui parese
nervus fasialis adalah dengan uji fungsi saraf. Terdapat beberapa uji fungsi saraf yang
tersedia antara lain Elektromigrafi (EMG), Elektroneuronografi (ENOG), dan uji stimulasi
maksimal.
1. Elektromiografi (EMG).
EMG sering kali dilakukan oleh bagian neurologi. Pemeriksaan ini bermanfaat untuk
menentukan perjalanan respons reinervasi pasien. Pola EMG dapat diklasifikasikan
sebagai respon normal, pola denervasi, pola fibrilasi, atau suatu pola yang kacau yang
mengesankan suatu miopati atau neuropati. Namun, nilai suatu EMG sangat terbatas
kurang dari 21 hari setelah paralisis akut. Sebelum 21 hari, jika wajah tidak bergerak,
EMG akan memperlihatkan potensial denervasi. Potensial fibrilasi merupakan suatu
tanda positif yang menunjukkan kepulihan sebagian serabut. Potensial ini terlihat
sebelum 21 hari.
2. Elektroneuronografi (ENOG).
ENOG memberi informasi lebih awal dibandingkan dengan EMG. ENOG melakukan
stimulasi pada satu titik dan pengukuran EMG pada satu titik yang lebih distal dari
saraf. Kecepatan hantaran saraf dapat diperhitungkan. Bila terdapat reduksi 90% pada
ENOG bila dibandingkan dengan sisi lainnya dalam sepuluh hari, maka kemungkinan
sembuh juga berkurang secara bermakna. Fisch Eselin melaporkan bahwa suatu
penurunan sebesar 25 persen berakibat penyembuhan tidak lengkap pada 88 persen
pasien mereka, sementara 77 persen pasien yang mampu mempertahankan respons di
atas angka tersebut mengalami penyembuhan normal saraf fasialis.
3. Uji Stimulasi Maksimal Uji stimulasi merupakan suatu uji dengan meletakkan sonde
ditekankan pada wajah di daerah saraf fasialis. Arus kemudian dinaikkan perlahan-
lahan hingga 5 ma, atau sampai pasien merasa tidak nyaman. Dahi, alis, daerah
periorbital, pipi, ala nasi, dan bibir bawah diuji dengan menyapukan elektroda secara
perlahan. Tiap gerakan di daerah-daerah ini menunjukkan suatu respons normal.
Perbedaan respons yang kecil antara sisi yang normal dengan sisi yang lumpuh
dianggap sebagai suatu tanda kesembuhan. Penurunan yang nyata adalah apabila
terjadi kedutan pada sisi yang lumpuh dengan besar arus hanya 25 persen dari arus
yang digunakan pada sisi yang normal. Bila dibandingkan setelah 10 hari, 92 persen
penderita Bell’s Palsy kembali dapat melakukan beberapa fungsi. Bila respon elektris
hilang, maka 100 persen akan mengalami pemulihan fungsi yang tidak lengkap.
Statistik menganjurkan bahwa bentuk pengujian yang paling dapat diandalkan adalah
uji fungsi saraf secara langsung.
3.8 PENATALAKSANAAN
Pengobatan terhadap parese nervus VII dapat dikelompokkan dalam 3 bagian :
1. Pengobatan terhadap parese nervus fasialis
A. Fisioterapi
1. Heat Theraphy, Face Massage, Facial Excercise Basahkan handuk dengan air panas,
setelah itu handuk diperas dan diletakkan dimuka hingga handuk mendingin. Kemudian
pasien diminta untuk memasase otot-otot wajah yang lumpuh terutama daerah sekitar mata,
mulut dan daerah tengah wajah. Masase dilakukan dengan menggunakan krim wajah dan
idealnya juga dengan menggunakan alat penggetar listrik. Setelah itu pasien diminta untuk
berdiri didepan cermin dan melakukan beberapa latihan wajah seperti mengangkat alis mata,
memejamkan kedua mata kuat-kuat, mengangkat dan mengerutkan hidung, bersiul,
menggembungkan pipi dan menyeringai. Kegiatan ini dilakukan selama 5 menit 2 kali sehari.
2. Electrical Stimulation Stimulasi energi listrik dengan aliran galvanic berenergi lemah.
Tindakan ini bertujuan untuk memicu kontraksi buatan pada otototot yang lumpuh dan juga
berfungsi untuk mempertahankan aliran darah serta tonus otot.
B. Farmakologi
Obat-obatan yang dapat diberikan dalam penatalaksanaan parese nervus fasialis antara lain:
1. Asam Nikotinik
Pada parese nervus fasialis yang dikarenakan iskemia. Asam nikotinik dan obat-obatan yang
bekerja menghambat ganglion simpatik servikal digunakan untuk memicu vasodilatasi
sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke nervus fasialis.
2. Vasokonstriktor
Obat ini diberikan pada kelumpuhan nervus fasialis yang disebabkan oleh kompresi nervus
fasialis pada kanal falopi. Obat ini bekerja mengurangi bendungan , pembengkakkan, dan
inflamasi pada keadaan diatas.
3. Steroid Obat ini diberikan untuk mengurangi proses inflamasi yang menyebabkan Bell’s
Palsy.
4. Sodium Kromoglikat Diberikan pada parese nervus fasialis jika dipikirkan adanya reaksi
alergi.
5. Antivirus Baru-baru ini antivirus diberikan dengan atau tanpa penggunaan prednisone
secara simultan.
C. Pengobatan Psikofisikal Akupuntur, biofeedback, dan electromyographic feedback
dilaporkan dapat membantu pentembuhan Bell’s Palsy.
1. Pengobatan Sekuele ( Gejala Sisa ) Pengobatan terhadap gejala sisa yang dapat dilakukan
antara lain:
A. Depresi Pasien dengan parese nervus fasialis memiliki ketakutan bahwa mereka
memiliki penyakit yang mengancam jiwa ataupun penyakit yang melibatkan pembuluh
darah otak. Konseling dan terapi kelompok yang melibatkan penderita dengan usia yang
sama terbukti efektif untuk mengatasi depresi tersebut.
B. Nyeri Sebagian pasien dengan Bell’s Palsy dan hampir seluruh pasien dengan Herpes
Zooster Cephalic merasakan nyeri. Nyeri ini dapat diatasi dengan analgesic non-narkotik.
Dapat diberikan steroid dengan dosis awal 1 mg/ kg BB/ hari dan tapering off setelah 10
hari penggunaan.
C. Perawatan Mata Secara umum, Perawatan mata ditujukan untuk menjaga kelembaban
mata agar tidak terjadi keratitis dan kerusakan kornea. Pasien diminta untuk
meengedipkan mata 2 sampai 4 kali permenit disamping penggunaan obat tetes mata.
2. Indikasi Untuk Operasi Pada kasus dengan gangguan hantaran berat atau sudah terjadi
denervasi total, tindakan operatif segera harus dilakukan dengan teknik dekompresi nervus
fasialis transmastoid.
Pada otitis media akut, operasi dekompresi kanalis fasialis tidak diperlukan. Hanya
perlu diberikan antibiotic dosis tinggi dan terapi penunjang lainnya, serta menghilangkan
tekanan di kavum timpani dengan drainase. Jika terjadi congenital dehiscent, maka perlu
dilakukan miringotomi dengan aspirasi pus dari telinga tengah diikuti dengan pemberian
antibiotic yang kebanyakan resolusi parese yang singkat. Bila dalam jangka waktu tertentu
tidak ada perbaikan setelah diukur dengan elektrodiagnostik, baru dipikirkan untuk
melakukan dekompresi. Pada otitis media kronik, diindikasikan operasi eksplorasi mastoid.
Tindakan dekompresi kanalis n. fasialis harus segeradilakukan tanpa harus menunggu
pemeriksaan elektrodiagnostik.
3.9 KOMPLIKASI
Setelah kelumpuhan fasial perifer, regenerasi saraf yang rusak, terutama serat otonom
dapat sebagian atau pada arah yang salah. Serat yang terlindung mungkin memberikan akson
baru yang tumbuh ke dalam bagian yang rusak. Persarafan baru yang abnormal ini, dapat
menjelaskan kontraktur atau sinkinesis (gerakan yang berhubungan) dalam otot-otot mimik
wajah.
Sindrom air mata buaya (refleks gastrolakrimalis paradoksikal) tampaknya didasarkan
oleh persarafan baru yang salah. Di perkirakan bahwa serat sekretoris untuk kelenjar air liur
tumbuh ke dalam selubung Schwann dari serat yang cedera yang berdegenerasi dan pada
asalnya serat tersebut bertanggung jawab untuk glandula lakrimalis.
3.10 PROGNOSIS
Prognosis pasien tergantung dari tergantung pada kemampuan neuroplastisitas derajat
kedalaman lesi pada saraf tersebut. Neuroplastisitas adalah konsepneurosains yang merujuk
kepada kemampuan otak dan sistem syaraf semua spesies untuk berubah secara struktural dan
fungsional sebagai akibat dari input lingkungan. Plastisitas terjadi dalam berbagai tingkatan,
dari perubahan seluler yang terlibat dalam pembelajaran, hingga perubahan bersakal besar
yang terlibat dalam pemetaan ulang kortikalsebagai tanggapan kepada luka. Bentuk
plastisitas yang paling umum diakui adalah pembelajaran, memori, dan pemulihan dari luka
otak.
BAB IV
PEMBAHASAN
Pada pasien ini dicurigai mengalami parese nervus troklearis dan trigeminus sinistra
berdasarkan data yaitu dari anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Dari
anamnesis didapatkan pasien mengalami pandangan ganda dan sebagian wajah kiri terasa
kebas. Selain itu pasien juga mngeluhkan sulit membaca yang sudah dialami pasien selama
tiga bulan belakangan ini. Berdasarkan teori, paresis nerrvus troklearis memiliki gejala klinis
yang khas yaitu pandangan ganda, pada paresis nervus trigeminus katakan gejala yang terjadi
adalah kurang sampai hilangnya sensibilitas pada wajah. Dari riwayat penyakit sebelumnya,
pasien tidak pernah mengeluhkan hal yang sama. Berdasarkan sumber referensi, salah satu
penyebab keluhan yang diderita pasien adalah trauma.
Saat dilakukan pemeriksaan fisik, pasien sudah dalam keadaan perbaikan dan sudah
mengonsumsi obat sekitar 2 bulan. Gejala yang tampak pada saat pemeriksaan adalah
gangguan pergerakan mata kiri dan kurangnya sensibilitas pada sebagian wajah sebelah kiri
pasien. Sedangkan dari pemeriksaan neurologis yang lain tidak ditemukan adanya kelainan.
Pada pemeriksaan ct scan kepala kontras, didapatkan kesan adanya pembengkakan jaringan
lunak regio anterior orbita kiri, fraktur dinding anterior sinus maksilaris kiri dengan
hematosinus maksilaris dan ethmoidalis kiri dan tidak tampak perdarahan intrakranial. Pada
pemeriksaan ct scan didapatkan kesan hematoma regio anterior orbita kiri dan fraktur dinding
anterior sinus maksilaris kiri dengan hematosinus maksilaris dan ethmoidalis kiri.
Terdapat beberapa pilihan terapi yang dapat diberikan terhadap penyakit ini, sesuai
dengan tingkatan gejala dan respon obat, pada tahap awal, biasanya diberikan obat asam
nikotinik. Pada parese nervus fasialis yang dikarenakan iskemia. Asam nikotinik dan obat-
obatan yang bekerja menghambat ganglion simpatik servikal digunakan untuk memicu
vasodilatasi sehingga dapat meningkatkan suplai darah ke nervus fasialis. Vasokonstriktor,
obat ini diberikan pada kelumpuhan nervus fasialis yang disebabkan oleh kompresi nervus
fasialis pada kanal falopi. Obat ini bekerja mengurangi bendungan, pembengkakkan, dan
inflamasi. Steroid, obat ini diberikan untuk mengurangi proses inflamasi yang menyebabkan
Bell’s Palsy. Sodium Kromoglikat, diberikan pada parese nervus fasialis jika dipikirkan
adanya reaksi alergi. Antivirus diberikan dengan atau tanpa penggunaan prednisone secara
simultan. Pada pasien ini, obat yang sudah dikonsumsi selama 3 bulan belakangan adalah
citicolin 1000 mg 2x1 tab, mecobalamin 500 mg 2x1 tab dan Na. Diklofenat 50 mg 2x1 tab.
Prognosis pada pasien ini baik untuk ad vitam, ad functionam dan ad sacactionam
adalah dubia ad bonam. Pada pasien ini saat ini tidak terdapat adanya tanda-tanda yang dapat
mengancam nyawa. Sehingga diambil prognosisnya adalah dubia ad bonam.
BAB V
DAFTAR PUSTAKA