PENGARUH PELAPISAN CHITOSAN PADA NPK TERHADAP PERTUMBUHAN TANAMAN JAGUNG
Lap pendahuluan chitosan (FIX).docx
-
Upload
farista-galuh-sandra -
Category
Documents
-
view
10 -
download
0
Transcript of Lap pendahuluan chitosan (FIX).docx
LAPORAN SEMENTARA
PRAKTIKUM TEKNOLOGI BIOPROSES
IDENTITAS PRAKTIKAN
Nama : Farista Galuh Sandra
Nim : 03121403003
Kelompok : 6 (Enam)
I. NAMA PERCOBAAN : Pembuatan Chitosan
II. TUJUAN PERCOBAAN
1. Membuat chitosan dari kulit udang sebagai bahan pengawet.
2. Mengetahui proses pembuatan chitosan dari limbah kulit udang.
3. Memanfaatkan limbah kulit udang agar menjadi bahan yang bernilai ekonomis
dan multiguna.
III.DASAR TEORI
3.1. Pengertian Chitosan
Chitosan merupakan salah satu bahan kimia multiguna berbentuk serat dan
merupakan kopopolimer berbentuk lembaran tipis, berwarna putih, atau kuning,
tidak berbau. Chitosan merupakan produk diasetilasi chitin melalui proses kimia
menggunakan enzim kitin diacetilase (Rismana, 2001). Selain itu chitosan juga
adalah produk turunan dari polimer chitin, yakni produk samping sebagai limbah
dari pengolahan industri perikanan, khususnya udang dan rajungan.
Proses pembuatan chitosan itu sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan,
yakni pengeringan bahan baku mentah chitosan, penggilingan, penyaringan,
deproteinasi, pencucian dan penyaringan, deminarisasi atau penghilangan mineral
Ca, pencucian, deasilitilisasi, pengeringan, dan selanjutnya akan terbentuk produk
akhir berupa chitosan.
Chitosan adalah produk deasetilasi kitin yang merupakan bagian polimer
rantai panjang yaitu glukosamin (2-amino-2-deoksi-D-Glukosa), yang memiliki
rumus molekul [C6H11NO4]n dengan bobot molekul 2,5×10-6 Dalton. Chitosan
berbentuk serpihan putih kekuningan, tidak berbau dan tidak berasa. Kadar chitin
1
2
dalam berat udang, berkisar antara 60-70% dan bila diproses menjadi chitosan
menghasilkan yield 15-20%. Chitosan, mempunyai bentuk mirip dengan selulosa,
dan bedanya terletak pada gugus rantai C-2.
Gambar 3.1.1. Struktur Chitosan
Pada chitosan terdapat gugus aktif yang berkaitan terhadap mikroba,
sehingga chitosan mampu menghambat pertumbuhan mikroba. Selain itu dengan
adanya gugus fungsi hidroksil primer dan sekunder mengakibatkan chitosan
mempunyai kereaktifan kimia yang tinggi. Gugus fungsi yang terdapat pada
chitosan memungkinkan juga untuk modifikasi kimia yang beraneka ragam
termasuk reaksi-reaksi dengan zat perantara ikatan silang, kelebihan ini dapat
memungkinkannya chitosan digunakan sebagai bahan campuran bioplastik, yaitu
plastik yang dapat terdegradasi dan tidak mencemari lingkungan. Jika sebagian
besar gugus asetil pada kitin disubsitusikan oleh hidrogen menjadi gugus amino
dengan penambahan basa konsentrasi tinggi, maka hasilnya dinamakan sebagai
chitosan atau kitin terdeasetilasi. Chitosan sendiri bukan merupakan senyawa
tunggal, tetapi merupakan salah satu kelompok yang terdeasetilasi sebagian
dengan derajat deasetilasi beragam. Kitin merupakan N-asetil glukosamin yang
terdeasetilasi sedikit, sedangkan chitosan adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak
mungkin, tetapi tidak cukup untuk dinamakan poliglukosamin. Chitosan dapat
diperoleh dengan mengkonversi kitin, sedangkan kitin sendiri dapat diperoleh dari
kulit udang. Produksi kitin biasanya dilakukan dalam tiga tahap diantaranya
adalah tahap demineralisasi, penghilangan suatu mineral, tahap deproteinasi,
penghilangan protein, tahap depigmentasi, dan pemutihan. Chitosan sendiri dapat
diperoleh dengan deasetilasi kitin yang didapat dengan larutan basa konsentrasi
tinggi. Purwatiningsih (1992) melaporkan bahwa NaOH 50% dapat digunakan
untuk deasetilasi kitin dari limbah kulit udang.
3
Deproteinasi menggunakan natriun hidroksida atau NaOH lebih sering
digunakan, karena lebih mudah dan efektif. Pada pemisahan protein menggunakan
natrium hidroksida, protein diekstraksi sebagai natrium proteinat yang larut.
Secara umum larutan NaOH 3-4% dengan suhu 63-65oC selama waktu ekstraksi
3-4 jam dapat mengurangi kadar protein dalam kulit udang secara efektif.
Sekalipun demikian proses deproteinasi umum yang optimum tidak ada untuk
setiap jenis Crustaceae.
Menurut Rismana (2001) multiguna chitosan sangat tidak terlepas dari sifat
alaminya, sifat alami tersebut dapat dibagi menjadi dua sifat besar, yaitu sifat
kimia dan sifat biologi. Sifat kimia chitosan sama dengan kitin tetapi yang khas
antara lain :
1. Merupakan polimer poliamin berbentuk linier.
2. Mempunya gugus amino aktif
3. Mempunyai kemampuan mengikat beberapa logam
Sifat biologi chitosan antara lain :
1. Bersifat biokompatibel, artinya sebagai polimer alami sifatnya yang tidak
mempunyai akibat samping, mudah diuraikan oleh mikroba (biodegradable).
2. Dapat berikatan dengan sel mamalia dan sel mikroba secara agresif.
3. Bersifat hemostatik, fungistatik, spermisidal, antitumor, antikolestrol.
Berdasarkan kedua sifa tersebut makan chitosan mempunyai sifat fisik yang khas,
yaitu mudah dibentuk menjadi spons, larutan gel, pasta, membran, dan serat yang
sangat bermanfaat dalam aplikasinya.
3.2. Udang
Udang merupakan komoditi ekspor yang menarik minat banyak pihak
untuk mengolahnya. Adapun hal yang mendorong pembudidayaan udang antara
lain harga yang cukup tinggi dan peluang pasar yang cukup baik, terutama diluar
negeri. Udang di Indonesia diekspor dalam bentuk bekuan dan telah mengalami
proses pemisahan kepala dan kulit. Proses pemisahan ini akan menimbulkan
dampak yang tidak diinginkan yaitu berupa limbah padat yang lama-kelamaan
jumlahnya akan semakin besar dan akan meningkat terus apabila tidak diproses
lebih lanjut sehingga dapat mengakibatkan pencemaran terhadap lingkungan dan
4
merusak estetika lingkungan. Pada perkembangan lebih lanjut kulit dan kepala
udang dapat dimanfaatkan untuk pembuatan kitin dan chitosan. Limbah udang
merupakan sumber yang kaya akan kitin, yaitu kurang lebih dari 30% berat kering
(Purwaningsih, 1995). Chitin adalah biopolimer polisakarida dengan rantai lurus
yang tersusun dari 2000-3000 monomer (2-asetamida-2-deoksi-D-glukosa).
Secara umum, cangkang kulit udang mengandung 34,9%, mineral CaCO3
27,6%, chitin 18,1% dan komponen lain seperti zat terlarut, lemak dan protein
tercerna sebesar 19,4%. Chitin merupakan polisakarida yang bersifat tidak
beracun dan biodegradable sehingga chitin banyak dimanfaatkan dalam berbagai
bidang seperti industri farmasi, biokimia.
Fomalin merupakan bahan kimia beracun dan berbahaya yang selama ini
banyak digunakan sebagai pengawet pada bahan makanan. Dimana diperlukan
suatu pengawet alami yang tidak beracun, tidak berbahaya bagi kesehatan, dan
mudah terurai. Selama ini limbah kulit udang hanya dimanfaatkan untuk pakan
lemak atau industri makanan. Dimana Limbah kulit udang dapat diolah untuk
pembuatan chitin yang dapat diproses lebih lanjut menghasilkan chitosan yang
sebagai pengawet makanan yang tidak berbahaya (non toksid) pengganti formalin.
3.3. Pekembangan Chitosan di Indonesia
Indonesia merupakan negara maritim yang dengan dua per tiga wilayahnya
terdiri dari perairan. Dengan luas seperti itu, Indonesia sebagai negara maritim
sangat berpotensi menghasilkan devisa. Salah satu devisa yang terbesar negara ini
adalah udang. Udang memiliki nilai ekonomi yang tinggi, sebagai salah satu
contohnya adalah chitosan.
Tujuan yang ingin dicapai dengan adanya penerapan teknologi pembuatan
chitosan di indonesia adalah melakukan penelitian optimasi proses deproteinasi
dan demineralisasi untuk memperoleh produk intermediate kitin yang murni,
sehingga dihasilkan produk chitosan dengan kuantitas dan kualitas produk yang
memenuhi standart internasional, menyusun prosedur baku untuk operasi tersebut.
Penlitian di Indonesia diharapkan dapat membantu pemerintah dalam memberikan
alternatif penyelesaian yang real bagi pemanfaatan kulit atau limbah pembuatan
5
udang menjadi produk chitosan, mendorong tumbuhnya industri kecil menengah
berbasis pada ekonomi kerakyatan, meningkatkan lapangan kerja bagi masyarakat
pesisir di Jawa Tengah, meningkatkan kemitraan yang sinergis antara perguruan
tinggi, pemerintah daerah dan masyarakat di Jawa Tengah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa dalam kondisi optimum pembuatan
Chitosan diperoleh pada konsentrasi NaOH 4%, suhu 700C, dan waktu 100 menit
(proses deproteinasi), dan konsentrasi 3,5 N, suhu kamar, dan waktu 30 menit
merupakan proses demineralisasi. Hasil larutan chitosan yang diperoleh bagus
untuk digunakan pada pengawetan bakso, mie, dan tahu (tahan 3 hari), sedangkan
untuk pengawetan ikan kurang baik (tahan 8-9 jam).
3.4. Chitin
Chitin adalah polisakarida struktural yang patut mendapatkan perhatian
karena berlimpah ruah di alam. Chitin sama dengan selulosa. Chitin merupakan
polisakarida hewan berkaki banyak. Diperkirakan 109 ton chitin dibiosintesis tiap
tahun. Chitin tidak larut dalam air, asam encer, alkali encer atau pekat dan pelarut
organic lain, tetapi larut dalam larutan pekat asam sulfat, asam klorida, asam
fosfat. Selain itu tahan terhadap hidrolisa menjadi komponen sakaridanya. Chitin
pada umumnya sangat tahan terhadap hidrolisa, walau enzim kitinase dapat
melakukannya dengan mudah. Chitin merupakan bagian dari polisakarida linier
yang mengandung N-Asetil D-Glukosamina terikat β pada hidrolisa, chitin
menghasilkan 2-Amino 2-Deoksin D-Glukosa. Dalam alam chitin terikat pada
protein dan lemak.
Gambar 3.4.1. Struktur Chitin
Chitin dapat dibentuk menjadi susu bubuk atau powder apabila sudah dipisahkan
dari zat yang tercampur dengannya. Akan tetapi tidak dapat larut dalam air.
Reaksinya dalam asam-asam mineral dan alkali akan menghasilkan suatu zat yang
6
menyerupai selulosa. Pelarutan chitin tergantung dari konsentrasi asam mineral
dan temperatur. Di negara Jepang, chitin sudah lama dikomersialkan dengan cara
memintalnya menjadi benang yang berfungsi sebagai penutup luka sehabis
operasi, karena didukung oleh sifatnya yang non alergi dan juga menunjukkan
aktifitas penyembuhan luka.
Chitin pertama kali ditemukan oleh Odier pada tahun 1823 dan kemudian
dikembangkan oleh PR Austin pada tahun 1981. Akan tetapi perkembangan chitin
bergerak lamban dan kurang dimanfaatkan. Chitin dan chitosan yang diperoleh
dari limbah kulit udang digunakan sebagai absorben untuk menyerap ion,
tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan
sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion
logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa chitin dan chitosan serta
tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu
pengkajian dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap
logam-logam berat diperairan.
Salah satu turunan chitin yang luas pemakaiannya adalah chitosan. Dimana
senyawa ini mudah dihasilkan dan didapat dari kitin dengan menambahkan NaOH
dan pemanasan sekitar 120oC. Proses ini menyebabkan lepasnya gugus asetil yang
melekat pada gugus amino dari molekul kitin dan selanjutnya akan membentuk
chitosan. Kelebihan lain dari chitosan yaitu padatan yang dikoagulasinya dapat
dimanfaatkan.
3.5. Limbah Udang sebagai Material Penyerap Logam Berat
Di Indonesia sebagian kecil dari limbah udang sudah dimanfaatkan dalam
hal pembuatan kerupuk udang, dan bahan pencampur pakan ternak. Sedangkan di
negara maju seperti Amerika Serikat limbah udang telah dimanfaatkan di dalam
industri sebagai bahan dasar pembuatan chitin dan chitosan. Manfaatnya lainnya
adalah di industri farmasi, biokimia, bioteknologi, biomedikal, pertanian, dan
kesehatan. Chitin dan chitosan serta turunannya mempunyai sifat sebagai bahan
pengemulsi koagulasi dan penebal emulsi. Chitin dan chitosan yang diperoleh dari
limbah kulit udang digunakan sebagai absorben untuk menyerap ion kadmium,
tembaga, dan timbal dengan cara dinamis dengan mengatur kondisi penyerapan
7
sehingga air yang dibuang ke lingkungan menjadi air yang bebas dari ion-ion
logam berat. Mengingat besarnya manfaat dari senyawa chitin dan chitosan serta
tersedianya bahan baku yang banyak dan mudah didapatkan maka perlu
pengkajian dan pengembangan dari limbah ini sebagai bahan penyerap terhadap
logam-logam berat diperairan.
3.6. Proses Pembuatan Chitosan
Proses pembuatan chitosan itu sendiri dilakukan melalui beberapa tahapan,
yakni pengeringan bahan baku mentah chitosan (kulit udang), penggilingan,
penyaringan, deproteinasi, pencucian dan penyaringan, deminarisasi, pencucian,
deasilitilisasi, pengeringan, dan selanjutnya akan terbentuk produk akhir berupa
chitosan.
Proses utama dalam pembuatan chitosan, meliputi penghilangan protein
dan kandungan mineral melalui proses kimiawi yang disebut dengan deproteinasi
dan demineralisasi, yang masing-masing dilakukan dengan menggunakan larutan
basa dan asam. Selanjutnya, chitosan diperoleh melalui proses deasetilasi, yaitu
dengan cara memanaskan dengan larutan basa.
Pada tahap persiapan, awalnya limbah kulit udang dicuci dengan air lalu
dikeringkan didalam oven dengan temperatur 65 0C selama 4 jam. Setelah kering,
kulit udang dihancurkan didalam grinder dan diayak untuk mendapatkan bubk
dengan ukuran mesh 50. Kulit udang yang ukurannya melebihi mesh 50 akan
dimasukkan kembali kedalam grinder. Tahap demineralisasi, serbuk hasil gilingan
kulit udang bersih yang diperoleh dengan HCl 1 N; 1:5 (w/v), lalu diaduk selama
3-4 jam pada suhu 650C untuk menghilangkan mineral-mineral. Adapun teknologi
pengolahan kitin dan chitosan itu dilakukan dalam beberapa tahap, yaitu:
1. Demineralisasi
Limbah cangkang udang dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan di
bawah sinar matahari sampai kering, kemudian dicuci di dalam air panas dua kali
lalu direbus selama 10 menit. Tiriskan dan keringkan. Bahan yang sudah kering
lalu digiling sampai menjadi serbuk ukuran 40-60 mesh. Kemudian dicampur
asam klorida 1N (HCl 1N) dengan perbandingan 10:1 untuk pelarut berupa
larutan asam klorida dengan konsentrasi 1N dibandingkan dengan kulit udang,
8
lalu diaduk merata sekitar 1 jam. Biarkan sebentar agar proses demineralisasi
berjalan baik dan normal, kemudian panaskan pada suhu 90oC selama 1 jam.
Residu berupa padatan dicuci dengan air sampai pH netral dan selanjutnya
dikeringkan dalam oven pada suhu 80oC selama 24 jam atau dijemur sampai
kering.
2. Deproteinasi
Limbah udang yang telah dimineralisasi dicampur dengan larutan sodium
hidroksida 3,5% (NaOH 3,5%) dengan perbandingan antara pelarut dan cangkang
udang 6:1. Aduk limbah udang dan larutan sodium hidroksida sampai merata
sekitar 1 jam. Selanjutnya biarkan sebentar, lalu dipanaskan pada suhu 90 oC
selama 1 jam. Larutan lalu disaring dan didinginkan sehinggadiperoleh residu
padatan yang kemudian dicuci denagn air samapai pH netral dan dikeringkan pada
suhu 80 oC selama 24 jam atau dijemur sampai kering.
3. Deasetilasi kitin menjadi kitosan
Kitosan dibuat dengan menambahkan sodium hidroksida (NaOH) 50%
dengan perbandingan 20:1 (rasio pelarut berupa sodium hidroksida berkonsentrasi
50% dibanding kitin). Aduk sampai merata selama 1 jam dan biarkan sekitar 30
menit, lalu dipanaskan selama 90 menit dengan suhu 140 oC. Larutan kemudian
disaring untuk mendapatkan residu berupa padatan, lalu dilakukan pencucian
denagn air sampai pH netral, kemudian dikeringkan dengan oven suhu 70 oC
selama 24 jam atau dijemur sampai kering. Bentuk akhir kitosan bisa berbentuk
serbuk maupun serpihan.
3.7. Pemanfaatan Chitosan
Chitosan banyak digunakan oleh berbagai industri antara lain industri
farmasi, biokimia, bioteknologi, pangan, pengolahan limbah, industri tekstil,
industri kertas dan. Aplikasi khusus berdasarkan sifat yang dipunyainya yaitu
untuk pengolahan limbah cair terutama sebagai bersifat resin penukar ion untuk
minimalisasi logam berat, mengkoagulasi minyak atau lemak, penstabil rasa dan
lemak dalam produk industri pangan. Di bidang industri, chitosan dapat
memperbaiki ikatan antara zat warna dengan makanan, menghilangkan kelebihan
terhadap penggunaan perekat dan serta dapat mencegah kelarutan hasil dari kertas,
9
pulp dan tekstil. Sedangkan penerapan lain di bidang biokimia, chitin dan chitosan
digunakan sebagai zat mempercepat dalam penyembuhan luka.
Sifat lain dari chitosan itu sendiri adalah chitosan dapat berfungsi sebagai
sautu zat koagulan dalam pengolahan air limbah serta pengolahan air lainnya,
dimana adanya sifat ini menyebabkan ia banyak dimanfaatkan bentuk recovery
senyawa-senyawa organik dari limbah bekas media tumbuh seafood.
3.8. Kelebihan dan Kekurangan Chitosan
Berdasarkan sifat-sifat biologi dan kimianya, maka chitosan mempunyai
sifat fisik khas, yaitu mudah dibentu menjadi spons, larutan, gel, pasta, membran,
dan serat yang bermanfaat aplikasinya. Menurut Prasetiyo (2006) dari segi
ekonomi, pemanfaatan chitin dari limbah cangkang udang untuk bahan utama dan
bahan pendukung dalam berbagai bidang dan industri sangat menguntungkan
karena bahan bakunya berupa limbah berasal dari sumberdaya lokal. Chitosan
merupakan polisakarida yang unik dan telah secara luas digunakan dalam
bermacam aplikasi biomedis disebabkan kemudahan, cocokannya dengan unsur
makhluk hidup, toxicitasnya rendah, mudah diuraikan, tidak bersifat imunogenik,
dan bersifat non-karsinogenik (Irawan, 2007).
Kelebihan dan kekurangan chitosan menurut Kusumawati (2006) bahwa
karena sifatnya yang dapat menarik lemak, chitosan banyak dbuat tablet atau pil
penurun berat badan. Chitosan dapat menyerap lemak dalam tubuh dengan cukup
baik. Dalam kondisi optimal, chitosan dapat menyerap lemak 4-5 kali berat
chitosan. Beberapa penelitian telah berhasil membuktikan bahwa chitosan dapat
menurunkan kolesterol tanpa menimbulkan efek samping. Hanya satu saja yang
harus diperhatikan, konsumsi chitosan harus tetap terkontrol, karena chitosan juga
dapat menyerap mineral kalsium dan vitamin yang ada didalam tubuh. Selain itu,
orang yang biasanya mengalami penyakit alergi terhadap makanan laut sebaliknya
menghindari dari mengkonsumsi tablet atau pil chitosan.