Landasan Neurologis Pada Bahasa.docx
-
Upload
adetya-preteers -
Category
Documents
-
view
248 -
download
18
description
Transcript of Landasan Neurologis Pada Bahasa.docx
Nama : Okta Adetya
NIM : 10201241016
Kelas : K/ Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia
Landasan Neurologis Pada Bahasa (Neurolinguistik)
Otak
Otak terdiri dari hemisfir kiri dan kanan. Namun terkait dengan bahasa, kerja hemisfir
kiri lebih dominan. Hemisfir kiri terdiri dari empat daerah besar yang dinamakan dengan lobe,
yaitu lobe frontal (frontal lobe), lobe temporal (temporal lobe), lobe osipital (occipital lobe), dan
lobe parietal (parietal lobe). Keempat lobe memiliki tugas sendiri. Lobe frontal mengurusi
masalah kognisi, lobe temporal terkait dengan pendengaran, lobe osipital terkait dengan
penglihatan, dan lobe parietal terkait dnegan somaestetik atau rasa yang ada di tangan, kaki,
muka, dsb.
Kaitan Otak dengan Bahasa
Apabila input yang masuk berupa bunyi maka ditanggapi di lobi temporal, khususnya di
korteks primer pendengaran. Input diolah berdasarkan VOT nya. Setelah itu dikirim ke daerah
Wernicke untuk diinterpretasikan dan dipilah. Apakah informasi itu hanya sekedar informasi
atau perlu ditanggapi, kalau perlu ditanggapi maka interpretasi akan diteruskan ke daerah Broca.
Dari sini maka diperintahkan motor korteks melaksanakan tugasnya.
Apabila input masuk dalam bentuk tulisan, informasi ditanggapi korteks visul di lobe
osipital, melewati girus anguler dan dipahami di daerah Wernicke. Dari sini dikirim ke daerah
Broca bila perlu tanggapan verbal, kalau yang diperlukan tanggapan visual maka dikirim ke
daerah parietal.
Peran Hemisfir Kiri dan Hemisfir Kanan
Hemisfir kiri berperan sebagai hemisfir bahasa, ketika hemisfir kanan diambil tidak
terlalu berpengaruh terhadap kemampuan berbahasa. Namun sebelum usia 12 tahun, hemisfir
kanan juga mampu melakukan fungsi kebahasaan. Orang dengan hemisfir kanan terganggu, dia
akan mengalami masalah dalam mengurutkan sesuatu atau menceritakan secara kronologis. Serta
tidak dapat mendeteksi kalimat ambigu.
Gangguan Wicara
Kurangnya aliran darah ke otak akan menyebabkan penyempitan pembuluh darah. Hal ini
menyebabkan kurangnya oksigen ke otak sehingga menimbulkan stroke. Stroke yang menyerang
hermifis kiri akan menyebabkan munculnya gangguan wicara, yang dinamakan dengan afasia.
Macam-Macam Afasia
1. Afasia Broca: kerusakan terjadi pada daerah Broca. Hal ini membuat alat ujaran
terganggu, menyebabkan gangguan pada perencanaan dan pengungkapan ujaran. Kata-ata
dari kategori sintatik utama seperti nomina, verba, dan adjektiva tidak terganggu, tetapi
pasien kesukaran mengucapkan kata fungsi.
2. Afasia Wernicke: letak kerusakan di daerah Wernicke, bagian agak belakang dari lobe
temporal. Penderita lancar berbicara dengan bentuk sintaksis cukup baik, hanya
kalimatnya sukar dimengerti karena banyak kata yang tidak cocok maknanya.
3. Afasia Anomik: kerusakan terjadi di bagian depan lobe pariental berbatasan dengan lobe
temporal. Pasien mengalami gangguan yang berupa ketidakmampuan pasien dalam
mengaitkan konsep dan bunyi.
4. Afasia Global: kerusakan terjadi tidak hanya pada satu daerah. Penderita bisa mengalami
lumpuh dan ketidakjelasan ucapan.
5. Afasia Konduksi: kerusakan terjadi pada fiber-fiber pada fasikulus arkuat yang
menghubungkan lobe frontal dan temporal. Dalam kasus ini pasien tidak mampu
mengulang kata.
6. Disartria: gangguan berupa pelafalan yang tidak jelas. Kerusakan terjadi pada korteks
motor.
7. Agnosia atau demensia: berupa gangguan pembuatan ide, sehingga penyampaian ide
meloncat-loncat.
8. Disleksia: merupakan gabungan dari aleksia (hilangnya kemampuan membaca) dan
agrafia (hilangnya kemampuan menulis dengan huruf-huruf normal).
Akibat Lain Stroke
Penderita aprakia tidak dapat melakukan gerakan tertentu. Penderita ataksia kehilangan
kemampuan untuk melakukan gerakan muskuler yang volunter. Penderita antergrade amnesia
mengalami kerusakan pada bagian hippocampus, menyebabkan pasien tidak mampu menyimpan
informasi. Kerusakan pada bagian ini juga menyebabkan retrograde amnesia, yaitu pasien tidak
bisa mengingat masa lalu. Stroke juga dapat menyebabkan prosopagnosia yaitu
ketidakmampuan mengenali wajah.
Hipotese Umur Kritis
Sebelum umur 12 tahun seorang anak mampu memperoleh bahasa manapun yang
disajikan secara natif. Gejala ini dinamakan hipotese umur kritis (diajukan oleh Lenneberg pada
tahun 1967)anak umur 2-12 tahun dapat memperoleh bahasa manapun dengan kemampuan
seorang penutur asli. Hal ini dikarenakan, hemisfir kiri dan kanan belum memperoleh tugas
secara terpisah. Namun hipotesa ini ada juga yang menyanggah. Krashen (1972), beranggapan
bahwa lateralisasi sudah terjadi sejak umur 4-5 tahun.
Mengenai peran hemisfir, ada perbedaan pendapat. Ganese, dkk (1978) mengatakan
hemisfir kiri lebih banyak berperan pada orang bilingual sejak kecil dibandingkan ketika dewasa.
Vaid (1987), menyatakan hal yang sebaliknya, bahwa sejak umur 10-14 tahun lebih banyak yang
menggunakan hemisfir kiri dibandingkan sebelum umur 4 tahun.
Kekidalan dan Kekinanan
Seorang yang kidal tetep lebih dominasi menggunakan hemisfir kiri untuk hal
kebahasaan. Orang kidal kadar dominasi hemisfir kirinya tidak sekuat kinan, sehingga mereka
memiliki masalah dalam hal baca tulis.
Otak Pria dan Otak Wanita
Steinberg, dkk (2001) mengatakan bahwa hemisfir kiri pada wanita lebih tebal. Inilah
yang menyebabkan kelas bahasa didominasi wanita. Namun hal ini disangkal Philip, dkk yang
menyatakan bahwa perbedaan itu hanyalah pengaruh budaya bukan genetik.
Bahasa Sinyal
Kita beranggapan bahwa orang yang menggunakan bahasa sinyal, maka dia akan
menggunakan hemisfir kanan secara lebih dominan. Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena
ketika seorang tuna rungu mengalami gangguan pada hemisfir kirinya, maka dia mengalami
masalah kebahasaan sebagaimana dialami penderita afisia Broca dan Wernicke yang normal.
Mereka tidak dapat menyampaikan sinyal secara benar. Sebaliknya ketika yang mengalami
gangguan adalah hemisfir kanan, maka kemampuan mereka dalam menyampaikan sinyal tidak
mengalami masalah.
Metode Penelitian Otak
Awalnya penelitian otak masih dilakukan secara tradisional, ketika pasien sudah
meninggal, atau menggunakan anastesi lokal. Mereka melakukan uji coba dengan menggunakan
electrode beraliranlistrik kecil untuk mendeteksi gangguan otak. Namun seiring berjalannya
waktu, teknologi untuk mendeteksi gangguan otak semakin canggih. Metode itu di antaranya
dengan menggunakan CT/CAT, PET, MRI, dan ERPs.
1. CAT memanfaatkan sinar X untuk merekam berbagai imaji yang kemudian dibentuk
menjadi 3 dimensi oleh komputer.
2. PET bekerja dnegan menyuntikkan bahan radioaktif ringan ke pembuluh darah,
kemudian pola aliran darah ke otak ditelusuri dengan detektor khusus. Detektor ini
memberikan imaji yang berwarna.
3. MRI memanfaatkan jumlah aliran darah pada daera otak yang sedang aktif. Ini diukur
melalui medan magnetik yang menelusuri proton-proton pada aliran darah.
4. ERPS mengukur perubahan voltase pada otak yang berkaitan dengan hal sensori,
motorik, dan kognitif. Pegukuran perubahan voltase ini mempunyai resolusi waktu yang
ukurannya milidetik.