gangguan neurologis pada gg psikologis

26
BAB I. PENDAHULUAN Banyak fenomena dalam dunia kesehatan yang tidak bisa dijelaskan dengan pengetahuan ilmu kedokteran saja. Bagaimana seseorang yang mengalami penyakit lambung akut dapat berangsur membaik ketika menjalani puasa Ramadhan; mengapa seorang penderita HIV/AIDS dapat bertahan hidup lebih lama dari vonis dokter bila tidak diasingkan, mendapat reaksi yang normal dan tetap berhubungan dengan keluarga mereka. Hal-hal dan faktor-faktor psikologis serta sosial ini dapat mengganggu manusia dengan cara yang sama seperti faktor-faktor yang dapat dilihat dengan secara kasat mata. Faktor-faktor ini hanya dapat dimengerti oleh penderita dilihat sebagai manusia yang memiliki rumah dan keluarga, yang mengalami kesukaran dan kecemasan, yang menghadapi kesulitan ekonomi, yang mempunyai masa lalu dan masa yang akan datang, pekerjaan yang akan dipertahankan atau akan ditinggalkan. Cara orang tersebut menyelesaikan konfliknya, cara menyesuaikan diri tergantung pada emosi, inteligensi dan kepribadiannya. 1 Andre H Simarmata 11.2013.145 [email protected] Fakultas Kedokteran Kristen Krida Wacana Page 1

description

gangguan neurologis pada gg psikologis

Transcript of gangguan neurologis pada gg psikologis

BAB I. PENDAHULUAN

Banyak fenomena dalam dunia kesehatan yang tidak bisa dijelaskan dengan pengetahuan ilmu kedokteran saja. Bagaimana seseorang yang mengalami penyakit lambung akut dapat berangsur membaik ketika menjalani puasa Ramadhan; mengapa seorang penderita HIV/AIDS dapat bertahan hidup lebih lama dari vonis dokter bila tidak diasingkan, mendapat reaksi yang normal dan tetap berhubungan dengan keluarga mereka. Hal-hal dan faktor-faktor psikologis serta sosial ini dapat mengganggu manusia dengan cara yang sama seperti faktor-faktor yang dapat dilihat dengan secara kasat mata. Faktor-faktor ini hanya dapat dimengerti oleh penderita dilihat sebagai manusia yang memiliki rumah dan keluarga, yang mengalami kesukaran dan kecemasan, yang menghadapi kesulitan ekonomi, yang mempunyai masa lalu dan masa yang akan datang, pekerjaan yang akan dipertahankan atau akan ditinggalkan. Cara orang tersebut menyelesaikan konfliknya, cara menyesuaikan diri tergantung pada emosi, inteligensi dan kepribadiannya.1

Kegagalan dalam melakukan penyesuaian terhadap berbagai persoalan bukan hanya menimbulkan gangguan psikis atau mental saja. Gejala gagal dalam melakukan penyesuaian bisa muncul dalam bentuk gangguan-gangguan yang bersifat ketubuhan/fisik karena pada dasarnya antara badan dan jiwa merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan, sehingga gangguan terhadap salah satu di antaranya menimbulkan gangguan pada lainnya. Inilah yang kemudian sering disebut sebagai gangguan fisik yang disebabkan oleh faktorpsikologis,yang kadang disebut juga psikosomatik.1Gangguan fisik yang muncul akibat faktor psikologis dapat terjadi pada semua sitem organ , salah satunya adalah gangguan neurologi.Gangguan neurologi yang terjadi karena factor psikologis merupakan hal yang sering gagal didiagnosis karena selalu dicurigai adanya kelainan organic sebagai penyebabnya. Gangguan neurologis yang terjadi pun bervariasi dari rigan sampai berat . Gangguan ringan yang sering terjadi misalnya seperti migrain dan terkadang cukup berat sehingga menyebabkan penurunan kesadaran.Pada kesempatan ini kita akan mempelajari mengenai apa itu faktor psikologis, dan apa yang mempengaruhi dan berkaitan dengan faktor tersebut. Selain itu kita juga akan membahas mengenai gangguan neurologis yang dapat terjadi akibat faktor-faktor tersebut. Membedakan antara kelainan organic dan psikosomatik juga merupakan hal yang penting untuk dipelajari. Tentunya dengan harapan dapat membantu kita melakukan tatalaksana baik psikofarmaka maupun psikoterapi, karena eratnya interaksi fisik dan mental pada kasus kasus seperti ini.BAB II. ISIFaktor psikologis penting di dalam timbulnya semua penyakit; meskipun demikian, peranannya di dalam predisposisi, mulainya, perkembangan, atau perburukan suatu penyakit atau reaksi terhadap penyakit masih menjadi perdebatan dan bervariasi antar gangguan.2

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV-TR) tidak menggunakan istilah psikosomatik DSM-IV-TR menggambarkan faktor psikologis yang memengaruhi keadaan medis sebagai "satu atau lebih masalah psikologis atau perilaku yang memiliki pengaruh dengan cara menghambat dan bermakna terhadap perjalanan dan hasil keadaan medis umum, atau yang meningkatkan risiko seseorang secara signifikan untuk memperoleh hasil yang merugikan. Meskipun demikian, sejumlah kecil orang tidak setuju kalau faktor perilaku atau psikologis memainkan peranan pada hampir semua keadaan medis.2

2.1 Klasifikasi

Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk faktor psikologis yang memengaruhi keadaan medis ditunjukkan di dalam Tabel 1. Yang tidak termasuk adalah: (1) gangguan jiwa klasik yang memiliki gejala fisik sebagai bagian dari gangguan (cth., gangguan konversi, yaitu gejala fisik ditimbulkan oleh konflik psikologis); (2) gangguan somatisasi, yaitu gejala fisik tidak didasari oleh patologi organik; (3) hipokondriasis, yaitu pasien memiliki kepedulian yang berlebihan dengan kesehatan mereka; (4) keluhan fisik yang sering dikaitkan dengan gangguan jiwa (cth., gangguan distimik yang biasanya memiliki penyerta somatik, seperti kelemahan otot, astenia, lelah, dan keletihan); serta (5) keluhan fisik yang dikaitkan dengan gangguan terkait-zat (cth., batuk dikaitkan dengan ketergantungan nikotin).2

Tabel 1

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR untuk Faktor Psikologis yang Memengaruhi Keadaan Medis Umum2

A. Terdapat keadaan medis umum (diberi kode pada Aksis III).

B. Faktor psikologis memengaruhi keadaan medis secara berlawanan dalam satu atau lebih cara

1. faktor memengaruhi perjalanan keadaan medis umum, seperti yang ditunjukkan oleh hubungan waktu yang erat antara faktor psikologis dan timbulnya atau memburuknya, atau tertundanya pemulihan, keadaan medis umum

2. faktor mengganggu terapi keadaan medis umum

3. faktor merupakan risiko kesehatan tambahan untuk individu

4. respons fisiologis terkait-stres mencetuskan atau rnemperburuk gejala keadaan medis umum

Pilih nama berdasarkan sifat faktor psikologis (jika ada lebih dar satu faktor, tunjukkan yang paling menonjol):

Gangguan mental yang memengaruhi ...[tunjukkan keadaan medis umum] (cth., gangguan Aksis I seperti gangguan depresif berat menunda pemulihan dari infark miokardium

Gejala psikologis yang memengaruhi ...[tunjukkan keadaan medis umum] (cth., gejala depresif rnenunda pemulihan setelah pembedahan; asma yang diperburuk ansietas)

Ciri kepribadian atau gaya koping yang memengaruhi ...[tunjukkan keadaan medis umum] (cth., penyangkalan patologis kebutuhan operasi pada pasien kanker; perilaku tertekan dan bermusuhan yang turut menyebabkan penyakit kardiovaskular)

Perilaku kesehatan maladaptif yang memengaruhi ...[tunjukkan keadian medis umum] (cth., makan berlebihan; tidak ada olah raga; seks yang tidak aman)

Respons fisiologis Terkait-Stres yang memengaruhi ...[tunjukkan keadaan medis umum] (cth., perburukan ulkus karena stres, hipertensi, aritmia, atau tension headache)

Faktor psikologis lain atau tidak terinci yang memengaruhi ...[tunjukkan keadaan medis umum] (cth., faktor interpersonal, budaya, atau religius)

Dari American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder. 4th ed. Text rev. Washington, DC: American Psychiatric Association; copyright 2000, dengan izin.Tabel 2

Kriteria Diagnostik ICD-10 untuk Faktor Psikologis dan Perilaku Terkait dengan Gangguan atau Penyakit Diklasifikasikan di Tempat Lain3Kategori ini harus digunakan untuk adanya faktor psikologis atau perilaku yang diperkirakan telah bermanifestasi, atau mempengaruhi, gangguan fisik yang diklasifikasikan pada bab-bab lain dari ICD-10. Setiap gangguan mental yang dihasilkan biasanya ringan dan sering berkepanjangan (seperti khawatir, konflik emosional, ketakutan) dan tidak dengan sendirinya menggunakan salah satu kategori yang dijelaskan dalam bagian akhir buku ini. Sebuah kode tambahan harus digunakan untuk mengidentifikasi gangguan fisik. (Dalam kasus yang jarang terjadi di mana gangguan jiwa terbuka diperkirakan telah menyebabkan gangguan fisik, kode tambahan kedua harus digunakan untuk mencatat gangguan kejiwaan).

(Dicetak ulang dengan izin dari Organisasi Kesehatan Dunia Klasifikasi Internasional Gangguan Mental dan Perilaku: Kriteria Diagnostik, Organisasi Kesehatan Dunia, Jenewa, 1993).

Di Indonesia yang menggunakan pedoman diagnostik PPDGJ, gangguan psikosomatik dapat diklasifikasi dalam 305. Gangguan fisik yang diduga asalnya psikologik (PPDGJ I) yang kemudian dikonversi menjadi 306. Faktor psikologik yang mempengaruhi malfungsi fisiologis (PPDGJ II), dan dikonversi kembali di PPDGJ III pada F45.3. yaitu Disfungsi otonomik somatoform. Kriteria diagnostik dijabarkan sebagai berikut:

1. adanya gejala-gejala bangkitan otonomik, seperti palpitasi, berkeringat, tremor, muka panas/flushing, yang menetap dan mengganggu;2. gejala subjektif tambahan mengacu pada sistem atau organ tertentu (gejala tidak khas);

3. preokupasi dengan dan penderitaan (distress) mengenai kemungkinan adanya gangguan yang serius (sering tidak begitu khas) dari sistem atau organ tertentu, yang tidak terpengaruh oleh hasil pemeriksaanpemeriksaan berulang, maupun penjelasan-penjelasan dari para dokter;

4. tidak terbukti adanya gangguan yang cukup berarti pada struktur/fungsi dari sistem atau organ yang dimaksud.

Pada karakter kelima yaitu F45.30 = jantung dan sistem kardiovaskular

F45.31 = saluran pencernaan bagian atas

F45.32 = saluran pencernaan bagian bawah

F45.33 = sistem pernapasan

F45.34 = sistem genito-urinaria

F45.38 = sistem atau organ lainnya

2.2 Teori Stres

Pada tahun 1920, Walter Cannon melakukan studi sistematikpertama mengenai hubungan stres dengan penyakit. Ia menunjukkan bahwa perangsangan sistem saraf otonom memudahkan organisme untuk respons ``fight or flight" yang ditandai dengan hipertensi, takikardia, dan meningkatnya curah jantung. Hal ini berguna pada hewan yang dapat melawan atau lari, tetapi pada orang yang tidak dapat melakukannya karena beradab, stres berikutnya menimbulkan penyakit (cth., hipertensi yang dihasilkan).2

Pada tahun 1950-an, Harold Wolff (1898-1962) mengamati bahwa fisiologi saluran gastrointestinal tampak berhubungan dengan keadaan emosional yang khusus. Hiperfungsi terkait dengan permusuhan, dan hipofungsi dengan kesedihan. Wolff menganggap reaksi tersebut tidak spesifik, mengingat bahwa reaksi pasien ditentukan oleh situasi kehidupan umum dan penilaian persepsi terhadap peristiwa yang menimbulkan stres. Lebih dini lagi, William Beaumont (1785-1853), ahli bedah militer Amerika, memiliki pasien yang bernama Alexis St.Martin, yang menjadi terkenal karena luka akibat tembakan senjata yang menyebabkan fistula lambung yang permanen. Beaumont mencatat bahwa selama keadaan emosional yang sangat hebat, mukosa dapat menjadi hiperemik atau memucat, menunjukkan bahwa aliran darah ke lambung dipengaruhi oleh emosi.2

Hans Seyle (1907-1982) mengembangkan suatu model stres yang disebut sindrom adaptasi umum. Model ini terdiri atas tiga fase: (1) reaksi alarm; (2) tahap resistensi, idealnya adaptasi dicapai; dan (3) tahap kelelahan, adaptasi atau resistensi yang didapat bisa hilang. Ia menganggap stres sebagai respons tubuh yang tidak spesifik terhadap tuntutan apapun yang disebabkan baik oleh keadaan menyenangkan atau tidak menyenangkan. Seyle yakin bahwa stres, menurut definisi, tidak harus selalu tidak menyenangkan. Ia menyebut stres yang tidak menyenangkan sebagai "penderitaan". Untuk menerima kedua jenis stresmenyenangkan atau tidak menyenangkanmembutuhkan adaptasi.2

2.3 Respon Neurotransmiter terhadap Stres

Stresor mengaktifkan sistem noreadrenergik di otak (paling jelas di locus ceruleus) dan menyebabkan pelepasan katekolamin dari sistem saraf otonom. Stresor juga mengaktifkan sistem serotonergik di otak, seperti yang dibuktikan dengan meningkatnya pergantian serotonin. Bukti terkini mengesankan bahwa meskipun glukokortikoid cenderung meningkatkan fungsi serotonin secara keseluruhan, mungkin terdapat perbedaan pengaturan glukokortikoid dengan subtipe reseptor serotonin, yang dapat memiliki kaitan untuk fungsi serotonergik pada depresi dan penyakit-penyakit terkait. Contohnya, glukokortikoid dapat meningkatkan kerja serotonin yang diperantarai oleh 5-HT2, sehingga turut menyebabkan penguatan kerja tipe reseptor ini, yang telah dikaitkan di dalam patofisiologi gangguan depresif berat. Stres juga meningkatkan neurotransmisi dopaminergik pada jaras mesoprefrontal.2

Neurotransmiter asam amino dan peptidergik juga terlibat di dalam respons stres. Sejumlah studi menunjukkan bahwa corticotropin-releasing factor (CRF) (sebagai neurotransmiter, bukan sebagai pengatur hormonal fungsi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal), glutamat (melalui reseptor N metil-D-aspartat [NMDA]) dan y-aminobutiric acid (GABA) semuanya memainkan peranan penting di dalam menimbulkan respons stres atau mengatur sistem yang berespons terhadap stres lainnya seperti sirkuit otak dopaminergik dan noradrenergik.2

2.4 Respon Endokrin Terhadap Stres

Sebagai respons terhadap stres, CRF disekresikan dari hipotalamus ke sistem hipofisial-hipofisis-portal. CRF bekerja di hipofisis anterior untuk memicu pelepasan hormon adrenokortikotropin (ACTH). Setelah dilepaskan, ACTH bekerja di korteks adrenal untuk merangsang sintesis dan pelepasan glukokortikoid. Glukokortikoid sendiri memiliki jutaan efek di dalam tubuh, tetapi kerjanya dapat dirangkum dalam istilah singkat sebagai meningkatkan penggunaan energi, meningkatkan aktivitas kardiovaskular dalam respons "fight or flight", dan menghambat fungsi seperti pertumbuhan, reproduksi, dan imunitas.2

Aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal merupakan pelaku pengendali umpan balik negatif yang ketat melalui produk akhirnya sendiri (yaitu, ACTH dan kortisol) di berbagai tingkat, termasuk hipofisis anterior, hipotalamus, dan regio otak suprahipotalamik seperti hipokampus. Di samping CRF, berbagai secretagogue (yaitu zat yang merangsang pelepasan ACTH) dikeluarkan dan dapat memintas pelepasan CRF serta bekerja langsung untuk memutar kaskade glukokortikoid. Contoh secretagogue termasuk katekolamin, vasopresin, dan oksitosin. Yang menarik, stresor berbeda (cth., stres dingin lawan hipotensi) memicu pola pelepasan secretagogue yang berbeda, juga menunjukkan bahwa gagasan respons stres yang sama terhadap stresor umum adalah terlalu disederhanakan.2

2.5 Respon Imun Terhadap Stres

Bagian dari respons stres terdiri atas inhibisi fungsi imun oleh glukokortikoid. Inhibisi dapat mencerminkan kerja kompensasi aksis hipotalamus-hipofisis-adrenal untuk mengurangi efek fisiologis stres lainnya. Sebaliknya, stres juga dapat menyebabkan aktivasi imun melalui berbagai jalur. CRF sendiri dapat merangsang pelepasan norepinefrin melalui reseptor CRF yang terletak di locus ceruleus, yang mengaktifkan sistem saraf simpatis, baik sentral maupun perifer, serta meningkatkan pelepasan epinefrin dari medula adrenal. Di samping itu, terdapat hubungan langsung neuron norepinefrin yang bersinaps pada set target imun. Dengan demikian, di dalam menghadapi stresor, juga terdapat aktivasi imun yang dalam termasuk pelepasan faktor imun humoral (sitokin) seperti interleukin-1 (IL-1) dan IL-6. Sitokin ini dapat menyebabkan pelepasan CRF lebih lanjut, yang di dalam teori berfungsi untuk meningkatkan efek glukokortikoid sehingga membatasi sendiri aktivasi imun.2

2.6 Perubahan Kehidupan

Peristiwa atau situasi kehidupan, menyenangkan atau tidak menyenangkan (penderitaan menurut Selye), sering terjadi tanpa disengaja, menimbulkan tantangan yang harus ditanggapi dengan adekuat. Thomas Holmes dan Richard Rahe membangun skala penilaian penyesuaian sosial setelah menanyakan ratusan orang dari berbagai latar belakang untuk mengurutkan derajat relatif penyesuaian yang diperoleh dengan perubahan peristiwa kehidupan. Helmes dan Rahe mendaftarkan 43 peristiwa kehidupan yang menyebabkan berbagai gangguan dan stres pada kehidupan rata-rata orang; contohnya, kematian pasangan, 100 unit perubahan kehidupan; perceraian, 73 unit; perpisahan perkawinan, 65 unit; dan kematian anggota keluarga dekat, 63 unit (Tabel 25-2). Akumulasi 200 atau lebih unit perubahan kehidupan dalam satu tahun meningkatkan risiko timbulnya gangguan psikosomatik pada tahun itu. Yang menarik, orang yang menghadapi stres umum dengan optimis, bukannya pesimis, lebih kecil kemungkinannya untuk mengalami gangguan psikosomatik; jika mengalami, mereka lebih mudah pulih.2Gejala NeurologisSakit kepala adalah gejala neurologis yang paling lazim dan merupakan salah satu keluhan medik yang paling lazim ditemui. Setiap tahun, kira-kira 80 persen populasi menderita sedikitnya satu kali sakit kepala dan 10 hingga 20 persen pergi ke dokter dengan sakit kepala sebagai keluhan utama. Sakit kepala juga merupakan penyebab utama absen dari kerja dan penghindaran aktivitas sosial serta pribadi.2

Sebagian besar sakit kepala bukan disebabkan oleh penyakit organik yang signifikan; banyak orang rentan terhadap sakit kepala pada sail stres emosi. Lebih jauh lagi, pada banyak gangguan psikiatri, termasuk gangguan ansietas dan depresif, sakit kepala sering menjadi gejala yang menonjol. Pasien dengan sakit kepala sering dirujuk ke psikiater oleh dokter umum dan neurologis setelah pemeriksaan biomedis yang ekstensif, yang sering meliputi MRI kepala. Sebagian besar pemeriksaan untuk keluhan sakit kepala umum memberikan hasil negatif, dan hasil demikian dapat membuat frustrasi bagi pasien serta dokter. Dokter yang tidak benar-benar mengetahui kedokteran psikologis dapat berupaya menenangkan pasien tersebut dengan mengatakan pada mereka bahwa tidak ada penyakit. Tetapi penenangan mereka dapat memiliki efek sebaliknyadapat meningkatkan ansietas pasien dan bahkan meningkat menjadi perdebatan mengenai apakah nyeri tersebut sesungguhnya atau hanya khayalan. Stres psikologik biasanya memperburuk sakit kepala, walaupun penyebab primer yang mendasarinya adalah fisik atau psikologis.2

a. Migrain (Vaskular) dan Cluster Headaches

Sakit kepala migrain (vaskular) adalah gangguan paroksismal yang ditandai dengan sakit kepala unilateral berulang, dengan atau tanpa gangguan visual dan gastrointestinal (cth., mual, muntah, dan fotofobia) terkait. Sakit kepala ini mungkin disebabkan oleh gangguan fungsi sirkulasi kranial. Migrain dapat dicetuskan oleh estrogen, yang dapat menjadi penyebab prevalensi yang tinggi pada perempuan. Stres juga merupakan pencetus, dan banyak orang dengan migrain bersifat terlalu terkontrol, perfeksionis, dan tidak dapat mengekspresikan kemarahan. Cluster headache dikaitkan dengan migrain, gangguan ini unilateral, terjadi sampai delapan kali dalam sehari, dan disertai miosis, ptosis, serta diaforesis.2

b. Tension (Muscle Contraction) Headache

Stres emosional sering disertai dengan kontraksi lama pada otot leher dan kepala, yang selama beberapa jam dapat menyempitkan pembuluh darah dan mengakibatkan iskemia. Nyeri tumpul, kadang-kadang merasa seperti ikatan yang mengencang, sering dimulai pada suboksipital dan dapat menyebar di seluruh kepala. Kulit kepala dapat nyeri bila disentuh, dan sebaliknya dengan migrain, sakit kepala ini biasanya bilateral dan tidak disertai dengan prodromata, mual, atau muntah. Tension headache dapat bersifat episodik atau kronis dan perlu dibedakan dengan sakit kepala migrain, terutama dengan atau tanpa aura.2

Tension headache sering dikaitkan dengan ansietas dan depresi dan dapat terjadi pada kira-kira 80 persen orang selama periode stres emosional. Kepribadian yang tegang, lekas gugup, dan kompetitif terutama rentan terhadap gangguan irii. Pada keadaan awal, orang tersebut dapat diterapi dengan agen antiansietas, relaksan otot, dan pijat atau pemberian panas di kepala dan leher; antidepresan dapat diresepkan jika ada depresi yang mendasari. Psikoterapi merupakan terapi yang efektif bagi orang yang mengalami tension headache kronis. Belajar menghindari atau menghadapi tegangan dengan lebih baik adalah pendekatan pengelolaan jangka panjang yang paling efektif. Biofeedback dengan menggunakan feedback elektromiogram (EMG) dari otot frontal ke temporal dapat membantu beberapa pasien. Latihan relaksasi dan meditasi juga bermanfaat bagi beberapa pasien.2

Bab III

Gangguan Psikosomatis

3.1 DefinisiPsikosomatis berasal dari dua kata yaitu psiko yang artinya psikis, dan somatis yang artinya tubuh. Dalam Diagnostic And Statistic Manual Of Mental Disorders edisi ke empat (DSM IV) istilah psikosomatis telah digantikan dengan kategori diagnostik faktor psikologis yang mempengaruhi kondisi medis.2,3Menurut Wittkower psikosomatis secara luas didefinisikan sebagai usaha untuk mempelajari interaksi aspek-aspek psikologis dan aspek-aspek fisis semua faal jasmani dalam keadaan normal maupun abnormal. Ilmu ini mencoba mempelajari, menemukan interelasi dan interaksi antara fenomena kehidupan psikis (jiwa) dan somatis (raga) dalam keadaan sehat maupun sakit.33.2 EtiologiSetiap fungsi organis/somatis yang terganggu oleh emosi-emosi yang kuat (yaitu oleh konflik-konflik dan kecemasan hebat) bisa menjadi basis bagi timbulnya bermacam-macam gangguan psikosomatis.1 Ada beberapa penyebab dari gangguan psikosomatis:

1. Stres Umum

Stres ini dapat berupa suatu peristiwa atau situasi kehidupan dimana individu tidak dapat berespon secara adekuat. Menurut Thomas Holmes dan Richard Rahe, di dalam skala urutan penyesuaian kembali sosial (social read justment rating scale) menuliskan 43 peristiwa kehidupan yang disertai oleh jumlah gangguan dan stres pada kehidupan orang rata-rata, sebagai contohnya kematian pasangan 100 unit perubahan kehidupan, perceraian 73 unit, perpisahan perkawinan 65 unit, dan kematian anggota keluarga dekat 63 unit. Skala dirancang setelah menanyakan pada ratusan orang dengan berbagai latar belakang untuk menyusun derajat relatif penyesuaian yang diperlukan oleh perubahan lingkungan kehidupan. Penelitian terakhir telah menemukan bahwa orang yang menghadapi stres umum secara optimis bukan secara pesimis adalah tidak cenderung mengalami gangguan psikosomatis, jika mereka mengalaminya mereka mudah pulih dari gangguan.4

2. Stres Spesifik Lawan Non Spesifik

Stres psikis spesifik dan non spesifik dapat didefinisikan sebagai kepribadian spesifik atau konflik bawah sadar yang menyebabkan ketidakseimbangan homeostatis yang berperan dalam perkembangan gangguan psikosomatis. Tipe kepribadian tertentu yang pertama kali diidentifikasi berhubungan dengan kepribadian koroner (orang yang memiliki kemauan keras dan agresif yang cenderung mengalami oklusi miokardium).4

3. Variabel Fisiologis

Faktor hormonal dapat menjadi mediator antara stres dan penyakit, dan variabel lainnya adalah kerja monosit sistem kekebalan. Mediator antara stres yang didasari secara kognitif dan penyakit mungkin hormonal, seperti pada sindroma adaptasi umum Hans Selye, dimana hidrokortison adalah mediatornya, mediator mungkin mengubah fungsi sumbu hipofisis anterior hipotalamus adrenal dan penciutan limfoit. Dalam rantai hormonal, hormon dilepaskan dari hipotalamus dan menuju hipofisis anterior, dimana hormon tropik berinteraksi secara langsung atau melepaskan hormon dari kelenjar endokrin lain. Variabel penyebab lainnya mungkin adalah kerja monosit sistem kekebalan. Monosit berinteraksi dengan neuropeptida otak, yang berperan sebagai pembawa pesan (messager) antara sel-sel otak. Jadi, imunitas dapat mempengaruhi keadaan psikis dan mood.4

BAB III . KESIMPULAN

Penyakit jantung hipertensi adalah suatu penyakit yang berkaitan dengan dampak sekunder pada jantung karena hipertensi sistemik yang lama dan berkepanjangan. Sampai saat ini prevalensi hipertensi di Indonesia berkisar antara 5-10%. Sejumlah 85-90% hipertensi tidak diketahui penyebabnya atau disebut sebagai hipertensi primer (hipertensi esensial atau idiopatik). Hanya sebagian kecil hipertensi yang dapat ditetapkan penyebabnya (hipertensi sekunder).1Tekanan darah tingi adalah faktor resiko utama bagi penyakit jantung dan stroke. Tekanan darah tinggi dapat menyebabkan penyakit jantung iskemik ( menurunnya suplai darah untuk otot jantung sehingga menyebabkan nyeri dada atau angina dan serangan jantung) dari peningkatan suplai oksigen yang dibutuhkan oleh otot jantung yang menebal.

Patofisiologi dari penyakit jantung hipertensi adalah satu hal komplek yang melibatkan banyak faktor yang saling mempengaruhi, yaitu hemodinamik, struktural, neuroendokrin, seluler, dan faktor molekuler. Di satu sisi, faktor-faktor ini memegang peranan dalam perkembangan hipertensi dan komplikasinya, di sisi lain peningkatan tekanan darah itu sendiri dapat memodulasi faktor-faktor tersebut.

Diagnosis penyakit jantung hipertensi didasarkan pada riwayat, pengkuran tekanan darah, pemeriksaan fisis, dan pemeriksaan laboratorium.

Penatalaksanaan penyakit jantung hipertensi meliputi perubahan gaya hidup (non farmakologi), yaitu Implementasi gaya hidup yang mempengaruhi tekanan darah memiliki pengaruh baik pada pencegahan maupun penatalaksanaan hipertensi. Modifikasi gaya hidup yang meningkatkan kesehatan direkomendasikan bagi individu dengan prehipertensi dan sebagai tambahan untuk terapi obat pada individu hipertensif dan terapi farmakologi (Diuretik,penyekat sistem renin angiotensin, antagonis aldosteron,penyekat beta, penyekat adrenergik, agen simpatolitik, penyekat kanal kalsium, vasodilator direk (langsung).

Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa obat-obatan tertentu seperti ACE-Inhibitor, Beta-blocker, dan diuretik spinorolakton dapat mengatasi hipertropi ventrikel kiri dan memperpanjang kemungkinan hidup pasien dengan gagal jantung akibat penyakit jantung hipertensi.

DAFTAR PUSTAKA1.Panggabean, Marulam. Penyakit jantung hipetensi, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.1654-55

2.Miller. Hypertensive heart disease-treatment. (Serial Online: Desember 2008). Available from: http://www.umm.edu/ency/article/000153.htm. accessed at Desember 3, 2008

3.Riaz, Kamran. Hypertensive heart disease. (Serial Online: Desember 2008). Available from: http://www.emedicine.com/MED/topic3432.htm. Accessed at Desember 3, 2008

4.Baim, Donald S. Hypertensive vascular disease in: Harrisons Principles of Internal Medicine. 7th Ed. USA. The Mcgraw-Hill Companies, Inc. 2008. p. 241

5.Price SA, Wilson LM. Fisiologi sistem kardiovaskular, Dalam: Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Jakarta:EGC; 2006.p.530-543.

6.Yogiantoro, mohammad. Hipertensi esensial, Dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, et all, editors. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi IV. Jakarta:Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia; 2006.p.610-614.

7.Mansjoer, Arif, dkk. Kapita Selekta Kedokteran Edisi Ketiga Jilid I. Jakarta: Media Aesculapius FK UI: 2001. H. 441-442

8.Katzung, betram.Farmakologi dasar dan klinik.Edisi VI. Jakarta : EGC. 1997. h. 245

9.Robbins, S.L, Kumar, V. Buku Ajar Patologi. Edisi ke-4. Jakarta : EGC. 1995. h.45

10.Robbin, SL, Kumar, V, Cotran, RS. Dasar Patologi Penyakit. Edisi ke-5. Jakarta: EGC. H.322-323Andre H Simarmata 11.2013.145

[email protected] Kedokteran Kristen Krida WacanaPage 16