Kyasanur Forest Disease
description
Transcript of Kyasanur Forest Disease
2. Kyasanur Forest Disease
Kyasanur Forest Disease (KFD) merupakan salah satu dari Tick-borne
disease, pertama kali ditemukan pada pekerja di hutan Kyasanur, Kabupaten
Shimonga, Provinsi Karnataka (kemudian disebut Myosore), India tahun 1957.
Ada dugaan bahwa penyakit ini dibawa oleh burung yang sering migrasi
menyesuaikan dengan perubahan musim, kemudian ditularkan ke satwa primata
di hutan lewat caplak, hingga akhirnya ditularkan ke pekerja hutan. Ribuan kasus
penyakit Kyasanur telah ditemukan sejak ditemukannya penyakit ini tahun 1957.
Meskipun penyebaran penyakit masih terbatas di Provinsi Myosore. Kejadian
umumnya terjadi pada musim kemarau dengan jumlah kasus setiap tahun
bervariasi antara 400-500 orang dan case fatality rate berkisar 3% - 5%
(Soeharsono, 2005).
Selama epidemik pada tahun 1957 sejak pertama kali ditemukan, KFD sudah
menyebabkan kematian dua spesies monyet yaitu grey langur dan monyet bonnet
India Selatan. Dalam wabah ini, ada 466 kasus manusia dan tahun berikutnya
sebanyak 181 kasus. Semua kasus tidak dikonfirmasi di laboratorium. Jadi, ada
kemungkinan beberapa dari mereka menderita penyakit lainnya. CDC menandai
wilayah Karnataka, Monyetla dan Tamil Nadu sebagai wilayah endemik.
a. Penyebab
Kyasanur Forest Disease (KFD) disebabkan oleh Kyasanur Forest
Disease Virus (KFDV). Penyakit ini disebabkan oleh virus flavi, termasuk
dalam Tick Borne Encephalitis (TBE) antigenic complex. Virus flavi
mematikan anak mencit bila disuntikkan secara intra-serebral atau intra-
peritoneal. Pada biakan sel fibroblas embrio ayam, hamster dan ginjal monyet
ditemukan Cytopathic Effect (CPE) atau plaque. Namun, perubahan tersebut
tidak ditemukan bila virus ditumbuhkan pada cell line yang berasal dari
caplak Haemaphysalis spinigera. Virus telah diisolasi hanya di Negara bagian
Karnataka, India. KFD hanya menetap di 5 wilayah di Karnataka yaitu
Shimoga, Chickmagalur, Dakshina Kannada, Uttara Kannada dan Udupi
sampai 2012. Tidak lama setelah itu, insiden KFD pada monyet terjadi di
Nilgiris, Tamilnadu. Kejadian pada manusia dikonfirmasi terjadi di wilayah
Wayanad, Monyetla pada Mei 2013 (Tessy, 2015).
b. Gejala
Baik manusia maupun primata dapat terkena infeksi tanpa gejala
klinis. Sebagian besar kasus manusia terjadi selama musim kemarau. Orang-
orang yang berisiko tinggi terinfeksi adalah mereka yang tinggal di desa-desa
kecil yang terletak di daerah endemis dan masuk ke kawasan hutan untuk
menggembala ternak atau untuk jenis pekerjaan lain. Sebanyak 87 kasus
dilaporkan pada petugas laboratorium. Epidemi kasus pada manusia biasanya
diawali dengan epizootic pada monyet yang berfungsi sebagai tanda
peringatan. Berikut ini adalah gejala klinis KFD (Soeharsono, 2015) :
1. Hewan
Gejala klinik pada satwa primata di alam bebas tidak diketahui secara
jelas. Satwa ini ditemukan dalam keadaan mati tanpa diketahui gejala
klinik pada waktu sakit.
2. Manusia
Gejala klinik pada manusia diawali dengan demam tinggi, kemudian
diikuti nyeri kepala, nyeri punggung, kesakitan pada bahu, dan batuk.
Pada tahap berikutnya ditemukan konjungtivitis, diare, muntah dan
kadang-kadang pendarahan lewat anus. Penderita mengalami dehidrasi.
Tahap pertama berlangsung selama 6-11 hari. Tahap berikutnya
berlangsung selama 9-21 hari yang tidak disertai demam, tetapi ditemukan
gejala meningoensefalitis. Pada pemeriksaan laboratorium ditemukan
lekopenia dan albuminuria. Penderita yang tidak mendapatkan pengobatan
secara cepat, terutama yang mengalami dehidrasi dapat berakibat fatal.
Perubahan secara patologik dapat terjadi pada hewan maupun
manusia. Lesi patologik pada hewan serupa dengan manusia. Perdarahan
ditemukan pada paru-paru dan organ lain. Secara histopatologik ditemukan
tubular nekrosis pada ginjal dan fokal nekrosis pada hati. Fokal nekrosis pada
hati lebih banyak ditemukan pada satwa primata. Di samping itu juga
ditemukan fokal nekrosis pada otak. Di daerah endemik, diagnosis didasarkan
pada uji serologik antara lain ELISA untuk mendeteksi antibodi. Di daerah
baru, diagnosis harus ditegakkan berdasarkan isolasi dan identifikasi virus.
Diagnosis dapat dibuat pada tahap awal penyakit dengan deteksi molekular
dengan PCR atau isolasi virus dari darah. Diagnosis serologi dapat diperoleh
dengan fiksasi komplemen, inhibisi hemaglutinasi dan tes netralisasi serta
ELISA menggunakan serum akut dan convalescent-phase. Diagnosis serologi
lebih sulit jika pasien sebelumnya telah terkena flavivirus lain.
c. Cara Penularan
Host penyakit ini adalah tikus, tikus celurut (shrew) dan monyet,
hewan ternak seperti sapi, kambing dan domba serta manusia. Virus telah
diisolasi dari monyet yang terinfeksi secara alami, tikus, tikus celurut (shrew)
dan kelelawar. Sumber penular pada manusia adalah berbagai jenis satwa
primata dan diduga juga bangsa burung yang berpindah tempat karena
perubahan musim. Antibodi telah ditemukan pada sapi, kerbau, kambing, babi
hutan, landak, tupai, tikus dan sejumlah jenis burung. Peran celurut dan tupai
sebagai sumber penular lebih penting dibandingkan dengan tikus hutan.
Penularan terjadi lewat gigitan vektor caplak Haemaphysalis spinigra
dan mungkin juga jenis caplak yang lain, perpindahan satwa primata di hutan
diduga ikut memperluas penyebaran penyakit. Mamalia kecil hutan berfungsi
sebagai reservoir virus. Penebangan hutan dan masuknya hewan ternak telah
menyebabkan kenaikan populasi vektor kutu. Monyet memainkan peran
penting dalam amplifikasi virus. Manusia dan sapi berperan sebagai
accidental host.
d. Cara Pencegahan
Belum ada pengobatan yang spesifik terhadap Kyasanur Forest
Disease (KFD). Pengobatan hanya bersifat simptomatik. Vaksin telah tersedia
untuk Kyasanur forest disease dan digunakan di daerah endemik di India.
Tindakan pencegahan tambahan meliputi penggunaan rapellen penolak
serangga dan mengenakan pakaian pelindung pada daerah endemik. Vaksin
KFD pertama adalah formalin-inactivated RSSEV vaccine yang diproduksi
oleh Walter Reed Army Institute of Reasearch atas permintaan dari lembaga
riset medis di India dengan bantuan dari Rockefeller Foundation. RSSEV
dikenal berkaitan erat dengan antigen KFDV (Kyasanur Forest Disease
Virus). Karena itu, dihipotesis dapat memberikan proteksi silang (cross-
protection). Vaksin RSSEV melindungi tikus dari KFDV dan lebih efektif
daripada vaksin lain yang dibuat dari KFDV isolat. Namun, pada
perkembangannya peneliti menemukan bahwa vaksin RSSEV tidak
merangsang respon kuat terhadap KFDV dan tidak merangsang respon
anamnestik pada orang yang sebelumnya telah terkena virus. Formalin-
inactivated vaksin fibroblast embrio ayam, dikembangkan pada aal 1990-an,
saat ini berlisensi dan tersedia di India.
Surveilans aktif dan intensif harus dilakukan. Mencegah orang-orang
untuk pergi ke hutan dimana kematian monyet dilaporkan. Insiden kasus
demam manusia dan kematian monyet yang biasa terjadi di daerah endemik
KFD dipantau dan informasi rinci disampaian kepada otoritas kesehatan.
Sampel otak, paru-paru, jantung, ginjal dan liver dari monyet mati harus
segera disterilkan dalam wadah bekerjasama dengan dokter hewan untuk
ditangani kemudian bangkainya harus segera dibakar. Pemahaman mengenai
Kyasanur Forest Disease saat ini adalah bahwa KFDV masih bertahan di
beberapa daerah di India serta perbedaan antigen dan struktural dari tick-
borne virus lain mungkin terkait dengan spesifikasi host dan patogenitas dari
KFDV. Sejak Januari 1999 sampai Januari 2005, peningkatan jumlah kasus
KFD telah terdeteksi di Karnataka, India meskipun vaksinasi dilakukan rutin.
Hal ini menunjukkan vaksin tidak cukup efektif.
Daftar Pustaka
Tessy D. L. 2015. Kyasanur Forest Disease. Assigment for The Course OH 001.
COHEART. Tersedia di
http://www.coheart.ac.in/admin/uploads/resources/21.pdf. Diakses pada
14/11/2015 pukul 16:57.
Soeharsono. 2005. Zoonosis : Penyakit Menular dari Hewan ke Manusia Volume 2.
Yogyakarta: Penerbit Kanisius.