Kusta Saat Ini (BARU) revisi amandrak by akbar.docx

download Kusta Saat Ini (BARU) revisi amandrak by akbar.docx

of 23

Transcript of Kusta Saat Ini (BARU) revisi amandrak by akbar.docx

Kusta Saat Ini: Epidemiologi, Kemajuan, Tantangan, dan Kesenjangan Penelitian

Kusta terus menjadi tantangan kesehatan di seluruh dunia, dengan sekitar 250.000 kasus baru yang terdeteksi tiap tahunnya. Meskipun penerapan terapi multi-obat sudah cukup luas, namun kusta belum bisa dihapuskan. Sepertiga dari kasus baru yang terdiagnosis, pasien sudah dalam tahap mengalami kerusakan saraf dan mungkin sudah mengalami proses kecacatan, meskipun proporsinya bervariasi sesuai dengan beberapa faktor, termasuk tingkat perawatan diri. Pada wanita yang menderita kusta biasanya mengalami kerugian tersendiri karena terlambat didiagnosis dan mengalami kecacatan. Kusta bukan termasuk suatu penyakit yang spesifik didalam Milennium Development Goals, tetapi perbaikan pada tingkat pendidikan dan tingkat kemiskinan akan membantu menolong pasien kusta. Kita melihat kembali data dan membuat rekomendasi untuk penelitian dalam diagnosis, tatalaksana, dan pencegahan, termasuk analisis molekular dari gen Mycobacterium leprae, pelaksanaan vaksinasi BCG, dan administrasi kemoprofilaksis untuk kontak rumah tangga. Kami juga menyarankan untuk pembuatan alat bantu diagnosis dini dan deteksi dari infeksi serta kerusakan saraf, perumusan dan strategi untuk mengelola komplikasi kronik dari kusta, seperti reaksi immune-mediated dan neuropati.

PendahuluanKusta adalah suatu penyakit infeksi yang tersering menyebabkan kecacatan.1 Angka kejadian kusta telah mengalami penurunan selama 50 tahun terakhir ini,2 namun transmisi kusta masih berlanjut dan kusta masih merupakan masalah dalam kesehatan masyarakat.3 Masih terdapat berbagai halangan kedepannya untuk mengurangi angka kejadian kusta. Transmisi penyebaran kusta masih belum diketahui benar, meskipun penularannya dapat dianggap terjadi dari nasal droplets.4 Banyak orang yang terinfeksi memiliki pengembangan klinik penyakit dan belum diketahui apakah itu merupakan reaktivasi dari infeksi terdahulu. Meskipun membuat diagnosis klinik itu mudah, namun sulit untuk mengonfirmasinya. Keterlambatan diagnosis akan berdampak negatif, contohnya dapat meningkatkan risiko kerusakan saraf. Banyak faktor yang menyebabkan terlambatnya suatu penegakkan diagnosis, salah satunya adalah stigma yang timbul dalam masyarakat.5 Selain itu, kekebalan respon tubuh dan mekanisme yang terlibat dalam kerusakan saraf masih belum diketahui, tidak ada prediksis tes untuk menguji tingkat kerusakan saraf dan belum ada bukti pengobatan yang terbaik. Reaksi kekebalan tubuh tipe 1 dan tipe 2 masih menjadi komplikasi utama, dan mempengaruhi 30% dari penderita kusta.WHO telah menetapkan target untuk mengurangi jumlah kasus dengan kecacatan kelas 2 pada diagnosis, tetapi studi kelayakan dari pelaporan kecacatan ini perlu dikaji. Integrasi pelayanan kusta ke pelayanan kesehatan umum telah menyebabkan hilangnya keterampilan dalam diagnosis dan pengelolaan penyakit kusta. WHO merekomendasikan penggunaan multidrug terapi selama 6 bulan untuk pasien dengan kusta tipe paucibacillary (1-5 lesi pada kulit) dan selama 12 bulan untuk pasien dengan kusta tipe multibacillary (lesi lebih dari 5).3 Regimen ini mungkin kurang untuk pasien kusta dengan bakterial indeks yang tinggi, namun sampai saat ini belum ada obat alternatif lainnya yang direkomendasikan.6 Resistensi obat menjadi salah satu masalah dalam mutlidrug terapi,7 oleh karena itu diperlukan monitoring yang baik. Berbagai bidang penelitian menjadi prioritas dalam manajemen penyakit kusta di seluruh dunia. Kontak langsung dengan penderitan kusta dapat meningkatkan risiko penularan infeksi,8 sedangkan kemoprofilaksis dan vaksinasi BCG dapat menurunkan risiko terinfeksi namun ketersediaan, etik, dan biaya menjadi masalah tersendiri. Diperlukan penelitian untuk membuat suatu kebijakan kedepannya. Jalur-jalur baru untuk ilmu pengetahuan dasar dan penelitian klinis telah dibuka oleh rangkaian tahapan genom-genom Mycobacterium leprae dan analisis kasus kusta.9-11 Data genom mungkin berguna dalam pengembangan obat-obatan dan vaksin terhadap penyakit kusta. Fitur kesehatan yang memerlukan penelitian adalah dengan bagaimana memastikan kesetaraan akses fasilitas untuk diagnosis dini dan layanan rehabilitasi, dan cara untuk mengurangi stigma di masyarakat.Dalam kajian ini kita membahas epidemiologi kusta dan kemajuan dalam dan tantangan untuk mengontrol, dan membuat rekomendasi untuk penelitian. Artikel ini didasarkan pada kajian refrensi untuk kelompok penyakit spesik tuberkulosis, kusta dan ulkus buruli (satu dari sepuluh refrensi kelompok ahli yang disponsori oleh program khusus untuk penelitian dan pelatihan dalam penyakit-penyakit tropis untuk menilai bukti global penelitian pada penyakit menular yang disebabkan oleh kemiskinan). Kita juga memperhitungkan strategi WHO di seluruh dunia untuk mengurangi beban penyakit yang berhubungan dengan kusta,3 keputusan kelompok penasihat teknis pada kontrol kusta,6 dan penelitian kusta dari tahun 2002-2009 bersama Federation International Federation of Anti-Leprosy Organitations Technical Commission.5Sejarah Kusta dan Kontrol dari KustaAnaslisis DNA dari Mycobacterium leprae menunjukkan bahwa bakteri ini berasal dari Afrika dan menyebar ke Asia dan Amerika Selatan.9 Monoterapi menggunakan Dapsone cukup efektif dan sudah dilakukan sejak tahun 1940an. Pendataan diperlukan, pada tahun 1960an dilaporkan terjadi resistensi.12 Pada tahun 1981, WHO merekomendasikan untuk semua pasien kusta mengonsumsi multidrug terapi yang terdiri dari Rifampicin dan Dapsone, atau Rifampicin, Dapsone, dan Clofazimine untuk pasien dengan tipe multibaccilary. Tahun 1995, resolusi disahkan untuk memberikan pengobatan multidrug gratis untuk semua kusta pasien di seluruh dunia.13 The World Health Assembly mengeluarkan sebuah resolusi pada tahun 1991 memberantas Kusta sebagai masalah kesehatan dunia pada tahun 2000, dalam arti lain mengurangi angka kejadian kusta yakni kurang dari 1 kasus dalam setiap 10000 penduduk.14 Usaha yang menyertai resolusi ini diantaranya penggunaan terapi multidrug dan reclassication dari semua kasus dengan penghapusan selesai pengobatan, ketika pengobatan seumur hidup. Tindakan ini telah didata, penggunaan vaksinasi BCG luas, dapat untuk melindungi terhadap penyakit tuberkulosis dan juga dapat melindungi terhadap kusta, ini ditandai dengan pengurangan angka kejadian.2 Meskipun demikian, kusta belum bisa dihapuskan dan penularannya masih terus berlangsung. Karena menggunakan kata penghapusan dalam resolusi, menyebabkan persepsi bahwa kusta akan menghilang, dan menghasilkan sumber daya untuk penelitian penyakit kusta dan kontrol dikurangi. 3,8,12,15 ketika rencana strategis WHO untuk memberantas kusta diperbarui, kalimat penghapusan diganti dengan kalimat mengurangi beban penyakit kusta, istilah ini meliputi beban langsung dari penyakit dan beban terkait kecacatan.1 Tujuan Pembangunan Milenium Global yang disetujui Majelis PBB pada tahun 2000, dan komitmen negara-negara di dunia untuk proyek pembangunan global yang dirangkum dalam delapan tujuan, yakni: memberantas kemiskinan ekstrim dan kelaparan; mencapai pendidikan dasar universal; mempromosikan persamaan untuk kedua jenis kelamin dan memberdayakan perempuan; mengurangi angka kematian anak; meningkatkan kesehatan ibu; memerangi HIV/AIDS, malaria, dan penyakit lainnya; menjamin kelestarian lingkungan; dan membangun kemitraan global untuk pembangunan.16 Kusta tidak tercantum secara eksplisit dalam salah satu dari delapan tujuan yang ada pada Pembangunan Milenium Global, tetapi berkaitan dengan kemiskinan, pendidikan dasar, dan membangun kemitraan global yang relevan untuk mengontrol kusta. Cacat juga tidak secara eksplisit termasuk dalam tujuan, tetapi berbagai cara untuk mengintegrasikan telah diusulkan.1 Pada tahun 2008, PBB memberlakukan perjanjian yang berisikan tentang hak-hak orang-orang yang memiliki kekurangan fisik17, dan Dewan Hak Asasi Manusia PBB lewat sebuah resolusi tentang penghapusan diskriminasi terhadap orang-orang yang terkena dampak oleh kusta dan anggota keluarga mereka.18 Ada kekhawatiran bahwa tujuan pembangunan milenium yang mungkin menyebabkan ketidakseimbangan dalam agenda pembangunan, dan terutama yang fokus pada HIV/AIDS dan malaria mungkin dapat mengabaikan penyakit lainnya, termasuk penyakit kusta.19 Kusta adalah penyakit yang identik dengan kemiskinan. Menjamin akses yang sama terhadap diagnostik dan fasilitas rehabilitasi dan untuk perawatan, serta pencegahan kecacatan, itu penting.EpidemiologiTingkat deteksi kasus baru untuk kusta tetap tinggi, dengan sekitar 250.000 kasus baru yang terdaftar setiap tahun. Sekitar 15 juta orang telah diobati dengan terapi multi-obat, dan diperkirakan 2 juta orang telah dicegah dari kecacatan.12 Meskipun nilai prevalensi kusta jatuh mencolok dari 620,638 kasus pada tahun 2002, menjadi 213,036 kasus pada tahun 2009,20,21 penurunan ini disebabkan sebagian untuk nilai-nilai prevalensi berkurang setengahnya oleh durasi pengobatan yang dikurangi dari 24 bulan sampai 12 bulan. Prevalensi juga dipengaruhi oleh faktor-faktor operasional, seperti tingkat penemuan kasus, aktivitas, dan integrasi layanan kusta ke pelayanan perawatan kesehatan primer di beberapa negara sehingga target eliminasi kusta akan tercapai. Data untuk prevalensi dan insiden untuk India dan Brazil yang ditampilkan dalam gambar 1. Data ini menjelaskan pentingnya menggunakan tingkat deteksi kasus baru sebagai penanda penularan kusta. Tingginya jumlah kasus baru terus dideteksi hingga 249 000 dilaporkan pada tahun 2008, yang 94% dari kasus ini berada di 17 negara yang telah melaporkan mendeteksi lebih dari 1.000 kasus baru pada tahun itu.20,24 Seperti ditunjukkan dalam Gambar, tingkat deteksi kasus baru di Brasil terus menjadi tinggi. Data ini menunjukkan transmisi berkelanjutan kusta. Sebuah survei yang dilakukan di Maharashtra, India, menunjukkan tingkat 3-9 kasus per 10.000 penduduk, dan bahwa 30% dari kasus-kasus ini baru didiagnosa berada pada anak-anak.Gambar 1. Jumlah prevalensi dan insiden kasus per 10.000 jiwa di India selama 1984-2008

Gambar 2. Jumlah prevalensi dan insiden kasus per 10.000 jiwa di Brazil selama 1979-2007

Sebuah konsensus telah dicapai oleh WHO bahwa pengawasan ketat pada penyakit untuk kusta diperlukan, dan empat indikator telah diusulkan: jumlah kasus baru, tarif baru deteksi kasus, tingkat penyelesaian pengobatan (atau, jika memungkinkan, tingkat penyembuhan dan tingkat kasus baru dengan kecacatan kelas 2.3 Target baru diperkenalkan bahwa jumlah kasus baru dengan kecacatan kelas 2 pada 2015 harus 35% lebih rendah dari tahun 2010. Pemantauan tingkat kasus baru dengan cacat akan menimbulkan tantangan, mengingat ketidakpastian tentang keandalan data yang diperoleh. Dengan demikian, alat untuk melakukan praktik komparasi tingkat yang akurat diperlukan. Berbagai instrumen untuk mengukur cacat sudah tersedia, namun penerapannya untuk kusta perlu diuji. Laporan WHO Technical Advisory Group tahun 2009 merekomendasikan untuk mengadakan kelompok kerja peninjauan praktek saat ini untuk pengumpulan data, pelaporan, dan analisis untuk memastikan bahwa target dapat digunakan atau dengan kata lain, valid.6TransmisiKusta disebabkan oleh Mycobacterium leprae. Kebanyakan orang yang terinfeksi dengan organisme ini dianggap tidak menjadi penyakit klinis, meskipun tidak ada alat untuk mendiagnosis infeksi subklinis. Mycobacterium leprae tumbuh lambat dan masa inkubasi kusta cukup panjang yaitu 2-12 tahun. Modus penularan masih belum terbukti secara meyakinkan, meskipun penyebaran melalui tetesan hidung diyakini menjadi rute utama.4 Manusia merupakan reservoir utama infeksi, kecuali di Amerika, di mana armadillo juga menjadi reservoir.26 Proporsi kasus yang disebabkan armadillo tidak diketahui, tetapi kemajuan penelitian sedang dibuat yang mengestimasikan dua-pertiga dari kasus yang diperoleh di Amerika Serikat bagian selatan adalah strain Mycobacterium leprae yang ada dari armadillo.27 Kebanyakan orang yang terjangkit penyakit kusta tetap dalam keadaan tidak infeksius karena mycobacterium yang tetap ada pada intraseluler. Pasien kusta jenis lepromatosa mengeluarkan Mycobacterium leprae dari mukosa hidung dan kulit28 dan sangat infeksius sebelum memulai pengobatan dengan terapi multi-obat. Kontak dengan pasien ini, meningkatkan risiko terkena penyakit kusta.7 Besarnya risiko ini tergantung pada kedekatan kontak,7 dengan kontak rumah tangga yang dekat berada di risiko tertinggi. Risiko penyakit di kontak juga terkait dengan jumlah bakteri dari kasus utama, dengan risiko yang dua kali lebih tinggi dalam kontak kasus multibacillary daripada kasus paucibacillary. Tidak ditemukan adanya kejelasan kecenderungan genetik memiliki peran dalam penyakit kusta.7 Kandidat gen untuk kerentanan terhadap infeksi kusta telah dilaporkan, namun temuan tersebut sulit untuk direplikasi. Sebuah studi asosiasi berbagai macam genom pasien kusta dan kontrol sehat telah mengidentifikasi varian gen dalam jalur sinyal NOD2-mediated, yang mengatur respon imun bawaan, dan menentukan risiko serta bentuk penyakit.7 Urutan genom dari Mycobacterium leprae telah tersedia sejak tahun 2001.29 Pengembangan penelitian pada tipe strain dari Mycobacterium leprae telah digunakan baik pada metode pembuatan genotipe polimorfisme nukleotida tunggal atau variable number tandem repeat. Penelitian awal dengan polimorfisme nukleotida tunggal telah menghasilkan empat subtipe Mycobacterium leprae dan mendalilkan rute penyebaran di seluruh dunia.9 Karya ini telah diperpanjang setelah empat urutan seluruh genom dari Brasil, India, Thailand, dan Amerika Serikat dianalisis, yang ditemukan 201 polimorfisme nukleotida tunggal dan 14 sisipan dasar single atau penghapusan yang diidentifikasi.9 Analisis ini mengidentifikasi 16 single-nucleotide polymorphism subtipe pada 400 isolasi.9 Tingkat rendah polimorfisme yang timbul dari empat strain, dimana genom yang 99-99,5% identik, menunjukkan bahwa ada sedikit variasi dalam Mycobacterium leprae.Cara tersebut sudah mengklasifikasikan strain Mycobacterium leprae di beberapa negara.11 Keterbatasan potensi metode ini adalah bahwa banyak lokus harus dianalisis untuk mengklasifikasikan strain. Salah satu analisis yang digunakan genotipe dari 475 strain M.leprae dan enam negara berbeda, pada temuan tersebut menyimpulkan bahwa kebanyakan Mycobacterium leprae strain membentuk kluster bersama-sama di negara-negara yang spesifik, dan bahwa kehadiran temuan isolatif untuk kluster yang berbeda merupakan konsekuensi dari adanya migrasi.11 Beberapa temuan itu sangat mengejutkan bahwa strain India tampaknya berasal dari strain Filipina. Variable number tandem repeat dan metode genotip polimorfisme nukleotida tunggal adalah cara yang terbaik untuk menemukan temuan penelitian semacam ini. Analisis polimorfisme nukleotida tunggal bisa menjadi lambat dan metode Variable number tandem repeat banyak menemukan perbedaan-perbedaan dan sulit untuk digunakan sebagai analisis epidemiologi selain menunjukkan adanya transmisi rantai pendek dalam keluarga. Relapse langka terjadi pada kusta, terjadi dalam waktu kurang dari 1% dari pasien dan sering muncul setelah 10 tahun atau lebih setelah pengobatan. Alat penelitian berbasis molekuler ini tidak praktis untuk menilai apakah reaktivasi infeksi atau infeksi baru terjadi. Meskipun begitu, cara ini bisa digunakan untuk menyelidiki apakah hasil klinis, seperti eritema nodosum leprosum, berhubungan dengan strain yang berbeda dan apakah strain Mycobacterium leprae menginfeksi armadillo adalah sama seperti yang menginfeksi manusia.26,27 Teknik molekuler mungkin juga memperjelas mekanisme di balik kelangsungan hidup, ketahanan, dan patogenisitas Mycobacterium leprae.9,30-32Penyakit KlinisInfeksi M.leprae menyebabkan peradangan granulomatous kronis di kulit dan saraf perifer. Jenis kusta pasien ditentukan oleh respon imun cell-mediated mereka terhadap infeksi. Jenis penyakitnya dapat dikategorikan menurut klasifikasi Ridley-Jopling,33 yang didasarkan pada jenis lesi kulit dan jumlah bakteri dalam tubuh. Pasien dengan penyakit tuberkuloid memiliki respon imun cell-mediated yang baik dan hanya ditemukan beberapa lesi tanpa mycobakteria yang terdeteksi. Pasien dengan kusta lepromatosa memiliki sifat anergik terhadap M.leprae dan ditemukan beberapa lesi dengan adanya mycobacteria. Diantara dua klasifikasi ini adalah jenis kusta borderline, di mana pasien memiliki beberapa sel respon imun cell-mediated, lesi multipel, dan kekebalan yang tidak stabil.WHO telah memperkenalkan klasifikasi yang disederhanakan menggunakan jumlah lesi kulit untuk mengklasifikasikan penyakit sebagai paucibacillary (hingga sampai lima lesi) atau multibasiler (lebih dari lima lesi kulit). Klasifikasi ini secara luas digunakan untuk membantu pengambilan keputusan pengobatan. Perbandingan dari dua sistem klasifikasi ini menunjukkan bahwa di India hingga 60% dari pasien dengan tuberkuloid borderline (pada klasifikasi Ridley-Jopling) masuk dalam kelompok multibasiler WHO memiliki hasil tes skin smear yang negatif. Pasien dengan karakter ini pada akhirnya mendapat pengobatan yang berlebihan.34 Pentingnya menggunakan klasifikasi yang lebih ketat di pusat-pusat rujukan dan untuk studi penelitian telah ditekankan.35Kerusakan saraf dapat terjadi sebelum, selama, dan setelah perawatan dan dapat mengakibatkan cacat dan jangka panjang yang berhubungan dengan stigma.36 Sebuah penelitian kohort di Ethiopia menunjukkan bahwa 47% dari 594 kasus baru ditemukan adanya gangguan fungsi saraf saat diagnosis dan 8% memiliki kerusakan saraf baru-baru ini. Selain itu, 12% berkembang adanya kerusakan saraf setelah dimulainya pengobatan, dan hanya 33% tidak memiliki bukti klinis keterlibatan saraf kapanpun.37 Derajat kerusakan saraf pada diagnosis menggambarkan penundaan antara timbulnya gejala dan diagnosis. Penundaan seringkali berjangka tahunan, dan selama waktu ini neuropati dapat berkembang hampir tanpa diketahui. Banyak saraf saat diagnosis sudah terjadi kecacatan dan menjadi menetap.34,38,39Peradangan terjadi dalam saraf disebabkan oleh antigen mikobakterium yang mengaktifkan sifat merusak dari respon kekebalan tubuh yang dimediasi oleh sel-sel CD4+ dan makrofag, dengan keterlibatan beberapa sitokin pro-inflamasi, seperti TNF-. Penanda perkembangan kerusakan neurologis belum bias identifikasi.40 Pemahaman yang lebih baik dari respon imun pada kerusakan saraf dapat mengidentifikasi pasien berisiko tinggi untuk pemantauan lebih ketat dan intervensi dini dengan terapi yang ada, dan mengarahkan intervensi yang diperlukan.38Reaksi imun tipe 1 dan tipe 2 terjadi pada sekitar 30% pasien dengan penyakit multibasiler selama dan setelah terapi multi-obat.41 Steroid adalah pengobatan yang utama, tetapi pada kajian sistematis ditemukan hanya tiga uji coba yang menunjukkan adanya kualitas yang memadai yang mendukung strategi ini.42 Kajian berdasarkan bukti yang dilakukan oleh Federasi Internasional Organisasi Anti-Kusta menemukan bahwa durasi optimal pengobatan steroid tidak diketahui, meskipun beberapa data menunjukkan bahwa program yang lebih lama menghasilkan hasil yang lebih baik, Terbukti bahwa pengobatan selama 20 minggu menghasilkan hasil yang lebih baik daripada 12 minggu pengobatan di salah satu studi.43 Tidak ada studi yang menggunakan pemberian dosis per berat badan. Tingkat kekambuhan setelah terapi steroid adalah 20-50%.44 Standarisasi alat diperlukan untuk mengukur hasil dan perbandingan studi temuan. Obat lini kedua untuk pengobatan pasien yang tidak merespon prednisolon juga diperlukan.45Reaksi leprosum eritema nodosum terjadi di sekitar 50% dari pasien dengan lepromatous leprosy.46 Episode peradangan sistemik ini mempengaruhi kulit, saraf, mata, dan testis susah untuk dikendalikan.47 Reaksi dapat kambuh selama beberapa tahun. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk menyelidiki patogenesis dan pengobatan eritema nodosum leprosum. Pada sebuah kajian dijelaskan hanya ada tiga penelitian yang diterbitkan dalam 20 tahun.47 Perawatan saat ini termasuk steroid dan thalidomide, tetapi penelitian dilakukan dengan divalidasi secara internasional dengan skala keparahan yang diperlukan untuk mengidentifikasi regimen pengobatan terbaik.48 Di banyak negara thalidomide tidak tersedia karena kekhawatiran yang berkaitan dengan potensi teratogenik. Adanya sebuah jaringan penelitian internasional untuk memfasilitasi studi tentang patogenesis dan peningkatan perawatan di pusat-pusat terkait akan sangat diperlukan. Identifikasi terapi pengobatan efektif untuk wanita pasca melahirkan ini sangat penting, karena mereka berada di sangat berisiko tinggi reaksi, tetapi sering kurang terwakili pada studi.48Adanya kesamaan antara TB dan kusta, di awal epidemic HIV-1 dikhawatirkan bahwa Infeksi HIV-1 akan meningkatkan risiko mengembangkan kusta, terutama jenis kusta lepromatosa, atau pada orang yang terinfeksi keduanya akan memiliki kusta yang sangat berat atau dengan prognosis buruk. Meskipun data pada pasien terinfeksi HIV dan kusta jarang, tidak satupun ada kekhawatiran yang telah dilaporkan.49 Dua studi Brasil memiliki menunjukkan bahwa pasien yang menerima terapi antiretroviral lebih mungkin untuk mengembangkan kusta tuberkuloid borderline daripada jenis lepra lainnya.50,51 Pada pasien yang terinfeksi HIV-1 yang memulai ART, kusta sudah dilaporkan sebagai sindroma peradangan pemulihan kekebalan.52,53 Dalam review pada kasus yang telah diterbitkan pada kusta yang menjadi sindroma ini, presentasi penyakit dikelompokkan menurut waktunya baik sebagai unmasking atau sebagai paradoks klinis memburuknya kusta yang ada sebelumnya : 12 (58%) yang unmasking, dua (9%) adalah paradoks, dua (9%) yang terdiagnosis, dan lima (24%) yang unmasking diikuti oleh pemulihan kekebalan.54PengobatanWHO merekomendasikan terapi multi-obat dengan rifampisin dan dapson untuk penyakit pausibasiler, atau dengan rifampisin, dapson, dan clofazimine untuk pasien dengan penyakit multibasiler. Durasi yang direkomendasikan terapi adalah 6 bulan untuk pasien dengan penyakit pausibasiler dan 12 bulan bagi mereka dengan penyakit multibasiler, dan regimen ini akan secara efektif memberantas M.leprae pada kebanyakan pasien. Laporan dari WHO Technical Advisory Group on Leprosy Control pada tahun 2009 menyatakan dengan jelas bahwa "dalam hal kesehatan masyarakat, adalah wajar untuk menyimpulkan menjadi tidak menular setelah memulai terapi multidrug".6 Pengobatan yang lebih lama mungkin diperlukan pada beberapa pasien dengan Indeks Bakteri yang tinggi pada saat diagnosis untuk mencegah kambuh.6 Setidaknya satu uji coba saat ini membandingkan jangka waktu pengobatan untuk lepra multibasiler.6Orang dengan penyakit multibasiler lepromatosa merupakan sumber utama dari M leprae, dan jika kambuh terjadi pada pasien ini transmisi penyakit akan berlanjut. Bentuk penyakit ini sangat penting dari sudut pandang kesehatan masyarakat. Tingkat kekambuhan setelah terapi multi-obat bervariasi, terutama karena metode tindak lanjut dan definisi yang berbeda, tapi setidaknya di bawah tiga kasus per 100 tahun, dan tampaknya sebagian besar lebih rendah dari dua kasus per 100 orang-tahun. Faktor yang terkait dengan kekambuhan termasuk penggunaan monoterapi, tidak memadai atau terapi yang tidak teratur, kurangnya respon, kehadiran beberapa lesi kulit atau saraf menebal, dan tidak ada reaksi terhadap test kulit lepromin.55Diagnosis yang akurat pada kekambuhan membutuhkan klinis, bakteriologis, dan bukti terapi; histopatologi dapat membantu tetapi sering tidak secara rutin ada.55 Rekomendasi WHO saat ini adalah bahwa terapi mengulang multi-obat dalam kasus terbukti kambuh.3 Kambuh dan reaksi kekebalan tubuh tipe 1 bisa menyebabkan lesi kulit baru dan hilangnya fungsi saraf.Resistensi obat belum menjadi masalah besar. Pasien yang diduga menderita strain resisten dari M.leprae telah merespon kembali pengobatan dengan rifampisin, dapson, dan clofazimine.3 Pengujian untuk ketahanan melibatkan inokulasi pada telapak kaki tikus dengan jaringan pasien yang diperoleh pada biopsi dan mengamati pertumbuhan M.leprae. Metode ini sekarang dilengkapi dengan sekuensial DNA untuk mengidentifikasi mutasi gen yang terkait dengan resistensi obat. Koding gen untuk ketahanan terhadap rifampisin, ofloxacin, dan dapson telah teridentifikasi.6 Namun, kepentingan klinis pada bakteri yang memiliki gen ketahanan tertentu masih belum diketahui. Sebuah inisiatif pengawasan di seluruh dunia untuk menilai resistensi obat pada kusta telah ditetapkan.6 WHO Technical Advisory Group telah mendorong perluasan kerja di beberapa negara.6 Penelitian ini dan semacamnya perlu didukung dengan baik, karena tidak ada obat antibiotik baru dalam pengembangan untuk mengobati kusta tetapi regimen pengobatan alternatif diperlukan. Peningkatan kapasitas untuk skrining obat, kemoterapi eksperimental, dan uji klinis juga diperlukan untuk mendapatkan kembali pengetahuan pengobatan hilang dengan keberhasilan terapi multi-obat.DiagnosisDiagnosis yang terlambat, dapat memicu terjadinya penyebaran penyakit dan kecacatan.15 Faktor-faktor yang memicu terjadinya diagnosis yang lambat antara lain pasien menunda untuk mendapatkan pelayanan kesehatan dan terambatnya penegakkan diagnosis oleh instansi pelayanan kesehatan. Alasan dibalik penundaan pasien untuk mendapatkan pelayanan kesehatan sangatalah beragam.56 Namun stigma negatif menjadi alasan an lazim terjadi di banyak kasus.5 Di beberapa negara stigma ini dapat tumbh karena adanya perundangan yang merugikan terhadap pasien kusta.5 Tindakan lainnya juga berpengaruh terhadap para penderita penyakit ini. Laporan dari Ethiopia dan Bangladesh,57,58 menunjukkan bahwa wanita lebih mengalami keterlambatan diagnosa dibandingkan pria, sehingga pada wanita sering ditemukan kerusakan saraf dan kecacatan yang lebih berat saat diagnosis ditegakkan. Dengan desentralisasi dari pelayanan pengobatan dan monitoring serta menurunnya angka kejadian, mempertahankan kompetensi ahli pada penanganan terhadap kusta di daerah pinggiran merupakan tantangan yang besar. Richardus dan Habbema59 berargumen bahwa untuk memusnahkan penyakit menular, kita membutuhkan sebuah intervensi yang dapat menghambat transmisis, alat diagnosis yang praktis engan sensitivitas dan spesifisitas yang memadai, serta ketidakberdaannya resevoir. Dasar dari prinsip ini dapat dicapai dengan penelitian yang mendalam di bidang epidemiologis dan mikrobiologis untuk menemukan alat yang baik untuk mendeteksi infeksi, cara intervensi yang baru seperti kemopofilaksis dan vaksinasi, semua hal ini haruslah segera dikembangkan dan diimplementasikan.59Tes serologis untuk mendeteksi infeksi dan memonitoring proses pengobatan sudah menjadi fokus beberapa tahun terakhir. Tes sejenis, mungkin juga berguna untuk mengidentifikasi kkontak, memonitor transmisi di komunitas dan sebagai panduan dalam penanganan. Berbagai tes sudah tersedia, meskipun tidak satupun yang cukup sensitif maupun spesifik untuk mendeteksi kusta. Sekar60 mencatat bahwa telah terjadi peningkatan di beberapa tes diagnosis imunologis. Pengembangan termasuk tes untuk antibodi ke PGL-1 (contoh, dipstik, ELISA, ML Flow Test); antigen tes kulit yang baru, seperti antigen M leprae suluble dan lipoarabinomannan, wall-associated proteins of M leprae, serta fraksi-fraksinya. Tralnsalsi terhadap alat-alat yang berasal dari penelitian dibidang diagosis imunologis terhadap tuberculosis, seperti protein CFP-10 dan ESAT-6, serta M leprae antigen spesifik yang baru yang teridentifikasi dari genome sequencing, termasuk overlap dari peptida pendek yang berasal dariprotein rekombinan yang berbeda untuk mengidentifikasi sel B spesifik dan sel T epitopes.60 PencegahanKemoprofilaksis secara efektif mampu menurunkan angkan kejadian kusta pada kontak di lingkungan rumah.61 Penggunaan cara ini secara umum masih dalam tahap pembahasan. Dosis tunggal dari rifampicin mampu mencegah perjalanan penyakit pada orang yang terinfeksi kusta, namun hanya dalam pada kontak yang tridak dekat dengan jumlah bakteri yang sedikit.61 Terdapat kekhawatian akan terjadinya resisten terhadap penggunaan terapi tunggal, sehinga pemberian satu atau dua dosis dari rifampicin 600 mg, ofloxacin 400 mg, dan minocyclne 100 mg haruslah dilakukan.5 Pemeberian regimen ini sangat disarankan, namun akan memakan biaya yang jauh lebih mahal. Tambahan pada kemoprofilaksis terhadap kontak dekat non-household sangat sangatlah didukung oleh pendapat epidemiologis yang baik, namun berbagai hambatan dapat menghalangi implementasi dari peraturan yang akan ditegakkan. Sebagai contoh, perhitungan terhadap indeks kasus kusta membutuhkan identifikasi terhadap kontak, terutama di luar rumah, hal ini bisa jadi tidak diinginkan oleh masyarakat maupun melanggar etik.61 Rekomendasi terkini dari program Enhanced Global Strategy for Futher Reducing teh Disease Burden due to Leprosy10 oleh WHO adalah untuk memeriksa kontak di rumah pasien untuk mencari bukti dari kontak terhadap kusta, apabila tidak ditemukan satupun bukti maka langkah selanjutnya adalah memberi tahu pasien akan tanda-tanda awal dari kusta, serta harus mencari pelayanan kesehatan apabila ditemukan tanda-tanda tersebut. Laporan terakhir dari Technical Advisory Group on Leprosy Control6 oleh WHO merekomendasikan bahwa sebuah grup kerja harus dibentuk untuk meninjau data-data mengenai kemoprofilaksis dan memberikan pertimbangan-pertimbangan terhadap jalannya penelitian yang menyasar pada pengembangan panduan yang sesuai untuk diimplementasikan pada strategi pengendalian kusta di masa depan.Vaksinasi BCG mampu memberi perlindungan terhadap berkembangnya kusta pada orang dewasa, dan valsinasi BCG pada neonatus yang bertujuan untuk mencegah tuberkulosis mungkin juga berkontribusi dalam penurunan prevalensi kusta. BCG merupakan vaksin hidup sehingga pemberian terhapad pasien dengan HIV harus sangat dihindari. Seperti halnya tuberkulosis, tingkatan perlindungan oleh vaksinasi BCG terhadap perkembangan kusta berbeda di tiap populasi, namun penyebeb dibalk variasi ini belum begitu dimengerti.2 Vaksinansi BCG terhadap kontak terlihat bisa memberikan proteksi meskipun kontak telah menerima vasinasi BCG pada saat neonatus.62,63 Waktu antara pemberian vaksinasi dan kemoprofilaksis haruslah diperhitungakan dengan baik, karena kemoprofilaksis dapat membunuh BCG.Penelitian terhadap vaksin protein subunit yang moderen telah terfasilitasi oleh sequencing dan M leprae, meskipun masih kurang maju dibandingkan dengan vaksin tuberkulosis. Alasan utama dari proses penelitian yang lambat adalah karena efisiensi biaya, dimana kasus kusta lebih jarang dari tuberkulosis dan angka kejadiannya telah menururn. Sebagai tambahan, berbeda dengan tuberkulosis, pada kusta tidak ditemukan adanya hewan coba yang sesuai, dimana patogenesis dari tikus bersifat atipikal, dan penggunaan armadilos untuk pengujian vaksin kurang praktis.64,65 Jika vaksin tuberkulosis yang lebih spesifik bertujuan untuk mengganti BCG daripada memperkuatnya, maka proteksi terhadap kusta yang diberikan oleh BCG akan hilang. Pengembangan terhadap vaksi kusta yang telah terimprovisasi, ataupun eksplorasi terhadap kemungkinan dari penambahan proteksi terhadap kusta pada berbagai vaksin tuberkulosis yang baru dan lain sebagainya haruslah segera dilaksanakan. Penemuan selama pengembangan dari vaksin anti tuberkulosis sedikit tidaknya menaruh harapan pada mekanisme imunitas terhadap mycobacteria dan bisa membantu pencarian terhadap vaksin kusta yang baru.64KesimpulanPrioritas penelitian thadap kusta mampu mencakup area yang luas, mulai dari sains dasar hingga pelayanan kesehatan. Pengertian yang lebih mendalam sangat dibutuhkan baik dibidak epidemiologi, seperti transmisi penyakit, peranan dari armadillo, dan kontribusi relatif dari transmisi dan reinfeksi hingga segala permasalahan yang menyertai penyakit ini, serta patogenesis dari kerusakan saraf. Alat yang efektif harus dikembangkan untuk deteksi dini pada infeksi, point-of-contact diagnosis, memprediksi kerusakn saraf, dan menggolongkan kecacatan. Regimen pengobatan baru terhadap kusta dan reaksi kusta harus segera dikembangkan dan diuji. Akhirnya, metide efektif untuk monitoring resistensi obat harus segera diimplementasikan. Untuk pencegahan dan penelitian pada pelayanan kesehatan, pengembangan vaksin baru atau penggabungan dari komponen kusta pada vaksin anti tuberkulosis yang baru sangatlah krusial. Strategi pemberian kemoprofilaksis terhadapn kontak harus ditinjau, terhambatnya diagnosis, diskriminasi, dan stigma harus segera dikurangi.

Refrensi1United Nations Enable. The Millennium Development Goals (MDGs) and Disability. 2009. http://www.un.org/disabilities/ default.asp?id=1470 (accessed Jan 25, 2010).2Merle CS, Cunha SS, Rodrigues LC. BCG vaccination and leprosy protection: review of current evidence and status of BCG in leprosy control. Expert Rev Vaccines 2010; 9: 20922.3WHO. Enhanced global strategy for further reducing the disease burden due to leprosy (plan period: 20112015). New Delhi: World Health Organization Regional Oce for South-East Asia, 2008.4Hatta M, van Beers SM, Madjid B, Djumadi A, de Wit MY, Klatser PR. Distribution and persistence of Mycobacterium leprae nasal carriage among a population in which leprosy is endemic in Indonesia. Trans R Soc Trop Med Hyg 1995; 89: 38185.5 Senior K. Stigma, chemoprophylaxis, and leprosy control.Lancet Infect Dis 2009; 9: 10.6WHO Technical Advisory Group on Leprosy Control. Report of the Tenth Meeting of the WHO Technical Advisory Group on Leprosy Control. New Delhi: World Health Organization Regional Oce for South-East Asia, 2009.7Arungiri S, et al. Detection of mutations in folp1, rpoB and gyrA genes of M. leprae by PCR- direct sequencinga rapid tool for screening drug resistance in leprosy. Lepr Rev (in press).8Moet FJ, Meima A, Oskam L, Richardus JH. Risk factors for the development of clinical leprosy among contacts, and their relevance for targeted interventions. Lepr Rev 2004; 75: 31026.9Monot M, Honore N, Garnier T, et al. Comparative genomic and phylogeographic analysis of Mycobacterium leprae. Nat Genet 2009; 41: 128289.10 Zhang FR, Huang W, Chen SM, et al. Genomewide association study of leprosy. N Engl J Med 2009; 361: 260918.11 Gillis T, Vissa V, Matsuoka M, et al. Characterisation of short tandem repeats for genotyping Mycobacterium leprae. Lepr Rev 2009; 80: 25060.12 Scollard DM, Adams LB, Gillis TP, Krahenbuhl JL, Truman RW, Williams DL. The continuing challenges of leprosy.Clin Microbiol Rev 2006; 19: 33881.13 Feasey N, Wansbrough-Jones M, Mabey DC, Solomon AW. Neglected tropical diseases. Br Med Bull 2010; 93: 179200.14 World Health Assembly. World Health Assembly resolution 1991. http://www.who.int/lep /strategy/wha/en/index.html (accessed Jan 25, 2010).15 Burki T. Old problems still mar ght against ancient disease. Lancet 2009; 373: 28788.16 UN. We can end poverty 2015: Millennium Development Goals. http://www.un.org /millenniumgoals (accessed Jan 25, 2010)17 UN Enable. Convention on the rights of persons with disabilities.http://www.un. org/disabilities/default.asp?id=150 (accessed Jan 25, 2010).18 Human Rights Council. Resolution 8/13: elimination of discrimination against persons aected by leprosy and their family members.http://ap.ohchr.org/documents/ E/HRC/resolutions/A_ HRC_RES_8_13.pdf (accessed Jan 25, 2010).19 The Leprosy Mission Ireland. The Millennium Development Goals (MDGs): unrealistic and unattainable because MDG implementation policies advance the interests of the rich world at the expense of the poor? http://www.leprosymission.ie/media/8986_ MDGreportPublishedAug09.pdf (accessed Jan 25, 2010).20 Anon. Global leprosy situation, beginning of 2008. Wkly Epidemiol Rec 2008; 83: 293300.21 Anon. Global leprosy situation, 2009. Wkly Epidemiol Rec 2009; 84: 33340.22 WHO. Weekly epidemiological record. http://www.who.int/wer/en/ (accessed April 12, 2011).23 RIPSA. http://tabnet.datasus.gov.br/cgi/deftohtm.exe?idb2006/d09. def (accessed April 28, 2011).24 Anon. Global leprosy situation, 2008 (additional information). Wkly Epidemiol Rec 2008; 83: 459.25 Van Brakel WH, Ocer A. Approaches and tools for measuring disability in low and middle-income countries. Lepr Rev 2008; 79: 5064.26 Truman, RW, Singh P, Sharma R, et al. Probable zoonotic leprosy in the southern United States. N Engl J Med 2011; 364: 162633.27 Truman RW, Fine PEM. Environmental sources of Mycobacterium leprae: issues and evidence. Lepr Rev 2010; 81: 8995.28 Job CK, Jayakumar J, Kearney M, Gillis TP. Transmission of leprosy: a study of skin and nasal secretions of household contacts of leprosy patients using PCR. Am J Trop Med Hyg 2008; 78: 51821.29 Cole ST, Supply P, Honore N. Repetitive sequences in Mycobacterium leprae and their impact on genome plasticity. Lepr Rev 2001; 72: 44961.30 Gomez-Valero L, Rocha EP, Latorre A, Silva FJ. Reconstructing the ancestor of Mycobacterium leprae: the dynamics of gene loss and genome reduction. Genome Res 2007; 17: 117885.31 Katoch VM, Lavania M, Chauhan DS, Sharma R, Hirawati Katoch K. Recent advances in molecular biology of leprosy. Indian J Lepr 2007; 79: 15166.32 Matsuoka M, Gonzalez AV, Estrada I, Carreno-Martinez C, Fafutis-Morris M. Various genotypes of Mycobacterium leprae from Mexico reveal distinct geographic distribution. Lepr Rev 2009; 80: 32226.33 Ridley DS, Jopling WH. A classication of leprosy for research purposes. Lepr Rev 1962; 33: 11928.34 Van Brakel WH, Nicholls PG, Das L, et al. The INFIR Cohort Study: assessment of sensory and motor neuropathy in leprosy at baseline. Lepr Rev 2005; 76: 27795.35 Lockwood DN, Sarno E, Smith WC. Classifying leprosy patientssearching for the perfect solution? Lepr Rev 2007; 78: 31720.36 Boku N, Lockwood DN, Balagon MV, et al. Impacts of the diagnosis of leprosy and of visible impairments amongst people aected by leprosy in Cebu, the Philippines. Lepr Rev 2010; 81: 11120.37 Saunderson P. The epidemiology of reactions and nerve damage.Lepr Rev 2000; 71: S10610.38 Khambati FA, Shetty VP, Ghate SD, Capadia GD. Sensitivity and specicity of nerve palpation, monolament testing and voluntary muscle testing in detecting peripheral nerve abnormality, using nerve conduction studies as gold standard; a study in 357 patients. Lepr Rev 2009; 80: 3450.39 Smith WC, Nicholls PG, Das L, et al. Predicting neuropathy and reactions in leprosy at diagnosis and before incident eventsresults from the INFIR cohort study. PLoS Negl Trop Dis 2009; 3: e500.40 The Lancet Neurology. Leprosy as a neurological disease. Lancet Neurol 2009; 8: 217.41 Walker SL, Nicholls PG, Dhakal S, Hawksworth RA, Mahat K, Lockwood DNJ. A phase two randomised controlled double blind trial of high dose intravenous methylprednisolone and oral prednisolone versus intravenous Normal saline and oral prednisolone in individuals with leprosy Type 1 reactions and/or nerve function impairment. PLOS Negl Trop Dis 2011; 5: e1041.42 Van Veen NH, Nicholls PG, Smith WC, Richardus JH. Corticosteroids for treating nerve damage in leprosy. A Cochrane review. Lepr Rev 2008; 79: 36171.43 Rao PS, Sugamaran DS, Richard J, Smith WC. Multi-centre, double blind, randomized trial of three steroid regimens in the treatment of type-1 reactions in leprosy. Lepr Rev 2006; 77: 2533.44 Van Brakel W, Cross H, Deepak S, et al; ILEP Technical Commission.Review of leprosy research evidence (20022009) and implications for current policy and practice. Lepr Rev 2010; 81: 22875.45 Van Brakel WH, Saunderson P, Shetty V, et al. International workshop on neuropathology in leprosyconsensus report. Lepr Rev 2007; 78: 41633.46 Pocaterra L, Jain S, Reddy R, et al. Clinical course of erythema nodosum leprosum: an 11-year cohort study in Hyderabad, India. Am J Trop Med Hyg 2006; 74: 86879.47 Van Veen NHJ, Lockwood DNJ, van Brakel WH, Ramirez JJ, Richardus JH. Interventions for erythema nodosum leprosum. Cochrane Database Syst Rev 2009; 3: CD006949.48 Walker SL, Waters MF, Lockwood DN. The role of thalidomide in the management of erythema nodosum leprosum. Lepr Rev 2007; 78: 197215.49 Ustianowski AP, Lawn SD, Lockwood DN. Interactions between HIV infection and leprosy: a paradox. Lancet Infect Dis 2006; 6: 35060.50 Sarno EN, Illarramendi X, Nery JA, et al. HIV-M. leprae interaction: can HAART modify the course of leprosy? Public Health Rep 2008; 123: 20612.51 Talhari C, Mira MT, Massone C, et al. Leprosy and HIV coinfection: a clinical, pathological, immunological, and therapeutic study of a cohort from a Brazilian referral center for infectious diseases. J Infect Dis 2010; 202: 34554.52 Lawn SD, Wood C, Lockwood DN. Borderline tuberculoid leprosy: an immune reconstitution phenomenon in a human immunodeciency virus-infected person. Clin Infect Dis 2003; 36: e56.53 Deps PD, Lockwood DN. Leprosy occurring as immune reconstitutionsyndrome. Trans R Soc Trop Med Hyg 2008; 102: 96668.54 Deps P, Lockwood DN. Leprosy presenting as immune reconstitution inammatory syndrome: proposed denitions and classication. Lepr Rev 2010; 81: 5968.55 Kaimal S, Thappa DM. Relapse in leprosy. Indian J Dermatol Venereol Leprol 2009; 75: 12635.56 Nicholls PG, Ross L, Smith WC. Promoting early detection in leprosya literature review to identify proven and potential interventions addressing patient-related delay. Lepr Rev 2006; 77: 298310.57 Meima A, Saunderson PR, Gebre S, Desta K, van Oortmarssen GJ, Habbema JD. Factors associated with impairments in new leprosy patients: the AMFES cohort. Lepr Rev 1999; 70: 189203.58 Richardus JH, Meima A, Croft RP, Habbema JD. Case detection, gender and disability in leprosy in Bangladesh: a trend analysis. Lepr Rev 1999; 70: 16073.59 Richardus JH, Habbema JD. The impact of leprosy control on the transmission of M. leprae: is elimination being attained? Lepr Rev 2007; 78: 33037.60 Sekar B. Recent advances in immunodiagnosis of leprosy.Indian J Lepr 2007; 79: 85106.61 Moet FJ, Pahan D, Oskam L, Richardus JH. Eectiveness of single dose rifampicin in preventing leprosy in close contacts of patients with newly diagnosed leprosy: cluster randomised controlled trial. BMJ 2008; 336: 76164.62 Schuring RP, Richardus JH, Pahan D, Oskam L. Protective eect of the combination BCG vaccination and rifampicin prophylaxis in leprosy prevention. Vaccine 2009; 27: 712528.63 Duppre NC, Camacho LA, da Cunha SS, et al. Eectiveness of BCG vaccination among leprosy contacts: a cohort study. Trans R Soc Trop Med Hyg 2008; 102: 63138.64 Gillis T. Is there a role for a vaccine in leprosy control? Lepr Rev 2007; 78: 33842.65 Raman VS, ODonnell J, Bailor HR, et al. Vaccination with the ML0276 antigen reduces local inammation but not bacterial burden during experimental Mycobacterium leprae infection. Infect Immun 2009; 77: 562330.Tugas Jurnal Kelompok:Rizqi Amandra Arief RachmansyahDewa Gede SudiatmikaAkbar Fitrahadi

Tugas Jurnal Kelompok:Rizqi Amandra Arief RachmansyahDewa Gede SudiatmikaAkbar Fitrahadi