Kumpulan Peraturan LH Di Laut
-
Upload
hijaualamku -
Category
Documents
-
view
58 -
download
2
Transcript of Kumpulan Peraturan LH Di Laut
Pengarah: Dra. Masnellyarti Hilman, MSc
Penanggung Jawab : Ir. Wahyu Indraningsih
Tim Penyusun : 1. Ir. Zulhasni , MSc 2. Djaka Dwiputra, S.Si., MEM 3. Dasminto, S.Pi 4. Agus Rusly, S.Pi
Design Sampul : Djaka Dwiputra, S.Si., MEM
.p e r b a i k a n k u a lit a s lingkungan hidup
khususnya ekosistim pesisir dan laut dapat dicapai melalui penerapan prinsipprinsip Good Environmental Governance, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia.
SUHERSANTO . ;
NIP. 510 070 622
PE~ATURAN PENGENDALIAN KERUSAKAN PESISIR & tAUT
• • • • • • • • • • • • • • • •
KLH KEMENTERIAN NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
KATA PENGANTAR
Wilayah pesisir memiliki arti strategis karena merupakan wilayah peralihan
antara ekosistem darat dan laut, serta memiliki potensi sumberdaya alam dan jasajasa lingkungan yang sangat kaya. Kekayaan sumberdaya pesisir ini meliputi pulaupulau besar dan kecil sekitar 17.504 pulau, yang dikelililingi ekosistem pesisir
tropis, seperti hutan mangrove, terumbu karang, padang lamun, berikut
sumberdaya hayati dan non-hayati yang terkandung di dalamnya.
Namun demikian, sejak awal tahun 1990-an phenomena degradasi
biogeofisik sumberdaya pesisir semakin berkembang dan meluas. Hal ini semakin diperburuk dengan menurunnya kualitas air laut akibat berbagai kegiatan manusia yang membuang limbahnya ke laut ataupun media lain yang bermuara ke laut.
Keterbatasan lahan di darat menjadi justifikasi untuk melakukan pembuangan ke
laut.
Salah satu kegiatan yang menjadi kunci untuk melaksanakan pengendalian pencemaran/perusakan laut, adalah mengetahui status lingkungan yang mengacu pada baku mutu air laut maupun baku kerusakan ekosistem pesisir baik terumbu
karang, mangrove maupun padang lamun.
Sehubungan dengan hal tersebut Kementerian Lingkungan Hidup yang berfungsi dalam koordinasi pengelolaan lingkungan hidup serta pemantauan dan pengawasannya, telah menerbitkan Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 1999
tentang pengendalian pencemaran/perusakan laut dengan beberapa Keputusan
Menteri/Peraturan Menteri/peraturan turunan dari PP tersebut yang
mencangkup antara lain tentang baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan
terumbu karang, pedoman pengukuran kondisi terumbu karang, kriteria baku
kerusakan padang lamun, kriteria baku kerusakan mangrove dan pedoman
penentuankerusakannya.
Sampai saat ini disadari bahwa untuk pelaksanaan PP 19/1999 tersebut
sedang dikembangkan peraturan pelaksanaan lainnya. Diharapkan dengan
semakin lengkapnya peraturan-peraturan dari turunan PP tersebut akan dapat
mendukung pelaksanaan pengendalian pencemaran/ perusakan laut.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Pemahaman terhadap berbagai perangkat peraturan terse but sangat
penting untuk memperlancar pelaksanaannya eli lapangan. Sehubungan dengan hal tersebut, maka sangat penting dilaksanakan penyebarluasan informasinya
dengan berbagai cara. Semoga buku ini bermanfaat bagi berbagai pihak terkait
untuk mendorong pelaksanaan peningkatan konservasi dan pengendalian kerusakan lingkungan wilayah pesisir dan laut.
Jakarta, Desember 2005
Deputi Bidang Konservasi Sumberdaya Alam
dan Pengendalian Kerusakan Lingkungan
Dra. Masnellyarti Hilman, MSc.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut ii
SUHERSANTO NIP. 510 070 622
DAFTAR lSI
Kata Pengantar ....................................................................... i
Daftar lsi ............................................................................ , iii
PP No. 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian danl atau Perusakan Laut ..... ,. 2
KEPMEN 51 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut ............................... 22
KEPMEN 179 2004 Tentang Ralat Atas Keputusan Menteri Negara
Lingkungan Hidup Nomor 51 Tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut ..... 34
KEPMEN 04 2001 Tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ...... 39
KEPDAL 472001 Tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu
Karang ... \ . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . . .. 46
KEPMEN 200 2004 Tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman
Penentuan Status Padang Lamun .................................................. 66 '
KEPMEN 201 2004 Tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan
Kerusakan Mangrove ............................................................... 84
iii Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
PP No. 19 Taboo 1999 tentang Pe1lgeJldalian Pencemamn
~ dan/ata,u Perusakan Laut
Z Mengatur tentang:
!:! 1. Perlindungan Mutu Laut
~ 2. P"'C<gID= P"'C<ffi=n Laut
~ 3. Pencegahan Perusakan Laut
~ 4. Penanggulangan Pencemaran danl atau Perusakan Laut
< 5. :t;>emulihan Mutu Laut
~ 6. Keadaan Darurat
" 7. Dumping
~ 8. Pengawasan
. 9. Pembiayaan
~ 10. Ganti Rugi
~
f'eraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA NOMOR 19 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ AT AU PERUSAKAN LAUT PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
Menimbang: a.
b.
c.
d.
Mengingat: 1. 2.
2
bahwa lingkungan laut beserta sumber daya alamnya berdasarkan Wawasan Nusantara merupakan salah satu bagian lingkungan hidup yang merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa, berfungsi sebagai ruang bagi kehidupan Bangsa; bahwa pengelalaan lingkungan laut beserta sumber daya alamnya bertujuan untuk memberikan manfaat sebesarbesarnya bagi kesejahteraan rakyat dan kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya baik masa sekarang maupun masa yang akan datang; bahwa meningkatnya kegiatan pembangunan di darat dan di laut maupun pemanfataan laut beserta sumber daya alamnya dapat mengakibatkan pencemaran danl atau perusakan lingkungan laut yang akhirnya menurunkan mutu serta fungsi laut; bahwa sehubungan dengan hal tersebut diatas, dipandang perlu menetapkan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Pencemaran danl atau Perusahaan Laut
Pasal5 ayat (2), Pasa133 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945; Undang-undang Namar 5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
ketentuan Pokok Kehutanan (Lembatan Negata Tahun 1967 Nomor 8, Tambahan Lembatan Negata N omot 2823);
3. Undang-undang Nomot 1 Tahun 1973 tentang Landas Kontinen Indonesia (Lembatan Negata Tahun 1973 Nomor 1, Tambahan Lembatan Negata Nomor 2994);
4. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah (Lembaran Negara Tahun 1974 Nomot 38, Tambahan Lembaran Negata Nomor 3037);
5. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1983 tentang Zona ekonomi Ekslusif Indonesia (Lembatan Negata Tahun 1983 Nomor 44, TambahanLembaran Negata Nomor 3260);
6. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1984 tentang Perindustrian (Lembaran Negara Tahun 1984 Nomor 22, Tambahan LembaranNegaraNomor 3274);
7. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan (Lembaran Negara Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
8. Undang-undang Nomor 17 Tahun 1985 tentang Pengesahan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Hukum Laut Tahun 1982;
9. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor3419);
10. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3493);
11. U ndang-undang N omor 24 Tahun 1992 tentang Penataan Ruang (Lembaran Negara Tahun 1992 Nomor 115, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3501);
12. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan Indonesia (Lembaran Negara Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3647);
13. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran N egara Tahun 1997 N omor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor3699);
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 3
I I
I I I
I I
I I
I I
I i
I
I
MEMUTUSKAN : Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ ATAU PERUSAKAN LAUT
BABI KETENTUAN UMUM
Pasa11 Dalam Peraturan Pemerintah ini, yang dimaksud dengan : 1. Ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur .terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek fungsional;
2. Pencemaran laut adalah masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, danl atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu danl atau fungsinya;
3. Baku mutu air laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada danl atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya di dalam air laut;
4. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik danl atau hayatinya yang melampaui kriteria baku kerusakan laut;
5. Kerusakan laut adalah perubahan fisik danl atau hayati laut yang melewati . kriteria baku kerusakan laut;
6. Kriteria baku kerusakan laut ~.dalah ukuran batas perubahan sifat fisik danl atau hayati lingkungan laut yang dapat ditenggang;
7. Status mutu laut adalah tingkatan mutu laut pada lokasi dan waktu tertentu yang dinilai berdasarkan baku mutu air laut danl atau kriteria baku kerusakan laut;
8. Perlindungan mutu laut adalah setiap upaya atau kegiatan yang dilakukan agar mutu laut tetap baik;
9. Pengendalian pencemaran danl atau perusakan laut adalah setiap upaya atau kegiatan pencegahan danl atau penangguiangan danl atau pencemaran danl atau perusakan laut;
10. Pembuangan (Dumping) adalah pembuangan limbah sebagai residu suatu usaha danl atau kegiatan danl atau benda lain yang tidak terpakai atau daluwarsa ke laut;
4 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
-----------------------------------------------f J
11. Limbah adalah sis a suatu us aha danl atau kegiatan;
12. Limbah eair adalah sisa dari proses usaha danl atau kegiatan yang berwujud eair;
13. Limbah padat adalah sisa atau hasil samping dari suatu usaha danl atau kegiatan
yang berwujud padat termasuk sampah;
14. Orang adalah orang perseorangan, danl atau kelompok orang, danl atau badan hukum;
15. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan;
16. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup;
Pasa12 Perlindungan mutu laut meliputi upaya atau kegiatan pengendalian peneemaran danl atau perusakan laut bertujuan untuk meneegah atau mengurangi turunnya mutu laut danl atau rusaknya sumber daya laut.
BABII PERLINDUNGAN MUTU LAUT
Pasa13 Perlindungan mutu laut didasarkan pada baku mutu air laut, kriteria baku kerusakan laut dan status mutu laut.
Pasa14 Baku Mutu Air Laut dan kriteria baku kerusakan laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan masukan dati Menteri lainnya dan Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait lainnya.
Pasa15 (1) Status mutu laut ditetapkan berdasarkan inventarisasi danl atau penelitian
data mum air laut, kondisi tingkat kerusakan laut yang mempengaruhi mutu
laut.
(2) Gubernur Kepala Daerah Tingkat I dapat menetapkan status mutu laut
berdasarkan pedoman teknis penetapan status mutu laut yang ditetapkan
oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
(3) Dalam hal Gubernur Kepala Daerah Tingkat I tidak menetapkan status mutu
. laut, maka Kepala Instansi yang bertanggung jawab menetapkan status mutu
laut.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 5
Pasa16 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis penilaian dan penetapan status mutu laut.
Pasal7 (1) Air laut yang mutunya memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai air
lautyang status mutunya berada pada tingkatan baik. (2) Air laut yang mutunya tidak memenuhi baku mutu air laut dinyatakan sebagai
air laut yang status mutunya berada pada tingkatan tereemar.
Pasal8 (1) Lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut dinyatakan
sebagai lingkungan laut yang status mutunya pada tingkatan baik. (2) Lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan laut
dinyatakan sebagai lingkungan laut yang status mutunya berada pada tingkatan rusak.
BAB III PENCEGAHAN PENCEMARAN LAUT
Pasal9 Setiap orang atau penanggung jawab usaha danl atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan peneemaran laut.
Pasa110 (1) Setiap penanggung jawab usaha danl atau kegiatan yang dapat menyebabkan
peneemaran laut, wajib melakukan peneegahan terjadinya peneemaran laut. (2) Setiap penanggung jawab usaha danl atau kegiatan yang membuang
limbahnya ke laut, wajib memenuhi persyaratan mengenai baku mutu air laut, baku mutu limbah eair, baku mutu emisi dan ketentuan-ketentuan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pasal11 Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis peneegahan peneemaran laut.
Pasa112 Limbah eair danl atau limbah padat dari kegiatan rutin operasional di laut wajib dikelola dan dibuang di sarana pengelolaan limbah eair danl atau limbah padat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
6 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
BABIV PENCEGAHAN PERUSAKAN LAUT
Pasal13 Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan dilarang melakukan perbuatan yang dapat menimbulkan kerusakan laut.
Pasa114 (1) Setiap penanggung jawab usaha dan/ atau kegiatan yang dapat
mengakibatkan kerusakan laut wajib melakukan pencegahan perusakan laut. (2) Kepala instansi yang bertanggung jawab menetapkan pedoman teknis
pencegahan perusakan laut.
BABV PENANGGULANGANPENCE~DANATAU
PERUSAKAN LAUT Pasal15
(1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/ atau perusakan laut wajib melakukan
penanggulangan pencemaran dan/ atau perusakan laut yang diakibatkan oleh kegiatannya.
(2) Pedoman mengenai penanggulangan pencemaran dan/ atau perusakan laut
sebagaimana dimaksud ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggurig jawab.
BABVI PEMULIHAN MUTU LAUT
Pasa116 (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
mengakibatkan pencemaran dan/ atau kerusakan laut wajib melakukan pemulihan mutu laut.
(2) Pedoman mengenai pemulihan mutu laut sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
BABVII KEADAAN DARURAT
Pasa117 (1) Dalam keadaan darurat, pembuangan benda ke laut yang berasal dari usaha
dan/ atau kegiatan di laut dapat dilakukan tanpa izin, apabila :
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 7
I
I
a. pembuangan benda dimaksudkan untuk menjamin keselamatan jiwa
kegiatan di laut. b. pembuangan benda sebagaimana dimaksud pada huruf a disebabkan oleh
adanya kerusakan pada peralatannya dengan syarat bahwa semua upaya pencegahan 5 yang layak telah dilakukan atau pembuangan tersebut
merupakan cara terbaik untuk mencegah kerugian yang lebih besar.
(2) Dalam keadaan darurat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pemilik danl atau penanggung jawab usaha danl atau kegiatan wajib dan segera
. memberitahukan kepada pejabat yang berwenang danl atau instansi yang
bertanggung jawab. (3) Pemberitahuan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) di atas, wajib
menyebutkan tentang benda yang dibuang, lokasi, waktu, jumlah dan
langkah-langkah yang telah dilakukan.
(4) Instansi yang menerima laporan wajib melakukan tindakan pencegahan meluasnya pencemaran danl atau kerusakan laut dan wajib melaporkan
kepada Menteri.
(5) Biaya penanggulangan pencemaran danl atau kerusakan laut serta pemulihan mutu laut yang ditimbulkan oleh keadaan darurat, ditanggung oleh
penanggung jawab usaha danl atau kegiatan.
BABVIII DUMPING
Pasal18 (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang
melakukan dumping ke laut wajib mendapat izin Menteri. (2) Tata cara dumping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan lebih
lanjut oleh Menteri. BABIX
PENGAWASAN Pasal19
(1) Menteri melakukanpengawasan terhadap penaatan penanggung jawab us aha
danl atau kegiatan yang dapat menyebabkan terjadinya pencemaran danl atau
perusakan laut. (2) Untuk melakukan pengawasan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Menteri
dapat menetapkan pejabat yang berwenang melakukan pengawasan.
8 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Pasal20 (1) Untuk melaksanakan tugasnya, pengawas sebagaimana dimaksud dalam
Pasal19 berwenang melakukan pemantauan, meminta keterangan, membuat salinan dari dokumen danl atau membuat catatan yang diperlukan, memasuki
temp at tertentu, mengambil contoh, memeriksa peralatan, memeriksa
instalasi danl atau alat transportasi, serta meminta keterangan dari pihak yang bertanggung jawab atas us aha danl atau kegiatan.
(2) Penanggung jawab usaha danl atau kegiatan yang dimintai keterangan . sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib memenuhi permintaan petugas
pengawas sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3) Setiap pengawas wajib memperlihatkan surat tugas danl atau tanda pengenal serta wajib memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan tersebut.
Pasa121 Setiap penanggung jawab usaha danl atau kegiatan, wajib :
a. mengizinkan pengawas memasuki lingkungan kerjanya dan membantu terlaksananya tugas pengawasan tersebut;
b. memberikan keterangan dengan benar, baik secara lisan maupun tertulis
apabila hal itu diminta pengawas; c. memberikan dokumen danl atau data yang diperlukan oleh pengawas;
d. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan contoh limbah atau barang lainnya yang diperlukan pengawas; dan
e. mengizinkan pengawas untuk melakukan pengambilan gambar danl atau melakukan pemotretan di lokasi kerjanya.
Pasa122 (1) Setiap orang atau penanggung jawab us aha dan/atau kegiatan wajib
menyampaikan laporan hasil pemantauan pengendalian pencemaran
danl atau perusakan laut yang telah dilakukan kepada instansi yang
bertanggung jawab, instansi teknis dan instansi terkait lainnya.
(2) Pedoman dan tata cara pelaporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
ditetapkan lebih lanjut oleh Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 9
BABX PEMBIAYAAN
Pasal23 (1) Biaya inventarisasi danl atau penelitian dalam rangka penetapan status mutu
laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah danl atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2) Biaya pengawasan penaatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 dibebankan pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara danl atau sumber dana lain sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
BABXI GANTIRUGI
Pasa124 (1) Setiap orang atau penanggung jawab usaha danl atau kegiatan yang
mengakibatkan pencemaran danl atau perusakan laut wajib menanggung biaya penanggulangan pencemaran danl atau perusakan laut serta biaya pemulihannya.
(2) Setiap orang atau penanggung jawab usaha danl atau kegiatan yang menimbulkan kerugian bagi pihak lain, akibat terjadinya pencemaran danl atau perusakan laut wajib membayar ganti rugi terhadap pihak yang dirugikan.
Pasa125 Tata cara perhitungan biaya, penagihan dan pembayaran ganti rugi sebagaimana dimaksud dalam Pasal18 ditetapkan lebih lanjut oleh Menteri.
BAB XII KETENTUAN PERALIHAN
Pasa126 Setelah diundangkannya Per~turan Pemerintah ini, setiap usaha danl atau kegiatan wajib menyesuaikan persyaratan berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
10 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
BABXIII KETENTUANPENUTUP
Pasa127 Pada saat berlakunya Peraturan Pemerintah ini semua peraturan perundangundangan yang berkaitan dengan pengendalian pencemaran dan/ atau perusakan laut yang te1ah ada tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan dan be1um diganti berdasarkan Peraturan Pemerintah ini.
Pasa128 Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Ditetapkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1999 PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
ttd.
BACHARUDDIN JUSUF HABIBIE
Diundangkan di Jakarta pada tanggal 27 Pebruari 1999 MENTER! NEGARA SEKRETARlS NEGARA REPUBLIK INDONESIA
ttd.
AKBAR TANDJUNG
LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 1999 NbMOR 32
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 11
PENJELASAN ATAS PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 19 TAHUN 1999
TENTANG
PENGENDALIAN PENCEMARAN DAN/ AT AU PERUSAKAN LAUT
A. UMUM
12
Sebagian besar wilayah Republik Indonesia berupa perairan laut yang letaknya sangat strategis. Perairan laut Indonesia selain dimanfaatkan sebagai sarana perhubungan laut lokal maupun internasional, juga memiliki sumber daya laut yang sangat kaya dan penting, antara lain sumber daya perikanan, terumbu karang, padang lamun, mangrove dan pada daerah pesisir dapat dimanfaatkan sebagai obyek wisata yang menarik. Laut juga mempunyai arti penting bagi kehidupan makhluk hidup seperti manusia, juga ikan, tumbuhtumbuhan dan biota laut lainnya. Hal ini menunjukkan bahwa sektor kelautan mempunyai potensi yang sangat besar untuk dapat ikut mendorong pembangunan di masa kini maupun masa depan. Oleh karena itu, laut yang merupakan salah 'satu sumber daya alam, sangat pedu untuk dilindungi. Hal ini berarti pemanfaatannya harus dilakukan dengan bijaksana dengan memperhitungkan' kepentingan generasi sekarang dan yang akan datang. Agar laut dapat bermanfaat secara berkelanjutan dengan tingkat mutu yang diinginkan, maka kegiatan pengendalian pencemaran dan/ atau perusakan laut menjadi sangat penting. Pengendalian pencemaran dan/ atau perusakan ini merupakan salah satu bagian dari kegiatan pengelolaan lingkungan hidup. 1. Pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya
makhluk hidup, zat, energi, dan/ atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/ atau fungsinya. Hal ini berarti, bahwa pedu ditetapkan baku mutu air laut yang berfungsi sebagai tolok ukur untuk menentukan telah terjadinya pencemaran laut. Selain itu juga sangat berguna bagi penentuan status mutu laut. Karena sangat erat kaitannya antara tingkat pencemaran laut dengan status mutu laut itu sendiri.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
2. Perusakan laut adalah tindakan yang menimbulkan perubahan langsung
danl atau tidak langsung terhadap sifat fisik danl atau hayatinya yang
melampaui kriteria baku kerusakan laut. Hal ini berarti bahwa perlu
ditetapkan kriteria baku kerusakan laut yang berfungsi sebagai tolok ukur
untuk menentukan tingkat kerusakan laut. Selain itu juga sangat berguna
bagi penentuan status mutu laut. Karena sangat erat kaitannya antara
tingkat kerusakan laut dengan status mutu laut itu sendiri.
3. Mengacu kepada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup menetapkan bahwa sasaran pengelolaan
lingkungan hidup adalah tercapainya keselarasan, keserasian dan
keseimbangan antara manusia dan lingkungan hidup dengan
mempertimbangkan generasi kini dan yang akan datang serta
terkendalinya pemanfaatan sumber daya secara bijaksana. Pengendalian
pencemaran danl atau perusakan laut mengacu kepada sasaran tersebut
sehingga pola kegiatannya terarah dan selaras dengan tetap
mempertimbangkan hak dan kewajiban serta peran masyarakat.
4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup juga menyebutkan hak setiap anggota masyarakat atas
lingkungan hidup yang baik dan sehat yang diikuti dengan kewajiban
untuk memelihara dan melestarikan fungsi lingkungan hidup, sehingga
setiap orang mempunyai peran yang jelas tentang hak dan kewajibannya
didalam upaya pengendalian pencemaran danl atau perusakan laut. 5. Peraturan Pemerintah ini dimaksudkan juga untuk melaksanakan tujuan
yang tercantum dalam peraturan perundang-undangan sebelumnya yang
ada kaitannya dengan masalah lingkungan hidup serta melaksanakan misi
yang tercantum dalam konvensi internasional yang berkaitan dengan
hukum laut atau pengendalian pencemaran danl atau perusakan laut.
Peraturan Pemerintah ini berkaitan sangat erat pula dengan pelaksanaan
Peraturan Pemerintah ten tang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan,
Peraturan Pemerintah ten tang Pengendalian Pencemaran Air, Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya Dan Beracun
dan Peraturan Pemerintah tentang Penyerahan Sebagian Urusan
Pengendalian Dampak Lingkungan ke Daerah.
6. Pengendalian Pencemaran danl atau perusakan laut merupakan kegiatan
yangmencakup:
Peraturan Pengenda/ian Kerusakan Pesisir & Laut 13
j I I
I I I ! I
I
I I I
I
I I
I i
a. Inventarisasi kualitas laut dilakukan dengan mempertimbangkan
berbagai kriteria yang ada dalam pengendalian pencemaran danl atau
perusakan laut.
b. Penetapan baku mutu air laut dan kriteria baku kerusakan laut yang
digunakan sebagai tolok ukur utama pengendalian pencemaran
danl atau perusakan laut.
c. Pemantauan kualitas air laut dan pengukuran tingkat kerusakan laut
yang diikuti dengan pengumpulan hasil pemantauan yang dilakukan
oleh instansi lain, evaluasi dan analisis terhadap hasil yang diperoleh
serta pembuatan laporan.
d. Penetapan status mutu laut di suatu daerah.
e. Perencanaan dan pelaksanaan kebijakan pengendaliannya untuk
mempertahankan mutu laut agar tetap baik atau memperbaiki mutu
laut yang telah tercemar atau rusak.
f. Pengawasan terhadap penaatan peraturan pengendalian pencemaran
danl atau perusakan laut termasuk penaatan mutu limbah yang
dibuang ke laut danl atau penaatan terhadap kriteria baku kerusakan
laut serta penindakan, pemulihan dan penegakan hukumnya.
B. PASAL DEMI PASAL Pasa11
Angka 1
Unsur terkait adalah semua benda, daya, keadaan, dan
makluk hidup yang ada di laut.
Angka2
Cukup jelas
Angka 3
Cukup jelas
Angka 4
Cukup jelas
Angka 5
Cukup jelas
Angka 6
Cukup jelas
Angka 7
Cukup jelas
14 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Angka8
Yang dimaksud mutu !aut tetap baik adalah mutu laut sarna atau di bawah ambang batas baku mutu air laut atau kriteria baku kerusakanlaut.
Angka 9 Cukup jelas
Angka 10 Cukup jelas
Angka 11 Cukup jelas
Angka 12 Cukup jelas
Angka 13 Cukup jelas
Angka 14 Cukup jelas
Angka 15 Cukup jelas
Angka 16 Cukup jelas
Pasal2 Cukup jelas
Pasal3 Cukup jelas
Pasal4 Baku mutu air laut ditetapkan berdasarkan peruntukannya, antara lain: baku mutu air laut untuk pariwisata dan rekreasi (mandi, renang, dan selam); baku mutu air laut untuk konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Sedangkan kriteria baku kerusakan laut ditetapkan berdasarkan pada kondisi fisik ekosistem laut yaitu antara lain: terumbu karang, mangrove dan padang lamun.
Pasal5 Ayat (1)
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 15
Pasal6
Pasal7
Pasal8
Pasal9
Ayat (3) Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parameter mutu air laut yang diukur berada dalam batas atau sesuai dengan ketentuan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri .
Yang dimaksud dengan tidak memenuhi baku mutu air laut adalah jika nilai atau kadar parameter mutu air laut yang diukur tidak berada dalam batas atau tidak sesuai dengan ketentuan baku mutu air laut yang ditetapkan oleh Menteri.
Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang memenuhi kriteria baku kerusakan laut adalah jika kondisi fisik lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam : Kondisinya "baik" sampai "baik sekali", untuk terumbu karang. Kondisinya "sedang" sampai "sangatpadat", untukmangrove. Kondisinya "kaya" sampai "sangat kaya", untuk padang lamun.
Ayat(2) .
Yang dimaksud dengan lingkungan laut yang tidak memenuhi kriteria baku kerusakan adalah jika kondisi fisik lingkungan laut yang dimaksud antara lain berada dalam : Kondisinya "sedang" sampai "buruk", untuk terumbu karang. Kondisinya "jarang" sampai "sangatjarang", untukmangrove.
Kondisinya "agak miskin" sampai "miskin", untuk padang lamun.
Cukup jelas
16 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Pasal10
Pasal11
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Cukupjelas Pasal12
Yang dimaksud limbah padat adalah termasuk sampah.
Pasal13
Yang dimaksud dengan kegiatan rutin operasional di laut antara lain: kapal, kegiatanlepas pantai (off shore) dan perikanan.
Cukupjelas Pasal14
Pasal15
Pasa116
Pasal17
Ayat(1)
Ayat (2)
Kewajiban untuk melakukan pencegahan dimaksud merupakan upaya untuk mengurangi terjadinya kemungkinan resiko terhadap setiap ekosistem laut berupa terjadinya perusakan.
Cukupjelas
Ayat(1) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas
Ayat(l) Cukupjelas Ayat(2) Cukupjelas
Ayat(1)
Yang dimaksud dengan keadaan darurat adalah suatu keadaan yang memerlukan penanggulangan sesegera mungkin sehingga mengesampingkan prosedur normal.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 17
Yang dimaksud dengan benda adalah barang dan/atau bahan danl atau zat danl atau limbah.
Ayat (2) Yang dimaksud dengan pejabat yang berwenang antara lain
Pasal18
Ayat (3)
Menteri Perhubungan, Menteri Pertambangan dan Energi, dan Menteri Kehutanan dan Perkebunan.
Cukup jelas Ayat (4)
Cukup jelas Ayat (5)
Ayat (1)
Ayat (2)
Cukup jelas
Cukup jelas
Dalam rangka menetapkan tata cara dumping, Menteri wajib melakukan koordinasi dengan instansi terkait.
Pasal19
Pasal20
18
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (1)
Cukup jelas
Dalam hal menetapkan pejabat yang berwenang dari instansi lain untuk melakukan pengawasan, Menteri melakukan koordinasi dengan pimpinan instansi yang bersangkutan.
Cukup jelas Ayat (2)
Ayat (3)
Cukup jelas
Yang dimaksud dengan memperhatikan situasi dan kondisi tempat pengawasan adalah menghormati nilai dan norma yang berlaku baik tertulis maupun yang tidak tertulis.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Pasal21 Cukup jelas
Pasal22
Pasal23
Pasal24
Pasal25
Pasal26
Pasal27
Pasal28
Ayat (1)
Ayat (2)
Ayat (1)
Laporan tentang kegiatan pengendalian pencemaran danl atau . yang disampaikan antara lain berisi hasil pemantauan kualitas dan kuantitas limbah yang dibuang ke· laut, kinerja instalasi pengolahan ait limbah, luas penambangan pasir atau batu yang telah dilakukan dan upaya minimalisasi dampak, reklamasi pantai.
Cukup jelas
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (1) Cukup jelas
Ayat (2) Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
Cukup jelas
TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR3816
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 19
K"" Mt.ttft _fa U",kungl" Hklup ten_", Blku Mutu Air Llut
Nomot 51 ~hu,,_
Baku Mutu Air Laut
adalah:
20 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Penetapan Baku Mutu Air Laut meliputi:
1. Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan 2. Baku Mutu Air Laut untuk Wisata Bahari 3. Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut
Hal yang perlu menjadi perhatian:
1. Baku Mutu Air Laut ini ditinjau seeara berkala sekurang-kurangnya sekali dalarn 5 (lima) tahun;
2. Daerah dapat menetapkan Baku Mutu Air Laut sarna atau lebih ketat dari Baku Mutu Air Laut yang telah ditetapkan dalam Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup N omor 51 Tahun 2004;
3. Daerah dapat menetapkan parameter tambahan disesuaikan dengan kondisi ekologis daerah yang bersangkutan;
4. Gubernur, Bupati/Walikota wajib melaksanakan kegiatan pemantauan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali dalarn setahun;
5. Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air laut, Gubernur, Bupati/Walikota menindaklanjuti dengan program pengendalian peneemaran air laut;
6. Kawasan perairan laut diluar perairan pelabuhan dan wisata bahari mengaeu kepada Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 21
KEPUTUSAN MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR: 51 TAHUN 2004
TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Menimbang: a. bahwa untuk menjaga kelestatian fungsi lingkungan laut
Mengingat:
22
perlu dilakukan upaya pengendalian terhadap kegiatan
kegiatan yang dapat mencemari dan atau merusak
lingkungan laut;
b. bahwa sebagai salah satu sarana pengendalian pencemaran
dan atau perusakan lingkungan laut, perlu ditetapkan Baku
MutuAir Laut;
c. bahwa dalam melaksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 19 tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan atau Perusakan Laut, penetapan Baku
Mutu Air Laut ditetapkan oleh Menteri Negara
Lingkungan Hidup dengan mempertimbangkan masukan
dati Menteri lainnya; d. bahwa dengan memperhatikan implementasi di lapangan
perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Keputusan Menteri Lingkungan Hidup Nomor 02 Tahun 1988
tentang Baku Mutu Lingkungan, khususnya BAB N Pasal 11;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan a, b, c dan d di atas,perlu
ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Baku Mutu Air Laut;
1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran
N egara Republik Indonesia N omor 3427);
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 78, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia N omor 3647);
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 98, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3699);
4. Undang-undangNomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
(Lembaran N egara Republik Indonesia Tahun 1992
Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3647);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomar 60, Tambahan Lembaran
N egara Republik Indonesia N amor 3839); 6. Peraturan Pemerintah Nomar 19 Tahun 1999 tentang
pengendalian Pencemaran dan atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999
Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia nomor 3816);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi
Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3952); 8. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara RepublikIndonesia Nomor 4145);
9. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja Menteri Negara;
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 23
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT
Pasal1 Dalam keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Laut adalah ruang wilayah lautan yang merupakan kesatuan geografis beserta
segenap unsur terkait padanya yang batas dan sistemnya ditentukan
berdasarkan aspek fungsional;
2. Baku Mutu Air Laut adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat,
energi atau komponen yang ada atau harus ada dan atau unsur pencemar yang
ditenggang keberadaannya di dalam air laut;
3. Pelabuhan adalah tempat yang terdiri dari daratan dan perairan di sekitarnya
dengan batas-batas tertentu sebagai temp at kegiatan pemerintahan dan
kegiatan ekonomi yang dipergunakan sebagai temp at kapal bersandar,
berlabuh, naik turun penumpang dan atau bongkar muat barang yang
dilengkapi dengan fasilitas keselamatan pelayaran dan kegiatan penunjang
pelabuhan serta sebagai temp at perpindahan intra dan antar moda
transportasi;
4. Wisata Bahari adalah kegiatan rekreasi atau wisata yang dilakukan di laut dan
pantai;
5. Biota laut adalah berbagai jenis organisme hidup di perairan laut;
6. Menteri adalah Menteri yang ditugasi mengelola lingkungan hidup dan
pengendalian dampak lingkungan.
Pasal2 Menetapkan Baku Mutu Air Laut ini meliputi Baku Mutu Air Laut untuk Perairan
Pelabuhan, Wisata Bahari dan Pelabuhan, Wisata Bahari dan Biota Laut.
Pasa13 (1) Baku Mutu Air Laut untuk Perairan Pelabuhan adalah sebagaimana dimaksud
dalam Lampiran I Keputusan ini. (2) Baku Mutu Air Laut untuk Wisata
Bahari adalah sebagaimana dimaksud dalam Lampiran II Keputusan ini.
24 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
(2) Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut adalah sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran III Keputusan ini. (3) Baku Mutu Air Laut sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), (2), dan ayat (3)
ditinjau seeara berkala sekurang-kurangnya sekali dalam 5 (lima) tahun.
Pasal4 (1) Daerah dapat menetapkan Baku Mutu Air Laut sama atau lebih ketat dari
Baku Mutu Air Laut yang telah ditetapkan dalam Keputusan ini. (2) Dalam hal daerah telah menetapkan Baku Mutu Air Laut lebih longgar
sebelum ditetapkannya Keputusan ini, maka Baku Mutu Air Laut terse but
perlu disesuaikan dengan Keputusan ini selambat-lambatnya dalam jangka
waktu 2 (dua) tahun sejak tanggal ditetapkannya Keputusan ini.
(3) Daerah dapat menetapkan parameter tambahan disesuaikan dengan kondisi
ekologis daerah yang bersangkutan.
(4) Apabila daerah belum menetapkan Baku Mutu Air Laut, maka yang berlaku
adalah Baku Mutu Air laut seperti dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini.
Pasal6 (1) Untuk mengetahui kualitas air laut di daerah, Gubernur, Bupati/Walikota
wajib melaksanakan kegiatan pemantauan sekurang-kurangnya 2 (dua) kali
dalam setahun.
(2) Berdasarkan hasil pemantauan kualitas air laut, Gubernur, Bupati/Walikota
menindaklanjuti dengan program pengendalian peneemaran air laut.
Pasa17 Kawasan perairan laut diluar Perairan Pelabuhan dan Wisata Bahari mengaeu
kepada Baku Mutu Air Laut untuk Biota Laut.
Pasal8 Dengan berlakunya Keputusan ini, maka Keputusan Menteri Negara
Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor : Kep-02/MENKLH/I/1988
Tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan Bab N beserta lampirannya
dinyatakan tidak berlaku lagi.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 25
Pasal9 Keputusan ini mulai berlalru pada tanggal ditetapkan:
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Ke1embagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
Ditetapkan di : Jakarta pada tanggal : 8 April 2004
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
Ttd
Nabiel Makarim,MPA.,MSM.
26 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK PERAIRAN PELABUHAN
Kecerahan' Kebauan Padatan Tersuspensi totalb
Sampah Suhu' Lapisan minyak'
pHd Salinitas' Ammonia total (NH,-N) Sulfida (H,S) Hidrokarbon total PCB (poliklor bifenil) Senyawa Fenol Total Surfaktan (detergen) Minyak dan Lemak TBT (tri butil tin)'
Logam terlarut : 11. Raksa (Hg) 12. Kadmium (Cd) 13. Tembaga (Cu) 14. Timbal (Pb) 15. Seng (Zn)
BIOLOGI 1. Coliform (total) f
Keterangan:
m
mgll
%0 mgll mgll mgll mgll ~gll
mgll MBAS mgll ~gll
mgll mgll mgll mgll mgll
Lampiran I. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 20.04
>3 tidak berbau
80 nihil 1(4)
alami'(C) nihil 1(')
6,5 - 8,5 (d)
alami'(') 0,3
0,03 1
0,002 0,01
1 5
0,01
0,003 0,01 0,05 0,05 0,1
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik internasional maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang, malam dan musim)
4. Pengamatanolehmanusia (visual). 5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan
tipis (thin layer) dengan ketebalan O,Olmm
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 27
6. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan < 1 0% kedalaman
euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata-
rata musiman
c.' Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2°e dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata
musiman f. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata
rata musiman
Menteri N egara Lingkungan Hidup,
Ttd
NabielMakarim,MPA.,MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungap Hidup,
Hoetomo; MPA.
28 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK WISATA BAHARI
Kecerahan' Kekeruhan' Padatan tersuspensi totalb
Suhuc
Sampah Lapisan minyak5
KIMIA pH' Salinitas' Oksigen Terlarut (~O) B005 Amoniak bebas ((NH,·N) Fosfat (PO.·P) Nitrat (NO,·N) Sulfida (H,S) Senyawa Fenol PAH (Poliaromatik hidrokarbon) PCB (poliklor bifenil) Surfaktan (detergen) Minyak & lemak Pestis ida'
Logam lerlarul : 15. Raksa (Hg) 16. Kromium heksavalen (Cr(VI)) 17. Arsen (As) 18. Kadmium (Cd) 19. Tembaga (Cu) 20. Timbal (Pb) 21. Seng (Zn) 22. Nikel (Ni)
BIOLOGI 1. E Coliform (faecal) 9
2. Coliform (total) ,
RADIO NUKLIDA 1. Komposisi yang tidak
diketahui
PI. Co
m NTU mgtl DC
%0 mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl JJgtl
mgtl MBAS mgtl JJgtl
mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl
MPNt100 MPNt100
Bqtl
Larnpiran II. Kepulusan Menleri Negara Lingkungan Hidup Nornor: 51 Tahun 2004
30 Tidak berbau
>6 5
20 alami'I') nihil 'I') nihil '(5)
7.8,5 I') alami'IO)
>5 10
nihil' 0,015 0,008 nihil' nihil' 0,003 nihil' 0,001
1 nihil 'In
0,002 0,002 0,025 0,002 0,050 0,005 0,095 0,075
200 1')
10001')
4
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 29
Keterangan: 1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan (sesuai
dengan metode yang digunakan) 2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada, baik
internasional maupun nasional. 3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang,
malam dan musim) 4. Pengamatan oleh manusia (visual). 5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah lapisan
tipis (thin layer) dengan ketebalan O,Olmm
5. a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman
euphotic b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2
musiman c. Diperbolehkan terja~ perubahan sampai dengan <2°C dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata
musiman f. Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata
rata musiman
MenteriNegara Lingkungan Hidup, ttd NabielMakarim, MPA., MSM.
salli,.an sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
30 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
BAKU MUTU AIR LAUT UNTUK BIOTA LAUT
FISIKA 1. Kecerahan'
2. Kebauan 3. Kekeruhan' 4. Padatan tersuspendi totalb
5. Sampah 6. Suhuo
7. Lapisan minyak5
KIMIA
1. pHd
2. Salinitas'
3. Oksigen berlarut (DO) 4. BOD5 5. Ammonia total (NH,-N) 6. Fosfat (PO,-P) 7. Nitrat (NO,-N) 8. Sianida (CN') 9. Sulfida (H,S) 10. PAH (Poliaromatik hidrokarbon) 11. Senyawa Fenol total 12. PCB total (poliklor bifenil)
13. Surfaktan (deterjen) 14. Minyak & lemak 15. Pestisidaf
16. TBT (tributil tin) 7
m
NTU mgl
·C
%0
mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl mgtl IJgtl
Lampiran III. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 51 Tahun 2004
coral >5 mangrove -lamun: > 3
alami' <5
co ret 20 mangrove: 20
lamun: 20 nihil'I')
alami'IO)
corat 28-30 (0)
mangrove: 28-32 (0)
lamun : 28-30 (0)
nihil'(5)
7-8,5 (d) coral: 33-34 (.)
alami mengrove : std 34 (.)
lamun : 33-34 (.) >5 20 0,3
0,015 0,008
0,5 0,01
0,003 0,002 0,01
mgtl MBAS mgtl 1 IJgtl 0,01 IJgtl 0,01
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 31
Logam terlarut : 17. Raksa (Hg) mg/l 0,001 18. Kromium heksavalen (Cr(VI)) mg/l 0,005
19. Arsen (As) mg/l 0,012 20. Kadmium (Cd) mg/l 0,001 21. Tembaga (Cu) mg/l 0,008 22. Timbal (Pb) mg/l 0,008 23. Seng (Zn) mg/l 0,05 24. Nikel (Ni) mg/l 0,05
BIOLOGI 1. Coliform (total)9 MPN/100 ml 100019) 2. Patogen sel/100 ml nihil' 3. Plankton sel/100 ml tidak bloom'
RADIO NUKLIDA 1. Komposisi yang tidak diketahui 8q/l 4
Catatan:
1. Nihil adalah tidak terdeteksi dengan batas deteksi alat yang digunakan
(sesuai dengan metode yang digunakan)
2. Metode analisa mengacu pada metode analisa untuk air laut yang telah ada,
baik internasional maupun nasional.
3. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, bervariasi setiap saat (siang,
malam dan musim).
4. Pengamatan oleh manusia (visual ).
5. Pengamatan oleh manusia (visual). Lapisan minyak yang diacu adalah
lapisan tipis (thin layer) denganketebalan O,Olmm
6. Tidak bloom adalah tidak terjadi pertumbuhan yang berlebihan yang dapat
menyebabkan eutrofikasi.Pertumbuhan plankton yang berlebihan
dipengaruhi oleh nutrien, cahaya, suhu, kecepatan arus, dankestabilan
plankton itu sendiri.
7. TBT adalah zat antifouling yang biasanya terdapat pada cat kapal
32
a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman
euphotic
b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi
rata2 musiman
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
c. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <2°C dari suhu alami d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0,2 satuan pH e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata-rata
musiman
£ Berbagai jenis pestisida seperti: DDT, Endrin, Endosulfan dan Heptachlor
g. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi ratarata musiman
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 33
KEPUTUSAN MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR 179 TAHUN 2004 TENTANG
SALIN AN
RALAT ATAS KEPUTUSAN MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 51 TAHUN 2004 TENTANG
BAKU MUTU AIR LAUT
MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Menimbang : a. bahwa untuk menjaga ke1estarian fungsi lingkungan laut perlu
dilakuka~ upaya pengendalian terhadap kegiatan-kegiatan
yang dapat mencemari dan atau merusak lingkungan laut;
b. bahwa sebagai salah satu sarana pengendalian pencemaran
dan atau perusakan lingkungan laut, perlu ditetapkan Baku
Mutu Air Laut; c. bahwa dalam me1aksanakan ketentuan Pasal 4 Peraturan
Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian
Pencemaran dan atau Perusakan Laut, Penetapan Baku Mutu
Air Laut ditetapkan oleh Menteri Negara Lingkungan Hidup
dengan mempertimbangkan masukan dari Menteri lainnya;
d. bahwa dengan memperhatikan implementasi di lapangan
perlu dilakukan penyempurnaan terhadap Keputusan
Menteri Negara Kependudukan Dan Lingkungan Hidup
Nomor KEP-02/ MENKLH/ 1/ 1988 tentang Pedoman
Baku Mutu Lingkungan, khususnya BAB N Pasal11;
e. bahwa berdasarkan pertimbangan a, b, c dan d di atas, perlu
ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
tentang Baku Mutu Air Laut;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang
Kepariwisataan Indonesia (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1990 Nomor 78, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3427);
34 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
2. Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 tentang Perairan
Indonesia (Lembaran N egara Republik Indonesia Tahun
1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3647);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia N omor 3699);
4. Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 tentang Pelayaran
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor
98, Tambahan Lembaran N egara Republik Indonesia Nomor
3493);
5. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ten tang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
N egara Republik Indonesia N omor 3839);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan atau" Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia N omor
3816); 7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 3952);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 69 Tahun 2001 tentang
Kepelabuhanan (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2001 Nomor 127, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4145);9. Keputusan Presiden
Nomor 2 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Keputusan
Presiden Nomor 101 Tahun 2001 tentang Kedudukan, Tugas,
Fungsi, Kewenangan, Susunan Organisasi, Dan Tata Kerja
MenteriNegara;
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 35
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG RALAT ATAS KEPUTUSAN MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP NOMOR 51 TAHUN 2004
TENTANG BAKU MUTU AIR LAUT.
Pasal I
Tertulis : "Pasal3, Pasa15, Pasal6, Pasal 7, Pasa18 dan Pasal9." Seharusnya : "Pasal3, Pasa14, Pasal5, Pasa16, Pasal7 dan Pasa18."
Pasal II
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
ttd
Hoetomo, MPA.
Ditetapkan di: Jakarta pada tanggal : 14 September 2004
MenteriNegara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabie1 Makarim, MPA.,MSM.
36 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Manfaat Terumbu Karang:
r-\:zlam skala loka~ terumbu karang sangat penting bagi pertumbuhan V sumberdqya perikanan, penghalang terjadi1!Ja pengikisan pantai, dan keindahan1!Ja sangat berguna untuk mey!jadi dqya tarik wisata. Ditingkat globa~ terumbu karang penting arti1!Ja karena berguna untuk mengendapkan kalsium yang mengalir dari sungai ke laut dan me1!Jerap C02 (sangat penting dalam konteks stabilisasi konsentrasi gas rumah kaca). Dengan demikian, kelestarian ekosistem terumbu karang ini sangat penting untuk dijaga agar dapat me1!Jediakan hasil tangkapan ikan, kerang, dan rumput laut yang melimpah; lapangan pekerjaan bagi jutaan orang; serta berkontribusi dalam peningkatan pendapatan daerah dan negara.
Ancaman Terhadap Terumbu Karang 1. Pencemaran mi1!Jak dan industri; 2. Sedimentasi akibat kegiatan penebangan hutan, erosi, pengerukan dan
penambangan; 3. Peningkatan suhu permukaan laut; 4. Buangan air limbah panas dari pembangkit tenaga listrik; 5. Pencemaran limbah domestik dan kelimpahan nutrien; 6. Penggunaan bahan peledak sebagai alatpenangkapan ikan; 7. Pengambilan karang dengan sengqja untuk keperluan aquarium dan
diperdagangkan sebagai cendra mat a; dan 8. Perusakan akibat labuh jangkar kapal/ perahu motor.
Hal-hal Yang Penting Diperhatikan Untuk Menjaga Ke/estarian Terumbu Karang:
1. Mengendalikan/ meminimalkan penambangan karang untuk bangunan;
2. Mencegah kegiatan pengerukan atau kegiatan lain1!Ja yang dapat me1!Jebabkan tet:jadi1!Ja endapan
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Mencegah masuknya bahan pencemar dan pelimpahan nutrien ke lingkungan terumbu karang; Menghentikan penggunaan bahan peledak dan racun untuk penangkapan ikan karang;
Menentukan batasan maksimum pengambilan terumbu karang dan ikan karang dan kerang-kerangan; Mempromosikan wisata bahari yang ramah lingkungan (tidak merusak karang); Mencegah terjadinya perubahan ekstrim salinitas air laut akibat kegiatan industri, hal ini dapat dicegah dengan mengatur kecepatan pembuangan limbah ke laut; Mencegah terjadinya perubahan ekstrim suhu air laut dari suhu normalnya air laut di lokasi tersebut, dengan cara menggunakan kolam pendingin untuk menetralkan suhu limbah cair sebelum dibuang ke laut. Pengambilan karang dengan sengaja untuk keperluan aquarium dan diperdagangkan sebagai cendra mata; dan Perusakan akibat labuh jangkar kapallperahu motor.
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 4 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang.
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG
Persentase Luas TutupanTerumbu Karang yang Hidup
25 -49,9
Baik Baik 50 -74,9
Baik Sekali 75 - 100
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR : 04 TAHUN 2001
TENTANG
SALINAN
KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU KARANG
MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Menimbang: a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang
mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat temp at
berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati laut;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya kegiatan pembangunan
telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu
karang, oleh karena itu perlu dilakukan berbagai upaya
pengendaliannya;
c. bahwa salah satu upaya untuk melindungi terumbu karang dari
kerusakan tersebut dilakukan berdasarkan kriteria baku
kerusakan;
d. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, b dan c,
perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
(Lembaran Negara RepublikIndonesia Tahun 1985 Nomor 46;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3299);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68; Tambahan Lembaran N egara N omor
3699);
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 39
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesi~ Tahun 1999
Nomor 60; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan I atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32;
TambahanLembaranNegaraNomor3816);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis
Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 59; Tambahan
Lembaran Negara Nomor 3838);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai
Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor
3952);
MEMUTUSKAN : Menetapkan: KEPUTUSAN MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN TERUMBU
KARANG
BABI KETENTUAN UMUM
Pasal1 Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Terumbu Karang adalah kumpulan karang dan atau suatu ekosistem karang
yang dibangun terutama oleh biota laut penghasil kapur bersama-sama
dengan biota yang hidup di dasar laut lainnya serta biota lain yang hidup
bebas di dalam perairan sekitarnya;
2. Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang adalah ukuran batas perubahan
sifat fisik dan atau hayati terumbu karangyang dapat ditenggang;
3. Status kondisi terumbu karang adalah tingkatan kondisi terumbu karang pada
suatu lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria
baku kerusakan terumbu karang dengan menggunakan prosentase luas
tutupan terumbu karangyang hidup;
40 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
4. Menteri adalah Menteri yang ditugasi untuk mengelola lingkungan hidup; 5. Gubernur adalah Kepala Daerah Propinsi; 6. Bupati/Walikota adalah Kepala Daerah Kabupaten/Kota; 7. Instansi yang bertanggung jawab adalah instansi yang bertanggung jawab di
bidang pengendalian dampak lingkungan; 8. Instansi yang bertanggung jawab di daerah adalah instansi yang bertanggung
jawab di bidang pengendalian dampak lingkungan atau pengelolaan lingkungan hidup daerah.
BABII KRITERIA BAKU KERUSAKAN, STATUS KONDISI, DAN
PROGRAM PENGENDALIAN KERUSAKAN TERUMBU KARANG
Bagian Pertama Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang
Pasa12 (1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang ditetapkan berdasarkan
prosentase luas tutupan terumbu karang yang hidup. (2) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) tercantum dalam lampiran I Keputusan ini. Pasa13
(1) Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang sebagaimana dimaksud dalam Pasal2 ayat (1) merupakan salah satu cara untuk menentukan status kondisi terumbu karang yang didasarkan pada penggunaan metode Transek Garis Bentuk Pertumbuhan Karang.
Bagian Kedua Status Kondisi Terumbu Karang
Pasa14 (1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan inventarisasi terumbu karang
sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun sekali untuk mengetahui status kondisi terumbu karang dan menyampaikan laporannya kepada Menteti dan instansi yang bertanggung jawab.
(2) Gubernur/Bupati/Walikota menentukan status kondisi terumbu karang dati hasil inventarisasi yang dilakukan sebagai~na dimaksud dalam ayat (1)
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 41
berdasarkan Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang dapat ditentukan:
a. terumbu karang dalam kondisi baik; atau
b. terumbu karang dalam kondisi rusak.
(3) Pedoman pengukuran untuk menetapkan status kondisi terumbu karang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan lebih lanjut dengan
Keputusan Kepala instansi yang bertanggung jawab.
Pasal5 Gubernur/Bupati/Walikota wajib mempertahankan status kondisi terumbu
karang yang dinyatakan dalam kondisi baik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4
ayat (2) huruf a.
Bagian Ketiga Program Pengendalian Kerusakan
Terumbu Karang Pasa16
(1) Gubernur/Bupati/Walikota wajib menyusun program pengendalian
kerusakan terumbu karang yang dinyatakan dalam kondisi rusak
sebagaimana dimaksud dalam Pasal4 ayat (2) huruf b.
(2) Program pengendalian terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) meliputi pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan.
(3) Pedoman tentang tata cara pencegahan, penanggulangan, dan pemulihan
kerusakan terumbu karang sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tercantum
dalam lampiran II Keputusan ini.
Pasa17 Dalam rangka pelaksanaan program pengendalian kerusakan terumbu karang
Gubernur/Bupati/Walikota wajib melakukan pema~tauan dan evaluasi terhadap
kondisi terumbu karang sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun sekali dan
menyampaikan laporannya kepada Menteri, instansi yang berwenang di bidang
kehutanan, instansi yang berwenang di bidang kelautan dan perikanan serta
instansi yang bertanggungjawab.
Pasa18 Menteri menetapkan kebijakan nasional mengenai pengendalian kerusakan
terumbu karang.
42 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
BAB III PENGAWASAN DAN PELAPORAN
Pasa19 (1) Gubernur/Bupati/Walikota melakukan pengawasan terhadap usaha dan
atau kegiatan yang eliperkirakan dapat merumbulkan kerusakan terhadap
terumbu karang.
(2) Dalam hal pengawasan tersebut dilakukan eli kawasan konservasi wajib
elikoorelinasikan dengan instansi yang berwenang eli bidang kehutanan,
instansi yang berwenang eli bidang kelautan dan perikanan serta instansi yang
bertanggung jawab.
Pasall0 (1) Setiap orang yang menduga atau mengetahui kerusakan atau perusakan
terumbu karang, wajib segera melaporkan kepada pejabat daerah terdekat.
(2) Pejabat daerah terdekat sebagaimana elimaksud dalam ayat (1) tereliri dari
Kepala Desa, Lurah, Camat,
BABV KETENTUANPENUTUP
Pasa114
Keputusan ini mulai berlaku pada
tanggal ditetapkan.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi III MENLH
Bidang Hukum Lingkungan,
ttd.
Ditetapkandi : Jakarta
pada tanggal : 23 Pebruari 2001
Menteri N egara
Lingkungan Hidup,
ttd.
Dr. A. Sonny Keraf.
Prof. Dr. Sudharto P. Hadi, MES.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 43
OMAN PENGUKURAN UMBUKARANG
• • • • •
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Metoda:
Transek Garis Bentuk Pertum
pedoman Umum dapat dilihat pa
Keputusan Kepa/a
Badan Pengendalian Dampak Lingkungan
Nomor 47 Tahun 2001
ten tang
Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
KEPUTUSAN
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN NOMOR: 47 TAHUN 2001
TENTANG PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG
KEPALA BADAN PENGENDALIAN DAMPAK LINGKUNGAN
Merumbang: a. bahwa terumbu karang merupakan sumber daya alam yang mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat temp at
berkembang biak dan berlindung bagi sumber daya hayati
laut; b. bahwa dengan semakin meningka tnya kegiatan
pembangunan telah menimbulkan dampak terhadap kerusakan terumbu karang, oleh karena itu perlu dilakukan
berbagai upaya pengendaliannya;
c. bahwa dalam rangka untuk mengetahui tingkat kerusakan terumbu karang, diperlukan suatu ukuran untuk menilai kondisi terumbu karang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam huruf a, b dan c, perlu ditetapkan Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan tentang Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 tentang Perikanan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor
46, TambahanLembaranNegaraNomor 3299);
2. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan LembaranNegara Nomor 3419);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara
Nomor 3699); 4. U ndang-undang N omor 22 Tahun 1999 tentang
Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik
46 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
5. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/ atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 32, TambahanLembarah Negara Nomor 3816);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor -59, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3838);
7. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi Sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2000 Nomor 54; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
8. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-45 /MENLH/ 11/1996 ten tang Program Pantai Lestari;
9. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KEP-47/MENLH/ll/1996 tentang Penetapan Prioritas Propinsi Daerah Tingkat I Program Pantai Lestari;
10. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 04 Tahun 2001 tentang Kriteria Baku Kerusakan Terumbu Karang;
MEMUTUSKAN : Menetapkan: KEPUTUSAN KEPALA BADAN PENGENDALIAN
DAMPAKLINGKUNGANTENTANGPEDOMANPENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
Pasall 1. Pengukuran kondisi terumbu karang adalah kegiatan
pengukuran tingkat kerusakan terumbu karang pada suatu tempat dan waktu tertentu;
2. Terumbu karang adalah kumpulan karang dan atau suatu
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 47
48
/ ekosistem karang yang dibangun terutama oleh biota laut
penghasil kapur bersama-sama dengan biota yang hidup di
dasar laut lainnya serta biota lain yang hidup bebas di dalam
perairan sekitarnya;
Pasal2 1. Pedoman Pengukuran Kondisi Terumbu Karang adalah
sebagaimana dimaksud dalam Lampiran Keputusan ini. 2. Penetapan pedoman pengukuran sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) bertujuan menyediakan acuan bagi petugas pemantau, pengawas, peneliti, penyidik dan pihak yang
berkepentingan lainnya dalam melakukan pengukuran
tingkat kerusakan terumbu karang. 3. Metodologi yang digunakan dalam pengukuran kondisi
terumbu karang adalah metoda transek garis bentuk
pertumbuhan karang.
Pasal3 Pengukuran kondisi terumbu karang dilakukan dalam rangka: 1. Penelitian dan pendidikan; 2. Pemantauan dan pengawasan; 3. Penyidikan tindak pidana perusakan terumbu karang.
Pasal4 1. Petugas peneliti dapat melaksanakan pengukuran kondisi
terumbu karang setelah memenuhi persyaratan yaitu memiliki
sertiflkat selam dengan jenjang minimal Scuba Diver 3 (A2) yang diterbitkan oleh Persatuan Olah Raga Selam Seluruh
Indonesia atau sertiflkat dengan jenjang sederajat yang
diterbitkan oleh instansi sejerus lainnya.
2. Pemantau, pengawas dan penyidik dapat melaksanakan
pengukuran kondisi terumbu karang setelah memenuhi
persyaratan yang ditentukan dalam surat keputusan tentang
persyaratan pengangkatan sebagai pengawas atau penyidik.
Pasal5
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
1. Data hasil pengukuran konelisi terumbu karang sebelum elisajikan atau diinformasikan kepada pihak lain yang berkepentingan atau publik, harus elisahkan oleh pejabat yang berwenang.
2. Pejabat yang berwenang sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) terhadap jenis kegiatan: a. penelitian dan penelidikan ~dalah pimpinan lembaga
penelitian atau penelielikan yang bersangkutan; b. pemantauan dan pengawasan adalah atasan petugas
pemantau dan pengawas pada instansi yang bersangkutan, baik eli pusat maupurt eli daerah.
3. Untuk kepentingan kegiatan penyielikan, maka kegiatan pengukuran, pengolahan dan penyajian hasil penyielikan harus elituangkan dalam suatu Berita Acara.
Pasal6 1. Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal elitetapkan. 2. Hal-hal yang belum eliatur dalam Keputusan ini akan eliatur
kemuelian.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Ditetapkan eli: Jakarta Pada tanggal: 30 April 2001
Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan,
Ttd
Dr. A. Sonny Keraf
49
Lampiran Keputusan Kepala Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Nomor: 47 Tahun 2001
PEDOMAN PENGUKURAN KONDISI TERUMBU KARANG BERDASARKAN METODA TRANSEK GARIS BENTUK PERTUMBUHAN KARANG
Pemilihan Tapak
1. Laksanakan pemantauan umum pada terumbu karang untuk memilih tapak yang memungkinkan pada "lereng terumbu" (yaitu: terumbu karang yang bentuk permukaan dasarnya miring ke arah temp at yang lebih dalam) dan dapat mewakili terumbu karang tersebut. Teknik pemantauan dengan metoda Manta Towing ini cukup baik untuk pemilihan temp at (Gambar 1);
GAMBAR 1 : Metoda Manta Towing
2. Dalam melakukan pemilihan tapak pengamatan ini, sekurang-kurangnya pemilihan tapak harus dilakukan di 2 (dua) tempat. Jika tempat tersebut berada pada kondisi yang terdapat zona-zona arah arus, maka pemilihan tapak harus dilakukan pada semua kondisi.
3. Penandaan titik-titik lokasi yang tepat harus dicatat pada saat yang bersamaan dengan pemilihan tempat. Penandaan dapat dilakukan misalnya dengan mencatat bentuk-bentuk pantai atau ciri-ciri khas terumbu karang di seputar terumbu. Penggunaan kamera photo atau peta lokasi sangat berguna, serta dapat pula menggunakan GPS (Global Positioning System). Hal ini dilakukan untuk memudahkan pencarian tempat yang akan dipilih.
4. Tandai tapak dimana akan dilakukan transek dengan paku dan pelampung
50 Peraturan Pengenda/ian Kerusakan Pesisir & Laut
Pedoman Umum
1. Untuk setiap tapak, sekurang-kurangnya cIilakukan 6
(enam),transek yang masing-masing berukuran panjang
50 meter, pada setiap 2 (dua) kedalaman yaitu 3 meter
dan 10 meter. Jarak antara dua transek yang berdekatan
minimal adalah 10 meter.
2. Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk karang
yang datar, miring atau menonjol (Gambar 2), maka
transek pertama dapat ditempatkan pada daerah yang
miring, kira-kira 3 meter di bawah tonjolan terumbu
karang. Transek kedua (yang lebih dalam) cIiletakkan
pada kira-kira 9-10 meter di bawah tonjolan terumbu
karang. J ika kedalaman 3 dan 10 meter tidak ada karang,
transek dapat digeser ke kedalaman 2 atau 6 8 meter.
Namun jika pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang,
maka transek pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua) kedalaman tersebut
dengan hitungan nol meter dimulai dari rata-rata surut terendah.
3. Tenaga dan jumlah personil yang melakukan pengamatan sebaiknya sarna
untuk setiap pengamatan awal dan saat pengamatan. Pengamat-pengamat tersebut melakukan pengumpulan data (Tabel 1) di semua tempat selama
pengamatan berlangsungyaitu 3 (tiga) orangpada setiap kedalaman.
4. Bila jumlah pengamat memadai, maka supaya pengamatan lebih efisien, 2 (dua)
orang melakukan pencatatan data, sedangkan 1 (satu) orang lagi bertanggung
jawab.
PANTAI
GAMBAR 2 : Potongan Melintang Bentuk Terumbu Karang
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
LERENG TERUMBU KARANG
51
5. Pengamatan harus mengamati sampai selesai ~engkap, paripurna) setiap 50
meter transek yang telah dipasang.
6. Pada awal tugas pengamatan, maka pengamat yang bertanggung jawab
terhadap alat ukur (roll meter), mengaitkan meteran tersebut pada masing
masing ujung awal meteran pada karang atau tempat lain dan mengulur
meteran tersebut sejajar dengan garis pantai mengikuti alur tonjolan karang
sepanjang 50 meter.
7. (eatatan: Bila daerah pengamatan kurang dari 50 meter, maka transek dapat di
perpendek dan perubahan tersebut harus dieatat).
8. Untuk penghindari terjadinya penggeseran-penggeseran, alat ukur harus selalu
berada dekat (0-15 em) dengan substratum (objek pengamatan) dan tetap
terkait selama berlangsung. Hal ini dapat dilakukan dengan mengaitkan
meteran pada karang, eontohnya dengan mendorong meteran antara eabang
eabang karang, tetapi jangan sampai meteran mengelilingi karang atau eabang
karang atau karang hidup, karena akan berdampak pada hasil pengamatan.
Catatan 1 : apabila jarak antara alat ukur dengan substratum lebih dari 50 em,
maka data yang dieatat dalam hasil pengamatan disebut kategori air ; Catatan 2 :
bila tim pengamat terbatas sehingga harus dilakukan pengamatan transek
beberapa kali dalam 1 (satu) hari, maka pengamat harus mempertimbangkan
faktor keselamatan dalam penyelaman; Catatan 3 : sebaiknya dilakukan
pengamtan transek pada tapak yang dalam (10 meter) terlebih dahulu,
kemudian dilanjutkan pada tapak yang dangkal (3 meter).
9. Setelah pengamtan dinyatakan selesai, hendaknya lokasi tersebut ditandai
dengan pelampung dan atau menggunakan GPS.
Pedoman Umum
1. Sebelum pengamat memulai penyelaman untuk pengambilan data pada tempat
yang ditentukan, sebaiknya parameter-parameter lingkungan harus dieatat
terlebih dahulu pada data sheet crabel 2) dan ini harus dilakukan bersamaan
dengan pengamat· yang sedang melaksanakan pemasangan tali transek di
bawah permukaan laut. Apabila pada tapak pengamatan terdapat bentuk
karang yang datar, miring atau menonjol (Gambar 2), maka transek pertama
dapat ditempatkan pada daerah yang miring, kira-kira 3 meter di bawah
tonjolan terumbu karang. Transek kedua (yang lebih dalam) diletakkan pada
kira-kira 9-10 meter di bawah tonjolan terumbu karang. Jika kedalaman 3 dan
52 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
10 meter tidak ada karang, transek dapat digeser ke kedalaman 2 atau 6 8 meter.
Namun jika pada tapak pengamatan tidak terdapat tonjolan terumbu karang,
maka transek pengamatan dapat ditempatkan pada 2 (dua) kedalaman tersebut
dengan hitungan nol meter dimulai dari rata-rata surut terendah.
2. Sesudah transek terpasang, para pengamat dapat memulai tugas dengan eara
perlahan-lahan menyusuri tali transek sambil melakukan peneatatan data
(Gambar 3) dengan ketelitian mendekati sentimeter (em) untuk semua bentuk
pertumbuhan biota yang berada di bawah tali transek. Bila jumlah pengamat
memadai, maka supaya pengamatan lebih efisien, 2 (dua) orang melakukan
peneatatan data, sedangkan 1 (satu) orang lagi bertanggung jawab pada
penggunaan alat ukur (roll meter), baik penguluran, pada awal dan akhir
pengamatan.
3. Untuk dapat menghasilkan angka pengamatan yang tepat, pengamat harus
memperhatikan dan meneatat langsung setiap titik dimana tali meteran
menempel pada suatu individu atau suatu koloni. Apabila pada koloni tersebut
terdapat individu-individu yang tumpang tindih, maka setiap pertemuan
(intersepsi) yang bersingggungan, harus dieatat sebagai individu yang berbeda.
(Gambar4).
4. Pengenalan kategori bentuk pertumbuhan dalam pengisian lembaran data
dapat dipilih pada gambar Sa, Sb, Se, dan tabel2.
GAMBAR 3 : Pencatatan Data
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 53
Tabel 1 : Lembar Pengumpulan Data
Propinsi: Kabupaten: Hari: Tgl: Jam:
Nama Terumbu/pulau : Lokasi: Kedalaman:
Letak Lintang : Letak Bujur :
Salinitas:
Temperatur : Kecerahan:
Nama peneliti/pengamatl Kecerahan:
kolektor:
No. St No. Station:
Tabel 2 : Data Sheet
Jarak Antara Kode Sentuk!
(Transisi) Pertumbuhanl Nama Species Catatan
(cm) Parameter
54 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
eM (1)
AA
eM (1)
GAMBAR 4 : Penampilan dari atas Kalani yang tumpang tindih.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 55
Gambar: 5a Kategori Bentuk Pertumbuhan
Acropora Tabulate (ACT) Acropora Branching (ACB)
Acropora Digitate (ACT)
Acropora Encrusting (ACE) Acropora Submassive (ACS)
56 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Gambar: 5b Kategori Bentuk Pertumbuhan
Coral Massive (CM) Coral Foliose (CF)
Coral Branching (CB) Coral Malepora (CME)
Coral Encrusting (CE) Coral Millepora (CME)
Coral Sub massive (CS) Other
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 57
58
Gambar: 5c Kategori Bentuk Pertumbuhan
Macro Algae (CA)
Coralline Algae (CA) Algae Assemblage (AA)
Sponge (SP) Coral Heliopora (CHL)
Zoanthias (ZO) Turf Algae (TA)
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Melindungi sistem terumbu karang yang sangat luas merupakan suatu hal yang penting dalam pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia.
Bentuk Pertumbuhan Kode Catatan/ Keterangan
Hard Coral HC
Dead Coral (Karang Mati) DC Terlihat barn saat mati, berwarna putih kotor.
Dead Coral With Algae (Karang Karang ini masih berdiri tegak dan utuh,
Mati Tertutup GanggangJ DCA tetapi sesudah tidak berwarna lagi karena
ditumbuhi atau tertutup oleh ganggang
Acropora Paling sedikit mempuf!Jai percabangan ke 2, - Branching ACB misalf!Ja: Acropora grand is; Acropora formosa dll.
- Encrusting (pipih / merqyap) ACE Biasaf!Ja lapisan dasarnya (piringanf!Ja) dari bentuk-bentuk acropora yang belum dewasa, misalf!Ja Acropora palifera; Acropora cuneata, Montipera.
- Submassive (bercabang ACS Bulat Pa'!/ang dengan penampakan seperti
pendek dan gemuk) tombol atau pejal padat terdapat to,!/olan, misalf!Ja: Acropora gemmifera.
- Digitate (me,!/ari) ACD Dengan dua percabangan seperti jari tangan, tipe ini termasuk Acropora humulis, Acropora digitifera, Acropora gemmifera.
- Tabulate (meja) ACT Meja atau bernpa lempengan datar horisonta4 tampak seperti meja, misalf!Ja:
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 59
Non- Acropora - Branching CB Paling sedikit mempu'!Yai percabangan ke 2,
misal'!Ya: Acropora grandis; Acropora formosa dll.
- Encrusting (pipih / CE Sebagian besar menempel pada substratum merqyap) seperti piringan yang berlapis, misal'!Ya:
Poritaes vaughani, Montipora undata.
Cf Karang menempel pada satu tempat/ titik - Foliose (daun) atau lebih, nampak seperti helaian daun,
misal'!Ya: Mamlina ampliata, Montipora aequituberculata
- Masive (pejal/ pada!) CM Tampak seperti batu besar/ tempumng/ gundukan tanah, misal'!Ya platygyra daedelae
- 5 ubmassive (bercabang CS Tampak seperti tiang-tiang keci~ kancing pendek dan gemuk) atau irisan-irisan, misal'!Ya porites lichen,
Psammocora digitata .. - Mushroomk (jamur)
CMR Me'!Yendiri sol iter, karangyang didup bebas tampak seperti pqyung/jamur (fungij.
- Millepora CME Karang api: berbulu lembut, benvarna: kuning, krem atau hijau, berbentuk pipih bercabang atau pipih semi pejal.
- Heliopora CHL Karang bim: berbentuk semi pejal atau pipih semi pejakjika dipatahkan ada warna bim pada kerangka kapurnya; benvarna abu-abu kehijauan dengan polip pucat.
Other Fauna (Fauna lain'!Ya)
Soft Coral (karang lunak) SC Karang berbadan lunak , terlihat seperti
60 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Sponge (spon) SP Karang lembut berbentuk tabungl tubuh seperti spon
Zoanthids ZO Mirip seperti anemon tetapi lebih keci4 biasa hidup sendiri/ berkoloni atau seperti hewan-hewan kecil menempel pada substrat, misalf!Ja; Platyhea, Protoplayhoa.
Other (lain-lain) OT Fauna yuang tidak seperti sebelumf!Ja, seperti Acidans, Anemons. Gorgonians.
Algae (ganggang) - Algae assemblage AA Terdiri dari satgu jenis spesies / algae yang
(Kumpulan ganggang). suli! dipisahkan.
- Coralline algae CA 5 emua jenis ganggangyang dinding (ganggang berkapur) tubuhf!Ja terbuat dari bahan kapur.
- Halimeda Ganggang dari marga (genus) halimeda HA ganggang berukuran besar.
- Macroalgae Semacam rumput liar dan "berdaging", (ganggang besar) MA berwarna cok/at, merah dan semacamf!Ja.
- Turf-Algae Ganggang halus berspirallebat, seringkali (ganggang lembut) TA ditemukan di dalam wilayah (teritori) ikan
damsel(damselfish) atau ditemukan di kerangka karangyang baru mati (beberapa bulan).
Abiotik (benda mati) - Sand 5 Pasir. . - &ibble (patahan/ pecdhan) R Bagian-bagian/ keping-keping karangyang
tercerai berai (pecahan karangyang sudah mati).
- Slit (lumpur) 51 Lumpur, pasir bercampur lumpur.
- Water (air) WA Belahan-belahan/ celah yang sempit (jarak antara dua oryek)yang dalamf!Ja lebih dari 50cm.
- Rock RCK Pengerasan karang termasuk batu besar dari kapur, granit dan batu-bam vulkanik.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 61
ANAL/SA DATA
Kesimpulan akhir dari pengumpulan data dapat menunjukkan angka persentase tutupan . • Untuk masing-masing kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan :
Angka (persentase) tutu pan = Panjang Total setiap Kategori X 100%
Panjang Total Transek
• Sedangkan untuk seluruh kategori bentuk pertumbuhan, dapat dihitung dengan menggunakan :
Angka (persentase) tutupan = Terumbu Karang Hidup X 100% Panjang Total Transek
Kepala Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan,
Dr. A. Sonny Keraf
62 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Padang Lamun:
cara ekologis padang lamun membentuk kawasan yang luas didasar laut yang masih dapat dijangkau oleh cahaya matahari yang
memadai bagi pertumbuhannya, dan mempunyai beberapa fungsi penting dan manfaat bagi wi/ayah pesisir dan laut, yaitu: • Mengikat sedimen dan menstabilkan substrat yang
lunak, dengan sistem perakaran yang padat dan saling menyilang
• Sebagai tempat berlindung, mencari makan, tumbuh besar, dan memijah bagi beberapa jenis biota laut, terutama yang melewati masa dewasanya di lingkunganihi
• Sebagai tudung pelindung yang melindungi penghuni padang lamun dari sengatan matahari
• Tempat kegiatan budidaya laut berbagai jenis ikan, kerang-kerangan dan tiram
• Tempatrekreasi atau pariwisata • Sumber pupuk hijau
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Ancaman terhadap Padang Lamun:
1. Pengerukan dan pengurugan yang berkaitan dengan pembangunan 2. Pemukiman pinggir laut,pelabuhan, industri, saluran navigasi 3. Pencemaran limbah industri terutama logam berat, dan senyawa 4. Organoklorin 5. Pembuangan sampah organik (sewage) 6. Pencemaran oleh limbah pertanian 7. Pencemaran minyak dan industri
Hal-hal penting yang perlu diperhatikan untuk menjaga kelestarian Padang Lamun:
1. Mencegah terjadinya pengrusakan akibat pengerukan dan pengurugan di kawasan padang lamun, serta memperhatikan jangan sampai lumpur terbawa akibat kegiatan kegiatan tersebut tadi
2. Mencegah terjadinya pengrusakan akibat kegiatan kegiatan konstruksi diwilayah pesisir, seperti: pelabuhan, jetti dan tempat sandar kapal; yang dapat menghalangi sirkulasi pergerakan air dalam bentuk erosi atau menghalangi sirkulasi pergerakan air dalam bentuk erosi atau deposisi disekitarnya
3. Mencegah terjadinya pembuangan limbah dari kegiatan industri, buangan termal serta limbah pemukiman
4. Mencegah adanya kegiatan trawling perikanan serta. kegiatan perikanan tangkap lainnya yang dapat merusak padang lamun selama penangkapan ikan
5. Memelihara salinitas perairan agar sesuai dengan batas-batas salinitas padang lamun
6. Mencegah terjadinya pencemaran minyak di kawasan padang lamun
64 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor 200 Tahun 2004 ten tang Kriteria Baku Kerusakan dan
Pedoman Penentuan Status Padang Lamun
KRITERIA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN
TINGGI > 50
SEDANG 3049,9
RENDAH < 29,9
STATUS PADANG LAMUN
BAlK Kaya ISehat > 60
Kurang Kayal 30 - 49,9
RUSAK Kurang Sehat
Miskin < 29,9
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 65
KEPUTUSAN MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 200 TAHUN 2004
TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMAN PENENTUAN
STATUS PADANG LAMUN
MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Menimbang: a. bahwa padang lamun merupakan sumber daya alam yang
Mengingat:
66
mempunyai berbagai fungsi sebagai habitat tempat
berkembang biak, mencari makan dan berlindung bagi biota
laut dan harus tetap dipelihara kelestariannya;
b. bahwa padang lamun merupakan peredam gelombang air laut, pelindung pantai dari erosi dan abrasi, serta penangkap
sedimen;
c. bahwa kerusakan padang lamun dapat disebabkan oleh
semakin meningkatnya aktifitas manusia;
d. bahwa salah satu upaya untuk melindungi padang lamun
dari kerusakan tersebut dilakukan berdasarkan kriteria baku
kerusakan;
e. bahwa mengingat hal seperti tersebut pada huruf a, b, c dan
d, perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman
Penentuan Status PadangLamun;
1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49;
Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
2. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 ten tang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 68; Tambahan
Lembaran N egara Nomor 3699);
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
3. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran danl atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
32; Tambahan Lembaran Negara Nomor 3816);
4. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN:
Menetapkan : KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN HIDUP TENTANG KRITERIA BAKU KERUSAKAN DAN PEDOMANPENENTUANSTATUSPADANG~UN
Pasall
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan :
1. Lamun (Seagrass) adalah tumbuhan berbunga (Angiospermae) yang hidup
dan tumbuh dilaut dangkal, mempunyai akar, rimpang (rhizome), daun,
bunga dan buah dan berkembang biak secara generatif (penyerbukan bunga)
dan vegetatif (pertumbuhan tunas);
2. Padang lamun adalah hamparan lamun yang terbentuk oleh satu jenis lamun
(vegetasi tunggal) dan atau lebih dari 2 jenis lamun (vegetasi campuran);
3. Status padang lamun adalah tingkatan kondisi padang lamun pada suatu
lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku
kerusakan padang lamun dengan menggunakan persentase luas tutupan;
4. Kriteria Baku Kerusakan Padang Lamun adalah ukuran batas perubahan fisik
dan atau hayati padang lamun yang dapat ditenggang;
5. Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah metode
pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan petak
contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem
tersebut.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 67
Pasal2
Kriteria Baku Kerusakan dan Status Padang Lamun ditetapkan berdasarkan persentase luas area kerusakan dan luas tutupan lamun yang hidup sebagaimana tercantum dalam lampiran I danI! Keputusan ini.
Pasa13
Kriteria Baku Kerusakan Padang Lamun sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 merupakan cara untuk menentukan status Padang Lamun yang didasarkan pada penggunaan metode Transek dan Petak Contoh (I'ransect Plot) sebagaimana
, terlampir dalam lampiran III.
Pasal4
Kriteria Baku Kerusakan dan Pedoman Penentuan Status Padang Lamun dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 tahun.
Pasal5
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Ditetapkandi : Jakarta Pada tanggal : 13 Oktober 2004
Menteri Negara Lingkungan Hidup.
ttd
Nabiel Makarim, MPA,MSM
68 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : Kep- /MENLH/2004 Tanggal :
KRlTERlA BAKU KERUSAKAN PADANG LAMUN
TINGGl
SEDANG
RENDAH
Lampiran II Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: Kep- 200/MENLH/2004 Tanggal: 13 Oktober 2004
> 50
30 49,9
< 29,9
STATUS PADANG LAMUN
BAlK Kaya ISehat > 60
Kurang Kayal 30 - 49,9 Kurang Sehat
RUSAK
Miskin < 29,9
Catatan : Istilah yang digunakan dalam kriteria ini disesuaikan dengan istilah yang dipakai dalam Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut. .
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 69
Lampiran III
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup
Nomor: Kep- 200 /MENLH/2004
Tanggal: 13 Oktober 2004
PEDOMANPENENTUANSTATUSPADANGLAMUN
1. Metode Pengukuran
Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi padang lamun
adalah metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot). Metode Transek dan
Petak Contoh Metode Transek dan Petak Contoh (Transect Plot) adalah
metode pencuplikan contoh populasi suatu komunitas dengan pendekatan
petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem
tersebut.
2. Mekanisme Pengukuran
70
a. Lokasi yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi padang lamun harus
mewakili wilayah kajian, dan juga harus dapat mengindikasikan atau
mewakili setiap zone padang lamun yang terdapat di wilayah kajian
b. Pada setiap lokasi ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual
berdasarkan keterwakilan lokasi kajian.
c. Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah
darat ke arah laut (tegak lurus garis pantai sepanjang zonasi padang lamun
yang terjadi) di
daerah intertidal.
d. Pada setiap transek
garis, letakkan
petak-petak contoh
(plot) berbentuk
bujur sangkar
dengan ukuran 1 m
x 1 m dengan
interval 15 m untuk
Gambar.l. Petak Contoh untuk pengambilan contoh
padang lamun kawasan tunggal (homogenous) dan interval 5 m untuk
kawasan majemuk.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
e. Pada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap
jenis tumbuhan lamun yang ada dan hitung jumlah individu setiap jenis. 3. Analisa
Untuk mengetahui luas area penutupan jenis lamun tertentu dibandingkan
dengan luas total area penutupan untuk seluruh jenis lamun, digunakan
Metode Saito dan Adobe. Adapun metode penghitungannya adalah sebagai berikut:
1. Petak eontoh yang digunakan untuk pengambilan eontoh berukuran 50 em x
50 em yang masih dibagi-bagi lagi menjadi 25 sub petak, berukuran 10 em x 10 em (Gambar.1.).
2. Dieatat banyaknya masing-masing jenis pada tiap sub petak dan dimasukkan kedalam kelas kehadiran berdasarkan table berikut:
3. Adapun penghitungan penutupan jenis lamun tertentu pada masing-masing petak dilakukan dengan menggunakan rumus :
c = L(Mi x fi) 2:f
dimana, C = presentase penutupan jenis lamun i, Mi adalah presentase titik
tengah dari kelas kehadiran jenis lamun i, dan f adalah banyaknya sub petak
dimana kelas kehadiran jenis lamun i sarna.
4. Kunci Identifikasi Lamun di Indonesia
(Dimodifikasi dad Den Hartog 1970 dan Phillips & Menez 1988) 1. Daun pipih .................................................................................... 2
Daun berbentuk silindris .................. Syringodium isoetifolium
(Gambar1.)
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 71
2. Daun bulat -panjang, bentuk seperti telur atau pisau wali ............... Halophila
a. Panjang helaian daun 11 40 mm, mempunyai 10-25 pasang tulang
daun ............................................................... Halophila ovalis (Gambar.2.)
b. Daun dengan 4-7 pasang tulang daun .......................................................... c
c. Daun sampai 22 pasang, tidak mempunyai tangkai daun, tangkai
panjang ................................................... Halophila spinulosa (Gambar.3.)
c1.Panjang daun 5-15 mm, pasangan daun dengan tegakan
pendek ................................................ Halophila minor (GambarA.)
c2. Daun dengan pinggir yang bergerigi seperti gergaji ............. Halophila
decipiens (Gambar.5.)
c3. Daun membujur seperti garis, biasanya panjang 50-200 mm ................... 3
3. Daun berbentuk selempangyangmenyempitpada bagian bawah ................ 4
a. Tidak seperti diatas ........................................................................................ 6
4. Tulang daun tidak lebih dari 3 ............................................................ Halodule
a. Ujung daun membulat, ujung seperti gergaji ........ Halodule pinifolia
(Gambar.6.)
b. Ujung daun seperti trisula ... Halodule uninervis (Gambar. 7.)
c. Tulang daun lebih dari 3 ................................................................................ 5
5. Jumlah akar 1-5 dengan tebal 0,5-2 mm ujung daun seperti gigi
.............................................................. Thalassodendronciliatum(Gambar.8.)
6. Tidak seperti diatas .......................................................... Cymodocea
a. Ujung daun halus licin, tulang daun 9-15 .............................. Cymodocea
rotundata (Gambar.9.)
b. Ujung daun seperti gergaji, tulang daun 13-17 ..................... Cymodocea
serrulata (Gambar.1 0.)
7. Rimpang berdiameter 2-4 mm tanpa rambut-rambut kaku; panjang daun
100-300 mm, lebar daun 4-10 mm .................................. Thalassia hemprichii
(Gambar.11.)
8. Rimpang berdiameter lebih 10 mm dengan rambut-rambut kaku, panjang
daun 300-1500 mm, lebar 13-17 mm ... Enhalus acoroides (Gambar.12.)
72 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Gambar 1. Syringodium iseotifolium
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Gambar 2. Helophila ovalis
Gambar 3. Helophila spinalosa
74 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Gambar 4. Halophila minor
Gambar 5. Halophila decipiens
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 75
Gambar 6. Halophila pinifolia
Gambar 7. Halophila uninervis
76 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Gambar 8. Tha;asspdemdron ciliatum
Gambar 9. Cymodoceo rotundata
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 77
" , Gambar 10. Cymodoceo serrulata
Gambar 11. Thalassie hemprichii
78 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Gambar 12. Enhalus acoroides
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Menteri N egara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM
79
M anfaat Mangrove
1. Pelindung alami yang paling kuat dan praktis untuk menahan erosi
pantai dan berperan untuk menjaga stabilitas garis pantai
2. Penyaring dan perangkap bahan pencemar
3. Dari segi ekonomi dan sosial menyediakan berbagai hasil yang bernilai
ekonomis tinggi, seperti: kayu, obat-obatan, alkohol, gula, bahan
penyamak kulit, bahan atap, bahan perahu, pemijahan ikan dan lain
lain
4. Merupakan kawasan rekreasi dan wisata
5. Merupakan daerah asuhan, berkembang biak, dan men,cari makan
berbagai jenis ikan dan udang, burung, monyet, buaya dan satwa liar
lainnya
A ncaman terhadap Mangrove
1. Cara pengelolaan yang pada umumnya kurang mendapat perhatian
oleh Pemerintah, Swasta dan Masyarakat
2. Pesatnya pembangunan di bidang lainnya yang mempersempit luasan
mangrove, seperti: pemukiman, pertambakan, reklamasi, pelabuhan
serta perindustrian
3. Pencemaran limbah domestik dan bahan pencemar lainnya
4. Perusakan akibat penebangan kayu mangrove serta pengambilan
satwa liar lainnya di kawasan mangrove yang mengakibatkan
kerusakan mangrove
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 81
Hal.hal penting yang perlu diperhatikan untuk menjaga
Kelestarian Mangrove
1. Mencegah penebangan mangrove secara liar untuk kayu bakar serta
konversi kawasan mangrove untuk pembangunan lainnya;
2. Mencegah pembangunan pemukiman di kawasan mangrove serta
eksploitasi mangrove yang berlebihan;
3. Mencegah perburuan satwa liar di kawasan mangrove;
4. Mempromosikan wisata dan rekreasi bahari yang ramah lingkungan
(tidak merusak mangrove);
5. Memelihara kawasan mangrove dengan penuh perhatian, karena
kawasan ini memiliki keanekaragaman hayati fauna yang tinggi;
6. Mencegah terjadinya kebakaran di kawasan ini, berarti ikut
memelihara mangrove sebagai kawasan habitat yang memiliki
keanekaragaman hayati fauna yang tinggi;
7. Memelihara kawasan mangrove juga berarti memelihara cadangan
karbon dan peningkatan serapan karbon yang dapat dilakukan melalui
kegiatan konservasi dan pengelolaan seperti: pengayaan tanaman dan
pengelolaan air;
8. Mencegah terjadinya perubahan ekstrim salinitas air laut, perlu dijaga
percampuran air laut dan air tawa.r dari daratan, dengan cara
mencegah masuknya air laut dengan salinitas yang terlalu tinggi, atau
menyeimbangkan masuknya air tawar dari daratan.
82 Peraturan Pengenda/ian Kerusakan Pesisir & Laut
Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup nomor 201 Tahun 2004 ten tang Kriteria Baku Kerusakan Mangrov
dan Pedoman Pemantauan Kerusakan Mangrove
KRITERIA BAKU KERUSAKAN MANGROVE
BAlK Sangat Padat > 70 > 1500
Sedang > 50- < 75 > 1000 - < 1500
RUSAK ~------~----------~--------~ Jarang < 50 < 1000
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 83
SALINAN
KEPUTUSAN
MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
NOMOR: 201 TAHUN 2004
TENTANG
KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN
PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE
MENTER! NEGARA LINGKUNGAN HIDUP
Menimbang: a. bahwa mangrove merupakan sumber daya
alam yang mempunyai berbagai fungsi
sebagai habitat tempat berkembang biak
dan berlindung bagi sumber daya hayati laut
dan harus tetap dipelihara kelestariannya;
b. bahwa dengan semakin meningkatnya
kegiatan pembangunan dapat
menimbulkan dampak terhadap kerusakan
mangrove, oleh karena itu perlu dilakukan
upaya pengendaliannya;
c. bahwa salah satu upaya pengendalian untuk
melindungi mangrove dari kerusakan
adalah dengan mengetahui adanya tingkat
kerusakan berd~sarkan kriteria baku
kerusakannya;
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
d. bahwa mengingat hal seperti terse but pada huruf a, b dan c,
perlu ditetapkan Keputusan Menteri Negara Lingkungan
Hidup tentang Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan
Kerusakan Mangrove;
Mengingat: 1. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang Konservasi
Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49,
TambahanLembaranNegaraNomor 3419);_
2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1994 tentang Pengesahan
United Nations Convention on Biological Diversity
(Konvensi PBB Mengenai Keanekaragaman Hayati)
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1994 Nomor
41, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3556);
3. Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 tentang
Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan
Lembaran N egara Nomor 3699);
4. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 ten tang
Pemerintahan Daerah (Lembaran N egara Republik
Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran
N egara Nomor3839);
5. Undang-undangNomor41 Tahun 1999tentangKehutanan
(Lembaran-Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun
1999 Nomor 167, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 3888);
6. Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1985 tentang
Perlindungan Hutan (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 1985 Nomor 39, Tambahan Lembaran
Negara RepublikIndonesia Nomor 3294);
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 85
7. Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 tentang
Pengendalian Pencemaran dan .atau Perusakan Laut
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
32, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
Nomor 3816);
8. Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 tentang
Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Provinsi
sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2000 Nomor 34, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 3952);
9. Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 tentang
Pengelolaan Kawasan Lindung;
10. Keputusan Presiden Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Perubahan Atas Keputusan Presiden Nomor 101 Tahun
2001 tentang Kedudukan, Tugas, Fungsi, Kewenangan,
Susunan Organisasi, dan Tata Kerja Menteri Negara;
MEMUTUSKAN :
Menetapkan: KEPUTUSAN MENTERI NEGARA LINGKUNGAN
HIDUP TENTANG KRITERIA BAKU DAN PEDOMAN
PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE
Pasal1
Dalam Keputusan ini yang dimaksud dengan:
1. Mangrove adalah sekumpulan tumbuh-tumbuhan Dicotyledoneae dan atau
Monocotyledoneae terdiri atas jenis tumbuhan yang mempunyai hubungan
taksonomi sampai dengan taksa kelas (unrelated families) tetapi mempunyai
persamaan adaptasi morfologi dan fisiologi terhadap habitat yang
dipengaruhi oleh pasang surut;
2. Kriteria Baku Kerusakan Mangrove adalah ukuran batas perubahan fisik dan
atau hayati mangrove yang dapat ditenggang;
86 Peraturan Pengenda/ian Kerusakan Pesisir & Laut
3. Status kondisi mangrove adalah tingkatan kondisi mangrove pada suatu
lokasi tertentu dalam waktu tertentu yang dinilai berdasarkan kriteria baku
kerusakan mangrove;
4. Kawasan konservasi adalah hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai
fungsi pokok pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta
ekosistemnya;
5. Sempadan Pantai Mangrove adalah kawasan tertentu sepanjang pantai yang
mempunyai (ditumbuhi) mangrove yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi pantai;
6. Sempadan Sungai Mangrove adalah kawasan tertentu sepanjang sungai yang
mempunyai (ditumbuhi) mangrove yang mempunyai manfaat penting untuk
mempertahankan kelestarian fungsi sungai;
7. Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot) adalah metode
pencuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak
contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem
tersebut.
Pasal2
Penetapan Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ini diterapkan untuk Sempadan
Pantai Mangrove dan Sempadan Sungai Mangrove di luar kawasan konservasi.
Pasal3
Kriteria Baku Kerusakan Mangrove ditetapkan berdasarkan prosentase luas
tutupan dan kerapatan mangrove yang hidup sebagaimana dimaksud dalam
Lampiran I Keputusan ini.
Pasal4
Kriteria Baku Kerusakan Mangrove sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
merupakan cara untuk menentukan status kondisi mangrove yang diklasifikasikan
dalam:
a) Baik (Sangat Padat);
b) Baik(Sedang);
c) Rusak.
• Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 87
Pasal5
Metode penentuan Kriteria Baku Kerusakan Mangrove didasarkan pada
penggunaan metode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot)
sebagaimana terlampir dalam Lampiran II.
Pasal6
Kriteria Baku dan Pedoman Penentuan Kerusakan Mangrove apabila dipandang
perlu, dapat ditinjau kembali sekurang-kurangnya 5 tahun.
Pasal7
Keputusan ini mulai berlaku pada tanggal ditetapkan.
Salinan sesuai dengan aslinya
Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan
Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
Ditetapkan di : Jakarta
pada tanggal : 13 Oktober 2004
Menteri N egara
Lingkungan Hidup,
ttd
Nabie1 Makarim, MPA, MSM.
88 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
Lampiran I Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : 201 Tahun 2004 Tanggal: 13 Oktober 2004
KRITERIA BAKU KERUSAKAN MANGROVE
BAlK Sangat Padat > 70 > 1500
Sedang > 50- < 75 > 1000 - < 1500
RUSAK ~------+----------+--------~ Jarang < 50 < 1000
Menteri Negara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 89
LampiranII Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor: 201 Tahun 2004 Tanggal: 130ktober2004
PEDOMAN PENENTUAN KERUSAKAN MANGROVE
1. Daerah Pengukuran a. Sempadan Pantai Mangrove: minimal 130 kali nilai rata-rata perbedaan air
. pasang tertinggi dan terendah tahunan di~kur dari garis air surut terendah ke arah darat. Pada kondisi pantai yang terdapat hamparan endapan lumpur (mudflat), digunakan batasan 100 meter dari garis pasang tertinggi.
b. Sempadan Sungai Mangrove : 50 meter ke arah kiri dan kanan dari garis pasang tertinggi air sungai yang masih dipengaruhi pasang air laut.
2. Metode Pengukuran Metode pengukuran yang digunakan untuk mengetahui kondisi mangrove adalah dengan menggunakan Metode Transek Garis dan Petak Contoh (Line Transect Plot). MetodeMetode Transek Garis dan Petak Contoh (Transect Line Plot) adalah metode pef).cuplikan contoh populasi suatu ekosistem dengan pendekatan petak contoh yang berada pada garis yang ditarik melewati wilayah ekosistem tersebut. Metode pengukuran ini merupakan salah satu metode pengukuran yang paling mudah dilakukan, namun memiliki tingkat akurasi dan ketelitian yang akurat.
3. Mekanisme Pengukuran
.90
a. Wilayah kajian yang ditentukan untuk pengamatan vegetasi mangrove harus dapat mengindikasikan atau mewakili setiap zone mangrove yang terdapat di wilayah kajian (Gambar.1.);
b. Pada setiap wil~yah kajian ditentukan stasiun-stasiun pengamatan secara konseptual berdasarkan keterwakilan lokasi kajian;
c. Pada setiap stasiun pengamatan,tetapkan trans~k-transek garis dari arah laut ke arah darat (tegak lurus garis pantai sepanjapg zonasi hutan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal;
d. Pada setiap zona mangrove yang berada disepanjang transek garis, letakkan
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pes/sir & Laut
secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan
ukuran 10m xl 0 m sebanyak paling kurang 3 (tiga) petak contoh (plot);
e. Fada setiap petak contoh (plot) yang telah ditentukan, determinasi setiap
jenis tumbuhan mangrove yang ada, hitung jumlah individu setiap jenis. dan
ukur lingkaran batang setiap pohon mangrove setinggi dada, sekitar 1,3
meter (Gambar.2.).
..,...
lEE Endapan I Lumpur
/ ~ Laut / ~
..,...-Muara Sungai
~0UVU
Gambar.1. Contoh Peletakan GarisTransek yang mewakih seriap zona
GarnbarA. Gambar B.
!tJt. _. nogg;D."
'1 I: bercabangdibawahtlnggldada " I PSllentuan peda batang ~ang
=1= __ . n099;D,d.
, Penentuanpadabalangya!1g I bercabangdlbawahtinggldada
=k!.!. .
-- i __ .l1nggrDada
"'""' , ;i :, Penentuan pad~akaryangbercabang _ "h 'I, sampaisetinggldada
1ingglDada
Penenluanpadabatangyang1idak beraluranbentuknya
Garribar .2. (A) Penentuan lingkar batang mangrove setinggi dada. (8) Penentuan lingkar batang mangrove pada berbagai jerris
Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut 91
4. Metode Analisa
a. Penutupan: perbandingan antara luas area penutupan jenis I (Ci) dan luas total area penutupan untuk seluruh jenis (LC) :
RCi = (Ci/LC) x 100 Ci=LBA/A
dimana, BA = nDBH2/4 (dalam em2), n (3,1416) adalah suatu konstanta dan DBH adalah diameter batang pohon dari jenis I, A adalah luas total area pengambilan eontoh Ouas total petak eontoh/plot). DBH=CBH/n (dalam em), CBH adalahlingkaran pohon setinggi dada.
b. Kerapatan: perbandingan antara jumlah tegakan jenis I (ni) dan jumlah total tegakan seluruh jenis (Ln):
Rdi= (ni/Ln) x 100
Salinan sesuai dengan aslinya Deputi MENLH Bidang Kebijakan dan Kelembagaan Lingkungan Hidup,
Hoetomo, MPA.
MenteriNegara Lingkungan Hidup,
ttd
Nabiel Makarim, MPA., MSM.
92 Peraturan Pengendalian Kerusakan Pesisir & Laut
• • • • • • • • • • • • • • • • • • Kementerian Negara Lingkungan hidup
Assisten Oeputi Urusan Pengendalian Kerusakan Pesisir dan Laut Oeputi Bidang Peningkatan Konservasi Sumber Oaya Alam dan
Pengendalian Kerusakan Lingkungan
JI. 01 Panjaitan Kav. 24, Kebon Nanas Jakarta Timur 13410 - Indonesia Telp'/Fax. : 021 - 85905638/85904929
E-n:ail : [email protected] Situs Web : www.menlh.go.id