Kritik

2
Ruth Romaito 12/336419/TK/40241 Kritik Arsite ktur Fenomena Cafe Jogjakarta yang dijuluki sebagai kota pelajar sekarang ini telah “dijamuri” oleh café-cafe. Café-café yang berada di Jogja saat ini memiliki konsep yang bermacam-macam, yang paling dominan adalah konsep retro yang mengusung tema anak muda. Konsep retro yang diusung oleh kebanyakan café di Jogja sekarang menjadi konsep yang “seolah-oleh”. Dalam arti, konsep kebanyakan cafe ini seperti simulasi dari konsep- konsep retro sebenarnya. Dibangun di atas lahan baru, maupun redesain dari sebuah bangunan yang sudah ada, café-café di Jogja sekarang ini hanya bermodalkan keahlian seorang interior designer yang dapat merubah sebuah bangunan lama yang tak dipakai menjadi sebuah retro café yang tercipta dengan modal yang banyak, barang-barang interior yang didatangkan dari luar negeri demi tercapainya sebuah café retro. Café sekarang hanya menjadi ikon yang ‘fotogenik’ adalah kesimpulannya. Sebuah café dimana pengunjung bisa merasakan dia seolah-olah berada di sebuah distrik di sebuah kota yang terkenal dengan kemajuan fashion-nya juga ada. Konsep ‘seolah-olah’ juga nampak pada hal ini. Rangkaian batu bata ekspos dengan jendela-jendela yang melengkung dengan lampu taman bertiang dapat ditemukan, tak lupa pula kehadiran sebuah menara yang menjadi ikon utama kota fashion tersebut. Tapi semua ada di dalam sebuah ruangan, sebuah café, bukan di sebuah distrik di sebuah kota terkenal. Bagaimana rasanya menikmati makanan di sebuah pesawat juga tidak hanya bisa dirasakan saat berada di udara. Di daratan bisa ditemukan tempat yang menjamu anda makan bak sedang berada dalam sebuah pesawat, bahkan ruang cockpit. Dana yang sangat tidak sedikit demi mewujudkan keinginan-keinginan yang bersifat industrialis bukanlah masalah besar lagi nampaknya. Konsep seolah-olah muncul kembali dalam kasus ini. Simulasi dari suatu ruang dengan suasana persis dihadirkan kembali. Namun itu hanya hal yang ‘seolah-olah’.

description

Arsitektur

Transcript of Kritik

Page 1: Kritik

Ruth Romaito12/336419/TK/40241

KritikArsitektur

Fenomena Cafe

Jogjakarta yang dijuluki sebagai kota pelajar sekarang ini telah “dijamuri” oleh café-cafe. Café-café yang berada di Jogja saat ini memiliki konsep yang bermacam-macam, yang paling dominan adalah konsep retro yang mengusung tema anak muda. Konsep retro yang diusung oleh kebanyakan café di Jogja sekarang menjadi konsep yang “seolah-oleh”. Dalam arti, konsep kebanyakan cafe ini seperti simulasi dari konsep-konsep retro sebenarnya.

Dibangun di atas lahan baru, maupun redesain dari sebuah bangunan yang sudah ada, café-café di Jogja sekarang ini hanya bermodalkan keahlian seorang interior designer yang dapat merubah sebuah bangunan lama yang tak dipakai menjadi sebuah retro café yang tercipta dengan modal yang banyak, barang-barang interior yang didatangkan dari luar negeri demi tercapainya sebuah café retro. Café sekarang hanya menjadi ikon yang ‘fotogenik’ adalah kesimpulannya.

Sebuah café dimana pengunjung bisa merasakan dia seolah-olah berada di sebuah distrik di sebuah kota yang terkenal dengan kemajuan fashion-nya juga ada. Konsep ‘seolah-olah’ juga nampak pada hal ini. Rangkaian batu bata ekspos dengan jendela-jendela yang melengkung dengan lampu taman bertiang dapat ditemukan, tak lupa pula kehadiran sebuah menara yang menjadi ikon utama kota fashion tersebut. Tapi semua ada di dalam sebuah ruangan, sebuah café, bukan di sebuah distrik di sebuah kota terkenal.

Bagaimana rasanya menikmati makanan di sebuah pesawat juga tidak hanya bisa dirasakan saat berada di udara. Di daratan bisa ditemukan tempat yang menjamu anda makan bak sedang berada dalam sebuah pesawat, bahkan ruang cockpit. Dana yang sangat tidak sedikit demi mewujudkan keinginan-keinginan yang bersifat industrialis bukanlah masalah besar lagi nampaknya. Konsep seolah-olah muncul kembali dalam kasus ini. Simulasi dari suatu ruang dengan suasana persis dihadirkan kembali. Namun itu hanya hal yang ‘seolah-olah’.

Masyarakat yang didominasi oleh kaum pelajar dan mahasiswa ini dijamu dengan terpenuhinya keinginan-keinginan makan yang berada di berbagai tempat, yang nyatanya hanyalah berada di sebuah tempat bernama Jogjakarta. Bukan perkara makan lagi yang dipermasalahkan, tetapi perkara makan yang berada di tempat ‘seolah’olah’.