Krisis konstitusi

4
Krisis konstitusi tulisan dari Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa konstitusi kita saat ini sangat rentan dan memungkinkan terjadinya krisis konstitusi. Krisis konstitusi dapat terjadi pada hampir seluruh negara di dunia ini. Faktanya negara besar seperti Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 pernah mengalami krisis konstitusi ini. Krisis politik di Australia berimbas pada kestabilan konstitusinya, atau kasus terbaru yang dialami oleh negara Russia pada tahun 1993 antara Presiden dan Perdana Menteri yang tidak harmonis berakibat pada chaosnya pemerintahan. Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma atau aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu permasalahan konstitusi. Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam karyanya moderen constitution mengatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan negara. Lebih luas lagi Van Apeldorn mengatakan bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara sederhana konstitusi dapat dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak) dengan tujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki kedudukan hirarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari teori ini, maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga meminimalisir potensi terjadinya krisis konstitusi. Dalam tulisannya, Prof Yusril mendeskripsikan suatu kasus yang bisa saja menimbulkan krisis konstitusi seperti dalam kasus impeachment (pemakzulan). Di dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan bahwa “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap secara bersamaan maka jalannya pemerintahn akan dilaksanakan secara bersama oleh triumvirat (Menteri dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945. Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (termasuk triumvirat) mengingat presiden mempunyai hak prerogratif, maka dapat dipastikan tidak ada yang menjalankan pemerintahan (vacum of power). Kasus yang seperti ini kemudian dipandang oleh Prof. Yusril sebagai pintu awal terjadinya krisis konstitusi karena memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian mengatur permasalahan ini. Secara yuridis normatif, harus diakui bahwa konstitusi Indonesia tidak mengatur permasalahan ini. Tetapi di satu sisi, jika kasus ini

description

good

Transcript of Krisis konstitusi

Page 1: Krisis konstitusi

Krisis konstitusi

tulisan dari Prof. Yusril Ihza Mahendra yang mengatakan bahwa konstitusi kita saat ini sangat rentan dan memungkinkan terjadinya krisis konstitusi. Krisis konstitusi dapat terjadi pada hampir seluruh negara di dunia ini. Faktanya negara besar seperti Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 pernah mengalami krisis konstitusi ini. Krisis politik di Australia berimbas pada kestabilan konstitusinya, atau kasus terbaru yang dialami oleh negara Russia pada tahun 1993 antara Presiden dan Perdana Menteri yang tidak harmonis berakibat pada chaosnya pemerintahan.Secara sederhana krisis konstitusi dapat terjadi apabila belum ada norma atau aturan yang mengatur scara eksplisit maupun implisit tentang suatu permasalahan konstitusi. Dalam persepktif teori, KC Wheare dalam karyanya moderen constitution mengatakan bahwa konstitusi merupakan kumpulan peraturan yang mengatur pemerintahan negara. Lebih luas lagi Van Apeldorn mengatakan bahwa konstitusi memuat baik peraturan tertulis (writen) maupun tidak tertulis (unwriten). Secara sederhana konstitusi dapat dipahami sebagai aturan dasar (baik tertulis ataupun tidak) dengan tujuan mengatur penyelenggaraan pemerintahan negara yang memiliki kedudukan hirarkis tertinggi dalam sebuah negara. Jika menggunakan pendekatan dari teori ini, maka harusnya konstitusi memuat aturan yang bersifat detil sehingga meminimalisir potensi terjadinya krisis konstitusi.Dalam tulisannya, Prof Yusril mendeskripsikan suatu kasus yang bisa saja menimbulkan krisis konstitusi seperti dalam kasus impeachment (pemakzulan). Di dalam Pasal 8 Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyebutkan bahwa “Jika presiden mangkat, berhenti, diberhentikan atau tidak dapat melakukan kewajibannya dalam masa jabatan, ia digantikan oleh wakil presiden sampai habis masa jabatannya.” Sedangkan jika berhalangan tetap secara bersamaan maka jalannya pemerintahn akan dilaksanakan secara bersama oleh triumvirat (Menteri dalam Negeri, Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan) Pasal 8 (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945.Permasalahanya adalah, jika presiden dan wakil presiden berhalangan tetap secara bersamaan dan kemudian mendemisionerkan kabinet (termasuk triumvirat) mengingat presiden mempunyai hak prerogratif, maka dapat dipastikan tidak ada yang menjalankan pemerintahan (vacum of power). Kasus yang seperti ini kemudian dipandang oleh Prof. Yusril sebagai pintu awal terjadinya krisis konstitusi karena memang tidak ada ketentuan atau norma yang kemudian mengatur permasalahan ini.Secara yuridis normatif, harus diakui bahwa konstitusi Indonesia tidak mengatur permasalahan ini. Tetapi di satu sisi, jika kasus ini ditelaah dengan teliti maka permasalahan ini bisa dipecahkan melalui Mahkamah Konstitusi, mengingat salah satu tugas MK adalah memutus pendapat DPR bahwa presiden dan atau wakil presiden telah melakukan pelanggaran hukum (Pasal 10 (2) UU MK NO 24 Tahun 2003). Jika kasus ini terjadi maka MK melalui putusannya (amar putusan) dapat saja membuat putusan bahwa presiden tidak dapat mendemisionerkan kabinet. Secara de jure, otomatis jika ketentuan ini dilaksanakan maka krisis konstitusi tidak akan terjadi sebab hak prerogratif presiden pasca dinyatakan bersalah telah dicabut.Jika ditelaah lebih lanjut, maka dapat diketahui pula bahwa tugas Mahkamah Konstitusi hanya menyatakan Presiden bersalah dan selanjutnya mekanisme pemberhentian diserahkan ke MPR. Tetapi, dalam kasus seperti ini MK dapat saja melakukan trobosan hukum dengan menambahkan putusannya untuk mengugurkan hak prerogratif presiden. Terobosan hukum yang dilakukan oleh Hakim MK ini kemudian dapat dipahami sebagai rechtsvinding, mengingat proses penemuan hukum merupakan proses konkretisasi dan individualisasi peraturan hukum yang bersifat umum dengan mengingat peristiwa konkrit. Artinya di satu sisi rechtsvindingini dipandang perlu dilakukan mengingat potensi krisis konstitusi yang dapat saja terjadi pasca diberhentikannya presiden dan wakil presiden secara bersamaan. Pemilu dan Potensi Krisis

Lalu bagaimana dengan potensi potensi krisis konstitusi lainnya yang bisa saja muncul. Jika konstitusi hasil perubahan kita saat ini dianalisis lebih lanjut, maka banyak sekali ditemukan titik krisis lainnya. Misalnya pada pengaturan tentang pemilu. Baik konstitusi maupun undang-undang kepemiluan, baik presiden maupun pemilu legislatif tidak mengatur apabila ternyata penyelenggaran pemilu gagal dan tidak

Page 2: Krisis konstitusi

menghasilkan perwakilan di parlemen atau bahkan tidak menghasilkan presiden.Jika mengacu pada aturan konstitusi saat ini, maka dalam Pasal 6A (3) Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 dengan tegas menyatakan bahwa presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih, apabila memperoleh lebih dari lima puluh persen suara nasional (suara mayoritas mutlak) dan 20 persen disetiap wilayah provinsi. Jika dianalisis konstruksi pasal ini maka dapat dipahami bahwa pertama, presiden terpilih apabila berhasil memperoleh suara mayoritas mutlak dari total suara yang masuk. Kedua, angka atau persentase suara ini merupakan ketentuan yang mutlak dan rigid. Artinya, presentasi angka ini tidak dapat diubah apabila tidak ada satupun pasangan calon yang memperoleh suara mutlak mayoritas. Walaupun pada ketentuan pasal lainnya dalam konstitusi khususnya dalam Pasal 6A (4) yang mengidentifikasikan bahwa pemilu presiden di Indonesia dengan prinsip two round system memungkinkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dipilih kembali pada putaran selanjutnya, Tetapi permasalahannya angka presentasi yang diamanahkan dalam konstitusi merupakan ketentuan yang bersifat mutlak dan berlaku sama pada ketentual pasal sebelumnya. Jika kasus seperti ini timbul maka dapat dipastikan pemilu dalam keadaan deadlock.Kondisi seperti ini bisa saja muncul mengingat Pemilu 2014, konstituen terbesarnya diisi oleh segmentasi pemilu pemula. Disamping itu meningkatnnya angka golput (berkaca pada pemilu kada) di hampir seluruh wilayah Indonesia menambah beban berat suksesi penyelenggaran Pemilu 2014.Bertitik tolak dari hasil analisis ini, maka timbul pertanyaan apabila tidak ada satu pasangan calon presiden dan wakil presiden yang berhasil memperoleh suara seperti yang telah diamanatkan dalam konstitusi, maka pemilu dapat dipastikan gagal karena tidak dapat menghasilkan presiden dan wakil presiden. Pertanyaannya adalah, siapa atau lembaga mana yang kemudian dapat menjalankan pemerintahan mengingat di dalam negara tidak dibenarkan terjadinya kekosongan jabatan (vacum of power), apalagi tidak ada presiden dan wakil presiden. Secara teori dalam negara dengan sistem pemerintahan presidensil, presiden memiliki peranan yang sangat penting untuk menentukan jalannya pemerintahan.Secara yuridis normatif jika mengacu pada ketentuan konstitusi dan undang-undang, maka dapat dipastikan tidak ada lembaga yang berwenang menjalankan pemerintahan sebab pemilu tidak menghasilkan apapun. Apakah kemudian benar pendapat Prof. Yusril dengan mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara menjadi solusi untuk mengatasi kegagalan Pemilu 2014 ini? Apakah mungkin dalam waktu yang relatif singkat MPR melakukan perubahan terhadap konstitusi untuk kemudian mengembalikan fungsi MPR sebagai lembaga tertinggi negara?Permasalahan-permasalahan ini seyogyanya tidak dipandang sederhana, mengingat dampak yang akan timbul sangatlah kompleks. Apa yang terjadi pada Australia pada tahun 1975 dan Russia pada tahun 1993 yang mengakibatkan negara besar ini chaos, setidaknya dapat dijadikan pembelajaran bahwa krisis konstitusi merupakan permasalahan yang serius dan harus segera diantisipasi segala kemungkinan yang akan muncul.

Dalam hemat penulis, permasalahan seperti ini dapat diatasi melalui perubahan konstitusi yang kemudian mengatur secara detail permasalahan-permasalahan konstitusi ini. Sebab perubahan konstitusi merupakan hal yang wajar dan lumrah dilakukan dalam sebuah negara. Apapun hasil Pemilu 2014 nanti dan berbagai permasalahan yang muncul di dalamnya, dapat dipastikan negara ini harus berjalan sebagaimana mestinya.