Koping Stres Lansia Alzaimer

100
Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009 COPING STRESS PADA PRIMARY CAREGIVER PENDERITA PENYAKIT ALZHEIMER SKRIPSI Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi Oleh RIANTI WIDIASTUTI 04131080 FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA GENAP, 2008/2009

Transcript of Koping Stres Lansia Alzaimer

Page 1: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

COPING STRESS PADA PRIMARY CAREGIVER PENDERITA

PENYAKIT ALZHEIMER

SKRIPSI

Diajukan untuk memenuhi persyaratan Ujian Sarjana Psikologi

Oleh

RIANTI WIDIASTUTI

04131080

FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

GENAP, 2008/2009

Page 2: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Coping stress pada primary caregiver penderita penyakit Alzheimer

Rianti Widiastuti dan Hasnida, M.Si.,psikolog

ABSTRAK

Alzheimer merupakan suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat balik, yang dicirikan dengan kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock, 1995). Alzheimer paling banyak timbul pada usia 65 tahun. Penurunan kognitif pada penderita Alzheimer akan membutuhkan seseorang yang merawat untuk melakukan kegiatan sehari-hari yang disebut dengan caregiver. Kebanyakan yang menjadi caregiver adalah istri penderita Alzheimer. Penurunan kognitif, gangguan perilaku dan ketergantungan melakukan kegiatan sehari-hari pada penderita Alzheimer serta perubahan hidup yang dialami caregiver akan meningkatkan stres pada caregiver. Oleh karena itu diperlukan bagi caregiver melakukan metode coping yang tepat agar tidak meningkatkan resiko yang ada. Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh gambaran coping stress yang digunakan oleh primary caregiver penderita Alzheimer. Karakteristik responden adalah istri dari penderita Alzheimer pada stadium menengah dan akhir yang berperan menjadi caregiver. Jumlah responden adalah 2 orang. Teknik pengambilan sampel adalah dengan menggunakan teknik berdasarkan teori/konstruk operasional (theory-based/operational construct sampling). Metode pengumpulan data dilakukan dalam penelitian adalah wawancara mendalam (in depth interviewing) sebagai metode utama dalam pengambilan data.

Secara keseluruhan hasil penelitian menunjukkan bahwa istri yang menjadi caregiver penderita Alzheimer akan mengalami stres ketika memberikan perawatan. Sumber stres pada responden A berasal dari perubahan hidup yang dialaminya dan coping yang digunakan dengan melakukan kekerasan pada suaminya. Hal ini menimbulkan beban pada responden A dapat dilihat dari responden yang tidak menerima perubahan hidupnya. Sedangkan sumber stres pada responden B berasal dari penurunan kognitif pada suaminya yang menderita Alzheimer dan coping yang digunakan dengan mengontrol emosinya dahulu. Hal ini membuat responden B untuk beradaptasi dengan situasi yang ada.

Kata Kunci : coping stress, caregiver penderita Alzheimer

Page 3: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala berkat dan

karunia-Nya yang senantiasa menyertai penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan

proposal seminar ini sampai selesai.

Terima kasih penulis ucapkan kepada:

1. Bapak Dr.Hasan Sjahrir dan Ibu Endah, orang tuaku tercinta dan tersayang terima

kasih atas segala pengertian, informasi, dan semangat yang diberikan. Kakakku

tersayang, Mbak Puji terima kasih selalu memberikan semangat dan mendengar

semua cerita adekmu.

2. Ibu Hasnida, M.Si, psikolog selaku dosen pembimbing seminar ini atas segala

waktu yang diluangkan, bimbingan dan saran selama proses pengerjaan proposal

ini dari awal sampai selesai.

3. Ibu Arliza Juairiani Lubis, M.Si, psikolog dan Kak Juliana.I.Saragih, S.Psi selaku

dosen penguji atas petunjuknya hingga proposal ini dapat terselesaikan dengan

baik.

4. Bapak Ari Widiyanta, Psikolog atas keluangan waktu, bimbingan dan masukan

yang diberikan.

5. NK yang bersedia untuk melakukan wawancara dan memberikan cerita yang

membantu penulis menyelesaikan proposal ini.

6. Langit Athar Yudhistira dan Adriansyah Lubis, lelaki baik yang selalu mendengar

semua ceritaku dan memberikan semangat, canda tawa, dan bahagia.

7. Teman-temanku tersayang: Indri, Rina & Liya (kita jarang ketemu ya..), Wita,

Kakak, Ririe, Kiki, Ela (kapan kita nyusul ririe dan wita...?), Edith, Ican, Baleh,

Page 4: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Kiaw, Ecad (makasih buat semua kata-kata dan masukannya yang membuatku

lebih semangat), teman-teman yang lagi seminar Psikologi Klinis juga (terima

kasih buat semua informasi dan motivasinya...semangat..!!) serta teman-teman

mahasiswa psikologi stambuk 2004 terima kasih buat semua masukan, semangat,

dan cerita yang diberikan.

8. Terima kasih juga penulis ucapkan pada semua pihak yang telah memberikan

dukungan dan bantuan hingga seminar ini dapat terselesaikan.

Penulis menyadari bahwa proposal ini memiliki banyak kekurangan. Oleh karena

itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua pembaca demi kesempurnaan proposal

ini. Harapan peneliti semoga proposal ini dapat bermanfaat bagi pihak-pihak yang terkait,

lingkungan akademik Fakultas Psikologi Universitas Sumatera Utara, serta para pembaca

pada umumnya,

Terima kasih

Medan, Juni 2008

Penulis

Page 5: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.............................................................................................. i

DAFTAR ISI............................................................................................................ iii

BAB I. PENDAHULUAN

I.A. Latar Belakang..................................................................................... 1

I.B. Perumusan Masalah.............................................................................. 9

I.C. Tujuan Penelitian................................................................................. 9

I.D. Manfaat Penelitian............................................................................... 10

I.D.1.Manfaat teoritis............................................................................ 10

I.D.2.Manfaat praktis............................................................................ 10

I.E. Sistematika Penulisan........................................................................... 11

BAB.II. LANDASAN TEORI

II.A. Stres..................................................................................................... 12

II.A.1.Pengertian Stres....................................................................... 12

II.A.2.Sumber Stres............................................................................ 13

II.B. Coping Stress...................................................................................... 14

II.B.1.Pengertian Coping.................................................................... 14

II.B.2.Fungsi Coping Stress................................................................ 16

II.B.3.Metode Coping Stress.............................................................. 16

II.C. Penyakit Alzheimer............................................................................. 18

II.C.1.Gambaran Umum penyakit Alzheimer.................................... 18

II.C.2.Kriteria Diagnostik Alzheimer................................................. 20

II.C.3.Gejala Penyakit Alzheimer....................................................... 21

Page 6: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

II.C.4.Stadium Penyakit Alzheimer..................................................... 24

II.D.Coping Stress pada Caregiver Keluarga Penderita Alzheimer............. 25

II.F. Paradigma............................................................................................. 28

BAB. III. METODE PENELITIAN

III.A. Penelitian Kualitatif........................................................................... 29

III.B. Subjek Penelitian............................................................................... 30

III.B.1.Karakteristik Subjek Penelitian.............................................. 30

III.B.2.Jumlah Subjek Penelitian....................................................... 30

III.B.3.Teknik Pengambilan Sampel................................................. 31

III.B.4.Lokasi Penelitian................................................................... 31

III.C. Metode Pengumpulan Data.............................................................. 31

III.C.1.Wawancara............................................................................. 32

III.D. Alat Bantu Pengambilan Data.......................................................... 33

III.D.1.Pedoman Wawancara............................................................ 33

III.D.2.Tape Recorder....................................................................... 33

III.E. Prosedur Analisis Data..................................................................... 34

BAB. IV. ANALISA DATA

IV.A.Responden A………………………………………………………... 35

A.1. Analisa Data………………………………………………………… 35

A.2. Pembahasan Data……………………………………………………. 40

IV.B. Responden B…………………………………………………….. 41

B.1. Analisa Data………………………………………………………. 41

B.2. Pembahasan Data………………………………………………….. 55

IV.C. Analisa Banding………………………………………………… 57

Page 7: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB V. KESIMPULAN,DISKUSI,SARAN…………………………………. 59

DAFTAR PUSTAKA............................................................................................ v

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kehidupan manusia di dunia akan mengalami beberapa proses dimulai dengan

kelahiran sampai dengan akhir kehidupan. Usia lanjut merupakan periode penutup dalam

rentang kehidupan seseorang dimana telah mengalami perubahan-perubahan yang tidak sama

ketika periode sebelumnya. Dalam proses tersebut manusia akan mengalami tahap

perkembangan yang berbeda dan setiap tahap yang dilalui akan memberikan beberapa

perubahan. Perubahan tersebut terjadi pada fungsi biologis dan motoris, pengamatan dan

berpikir, motif-motif dan kehidupan afeksi, hubungan sosial serta integrasi masyarakat

(Monks, 2002).

Menurut Hurlock (1980), salah satu ciri usia lanjut adalah mengalami periode

kemunduran. Kemunduran yang terjadi seperti mengalami perubahan fisik dan mental yang

sudah tidak sama ketika periode sebelumnya. Kemunduran fisik dan mental yang terjadi

secara bertahap dan perlahan disebut dengan proses menjadi tua.

Pada saat proses penuaan, otak dapat mengalami gangguan kognitif atau intelektual.

Gangguan tersebut sering diistilahkan dengan kepikunan. Kepikunan dianggap sebagai proses

fisiologis yang wajar pada saat terjadinya penuaan. Cummings dan Benson (1992)

menggunakan istilah "senescence" yang menandakan perubahan proses menua yang masih

dalam taraf normal. Terdapat juga istilah “senility” untuk gangguan intelektual yang terjadi

Page 8: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pada lanjut usia tetapi belum pikun, dan apabila sudah ada gangguan kepikunan maka

istilahnya adalah “dementia” (Besdin, 1987 dalam Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999 ).

Demensia merupakan kekurangan fungsi kognitif secara progresif yang banyak

muncul pada usia lanjut (Sarafino, 2006). Karakteristik Demensia ditandai dengan gejala-

gejala gangguan pada komponen kognitif seperti berbahasa, memori, visuospasial, atensi, dan

fungsi eksekutif. Biasanya gangguan memori selalu ada dan diikuti oleh gangguan kognitif

lainnya (Sjahrir, Darulkutni, Rambe, 1999).

Salah satu penyebab dari Demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer

merupakan suatu gangguan otak yang progresif dan tidak dapat balik, yang dicirikan dengan

kemorosotan secara perlahan dari ingatan, penalaran, bahasa, dan fungsi fisik (Santrock,

1995). Penyakit Alzheimer paling banyak timbul setelah usia 65 tahun. Organisasi Kesehatan

Dunia (WHO), memperkirakan lebih dari satu milyar orang tua yang berusia lebih dari 60

tahun atau 10% penduduk dunia menghidap penyakit Alzheimer pada tahun 2003.

Peningkatan ini, ada kaitannya dengan semakin banyak penduduk dunia yang berusia lanjut.

Pada saat ini penderita penyakit Alzheimer di dunia diperkirakan sebanyak 15 juta orang

(www.w3c.org). Laporan Departemen Kesehatan tahun 1998, populasi usia lanjut di atas 60

tahun adalah 7,2% (populasi usia lanjut kurang lebih 15 juta). Peningkatan angka kejadian

kasus demensia berbanding lurus dengan meningkatnya harapan hidup suatu populasi.

Penderita penyakit Alzheimer di Indonesia sendiri diperkirakan sebanyak 606.100 orang

dengan insiden 191.400 orang (www.koalisi.org). Penyakit Alzheimer merupakan penyakit

yang menyebabkan kematian nomor empat setelah kanker, stroke, dan penyakit jantung.

Angka kejadian Alzheimer sangat erat dengan penambahan usia. Pada usia 65 tahun

lebih angka kejadian kepikunan adalah 8%, meningkat secara pasti menjadi 25% pada usia

Page 9: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

lebih dari 80 tahun, dan 40% pada usia 90 tahun lebih ( dalam Sjahrir, Darulkutni,

Rambe, 1999).

Penderita penyakit Alzheimer akan mengalami beberapa perubahan di otak yang akan

menganggu aktivitas kehidupan sehari-hari. Gangguan otak pada penyakit Alzheimer ditandai

dengan penurunan pada perhatian, memori, dan kepribadian. Perubahan kepribadian

penderita Alzheimer terjadi secara tiba-tiba dimana penderita menjadi kurang spontan dan

lebih menarik diri dari orang lain. Penderita penyakit Alzheimer juga sering mengalami

disorientasi dalam waktu, tempat, dan identitas mereka (Sarafino, 2006).

Penurunan kognitif yang terjadi pada penderita penyakit Alzheimer berlangsung

semakin menurun secara progresif dan biasanya tampak dalam waktu lima sampai 10 tahun

mendatang. Kekurangan kemampuan sosial dan penurunan melakukan aktivitas sehari-hari

akan membuat penderita memerlukan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari

(Bayer&Reban, 2004). Bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari akan menyebabkan

penderita membutuhkan seseorang untuk merawat. Seseorang yang melakukan perawatan

disebut dengan caregiver. Caregiver terdiri dari formal dan tidak formal. Caregiver formal

merupakan perawatan yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun

tenaga profesional lainnya yang diberikan dan melakukan pembayaran. Sedangkan caregiver

yang tidak formal merupakan perawatan yang dilakukan di rumah dan tidak profesional dan

tanpa melakukan pembayaran seperti keluarga penderita yaitu istri/suami, anak

perempuan/laki-laki, dan anggota keluarga lainnya. Kebanyakan para penderita penyakit

Alzheimer akan tinggal di rumah dan menerima perawatan dari keluarga mereka (Sarafino,

2006). Di Indonesia, para penderita penyakit Alzheimer masih ditangani oleh keluarga dan

lingkungan yang ada di sekitarnya. Organisasi dan kelompok formal yang belum banyak

Page 10: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

tersedia di Indonesia menyebabkan kebanyakan penderita penyakit Alzheimer menerima

perawatan di rumah dan diberikan oleh keluarganya (Kusumoputro & Sidiarto, 2004).

Caregiver memiliki beberapa tugas yang dilakukan yaitu (1) emotional support,

pemberian saran; (2) asisten dalam pekerjaan rumah tangga (seperti pembersihan rumah,

persiapan makan, belanja, transportasi); (3) perawatan diri (seperti mandi, berpakaian,

makan, persiapan obat); (4) mengatur keuangan; (5) membuat keputusan tentang perawatan

dan berhubungan langsung dengan pelayanan kesehatan formal (seperti mengatur pelayanan

dalam rumah dan pelayanan kesehatan); (6) asisten pengaturan finansial (Brody &

Schoonover, 1986; Horowitz, 1985; Noelker, 1987; Townsend & Poulshock, 1986 dalam

Birren & Schaie, 1990).

Efek dari penyakit Alzheimer tidak hanya berdampak bagi penderita tetapi juga

berdampak pada anggota keluarga yang memberikan perawatan atau caregiving (Berk, 2007).

Kejadian yang stressful pada caregiver saat melakukan perawatan pada penderita penyakit

Alzheimer berhubungan dengan gangguan kognitif, fungsional dan perilaku yang dialami

oleh penderita. Aneshensel et al. (1995) menjelaskan objective stressor seperti kerusakan

kognitif, ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan masalah perilaku.

Sedangkan subjective stressor seperti reaksi caregiver pada objective stressor yang ada

(dalam Robertson, Zarit, Duncan, Rovinne, & Femia, 2007).

Salah satu stressors dari objective stressor adalah munculnya gangguan perilaku pada

penderita. Beberapa gangguan perilaku tersebut yaitu termasuk gangguan mood (seperti

depresi dan kecemasan), gangguan aktivitas (seperti mengembara), perilaku yang

mengganggu dan menuntut (seperti agresi secara fisik dan verbal), dan gejala psikotik

(seperti delusi). Gangguan perilaku yang merupakan karakteristik pada penderita Alzheimer

Page 11: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dapat berhubungan dengan munculnya depresi pada caregiver (Schulz, 1995 dalam

Neundorfer, McClendon, Smyth, Stuckey, et al, 2001).

Penderita penyakit Alzheimer semakin lama akan kehilangan fungsi kognitif,

kemampuan untuk melakukan tugas yang sederhana dan mengingat. Hilangnya fungsi

kognitif pada penderita penyakit Alzheimer akan membuat keluarga penderita Alzheimer

akan semakin frustasi (Migliorelli, 1995 dalam Sarafino, 2006). Hal ini dapat dilihat dari

hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut

seperti :

“..kita lihat kemundurannya hari ke hari..kadang-kadang itu yang bikin stres.. kalo kita perhatiin, kelihatan juga mundur..dari segi daya ingat, pikiran, sifatnya juga dah berubah....” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Menurut hasil observasi peneliti pada fenomena yang dialami oleh NK (79 tahun)

yang merupakan istri dari KK (91 tahun) di Kota Medan merupakan salah satu contoh dari

munculnya stres pada caregiver akibat gangguan perilaku yang dialami oleh penderita

penyakit Alzheimer. KK menderita penyakit Alzheimer selama kurang lebih tujuh tahun.

Sebelum KK menderita penyakit Alzheimer, KK merupakan sosok yang sangat lembut dan

baik. KK tidak pernah marah kepada istrinya dan anak-anaknya. Setelah KK menderita

penyakit Alzheimer, KK berubah menjadi sosok yang tidak lembut, sering marah tanpa

alasan, dan membentak istrinya dan anak-anaknya. KK juga sulit untuk melakukan aktivitas

sehari-hari seperti makan yang banyak, tidur yang cukup, dan lainnya. Gangguan-gangguan

tersebut menyebabkan istri KK yaitu NK yang merupakan caregiver penderita menjadi stres

yang berlanjut. NK menjadi sulit tidur dan sering meminta obat ke dokter untuk mengurangi

stres.

Memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang terkena penyakit Alzheimer

menjadi tuntutan bagi pasangan penderita dan anak penderita yang sudah dewasa.

Page 12: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Pengalaman dalam memberikan perawatan kepada anggota keluarga yang terkena penyakit

Alzheimer dapat memberikan hasil yang negatif pada caregiver. Hasil negatif tersebut antara

lain stres, strain, masalah kesehatan fisik dan mental, dan beban (Aneshensel, Pearlin,

Mullen, Zarit, & Whitlatch, 1995; Schulz & Beach, 1999 dalam Robertson, Zarit, Duncan,

Rovinne, & Femia, 2007). Caregiver juga memiliki waktu yang sedikit diberikan untuk

anggota keluarga lainnya dan untuk aktivitas waktu luang bagi dirinya sendiri (Ory et al,

1999 dalam Hooyer & Roodin, 2003).

Istri yang menjadi caregiver bagi penderita Alzheimer lebih mengalami simtom

depresi daripada suami. Hal ini dikarenakan kehilangan kedekatan seperti saling bercerita dan

melakukan aktivitas bersama dalam hubungan perkawinan berhubungan dengan kerusakan

kognitif yang dialami penderita Alzheimer (Hoyer&Roodin, 2003).

Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara singkat dengan caregiver penderita

penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut seperti :

“...kita butuh kawan..untuk ngobrol dah gak bisa la.. gak bisa cerita apa aja gak bisa lagi.. dia ngerti sih tapi abis itu lupa lagi.. kadang pengen cerita yang dulu-dulu.. tapi gak bisa lagi.. memang jadi stres juga.. kita ada anak-anak, tapi dah ada kesibukan masing-masing.. gak bisa terus sama.. kadang kalo malam dah mau tidur kita gak ada kawan lagi.. jadi gimanapun juga suka stres sih. .sering lah.. kadang juga sampe minta obat ma dokter.. jadi susah tidur... ” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Tuntutan untuk merawat penderita penyakit Alzheimer dapat menimbulkan masalah

fisiologis dan emosional bagi keluarganya (Sarafino, 2006). Istri menjadi lebih terbebani

dengan kesehatan penderita Alzheimer seperti menjadi lebih khawatir, frustasi, dan tidak

sabar sehingga mengakibatkan kerja yang berlebihan (Barrow, 1996). George dan Gwyther

(1986) menemukan bahwa pada caregiver penderita demensia lebih mengalami stres daripada

penyakit kronis lainnya.

Page 13: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Stres yang dialami oleh caregiver akan mempengaruhi kesehatan mereka sendiri yaitu

sistem imun yang rendah, hormon stress yang tinggi, dan tingkat angka kematian yang tinggi

(Sarafino, 2006). Caregiver berusaha untuk mengimbangi potensi yang ia miliki dengan

tuntutan untuk memberikan perawatan. Penerimaan potensi yang dimiliki caregiver dapat

membuat dirinya menjadi lebih aktif dan melihat situasi yang ada dengan pandangan positif

(dalam Dacey dan Travers, 2002).

Pada saat mengalami stres, orang akan mencari dan menggunakan berbagai cara untuk

mengurangi dan menghilangkan stresnya atau biasa disebut dengan coping stress (Sarafino,

2006). Folkman dan Lazarus (dalam Rice, 1992) mendefinisikan coping sebagai usaha

individu dalam menghadapi dan bertingkah laku untuk menguasai, mengurangi, atau

memaklumi permintaan atas dirinya. Menurut Lazarus,dkk (1994) coping mempunyai dua

macam fungsi yaitu emotion-focused coping dan problem-focused coping.

Emotion-focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres.

Pengaturan respon emosi menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif.

Pendekatan perilaku termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari

teman atau keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah

bagaimana orang berpikir mengenai situasi stressful (Sarafino, 2006). Social support

merupakan perantara bagi caregiver untuk mengurangi stres. Penerimaan social support yang

baik akan meningkatkan semangat dan mengurangi beban pada caregiver(Birren dan Schaie,

1990).

Hal yang sama juga diperoleh dari hasil wawancara singkat dengan caregiver

penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut beragam mulai dari pernyataan seperti:

“..banyak baca juga tentang penyakit Alzheimer... kalo gak, jadi kesel terus..soalnya kita gak ngerti..makanya harus ngerti sama cari-cari informasi...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Page 14: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

“kalo jenuh ya keluar...pergi ke supermarket..yang dibeli juga satu atau dua barang aja.. tapi yang penting keluar aja dulu...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Caregiver mengambil salah satu dari tiga tipe emosional dalam coping stress dengan

merawat anggota keluarga yang menderita penyakit Alzheimer. Tipe-tipe tersebut adalah

confrontatial ( seperti marah, bersalah, sedih), denial (seperti menekan emosi negatif), dan

penghindaran (Hooyer & Roodin, 2003).

Beberapa penelitian menemukan bahwa penggunaan strategi emotion-focused coping

yang berbeda seperti penghindaran, pengharapan, dan pelepasan emosi dapat meningkatkan

depresi pada caregiver. Penggunaan satu strategi emotion-focused yaitu penerimaan dapat

mengurangi efek negatif pada caregiver (Pruchno & Resch, 1989 dalam Powers, Gallagher-

Thompson, Kraemer, 2002). Hal yang sama juga diperoleh dari hasil wawancara singkat

dengan caregiver penderita penyakit Alzheimer. Pernyataan tersebut beragam mulai dari

pernyataan seperti:

“...mesti banyak sabar... kalo marah juga percuma..dianya juga gak tahu.. tapi akhirnya jadi stres... yah, kita harus bisa nerima memang dah jalannya dan seperti ini.. kita balik lagi ke agama...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

“...ada kejenuhan...tapi abis itu mikir jalan hidup yang harus kita jalani..dengan tawakkal..kalo gak, kita sendiri yang pusing sendiri...” (Komunikasi Personal, 15 Maret 2008)

Problem-focused coping digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari

situasi stressful atau mengembangkan sumber pada dirinya. Individu akan mengurangi

stressor dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru. Pendekatan problem-focused

cenderung digunakan jika individu yakin akan dapat merubah situasi. Caregiver pada pasien

terminal illness menggunakan problem-focused coping pada beberapa bulan sebelum menuju

kematian (Sarafino, 2006).

Page 15: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Terkadang individu menggunakan tipe Emotion-Focused Coping dan Problem-

Focused Coping secara bersamaan ketika mereka menghadapi situasi yang stressful. Menurut

Lazarus dan Folkman (1984), penggunaan strategi coping stress yang efektif dapat berbeda-

beda sesuai dengan situasi dimana strategi tersebut digunakan.

Berdasarkan permasalahan yang dikemukakan di atas peneliti ingin mengetahui

bagaimana pengalaman stres yang dialami oleh keluarga penderita Alzheimer dan coping

stress pada keluarga yang merawat individu penderita Alzheimer.

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka peneliti merumuskan beberapa pertanyaan yang

akan dijawab melalui penelitian ini. Dengan demikian dapat dirumuskan masalah utama

penelitian ini adalah :

1. Bagaimanakah pengalaman stres pada caregiver yaitu pasangan dari individu penderita

Alzheimer?

2. Bagaimanakah strategi coping stress yang digunakan oleh caregiver yaitu pasangan dari

individu penderita Alzheimer?

C. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengalaman stres dan gambaran

strategi coping stress yang dialami oleh pasangan penderita penyakit Alzheimer yang

berperan menjadi primary caregiver penderita.

D. Manfaat Penelitian

Page 16: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

1. Manfaat Teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat untuk perkembangan ilmu

psikologis, khususnya di bidang Psikologi Klinis dan bermanfaat menjadi salah satu sumber

informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan

coping stress pada pasangan penderita penyakit Alzheimer yang berperan menjadi primary

caregiver penderita.

2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada keluarga dan

orang-orang di sekitar individu penderita Alzheimer, institusi yang berada dalam bidang

Alzheimer dan pihak lain yang berkepentingan mengenai coping stress pada pasangan dari

individu penderita Alzheimer sehingga diharapkan dapat membantu mengatasi masalah-

masalah yang berhubungan dengan individu penderita Alzheimer tersebut.

E. Sistematika Penulisan

Penelitian ini dirancang dengan susunan sebagai berikut :

BAB I : Pendahuluan

Berisikan latar belakang permasalahan, perumusan masalah, tujuan penelitian,

manfaat penelitian serta sistematika penulisan.

BAB II : Landasan Teori

Berisikan teori-teori yang menjelaskan data penelitian yaitu teori tentang stres,

coping stress, caregiving dan caregiver, dan penyakit Alzheimer.

Page 17: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB III : Metodologi Penelitian

Berisikan pendekatan yang digunakan, subjek penelitian, metode

pengumpulan data, alat bantu pengumpulan data penelitian, prosedur

penelitian dan prosedur analisis data

BAB II

LANDASAN TEORI

A. Stres

1. Pengertian Stres

Dalam buku Stres and Health, Rice (1992), mendefinisikan stres dengan tiga

pengertian yang berbeda, yaitu :

Page 18: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

a. Stres mengarah pada setiap kejadian atau stimulus lingkungan yang menyebabkan

seseorang merasa tertekan atau dibangkitkan. Dalam hal ini, stres berasal dari

eksternal seseorang. Kondisi yang dapat menimbulkan stres disebut dengan stressor.

Setiap situasi, peristiwa/kejadian atau objek yang memaksa tubuh dan menyebabkan

timbulnya ”physiological reaction” adalah stressor.

b. Stres mengarah pada respon subjektif. Dalam hal ini, stres merupakan bagian internal

dari mental, termasuk didalamnya adalah emosi, pertahanan diri, interpretasi dan

proses coping yang terdapat dalam diri seseorang.

c. Stres mengarah pada physical reaction dalam mengatasi ataupun menghilangkan

gangguan.

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengatakan stres adalah

keadaan dimana transaksi yang ada membuat orang mempunyai kesenjangan antara tuntutan

fisik atau fisiologis dari situasi dan sumber dari sistem biologis, psikologis, dan sosialnya.

Lazarus dan Folkman (dalam Morgan, 1986) mengatakan stres adalah keadaan

internal yang dapat diakibatkan oleh tuntutan fisik dari tubuh (kondisi penyakit, latihan, dan

lainnya) atau oleh kondisi lingkungan dan sosial yang dinilai potensial membahayakan, tidak

terkendali atau melebihi kemampuan individu untuk melakukan coping. Penyebab stres yang

berasal dari fisik, lingkungan, dan sosial dapat diartikan dengan stressor. Sekali dimunculkan

oleh stressor maka memberikan berbagai macam respon, yaitu respon secara fisik dan

psikologis seperti kecemasan, depresi, keputusasaan, dan perasaan lainnya yang tidak dapat

diatasi.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa stres adalah

terjadinya kesenjangan antara tuntutan fisik, lingkungan, dan sosial dengan sumber daya yang

dimiliki individu.

Page 19: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

2. Sumber Stres

Sarafino (2006) mengatakan tiga jenis sumber stres yang dapat terjadi pada

kehidupan, yaitu :

1. Sumber yang berasal dari individu

Salah satu sumber stres yang berasal dari individu adalah terkenanya penyakit.

Sumber stres yang lain adalah ketika munculnya konflik pada individu.

2. Sumber yang berasal dari keluarga

Tingkah laku, kebutuhan, dan kepribadian masing-masing anggota keluarga dapat

memberikan dampak dan berhubungan dengan sistem keluarga yang terkadang

menghasilkan stres. Sumber-sumber stres dapat berasal dari adanya anggota baru

dalam keluarga misalnya kelahiran anak, perceraian, dan penyakit dan kematian

pada anggota keluarga dimana jika ada orang tua yang sakit dan harus dirawat

oleh anggota keluarganya dapat meningkatkan stres terutama orang tersebut harus

dirawat terus menerus dan mengalami penurunan mental (Martine&Schulz, 2001).

3. Sumber yang berasal dari komunitas dan masyarakat

Hubungan interpersonal yang ada di luar keluarga dapat menjadi sumber stres.

Pengalaman pada orang dewasa yang dapat menjadi sumber stres berhubungan

dengan pekerjaan mereka dan berbagai situasi lingkungan yang dapat menjadi

tertekan.

B. Coping Stress

1. Pengertian Coping

Page 20: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Menurut Lazarus dan Folkman (dalam Taylor, 2003), coping adalah proses yang

mengatur tuntutan dari eksternal atau internal yang muncul melampaui batas sumber daya

seseorang. Coping terdiri dari usaha langsung pada aksi dan intrapsychic untuk mengatur

(seperti mengurangi, memahami, mengecilkan) lingkungan dan tuntutan dari internal serta

konflik diantara keduanya. Definisi dari coping ini mempunyai beberapa aspek, yaitu :

1. Hubungan antara coping dan situasi yang penuh tekanan merupakan proses yang

dinamis. Coping merupakan gabungan transaksi antara seseorang yang

mempunyai susunan sumber daya, nilai, dan komitmen dengan suatu lingkungan

khusus yang mempunyai sumber daya, tuntutan dan paksaannya sendiri.

2. Definisi kedua dari coping adalah keluasan cakupannya. Definisi ini meliputi

banyak aksi dan reaksi terhadap situasi yang penuh tekanan. Reaksi emosi seperti

marah atau depresi dapat dijadikan bagian dari proses coping dan juga aksi yang

dijalankan untuk menghadapi situasi tersebut.

Lazarus dan Folkman (dalam Sarafino, 2006) mengatakan coping adalah usaha

seseorang untuk mengatur kesenjangan antara tuntutan dan sumber daya yang dimiliki dalam

situasi yang penuh dengan tekanan. Usaha coping dapat diartikan dengan memperbaiki

masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya terhadap kesenjangan,

menerima ancaman, atau menghindar dari situasi.

Menurut Suls dan Fletcher (Rice, 1992) bahwa perilaku coping mungkin bersifat

positif atau negatif, aktif atau menghindar, secara langsung atau tidak langsung. Hal ini

mencakup mencari pertolongan, mencari informasi atau perhatian yang menyenangkan.

Page 21: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa coping adalah suatu

proses dimana individu berusaha untuk mengatur atau mengelola diri terhadap tuntutan-

tuntutan baik secara internal maupun eksternal.

2. Fungsi Coping Stres

Secara umum menurut Lazarus, dkk ( Sarafino, 2006) coping mempunyai dua fungsi,

yaitu:

a. Emotion-focused coping

Digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap stres. Pengaturan respon emosi

menggunakan dua pendekatan yaitu perilaku dan kognitif. Pendekatan perilaku

termasuk dengan menggunakan alkohol, mencari social support dari teman atau

keluarga, dan melakukan aktivitas lain. Sedangkan pendekatan kognitif adalah

bagaimana orang berpikir mengenai situasi yang penuh tekanan.

b. Problem-focused coping

Digunakan oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan

atau mengembangkan sumber daya pada dirinya. Individu akan mengurangi stresor

dengan mempelajari cara atau ketrampilan baru. Pendekatan ini cenderung digunakan

jika individu yakin akan dapat merubah situasi.

3. Metode Coping Stres

Taylor (2003) mengatakan bahwa metode coping terdiri dari:

a. Planful Problem Solving yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah

usaha untuk fokus pada masalah dan mencari pemecahannya.

Page 22: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

b. Confrontative adalah coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah usaha

yang agresif untuk mengubah situasi.

c. Seeking Social Support adalah coping yang bertujuan sebagai Problem focused,

adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari orang

lain.

d. Direct Action yaitu coping yang bertujuan sebagai problem focused, adalah tindakan

secara langsung untuk merubah situasi menjadi lebih baik.

e. Distancing adalah coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha

untuk melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan.

f. Escape/Avoidance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused, adalah usaha

untuk meghindar atau lari dari masalah.

g. Self Control yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah yaitu

mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan masalah yang

ada.

h. Accepting Responsibility yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah

yaitu berusaha mengambil pengetahuan tentang peranannya dalam suatu

masalah,sambil berusaha membetulkan apa yang salah.

i. Positive Appraisal yaitu coping yang bertujuan pada emotion focused, adalah usaha

untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan fokus pada

pertumbuhan diri.

j. Emotional Discharge yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah

melibatkan pengekspresian atau pelepasan perasaan tentang situasi yang menekan.

k. Religion yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk

mendapatkan kenyamanan dari agama dan kepercayaan spiritual.

Page 23: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

l. Acceptance yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk

menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi.

m. Cognitive Redefinition yaitu berusaha tetap terlihat baik didalam situasi yang buruk,

membuat sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat

sesuatu yang baik yang muncul dari masalah itu.

n. Denial yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah usaha untuk

menolak situasi yang tidak menyenangkan.

o. Intrusive Troughts yaitu coping yang bertujuan sebagai emotion focused,adalah

berpikir berulang-ulang tentang kesalahan orang lain sehingga muncul masalah

tersebut.

C. Caregiving dan Caregiver

1. Pengertian Caregiving dan Caregiver

Meningkatnya harapan hidup manusia sehingga bisa mencapai usia lanjut merupakan

perubahan demografis yang terjadi paling drastis pada abad ke-20. Usia lanjut merupakan

suatu periode dari rentang kehidupan yang ditandai dengan perubahan atau penurunan fungsi

tubuh yang tidak sama ketika periode sebelumnya (Papalia, 2001).

Penurunan fungsi tubuh yang dialami para lansia merupakan salah satu alasan

mengapa para lansia membutuhkan bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari

disebabkan mereka menderita penyakit kronis. Pemberian bantuan ini bisa datang dari

institusi formal seperti perawat rumah sakit atau tenaga professional lainnya atau dari

mekanisme informal seperti keluarga, kerabat atau lingkungan di sekitarnya.

Page 24: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Pemberian bantuan atau perawatan oleh anggota keluarga kepada para lanjut usia

biasa disebut dengan caregiving. Lund (1993) mendefinisikan caregiving atau pemberian

perawatan sebagai berikut :

“Caregiving is informal, unpaid care of a person whose independence is physically, mentally, or economically limited. It may include errands, chauffeuring, help with finances, or housework, or complete physical care.”

(dalam Papalia and Sterns, 2002)

Schulz, Mittelmark, Burton, Hirsch, & Jackson (1997) mendefinisikan caregiving

sebagai berikut :

“Caregiving is typically defined as living with or being related to an elderly individual with a cognitive deficit and/or functional disability. Relatives of the disabled elderly person are presumed to be providing care by virtue of their relation to the disabled person and/or because they live with them, even though no direct evidence is reported regarding the extent to which care provision actually occurs”

(dalam Schulz, Mittelmark, Burton, Hirsch, & Jackson, 1997)

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa caregiving adalah pemberian

perawatan atau bantuan secara informal dan tidak menerima pembayaran kepada individu

yang tidak mandiri serta memiliki keterbatasan fisik, mental atau ekonomi. Anggota keluarga

dari lansia yang mempunyai keterbatasan mempunyai tanggung jawab untuk memberikan

perawatan kepada lansia tersebut dikarenakan mereka tinggal bersama lansia tersebut atau

mempunyai tugas moral yang harus dipenuhi. Bentuk pemberian bantuan termasuk

berbelanja, membawa kendaraan, membantu secara finansial, pekerjaan rumah atau

perawatan fisik secara utuh.

Page 25: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Mahalnya biaya panti wredha atau rumah perawatan dan keengganan para lanjut usia

untuk dirawat disana, membuat para lanjut usia yang membutuhkan bantuan memperoleh

perawatan di rumah. Baroness Pitkeathley (1989) mendefiniskan caregiver sebagai berikut :

“Someone whose life is in some way restricted by the need to be responsible for the care of someone who is mentally ill, mentally handicapped, physically disabled or whose health is impaired by sickness or old age.”

Berdasarkan definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa caregiver merupakan seseorang yang

mempunyai tanggung jawab untuk memberikan perawatan pada seseorang yang sakit secara

mental, ketidakmampuan secara fisik atau kesehatannya terganggu karena penyakit atau usia

tua yang diderita.

2. Tugas-tugas Caregiving

Menurut Brody & Schoonover (1986), Horowitz (1985), Noelker (1987), Townsend

& Poulshock (1986) (dalam Birren & Schaie, 1990) mengatakan ada enam jenis tugas yang

dilakukan oleh caregiver, yaitu :

1. Memberikan dukungan emosi dan pemberian saran

2. Asisten dalam melakukan pekerjaan rumah tangga seperti pembersihan rumah,

persiapan makan, belanja, dan transportasi

3. Membantu dalam perawatan personal seperti memandikan, membantu berpakaian,

makan, dan mempersiapkan obat

4. Mengatur keuangan

5. Membuat keputusan tentang perawatan dan berhubungan langsung dengan pelayanan

kesehatan formal seperti mengatur pelayanan dalam rumah dan pengasuhan

6. Asisten dalam pengaturan finansial

Page 26: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

3. Jenis-Jenis Caregiver

Menurut Barrow (1996), caregiver terdiri dari dua jenis, yaitu :

1. Caregiver formal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan melakukan

pembayaran yang disediakan oleh rumah sakit, psikiater, pusat perawatan ataupun

tenaga profesional lainnya

2. Caregiver informal yaitu seseorang yang memberikan perawatan dengan tidak

melakukan pembayaran dan tidak secara tenaga professional. Perawatan ini dapat

dilakukan di rumah dan biasa diberikan oleh pasangan penderita, anak dari penderita

atau anggota keluarga lainnya.

4. Gambaran Kerangka Proses Stres dan Coping Stres pada Caregiver

Dalam Birren dan Schaie (1999), elemen-elemen dari gambaran proses stress dan

coping pada caregiver terdiri dari :

a. Stressor atau kejadian hidup

Stressor pada model ini terdiri dari dua bentuk yaitu pertama masalah kesehatan yang

dialami oleh penderita seperti gejala penyakit yang timbul. Menurut Aneshensel et al.

(1995) gejala penyakit yang timbul pada penderita Alzheimer seperti kerusakan

kognitif, ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari, dan gangguan

perilaku. Hal ini dikatakan sebagai objective stressor pada caregiver. Stressor kedua

yaitu perubahan hidup yang terjadi pada caregiver saat ia memberikan perawatan.

Perubahan hidup yang terjadi pada caregiver seperti berubahnya tuntutan peran dari

yang dahulu dan adanya tuntutan dari keluarga, tempat kerja, pertemanan, dan

Page 27: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

finansial yang dialami oleh caregiver. Bagaimana reaksi caregiver terhadap objective

stressor yang ada. Hal ini dikatakan sebagai subjective stressor.

b. Appraisal

Appraisal dalam model ini mempunyai dua aspek yaitu pertama persepsi caregiver

terhadap gejala-gejala penyakit yang timbul pada penderita sebagai sesuatu yang

menyedihkan atau dapat diatasi. Sedangkan aspek kedua yaitu penerimaan caregiver

terhadap perubahan hidupnya yang terjadi setelah ia memberikan perawatan.

Perubahan tersebut sebagai sesuatu yang dapat diterima atau tidak diterima dan

seberapa banyak ia dapat memberikan perawatan.

c. Mediator

Pada elemen ini, mediator dari kejadian yang stressful termasuk sumber yang dimiliki

oleh caregiver seperti kontribusi finansial, pendidikan, dukungan sosial, dan asisten

formal. Mediator kedua yaitu kemampuan coping stress pada caregiver. Kemampuan

coping termasuk (1) mengatur situasi yang ada seperti memecahkan masalah atau

mencari bantuan, (2) mengatur arti atau penerimaan dari situasi yang ada seperti

menolak untuk memikirkan, dan (3) mengatur gejala stres seperti mencari dukungan

sosial dan melakukan aktivitas lain.

d. Hasil yang keluar pada caregiver

Hasil yang ada pada caregiver biasanya mengarah pada bentuk stres atau beban yang

dirasakan. Bentuk dari stres termasuk distres secara emosi, muncul masalah kesehatan

pada caregiver, aktivitas sosial yang berkurang dilakukan, perubahan dalam

hubungan dengan penderita yang diberikan perawatan, dan tuntutan finansial yang

muncul.

Page 28: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

*Kerangka proses terjadinya stres dan coping pada caregiver*

Event Stressor Appraisal Mediator Outcomes

Simtom pada Persepsi caregiver Orang Tua pada simtom sbg Coping

menyedihkan atau Stress dapat diatasi

Penyakit Beban,Distress yang Timbul atau Adaptasi Perubahan Penerimaan pada Sumber dan Hidup perubahan hidup Dukungan Sosial Caregiver caregiver

D. Penyakit Alzheimer

1. Gambaran umum Penyakit Alzheimer

Alzheimer atau sebutannya az-zhai-me, merupakan sejenis penyakit penurunan fungsi

saraf otak yang kompleks dan progresif. Penyakit Alzheimer bukannya sejenis penyakit

menular. Penyakit Alzheimer adalah keadaan di mana daya ingatan seseorang merosot

dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus diri sendiri. (Wikipedia

Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia).

Page 29: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Penyakit Alzheimer adalah kerusakan otak yang ditandai dengan penurunan dari

perhatian, memori, dan kepribadian. Fungsi kognitif pada penderita penyakit Alzheimer tidak

hilang pada satu saat. Fungsi pertama yang menurun adalah perhatian dan memori. Perubahan

kepribadian sering muncul dimana penderita menjadi kurang spontan, lebih apatis, dan

menarik diri. Munculnya penurunan perhatian terhadap diri sendiri dan masalah perilaku

muncul ketika penderita menjadi sering berkelana dan tersesat. Penderita mengalami

disorientasi dalam memperhatikan waktu, lokasi, dan identitas mereka. Penurunan ini

semakin berkembang jika penderita mengalami kekurangan dalam bahasa atau mempunyai

sejarah pada alkohol atau gangguan neurologis seperti stroke atau Parkinson (dalam Sarafino,

2006).

Tanda-tanda klasik yang dialami oleh kebanyakan penderita pada stadium awal

sebagai berikut :

1. Short-term memory loss

Kemunduran fungsi memori merupakan tanda yang paling awal

2. Learning and retaining new information

Penderita mengalami kesulitan untuk belajar hal yang baru. Akibatnya adalah

mengulang-ulang sesuatu seperti pada pembicaraan dan janji.

3. Reasoning and abstractive thought

Kesulitan untuk melihat kalender, memahami lelucon, atau menentukan waktu.

Mengalami kesukaran dalam menghitung buku cek, memasak atau tugas yang

membutuhkan langkah berurutan.

4. Judgment and planning

Page 30: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Mengalami kesukaran dalam kemampuan untuk mengantisipasi atau

mempertimbangkan akibat suatu peristiwa atau tindakan. Tidak mampu memecahkan

masalah sehari-hari.

5. Language skills

Sangat sulit menemukan kata yang benar dalam mengungkapkan pikiran.

6. Inhibition and impulse control

Penderita yang dahulu pasif menjadi lebih agresif dan kadang-kadang berperilaku

tidak wajar.

Berdasarkan beberapa gambaran mengenai penyakit Alzheimer di atas dapat

disimpulkan bahwa penyakit Alzheimer merupakan penurunan kemampuan kognitif yang

terjadi secara progresif dan penderita mengalami beberapa perubahan.

2. Gejala Penyakit Alzheimer

Alzheimer's Disease and Related Disorders Association (dalam Adesla, 2007),

membuat 10 gejala penyakit Alzheimer yang sering muncul sebagai berikut:

1. Hilang ingatan.

Salah satu gejala awal dari demensia adalah melupakan informasi yang baru

dipelajari. Pada orang normal, wajar bila melupakan janji, nama atau nomor telepon.

Pada mereka yang mengidap demensia, mereka akan melupakan berbagai hal seperti

itu lebih sering dan kemudian tidak ingat akan hal tersebut.

2. Sulit untuk mengerjakan tugas yang familiar.

Orang yang terkena demensia seringkali kesulitan untuk menyelesaikan tugas sehari-

hari yang sangat mereka ketahui yang tidak perlu berpikir untuk melakukannya.

Orang yang terkena demensia tidak akan mengetahui langkah-langkah untuk

Page 31: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

menyiapkan makanan, menggunakan perabot rumah tangga atau berpartisipasi dalam

melakukan kegemarannya selama ini.

3. Bermasalah dengan bahasa.

Sesekali, setiap orang dapat memiliki masalah dalam menemukan kata yang tepat,

namun pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka seringkali lupa akan kata-kata

sederhatana ataupun substitusi dari kata yang tidak biasa digunakan, membuat ucapan

atau tulisannya sulit untuk dimengerti. Contohnya: jika orang yang mengidap

Alzheimer kesulitan untuk menemukan sikat giginya, maka ia akan bertanya "sesuatu

untuk mulut saya".

4. Disorientasi waktu dan tempat.

Normal jika lupa hari dari minggu itu atau dimana kamu pergi. Tapi orang yang

mengidap Alzheimer dapat tersesat di jalan dekat rumahnya sendiri, lupa dimana dia

berada dan bagaimana ia dapat sampai ke tempat tersebut, dan tidak tahu bagaimana

caranya dia bisa kembali ke rumah.

5. Lemah atau kurang baik dalam mengambil keputusan.

Tidak ada seorang pun yang memiliki keputusan sempurna di sepanjang waktu.

Namun demikian, pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka mengenakan baju

tanpa mempertimbangkan cuaca, memakai beberapa kaos di hari yang panas atau

memakai pakaian yang sangat minim ketika cuaca dingin. Orang dengan demensia

seringkali menunjukkan keputusan yang lemah atau kurang baik mengenai uang,

mereka memberikan sejumlah besar uang kepada para telemarket atau membayar

perbaikan rumah ataupun membeli barang yang tidak mereka butuhkan.

6. Bermasalah dengan pemikiran abstrak.

Page 32: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Menyeimbangkan buku cek mungkin menjadi begitu sulit ketika tugas tersebut lebih

rumit dari biasanya. Namun demikian, pada orang yang mengidap Alzheimer, mereka

akan benar-benar lupa berapa jumlah/angkanya, dan apa yang harus mereka lakukan

terhadap angka-angka tersebut.

7. Salah menempatkan segala sesuatu.

Setiap orang dapat secara tidak disengaja salah menempatkan/menaruh dompet atau

kunci. Orang yang mengidap Alzheimer akan meletakkan segala sesuatu pada tempat

yang tidak sewajarnya, contoh: meletakkan gosokan di dalam freezer atau meletakkan

jam tangan di dalam mangkuk gula.

8. Perubahan mood atau tingkah laku.

Setiap orang dapat menjadi sedih dari waktu ke waktu. Seorang yang mengidap

Alzheimer menampilkan mood yang tidak tentu/berubah-ubah dari tenang menjadi

ketakutan kemudian menjadi marah tanpa ada alasan yang jelas.

9. Perubahan kepribadian.

Kepribadian seseorang wajar mengalami perubahan seiring dengan usia. Namun

seorang yang mengidap Alzheimer dapat sangat berubah , menjadi benar-benar kacau,

penuh kecurigaan, ketakutan atau menjadi bergantung pada anggota keluarga.

10. Kehilangan inisiatif.

Lelah akibat pekerjaan rumah, aktivitas bisnis, atau kewajiban sosial sesekali waktu

adalah wajar. Namun demikian, orang yang mengidap Alzheimer dapat menjadi pasif,

duduk di depan televisi selama berjam-jam, tidur lebih dari biasanya atau tidak ingin

melakukan aktivitas yang biasanya dilakukan.

3. Stadium Penyakit Alzheimer

Page 33: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

1. Stadium awal

Penderita pada stadium awal menunjukkan gejala kesulitan dalam berbahasa,

mengalami kemunduran daya ingat secara bermakna, disorientasi dalam waktu,

tersesat di tempat yang dikenal, sulit membuat keputusan, kehilangan inisiatif dan

motivasi, menunjukkan gejala depresi dan agitasi, dan kehilangan minat dalam

hobi dan aktivitas.

2. Stadium menengah

Penderita pada stadium menengah menunjukkan gejala mudah lupa yang sering

terutama pada peristiwa baru dan nama orang, tidak dapat mengelola kehidupan

sendiri, sangat bergantung pada orang lain, membutuhkan bantuan untuk

kebersihan diri, makin sulit berbicara, mengalami masalah dalam mengembara (

wondering ) dan beberapa gangguan perilaku, tersesat di rumah sendiri, dan dapat

menunjukkan halusinasi.

3. Stadium akhir

Penderita pada stadium akhir menunjukkan gejala ketidakmandirian yang total,

tidak mengenali lagi anggota keluarganya, sulit memahami dan menilai peristiwa,

tidak mampu menemukan jalan di sekitar rumah sendiri, kesulitan berjalan,

mengalami inkontinensia buang air kecil dan besar, menunjukkan perilaku tidak

wajar di masyarakat, dan akhirnya bergantung pada kursi roda atau tempat tidur.

E. Coping Stress pada Caregiver Penderita Alzheimer

Pada saat lanjut usia, orang akan mengalami beberapa perubahan yaitu perubahan

fisik, kogntif , dan sosioemosional (Santrock, 1995). Perubahan kognitif yang terjadi pada

lanjut usia akan mengalami gangguan kognitif yang sering diistilahkan dengan kepikunan.

Page 34: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Gangguan kognitif ini juga dapat disebut dengan Demensia. Demensia merupakan

kekurangan fungsi kognitif secara progresif yang banyak muncul pada lanjut usia. Salah satu

bagian dari Demensia adalah penyakit Alzheimer. Penyakit Alzheimer biasa terjadi pada usia

65 tahun.

Penyakit Alzheimer merupakan jenis penyakit penurunan fungsi otak yang kompleks

dan progresif (Wikipedia Indonesia). Gangguan otak pada penyakit Alzheimer ditandai

dengan penurunan pada perhatian, memori, dan kepribadian (Sarafino, 2006). Penderita

penyakit Alzheimer akan mengalami beberapa tanda masalah pada stadium awal yaitu

kehilangan Short Term Memory, pembelajaran dan penerimaan informasi, pemikiran

abstraktif, penilaian dan perencanaan, kemampuan bahasa, dan kontrol diri. Perubahan-

perubahan yang dialami penderita penyakit Alzheimer akan membutuhkan seseorang untuk

merawat yang biasa disebut caregiver. Caregiver dapat berada pada sebuah institusi yang

khusus di bidang penyakit Alzheimer dan keluarga terdekat dari penderita penyakit

Alzheimer seperti istri, anak perempuan, dan lainnya. Kebanyakan para penderita penyakit

Alzheimer akan tinggal di rumah dan menerima perawatan dari keluarga mereka (Sarafino,

2006).

Tingkah laku penderita penyakit Alzheimer semakin bermasalah selama peningkatan

penyakitnya dan dapat meningkatkan stres dalam keluarganya (Sarafino, 2006). Tingkat

keparahan dari kerusakan kognitif dan masalah perilaku yang dialami oleh penderita

Alzheimer dapat menjadi pengaruh yang besar dalam kesehatan caregiver (Berk, 2007).

Keluarga yang berperan menjadi caregiver akan beresiko mengalami masalah fisik dan

kesehatan mental serta kematian yang lebih cepat jika ia memberikan kapasitas yang

berlebihan dalam caregiving (Schultz&Beach, Sovensen&Pinquart, 2005 dalam Berk 2007).

Caregiver tidak mengalami bentuk stress yang secara signifikan yang sama. Hal ini

Page 35: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

tergantung pada usia, keadaan yang terjadi, hubungannya dengan penderita dan sumber yang

ada (Harper dan Lund, 1990 dalam Papalia&Sterns, 2002).

Caregiver penderita penyakit Alzheimer lebih banyak menghabiskan waktu untuk

memberikan perawatan dan mengalami stres yang lebih banyak daripada caregiver penderita

penyakit lainnya (Ory et al, 2000). Pada saat mengalami stres, orang akan mencari dan

menggunakan berbagai cara untuk menghilangkan stresnya atau disebut dengan coping stres (

Sarafino, 2006).

Coping stres adalah proses dimana orang berusaha untuk mengatur kesenjangan

antara tuntuan dan sumber yang muncul pada situasi stresful. Usaha coping dapat diartikan

dengan memperbaiki masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya

terhadap kesenjangan, menerima ancaman, atau menghindar dari situasi (Sarafino,

2006).Coping stres memiliki dua fungsi yaitu emotion-focused coping dan problem-focused

coping.

Emotion-focused coping adalah usaha untuk mengatur respon emosional karena

situasi stresful (Sarafino, 2006). Menurut Folkman dan Lazarus dalam emotion-focused

coping mempunyai strategi coping yang spesifik yaitu self control adalah usaha untuk

mengatur perasaan seseorang, distancing adalah usaha untuk melepaskan diri dari situasi

yang stresful, positive reappraisal adalah usaha untuk mendapatkan makna yang positif

dalam pengalaman, accepting responsibility adalah usaha untuk membenarkan peran sendiri

dalam suatu masalah, dan escape / avoidance adalah usaha untuk menghindar dari masalah

dengan makan, minum, merokok, menggunakan obat, dan lainnya (Taylor, 2003).

Sedangkan problem-focused coping adalah usaha untuk mengurangi tuntutan dari

situasi yang penuh tekanan atau mengembangkan sumber daya pada dirinya (Sarafino, 2006).

Menurut Folkman dan Lazarus, dalam problem-focused coping mempunyai strategi coping

Page 36: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

yang spesifik yaitu confrontative coping adalah usaha yang agresif untuk mengubah situasi,

seeking social support adalah usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari

informasi dari orang lain, dan planful problem solving adalah usaha untuk fokus pada

masalah dan mencari pemecahan masalahnya (Taylor, 2003).

Page 37: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Perubahan Fisik Perubahan Kognitif Perubahan Sosioemosional

Demensia

Alzheimer

Masalah Spesifik Penyakit Alzheimer: - Perhatian - Memori - Kepribadian

Ditangani oleh :

Formal : Dokter, psikiater

Caregiver

Stres

Coping Stress

Emotion-focused coping

Problem-focused coping

Keluarga (istri)

Demensia Vaskuler Demensia karena kondisi medis :Penyakit HIV,Trauma kepala,Penyakit Parkinson,Penyakit Pick,Penyakit Creutzfeldt-Jakob

- Self control - Distancing - Positive reappraisal - Accepting

responsibility - Escape/avoidance

- Confrontative coping

- Seeking social support

- Planful problem solving

Lanjut Usia

Ket : Area Penelitian :

Informal

Objective stresssor

Subjective stressor

Page 38: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Penelitian Kualitatif

Bogdan dan Taylor (dalam Moleong, 2006) mendefinisikan metode penelitian

kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata

tertulis atau lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati. Pendekatan ini juga

untuk menggambarkan dan menjawab pertanyaan seputar subjek penelitian beserta

konteksnya.

Sejalan dengan definisi tersebut Kirk dan Miller (dalam Moleong, 2006)

mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan yang

secara fundamental bergantung dari pengamatan pada manusia baik dalam kawasannya

maupun dalam peristilahannya. Menurut Moleong (2006), penelitian kualitatif adalah

penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena yang dialami oleh subjek penelitian

misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain secara keseluruhan, dan dengan

cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah

dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah.

Pemilihan metode penelitian kualitatif menjadi metode dalam penelitian ini karena

peneliti ingin melihat pengalaman subjektif seorang caregiver yang merupakan keluarga dari

penderita penyakit Alzheimer, bagaimana pengalaman stres mereka dan strategi coping yang

digunakan untuk mengatasi stres mereka selama menjadi caregiver. Perbedaan strategi

coping yang digunakan oleh setiap orang untuk mengatasi stres juga merupakan alasan

peneliti mengapa menggunakan metode penelitian kualitatif, hal ini sesuai dengan fungsi dan

Page 39: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pemanfaatan kualitatif yaitu dapat melihat sesuatu secara mendalam, memahami isu-isu yang

sensitif, dan isu-isu yang rumit.

B. Subjek Penelitian

1. Karakteristik subjek penelitian

Adapun karakteristik subjek yang digunakan dalam penelitian telah disesuaikan

dengan tujuan penelitian yang akan diteliti adalah :

1. Caregiver penderita penyakit Alzheimer pada stadium menengah dan akhir yang

merupakan istri dari penderita.

Penderita Alzheimer pada stadium menengah dan akhir akan mengalami

peningkatan gangguan perilaku, ketergantungan dalam aktivitas sehari-hari, dan

penurunan fungsi kognitif. Peningkatan pada stadium menengah dan akhir

berhubungan dengan peningkatan stres dan gangguan kesehatan mental pada

caregiver (Alspaugh, Stephens, Townsend, Zarit, & Greene, 1999; Aneshensel

et.al., 1995; Walker, Acock, Bowman, & Li, 1996; Zarit, Todd, & Zarit, 1986).

Sekitar 40% caregiver disediakan oleh pasangan suami atau istri yaitu 14% oleh

suami dan 26% oleh istri (Harris, 1993 dalam Barrow, 1996).

2. Jumlah subjek penelitian

Menurut Patton (dalam Poerwandari, 2001), penelitian kualitatif memiliki sifat yang

luwes, oleh sebab itu tidak ada aturan yang pasti mengenai jumlah subjek yang harus diambil

dalam penelitian kualitatif. Jumlah subjek sangat tergantung pada apa yang dianggap

bermanfaat dan dapat dilakukan dengan waktu dan sumber daya yang tersedia. Jumlah subjek

yang akan diambil dalam penelitian ini adalah dua orang.

Page 40: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

3. Teknik pengambilan subjek

Prosedur pengambilan subjek dalam penelitian ini berdasarkan konstruk operasional

(theory-based/operational construct sampling). Subjek dipilih berdasarkan kriteria yang telah

ditetapkan, berdasarkan teori atau konstruk operasional sesuai dengan studi-studi

sebelumnya, atau sesuai dengan tujuan penelitian (dalam Poerwandari, 2001).

4. Lokasi penelitian

Penelitian akan dilakukan di Kota Medan, karena terdapat alasan kemudahan bagi

peneliti dalam menemukan sampel, mengingat peneliti juga berdomisili di Kota Medan

sekaligus menghemat biaya penelitian. Lokasi penelitian dapat berubah sewaktu-waktu dan

disesuaikan dengan keinginan dari subjek penelitian agar subjek merasa nyaman.

C. Metode Pengumpulan Data

Menurut Lofland dan Lofland (dalam Moleong, 2006) sumber utama dalam penelitian

kualitatif ialah kata-kata dan tindakan. Kata-kata dan tindakan ini dapat dicatat melalui

perekaman suara atau melalui catatan tertulis, pengambilan foto dan statistik. Pencatatan

sumber data utama dapat dilakukan dengan wawancara dan observasi yang merupakan hasil

gabungan dari kegiatan melihat, mendengar dan bertanya. Dalam penelitian yang dilakukan,

peneliti menggunakan metode pengumpulan data dengan wawancara.

1. Wawancara

Wawancara adalah percakapan tanya jawab yang diarahkan untuk mencapai tujuan

tertentu. Wawancara kualitatif dilakukan bila peneliti bermaksud untuk memperoleh

Page 41: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pengetahuan makna-makna subjektif yang dipahami individu berkenaan topik yang diteliti,

dan bermaksud melakukan eksplorasi terhadap isu tersebut, suatu hal yang tidak dapat

dilakukan melalui pendekatan lain (Banister dkk, 1994).

Jenis wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara

menggunakan petunjuk umum wawancara. Jenis wawancara ini mengharuskan pewawancara

membuat kerangka dan garis besar pokok-pokok yang dirumuskan tidak perlu ditanyakan

secara berurutan. Demikian pula penggunaan dan pemilihan kata-kata untuk wawancara

dalam hal tertentu tidak boleh dilakukan sebelumnya. Petunjuk wawancara hanyalah berisi

petunjuk secara garis besar tentang proses dan isi wawancara untuk menjaga agar pokok-

pokok yang direncanakan dapat seluruhnya tercakup. Pelaksanaan wawancara dan

pengurutan pertanyaan disesuaikan dengan keadaan responden dalam konteks wawancara

yang sebenarnya (dalam Moleong, 2006)

D. Alat Bantu Pengambilan Data

Menurut Poerwandari (2001), dalam metode wawancara, alat yang terpenting adalah

peneliti sendiri. Namun, untuk memudahkan pengumpulan data, peneliti membutuhkan alat

bantu. Alat bantu yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah berupa pedoman

wawancara dan alat perekam.

1. Pedoman wawancara

Pedoman umum wawancara memuat isu-isu yang berkaitan dengan tema penelitian

ini. Pertanyaan akan disesuaikan dengan situasi dan kondisi saat wawancara berlangsung

tanpa melupakan aspek-aspek yang harus ditanyakan. Pedoman ini digunakan untuk

mengingatkan sekaligus sebagai daftar pengecek bahwa semua aspek yang relevan telah

Page 42: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dibahas atau ditanyakan (dalam Poerwandari, 2001). Tema yang akan digunakan pada

pedoman wawancara adalah mengenai perasaan caregiver pada dampak penyakit yang

ditimbulkan oleh penderita, pengalaman stres yang dialami oleh caregiver, dan strategi

coping yang digunakan oleh caregiver.

2. Tape recorder

Tape recorder ini akan digunakan untuk merekam wawancara yang dilakukan

sehingga semua data penting yang diungkapkan subjek tidak ada yang terlupakan. Rekaman

wawancara berguna untuk verbatim sehingga mempermudah dalam melakukan pengkodean

dan analisis data. Penggunaan tape recorder ini akan dilakukan dengan seizin subjek

penelitian (dalam Poerwandari, 2001).

E. Kreadibilitas dan Validitas Penelitian

Dalam penelitian kualitatif dikenal istilah kreadibilitas yaitu istilah yang paling

banyak dipilih untuk mengganti konsep validitas yang dimaksud untuk merangkum bahasan

menyangkut kualitas penelitian kualitatif. Kreadibilitas studi kualitiatif terletak pada

keberhasilannya mencapai maksud mengeksplorasi masalah atau mendeskripsikan setting,

proses, kelompok sosial atau pola interaksi yang kompleks (Poerwandari, 2001).

Menurut Sarantoks (dalam Poerwandari, 2001) ada empat jenis validitas yang

digunakan dalam penelitian kualitatif yaitu :

1. Validitas Kumulatif

Validitas kumulatif dicapai bila temuan dari studi-studi lain mengenai topik yang

sama menunjukkan hasil yang kurang lebih serupa.

2. Validitas Komunikatif

Page 43: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Validitas komunikatif didapatkan melalui dikonfirmasikannya kembali data dan

analisa pada subjek penelitian. Data-data dan hasil analisa yang diperoleh akan

dikonfirmasikan kembali pada sampel penelitian ini adalah pasangan penderita yang

berperan menjadi caregiver penderita Alzheimer.

3. Validitas Argumentatif

Validitas argumentatif tercapai bila presentasi temuan dan kesimpulan dapat diikuti

dengan baik dan rasionalnya, serta dapat dibuktikan dengan melihat kembali ke data

mentah.

4. Validitas Ekologis

Validitas ekologis menunjukkan pada sejauh mana studi dilakukan pada kondisi

alamiah dari partisipan yang teliti, sehingga justru kondisi ”apa adanya” dan

kehidupan sehari-hari menjadi konteks penting penelitian.

Patton (dalam Poerwandari, 2001) mengemukakan beberapa cara untuk meningkatkan

kredibilitas penelitian kualitatif antara lain :

1. Mencatat bebas hal-hal penting serinci mungkin, mencakup catatan pengamatan

objektif terhadap setting, partisipan ataupun hal-hal yang terkait. Peneliti juga perlu

menyediakan catatan khusus yang memungkinkan menuliskan berbagai alternatif

konsep, skema atau metafora yang terkait dengan data. Catatan ini sangat penting

dalam memudahkan mengembangkan analisa dan interpretasi.

2. Mendokumentasikan secara lengkap dan rapi data yang terkumpul, proses,

pengumpulan data dan strategi analisnya.

3. Memanfaatkan langkah-langkah dan proses yang diambil peneliti-peneliti sebelumnya

sebagai masukan bagi peneliti untuk melakukan pendekatan terhadap penelitiannya

dan menjamin pengumpulan data yang berkualitas untuk penelitiaanya sendiri.

Page 44: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

4. Menyertakan partner atau orang-orang yang dapat berperan sebagai ”setan” atau

pengkritik yang memberikan saran-saran dan pembelaan (devil advocate) yang

memberikan pertanyaan-pertanyaan kritis terhadap analisa yang dilakukan peneliti.

5. Melakukan upaya-upaya konstan untuk menemukan kasus-kasus negatif; pemahaman

kita tentang pola dan kecenderungan yang telah kita identifikasikan akan meningkat

bila kita memberikan pula perhatian pada kasus-kasus yang tidak sesuai dengan pola

umum tersebut.

6. Melakukan pengecekan dan pengecekan kembali (checking dan rechecking) data,

dengan usaha menguji kemungkinan dugaan-dugaan yang berbeda. Peneliti perlu

mengembangkan pengujian-pengujian untuk mengecek analisa, dengan

mengaplikasikannya pada data, serta mengajukan pertanyan tentang data.

F. Prosedur Penelitian

Prosedur penelitian yang digunakan dalam penelitian ini sesuai dengan yang

diungkapkan Bogdan (dalam Moleong,2000). Terdapat tiga tahapan dalam prosedur

penelitian kualitatif, yaitu tahap pralapangan, pekerjaan lapangan, dan tahap analisa data.

1. Tahap Pralapangan

Pada tahap ini perispan penelitian, peneliti melakukan sejumlah hal yang diperlukan

untuk melaksanakan penelitian (Moleong, 2000) yaitu sebagai berikut:

a. Mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi dimasyarakat

Peneliti mengumpulkan berbagai fenomena yang terjadi di masyarakat yang

berhubungan dengan istri yang menjadi caregiver penderita Alzheimer, baik melalui

orang-orang sekitar, teman-teman, dosen, artikel, dan internet untuk meyakinkan

Page 45: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

peneliti mengenai aspek-aspek psikologis yang terjadi pada lansia penderita

kelumpuhan pascastroke. Setelah itu, peneliti merumuskan masalah yang ingin

diteliti sesuai dengan fenomena yang diperoleh.

b. Mempersiapkan landasan teoritis

Peneliti mengumpulkan informasi dan teori yang berhubungan dengan Alzheimer,

caregiver penderita Alzheimer, dan coping stress

c. Menyusun pedoman wawancara

Peneliti menyusun butir-butir pertanyaan berdasarkan kerangka teoritis untuk

menjadi pedoman dalam proses wawancara.

d. Persiapan untuk pengumpulan data

Peneliti mencari beberapa orang partisipan yang sesuai denga kriteria sampel yang

telah ditentukan, meminta kesediannya (inform concent) untuk menjadi partisipan.

e. Membangun rapport

Rapport juga dilakukan pada responden A dan responden B. Peneliti mengenal

responden A dan responden B dari Ayah peneliti yang merupakan dokter suami responden

yang menderita Alzheimer.

2. Tahap Pelaksanaan Penelitian

Peneliti meminta persetujuan partisipan untuk dijadikan partisipan penelitian. Setelah

itu, membuat janji pertemuan dan mulai melakukan wawancara. Wawancara akan dilakukan

di tempat yang ditentukan oleh subjek penelitian dan akan direkam dengan tape recorder

mulai dari awal hingga akhir, dan peneliti juga akan mencatat bahasa non verbal partisipan

ketika wawancara berlangsung.

Page 46: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Pelaksanaan pengambilan data responden A (Nazwa) dilakukan sebanyak 2 kali yaitu

wawancara I dilakukan pada hari Senin, 12 Januari 2009 pada pukul 14.00-16.00 WIB dan

wawancara II dilakukan pada hari Kamis, 29 Januari 2009 pada pukul 11.45-13.00 WIB.

Pelaksanaan pengambilan data responden B (Duma) dilakukan pada hari Rabu, 4 Februari

2009 pada pukul 14.00-16.00 WIB dan wawancara II dilakukan pada hari Jumat, 20 Februari

2009 pada pukul 14.30-16.00 WIB.

3. Tahap Pencatatan Data

Data yang telah diperoleh dari wawancara dituangkan ke dalam bentuk verbatim

berupa tulisan. Sedangkan data yang didapatkan dengan metode observasi berupa data

deskriptif berbentuk narasi. Data ini selanjutnya akan dianalisa sesuai dengan prosedur yang

telah ditentukan.

G. Prosedur Analisis Data

Data akan dianalisis menurut prosedur kualitatif, dengan mengumpulkan verbatim

wawancara dan mengolah data dengan metode kualitatif. Menurut Poerwandari (2001) proses

analisis data adalah sebagai berikut :

1. Organisasi data secara sistematis untuk memperoleh kualitas data yang baik,

mendokumentasikan analisis yang dilakukan dan menyimpan data dan analisis

yang berkaitan dalam penyelesaian penelitian.

2. Koding dan analisis. Mula-mula peneliti menyusun transkripsi verbatim atau

catatan lapangan sedemikian rupa sehingga ada kolom kosong yang cukup besar

sebelah kanan dan kiri transkrip untuk tempat kode-kode atau catatan tertentu,

kemudian secara urut dan kontinu melakukan penomoran pada baris-baris

Page 47: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

transkrip. Selanjutnya peneliti mulai memberikan perhatian pada substansi data

yang telah dikumpulkan.

3. Pengujian terhadap dugaan. Peneliti akan mempelajari data yang kemudian akan

mengembangkan data yang kemudian akan mengembangkan dugaan-dugaan yang

juga merupakan kesimpulan sementara. Pengujian terhadap dugaan berkaitan erat

dengan upaya mencari penjelasan yang berbeda mengenai data yang sama, dalam

hal ini peneliti harus mengikutsertakan berbagai perspektif untuk memungkinkan

keluasan analitis serta memeriksa bias-bias yang mungkin tidak disadari.

4. Strategi analisis. Proses analisis dapat melibatkan konsep-konsep yang muncul

dari jawaban atau kata-kata subjek maupun konsep yang dipilih atau

dikembangkan peneliti untuk menjelaskan fenomena yang dianalisis. Kata kunci

dapat diambil dari istilah yang dipakai oleh subjek.

5. Interpretasi, yaitu upaya untuk memahami data secara lebih ekstensif dan

mendalam.

Page 48: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB IV

HASIL ANALISA DATA

A. Responden A

1. Analisa Data

a. Identitas Diri Responden A

Tabel 1. Gambaran Umum Responden A

Keterangan Responden A Nama Nazwa Usia 71 tahun

Agama Islam Suku Mandailing

Pekerjaan Pensiunan Guru Sekolah Dasar Pendidikan Terakhir Sarjana Muda Bahasa Inggris

Jumlah Anak 8 orang Lama menjadi caregiver 5 tahun

Responden A dalam penelitian ini bernama Nazwa sebagai primary caregiver yang

merupakan istri dari penderita penyakit Alzheimer. Nazwa berusia 71 tahun dan bertempat

tinggal di Kota Medan. Responden yang berkulit putih ini memiliki tinggi badan 153 cm dan

Page 49: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

berat badan 65 kg. Nazwa sudah menjadi primary caregiver suaminya yang menderita

penyakit Alzheimer semenjak tahun 2004 hingga sekarang tahun 2009.

Responden menikah dengan Raffi yang bersuku Aceh selama 54 tahun sejak tahun

1955 hingga saat ini tahun 2009. Nazwa memiliki delapan orang anak yaitu lima orang

perempuan dan tiga orang laki-laki. Keempat orang anak Nazwa bertempat tinggal di Medan,

dua orang di Jakarta, satu orang di Amerika, dan satu orang lagi di Kalimantan. Anak-anak

Nazwa sudah menikah dan telah memiliki anak kecuali putra keenamnya yang memiliki

keterbelakangan mental dan bertempat tinggal bersama responden hingga saat ini.

Responden merupakan pensiunan guru Sekolah Dasar di Sumatera Utara. Ia mulai

pensiun semenjak tahun 1980 karena harus pindah ke Jakarta bersama suaminya yang pindah

kerja di sana. Responden pernah menjadi guru di Kota Medan, Tapanuli, Siantar, dan daerah

Sumatera Utara lainnya. Nazwa merupakan Sarjana Muda Bahasa Inggris. Semenjak ia

pensiun, ia mengisi waktu luangnya dengan mengikuti kursus seperti kursus menjahit,

memasak, dan lainnya. Ia juga beberapa kali melanjutkan sekolah di Perguruan Tinggi dalam

bidang pendidikan di Jakarta.

Nazwa sudah bertempat tinggal di Medan selama 48 tahun semenjak ia lahir. Ia

pindah ke Jakarta dan tinggal bersama keluarganya selama 13 tahun karena tuntutan

pekerjaan suaminya. Ia juga pernah tinggal di Aceh tempat kelahiran suaminya selama 10

tahun. Sekarang ia bertempat tinggal di rumah yang bersebelahan dengan rumah salah satu

anaknya di Medan.

Saat ini Nazwa banyak menghabiskan waktunya di Rumah Sakit Permata Bunda di

Medan selama beberapa hari karena suaminya yang harus diopname. Ia hanya pulang jika

pakaiannya yang di Rumah Sakit sudah habis dan harus diganti. Selama di sana ia selalu

bercerita pada perawat dan hampir mengenal semua perawatnya. Untuk mengisi waktu

Page 50: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

luangnya ia sering ke kantin di Rumah Sakit tersebut dan bercerita dengan keluarga pasien

lainnya yang juga dirawat di Rumah Sakit tersebut.

b. Identitas Diri Penderita Alzheimer

Tabel 2. Gambaran Umum Suami Responden A

Keterangan Responden A Nama Raffi Usia 75 tahun

Lama menderita Alzheimer 5 tahun Kategori Stadium Alzheimer Stadium Akhir

Raffi merupakan suami dari Responden yang menderita penyakit Alzheimer semenjak

lima tahun lalu dari tahun 2004 hingga saat ini. Raffi yang bersuku Aceh saat ini berusia 75

tahun dan merupakan pensiunan dari salah satu perusahaan perminyakan di Indonesia.

Saat Raffi masih menikah dengan Nazwa, ia pernah menyakiti hati Nazwa karena ia

sering berpacaran dengan wanita lain. Istrinya mengetahui hal ini dan membuat Nazwa

merasa kesal dan marah. Tetapi mereka masih menikah hingga sekarang dan tidak bercerai.

Hubungan Raffi dan Nazwa kurang harmonis dan banyak masalah karena perilaku Raffi yang

sering berpacaran.

Awal Raffi terkena penyakit Alzheimer ketika ia selesai makan tape yang sangat

banyak di sebuah pesta saudaranya di Jakarta. Setelah acara itu, Raffi mulai berbicara-bicara

yang tidak jelas dan berulang-ulang. Kemudian Raffi dibawa ke Rumah Sakit di Jakarta

untuk diperiksa dan Raffi dikatakan oleh dokter menderita penyakit Alzheimer dan

memorinya akan hilang semua.

Semenjak itu Raffi sudah tidak ingat lagi dengan istri dan anak-anaknya yang

dikatakan sebagai teman baiknya dan saudaranya kecuali pada anak pertama yang tinggal di

Page 51: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Amerika ia masih mengingatnya. Ketika anak pertamanya datang ke Jakarta Raffi masih

ingat dengannya dan menyebutkan nama anaknya. Raffi juga selalu berbicara bahasa Inggris

dan Aceh kepada semua orang di Rumah Sakit tersebut tetapi pembicaraanya tidak pernah

sesuai dengan tujuannya.

Raffi juga sudah tidak dapat lagi melakukan aktivitas sehari-harinya seperti mandi

atau berpakaian secara sendiri. Semua aktivitasnya harus dibantu oleh orang lain. Selama

delapan bulan terakhir ini, Raffi sudah tidak dapat melakukan aktivitas lain selain di tempat

tidur karena ia tidak dapat bergerak lagi dan hanya di tempat tidur. Ia juga susah untuk

melakukan pembicaraan dengan orang lain. Raffi sudah beberapa kali dirawat di Rumah

Sakit karena harus opname dimana kondisi Raffi sudah kurang membaik. Menurut laporan

dokter yang memeriksa Raffi, saat ini Raffi pada stadium akhir dari stadium penyakit

Alzheimer.

2. Observasi Umum Responden A

Tabel 3. Waktu Wawancara Responden A

No. Responden Hari/Tanggal Wawancara

Waktu Wawancara Tempat Wawancara

1. Nazwa 12 Januari 2009 14.00 – 16.00 WIB Di Rumah Sakit Permata Bunda

2. Nazwa 29 Januari 2009 11.45 – 13.00 WIB Di Rumah Sakit Permata Bunda

Peneliti mengenal Nazwa dari Ayah peneliti yang merupakan dokter dari suami

Responden yang menderita penyakit Alzheimer. Nazwa juga merupakan nenek kandung dari

teman peneliti sejak Sekolah Dasar sehingga peneliti juga sudah mengetahui tentang keluarga

responden sejak dahulu. Tetapi peneliti dengan responden belum pernah bertemu dan

berkenalan.

Page 52: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Sebelum melakukan wawancara pertama, peneliti telah bertemu dengan Responden

bersama dengan Ayah peneliti yang sedang melakukan pemeriksaan pada suami Responden

di Rumah Sakit Permata Bunda. Sebelumnya Ayah peneliti telah membicarakan tentang

penelitian ini dan meminta izin untuk memperkenalkan peneliti dengan responden. Peneliti

datang ke ruang Rawat Inap dan dikenalkan oleh Ayah peneliti kepada Responden.

Responden menyambut dengan baik dan langsung bercerita mengenai cucunya yang

merupakan teman peneliti sejak Sekolah Dasar.

Peneliti melakukan perkenalan terlebih dahulu dan meminta kesediaan responden

untuk terlibat dalam penelitian ini setelah menjelaskan maksud dan tujuan penelitian ini.

Perkenalan ini juga bermaksud untuk membangun rapport dengan responden dan mengetahui

apakah responden sesuai dengan karakteristik subjek penelitian yang diinginkan. Setelah

responden bersedia untuk terlibat dalam penelitian ini, peneliti mengatur jadwal yang sesuai

untuk bisa melakukan wawancara pertama. Pertemuan ini berlangsung selama 20 menit pada

pukul 11.00 WIB.

Wawancara pertama dilakukan pada tanggal 12 Januari 2009 dan pada pukul 14.00-

16.00 WIB di ruang yang sama pada pertemuan pertama di Rumah Sakit Permata Bunda.

Pertemuan ini sesuai dengan jadwal yang telah ditetapkan pada pertemuan pertama dan

sebelumnya peneliti melakukan telepon dulu ke rumah responden untuk mengetahui apakah

responden pada saat itu berada di Rumah Sakit. Saat itu Nazwa sedang sendiri di ruang

Rawat Inap tersebut sedang menunggu suaminya yang sedang tidur. Saat peneliti memasuki

ruang tersebut, responden sedang membaca sebuah tabloid di kursi samping tempat tidur

suaminya. Televisi yang berada di depan tempat tidur dan terletak di atas juga sedang

menyala saat peneliti datang.

Page 53: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Saat peneliti datang, Responden langsung menutup tabloid yang sedang dibacanya

dan mempersilahkan peneliti duduk di sampingnya. Di tempat peneliti duduk terdapat satu

meja di depan dan tiga kursi yang dekat dengan jendela. Depan tempat peneliti duduk

terdapat satu kulkas dan meja kecil yang berisi dengan makanan.

Awal wawancara peneliti menjelaskan lagi tentang tujuan dari penelitian ini dan hasil

wawancara yang diterima akan dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk tujuan dari

penelitian ini. Setelah responden mengerti, peneliti bertanya mengenai awalnya suami Nazwa

terkena Alzheimer dan gejala apa saja yang muncul. Nazwa menceritakan dengan suara kuat

bagaimana awal suaminya terkena penyakit Alzheimer dan gejala yang timbul seperti

berbicara yang tidak jelas, berbicara dengan menggunakan bahasa Inggris dan tidak ingat

dengan istri dan anak-anaknya. Ketika Nazwa menceritakan suaminya yang berbicara selalu

menggunakan bahasa Inggris dan sudah tidak ingat dengan dirinya, ia tertawa saat mengingat

dirinya dibilang sebagai teman baik suaminya.

Kemudian setelah menceritakan gejala penyakit yang muncul pada suaminya, peneliti

bertanya tentang pengalaman Nazwa dalam memberikan perawatan kepada suaminya yang

menderita penyakit Alzheimer. Responden bercerita bagaimana ia memberikan perawatan,

hal-hal apa saja yang membuat ia stres dan bagaimana ia mengatasinya, bentuk bantuan apa

saja yang ia berikan, dan bagaimana hubungannya dengan suaminya yang kurang harmonis

dan mempunyai masalah sejak dulu. Ia bercerita bagaimana perilaku suaminya yang suka

berpacaran dan membuat Nazwa kesal hingga sekarang. Ketika ia bercerita hubungannya

dengan suaminya yang kurang harmonis terkadang ia tertawa dan mengatakan bahwa tidak

masalah bagi dirinya untuk menceritakan dan mengingat pengalaman pahit yang dialaminya.

Saat wawancara, responden selalu melakukan kontak mata dengan peneliti.

Page 54: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Wawancara kedua dilakukan 17 hari setelah wawancara pertama dilakukan pada

tanggal 29 Januari 2009 pada pukul 11.45-13.00 WIB. Pertemuan ini dilakukan setelah

peneliti menelepon responden ke rumah dan bertanya waktu yang sesuai untuk bertemu.

Peneliti datang ke Rumah Sakit dan ruangan yang sama pada wawancara pertama. Saat

peneliti datang, Nazwa duduk di luar depan ruang Rawat Inapnya dan sedang membaca

tabloid. Peneliti dipersilahkan masuk dalam kamar dan melakukan wawancara di ruangan

tersebut. Dalam ruangan terdapat seorang laki-laki yang sedang duduk di samping suami

Nazwa. Peneliti berkenalan dan mengetahui bahwa lelaki tersebut merupakan kerabat suami

Nazwa dan bertugas untuk menjaga dan membantu Nazwa dalam memberikan perawatan.

Peneliti duduk di kursi yang sama ketika melakukan wawancara pertama sebelumnya.

Pada wawancara ini, peneliti bertanya tentang metode coping apa yang digunakan oleh

responden. Saat wawancara berlangsung, dua orang perawat masuk ke dalam ruangan dan

bertugas untuk memandikan suami Nazwa saat jam 12.30 WIB. Tempat wawancara pindah

ke luar di depan ruangan dan duduk di kursi deret yang telah ada. Setelah 15 menit, peneliti

dan responden kembali melanjutkan wawancara ke kamar karena tugas perawat Rumah Sakit

telah selesai dilakukan. Peneliti juga bertanya mengenai hal-hal apa saja yang membuat

Nazwa stres ketika ia menjadi caregiver suaminya yang menderita penyakit Alzheimer.

Nazwa menceritakan bagaimana ia mengatasi stresnya dengan memukul suaminya

ketika ia sedang kesal saat memberikan perawatan. Responden menunjukkan bagaimana

tangannya memukul suaminya dan mengeluarkan kata “Pam..!” saat ia memukul suaminya.

3. Data Wawancara Responden A

a. Sumber Stres dan Coping Stress pada Responden A

Page 55: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Ketika di Jakarta, Responden meminta dokter agar suaminya dipindahkan dari Rumah

Sakit Pertamina untuk ke rumah responden dan dirawat oleh dirinya. Ia ingin agar ketika Hari

Raya Lebaran dapat dilakukan di rumahnya. Pemberian perawatan kepada suaminya di rumah

ia lakukan sendiri tanpa bantuan dari anak-anaknya.

“Terus kan,pas mau Hari Raya setelah dah 22 hari di Rumah Sakit..saya minta tolong ma dokter supaya pulang aja la..cemmana saya mau Hari Raya pas puasa gak pa-pa la..saya juga bilang,dah la gak usah dirawat di rumah sakit lagi biar saya aja yang rawat di rumah..” (R1. W1/b.69-78/hal 6) “Iya,saya yang lakukan la..siapa lagi..anak-anak juga dah kawin semua gak ada satupun yang tinggal sama saya..paling-paling orang tu datang sekali trus tengok..yang ngerawat di rumah juga gak ada..” (R1. W1/b.213-219/hal 7)

Selama lima tahun Nazwa telah memberikan perawatan dan melaksanakan tugas

perawatan yang diberikan kepada suaminya. Tugas tersebut ia lakukan sendiri dan anak-

anaknya terkadang datang ke rumah untuk menjenguk dirinya. Kadang anak-anaknya

membawa Nazwa dan suaminya jalan-jalan ke luar dan makan di luar. Ia merasa lelah dengan

tugas yang dilakukannya dan merasa tidak pernah bisa bebas dari ia muda dulu hingga

sekarang.

“Anak-anak juga dah kawin semua gak ada satupun yang tinggal sama saya..paling-paling orang tu datang sekali trus tengok..yang ngerawat di rumah juga gak ada..paling-paling nanti,ayok bu kita bawa keluar aja..kita makan di luar..” (R1. W1/b.214-221/ hal 7-8) “Pokoknya makan dimana-mana..capek,tu lah..saya bilang udah tersiksa masa mudanya tersiksa pula masa tuanya..jadi kapan lagi saya bebas tu saya belum tau..” (R1. W1/b. 225-230/ hal 8)

1. Perubahan Hidup yang dialami oleh Caregiver

Page 56: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Ketika masa mudanya responden merasa tidak pernah bebas dan pernah disakiti oleh

suaminya dan sampai sekarang ia merasa tidak bebas lagi karena harus merawat suaminya.

Nazwa merasa kesal dan bodoh untuk menjalankan kehidupan seperti ini. Ia tidak ingin

mengingat pengalamannya ketika muda dulu tetapi terkadang muncul ingatan tentang

pengalamannya dulu dan membuat ia merasa kesal. Nazwa berpikir tidak pernah bebas

hidupnya dari masa muda dulu hingga sekarang. Masa mudanya dulu yang pernah disakiti

oleh suaminya yang berperilaku selalu berpacaran dengan wanita lain membuat ia kesal

hingga sekarang. Ketika ia merasa kesal bahwa hidupnya sekarang masih harus merawat

suaminya membuat ia sering marah dan memukul badan suaminya.

“apa namanya, kesel… yah,kesel rasanya kita pernah hidupnya gak tenang..pertama aku muda pernah diinikannya trus kenapa waktu tua aku diginikannya lagi.. rasanya “Pam..!” kupukulkan..panas sendiri..sebetulnya yang manasinnya bukan orang lain,kita sendiri..yah itu la dia..kalo kita sendiri yang bikin kek gitu seharusnya gak boleh..yang harus diatasi kadang gak teratasi saya..yah,kadang keluar la kumat saya marah gitu..” (R1. W1/b. 274-287/ hal 9-10) “perasaan saya kesel gitu..kenapa saya begini,kenapa saya begini aja..terus kepikir apakah saya salah pilih dulu..sampe kesitu..saya kok pilih yang ini,kok saya ni bodoh kali dulu ya sampe sekarang masih tolol ya pikir saya..ya itu,datang itu..padahal sudah kita bunuh itu dalam-dalam jangan sampe timbul lagi tapi saya gak bisa..timbul juga,macem stress kalo kata orang gitu..” (R1. W1/ b. 290-302/ hal 10)

Untuk mengatasi rasa kesalnya terhadap hidupnya yang harus dijalani sekarang,

Nazwa berusaha untuk tidak mendekati Raffi dulu agar ia tidak memukul suaminya. Ketika

Nazwa emosi dan marah terkadang ia langsung memukul suaminya sehingga untuk

mengatasinya ia menjauhi suaminya dulu dan mengatur emosi yang dirasakannya kemudian

ia membaca terus majalah yang ada di dekatnya. Pembantu di rumahnya juga membantunya

Page 57: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

untuk tidak dekat dengan Raffi dan menggantikan tugas caregiving yang sedang dikerjakan

oleh Nazwa pada saat itu.

“Yah,jangan la saya deket bapak lama-lama..kalo lagi emosi,jangan deket la..nanti saya puku l..nanti teriak-teriak saya..paling nanti saya baca majalah gitu la..baca aja terus..” (R1. W2/b. 107-117/hal 4) “Iya..ntar pun pembantu saya bilang,udah ibu kesana aja dulu..” (R1. W2/b. 115-116/hal 4) “Iya..saya tahan aja la dulu emosi ini..jangan deket bapak..nanti saya teriak kalo emosi..yah,gimana ya..kadang otak ini mikir sampe mana..jadinya emosi saya..” (R1. W2/b. 119-123/hal 4-5)

Ketika suami Nazwa sedang diopname di Rumah Sakit Permata Bunda di Medan,

Nazwa pernah meminta agar suaminya dirawat di rumah saja agar Raffi meninggal di rumah.

Nazwa juga minta kepada dokternya agar tidak memberikan lagi obat-obat yang bagus

kepada suaminya. Hal ini dilakukan untuk mengatasi stress Nazwa karena perubahan

hidupnya dan ia merasa bahwa sudah cukup ia memberikan perawatan kepada suaminya

selama lima tahun.

“maksudnya kan manatau dia minta mati di rumah..hehe..saya bilang ma dokter,manatau dok mau mati di rumah dia..ditunggu-tunggu ya sama aja gitu-gitu aja..ya jangan la dikasih obat paten-paten itu..macemmana la kalo biar cepet mati aja..hah,dokternya kaget..dokternya bilang kan saya dokter,gak boleh gitu..abisnya saya bingung..ceplas ceplos aja saya bilang gitu..” (R1. W2/b. 007-019/hal 15) “abisnya gimana ya..dah 5 tahun lebih Ibu nungguin terus..ngerawat dia aja..apa gak capek,jenuh..dah cukup la saya membantu..” (R1. W2/ b.022-027/hal 16)

Selain itu cara Nazwa untuk mengatasi stres yang dialami terhadap perubahan

hidupnya yang masih harus memberikan perawatan kepada suaminya yang terkena Alzheimer

Page 58: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dengan cara ia melihat apa yang orang lain alami di Rumah Sakit. Raffi sudah beberapa kali

dirawat di Rumah Sakit yang berbeda dan Nazwa selalu menemaninya. Ia melihat seorang

istri yang merawat suaminya dan istri disebut dipukul oleh suaminya menggunakan tongkat.

Nazwa melihat bahwa apa yang dialaminya masih lebih baik dan masih banyak yang lebih

parah daripada apa yang ia alami.

“Yah,gimana ya..saya liat apa yang orang lain alami..saya kan banyak di rumah sakit,saya liat la orang-orang yang di sekitar saya..ternyata ada yang lebih parah lagi..yang istrinya dipukul la pake tongkat..yah saya bandingkan ma diri saya lagi sendiri ternyata saya masih mending,masih beruntung la daripada orang lain..bapak juga gak pernah ngeluh jadi ya gak terlalu parah dibanding orang lain..” (R1. W1/b. 526-539/hal 14) “Iya la..saya liat la orang-orang di sekitar saya..yang di rumah sakit ini..masih untung bukan saya yang kena pukul..eh,malah saya yang mukul..tapi ngeliat masih banyak yang lebih parah lagi..itu la yang bikin aku gak terlalu stres..” (R1. W2/b. 241-247/hal 22)

Hidup yang dijalani Nazwa sekarang dalam memberikan perawatan kepada suaminya

yang menderita penyakit Alzheimer sudah merupakan takdir yang memang harus dijalaninya.

Nazwa menerima hidup yang dijalaninya sekarang sebagai suratan takdir yang sudah ada

pada Nazwa.

“barangkali itu suratan takdir saya yang memang harus saya jalani..jadi saya gak berapa dendam la..udah gitu,dia sifatnya gak pernah ngeluh,baek..sakit pun ditahankannya..gak pernah ngeluh..” (R1. W1/b. 504-510/hal 13-14)

2. Ketergantungan Melakukan Aktvitas Sehari-hari pada Penderita Alzheimer

Page 59: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Bentuk perawatan yang Nazwa berikan pada suaminya seperti menyediakan makanan,

memandikan, dan membantu memakaikan pakaian. Hal ini karena suami Nazwa yang sudah

tidak mampu lagi untuk melakukan aktivitas sehari-harinya secara sendiri yang merupakan

salah satu gejala penyakit Alzheimer. Ketidakmampuan Raffi yang sudah tidak dapat lagi

melakukan aktivitas sehari-harinya membuat Nazwa stres dan kesal. Ketika responden kesal,

ia sering marah-marah kepada suaminya.

“ya,saya yang mandikan,nyediain makan,pakaikan bajunya bapak..tapi ada la yang bantu-bantu juga di rumah..” (R1. W2/b. 187-190/ hal 6-7) “Yah,kasian juga saya liatnya..bapak dah ingat lagi semuanya..ngomongnya pun tambah gak jelas..nanti ngomong bahasa Inggris,bahasa Aceh pun dibilangnya..saya juga harus ngerawat Bapak lagi sekarang..kadang pun saya marah-marah..kok mesti la lagi saya harus ngerawat bapak kayak gini..stres berat juga la saya..” (R1. W2/ b. 195-205/ hal 7)

Saat ia memandikan suaminya kemudian ia tiba-tiba kesal dan langsung memukul

suaminya dengan keras hingga badan Raffi menjadi biru dan ia berteriak dengan kuat di

dalam rumah. Nazwa selalu berteriak di dalam rumah dari kamar hingga ke depan rumah.

Teriakan Nazwa dapat didengar sampai ke tetangganya. Hal ini dilakukan untuk mengurangi

stresnya karena kondisi suaminya yang mengalami ketergantungan dalam melakukan

aktivitas sehari-harinya.

“Gimana ya..kalo saya lagi emosi gitu,misalnya lagi kasih makan..tiba-tiba saya emosi,nanti saya bisa teriak sekuat-kuatnya la di rumah tu..teriak aja saya dari belakang ke depan..” (R1. W2/b. 67-72/hal 3) “Yah,saya tekanan batin..waktu ganti bajunya,pakein pampersnya..trus kalo bandel gitu dia,saya pukul la..saya cubit gitu..kalo dia masih bandel juga,mulai saya teriak-teriak..daripada saya mukul dia ya bagusan saya teriak aja la..” (R1. W2/b. 75-81/hal 3)

Page 60: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Nazwa juga memukul badan suaminya ketika ia sedang memandikan suaminya dan

Raffi tiba-tiba melawan. Nazwa merasa kesal pada suaminya yang terkadang melawan saat

dimandikan dan Nazwa memukul badan suaminya hingga biru.

“kalo mandi,saya mandikan..jadi kan dia duduk di tempat duduk WC saya semprot aja trus saya sabunin bersih..waktu dimandiin suka melawan dia..nah,waktu itu la “Pok..!” saya pukul dia..gak mau dia,saya pukul juga..jadi biru kan..anak-anak saya suka nanya kenapa di paha Abah biru?ya saya bilang aja la kejedot apa..mereka bilang kan karena Ibu..ya iya la,mereka dah tau..yah gimana,berat juga..” (R1. W1/b. 471-484/hal 12-13)

3.

Selama Nazwa memberikan perawatan kepada suaminya, ia jarang melakukan

aktivitas lain di luar rumah. Hal ini disebabkan karena suami Nazwa yang selalu bertanya

dimana Nazwa berada. Padahal ia telah memberitahukan suaminya bahwa ia akan pergi ke

luar tetapi suaminya tidak pernah ingat pesan yang disampaikan Nazwa dan selalu

mencarinya di rumah sampai menunggunya hingga tengah malam ia pulang. Ketika Nazwa

pergi ke Jakarta, suaminya selalu mencarinya dan menelpon dirinya untuk segera pulang.

Sehingga Nazwa hanya pergi selama satu malam saja di Jakarta dan segera pulang ke Medan.

Ia merasa jenuh dengan kegiatannya yang hanya di rumah saja.

“oo..setelah merawat,gak ada aktivitas lain lagi..gak pernah kerja lagi udah di rumah aja,jadi tambah stress saya..” (R1. W1/b. 416-419/ hal 11) “Ya sudah pasti..ya jenuh kali la..tapi saya tu kan,macem mana ya..pernah kan saya berangkat pagi ke Jakarta sampe sore..itu terus lapor disuruh pulang..dia muntah-muntah gak mau makan..jadi,saya balek lagi gak sempet ngurus apa-apa..pulang lagi,cuman nginep aja semalem di Jakarta..ke undangan,karena famili dekat ya saya kan santai-santai pulang malam..ditunggunya di luar pake selimut nungguin saya pulang jam 12 malam..gila gak,walhasil saya gak kemana-mana..”

Penurunan Kognitif pada Penderita Alzheimer

Page 61: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

(R1. W1/b. 425-440/ hal 11) “Gak bisa..dicariin terus,mana dia mana dia..pokoknya saya tu jangan pigi,diliatnya saya ada di matanya..kalo ada di mata dia,senyum-senyum aja dia tu..kalo gak ada,dicarinya keliling rumah...padahal kita pergi kan permisi,abis itu dia lupa..dicari la saya setengah mampus..gak bisa kemana-mana kita..” (R1. W1/b. 443-452/ hal 12)

Nazwa mengatasi kejenuhan dengan aktivitasnya yang selalu di rumah dan tidak

dapat ke luar rumah karena suaminya yang selalu bertanya dimana Nazwa jika ia sedang ke

luar dengan ia pergi berbelanja makanan sebentar ke luar rumah. Hal ini dilakukan untuk

mengatasi stres karena penurunan kognitif yang dialami oleh suaminnya. Nazwa sudah tidak

bersemangat lagi untuk menonton film di rumah ataupun menanam bunga, ia hanya duduk

dan berjalan-jalan dalam rumah untuk menghilangkan kejenuhannya.

“Yah,kesel lagi saya..kesel la ya kan,duduk..capek ngomong-ngomong ma dia ngapain lagi..nonton film di rumah kan bosen..dulu rajin juga mutar-mutar film,sekarang apapun gak mau..malas..” (R1. W1/b. 455-460/hal 12) “Di rumah la.. jalan dari muka ke belakang terus menghilangkan jenuh..mau tanam bunga pun,ah malas la...yah,pigi la bentar belanja di luar..rencana mau masak tapi abis itu lupa..busuk la di lemari itu makanannya..” (R1. W1/b. 463-469/hal 12)

4.

Raffi juga mengalami gangguan perilaku dengan menyapukan kotorannya di tiang

tempat tidur Rumah Sakit. Ia marah ketika ia minta agar dipulangkan saja ke rumah. Nazwa

mengatasinya dengan meminta perawat di Rumah Sakit untuk membersihkan kotorannya.

Hal ini dilakukan karena tidak ada anggota keluarganya yang mau membersihkannya

termasuk dirinya sendiri.

Gangguan Perilaku pada Penderita Alzheimer

Page 62: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

“yang lucunya dianya minta pindah ke Medan pula..tau,eek dia sapukannya semua di tiang-tiang tempat tidur..habis la semua..aduh,semua lari la keluar..abis tu minta tolong la kami ke suster biar bersihin..trus dibersihkan la semua itu,kasian kali la kita aja lari..” (R1. W1/b. 127-136/hal 5) “ya kami manggil suster buat ngebersihinnya..orang saya sendiri aja pun jijik liatnya..gak bisa ngebersihin..gimana ya,saya kasih uang juga la suster itu..ya saya mikir saya sendiri gak sanggup buat ngebersihin itu..” (R1. W2/b. 164-170/hal 20)

Hal inilah yang membuat caregiver penderita Alzheimer semakin stress dan

bagaimana caregiver mengurangi stresnya dengan melakukan coping stress. Reaksi

responden terhadap sumber stress dapat mempengaruhi kesehatannya dan bagaimana ia

memberikan perawatan kepada suaminya yang menderita penyakit Alzheimer.

4. Pembahasan Data Responden A

Penyakit Alzheimer adalah kerusakan otak yang ditandai dengan penurunan dari

perhatian, memori, dan kepribadian. Penyakit Alzheimer merupakan keadaan di mana

daya ingatan seseorang merosot dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu

mengurus diri sendiri. (Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia).

Bantuan dalam melakukan kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penderita

membutuhkan seseorang untuk merawat.

Seseorang yang memberikan perawatan disebut dengan caregiver. Nazwa merupakan

caregiver informal suaminya yang menderita penyakit Alzheimer. Pada awalnya Nazwa

hanya sendiri dalam memberikan perawatan kepada suaminya di rumah tanpa bantuan

dari tenaga professional lainnya tetapi saat ini suami Nazwa sedang dirawat di Rumah

Sakit. Sehingga ia sekarang mendapatkan bantuan caregiver formal dari perawat di

Rumah Sakit tempat suaminya sedang dirawat. Nazwa juga melakukan beberapa tugas

Page 63: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

caregiving seperti perawatan personal dengan memandikan, membantu suaminya

berpakaian, dan menyiapkan makanan serta mempersiapkan obat yang diberikan pada

suami Nazwa.

Efek dari penyakit Alzheimer tidak hanya berdampak bagi penderita tetapi juga

berdampak pada anggota keluarga yang memberikan perawatan atau caregiving (Berk,

2007). Tingkah laku penderita penyakit Alzheimer semakin bermasalah selama

peningkatan penyakitnya dan dapat meningkatkan stres dalam keluarganya (Sarafino,

2006). Hal ini dapat dilihat pada Nazwa yang harus memberikan perawatan kepada

suaminya karena Raffi sudah tidak dapat melakukan aktivitas sehari-harinya dengan

sendiri dan memerlukan bantuan dari Nazwa.

Menurut Aneshensel et.al (1995), stressor pada caregiver Alzheimer terdiri dari dua

yaitu pertama objective stressor seperti penurunan kognitif, ketergantungan melakukan

aktivitas sehari-hari, dan penurunan kognitif pada penderita. Hal ini dapat dilihat ketika

Nazwa membantu suaminya dalam tugas memandikan, sering marah jika suaminya

melawan dan ia akan memukul badan suaminya hingga biru. Nazwa juga jenuh dan bosan

jika harus melakukan tugas dalam memberikan obat kepada suaminya secara rutin karena

ketergantungan suaminya dalam melakukan aktivitas sehari-harinya.

Kedua, subjective stressor seperti perubahan hidup yang dialami oleh caregiver.

Perubahan hidup ini sebagai sesuatu yang diterima atau tidak diterima oleh caregiver.

Nazwa tidak dapat menerima perubahan hidup yang dialaminya dengan adanya tuntutan

peran pada dirinya untuk memberikan perawatan kepada suaminya. Nazwa stres dengan

perubahan hidup yang dialaminya dan ia sering memukul suaminya atau berteriak-teriak

di dalam rumah jika ia sedang kesal.

Page 64: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Keluarga yang berperan menjadi caregiver akan beresiko mengalami masalah fisik

dan kesehatan mental serta kematian yang lebih cepat jika ia memberikan kapasitas yang

berlebihan dalam caregiving (Schultz&Beach, Sovensen&Pinquart, 2005 dalam Berk

2007). Dampak stres pada caregiver semakin meningkatkan resiko yang ada. Untuk

mengurangi resiko masalah fisik dan kesehatan mental pada caregiver maka diperlukan

metode coping stress yang tepat pada caregiver. Coping stress merupakan proses yang

mengatur tuntutan dari eksternal atau internal yang muncul melampaui batas sumber daya

seseorang (dalam Taylor 2003). Usaha coping dapat diartikan dengan memperbaiki

masalah dan dapat juga membantu seseorang merubah pandangannya terhadap

kesenjangan, menerima ancaman, atau menghindar dari situasi.

Menurut Lazzarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) ada dua fungsi coping yaitu

pertama emotion focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap

stress. Sedangkan fungsi coping yang kedua adalah problem focused coping digunakan

oleh individu dengan mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan atau

mengembangkan sumber daya pada dirinya.

Caregiver akan memilih beberapa metode coping yang tepat mereka gunakan agar

dapat mengurangi dan menangani stress yang mereka alami. Penggunaan metode coping

yang tepat akan mengurangi factor resiko pada caregiver penderita penyakit Alzheimer.

Nazwa menggunakan beberapa metode coping stress untuk mengatasi permasalahan yang

ia hadapi sebagai berikut :

1) Masalah perubahan hidup yang dialami oleh caregiver

a. Metode confrontative adalah metode yang bertujuan sebagai problem focused, yaitu

usaha yang agresif untuk mengubah situasi yang ada.

Page 65: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Hal ini dapat dilihat ketika Nazwa memikirkan hidupnya yang tidak pernah bebas dari

dulu hingga sekarang karena ia harus memberikan perawatan kepada suaminya maka

Nazwa merasa kesal dan memukul suaminya dengan keras sampai badan suaminya

biru karena pukulannya.

b. Metode acceptance adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused , yaitu

usaha untuk menerima kenyataan mengenai situasi yang terjadi.

Hal ini dapat dilihat dari Nazwa yang berpikir bahwa hidup yang dijalaninya sekarang

sudah menjadi suratan takdir yang harus dijalaninya. Apa yang dialaminya sekarang

memang takdir yang dijalaninya.

c. Metode Cognitive redefinition adalah metode yang bertujuan sebagai emotion

focused, yaitu usaha untuk tetap terlihat baik di dalam situasi yang buruk, membuat

sesuatu perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat sesuatu yang

baik yang muncul dari masalah itu.

Hal ini dapat dilihat dari Nazwa yang melihat pengalaman orang lain yang ia temui di

Rumah Sakit. Ia melihat seorang istri yang sedang mendorong kursi kereta suaminya

dan kena pukul suaminya dengan tongkat. Nazwa bersyukur bahwa apa yang

dialaminya masih lebih baik daripada orang lain dan masih banyak yang lebih parah

lagi daripada dirinya.

d. Metode self control adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused, yaitu

usaha untuk mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan

masalah yang ada.

Hal ini dapat dilihat ketika Nazwa tiba-tiba merasa kesal dengan suaminya karena ia

masih harus memberikan perawatan maka Nazwa berusaha untuk tidak mendekati

Page 66: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dulu suaminya sampai ia tidak marah lagi. Ia menjauhi suaminya dulu untuk mengatur

perasaannya agar ia tidak memukul dan berteriak-teriak di dalam rumah.

e. Metode escape/avoidance adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused,

yaitu usaha untuk menghindar atau lari dari masalah.

Hal ini dilihat dari tindakan Nazwa untuk membawa pulang suaminya pulang ke

rumah setelah diopname di Rumah Sakit di Medan agar Raffi dapat meninggal di

rumah. Ia meminta agar dokter tidak harus memberikan obat-obat yang bagus lagi

kepada suaminya.

2) Masalah ketergantungan melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer

a. Metode emotional discharge adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused,

yaitu usaha untuk melibatkan pengekspresian atau pelepasan tentang situasi yang

menekan.

Hal ini dapat dilihat ketika Nazwa sedang memberikan perawatan suaminya seperti

memandikannya, ia merasa capek dan tiba-tiba marah dengan suaminya. Ia berteriak-

teriak dari dalam kamar sampai ke depan rumah hingga teriakannya terdengar sampai

ke tetangganya.

b. Metode confrontative adalah metode yang bertujuan sebagai problem focused, yaitu

usaha yang agresif untuk mengubah situasi yang ada.

Hal ini dapat dilihat ketika Nazwa sedang memandikan suaminya dan Raffi terkadang

suka melawan sehingga membuat Nazwa kesal maka Nazwa langsung memukulnya di

kamar mandi sehingga badan suaminya menjadi biru.

3) Masalah penurunan kognitif pada penderita Alzheimer

Page 67: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

a. Metode distancing adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused, yaitu

usaha untuk melepaskan diri dari situasi yang penuh dengan tekanan.

Hal ini dapat dilihat ketika Nazwa sudah susah untuk melakukan aktivitas di luar

rumah karena suaminya yang tidak bisa ditinggal oleh dirinya. Setiap Nazwa pergi ke

luar maka Raffi selalu mencarinya dan tidak pernah ingat jika Nazwa sudah meminta

izin. Ia merasa jenuh maka Nazwa mengatasinya dengan berbelanja makanan di luar.

4) Masalah gangguan perilaku pada penderita Alzheimer

a. Metode planful problem solving adalah metode yang bertujuan sebagai problem

focused, yaitu usaha untuk fokus pada masalah dan mencari pemecahannya.

Hal ini dapat dilihat ketika suami Nazwa yang marah-marah dan menyapukan

kotorannya ke tiang tempat tidur di Rumah Sakit. Nazwa meminta agar perawat di

Rumah Sakit membersihkan kotorannya karena Nazwa tidak bisa untuk

membersihkannya sendiri.

Tabel 4 . Gambaran Metode Coping Stress pada Responden A

No. Aspek Kesimpulan 1. a. Coping terhadap perubahan hidup

yang dialami oleh caregiver

a. Masalah perubahan hidup pada caregiver : 1. Metode confrontative: responden memukul badan

suaminya dengan keras 2. Metode acceptance: responden menerima

hidupnya yang sedang dijalaninya sekarang sebagai suratan takdir yang harus dijalani.

3. Metode Cognitive redefinition: responden melihat apa yang dialami oleh orang lain yang ada di sekitarnya dan di Rumah Sakit. Ia melihat bahwa ada yang lebih parah lagi daripada apa yang sedang dialamininya.

4. Metode self control: responden berusaha mengatur emosinya dan tidak mau mendekati suaminya jika

Page 68: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

B. Responden B (Duma)

1. Analisa Data

a. Identitas Diri Responden B (Duma)

Tabel 5. Gambaran Umum Responden B

Keterangan Responden B Nama Duma Usia 70 tahun

Agama Kristen Suku Batak

Pekerjaan Pensiunan Guru Sekolah Menengah Umum Pendidikan Terakhir Sarjana Muda Bahasa Inggris

Jumlah Anak 3 orang

b. Coping terhadap ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer c. Coping penurunan kognitif pada penderita Alzheimer d. Coping gangguan perilaku pada penderita Alzheimer

ia sedang marah dan kesal. Ia tidak mau dekat dulu karena tidak mau memukul suaminya dan berteriak-teriak maka ia akan ke luar dari kamar dan mengatur emosinya.

5. Metode escape/avoidance: responden meminta agar suaminya pulang ke rumah dan minta agar dokter tidak memberikan lagi obat-obat bagus kepada suaminya

b. Masalah ketergantungan melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer 1. Metode emotional discharge: responden berteriak-

teriak dari kamar hingga ke depan rumahnya hingga teriakannya terdengar sampai ke tetangga

2. Metode confrontative: responden langsung memukul badan suaminya jika bandel ketika dimandikan di kamar mandi

c. Masalah penurunan kognitif pada penderita Alzheimer 1. Metode distancing: responden berbelanja ke luar jika ia jenuh sedang berada di rumah d. Masalah gangguan perilaku pada penderita Alzheimer 1. Metode planful problem solving: responden meminta perawat untuk membersihkan kotoran suaminya di tempat tidur

Page 69: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Lama menjadi caregiver 3 tahun

Responden B pada penelitian ini bernama Duma, seorang wanita yang berusia 70

tahun saat ini. Duma telah menjadi primary caregiver suaminya yang menderita penyakit

Alzheimer selama tiga tahun semenjak tahun 2006 hingga sekarang ini. Wanita yang berkulit

sawo matang dan memiliki rambut panjang yang ikal ini memiliki tinggi 168 cm dan berat

badan 63 kg merupakan pensiunan guru Sekolah Menengah Umum di Balige sejak tahun

1970 karena harus ikut suaminya yang pindah kerja ke Medan.

Responden telah menikah selama 47 tahun semenjak tahun 1965 hingga sekarang di

Sumatera Utara. Duma memiliki tiga orang anak yaitu dua orang perempuan dan satu orang

laki-laki. Semua anak Duma telah menikah dan memiliki tempat tinggal bersama

keluarganya. Anak pertama Duma yang perempuan bertempat tinggal di Jakarta setelah

menikah dan dua orang anak Duma bertempat tinggal di Medan. Saat ini Duma bertempat

tinggal bersama anak laki-lakinya di Medan beserta cucu laki-lakinya yang berumur delapan

tahun. Duma sudah bertempat tinggal di Medan sejak ia lahir dan pernah berpindah-pindah

tempat tinggal di kota-kota di Sumatera Utara karena tuntutan kerja suaminya.

Duma sering mengikuti kegiatan sosial dari gerejanya seperti melakukan malam amal,

mengunjungi pasien-pasien di Rumah Sakit dan lainnya. Kegiatan lainnya yaitu Duma juga

mengikuti perkumpulan Batak keluarga Simanjuntak yang diadakan beberapa bulan sekali

yang diikuti oleh seluruh keluarganya.

b. Identitas Diri Penderita Alzheimer

Tabel 6. Gambaran Umum Suami Responden B

Keterangan Responden B Nama Daniel

Page 70: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Usia 78 tahun Lama menderita Alzheimer 3 tahun

Kategori Stadium Alzheimer Stadium Menengah

Daniel merupakan suami dari Responden yang menderita penyakit Alzheimer

semenjak tahun 2006. Pria yang berusia 78 tahun memiliki tinggi 178 cm ini merupakan

pensiunan dari perusahaan perkebunan di Sumatera Utara dan sudah pensiun sejak tujuh

tahun yang lalu.

Awal Daniel diketahui terkena penyakit Alzheimer sejak ingatannya sedikit menurun

dan diperiksa ke dokter dari perusahaan dan dikatakan ia menderita penyakit Alzheimer.

Istrinya melihat Daniel sering lupa dengan jalan untuk kembali rumahnya jika ia sedang pergi

sendiri di luar dan melihat ingatannya sudah tidak sama dengan ingatannya yang dulu maka

Daniel dibawa ke dokter untuk diperiksa. Kemudian Duma memindahkan Daniel untuk

diperiksa oleh dokter yang merupakan Ayah dari peneliti karena istri Daniel yang telah

menjadi pasien Ayah peneliti sejak tahun 1990.

Awalnya gejala ingatan Daniel menurun pada janji dan waktu pada saat itu tetapi

sejak dua tahun terakhir ini ingatan Daniel semakin menurun dan hampir melupakan semua

kegiatannya. Tetapi Daniel masih ingat dengan istri dan anggota keluarganya hanya pada

teman-temannya yang jarang ditemui yang sudah tidak ia ingat lagi.

Daniel masih dapat berjalan-jalan dan melakukan aktivitas lainnya dengan baik tetapi

ia harus selalu diingatkan untuk melakukan aktivitas sehari-harinya seperti mandi atau

berpakaian karena ia sudah tidak ingat lagi untuk berinisiatif sendiri untuk mandi, makan atau

lainnya. Daniel juga sering lupa dengan tanggal dan hari pada saat itu dan terus bertanya

secara berulang-ulang pada istrinya. Menurut laporan dari dokter yang memeriksa Daniel,

saat ini ia berada pada stadium menengah pada penyakit Alzheimer.

Page 71: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

2. Observasi Umum Responden B

Tabel 7. Waktu Wawancara Responden B

No. Responden Hari/Tanggal Wawancara

Waktu Wawancara Tempat Wawancara

1. Duma 4 Februari 2009 14.00 – 16.00 WIB Di Rumah Responden

2. Duma 20 Februari 2009 14.30 – 16.30 WIB Di Rumah Responden

Peneliti juga mengetahui responden dari Ayah peneliti yang merupakan dokter

responden dan suami responden sejak dulu. Sebelumnya Ayah peneliti telah mengatakan

kepada responden bahwa peneliti ingin bertemu dan wawancara dengan responden terlebih

dahulu. Setelah diberikan alamat dan nomor telepon responden, peneliti melakukan telepon

ke rumah responden untuk menanyakan waktu yang sesuai untuk bertemu dan melakukan

wawancara.

Pada tanggal 4 Februari 2009 dan pada pukul 14.00-16.00 WIB, peneliti datang ke

rumah responden untuk melakukan wawancara pertama sesuai dengan waktu yang telah

ditetapkan terlebih dahulu. Peneliti berkenalan dengan Duma dan suaminya di rumah

responden. Peneliti dipersilahkan masuk dan duduk di ruang tamunya. Peneliti duduk

bersebelahan dengan Duma dan suami Duma duduk di hadapannya. Daniel juga berada di

tempat yang sama selama wawancara berlangsung tetapi tidak ikut pembicaraan dan hanya

diam. Terkadang Daniel berjalan ke teras depan dan berbicara dengan cucunya. Ruang tamu

tersebut memiliki dua kursi yang besar dan dua kursi yang kecil serta satu meja panjang yang

terletak di depan kursi. Dalam ruangan tersebut juga terdapat satu akuarium besar yang berisi

satu ikan arwarna yang besar.

Awal wawancara pertama ini, peneliti menjelaskan terlebih dahulu tujuan dan maksud

dari penelitian ini. Peneliti juga mengatakan bahwa hasil wawancara yang diterima akan

Page 72: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

dijaga kerahasiaannya dan hanya digunakan untuk tujuan penelitian ini. Setelah Duma

mengerti dan menyetujui untuk ikut serta dalam penelitian ini , peneliti menanyakan tentang

awalnya suami Duma menderita penyakit Alzheimer dan pengalaman Duma dalam

memberikan perawatan. Duma menceritakan pengalamannya ketika ia memberikan

perawatan kepada suaminya dan gejala-gejala apa yang dialami oleh suaminya seperti selalu

bertanya hal yang sama secara berulang-ulang.

Responden bercerita hal-hal apa saja yang membuat ia stres dan sedih ketika

memberikan perawatan kepada suaminya dan bagaimana ia mengatasinya. Saat Duma

menceritakan mengenai ingatan suaminya yang terus menurun dan bagaimana ia melihat

kondisi suaminya ia meneteskan air mata dan menangis. Duma bercerita dengan suara yang

kecil dan sambil mengelus dadanya ketika ia menceritakan bagaimana ia selalu berdoa

kepada Tuhan untuk diberi ketabahan dan kesabaran dalam memberikan perawatan kepada

suaminya.

Wawancara kedua dilakukan pada tanggal 20 Februari dan pada pukul 14.30-16.30 di

rumah responden. Pertemuan ini dilakukan setelah peneliti menelepon ke rumah responden

dan menentukan waktu yang sesuai untuk bertemu. Saat peneliti datang ke rumah, anak

Duma yang laki-laki yang menyambut peneliti dan mempersilahkan peneliti masuk ke ruang

tamu. Kemudian Duma dan suaminya keluar dari kamar dan bertemu dengan peneliti di ruang

tamu. Pada wawancara ini, peneliti menanyakan hal-hal apa lagi yang membuat responden

stres dan bagaimana ia mengatasinya dengan melakukan coping. Saat wawancara

berlangsung selama 45 menit, ada saudara responden dari Jakarta yang datang ke rumah

sehingga wawancara dihentikan sebentar selama 10 menit.

Kemudian peneliti dan responden pindah ke ruang televisi dan wawancara dilanjutkan

kembali. Saat wawancara berlangsung, Duma tetap melakukan kontak mata dengan peneliti.

Page 73: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Saat Duma menceritakan bagaimana perasaanya melihat suaminya yang sudah tidak aktif lagi

dan merasa disepelekan, ia mengelus-elus dadanya dan mengatakan semoga ia masih tetap

sabar dan tidak emosional.

3. Data Wawancara Responden B

a. Gambaran Sumber Stres dan Reaksi Stresor pada Responden B

1.

Penurunan fungsi kognitif yang dialami oleh suami Duma seperti tidak mengetahui

hari dan tanggal saat itu dan bertanya secara berulang-ulang kepada Duma membuat Duma

menjadi stres. Ketika pertanyaan Daniel sudah dijawab kemudian sekitar lima menit Daniel

akan menanyakan kembali hal yang sama. Hal ini membuat Duma stres dan terkadang marah

jika ia harus menjawab pertanyaan suaminya yang sama. Duma ingin agar ia masih dapat

sabar dan diberi ketabahan untuk menghadapi kondisi suaminya.

“Umpama dia nanya ma kita, ditanya terus berulang-ulang..dia nanya hari apa ini,trus gak berapa lama ditanya lagi hari apa ini..hari senen saya bilang..trus ditanya tanggal berapa..ditanya terus..” (R2. W1/b. 60-65/ hal 3) “Gimana ya..beratnya kita rasa itu..kita gak bisa lagi meninggalkan dia,umpama kita pergi keluar jadi emosi yang keluar..misalnya ditanya lagi bolak balik..pertanyaan itu 20 kali dalam sehari ditanya..” (R2. W1/b. 113-114/hal 4)

Setelah Duma menjawab pertanyaan suaminya yang terus sama, ia ingin agar

suaminya menulis jawaban hari dan tanggal saat itu ditulis di tangan atau kertas agar tidak

ditanyakannya lagi hal yang sama. Tetapi Daniel tidak pernah menulis jawaban tersebut dan

bertanya lagi kepada Duma hal yang sama.

Penurunan Kognitif pada Penderita Alzheiemer

Page 74: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

“Saya bilang,pak tolong la kalo udah ditanya dicatat la di tangan..tapi gak pernah dibuatnya..bolak balik ditanya terus..daripada emosi yang keluar,terpaksa awak menahan dulu..” (R2. W1/b. 65-71/hal 3) “Trus ditanya mau kemana,dah dikasih tahu..ditanya lagi..capek juga..nanti dia ngerasa kalo aku rada kesel gitu..ditengoknya mukaku rada lain..dibilangnya,mak jangan marah la..ini gak sengaja kubuat-buat..tapi setidaknya dia usaha buat inget..dicatat di tangan hari ini tanggal berapa..” (R2. W2/b. 23-33/hal 2)

Saat suami Duma yang selalu bertanya hal yang sama secara berulang-ulang seperti

pertanyaan hari dan tanggal berapa pada saat itu kepada Duma. Hal ini terkadang membuat

Duma kesal dan marah jika diberikan pertanyaan yang sama. Ketika Duma merasa kesal, ia

berusaha untuk tidak langsung menjawab pertanyaan suaminya dan berdiam diri dulu untuk

mengatur perasaannya dan menenangkan emosinya terlebih dahulu serta ia berdoa kepada

Tuhan dan meminta agar ia diberi kesabaran untuk menghadapi kondisi suaminya. Ia tidak

ingin menjawab pertanyaan suaminya dengan marah.

“Jadi seolah-olah saya hitung 1,2,3..baru saya jawab..tarik napas la dulu aku daripada langsung kujawab..bolak balik kek gitu..tarik napas la dulu daripada aku marah nanti..buat mencegah amarahku ini,aku berdoa tolong Tuhan berikan aku kesabaran..” (R2. W1/b. 485-492/hal 13) “Yah itu la..kayak yang waktu itu aku bilang..daripada aku emosi,stres gitu..mending aku tekan dulu emosiku..jangan langsung marah..umpama dia bolak balik nanya yang sama misalnya dah lama kali..aku tahan emosiku,kubilang ya Tuhan,beri aku kesabaran..baru bisa kujawab pertanyaan bapak..kucoba kuredamkan dulu emosiku,supaya gak marah yang keluar..supaya bisa kuterima kondisi bapak ini..” (R2. W2/b. 197-209/hal 21)

Duma juga merasa sedih ketika ia melihat suaminya yang sudah tidak bisa diajak

untuk berdiskusi dan bercerita bersama lagi jika mereka memiliki masalah. Saat Duma

bertanya pendapat dan meminta keputusan dari suaminya mengenai masalah yang ada, Daniel

sudah tidak dapat memberikan pendapat lagi karena penurunan kognitif yang dialaminya. Hal

Page 75: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

ini membuat Duma sedih dan stres karena semua keputusan harus ia lakukan sendiri serta ia

merasa tidak ada teman untuk berbagi.

“Yah..gimana ya..kayak seolah-olah ngerasa hilang bapak..kayak gak ada lagi kawan awak ngomong,diskusi gitu..itu la,kadang stres juga..misalnya lagi ada masalah,gak bisa diskusi lagi..orang ingatannya dah ilang..awak kan ada rasa ingin menopang,tapi sekarang dah gak bisa lagi..jadi,aku merasa ada yang hilang la..tapi berusaha gak mau terlalu dipikirkan kali..” (R2. W2/ b. 03-14/hal 15)

Ketika Duma melihat anak-anak dan cucunya yang sudah tidak menghargai lagi

suaminya karena ingatan suaminya yang menurun, ia merasa sedih dan ingin agar

keluarganya masih menghargai suaminya. Ia sedih jika mendengar cucunya mengeluh

tentang Daniel yang selalu bertanya secara berulang-ulang.

“kadang pun aku ngerasa sedih juga kalo denger cucuku bilang ah,opung ini bolak balik nanya lagi..kadang sedih juga..aku pikir biar la aku yang ngerasa seperti itu..jangan pula orang lain negur suamiku..saya bilang gimana lagi,ingatannya dah terganggu..yah,sedih aku..cuman ya berdoa aja la aku..semoga aku masih kuat..” (R2. W2/b. 160-169/hal 20) “kadang kalo liat orang di rumah ke’ anak-anak kami kurang bisa menerima atau respect ma bapak,awak rasanya liat itu sedih..kayak gak dipedulikan la..sakit la memang rasanya,kawan kita diskusi dah gak bisa lagi..” (R2. W1/b. 461-467/hal 12)

Kondisi suaminya yang sudah mengalami penurunan kognitif sejak menderita

penyakit Alzheimer membuat Duma menjadi lebih sabar lagi dalam menjalani hidup dan ia

lebih mendekatkan diri kepada Tuhan. Duma lebih banyak berdoa dan mendekatkan diri

dengan Tuhan.

“Aku coba sabar aja..tapi aku juga berpikir,karena ada kondisi seperti ini melatih aku buat bersabar la..aku jadi makin tabah..biasanya dulu aku juga kadang emosional,sekarang aku menciba sabar la..semakin banyak berdoa juga aku,makin dekat aku sama Tuhan..aku cuman

Page 76: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

melakukan apa yang bisa kulakukan la..masih berusaha aku membuat bapak semakin membaik..” (R2. W2/b. 283-294/hal 23-24)

Untuk mengatasi penurunan kognitif yang dialami suaminya, Duma fokus kepada

permasalahan yang dialami suaminya. Duma selalu berusaha dan mencari cara bagaimana

ingatan suaminya dapat lebih membaik lagi. Ia juga berdoa agar dokter yang merawat

suaminya masih dalam keadaan baik dan sehat.

“gimana la ya..aku masih berharap juga bapak ingatannya kembali seperti semula atau setidaknya sedikit membaik la..jadi aku masih berharap juga la..manatau ada keajaiban lagi dari Tuhan..saya gak mau juga apatis,gak mau putus berusaha buat bikin baik ingatan bapak..masih berharap saya bapak membaik..saya juga terus berdoa semoga dokter saya masih baik..” (R2. W2/b. 184-194/hal 20-21)

2.

Kondisi Daniel setelah menderita penyakit Alzheimer sudah tidak dapat melakukan

aktivitas sehari-harinya seperti mandi atau berpakaian sendiri membuat Duma menjadi sedih

dan belum bisa menerima kondisi suaminya seperti ini. Ia ingin agar suaminya berinisiatif

sendiri untuk melakukan aktivitasnya seperti berpakaian tanpa harus diingatkan oleh Duma

dan Duma terkadang capek untuk terus mengingatkan suaminya yang dilihat seperti tanpa

usaha dari diri suaminya sendiri.

“Yah,itu dia bapak gak berinisiatif sendiri mau pake bajunya..mesti aku juga yang bilangin..nanti gak mikir mana baju yang buat jalan-jalan,pesta,di rumah sama rata aja ma bapak..jadi,mesti kita ingatkan lagi..yah,terkadang capek juga la aku..sepertinya usaha kita mau bangkitkan cara pikirnya juga kayaknya gak berhasil juga..tak ada juga usaha dari dia sendiri..yah,nanti dia bilang kan bukan aku yang bikin kayak gini..betul juga itu,aku pikir..bukan dia yang bikin sendiri tapi aku mau ada usahanya sedikit..” (R2. W2/b. 64-79/hal 17)

Ketergantungan Melakukan Aktivitas Sehari-hari pada Penderita Alzheimer

Page 77: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Duma berusaha untuk membuat suaminya berinsiatif sendiri untuk melakukan

aktivitasnya sehari-hari seperti berpakaian sendiri. Cara yang Duma lakukan dengan ia sudah

menyiapkan pakaian suaminya di tempat tidur dan ia ingin agar suaminya sendiri yang

memilih bajunya dan memakainya. Tetapi kadang suaminya masih memakai baju yang sudah

dipakainya selama beberapa hari.

“kadang saya latih la bapak buat bekerja lagi otaknya..bapak sendiri yang berusaha..kayak baju dah kusiapkan yang mau dipakai,tapi bapak sendiri yang berinisiatif pake bajunya..tapi terkadang masih baju yang lama juga yang dipakainya..” (R2. W2/b. 53-60/hal 16-17)

Selain itu, Duma juga meminta saran kepada salah saudaranya yang juga pernah

merawat suaminya yang menderita penyakit Alzheimer. Ia bertanya bagaimana cara yang

dilakukan oleh saudaranya ketika merawat suaminya. Tetapi kondisi suami saudaranya lebih

parah lagi dibanding dengan kondisi Daniel.

“jadi,ada la saudara saya juga..suaminya hampir kayak gini tapi dah meninggal..saya minta saran juga sama dia gimana caranya dia..kepingin juga aku minta saran dari kawan yang lebih berpengalaman..tapi dia lebih parah lagi penyakitnya..” (R2. W2/b. 82-89/hal 17-18)

Duma melihat beberapa pengalaman dari temannya yang juga merawat suaminya.

Duma melihat ternyata ada yang lebih parah lagi daripada dirinya dimana kondisi suami

temannya yang sudah melakukan semua aktivitas di tempat tidur saja. Duma melihat

pengalaman orang lain yang membuat dirinya menjadi lebih beruntung daripada orang lain

dapat membuat Duma menjadi lebih baik.

“kayak suami temanku di gereja, yang suaminya gak bisa ngapa-ngapain lagi..semua aktivitasnya di kamar tidur aja..ngeliat itu,masih beruntung la saya..suami saya gak sampe kayak gitu..terkadang kalo liat itu,bikin kita terobati juga..kalo liat yang mulus-mulus,kadang

Page 78: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

sakit hati juga..biar agak terobati juga hati awak..jadi,berat pikiran juga la ngurus yang kayak gini..” (R2. W1/b. 495-506/hal 13)

Kondisi Daniel yang sejak menderita penyakit sudah tidak dapat melakukan aktivitas

sehari-hari seperti mandi, berpakaian, mengingat waktu untuk makan, dan lainnya

membutuhkan bantuan dari Duma untuk melaksanakan aktivitasnya. Hal ini membuat Duma

membutuhkan kesabaran untuk memberikan perawatan kepada suaminya dengan cara ia

selalu berdoa kepada Tuhan untuk kuat dan sabar. Saat ia merasa marah dan emosi dengan

melihat kondisi suaminya yang tidak bisa berinisiatif sendiri untuk mandi atau berpakaian,

Duma selalu berdoa pada Tuhan agar ia tidak marah dan selalu sabar.

“Ha,iya la..jangan sampe saya berdosa..karena kalo sempet aku bilang,ah repot kali pun ngerawat dia..kan dah berdosa nanti aku..terkadang mengganti pakaiannya angin-anginan..nanti sekali pake bisa dipake terus mpe berapa hari..jadi sekarang kayak bayi lagi..semua saya siapin bajunya,celananya..dalam hal ini pun saya,itu la kalo saya rasa dengan doa la yang bikin aku kuat menghadapi si bapak..kalo dengan emosi,termasuk emosional juga aku..tapi karena dengan kita mengandalkan diri kita sendiri emosi yang keluar..tapi itu la,kucoba la..kalo bapak nanya gak langsung kujawab..supaya mengendalikan ato menurunkan emosiku ini..Tuhan tolong la berikan aku kesabaran,jangan sampe aku marah sama suamiku..jadi,sebagai orang yang beragama saya percaya sama kekuatan Tuhan..” (R2. W1/b. 237-261/hal 7-8)

3.

Selain itu, Duma juga selalu memikirkan Daniel di rumah jika ia sedang di luar.

Duma takut suaminya akan pergi jalan-jalan ke luar rumah dan tersesat tidak mengetahui

jalan untuk pulang ke rumah. Hal ini membuat Duma selalu memikirkan suaminya jika ia

sedang pergi ke luar rumah dan suaminya berada di rumah. Ia tidak pernah tenang jika

meninggalkan suaminya di rumah walaupun suaminya bersama anaknya di rumah. Sehingga

Duma susah untuk melakukan kegiatan sosial di luar rumah.

Gangguan Perilaku pada Penderita Alzheimer

Page 79: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

“Terkadang juga,ya lumayan fisik saya gak capek kali..tapi sama aja beratnya,fisik capek pikiran saya pun capek..jadi kadang kalo kita pergi keluar,saya mikir juga dia di rumah gimana..karena pernah tetangga disana,seminggu gak nampak..gak tau pigi kemana..jadi,saya mikir jangan sampe ke’ gitu la nanti..jadi kalo ada orang di rumah pun,saya gak percaya lagi..kalo bisa ada duplikat saya di rumah..” (R2. W1/b. 90-103/hal 4) “Ya,kalo aku keluar sama aja aku juga mikirin gimana bapak di rumah..takut aku nanti bapak keluar terus tersesat..walaupun ada anakku yang jaga tetap aja aku masih kepikiran..takut aku bapakku tersesat..itu terus yang aku pikirin..jadi susah juga la kalo aku keluar..” (R2. W2/b. 232-240/ hal 22) “yah,gimana ya..aku susah juga buat keluar..mau gimana lagi,daripada waktu aku di luar..aku kepikiran terus bapak gimana di rumah..ada keluar-keluar gak..aku selalu telepon ke rumah la buat tanya bapak dimana..di rumah apa gak..susah juga la kalo mau ditinggal..” (R2. W2/b. 243-251/hal 22)

Saat ada tamu di rumah atau acara perkumpulan Batak, Daniel sudah tidak bisa aktif

lagi seperti dulu. Daniel sudah tidak dapat ikut dalam pembicaraan dan memberikan pendapat

ke orang lain seperti ketika dulu sebelum ia menderita penyakit Alzheimer. Hal ini membuat

Duma merasa suaminya disepelekan oleh orang lain dan sudah tidak dipandang lagi seperti

dulu. Duma sedih melihat aktivitas suaminya yang sudah tidak aktif lagi dan terlihat apatis

untuk tidak ikut terlibat lagi dalam kegiatan sosial baik di gereja maupun di perkumpulan

Batak.

“Yah,sedih ya..kadang kan kita ngeliat punya suami yang biasa tampil..misalnya ada acara gitu,tapi dia pikir ah udah la biar aja itu..jadi dah apatis dia kan..kita rasanya kecil juga..jadi itu la perasaan itu penghargaan orang awak rasa dah gak seperti sedia kala..ke’ disepelekan gitu..karena dia dulunya aktif gitu ya di perkumpulan..kok sekarang jadi gak ke’ dulu lagi ya,diem aja..tapi yah sudah la,udah ke’ gini ya..” (R2. W1/b. 207-219/hal 7) “jadi,kan itu perkumpulan batak gitu..kalo orang Batak kan harus ngomong la di depan,ada yang diomongin..saya rasa kan nanti di mata orang itu nanti Bapak kayak disepelekan gitu kan..” (R2. W2/b. 113-118/hal 18)

Page 80: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Selain itu, Duma mengatasi rasa sedihnya ketika ia melihat suaminya yang sudah

tidak aktif lagi dan apatis dalam perkumpulan Batak dengan cara ia mendorong suaminya

untuk memberikan pendapat dan berbicara di depan umum. Hal ini merupakan salah satu

gangguan perilaku pada suaminya yang menderita Alzheimer. Ia mendorong suaminya untuk

membicarakan apa yang dirasakan Daniel dan berbicara berdua dengan Duma. Hal ini

dilakukan agar ia merasa suaminya tidak disepelekan dan masih dihargai oleh orang lain

karena Daniel masih dapat memberikan pendapat.

“jadi saya usahakan la bapak buat ngomong di depan..setidaknya ada ikut berpartisipasi..kadang bapak gak mau,tapi saya usahakan..berdua pun tak apa,ngomong apa aja apa yang bapak rasakan..biar diliat orang masih dipandang..gak saya rasa disepelekan suami saya..jadi saya usahakan,dorong bapak buat ngomong..” (R2. W2/b. 118-128/hal 17-18) “Yah,itu la..saya dorong bapak untuk ngomong di depan..agar ada partisipasi di pertemuan itu..biar gak dilihat diam aja,biar gak dirasa disepelekan..aku gak mau orang lain liat suamiku cuman diam aja..” (R2. W2/b. 140-145/hal 19)

4. Pembahasan Data Responden B

Penyakit Alzheimer adalah kerusakan otak yang ditandai dengan penurunan dari

perhatian, memori, dan kepribadian. Penyakit Alzheimer merupakan keadaan di mana daya

ingatan seseorang merosot dengan parahnya sehingga pengidapnya tidak mampu mengurus

diri sendiri. (Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia). Bantuan dalam

melakukan kegiatan sehari-hari akan menyebabkan penderita membutuhkan seseorang untuk

merawat.

Seseorang yang memberikan perawatan disebut dengan caregiver. Duma merupakan

caregiver informal suaminya yang menderita penyakit Alzheimer. Duma hanya sendiri dalam

memberikan perawatan kepada suaminya tanpa bantuan dari tenaga professional lainnya.

Page 81: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Duma juga melakukan beberapa tugas caregiving seperti perawatan personal dengan

memandikan, membantu suaminya berpakaian, dan menyiapkan makanan dan memberikan

dukungan emosional serta pemberian saran kepada suaminya.

Efek dari penyakit Alzheimer tidak hanya berdampak bagi penderita tetapi juga

berdampak pada anggota keluarga yang memberikan perawatan atau caregiving (Berk, 2007).

Tingkah laku penderita penyakit Alzheimer semakin bermasalah selama peningkatan

penyakitnya dan dapat meningkatkan stres dalam keluarganya (Sarafino, 2006). Hal ini dapat

dilihat pada Duma yang semakin stres karena kondisi suaminya yang semakin menurun

seperti penurunan kognitif, ketergantungan melakukan aktivitas sehari-harinya, dan gangguan

perilaku. Ketika Duma stres, ia sering menangis melihat kondisi suaminya.

Menurut Aneshensel et.al (1995), stressor pada caregiver Alzheimer terdiri dari dua

yaitu pertama objective stressor seperti penurunan kognitif, ketergantungan melakukan

aktivitas sehari-hari, dan gangguan perilaku pada penderita Alzheimer. Duma merasa sedih

dan stres pada kondisi suaminya yang mulai menurun. Duma sering menangis pada malam

hari saat suaminya sudah tertidur. Penerimaan Duma terhadap kondisi suaminya yang

semakin menurun sebagai sesuatu yang menyedihkan. Duma juga sudah tidak dapat banyak

melakukan kegiatan sosial di luar rumah karena ia takut suaminya akan pergi ke luar dan

tersesat karena Daniel pernah lupa pada alamat rumahnya. Bentuk gangguan perilaku pada

suaminya seperti sudah tidak aktif lagi seperti dulu dan tidak berpartisipasi lagi dalam

kegiatan sosial yang ada. Hal ini membuat Duma menjadi stress dan sedih, ia merasa bahwa

suaminya disepelekan oleh orang lain.

Kedua, subjective stressor seperti perubahan hidup yang dialami oleh caregiver.

Perubahan hidup ini sebagai sesuatu yang diterima atau tidak diterima oleh caregiver.

Page 82: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Keluarga yang berperan menjadi caregiver akan beresiko mengalami masalah fisik

dan kesehatan mental serta kematian yang lebih cepat jika ia memberikan kapasitas yang

berlebihan dalam caregiving (Schultz&Beach, Sovensen&Pinquart, 2005 dalam Berk 2007).

Dampak stres pada caregiver semakin meningkatkan resiko yang ada. Untuk mengurangi

resiko masalah fisik dan kesehatan mental pada caregiver maka diperlukan metode coping

stress yang tepat pada caregiver. Coping stress merupakan proses yang mengatur tuntutan

dari eksternal atau internal yang muncul melampaui batas sumber daya seseorang (dalam

Taylor 2003). Usaha coping dapat diartikan dengan memperbaiki masalah dan dapat juga

membantu seseorang merubah pandangannya terhadap kesenjangan, menerima ancaman, atau

menghindar dari situasi.

Menurut Lazzarus & Folkman (dalam Sarafino, 2006) ada dua fungsi coping yaitu

pertama emotion focused coping digunakan untuk mengatur respon emosional terhadap

stress. Sedangkan fungsi coping yang kedua adalah problem focused coping digunakan oleh

individu dengan mengurangi tuntutan dari situasi yang penuh tekanan atau mengembangkan

sumber daya pada dirinya.

Caregiver akan memilih beberapa metode coping yang tepat mereka gunakan agar

dapat mengurangi dan menangani stress yang mereka alami. Penggunaan metode coping yang

tepat akan mengurangi faktor resiko pada caregiver penderita penyakit Alzheimer.

Duma menggunakan beberapa metode coping stres sebagai berikut :

1) Masalah ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer

a. Metode cognitive redefinition adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused,

yaitu usaha untuk tetap terlihat baik di dalam situasi yang buruk, membuat sesuatu

perbandingan dengan orang lain yang lebih rendah, atau melihat sesuatu yang baik

yang muncul dari masalah itu.

Page 83: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Hal ini dapat dilihat ketika Duma melihat suami temannya yang sudah tidak bisa

melakukan aktivitas apapun sehingga istrinya harus melakukan aktivitas dan merawat

suaminya di kamar tidur saja karena suaminya sudah tidak dapat berjalan lagi. Duma

berpikir bahwa sekarang apa yang dialaminya masih lebih baik karena suaminya

masih dapat berjalan.

b. Metode seeking sosial support adalah metode yang bertujuan sebagai emotion

focused, yaitu usaha untuk mengatur emosi yang nyaman dan mencari informasi dari

orang lain.

Hal ini dapat dilihat ketika Duma meminta saran dari salah satu keluarganya yang

pernah merawat suaminya yang juga menderita penyakit Alzheimer. Duma bertanya

bagaimana cara dan pengalaman saudaranya ketika merawat suaminya yang

menderita Alzheimer juga.

c. Metode direct action adalah metode yang bertujuan sebagai problem focused, yaitu

tindakan secara langsung untuk untuk merubah situasi yang ada menjadi lebih baik.

Hal ini dapat dilihat dari tindakan Duma untuk membiarkan suaminya berinisiatif

memilih pakaian dan berpakaian. Duma sudah menyediakan pakaian Daniel di tempat

tidur dan ingin agar suaminya sendiri yang memilih pakaiannya. Tindakan ini

dilakukan Duma untuk melatih suaminya melakukan sendiri aktivitas sehari-harinya.

d. Metode religion adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused, yaitu usaha

untuk mendapatkan kenyamanan dari agama dan kepercayaan spiritual.

Hal ini dapat dilihat ketika Duma merasa kesal ketika memberikan perawatan kepada

suaminya seperti memandikan maka ia akan berdoa kepada Tuhan agar diberikan

kesabaran dan ketabahan dalam memberikan perawatan. Ia tidak ingin berdosa kepada

suaminya

Page 84: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

2) Masalah penurunan kognitif pada penderita Alzheimer

a. Metode self control adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused yaitu

usaha untuk mengatur perasaan atau tindakan seseorang yang berhubungan dengan

masalah yang ada.

Hal ini dapat dilihat ketika Duma menghadapi suaminya yang selalu bertanya hal

yang sama secara berulang-ulang maka ia akan menahan emosinya dulu agar ia tidak

marah kepada suaminya. Duma akan menarik napas kemudian menghitung dari angka

1,2,3 baru setelah ia tenang akan menjawab pertanyaan suaminya.

b. Metode religion adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused, yaitu usaha

untuk mendapatkan kenyamanan dari agama dan kepercayaan spiritual.

Hal ini dapat dilihat ketika Duma menghadapi suaminya yang selalu bertanya hal

yang sama maka Duma berdoa kepada Tuhan agar ia diberi kesabaran dan ketabahan

dalam memberikan perawatan kepada suaminya.

c. Metode positive appraisal adalah metode yang bertujuan sebagai emotion focused,

yaitu usaha untuk mendapatkan makna yang positif dalam pengalaman dengan focus

pada pertumbuhan diri.

Hal ini dapat dilihat ketika Duma merasa bahwa dengan kondisi suaminya yang

fungsi kognitifnya sudah menurun membuatnya menjadi lebih sabar dan sudah tidak

emosional lagi dalam menjalani hidup. Duma juga lebih mendekatkan diri dengan

Tuhan dan semakin banyak berdoa kepada Tuhan.

d. Metode planful problem solving adalah metode yang bertujuan sebagai problem

focused, yaitu usaha untuk focus pada masalah dan mencari pemecahannya.

Page 85: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Hal ini dapat dilihat ketika Duma selalu terus berusaha dan mencari cara bagaimana

ingatan suaminya menjadi lebih baik lagi. Ia juga selalu berdoa kepada Tuhan agar

dokter yang merawat suaminya tetap baik dan sehat.

3) Masalah gangguan perilaku pada penderita Alzheimer

a. Metode direct action adalah metode yang bertujuan sebagai problem focused, yaitu

tindakan secara langsung untuk untuk merubah situasi yang ada menjadi lebih baik.

Hal ini dapat dilihat ketika Duma mendorong suaminya untuk memberikan pendapat

dan berbicara di depan umum saat acara perkumpulan Batak yang bisa mereka

datangi.

b. Metode accepting responsibility adalah metode yang bertujuan sebagi emotion

focused , yaitu usaha untuk mengambil perngetahuan tentang peranannya sambil

berusaha membetulkan apa yang salah.

Hal ini dapat dilihat ketika Duma sudah tidak banyak lagi melakukan kegiatan sosial

di luar rumah karena ia takut suaminya akan pergi ke luar dan tersesat di jalan. Jika

Duma pergi ke luar maka suaminya akan dirawat oleh anaknya dan ia tidak pergi lama

di luar rumah.

Page 86: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Tabel 8. Gambaran Metode Coping Stress pada Responden B

No. Aspek Kesimpulan 1. a. Coping terhadap ketergantungan

dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer b. Coping terhadap penurunan kognitif pada penderita Alzheimer c. Coping terhadap gangguan perilaku pada penderita Alzheimer

a. Masalah ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer 1. Metode cognitive redefinition: responden melihat

pengalaman temannya dan ada yang lebih parah lagi daripada apa yang ia alami

2. Metode seeking social support: responden menanyakan saran kepada saudaranya yang pernah merawat suaminya yang menderita Alzheimer

3. Metode direct action: responden menyediakan pakaian suaminya di kamar dan membiarkan Daniel untuk memilih sendiri baju yang akan dipakai

4. Metode religion: responden berdoa kepada Tuhan untuk diberikan kesabaran dan ketabahan

b. Masalah penurunan penurunan kognitif pada

penderita Alzheimer 1 Metode self control: responden menahan dulu

emosinya dan menarik napas agar ia tidak marah ketika menjawab pertanyaan suaminya yang sama secara berulang-ulang

2. Metode religion: responden selalu berdoa pada Tuhan agar ia selalu diberikan kesabaran dalam menghadapi suaminya yang selalu bertanya hal yang sama

3. Metode positive appraisal: responden menjadi lebih sabar lagi dan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan karena kondisi suaminya. Ia menjadi lebih sabar dalam menjalani hidup

4. Metode planful problem solving: responden selalu berusaha dan mencari cara agar ingatan suaminya semakin membaik

c. Masalah gangguan perilaku pada penderita

Alzheimer 1. Metode direct action: responden mendorong suaminya untuk memberikan pendapat dan berbicara di acara perkumpulan Batak 2. Metode accepting responsibility: responden sudah jarang untuk melakukan aktivitas social di luar rumah agar ia tidak meninggalkan suaminya di rumah

Page 87: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

C. Analisa Data Antar Responden

Agar dapat melihat lebih mendalam tentang analisa data hasil wawancara antar

responden, berikut ini disajikan tabel yang memuat tentang analisa data antar responden

berdasarkan gambaran pasangan responden dan gambaran metode coping yang digunakan

oleh responden. Analisa banding diperlukan antar responden juga berguna untuk mengetahui

sejauhmana kesamaan, perbedaan, saling melengkapi, dan kondisi antar partisipan

(Bastaman, 1996).

Tabel 9. Analisa Banding Antar Responden

No. Analisa Data Pasangan Responden A Pasangan Responden B 1.

Gambaran penderita Alzheimer

• Usia : 75 tahun • Lama menderita Alzheimer : 5

tahun • Kategori Stadium Alzheimer :

Stadium akhir

• Usia : 78 tahun • Lama menderita Alzheimer :

3 tahun • Kategori Stadium Alzheimer

: Stadium menengah

2.

Gambaran Metode Coping Stress

Responden A

Responden B

a. Coping terhadap perubahan hidup pada caregiver

Coping terhadap perubahan hidup pada caregiver :

1.Metode confrontative: Nazwa memukul badan suaminya dengan keras

6. Metode acceptance: Nazwa menerima hidupnya yang sedang dijalaninya sekarang sebagai suratan takdir yang harus dijalani.

7. Metode Cognitive redefinition: Nazwa melihat apa yang dialami oleh orang lain yang ada di sekitarnya dan di Rumah

Page 88: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

b. Coping terhadap

ketergantungan melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer

c. Coping terhadap

penurunan kognitif

Sakit. Ia melihat bahwa ada yang lebih parah lagi daripada apa yang sedang dialamininya.

8. Metode self control: Nazwa berusaha mengatur emosinya dan tidak mau mendekati suaminya jika ia sedang marah dan kesal. Ia tidak mau dekat dulu karena tidak mau memukul suaminya dan berteriak-teriak maka ia akan ke luar dari kamar dan mengatur emosinya.

9. Metode escape/avoidance: Nazwa meminta agar suaminya pulang ke rumah dan minta agar dokter tidak memberikan lagi obat-obat bagus kepada suaminya

b.Coping terhadap ketergantungan melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer : 3. Metode emotional discharge:

Nazwa berteriak-teriak dari kamar hingga ke depan rumahnya hingga teriakannya terdengar sampai ke tetangga

4. Metode confrontative: Nazwa langsung memukul badan suaminya jika bandel ketika dimandikan di kamar mandi

c.Coping terhadap penurunan kognitif pada penderita

b.Coping terhadap ketergantungan melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita Alzheimer: 1.Metode cognitive redefinition:

Duma melihat pengalaman temannya dan ada yang lebih parah lagi daripada apa yang ia alami

2.Metode seeking social support: Duma menanyakan saran kepada saudaranya yang pernah merawat suaminya yang menderita Alzheimer

3.Metode direct action: Duma menyediakan pakaian suaminya di kamar dan membiarkan Daniel untuk memilih sendiri baju yang akan dipakai

4.Metode religion: Duma berdoa kepada Tuhan untuk diberikan kesabaran dan ketabahan

c.Coping terhadap penurunan kognitif pada penderita

Page 89: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

pada penderita Alzheimer

d. Coping terhadap

gangguan perilaku pada penderita Alzheimer

Alzheimer: 1. Metode distancing: Nazwa berbelanja ke luar jika ia jenuh sedang berada di rumah d. Coping terhadap gangguan perilaku pada penderita Alzheimer : 1. Metode planful problem solving: Nazwa meminta perawat untuk membersihkan kotoran suaminya di tempat tidur

Alzheimer : 1. Metode self control: Duma

menahan dulu emosinya dan menarik napas agar ia tidak marah ketika menjawab pertanyaan suaminya yang sama secara berulang-ulang

2. Metode religion: Duma selalu berdoa pada Tuhan agar ia selalu diberikan kesabaran dalam menghadapi suaminya yang selalu bertanya hal yang sama

3. Metode positive appraisal: Duma menjadi lebih sabar lagi dan lebih mendekatkan diri dengan Tuhan karena kondisi suaminya. Ia menjadi lebih sabar dalam menjalani hidup

4.Metode planful problem solving: Duma selalu berusaha dan mencari cara agar ingatan suaminya semakin membaik

d.Coping terhadap gangguan perilaku pada penderita Alzheimer : 1. Metode direct action: Duma mendorong suaminya untuk memberikan pendapat dan berbicara di acara perkumpulan Batak 2. Metode accepting responsibility: Duma sudah jarang untuk melakukan aktivitas social di luar rumah agar ia tidak meninggalkan suaminya di rumah

Page 90: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

BAB V

KESIMPULAN, DISKUSI DAN SARAN

A. Kesimpulan

Berdasarkan analisa hasil yang diperoleh dari kedua partisipan pada penelitian ini,

maka ditarik kesimpulan sebagai berikut :

1. Sumber stres pada Responden A berasal dari perubahan hidup yang dialaminya

semenjak ia memberikan perawatan kepada suaminya yang menderita penyakit

Alzheimer. Nazwa kesal dengan hidupnya yang tidak pernah bebas dari ia muda

hingga sekarang karena ia harus memberikan perawatan kepada suaminya. Nazwa

merasa jenuh dan bosan pada tugas perawatan yang rutin dilakukannya seperti

memandikan, membantu suaminya berpakaian, dan memberikan obat kepada

suaminya. Nazwa sering marah ketika suaminya melawan dirinya ketika sedang

dimandikan atau diberikan bentuk perawatan lainnya.

Sedangkan sumber stres pada Responden B berasal dari penurunan kognitif yang

dialami oleh suaminya yang menderita penyakit Alzheimer. Duma sedih dan

terkadang kesal jika mendengar suaminya yang selalu bertanya hal yang sama seperti

hari dan tanggal saat itu secara berulang-ulang. Hal ini terjadi karena ingatan

suaminya menurun yang merupakan salah satu gejala penyakit Alzheimer. Duma

Page 91: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

juga merasa suaminya sudah tidak dihargai dan disepelekan oleh anggota keluarganya

dan orang lain disekitarnya seperti di perkumpulan Batak karena Daniel yang sudah

tidak aktif dan berpartisipasi lagi pada perkumpulan seperti dulu.

2. Untuk mengatasi stres pada kedua responden maka diperlukan coping stres yang tepat

agar tidak meningkatkan resiko stres yang ada pada caregiver penderita Alzheimer.

Coping stres yang dipakai oleh kedua responden dapat dilihat sebagai berikut:

a. Pada responden A:

5) Masalah perubahan hidup yang dialami oleh caregiver

f. Metode confrontative : Nazwa merasa kesal dengan hidup yang dijalaninya

dan memukul suaminya dengan keras sampai badan suaminya biru karena

pukulannya.

g. Metode acceptance : Nazwa berpikir bahwa hidup yang dijalaninya sekarang

sudah menjadi suratan takdir yang harus dijalaninya.

h. Metode Cognitive redefinition : Nazwa melihat pengalaman orang lain yang

ia temui di Rumah Sakit dan ia bersyukur bahwa apa yang dialaminya masih

lebih baik daripada orang lain dan masih banyak yang lebih parah lagi

daripada dirinya.

i. Metode self control : Nazwa berusaha untuk tidak mendekati dulu suaminya

sampai ia tidak marah lagi. Ia menjauhi suaminya dulu untuk mengatur

perasaannya agar ia tidak memukul dan berteriak-teriak di dalam rumah.

j. Metode escape/avoidance : Nazwa membawa pulang suaminya pulang ke

rumah setelah diopname di Rumah Sakit di Medan agar Raffi dapat

meninggal di rumah. Ia meminta agar dokter tidak harus memberikan obat-

obat yang bagus lagi kepada suaminya.

Page 92: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

6) Masalah ketergantungan melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita

Alzheimer

c. Metode emotional discharge : Nazwa berteriak-teriak dari dalam kamar

sampai ke depan rumah hingga teriakannya terdengar sampai ke

tetangganya.

d. Metode confrontative : Ketika Nazwa sedang memandikan suaminya dan

Raffi terkadang suka melawan sehingga membuat Nazwa kesal maka Nazwa

langsung memukulnya di kamar mandi sehingga badan suaminya menjadi

biru.

7) Masalah penurunan kognitif pada penderita Alzheimer

b. Metode distancing : Nazwa pergi berbelanja ke luar jika ia sedang jenuh

dengan aktivitasnya yang di rumah saja

8) Masalah gangguan perilaku pada penderita Alzheimer

b. Metode planful problem solving : Ketika suami Nazwa yang marah-marah

dan menyapukan kotorannya ke tiang tempat tidur di Rumah Sakit. Nazwa

meminta agar perawat di Rumah Sakit membersihkan kotorannya karena

Nazwa tidak bisa untuk membersihkannya sendiri.

c. Pada Responden B :

4) Masalah ketergantungan dalam melakukan aktivitas sehari-hari pada penderita

Alzheimer

Page 93: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

d. Metode cognitive redefinition : Duma melihat pengalaman temannya dan ia

berpikir bahwa sekarang apa yang dialaminya masih lebih baik karena

suaminya masih dapat berjalan.

e. Metode seeking sosial support : Duma meminta saran dari saudaranya yang

juga pernah merawat suaminya yang menderita Alzheimer

f. Metode direct action : Duma sudah menyediakan pakaian suaminya di

tempat tidur dan membiarkan Daniel berinisiatif memilih pakaiannya

sendiri

g. Metode religion : Nazwa berdoa kepada Tuhan agar diberikan kesabaran

dan ketabahan dalam memberikan perawatan. Ia tidak ingin berdosa kepada

suaminya

5) Masalah penurunan kognitif pada penderita Alzheimer

e. Metode self control : Duma akan menahan emosinya dan menarik napas

dulu agar ia tidak marah ketika menjawab pertanyaan suaminya yang selalu

berulang-ulang

f. Metode religion : Duma berdoa kepada Tuhan agar ia diberi kesabaran dan

ketabahan dalam menghadapi suaminya yang selalu bertanya hal yang sama

g.Metode positive appraisal : Duma menjadi lebih sabar dan sudah tidak

emosional lagi dalam menjalani hidup. Duma juga lebih mendekatkan diri

dengan Tuhan dan semakin banyak berdoa kepada Tuhan.

h. Metode planful problem solving : Duma selalu terus berusaha dan mencari

cara bagaimana ingatan suaminya semakin membaik. Ia juga selalu berdoa

kepada Tuhan agar dokter yang merawat suaminya tetap baik dan sehat.

Page 94: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

6) Masalah gangguan perilaku pada penderita Alzheimer

c. Metode direct action : Duma mendorong suaminya untuk memberikan

pendapat dan berbicara di depan umum saat acara perkumpulan Batak yang

biasa mereka datangi

d. Metode accepting responsibility : Duma sudah jarang melakukan kegiatan

sosial di luar rumah. Jika Duma pergi ke luar maka suaminya akan dirawat

oleh anaknya dan ia tidak pergi lama di luar rumah.

B. Diskusi

Pada sub bab ini akan diutarakan hal-hal tambahan yang ditemukan di lapangan

penelitian sekiranya patut dijadiakn bahan diskusi.

Berdasarkan hasil wawancara terhadap kedua responden ditemukan bahwa sumber

stress pada Responden A berasal dari perubahan hidup yang dialaminya semenjak ia rutin

memberikan perawatan kepada suaminya yang menderita penyakit Alzheimer sedangkan

pada Responden B berasal dari penurunan kognitif dan gangguan perilaku yang dialami oleh

suaminya yang merupakan salah satu gejala penyakit Alzheimer.

Hal ini dikarenakan hubungan Responden A dengan suaminya yang kurang baik dan

harmonis sebelum Raffi menderita penyakit Alzheimer dari lima tahun yang lalu. Perilaku

Raffi yang suka berpacaran dengan wanita lain ketika ia masih menikah dan telah menyakiti

hati Nazwa hingga sekarang. Nazwa telah mengetahui perilaku suaminya dulu tetapi tidak

pernah bercerai dengan suaminya. Hingga sekarang Nazwa sering merasa kesal jika ia masih

harus memberikan perawatan kepada suaminya karena ia berpikir bahwa hidupnya tidak

pernah bebas dan ia merasa bahwa dirinya bodoh untuk diperbudak terus oleh suaminya.

Page 95: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Menurut Harper dan Lund (1990), mengatakan bahwa caregiver tidak mengalami

bentuk stres yang signifikan tergantung kepada hubungannya dengan penderita Alzheimer

yang merupakan suami dari Responden A.

Sedangkan pada Responden B yang mengalami stress berasal dari penurunan kognitif

yang dialami oleh suaminya. Hal ini dilihat dari ingatan suaminya menurun yang selalu

bertanya hal yang sama secara berulang-ulang kepada Duma. Duma masih berharap bahwa

ingatan suaminya akan kembali seperti semula atau semakin membaik lagi. Ia terus berusaha

dan mencari cara agar ingatan suaminya yang dapat kembali lagi seperti semula dengan

melatih suaminya untuk berinisiatif sendiri melakukan aktivitas sehari-harinya.

Menurut penelitian Pruchno dan Resch (1989), mengatakan bahwa strategi coping

dengan pengharapan akan meningkatkan depresi pada caregiver penderita Alzheimer.

Sedangkan penurunan kognitif yang dialami oleh penderita Alzheimer akan semakin

menurun secara perlahan yang biasanya tampak dalam waktu lima tahun mendatang

(Bayer&Reban, 2004).

Duma merasa sedih ketika melihat anggota keluarganya yang tidak menghargai lagi

suaminya Duma karena kondisi Duma yang sudah tidak aktif lagi seperti dulu. Duma juga

sudah tidak dapat berdiskusi dan bercerita lagi kepada suaminya karena kondisi ingatan

suaminya yang tidak ingat lagi dengan cerita yang ada. Hal ini membuat Duma sedih dan

merasa bahwa ia sudah tidak ada lagi kawan berbaginya di rumah. Ia merasa bahwa hanya

fisik suaminya saja yang ada tetapi nyawa suaminya tidak ada di rumah.

Hal ini merupakan salah satu penyebab meningkatnya simtom depresi pada istri yang

menjadi caregiver suaminya yang menderita penyakit Alzheimer. Kurangnya kedekatan

dalam perkawinan dan melakukan aktivitas bersama seperti saling bercerita akan

meningkatan stres pada istri yang menjadi caregiver (Hooyer dan Roodin, 2003).

Page 96: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Selain itu, berdasarkan hasil wawancara dengan kedua responden ditemukan bahwa

kedua responden hanya mengetahui sedikit informasi tentang penyakit Alzheimer. Nazwa

hanya mengetahuinya dari dokter yang pertama memeriksa suaminya di Jakarta dan yang ia

ketahui bahwa memori suaminya yang akan menurun dan fisik suaminya tidak mengalami

kelumpuhan. Sedangkan Duma mengetahui informasi mengenai penyakit Alzheimer dari

brosur yang ia baca di ruangan dokter yang merawat suaminya. Ia mengetahui tentang

memori yang menurun dan bagian syarafnya yang terkena.

C. Saran

Dari hasil penelitian yang diperoleh, maka saran yang dapat diberikan adalah sebagai

berikut :

a. Saran Penelitian Lanjutan

1. Dalam penelitian selanjutnya diharapkan agar lebih menggali informasi tentang

hubungan caregiver dengan penderita Alzheimer dan dukungan sosial yang

didapatkan dari keluarga caregiver

2. Peneliti perlu melakukan wawancara dengan anggota keluarga yang terkait seperti

anak dari caregiver penderita Alzheimer yang merupakan pasangan penderita

Alzheimer agar lebih mendapatkan data yang akurat

b. Saran Praktis

1. Bagi responden sebagai primary caregiver penderita Alzheimer

Responden yang berperan sebagai primary caregiver penderita Alzheimer untuk

menemukan metode coping yang tepat dengan melihat dan mendengar metode

coping yang digunakan oleh caregiver penderita Alzheimer lainnya agar tidak

Page 97: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

meningkatkan stres dan mengalami faktor resiko yang ada. Disarankan juga bagi

responden untuk mengetahui informasi mengenai penyakit Alzheimer.

2. Bagi keluarga responden caregiver penderita Alzheimer

Pihak keluarga juga dapat memberikan dukungan sosial kepada pasangan penderita

yang berperan sebagai caregiver penderita Alzheimer. Disarankan bagi keluarga

untuk menerima dan mengerti gejala yang muncul pada penderita Alzheimer

seperti penurunan kognitif, ketergantungan melakukan aktivitas sehari-hari, dan

gangguan perilaku.

3. Bagi yayasan, lembaga, rumah sakit dan praktisi kesehatan yang berada dalam

bidang Alzheimer dan menangani penderita Alzheimer

Bagi institusi yang berada dalam bidang Alzheimer dapat membuat program yang

dapat mengatasi stress pada caregiver penderita Alzheimer seperti support group

agar para caregiver memiliki perkumpulan dan melihat pengalaman caregiver

lainnya. Program ini disarankan untuk memberikan dukungan sosial yang

dibutuhkan oleh caregiver penderita Alzheimer .

4. Bagi masyarakat luas

Masyarakat luas dapat memberikan dukungan positif yang dapat mengurangi stres

pada caregiver penderita Alzheimer. Disarankan juga agar masyarakat dapat

memahami dan mengerti gejala yang timbul pada penderita Alzheimer.

Page 98: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

DAFTAR PUSTAKA

Alzheimer , [on-line] http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/loos. (Diakses tanggal 15 Februari 2008).

Adesla, V. (2007). Alzheimer: Anda Yakin Anda Tahu Alzheimer, [on-line] http://www.e-psikologi.com/epsi/klinis.asp. (Diakses tanggal 15 Februari 2008).

Barrow, G.M. (1996). Aging, the Individual, and Society 6th edition. Amerika: West Publishing Company.

Bayer, A & Reban, J. (2004). Alzheimer’s Disease and Related Conditions. Czech: MEDEA-Press.

Birren, J.E & Schaie, K.W. (1990). The Psychology of Aging 3rd edition. Amerika: Academic Press,INC.

Caregiver, [on-line] http://www.w3c.org/TR/1999/REC-html401-19991224/loose.dtd. (Diakses tanggal 2 Januari 2009)

Dacey, J.S & Travers, J.F. (2002). Human Development Across The Lifespan 5th edition. New

York: The Mc-Graw Hill Companies

Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) – 4th edition – Text Revision, 2002. Arlington: American Psychiatric Association.

Page 99: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Dimatteo, M.R. (1991). The Psychology of Health, Illness, and Medical Care. Amerika: Brooks/Cole Publishing Company.

Hoyer, W.J & Roodin, P.A. (2003). Adult Development and Aging 5th edition. New York: McGraw-Hill.

Hurlock, E.B. (1980). Psikologi Perkembangan.Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan, edisi 5. Jakarta: Penebit Erlangga.

Kail, R.V & Cavanaugh, J.C. (2000). Human Development a Lifespan View 2nd edition.

Wadsworth: Thomson Learning

Kusumoputro, S & Sidiarto, L.D. (2004). Mengenal Awal Pikun Alzheimer. Jakarta : Penerbit Universitas Indonesia (UI-press).

Koalisi untuk Indonesia Sehat. (2007). Mudah Lupa, Pertanda Terserang Alzheimer, [on-line] http://www.koalisi.org/detail.php. (Diakses tanggal 20 Februari 2008).

Moleong. (2006). Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya.

Moonks, P.J & Knoers, A.M.P. (2002) Psikologi Perkembangan. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press

Morgan, et al. (1986). Introduction to Psychology. 7th Ed. New York: Mc Graw-Hill.

Neundorfer, McClendon, Smyth & Stuckey. (2001). A Longitudinal Study of the Relationship Between Levels of Depression among Persons with Alzheimer's Disease and Levels of Depression among Their Family Caregivers. The Journals of Gerontology, Vol 56B.

Poerwandari (2001). Pendekatan Kualitatif dan Penelitian Psikologi. Jakarta : Lembaga

Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pendidikan Psikologi (LPSP3) UI.

Powers, Gallagher-Thompson & Kraemer. (2002). Coping and Depression in Alzheimer's Caregivers: Longitudinal Evidence of Stability. The Journals of Gerontology, Vol.57B.

Rice, P.L. (1992). Stress and Health. Ed.2. California: Brooks / Cole Publishing Company.

Page 100: Koping Stres Lansia Alzaimer

Rianti Widiastuti : Coping Stress Pada Primary Caregiver Penderita Penyakit Alzheimer, 2009. USU Repository © 2009

Robertson, Zarit, Duncan, Rovine & Femia. Family Caregivers’ Patterns of Positive and Negative Affect. Minneopolis, Vol 56

Sarafino, E.P. (2006). Health Psychology: Biopsychosocial Interactions. Amerika: John Willey &Sons,INC.

Sjahrir, H. ,Nasution, D., &Rambe, H.H. (1999). Demensia. Medan: USU Press.

Santrock, J.W. (2002). Life-Span Development edisi 5, Jakarta: Penerbit Erlangga.

Taylor, S.E. (2003). Health Psychology 5th edition. New York: McGraw-Hill

Wibowo, A.S (2007). Manajemen Demensia Alzheimer dan Demensia Vaskuler, [on-line]http://abgnet.blogspot.com/2007/09/manajemen-demensia-alzheimer-dan.html (Diakses tanggal 25 Februari, 2007)