Kontroversi Standar Pendidikan Smk Kesehatan
-
Upload
shanti-r-laksono -
Category
Documents
-
view
49 -
download
7
Transcript of Kontroversi Standar Pendidikan Smk Kesehatan
KONTROVERSI STANDAR PENDIDIKAN SMK KESEHATAN
Saat ini tuntutan kebutuhan pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan akan
terus meningkat baik dalam aspek mutu maupun keterjangkauan serta cakupan pelayanan. Hal
ini disebabkan kesadaran masyarakat akan kesehatan secara umum meningkat, dan peningkatan
daya emban ekonomi masyarakat serta meningkatnya kompleksitas masalah kesehatan yang
dihadapi masyarakat. Masyarakat semakin sadar akan hukum sehingga mendorong adanya
tuntutan tersedianya pelayanan kesehatan termasuk pelayanan keperawatan dengan mutu yang
dapat dijangkau seluruh lapisan masyarakat. Dengan demikian keperawatan perlu terus
mengalami perubahan dan perkembangan sejalan dengan perubahan yang terjadi diberbagai
bidang lainnya.
Perkembangan keperawatan bukan saja karena adanya pergeseran masalah kesehatan di
masyarakat, akan tetapi juga adanya tekanan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi
keperawatan serta perkembangan profesi keperawatan dalam menghadapi era globalisasi. Sejak
per 1 Januari 2009, perawat luar negeri akan bebas datang dan bekerja di Indonesia. Hal ini
terjadi karena kesepakatan Mutual Recognition Arrangement (MRA) yang sudah ditandatangani
oleh 10 negara ASEAN. Isi dari MRA adalah pengaturan pengakuan timbal balik negara-negara
ASEAN untuk keperawatan. Pendidikan keperawatan di Indonesia mulai menghasilkan Sarjana
Keperawatan sejak tahun 1995 secara mandiri. Tahun 2006 ada 12 Universitas yang
menyelenggarakan PSIK dan 14 STIKES (Dikti) dan lulusan sarjana keperawatan sebanyak 6000
orang. Pada tahun 2008 sudah mencapai 114 STIKES (PTS online), dan dalam program
pendidikannya memisahkan program pendidikan sarjana keperawatan (4 tahun) dimana
lulusannya bergelar SKp (Sarjana Keperawatan) dengan program pendidikan profesi
keperawatan (1,5 tahun) yang lulusannya bergelar Ners. Menjadi perawat professional berarti
menjadi seorang perawat yang telah menyelesaikan pendidikan keperawatan dan berkompetensi
untuk melakukan pelayanan keperawatan klinik yang dibuktikan dengan sertifikat Registered
Nurse (RN) melalui proses akreditasi.
Pendidikan tinggi keperawatan diharapkan menghasilkan tenaga keperawatan profesional
yang mampu mengadakan pembaruan dan perbaikan mutu pelayanan atau asuhan keperawatan,
serta penataan perkembangan kehidupan profesi keperawatan secara terus menerus dan
berkesinambungan. Keperawatan sebagai suatu profesi, dalam melaksanakan tugas dan
tanggungjawab pengembangannya harus mampu mandiri. Untuk itu memerlukan suatu wadah
yang mempunyai fungsi utama untuk menetapkan, mengatur serta mengendalikan berbagai hal
yang berkaitan dengan profesi seperti pengaturan hak dan batas kewenangan, standar praktek,
standar pendidikan, legislasi, kode etik profesi dan peraturan lain yang berkaitan dengan profesi
keperawatan. Perawat dalam menjalankan peran dan tanggungjawabnya sangat dituntut memiliki
pengetahuan, ketrampilan dan sikap yang baik yang dapat menunjang tindak prilaku
profesionalnya. Pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang baik akan dapat diperoleh dalam
lingkungan perguruan tinggi yang memiliki komitmen yang kuat untuk mencetak perawat yang
profesional. Namun di satu sisi bahwa dengan maraknya peningkatan pengetahuan perawat yang
ditandai dengan semakin banyaknya pendirian sekolah tinggi di daerah, di sisi lain semakin
banyak pula pendirian Sekolah Menengah Kejuruan Kesehatan (SMK Kesehatan) dibawah
naungan dinas pendidikan yang membuka jurusan keperawatan.
SMK Kesehatan ini pada awal pendiriannya menuai kontroversi bukan bongkar-pasang
kurikulum pendidikan saja, permasalahan yang dihadapi siswa- siswi di Indonesia. Tapi, yang
lebih ekstrim, Kemendiknas menghidupkan kembali jurusan Keperawatan tingkat Sekolah
Lanjutan Atas yang telah mati. Jelas, Sekolah Perawat Kesehatan (SPK), telah dihapus oleh
Kemenkes pada tahun 1999. Lulusan SPK terakhir tahun 2002, setelah itu SPK yang ada di
berbagai daerah dikonversi menjadi Akademi Keperawatan (Akper). Mengherankan, Kenapa
Kemendiknas memberi izin lahirnya kembali SMK Kesehatan Jurusan Keperawatan. Lulusannya
akan dikemanakan?
Kurikulum yang diusung oleh SMK Keperawatan, mengadopsi pelajaran Keperawatan
sebagaimana yang di pelajari mahasiswa di Akper, ataupun di jurusan Kesehatan Masyarakat.
Seperti, pelajaran Kebutuhan Dasar Manusia (KDM), dan Promosi Kesehatan, seperti
Peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit. Kemudian, juga disertai Praktek Lapangan di
Rumah Sakit, Puskesmas,dll. Tenaga pengajar juga ada dari Sarjana Keperawatan dan Sarjana
Kesehatan masyarakat. Seutuhnya, apa yang dipelajari siswa-siswi di SMK, tidak mendalam dan
mendetil, layaknya belajar di Akademi/Universitas, dilengkapi dengan mata kuliah penulisan
ilmiah, dan ilmu anatomi, fisiologi,patologi dan Asuhan Keperawatan.
“SMK Bisa ! Siap Kerja, Cerdas dan Kompetitif.” khusus untuk SMK jurusan Keperawatan
jargon dalam tanda kutip, tidak pantas disematkan. Banyak alasan yang melatar belakanginya.
Promosi tentang SMK jurusan keperawatan yang mengiming-imingi calon siswa-siswi mudah
mendapat pekerjaan di Pelayanan Kesehatan adalah pembohongan publik. Terindikasi, lahirnya
SMK Kesehatan jurusan Keperawatan ‘membiniskan’ lahan pendidikan, yang akhirnya
merugikan masyarakat karena minimnya informasi awam tentang dunia keperawatan.
Lulusan SMK Keperawatan, tidak dapat disebut sebagai Perawat. Belum peraturan yang jelas
mengaturnya. Hal tersebut diperkuat oleh pernyataan Wamenkes saat seminar nasional di UGM
tentang “Optimalisasi Peran Agen Kesehatan Gigi dan Mulut Dalam Peningkatan Derajat
Kesehatan Nasional. Kata Wamenkes, Ali Ghufron, (2012) ” Mereka yang sekolah di SMK
kesehatan dengan motivasi agar memiliki fungsi sebagai manusia agar dapat meningkatkan
derajat kemanusiaan tentu tidak masalah. Tetapi bagi mereka yang berharap pekerjaan tentu akan
terkatung-katung, karena SMK khusus kesehatan sesungguhnya tidak ada lagi nomenklatur yang
mengatur.”Senada dengan itu, Dewi Irawaty, MA. PhD, selaku Ketua Umum Persatuan Perawat
Nasional Indonesia (PPNI) dalam acara pertemuan Press Briefing di Gedung Kemenkes,
sebagaimana yang dipublikasikan health.detik.com,(2011) bahwa “Untuk jadi perawat itu
minimal D3 dan SMK jurusan keperawatan bukan sekolah untuk jadi Perawat.”
Selain bertujuan meningkatkan kualitas SDM. Perawat itu sendiri, dibawah koordinasi
PPNI, tidak ingin dikatakan pembantu Dokter. Jika Perawat tidak bersedia disebut pembantu,
apakah Perawat sudah memiliki pendidikan layaknya dokter? Dokter tidak menolak Perawat
sebagai mitra kerjanya, karena memang saling membutuhkan untuk memajukan kesehatan
masyarakat, namun apakah Perawat memiliki kompetensi layaknya kompetensi yang dimiliki
dokter?Pertanyaan di atas salah satu alasan dihapusnya SPK. Di bawah kendali Menteri
Kesehatan. Kualitas Perawat harus ditingkatkan. Sebelum dihapusnya SPK, Tahun 1983 cikal-
bakal lahirnya kesadaran akan pentingnya profesionalitas, tertuang dalam Lokakarya Nasional
Keperawatan. Perawat diharapkan menguasai berbagai aspek, mampu jadi peneliti,
menyeimbangkan kemampuan praktik dengan teori. Achir Yani S, Hamid, DN. Sc, dkk , dibantu
beberapa pakar dari Konsorsium Ilmu Kesehatan dan sembilan pakar Keperawatan dari Badan
Kesehatan Dunia (WHO) mempelopori lahirnya PSIK (Program Studi Ilmu Keperawatan).
Direktorat Pendidikan Tinggi Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan SK Dirjen
DIKTI No. 339/D2/1985 menyetujui lahirnya pendidikan tinggi keperawatan dan merupakan
pendidikan tinggi jenjang Sarjana yang pertama di Indonesia untuk profesi Perawat ysng terletak
di Kampus Universitas Indonesia.
Berdirinya PSIK tak terlepas dari bantuan Dokter. Bukti nyata, Dokter juga ingin Perawat
menjadi profesional,sebut saja Prof. Dr. Marifin Husein selaku Ketua Konsorsium Ilmu
Kesehatan. Beliau ikut memperjuangkan lahirnya PSIK-FKUI. Dan, Sesuai surat keputusan
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan R.I. nomor 0332/O/1995 tanggal 15 Nopember 1995, PSIK
telah disyahkan menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia (FIK-UI). PSIK-
FKUI pun memisahkan diri dari Fakultas kedokteran menjadi Fakultas Ilmu Keperawatan UI.
Langkah mundur atas kebijakan Kemendiknas memberi izin berdirinya SMK Keperawatan, jadi
pertanyaan besar. Sesungguhnya apa motivasi sebenarnya? Sementara UI sedang giat
mengembangkan program S3 untuk Perawat, di sisi lain, lahir pula pendidikan keperawatan
vocasional setara SPK yang telah mati.
Munculnya SMK Keperawatan, patut di sesali, terutama oleh kalangan Perawat di
berbagi Forum di dunia maya. Siswa-siswi jadi korban, mereka tidak bisa praktek di Rumah
Sakit. Karena, tujuan mereka praktek di Rumah Sakit untuk apa? Mereka tidak diakui sebagai
calon Perawat oleh PPNI, juga tidak direstui oleh Kemenkes sebagai calon tenaga kesehatan.
Kemendiknas tidak berkoordinasi dengan Kemenkes dalam pengeluaran izin sekolah SMK. Jika
MoU ada, tentunya bagian Diklat Rumah Sakit tidak akan berani menolak, ketika siswa-siswi
ingin melaksanakan praktek ke pasien. Jika Rumah Sakit menerima, tentunya tidak patuh lagi
pada pernyataan Wamenkes, bahwa belum ada peraturan yang mengaturnya.
Sistim pendidikan nasional berubah menurut pasar, bukan menurut kebutuhan. Ketika profesi
kesehatan diminati, dunia pendidikan terkesan ‘latah’ menyediakan lahan belajar, yang tidak
jelas lulusannya mau dikemanakan. Carut-marut sistim pendidikan di Indonesia, membawa
dampak buruk bagi masyarakat. Di satu sisi ingin maju, di sisi lain ingin mundur, alhasil
masyarakat jadi korban. Penulis berharap, Kemendiknas seiring sejalan dengan Kemenkes, agar
penduduk Indonesia tidak terkecoh dan terus dibodohi oleh program-program antah-barantah
yang tidak jelas keberadaannya. jika kita mencoba melibatkan nurani dan niat baik dalam
memandang hakikat penyelenggaraan pendidikan keperawatan dan mencoba menerawang
prospektifitasnya, bukan hanya melihat kuantitasnya tetapi juga mempersiapkan kualitasnya.