konstitusi

54
BAB V KONSTITUSI Oleh : Marwati Riza, S.H., M.Si. A. PENDAHULUAN Materi pada bab ini akan membahas yang bersangkut paut dengan konstitusi, maka tentu saja akan menyentuh ke obyek pembahasan sejarah konstitusi, sebab melalui sejarah konstitusi akan terjawab mengenai arti konstitusi, isi konstitusi, cara terbentuk dan perubahan konstitusi, sifat dan hakikat konstitusi dan lain-lain yang bersangkut dengan seluk beluk konstitusi ( prosedur dan mekanisme perubahan, bentuk perubahan, substansi yang diubah), UUD 1945 yang memerlukan perubahan dan materi muatan yang perlu diubah. Dalam memahami ilmu hukum tata negara, kontitusi atau hukum dasar menjadi bagian pokok yang terpenting untuk dipelajari dan dipahami. Konstitusi pada dasarnya mengandung pokok pikiran dan paham-paham yang melukiskan kehendak yang menjadi tujuan dari faktor-faktor kekuatan nyata (de reelemachtsfactoren) dalam masyarakat yang bersangkutan. 9

Transcript of konstitusi

Page 1: konstitusi

BAB V

KONSTITUSI

Oleh : Marwati Riza, S.H., M.Si.

A. PENDAHULUAN

Materi pada bab ini akan membahas yang bersangkut paut dengan konstitusi,

maka tentu saja akan menyentuh ke obyek pembahasan sejarah konstitusi, sebab

melalui sejarah konstitusi akan terjawab mengenai arti konstitusi, isi konstitusi, cara

terbentuk dan perubahan konstitusi, sifat dan hakikat konstitusi dan lain-lain yang

bersangkut dengan seluk beluk konstitusi ( prosedur dan mekanisme perubahan,

bentuk perubahan, substansi yang diubah), UUD 1945 yang memerlukan perubahan

dan materi muatan yang perlu diubah.

Dalam memahami ilmu hukum tata negara, kontitusi atau hukum dasar menjadi

bagian pokok yang terpenting untuk dipelajari dan dipahami. Konstitusi pada

dasarnya mengandung pokok pikiran dan paham-paham yang melukiskan kehendak

yang menjadi tujuan dari faktor-faktor kekuatan nyata (de reelemachtsfactoren)

dalam masyarakat yang bersangkutan.

Pokok pikiran dan paham-paham tersebut tidak muncul tiba-tiba, melainkan lahir

dari synthese atau pun reaksi terhadap paham-paham/ pokok pikiran yang sudah ada

sebelumnya, sedangkan sumber yang mendahuluinya adalah berasal dari dalam

maupun luar masyarakat itu sendiri sebagai akibat akulturasi proses, karena itu untuk

melihat lebih jauh dan memahami lebih mendalam mengenai suatu negara dan

struktur pemerintahannya, pada umumnya dimulai dengan mempelajari dan melihat

konstitusi suatu negara. Selanjutnya untuk memahami pokok pikiran-pikiran/paham

yang terkandung dalam suatu konstitusi dari suatu negara, maka harus menyelidiki

97

Page 2: konstitusi

pertumbuhan dan perkembangan konstitusi yang bersangkutan, lebih jauh lagi harus

mempelajari sejarah konstitusi1.

Tujuan Instruksional khusus yang ingin dicapai adalah setelah mahasiswa

mengikuti kuliah sebanyak 2 kali tatap muka , diharapkan dapat memahami,

menjelaskankan dan menganalisis mengenai sejarah konstitusi, arti konstitusi, isi

konstitusi, cara terbentuk dan perubahan konstitusi, sifat dan hakikat konstitusi dan

lain-lain yang bersangkut dengan seluk beluk konstitusi ( prosedur dan mekanisme

perubahan, bentuk perubahan, substansi yang diubah), UUD 1945 yang memerlukan

perubahan dan materi muatan yang perlu diubah.

B. PENYAJIAN

1. Sejarah Pertumbuhan Konstitusi

Dengan mempelajari konstitusi yang dimaksudkan bukan sekedar pengertiannya

atau yang dimaksudkan sekedar mempelajari pasal-pasal yang terdapat dalam

Undang-undang Dasar, melainkan mempelajari konstitusi mengandung pengertian

baik sosiologis, politis, maupun yuridis. Artinya mempelajari sejarah konstitusi

bukan sekedar mempelajari sejarah Undang-undang Dasar yang umumnya dapat

diketahui dari sejarah ketatanegaraan sesuatu negara. Melainkan meliputi sejarah

tentang gejala-gejala yang bersifat sosiologis dan politis, baik yang terjadi pada

masa lampau maupun dalam lingkungan masyarakat itu sendiri maupun yang

terdapat di luar masyarakat yang bersangkutan.

Konstitusionalisme lebih diartikan pada paham mengenai pembatasan

kekuasaan dan jaminan hak-hak rakyat melalui konstitusi2, sedangkan konstitusi

adalah segala ketentuan dan aturan mengenai ketatanegaraan (Undang-undang

1 Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busro, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984, hlm.11 2 . Dahlan Thaib, Jasim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grapindo Persada, Jakarta,2004, hlm. 1-2.

98

Page 3: konstitusi

Dasar dan sebagainya). Paham konstitusi ini dalam berbagai literatur hukum tata

negara dan ilmu politik lebih diidentikkan dengan prinsip-prinsip:

1. Supremasi hukum (anatomi kekuasaan / kekuasaan politik) tunduk pada

hukum

2. Jaminan dan perlindungan hak asasi

3. Peradilan yang bebas dan mandiri

4. Pertanggungjawaban kepada rakyat ( akuntabilitas publik) sebagai sendi

utama dari asas kedaulatan rakyat.

Dalam suatu negara hukum keempat prinsip di atas menjadi tolok ukur dalam

menilai penyelenggaraan pemerintahannya, termasuk dalam menilai

pemerintahannya yang konstitusional. Paham konstitusi ini dalam praktek

penyelenggaraan pemerintahan suatu negara terkadang tidak sejalan dengan

konstitusinya (meskipun konstitusinya) sudah mengatur prinsip-prinsip diatas.

Dengan demikian Negara tersebut belum dapat dikatakan negara yang menganut

paham konstitusi (negara kostitusional).

Berdasarkan penelusuran catatan sejarah awal negara kostitusional. Konstitusi

dihubungkan sebagai suatu kerangka kehidupan politik yang telah disusun

melalui hukum (semacam kitab hukum/ kumpulan beberapa hukum) yang

diperoleh dari masa kejayaan zaman sejarah Yunani (antara tahun 624-404 S.M.),

Pada zaman Yunani Purba istilah konstitusi telah dikenal, hanya konstitusi masih

diartikan materil, karena konstitusi itu masih belum diletakkan dalam naskah

tetulis, hal ini dapat diketahui dari pandangan Aristoteles yang menggunakan

istilah ”politea” yang diartikan sebagai konstitusi, sedangkan istilah ”nomoi”

adalah undang-undang biasa. Kedua istilah tersebut terdapat perbedaaan, politiea

mengandung kekuasaan yang lebih tinggi dari pada nomoi, karena politiea

mempunyai kekuasaan membentuk sedangkan nomoi kekuasaan itu tidak ada,

karena ia hanya merupakan materi yang harus dibentuk agar supaya tidak bercerai

berai.

99

Page 4: konstitusi

Pada masa Yunani Purba ini itu konstitusi masih diartikan semata sebagai

suatu kumpulan dari peraturan serta adat kebiasaan. Dalam Kebudayaan Yunani

ini istilah konstitusi itu berhubungan erat dengan dengan ucapan Resblica

constituere. Dari sebutan ini lahirlah semboyan yang berbunyi ” Prinsep Legibus

Solutus est, Salus Publica Suprema lex”, yang artinya Rajalah yang berhak

menentukan organisasi/struktur dari pada negara, karena itu dialah (Raja) satu-

satunya pembuat Undang-undang3. Menurut sejarah Yunani Kuno, negara Yunani

pernah menjadi jajahan Rumawi. Akibat dari penjajahan itu maka banyak dari

kebudayaan Yunani ditiru oleh bangsa Romawi, seperti ajaran tentang Polis dan

ajaran Kedaulatan Rakyat yang dipraktekkan di negaranya sendiri. Namun dalam

penerapannya ternyata tidak sama dengan ajaran yang dibawa dari Yunani, karena

sifat, keadaan serta pembawaan bangsa Romawi yang lain. Melalui ajaran

kedaulatan rakyat yang ditirukan dari bangsa Yunani, orang Romawi mencoba

menyusun suatu pemerintahan dengan seorang Raja yang berkuasa secara mutlak.

Pada suatu ketika rakyat mengadakan perjanjian dengan Caesar. Dalam perjanjian

itu terjadi perpindahan kekuasaan dari tangan rakyat ke tangan Caesar secara

mutlak (translatio empirii), yang kemudian diletakkan dalam Lex Regia. Dengan

translatio empirii itu maka rakyat sudah tidak dapat meminta pertanggunganjawab

Caesar lagi. Pada akhirnya melahirkan paham Caesarismus (perwakilan mutlak

berada ditangan Caesar). Dari semboyan inilah maka dikenal semboyan « 

Princep Legibus Solutus est, Salus Publica Suprema Lex « sebagaimana

dipaparkan sebelumnya.

Selanjutnya pada abad pertengahan sudah dikenal orang tentang konstitusi,

tetapi dengan sebutan lain. Pada abad ini ada aliran yang membenci kekuasaan

raja yang mutlak, yakni aliran Monarchomachen. Aliran ini merupakan aliran

yang membenci kekuasaan raja yang mutlak, karena itu aliran ini mencegah

supaya raja tidak berbuat sewenang- wenang, maka golongan ini ( golongan 3 . Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Pusat Studi Hukum Tata Negara Indonesia Fakultas Hukum dan CV Sinar Bakti, Cetakan ketujuh, 1988, hlm.62.

10

Page 5: konstitusi

Calvinis) menghendaki perjanjian dengan raja dan menuntut pertanggunganjawab

raja, jika perlu raja bisa dipecat dan dibunuh.

Perjanjian antara rakyat dengan raja dengan kedudukan yang masing-masing

yang sama tinggi dan sama rendah menghasilkan suatu naskah yang disebut « 

Leges Fundamentalis ». Dalam leges fundamentalis ini ditetapkan hak dan

kewajiban masing-masing pihak ( Rex sama artinya hak rakyat dan Regnum sama

dengan hak raja untuk memerintah. Sejak abad pertengahan inilah maka lambat

laun dalam perkembangan sejarah, bahwa perjanjian-perjanjian antara rakyat

dengan pihak yang memerintah mulai dinaskahkan. Hal ini bertujuan untuk

memudahkan para pihak dalam menuntut hak-haknya masing-masing, serta

mengingatkan mereka kepada kewajiban yang harus dilupakan dan yang paling

penting ialah bahwa orang tidak akan melupakannya, karena perjanjian itu ditulis,

sebagai contoh perjanjian antara para bangsawan. Dalam perjanjian itu ditetapkan

bahwa raja dapat minta bantuan dari para bangsawan. Sebaliknya para bangsawan

berhak mendapat perlindungan serta tanah dari raja, jika perang dimenangkan

oleh raja. Juga hal ini raja dapat melakukan perjanjian dengan rakyat (dalam hal

ini golongan ketiga) karena raja memerlukan uang dan sebagai balas jasanya

maka rakyat memperoleh hak kenegaraan sebagai suatu wewenang untuk dapat

menyelenggarakan kepentingannya sendiri. Perjanjian-perjanjian itu semuanya

diletakkan dalam suatu naskah yang tertulis.

Demikian pula halnya dengan kaum kolonis yang berasal dari Inggris, yang

karena perselisihan agama, mereka mengungsi ke benua Amerika. Sebagian besar

kaum kolonis ini adalah golongan Calvinis yang menurut ajaran mereka

masyarakat kristen itu dibentuk berdasarkan perjanjian. Atas dasar itu mereka

mendirikan negara dan demikianlah ketika mereka masih berada dalam kapal

”Mayflower” sebelum mendarat di benua Amerika. Mereka mengadakan

perjanjian masyarakat untuk mendirikan negara. Perjanjian tersebut masih harus

disahkan oleh pemerintah Inggris. Dan setelah perjanjian itu disahkan, maka kini

kedudukan perjanjian itu lebih tinggi daripada Undang-undang biasa.

10

Page 6: konstitusi

Athena pernah mempunyai tidak kurang dari 11 konstitusi, koleksi Aristoteles

sendiri berhasil terkumpul sebanyak 158 buah konstitusi dari berbagai negara.4

Kemudian pada masa kekaisaran Roma, dikenal ” constitutionnes” yang

diartikan sebagai suatu kumpulan ketentuan dan peraturan yang dibuat oleh para

kaisar atau para preator, termasuk pula di dalamnya pernyataan-pernyataan

pendapat para ahli hukum/ negarawan, serta adat kebiasaan setempat, disamping

Undang-undang. Konstitusi Roma mempunyai pengaruh besar sampai abad

pertengahan. Konsep kekuasaan tertinggi (ultimate power) dari para kaisar Roma

telah menjelma dalam bentuk L’Etat General di Prancis, pada akhirnya orang

Romawi sangat menyukai ordo et unitas yang kemudian memberikan inspirasi

bagi tumbuhnya paham ”Demokrasi Perwakilan ” dan ”Nasionalisme” , kedua

inspirasi ini merupakan awal bagi tumbuhnya paham ” konstitusionalisme

modern”.5

Pada zaman abad pertengahan, corak Konstitusioalismenya, bergeser kearah

Feodalisme. Sistem feodal ini mengandung suatu pengertian bahwa tanah

dikuasai oleh para tuan tanah, kemudian diyakini bahwa setiap orang harus

mengabdi pada salah satu tuan tanahnya, sehingga raja yang semestinya

mempunyai status yang lebih tinggi daripada tuan tanah, menjadi tidak mendapat

tempat.

Pada abad VII (zaman klasik) lahirlah piagam/konstitusi Madinah, Piagam

Madinah adalah konstitusi negara Madinah yang dibentuk pada awal masa klasik

Islam, tepatnya sekitar tahun 622 M.

Di Eropah Kontinental, pihak rajalah yang memperoleh kemenangan yaitu

dengan semakin kokohnya absolutisme, khususnya di Prancis, Rusia, Prusia, dan

Austria pada abad ke-15. Gejala ini dimahkotai oleh ucapan L’ Etat C’est moinya

Louist XIV (1638-1715) dari Prancis.

4 . ibid, hlm. 2-6 5 . C.F. Strong, Modern Political Constitutions, London, Sidgwick, Jackson, Limited, 1966,

hlm.20

10

Page 7: konstitusi

Sedangkan di Inggris, kaum bangsawanlah yang mendapat dan sebagai

puncak kemenangannya yang ditandai dengan pecahnya ” The Glorius

Revolution” (1688). Kemenangan kaum bangsawan dalam revolusi istana ini

menyebabkan berakhirnya absolutisme di Inggris, serta munculnya parlemen

sebagai pemegang kedaulatan. Pada akhirnya 12 negara koloni Inggris

mengeluarkan Declaration of Independence, menetapkan konstitusi-konstitusinya

sebagai dasar negara yang berdaulat pada tahun 1776. Deklarasi ini merupakan

bentuk konkritisasi dari berbagai teori perjanjian.

Pada tahun 1789 melalui revolusi Prancis dalam menentang monarchi

absolutisme menyebabkan terjadi ketegangan-ketegangan di masyarakat dan

terganggunya stabilitas keamanan negara. Pada akhirnya 20 juni 1789, Estats

Generaux memproklamirkan dirinya Constituante, walaupun baru pada tanggal 14

September 1791 konstitusi pertama diterima oleh Louis XVI. J.J. Rousseau pada

saat itu terkenal dengan tesisnya : ” Manusia itu lahir bebas dan sederajat dalam

hak-haknya sedangkan hukum merupakan ekspresi dari kehendak umum(rakyat).

Tesis ini banyak berpengaruh di Prancis dan bahkan menjiwai De Declaration

des Droit de I’Homme et du Citoyen, deklarasi ini yang mengilhami pembentukan

Konstitusi Prancis(1791), khususnya yang menyangkut hak-hak asasi manusia,

Pada masa inilah awal konkretisasi konstitusi dalam arti tertulis (modern) seperti

yang ada di Amerika. Sesudah lahirnya Konstitusi di Prancis ini, maka sebagian

negara-negara di dunia, baik monarki maupun republik, negara kesatuan maupun

negara federal, kesemuanya mendasarkan pada suatu konstitusi. Negara Prancis

ini paling sering menghadapi persoalan konstitusi, menurut Djokosutono6, sampai

pada masa Republik-4 (1946) Prancis telah mengenal 12 macam konstitusi, dalam

literatur Prancis sering disebut ” laboratory of constitution ”. Konstitusi Prancis

pada tahun 1946 merupakan kodifikasi lengkap yang merupakan hasil filsafat,

keseniaan, dan ilmu pengetahuan. Dikatakan hasil filsafat, karena batang tubuh

konstitusi tersebut merupakan pengkhususan dari beberapa sendi. Dari sendi-

6 Abu Daud Busro dan Abu Bakar Busro, op. cit, 67

10

Page 8: konstitusi

sendi itu telah dapat merumuskan peraturan lengkap. Selain itu dikatakan hasil

kesenian, karena kata-kata yang dipergunakan adalah sederhana sekali, sehingga

dapat menggambarkan dengan jelas apa yang dimaksudkan, sedangkan dikatakan

hasil ilmu pengetahuan, karena di dalamnya tidak terdapat pertentangan.

Konstitusi model Amerika (tertulis) ini kemudian dapat dilihat dari beberapa

negara di Eropah yang mengikuti jejak Prancis seperti : Konstitusi Spanyol

(1812), konstitusi di Nowergia (1814), konstitusi di Nederland ( 1815), konstitusi

di Belgia (1831), konstitusi di Italia ( 1848), konstitusi di Austria (1861),

konstitusi di Swedia (1866), sampai pada abad ke XIX , yang tertinggal adalah

Inggris, Hongariah dan Rusia yang belum mempunyai konstitusi secara tertulis7.

Namun pada saat ini , konstitusi-konstitusi ini belum menjadi hukum dasar yang

penting bagi suatu negara.

Konstitusi sebagai Undang-undang Dasar dan hukum dasar yang mempunyai

arti penting atau sering disebut dengan ” Konstitusi Modern”, muncul bersamaan

semakin berkembangnya ” sistem demokrasi perwakilan dan konsep

nasionalisme” . demokrasi perwakilan dan konsep nasonalisme”. Demokrasi

perwakilan muncul sebagai pemenuhan kebutuhan masyarakat terhadap

pentingnya lembaga legislatif. Lembaga legislatif ini hadir dalam rangka

mengurangi dominasi kekuasaan raja, yakni membuat Undang-undang. Konstitusi

yang tertulis ini sebagai hukum dasar yang tertinggi diatas raja, sekaligus

terkandung makna memperkokoh kedudukan lembaga perwakilan rakyat.

Pada masa perang dunia I tahun 1914, sangat berpengaruh pada upaya terus

menggalakkan konstitualisme dengan jalan menghancurkan pemerintahan yang

tidak didasari dengan demokrasi dan nasionalisme, hal ini dibuktikan dengan

terbentuknya Liga Bangsa-Bangsa untuk perdamaian dunia. Namun tiga tahun

kemudian muncul reaksi melawan konstitusionalisme politik dengan munculnya

7 . Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembangannya, Pro Justitia, No.2 tahun V, Mei 1987, hlm.23

10

Page 9: konstitusi

Revolusi Rusia (1917), selanjutnya meletus fasisme di Italia, pemberontakan Nazi

di Jerman, pada akhirnya meletus perang dunia II 8 .

Setelah perang dunia II, ternyata konstitusionalisme politik jauh lebih parah

dibandingkan pada perang dunia I. Metode-metode konstitualisme dibangun

kembali oleh bangsa-bangsa lewat Perserikatan Bangsa-Bangsa melalui bangunan

internasional melalui Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dalam mencapai

perdamaian dunia yang permanen.

Pada abad ke XIX ini Demokrasi Konstitusional terus dihembuskan

pengaruhnya ke berbagai negara-negara di dunia, tidak terkecuali pada negara

hukum klasik. Demokrasi konstitusional terus berkembang dalam kaitan dengan

pemenuhan hak-hak politik rakyat, demi membatasi kekuasaan pemerintah

dengan suatu konstitusi, baik yang bersifat naskah (written constitution) maupun

yang tidak bersifat naskah (unwritten constitution). Selain itu pula kekuasaan

eksekutif perlu diimbangi dengan kekuasaan parlemen dan lembaga-lembaga

hukum, pola ini disebut konstitualionalisme9. Carl. J. Friedrich, konstitualisme

adalah gagasan bahwa pemerintah merupakan suatu kumpulan aktivitas yang

diselenggarakan atas nama rakyat, tetapi yang tunduk kepada beberapa

pembatasan yang dimaksud untuk memberikan jaminan bahwa kekuasaan yang

diperlukan untuk pemerintahan itu tidak disalahgunakan oleh mereka yang

memerintah10. Ajaran konstitualisme ini melahirkan rechtsstaat di Eropah Barat

dan Rule of Law di Anglo Saxon.

Unsur-unsur rechtsstaat (klasik) adalah :

1. menjamin hak asasi manusia

2. pemisahan/pembagian kekuasaan untuk menjamin hak asasi manusia.

3. pemerintahan berdasarkan peraturan (wetmatigheid van bestuur)

8 . C. F. Strong, Modern Political...., op. cit, hlm. 53-559 B. Hestu Cipto Handoyo dan Y. Thresianti.S, Dasar- Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta, Yogyakarta, 2000, hlm. 59 10 . Carl. J. Friedrich dalam Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986, hlm.57.

10

Page 10: konstitusi

4. peradilan administrasi dalam perselisihan.

Sedangkan unsur-unsur Rule of Law (klasik) adalah :

1. supremasi aturan-aturan hukum (supremacy of law); tidak adanya kekuasaan

sewenang-wenang (seseorang hanya akan dihukum jika melanggar hukum)

2. kedudukan yang sama dalam menghadapi hukum (equality before the law).

3. terjaminnya hak-hak asasi manusia.

Konstitusi modern menurut C.F. Strong adalah : ” to secure social peace and

progress, safeguard individual rights and promote national well-being”.

Konstitusi modern harus didasari pada jaminan yuridis dan pelaksanaan hak-hak

asasi manusia, serta paham welfare state. Pada abad XX ini, berkembang

demokrasi konstitusional yakni Rule of Law yang dinamis, pada abad ini konsep

negara kesejahteraan (welfare state) menjadi rohnya demokrasi konstitusional

dalam berbagai negara di belahan dunia, Fungsi negara dalam memberikan

pelayanan (social service state) untuk menyelenggarakan kesejahteraan umum

warganya.

Syarat- syarat untuk terselenggaranya pemerintah yang demokratis di bawah

rule of law adalah :

1. perlindungan konstitusional, artinya konstitusi selain menjamin hak-hak

individu harus menentukan pula cara prosedural untuk memperoleh

perlindungan atas hak-hak yang dijamin.

2. badan kehakiman yang bebas dan tidak memihak.

3. kebebasan untuk menyatakan pendapat.

4. pendidikan kewarganegaraan (civic education).

Berdasarkan uraian sejarah pertumbuhan konstitusi tersebut, maka dapat

disimpulkan bahwa konstitusi itu lahir dan berkembang berbarengan dengan awal

munculnya negara hukum (dimulai dari negara hukum klasik) kemudian

10

Page 11: konstitusi

konstitusi itu berkembang seiring dengan perkembangan tuntutan masyarakat

yang mengantarkan pada negara hukum modern (negara hukum kesejahteraan).

Dengan demikian konstitusi suatu negara dapat digambarkan sebagai sesuatu

dinamisasi pandangan-pandangan masyarakat suatu negara yang berkenaan

dengan pengaturan tentang pembentukan dan cara kerjanya sendi-sendi pokok

bangunan suatu negara yang dibingkai oleh perpaduan ilmu pengetahuan

sejarah, filsafat, sosiologi, politik dan hukum.

2. Pengertian Konstitusi dan Undang-undang Dasar

Dalam bahasa latin, kata konstitusi, merupakan gabungan dari dua kata,

yakni : cume dan statuere, Cume adalah sebuah proposisi yang diterjemahkan

dengan arti ”bersama dengan...”, sedangkan statuere berasal dari kata sta yang

membentuk kata kerja pokok stare yang berarti berdiri. Berdasarkan kata ini,

maka kata statuere mempunyai arti ”membuat sesuatu agar berdiri atau

mendirikan/menetapkan ”. Dengan kata tunggal ”Constitutio” berarti menetapkan

sesuatu secara bersama-sama dan bentuk jamak ”Constitusiones” berarti segala

sesuatu yang telah ditetapkan.11 . Kemudian dalam bahasa Prancis disebut

‘Constituer’ yang berarti membentuk. Pemakaian istilah konstitusi dimaksudkan

adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara.

Jika kita menghubungkan dengan ”bunyi Proklamasi 17 Agustus 1945”12, maka

pernyataan ini adalah merupakan suatu konstitusi.

Istilah konstitusi seringkali disamakan dengan Undang-undang Dasar dalam

praktek penyelenggaraan negara. Sri Soemantri dalam disertasinya mengartikan

sama antara konstitusi dan Undang-undang Dasar, hal ini didasari dari praktek

penyelenggaraan ketatanegaraan yang sebagian besar negara-negara dunia

termasuk Indonesia 13 . Praktek ketatanegaraan Indonesia pada tahun 1945

11 . Koerniatmanto Soetoprawiro, op.cit, hlm. 28-29.12 . Kursif Penulis, bunyi proklamasi menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kostitusi,

dan ini menjadi dasar adanya Negara republik Indonesia. 13 Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, alumni, Bandung,

10

Page 12: konstitusi

memakai istilah Undang-undang Dasar 1945 dan pada tahun 1949 memakai

istilah Konstitusi Republik Indonesia Serikat (RIS) dimasa pemerintahan RIS,

kemudian pada tahun 1950 kembali memakai Undang-undang Dasar Sementara

dan terakhir pada tahun 1959 kembali dengan melalui Dekrit Presiden 5 Juli

1959, menyatakan kembali ke Undang-undang Dasar 1945 dan hingga saat ini

istilah Undang-undang Dasar dipakai di Indonesia.

Pada dasarnya Istilah konstitusi lebih luas pemahamannya dari istilah

Undang-undang Dasar. Istilah konstitusi berasal dari bahasa Prancis yakni : ”

constituer ” yang berarti membentuk. Istilah konstitusi itu sendiri dimaksudkan

adalah pembentukan suatu negara atau menyusun dan menyatakan suatu negara,

sedangkan istilah Undang-undang Dasar merupakan terjemahan dari istilah yang

dalam bahasa Belandanya adalah ”Grondwet”. Perkataan wet diterjemahkan ke

dalam bahasa Indonesia adalah Undang-undang, dan Grond berarti tanah/ dasar.

Di negara-negara yang menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa

Nasional , dipakai istilah constitution, yang dalam bahasa Indonesia disebut

Konstitusi. Pengertian kostitusi dalam praktek dapat lebih luas dari pengertian

Undang-undang Dasar. Van Apeldoorn memberikan perbedaan yang jelas antara

constitution (konstitusi) dengan grondwet (Undang-undang Dasar), konstitusi

memuat peraturan tertulis dan tidak tertulis, sedangkan Undang-undang Dasar

adalah bagian tertulis dari suatu konstitusi. E. C.S. Wade memberikan pengertian

Undang-undang Dasar adalah naskah yang memaparkan rangka dan tugas-tugas

pokok dari badan-badan pemerintahan suatu negara dan menentukan pokok-

pokoknya, cara kerja badan-badan tersebut yang merupakan dasar pokok dari

sistem pemerintahan yang diatur dalam Undang-undang Dasar.14.

Selanjutnya penganut paham yang memberikan dikotomi antara istilah

konstitusi dan Undang-undang Dasar, Herman Heller dan F. Lasalle

membedakan. Herman Heller memberikan pengertian konstitusi yakni:

1987, hlm.1. 14 . . Dahlan Thaib, Jasim Hamidi dan Ni’matul Huda, op. cit, hlm.9

10

Page 13: konstitusi

1. Die Politische verfassung als gesellschaflich wirklichkeit Konstitusi

mencerminkan kehidupan politik di dalam masyarakat sebagai suatu

kenyataan. Jadi mengandung pengertian politis dan sosiologis.

2. Die Verselbstandigte rechtsverfassung. Konstitusi mengandung suatu

kesatuan kaidah yang hidup dalam masyarakat. Jadi mengandung pengertian

yuridis.

3. Die geshereiben verfassung. Konstitusi yang ditulis dalam suatu naskah

Undang-undang yang tertinggi yang berlaku dalam suatu negara.

Suatu ” Rechtverfassung” memerlukan dua (2) syarat yang harus dipenuhi,

yaitu syarat mengenai bentuknya, dan syarat mengenai isinya. Bentuknya sebagai

naskah tertulis yang merupakan Undang-undang yang tertinggi yang berlaku

dalam suatu negara. Isinya merupakan peraturan yang bersifat fundamentil,

artinya tidak semua masalah yang penting harus dimuat dalam konstitusi,

melainkan hal-hal yang bersifat pokok, dasar, azas-azas saja.

Faham kodifikasi menganggap bahwa pada dasarnya semua masalah yang

penting harus dimuat dalam Undang-undang Dasar. Akan tetapi kemudian terasa

bahwa tidak semua hal yang penting itu merupakan hal yang pokok, sehingga

tidak mungkin seluruhnya yang penting itu harus ditulis dalam Undang-undang

Dasar. Selain hal yang penting itu tidak selalu sama dengan yang pokok

(fundamentil), juga pembawaan hukum tersebut berubah-ubah sesuai dengan

perkembangan zaman, sehingga isi dari Undang-undang Dasar itu hanya meliputi

hal-hal yang bersifat mendasar saja15 , sehingga pelaksanaannya dapat diatur

dalam peraturan yang lebih rendah (peraturan yang khusus), yang lebih mudah

diubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Selain itu pula dapat terjaga

kewibawaannya suatu Undang-undang Dasar.

Penyamaan pengertian Konstitusi dan Undang-undang Dasar telah dimulai

sejak Oliver Cromwell (Lord Protector Republik Inggris 1649-1660) yang

menamakan Undang-undang Dasar itu sebagai ”instrument of Goverment”, yaitu

15 . Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, op.cit, hlm.66

10

Page 14: konstitusi

bahwa undang-undang Dasar itu dibuat sebagai pegangan untuk memerintah, dan

disinilah timbul identifikasi dari pengertian konstitusi dan Undang-undang Dasar.

Pada 1787 pengertian konstitusi Cromwell itu kemudian diikuti oleh Amerika

Serikat yang selanjutnya oleh Lafayette dimasukkan ke Prancis pada tahun 1789.

Penganut paham modern yang menyamakan konstitusi dengan Undang-undang

Dasar adalah F. Lasalle.

F. Lasalle dalam Uber Verfassungswesen membagi pengertian konstitusi dalam

dua pengertian, yaitu :

1. Pengertian sosiologis dan politis (sosiologische atau politische begrip).

Konstitusi adalah sintesis faktor-faktor kekuatan yang nyata (dereele

machtsfactoren) dalam masyarakat. Jadi konstitusi menggambarkan hubungan

antara kekuasaan-kekuasaan yang terdapat dengan nyata dalam suatu negara.

Kekuasaan tersebut diantaranya : raja, parlemen, kabinet, pressure groups,

partai politik, dan lain-lain. Itulah yang sesungguhnyakonstitusi.

2. Pengertian yuridis ( yuridische begrip). Konstitusi adalah suatu naskah yang

memuat semua bangunan negara serta sendi-sendi pemerintahan.

Pengertian F. Lasalle di atas sesungguhnya memberikan pengertian konstitusi

yang maknanya lebih luas dari Undang-undang Dasar, namun dalam pengertian

yuridis (pengertian kedua), ternyata dipengaruhi pandangannya oleh paham

kodifikasi yang menyamakan konstitusi dengan Undang-undang Dasar.

Jika menelaah Penjelasan Undang-undang Dasar 1945 ketika pertama kali

ditetapkan di Republik Indonesia ini, para penyusun Undang-undang Dasar 1945

tersebut menganut pemikiran yang sosiologis, karena dalam penjelasan Undang-

undang Dasar tersebut dinyatakan : Undand-undang Dasar ialah hukum dasar

yang tertulis, disamping Undang-undang Dasar itu berlaku juga hukum dasar

yang tidak tertulis, ialah aturan-aturan dasar yang timbul dan terpelihara dalam

praktek penyelenggaraan negara, meskipun tidak tertulis.

11

Page 15: konstitusi

Namun demikian sebagaimana diuraikan sebelumnya ada juga menyamakan

antara Konstitusi dan Undang-undang Dasar. Pandangan dari ilmu politik ”

Konstitusi mengenai keseluruhan peraturan-peraturan yang tertulis maupun yang

tidak tertulis (sebagaimana yang dipaparkan di atas}. Diantara penganut paham

modern yang secara tegas menyamakan pengertian konstitusi dengan undang-

undang Dasar, yakni James Bryce dan C.F. Strong.

James Bryce sebagaimana dikutif oleh C.F. Strong 16dalam bukunya Modern

Political Constitution menyatakan konstitusi adalah :

” A frame of political society, organised through and by law, that is to say on in

which law has established permanent institution with recognised functions and

definite rights”.

Pengertian konstitusi diatas jika disederhanakan rumusannya sebagai ” kerangka

negara yang diorganisir melalui hukum, dalam hal mana hukum menetapkan :

1). Pengaturan mengenai pendirian lembaga-lembaga yang perma-

nen;

2). Fungsi dari alat-alat kelengkapan;

3). Hak-hak tertentu yang telah ditetapkan.

Selanjutnya C. F. Strong melengkapi pendapatnya yang diwarnai oleh

pendapat F. Lasalle, sebagai berikut :

“ Constitution is a collection of principles according to which the power of

government, the right of the governed, and the relations between the two are

adjusted “

Artinya, “konstitusi juga dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan asas-asas yang

menyelenggarakan :

1). Kekuasasan pemerintahan (dalam arti luas);

2). Hak-hak dari yang diperintah;

3). Hubungan antara pemerintah dengan yang diperintah (menyang-

16 Ibid, hlm.11-12

11

Page 16: konstitusi

kut di dalamnya masalah hak asasi manusia).

Demikian pula dengan Struycken yang menganut faham modern, yakni :

konstitusi adalah Undang-undang Dasar, konstitusi itu memuat garis-garis besar

dan asas tentang organisasi negara. Dengan demikian konstitusi tidak perlu

mencerminkan seluruh masalah yang penting secara lengkap, sebab konstitusi

semacam ini akan mengalami kesulitan dalam mengikuti perkembangan

masyarakat, sedangkan konstitusi itu tidak berubah.

Berdasarkan pengertian dari berbagai para ahli tersebut, maka kesimpulan yang

dapat diambil bahwa pengertian konstitusi meliputi konstitusi dalam arti tertulis

dan konstitusi dalam arti tidak tertulis. Undang-undang Dasar merupakan

konstitusi yang tertulis yang berisikan hal-hal sebagai berikut :

1. Suatu kumpulan-kumpulan kaidah yang memberikan pembatasan-pembatasan

kepada para pemegang kekuasaan dalam suatu negara.

2. Suatu dokumen tentang pembagian jabatan-jabatan (tugas-tugas) dan

sekaligus dengan pemangku jabatannya dari suatu sistem politik.

3. Suatu deskripsi tentang lembaga-lembaga negara.

4. Suatu deskripsi menyangkut hak-hak asasi manusia dan hak-hak warga

negara.

3. Nilai Konstitusi

Dalam praktek ketatanegaraan sering pula terjadi bahwa suatu konstitusi

tidak berlaku secara sempurna karena salah satu atau beberapa dalam pasal

ternyata tidak dijalankan lagi, atau disebabkan konstitusi yang berlaku tersebut

ternyata hanya untuk kepentingan suatu golongan/ atau pribadi dari penguasa saja.

Di sisi lain banyak pula konstitusi yang dijalankan sesuai dengan pasal-pasal yang

ditentukan dalam konstitusi tersebut.

Karl Loeweinstein mengadakan penyelidikan berkenaan dengan konstitusi

yang tertulis di berbagai negara dalam lingkungan nasional. Dari hasil

11

Page 17: konstitusi

penyelidikannya, akhirnya memberikan 3 (jenis) penilaian pada konstitusi tertulis,

sebagai berikut :

a. Nilai Normatif

Suatu Konstitusi yang sudah sah diterima oleh suatu bangsa, artinya

konstitusi tersebut berlaku dalam arti hukum (legal), dan hal ini dapat

diberlakukan secara efektif, artinya dilaksanakan secara murni dan konsekuen,

sebagai contoh yang dapat dilihat pada konstitusi Negara Amerika Serikat

dimana ketiga kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif menjalankan

fungsinya masing-masing secara terpisah.

Dalam pelaksanaan konstitusi tersebut, eksekutif tidak boleh

melaksanakan kekuasaan membuat Undang-undang, apabila tidak ada suatu

delegasi perundang-undang yang sah, sebab kekuasaan untuk membuat

Undang-undang adalah suatu tugas yang semata-mata di tangan pembuat

Undang-undang (Congress). Pada waktu pemerintahan Presiden Trumen,

Presiden hendak menyita pabrik baja untuk mencegah pemogokan, karena

persediaan baja sangat dibutuhkan untuk pertahanan nasional. Mahkamah

Agung menolak hak prerogatif Presiden untuk menyita pabrik baja tersebut,

dengan alasan bahwa kekuasaan itu tidak masuk kekuasaan konstitusionil

Presiden. Hal ini terkenal dalam perkara Youngstown Sheet & Tuber Co V

Sawyer 17. Dengan kasus tersebut memperjelas penilaian konstitusi Amerika

Serikat bahwa kekuasaan Presiden adalah kekuasaan yang dinyatakan secara

tegas oleh konstitusinya atau oleh Undang-undang. Dengan demikian

konstitusi ini bernilai normatif.

Jimly Asshiddiqie18 dalam bukunya “Hukum Tata Negara dalam Pilar-

Pilar Demokrasi”, menyatakan bahwa konstitusi dalam konteks kehidupan

bernegara, sistem acuan norma itu berpuncak kepada konstitusi. Selanjutnya

digambarkan dalam konteks kehidupan beragama yang dituliskan : “…..jika 17 . Ibid, hlm. 73. 18 . Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dalam Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005, hlm.95-97.

11

Page 18: konstitusi

dalam konteks kehidupan beragama dalam masyarakat kita mengenal agama

beserta kitab sucinya, maka dalam konteks kehidupan bernegara, konstitusi

itulah yang seakan-akan merupakan kitab ‘suci’. Sudah tentu, pengertian kitab

‘suci’ di sini jangan dipahami sesuatu yang sakral yang tidak mengizinkan

adanya perubahan. Betapapun juga konstitusi suatu negara adalah buatan

manusia, karena itu dimungkin

itu harus dimungkinkan untuk diubah sesuai dengan kebutuhan zaman. Akan

tetapi kualifikasinya sebagai hukum dasar yang tertinggi, maka seolah-olah

layaknya konstitusi itu merupakan kitab suci yang digunakan sebagai refernsi

tertinggi bagi setiap warga negara.

Konstitusi itulah yang menjadi desain utama dan pokok dari keseluruhan

sistem aturan yang berlaku sebagai pegangan bersama dalam kehidupan warga

negara di dalam satu negara, yang keseluruhannya membentuk suatu kesatuan

sistem hukum yang tidak ubahnya bagai suatu ’agama’ (constitutional faith)

atau ’civil religion’ bagi setiap warga negara. Hukum dan konstitusi dalam

suatu negara haruslah menjadi sesuatu yang hidup dalam praktek kehidupan

bernegara sehari-hari. Dengan demikian dapat kita meyakini prinsip ” the rule

of law ” atau prinsip ” supremacy of law” dapat benar-benar diwujudkan

dalam kenyataan. Jika tidak maka hanya menjadi jargon atas slogan kosong

belaka.

b. Nilai Nominal

Suatu konstitusi itu secara hukum itu berlaku, namun berlakunya tidak

sempurna, karena ada pasal-pasal tertentu yang tidak berlaku disebabkan

penerapan pasal-pasal tersebut dipengaruhi oleh kemauan para penguasanya.

Contoh pasal 27 dalam Undang-undang Dasar 1945 baik sebelum

diamandemen maupun sesudah mengalami amandemen, jaminan hukum

berkenaan dengan pemberian hak bagi setiap warga negara untuk memperoleh

penghidupan yang layak bagi kemanusiaan, pada kenyataannya dalam

11

Page 19: konstitusi

praktek kehidupan kenegaraan di Indonesia ternyata belum sempurna dalam

pelaksanaannya karena bukti masih banyaknya warga negara Indonesia yang

berada pada garis kategori hidup dalam garis kemiskinan (tidak hidup layak).

Contoh yang lain ketika pada masa Pemerintahan orde baru, pasal 28

memberikan jaminan bagi setiap warga negara untuk bebas berpendapat

sesuai dengan peraturan perundang-undangan, rupanya penguasa pada saat itu

tidak banyak memberikan peluang tersebut, termasuk kebebasan berpendapat

perorangan maupun Pers dibatasi secara ketat oleh kemauan penguasa pada

saat itu.

c. Nilai Semantic

Suatu konstitusi itu secara hukum itu berlaku, namun dalam kenyataannya

hanya sekedar untuk memberi bentuk dengan tempat yang telah ada untuk

melaksanakan kekuasaan politik. Mobilitas kekuasaan yang dinamis untuk

mengatur, yang menjadi maksud yang essensiil dari suatu konstitusi

diberikan untuk demi kepentingan pihak pemegang kekuasaan yang

sebenarnya. Jadi konstitiusi hanya sekedar istilah saja, sedangkan

pelaksanaannya selalu dikaitkan dengan kepentingan pemegang yang

sebenarnya. Dengan demikian konstitusi itu hanya sekedar istilah saja,

seadngkan pelaksanaannya selalu dikaitkan kepentingan dengan pihak yang

berkuasa. Konstitusi yang demikian nilainya hanya semantic saja, Contoh

Undang-undang Dasar 1945 yang berlaku secara hukum, tetapi dalam praktek

berlakunya hanya untuk kepentingan yang berkuasa saja.

4. Materi Muatan Konstitusi

Henc van Maarseveen dan Ger van der Tang dalam suatu studinya terhadap

beberapa konstitusi di dunia yang dituliskan dalam bukunya yang berjudul “

Written Constitution “ mengemukakan sebagai berikut :

1. Constitution as a means of forming the state’s own political and legal system;

11

Page 20: konstitusi

2. Constitution as a national document and as a birth certificate and as a sign

of adulthood and independence19.

Kedua ahli hukum tata negara Belanda tersebut, mengatakan bahwa materi

muatan konstitusi selain sebagai dokumen nasional, konstitusi juga sebagai alat

untuk membentuk sistem politik dan sistem hukum negaranya sendiri.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat A.A. H. Struycken, menyatakan bahwa

Undang-undang Dasar (grondwet) sebagai konstitusi tertulis merupakan sebuah

dokumen formal yang berisi :

1. Hasil perjuangan politik bangsa di masa di waktu yang lampau;

2. Tingkat-tingkat tertinggi perkembangan ketatanegaraan bangsa;

3. Pandangan tokoh-tokoh bangsa yang hendak diwujudkan, baik waktu

sekarang maupun untuk masa yang akan datang.

4. Suatu keinginan dengan mana perkembangan kehidupan ketatanegaran bangsa

hendak dipimpin20.

Dari beberapa pandangan diuraikan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa

disamping sebagai dokumen nasional dan tanda kedewasaan dari kemerdekaan

sebagai sebagai bangsa, konstitusi juga berisikan sistem politik dan sistem

hukum yang hendak diwujudkan.

Jika dihubungkan dengan Undang-undang Dasar 1945 sebagai konstitusi

tertulis dari Republik Indonesia yang dinyatakan sebagai sumber hukum tertinggi

di Indonesia dimana Undang-undang Dasar 1945 pada awal dibentuknya Undang-

undang Dasar ini berisikan rangkaian : Pembukaan Undang-undang Dasar (UUD)

1945, Batang Tubuh UUD, dan Penjelasan UUD. Pembukaan UUD tersebut yang

apabila dikaji isinya terdapat 4 (empat) alinea berisikan uraian yang menjelaskan

hasil perjuangan politik bangsa Indonesia di masa di waktu yang lampau; arah

tujuan negara yang hendak diwujudkan, baik waktu sekarang maupun untuk 19 . Sri Soemantri M., Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekusaasaan, dikutip dari Jurnal Hukum, N0.6 Vol.3 1996, hlm.4 20 . Sri Soemantri, Prosedur ….., op. cit, hlm. 2.

11

Page 21: konstitusi

masa yang akan datang, sistem politik dan sistem hukum yang hendak

diwujudkan. Kemudian dalam batang tubuh UUD mempertegas dan dalam

penjelasannya yang memperjelas isi batang tubuh UUD. Perkembangan

selanjutnya dari UUD 1945 saat ini telah diamandemen sebanyak 4(empat) kali

dan Penjelasan UUD 1945 tersebut untuk saat ini sudah tidak dipakai lagi sebagai

dasar hukum, hal ini juga sekaligus menunjukkan tingkat-tingkat tertinggi

perkembangan ketatanegaraan bangsa Indonesia yang banyak mengalami

perkembangan dalam menyikapi perubahan dalam masyarakat bangsa Indonesia.

Berkenaan dengan materi muatan konstitusi , Wheare mengemukakan tentang

apa yang seharusnya menjadi isi suatu konstitusi, yaitu the very minimum, and

that minimum to be rule of law, Wheare tidak mengemukakan secara jelas apa

yang seharusnya menjadi materi muatan pokok dari suatu konstitusi. Ia hanya

mengatakan bahwa sifat yang khas dan mendasar dari bentuk kostitusi yang

terbaik dan ideal adalah konstitusi itu harus sesingkat mungkin untuk

menghindarkan kesulitan-kesulitan para pembentuk Undang-undang Dasar dalam

memilih yang penting- penting pada saat mereka akan merancang Undang-

undang Dasar tersebut21.

Menurut Mr. J. G. Steenbeek berkenaan dengan materi muatan konstitusi,

sebagaimana dikutip Sri Soemantri dalam disertasinya menyatakan mengenai apa

yang seharusnya menjadi isi dari konstitusi yang pada umumnya berisikan 3 (tiga)

hal pokok, sebagai berikut22 :

1. perlindungan jaminan terhadap hak asasi manusia dan warga negaranya;

2. penetapan susunan ketatanegaraan negara yang bersifat fundamental;

3. pembagian dan pembatasan tugas ketatanegaraan yang bersifat fundamental.

21 . Dahlan Thaib, Jasim Hamidi dan Ni’matul Huda, op. cit, hlm. 1622 . Sri Soemantri, Prosedur ….., op. cit, hlm. 51.

11

Page 22: konstitusi

Selain itu juga Miriam Budiarjo berpandangan bahwa Undang-undang Dasar

itu memuat ketentuan-ketentuan sebagai berikut23 :

1. organisasi negara, misalnya pembagian kekuasaan antara badan eksekutif,

legislatif, dan yudikatif, pembagian kekuasaan antara pemerintah federal

dengan pemerintah negara bagian; prosedur menyelesaikan masalah

pelanggaran yurisdiksi oleh salah satu badan pemerintah.

2. hak-hak asasi manusia.

3. Ada kalanya memuat larangan untuk mengubah sifat tertentu dari Undang-

undang Dasar.

Jika dikaji kedua pendapat (Steenbeek dan Miriam Budihardjo) tersebut, pada

hakikatnya mengatur masalah pembatasan-pembatasan kekuasaan bagi

penyelenggara negara (sesuai susunan organisasi negara) dan hak-hak asasi dan

hak warga negara serta perubahan Undang-undang Dasar yang dikemukakan oleh

Miriam Budiardjo (selangkah lebih luas cakupannya dibandingkan yang

dikemukakan oleh Steenbeek). Dengan demikian materi muatan yang bersifat

mendasar dari suatu Undang-undang Dasar ini, sudah sejalan dengan pemahaman

konstisusi yang diartikan dalam arti konstitusi tertulis dan yang tidak tertulis

sebagaimana diuraikan pada awal pembahasan ini.

5. Perubahan Konstitusi

a. Sistem Perubahan

Menurut Jimly Jimly Asshiddiqie24 dalam bukunya ” Hukum Tata Negara

dalam Pilar-Pilar Demokrasi” , Dalam kajian hukum tata negara, dikenal adanya

dua cara perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) sebagai konstitusi yang

tertulis. Pertama, perubahan yang dilakukan menurut prosedur yang diatur

sendiri oleh UUD itu atau dilakukan tidak berdasarkan ketentuan yang diatur

dalam UUD. Cara pertama biasa disebut istilah “verfassung anderung”,

23 . Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, hlm. 101. 24 . Jimly Asshiddiqie, op. Cit, hlm. 97-108.

11

Page 23: konstitusi

sedangkan yang kedua biasa disebut “verfassung wandlung”. Cara pertama

disebut sebagai cara konstitusional, sedangkan yang kedua dengan cara yang

bersifat “revolusioner”. Sah tidaknya UUD itu sebagai konstitusi negara dan

konstitusional tidaknya prosedur perubahan itu ditempuh, tidak ditentukan secara

“prae-factum”, melainkan bersifat “Post-factum”. Dalam sifatnya yang

revolusioner itu, berlaku tidaknya UUD tergantung pada kekuatan politik yang

mendukung atau yang memberlakukannya secara terus menerus, sehingga dalam

faktisitasnya UUD itu memang nyata-nyata berlaku dan diberlakukan secara

efektif sebagai konstitusi negara yang bersangkutan. Sebelum naskah UUD

tersebut diakui (recognition) dan diterima (reception) keberlakuannya oleh

mayoritas rakyat, UUD itu biasanya masih tetap dianggap tidak sah dan prosedur

perubahan yang ditempuh dapat dinilai “inkonstitusional”, atau setidak-tidaknya

bersifat “ekstra-konstitusional”.

Kedua, perubahan itu sendiri dapat dilakukan (a) melalui “perubahan

naskah”, (b) melalui ‘penggantian naskah’ lama dengan naskah yang baru, atau

dilakukan (c) melalui naskah tambahan (annex atau addendum) yang terpisah dari

naskah asli UUD yang menurut tradisi Amerika Serikat disebut Amandemen. Jika

perubahan dalam teks menyangkut hal-hal tertentu, maka hal itu dapat disebut

dengan pembaruan naskah, tetapi apabila materi perubahannya bersifat mendasar

dan cukup banyak, maka perubahan itu dapat disebut sebagai penggantian naskah

dari yang lama menjadi yang baru sama sekali. Di samping itu, ada pula cara

ketiga yang dikembangkan dalam tradisi Amerika Serikat, yaitu perubahan dalam

naskah terpisah dari naskah asli UUD yang biasa disebut dengan naskah

Amandemen UUD.

b. Prosedur dan Mekanisme Perubahan :

Prosedur dan mekamanisme perubahan mencakup perancangan naskah,

pengusulannya oleh siapa atau lembaga apa dan kepada lembaga mana,

pembahasannya dilakukan oleh lembaga apa, mekanisme persidangannya

11

Page 24: konstitusi

mempersyaratkan quorum yang seperti apa, dan pengambilan keputusannya

minimal didukung oleh berapa suara, serta pengundangan untuk

memberlakukannya bagaimana. Lazimnya, semua hal ini diatur dalam UUD itu

sendiri yang harus dijadikan pegangan dalam rangka perubahan konstitusi.

Inisiatif resmi perubahan UUD dapat datang dari Kepala Pemerintahan atau

dari parlemen tergantung aturan yang ditentukan dalam konstitusi. Dalam sistem

monarki (kerajaan), yang mengesahkan UUD itu menjadi konstitusi biasanya

adalah Kepala Negara dalam monarki itu. Tetapi dalam negara republik

demokrasi biasanya parlemenlah yang diberi kewenangan mengesahkan UUD dan

perubahannya. Dalam sistem parlemen dua kamar (bicameral), kadang-kadang

juga diatur bahwa usulan perubahan UUD datang dari satu kamar, sedangkan

kamar yang lain mengesahkannya.

Pada umumnya, dalam membahas dan mengesahkan suatu perubahan UUD,

dipersyaratkan adanya mekanisme quorum persidangan dan mekanisme

pengambilan keputusan yang lebih berat daripada pembahasan dan pengesahan

undang-undang biasa. Sebabnya ialah karena UUD itu dianggap sangat penting

dan jauh lebih penting daripada undang-undang biasa. Namun, tata cara dan

syarat-syarat mengenai hal itu tidak selalu sama antara satu UUD dengan UUD

yang lain. Ketentuan-ketentuan mengenai hal itu tidak selalu sama antara satu

UUD dengan UUD yang lain. Ketentuan-ketentuan mengenai hal itu, tergantung

bagaimana hal itu diatur dalam konstitusi masing-masing negara.

c. Bentuk hukum perubahan :

Perubahan UUD itu sendiri dituangkan dalam bentuk hukum yang seperti apa,

juga sangat penting untuk ditentukan. Apakah materi perubahan itu langsung

adopsikan ke dalam teks UUD dan dengan demikian perubahan dilakukan dengan

cara pembaruan naskah ataupun penggantian naskah, atau dalam bentuk hukum

yang terpisah, yaitu amandemen. Dengan demikian, bentuk hukum perubahan itu

12

Page 25: konstitusi

dalam berbentuk Undang-Undang Dasar itu sendiri atau Perubahan Undang-

Undang Dasar.

Selain itu, dalam sejarah konstitusi di Indonesia, pernah juga terjadi

bahwa Undang-Undang Dasar, yaitu Konstitusi RIS 1949 dan UUDS 1950

diberlakukan dengan undang-undang. Bahkan pemberlakuan kembali UUD 1945

pada tahun 1959 dituangkan dalam bentuk Dekrit Presiden yang tidak lain adalah

Keputusan Presiden dengan tingkatan yang lebih rendah daripada Undang-

Undang.

d. Substansi yang diubah :

Materi Undang-Undang Dasar pada umumnya dipahami dapat diubah atau

diganti sama sekali dengan yang baru. Namun demikian, dalam konstitusi di

beberapa negara, sering juga dibedakan antara mekanisme perubahan yang biasa

dan perubahan yang tidak biasa. Dalam konstitusi Perancis, misalnya ditentukan

bahwa untuk perubahan terhadap bentuk negara kesatuan dan bentuk

pemerintahan republik, sebelum dilakukan dengan cara biasa, perlu terlebih dulu

diadakan referendum nasional yang mendapatkan persetujuan mayoritas rakyat.

Jika rencana perubahan itu disetujui oleh suara mayoritas, barulah rencana

perubahan itu dilakukan menurut prosedur perubahan yang biasa.

Dalam sejarah konstitusi di Indonesia, dikembangkan pandangan yang

berbeda dari kelaziman di berbagai negara. Sebabnya ialah bahwa dalam sejarah

konstitusi Indonesia, Pembukaan UUD 1945 disusun dan dibuat lebih dulu dari

naskah Undang-Undang Dasar 1945. Naskah Pembukaan UUD itu berasal dari

naskah Piagam Jakarta yang kemudian ditempelkan menjadi naskah Pembukaan

Undang-Undang Dasar 1945 setelah menggantikan 7 kata yang berkenaan dengan

syari’at Islam yang ada tercantum dalam Piagam Jakarta itu. Karena faktor

kesejarahan itu, Pembukaan UUD 1945 itu dianggap sebagai dokumen historis

yang tak dapat lagi diubah, karena sifatnya yang ‘einmalig’. Karena itu,

berdasarkan konvensi berkembang pemahaman bahwa Pembukaan UUD 1945 itu

12

Page 26: konstitusi

tidak boleh dan tidak dapat diubah. Karena itu, dalam Undang-Undang Dasar

Indonesia dapat dikembangkan adanya tiga elemen materi, yaitu.

(1) Materi yang dapat diubah dan tidak dapat diubah, yaitu Pembuka-

an UUD.

(2) Materi yang dapat diubah dengan cara biasa, yaitu seluruh pasal-

pasal UUD kecuali yang dikecualikan

(3) Materi yang dapat diubah dengan cara yang tidak biasa, yaitu Pasal-pasal

yang berkenaan dengan bentuk negara kesatuan dan bentuk pemerintahan

republik serta pasal-pasal yang berkenaan dengan dasar negara.

6. Status Undang-Undang Dasar 1945

a. Mengenai Kesementaraan UUD 1945

Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang disahkan berlaku pada tanggal 18

Agustus 1945 adalah konstitusi negara Republik Indonesia yang dimaksudkan –

seperti diistilahkan sendiri oleh Soekarno – “UUD Kilat”, “revolutie grondwet”,

sebagai Undang-Undang Dasar yang bersifat sementara. Bahkan baru dua bulan

setelah proklamasi kemerdekaan, ketika dibentuk Kabinet Parlementer Pertama di

bawah Perdana Menteri Syahrir, UUD 1945 yang menganut sistem presidential

(quasi) itu sudah tidak lagi dijadikan pegangan dalam praktek penyelenggaraan

negara. Keadaan ini terus berlangsung sampai terbentuknya Republik Indonesia

Serikat sebagai hasil perundingan Konperensi Meja Bundar yang memberlakukan

Konstitusi RIS tahun 1949.

Namun, konstitusi RIS hasil kesepakatan dengan Belanda itu pada pokoknya

masih bersifat sementara. Pasal 186 Konstitusi menegaskan bahwa Undang-

Undang Dasar yang tetap akan disusun oleh Konstituante. Akan tetapi, Republik

Indonesia Serikat ini tidak berusia lama. Pada tanggal 17 Agustus 1950, bangsa

kita kembali ke Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan mengesahkan

berlakunya konstitusi baru yang diberi nama Undang-Undang Dasar Sementara

Tahun 1950. Padal 134 UUDS ini juga menentukan bahwa Konstituantelah yang

12

Page 27: konstitusi

membuat Undang-Undang Dasar yang bersifat tetap. Untuk itulah, Konstituante

resmi dibentuk pada tanggal 10 November 1956, di Gedung Merdeka Bandung.

Pada waktu melantik para anggota Konstituante itu, Presiden Soekarno

menyampaikan pidato resminya dengan judul : “Susunlah Konstitusi Yang Benar-

Benar Konstitusi Res Publica”.

Sayangnya, usaha Konstituante membuat Undang-Undang Dasar baru itu

tidak kunjung selesai. Karena itu, pada tanggal 22 April 1959, Presiden Soekarno

kembali berpidato di depan Konstituante yang bersidang di Bandung dengan judul

: Res Publica! Sekali Lagi Res PUblica!”. Dalam pidatonya itu, Presiden

Soekarno mengusulkan kepada Konstituante agar kembali memberlakukan saja

Undang-Undang Dasar 1945. Namun, setelah diadakan pemungutan suara sampai

tiga kali, putusan mengenai hal itu tidak juga kunjung dicapai. Dengan perkataan

lain, Konstituante menolak usul Presiden Soekarno untuk kembali ke UUD 1945

itu. Akan tetapi, karena alasan adanya keadaan darurat, Presiden Soekarno

mengeluarkan keputusan yang dikenal dengan Dekrit Presiden, yaitu pada tanggal

5 Juli 1959 yang pada pokoknya membubarkan kembali UUD 1945 sebagai

konstitusi Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Dengan demikian, sampai diberlakukan kembali pada tanggal 5 Juli 1959.

UUD 1945 itu sebenarnya memang belum sempat diterapkan dengan sebaik-

baiknya. Bahkan setelah itupun sampai berakhirnya kepemimpinan Presiden

Soekarno pada tahun 1967, UUD 1945 memang belum pernah memperoleh

kesempatan untuk diterapkan secara tepat. Inilah yang mendorong munculnya

Orde Baru yang pada mulanya berusaha keras untuk ‘menegakkan UUD 1945

secara murni dan konsekwen’, demikian jargon yang dikumandangkan sejak masa

awal Orde Baru. Akan tetapi, dalam perjalanannya kemudian, UUD 1945 yang

sangat singkat dan ‘soepel’ itu cenderung disalahgunakan dengan penafsiran-

penafsiran oleh pihak yang berkuasa secara sepihak. Bahkan karena siklus

kekuasaan selama 32 tahun hanya berputar di sekitar Presiden Soeharto, UUD

12

Page 28: konstitusi

1945 mengalami proses sakralisasi luar biasa yang tidak boleh disentuh oleh

perubahan sama sekali.

Akibatnya, UUD 1945 menjadi instrumen politik yang ampuh untuk

membenarkan berkembangnya otoritarisanisme yang menyuburkan praktek-

praktek korupsi, kolusi, dan nepotisme di sekitar kekuasaan Presiden. Karena itu,

di masa reformasi menyeluruh menyusul berakhirnya kekuasaan Presiden. Karena

itu, di masa reformasi menyeluruh menyusul berakhirnya kekuasaan Presiden

Soeharto, agenda perubahan UUD itu menjadi sesuatu yang niscaya. Reformasi

politik dan ekonomi yang bersifat menyeluruh tidak mungkin dilakukan tanpa

diiringi oleh reformasi hukum. Tetapi reformasi hukum yang menyeluruh juga

tidak mungkin dilakukan tanpa didasari oleh agenda reformasi ketatanegaraan

yang mendasar, dan itu berarti diperlukan adanya ‘constitutional reform’ yang

tidak setengah hati.

Sekarang, UUD 1945 memang sudah mengalami perubahan yang sangat

substantif. Pada tahun 1999 telah ditetapkan adanya perubahan pertama, dan

kemudian pada tahun 2000 telah pula diterima adanya Perubahan Kedua. Pada

tahun 2001 diadakan ketiga UUD 1945. Sesuai dengan tugas yang diberikan

kepada Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat berdasarkan Ketetapan

MPR No.IX/MPR/2000, dan perubahan keempat sudah ditetapkan tahun 2002.

Masalahnya adalah sejauhmana penetapan naskah-naskah Perubahan UUD

secara terpisah tersebut memang telah memenuhi standar dalam rangka perubahan

UUD yang baik. Misalnya, dapat dipersoalkan sejauhmana metode perubahan

melalui penetapan naskah terpisah itu memang sudah tepat dipilih sebagai metode

perubahan UUD. Selain itu, sejauhmana substansi yang diatur dalam naskah

Perubahan yang terpisah-pisah itu sudah dapat dianggap cukup memadai untuk

dijadikan substansi UUD di masa depan ? Apakah materi dalam naskah-naskah

yang terpisah-pisah itu, secara akademis dapat dipertanggung sistematika

formulasinya dan sistematika sistem atau paradigma pemikirannya ?

12

Page 29: konstitusi

b. Materi Yang Perlu Diubah :

Perubahan UUD 1945 tidak boleh hanya dilakukan dengan mengubah

rumusan pasal demi pasal tanpa memperhatikan sistematika keseluruhan isi UUD

dan perubahan konsep dasar yang terkandung di dalam rumusan pasal-pasal itu.

Oleh karena itu, perumusan sesuatu pasal dalam UUD, sudah seharusnya

didahului oleh perdebatan konseptual yang mendalam mengenai gagasan-gagasan

pokok yang terkandung didalamnya. Sebagai contoh, perumusan suatu pasal yang

berkenaan dengan sistem pemerintahan presidential, tentulah terkait dengan

rumusan pasal-pasal lainya yang mengatur hal yang terkait dengan sistem

pemerintahan presidentil itu. Pilihannya adalah apakah UUD akan menganut

sistem presidentil, parlementer atau sistem campuran. Demikian pula dengan

rumusan suatu pasal yang berkenaan dengan sistem pemisahan kekuasaan

(separation of power) tentulah berbeda dari pasal-pasal yang terkait dengan

prinsip pembagian kekuasaan (distribution or division of power). Jika salah satu

dari kedua asas ini dipilih, maka implikasinya sangat luas dan berhubungan erat

dengan rumusan banyak pasal yang terkait.

Hal yang serupa juga berkaitan dengan sistematika isi Undang-Undang Dasar.

Jika pasal-pasal tambahan ataupun bab-bab tambahan cukup banyak jumlahnya,

harus pula diperhatikan kaitannya dengan keseluruhan sistematika Undang-

Undang Dasar itu. Oleh karena itu, dalam rangka perubahan Undang-Undang

Dasar, perlu diperhatikan adanya tiga elemen penting yang terkait, yaitu : (a)

rumusan pasal-pasalnya, (b) sistematika isinya, dan (c) konsep dasar yang

terkandung di dalamnya.

Beberapa issue penting dalam UUD 1945 yang selama ini sering dikritik oleh

para ahli dapat digambarkan sebagai berikut. Pertama, struktur kelembagaan

negara yang diatur didalamnya memberikan kedudukan yang sangat besar kepada

pihak eksekutif tanpa disertai oleh prinsip ‘checks and balances’ yang memadai.

Dengan pengaturan demikian itulah maka materi UUD 1945 biasa disebut

‘executive heavy’ yang dalam praktek penerapannya sangat menguntungkan bagi

12

Page 30: konstitusi

siapa saja yang menduduki jabatan Presiden untuk mengkonsentrasikan

kekuasaan di satu tangan. Kedua, rumusan ketentuan UUD 1945 sebagian

terbesar bersifat sangat sederhana, umum dan bahkan tidak jelas, sehingga dapat

menimbulkan penafsiran sepihak yang sangat menguntungkan pemegang

kekuasaan, atau setidak-tidaknya dapat menimbulkan perselisihan pendapat dalam

pelaksanaannya di lapangan. Misalnya mengenai ketentuan Pasal 8 UUD 1945

yang banyak menimbulkan perselisihan pendapat di kalangan para ahli. Ketiga,

UUD 1945 terlalu banyak mendelegasikan pengaturan lebih lanjut pada undang-

undang organik tanpa arahan yang memadai, sehingga materi undang-undang

organik tanpa arahan yang memadai, sehingga materi undang-undang sepenuhnya

diserahkan kepada Presiden bersama-sama DPR untuk menentukannya.

Akibatnya, banyak UU yang meskipun sama-sama didasarkan atas UUD 1945

secara substantif sangat bertentangan satu sama lain seperti UU No.22/1999 yang

sangat berbeda materinya dari UU No.5/1974 yang mengatur materi yang sama,

yaitu pemerintahan daerah. Keempat, banyak terdapat kekosongan materi muatan

yang penting yang tidak terdapat dalam UUD 1945. Misalnya, konsep Negara

Hukum (rechtsstaat) yang justru terdapat dalam Penjelasan UUD tidak tercantum

sama sekali pasal-pasal UUD 1945. Soal lain adalah berkenaan dengan

keberadaan Badan Pemeriksa Keuangan, dan juga Mahkamah Agung ataupun

berkenaan dengan mekanisme pertanggung jawaban Presiden yang tidak cukup

diatur secara jelas dalam UUD 1945, sehingga pelaksanaannya di lapangan sangat

kurang memadai.

Selain keempat hal tersebut, kritik kelima yang biasa dikemukakan adalah

berkenaan dengan status dan materi Penjelasan UUD. Sebagian materi Penjelasan

sama sekali merupakan soal baru yang tidak terdapat dalam pasal-pasal UUD,

seperti misalnya istilah Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan, ataupun istilah

Mandataris MPR yang dalam penerapannya menimbulkan masalah karena justru

memperkuat kecenderungan terjadinya penumpukan kekuasaan di tangan satu

orang yang kebetulan menduduki jabatan Presiden. Status penjelasan UUD yang

12

Page 31: konstitusi

sebenarnya sangat penting dalam rangka penafsiran historis atau penafsiran

otentik terhadap ketentuan UUD 1945, menimbulkan kaidah hukum baru yang

diperlakukan sederajat dengan materi UUD. Karena itu, dalam rangka pembaruan

UUD, berkembang pendapat yang pada akhirnya penjelasan ini ditiadakan dari

pengertian naskah UUD 1945.

C. PENUTUP

1. Soal latihan/tugas

Kerjakan latihan tugas di bawah ini :

a. Diskripsikan bagaimanakah sejarah pertumbuhan konstitusi ?

b. Apakah pengertian konstitusi sama dengan UUD ?

c. Jelaskan nilai-nilai dari suatu konstitusi/UUD ?

d. Materi muatan apa sajakah yang seharusnya termuat dalam suatu konstitusi/

UUD ?.

e. Uraikan sistem perubahan dari suatu UUD yang dikemukakan oleh Jimly

Asshiddiqie ?

f. Jelaskan bagaimanakah sebaiknya perubahan UUD 1945.

2. Kata kunci

a. amati dalam uraian sejarah pertumbuhan konstitusi di negara

Yunani Kuno, kerajaan Romawi, Inggris, dan Amerika Serikat

b. lihat beberapa pendapat yang menyamakan dan membedakan

istilah konstitusi dan UUD.

c. lihat pendapat Karl Loeweinstein mengenai 3 nilai konstitusi

d. pelajari dan bandingkan beberapa pendapat : A.A. H. Struycken,

Wheare, J.G. Steenbeek, Miriam Budiarjo mengenai materi mua-

tan konstitusi/UUD.

e. sistem perubahan : a). Penentuan prosedur UUD melalui peruba-han naskah,

penggantian naskah, naskah tambahan; b). Prose-dur dan mekanisme

12

Page 32: konstitusi

perubahan antara lain : perancangan, pengusulan, pembahasan, keputusan,

pengundangan naskah; c). Bentuk hukum perubahan : pembaruan naskah,

penggantian naskah, bentuk hukum terpisah (amandemen); d). Substansi yang

diubah : kesepakatan untuk substansi UUD yang dapat diubah dan yang tidak

boleh diubah.

f. Pelajari UUD 1945 dan amandemen UUD 1945.

12

Page 33: konstitusi

REFERENSI

Abu Bakar Busro dan Abu Daud Busro, Hukum Tata Negara, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1984.

B. Hestu Cipto Handoyo dan Y. Thresianti.S, Dasar- Dasar Hukum Tata Negara Indonesia, Universitas Atmajaya Yogyakarta, 2000. C.F. Strong, Modern Political Constitutions, London, Sidgwick, Jackson, Limited, 1966. Dahlan Thaib, Jasim Hamidi dan Ni’matul Huda, Teori dan Hukum Konstitusi, Raja Grapindo Persada, Jakarta,2004.

Jimly Asshiddiqie, Hukum Tata Negara dalam Pilar-Pilar Demokrasi, Konstitusi Press, Jakarta, 2005.

Koerniatmanto Soetoprawiro, Konstitusi : Pengertian dan Perkembang- an nya, Pro Justitia, No.2 tahun V, Mei 1987.

Miriam Budiardjo, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1986

Miriam Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta, 1991, Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia Pusat Studi Hukum Tata Negara Indonesia Fakultas Hukum dan CV Sinar Bakti, Cetakan ketujuh, 1988.

Sri Soemantri, Prosedur dan Sistem Perubahan Konstitusi, Disertasi, Alumni, Bandung, 1987.

Sri Soemantri M., Fungsi Konstitusi dalam Pembatasan Kekuasaan, dikutip dari Jurnal Hukum, N0.6 Vol.3 1996.

12