KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang...

10
I Dewa Gede Agung Diasana Putra 1) -Konsepsi dan Makna Arsitektur Tradisional pada Bangunan Kekinian 1-21 KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA BANGUNAN KEKINIAN Sebuah Intepretasi Masyarakat Lokal Bali Tengah pada Transformasi Rumah Tradisional I Dewa Gede Agung Diasana Putra 1) 1) Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana [email protected] ABSTRACT The form of a traditional house is designed based on socio-cultural and religious attitudes of the residents and a community. However, as a part of culture, the house is also undergone a process of transformation in a transmission process of traditions. The transformation is a dynamic field where the physical configurations, religious activities and social practices undergo continuous renewal in response to novel conditions represented by advanced technology and new lifestyle imported from other cultures. This transmission process gives rise to a question about the continuity of the forms of a traditional house in the process of modernization in Bali. Using architectural examination and graphical method, this paper will demonstrate how local residents adopt a modern standard of living while they try to maintain traditional conception of the house. However, the new order has infiltrated the traditional classification of the house in which the connotation of the traditional conception and values of the house, which were organized according to definite rules within a framework of rituals, has been altered into more flexible functions and definitions. This paper suggests that the transformation is read as a pragmatic response to address new challenges in the community by interpreting the reconfiguration of the house. Keywords: conception and meaning, interpretation, traditional house, transformation, transmission process ABSTRAK Bentuk rumah tradisional didisain berdasarkan pemahaman penghuni dan masyarakat terhadap aktivitas sosial budaya dan agama. Meskipun demikian, sebagai bagian dari sebuah budaya, rumah tradisional juga mengalami proses transformasi dalam sebuah proses transmisi tradisi-tradisi. Transformasi adalah sebuah proses dinamis dimana konfigurasi fisik, aktivitas keagamaan dan sosial mengalami perubahan secara menerus didalam merespon kondisi kekinian sebagai sebuah representasi kemajuan teknologi dan gaya hidup baru yang diimport dari budaya-budaya luar. Proses transmisi ini membangkitkan sebuah pertanyaan tentang keberlanjutan bentuk- bentuk rumah tradisional didalam proses modernisasi di Bali. Menggunakan evaluasi arsitektur dan metode grafis, paper ini akan mendemonstrasikan bagaimana penduduk lokal mengadopsi standar hidup modern sementara mereka berusaha mempertahankan konsep tradisional dalam sebuah rumah. Akan tetapi, tatanan baru tersebut telah menginfiltrasi klasifikasi tradisional dari rumah tradisional yang mana pemaknaan dari konsep dan nilai-nilai dari rumah, yang didisain berdasarkan ketentuan yang ketat dalam kerangka rituals, telah berubah menjadi lebih fleksibel. Paper ini menyatakan bahwa transformasi dapat dilihat sebagai sebuah respon pragmatik untuk mengakomodasi tantangan baru dalam sebuah masyarakat dalam mengintepretasikan konfigurasi rumah tradisional. Kata Kunci: konsep dan makna, intepretasi, rumah tradisional, transformasi, proses transmisi PENDAHULUAN Proses modernisasi telah merubah berbagai aspek kehidupan sosial di Bali, dimana orang Bali telah mengasumsikan bahwa kata “modern” adalah terkait dengan sebuah ide “kemajuan” yang terkait dengan obyek-obyek modern dan kemajuan teknologi (Vickers 1996, p. 6). Menjadi modern direpresentasikan dengan mempergunakan produk modern dan menunjukkan kebersihan dalam tempat tinggal mereka. Selain itu kebutuhan akan ruang seiring dengan peningkatan jumlah anggota keluarga yang tinggal di dalam sebuah rumah tradisional juga berpengaruh terhadap proses transformasi (Sueca 2005, Tipple 2000). Transformasi adalah sebuah proses dinamis dimana konfigurasi fisik, aktivitas keagamaan dan sosial mengalami perubahan secara menerus didalam merespon kondisi kekinian sebagai sebuah representasi kemajuan teknologi dan gaya hidup baru yang diimport dari budaya-budaya luar.

Transcript of KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang...

Page 1: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

I Dewa Gede Agung Diasana Putra1)

-Konsepsi dan Makna Arsitektur Tradisional pada Bangunan Kekinian 1-21

KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA BANGUNAN KEKINIAN Sebuah Intepretasi Masyarakat Lokal Bali Tengah pada Transformasi Rumah Tradisional

I Dewa Gede Agung Diasana Putra1)

1)Program Studi Arsitektur Fakultas Teknik Universitas Udayana

[email protected]

ABSTRACT

The form of a traditional house is designed based on socio-cultural and religious attitudes of the residents and a

community. However, as a part of culture, the house is also undergone a process of transformation in a

transmission process of traditions. The transformation is a dynamic field where the physical configurations,

religious activities and social practices undergo continuous renewal in response to novel conditions represented

by advanced technology and new lifestyle imported from other cultures. This transmission process gives rise to a

question about the continuity of the forms of a traditional house in the process of modernization in Bali. Using

architectural examination and graphical method, this paper will demonstrate how local residents adopt a modern

standard of living while they try to maintain traditional conception of the house. However, the new order has

infiltrated the traditional classification of the house in which the connotation of the traditional conception and

values of the house, which were organized according to definite rules within a framework of rituals, has been

altered into more flexible functions and definitions. This paper suggests that the transformation is read as a

pragmatic response to address new challenges in the community by interpreting the reconfiguration of the house.

Keywords: conception and meaning, interpretation, traditional house, transformation, transmission process

ABSTRAK

Bentuk rumah tradisional didisain berdasarkan pemahaman penghuni dan masyarakat terhadap aktivitas sosial

budaya dan agama. Meskipun demikian, sebagai bagian dari sebuah budaya, rumah tradisional juga mengalami

proses transformasi dalam sebuah proses transmisi tradisi-tradisi. Transformasi adalah sebuah proses dinamis

dimana konfigurasi fisik, aktivitas keagamaan dan sosial mengalami perubahan secara menerus didalam

merespon kondisi kekinian sebagai sebuah representasi kemajuan teknologi dan gaya hidup baru yang diimport

dari budaya-budaya luar. Proses transmisi ini membangkitkan sebuah pertanyaan tentang keberlanjutan bentuk-

bentuk rumah tradisional didalam proses modernisasi di Bali. Menggunakan evaluasi arsitektur dan metode

grafis, paper ini akan mendemonstrasikan bagaimana penduduk lokal mengadopsi standar hidup modern

sementara mereka berusaha mempertahankan konsep tradisional dalam sebuah rumah. Akan tetapi, tatanan

baru tersebut telah menginfiltrasi klasifikasi tradisional dari rumah tradisional yang mana pemaknaan dari konsep

dan nilai-nilai dari rumah, yang didisain berdasarkan ketentuan yang ketat dalam kerangka rituals, telah berubah

menjadi lebih fleksibel. Paper ini menyatakan bahwa transformasi dapat dilihat sebagai sebuah respon pragmatik

untuk mengakomodasi tantangan baru dalam sebuah masyarakat dalam mengintepretasikan konfigurasi rumah

tradisional.

Kata Kunci: konsep dan makna, intepretasi, rumah tradisional, transformasi, proses transmisi

PENDAHULUAN

Proses modernisasi telah merubah berbagai aspek kehidupan sosial di Bali, dimana orang Bali telah mengasumsikan bahwa kata “modern” adalah terkait dengan sebuah ide “kemajuan” yang terkait dengan obyek-obyek modern dan kemajuan teknologi (Vickers 1996, p. 6). Menjadi modern direpresentasikan dengan mempergunakan produk modern dan menunjukkan kebersihan dalam tempat tinggal mereka. Selain itu kebutuhan akan ruang seiring dengan peningkatan jumlah anggota keluarga yang tinggal di dalam sebuah rumah tradisional juga berpengaruh terhadap proses transformasi (Sueca 2005, Tipple 2000). Transformasi adalah sebuah proses dinamis dimana konfigurasi fisik, aktivitas keagamaan dan sosial mengalami perubahan secara menerus didalam merespon kondisi kekinian sebagai sebuah representasi kemajuan teknologi dan gaya hidup baru yang diimport dari budaya-budaya luar.

Page 2: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

1-22 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5

Sebuah rumah adalah hasil dari tradisi-tradisi prektek membangun dalam sebuah masyarakat. Dalam hal ini, tradisi bukanlah merupakan sebuah bentuk yang tetap, tetap tradisi dapat didefinisikan sebagai sebuah pewarisan kebiasaan, kepercayaan dan ide-ide yang melibatkan interaksi masyarakat di dalam sebuah komunitas dengan budaya luar. Interaksi ini tidak hanya di wariskan tetapi juga mengalami sebuah proses penerimaan dan perekomendasian berdasarkan berbagai motive dari penerima. Dalam sebuah tradisi yang menghasilkan produk-produk tradisional, transmisi ini melalui sebuah proses koneksi antara masa lalu dan masa kini yang mana kehadiran tradisi mengandung “memory“ atau “the record of the past” sebagai sebuah medium untuk menjaga hubungan dan keterkaitan dengan tradisi masa lalu (Shils 1981, p. 50). Dalam hal ini sebuah transmisi tradisi mengalami proses adopsi secara selektif dimana akan mengalami proses filtrasi, penyesuaian dan modifikasi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat secara kekinian.

Akan tetapi, kemajuan informasi dan teknologi yang begitu cepat, merupakan sebuah tantangan bagi masyarakat Bali dalam sebuah proses transformasi pada sebuah rumah tradisional. Rumah dimana kegiatan domestik dan budaya dilaksanakan telah mengalami proses transformasi untuk memenuhi standar hidup modern pemiliknya. Kebutuhan baru ini telah menimbulkan tantangan bagi pemilik antara pemenuhan kebutuhan kekinian dan mempertahankan tradisi. Ini merupakan phenomena yang paradok dimana sebuah produk tradisi yang cenderung berubah secara perlahan mengalami proses perubahan yang fundamental seiring dengan perkembangan teknologi yang cepat dan kebutuhan akan ruang dalam sebuah rumah termasuk rumah tradisional Bali Aga di kawasan Bali Tengah.

Sebagai sebuah phenomena budaya, rumah tradisional Bali Aga tersebut juga mengalami proses perubahan untuk mengakomodasi kebutuhan kekinian dari penghuninya. Berbagai penelitian telah pernah dilakukan yang terkait dengan dinamika aktivitas sosial dan keagamaan di dalam sebuah transformasi rumah seperti yang telah dilakukan oleh Santosa (1994), Sueca (2003), Runa (2004) dan Putra (2015). Point dari penelitian mereka adalah signifikansi dari aspek-aspek sosial budaya di dalam sebuah proses transformasi tidak hanya di rumah tradisional Bali yang dipengaruhi budaya Majapahit baik di kawasan pedesaan, perkotaan maupun kawasan pariwisata, tetapi juga di kawasan rumah Bali Aga. Meskipun demikian, intepretasi masyarakat terhadap proses transformasi rumah tradisional di kawasan permukiman Bali Aga, terutama Desa Sukawana belum pernah dilakukan. Karena itu, paper ini berupaya mendemonstrasikan bagaimana penduduk lokal mengadopsi standar hidup modern sementara mereka berusaha mempertahankan konsep tradisional dalam sebuah rumah. Hal ini penting dilakukan untuk mendapatkan hal-hal yang menjadi dasar berpijak dari masyarakat dalam melakukan transformasi dan selanjutnya dapat diberikan saran-saran yang terkait sehingga transformasi yang dilakukan kedepannya tidak sampai merusak tatanan rumah tradisional yang ada.

Di dalam paper ini, untuk mendemostrasikan tujuan penelitian, maka akan didahulukan dengan memaparkan metode yang dilakukan dilanjutkan dengan mengeksplorasi makna dan pengertian tradisi, maupun transmisi tradisi yang kemudian dikaitkan dengan transformasi budaya dan rumah tradisional. Pemaparan rumah tradisional Bali Aga khususnya Desa Sukawana sebagai studi kasus terutama tata ruang bangunan tradisionalnya dan fungsinya dalam kaitan dengan budaya dan aktivitas keagamaan. Pada bagian selanjutnya akan dilakukan pemaparan proses transformasi dengan membandingkan rumah tradisional dengan rumah kekinian dan mengeksplorasi konsep dan makna dari arsitektur tradisional di masa kekinian. Terakhir akan dilanjutkan dengan penarikan kesimpulan.

METODE PENELITIAN

Untuk mencapai tujuan ini, penelitian lapangan dilakukan untuk mendokumentasikan kondisi kekinian dari obyek yang diteliti yang dilanjutkan dengan melakukan wawancara baik dengan pemilik rumah maupun sesepuh adat. Kajian literatur terkait dengan sejarah dan transformasi rumah juga dilakukan sebagai landasan dan referensi dalam rangka melakukan analisis data yang dilakukan dengan melakukan evaluasi secara arsitektur dan analisa secara grafis.

TRADISI DAN TRANSFORMASI BUDAYA

Sebagai bagian dari sebuah produk arsitektur, sebuah rumah tradisional mengalami proses transformasi sepanjang masa. Transformasi ini paralel dengan proses transformasi nilai-nilai budaya dan kepercayaan dari sebuah komunitas. Dalam hal ini nilai budaya dan kepercayaan di translasi dalam bentuk-bentuk maupun wujud-wujud arsitektur (Rapoport 1969) termasuk didalamnya permukiman dan perumahan tradisional bali.

Page 3: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

I Dewa Gede Agung Diasana Putra1)

-Konsepsi dan Makna Arsitektur Tradisional pada Bangunan Kekinian 1-23

Permukiman dan perumahan tradisional bali adalah salah satu manifestasi dari budaya dan tradisi-tradisi masyarakat bali. Permukiman dan perumahannya merefleksikan pengalaman-pengalaman umum dari masa lalu dan pewarisan aspek-aspek budaya. Hal ini dapat dilihat sebagai sumber daya untuk menciptakan identitas budaya (Hall 1990, Derek & Japha 1991; Proshansky et al. 1983). Identitas ini mengekspresikan kesamaan tradisi dan budaya di antara anggota masyarakatnya dan mengungkapkan perbedaan dengan yang bukan anggotanya (Brubaker & Cooper 2000). Permukiman dan perumahan beserta tradisi-tradisi adalah saling berkaitan dan diwariskan dari generasi ke generasi dimana sebagai sebuah bangunan vernacular, rumah dan kawasan permukiman dapat dilihat sebagai sebuah persimpangan dari “the inheritance of property and the heritage of traditions” (Lozanovska 2011, p. 467).

Makna dasar tradisi adalah sangat mampu beradaptasi dan mungkin bertransformasi dalam sebuah proses transmisi antar generasi. Transmisi sebuah tradisi merujuk pada respon yang diberikan masyarakat terhadap tradisi lama dengan atau tanpa perubahan (Shils 1971, 1981). Transmisi tradisi fokus pada interaksi antar generasi yang merupakan sebuah mata rantai (chain) maupun sebuah jembatan (bridge) komunikasi untuk menstransfer tradisi di dalam sebuah struktur sosial tertentu (Shils 1971, pp. 125, 134).

Seperti tradisi-tradisi lainnya, memori dari ciri masa lalu dapat di tunjukkan di dalam obyek kekinian seperti bangunan. Keawetan dari material bangunan dan keberadaan pola bangunan merupakan faktor-faktor yang mendemonstrasikan dan menunjukkan keberadaan tradisi lama dalam bangunan kekinian (Shills 1981). Ekspresi dari tradisi-tradisi masih tetap dikandung bangunan kontemporer karena tradisi arsitektur masa lalu menawarkan keuntungan ekonomi, kenyamanan maupun hasrat penghuni akan memori masa lalu maupun keterkaitan dengan kepercayaan penghuninya. Bangunan rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills 1981).

Terkait dengan proses sebuah transmisi tradisi, budaya bali adalah juga merupakan proses dari sebuah transmisi tradisi dimana budaya tersebut merupakan hasil dari respon dan interaksi masyarakat bali dengan budaya luar dari generasi ke generasi (Geriya 2007; Mantra 1993). Dalam hal ini, budaya merupakan sebuah bentuk aksi komunal yang merepresentasikan sebuah respon yang unik untuk menghadapi keadaan sosial yang baru. Sebuah budaya bukanlah sekedar peniruan ide-ide masa lalu, tetapi merupakan respon yang unik sebagai sebuah proses berlanjut dan tanpa akhir (Clifford 1994; Williams 1983). Dalam proses transmisi budaya bali, ide-ide baru telah meresap ke dalam tradisi lokal melalui sebuah partisipasi dan kolaborasi kolektif. Tradisi dari luar dipadukan dengan budaya lokal dan secara perlahan diakui sebagai tradisi bali (Pitana 2010).

Ide-ide baru telah meresap ke dalam tradisi kuno bali seperti konsep alam dan leluhur, struktur dan sistem kekeluargaan, persembahan dan sesaji, konstruksi fisik dan orientasi spasial (Swellengrebel 1984; Lansing 1983). Tradisi-tradisi ini masih dapat dilihat saat ini, walaupun berbagai budaya luar termasuk didalamnya budaya dari India, China, Jawa, Eropa, telah menyebabkan berbagai transformasi agama maupun struktur sosial di Bali (Nordholt 1986, Vickers 1989, Agung 1991 dan Dharmayuda 1995). Interaksi masyarakat di Bali dengan budaya luar dan pertumbuhan sosial dan pergerakan budaya telah mempengaruhi proses transformasi tradisi dalam masyarakat. Transformasi ini, yang sangat mempengaruhi proses penerimaan tradisi berdasarkan kepercayaan keagamaan, struktur sosial dan kebijakan pemerintah, telah banyak diuraikan berbagai peneliti seperti Nordholt (1986), Vickers (1989), Agung (1991), Dharmayuda (1995) and Picard (1996), termasuk di kebijakan kepariwisataan telah menyebabkan transformasi rumah tradisional bali dalam berbagai variasi termasuk di dalamya perubahan tradisi dan aktivitas budaya (Putra, Lozanovska & Fuller 2017).

RUMAH TRADISIONAL BALI AGA

Sebagai bagian dari sebuah produk arsitektur, sebuah rumah tradisional mengalami proses transformasi sepanjang masa. Transformasi ini paralel dengan proses transformasi nilai-nilai budaya dan kepercayaan dari sebuah komunitas. Dalam hal ini nilai budaya dan kepercayaan di translasi dalam bentuk-bentuk maupun wujud-wujud arsitektur (Rapoport 1969) termasuk didalamnya permukiman dan perumahan tradisional bali.

Interaksi masyarakat bali dengan budaya luar dan kondisi perpolitikan di Bali telah menyebabkan proses transformasi dan variasi bentuk-bentuk arsitekturnya. Variasi ini dapat dilihat pada rumah tradisional di Bali yang dipengaruhi oleh variasi tatanan desa-desanya. Secara umum, desa-desa di Bali di bagi dalam 2 kelompok utama yaitu desa Bali Aga, yang umumnya ada di dataran tinggi dan

Page 4: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

1-24 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5

desa Bali Daratan yang dipengaruhi oleh budaya Majapahit (Parimin 1986). Pengaruh Majapahir di Bali tidak hanya terkait dengan pusat kekuasaan, tetapi juga menyangkut standarisasi budaya dan struktur kemasayarakatan (Geertz 1980). Menggunakan model puri utama Gelgel, dengan beberapa puri pendukung seperti Badung, Tabanan dan Karangasem, budaya Majapahit menjadi model activitas di Bali. Dalam hal ini masyarakat Bali Mula mendapatkan status baru sebagai Bali Aga yang dimarginalisasi sebagai masyarakat minoritas di dalam budaya bali (Reuter 2002). Karakter utama dari desa-desa Bali Aga adalah bahwa desa-desa jenis ini memiliki aksis komunal utama yang membentang dari kaja (mengarah ke gunung) ke kelod (mengarah ke laut atau dataran rendah) seperti Julah, Tenganan dan Bugbug (Gambar 1) (Parimin 1986).

Gambar 1 Pola desa Bali Aga (Julah, Tenganan and Bugbug) Sumber: Parimin 1986

Seperti halnya desa Bali Aga, Sukawana juga memiliki akses komunal kaja-kelod yang mana puncak penulisan dipercaya sebagai tempat tertinggi dan arah orientasi kaja. Hanya saja poros utama desa ini tidak menjadi jalan keluar langsung dari unit hunian. Unit hunian akan melalui sebuah gang sebelum menuju ke akses utama

Sementara itu unit hunian untuk masing-masing keluarga terdiri dari tempat suci, sederetan bale saka nem dan bale tempat tinggal, serta natah. Rumah tradisional merupakan tempat tinggal sekaligus sebagai tempat memuja leluhur. Rumah tradisional bali aga diatur sedemikian rupa yang menunjukkan hubungan antara penghuni serta hubungan mereka dengan orang lain. Dalam sebuah rumah tradisonal, disebut banjaran, terdapat tiga deretan bale-bale (pavilion) yang membentang dari kelod (tempat lebih rendah) ke kaja (tempat lebih tinggi) (Gambar 2). Disisi sebelah barat deretan pavilion disebut uma kauh sedang disebelah timur disebut uma kangin. Bale-bale ini merupakan tempat tinggal dari beberapa pasangan suami istri. Pasangan suami istri tertua menempati pavilion yang paling dekat dengan rumah para leluhur, sanggah kemulan (Reuter 2002). Deretan uma kauh dan uma kangin dipisahkan oleh bale ketiga yang merupakan deretan bale saka enem (pavilion dengan enam pilar) yang digunakan sebagai tempat kegiatan upacara maupun menyajikan makanan selama upacara.

Ruang Komunal Utama sebagai sebuah aksis dari desa Bali Aga

A B C

Page 5: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

I Dewa Gede Agung Diasana Putra1)

-Konsepsi dan Makna Arsitektur Tradisional pada Bangunan Kekinian 1-25

Gambar 2 Sebuah Rumah Tradisional Disebut Banjaran Sumber: Reuter 2002

Di ` sebagai symbol penyucian dan pembersihan bagi penghuni atau tamu yang memasuki pavilion. Sebagai fungsi rumah tinggal, sebuah uma terdiri dari lubangan gede, sebagai tempat untuk menerima tamu yang sudah dianggap keluarga maupun trojongan sebagai tempat menerima tamu. Sebelum memasuki sebuah rumah, penghuni akan memasuki geladag sebagai daerah transisi dengan natah dimana di atas pintu terdapat plangkiran Bhatara Surya. Seperti halnya dapur, yang diseput paon, pada umumnya (Gambar 5), tempat ini merupakan tempat memasak. Terdapat juga pembagian ruang dikaitkan dengan gender dimana laki-laki menyimpan barang-barangnya di ruang slatan kaja sementara wanita di slatan kelod. Pada saat menerima tamu, wanita akan menyalakan api, membuat air panas dan menyiapkan hidangan untuk tamu yang dilaksanakan di lubangan beten (Gambar 6). Dalam hal ini terdapat pembagian ruang atau daerah teritori antara pria dan wanita dalam sebuah rumah.

Page 6: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

1-26 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5

Gambar 3 Sebuah Unit Pavilion yang Disebut Uma Sumber: Reuter 2002

Gambar 5 Paon

Gambar 6 Lubangan Beten

Gambar 4 Plangkiran Bhatara Guru

Page 7: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

I Dewa Gede Agung Diasana Putra1)

-Konsepsi dan Makna Arsitektur Tradisional pada Bangunan Kekinian 1-27

BANGUNAN KEKINIAN DI BAJARAN DESA SUKAWANA

Sebuah rumah tidak hanya sebagai tempat melakukan aktivitas domestik dan aktivitas budaya, akan tetapi juga sebagai sarana utnuk menunjukkan ekspresi personal pemiliknya (Marcus 2006). Dalam hal ini, kemajuan teknologi dan informasi juga telah menyebabkan terjadinya transformasi pada rumah tradisional yang tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan ekonomi khususnya rumah tradisional di daerah perkotaan (Sueca 2003) dan daerah pariwisata (Putra 2015, Putra, Lozanovska & Fuller 2017), tetapi juga untuk mengakomodasi keinginan untuk menjadi modern. Kemajuan teknologi dan gaya hidup baru yang diadopsi dari budaya luar telah mempengaruhi tata atur ruang pada rumah tradisional. Sebuah transformasi menjadi sebuah tantangan arsitektur dimana bentuk dan konfigurasi rumah tradisional berusaha untuk mengadopsi gaya hidup modern dengan tetap berupaya mempertahankan fungsi sosial budayanya.

Modernisasi merupakan phenomenon yang telah melampaui batas-batas geografi, etnik maupun negara (Berman 1982). Bagi orang Bali, menjadi modern adalah terkait dengan ide-ide pemenuhan kebutuhan kekinian yang sesuai dengan standar hidup yang baru (Vickers 1996). Untuk mengekspresikan dirinya telah menjadi masyarakat modern, masyarakat berupaya mengadopsi berbagai kemajuan teknologi dan gaya hidup baru yang diimport dari budaya lain terutama dari negara maju. Rumah menjadi sebuah simbul gaya hidup modern sebagai hasil pengaruh dari interaksi masyarakat lokal dengan masyarakat luar maupun melalui berbagai informasi yang didapat dari internet, televisi, majalah maupun surat kabar. Rumah kemudian menjadi sebuah simbul dari apa yang disebut “the personalization of space” (Marcus 2006, p.8). Dengan menggunakan teori ini yang dikombinasian dengan teori perubahan tradisi dari Shill (1981), paper ini ingin mengungkapkan intepretasi masyarakat terhadap transformasi rumah tradisional dan transformasi tradisi untuk mengantisipasi kondisi kekinian sebagai sebuah pengetahuan baru bagi dunia kearsitekturan dan budaya Bali.

Dalam hal ini uma yang awalnya tidak memiliki teras depan di mana saat memasuki rumah akan menghadapi sebuah pintu dengan plangkiran Bhatara Surya diatasnya dan setelah itu memasuki geladag sebagai ruang transisi dengan natah, saat ini telah memiliki teras depan (Gambar 7) sebagai ruang transisi dengan ruang luar. Ruang ini juga akhirnya menjadi tempat menerima tamu yang mana secara tradisional, tamu jenis ini biasanya diterima di trojongan maupun lubangan gede. Dalam hal ini ruang dalam menjadi ruang yang lebih privat.

Beberapa uma, yang dulunya terbuat dari bahan kayu tanpa ornament, sekarang telah menggunakan bentuk-bentuk baru yang diadopsi dari bangunan tradisional bali dari daerah lainnya seperti gegianyaran. Beberapa pavilion terlihat telah menggunakan batako yang diplester dengan menempatkan ornament tradisional bali; batu bata merah yang dikombinasikan dengan batu padas; maupun material batu dari alam lainnya. Dalam hal ini mereka ingin mengekspresikan gaya hidup mereka yang baru untuk menunjukkan prestise mereka yang berbeda dari yang lainnya (Gambar 8).

Gambar 7 Teras depan

Page 8: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

1-28 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5

Perubahan tidak hanya terlihat dari luar dan bahan bangunan, tetapi juga tata ruang di dalam pavilion dimana saat ini beberapa ruang telah mengalami transformasi. Ruang dalam sekarang terlihat semakin lega dengan hilangnya beberapa sekat dan tiang di dalam pavilion. Paon dan lubangan beten menjadi satu ruang, sehingga menjadi lebih luas terutama menjadi tempat duduk bagi keluarga (Gambar 9). Sementara itu lubangan gede dan slatan kaja juga menjadi satu sebagai tempat meletakkan sesaji terutama pada saat kegiatan keagamaan (Gambar 10). Hanya saja tempat plangkiran bagi Bhatara Guru dengan lubang pada plafond yang masih tetap dipertahankan walaupun dibeberapa pavilion ruangannya semakin mengecil.

Proses transformasi bangunan tradisional bali aga ini menunjukkan bahwa pavilion (uma) dalam sebuah rumah tradisional bali aga cenderung lebih memperhatikan fungsi ruang dibandingkan dengan makna dan konsep spiritualnya. Hal ini juga terlihat dengan tidak adanya lagi bale sake nem di sebagian besar rumah tradisional (banjaran). Bale ini yang awalnya merupakan tempat menyajikan hidangan makanan maupun sesaji pada saat kegiatan upacara, saat ini tidak lagi ada. Pada saat upacara, penghuni biasanya membangun sejenis bale sake nem yang tidak permanen yang khusus dibangun untuk upacara (Reuter 2002). Oleh karena itu, penggunaan ruang pada rumah kekinian telah mengalami pemudaran makna tradisionalnya. Penggunaan ruang lebih pada alasan-alasan praktis daripada merepresentasikan simbul-simbul tradisi dan spiritual.

Walaupun demikian, salah satu ruang yang masih tetap dipertahankan secara khusus adalah ruang tempat plangkiran Bhatara Guru. Ruang ini tetap sebagai ruang yang disucikan dimana sebelum penghuni melakukan aktivitas harian maupun aktivitas upacara, selalu menghaturkan persembahyangan di ruang ini. Di ruang inilah pertamakali penghuni menghaturkan terimakasih kepada Tuhan sebelum melakukan aktivitas harian mereka. Dalam hal ini, dengan melakukan aktivitas ritual, penghuni, merujuk apa yang diungkapkan oleh Malinowski (1948), akan mendapatkan pengamanan diri dari kekuatan magis. Di beberapa pavilion, walupun ruangnya telah berubah secara

Gambar 10 Lubangan gede dan slatan kaja dengan tempat plangkiran Bhatara Guru di sudut

ruangan (di tempat semula)

Gambar 8 Penggunaan bahan material batako yang diplester dilengkapi dengan ornament.

Gambar 9 Dapur saat ini

Page 9: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

I Dewa Gede Agung Diasana Putra1)

-Konsepsi dan Makna Arsitektur Tradisional pada Bangunan Kekinian 1-29

total dimana lebih mengadopsi kebutuhan penghuni akan kebutuhan kekinian terhadap ruang, akan tetapi tempat plankiran Bhatara Guru masih tetap mendapatkan tempat di pavilion tersebut. Akan tetapi, bentuknya telah mengalami perubahan dimana ruangnya hanya sebuah lubang di plafond dalam sebuah ruang besar yang tidak disekat dengan ruang fungsi lainnya. Dalam hal ini lubang ini menjadi sebuah bentuk atau simbul kesucian untuk menjaga hubungan dengan Tuhan (Gambar 11).

Tata ruang kekinian pada seting baru rumah tradisional di Sukawana telah menginfiltrasi klasifikasi tradisional dari rumah tradisional, yang mana pemaknaan dari konsep dan nilai-nilai dari rumah, yang didisain berdasarkan ketentuan yang ketat dalam kerangka rituals, telah berubah menjadi lebih fleksibel. Dalam hal ini transformasi merupakan suatu bentuk dinamis dimana konfigurasi fisik maupun aktivitas keagamaan dan sosial mengalami perubahan secara terus menerus untuk merespon kondisi kekinian. Transformasi dapat dilihat sebagai sebuah respon pragmatik untuk mengakomodasi tantangan baru dalam sebuah masyarakat dalam mengintepretasikan konfigurasi rumah tradisional. Kedepannya hasil dari paper ini akan dapat sebagai rujukan untuk melakukan transformasi rumah tradisional di tempat lainnya.

SIMPULAN

Modernisasi telah mengakibatkan perubahan pada sebuah rumah tradisional. Sebagai sebuah sarana untuk menunjukkan eksperesi personal, maka rumah tradisional dapat merepresentasikan gaya hidup pemilik dan penghuninya. Dalam hal ini tata ruang dan bentuk rumah dapat mendemonstrasikan bagaimana penghuni mengadopsi standar hidup modern sementara mereka berusaha mempertahankan konsep tradisional dalam sebuah rumah. Tatanan kekinian dari rumah tradisional di Sukawana telah mengalami pemudaran klasifikasi tradisional yang mana pemaknaan dari konsep dan nilai-nilai dari rumah, yang didisain berdasarkan ketentuan yang ketat dalam kerangka rituals, telah berubah menjadi lebih fleksibel. Walaupun demikian, transformasi disini dapat dilihat sebagai sebuah respon pragmatik untuk mengakomodasi tantangan kekinian dalam mengintepretasikan konfigurasi rumah tradisional.

REFERENSI

Agung, I.A.A.G., 1991, Bali in the 19th century, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta. Berman, M., 1982, All that is sold melts into air, Simon and Schuster, New York. Brubaker, R. & Cooper, F., 2000, ‘Beyond identity’, Theory and Society, vol. 29, no. 1, pp. 1-47. Clifford, J., 1994, The predicament of culture: twentieth-century ethnography, literature, and art,

Harvard University Press, Cambridge. Derek & Japha, V., 1991, ‘Identity through detail: an architecture and cultural aspiration in Montagu,

South Africa, 1850-1915’, TDSR, vol. II, pp. 17-33. Dharmayuda, I.M.S., 1995, Kebudayaan Bali: pra Hindu, masa Hindu dan pasca Hindu, CV Kayumas

Agung, Denpasar. Geertz, C., 1980, Negara: the theatre state in nineteenth-century Bali, Pricenton University Press,

New Jersey.

Gambar 11 Lubang pada sebuah rumah untuk plangkiran Bhatara Guru

Page 10: KONSEPSI DAN MAKNA ARSITEKTUR TRADISIONAL PADA … · rumah tinggal berlanjut sebagai tradisi yang dipertahankan dalam berbagai variasi adaptasi, modifikasi dan penggantian (Shills

1-30 Seminar Nasional Arsitektur dan Tata Ruang (SAMARTA), Bali-2017, ISBN 978-602-294-240-5

Geriya I. W., 2007, ‘Konsep and strategi revitalisasi kearifan lokal dalam penatan lingkungan hidup daerah Bali’, in AAGR Dalem, IW Wardi, IW Suarna & IWS Adnyana (eds), Kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan hidup, Penerbit Universitas Udayana, Denpasar, pp. 52-60.

Hall, S., 1990, ‘Cultural identity and diaspora’, in J Rutherford (ed), Identity, community, culture difference, Lawrence and Wishart, London, pp. 222-237.

Lansing, J.S., 1983, ‘The “Indianization” of Bali’, Journal of Southeast Asian Studies, vol. 14, no. 2, pp. 409-421.

Lozanovska, M., 2011, ‘Holy days after migration’, 2nd International Conference on Intangible Culture, Green Lines Instituto, Barecelos, pp. 459-469.

Malinowski, B., 1948, Magic, science and religion and other essays, Free Press, NewYork. Mantra, I.B., 1993, Bali masalah sosial budaya dan modernisasi, Upada Sastra, Denpasar. Marcus, C.C., 2006, House as a mirror of self: exploring the deeper meaning of home, Nicolas-Hays,

Bewick. Nordholt, H.S., 1986, Bali: colonial conceptions and political change 1700-1940 from shifting

hierarchies to ‘fixed’ order, Erasmus, Rotterdam. Parimin, A.P., 1986, ‘Fundamental study on spatial formation of island village: environmental hierarchy

of sacred-profane concept in Bali’, PhD dissertation, University of Osaka, Osaka. Picard, M., 1993, ‘Cultural tourism in Bali: national integration and regional differention’, in K Hitchcook

& Parnwell (eds), Tourism in South-East Asia, Routledge, London, pp. 71-98. Pitana, I.G., 2010, ‘Tri hita karana – the local wisdom of the Balinese in managing development’, in R

Conrady & M Buck (eds), Trends and issues in global tourism 2010, Springer-Verlag Berlin Heidelberg, pp. 139-150.

Proshansky, H.M., et al. 1983, ‘Place identity: physical world socialization of the self’, Journal of Environmental Psychology, vol. 3, pp. 57-83.

Putra, I.D.G.A., 2015, the Impact of Tourism on the Tranformation of the Traditional Balinese House, Unpublished PhD Thesis, Deakin University, Australia.

Putra, I.D.G.A.D.,.Lozanovska, M. & Fuller, R.J., 2017, A Methodology to Evaluate the Transformation of Traditional Balinese Houses as a Consequence of Tourism, Archnet IJAR, 11/1, pp 83/100 (2017).

Rapoport, A., 1969, House, form and culture, Prentice Hall Inc, Englewood Cliffs. Reuter, T., 2002, The house of our ancestors- precedence and dualism in highland of Balinese

society, KITLV Press, Leiden. Runa, I.W., 2004, ‘Sistem spasial desa pegunungan di Bali dalam perspektif sosial budaya’, PhD

dissertation, Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Indonesia. Sentosa, L.S., 1994, ‘Continuity and change in Balinese dwelling environments: a socio-religious

perspective’, PhD dissertation, Georgia Institute of Technology. Shils, E., 1971, ‘Tradition’, Comparative Studies in Society and History, vol. 13, no. 2, Special Issue on

Tradition and Modernity, pp. 122-159. ──── 1981, Tradition, Faber and Faber Limited, London. Sueca, N.P., 2003, ‘Housing transformation: improving environment and developing culture in Bali’,

PhD thesis, University of Newcastle upon Tyne. ──── 2005, ‘Faktor - faktor determinan transformasi rumah di Bali’, Jurnal Permukiman Natah,

Universitas Udayana, Denpasar, vol. 3 no. 2, pp. 62 - 101. Swellengrebel, J.L., 1984, Introduction, in JL Swellengrebel (ed), Bali: studies in life, thought, and

ritual, Foris Publication Holland, Nethelands, pp. 1-76. Tipple, A.G., 2000, Extending themselves: user-initiated transformations of government-built housing

in developing countries, Liverpool University Press, Liverpool. Vickers, A., 1989, Bali: a paradise created, Penguin Books Australia Ltd, Ringwood Victoria. ──── 1996, Modernity and being modern: an introduction, in A Vickers (ed), Being modern in Bali:

image and change, Monograph 43/ Yale University Southeast Asia Studies, New Haven, pp. 1-37. William, R., 1983, Culture and society: 1780–1950, Columbia University Press, New York.