konsep vegetasi
-
Upload
muhammad-arifin -
Category
Documents
-
view
317 -
download
2
Transcript of konsep vegetasi
II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Klasifikasi Vegetasi
Vegetasi merupakan keseluruhan tutupan tumbuhan yang terdapat pada suatu
daerah dan memperlihatkan pola distribusi menurut ruang dan waktu. Menurut
Weaver dan Clements (1980), vegetasi tidak hanya merupakan tumbuhan yang hidup
bersama dan saling berinteraksi satu dengan lainnya, tetapi lebih jauh secara bersama-
sama memodifikasi habitatnya sehingga menyebabkan lingkungan di bawah kanopi
menjadi lebih basah, mampu memperkaya tanah, dan dapat mengurangi pancaran
sinar matahari.
Tipe vegetasi adalah kelompok tegakan yang memiliki komposisi dan
fisiognomi tumbuhan yang serupa, dan tipe tersebut harus memiliki kriteria
diagnostik sehingga memungkinkan untuk dikenali. Tipe-tipe vegetasi yang ada di
permukaan bumi sangat beragam dalam hal flora, struktur, dinamika, dan determinan-
determinan ekologi lain, yang menyebabkan kegiatan klasifikasi menjadi sangat sulit,
dan konsensus terhadap klasifikasi vegetasi yang dapat diterima oleh semua kalangan
belum dicapai. Hal ini menimbulkan banyak sekali model klasifikasi vegetasi pada
berbagai vegetasi tipe yang ada yang dilakukan dengan pendekatan yang berbeda
(Laumonier 1997 ). Mengingat vegetasi merupakan suatu fenomena yang terus
berubah dan komposisi spesies penyusunnya berdistribusi secara stokastik, maka
unit-unit vegetasi tidak dapat diterapkan secara absolut dan kaku.
Klasifikasi adalah tindakan atau kegiatan mengelompokkan benda, objek, atau
fakta ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan karakter yang sama ( Crawley
1986). Klasifikasi vegetasi adalah kegiatan yang bertujuan untuk memisahkan
komunitas vegetasi ke dalam kelas-kelas yang relatif homogen (Kimmins 1987).
Klasifikasi menjadi sangat penting, karena merupakan alat yang sangat bermanfaat
untuk berbagai tujuan, antara lain untuk komunikasi yang efisien, sintesis dan reduksi
data, interpretasi dan perencanaan, serta pengelolaan.
Seluruh metode yang digunakan untuk mengenali dan mendefinisikan
komunitas tumbuhan adalah dengan metode klasifikasi. Karakter yang digunakan
untuk klasifikasi diperoleh melalui suatu area vegetasi dan hasil pengelompokan
tersebut merupakan tipe komunitas tumbuhan pada kawasan yang dikaji (Kent dan
Coker 1992 ).
Konsep tentang pola-pola vegetasi dapat saja berbeda, namun seluruh
kegiatan klasifikasi memerlukan pengidentifikasian seperangkat kelas-kelas vegetasi
yang bersifat diskrit. Menurut Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974 b) beberapa
pemikiran yang menjadi dasar dalam melakukan klasifikasi adalah sebagai berikut :
(1) Pada kondisi habitat yang serupa, maka akan ditemukan kombinasi jenis yang
serupa yang berulang kehadirannya dari satu tegakan ke tegakan lainnya,
(2) Tidak ada tegakan atau contoh vegetasi yang betul-betul serupa bahkan pada
tegakan yang sangat berdekatan pun akan memperlihatkan penyimpangan
sedemikian rupa terhadap yang lainnya. Hal ini disebabkan adanya peluang
dari kejadian penyebaran jenis tumbuhan, gangguan, sejarah tegakan, dan
kepunahan jenis,
(3) Kumpulan jenis akan berubah kurang lebih menerus seiring dengan perubahan
jarak geografi atau lingkungan,
(4) Komposisi dan struktur tegakan vegetasi bervariasi dalam skala ruang dan
waktu.
Komunitas tumbuhan dapat diklasifikasikan berdasarkan beberapa kriteria, yaitu :
(1) Berdasarkan faktor vegetasi, (2) Berdasarkan faktor lingkungan, dan (3)
Berdasarkan kombinasi vegetasi dan lingkungan (Mueller-Dombois dan
Ellenberg 1974 a).
B. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi Struktural, Floristik dan Numerik
1. Klasifikasi Vegetasi Secara Fisiognomi-Struktural
Menurut Descoings (1980), atribut utama klasifikasi vegetasi secara
fisiognomi struktural adalah bentuk hidup, stratifikasi vertikal, dan biomassa
tumbuhan, juga bagaimana penutupannya di antara strata, serta aspek fenologi dan
musim dari tumbuh-tumbuhan. Fitur ini mudah dikenali di lapangan dengan
pengetahuan flora yang tidak terlalu mendalam (Grosman et al. 1994).
Klasifikasi vegetasi berdasarkan kriteria fisiognomi antara lain dilakukan oleh
Humbolt dan Grisbach. Kelas-kelas vegetasi berdasarkan bentuk tumbuh dari
tumbuhan dominan dan tipe lingkungan tempat vegetasi tersebut ditemukan
(Kimmins 1987). Kelas-kelas ini disebut formasi dan merupakan unit dasar
klasifikasi vegetasi berdasarkan fisiognomi struktural. Formasi adalah komunitas
yang didefinisikan berdasarkan bentuk tumbuh dari tumbuhan yang paling dominan
pada strata teratas dari suatu komunitas tumbuhan, atau oleh kombinasi dari beberapa
bentuk tumbuh yang dominan dan hadir pada habitat yang serupa (Mueller-Dombois
dan Ellenberg 1974 a).
Formasi merupakan pengejawantahan dari kondisi lingkungan hidup tertentu,
dan dalam prakteknya ditentukan berdasarkan berbagai kombinasi bentuk tumbuh
dominan dengan berbagai karakter lingkungan bukan berdasarkan kondisi floristik
dari vegetasi. Suatu formasi biasanya tersusun atas sejumlah asosiasi, yang
seluruhnya memiliki fisiognomi yang sama, namun masing-masing memiliki
komposisi jenis yang relatif berbeda baik secara kuantitatif maupun kualitatif.
Asosiasi tumbuhan dicirikan karena : (1) memiliki komposisi floristik yang
relatif konsisten, (2) memiliki fisiognomi yang relatif seragam, dan (3) hadir pada
habitat yang relatif konsisten (Barbour et al. 1987) dan dengan jenis diagnostik yang
khas. Ide tentang asosiasi ini penting karena mengimplikasikan bahwa jenis tertentu
ditemukan tumbuh bersama pada lingkungan tertentu tidak semata-mata karena faktor
peluang belaka, tetapi juga karena adanya kebutuhan yang sama terhadap berbagai
faktor yang ditemukan pada kondisi lingkungan yang sama (Grosman et al. 1994).
Klasifikasi fisiognomi berdasarkan deskripsi struktur vegetasi secara langsung
dikembangkan oleh Kuchler dan selanjutnya diikuti oleh Dansereau. Terdapat enam
parameter vegetasi yang dipakai dalam mendeskripsikan vegetasi, yaitu : (1) bentuk
hidup, (2) ukuran tumbuhan, (3) fungsi (konifer, gugur daun, dan sebagainya), (4)
bentuk dan ukuran daun, (5) tekstur daun, dan (6) penutupan tajuk (Kimmins 1987).
Fosberg kemudian mengembangkan klasifikasi formasi struktural, dan seperti
halnya klasifikasi yang dikembangkan oleh Kuchler juga Dansereau, mereka
melakukan klasifikasi yang secara ketat didasarkan pada ciri-ciri struktural vegetasi.
Klasifikasi dimulai dengan membagi vegetasi menjadi vegetasi tertutup, terbuka, dan
jarang. Penentuan ini didasarkan pada penutupan tajuk. Ketiga kelompok ini
merupakan kelompok vegetasi utama. Vegetasi tertutup adalah vegetasi yang disusun
oleh tumbuhan dengan tajuk saling berhubungan. Vegetasi terbuka menunjukkan
tajuk tumbuhan yang tidak saling berhubungan, dan vegetasi jarang menunjukkan
bahwa tumbuh-tumbuhan yang menyusun vegetasi sangat tersebar, seperti yang
ditemukan pada vegetasi di kawasan gurun.
Pada setiap kelompok vegetasi utama ini, dibagi lagi menjadi beberapa kelas
vegetasi yang penentuannya berdasarkan ketinggian lapisan vegetasi dan juga
kontinuitas dan diskontinuitas vegetasi. Pembagian lebih lanjut dilakukan
berdasarkan fungsi, yaitu apakah dedaunan pada strata dominan dari suatu vegetasi
selalu hijau atau mengalami periode meranggas. Klasifikasi lebih lanjut dilakukan
berdasarkan tekstur daun dari bentuk hidup tumbuhan dominan yang menyusun
vegetasi (Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974 b).
Sistem klasifikasi vegetasi secara struktural-ekologi yang dikembangkan oleh
UNESCO juga mengklasifikasi vegetasi berdasarkan fisiognomi dan struktur
vegetasi, seperti halnya yang dilakukan oleh Fosberg. Namun, penentuan tipe
vegetasi juga didasarkan pada kondisi lingkungan, yang dalam hal ini adalah iklim,
tanah, dan bentuk lahan. Hal ini disebabkan karena perbedaan ekologi yang nyata
pada suatu habitat tidak selalu dapat dilihat hanya berdasarkan tanggapan fisiognomi
dan struktur dari vegetasi. Misalnya, hutan hujan tropis daerah rendah secara ekologi
berbeda dengan hutan tropis sub-pegunungan terutama dalam hal iklim, namun secara
fisiognomi dan struktur vegetasi yang terdapat di kedua kawasan ini tidak terlalu
berbeda. Klasifikasi yang dikembangkan bersifat hirarki (Kuchler dan Zonneveld
1988). Sistem ini mencakup tipe vegetasi alami dan semi alami yang ada di dunia,
namun tidak termasuk penutupan vegetasi yang merupakan tanaman budidaya
(Grosman et al. 1994).
Unit vegetasi ditentukan bedasarkan kondisi vegetasi yang sesungguhnya di
lapangan, namun kondisi lingkungan juga dipertimbangkan dalam penentuan tipe
vegetasi. Unit vegetasi yang terletak pada hirarki paling atas disebut kelas formasi
dan dibagi menjadi tujuh kelas, yaitu : (1) hutan tertutup, (2) hutan terbuka
(woodland), (3) semak belukar atau lahan semak, (4) semak kerdil, (5) komunitas
terna darat, (6) komunitas tumbuhan gurun dan daerah bervegetasi dengan tumbuhan
yang jarang, dan (7) tumbuhan pada lingkungan yang berair. Kelas-kelas formasi
ditentukan berdasarkan ketinggian, penutupan tajuk, dan distribusi spasial dari bentuk
hidup tumbuhan dominan serta fisiognomi dari tumbuhan dominan (Mueller-
Dombois dan Ellenberg1974 b).
Kelas formasi vegetasi kemudian dibagi lagi menjadi sub-kelas formasi, dan
ditentukan berdasarkan fungsi, yaitu apakah ia merupakan vegetasi dengan daun yang
selalu hijau atau daun meranggas. Pembagian selanjutnya menjadi kelompok-
kelompok formasi, yang penentuannya terutama berdasarkan iklim makro tempat
vegetasi berada, misalnya iklim tropis, iklim sedang. Kelompok formasi juga
ditentukan berdasarkan morfologi daun, misal sclerofil berdaun lebar, berdaun jarum.
Contoh kelompok formasi adalah, Hutan meranggas iklim sedang, Hutan hujan tropis
berdaun lebar.
Unit vegetasi pada tingkat berikutnya adalah formasi. Penentuannya berdasarkan atas
: (1) Tinggi dan bentuk tajuk tumbuhan. Misalnya, pohon besar dengan ketinggian
5–50 m, memiliki tajuk yang menyerupai payung, (2) Zona kehidupan. Misalnya,
kawasan daerah rendah iklim sedang, kawasan sub-pegunungan, kawasan
pegunungan, (3) Substrat tempat vegetasi tumbuh, misalnya Alluvial, dan Serpentine,
(4) Komunitas yang tidak dominan yang ditemukan bersama dengan tumbuhan
dominan yang menjadi penciri vegetasi. Misal hutan berdaun lebar bercampur
dengan pepohonan berdaun jarum selalu hijau, Hutan hujan tropis sub-pegunungan
berdaun lebar dengan tumbuhan bawah yang melimpah. Unit di bawah formasi
adalah sub-formasi. Penentuannya berdasarkan bentuk daun, dan kondisi hidrologi
dari habitat vegetasi, misalnya daerah dataran banjir di tepian sungai (Mueller-
Dombois dan Ellenberg 1974 a).
Sistim klasifikasi vegetasi UNESCO mempunyai kelebihan dibanding sistem
klasifikasi yang ada sebelumnya. Klasifikasi ini memiliki akurasi dan makna secara
ekologi yang tinggi, karena dihasilkan melalui kesepakatan ahli-ahli internasional.
Klasifikasi yang dikembangkan dapat diterapkan pada berbagai permukaan bumi
yang memiliki tipe vegetasi berbeda. Standar hirarki unit vegetasi yang
dikembangkan memang dirancang untuk tujuan klasifikasi dan pemetaan vegetasi
pada berbagai skala. Selanjutnya dikatakan bahwa struktur yang dikembangkan
bersifat open-ended dan unit klasifikasi dapat ditambahkan jika diperlukan (Grosman
et al. 1994).
Federal Geographic Data Committee (FGDC) Amerika Serikat
mengembangkan sistem klasifikasi vegetasi yang dinamakan NVCS (National
Vegetation Classification Standard System). Klasifikasi ini merupakan
penyempurnaan terhadap sistem klasifikasi UNESCO, sehingga klasifikasi yang
dihasilkan memiliki konsistensi tinggi pada setiap tingkat unit hirarki.
Klasifikasi NVCS bersifat hirarki dan mengkombinasikan klasifikasi
fisiognomi (bentuk hidup, penutupan tajuk, struktur, tipe daun) pada unit klasifikasi
bagian atas. Bentuk hidup (misalnya pohon, semak dan herba) dari tumbuhan
dominan, atau menempati strata teratas dari vegetasi berperanan sangat penting dalam
klasifikasi tipe vegetasi. Iklim dan variabel lingkungan abiotik lainnya juga
digunakan dalam mengorganisasi klasifikasi yang dibentuk, namun faktor yang
paling dominan adalah fisiognomi. Dua tingkat terbawah dari klasifikasi ini
didasarkan pada kondisi floristik yang aktual dari vegetasi. Tipe vegetasi budidaya
tanaman, baik semusim maupun tahunan juga termasuk ke dalam bagian klasifikasi,
karena penutupan tipe vegetasi ini telah meliputi kawasan yang sangat luas (Grosman
et al. 1994).
Hirarki unit vegetasi NVCS adalah sebagai berikut : (1) divisi, (2) ordo, (3)
kelas fisiognomi, (4) kelompok fisiognomi, (5) sub-kelompok fisiognomi, (6)
formasi, (7) aliansi, dan (8) asosiasi. Unit-unit vegetasi mulai dari tingkat 1 sampai
dengan 6 disusun terutama berdasarkan kriteria fisiognomi dan struktur dan dengan
tambahan karakteristik lingkungan (FGDC 1997). Kriteria yang dipakai ini sebagian
besar diambil berdasarkan kriteria yang dikembangkan oleh UNESCO. Penentuan
unit kelas fisiognomi didasarkan pada struktur vegetasi, yaitu ketinggian dan
persentase penutupan tajuk. Berbagai kelas fisiognomi yang ada ditentukan dengan
cara sebagaimana yang terlihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Prosentase penutupan tajuk vegetasi berpembuluh
Hutan Daerah berhutan Daerah
berhutan jarang
Hutan semak
Bervegetasi jarang / tidak berpembuluh (1-10% Vegetasi berpembuluh)
Herba
Hutan semak jarang
Hutan semak kerdil Hutan semak kerdil jarang
Tajuk Saling mengunci (100-60%)
Persentase Penutup Tajuk Vegetasi Berpembuluh
Tajuk tidak bersentuhan (60-25%)
Tajuk berjarak jarang (25-10%)
Bentuk hidup / Tinggi
Pohon > 5 m
Semak/Pohon 0,5-5 m
Semak kerdil / semak/pohon <0,5 m
Herba
(<10%)
Sub-kelas fisiognomi ditentukan berdasarkan fenologi daun dari bentuk hidup
yang paling dominan (daun selalu hijau, daun meranggas, daun campuran selalu hijau
dan meranggas), untuk strata tumbuhan herba berdasarkan ketinggian rata-rata
(tinggi, sedang, pendek), dan untuk vegetasi jarang dan tersebar/ komunitas vegetasi
tidak berpembuluh ditentukan berdasarkan ukuran partikel dari substrat vegetasi
tersebut (bebatuan, kerikil, pasir, lumpur). Contoh : Hutan selalu hijau, Hutan
meranggas, Hutan campuran selalu hijau dan meranggas, Padang rumput tinggi,
Vegetasi jarang dan tersebar dengan substrat pasir.
Unit kelompok formasi ditentukan terutama berdasarkan kombinasi iklim,
morfologi dan fenologi daun, juga iklim, karakteristik daun, dan untuk kelompok
vegetasi berkayu jarang dan tersebar didefinisikan berdasarkan strata terbawah yang
dominan. Contoh : Hutan terbuka iklim sedang berdaun jarum, Lahan semak yang
jarang dan tersebar dengan daun selalu hijau berdaun lebar dan dengan strata herba
dominan, Padang rumput pendek daerah kutub (Grosman et al. 1994). Penambahan
yang dilakukan pada unit-unit ini adalah unit vegetasi sub-kelompok fisiognomi,
yang terdiri atas sub-kelompok vegetasi alami dan sub-kelompok vegetasi
perkebunan/budidaya tanaman semusim (FGDC 1997).
Formasi menggambarkan pengelompokan unit-unit vegetasi secara ekologi
dan didefinisikan berdasarkan kondisi faktor lingkungan yang umum, seperti
ketinggian tempat, rejim hidrologi, dan juga didasarkan pada faktor fisiognomi
struktural tumbuhan seperti bentuk tajuk maupun daun. Contoh : Hutan tropis
pegunungan selalu hijau, Padang rumput ketinggian sedang dan secara temporer
tergenang, dan Hutan terbuka selalu hijau dengan tajuk membulat (Grosman et al.
1994).
Dua unit terbawah dari hirarki yaitu : Aliansi dan Asosiasi dikembangkan
berdasarkan komposisi floristik, yaitu melalui jenis diagnostik yang terdapat pada
seluruh strata (tumbuhan atas maupun tumbuhan bawah) dari vegetasi. NVCS
menetapkan bahwa Aliansi dan Asosiasi harus ditetapkan berdasarkan analisis
numerik dengan data-data yang diperoleh dari plot-plot vegetasi. Jenis diagnostik
terutama ditentukan berdasarkan tumbuhan dominan (FGDC 1997).
2. Klasifikasi Vegetasi Secara Floristik
Klasifikasi vegetasi secara floristik adalah sistem klasifikasi yang
dikembangkan terutama berdasarkan komposisi floristik dari suatu vegetasi. Unit
terkecil pada sistem ini adalah asosiasi. Menurut Grosman et al. (1994), dalam
menentukan asosiasi, beberapa metode floristik berfokus pada jenis yang hadir secara
konstan pada area pengamatan, sementara yang lain menekankan pada jenis
diagnostik, jenis indikator, jenis dominan, atau jenis yang terbatas penyebarannya
pada area pengamatan.
Sistem klasifikasi floristik yang paling sering digunakan adalah sistem yang
dikembangkan oleh Braun Blanquet, juga dikenal dengan nama sistem perbandingan
tabular (Kent dan Coker 1992 ). Klasifikasi ini mengelompokkan tegakan vegetasi
atau releve ke dalam unit-unit berdasarkan pada kriteria floristik, yaitu komposisi
jenis dengan variasi yang sifatnya kuantitatif. Pengelompokan dilakukan setelah
seluruh daftar jenis yang terdapat pada seluruh tegakan dipindahkan ke dalam suatu
tabel tunggal yang disebut tabel sintesis. Melalui tabel sistesis ini dapat diperlihatkan
informasi floristik semua releve yang diperbandingkan.
Klasifikasi vegetasi zona sub pegunungan Gunung Salak yang dikerjakan oleh
Wiharto (2009) telah mengidentifikasi tiga aliansi vegetasi. Aliansi hutan Schima
wallichii-Pandanus punctuatus/Cinchona officinalis terdiri dari lima asosiasi
vegetasi, aliansi hutan Gigantochloa apus-Mallotus blumeanus/C. officinalis
mempunyai enam asosiasi vegetasi, dan aliansi hutan Pinus merkusii-Athyrium
dilalatum/Dicranopteris dichotoma memiliki tujuh asosiasi vegetasi.
3. Klasifikasi Vegetasi Secara Numerik
Menurut Kent dan Coker (1992), tujuan utama klasifikasi vegetasi dengan
metode numerik sama dengan metode perbandingan tabular, yaitu mengelompokkan
seperangkat sampel-sampel vegetasi atau kuadrat ke dalam kelas-kelas berdasarkan
atribut yang ada pada vegetasi. Idealnya setiap kelas harus memiliki komposisi jenis
yang serupa. Kelompok atau kelas ini kemudian diinterpretasikan dan digunakan
untuk menentukan tipe komunitas tumbuhan yang terdapat pada area yang sedang
dikaji.
Metode klasifikasi numerik merupakan teknik untuk mereduksi data dan
dimanfaatkan untuk menentukan adanya pola-pola dan keteraturan dari suatu
perangkat data. Dalam metode ini, seperangkat aturan yang jelas ditetapkan untuk
mengatur proses pengelompokan individu atau kuadrat secara bersama-sama (Pileou
1984). Hal ini menyebabkan elemen subjektivitas dihilangkan. Dengan demikian,
jika ada seperangkat data digunakan oleh dua peneliti yang berbeda untuk
menemukan pola pengelompokan vegetasi dengan menggunakan klasifikasi numerik
yang sama, maka hasil yang sama akan diperoleh.
Langkah pertama yang dilakukan dalam kegiatan klasifikasi numerik adalah
menentukan kesamaan (similaritas) dan ketidaksamaan (disimilaritas) diantara objek-
objek yang diperbandingkan. Berbagai macam koefisien kesamaan dan
ketidaksamaan dapat diterapkan untuk menentukan kesamaan diantara kuadrat-
kuadrat ini. Diantaranya yang paling sering digunakan adalah koefisien jarak
Euclidean (Kent dan Coker 1992 ).
Jika seluruh pasangan objek dihitung kedekatannya maka hasilnya dapat
disusun dalam suatu matriks kesamaan. Selanjutnya adalah mengelompokkan objek-
objek yang memiliki kesamaan yang paling dekat ke dalam satu kelompok. Untuk
kegiatan ini ada beberapa metode perhitungan yang dapat digunakan. Diantaranya
adalah Metode Tetangga Terdekat yang juga dikenal sebagai single-linkage clustering
(Pileou 1984; Jaya 1999).
C. Struktur Vegetasi dan Komposisi Jenis
Struktur vegetasi adalah organisasi individu-individu di dalam ruang yang
membentuk tegakan dan secara lebih luas membentuk tipe vegetasi atau asosiasi
tumbuhan. Komposisi vegetasi merupakan susunan dan jumlah jenis yang terdapat
dalam suatu komunitas tumbuhan (Dansereau dalam Mueller-Dombois dan Ellenberg
1974 a).
Elemen utama struktur vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi, dan
penutupan (Wiharto 2009). Mueller-Dombois dan Ellenberg (1974a) menyatakan
bahwa dalam ekologi vegetasi paling sedikit terdapat lima tingkat struktur vegetasi,
yaitu : (1) Fisiognomi vegetasi, (2) Struktur biomassa, (3) Struktur bentuk hidup, (4)
struktur floristik, dan (5) Struktur tegakan.
Tegakan biasanya merupakan unit-unit pengelolaan yang membentuk hutan.
Dalam kehutanan tegakan merupakan unit yang agak homogen dan dapat dibedakan
dengan jelas dari tegakan di sekitarnya oleh umur, komposisi, struktur, tempat
tumbuh atau geografi. Struktur tegakan menunjukkan sebaran umur dan atau kelas
diameter, serta kelas tajuk (Daniel et al. 1979), sedangkan menurut Mueller-Dombois
dan Ellenberg (1974 a), struktur tegakan adalah distribusi secara numerik individu-
individu dari jenis pohon yang memiliki ukuran yang berbeda. Jika individu-individu
dari penyusun jenis dianalisa dengan cara seperti ini, maka dinamakan analisis
struktur populasi. Selanjutnya jika kurva struktur populasi dari seluruh jenis di dalam
tegakan yang sama dibandingkan satu sama lain maka dinamakan analisis struktur
tegakan atau analisis struktur komunitas.
Barbour et al. (1987) mengatakan bahwa suatu hutan yang memiliki tahap
pertumbuhan klimaks memiliki rasio yang konstan antara jumlah pohon dengan kelas
diameter, dan jika ditampilkan dalam bentuk kurva akan membentuk kurva J terbalik.
Hal ini menunjukkan bahwa jumlah pohon per satuan luas pada tingkat semai,
pancang, tiang dan pohon berturut-turut semakin sedikit sehingga permudaan yang
ada mampu mendukung kekosongan dari stadium pertumbuhan yang telah lanjut.
Fisiognomi vegetasi adalah kombinasi dari kenampakan luar vegetasi, yang
merupakan struktur vertikal dan bentuk tumbuh-tumbuhan dominan. Struktur
vertikal vegetasi merujuk pada ketinggian dan penutupan kanopi dari lapisan
tumbuhan yang menyusun komunitas tumbuhan (Barbour et al. 1987), sedangkan
kanopi bermakna lapisan tajuk pepohonan yang kurang lebih kontinu pada ketinggian
yang sama. Kanopi hutan hujan tropis dipandang berlapis atau tersusun dalam strata
atau stratifikasi, dan formasi hutan yang berbeda memiliki jumlah strata yang berbeda
(Richards 1971 ).
Selanjutnya strata adalah lapisan vegetasi yang mencakup seluruh bentuk
hidup yang terdapat di dalamnya. Tumbuh-tumbuhan dikelompokkan ke dalam strata
tertentu berdasarkan posisi dominansinya atau berdasarkan ketinggian di dalam
tegakan, dan bukan berdasarkan taksonomi atau bentuk hidup tumbuhan tersebut pada
saat dewasa. Konsekuensinya, tumbuhan pohon dapat memiliki beberapa strata
seperti anakan dan belta. Pada lingkungan darat, strata tumbuhan jika dalam keadaan
lengkap akan tersusun atas pohon, semak, belukar dan lumut (Jenning et al. 2002 ).
Stratifikasi seringkali digunakan untuk menunjukkan pelapisan yang
terbentuk dari tinggi total seluruh pohon, kadang-kadang juga disebut dengan lapisan
tajuk pohon (Whitmore 1986). Richards (1964 ) mengelompokkan strata tumbuhan
di hutan hujan tropis sebagai berikut : (1) Strata A, juga sering disebut lapisan
mencuat yang merupakan lapisan tajuk paling atas, susunan tajuk kontinyu atau
merata dengan tajuk-tajuk pohon yang umumnya berbentuk payung, (2) Strata B,
yang merupakan lapisan tajuk bagian atas namun letaknya di bawah lapisan tajuk
strata A, lapisan ini umumnya memiliki tajuk berbentuk kerucut atau berbentuk
payung, (3) Strata C, merupakan lapisan tajuk bagian tengah, bentuk tajuk pohon
umumnya meruncing atau berbentuk kerucut, terdiri dari pohon yang bersifat sangat
toleran, (4) Strata D, yang merupakan susunan tajuk di bagian bawah, tersusun atas
tajuk dari semak belukar, dan (5) Strata E, yang merupakan lapisan tajuk dari
tumbuhan bawah.
Terdapat tiga pola dasar distribusi tumbuhan di alam, yaitu acak,
mengelompok dan regular, dan yang paling sering ditemukan adalah pola
mengelompok. Hal ini disebabkan karena biji dan permudaan vegetatif cenderung
untuk berkonsentrasi dekat tumbuhan induk dan lingkungan mikro dekat tumbuhan
induk lebih sesuai dengan kebutuhan (Barbour et al. 1987).
Secara biologis keanekaragaman jenis adalah ukuran heterogenitas populasi
suatu komunitas (Hunter 1999 ). Keanekaragaman merupakan kombinasi antara
kekayaan jenis dan kemerataan jenis. Kekayaan jenis adalah jumlah jenis dalam
suatu area pengamatan. Setiap jenis tumbuhan umumnya tidak mempunyai jumlah
individu sama. Distribusi individu diantara jenis disebut kemerataan jenis. Makin
tinggi jumlah dan kemerataan jenis makin tinggi pula keanekaragaman jenis (Barnes
et al. 1980). Secara umum terdapat gradien kenaikan keanekaragaman dari daerah
kutub ke ekuator dan dari daerah ketinggian rendah ke yang lebih tinggi (Begon et al.
1990).
Indeks yang menggabungkan antara kekayaan jenis dengan kemerataan jenis
disebut indeks Keanekaragaman (Ludwig dan Reynold 1988 ). Selanjutnya Cox
(2002) mengatakan bahwa indeks keanekaragaman dapat digunakan untuk
membandingkan data komposisi komunitas dari sumber yang berbeda. Perbedaan
sumber tersebut antara lain perbedaan suksesi, perbedaan habitat, dan perbedaan
waktu.
D. Ordinasi dan Analisis Faktor
Menurut Clark (1984), ordinasi merupakan istilah gabungan untuk teknik-
teknik multivariat yang sesuai untuk kelompok-kelompok data multidimensi dan hasil
yang diperoleh dapat diproyeksikan ke dalam bentuk dua dimensi, sehingga pola-pola
bawaan yang dimiliki oleh data yang dikaji akan nampak secara visual (Clark 1984;
Mueller-Dombois dan Ellenberg 1974a). Melalui ordinasi, maka memungkinkan
untuk menunjukkan tegakan vegetasi dalam bentuk geometrik sedemikian rupa
sehingga tegakan yang paling serupa berdasarkan komposisi jenis beserta
kemelimpahannya akan mempunyai posisi yang saling berdekatan sedang tegakan-
tegakan lainnya yang berbeda muncul saling berjauhan (Mueller-Dombois dan
Ellenberg 1974a). Barbour et al. (1987) dan Clark (1984) mengatakan bahwa pada
dasarnya, ordinasi bertujuan untuk meringkas data menjadi lebih sederhana,
menghemat ruang, mudah dibaca dan kemudian dapat digunakan untuk menjelaskan
hubungan antara pola-pola komposisi jenis dengan gradasi lingkungan yang ada yang
mempengaruhi pola-pola tersebut.
Tujuan dari ordinasi adalah untuk membantu peneliti menemukan pola-pola
dalam seperangkat data yang terlalu rumit untuk diinterpretasi. Teknik ordinasi yang
baik akan sanggup mengidentifikasi dimensi-dimensi yang paling penting dalam
suatu perangkat data, dan mengabaikan gangguan dalam rangka memperlihatkan
pola-pola ini. Namun demikian, seharusnya ordinasi tidak digunakan di dalam
pengkajian yang dituntun oleh hipotesis. Ordinasi dapat dipandang sebagai alat untuk
mengeksplorasi. Dengan demikian, analisis post-hoct dapat diterima, dan banyak
teknik yang berbeda dapat diterapkan pada perangkat data yang sama. Tidak ada
hipotesis nol yang dapat ditolak, demikian juga nilai p untuk menguji signifikasi
secara statistik. Ketika nilai p (p-value/probabilitas p) diusulkan, maka ia hanya
dapat digunakan sebagai tuntunan yang kasar atau indikator dari proses-proses yang
ada yang memiliki kemungkinan menjelaskan pola-pola komunitas (Clark 1984).
Menurut Greig-Smith (1983), analisis faktor adalah salah satu metode statistik
multivariat yang sering digunakan dalam ordinasi. Hardjodipuro (1985),
menyatakan bahwa analisis faktor adalah istilah umum untuk sejumlah teknik
matematik dan statistik yang berbeda tapi berhubungan, yang dirancang untuk
meneliti sifat hubungan-hubungan antara variabel-variabel dalam perangkat tertentu.
Masalah dasarnya adalah menentukan apakah variabel-variabel n dalam suatu
perangkat menunjukkan pola hubungan satu sama lain, sehingga perangkat tersebut
dapat dipecah menjadi sub-perangkat m, yang masing-masing terdiri dari sekelompok
variabel yang cenderung lebih berhubungan satu dengan yang lain dalam sub-
perangkat daripada dengan variabel lain dari sub-perangkat yang beda.
E. Ekosistem Pegunungan Di Kawasan Tropis
Ekosistem pegunungan adalah kawasan dengan ketinggian di atas 250 m di
atas muka laut yang pengelolaannya memerlukan perlakuan khusus untuk
perlindungan sistem tata air, bencana longsor dan erosi, pembatasan teknik budidaya,
dan perlindungan ekosistem (Haeruman 2002). Ekosistem pegunungan di Indonesia
merupakan kawasan yang memiliki karakteristik yang khas, ditandai oleh ketinggian
dari muka laut yang besar yang memberikan suhu yang sejuk, lereng yang curam,
curah hujan yang relatif besar, dan rawan bencana terutama longsor, dan bencana
gunung api.
Kawasan tropis pegunungan tersebar berdasarkan lintang terbatas pada
kawasan tropis, yang meliputi wilayah katulistiwa dan meluas ke utara sampai garis
balik utara dan ke selatan sampai garis balik selatan. Hutan tropis pegunungan
ditemukan pada ketinggian antara 500 m sampai dengan 4000 m dpl, dan sebagian
besar terletak pada kisaran ketinggian antara 1500 m dpl sampai dengan 2800 m dpl.
Namun pada daerah kepulauan di daerah tropis, misalnya di kepulauan Karibia, hutan
tropis pegunungan telah dapat ditemukan pada ketinggian 300 m dpl (Kappelle 2004).
Sekitar 3,4 % dari permukaan bumi di daerah tropis adalah kawasan pegunungan
(UNEP 2003 ).
Zonasi di kawasan pegunungan terkait dengan penyebaran tumbuhan dan pada
gilirannya terkait dengan perubahan kondisi lingkungan terutama iklim yang terdapat
di sepanjang pegunungan. Semakin tinggi kondisi suatu daerah, kondisi iklim
menjadi semakin tidak bersahabat terhadap mahluk hidup, dan dalam kaitannya
dengan tumbuhan akan ditemukan perubahan struktur dan komposisi seiring dengan
perubahan ketinggian (UNEP 2003 ).
Setiap kenaikan 100 m dpl penurunan suhu udara yang terjadi adalah sekitar
0,6º C namun penurunan ini juga tergantung pada faktor-faktor seperti penutupan
oleh awan, waktu dan kandungan uap air yang terdapat di udara. Selanjutnya dengan
bertambahnya ketinggian, maka tekanan udara semakin menurun dan kandungan O2
semakin tipis (Osborne 2000 ). Pada ketinggian 1500 m dpl tekanan parsial O2 hanya
84 % dari yang ada pada ketinggian sama dengan permukaan laut, turun sampai
hanya 75 % pada ketinggian 2500 m dpl, dan menjadi hanya 65 % pada ketinggian
3500 m dpl (dengan variasi yang kecil pada daerah lintang dan musim yang berbeda)
(Mountain Watch 2000). Keterdedahan terhadap tiupan angin dan cahaya ultra violet
semakin meningkat (Osborne 2000 ). Laju fotosintesis tumbuhan menurun, juga laju
transpirasi (Kappelle 2004).
Perubahan dari hutan tropis dataran rendah menjadi hutan tropis sub
pegunungan nampaknya sangat banyak dipengaruhi oleh suhu udara, dimana saat
suhu udara turun di bawah 18º C banyak spesies tumbuhan rendah digantikan oleh
tumbuhan pegunungan yang secara floristik berbeda. Pada pegunungan daratan di
daerah tropis ini biasanya ditemukan pada ketinggian 1200–1500 dpl (Bruijnzeel
2001), bahkan menurut Steenis (1972) kawasan ini telah ditemukan pada kisaran
ketinggian 1000–1500 m dpl.
Bruijnzeel (2001) mengemukakan bahwa perbedaan struktur, fisiognomi dan
komposisi hutan dari hutan tropis dataran rendah ke hutan tropis sub pegunungan
bersifat gradual dimana tinggi pohon semakin berkurang. Pohon-pohon mencuat
yang besar dan ditemukan melimpah pada hutan tropis dataran rendah menjadi sangat
sedikit pada hutan sub pegunungan. Menurut Whitmore (1986), penyusutan ini
menyebabkan strata pepohonan pada hutan tropis dataran rendah yang terdiri atas tiga
lapis, menjadi dua lapis. Hanya sedikit pepohonan yang memiliki banir, dan jika ada,
ukurannya kecil. Tumbuhan liana berkayu berukuran besar juga jarang ditemukan.
Sementara itu tumbuhan epifit seperti anggrek jauh lebih melimpah (Whitten et al.
1999).
Tipe hutan sub pegunungan tropis digantikan oleh tipe hutan pegunungan
pada ketinggian dimana penutupan oleh awan berlangsung terus menerus. Pada
pegunungan-pegunungan besar, kisaran ketinggian hutan tropis pegunungan adalah
2000-3000 m dpl. Perbedaan ketinggian pohon yang jelas akan ditemukan antara
hutan tropis sub pegunungan dengan hutan tropis pegunungan dimana pada hutan sub
pegunungan ketinggian pepohonan relatif masih tinggi, berkisar antara 15-35 m dan
pada hutan tropis pegunungan hanya berkisar 2-30 m dan tertutup 70-80% oleh lumut
(Bruijnzeel 2001), dan pada hutan ini epifit jenis anggrek semakin berkurang dan
digantikan oleh jenis paku-pakuan transparan. Ukuran pohon lebih kecil dan kanopi
menjadi lebih seragam (Whitmore 1986).
Di atas kawasan yang selalu tertutup awan, curah hujan berkurang dengan
drastis. Karakter lingkungan menjadi kering dan hutan menjadi semakin terbuka
(Walter 1971) dan pepohonan sangat kerdil dengan ketinggian berkisar antara 1,5 –9
m. Menurut Bruijnzeel (2001), pada kawasan ini tumbuhan epifit tidak ditemukan
sama sekali dan kelimpahan lumut sangat besar. Kawasan ini adalah kawasan hutan
sub-alphin dan ditemukan pada kisaran ketinggian 2800–3200 m dpl.
Zonasi umum perubahan komposisi jenis berdasarkan ketinggian di kawasan
Malesia (kawasan ini mencakup semenanjung Malaysia, Brunei, Singapura, Filipina,
Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua Nugini) yang dikaji oleh Steenis
(1972) adalah sebagai berikut :
1–1000 m dpl adalah hutan hujan tropis dimana pada ketinggian 500–1000 m dpl
juga disebut zona Collin, 1000–1500 m dpl merupakan hutan sub pegunungan, 1600–
2400 m dpl merupakan hutan pegunungan, 2500–4000 m dpl merupakan hutan sub-
alphin, 4100–4500 m dpl merupakan zone alphin, dan ketinggian di atas 4600 m dpl
merupakan zone nival. Zonasi ini tidak dengan sendirinya sama di semua kawasan,
tapi terdapat perbedaan-perbedaan yang antara lain disebabkan oleh massa dan
ketinggian pegunungan, jarak dari laut, dan kondisi iklim.
F. Pengelolaan Mintakat Taman Nasional
Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam baik daratan maupun
perairan yang mempunyai ekosistem asli, dikelola dengan sistem zonasi yang
dimanfaatkan untuk tujuan penelitian, ilmu pengetahun, pendidikan, menunjang
budidaya, budaya, pariwisata dan rekreasi (Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990
Pasal 1 ayat 14). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 68 Tahun 1998 tentang
Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, Pasal 30 ayat (2) menetapkan
pengelolaan taman nasional didasarkan sistem zonasi (mintakat) yang terdiri dari
zona inti, zona pemanfaatan, zona rimba dan atau zona lainnya. Lebih lanjut
pengelolaan mintakat taman nasional diatur oleh Peraturan Menteri Kehutanan
Nomor P.56/Menhut-II/2006 tentang Pedoman Zonasi Taman Nasional.
Zonasi taman nasional adalah suatu proses pengaturan ruang dalam taman
nasional menjadi zona-zona, yang mencakup kegiatan tahap persiapan, pengumpulan
dan analisis data, penyusunan draft rancangan zonasi, konsultasi publik, perancangan,
tata batas dan penetapan, dengan mempertimbangkan kajian-kajian dari aspek-aspek
ekologis, sosial, ekonomi dan budaya masyarakat (Pasal 1 ayat (1) dan (2) Peraturan
Menhut No.P.56/Menhut-II/2006). Masing-masing zona dalam setiap kawasan taman
nasional dapat lebih dari satu tergantung pada potensi kawasan, kondisi kawasan,
sosial ekonomi dan budaya masyarakat sekitar taman nasional.
Menurut Ditjen PHKA (2005), dalam Taman Nasional dapat dilakukan
kegiatan :
a. Inventarisasi dan identifikasi potensi kawasan
b. Pemantapan kawasan, meliputi : (1) Pengukuhan status kawasan setelah adanya
penunjukan, yaitu penataan batas, dan proses penetapan status dan fungsi
kawasan; (2) Pemeliharaan batas fisik kawasan termasuk rekonstruksi batas; (3)
Penataan kawasan ke dalam zona; dan (4) Pengkajian bagian kawasan taman
nasional yang kondisinya dan/atau pemanfaatannya tidak sesuai dengan tujuan
penetapannya.
c. Pemeliharaan kawasan dan potensinya
d. Pemanfaatan, antara lain untuk : (1) Pendidikan dan penelitian; (2) Penyediaan
plasma nutfah untuk penunjang budidaya; (3) Pemakaian kawasan sebagai tempat
pengkayaan dan penangkaran jenis untuk kepentingan penelitian, pembinaan
habitat dan populasi, dan rehabilitasi kawasan; dan (4) Jasa lingkungan.
e. Pemulihan kawasan dan potensinya. Pemulihan dapat dilakukan dalam taman
nasional setelah didahului dengan pengkajian yang sangat seksama. Kegiatan
pemulihan dilakukan antara lain melalui kegiatan : (1) Pembinaan habitat dan/atau
pembinaan populasi; (2) Rehabilitasi dengan jenis tumbuhan asli; (3) Reintroduksi
jenis satwa sejenis dan asli; dan (4) Pengendalian dan/atau pemusnahan jenis
tumbuhan dan/atau satwa yang tidak asli yang diidentifikasi telah dan akan
mengganggu ekosistem kawasan.
f. Perlindungan dan pengamanan kawasan
g. Pengembangan sarana dan prasarana
h. Monitoring dan evaluasi
Taman Nasional Gunung Halimun Salak yang memiliki beberapa kelompok
hutan lindung dan gunung berpotensi memiliki lebih dari satu zona inti, zona rimba,
zona pemanfaatan ataupun zona lain. Dengan adanya perluasan kawasan Gunung
Salak dan Gunung Endut yang memiliki keanekaragaman hayati dan nir hayati yang
tinggi, perencanaan TNGHS perlu dibuat sebaik mungkin agar tujuan penetapan
taman nasional tersebut dapat dicapai.