KONSEP PENDIDIKAN ANAK MENURUT JAMAL ABDURRAHMAN...
Transcript of KONSEP PENDIDIKAN ANAK MENURUT JAMAL ABDURRAHMAN...
KONSEP PENDIDIKAN ANAK MENURUT JAMAL
ABDURRAHMAN DALAM KITAB ATHFAL AL-MUSLIMIN
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan untuk Memenuhi Salah
Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd)
Oleh:
Tasya Annisa
NIM. 11150110000054
JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN
UNNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2020
i
ABSTRAK
Tasya Annisa (NIM: 11150110000054). Konsep Pendidikan Anak Menurut
Jamal Abdurrahman Dalam Kitab Athfal Al-Muslimin. Skripsi Jurusan
Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2020.
Mendidik dan memberikan tuntunan merupakan sebaik-baik hadiah dan perhiasan
paling indah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya dengan nilai yang
jauh lebih baik daripada dunia dan segala isinya. Akan tetapi, pelaksanaan
pendidikan dalam bentuk apapun harus dilandasi filsafat dan teori pendidikan,
termasuk dalam praktik pendidikan anak usia dini. Kemudian tujuan pendidikan
anak dalam Islam adalah untuk meningkatkan potensi spiritual anak agar menjadi
manusia yang berakhlak mulia, beriman, dan bertakwa kepada Allah SWT.
Adapun aspek-aspek dalam konsep pendidikan anak di antaranya adalah materi
pendidikan anak dalam Islam, metode pendidikan anak dalam Islam, dan evaluasi
pendidikan anak Islam. Jenis penelitian ini adalah studi kepustakaan (Library
Research) yaitu menganalisa data yang telah diperoleh melalui surat kabar, jurnal
pendidikan anak, buku-buku tentang pendidikan anak dalam keluarga yang
mengedepankan kasih sayang serta kitab Athfal Al-Muslimin karangan Jamal
Abdurrahman, beliau adalah seorang da‟i yang dilahirkan di Mesir tahun 1969 M.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa mendidik anak dengan cara kekerasan akan
tidak efektif. Dilihat dari kacamata pendidikan Islam, pendidikan dengan
kekerasan bukanlah pendidikan yang dianjurkan oleh Allah SWT dan Rasulullah
SAW. Pendidikan melalui kekerasan dapat dikategorikan menjadi dua yaitu
kekerasan verbal dan kekerasan non verbal (kekerasan fisik). Konsep pendidikan
anak tanpa kekerasan dapat memahami arti anak sesungguhnya dan mencintainya
karena Allah SWT, selalu mendo‟akan kebaikan anak, mendidik dengan
keteladanan, menasihati melalui perkataan yang baik, menjalin komunikasi yang
baik antara orang tua dan anak, tidak membedakan jenis kelamin, hargai perilaku
baik anak. Dampak pendidikan anak dengan kekerasan bagi anak di antaranya:
anak menjadi depresi, berbohong takut dimarahi, mencoba berontak, menurunkan
tingkat kecerdasan, trauma yang berlanjut, menyebabkan anak menjadi durhaka
ii
ABSTRACT
Tasya Annisa (NIM: 11150110000054). The Concept of Children's Education
According to Jamal Abdurrahman in the Book of Athfal Al-Muslimin. Thesis
of the Department of Islamic Education, Faculty of Tarbiyah and Teaching UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta, 2020.
Educating and giving guidance is the best gift and most beautiful jewelery given
by parents to their children with a value far better than the world and everything
in it. However, the implementation of education in any form must be based on
philosophy and theory of education, including in the practice of early childhood
education. Then the purpose of children's education in Islam is to increase the
spiritual potential of children to become human beings who have noble character,
have faith, and are devoted to Allah SWT. The aspects of the concept of child
education include child education material in Islam, the method of child education
in Islam, and evaluation of Islamic education for children. This type of research is
a library study (Library Research) that analyzes data that has been obtained
through newspapers, children's education journals, books on children's education
in the family that emphasizes compassion and the book Athfal Al-Muslimin
written by Jamal Abdurrahman.
The results showed that educating children in a violent way would be ineffective.
Viewed from the perspective of Islamic education, education with violence is not
education that is recommended by Allah SWT and Rasulullah SAW. Education
through violence can be categorized into two namely verbal violence and non
verbal violence (physical violence). The concept of education of children without
violence can understand the true meaning of children and love them because Allah
SWT, always pray for the goodness of children, educate by example, advise
through good words, establish good communication between parents and children,
do not distinguish between sexes, respect behavior good boy. The impact of
children's education on violence for children include: children become depressed,
lie afraid of being scolded, try to rebel, reduce the level of intelligence, the trauma
continues, causing children to become seditious.
iii
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmaanirrahiim..
Alhamdulillahirabbil „Aalamiin, Maha Suci Allah dengan keagungan dan
kebesaran-Nya, segala puji syukur hanya tercurahkan kepada-Nya yang telah
melimpahkan rahmat, hidayah, taufiq, serta inayah-Nya, sehingga atas ridha-
Nyalah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini, walaupun belum mencapai pada
kesempurnaan. Namun, dengan harapan hati kecil semoga dapat bermanfaat.
Shalawat beriringkan salam penulis curahkan kepada Nabi besar Muhammad
SAW yang syafaatnya selalu didambakan kelak di hari akhir, yang menjadi
cahaya di atas cahaya bagi seluruh alam, beserta keluarga, sahabat, dan
pengikutnya yang setia.
Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Yudhi Munadi, M.Ag
sebagai dosen Pembimbing Skripsi yang telah memberikan banyak sekali ilmu
dan arahan, kepada orang tua dan keluarga yang senantiasa memberikan do‟a
tiada henti dan dukungan baik berupa materil maupun non materil, dan kepada
teman-teman yang senantiasa memberikan motivasi dan semangat agar skripsi
yang berjudul “Konsep Pendidikan Anak Menurut Jamal Abdurrahman
Dalam Kitab Athfal Al-Muslimin” dapat terselesaikan. Penulis menyelesaikan
skripsi ini sebagai satu syarat untuk mendapatkan gelar sarjana pendidikan
Program Studi Pendidikan Agama Islam, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan,
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini tidak mungkin dapat
terselesaikan apabila tidak ada bantuan dan peranan dari berbagai pihak. Pada
kesempatan ini, penulis ingin mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Prof. Dr. Amany Burhanuddin Umar Lubis, M.A, selaku Rektor
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Sururin, M.Ag, selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
iv
3. Drs. Abdul Haris, M.Ag, selaku Kepala Program Studi Pendidikan Agama
Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta.
4. Drs. Rusdi Jamil, M.Ag, selaku Sekretaris Program Studi Pendidikan
Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta.
5. Yudhi Munadi, M.Ag, selaku dosen pembimbing skripsi yang telah
meluangkan waktu, tenaga, dan pikirannya guna membimbing dalam
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
6. Marhamah Saleh, Lc. MA, sebagai dosen pembimbing akademik yang
telah memberikan segenap bimbingan, perhatian, nasihat, serta arahan.
7. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada segenap dosen Program
Studi Pendidikan Agama Islam atas ilmu pengetahuan dan pengalaman
hidup yang dengan ikhlas diajarkan serta diberikan kepada penulis.
8. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada seluruh rekan-rekan
Program Studi Pendidikan Agama Islam Angkatan 2015 Fakultas Ilmu
Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
banyak memberikan semangat, dukungan dan motivasi kepada penulis.
9. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada sahabat-sahabat tercinta
Dewi Nasihatul Aulia, Ahmad Jalaluddin, Siti Hana Muchlisah, Rizky Tria
Amanda, Siti Nurholipah, dan Atik Nuratikah yang sangat serta
memberikan motivasi, semangat dan bantuan kepada penulis selama
penyusunan skripsi ini.
10. Ucapan terima kasih juga saya sampaikan kepada kakanda tercinta
Mohammad Ilman Hakim dan kaka ipar tersayang Ida Farida yang selalu
memberikan do‟a, dukungan, serta motivasi kepada penulis.
11. Akhirnya, secara khusus lagi saya mengucapkan terima kasih dan
penghargaan yang setinggi-tingginya kepada ayahanda dan ibunda
tercinta, yang tiada henti-hentinya memberikan do‟a, dukungan, dan
motivasi kepada penulis.
v
Atas semua kontribusi yang tidak dapat disebutkan satu persatu terima
kasih penulis haturkan. Penulis hanya bisa berdo‟a semoga kita semua selalu
diberi rahmat, hidayah, dan keberkahan hidup dunia dan akhirat. Dan untuk
semua yang telah membantu, penulis amat sangat berterima kasih atas segala
kebaikannya. Semoga Allah SWT memberikan pahala yang setimpal dan
senantiasa meridhai amal usaha kita. Aamiin Allahumma Aamiin Yaa
Rabbal‟aalamiin.
Jakarta, 27 November 2019
Penulis
Tasya Annisa
vi
vi
DAFTAR ISI
ABSTRAK .............................................................................................................. i
ABSTRACT ........................................................................................................... ii
KATA PENGANTAR .......................................................................................... iii
DAFTAR ISI ......................................................................................................... vi
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
A. Latar Belakang .............................................................................................. 1 B. Identifikasi Masalah ...................................................................................... 6 C. Pembatasan Masalah ..................................................................................... 6
D. Rumusan Masalah ......................................................................................... 6 E. Tujuan Penelitian .......................................................................................... 7 F. Manfaat Penelitian ........................................................................................ 8
BAB II KAJIAN TEORITIK ............................................................................... 9
A. Landasan Filosofi Pendidikan Anak ............................................................. 9 1. Pengertian Landasan Filosofi Pendidikan ........................................ 9
2. Landasan Filosofi Pendidikan Anak .............................................. 10
B. Pengertian Pendidikan Anak Dalam Islam .................................................. 12
C. Tujuan Pendidikan Anak Dalam Islam........................................................ 19
1. Tujuan Intelektual atau Keilmuan .................................................. 19
2. Tujuan Moral .................................................................................. 19
3. Tujuan Agamis ............................................................................... 20
D. Materi Pendidikan Anak Dalam Islam ........................................................ 21
1. Pendidikan Iman ............................................................................ 21
2. Pendidikan Moral .......................................................................... 22
3. Pendidikan Fisik (Jasmani) ........................................................... 23
4. Pendidikan Rasio (Akal) ................................................................ 24
5. Pendidikan Psikologi (Kejiwaan) ................................................... 25
6. Pendidikan Sosial ........................................................................... 27
7. Pendidikan Seksual ........................................................................ 28
E. Metode Pendidikan Anak Dalam Islam ..................................................... 29
1. Pendidikan Keteladanan ................................................................ 30
2. Pendidikan Adat Kebiasaan .......................................................... 32
3. Pendidikan Nasihat........................................................................ 32
4. Pendidikan Dengan Perhatian dan Pengawasan ............................ 36
5. Pendidikan Dengan Memberikan Hukuman ................................. 37
F. Evaluasi Pendidikan Anak Dalam Islam ................................................... 38
1. Teks Ayat dan Terjemahan ........................................................... 38
2. Tafsir ............................................................................................. 38
vii
3. Relevansinya Dengan Evaluasi Pendidikan Anak ........................ 40
C. Hasil Penelitian Relevan ............................................................................ 41
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ......................................................... 43
A. Waktu Penelitian ...................................................................................... 43
B. Metode Penelitian ................................................................................... 43
C. Fokus Penelitian ..................................................................................... 44
D. Prosedur Penelitian ................................................................................. 44
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ................................... 46
A. Biografi Jamal Abdurrahman ................................................................. 46
B. Konsep Pendidikan Tanpa Kekerasan Menurut Jamal Abdurrahman .... 47
C. Temuan Hasil Analisis Kritis Komparatif .............................................. 61
BAB V PENUTUP ............................................................................................... 62
A. Kesimpulan ............................................................................................. 62
B. Saran ....................................................................................................... 63
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................... 64
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan hasil
pengawasan kasus pelanggaran anak di bidang pendidikan selama Januari
hingga April 2019. Ia mengatakan bahwa pelanggaran hak anak mayoritas
terjadi pada kasus perundungan, yaitu berupa kekerasan fisik, kekerasan
psikis dan kekerasan seksual.
Selain itu, berdasarkan pengaduan yang diterima oleh KPAI,
korban kekerasan psikis dan bullying masih tertinggi. Adapun anak korban
kebijakan dan kekerasan fisik berada di posisi kedua. Sementara kasus
terendah adalah korban pengeroyokan dan kekerasan seksual.
Berdasarkan jenjang pendidikan, mayoritas kasus terjadi di jenjang
sekolah dasar (SD). Dari 37 kasus kekerasan di jenjang pendidikan pada
Januari hingga April 2019, 25 kasus terjadi di SD mencapai 67 persen.
Jenjang SMP sebanyak 5 kasus, SMA sebanyak 6 kasus, dan perguruan
tinggi sebanyak 1 kasus. Ketua KPAI Susanto menyatakan bahwa kasus
kekerasan tidak hanya didominasi di usia SD namun memiliki peluang
yang sama setiap jenjang. Adapun menurut Susanto, kasus anak sebagai
pelaku kekerasan adalah akibat kurang perhatian dari orang tua.1
Bila cara pengelolaan anak yang sebelumnya itu salah, hal itu
disebabkan caranya terlalu keras dan akibatnya banyak generasi yang
terdiri dari penderita neurotik yang diliputi rasa bersalah dan penderita
psikotik. Mereka bisa menekan perasaan bersalah ke dalam batin mereka
sehingga mereka menjadi tidak yakin, merasa malu, dan membenci diri
sendiri, atau mereka bisa juga mengalihkan kesalahan mereka keluar diri
1 https://m.detik.com/news/berita/d-4532984/kpai-angka-kekerasan-pada-anak-januari-
april-2019-masih-tinggi?. Diakses pada tanggal 02 Mei 2019.
2
mereka yaitu kepada orang lain dalam bentuk kemarahan, dan mereka
menjadi kejam, keras, dan terlampau kritis.2
Keluarga dan pendidikan adalah dua istilah yang tidak bisa
dipisahkan. Pendidikan jika ditelusuri lebih jauh adalah segala usaha orang
dewasa dalam pergaulannya dengan anak-anak untuk memimpin
perkembangan jasmani dan rohaninya ke arah kedewasaan. Dalam konteks
keluarga, maka “orang dewasa” yang dimaksud di sini adalah orang tua
(ayah dan ibu) yang secara sadar mendidik anak-anaknya untuk mencapai
kedewasaan. Sebagai lembaga pendidikan, maka pendidikan yang
berlangsung dalam keluarga bersifat kodrati karena adanya hubungan
darah antara orang tua dan anak.3
Mendidik anak dan mengajar anak bukan merupakan hal mudah.
Bukan pekerjaan yang dapat dilakukan secara serampangan. Dan bukan
pula hal yang bersifat sampingan. Mendidik dan mengajar anak sama
kedudukannya dengan kebutuhan pokok dan kewajiban yang harus
dipenuhi oleh setiap muslim yang mengaku dirinya memeluk agama yang
hanif ini, bahkan mendidik dan mengajar anak merupakan tugas yang
harus dan mesti dilakukan oleh setiap orang tua. Karena perintah
mengenalnya datang dari Allah sebagaimana pengertian yang tersimpulkan
dari makna firman-Nya:
قىدها ااوفسكم واهليكم واراو الىاس يايهاالذيه امىىاقى
ۃ والحجار
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan
keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan
batu.” (QS. At-Tahrim: 6)
Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu
lingkungan dan hubungan (Thompson, 2006). Pengalaman mereka
2 Paul Hauck, Mendidik Anak dengan Berhasil, (Jakarta: Arcan, 1993), Cet. Ke-5, h. 1-2.
3 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluraga,
(Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014), h. 2-3.
3
sepanjang waktu bersama orang-orang yang mengenal mereka dengan
baik, serta berbagai karakteristik dan kecenderungan yang mulai mereka
pahami merupakan hal-hal pokok yang mempengaruhi perkembangan
konsep dan kepribadian sosial mereka.4
Dengan demikian, berarti tugas mengajar, mendidik, dan
memberikan tuntunan sama artinya dengan upaya meraih surga.
Sebaliknya, menelantarkan hal tersebut berarti sama dengan
menjerumuskan diri ke dalam neraka. Jadi, kita tidak boleh melalaikan
tugas ini. Terlebih lagi Nabi telah bersabda:
أكزمىا أبىائكم و أحسىىا أدبهم
“Muliakanlah anak-anakmu dan didiklah dengan baik.” (Hadits
diketengahkan oleh Ibnu Majjah 2/1211, tetapi Al-Albani menilainya
dhaif).
Mendidik dan memberikan tuntunan merupakan sebaik-baik hadiah
dan perhiasan paling indah yang diberikan oleh orang tua kepada anaknya
dengan nilai yang jauh lebih baik daripada dunia dan segala isinya.
Jika seorang anak diperlakukan oleh orang tuanya dengan kasar,
dididik dengan kekerasan atau tertuju pada suatu hinaan. Hal ini akan
menumbuhkan akhlak buruk bagi anak, bahkan akan mengakibatkan
seorang anak berani untuk membunuh orang tuanya atau pergi
meninggalkan rumah untuk menyelamatkan diri dari perlakuan orang tua
yang mendidiknya secara kasar.
Mendidik anak hendaknya dengan penuh kasih sayang, dengan
menyadari kembali bahwa anak adalah amanah Allah SWT, yang harus
dipertanggung jawabkan di akhir masa kehidupan setiap orang tua.
“Orang tua dan keluarga boleh saja tidak memiliki harta
melimpah, tetapi mereka tidak boleh kehilangan cinta dan
kasih sayang terhadap anak. Sebab, cinta dan kasih sayang
4 Sri Lestari, Psikologi Keluarga, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), Cet.
Ke-1, h.16.
4
adalah kebutuhan elementer yang mutlak harus diperoleh
seorang anak pada masa tumbuh kembang.”5
Seorang pendidik terutama orang tua harus memiliki sifat lemah
lembut dan kasih sayang agar seorang anak tumbuh menjadi anak yang
baik karena mendapatkan perlakuan dan pendidikan yang baik dari orang
tuanya.
Abdullah Nashih Ulwan mengatakan:
Islam telah memerintahkan pada setiap orang yang mempunyai
tanggung jawab pendidikan terutama bapak dan ibu untuk memiliki akhlak
luhur. Sikap lemah lembut dan perlakuan kasih sayang sehingga anak akan
tumbuh secara istiqamah terdidik untuk berani dan berdiri sendiri,
kemudian merasa bahwa mreka mempunyai harga diri, penghormatan dan
kemuliaan.6
Sesungguhnya masa kanak-kanak merupakan fase yang paling
subur, paling panjang, dan paling dominan bagi seorang pendidik untuk
menanamkan norma-norma yang mapan dan arahan yang bersih ke dalam
jiwa dan sepak terjang anak-anak didiknya. Berbagai kesempatan terbuka
lebar untuk sang murabbi dan semua potensi tersedia secara berlimpah
dalam fase ini dengan adanya fitrah yang bersih, masa kanak-kanak yang
masih lugu, kepolosan yang begitu jernih, kelembutan dan kelenturan
jasmaninya, kalbu yang masih belum tercemari, dan jiwa yang masih
belum terkontaminasi.
Apabila masa ini dapat dimanfaatkan seorang murabbi secara
maksimal dengan sebaik-baiknya, tentu harapan yang besar untuk berhasil
akan mudah diraih pada masa mendatang. Sehingga kelak sang anak akan
tumbuh menjadi seorang pemuda yang tahan dalam menghadapi berbagai
macam tantangan, beriman, kuat, kokoh, lagi tegar.
Para ulama mengatakan bahwa seorang anak adalah amanat bagi
kedua orang tuanya. Kalbunya yang masih suci bak permata yang begitu
5 Maria Ulfah Anshor dan Abdullah Gholib, Parenting With Love, (Bandung: PT Mizan
Pustaka, 2010), Cet. Ke. 1, h. 8. 6 Abdullah Nashih Ulwan, Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam, (Semarang: CV Asy
Syifa‟, 1091), Cet. 3, h. 123-124.
5
polos, bebas dari segala macam pahatan dan gambaran, dan lagi siap untuk
menerima setiap pahatan apapun serta selalu cenderung pada kebiasaan
yang diberikan kepadanya. Jika ia dibiasakan untuk melakukan kebaikan.
Niscaya ia akan tumbuh menjadi orang yang baik. Selanjutnya beroleh
kebahagiaan dunia dan akhiratlah kedua orang tuanya dan juga setiap
mu‟allim dan murabbi yang menangani pendidikan dan pengajarannya.
Sebaliknya, jika sang anak dibiasakan melakukan hal-hal yang buruk dan
ditelantarkan tanpa pendidikan dan pengajaran seperti hewan ternak yang
dilepaskan begitu saja dengan bebasnya, niscaya dia akan menjadi seorang
yang celaka dan binasa. Kalau sudah demikian kejadiannya, pihak yang
dipersalahkan dalam hal ini adalah orang-orang yang diserahi tanggung
jawab untuk mendidik dan mengjarinya, baik dia sebagai orang tua si anak
maupun walinya.
Menurut syaikh Jamal Abdurrahman pendidikan merupakan hal
yang sangat penting terlebih pendidikan pada masa awal anak akan
berpengaruh di kemudian harinya. Aspek-aspek pendidikan anak menurut
Jamal Abdurrahman adalah: (1) pendidikan anak usia 0-3 tahun, (2)
pendidikan anak usia 4-10 tahun, (3) pendidikan anak usia 10-14 tahun, (4)
pendidikan anak usia 15-18 tahun, (5) pendidikan anak usia pranikah. Oleh
karena itu, tahapan usia anak dalam hal ini perlu diperhatikan.
Dalam kitab athfal al-muslimin dijelaskan mengenai 120 sikap
metode pendidikan dan pengajaran yang dilakukan oleh Nabi SAW
terhadap anak-anak dalam segala tahapan jenjang usia mereka, sejak di
dalam kandungan hingga usia pranikah. Oleh karena itu, metode
pendidikan anak yang dilakukan oleh Nabi SAW dapat dijadikan sebagai
contoh atau suritauladan bagi para pendidik di zaman sekarang, karena
dunia saat ini sangat membutuhkan sistem pendidikan islami, yaitu sistem
pendidikan yang mengacu pada norma-norma idealisme, kerohanian,
akhlak, dan agama, sehingga dapat membuahkan generasi yang baik. Allah
Swt berfirman:
6
مىا الذيه امىى يايها ان واتقىاهللا ورسىله هللابيه يدي التقد
{١ الحجزات:} عليم سميع هللا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mendahului
Allah dan Rasul-Nya dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (QS. Al-Hujurat: 1)
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk
meneliti mengenai “Konsep Pendidikan Anak Menurut Jamal
Abdurrahman dalam Kitab Athfal Al-Muslimin”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas kiranya dapat diidentifikasi
beberapa masalah yang muncul, yang bila dikelompokkan menjadi dua
kelompok besar permasalahan yang berkaitan dengan penyimpangan
pendidikan anak yang terjadi di Indonesia dan peran serta tanggung jawab
keluarga dalam pendidikan anak, yang akan penulis uraikan sebagai
berikut:
a. Tentang penyimpangan pendidikan anak yang terjadi di Indonesia
1. Apakah yang menjadi penyebab terjadinya penyimpangan anak di
Indonesia?
2. Apakah orang tua berperan penting dalam pendidikan dan
pertumbuhan anak?
3. Bagaimana peran dan tanggung jawab orang tua dalam pendidikan
dan pertumbuhan anak?
b. Tentang peran dan tanggung jawab keluarga dalam pendidikan anak
1. Apa urgensi keluarga dalam pendidiikan anak?
2. Bagaimana peran dan tanggung jawab keluarga dalam pendidikan
anak?
7
C. Pembatasan Masalah
Setelah mengidentifikasi beberapa permasalahan seperti yang telah
penulis uraikan di atas, penulis tidak akan membahas seluruh
permasalahan tersebut, dengan demikian maka agar lebih jelas dan
memberi arahan yang tepat serta menghindari meluasnya pembahasan
dalam penelitian ini penulis akan membatasi pada satu permasalahan saja,
yaitu mengenai “Konsep Pendidikan Anak Menurut Jamal Abdurrahman
Di dalam Kitab Athfal al-Muslimin (Mendidik Tanpa Kekerasan)”.
D. Rumusan Masalah
Anak-anak menjalani proses tumbuh dan berkembang dalam suatu
lingkungan dan hubungan, pengalaman mereka sepanjang waktu bersama
orang-orang yang mengenal mereka dengan baik. Namun, jika seorang
anak diperlakukan oleh orang tuanya dengan kasar, dididik dengan
kekerasan atau tertuju pada suatu hinaan. Hal ini akan menumbuhkan
akhlak buruk bagi anak. Menurut syaikh Jamal Abdurrahman pendidikan
merupakan hal yang sangat penting terlebih pendidikan pada masa awal
anak akan berpengaruh di kemudian harinya.
Berdasarkan problem statement di atas maka penulis menarik
benang merah dan mengangkat beberapa pertanyaan, sebagai berikut:
A. Permasalahan utama yang akan dibahas: Bagaimana konsep
pendidikan anak (mendidik tanpa kekerasan) menurut Jamal
Abdurrahman dalam kitab Athfal al-Muslimin ?
B. Permasalahan pelengkap yang juga akan dibahas:
1. Bagaimana landasan filosofi pendidikan anak?
2. Bagiamana pengertian pendidikan anak dalam Islam?
3. Bagaimana tujuan pendidikan anak dalam Islam?
4. Bagaimana materi pendidikan anak?
5. Bagaimana metode pendidikan anak?
6. Bagaimana evaluasi pendidikan anak?
8
E. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui konsep pendidikan anak menurut Jamal
Abddurrahman dalam kitab Athfal al-Muslimin.
2. Untuk mengetahui landasan filosofi pendidikan anak.
3. Untuk mengetahui pengertian pendidikan anak dalam Islam.
4. Untuk mengetahui tujuan pendidikan anak dalam Islam.
5. Untuk mengetahui materi pendidikan anak.
6. Untuk mengetahui metode pendidikan anak.
7. Untuk mengetahui evaluasi pendidikan anak.
F. Manfaat Penelitian
1. Dapat memberikan kontribusi ilmu pengetahuan kepada penulis
khususnya dan kepada pembaca umumnya.
2. Dapat menambah khazanah pengetahuan penulis sebagai calon yang
mendalami lembaga Pendidikan Agama Islam.
3. Penelitian ini menjadi langkah awal dan dapat dikembangkan oleh
peneliti selanjutnya.
4. Dapat menjadi referensi bagi masyarakat umum tentang konsep
pendidikan anak.
9
9
BAB II
KAJIAN TEORITIK
A. Landasan Filosofi Pendidikan Anak
1. Pengertian Landasan Filosofi Pendidikan
Terdapat dua istilah yang perlu dikaji dalam rangka memahami
pengertian landasan pendidikan, yaitu istilah landasan dan istilah
pendidikan.7
Landasan. Istilah landasan diartikan sebagai dasar, alas, tumpuan,
dan fundasi. Mengacu pada pengertian tersebut, maka landasan adalah
suatu fundasi atau dasar dari pijakan maupun tempat berdirinya sesuatu
hal. Landasan terbagi ke dalam dua jenis berdasarkan sifat wujudnya, yaitu
(1) landasan yang bersifat materil, dan (2) landasan yang bersifat
konseptual. Contoh landasan bersifat materil adalah fundasi sebuah
bangunan. Dan contoh landasan bersifat konseptual adalah dasar Negara
Indonesia yaitu Pancasila dan UUD RI Tahun 1945; landasan pendidikan.8
Filosofis, berasal dari bahasa Yunani terdiri atas suku kata
philein/philos yang artinya cinta dan Sophos/Sophia yang artinya hikmah,
ilmu, kebijaksanaan, kebenaran. Secara maknawi filsafat diartikan sebagai
suatu pengetahuan yang mencoba untuk memahami hakikat segala sesuatu
dalam mencapai kebijaksanaan atau kebenaran. Kemudian masing-masing
filosof mempunyai karakteristik yang berbeda untuk menemukan dan
mencapai kebenaran tersebut. 9
Pendidikan, pendidikan bersifat normative dan harus dapat
dipertanggungjawabkan, karena hakikat pendidikan adalah memanusiakan
manusia (humanisasi) dan tujuan pendidikan adalah terbentukynya
manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan YME, berakhlak
muliah, sehat, cerdasm terampil. Dilaksanakannya pendidikan mengacu
7 Y. Suyitno, Landasan Filosofi Pendidikan, (Bandung: Departemen Pendidikan Nasional
Universitas Pendidikan Indonesia Fakultas Pendidikan, 2009), h. 1. 8 Ibid, h. 4-5.
9 Ibid, h. 5-6.
10
kepada suatu landasan yang kokoh, sehingga jelas tujuannya, tepat isi
kurikulumnya, serta efisien dan efektif langkah-langkah pelaksanaannya.
Oleh karena itu, pendidikan harus dilaksanakan secara bijaksana, dan tidak
patut dilaksanakan secara sembarang.10
2. Landasan Filosofi Pendidikan Anak
Pelaksanaan pendidikan dalam bentuk apapun harus dilandasi
filsafat dan teori pendidikan, termasuk dalam praktik pendidikan anak usia
dini. Sebab jika tidak, justru akan menjadikan pendidikan tanpa arah yang
jelas, tujuan yang tidak relevan dengan sifat, kebutuhan dan
perkembangan anak, justru dapat memberikan perlakuan yang salah
terhadap anak.
Filsafat pendidikan anak usia bertujuan untuk menelaah secara
teoritis awal mula terbentuknya pendidikan anak, serta mengugkap dan
menelaah kenyataan yang terjadi dalam proses pendidikan anak usia dini.
Karena pendidikan anak usia dini bertugas menstimulasi perkembangan
anak secara keseluruhan dan optimal melalui sentuhan-sentuhan yang baik.
Adapun berikut pandangan para filsuf mengenai Pendidikan Anak Usia
Dini, di antaranya:
a. Johan Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
Pestalozzi menghubungkan anak-anak dengan alam dan
kebebasan berkehendak, bereksplorasi dengan alam dan benda-benda
sekitar. Menurutnya pendidikan yang terpenting adalah untuk anak-
anak yang tidak mampu atau acact. Metode pengajaran Pestalozzi
didasarkan pada pandangan umum tentang pengetahuan yang harus
dimulai dari suatu pengertian, pengamatan dan hubungan dengan
alam. Semuanya merupakan pengalaman yang menggantikan kata-
kata atau buku. Oleh karena itu anak harus dibimbing oleh guru yang
memilikii perhatian penuh.11
10
Ibid, h. 6. 11
Stephanus Turibius Rahmat, Filsafat Pendidikan Anak Usia Dini, Volume 1. Nomor 1,
Juli 2018, h. 6.
11
Dari pemaparan pendapat Pestalozzi dapat disimpulkan
bahwasanya orang tua maupun pendidik sangat berperan dalam
mendidik anak dengan kasih sayang. Sebab kasih sayang sangat
membantu mengembangkan potensi anak secara teratur dan maju
setahap demi setahap. Karena pendidikan anak usia dini harus mampu
membentuk anak agar aktif mendidik dirinya serta menimbulkan
kepercayaan anak terhadap Tuhan.
b. Lev Semyonovich Vygotsky (1896-1934)
Vygotsky berpendapat bahwa cara belajar yang efektif melalui
praktik nyata (action). Anak akan lebih mudah memahami konsep
baru ketika mereka mencoba memecahkan suatu masalah dengan
objek konkret. Menurut Vygotsky ada empat prinsip umum belajar
pada anak:12
1) Anak mengkonstruksi pengetahuan akan lebih mudah bila tersedia
tools of mind (alat berpikir) yang bervariasi
2) Belajar terjadi dalam konteks sosial
3) Belajar mempengaruhi perkembangan mental
4) Bahasa memegang peranan penting dalam membantu
perkembangan mental anak
Dari pemaparan pendapat Vygotsky di atas dapat disimpulkan
bahwasanya pengetahuan akan mudah diperoleh anak melalui
interaksi sosial di lingkungannya, baik di rumah maupun sekolah.
c. Ki Hajar Dewantara
Ki Hajar Dewantara memandang anak sebagai kodrat alam yang
memiliki pembawaan yang khas serta kemerdekaan untuk berbuat serta
mengatur dirinya sendiri. Akan tetapi kemerdekaan yang dimiliki anak
sangat relative karena dibatasi oleh hak-hak yang dimiliki orang lain.
Seorang anak memiliki hak untuk menentukan apa yang baik bagi
dirinya. Dengan demikian, anak mempunyai kesempatan untuk
berjalan sendiri dan tidak mendapat intervensi atau paksaan dari pihak
12
Ibid, h. 10.
12
lain. Kehadiran guru atau pendidik hanya dalam konteks memberi
bantuan jika anak menghadapi hambatan yang cukup berat dan tidak
dapat diselesaikan. Dengan kata lain, anak mempunyai otonomi diri
yang tinggi. Guru hadir untuk memberi dorongan bagi anak.13
Dari pemaparan pendapat Ki Hajar Dewantara di atas dapat
disimpulkan bahwasanya setiap anak memiliki potensi dan memiliki
hak dalam mengembangkan potensi yang dimilikinya dalam mencari
dan menemukan pengetahuan baru, tanpa adanya intervensi atau
paksaan dari siapapun. Adapun orang tua dan guru hanya berperan
dalam memberikan dorongan dan arahan apabila anak menemukan
kesulitan.
B. Pengertian Pendidikan Anak dalam Islam
1. Konsep
Dalam Kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI), konsep berarti
rancangan, ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa
konkret, atau gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang
ada di luar bahasa yang digunakan akal budi untuk memahami hal-hal
lain.14
Konsep juga dapat diartikan sebagai pengertian, pemikiran,
ataupun ide umum. Adapun konsep yang dimaksud oleh penulis
adalah suatu gagasan atau ide, gambaran secara umum, gambaran
secara abstrak, dan pengertian mengenai pendidikan anak.
2. Pendidikan
Menurut UU Nomor 2 Tahun 1989 pendidikan adalah usaha
sadar untuk menyiapkan peserta didik melalui kegiatan
bimbingan, pengajaran, dan atau latihan bagi peranannya di
masa yang akan datang.15
13
Ibid, h. 11. 14
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua, (Jakarta: Balai Pustaka, 1994), h. 520. 15
Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2017),
Cet ke-13, h. 3.
13
Pendidikan adalah serangkaian kegiatan bimbingan, pengajaran
atau latihan dalam menyiapkan peserta didik di masa yang akan
datang. Pendidikan adalah suatu disiplin ilmu yang berkaitan dengan
proses pemberbudayaan manusia, pemeradaban, dan pendewasaan
manusia.16
Jika berbicara mengenai pendidikan, maka berkaitan dengan
pendidik dan mendidik, karena ketiga istilah tersebut saling
berkesinambungan.
a. Pendidik
Secara umum, pendidik adalah orang yang bertanggung
jawab dalam mendidik. Sedangkan secara khusus, pendidik dalam
perspektif Islam adalah sekelompok orang yang berperan penting
terhadap seluruh perkembangan potensi peserta didik sesuai
dengan nilai-nilai ajaran Islam, meliputi ranah kognitif, afektif,
dan psikomotorik.17
Di dalam Islam, pendidik memiliki beberapa istilah seperti
muallim, muaddib, murabbi, dan ustad.18
1) Muallim : Istilah ini lebih menekankan kedudukan pendidik
sebagai pengajar dan pemberi ilmu dan pengetahuan.
2) Muaddib : Istilah ini lebih menekankan kedudukan pendidik
sebagai Pembina akhlak dan moral peserta didik dengan
keteladanan.
3) Murabbi : istilah ini lebih menekankan pendidikan dalam
aspek ruhani maupun jasmani.
4) Ustadz : istilah ini adalah istilah umum yang sering digunakan
dan mempunya makna yang luas atau disebut sebagai guru.
16
Muhammad Rifa‟I, Sosiologi Pendidikan Struktur & Interaksi Sosial Di Dalam
institusi Pendidikan, (Jogjakarta: AR-RUZZ MEDIA, 2016), Cet III, h. 55. 17
Usman, Filsafat Pendidikan, ( Yogyakarta: Teras, 2010), Cet ke-1, h. 144. 18
Asep Saepul Amri, “Konsep Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Walisongo, 2017, h. 18-19.
14
Ibnu Qayyim menyebut pendidik sebagai alim rabbani.
Beliau mengangkat dari pemikiran para ulama dan para sahabat.
Beliau menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa alim rabbani adalah
mu‟allim yang berprofesi mendidik manusia dengan ilmu atau
yang menekuni dunia pendidikan, sebagaimana seorang ayah
mendidik anaknya. Juga pendapat Al-Wahidi, kata rabbani
dinisbatkan kepada Tuhan yang memiliki arti takhshish
(pengkhususan) sebagai ilmu yang mengajarkan syariat dan sifat-
sifat Allah SWT. Oleh karena itu Ibnu Qayyim berpendapat
bahwa seorang alim tidak disifati akan dengan rabbani, kecuali
sungguh-sungguh mengamalkan dan mengajarkan ilmunya.19
b. Peserta Didik
Menurut perspektif pendidikan dan pendidikan Islam,
peserta didik adalah subjek sekaligus objek pendidikan yang
membutuhkan bimbingan seorang pendidik untuk
mengembangkan kemampuannya serta membimbing menuju
kedewasaan.20
Peserta didik disebut sebagai mu‟allim menurut pendapat
Ibnu Qayyim. Mu‟allim adalah orang-orang yang mencari ilmu
dengan keikhlasan demi memperoleh keselamatan dirinya sendiri.
Dengan mempelajari hal-hal bermanfaat dan mengamalkan apa
yang telah dipelajarinya, jika mengharapkan keselamatan
(keberhasilan).21
c. Mendidik
Mendidik adalah membuat kesempatan dan menciptakan
situasi yang kondusif agar mereka mau dan dapat belajar atas
dorongan diri sendiri untuk mengembangkan bakat, pribadi, dan
19
Ibnu Qayyim, Kunci Surga Mencari Kebahagiaan dengan Ilmu, Penerjemah, Abdul
Mtin dan Salim Rusydi Cahyono, (Solo: Tiga Serangkai, 2009), Cet I, h. 281-282. 20
Usman, Filsafat Pendidikan, (Yogyakarta: Teras, 2010), Cet ke-1, h. 158. 21
Ibnu Qayyim, Kunci Surga Mencari Kebahagiaan dengan Ilmu, Penerjemah, Abdul
Mtin dan Salim Rusydi Cahyono, (Solo: Tiga Serangkai, 2009), Cet I, h. 282.
15
potensi-potensi lainnya, dan pekerjaan mendidik hanya dapat
dilakukan oleh para pendidik yang professional.22
Tujuan mendidik bukan hanya untuk mendapatkan prestasi
akademik yang tinggi, melainkan yang lebih penting adalah
pengembangan afeksi yang mendasari prestasi tersebut. Afeksi
adalah sikap suka belajar, mengetahui tentang cara belajar,
percaya diri, mencintai prestasi tinggi, kreatif dan produktif, serta
puas akan sukses yang dicapai.23
d. Pendidikan
Istilah pendidikan pada mulanya berasal dari bahasa
Yunani yaitu “pedagogie” yang berarti bimbingan yang diberikan
kepada anak. Pendidikan secara etimologi berasal dari kata
“didik” yang berarti memelihara dan memberii latihan (ajaran,
tuntunan, pimpinan), yaitu proses pengubahan sikap dan perilaku
seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan
manusia melalui upaya pengajaran dan latihan, proses, cara,
perbuatan mendidik.24
Dalam wacana ke-Islaman, pendidikan lebih popular
dengan istilah tarbiyah, ta‟dib dan ta‟lim. Istilah tersebut
memiliki perbedaan dalam pengertian, akan tetapi inti dari istilah-
istilah tersebut memiliki makna yang sama.
1) Tarbiyah
Kata tarbiyah berasal dari kata Rabb. Pengertian dasar
dari kata tarbiyah adalah tumbuh, bekembang, memelihara,
merawat, mengatur, dan menjaga kelestarian, meskipun kata
tarbiyah memiliki banyak arti.25
Istilah tarbiyah juga
22
Made Pidarta, Studi Tentang Landasan Kependidikan, Jilid 4. No. 1, Februari 1997, h.
5. 23
Ibid, h. 5. 24
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
(Jakarta: Balai Pustaka, 2005), h. 263. 25
Asep Saepul Amri, “Konsep Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Walisongo, 2017, h. 22.
16
mencakup dua aspek pendidikan, yaitu jasmani dan rohani,
kemudian mencakup tiga domain pendidikan, yaitu kognitif
(cipta), afektif (rasa) dan psikomotorik (karsa).26
Tarbiyah
juga dapat membentuk sikap dan semangat peserta didik
sehingga terbentuk ketakwaan, budi pekerti dan kepribadian
yang luhur melalui proses transformasi ilmu pengetahuan.27
2) Ta‟lim
Ta‟lim merupakan mashdar dari kata „allama. Kata
ta‟lim diterjemahkan dengan pengajaran.28
Abdul Fatah Jalal, mendefinisikan al-ta‟lim sebagai
proses pemberian pengetahuan, pemahaman,
pengertian, tanggung jawab, dan penanaman amanah,
sehingga penyucian atau pembersihan diri manusia dari
segala kotoran dan menjadikan diri manusia itu berada
dalam suatu kondisi yang memugkinkan untuk
menerima hikmah serta mempelajari segala apa yang
bermanfaat baginya dan yang tidak diketahuinya.29
Dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
al-ta‟lim merupakan proses penyampaian suatu pengetahuan
atau informasi yang dilakukan oleh pendidik kepada peserta
didik dengan harapan akan adanya perubahan pada peserta
didik setelah melakukan serangkaian proses kegiatan.
3) Ta‟dib
Ta‟dib merupakan mashdar dari kata addaba yang
berarti mendidik, memberi adab.30
Ta‟dib pada umumnya
diterjemahkan sebagai pendidikan tata karma, adab, sopan
santun.
26
Abdul Mujib, Jusuf Mudzakkir, Ilmu Pendidikan Islam, (Jakarta: KENCANA, 2017),
Cet ke-5, h. 12. 27
Ibid, h. 12-13. 28
Ibid, h. 18. 29
Asep Saepul Amri, “Konsep Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Ibnu Qayyim
Al-Jauziyyah”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Walisongo, 2017, h. 25. 30
Albar Adetary Hasibuan, Filsafat Pendidikan Islam, (Malang: UIN Maliki Press,
2015), Cet-I, h. 56.
17
Al-Naquib Al-Attas berpendapat bahwa ta‟dib lebih
berkaitan erat dengan ilmu, dalam hal ini ilmu tidak
dapat ditransformasikan kepada peserta didik kecuali
bila peserta didik memiliki adab yang tepat terhadap
ilmu pengetahuan dalam berbagai bidang. Jadi ilmu
tidak akan pernah dapat dipahami oleh peserta didik
sebelum peserta didik beradab.31
Dari pendapat tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa
ta‟dib merupakan ilmu yang dapat mudah diperoleh peserta
didik jika peserta didik memiliki adab.
3. Anak
Anak dalam kamus besar bahasa Indonesia yaitu keturunan,
manusia yang masih kecil.32
Di Eropa, yang membedakan anak
dengan orang dewasa adalah ukuran dan usianya saja, karena pada
abad pertengahan anak dipandang sebagai orang dewasa dalam bentuk
mini.33
Setiap orang tua muslim hendaknya menyadari bahwa anak
adalah amanah Allah yang dipercayai kepada orang tua. Dengan
demikian maka orang tua muslim pantang mengkhianati amanah Allah
berupa dikaruniakannya anak kepada mereka. Di antara perintah Allah
berkenaan dengan amanah-Ny yang berupa anak adalah bahwa setiap
orang tua muslim wajib mengasuh dan mendidik anak-anak dengan
baik dan benar.34
Dalam menghadapi era globalisasi yang ditandai dengan
berbagai perubahan tata nilai, maka anak harus mendapatkan
pembinaan intensif dan terpadu. Oleh karena itu, orang tua berperan
dalam memperhatikan perkembangan jasmani, ruhani, dan akal anak-
anaknya. Adapun peningkatan keterampilan, pembinaan moral dan
31
Ibid, h. 56. 32
Anton. M. Moeliono, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1989),
h. 30. 33
Asep Saipul Amri, Konsep Pendidikan Anak Dalam Islam Perspektif Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah, (Semarang: Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Walisongo Semarang, 2017), h. 30-
31. 34
Ibid, h. 31
18
mental harus lebih ditingkatkan, begitu juga dengan aspek-aspek
lainnya. Karena anak adalah generasi penerus bangsa, serta anak dan
masa depan adalah satu kesatuan yang dapat diwujudkan untuk
membentuk suatu generasi yang dibutuhkan oleh bangsa terutama
bangsa yang sedang membangun.35
Orang tua harus memperhatikan perkembangan jasmani, akal,
dan ruhani anak-anaknya, dengan tujuan agar anak dapat berkembang
secara maksimal. Perlu disadari pula bahwa anak dilahirkan dengan
membawa bakat, potensi, kemampuan serta sikap dan sifat yang
berbeda. Untuk itu orang tua sebagai pendidik dalam keluarga perlu
memahami perkembangan jiwa anak agar dapat menentukan metode
yang sepatutnya diterapkan dalamm mendidik dan membimbing anak-
anaknya. Orang tua harus bersikap lemah lembut serta tidak boleh
memaksakan metode yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa
anak.36
Setiap anak adalah individu yang tidak dapat diibaratkan
sebagai tanah liat yang bias “dibentuk” sesuka hati oleh orang tua.
Namun harus disesuaikan dengan perkembangan jiwa dan potensi
anak sebagai tanda kasih sayang dan tanggung jawab moral orang tua
yang secara konsisten dilandasi oleh sikap dipercaya dan mempunyai
suatu pola relasi hubungan antara kesadaran kewajiban dengan
kepatuhan terhadap orang tua atas kesadaran tersebut.37
Dari pembahasan di atas mengenai pendidikan anak dalam
Islam, maka dapat disimpulkan bahwasanya pendidikan anak dalam
Islam adalah sautu proses pembinaan, pengajaran, pengarahan dan
bimbingan secara sadar oleh pendidik terhadap perkembangan jasmani
dan rohani anak/peserta didik tentang suatu ilmu pengetahuan yang
nantinya akan dapat membentuk akhlak mulia, menjadikan manusia
35
Mufatihatu Taubah, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 03. Nomor 01, Mei
2015, h. 111. 36
Ibid, h. 115. 37
Ibid, h. 115
19
yang beradab dan bertaqwa kepada Allah yang bersumber pada ajaran
agama ke dalam diri anak/peserta didik.
C. Tujuan Pendidikan Anak Dalam Islam
Terdapat sejumlah istilah yang berkaitan dengan tujuan pendidikan
di dalam bahasa Arab, antara lain al-niyyat, al-iradah, al-ghardu, al-
qashdu, al-hadp, dan al-ghayah38
. Tujuan adalah terselesaikannya usaha
atau kegiatan dengan pencapaian yang diharapkan. Oleh karena itu tujuan
pendidikan anak dalam Islam adalah tercapainya rangkaian kegiatan yang
dilakukan oleh pendidik terhadap pendidikan anak dalam Islam.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBM), secara etimologi
tujuan adalah haluan, tuntutan, maksud, atau arah. Sedangkan secara
terminologi adalah hasil akhir yang akan dicapai oleh seseorang dan
sekelompok orang. Tujuan merupakan panduan dalam menjelaskan arah
untuk segala aktivitas yang dilakukan atau yang akan dicapai.39
Tujuan pendidikan Islam secara umum adalah pembentukan
kepribadian muslim secara utuh, seimbang, selaras, dan sempurna, yakni
sebagai makhluk individual, makhluk sosial, makhluk bermoral dan
makhluk yang ber-Tuhan atau disebut sebagai insan kamil.40
Adapun
tujuan pendidikan Islam menurut Sayyid Sulthon di antaranya:41
1. Tujuan intelektual atau keilmuan
Pendidikan Islam di antaranya bertujuan untuk
mengembangkan kemampuan intelektual serta dapat bersikap kritis
dan memiliki daya nalar yang tinggi.
2. Tujuan moral
Pendidikan moral bertujuan untuk membentuk manusia yang
berakhlak mulia, sehingga terbentuklah masyarakat yang
38
Abuddin Nata, Ilmu Pendidikan Islam, ( Jakarta: Kencana Prenamedia Group, 2016),
Cet ke-3, h, 57. 39
Asep Saepul Amri, “Konsep Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Walisongo, 2017, h. 33. 40
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009), Cet ke-1,
h. 30. 41
Asep Saepul Amri, “Konsep Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Ibnu Qayyim Al-
Jauziyyah”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Walisongo, 2017, h. 34-35.
20
menjunjung nilai-nilai luhur kemanusiaan sebagaimana yang
diajarkan oleh Islam, dan tercermin dalam perilaku yang adil,
memahami persamaan sosial dan hak individu.
3. Tujuan agamis
Pendidikan Islam secara agamis memuat misi penegakan
agama guna mempersiapkan dan mempertahankan kader-kader
muslim yang taat serta patuh pada agama, sekaligus menyiarkan
agama.
Para ahli pendidikan yang lainpun telah memberikan definisi
mengenai tujuan pendidikan Islam, dimana definisi yang satu dengan
yang lain berbeda, akan tetapi pada hakikatnya definisi dari tujuan
pendidikan Islam itu sama, hanya berbeda redaksi dan penekanannya
saja. Berikut beberapa definisi tujuan pendidikan Islam yang
dikemukakan oleh para ahli:
a. Naquib al-Attas menyatakan bahwa tujuan pendidikan harus
diambil dari pandangan hidupp. Jika pandangan hidup itu Islam
maka tujuannya adalah membentuk manusia sempurna (insan
kamil) menurut Islam.
b. Muhammad Athiyah al-Abrasy merumuskan tujuan pendidikan
Islam secara rinci. Dia menyatakan bahwa tujuan pendidikan
Islam adalah untuk membentuk akhlak mulia, persiapan
menghadapi kehidupan dunia-akhirat, persiapan untuk mencari
rizki, menumbuhkan semangat ilmuah, dan mempersiapkan
profesionalisme subjek didik.
c. Ahmad Fuad al-Alwani menyatakan bahwa pendidikan Islam
adalah perpaduan yang menyatu antara pendidikan jiwa,
membersihkan ruh, mencerdaskan akal, dan menguatkan
jasmani.
d. Umar Muhammad at-Taumi asy-Syaibani mengemukakan bahwa
tujuan tertinggi dari pendidikan Islam adalah persiapan untuk
kehidupan dunia dan akhirat.
21
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwasanya
pendidikan anak dalam pandangan Islam dimaksudkan untuk
meningkatkan potensi spiritual anak dengan adanya ilmu
pengetahuan serta membentuk anak agar menjadi manusia yang
berakhlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Allah SWT. Akhlak
mulia mencakup budi pekerti, moral, dan etika sebagai perwujudan
dari tujuan pendidikan. Peningkatan potensi spiritual mencakup
pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai keagamaan,
serta pengalaman nilai-nilai tersebut dalam kehidupan kehidupan
sehari-hari, baik secara individual maupun kemasyarakatan.
D. Materi Pendidikan Anak Dalam Islam
Materi pendidikan adalah kandungan atau muatan pelajaran yang
disajikan kepada anak atau peserta didik. Adapun materi-materi yang
menjadi tanggung jawab pendidik dalam pendidikan anak adalah sebagai
berikut:
1. Pendidikan Iman
Pendidikan iman adalah menyatukan anak dengan dasar-dasar
iman, rukun Islam, dan prinsip-prinsip syariat Islam, sejak anak sudah
mampu berpikir, memahami, membiasakan, hingga anak mampu
membedakan (usia tamyiz).42
Adapun beberapa pesan Nabi saw. dalam mengajarkan dasar-
dasar iman, rukun Islam, dan prinsip-prinsip syariat Islam, sebagai
berikut:43
a. Membuka kehidupan anak dengan kalimat laa ilaaha illa Allah
(tiada Tuhan selain Allah).
Hal ini berkaitan dengan mengdzani anak di telinga kanan
dan iqamat di telinga kiri, agar kalimat tauhid menjadi sesuatu
yang pertama masuk ke dalam pendengaran anak.
42
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Emiel
Ahmad, (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 77. 43
Ibid, h. 77-79.
22
b. Mengenalkan hukum halal dan haram sejak dini.
Hikmahnya adalah agar anak tumbuh besar dengan
mengenal hukum-hukum Allah, terikat dengan hukum syariat dan
selanjutnya ia hanya akan mengenal hukum dan undang-undang
Islam.
c. Memerintahkan untuk beribadah pada usia tujuh tahun.
Perintah ini bertujuan agar anak dapat mempelajari hukum-
hukum ibadah ini dan terbiasa untuk melaksanakannya sejak
dalam masa pertumbuhan. Sehingga ketika anak tumbuh besar, ia
telah terbiasa untuk melakukan dan terdidik untuk taat kepada
Allah. Juga dapat menyucikan jiwanya, menyehatkan jasmaninya,
membenahi akhlaknya, dan membaguskan kata-kata dan
perbuatannya dengan melaksanakan ibadah-ibadah tersebut.
d. Mengajarkan padanya untuk mencintai Rasulullah saw., keluarga
beliau, dan membaca al-Qur‟an
Hikmah dari anjuran ini adalah agar anak dapat meneladani
orang-orang terdahulu, baik gerakan, kepahlawanan, maupun
jihad mereka. Juga agar perasaan dan kebanggaannya terikat
dengan sejarah, dan juga agar jiwa anak terikat dengan al-Qur‟an.
Dari pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa
pendidikan iman merupakan pendidikan yang paling penting dan
paling utama dalam kehidupan dan peserta didik, karena
pendidikan iman adalah pendidikan yang berkaitan dengan sang
Pencipta, yaitu Allah SWT. Diharapkan dengan adanya
pendidikan iman ini, peserta didik mampu menjalankan syari‟at-
syari‟at yang diperintahkan oleh Allah dan menjadi orang-orang
yang bertaqwa.
2. Pendidikan Moral
Yang dimaksud pendidikan moral adalah sejumlah prinsip-
prinsip akhlak dan nilai-nilai moral yang harus ditanamkan kepada
anak-anak, agar dapat dijadikan kebiasaan oleh anak sejak usia dini,
23
lalu tertanam meningkat ke usia baligh hingga perlahan-lahan tumbuh
dan berkembang pada usia dewasa.44
Tentunya, prinsip-prinsip akhlak
dan nilai-nilai moral merupakan salah satu buah dari iman yang
tertanam kokoh, dan pertumbuhan agama yang benar.45
Materi pendidikan ini meliputi latihan meningkatkan nafsu-
nafsu rubbubiyah (ketuhanan) dan meredam nafsu-nafsu
syaithaniyah.46
Pada materi ini peserta didik dikenalkan dan dilatih
mengenai:47
a. Perilaku/ akhlak mulia, seperti jujur, sabar, rendah hati, dll.
b. Perilaku/ akhlak tercela, seperti takabbur, khianat, dusta, dll.
Setelah materi-materi tersebut disampaikan kepada peserta
didik, maka diharapkan mereka memiliki perilaku-perilaku akhlak
yang mulia dan menjauhkan perilaku-perilaku akhlak yang tercela.
3. Pendidikan Fisik (jasmani)
Di antara pendidikan yang dipikul Islam di atas pundak para
pendidik, seperti ayah, ibu, dan pengajar adalah pendidikan fisik. Hal
ini dimaksudkan agar anak-anak tumbuh dewasa dengan kondisi fisik
yang kuat, sehat, bergairah, dan bersemangat.48
Rasulullah memerintahkan umatnya agar mengajarkan
pendidikan jasmani kepada anak-anak (peserta didik). Hal ini
bertujuan agar peserta didik memiliki jasmani yang kuat dan sehat.49
Di antara pendidikan fisik yang digariskan dalam Islam adalah
sebagai berikut:50
44
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), Cet ke-3, h. 193. 45
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Emiel
Ahmad, (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 91. 46
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet
ke-2, h.16. 47
Ibid, h. 16. 48
Abdul Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Emiel Ahmad, (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 115. 49
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet
ke-2, h.16. 50
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), Cet ke-3, h. 245.
24
a. Memberi nafkah kepada keluarga dan anak
b. Mengikuti aturan-aturan yang sehat dalam makanan
c. Melindungi dari penyakit menular
d. Pengobatan terhadap penyakit
e. Merealisasikan prinsip-prinsip “Tidak boleh menyakiti diri sendiri
dan orang lain”
f. Membiasakan anak untuk berolahraga dan bermain ketangkasan
g. Membiasakan anak untuk zuhud dan tidak larut dalam kenikmatan
h. Membiasakan anak bersikap tegas dan menjauhkan diri dari
pengangguran, penyimpangan, dan kenakalan
Berdasarkan pada penjelasan di atas, maka dapat disimpulkan
bahwa pendidikan fisik ini lebih menuju pada pengajaran dalam
menjaga kondisi fisiknya dari hal-hal berbahaya bagi kesehatan anak
(peserta didik).
4. Pendidikan Rasio (Akal)
Pendidikan rasio atau pendidikan intelektual adalah
membentuk dan membina pikiran anak dengan hal-hal yang
bermanfaat, berupa ilmu-ilmu syar‟i, ilmu pengetahuan dan budaya
modern, pemikiran yang mencerahkan, dan kebudayaan. Dan
diharapkan anak akan matang pikirannya serta menjadi orang yang
berilmu dan berbudaya. Adapun pendidikan rasio atau intelektual ini
dititikberatkan pada tiga hal utama, yaitu kewajiban mendidik,
pencerahan pikiran, dan memelihara kesehatan akal.51
Dari penjelasan di atas maka dapat disimpulkan bahwa
pendidikan rasio ialah membentuk pola piker anak dengan segala
sesuatu yang bermanfaat. Seperti ilmu-ilmu agama, kebudayaan dan
peradaban. Dengan demikian, pikiran anak matang, bermuatan ilmu,
kebudayaan, dan sebagainya. Oleh karena itu, pendidikan rasio lebih
51
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Emiel Ahmad, (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 141.
25
tertuju pada akal dan otak manusia agar semakin berkembang ilmu-
ilmu pengetahuannya.
5. Pendidikan Psikologi (kejiwaan)
Kejiwaan atau hati nurani merupakan salah satu yang harus
dilatih pada manusia, selain nafsu dan akal.52
Pendidikan psikologi
atau kejiwaan adalah mendidik anak agar bersikap berani terbuka,
mandiri, suka menolong, dapat mengendalikan amarah dan senang
kepada seluruh bentuk keutamaan jiwa dan moral secara mutlak.53
Tujuan dari pendidikan ini adalah membentuk, membina, dan
menyeimbangkan kepribadian anak. Sehingga ketika sudah dewasa, ia
dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada
dirinya secara sempurna.54
Disini penulis akan menyajikan beberapa faktor secara global
yang dapat menghancurkan kepribadian, kemudian dengan cara
mengatasinya menurut kaidah Islam.
a. Minder
Perasaan minder merupakan tabiat buruk bagi anak-anak.
Gejala semacam ini biasanya dimulai sejak usia 4 bulan. Setelah
usia satu tahun, perasaan minder akan lebih tampak pada anak.
Yaitu ketika ia memalingkan wajahnya, menutup kedua mata atau
wajahnya dengan kedua telapak tangannya kepada orang yang
belum dikenalnya.
Pada usia 3 tahun, anak akan merasa minder ketika pergi ke
sebuah rumah yang belum dikenal. Terkadang ia duduk dengan
tenang dipangkuan ibu atau disampingnya sepanjang waktu, tanpa
berbicara sepatah katapun.
52
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet
ke-2, h. 17. 53
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), Cet ke-3, h. 363. 54
Ibid, h. 363.
26
Adapun cara menanggulangi masalah ini, dapat dilakukan
dengan membiasakan anak-anak bergaul dengan teman-temannya
yang baik, dengan cara mengundang teman-teman sebaya ke
rumah secara intensif, atau dengan cara membawa mereka
berkunjung ke rumah teman-teman sebayanya dan juga ke rumah
kerabatnya.
Dengan cara pembiasaan in, maka perasaan minder akan
berkurang di dalam jiwa anak. Mereka akan memiliki sifat
percaya diri dan akan selalu terdorong untuk berbicara benar,
tanpa merasa takut akan celaan orang lain.55
b. Penakut
Sikap penakut merupakan situasi kejiwaan yang berjangkit
pada anak-anak kecil dan orang dewasa, laki-laki dan perempuan.
Sikap ini kadang dianjurkan selama masih dalam batas alami
anak-anak. Sebab merupakan media untuk menjaga dan
menjauhkan anak dari berbagai bahaya. Tetapi jika itu melampaui
batas-batas kewajaran, maka dapat menyebabkan kegoncangan
jiwa pada diri anak-anak. Hal ini dianggap sebagai suatu masalah
kejiwaan yang harus diatasi dan diperhatikan.56
Adapun faktor-faktor terpenting yang dapat meningkatkan
perasaan takut kepada anak-anak di antaranya:
1) Kebiasaan ibu menakut-nakuti anaknya dengan bayangan
kegelapan atau makhluk-makhluk aneh
2) Kebiasaan ibu memanjakan anak secara berlebihan
3) Memingit anak dan memisahkannya dari pergaulan dengan
teman-temannya
4) Sering bercerita fiktif yang berkaitan dengan syaithan atau jin
c. Rendah Diri
55
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Emiel Ahmad, (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 168. 56
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), Cet ke-3, h. 373.
27
Perasaan rendah diri merupakan suatu kondisi kejiwaan
yang berjangkit pada sebagian anak karena faktor-faktor
pembawaan sejak lahir, tekanan mental atau ekonomi. Sikap ini
termasuk salah satu fenomena kejiwaan yang paling berbahaya,
karena bias membawa anak kepada kehidupan yang hina,
sengsara, dan penuh dosa.57
Adapun faktor-faktor yang dapat menyebabkan munculnya
sifat rendah diri pada anak antara lain:58
1) Hinaan dan ejekan
2) Dimanjakan secara berlebihan
3) Membeda-bedakan anak
4) Cacat fisik
5) Yatim
6) Miskin
6. Pendidikan Sosial
Pendidikan sosial adalah kehidupan bermasyarakat anak dengan
pergaulan dan adab yang baik, pemikiran yang matang dan bertindak
secara bijaksana. Hal tersebut didapatkan melalui pendidikan anak
sejak dini melalui moral sosial yang baik, yang bersumber dari akidah
Islam.59
Seperti diketahui bahwa anak memiliki dua tugas hubungan
yang harus dilakukan dalah hidupnya, yaitu hubungan dengan Allah
(habluminallah) berupa ibadah mahdlah, dan hubungan dengann
sesama manusia (habluminannas) berupa ibadah ghairmahdlah atau
kemasyarakatan.60
Dalam materi pendidikan sosial atau kemasyarakatan ini anak
dikenalkan mengenai hal-hal yang terdapat atau terjadi di masyarakat
57
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Emiel Ahmad, (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 177. 58
Ibid, h. 177. 59
Ibid, h. 203. 60
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet ke-2, h.
17.
28
serta bagaimana caranya hidup di masyarakat. Dengan adanya materi
pendidikan ini diharapkan anak atau peserta didik memiliki wawasan
kemasyarakatan dan mereka dapat hidup serta berperan aktif di
masyarakatnya secara benar.61
7. Pendidikan Seksual
Pendidikan seksual adalah suatu upaya pengajaran,
penyadaran, dan penerangan tentang masalah-masalah seksual kepada
anak, sejak ia mengenal masalah-masalah yang berkenaan dengan
naluri seks dan perkawinan.62
Pendidikan seksual yang harus mendapatkan perhatian secara
khusus dari pendidik, dilaksanakan berdasarkan fase-fase sebagai
berikut:63
a. Fase pertama, usia 7-10 tahun, disebut masa tamyiz (masa pra
pubertas). Pada masa ini, anak diberi pelajaran tentang etika
meminta izin dan memandang sesuatu.
b. Fase kedua, usia 10-14 tahun, disebut masa muraqabah (masa
peralihan atau pubertas). Pada masa ini, anak dihindarkan dari
berbagai rangsangan seksual.
c. Fase ketiga, usia 14-16 tahun, disebut masa baligh (masa
adolesen). Jika anak sudah siap untuk menikah, pada masa ini
anak diberi pendidikan tentang etika (adab) mengadakan
hubungan seksual.
d. Fase keempat, setelah masa adolesen, disebut masa pemuda. Pada
masa ini diberi pelajaran tentang cara melakukan isti‟faf (menjaga
kehormatan), jika ia belum mampu melaksanakan pernikahan.
Adapun secara garis besar, tujuan dari pendidikan seks bagi
anak usia dini dan juga remaja adalah sebagai berikut:64
61
Ibid, h. 17-18. 62
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Emiel Ahmad, (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 295. 63
Ibid, h. 295. 64
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009), Cet ke-1,
h. 215-216.
29
a. Membantu anak mengetahui topik-topik biologis, seperti
pertumbuhan, masa pubertas, kehamilan, dan menyusui.
b. Mencegah anak-anak dari tindakan kekerasan seksual.
c. Mencegah remaja perempuan di bawah umur dari kehamilan.
d. Mendorong hubugan sosial yang baik antar lawan jenis.
e. Mencegah remaja di bawah umur terlibat dalam hubungan seksual.
E. Metode Pendidikan Anak Dalam Islam
Istilah metode sering kali disamakan dengan istilah pendekatan,
strategi, dan teknik sehingga dalam penggunaannya juga sering saling
bergantian, pada intinya adalah suatu cara untuk mencapai tujuan
pendidikan yang ditetapkan atau cara yang tepat dan cepat untuk meraih
tujuan pendidikan sesuai dengan kebutuhan peserta didik.65
Pada dasarnya tidak ada perbedaan yang signifikan antara metode
(termasuk juga strategi dan teknik) dalam pendidikan Islam dengan
metode pendidikan lain. Jika diperhatikan, perbedaannya hanya terletak
pada nilai spiritual dan mental yang menyertainya pada saat metode
tersebut dilaksanakan atau dipraktikkan.
Adapun prinsip-prinsip yang menjadi pembeda dengan metode
pendidikan lain adalah niat dan orientasi dalam pendidikan Islam,
keterpaduan, bertumpu pada kebenaran, kejujuran dan amanah,
keteladanan, sesuai dengan usia dan kemampuan akal anak dan juga sesuai
kebutuhan peserta didik.66
Metode pendidikan Islam juga harus didasarkan dan disesuaikan
dengan hal-hal berikut:67
1. Metode pendidikan Islam didasarkan pandangan bahwa manusia
dilahirkan dengan potensi pembawaan tertentu dan dengan itu ia
mampu berkembang.
65
Ibid, h. 90. 66
Ibid, h. 95-98. 67
Faisol, Gus Dur dan Pendidikan Islam: Upaya mengembalikkan Esensi Pendidikan di
Era Global, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011), h. 70.
30
2. Metode pendidikan Islam didasarkan pada karakteristik masyarakat
madani, yaitu manusia yang bebas dari ketakutan, bebas berkespresi,
dan bebas menentukan arah hidupnya.
3. Metode pendidikan Islam didasarkan learning competency, yakni
peserta didik akan memiliki seperangkat pengetahuan, keterampilan,
sikap, wawasan, dan penerapannya sesuai dengan kriteria atau tujuan
pembelajaran.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwasanya definisi
metode mengacu pada cara-cara untuk menyampaikan materi
pendidikan oleh pendidik kepada peserta didik, yang disampaikan
dengan efektif dan efisien untuk mencapai tujuan pendidikan yang
diharapkan.
Adapun beberapa metode pendidikan anak dalam Islam, yang
mana dengan adanya metode ini diharapkan peserta didik mampu
meraih apa yang menjadi tujuan pendidikan. Berikut ini beberapa
metode-metode pendidikan anak dalam Islam di antaranya:
1. Pendidikan Keteladanan
Keteladanan dalam pendidikan merupakan bagian dari
beberapa metode yang berpengaruh dalam memepersiapkan dan
membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial. Karena,
seorang pendidik merupakan suri tauladan dalam pandangan
anak, yang segala tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru
olen anak, dan tertanam dalam kepribadian anak, baik dalam
bentuk perkataan dan perbuatan. Oleh karenanya keteladanan
menjadi faktor yang menentukan baik dan buruknya anak. Jika
pendidik berperilaku dan berakhlak baik, maka kemungkinan
besar anak akan tumbuh dengan perilaku dan akhlak yang baik.
Sebaliknya, jika pendidikan berperilaku dan berkakhlak tercela,
31
maka kemungkinan besar anak akan tumbuh dengan perilaku dan
akhlak yang tercela.68
Menurut Hery Juhari Muchtar dalam bukunya fikih
pendidikan, bentuk metode keteladanan terbagi menjadi dua,
yaitu keteladanan disengaja dan keteladanan tidak disengaja.69
a. Keteladanan disengaja
Peneladanan kadangkala diumpamakan dengan cara
disengaja, yaitu pendidik sengaja memberikan contoh kepada
peserta didik agar dapat ditiru. Umpamanya guru
memberikan contoh untuk membaca agar dapat ditiru oleh
murid, imam membaikkan shalatnya dalam mengerjakan
shalat yang sempurna kepada ma‟mumnya.
b. Keteladanan tidak disengaja
Dalam hal ini, pendidik tampil sebagai figure yang
dapat memberi contoh-contoh yang baik dalam kehidupan
sehari-hari. Bentuk pendidikan semacam ini keberhasilannya
banyak bergantung pada kualitas kesungguhan realitas
karakteristik pendidikan yang diteladani, seperti kualitas
keilmuannya, kepemimpinannya, keikhlasannya, dan lain
sebagainya.
Dalam kondisi seperti ini, pengaruh teladan berjalan
secara langsung tanpa disengaja. Oleh karena itu, setiap
orang yang diharapkan (termasuk guru) hendaknya
memelihara tingkah lakunya, disertai kesadaran bahwa ia
bertanggung jawab di hadapan Allah dalam segala hal yang
di ikuti oleh orang lain (termasuk murid) sebagai
pengagumnya. Semakin tinggi kualitas pendidikan maka
semakin tinggi keberhasilan pendidikannya.
68
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
2007), Cet ke-3, h. 142. 69
Heri Jauhari, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet ke-2, h.
224-225.
32
2. Pendidikan Adat Kebiasaan
Untuk membuat anak melaksanakan tugas atau kewajiban
secara benar dan rutin maka diperlukan pembiasaan. Misalnya,
anak benar dan rutin dalam mengerjakan shalar, karena
pembiasaan yang dilakukan orang tua terhadap anak sejak masih
kecil. Oleh sebab itu, pendidikan yang baik harus diberikan
kepada anak sejak ia kecil, agar tidak merasa berat untuk
melaksanakannya ketika anak sudah dewasa.
Sehubungan dengan itu, Rasulullah berpesan kepada
umatnya untuk membiasakan anak dalam melaksanakan shalat
ketika usia tujuh tahun dan memukulnya (tanpa cedera/ bekas)
ketika usia sepuluh tahun atau lebih apabila anak tidak
mengerjakannya. Maka diperlukan pengertian, kesabaran, dan
keteladanan orang tua terhadap anak dalam pelaksanaan metode
ini.70
Pendidikan dengan pembiasaan adalah pilar terkuat untuk
pendidikan, dan metode paling efektif dalam membentuk uman
anak dan meluruskan akhlaknya. Karena masalah ini berdasarkan
pada perhatian dan pengikutsertaan. Tidak diragukan bahwa
mendidik dan membiasakan anak sejak kecil adalah paling
menjamin untuk mendapatkan hasil. Sedangkan mendidik dan
melatih setelah dewasa sangatlah sukar untuk mencapai
kesempurnaan.71
3. Pendidikan Nasihat
Nasihat merupakan metode pendidikan yang cukup efektif
dalam membentuk iman seorang anak, serta mempersiapkan
akhlak, jiwa, dan rasa sosialnya. Nasihat dan petuah memberikan
pengaruh besar untuk membuka hati anak terhadap hakikat
70
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet
ke-2, h. 19. 71
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah Aulad Fil Islam, terj. Saifullah Kamalie, (Bandung:
Asy-Syifa”, 1981), h. 64.
33
sesudah mendorongnya menuju hal-hal yang positif, mengisinya
dengan akhlak mulia, dan menyadarkannya akan prinsip-prinsip
Islam. Tidaklah aneh bahwa dalam al-Qur‟an banyak
menggunakan metode ini dan menyeru jiwa-jiwa manusia dengan
nasihat, serta mengulangnya pada beberapa ayat di tempat
berbeda.72
Berikut ini contoh ayat Al-Qur‟an yang berulang-ulang
dalam menuturkan nasihat. Allah berfirman:
“Dan (ingatlah) ketika Luqman berkata kepada anaknya, di
waktu ia memberi pelajaran kepadanya: "Hai anakku, janganlah
kamu mempersekutukan Allah, Sesungguhnya mempersekutukan
(Allah) adalah benar-benar kezaliman yang besar". Dan Kami
72
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Jamaluddin Miri, (Jakarta:
Pustaka Amani, 2007), Cet ke-3, h. 209.
34
perintahkan kepada manusia (berbuat baik) kepada dua orang
ibu- bapanya; ibunya telah mengandungnya dalam Keadaan
lemah yang bertambah- tambah, dan menyapihnya dalam dua
tahun. Bersyukurlah kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakmu, hanya kepada-Kulah kembalimu. Dan jika keduanya
memaksamu untuk mempersekutukan dengan aku sesuatu yang
tidak ada pengetahuanmu tentang itu, Maka janganlah kamu
mengikuti keduanya, dan pergaulilah keduanya di dunia dengan
baik, dan ikutilah jalan orang yang kembali kepada-Ku,
kemudian hanya kepada-Kulah kembalimu, Maka Kuberitakan
kepadamu apa yang telah kamu kerjakan. (Luqman berkata):
"Hai anakku, Sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat
biji sawi, dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam
bumi, niscaya Allah akan mendatangkannya (membalasinya).
Sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha mengetahui. Hai
anakku, dirikanlah shalat dan suruhlah (manusia) mengerjakan
yang baik dan cegahlah (mereka) dari perbuatan yang mungkar
dan bersabarlah terhadap apa yang menimpa kamu.
Sesungguhnya yang demikian itu Termasuk hal-hal yang
diwajibkan (oleh Allah).” (Q.S. Lukman: 13-17)73
Nasihat beberapa kali disebutkan dalam ayat-ayat al-
Qur‟an yang digunakan sebagai dasar dari dakwah, serta cara
untuk memperbaiki individu dan masyarakat. Orang-orang yang
membuka lembaran mushaf al-Qur‟an akan menemukan beberapa
macam nasihat dalam banyak ayat. Sebagian ayat itu menguatkan
untuk bertaqwa, dan yang lain mengajak berdzikir, ada yang
berupa ungkapan nasihat, peringatan untuk memberi nasihat,
73
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Depok: Cahaya Qur‟an, 2008),
h. 412.
35
anjuran mengikuti jalan yang istiqamah, memberi semangat, da
nada pula yang memberi ancaman.74
Metode inilah yang paling sering digunakan oleh para
orangtua, pendidik, dan da‟i terhadap anak ataupun peserta didik
dalam proses pendidikan. Memberikan nasihat sebenarnya
merupakan kewajiban untuk setiap umat muslim, seperti dalam
firman Allah SWT:
“Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal
saleh dan nasehat menasehati supaya mentaati kebenaran dan
nasehat menasehati supaya menetapi kesabaran”. (Q.S. Al-Ashr:
3)75
Setiap manusia (anak) selalu membutuhkan nasihat, sebab
dalam jiwa terdapat pembawaan yang biasanya tidak tepat, dan
oleh karena itu kata-kata atau nasihat yang diberikan orangtua
atau pendidik harus diulang-ulang. Karena nasihat yang
berpengaruh, membuka jalannya ke dalam jiwa secara langsung
melalui perasaan.76
Adapun agama merupakan nasihat dari Allah yang
disampaikan kepada seluruh ummat manusia melalui para Nabi
dan Rasul-Nya, agar kehidupan manusia di dunia dan akhirat
dapat bahagia, selamat, dan sejahtera. 77
74
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Emiel Ahmad, (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 396. 75
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahnya, (Depok: Cahaya Qur‟an, 2008),
h. 601. 76
Mufatihatut Taubah, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 03. Nomor 01, Mei
2015, h. 128. 77
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet
ke-2, h. 20.
36
Menurut Imam al-Ghazali, yang tersulit dari nasihat
adalah menerima dan melaksanakannya, sebab nasihat akan
dirasakan pahit bagi orang yang suka menuruti hawa nafsunya,
karena hal-hal yang dilarang agama sangat disukai hatinya.78
Adapun pembawaan anak mudah terpengaruh oleh kata-
kata yang didengarnya dan juga perilaku yang sering dilihatnya
dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karena itu, orangtua atau
pendidik patut memberikan nasihat yang baik ditunjang dengan
teladan yang baik kepada anak, agar anak dapat mengikuti apa
yang telah diperintahkan dan diajarkan oleh orangtua atau
pendidik.
4. Pendidikan dengan Perhatian dan Pengawasan
Orangtua atau pendidik berkewajiban dalam memberikan
perhatian seutuhnya, dan mengamati akidah dan akhlak anak,
kesiapan mental dan rasa sosialnya, serta kesehatan fisik dan
perkembangan belajarnya.79
Orangtua atau pendidik yang bijaksana tentunya
mengetahui perkembangan anaknya. Ibu adalah pembentuk
pribadi putra putrinya lebih besar prosentasenya disbanding
seorang ayah. Karena tiap hari waktu ibu lebih banyak dihabiskan
bersama anak, sehingga wajar bila kecenderungan anak lebih
dekat dengan para ibunya. Untuk itu ibu diharapkan mampu
berkiprah dalam mempersiapkan pertumbuhan dan perkembangan
putra-putrinya.80
Orangtua yang baik senantiasa akan mengoreksi perilaku
anaknya yang tidak baik dengan perasaan kasih sayangnya, sesuai
dengan perkembangan usia anaknya. Sebab pengasuhan yang baik
78
Nur Uhbiyati, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam, (Semarang: Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo, 2002), h. 170. 79
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Emiel Ahmad, (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 421. 80
Ibid, h. 421-422.
37
akan menanamkan rasa optimism, kepercayaan, dan harapan anak
dalam hidupnya. Dalam memberi perhatian ini, hendaknya
orangtua bersikap selayak mungkin, tidak terlalu berlebihan dan
juga tidak terlalu kurang. Namun perhatian orangtua disesuaikan
dengan perkembangan dan pertumbuhan anak.81
Apabila orangtua mampu bersikap penuh kasih saying
dengan memberikan perhatian yang cukup, niscaya anak-anak
akan menerima pendidikan dari orangtuanya dengan pernuh
perhatian juga. Namun pangkal dari seluruh perhatian yang utama
adalah perhatian dalam akidah.82
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwasanya bagi
seorang pendidik, orang tua maupun seorang guru, diharapkan
dapat memberikan perhatian dan pengawasan terhadap anak
didiknya dalam masalah ibadah, akhlak, maupun yang lain,
sehingga anak tidak mudah menyimpang dari hal-hal yang
negative dikarenakan selalu mendapatkan perhatian maupun
pengawasan dari seorang pendidik.
5. Pendidikan dengan Memberikan Hukuman
Hukuman diberikan, apabila metode-metode yang lain
sudah tidak dapat merubah tingkah laku anak, atau dengan kata
lain hukuman merupakan jalan terkahir yang ditempuh oleh
pendidik. Islam telah memberikan arahan dalam memberi
hukuman terhadap anak, di antaranya:83
a. Jangan menghukum ketika marah
b. Jangan sampai menyakiti perasaan dan harga diri anak
c. Jangan sampai merendahkan derajat dan martabat
d. Jangan menyakiti secara fisik
81
Mufatihatut Taubah, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Volume 03. Nomor 01, Mei
2015, h. 131. 82
Ibid, h. 131. 83
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008), Cet
ke-2, h. 20-22.
38
e. Bertujuan mengubah perilakunya yang kurang/ tidak baik
Pendidikan dengan sanksi dan hukuman akan membuat efek
shock therapy pada anak, dan menahan akhlak buruknya juga sifat
jeleknya. Juga menahannya dari perbuatan terlarang dan
melakukan kejahatan. Tanpa hukuman dan sanksi, anak akan
terbuai dengan akhlak jelek maupun kejahatan, dan akan
tenggelam oleh lumpur criminal, serta terperosok ke dalam jurang
kerusakan dan kemungkaran.84
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwasanya
hukuman merupakan tindakan tegas untuk mengembalikan
persoalan di tempat yang benar. Karena ada anak dengan teladan
dan nasihat saja sudah cukup, tidak memerlukan hukuman. Tetapi
pribadi manusia tidak sama seluruhnya, maka seorang pendidik
haruslah mengenal siapa dan bagaimana watak anak didiknya.
Dan dengan adanya hukuman, anak dapat mengerti bahwa
tindakan tertentu benar apabila tidak menerima hukuman dan
tindakan lainnya salah apabila mendapatkan suatu hukuman.
F. Evaluasi Pendidikan Anak Dalam Islam
1. Teks Ayat dan Terjemahan
"Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu sendiri pada waktu ini sebagai
penghisab terhadapmu". (Q.S. Al-Isra: 14)85
2. Tafsir
Pada ayat ini dijelaskan bahwa kepada sesama makhluk dapat
berahasia sementara di dunia, akan tetapi tidak dapat berahasia kepada diri
sendiri, Tuhan, dan para malaikat yang selalu ada di sisi kiri dan kanan.
84
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Emiel Ahmad, (Jakarta:
Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 448. 85
Departemen Agama RI, Al-Qur‟an dan Terjemahannya, (Depok: Cahaya Qur‟ani,
2008), h. 283.
39
Oleh karena itu, seluruh makhluk diberikan kesempatan menjalani
kehidupan di dunia agar dapat mengisinya dengan perbuatan-perbuatan
yang baik, sehingga segala catatan amalnya berisikan catatan amal yang
baik.86
Karena pada akhirat kelak, manusia akan diperintahkan untuk
membaca catatan amalnya sendiri. Di tempat dan disaat itu, orang-orang
yang tidak dapat membaca sewaktu di dunia ini akan dijadikan mampu
melakukannya. Ayat di atas mengatakan:87
(Akan dikatakan kepadanya), “Bacalah kitabmu, cukuplah dirimu
sendiri pada hari ini sebagai penghitung terhadap dirimu”.
Menurut M. Quraish Shihab dalam kitabnya Al-Lubab dijelaskan
bahwa setiap orang Allah telah jadikan bersamanya amal perbuatan yang
dilakukannya secara sadar sehingga tidak berpisah dengannya
sebagaimana tetapnya kalung yang menggantung pada lehernya. Dengan
demikian, di hari kemudian nanti ia tidak dapat mengelak atau
mengabaikannya. Di sana Allah akan berikan kepadanya sebuah kitab
yang menampakkan secara rinci semua amalnya dan kitab itu dijumpainya
terbuka sehingga tidak ada yang tertutupi dan tersembunyi atau ia terbuka
sehingga dengan mudah dan segera dapat dibacanya.88
Kemudian Fakhrur Razi berpendapat bahwa yang dimaksud kitab
catatan amal dalam ayat di atas adalah „lembar spiritual‟, tempat perbuatan
manusia meninggalkan jejaknya; dan yang dimaksud „membaca‟ di sini
adalah memahami kitab tersebut ditafsirkan sebagai perbuatan-perbuatan
itu sendiri. Manusia dianjurkan agar sebelum tibanya hari kebangkitan,
agar memeriksa catatan-catatan perbuatannya sendiri atau hitung-hitunglah
dirimu sendiri sebelum engkau diperhitungkan. 89
86
Hamka, Tafsir Al-Azhar Juz‟XV, (Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984), h. 31. 87
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2005), Cet ke-I,
h. 770. 88
M. Quraish Shihab, Al-Lubab Surah Yusuf (12) – Surah Asy-Syu‟ara‟ (26), (Ciputat:
Lentera Hati, 2012), Cet ke-I, h. 219-220. 89
Allamah Kamal Faqih Imani, Tafsir Nurul Qur‟an, (Jakarta: Al-Huda, 2005), Cet ke-I,
h. 771.
40
Oleh karena itu, manusia harus membaca catatan amalnya sendiri
di dunia ini agar mampu memperbaiki diri, menghilangkan kelemahan dan
kekurangan dirinya, atau mengimbanginya dengan cara bertaubat dan
menambahkan amal-amal mulia di dalamnya.90
3. Relevansinya dengan Evaluasi Pendidikan Anak
Evaluasi dalam al-Qur‟an perlu dilakukan dengan mengingat akan
sifat-sifat manusia itu sendiri yaitu makhluk yang lemah, makhluk yang
suka membantah dan ingkar kepada Allah, mudah lupa dan banyak salah
namun mempunyai batas untuk sadar kembali. Tetapi di sisi lain manusia
juga merupakan makhluk yang dipercaya Allah untuk mengemban amanat
yang istimewa sebagai khalifah di bumi. Kemudian manusia juga memiliki
kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu evaluasi sangat diperlukan,
apalagi dalam proses pendidikan.91
Evaluasi pendidikan merupakan salah satu bentuk mekanisme
system pendidikan yang bertujuan untuk meninjau ulang proses
pendidikan yang telag dilaksanakan dalam beberapa kurun waktu tertentu.
Tinjauan ulang tersebut dimaksudkan untuk memahami, menggali, serta
mengoreksi proses pendidikan tersebut sehingga akan diketahui celah-
celah kekurangan yang harus diperbaiki.92
Kemudian dalam tafsir surat al-isra ayat 14 dijelaskan bahwa di
hari kemudian nanti Allah akan berikan sebuah catatan amal perbuatan
manusia selama hidup di dunia, oleh karena itu manusia diharuskan untuk
memperbaiki diri, menghilangkan kelemahan dan kekurangan dirinya, atau
mengimbanginya dengan cara bertaubat dan menambahkan amal-amal
mulia selama masih diberikan kesempatan untuk hidup. Maka dari itu,
kegiatan evaluasi sangat diperlukan agar anak dapat memahami serta
memperbaiki kesalahannya selama proses pendidikan berlangsung.
90
Ibid, h. 771. 91
http://fauzanma-fitkuinjkt.blogspot.com/2008/12/evaluasi-dalam-al-quran.html.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2008. 92
Ihwan Mahmudi, CIPP: Suatu Model Evaluasi Program Pendidikan, Vol. 6. No. 1,
Juni 2011.
41
G. Hasil Penelitian Relevan
1. Penulis mengutip dari jurnal yang berjudul “Perlindungan Sosial Bagi
Penanganan Masalah Tindak Kekerasan Terhadap Anak”. Dalam
jurnal yang ditulis oleh Herlina Astri, dapat disimpulkan bahwa
keluarga sebagai lingkungan pertama bagi tumbuh kembang anak, di
mana anak bukanlah objek yang dapat dijadikan pelampiasan amarah
orang tua, tetapi anak adalah subjek yang memiliki hak-hak untuk
hidup dengan aman dan nyaman. Oleh karena itu, pola asuh yang baik
dapat memberikan perlindungan pada anak serta dapat memutus rantai
tindak kekerasan di masa mendatang. Karena anak sebagai individu
yang belum matang secara fisik, mental, maupun sosial, memberikan
pemahaman bahwa anak masih rentan dan sangat bergantung pada
orang dewasa.93
2. Penulis mengutip dari jurnal yang berjudul “Pendidikan Anti
Kekerasan Perspektif Al-Qur‟an Dan Implementasinya Dalam Metode
Pengajaran PAI”. Dalam jurnal yang ditulis oleh Muhammad Insan
Jauhari, dapat disimpulkan bahwa pendidik menempati posisi utama
dalam pendidikan sebab pendidik merupakan figure yang akan
memberikan suri tauladan bagi peserta didiknya. Adapun faktor
pendidik ialah faktor yang menjadi kunci utama terlaksananya konsep
pendidikan anti kekerasan. Karena konsep pendidikan anti kekerasan
adalah terciptanya rasa aman dan damai yang melindungi segenap
civitas yang ada dalam pendidikan tersebut dari tindakan kekerasan.94
3. Penulis mengutip dari jurnal yang berjudul “Upaya Pencegahan
Kekerasan Terhadap Anak”. Dalam jurnal yang ditulis oleh Rabiah Al
Adawiah, dapat disimpulkan bahwa orang tua berperan dalam
mendidik tanpa kekerasan, karena pada umumnya kekerasan pada anak
93
Herlina Astri, Perlindungan Sosial Bagi Penanganan Masalah Tindak Kekerasan
Terhadap Anak, Vol. 1. No. 1, Juni 2010, h. 45-46. 94
Muhammad Insan Jauhari, Pendidikan Anti Kekerasan Perspektif Al-Qur‟an dan
Implementasinya dalam Metode Pengajaran PAI, Vol. 13. No. 2, Desember 2016, h. 180-181.
42
dilakukan oleh orang-orang yang memiliki kedekatan emosional
dengan anak, bahkan hubungan darah.95
95
Rabiah Al Adawiah, Upaya Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak, Vol. 1. No. 2,
2015, h. 293.
43
43
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Waktu Penelitian
Penelitian yang berjudul “KONSEP PENDIDIKAN ANAK
MENURUT JAMAL ABDUR RAHMAN DALAM KITAB ATHFAL
AL-MUSLIMIN” ini dilaksanakan dalam waktu beberapa bulan, dengan
pengaturan waktu sebagai berikut: bulan April hingga November 2019.
B. Metode Penelitian
Research berasal dari kata re dan to search yang berarti mencari
kembali, atau dalam kata latin reserare yang berarti mengungkapkan atau
membuka. Merupakan sebuah investigasi sistematik yag dirancang untuk
menghasilkan suatu pengetahuan/alat/metode.96
Penelitian dilakukan sebagai suatu usaha untuk menemukan,
mengembangkan, menguji kebenaran dan mencari kembali suatu
pengetahuan dengan metode-metode ilmiah. Oleh karena itu jika sebuah
penelitian telah dilakukan dan hasil ditemukan, maka akan berlanjut pada
penelitian lain untuk mengkaji hal-hal yang belum terungkap dalam
penelitian sebelumnya. Menggunakan metode ilmiah berarti penelitian
dilakukan secara sistematis guna mencari jawaban atas suatu permasalahan
melalui pengumpulan data empiris dan diolah berdasarkan teknik tertentu
guna memperoleh kesimpulan yang benar.97
Untuk mendapatkan data dalam penelitian ini, penulis
menggunakan metode penelitian kualitatif, yaitu jenis penelitian yang
data-datanya tidak didapatkan melalui prosedur statistik atau bentuk
hitungan lainnya.98
Dan pada penelitian ini penulis menggunakan
pendekatan library research atau pendekatan teknis analisis deskriptif
96
Djam‟an Satori, Aan Komariah, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Alfabeta,
2013), Cet ke-5, h. 18. 97
Ibid, h. 18. 98
Anselm Strauss, Juliet Corbin, Dasar-Dasae Penelitian Kualitatif, terj. Muhammad
Shodiq & Imam Muttaqien, (Yogyakarta: Pustaka Belajar, 2003), Cet ke-1, h. 4.
44
yaitu catatan informasi faktual yang menggambarkan segala sesuatu apa
adanya dan mencakup penggambaran secara rinci dan akurat terhadap
berbagai dimensi yang terkait dengan semua aspek peneliti. Atau
serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan perolehan data yang didapat
melalui proses membaca dan mencatat, kemudian menarik kesimpulan.99
Untuk itu, penulis menggambarkan permasalahan yang akan
dibahas dengan mengambil materi-materi yang relevan. Kemudian
permasalahan itu dibahas dan dianalisa, sehingga menghasilkan suatu
kesimpulan. Untuk pengumpulan data-data dilakukan dengan cara
membaca, menelaah buku-buku, majalah, surat kabar dan bahan-bahan
informasi lainnya terutama yang berkaitan dengan konsep pendidikan anak
dan beberapa sumber di antaranya sebagai berikut:
Pertama sumber primer: Athfal al-Muslimin karangan Jamal
Abdurrahman, dan Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam Abdullah Nashih Ulwan.
Kedua, sumber data sekunder yang merupakan buku-buku penunjang,
jurnal, ataupun pembanding terhadap judul yang akan diteliti.
C. Fokus Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis memfokuskan kepada masalah
konsep pendidikan anak (mendidik tanpa kekerasan), yang metodenya
adalah penelitian kepustakaan (library research).
D. Prosedur Penelitian
Dalam penulisan skripsi ini, penulis menggunakan metode
penelitian kepustakaan (library research) metode yang dilakukan adalah:
1. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan mempelajari
literatur yang ada hubungannya dengan masalah yang diteliti dengan
mengumpulkan data-data melalui bahan bacaan dengan bersumber
pada buku-buku primer dan buku-buku sekunder yang berkaitan
dengan masalah yang dibahas.
99
Mestika Zed, Metode Penelitian Kepustakaan, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008), Cet-ke 2, h. 3.
45
a. Sumber Primer
Yang dimaksud dengan sumber primer dalam penelitian ini
adalah karya yang ditulis sendiri oleh tokoh yang diteliti. Dalam
hal ini yaitu Jamal Abdurrahman.
Untuk kategori data primer sebagai buku acuan utama,
penulis menggunakan kitab Jamal Abdurrahman yang berjudul
Athfal al-Muslimin. Dalam kitab tersebut membahas tentag
konsep pendidikan anak yang diterapkan oleh Rasulullah SAW.
b. Sumber Sekunder
Yang menjadi pelengkap dalam penelitian ini adalah buku-
buku yang berkaitan dengan pendidikan anak tanpa kekerasan
menurut para ahli pendidikan.
2. Teknik Pengolahan Data
Setelah data-data terkumpul lengkap, berikutnya yang penulis
lakukan adalah membaca, mempelajari, meneliti, menyeleksi dan
mengklasifikasi data-data yang relevan dan yang mendukung pokok
bahasan, untuk selanjutnya penulis bandingkan, analisis, simpulkan
dalam satu pembahasan yang utuh.
3. Teknik penulisan ini berpedoman pada buku Pedoman Penulisan
Skripsi Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta tahun 2019.
46
46
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Biografi Jamal Abdurrahman
1. Riwayat Hidup Jamal Abdurrahman
Jamal Abdurrahman dilahirkan di minya El-Qamh, provinsi
Syaqiyah, Mesir pada tahun 1969 M. Beliau dibesarkan ditengah-tengah
keluarga yang taat beragama, sejak kecil beliau sudah memiliki perhatian
serius terhadap ilmu syar‟I dan meraih gelar akademik sarjana S1 di
bidang Sastra Arab Universitas Zaqaqi, Mesir. Pada mulanya beliau
banyak menuntut ilmu syar‟i dibawah bimbingan syaikh dari organisasi
anshar As-sunnah Al-Muhammadiyah, Mesir. Kemudian melanjutkan
safari ilmiahnya ke kerajaan Arab Saudi dan aktif dalam kegiatan
dakwah. Di daerah selatan Mekkah ditunjuk sebagai imam dan khotib
selama 10 tahun. Selama decade tersebut, banyak memanfaatkan
kesempatan untuk menuntut ilmu kepada para ulama senior setempat.
Kemudian beliau kembali ke Mesir untuk menyempurnakan perjalanan
dakwahnya yang penuh berkah hingga keseluruh pelosok negeri sungai
nil.100
Di antara para ulama senior yang pernah menjadi guru Syaikh
Jamal Abdurrahman adalah sebagai berikut:101
a. Syaikh Muhammad Asy-Syawadifi Nuruddin (Ketua Ansharus
Sunnah, Mesir)
b. Syaikh Shafwat Asy-Syawadifi (Mesir)
c. Syaikh Abdul Aziz bin Baz (Ketua Dewan Ulama Senior, Arab
Saudi)
d. Syaikh Muhammad Al-Utsaimin (Arab Saudi)
e. Syaikh Muhammad Al-Mukhtar Asy-Syanqithi (Arab Saudi)
100
Ahmad Guntur, “Pendidikan Anak Dalam Keluarga (Studi Komparasi Pemikiran
Abdullah Nashih „Ulwan dan Jamal Abdurrahman”, Skripsi pada Universitas Islam Negeri Raden
Intan Lampung, 2018, h. 47-48. 101
Ibid, h. 48.
47
Syaikh Jamal Abdurrahman mempunyai kegiatan dan karir
saat itu antara lain sebagai berikut:102
a. Anggota Komisi Ilmiah di majalah At-Tauhid
b. Menjadi direktur (ketua bidang) urusan Al-Qur‟an di kantor pusat
organisasi Anshar as-sunnah Du‟at (Lembaga Penyiapan Dai) di
kantor pusat Ansharu Sunnah
2. Karya-Karya Jamal Abdurrahman
Inilah beberapa karya Jamal Abdurrahman adalah sebagai
berikut:103
a. Ulumul Qur‟an
- Al-Iqaazh li Tadzkiir Al-Huffaazh bi Al-Aayuat Al-Mutasyaabiha
Al-Al-faazh
b. Aqiqah
- Al-Bid‟ah wa Atsaaruha As-Sai‟ „alaa Al-Fardawa Al-Mujtama‟
c. Akhlak
- Wa Laa Taqrab Al-Fawaahisy
d. Tarbiyah
- Athfal Al-Muslimin : Kaifa Rabbaahum An-Nabi Al-amiin Li al-
„Aaqilat Faqath Li al-„Uqalaa Faqath „Uzhamaa‟ Al-Athfal.
Inilah salah buku beliau yang penulis pakai dalam penelitian ini.
B. Konsep Pendidikan Tanpa Kekerasan
1. Relevansi Pendidikan Tanpa Kekerasan dengan Landasan
Filosofi Pendidikan Anak
Seperti yang telah penulis paparkan di bab 2, bahwa dalam
pelaksanaan pendidikan anak harus dilandasi filsafat dan teori
pendidikan, agar menghindari terjadinya pendidikan tanpa arah yang
jelas, tujuan yang tidak relevan dengan sifat, kebutuhan dan
perkembangan anak, sehingga dapat memberikan perlakuan yang salah
terhadap anak.
102
Ibid, h. 48. 103
Ibid, h. 49.
48
Pendidikan anak bertujuan untuk menelaah secara teoritis awal
mula terbentuknya pendidikan anak usia dini, serta mengungkap dan
menelaah kenyataan yang terjadi dalam proses pendidikan anak. Karena
pendidikan anak usia dini bertugas menstimulasi perkembangan anak
secara keseluruhan dan optimal melalui sentuhan-sentuhan yang baik.
Kemudian menurut Johan Heinrich Pestalozzi, orang tua maupun
pendidik sangat berperan dalam mendidik anak dengan kasih sayang.
Sebab kasih sayang sangat membenatu mengembangkan potensi anak
secara teratur dan maju setahap demi setahap.104
Untuk itu dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa
mendidik dengan kekerasan sangat tidak dianjurkan dalam pelaksanaan
pendidikan, karena segala bentuk pendidikan harus dilandasi filsafat dan
teori pendidikan, yang bertujuan untuk menstimulasi perkembangan anak
secara keseluruhan dan optimal melalui sentuhan-sentuhan yang baik dan
juga mendidik dengan penuh kasih sayang, demi membantu
mengembangkan potensi anak secara teratur.
2. Relevansi Pendidikan Tanpa Kekerasan dengan Tujuan
Pendidikan Anak dalam Islam
Tujuan pendidikan anak dalam Islam untuk meningkatkan potensi
spiritual anak dengan adanya ilmu pengetahuan serta membentuk anak
agar menjadi manusia yang berakhlak mulia, beriman dan bertakwa
kepada Allah SWT. Akhlak mulia mencakup budi pekerti, moral, dan
etika sebagai perwujudan dari tujuan pendidikan. Peningkatan potensi
spiritual mencakup pengenalan, pemahaman, dan penanaman nilai-nilai
keagamaan, serta pengamalan nilai-nilai tersebut dalam kehidupan
sehari-hari, baik secara individual maupun kemasyarakatan.
Untuk itu jika orang tua atau pendidik menerapkan kekeraasan
dalam pendidikan anak, maka akan bertolak belakang dari tujuan
pendidikan anak itu sendiri.
104
Stephanus Turibius Rahmat, Filsafat Pendidikan Anak Usia Dini, Vol. 1. No. 1, Juli
2018, h.6.
49
3. Relevansi Pendidikan Tanpa Kekerasan dengan Materi
Pendidikan Anak dalam Islam
Materi-materi yang menjadi tanggung jawab pendidik dalam
pendidikan anak adalah di antaranya: (1) Pendidikan Iman, yakni
menyatukan anak dengan dasar-dasar iman, rukun Islam, dan prinsip-
prinsip syariat Islam, sejak anak sudah mampu berpikir, memahami,
membiasakan, hingga anak mampu membedakan (usia tamyiz).105
(2)
Pendidikan Moral, yakni membiasakan anak untuk berperilaku akhlak
yang baik sejak dini dengan menanamkan prinsip-prinsip akhlak dan
nilai-nilai moral kepada anak sejak dini. Karena hal tersebut merupakan
salah satu buah dari iman yang tertanam kokoh, dan pertumbuhan agama
yang benar.106
(3) Pendidikan Fisik/ Jasmani, yakni pendidikan yang
tertuju dalam menjaga kondisi fisik anak dari hal-hal berbahaya bagi
kesehatan anak.107
(4) Pendidikan Rasio/ Akal, yakni pendidikan yang
lebih tertuju pada akal dan otak manusia agar semakin berkembang ilmu-
ilmu pengetahuannya, dengan membentuk pola pikir anak dengan segala
sesuatu yang bermanfaat.108
(5) Pendidikan Psikologi/ Kejiwaan, yakni
pendidikan yang bertujuan untuk membentuk, membina, dan
menyeimbangkan kepribadian anak. Sehingga ketika sudah dewasa, ia
dapat melaksanakan kewajiban-kewajiban yang dibebankan pada dirinya
secara sempurna.109
(6) Pendidikan Sosial, yakni pendidikan moral sosial
yang ditanamkan kepada anak sejak dini dan bersumber dari akidah
Islam, agar terbentuknya kehidupan bermasyarakat dengan pergaulan dan
adab yang baik.110
(7) Pendidikan Seksual, salah satu tujuan dari
pendidikan seksual adalah membantu anak mengetahui topik-topik
105
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Emiel
Ahmad, (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 77. 106
Ibid, h. 91. 107
Ibid, h. 115. 108
Ibid, h. 141. 109
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Jamaluddin Miri,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cet ke-3, h. 363. 110
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Pendidikan Anak Dalam Islam, terj. Emiel
Ahmad, (Jakarta: Khatulistiwa Press, 2017), Cet ke-5, h. 203.
50
biologis, seperti pertumbuhan, masa pubertas, kehamilan dan
menyusui.111
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa, materi-materi
yang menjadi tanggung jawab pendidik dalam pendidikan anak
seluruhnya memiliki tujuan yang sama, yakni dalam proses pendidikan
anak tidak dianjurkan menerapkan kekerasan dalam pendidikan. Karena,
hal tersebut akan sulit untuk membentuk anak agar memiliki moral yang
baik serta akan berpengaruh terhadap kepribadian anak.
4. Relevansi Pendidikan Tanpa Kekerasan dengan Metode
Pendidikan Anak dalam Islam
Metode-metode pendidikan anak dalam Islam, di antaranya: (1)
Pendidikan Keteladanan, metode ini memberikan berpengaruh dalam
mempersiapkan dan membentuk anak secara moral, spiritual, dan sosial.
Karena, seorang pendidik merupakan suri tauladan dalam pandangan
anak, yang segala tingkah laku dan sopan santunnya akan ditiru oleh
anak.112
(2) Pendidikan Adat Kebiasaan, pendidikan ini adalah pilar
terkuat dan metode paling efektif dalam membentuk iman anak dan
meluruskan akhlaknya. Karena berdasarkan pada perhatian dan
pengikutsertaan. Mendidik dan membiasakan anak sejak kecil adalah
paling menjamin untuk mendapatkan hasil.113
(3) Pendidikan Nasihat,
nasihat dan petuah memberikan pengaruh besar untuk membuka hati
anak terhadap suatu hakikat sesudah mendorongnya menuju hal-hal
positif, karena anak mudah terpengaruh oleh kata-kata yang didengarnya
dan juga perilaku yang sering dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari.
Oleh karena itu, orang tua atau pendidik patut memberikan nasihat yang
111
Moh. Roqib, Ilmu Pendidikan Islam, (Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009), Cet ke-1,
h. 215-216. 112
Abdullah Nashih Ulwan, Pendidikan Anak dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Amani,
2007), Cet ke-3, h. 142. 113
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyah Aulad Fii al-Islam, terj. Saifullah Kamalie,
(Bandung: Asy-Syifa‟, 1981), h. 64.
51
baik ditunjang dengan teladan yang baik kepada anak.114
(4) Pendidikan
dengan Perhatian dan Pengawasan, orang tua atau pendidik berkewajiban
dalam memberikan perhatian seutuhnya. Karena orang tua baik
senantiasa akan mengoreksi perilaku anaknya yang tidak baik dengan
perasaan kasih sayang, sesuai dengan perkembangan usia anaknya.
Kemudian, dalam memberikan perhatian hendaknya orang tua bersikap
selayak mungkin, disesuaikan dengan perkembangan dan pertumbuhan
anak.115
(5) Pendidikan dengan Memberikan Hukuman, hukuman
diberikan apabila metode-metode yang lain sudah tidak dapat merubah
tingkah laku, hukuman yang diberikan hanya berupa sanksi agar anak
memperbaiki kesalahannya, dan bukan hukuman dalam bentuk kekerasan
hingga menyakiti anak secara fisik.116
Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua atau
pendidik merupakan suri tauladan dan madrasah pertama untuk anak.
Oleh karena itu, hendaknya orang tua mendidik dengan penuh kasih
sayang dan memberikan perhatian sepenuhnya, serta memberikan nasihat
jika anak melakukan kesalahan. Untuk itu, hendaknya orang tua atau
pendidik tidak menerapkan kekerasan dalam mendidik anak, hukuman
diberikan hanya bila metode yang lain tidak dapat merubah tingkah laku,
dan hukuman yang diberikan hanya berupa sanksi, bukan hukuman
dalam bentuk kekerasan hingga menyakiti anak secara fisik. Karena anak
mudah terpengaruh oleh kata-kata yang didengarnya dan juga perilaku
yang sering dilihatnya dalam kehidupan sehari-hari.
5. Relevansi Pendidikan Tanpa Kekerasan dengan Evaluasi
Pendidikan Anak dalam Islam
Di dalam tafsir surat Al-Qur‟an surat al-Isra ayat 14 yang berkaitan
dengan evaluasi pendidikan anak dijelaskan bahwa evaluasi pendidikan
114
Abdullah Nashih Ulwan, Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam, terj. Jamaluddin Miri,
(Jakarta: Pustaka Amani, 2007), Cet ke-3, h. 209. 115
Mufatihatut Taubah, Jurnal Pendidikan Agama Islam, Vol. 3. No. 1, Mei 2013, h. 131. 116
Heri Jauhari Muchtar, Fikih Pendidikan, (Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008),
Cet ke-2, h. 20-22.
52
bertujuan untuk meninjau ulang proses pendidikan yang telah
dilaksanakan dalam beberapa kurun waktu tertentu, hal tersebut
dimaksudkan untuk memahami, menggali, serta mengoreksi proses
pendidikan tersebut sehingga akan diketahui celah-celah kekurangan
yang harus diperbaiki.117
Dalam tafsir Al-Qur‟an surat al-Isra ayat 14
dijelaskan bahwa diharuskan untuk memperbaiki diri, menghilangkan
kelemahan dan kekurangan dirinya, atau mengimbanginya dengan cara
bertaubat dan menambahkan amal-amal mulia selama masih diberikan
kesempatan untuk hidup.
Untuk itu, dari pemaparan mengenai landasan filosofi pendidikan
anak hingga evaluasi pendidikan anak, tidak dianjurkan kepada orang tua
dan pendidik dalam memberikan kekerasan dalam pendidikan atau dalam
bentuk hukuman jika anak melakukan kesalahan. Kekerasan dalam
pendidikan bukan menjadi solusi untuk menyadarkan anak akan
kesalahan yang telah ia perbuat.
6. Konsep Pendidikan Tanpa Kekerasan Menurut Jamal
Abdurrahman dalam Kitab Athfal Al-Muslimin
Di dalam kitab Athfal Al-Muslimin Jamal Abdurrahman
mengatakan, bahwa tujuan menjatuhkan hukuman dalam pendidikan
Islam hanyalah untuk memberikan bimbingan dan perbaikan, bukan
untuk pembalasan atau kepuasan hati. Oleh karena itu, orang tua dan
pendidik harus memperhatikan kondisi dan watak anak sebelum
menjatuhkan hukuman kepada mereka. Orang tua dan pendidik pun harus
menerangkan kekeliruan yang dilakukannya dan memberikan semangat
kepadanya untuk memperbaiki diri, serta memaafkan kesalahan dan
kekhilafan apabila anak tersebut telah memperbaiki dirinya.
Dalam kitab Athfal Al-Muslimin Ibnu Khaldun memberikan
pernyataan bahwa beliau tidak suka menggunakan kekerasan dan
117
Ihwan Mahmudi, CIPP: Suatu Model Evaluasi Program Pendidikan, Vol. 6. No. 1,
Juni 2011.
53
paksaan dalam mendidik anak. Oleh karena itu Ibnu Khaldun
mengatakan bahaya pemukulan terhadap anak sebagai berikut:
“Barang siapa mendidik orang-orang yang menuntut ilmu, para
budak, atau para pelayan dengan cara kasar dan paksaan, maka
orang yang dididik akan dikuasai oleh serba keterpaksaan.
Keterpaksaan akan membuat jiwanya merasa sulit dan sempit
untuk mendapatkan kelapangan. Semangat membuat
kreativitasnya lenyap, cenderung pada sikap malas, dan
mendorongnya untuk suka berdusta dan melakukan hal yang keji
karena takut terhadap perlakuan suka memukul yang ditimpakan
atas dirinya secara paksa. Pendidikan cara keras yang diterapkan
terhadap dirinya mengajarinya untuk melakukan tipu muslihat
dan penipuan hingga lama-kelamaan akan menjadi kebiasaan bagi
yang bersangkutan. Akhirnya, rusaklah nilah-nilai kemanusiaan
yang seharusnya dijunjung tinggi olehnya”.118
Menurut Jamal Abdurrahman dalam kitabnya, hendaknya hukuman
apapun yang diberikan kepada anak tidak sampai menyinggung
kehormatan sang anak dan tidak juga mengandung penghinaan.
Contohnya, memukul sang anak di tengah keramaian atau
memberitahukan kepada mereka bahwa anak tersebut telah melakukan
tindakan pencurian atau lainnya. Setiap anak memiliki kepribadian
masing-masing yang harus dijaga dan kehormatan yang harus dipelihara,
untuk itu seorang pendidik harus memperhatikan hal tersebut.
Sesungguhnya masih banyak para pendidik yang masih
menyalahgunakan tujuan diadakannya hukuman, mereka beranggapan
akan mendatangkan hasil terbaik dengan penerapan hukuman dalam
pendidikan. Faktanya, menerapkan hukuman dan kekerasan hanya akan
menambahkan kebodohan dan kebekuan pikiran pada anak, sehingga
dapat berpengaruh terhadap keadaan psikisnya. Seorang anak didik bila
mendapati di sampingnya seseorang yang mengajarinya tentang
kewajiban yang harus dilakukannya dengan cara yang bijak dan nasihat
yang baik dan terus menerus menyemangatinya untuk bekerja, maka
tidak diperlukan lagi adanya hukuman yang bermuatan kekerasan.
118
Jamal Abdurrahman, Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 94-95.
54
Apabila tujuan dari hukuman adalah mengadakan perbaikan, maka
pukulan bukan merupakan sarana untuk perbaikan, dan sesungguhnya
saling pengertian secara individu dapat mendatangkan hasil yang jauh
lebih baik daripada hasil yang diperoleh melalui bahasa cambuk dan
tongkat. Dan juga termasuk cara yang keliru bila orang tua dan pendidik
mengancam anak didik dengan hukuman yang tidak mungkin bagi orang
tua dan pendidik akan melaksanakannya atau hukuman yang sifatnya
hanya menakut-nakuti. Karena cara seperti ini sama artinya dengan
membiasakan anak didik untuk bersikap keliru, sehingga makin banyak
bahaya dan masalah yang dihadapi orang tua dan pendidik.
Menurut Jamal Abdurrahman, sesungguhnya petunjuk Nabi
Muhammad SAW merupakan petunjuk yang paling sempurna
sebagaimana yang disebutkan dalam firman-Nya:
“Dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat petunjuk.”
(Q.S. An-Nur: 54)
Sehubungan dengan hal ini, Aisyah R.A berkata:
إمرأة و ال خادما إال أن يجاهد في ما ضرب رسول هللا ص.م شيئا قط بيده و ال
سبيل هللا )رواه مسلم(
“Rasulullah SAW tidak pernah memukul dengan tangannya, baik
terhadap istri ataupun pelayannya, kecuali bila berjihad di jalan Allah.”
(HR. Muslim)119
Di dalam kitab Athfal Al-Muslimin Jamal Abdurrahman
memaparkan mengenai patokan dalam memberikan hukuman, di
antaranya:120
119
Jamal Abdurrahman Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 95. 120
Jamal Abdurrahman, Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 96-98.
55
a. Pukulan tidak boleh dilakukan sebelum anak menginjak usia 10
tahun. Hal ini berkenaan dengan masalah meninggalkan shalat,
karena shalat adalah rukun Islam paling besar sesudah membaca dua
kalimat syahadat. Dengan kata lain, pelanggaran yang dilakukan
bukan berkenaan dengan masalah meninggalkan shalat, seperti
masalah yang menyangkut kehidupan, atau pendidikan, dan sang
anak tidak boleh dipukul apabila melanggarnya jika usianya belum
mencapai 10 tahun.
b. Berupaya dalam meminimalkan hukuman, dan menjadikan hukuman
seperti garam dalam masakan, sedikit tapi membuat makanan
menjadi lezat, apabila kebanyakan akan merubah cita rasanya. Begitu
pula dengan pukulan, semakin banyak dilakukan, akan mengurangi
keampuhan dan efektivitasnya, bahkan menjadikan anak terbiasa
dengannya, kemudian akan membuatnya bertambah bodoh.
Rasulullah SAW bersabda:
ال يجلد فوق عشر جلدات إال في حد من من حدود هللا )رواه البخاري(
“Hukuman cambuk lebih dari sepuluh kali dera tidak boleh
dilakukan, kecuali dalam salah satu hukuman had dari hukum-
hukum had Allah.” (HR. Bukhari)121
Kesimpulan dari hadits di atas bahwa hukuman pukulan hanya
diperbolehkan maksimal 10 kali pukulan dan hal ini pun dilakukan
terhadap orang mukallaf yang sudah baligh. Bagaimana sikap kita
terhadap anak yang belum mencapai usia taklif? Sudah pasti kita tidak
boleh memukulnya sebelum mencapai usia 10 tahun. Dahulu, Khalifah
Umar bin Abdul Aziz mengirim surat kepada seluruh Gubernurnya yang
ada di berbagai kota besar, yang isinya bahwa seorang guru tidak
diperbolehkan memukul anak didiknya lebih dari 3 kali secara berturut-
121
Jamal Abdurrahman, Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 96.
56
turut, karena hal ini akan menakutkan anak didik. Yang dimaksud
pukulan disini adalah mengajarkan, bukan menghukum.122
c. Ulama tafsir mengatakan bahwa pukulan menggunakan cambuk
dianjurkan hanya mengenai bagian kulit saja dan tidak melampauinya
hingga menembus daging. Hal tersebut bertentangan dengan hukum
Al-Qur‟an dan maksud dari firman-Nya, “fajlidu” yaitu kulit
punggung dari tubuh manusia. Maksudnya adalah pukullah sebanyak
100 kali sebagai hukuman atas perbuatannya. Jumlah ini khusus
untuk orang-orang baligh yang dikenai hukuman had.
d. Sarana yang dipakai untuk memukul tidak boleh berupa cambuk yang
keras. Zaid bin Aslan telah meriwayatkan bahwa dahulu pada masa
Rasulullah SAW pernah ada seorang lelaki mengakui dirinya telah
berbuat zina. Rasulullah pun meminta cambuk, lalu didatangkanlah
kepadanya sebuah cambuk yang telah terurai ujungnya, maka beliau
bersabda: “Di atas ini.” Lalu didatangkanlah sebuah cambuk yang
telah terurai ujungnya, maka beliau bersabda: “Di bawah ini”.
Akhirnya didatangkanlah kepadanya sebuah cambuk yang telah
digunakan dan agak lunak ujungnya, kemudian Rasulullah
memerintahkan agar lelaku itu didera dengan cambuk tersebut.
Sesudah itu Rasulullah bersabda:
أيها الناس قد ان لكم أن تنتهوا عن حدود هللا من أصاب هذه القاذورات شيئا
فليستتر بستر هللا فإنه من يبدى لنا صفحته نقم عليه كتاب هللا
“Hai sekalian manusia, sekarang sudah saatnya bagi kalian
menghentikan (perbuatan yang menyebabkan) hukuman had Allah.
Barang siapa melakukan sesuatu dari perbuatan yang keji ini,
hendaklah ia menutupi dirinya dengan tirai Allah, karena barang
122
Jamal Abdurrahman, Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 96.
57
siapa mengakui perbuatannya terhadap kami, niscaya kami akan
menegakkan hukum Allah terhadapnya.”123
e. Seseorang yang memberikan pukulan tidak boleh mengangkat tinggi
ketiaknya, sebagaimana yang dikatakan oleh Umar terhadap juru
pukulnya: “Janganlah kamu angkat ketiakmu!”. Maka yang dimaksud
larangan ini adalah agar pukulan yang diberikan tidak melukai, tidak
terlalu keras dan kuat. Karena ada larangan Nabi SAW mengenai hal
ini:
إذا ضرب أحدكم خادمه فذكر هللا فار فعوا أيديكم )رواه الترمذي(
“Apabila seseorang di antara kalian memukul pelayannya, lalu
pelayannya menyebut nama Allah, maka tahanlah tangan kalian
(dari memikulnya). (HR. Tirmidzi)
Hal tersebut tidak hanya dianjurkan untuk peleyan, akan tetapi juga
dianjurkan untuk anak kecil. Bila anak meminta tolong kepada Allah
ketika hendak dipukul, maka pengasuh dan pendidik sebaiknya
menghentikan pukulan. Rasulullah SAW bersabda:
“Orang yang meminta perlindungan kepada kalian atas nama
Allah maka lindungilah dan siapa yang meminta kepada kalian
dengan nama Allah maka berilah.”
Akan tetapi menurut Jamal Abdurrahman hal ini tidak dapat
dijadikan sebagai bahan pertimbangan apa yang dikatakan oleh beberapa
pendapat ahli yang menyebutkan bahwa anak yang bersangkutan bisa
saja menjadikan hal ini sebagai kilah dan jalan keluar agar terbebas dari
hukuman setiap kali dikenai hukuman. Demikian karena sesungguhnya
berkah, taufiq, dan hidayah semuanya apabila taat kepada Nabi SAW.
Allah SWT telah berfirman:
123
Jamal Abdurrahman, Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 97.
58
“…..dan jika kamu taat kepadanya, niscaya kamu mendapat
petunjuk. dan tidak lain kewajiban Rasul itu melainkan
menyampaikan (amanat Allah) dengan terang.” (QS. An-Nur: 54)
Memang benar bisa jadi ada sebagian anak yang berkilah dengan
cara ini. Tetapi siapakah yang disalahkan bila anak-anak didik berani
melakukan kilah dan tipu muslihat seperti ini? Oleh karena itu, pendidik
harus melakukan introspeksi, mengevaluasi segala kekeliruan, dan
kembali berangkat dari kaidah yang diakui oleh syariat dalam masalah
pendidikan secara ilmiah dan benar, agar tidak terjadi ketimpangan dan
kontradiksi dalam penerapannya.
Oleh karena itu Jamal Abdurrahman mengatakan bahwa tidak
sepatutnya memperbanyak hukuman, karena berpengaruh sangat buruk
terhadap anak didik. Dan juga kekerasan yang dilakukan terhadap anak
didik secara terus menerus dapat membahayakan tubuh, akhlak, dan
emosi mereka. Untuk itu, harus ada cara lain yang dilakukan secara bijak,
seperti kata pepatah “Mencegah lebih baik daripada mengobati.” Karena
sesungguhnya pendidik yang bijaksana ialah pendidik yang menjauhkan
anak didiknya dari pengaruh lingkungan yang dapat menjerumuskannya
ke dalam berbagai kekeliruan.
Jamal Abdurrahman di dalam kitabnya, mengemukakan bahwa ada
beberapa akibat dari hukuman yang ditimpakan kepada anak apabila
orang tua atau pendidik dalam keadaan marah, yaitu:124
a. Tidak bermanfaat
b. Mendatangkan rasa antipasti dan kebencian dalam diri anak
c. Pukulan seperti itu tidak bertujuan untuk mendidik, melainkan hanya
untuk kepuasan semata dalam menyalurkan amarah terhadap anak
didiknya yang seharusnya dikasihani.
d. Sesungguhnya orang yang dalam keadaan marah seperti ini biasanya
tidak memelihara hukum-hukum Allah saat menimpakan pukulan.
124
Jamal Abdurrahman, Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 99.
59
Adakalanya dia memukul bagian wajah atau bagian yang sensitive,
seperti kepala, leher, dan kemaluan. Padahal sesungguhnya bagian-
bagian ini tidak boleh dipukul, karena bisa jadi pukulan yang
diberikan ke bagian-bagian tersebut akan menimbulkan kecacatan
permanen pada diri anak, bahkan akan menghantarkannya pada
kematian. Karena, contoh mengenai hal tersebut cukup banyak
menimbulkan kejadian yang begitu memilukan. Pernah dihadapkan
kepada khalifah Ali bin Abi Thalib seorang laki-laki yang mabuk dan
harus menjalani hukuman had minum khamr, maka Ali berkata,
“Deralah dia dan berikanlah kepada setiap anggota tubuhnya bagian
yang berhak diterimanya, tetapi hindarilah wajah dan kemaluan!”
Nabi SAW bersabda:
إذا ضرب أحدكم فليتق الوجه )رواه مسلم(
“Apabila seseorang di antara kalian memukul, maka hindarilah
bagian wajah.” (HR. Muslim)125
Dari pengertian di atas, dapat diketahui rahasia yang terkandung di
balik pesan terulang Nabi Muhammad SAW kepada seorang laki-laki
Badui saat mengatakan kepadanya, “Berpesanlah padaku!” Kemudian
Nabi SAW menjawab:
ال تغضب )رواه البخاري(
“Kamu jangan suka marah.” (HR. Bukhari)126
Laki-laki itu berkata, “Setelah kurenungkan apa yang dipesankan
Nabi SAW, ternyata aku jumpai bahwa sikap marah menghimpun semua
keburukan.”
a. Buku karangan DR. Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid
dengan judul Manhaj at-Tarbiyah an-Nabawiyyah Lith Thifl
(Judul Terjemahan: Prophetic Parenting, Cara Nabi SAW
125
Jamal Abdurrahman, Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 99. 126
Jamal Abdurrahman, Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin,
(Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004), h. 99.
60
Mendidik Anak) yang diterjemahkan oleh Farid Abdul Aziz
Qurusy.127
Buku ini menjelaskan bahwa pendidikan bagi anak bermula
dari ketika kedua orang tua menikah. Kemudian hubungan keuda
orang tua, keshalehan mereka dan kesepakatan mereka dalam
melakukan kebajikan, memiliki pengaruh yang cukup kuat dalam
membentuk sisi psikis dan kecenderungan bagi sang anak. Dalam
buku ini ditekankan pentingnya pertumbuhan anak di dalam
naungan ibu, keluarga dan lingkungan serta hubungan kekerabatan
dengan kedua orang tua dan karib-kerabatnya. Juga tentang
pentingnya menjaga nilai-nilai islami dalam masa pertumbuhannya
dan membiasakannya untuk selalu berpikir.
Konten di dalamnya mengenai metode yang diterapkan
oleh Rasulullah SAW dalam mendidik. Karena orang yang paling
sempurna penghambaannya kepada Allah SWT adalah Nabi
Muhammad SAW. Hal itu tercermin dari perilakunya. Beliau
adalah contoh ideal dalam segala hal.
Metode pendidikan Rasulullah SAW masih diterapkan
dalam pendidikan di dalam rumah tangga ataupun di sekolah.
Secara umum, metode ini saling menunjang antara satu dengan
yang lainnya. Oleh karena itu, tidak bisa dikatakan bahwa cara
yang satu lebih unggul daripada yang lain. Semuanya merupakan
satu kesatuan dalam proses pendidikan. Dan oleh karenanya harus
diterapkan secara seimbangan dan adil.
Di dalam buku ini dijelaskan bahwa tujuan
dilaksanakannya hukuman adalah agar anak dapat menyadari
besarnya nilai kasih sayang dan kelembutan yang dia dapatkan dari
kedua orang tuanya sebelum dihukum. Anak juga dapat merasakan
pentingnya ketaatan, sikap dan perilaku yang baik. Orang tua
127
Muhammad Nur Abdul Hafizh Suwaid, Prophetic Parenting Cara Nabi SAW
Mendidik Anak, (Yogyakarta: Pro-U Media, 2010).
61
sangat berperan penting dalam mendidik dan mengajar anak sejak
mereka masih kecil. Karena jika sikap dan perbuatan terpuji
tertanam sejak kecil, maka anak akan tumbuh dengan akhak yang
baik dan terbiasa untuk selalu bersikap dan berperilaku terpuji.
b. Buku karangan Syekh Khalid bin Abdurrahman al-„Ik
dengan judul Tarbiyah al-Abna’ wa al-Banat fi Dhau’ al-
Qur’an wa as-Sunnah (Judul Terjemahan: Prophetic
Parenting, Mendidik Anak Sejak Kandungan Hingga Besar)
yang diterjemahkan oleh Dwi dan Aguk.128
Buku ini menguraikan secara komprehensif mengenai
cara mendidik anak berdasarkan al-Qur‟an dan sunnah Rasulullah
SAW, dan juga memberikan solusi bagi para orang tua dalam
mendidik anak sejak dalam kandungan hingga besar. Buku ini juga
menjelaskan bahwa orang tua dan keluarga berperan penting dalam
proses mendidik anak, dan juga dijelaskan tahapan-tahapan
mendidik anak sejak fase sebelum kelahiran hingga menuju fase
dewasa.
Orang tua berperan penting dalam proses pendidikan
anak, agar kelak dalam kehidupan bermasyarakat bisa menjadi
orang yang bermanfaat. Metode pendidikan yang digunakan orang
tua hendaknya berpegang pada nilai-nilai Islam dalam mendidik
anak, dan menjadikan Raasulullah SAW sebagai tokoh atau suri
tauladan, agar dapat membawa anak ke dalam kehidupan yang baik
di dalam lingkungan keluarga yang harmonis.
Adapun beberapa konten yang dijelaskan dalam buku ini, di
antaranya: untuk seorang ibu mengenai penjagaan terhadap janin,
kepada orang tua mengenai mendidik dengan membangun
kepribadian anak, mendidik dengan pembentukan jiwa
keberagamaan, keimanan dan ibadah anak, mendidik dengan
128
Khalid bin Abdurrahman al-„Ik, Prophetic Parenting, (Yogyakarta: Laksana, 2017),
Cet ke-I.
62
dengan metode pendidikan etika, dialog, dan pemberian tugas,
mendidik karakter dan sosial anak serta menyayanginya dengan
tanpa pilih kasih, serta memberikan hak anak dalam mendapatkan
keadilan, pengetahuan, dan kebijaksanaan.
C. Temuan Hasil Analisis Kritis Komparatif
Ditemukan dari 2 (dua) judul yang dikaji penulis, terdapat banyak
kesamaan pandangan para penulis buku yang berkaitan dengan Konsep
Pendidikan Tanpa Kekerasan Menurut Jamal Abdurrahman dalam Kitab
Athfal Al-Muslimin. Pendidikan dalam keluarga merupakan pendidikan
yang paling utama. Anak akan tumbuh dan berkembang sesuai dengan
apa dan bagaimana cara orang tua mendidiknya. Pendidikan yang keras
dan tidak ramah terhadap anak yang dilakukan oleh orang tua seharusnya
tidak terjadi, karena anak merupakan asset keluarga dan juga penerus
keturunan bagi orang tua. Anak yang dididk tanpa cinta dan kasih sayang
akan tumbuh dengan deviasi dan patologis (keadaan berupa
penyimpangan perilaku dalam bentuk merugikan diri sendiri dan orang
lain). Sebaliknya, anak yang tumbuh dalam lingkungan keluarga yang
kokoh, penuh cinta, dan jauh dari eksploitasi, akan lahir dan tumbuh
sebagai generasi berkarakter dan pada gilirannya akan menjadi warga
masyarakat dan warga negara yang berkarakter pula. Oleh karena itu,
anak perlu dididik dengan cinta dan kasih sayang, dengan
mengedepankan kelemahlembutan daripada kekerasan dalam
penyampaiannya. Setiap anak sebagaimana manusia mempunyai
kebutuhan dasar yang menuntut untuk dipenuhi agar anak dapat tumbuh
dan berkembang secara wajar.
62
62
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian pembahasan konsep pendidikan anak dalam kitab
Athfal Al-Muslimin dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Dilihat dari landasan filosofi pendidikan anak, pelaksanaan pendidikan
dalam bentuk apapun harus dilandasi filsafat dan teori pendidikan,
termasuk dalam praktik pendidikan anak.
2. Dilihat dari tujuan pendidikan anak dalam Islam, bertujuan untuk
meningkatkan potensi spiritual anak agar menjadi manusia yang
berkahlak mulia, beriman dan bertakwa kepada Allah SWT.
3. Dilihat dari materi pendidikan anak dalam Islam yang menjadi
tanggung jawab pendidik dalam pendidik anak, di antaranya:
pendidikan iman, pendidikan moral, pendidikan fisik (jasmani),
pendidikan rasio (akal), pendidikan psikologi (kejiwaan), pendidikan
sosial, pendidikan seksual.
4. Dilihat dari metode pendidikan anak dalam Islam, di antaranya:
pendidikan keteladanan, pendidikan adat kebiasaan, pendidikan
nasihat, pendidikan dengan perhatian dan pengawasan, pendidikan
dengan memberikan hukuman.
5. Dilihat dari konsep pendidikan menurut Jamal Abdurrahman,
pendidikan dengan kekerasan bukanlah pendidikan yang dianjurkan
oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW.
6. Konsep pendidikan anak tanpa kekerasan dapat dilakukan dengan
memahami anak dengan sesungguhnya dan mencintainya karena Allah
SWT, mendidik dengan penuh kasih sayang, mendidik dengan
bijaksana, memberikan nasihat melalui perkataan yang baik, selalu
mendo‟akan kebaikan kepada anak, memberikan semangat untuk
memperbaiki jika melakukan kesalahan, memberikan hukuman
sewajarnya tanpa menyakitinya.
63
7. Dalam menghindari pendidikan dengan kekerasan terhadap anak
digunakan beberapa prinsi, yaitu: memberitahukan kesalahannya,
menghukum tanpa menyakitinya, kesalahan anak menjadi bahan
evaluasi orang tua dan pendidik, dan tujuan dari hukuman adalah
sebagai sarana perbaikan.
8. Dampak pendidikan dengan kekerasan bagi anak adalah: menurunkan
tingkat kecerdasan, trauma berkelanjutan, menghambat perkembangan
jiwa, membuat anak menjadi depresi, berbohong karena takut
dimarahi, menyebabkan anak menjadi durhaka.
B. Saran
Pendidikan anak dengan menggunakan kekerasan masih banyak
dilakukan oleh orang tua terhadap anaknya. Oleh karena itu, perlu adanya
penyuluhan atau kajian kitab Athfal Al-Muslimin dan bimbingan sosial
terhadap keluarga dengan pembelajaran keluarga untuk menghindari
tindakan yang tidak seharusnya terjadi, dan penerapan pola asuh yang
bijaksana.
Khususnya kepada orang tua dan calon orang tua disarankan agar
menempuh cara-cara mendidik anak tanpa kekerasan sebagaimana yang
tekah diajarkan oleh Allah SWT dan Rasulullah SAW yang ada di dalam
kitab Athfal Al-Muslimin.
64
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Jamal. Athfal Al-Muslimin Kayfa Rabbahum An-Nabiyyu Al-Amiin.
Makkah: Rabbi‟u Mahmud, 2004.
Al-„Ik, Khalid bin Abdurrahman. Prophetic Parenting. Yogyakarta: Laksana,
2017. Cet. I.
Al-Adawiah, Rabiah. Upaya Pencegahan Kekerasan Terhadap Anak. Vol. 1. No.
2. 2015.
Amri, Asep Saepul. “Konsep Pendidikan Anak dalam Islam Perspektif Ibnu
Qayyim Al-Jauziyyah”. Skripsi pada Universitas Islam Negeri Walisongo,
2017.
Anshor, Ulfah Maria. Gholib, Abdullah. Parenting With Love. Bandung: PT
Mizan Pustaka, 2010. Cet. I.
Astri, Herlina. Perlindungan Sosial Bagi Penanganan Masalah Tindak Kekerasan
Terhadap Anak. Vol. 1. No. 1. Juni 2010.
Departemen Agama RI. Al-Qur‟an dan Terjemahanya. Depok: Cahaya Qur‟an,
2008.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi
Kedua. Jakarta: Balai Pustaka, 1994.
Djamarah, Syaiful Bahri. Pola Asuh Orang Tua dan Komunikasi dalam Keluarga.
Jakarta: PT Rineka Cipta, 2014.
Faisol. Gus Dur dan Pendidikan Islam: Upaya Mengembalikkan Esensi
Pendidikan di Era Global. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2011.
Guntur, Ahmad. “Pendidikan Anak Dalam Keluarga (Studi Komparasi Pemikiran
Abdullah Nashih „Ulwan dan Jamal Abdurrahman”. Skripsi pada
Universitas Islam Negeri Raden Intan Lampung, 2018.
Hamka. Tafsir Al-Azhar Juz‟XV. Jakarta: PT Pustaka Panjimas, 1984.
Hasbullah. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan. Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
2017. Cet. XIII.
Hasibuan, Albar Adetary. Filsafat Pendidikan Islam. Malang: UIN Maliki Press,
2015. Cet. I.
Hauck, Paul. Mendidik Anak dengan Berhasil. Jakarta: Arcan, 1993. Cet. V.
65
http://fauzanma.fitkuinjkt.blogspot.com/2008/12/evaluasi-dalam-al-quran.html.
Diakses pada tanggal 30 Desember 2008.
http://m.detik.com/news/berita/d-4532984/kpai-angka-kekerasan-pada-anak-
januari-april-2019-masih-tinggi?. Diakses pada tanggal 02 Mei 2019.
Imani, Allamah Kamal Faqih. Tafsir Nurul Qur‟an. Jakarta: Al-Huda, 2005. Cet.
I.
Jauhari, Muhammad Insan. Pendidikan Anti Kekerasan Perspektif Al-Qur‟an dan
Implementasinya dalam Metode Pengajaran PAI. Vol. XIII. No. 2.
Desember 2016.
Lestari, Sri. Psikologi Keluarga. Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Cet. I.
Mahmudi, Ihwan. CIIP: Suatu Model Evaluasi Program Pendidikan. Vol. 6. No.
1. Juni 2011.
Moeliono, Anton M. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka,
1989.
Muchtar, Heri Jauhari. Fikih Pendidikan. Bandung: PT Remaja Rosdakarya, 2008.
Cet. II.
Mujib, Abdul. Mudzakkir, Jusuf. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana, 2017.
Cet. V.
Nata, Abuddin. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenamedia Group,
2016. Cet. III.
Pidarta, Made. Studi Tentang Landasan Kependidikan. Jilid. 4. No. 1. Februari
1997.
Qayyim, Ibnu. Kunci Surga Mencari Kebahagiaan dengan Ilmuu. Terj. Abdul
Muin dan Salim Rusydi Cahyono. Solo: Tiga Serangkai, 2009. Cet. I.
Rahmat, Stephanus Turibius. Filsafat Pendidikan Anak Usia Dini. Vol. 1. No. 1.
Juli 2018.
Rifa‟I, Muhammad. Sosiologi Pendidikan Struktur & Interaksi Sosial di Dalam
Institusi Pendidikan. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2016. Cet. III.
Roqib, Moh. Ilmu Pendidikan Islam. Yogyakarta: LKiS Yogyakarta, 2009. Cet. I.
66
Satori, Djam‟an. Komariah, Aan. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung:
Alfabeta, 2013. Cet. V.
Shihab, M. Quraish. Al-Lubab Surah Yusuf (12) – Surah Asy-Syu‟ara‟ (26).
Ciputat: Lentera Hati, 2012. Cet. I.
Strauss, Anselm. Corbin, Juliet. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif. Terj.
Muhammad Shodiq & Imam Muttaqien. Yogyakarta: Pustaka Belajar,
2003. Cet. I.
Suwaid, Muhammad Nur Abdul Hafizh. Prophetic Parenting Cara Nabi SAW
Mendidik Anak. Yogyakarta: Pro-U Media, 2010.
Suyitno, Y. Landasan Filosofi Pendidikan. Bandung: Departemen Pendidikan
Nasional Universitas Pendidikan Indonesia Fakultas Pendidikan, 2009.
Taubah, Mufatihatu. Jurnal Pendidikan Agama Islam. Vol. 03. No. 01. Mei 2015.
Tim Redaksi Kamus Besar Bahasa Indonesia. Kamus Besar Bahasa Indonesia.
Jakarta: Balai Pustaka, 2005.
Uhbiyati, Nur. Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan Islam. Semarang: Fakultas Tarbiyah
IAIN Walisongo, 2002.
Ulwan, Abdullah Nashih. Pedoman Pendidikan Anak dalam Islam. Semarang: CV
Asy Syifa‟, 1091. Cet. III.
Ulwan, Abdullah Nashih. Tarbiyatul Aulad Fii al- Islam. Terj. Emiel Ahmad.
Jakarta: Khatulistiwa Press, 2017. Cet. V.
Ulwan, Abdullah Nashih. Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam. Terj. Jamaluddin Miri.
Jakarta: Pustaka Amani, 2017. Cet. III.
Ulwan, Abdullah Nashih. Tarbiyatul Aulad Fii al-Islam. Terj. Saifullah Kamalie.
Bandung: Asy-Syifa‟, 1981.
Usman. Filsafat Pendidikan. Yogyakarta: Teras, 2010. Cet. I.
Zed, Mestika. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2008. Cet. II.