konsep medis llimfadenitis (1)
-
Upload
siska-misali -
Category
Documents
-
view
106 -
download
1
Transcript of konsep medis llimfadenitis (1)
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kelenjar getah bening termasuk dalam susunan retikuloendotel, yang
tersebar di seluruh tubuh. Kelenjar inimempunyai fungsi penting berupa barier
atau filter terhadap kuman-kuman/bakteri-bakteri yang termasuk ke dalam badan
dan barier pula untuk sel-sel tumor ganas (kanker). Disamping itu bertugas pula
untuk membentuk sel-sel limfosit darah tepi. Limfadenitis adalah peradangan
kelenjar getah bening (kelenjar limfe) regional dari lesi primer akibat adanya
infeksi dari bagian tubuh yang lain.
Streptokokus dan bakteri staphylococcal adalah penyebab paling umum
dari limfadenitis, meskipun virus, protozoa, rickettsiae, jamur, dan basil TB juga
dapat menginfeksi kelenjar getah bening. Streptokokus dan bakteri penyebab
adalah pagar staphylococcal limfadenitis Umum, meskipun virus, protozoa,
rickettsiae, jamur, dan TBC juga dapat menginfeksi kelenjar getah bening.
Penyakit yang melibatkan kelenjar getah bening di seluruh tubuh termasuk
mononucleosis, infeksi sitomegalovirus, toksoplasmosis, dan brucellosis. Gejala
awal limfadenitis adalah pembengkakan kelenjar yang disebabkan oleh
penumpukan cairan jaringan dan peningkatan jumlah sel darah putih akibat
respon tubuh terhadap infeksi. Pembesaran kelenjar terjadi karena adanya
hiperplasia limfoid dan terbentuknya tuberkel, kemudian terjadi granulasi kronis,
di kelenjar terjadi nekrosis dan perkejuan. Kelenjar dapat membesar dan melekat
satu dengan yang lainnya serta melekat dengan jaringan sekitarnya, kemudian
terjadi perkejuan selanjutnya terbentuk abses.
B. Tujuan Penulisan
Makalah ini bertujuan untuk membahas konsep medis dan keperawatan
limfadenitis.
C. Manfaat Penulisan
Agar mampu memahami tentang penyakit peradangan kelenjar getah
bening (limfadenitis), dan dapat menerapkan bagaimana cara penanganan
pasien dengan limfadenitis.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Dasar Medis
1. Defenisi
Limfadenitis merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau getah bening.
Jadi, limfadenitis tuberkulosis (TB) merupakan peradangan pada kelenjar limfe atau
getah bening yang disebabkan oleh basil tuberkulosis (Ioachim, 2009). Apabila
peradangan terjadi pada kelenjar limfe di leher disebut dengan scrofula
(Dorland, 1998). Limfadenitis pada kelenjar limfe di leher inilah yang
biasanya paling sering terjadi (Kumar, 2004). Istilah scrofula diambil dari
bahasa latin yang berarti pembengkakan kelenjar. Hippocrates (460-377 S.M.)
menyebutkan istilah tumor skrofula pada sebuah tulisannya (Mohaputra,
2009). Penyakit ini juga sudah dikenal sejak zaman raja-raja Eropa pada
zaman pertengahan dengan nama “King’s evil”, dimana dipercaya bahwa
sentuhan tangan raja dapat menyembuhkannya (McClay, 2008). Infeksi
M.tuberculosis pada kulit disebabkan oleh perluasan langsung tuberkulosis ke
kulit dari struktur dasar atau terpajan melalui kontak dengan tuberkulosis
disebut dengan scrofuloderma (Dorland, 1998).
2. Epidemiologi
Selama beberapa abad tuberkulosis merupakan salah satu penyakit
terparah pada manusia. Dari semua penyakit infeksi, tuberkulosis masih
merupakan penyebab kematian tersering. WHO memprediksikan insidensi
penyakit tuberkulosis ini akan terus meningkat, dimana akan terdapat 12 juta
kasus baru dan 3 juta kematian akibat penyakit tuberkulosis setiap tahun.
Sepertiga dari peningkatan jumlah kasus baru disebabkan oleh epidemi HIV,
dimana tuberkulosis menyebabkan kematian pada satu orang dari tujuh orang
yang menderita AIDS (Ioachim, 2009).
Indonesia pada tahun 2009 menempati peringkat kelima negara dengan
insidensi TB tertinggi di dunia sebanyak 0,35-0,52 juta setelah India (1,6-2,4
juta), Cina (1,1-1,5 juta), Afrika Selatan (0,40-0,59 juta), dan Nigeria (0,37-
0,55 juta) (WHO, 2010). Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) tahun
1995 menempatkan TB sebagai penyebab kematian terbesar ketiga setelah
penyakit kardiovaskular dan penyakit saluran pernapasan, dan merupakan
nomor satu terbesar dalam kelompok penyakit infeksi (Depkes, 2007).
Tuberkulosis dapat melibatkan berbagai sistem organ di tubuh.
Meskipun TB pulmoner adalah yang paling banyak, TB ekstrapulmoner juga
merupakan salah satu masalah klinis yang penting. Istilah TB ekstrapulmoner
digunakan pada tuberkulosis yang terjadi selain pada paru-paru. Berdasarkan
epidemiologi TB ekstrapulmoner merupakan 15-20% dari semua kasus TB
pada pasien HIV-negatif, dimana limfadenitis TB merupakan bentuk
terbanyak (35% dari semua TB ekstrapulmoner). Sedangkan pada pasien
dengan HIV-positif TB ekstrapulmoner adalah lebih dari 50% kasus TB,
dimana limfadenitis tetap yang terbanyak yaitu 35% dari TB ekstrapulmoner
(Sharma, 2004).
Limfadenitis TB lebih sering terjadi pada wanita daripada pria dengan
perbandingan 1,2:1 (Dandapat, 1990). Berdasarkan penelitian terhadap data
demografik 60 pasien limfadenitis TB didapat 41 orang wanita dan 19 orang
pria dengan rentang umur 40,9 ± 16,9 (13 – 88) (Geldmacher, 2002).
Penelitian lainnya terhadap 69 pasien limfadenitis TB didapat 48 orang wanita
dan 21 orang pria dengan rentang umur 31,4 ± 13,1 (14 – 60) (Jniene, 2010).
3. Etiologi
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium
kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan
terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam
Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M.
bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7.
M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi
(Raviglione, 2010).
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus
berukuran sekitar 0,4 x 3 μm dan tidak berspora. Pada media buatan
berbentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke
spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai
dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus
serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat
dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri
tahan asam (Raviglione, 2010; Jawetz, 2004). M.tuberculosis mudah mengikat
pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004).
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan
asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mikobakterium.
Penghilangan lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan
sifat tahan asam bakteri ini (Brooks, 2004).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon
sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia
tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan
bakteri. Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit
cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-
23°C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk
patogennya (Brooks, 2004).
4. Etiologi
Limfadenitis tuberkulosis disebabkan oleh infeksi Mycobacterium
tuberculosis. Mycobacteria tergolong dalam famili Mycobactericeae dan ordo
Actinomyceales. Spesies patogen yang termasuk dalam Mycobacterium
kompleks, yang merupakan agen penyebab penyakit yang tersering dan
terpenting adalah Mycobacterium tuberculosis. Yang tergolong dalam
Mycobacterium tuberculosae complex adalah : 1. M. tuberculosae, 2. M.
bovis, 3. M. caprae, 4. M. africanum, 5. M. Microti, 6. M. Pinnipedii, 7.
M.canettii Pembagian tersebut berdasarkan perbedaan epidemiologi
(Raviglione, 2010).
Basil TB adalah bakteri aerobik obligat berbentuk batang tipis lurus
berukuran sekitar 0,4 x 3 μm dan tidak berspora. Pada media buatan
berbentuk kokoid dan filamentous tampak bervariasi dari satu spesies ke
spesies lain. Mycobacteria termasuk M.tuberculosis tidak dapat diwarnai
dengan pewarnaan Gram dan hanya dapat diwarnai dengan pewarnaan khusus
serta sangat kuat mengikat zat warna tersebut sehingga tidak dapat
dilunturkan walaupun menggunakan asam alkohol, sehingga dijuluki bakteri
tahan asam (Raviglione, 2010; Jawetz, 2004). M.tuberculosis mudah mengikat
pewarna Ziehl-Neelsen atau karbol fuksin (Kumar, 2004).
Dinding bakteri Mikobakterium kaya akan lipid yang terdiri dari asam
mikolat, lilin, dan fosfat. Muramil dipeptida yang membuat kompleks dengan
asam mikolat dapat menyebabkan pembentukan granuloma. Lipid inilah yang
bertanggung jawab pada sifat tahan asam bakteri Mikobakterium.
Penghilangan lipid dengan menggunakan asam yang panas menghancurkan
sifat tahan asam bakteri ini (Brooks, 2004).
Bakteri ini mendapatkan energi dari oksidasi banyak komponen karbon
sederhana. Penambahan CO2 meningkatkan pertumbuhan. Aktivitas biokimia
tidak khas dan laju pertumbuhannya lebih lambat daripada kebanyakan
bakteri. Waktu replikasi basil tuberkulosis sekitar 18 jam. Bentuk saprofit
cenderung tumbuh lebih cepat, berproliferasi dengan baik pada temperatur 22-
23°C, dan tidak terlalu bersifat tahan asam bila dibandingkan dengan bentuk
patogennya (Brooks, 2004).
5. Patogenesis
Secara umum penyakit tuberkulosis dapat diklasifikasikan menjadi TB
pulmoner dan TB ekstrapulmoner. TB pulmoner dapat diklasifikasikan
menjadi TB pulmoner primer dan TB pulmoner post-primer (sekunder). TB
primer sering terjadi pada anak-anak sehingga sering disebut child-type
tuberculosis, sedangkan TB post-primer (sekunder) disebut juga adult-type
tuberculosis karena sering terjadi pada orang dewasa, walaupun faktanya TB
primer dapat juga terjadi pada orang dewasa (Raviglione, 2010).
Basil tuberkulosis juga dapat menginfeksi organ lain selain paru, yang
disebut sebagai TB ekstrapulmoner. Menurut Raviglione (2010), organ
ekstrapulmoner yang sering diinfeksi oleh basil tuberkulosis adalah kelenjar
getah bening, pleura, saluran kemih, tulang, meningens, peritoneum, dan
perikardium.
TB primer terjadi pada saat seseorang pertama kali terpapar terhadap
basil tuberkulosis (Raviglione, 2010). Basil TB ini masuk ke paru dengan cara
inhalasi droplet. Sampai di paru, basil TB ini akan difagosit oleh makrofag
dan akan mengalami dua kemungkinan. Pertama, basil TB akan mati difagosit
oleh makrofag. Kedua, basil TB akan dapat bertahan hidup dan
bermultiplikasi dalam makrofag sehingga basil TB akan dapat menyebar
secara limfogen, perkontinuitatum, bronkogen, bahkan hematogen.
Penyebaran basil TB ini pertama sekali secara limfogen menuju kelenjar limfe
regional di hilus, dimana penyebaran basil TB tersebut akan menimbulkan
reaksi inflamasi di sepanjang saluran limfe (limfangitis) dan kelenjar limfe
regional (limfadenitis). Pada orang yang mempunyai imunitas baik, 3 – 4
minggu setelah infeksi akan terbentuk imunitas seluler. Imunitas seluler ini
akan membatasi penyebaran basil TB dengan cara menginaktivasi basil TB
dalam makrofag membentuk suatu fokus primer yang disebut fokus Ghon.
Fokus Ghon bersama-sama dengan limfangitis dan limfadenitis regional
disebut dengan kompleks Ghon. Terbentuknya fokus Ghon mengimplikasikan
dua hal penting. Pertama, fokus Ghon berarti dalam tubuh seseorang sudah
terdapat imunitas seluler yang spesifik terhadap basil TB. Kedua, fokus Ghon
merupakan suatu lesi penyembuhan yang didalamnya berisi basil TB dalam
keadaan laten yang dapat bertahan hidup dalam beberapa tahun dan bisa
tereaktivasi kembali menimbulkan penyakit (Datta, 2004).
Jika terjadi reaktivasi atau reinfeksi basil TB pada orang yang sudah
memiliki imunitas seluler, hal ini disebut dengan TB post-primer. Adanya
imunitas seluler akan membatasi penyebaran basil TB lebih cepat daripada TB
primer disertai dengan pembentukan jaringan keju (kaseosa). Sama seperti
pada TB primer, basil TB pada TB post-primer dapat menyebar terutama
melalui aliran limfe menuju kelenjar limfe lalu ke semua organ (Datta, 2004).
Kelenjar limfe hilus, mediastinal, dan paratrakeal merupakan tempat
penyebaran pertama dari infeksi TB pada parenkim paru (Mohapatra, 2009).
Basil TB juga dapat menginfeksi kelenjar limfe tanpa terlebih dahulu
menginfeksi paru. Basil TB ini akan berdiam di mukosa orofaring setelah
basil TB masuk melalui inhalasi droplet. Di mukosa orofaring basil TB akan
difagosit oleh makrofag dan dibawa ke tonsil, selanjutnya akan dibawa ke
kelenjar limfe di leher (Datta, 2004).
6. Manifestasi Klinis
Limfadenitis adalah presentasi klinis paling sering dari TB
ekstrapulmoner. Limfadenitis TB juga dapat merupakan manifestasi lokal dari
penyakit sistemik. Pasien biasanya datang dengan keluhan pembesaran
kelenjar getah bening yang lambat. Pada pasien limfadenitis TB dengan HIV-
negatif, limfadenopati leher terisolasi adalah manifestasi yang paling sering
dijumpai yaitu sekitar dua pertiga pasien. Oleh karena itu, infeksi
mikobakterium harus menjadi salah satu diagnosis banding dari
pembengkakan kelenjar getah bening, terutama pada daerah yang endemis.
Durasi gejala sebelum diagnosis berkisar dari beberapa minggu sampai
beberapa bulan (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB paling sering melibatkan kelenjar getah bening
servikalis, kemudian diikuti berdasarkan frekuensinya oleh kelenjar
mediastinal, aksilaris, mesentrikus, portal hepatikus, perihepatik dan kelenjar
inguinalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh Geldmacher (2002)
didapatkan kelenjar limfe yang terlibat yaitu: 63,3% pada kelenjar limfe
servikalis, 26,7% kelenjar mediastinal, dan 8,3% pada kelenjar aksila, dan
didapatkan pula pada 35% pasien pembengkakan terjadi pada lebih dari satu
tempat. Menurut Sharma (2004), pada pasien dengan HIV-negatif maupun
HIV-positif, kelenjar limfe servikalis adalah yang paling sering terkena,
diikuti oleh kelenjar limfe aksilaris dan inguinalis.
Pembengkakan kelenjar limfe dapat terjadi secara unilateral atau
bilateral, tunggal maupun multipel, dimana benjolan ini biasanya tidak nyeri
dan berkembang secara lambat dalam hitungan minggu sampai bulan, dan
paling sering berlokasi di regio servikalis posterior dan yang lebih jarang di
regio supraklavikular (Mohapatra, 2004). Keterlibatan multifokal ditemukan
pada 39% pasien HIV-negatif dan pada 90% pasien HIV-positif. Pada pasien
HIV-positif, keterlibatan multifokal, limfadenopati intratorakalis dan
intraabdominal serta TB paru adalah sering ditemukan (Sharma, 2004).
Beberapa pasien dengan limfadenitis TB dapat menunjukkan gejala sistemik
yaitu seperti demam, penurunan berat badan, fatigue dan keringat malam.
Lebih dari 57% pasien tidak menunjukkan gejala sistemik (Mohapatra, 2004).
Terdapat riwayat kontak terhadap penderita TB pada 21,8% pasien, dan
terdapat TB paru pada 16,1% pasien (Mohapatra, 2004).
Menurut Jones dan Campbell (1962) dalam Mohapatra (2004)
limfadenopati tuberkulosis perifer dapat diklasifikasikan ke dalam lima
stadium yaitu:
A. Stadium 1, pembesaran kelenjar yang berbatas tegas, mobile dan diskret.
B. Stadium 2, pembesaran kelenjar yang kenyal serta terfiksasi ke jaringan
sekitar oleh karena adanya periadenitis.
C. Stadium 3, perlunakan di bagian tengah kelenjar (central softening)
akibat pembentukan abses.
D. Stadium 4, pembentukan collar-stud abscess.
E. Stadium 5, pembentukan traktus sinus.
Gambaran klinis limfadenitis TB bergantung pada stadium penyakit.
Kelenjar limfe yang terkena biasanya tidak nyeri kecuali (i) terjadi infeksi
sekunder bakteri, (ii) pembesaran kelenjar yang cepat atau (iii) koinsidensi
dengan infeksi HIV. Abses kelenjar limfe dapat pecah, dan kemudian kadang-
kadang dapat terjadi sinus yang tidak menyembuh secara kronis dan
pembentukan ulkus. Pembentukan fistula terjadi pada 10% dari limfadenitis
TB servikalis (Mohapatra, 2004). Berdasarkan penelitian oleh Jniene (2010)
dari 69 pasien limfadenitis TB didapat 11 orang dengan pembengkakan
kelenjar yang nyeri dan 6 orang dengan adanya pembentukan fistula. Terdapat
juga 10 orang dengan pembengkakan kelenjar yang disertai adanya tanda-
tanda inflamasi tetapi tidak disertai oleh adanya fistula. Secara klasik, sinus
tuberkulosis mempunyai pinggir yang tipis, kebiru-biruan, dan rapuh dengan
pus cair yang sedikit. Skrofuloderma adalah infeksi mikobakterial pada kulit
disebabkan oleh perluasan langsung infeksi TB ke kulit dari struktur
dibawahnya atau oleh paparan langsung terhadap basil TB (Mohapatra, 2004).
Limfadenitis TB mediastinal lebih sering terjadi pada anak-anak. Pada
dewasa limfadenitis mediastinal jarang menunjukkan gejala. Manifestasi yang
jarang terjadi pada pasien dengan keterlibatan kelenjar limfe mediastinal
termasuk disfagia, fistula oesophagomediastinal, dan fistula tracheo-
oesophageal. Pembengkakan kelenjar limfe mediastinal dan abdomen atas
juga dapat menyebabkan obstruksi duktus toraksikus dan chylothorax, chylous
ascites ataupun chyluria. Pada keadaan tertentu, obstruksi biliaris akibat
pembesaran kelenjar limfe dapat menyebabkan obstructive jaundice.
Tamponade jantung juga pernah dilaporkan terjadi akibat limfadenitis
mediastinal (Mohapatra, 2004).
Pembengkakan kelenjar getah bening yang berukuran ≥ 2 cm biasanya
disebabkan oleh M.tuberculosis. Pembengkakan yang berukuran < 2 cm
biasanya disebabkan oleh mikobakterium atipik, tetapi tidak menutup
kemungkinan pembengkakan tersebut disebabkan oleh M.tuberculosis
(Narang, 2005).
F. Diagnosis
Untuk mendiagnosa limfadenitis TB diperlukan tingkat kecurigaan
yang tinggi, dimana hal ini masih merupakan suatu tantangan diagnostik
untuk banyak klinisi meskipun dengan kemajuan teknik laboratorium.
Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang lengkap, pewarnaan BTA,
pemeriksaan radiologis, dan biopsi aspirasi jarum halus dapat membantu
dalam membuat diagnosis awal yang dapat digunakan sebagai pedoman dalam
memberikan pengobatan sebelum diagnosis akhir dapat dibuat berdasarkan
biopsi dan kultur (Bayazit, 2004). Juga penting untuk membedakan infeksi
mikobakterium tuberkulosis dengan non-tuberkulosis.
Beberapa pemeriksaan yang dilakukan untuk menegakkan diagnosa
limfadenitis TB :
a. Pemeriksaan mikrobiologi
Pemeriksaan mikrobiologi yang meliputi pemeriksaan
mikroskopis dan kultur. Pemeriksaan mikroskopis dilakukan
dengan pewarnaan Ziehl-Neelsen. Spesimen untuk pewarnaan dapat
diperoleh dari sinus atau biopsi aspirasi. Dengan pemeriksaan ini
kita dapat memastikan adanya basil mikobakterium pada spesimen,
diperlukan minimal 10.000 basil TB agar perwarnaan dapat positif
(Mohapatra, 2009; Bayazit, 2004).
Kultur juga dapat dilakukan untuk membantu menegakkan
diagnosis limfadenitis TB. Adanya 10-100 basil/mm3 cukup untuk
membuat hasil kultur positif. Hasil kultur positif hanya pada 10-
69% kasus (Mohapatra, 2009). Berbagai media dapat digunakan
seperti Petregnani, Trudeau, Middle-brook, dan Bactec TB.
Diperlukan waktu beberapa minggu untuk mendapatkan hasil
kultur. Pada adenitis tuberkulosa, M.tuberculosis adalah penyebab
tersering, diikuti oleh M.bovis (Bayazit, 2004).
b. Tes Tuberkulin
Pemeriksaan intradermal ini (Mantoux Test) dilakukan untuk
menunjukkan adanya reaksi imun tipe lambat yang spesifik untuk
antigen mikobakterium pada seseorang. Reagen yang digunakan
adalah protein purified derivative (PPD). Pengukuran indurasi
dilakukan 2-10 minggu setelah infeksi. Dikatakan positif apabila
terbentuk indurasi lebih dari 10 mm, intermediat apabila indurasi 5-
9 mm, negatif apabila indurasi kurang dari 4 mm (Mohapatra,
2009).
c. Pemeriksaan Sitologi
Spesimen untuk pemeriksaan sitologi diambil dengan
menggunakan biopsi aspirasi kelenjar limfe. Sensitivitas dan
spesifitas pemeriksaan sitologi dengan biopsi aspirasi untuk
menegakkan diagnosis limfadenitis TB adalah 78% dan 99%
(Kocjan, 2001). CT scan dapat digunakan untuk membantu
pelaksanaan biopsi aspirasi kelenjar limfe intratoraks dan
intraabdominal (Sharma, 2004). Pada pemeriksaan sitologi akan
terlihat Langhans giant cell, granuloma epiteloid, nekrosis kaseosa.
Muncul kesulitan dalam pendiagnosaan apabila gambaran
konvensional seperti sel epiteloid atau Langhans giant cell tidak
ditemukan pada aspirat. Pada penelitian yang dilakukan oleh Lubis
(2008), bahwa gambaran sitologi bercak gelap dengan materi
eusinofilik dapat digunakan sebagai tambahan karakteristik
tuberkulosis selain gambaran epiteloid dan Langhans giant cell.
Didapati bahwa aspirat dengan gambaran sitologi bercak gelap
dengan materi eusinofilik, dapat memberikan hasil positif
tuberkulosis apabila dikultur.
d. Pemeriksaan Radiologis
Foto toraks, USG, CT scan dan MRI leher dapat dilakukan
untuk membantu diagnosis limfadenitis TB. Foto toraks dapat
menunjukkan kelainan yang konsisten.dengan TB paru pada 14-
20% kasus. Lesi TB pada foto toraks lebih sering terjadi pada anak-
anak dibandingkan dewasa, yaitu sekitar 15% kasus (Bayazit,
2004).
USG kelenjar dapat menunjukkan adanya lesi kistik
multilokular singular atau multipel hipoekhoik yang dikelilingi oleh
kapsul tebal (Bayazit, 2004). Pemeriksaan dengan USG juga dapat
dilakukan untuk membedakan penyebab pembesaran kelenjar
(infeksi TB, metastatik, lymphoma, atau reaktif hiperplasia). Pada
pembesaran kelenjar yang disebabkan oleh infeksi TB biasanya
ditandai dengan fusion tendency, peripheral halo, dan internal
echoes (Khanna, 2011).
Pada CT scan, adanya massa nodus konglumerasi dengan
lusensi sentral, adanya cincin irregular pada contrast enhancement
serta nodularitas didalamnya, derajat homogenitas yang bervariasi,
adanya manifestasi inflamasi pada lapisan dermal dan subkutan
mengarahkan pada limfadenitis TB (Bayazit, 2004).
Pada MRI didapatkan adanya massa yang diskret,
konglumerasi, dan konfluens. Fokus nekrotik, jika ada, lebih sering
terjadi pada daerah perifer dibandingkan sentral, dan hal ini
bersama-sama dengan edema jaringan lunak membedakannya
dengan kelenjar metastatik (Bayazit, 2004).
G. Penatalaksanaan
Tata laksana pembesaran kelenjar getah bening leher didasarkan
kepada penyebabnya. Banyak kasus dari pembesaran kelenjar getah
bening leher sembuh dengan sendirinya dan tidak membutuhkan
pengobatan apa pun selain dari observasi. Kegagalan untuk mengecil
setelah 4-6 minggu dapat menjadi indikasi untuk dilaksanakan biopsy
kelenjar getah bening. Biopsy dilakukan bila terdapat tanda dan gejala
yang mengarahkan kepada keganasan, kelenjar getah bening yang
menetap atau bertambah besar dengan pengobatan yang tepat, atau
diagnosis belum dapat ditegakkan.
Pembesaran kelenjar getah bening biasanya disebabkan oleh virus
dan sembuh sendiri, walaupun pembesaran kelenjar getah bening dapat
berlangsung mingguan. Pengobatan pada infeksi kelenjar getah bening
oleh bakteri (limfadenitis) adalah anti-biotic oral 10 hari dengan
pemantauan dalam 2 hari pertama flucloxacillin 25 mg/kgBB empat kali
sehari. Bila ada reaksi alergi terhadap antibiotic golongan penicillin dapat
diberikan cephalexin 25 mg/kg (sampai dengan 500 mg) tiga kali sehari
atau erythromycin 15 mg/kg (sampai 500 mg) tiga kali sehari.
B. Konsep Dasar Asuhan Keperawatan pada Klien dengan Limfedenitis
1. Pengkajian
a. Pengkajian : selain nama klien, juga orangtua; asal kota dan daerah,
jumlah keluarga.
b. Keluhan : penyebab klien sampai dibawa ke rumah sakit.
c. Riwayat penyakit sekarang : Tanda dan gejala klinis TB serta terdapat
benjolan/bisul pada tempat-tempat kelenjar seperti : leher, inguinal, axilla
dan sub mandibula.
d. Riwayat penyakit dahulu :
a) Pernah sakit batuk yang lama dan benjolan bisul pada leher serta
tempat kelenjar yang lainnya seperti amandel atau adanya infeksi gigi
dan gusi, dan sudah diberi pengobatan antibiotik tidak sembuh-
sembuh?
b) Pernah berobat tapi tidak sembuh?
c) Pernah berobat tapi tidak teratur?
d) Riwayat kontak dengan penderita TBC.
e) Daya tahan yang menurun.
f) Riwayat imunisasi/vaksinasi.
g) Riwayat pengobatan.
e. Riwayat sosial ekonomi dan lingkungan.
a) Riwayat keluarga: biasanya keluarga ada yang mempunyai penyakit
yang sama.
b) Aspek psikososial: merasa dikucilkan, tidak dapat berkomunikasi
dengan bebas, menarik diri.
c) Biasanya pada keluarga yang kurang mampu: masalah berhubungan
dengan kondisi ekonomi, untuk sembuh perlu waktu yang lama dan
biaya yang banyak, tidak bersemangat dan putus harapan.
d) Lingkungan: Lingkungan kurang sehat (polusi, limbah), pemukiman
yang padat, ventilasi rumah yang kurang, jumlah anggota keluarga
yang banyak.
f. Pola fungsi kesehatan
a) Pola persepsi sehat dan penatalaksanaan kesehatan
Keadaan umum: alergi, kebiasaan, imunisasi.
b) Pola nutrisi-metabolik.
Anoreksia, mual, tidak enak diperut, berat badan turun, turgor kulit
jelek, kulit kering dan kehilangan lemak sub kutan, sulit dan sakit
menelan, turgor kulit jelek.
c) Pola Eliminasi
Perubahan karakteristik feses dan urine, nyeri tekan pada kuadran
kanan atas dan hepatomegali, nyeri tekan pada kuadran kiri atas dan
splenomegali.
d) Pola aktivitas latihan
Sesak nafas, fatique, tachicardia,aktifitas berat timbul sesak nafas
(nafas pendek).
e) Pola tidur dan istirahat: iritable, sulit tidur, berkeringat pada malam
hari.
f) Pola kognitif perceptual
Kadang terdapat nyeri tekan pada nodul limfa, nyeri tulang umum,
takut, masalah finansial, umumnya dari keluarga tidak mampu.
g) Pola persepsi diri: tidak percaya diri, pasif, kadang pemarah.
h) Pola peran-hubungan: menjadi ketergantungan terhadap orang lain /
tidak mandiri.
i) Pola seksualitas/reproduktif
j) Pola koping-toleransi stres: menarik diri, pasif.
g. Pemeriksaan fisik : pemeriksaan yang dilakukan terhadap fisik pasien
yang berkaitan dengan penyakit yang diderita oleh pasien untuk
melakukan pengambilan data-data kesehatan pasien serta untuk
mengambil langkah yang tepat dalam pemberian terapi lebih lanjut.
a) Demam: suhu 40-410C hilang timbul.
b) Batuk: terjadi karena adanya iritasi pada bronkus; batuk ini
membuang/ mengeluarkan produksi radang, dimulai dari batuk kering
sampai batuk purulen (menghasilkan sputum).
c) Sesak nafas: terjadi bila sudah lanjut, dimana infiltrasi radang sampai
setengah paru.
d) Nyeri dada: ini jarang ditemukan, nyeri timbul bila infiltrasi radang
sampai ke pleura.
e) Malaise: ditemukan berupa anoreksia, berat badan menurun, sakit
kepala, nyeri otot dan kering diwaktu malam hari.
f) Pada tahap dini sulit diketahui.
g) Ronchi basah, kasar dan nyaring.
h) Hipersonor/timpani bila terdapat kavitas yang cukup dan pada
auskultasi memberi suara limforik.
i) Atropi dan retraksi interkostal pada keadaan lanjut dan fibrosis.
j) Adanya Pembesaran kelenjar biasanya multipel.
k) Benjolan/pembesaran kelenjar pada leher (servikal), axilla, inguinal
dan sub mandibula.
l) Kadang terjadi abses
h. Pemeriksaan penunjang : pemeriksaan laboratorium yang dilakukan
terhadap sampel yang telah diambil dari pasien yang berguna sebagai data
penunjang untuk membantu menentukan terapi yang diberikan kepada
pasien.
a) Ultrasonografi (USG)
USG merupakan salah satu teknik yang dapat dipakai untuk
mengetahui ukuran, bentuk, dan gambaran mikronodular.
b) Biopsy
Biopsi dapat dilakukan dengan mengambil sel keluar melalui jarum
atau dengan operasi menghapus satu atau lebih kelenjar getah bening.
Sel-sel atau kelenjar getah bening akan dibawa ke lab dan diuji. Biopsi
dilakukan terutama bila terdapat tanda dan gejala yang mengarahkan
kepada keganasan.
c) Kultur
Kultur (contoh dikirim ke laboratorium dan diletakkan pada kultur
medium yang membiarkan mikroorganisme untuk berkembang)
kemungkinan diperlukan untuk memastikan diagnosa dan untuk
mengidentifikasikan organisme penyebab infeksi.
d) CT-Scan
CT Scan adalah mesin x-ray yang menggunakan komputer untuk
mengambil gambar tubuh Anda untuk mengetahui apa yang mungkin
menyebabkan limfadenitis Anda. Sebelum mengambil gambar, Anda
mungkin akan diberi pewarna melalui intravena di pembuluh darah
Anda agar dapat melihat gambar dengan jelas. CT Scan dapat
mendeteksi pembesaran kelenjar getah bening servikalis dengan
diameter 5 mm atau lebih.
e) MRI
Magnetic resonance imaging (MRI) digunakan untuk melihat dalam
tubuh Anda. Dokter dapat menggunakan gambar ini untuk mencari
penyebab limfadenitis.
2. Analisis Data
a. Lokasi pembesaran kelenjar getah bening
Pembesaran kelenjar getah bening pada dua sisi leher secara
mendadak biasanya disebabkan oleh infeksi virus saluran pernapasan
bagian atas. Pada infeksi oleh penyakit kawasaki umumnya pembesaran
Kelenjar Getah Bening hanya satu sisi saja. Apabila berlangsung lama
(kronik) dapat disebabkan infeksi oleh mikobakterium, toksoplasma,
ebstein barr virus atau citomegalovirus
b. Gejala-gejala penyerta (symptoms)
Demam, nyeri tenggorok dan batuk mengarahkan kepada penyebab
infeksi saluran pernapasan bagian atas. Demam, keringat malam dan
penurunan berat badan mengarahkan kepada infeksi tuberkulosis atau
keganasan. Demam yang tidak jelas penyebabnya, rasa lelah dan nyeri
sendi meningkatkan kemungkinan oleh penyakit kolagen atau penyakit
serum (serum sickness), ditambah riwayat obat-obatan.
c. Riwayat Penyakit
Adanya peradangan tonsil (amandel) sebelumnya mengarahkan kepada
infeksi oleh streptokokus. Adanya infeksi gigi dan gusi dapat mengarahkan
kepada infeksi bakteri anaerob.
3. Penyimpangan KDM Klien dengan Limfadenitis
4. Diagnosa Keperawatan
a. Risiko gangguan pertukaran gas berhubungan dengan :
a) Berkurangnya keefektifan permukaan paru, atelektasis
b) Kerusakan membran alveolar kapiler
c) Sekret yang kental
d) Edema bronchial
Tujuan keperawatan.
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
gangguan pertukaran gas dengan kriteria hasil : klien tidak melaporkan
dispneu, atau dyspneu bertambah, menunjukkan ventilasi dan oksigenasi
jaringan adekuat dengan GDA dalam rentang normal. (Doenges 2002 : 245)
b. Risiko infeksi berhubungan dengan :
a) Daya tahan tubuh menurun, fungsi silia menurun, sekret yang menetap
b) Kerusakan jaringan akibat infeksi yang menyebar
c) Malnutrisi
d) Terkontaminasi oleh lingkungan
e) Kurang pengetahuan tentang infeksi kuman/menghindari pemajanan
pathogen.
Tujuan Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan tidak terjadi
penyebaran/reaktivasi dengan kriteria hasil : klien mampu melaksanakan
intervensi untuk mencegah/menurunkan risiko penyebaran infeksi,
menunjukkan teknik/melakukan perubahan pola hidup untuk meningkatkan
lingkungan yang aman. (Dongoes.2002 : 244)
c. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan berhubungan dengan :
a) Kelelahan
b) Batuk yang sering, adanya produksi sputum
c) Dyspnoe
d) Anoreksia
e) Penurunan kemampuan finansial (keluarga).
Tujuan Keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien menunjukkan
status gizi asupan makanan dan cairan sesuai dengan kebutuhan dengan
criteria hasil : menunjukkan berat badan meningkat mencapai tujuan,dan
bebas tanda malnutrisi, melakukan perubahan perilaku pola hidup untuk
meningkatkan atau mempertahannkan berat yang tepat, nilai laboratorium
berada (transferin, albumin dan elektrolit) pada rentang normal. Doengoes.
2002 : 246)
d. Hipertermia berhubungan dengan :
a) Efek langsung dari sirkulasi endotoksin ada hipotalamus. Perubahan
regulasi tubuh.
b) Dehidrasi
c) Peningkatan tingkatan tingkat metabolisme penyakit
Tujuan keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan klien menunjukkan
kondisi suhu tubuh pada rentang yang normal dengan kriteria hasil
berkeringat saat panas, nilai suhu tubuh, denyut nadi, frekuensi pernapasan
dan tekanan darah dalam rentang normal, tidak mengalami komplikasi yang
berhubungan, bebas dari kedinginan (Doenges 2002:875).
e. Kurang pengetahuan keluarga tentang kondisi, pengobatan, pencegahan,
berhubungan dengan :
a) Kurang terpajan/salah interpretasi informasi
b) Keterbatasan kognitif
c) Informasi yang didapat tidak lengkap
Tujuan keperawatan
Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan memahami tentang
kondisi, prognosis, pencegahan penyakitnya dengan criteria hasil klien
menjelaskan proses penyakit, menyebutkan prognosis dan kebutuhan
pengobatan dengan benar melalui kata-katanya sendiri, melakukan perilaku
perubahan pola hidup untuk memperbaiki kesehatan umum dan menurunkan
risiko pengaktifan ulang TB serta menggambarkan rencana untuk menerima
perawatan kesehatan adekuat (Doengoes. 2002:248)
5. Rencana Asuhan Keperawatan
1. Diagnosa I
a. Kaji dyspnoe, takipnoe, bunyi pernafasan abnormal. Meningkatnya
respirasi, keterbatasan ekspansi dada dan fatique: TB paru dapat
menyebabkan meluasnya jangkauan dalam paru-paru yang berasal dari
bronchopneumonia yang meluas menjadi inflamasi, nekrosis, pleural
efusion dan meluasnya fibrosis dengan gejala-gejala respirasi distress.
b. Evaluasi perubahan tingkat kesadaran, catat tanda-tanda sianosis dan
perubahan kulit, selaput mukosa dan warna kuku: akumulasi sekret dapat
mengganggu oksigenasi di organ vital dan jaringan.
c. Demontrasikan/anjurkan untuk mengeluarkan nafas dengan bibir
disiutkan, terutama pada klien dengan fibrosis atau kerusakan parenkhim:
meningkatnya resistensi aliran udara untuk mencegah kolapsnya jalan
nafas dan mengurangi residu dari paru-paru.
d. Anjurkan untuk bedrest/mengurangi aktivitas: mengurangi konsumsi
oksigen pada periode respirasi.
e. Kolaborasi monitor BGA: menurunnya oksigen, saturasi atau
meningkatnya karbon dioksida menunjukkan perlunya penanganan yang
lebih adekuat atau perubahan therapi.
f. Kolaborasi pemberian oksigen tambahan: membantu mengoreksi
hipoksemia yang secara sekunder mengurangi ventilasi dan menurunnya
tegangan paru.
2. Diagnosa II
a. Identifikasi orang-orang yang beresiko untuk terjadinya infeksi seperti
anggota keluarga, teman, orang dalam satu perkumpulan:
memberitahukan kepada mereka untuk mempersiapkan diri untuk
mendapatkan terapi pencegahan.
b. Anjurkan klien menampung dahaknya jika batuk: kebiasaan ini untuk
mencegah terjadinya penularan infeksi.
c. Gunakan masker setap melakukan tindakan: untuk mengurangi resiko
penyebaran infeksi
d. Monitor temperatur: febris merupakan indikasi terjadinya infeksi.
e. Ditekankan untuk tidak menghentikan terapi yang dijalani: periode
menular dapat terjadi hanya 2 – 3 hari setelah permulaan kemoterapi
tetapi dalam keadaan sudah terjadi kavitas atau penyakit sudah berlanjut
sampai tiga bulan.
f. Kolaborasi dalam pemberian terapi.
g. Kolaborasi monitor sputum: penumpukan sputum yang berlebihan dapat
menimbulkan infeksi.
3. Diagnosa III
a. Kaji kemampuan belajar klien (misalnya; tingkat kecemasan, perhatian,
kelelahan, tingkat partisipasi, lingkungan yang memungkinkan klien
untuk belajar, seberapa banyak yang telah diketahui, media yang tepat
dan siapa yang dipercaya): kemampuan belajar berkaitan dengan keadaan
emosi dan kesiapan fisik. Keberhasilan tergantung pada sebatasmana
kemampuan klien.
b. Identifikasi tanda-tanda yang dapat dilaporkan pada dokter (misalnya;
hemoptisis, nyeri dada, demam, kesulitan nafas, kehilangan pendengaran,
vertigo): mengindikasikan perkembangan penyakit atau efek samping
dari pengobatan yang membutuhkan evaluasi secepatnya.
c. Menekankan pentingnya asupan diet TKTP (tinggi kalori tinggi protein)
dan intake cairan yang adekuat: mencukupi kebutuhan metabolik,
mengurangi kelelahan, intake cairan yang memadai membantu
mengencerkan dahak.
d. Berikan informasi yang spesifik dalam bentuk tulisan untuk klien dan
keluarga (misalnya; jadwal minum obat. Informasi tertulis dapat
mengingatkan klien tentang informasi yang telah diberikan. Pengulangan
informasi dapat membantu mengingatkan klien): menjelaskan dosis obat,
frekwensi, tindakan yang diharapkan dan perlunya therapi dalam jangka
waktu lama. Mengulangi penyuluhan mengenai potensial interaksi antara
obat yang diminum dengan obat / subtansi lain.
e. Peningkatan partisipasi klien dan keluarga untuk mematuhi aturan terapi
dan mencegah terjadinya putus obat. Jelaskan tentang efek samping dari
pengobatan yang mungkin timbul (misalnya; ulut kering, konstipasi,
gangguan penglihatan, sakit kepala, peningkatan tekanan darah: dapat
mencegah keraguan terhadap pengobatan dan meningkatkan kemampuan
klien untuk menjalani terapi.
4. Diagnosa IV
a. Pantau suhu pasien (derajat dan pola)
perhatikan menggigil/diaphoresis
Suhu 38,9º-41,1º menunjukan proses penyakit infeksius akut. Pola
demam membantu dalam diagnosis; mis, kurva demam lanjut berakhir
lebih dari 24 jam menunjukan pneumonia pneumokokal, demam scarlet
atau tifoid.
b. Pantau suhu lingkungan, batasi/tambahan linen tempat tidur.
Suhu ruangan/jumlah selimut harus dirubah untuk mempertahankan suhu
mendekati normal.
c. Berikan kompres mandi air hangat, hindari penggunaan alcohol
Dapat mengurangi demam. Penggunaan alcohol mungkin menyebabkan
kedinginan, peningkatan suhu secara actual.
d. Berikan antipiretik, misalnya ASA (aspirin), asetaminofen (Tylenol)
digunakan untuk mengurangi demam dengan aksi sentralnya pada
hipotalamus, meskipun demem mungkin dapat berguna dalam membatasi
pertumbuhan organisme.
e. Berikan selimut pendingin
Digunakan untuk mengurangi demam umumnya lebih besar dari 39,5º-
40ºC pada waktu terjadi kerusakan/ganguan pada otak. Marilynn E.
Doengoes, dkk. Rencana Asuhan Keperawatan Pedoman untuk
Perencanaan dan pendokumentasian Perawatan pasien. (2000:875).
5. Diagnosa V
a. Kaji dan komunikasikan status nutrisi klien dan keluarga seperti yang
dianjurkan (misalnya; catat turgor kulit, timbang berat badan, integritas
mukosa mulut, kemampuan dan ketidakmampuan menelan, adanya bising
usus, riwayat nausea, vomiting atau diare: digunakan untuk
mendefinisikan tingkat masalah dan intervensi.
b. Kaji pola diet klien yang disukai/tidak disukai: membantu intervensi
kebutuhan yang spesifik, meningkatkan intake diet klien.
c. Monitor intake dan output secara periodik: mengukur keefektifan nutrisi
dan cairan.
d. Catat adanya anoreksia, nausea, vomiting, dan tetapkan jika ada
hubungannya dengan medikasi. Monitor volume, frekwensi, konsistensi
BAB: dapat menentukan jenis diet dan mengidentifikasi pemecahan
masalah untuk meningkatkan intake nutrisi.
e. Anjurkan bedrest: membantu menghemat energi khususnya terjadinya
metabolik saat demam.
f. Lakukan perawatan oral sebelum dan sesudah terapi respirasi:
mengurangi rasa yang tidak enak dari sputum atau obat-obat yang
digunakan untuk pengobatan yang dapat merangsang vomiting.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Limfadenitis merupakan penyakit peadangan pada kelenjar limfe, sedangkan
limfadenitis Tuberkulosis adalah peradangan Kelenjar Limfe akibat infeksi
Mycobacterium Tuberculosae, gejala khas pada penyakit ini adalah pembesaran
keenjar getah bening baik bilateral, unilateral maupun multiple, dapat disertai
nyeri atau tidak, serta melibatkan gejala sistemik seperti demam.
B. saran
DAFTAR PUSTAKA
Doenges E. Marillyn,2000. Rencana Asuhan Keperawatan pedoman untuk perencanaan pendokumentasian Perawatan Pasien. Edisi 3. Jakarta: EGC.
Johnson, Marion;Maas,Maridean,Moorhead,Sue.2000. Nursing Outcomes Classification (NOC). Phiadelphia: Mosby
Sjamsuhidajat. R, Wim de Jong.2005. Buku Ajar Ilmu Bedah Edisi 2. EGC: Jakarta.
Anonym. Kajian Pustaka limfadenitis. www.usu.ac.id. Universitas Sumatra Utara di
unduh 3 Mei 2012