Komunikasi+Orangtua-Remaja

13
Pentingnya Komunikasi Orangtua Remaja Oleh : Alifah Nuranti, S.Psi, MPH Direktorat Remaja dan PHR - BKKBN A. Latar Belakang Masalah Rendahnya pengetahuan remaja tentang hak dan kesehatan reproduksi, termasuk dampak negatif hubungan seksual pranikah, memposisikan remaja pada kelompok berisiko. Dampak negatif dari hubungan seksual pranikah antara lain adalah kehamilan tidak diinginkan dan infeksi penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. Dampak negatif tersebut nantinya dapat menyebabkan berbagai masalah bagi kesehatan, sosial dan ekonomi bagi remaja itu sendiri maupun keluarganya (Martino et al., 2008). Survei Nasional Amerika Serikat melaporkan bahwa sebanyak 60,7% laki-laki dan 62,3% perempuan telah melakukan hubungan seksual semenjak duduk di kelas 3 SMA. Persentase tersebut menunjukkan meningkatnya penyebaran HIV dan PMS di kalangan remaja. Di Amerika Serikat, remaja merupakan kelompok utama dalam penyebaran AIDS; dilaporkan bahwa 25% kasus PMS setiap tahunnya terjadi pada remaja dan setengah dari remaja yang terinfeksi HIV telah terinfeksi sebelum usia mereka mencapai 25 tahun (Donenberg et al., 2006). Kondisi serupa terjadi di negara berkembang, remaja memiliki risiko tinggi terpapar PMS, HIV dan KTD. 1

Transcript of Komunikasi+Orangtua-Remaja

Page 1: Komunikasi+Orangtua-Remaja

Pentingnya Komunikasi Orangtua Remaja

Oleh : Alifah Nuranti, S.Psi, MPH

Direktorat Remaja dan PHR - BKKBN

A. Latar Belakang Masalah

Rendahnya pengetahuan remaja tentang hak dan kesehatan

reproduksi, termasuk dampak negatif hubungan seksual pranikah,

memposisikan remaja pada kelompok berisiko. Dampak negatif dari

hubungan seksual pranikah antara lain adalah kehamilan tidak diinginkan

dan infeksi penyakit menular seksual, termasuk HIV/AIDS. Dampak negatif

tersebut nantinya dapat menyebabkan berbagai masalah bagi kesehatan,

sosial dan ekonomi bagi remaja itu sendiri maupun keluarganya (Martino et

al., 2008). Survei Nasional Amerika Serikat melaporkan bahwa sebanyak

60,7% laki-laki dan 62,3% perempuan telah melakukan hubungan seksual

semenjak duduk di kelas 3 SMA. Persentase tersebut menunjukkan

meningkatnya penyebaran HIV dan PMS di kalangan remaja. Di Amerika

Serikat, remaja merupakan kelompok utama dalam penyebaran AIDS;

dilaporkan bahwa 25% kasus PMS setiap tahunnya terjadi pada remaja dan

setengah dari remaja yang terinfeksi HIV telah terinfeksi sebelum usia

mereka mencapai 25 tahun (Donenberg et al., 2006).

Kondisi serupa terjadi di negara berkembang, remaja memiliki risiko

tinggi terpapar PMS, HIV dan KTD. Setengah dari pengidap HIV di negara

berkembang adalah perempuan yang berusia kurang dari 25 tahun. Selain

itu, lebih dari 13 juta remaja perempuan di negara berkembang mengalami

kehamilan yang tidak diinginkan setiap tahunnya (Speizer et al., 2003). Di

Indonesia, remaja perempuan dan remaja laki-laki usia 14-19 tahun

mengaku mempunyai teman sebaya yang pernah melakukan hubungan

seksual pranikah masing-masing mencapai 34,7% dan 30,9%. Remaja

perempuan dan laki-laki usia 20-24 tahun yang mengaku mempunyai teman

sebaya pernah melakukan hubungan seksual pranikah masing-masing

mencapai 48,6% dan 46,5% (BPS et al., 2003).

1

Page 2: Komunikasi+Orangtua-Remaja

Berbagai upaya telah dilakukan untuk merespon masalah remaja,

antara lain melalui program di sekolah, masyarakat, keluarga dan kelompok

sebaya. Dari berbagai upaya tersebut, keluarga terutama pola asuh

orangtua, telah diidentifikasi sebagai pengaruh yang sangat penting dalam

membentuk sikap dan perilaku seksual remaja. Proses pola asuh orangtua

meliputi kedekatan orangtua - remaja, pengawasan orangtua dan komunikasi

orangtua - remaja tentang topik seksualitas. Di antara proses pola asuh

tersebut, komunikasi orangtua - remaja tentang seksualitas telah diketahui

merupakan pengaruh yang paling penting dan signifikan terhadap sikap dan

perilaku seksual remaja (Hutchinson & Montgomery, 2007).

Komunikasi efektif orangtua - remaja telah diidentifikasi sebagai

strategi utama dalam meningkatkan perilaku seksual bertanggung jawab dan

pengalaman seksual yang minim pada remaja (Burgess et al., 2005). Melalui

komunikasi, orangtua seharusnya menjadi sumber informasi dan pendidik

utama tentang seksualitas bagi remajanya. Namun demikian, orangtua

sering menghadapi kesulitan untuk membicarakan masalah seksual kepada

remajanya, begitu pun sebaliknya (Kirby & Miller, 2002). Norma yang

melarang keterbukaan dapat menghalangi diskusi tentang perilaku seksual

dan dapat menjadi penghambat terhadap pendidikan seksualitas serta

penyampaian informasi tentang seks (Whitaker et al., 1999). Diskusi terbuka

tentang seksualitas menjadi sulit bagi orangtua maupun remaja oleh karena

pantangan sosial budaya di sekitarnya (Miller & Whitaker, 2001).

Dari sisi orangtua, mereka menganggap dirinya tidak memiliki cukup

pengetahuan tentang isu seksualitas, merasa malu dan mengalami kesulitan

untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi. Orangtua

cenderung berdiskusi dengan remaja tentang seks secara tidak langsung,

dibandingkan dengan secara langsung. Selain itu, topik yang dibicarakan

lebih banyak mengenai biologis (fungsi dan proses organ reproduksi)

daripada tentang kecakapan hidup (life skills). Dari sisi remaja, remaja

memandang orangtua sebagai pihak yang sulit untuk dimengerti berkaitan

dengan masalah remaja (Jaccard et al., 2002).

2

Page 3: Komunikasi+Orangtua-Remaja

Terdapat 2 hal yang hendaknya dimiliki oleh orangtua agar dapat

diterima sebagai sumber informasi bagi remaja, yaitu keahlian (expertise)

dan dapat dipercaya (trustworthiness). Remaja memandang orangtuanya

tidak memiliki cukup keahlian tentang topik yang berkaitan dengan

seksualitas, seperti pengetahuan tentang seks, nilai dasar dalam kehidupan

dan dinamika dalam membina hubungan dengan lawan jenis atau teman

sebaya. Berkaitan dengan kepercayaan, remaja menganggap orangtuanya

kurang dapat dipercaya, karena orangtua cenderung menghakimi, terlalu

melindungi dan sering tidak menghormati privasi remaja dan keinginan

remaja untuk mandiri (Jaccard et al., 2002). Kedua kondisi tersebut dapat

menyebabkan remaja tidak menjadikan orangtua sebagai sumber informasi

tentang seksualitas.

Hasil wawancara awal peneliti pada tanggal 12-13 Juli 2008 dengan

beberapa orangtua dan remaja di Yogyakarata, menunjukkan hal yang

serupa. Sebagian besar orangtua tidak mendiskusikan secara langsung

mengenai hubungan seksual, melainkan lebih pada fungsi dan proses organ

reproduksi, seperti menstruasi dan mimpi basah. Orangtua memberikan

keterampilan tentang cara menjaga kebersihan organ reproduksi, terutama

pada saat remaja putri sedang menstruasi. Selain itu, orangtua

menyampaikan nilai-nilai agama dan budaya yang harus dipatuhi remaja

setelah memasuki akhil balig. Dari sisi nilai agama, misalnya bagi remaja

muslim harus menjalankan shalat 5 waktu dan cara mandi besar setelah

menstruasi atau mimpi basah. Dari sisi budaya, jika remaja sudah memasuki

akhil balig diadakan syukuran dengan memasak beras merah dan beras

putih sebagai tanda memasuki usia balig. Selain itu juga beberapa larangan

dan anjuran bagi remaja yang sudah memasuki akhil balig, seperti tidak

berduaan dengan lawan jenis di tempat sepi dan menjaga tubuhnya dari

sentuhan oleh lawan jenis (terutama bagi remaja putri).

Hasil wawancara tersebut di atas didukung oleh data SKRRI 2002-03,

yang menunjukkan bahwa di Indonesia orangtua belum dijadikan sebagai

sumber utama bagi remaja dalam memperoleh informasi kesehatan

3

Page 4: Komunikasi+Orangtua-Remaja

reproduksi. Sebanyak 45,2% remaja perempuan dan 56,5% remaja laki-laki

usia 15-24 tahun menerima informasi mengenai perubahan fisik pada anak

laki-laki atau anak perempuan saat pubertas dari teman sebayanya,

sedangkan yang bersumber dari orangtuanya hanya sebesar 33,5% remaja

perempuan dan 14,6% remaja laki-laki (BPS et al., 2003). Survei yang

dilakukan oleh LDFE-UI, UNFPA dan BKKBN tahun 2002, memberikan

gambaran bahwa persentase remaja yang mendapatkan informasi tentang

isu kesehatan reproduksi oleh keluarga (orangtua atau anggota keluarga

lain) relatif sedikit; sebanyak 42,2% remaja menerima informasi tentang haid,

yang mendapatkan penjelasan tentang penyakit menular seksual sebanyak

16,9% dan hanya 15,5% remaja yang menerima informasi tentang hubungan

suami istri.

Data tersebut di atas mengindikasikan bahwa orangtua belum

dijadikan sumber utama bagi remaja dalam memperoleh informasi kesehatan

reproduksi. Jalinan komunikasi remaja tentang isu seksualitas dengan teman

sebaya lebih baik jika dibandingkan dengan orangtuanya. Meskipun berbagai

penelitian telah menunjukkan pentingnya diskusi orangtua - remaja tentang

seks, tetapi banyak orangtua justru menunda atau bahkan menghindar dari

pembicaraan seputar isu seksualitas (Whitaker et al., 1999). Alasan orangtua

tidak bersedia membicarakan topik tersebut dengan remajanya antara

lain karena: (1) orangtua merasa bahwa hal tersebut adalah tanggung jawab

orang lain; (2) merasa malu dan (3) kurang memahami topik yang

dibicarakan (Burgess et al., 2005). Ketika orangtua berdiskusi tentang

seksualitas dengan anak remajanya, sebagian besar orangtua cenderung

menunjukkan sikap bertahan, sikap menghindar, kurang mendukung dan

berorientasi pada aturan (Martino et al., 2008). Hal serupa dikemukakan oleh

Lefkowitz et al. (2003), ketika mendiskusikan seksualitas, ibu cenderung

akan berbicara lebih banyak dibandingkan dengan remajanya.

Pembentukan sikap remaja sangat dipengaruhi oleh orangtuanya.

Pada umumnya, seseorang cenderung memiliki sikap yang konformis atau

searah dengan sikap orang yang dianggapnya penting. Kecenderungan

4

Page 5: Komunikasi+Orangtua-Remaja

tersebut didasari oleh keinginan untuk berafiliasi dan menghindari konflik

dengan orang yang dianggapnya penting tersebut (Azwar, 2007). Berkaitan

dengan hal tersebut, orangtualah yang dianggap mempunyai peran penting

dalam membentuk sikap remaja. Pembentukan sikap dapat dilakukan oleh

orangtua melalui pendidikan seks untuk meningkatkan pengetahuan remaja

tentang seksualitas. Mohammadi et al. (2006) mengemukakan bahwa remaja

yang memiliki kesulitan berkomunikasi dengan orangtuanya tentang masalah

seksualitas, mereka cenderung memiliki sikap permisif terhadap hubungan

seksual.

Selain komunikasi orangtua - remaja, media massa mempunyai

pengaruh besar dalam pembentukan sikap remaja. Seseorang lebih

perhatian pada opini berdasarkan pada yang dia baca, lihat dan dengar dari

media massa. Apabila pesan-pesan sugestif yang dibawa oleh informasi dari

media massa tersebut cukup kuat, maka akan memberi dasar afektif dalam

menilai suatu hal, sehingga terbentuklah sikap seseorang (Azwar, 2007).

Menurut Escobar-Chaves et al. (2005), pengaruh media massa terhadap

sikap dan perilaku seksual remaja dijelaskan dalam beberapa teori antara

lain: disinhibition theory, yaitu kecenderungan perilaku remaja dipengaruhi

oleh pengalaman yang diperoleh dari pengamatan; priming theory, yaitu

paparan media massa dapat mempengaruhi konsep berpikir remaja; arousal

theory, yaitu efek langsung dari materi seksualitas dapat mempengaruhi

respon perilaku individu; dan cultivation theory, yaitu paparan media massa

yang terus menerus dapat mempengaruhi persepsi dan perilaku seseorang,

yang diperoleh dari meniru karakter pemeran.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa komunikasi

orangtua - remaja merupakan salah satu bentuk proses pola asuh yang

memiliki pengaruh penting terhadap pembentukan sikap dan perilaku seksual

remaja. Orangtua memegang peranan penting untuk mencegah hubungan

seksual pranikah pada remaja melalui komunikasi antara orangtua dengan

remaja tentang isu seksualitas. Orangtua diharapkan dapat meningkatkan

kualitas komunikasi dengan anak remajanya, termasuk isu tentang

5

Page 6: Komunikasi+Orangtua-Remaja

seksualitas, sehingga pesan utama dan penting mengenai seksualitas dapat

diterima secara optimal oleh remaja.

Berdasarkan data usia kawin Kota Purworejo tahun 2007, remaja

perempuan (usia 16-19 tahun) dan laki-laki (usia 19-25 tahun) yang sudah

menikah berjumlah 165 orang (18,19%) dan 298 orang (32,86%). Berkaitan

dengan data tersebut, petugas lapangan Kabupaten Purworejo melaporkan

bahwa beberapa alasan perkawinan disebabkan oleh kehamilan sebelum

menikah. Alasan kedua, lokasi Purworejo berdekatan dengan perbatasan

Kota Yogyakarta dan remaja di perkotaan sudah terpapar berbagai media

massa. Alasan terakhir, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian tentang

masalah seksualitas di daerah, karena penelitian serupa sudah banyak

dilakukan oleh peneliti lain di kota-kota besar. Ketiga alasan tersebutlah yang

melatarbelakangi peneliti dalam pemilihan lokasi penelitian.

B. Perumusan Masalah

Kasus hubungan seksual pranikah remaja mempunyai kecenderungan

semakin meningkat. Hubungan seksual pranikah dapat menyebabkan

berbagai masalah bagi kesehatan, sosial dan ekonomi bagi remaja itu sendiri

maupun keluarganya. Sikap remaja terhadap seks saat ini telah mengalami

pergeseran, bahwa hubungan seksual pranikah telah dianggap sebagai

sesuatu yang wajar oleh remaja. Sikap permisif remaja terhadap hubungan

seks mengarahkan remaja untuk melakukan hubungan seksual lebih dini.

Orangtua memegang peranan penting untuk mencegah hubungan

seksual pranikah pada remaja melalui komunikasi antara orangtua dengan

remaja tentang isu seksualitas. Namun demikian, orangtua seringkali

menghadapi kesulitan untuk membicarakan masalah seksualitas kepada

anak remajanya, begitupun sebaliknya. Dari sisi remaja, remaja memandang

orangtuanya tidak memiliki cukup keahlian tentang topik yang berkaitan

dengan seksualitas. Selain itu, remaja menganggap orangtuanya kurang

dapat dipercaya, karena orangtua cenderung menghakimi, terlalu melindungi

dan sering tidak menghormati privasi remaja dan keinginan remaja untuk

6

Page 7: Komunikasi+Orangtua-Remaja

mandiri. Dari sisi orangtua, mereka menganggap dirinya tidak memiliki cukup

pengetahuan tentang isu seksualitas, merasa malu dan merasa kesulitan

untuk mencari tempat dan waktu yang tepat untuk berkomunikasi. Kedua

kondisi tersebut dapat menyebabkan remaja merasa sulit berkomunikasi

dengan orang di sekitarnya bahkan dengan orangtuanya sendiri; yang

seharusnya dapat membantu remajanya.

Kurangnya komunikasi yang bersifat dialogis antara orangtua dengan

remaja mengenai masalah seksualitas menyebabkan remaja mencari

informasi dari teman sebaya, media elektronik (televisi, VCD, internet) dan

media cetak. Permasalahan akan timbul jika remaja tidak mendapatkan

informasi kesehatan reproduksi yang benar dan sesuai dengan

perkembangan usianya, padahal informasi tersebut dapat mempengaruhi

pengetahuan yang diikuti dengan sikap dan perilakunya.

Wiendijarti (2002) dengan penelitian yang berjudul hubungan antara

terpaan media dan komunikasi interpersonal remaja-orangtua dengan sikap

permisif seksual remaja di SMA Yogyakarta. Tujuan penelitian tersebut

adalah untuk mengetahui hubungan antara komunikasi interpersonal remaja

dengan orangtua terhadap sikap permisif seksual pada remaja. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terdapat korelasi positif dan signifikan antara

terpaan media dan komunikasi interpersonal remaja-orangtua dengan sikap

permisif seksual remaja (r = 0,549; p<0,01). Persamaan penelitian tersebut

dengan penelitian yang dilakukan adalah sikap remaja, sedangkan

perbedaannya terdapat pada lokasi penelitian dan variabel bebas. Penelitian

sebelumnya dilakukan di SMU Yogyakarta, sedangkan penelitian yang

dilakukan ini berlokasi di SMA Kabupaten Purworejo. Selain itu, variabel

bebas dalam penelitian ini adalah komunikasi orangtua - remaja.

Burgess et al. (2005) dengan penelitian yang berjudul peningkatan

kenyamanan berkomunikasi tentang seksualitas antara orangtua dan remaja

di Central Florida. Tujuannya adalah untuk meningkatkan komunikasi yang

nyaman tentang seksualitas dalam keluarga. Hasil dari penelitian tersebut

menunjukkan bahwa partisipasi keluarga melalui komunikasi orangtua -

7

Page 8: Komunikasi+Orangtua-Remaja

remaja dapat meningkatkan tingkat kenyamanan komunikasi antara orangtua

dan anak remajanya, sedangkan ketidaknyamanan komunikasi telah

diidentifikasi sebagai penghalang komunikasi seksual keluarga yang efektif.

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian ini adalah komunikasi

orangtua - remaja, sedangkan perbedaannya terdapat pada lokasi penelitian

dan tujuan penelitian. Penelitian sebelumnya dilakukan di Central Florida,

sedangkan penelitian ini berlokasi di Kabupaten Purworejo. Selain itu, tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah terdapat hubungan antara

komunikasi orangtua - remaja dengan sikap remaja terhadap hubungan

seksual pranikah.

Martino et al. (2008) meneliti peran komunikasi orangtua - remaja

yang mendalam dan berulang-ulang tentang topik seksualitas di Los Angeles

- California. Penelitian tersebut dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor

yang mempengaruhi diskusi seksualitas yang mendalam dan berulang-ulang

terhadap persepsi remaja pada komunikasi remaja dengan orangtuanya.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa remaja yang berkomunikasi dengan

orangtuanya tentang seksualitas akan merasa lebih terikat secara emosional

dengan orangtuanya, merasa lebih mampu berkomunikasi dengan

orangtuanya tentang topik seksualitas dan umum, serta merasa terbuka

setiap kali berdiskusi tentang seksualitas dengan orangtuanya. Rancangan

penelitian dalam penelitian tersebut adalah randomized control trial (RCT).

Persamaan penelitian tersebut dengan penelitian yang dilakukan ini adalah

komunikasi orangtua - remaja, sedangkan perbedaannya terdapat pada

lokasi penelitian dan rancangan penelitian. Penelitian sebelumnya dilakukan

di California, sedangkan penelitian yang dilakukan ini berlokasi di Kabupaten

Purworejo. Selain itu, rancangan penelitian ini adalah cross-sectional studies

(penelitian potong lintang).

8