Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

44
354 Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis Oleh : Richard G. Mayopu 1 Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50771, Indonesia Email: 1) [email protected] Abstrak. Indonesia adalah Negara dengan populasi masyarakat yang sangat majemuk, multikultural, yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari komunitas-komunitas yang berbeda-beda kebudayaan.. Kemajemukan tersebut ditandai oleh adanya etnis dan suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sehingga mencerminkan adanya perbedaan dan pemisahan antara etnik yang satu dengan etnik lainnya, tetapi secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia. Dengan melihat fenomena ini maka penulis sangat tertarik untuk menelaah lebih jauh mengenai fenomena kemajemukan ini dari sudut pandang komunikasi antarbudaya. Fenomena ini dijadikan penulis sebagai “pintu masuk” untuk mencari tahu lebih dalam mengenai kajian ilmu komunikasi yang secara konseptual selalu bertujuan untuk menjalin hubungan yang harmonis antar pihak yang terklibat dalam proses komunikasi. Penulis pun mengambil konflik antar komunitas etnis di Salatiga sebagai unit analisis dan amatan dengan melihat pola komunikasi konflik yang terjadi dalam kurun waktu tahun 2008-2010. Penlitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana pola komunikasi konflik antarbudaya yang terjadi dalam hubungan antar etnis di Salatiga. Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Pendekatan dan jenis penelitian ini dianggap relevan oleh penulis untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Unit amatan dari penelitian ini adalah peristiwa kesalahpahaman dan 1 Staf Pengajar Program Studi Public Relation Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

Transcript of Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

Page 1: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

354

Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

Oleh : Richard G. Mayopu1

Fakultas Teknologi Informasi

Universitas Kristen Satya Wacana

Jl. Diponegoro 52-60, Salatiga 50771, Indonesia

Email: 1)[email protected]

Abstrak. Indonesia adalah Negara dengan populasi masyarakat yang sangat

majemuk, multikultural, yaitu suatu masyarakat yang terdiri dari komunitas-komunitas

yang berbeda-beda kebudayaan.. Kemajemukan tersebut ditandai oleh adanya etnis

dan suku-suku bangsa yang masing-masing mempunyai cara-cara hidup atau

kebudayaan yang berlaku dalam masyarakat suku bangsanya sehingga mencerminkan

adanya perbedaan dan pemisahan antara etnik yang satu dengan etnik lainnya, tetapi

secara bersama-sama hidup dalam satu wadah masyarakat Indonesia. Dengan melihat

fenomena ini maka penulis sangat tertarik untuk menelaah lebih jauh mengenai

fenomena kemajemukan ini dari sudut pandang komunikasi antarbudaya. Fenomena ini

dijadikan penulis sebagai “pintu masuk” untuk mencari tahu lebih dalam mengenai

kajian ilmu komunikasi yang secara konseptual selalu bertujuan untuk menjalin

hubungan yang harmonis antar pihak yang terklibat dalam proses komunikasi. Penulis

pun mengambil konflik antar komunitas etnis di Salatiga sebagai unit analisis dan

amatan dengan melihat pola komunikasi konflik yang terjadi dalam kurun waktu tahun

2008-2010.

Penlitian ini bertujuan untuk menjawab bagaimana pola komunikasi konflik antarbudaya

yang terjadi dalam hubungan antar etnis di Salatiga. Pada penelitian ini penulis

menggunakan pendekatan kualitatif dan jenis penelitian deskriptif. Pendekatan dan

jenis penelitian ini dianggap relevan oleh penulis untuk menjawab permasalahan dalam

penelitian ini. Unit amatan dari penelitian ini adalah peristiwa kesalahpahaman dan

1 Staf Pengajar Program Studi Public Relation Fakultas Teknologi Informasi Universitas Kristen Satya Wacana

Page 2: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

355

konflik yang terjadi antara dua komunitas etnis yaitu komunitas etnis Timor (IKMASTI)

dan komunitas etnis Ambon (HIPPMA) dan unit analisisnya adalah pola komunikasi

antarbudaya dan memfokuskan pada Noise (Gangguan) dan Destination (Tujuan).

Dari Hasil Penelitian ini diperoleh kesimpulan bahwa tujuan dari proses komunikasi

antarbudaya di Salatiga yang melibatkan dua komunitas etnis ini, adalah menciptakan

konflik. Sehingga penulis mengambil kesimpulan secara keseluruhan dari penilitian ini

adalah Konflik merupakan Tujuan akhir dari proses komunikasi yang dibangun atas

dasar suasana maupun situasi yang harmonis.

Kata Kunci : Komunikasi, Budaya, Konflik

Page 3: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

356

1. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Keragaman budaya adalah ciri khas bangsa Indonesia dan Indonesia

merupakan salah satu negara yang memiliki berbagai macam budaya dari

Sabang sampai Merauke. Masyarakat Indonesia sejak dahulu sudah dikenal

sangat heterogen dalam berbagai aspek, seperti adanya keberagaman suku

bangsa, agama, bahasa, adat istiadat dan sebagainya. Oleh sebab itu maka

cara setiap orang di indonesia dalam berkomunikasi akan berbeda satu

dengan yang lain tergantung dimana dia berada. Dalam berkomunikasi dengan

konteks keberagaman kebudayaan sering terjadi masalah atau hambatan-

hambatan (distorsi) yang tidak diharapkan sebelumnya. Misalnya saja dalam

penggunaan bahasa, lambang-lambang, nilai atau norma-norma masyarakat

dan lain sebagainya.

Salah satu syarat untuk terjalinnya hubungan itu tentu saja harus ada saling

pengertian dan pertukaran informasi atau makna antara satu dengan lainnya.

Sehingga dapat ditarik suatu kesimpulan walaupun masih terlalu dini bahwa

komunikasi dan budaya merupakan satu hal yang tidak dapat dipisahkan.

Komunikasi dan budaya mempunyai hubungan timbal balik, seperti dua sisi

mata uang. Budaya menjadi bagian dari perilaku komunikasi dan pada

gilirannya komunikasi pun turut menentukan memelihara, mengembangkan

atau mewariskan budaya seperti yang dikatakan Edward T. Hall bahwa

komunikasi adalah Budaya dan Budaya adalah komunikasi (Culture is

communication and communication is culture) [1]

Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme untuk

mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara “horizontal”

dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara vertikal dari

suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain, budaya merupakan

norma-norma atau nilai-nilai yang dianggap sesuai dan selalu diusahakan dan

diupayakan agar tetap terjaga bagi kelompok tertentu. Dan untuk memahami

Page 4: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

357

kajian antara komunikasi dan budaya, maka bisa ditinjau dari sudut pandang

komunikasi lintas budaya.

Komunikasi lintas budaya merupakan serangkaian proses yang sangat rumit

dan cukup panjang oleh karena itu dibutuhkan pemahaman yang mendalam

mengenai kajian dari ilmu ini. Budaya-budaya yang berbeda memiliki sistem-

sistem nilai yang berbeda dan karenanya ikut menentukan tujuan hidup yang

berbeda, juga menentukan cara berkomunikasi manusia yang sangat

dipengaruhi oleh bahasa, aturan dan norma yang ada pada masing-masing

budaya. Sehingga sebenarnya dalam setiap kegiatan komunikasi antara

individu/kelompok dengan individu/kelompok lain selalu mengandung potensi

komunikasi lintas budaya atau antar budaya, karena kita akan selalu berada

pada “budaya” yang berbeda dengan orang lain, seberapa pun kecilnya

perbedaan itu.

Dalam berkomunikasi pun terdapat pola-pola yang bisa dikatakan teratur

maupun yang tidak teratur, bisa terjadi karena disengaja ataupun tidak

disengaja. Jika berbicara mengenai komunikasi antar budaya, maka yang akan

menjadi salah satu fokus adalah bagaimana budaya memaknai komunikasi

tersebut. Oleh sebab itu, perbedaan-perbedaan makna budaya dapat

menimbulkan resiko yang fatal, setidaknya akan menimbulkan komunikasi

yang tidak lancar, timbul perasaan tidak nyaman atau timbul kesalahpahaman.

Akibat dari kesalahpahaman-kesalahpahaman itu banyak kita temui dalam

berbagai kejadian yang mengandung etnosentrisme dewasa ini dalam wujud

konflik-konflik yang berujung pada kerusuhan atau pertentangan antar etnis.

Berangkat dari pemahaman ini maka muncul pentanyaan-pertanyaan untuk

menelaah lebih dalam lagi mengenai pemahaman “What kind of

communication is needed by a pluralistic society to be both culturally diverse

and unified in common goals?” [2] atau yang lebih tepat adalah pola komunikasi

seperti apa yang dibutuhkan oleh masyarakat yang plural untuk mencapai

tujuan bersama.

Page 5: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

358

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang terdapat

dalam penelitian ini adalah “bagaimana Pola komunikasi konflik antar budaya

yang terjadi dalam hubungan antar etnis di Salatiga?” khususnya antar etnis

Timor dan etnis Ambon!

II. TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teoritis

Komunikasi antarbudaya yang merupakan suatu kajian ilmu komunikasi yang

dilakukan antar komunitas atau antar individu memang terkesan “kuno” bagi

masyarakat Indonesia khususnya bagi para ahli komunikasi. Masyarakat dan

beberapa ahli komunikasi cenderung memiliki pandangan bahwa ilmu

komunikasi hanyalah berfokus pada komunikasi media massa sehingga kajian

mengenai komunikasi antarbudaya belum mendapatkan tempat dalam

perkembangan ilmu komunikasi di Indonesia. Sehingga pemahaman

komunikasi antarbudaya pun menjadi sedikit dicampur adukan dengan

komunikasi lintas budaya. Sebelum membahas mengenai tinjauan pustaka

dalam bab ini, perlu diketahui mengenai perbedaan mendasar dari kedua

konsep ini.

Perbandingan Komunikasi Lintas Budaya dan Komunukasi Antarbudaya

Kesamaan :

➢ Keduanya menjadikan kebudayaan sebagai varian besar

kajiannya

➢ Keduanya memusatkan perhatian pada komunikasi

antarpersonal

Perbedaan :

Page 6: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

359

➢ Komunikasi Lintas Budaya menekankan perbandingan

➢ Komunikasi Lintas Budaya mempelajari efek media

(perbandingan efek media dengan efek media yang lain)

➢ Komunikasi Antarbudaya menekankan interaksi antarpribadi

yang berbeda latar belakang kebudayaan

➢ Komunikasi Antarbudaya Juga mempelajari komunikasi dan

hubungan internasional

Konsep yang dipakai dalam penelitian ini adalah komunikasi antarbudaya yang

diamati dan dianalisis. Pada bab sebelumnya sudah dijelaskan mengenai

beberapa konsep komunikasi secara umum, oleh karena itu maka pada bab ini

akan menjelasakan lebih spesifik mengenai konsep-konsep dalam ilmu

komunikasi yang akan dipakai sebagai “pisau analisis” dalam penelitian ini.

B. KOMUNIKASI

Ilmu Komunikasi selalu mengalami perkembangan sejak awal mula ilmu ini

mulai dikembangkan sehingga berpengaruh pada definisi ilmu komunikasi itu

sendiri. Komunikasi merupakan salah satu bagian hidup terpenting dari

aktivitas manusia sehari-hari. Tidak ada seorang pun di dunia ini yang tidak

pernah melakukan komunikasi atau berkomunikasi. Komunikasi atau

communication dalam bahasa inggris berasal dari kata latin communis yang

berarti sama, communico, communicatio, atau communicare yang berarti

membuat sama (to make common). Definisi ini diungkapkan oleh William I.

Gorden, Colin Cherry, Onong Uchjana, Judy C. Pearson dan Paul E. Nelson

[3]

Pada tahun 1948, Harrord Lasswell menemukan sebuah konsep teori

komunikasi. Lasswell adalah salah seorang ahli komunikasi yang

mengemukakan teori komunikasi yang cukup terkenal yaitu “who says what to

whom in what channel with what effect” atau “siapa berkata apa kepada siapa

dengan menggunakan saluran serta menimbulkan pengaruh apa”[4]

Komunikasi merupakan proses dimana seseorang menyampaikan pesan

Page 7: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

360

kepada orang lain dan ingin mendapatkan efek yang bisa berupa persamaan

terhadap pemaknaan pesan tersebut.

Pola merupakan bentuk atau model (atau, lebih abstrak, suatu set peraturan)

yang bisa dipakai untuk membuat atau untuk menghasilkan suatu atau bagian

dari sesuatu, khususnya jika sesuatu yang ditimbulkan cukup mempunyai

suatu yang sejenis untuk pola dasar yang dapat ditunjukkan atau terlihat, yang

mana sesuatu itu dikatakan memamerkan pola. Oleh sebab itu maka pola

komunikasi antar budaya adalah model komunikasi yang di gunakan oleh dua

atau lebih budaya yang saling berinteraksi. Pola adalah pemikiran sesuatu yg

diterima seseorang dan dipakai sebagai pedoman, sebagaimana diterimanya

dari masyarakat sekelilingnya. Pola juga mampu menjelaskan kepada orang

lain atau masyarakat yang berada disekelilingnya mengenai perilaku

kehidupannya dalam bermasyarakat. Sesuatu bisa dikatakan pola jika

peristiwa yang sama terjadi secara terus menerus baik disengaja maupun tidak

disengaja. Dengan melihat konsep diatas maka penulis mendefinisikan pola

komunikasi adalah “suatu proses komunikasi yang terjadi secara terus-

menerus di dalam suatu komunitas baik secara disengaja ataupun tidak

disengaja sehingga menciptakan suatu tradisi atau ciri khas yang turut

mempengaruhi proses komunikasi di dalam komunitas tersebut maupun

proses komunikasi yang terjadi dengan komunitas yang lain” . Dalam konteks

konflik antar etnis yang terjadi di Salatiga, pola komunikasi ini memberi peranan

penting dan bagi terciptanya hubungan, baik yang harmonis maupun yang

tidak harmonis. Bahkan setiap konflik yang terjadi diantara kedua etnis tersebut

semakin menjelaskan mengenai perbedaan pandangan mengenai hal-hal yang

prinsipil seperti gaya hidup, bahasa, perilaku, hingga pola pikir dari kedua

komunitas tersebut. Proses pembentukan pola komunikasi bisa dimulai dari

terjadinya interaksi yang terjadi didalam komunitas dan akan berlanjut pada

proses interaksi dengan komunitas-komunitas lainnya. Didalam komunitas

Timor maupun komunitas Ambon proses interaksi tersebut sudah terjadi dan

Page 8: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

361

hal ini yang menjadi perhatian penulis untuk melakukan riset secara mendalam

agar mengetahui pola komunikasi yang terjadi secara lebih komprehensif.

C. KOMUNITAS

Sebelum membahas lebih jauh mengenai penelitian ini, maka perlu diketahui

mengenai definisi teori maupun konsep-konsep yang akan dipakai. Kata lain

yang mirip dengan komunikasi adalah komunitas (community) yang juga

menekankan kesamaan atau kebersamaan . Komunitas merujuk pada

sekelompok orang yang berkumpul atau hidup bersama untuk mencapai tujuan

tertentu, dan mereka berbagi makna dan sikap. Tanpa komunikasi tidak

mungkin ada komunitas. Komunitas bergantung pada pengalaman dan emosi

bersama, dan komunikasi berperan dan menjelaskan kebersamaan itu. Oleh

karena itu maka komunitas juga berbagai bentuk-bentuk komunikasi yang

berkaitan dengan seni, agama, dan bahasa. Dan masing-masing bentuk

bentuk tersebut mengandung dan menyampaikan gagasan, sikap, perspektif,

pandangan yang mengalir kuat dalam sejarah komunitas tersebut.

D. ETNIS

Indonesia merupakan bangsa yang besar dan majemuk sehingga membuat

bangsa indonesia menjadi sangat kaya akan kebudayaan. Kemajemukan

bangsa ini bisa diamati dari wilayah Sabang sampai Merauke dan bisa diamati

melalui produk-produk budaya yang dihasilkan oleh setiap suku bangsa di

Indonesia. Masyarakat Indonesia juga bisa dikatakan sebagai masyarakat

yang pluralistik yang berasal dari kata “pluralisme ” [5] Sebenarnya istilah ini

pada awalnya lebih digunakan untuk menggambarkan suatu sistem politik

tertentu, yang diperlukan didalam negara yang kompleks untuk menerapkan

demokrasi, sebab dalam sistem demokrasi selalu ditandai dengan pembagian

kekuasaan untuk membuat kebijakan-kebijakan yang efektif antara golongan-

golongan tertentu dalam masyarakat , dengan maksud mengadakan kompetisi

yang sehat. Namun seiring berjalannya waktu, istilah tersebut dipergunakan

dan diterapkan pada masyarakat –masyarakat yang mencakup aneka ragam

Page 9: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

362

suku bangsa. Dan aneka ragam suku bangsa inilah yang disebut sebagai

Kelompok/ komunitas etnis (ethnic-group) yang masing masing mempunyai

kebudayaan khusus (sub-culture). Suku bangsa itu sendiri merupakan

kesatuan-kesatuan manusia yang sangat terikat oleh kesadaran dan kesatuan

sistem sosial dan kebudayaan(yang selalu didukung oleh bahasa dan pola

komunikasi tertentu dalam komunitas –komunitas etnis dan suku bangsa

tersebut).

J. Jones (1972 dalam Liliweri 2007)[6] mendefinisikan etnis atau sering disebut

Kelompok/ Komunitas etnis adalah sebuah himpunan manusia (sub kelompok

manusia) yang dipersatukan oleh suatu kesadaran atas kesamaan sebuah

kultur atau subkultur tertentu, atau karena kesamaan ras, agama, asal usul

bangsa, bahkan peran dan fungsi tertentu.

E. KONFLIK

Mahaguru dari perspektif konflik ini adalah Karl Marx (1818-1883). Dasar

pemikirannya adalah pandangan yang menyatakan bahwa telah terjadi

ekploitasi kelas besar-besaran sebagai penggerak utama dalam kekuatan-

kekuatan sejarah2. Ketika berbicara mengenai konflik, maka akan ada banyak

definisi dan pengertian mengenai konflik misalnya konflik bisa diartikan sebagai

pertentangan, peperangan, perkelahian, kerusuhan, dan masih banyak lagi

definisi mengenai konflik dengan berbagai macam sudut pandang. Merujuk

pada definisi Park dan Burgess mengatakan bahwa secara sederhana konflik

merupakan perjuangan untuk mendapatkan status. Status yang dimaksudkan

disini adalah status sosial yang terdapat dalam klasifikasi masyarakat tertentu.

Status ini tentu saja berkaitan dengan kedudukan dan prestise seseorang

dalam masyarakat. Namun Mack dan Snyder mengambahkan bahwa Ia tidak

hanya memperjuangkan status tetapi juga memperoleh sumber daya yang

langka dan mewujudkan perubahan sosial yang signifikan. Dengan demikian

maka konflik digambarkan disini sebagai situasi di mana para aktor

2 Karya karl Marx yang terkenal ketika ia membuat analisa mengenai pertentangan kelas borjuis dan proletar

Page 10: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

363

menggunakan perilaku konflik melawan pihak lain untuk mencapai tujuan yang

bertentangan dan atau untuk menyatakan permusuhan mereka. Aktor disini

tidak dibatasi pada individual saja, melainkan pada kelompok atau pun dalam

penelitian ini adalah komunitas [7]. Ketika berbicara mengenai konflik, maka

perlu diperhatikan hal-hal yang menyebabkan terjadinya konflik. Pada awal

tulisan ini, sudah dijelaskan secara singkat bahwa persoalan ekonomi sering

menjadi faktor pemicu terjadinya konflik. Widiarto, (2003: 30-

31)[8]mengemukakan bahwa konflik adalah pertentangan dan terdapat empat

faktor penyebab terjadinya konflik yaitu :

1. Perbedaan antar orang per orang. Perbedaan pendirian dan perasaan

mungkin menyebabkan bentrokan antar orang per orang.

2. Perbedaan kebudayaan. Perbedaan kepribadian dari orang per orang

tergantung pula dari pola kebudayaan yang menjadi latar belakang

pembentukan serta perkembangan kepribadian tersebut. Seorang

secara sadar maupun tidak sadar, sedikit banyaknya akan

terpengaruh oleh pola pemikiran dan pola pendirian dari kelompoknya.

Selanjutnya keadaan tersebut dapat pula menyebabkan terjadinya

pertentangan antar kelompok manusia,

3. Bentrokan antar kepentingan. Bentrokan kepentingan orang-orang

maupun kelompok manusia merupakan sumber lain dari konflik atau

pertentangan. Wujud dari kepentingan tersebut misalnya kepentingan

dalam bidang ekonomi, politik, dan sebagainya.

4. Perubahan Sosial. Perubahan sosial yang cepat dalam masyarakat,

untuk sementara waktu mengubah sistem nilai dalam masyarakat dan

menyebabkan terjadinya berbagai golongan yang berbeda

pendiriannya mengenai reorganisasi dari sistem nilai.

Berdasarkan empat point diatas maka penulis akan memfokuskan penelitian

ini pada persoalan perbedaan kebudayaan dimana hal ini selalu menjadi kajian

yang utama terhadap proses komunikasi antar budaya.

Page 11: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

364

F. KEBUDAYAAN

Menurut antropologi, “kebudayaan adalah seluruh sistem gagasan dan rasa,

tindakan, serta karya yang dihasilkan manusia dalam kehidupan

bermasyarakat, yang dijadikan miliknya dengan belajar”. Dengan demikian,

hampir semua tindakan manusia adalah kebudayaan, karena jumlah tindakan

yang dilakukannya dalam kehidupan bermasyarakat yang tidak dibiasakan

dengan belajar (yaitu tindakan naluri, refleks, atau tindakan-tindakan yang

dilakukan akibat suatu proses yang panjang).

Kata “budaya” berasal dari bahasa Sansekerta buddhayah yang merupakan

bentuk jamak dari kata buddhi, yang berarti “budi” atau “akal” [9] Kebudayaan

itu sendiri diartikan sebagai “ hal-hal yang berkaitan dengan budi atau

akal”.Istilah culture, yang merupakan istilah bahasa asing yang sama artinya

dengan kebudayaan, berasal dari kata “colere” yang artinya adalah “mengolah

atau mengerjakan”, yaitu dimaksudkan kepada keahlian mengolah dan

mengerjakan tanah atau bertani. Kata colere yang kemudian berubah menjadi

culture diartikan sebagai “segala daya dan kegiatan manusia untuk mengolah

dan mengubah alam”. Seorang Antropolog yang bernama E.B. Taylor (1871),

memberikan definisi mengenai kebudayaan yaitu “kebudayaan adalah

kompleks yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral,

hukum, adat istiadat, kemampuan-kemampuan dan kebiasaan-kebiasaan yang

didapatkan oleh manusia sebagai anggota masyarakat”. Antropolog ini

menyatakan bahwa kebudayaan mencakup semua yang didapatkan dan

dipelajari dari pola-pola perilaku normatif, artinya mencakup segala cara atau

pola berpikir, merasakan dan bertindak. Selanjutnya Soekanto menambahkan

bahwa penelitian-penelitian yang berkaitan dengan kebudayaan tertentu, akan

sangat tertarik dengan objek dan subjek kebudayaan seperti rumah-rumah,

sandang, jembatan, alat-alat komunikasi maupun proses komunikasi itu sendiri

[10] Taylor selanjutnya menjelaskan juga bahwa kebudayaan yang merupakan

kompleks menyeluruh yang mencakup pengetahuan, kepercayaan, seni,

moral, hukum, adat istiadat, dan lain kemampuan serta kebiasaan yang

dipunyai manusia sebagai warga negara dari suatu masyarakat , selalu

Page 12: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

365

mempengaruhi pola hidup dalam bermasyarakat [11]. Pola hidup yang

ditafsirkan oleh penulis adalah pola bagaimana masyarakat berkomunikasi dan

berinteraksi antara satu dengan yang lainnya, terlebih masyarakat yang

berbeda kebudayaannya.

Berikut definisi Kebudayaan dari Larry A. Samovar dan Richard E. Porter [12]

culture as the deposit of knowledge, experience, beliefs,

values, attitudes, meanings, social hierarchies, religion,

notions of time, roles, spatial relationships, concepts of the

universe, and material objects and possessions acquired by a

group of people in the course of generations through individual

and group striving. (Kebudayaan dapat berarti simpanan

akumulatif dari pengetahuan, pengalaman, kepercayaan, nilai,

sikap, makna, hirarki, agama, pilihan waktu, peranan, relasi

ruang, pandangan terhadap alam semesta, dan objek material

atau kepemilikan yang dimiliki dan dipertahankan oleh

sekelompok orang atau suatu generasi).

G. KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Sebelum melihat lebih jauh mengenai proses komunikasi antar budaya, maka

kita harus melihat dulu beberapa defenisi yang dikutip oleh Ilya Sunarwinadi

(1993:7-8) berdasarkan pendapat para ahli antara lain3 :

a. Sitaram (1970) : Seni untuk memahami dan saling pengertian antara

khalayak yang berbeda kebudayaan (intercultural communication is the

3 Diunduh dari http://library.usu.ac.id/download/fisip/komunikasi-lusiana.pdf pada Tgl

21/07/2010/ 00:16

Page 13: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

366

art of understanding and being understood by the audience of mother

culture).

b. Samovar dan Porter (1972) : Komunikasi antar budaya terjadi manakalah

bagian yang terlibat dalam kegiatan komunikasi tersebut membawa serta

latar belakang budaya pengalaman yang berbeda yang mencerminkan

nilai yang dianut oleh kelompoknya berupa pengalaman, pengetahuan,

dan nilai (intercultural communication obtains whenever the parties to a

communications act to bring with them different experiential backgrounds

that reflect a long-standing deposit of group experience, knowledge, and

values).

c. Rich (1974) : Komunikasi antar budaya terjadi ketika orang-orang

berbeda kebudayaan (communication is intercultural when occuring

between peoples of different cultures) (Liliweri, 2007 : 12).

d. Stewart (1974) : Komunikasi antara budaya yang mana terjadi dibawah

suatu kondisi kebudayaan yang berbeda bahasa, norma-norma, adat

istiadat dan kebiasaan (interculture communications which accurs under

conditions of cultural difference-language, cunstoms, and habits).

e. Sitaram dan Cogdell (1976) : Komunikasi antar budaya adalah interaksi

antara para warga kebudayaan yang berbeda (intercultural

communications is interaction between members of differing cultures).

f. Carley H.Dood (1982) : Komunikasi antar budaya adalah pengiriman dan

penerimaan pesan-pesan dalam konteks perbedaan kebudayaan yang

menghasilkan efek-efek yang berbeda (intercultural communication is

the sending and receiving of message within a context of cultural

differences producing differential effects).

g. Young Yun Kim (1984) : Komunikasi antar budaya adalah suatu peristiwa

yang merujuk dimana orang – orang yang terlibat di dalamnya baik

Page 14: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

367

secara langsung maupun tak tidak langsung memiliki latar belakang

budaya yang berbeda (intercultural communication refers to the

communications phenomenon in which participant different in cultural

background, come into direct or indirect contact which one another).

Seluruh definisi diatas dengan jelas menerangkan bahwa ada penekanan pada

perbedaan kebudayaan sebagai faktor yang menentukan dalam

berlangsungnya proses komunikasi antar budaya. Komunikasi antar budaya

memang mengakui dan mengurusi permasalahan mengenai persamaan dan

perbedaan dalam karakteristik kebudayaan antar pelaku-pelaku komunikasi,

tetapi titik perhatian utamanya tetap terhadap proses komunikasi individu-

individu atau kelompok-kelompok yang berbeda kebudayaan dan mencoba

untuk melakukan interaksi. Komunikasi dan budaya yang mempunyai

hubungan timbal balik, seperti dua sisi mata uang. Budaya menjadi bagian dari

perilaku komunikasi, dan pada gilirannya komunikasi pun turut menentukan,

memelihara, mengembangkan atau mewariskan budaya, seperti yang

dikatakan Edward T.Halll, bahwa ‘komunikasi adalah budaya’ dan ‘budaya

adalah komunikasi’. Pada satu sisi, komunikasi merupakan suatu mekanisme

untuk mensosialisasikan norma-norma budaya masyarakat, baik secara

horizontal, dari suatu masyarakat kepada masyarakat lainnya, ataupun secara

vertikal dari suatu generasi ke generasi berikutnya. Pada sisi lain budaya

menetapkan norma-norma (komunikasi) yang dianggap sesuai untuk kelompok

tertentu.

III. PEMBAHASAN

A. KOMUNITAS ETNIS TIMOR DI SALATIGA (IKATAN KELUARGA,

MAHASISWA, DAN SISWA TIMOR DI SALATIGA)

Ikatan Keluarga Mahasiswa dan Siswa Asal Timor di Salatiga atau yang lebih

dikenal dengan nama Ikmasti, merupakan suatu perkumpulan etnis yang

Page 15: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

368

berada di Kota Salatiga. Ikmasti pada awal berdirinya, sengaja dibentuk

dengan salah satu tujuan utama yaitu ingin mengumpulkan atau merangkul

seluruh Mahasiswa ataupun siswa perantauan yang berasal dari daerah Timor

( pulau Timor ) yang berusaha untuk menuntut ilmu di kota Salatiga yaitu di

Universitas Kristen Satya Wacana ( UKSW ). Hal ini dikarenakan kesamaan

latar belakang budaya dan kebutuhan untuk saling berinteraksi dan

berkomunikasi dengan sesama mahasiswa perantauan sehingga membuat

para pendahulu Ikmasti merealisasikan ide mereka ( mendirikan Ikmasti ).

Dan jika melihat berdirinya suatu perkumpulan maka pentinglah bagi kita untuk

mengetahui sejarah berdirinya suatu perkumpulan. Sejarah awal berdirinya

ikmasti dimulai pada saat terjadinya suatu pertemuan antara beberapa

mahasiswa asal Timor di kediaman Bpk Drs. El Zakharias di Jl. Imam Bonjol

No. 7A, beliau bertindak sebagai orang tua pembimbing dari para mahasiswa

asal Timor di UKSW guna membahas pembentukan perkumpulan ini.

Pembicaraan pada pertemuan tersebut mengarah pada sadarnya rasa saling

membutuhkan akan keinginan bersekutu bersama saudara seiman dan

diharapkan dengan adanya tujuan bersama tersebut dapat membantu

memberikan motivasi untuk berkonsentrasi pada studi, kehidupan

bermasyarakat dengan berlandaskan iman.

Mengapa kesadaran untuk bersekutu dinilai sangat penting oleh para pendiri

Ikmasti pada waktu itu? Hal ini dilakukan berdasarkan kenyataan bahwa

sebagian besar mahasiswa perantauan yang berasal dari Timor di UKSW

mendapat bantuan beasiswa dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT).

Sehingga membangkitkan kesadaran mereka untuk membalas budi, bukan

hanya ditunjukan melalui studi, namun juga melalui kebersamaan mereka

lewat persekutuan ( rohani ) yang mereka bangun.

B. KOMUNITAS ETNIS AMBON DI SALATIGA (HIMPUNAN MAHASISWA

AMBON DI SALATIGA)

Page 16: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

369

Sebelum saya menuliskan sejarah Himpunan Pelajar Mahasiswa Maluku

(HIPMMA), saya ingin mengatakan bahwa Pada dasarnya sejarah Himpunan

Pelajar dan Mahasiswa Maluku sendiri tidak pernah dituliskan, hanya

merupakan cerita yang biasanya disampaikan oleh para senior secara turun-

menurun untuk adik-adik yunior HIPMMA di Salatiga4

HIPMMA sendiri terbentuk bermula dari organisisi Himpunan Mahasiswa

Maluku dan Papua Barat ( HIMPAR) yang pada saat itu ( Sekitan Tahun 1960-

an) merupakan persekutuan persaudaraan antara anak-anak perantuan yang

senasib dan sepenanggungan.

karena rasa itulah maka terbentuklah HIMPAR, seiring dengan tahun berjalan

dan dikarenkan semakin banyaknya mahsiswa Maluku dan Papua yang datang

ke Salatiga, maka HIMPAR kemudian terpecah dan kembali ke etnis masing-

masing, setelah terpecahnya HIMMPAR, maka terbentuklah Himpunan

Mahasiwa Maluku (HIMMA), HIMMA sendiri terbentuk sekitar tahun 1970-an,

seiring waktu berjalan, karena semakin banyak anak-anak Maluku yang datang

untuk berstudi ke Salatiga, dan bukan hanya sebagai mahasiswa saja

melainkan juga terdapat beberapa pelajar (anak-anak Maluku yang lain yang

melanjutkan studinya di bangku SMA).

Dengan mempertimbangkan hal tersebut maka pada tanggal 01 Desember

1990 bertempat di wisma di daerah Bandungan Kab Semarang, maka

Himpunan Mahasiwa Maluku (HIMMA) mengadakan rapat anggota lengkap

kemudian merubah anggaran dasar dan anggaran rumah tangga dengan

merubah nama Himpunan Mahasiswa Maluku (HIMMA) menjadi HIPMMA yaitu

HIMPUNAN PELAJAR MAHASISWA MALUKU.

HIPMMA sendiri dalam perkembangannya mengalami beberapa persoalan

diantaranya , teman-teman dari Maluku Utara ingin memisahkan diri

dikarenakan telah terbentuknya provinsi baru untuk Maluku Utara, dan mereka

4 Dibuat oleh : Jessy J. Maitimu ( Ketua HIPMMA periode 2008 – 2010) Tertangal 15 juni 2011

Di Salatiga

Page 17: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

370

ingin berdiri sendiri dengan anggaran dasar dan anggaran rumah tangga

mereka sendiri, maka teman-teman dari Maluku Utara pun membentuk

organisasinya sendiri menjadi KEMAMORA.

Walaupun teman-teman dari Maluku Utara telah memisahkan diri, tetapi

HIPMMA terus berjalan dan persekutuan kekeluargaan ini masih berlangsung

sampai saat ini. Dan masih berkembang dengan menjalankan program-

program kerja dengan tujuan untuk lebih mempererat tali persaudaraan antar

Anak-anak Maluku di perantauan.

C. NOISE & DESTINATION DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Pada bagian sebelumnya sudah diuraikan beberapa maksud, tujuan hingga

tinjauan pustaka dalam penelitian ini sehingga dalam bab ini penulis akan

menguraikan beberapa temuan berkaitan dengan noise dan destination dalam

proses komunikasi antarbudaya. Dalam bab ini penulis mengungkapkan

konsep-konsep komunikasi yang terkadang terabaikan dalam menjadikannya

sebagai gangguan dan tujuan dalam berkomunikasi. Dua konsep yang penulis

masukan adalah opinion leader (pemimpin opini), prasangka dan stereotip

yang berperan sebagai noise (gangguan) dalam proses komunikasi antar

komunitas etnis yang berkonflik serta Social Capital (modal social) yang

bertindak sebagai penunjang dalam proses komunikasi antarbudaya

terkhususnya antar komunitas etnis Ambon dan Timor. Konsep terakhir ini

sebenarnya belum banyak dibicarakan atau dibahas dalam beberapa literatur

komunikasi namun karena dalam penelitian ini penulis menemukan bahwa

modal social memiliki peranan yang cukup signifikan sehingga penulis merasa

perlu untuk diutarakan atau lebih tepatnya dikenalkan kepada setiap pihak

yang tertarik untuk mendalami ilmu komunikasi.

Page 18: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

371

D. OPINION LEADER SEBAGAI NOISE DALAM PROSES KOMUNIKASI

ANTARBUDAYA

PENGERTIAN OPINION LEADER

Opinion leader diterjemahkan sebagai pemimpin pendapat atau pemuka

masyarakat, Konsep ini awal mula dikemukakan oleh Paul F. Lazarsfeld (1940)

dalam penelitiannya “Communication Effect and the Erie County Study” [13] Ia

melakukan studi tentang perilaku pemilih yang dikenal dengan Erie County

Study dalam pemilihan presiden. Dalam penelitian itu dia melihat bagaimana

efek media massa dalam mempengaruhi perilaku pemilih dalam pemilihan

presiden. Namun penelitiannya tersebut menemukan bahwa media massa

tidak banyak berpengaruh terhadap perilaku pemilih waktu itu, kebanyakan

pemilih sudah menentukan pilihan sebelum masa kampanye dimulai. Pada

saat itu media dinilai memiliki pengaruh yang sangat kuat untuk mempengaruhi

khalayak dalam hal pemberian informasi. Namun Lazarsfeld menemukan

bahwa media ternyata sebagai komunikator, tidak sekuat yang dibayangkan

sebab khalayak memiliki kemampuan untuk menyaring informasi yang

disampaikan oleh komunikator.

Sebenarnya penelitian ini lebih mangacu kepada mass Media Research namun

konsep ini juga sering ditemui dalam kehidupan sehari-hari bahkan dalam

proses komunikasi antarbudaya sendiri. Bahkan dalam proses komunikasi

konflik yang terjadi, opinion leader mampu bertindak sebagai “ujung tombak”

dalam proses pemberian informasi bagi pihak didalam maupun diluar

komunitas. Opnion leader yang penulis temui pada saat melakukan penelitian

adalah :

Opinion Leader Aktif (Opinion Giving)

Disini para opinion leader tersebut sengaja mencari penerima atau followers

untuk mengumumkan atau mensosialisasikan suatu informasi. Dalam

Page 19: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

372

komunitas etnis Timor maupun Ambon, ada sebuah kesamaan. Yang bertindak

sebagai Opinion Leader aktiv adalah para senior. Senior adalah anggota

komunitas yang sudah berada di Salatiga dan terlibat langsung dalam

keanggotaan komunitas kurang lebih satu tahun sejak kedatangannya. Senior

menjadi pemimpin opini yang sangat efektif ketika konflik tarjadi bahkan hingga

proses resolusi konflik dilakukan oleh kedua pihak. Ketika melakukan

wawancara dengan seorang Informan dari komunitas Ambon, Ia

mengakatakan bahwa

karakter dari komunitas Ambon adalah “yang Tua lebih

dihargai dan secara tidak langsung memiliki wewenang

yang cukup untuk mengambil keputusan, hal ini

dikarenakan kebiasaan adat istiadat dari daerah yang

terbawa hingga di Salatiga”. Peran senior cukup

signifikan dalam pola komunikasi konflik ini sebab Ia

juga menambahkan “senior bilang apa, katorang iko

saja”, maksudnya adalah apapun yang dikatakan oleh

para senior maka yang junior akan mengikutinya baik

itu perintah maupun ajakan. Sekalipun para anggota

yang junior mempunyai asumsi atau pemikiran yang

lebih baik, namun tetap saja tidak memiliki kekuatan

“politik”, untuk menentukan kebijakan apa yang akan

diambil dan dilaksanakan oleh komunitas5.

Senior menjadi opinion leader yang ideal dalam komunitas etnis karena secara

tidak langsung memiliki kriteria untuk menjadi pemimpin opini seperti :

o Status sosial yang lebih tinggi sebab sudah lebih lama berada di Salatiga

dan terlibat langsung dalam keanggotaan komunitas

5 Wawancara dilakukan di rumah kontrakan Ain daerah Kauman salatiga Tgl 29 Juli 2011.

Page 20: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

373

o Lebih berpengalaman dalam menghadapi konflik

o Lebih banyak bersentuhan dengan komunitas lain diluar komunitasnya

sendiri

o Kemampuan empati yang besar

o Partisipasi sosial yang lebih banyak dan dituangkan dalam berbagai

kegiatan komunitas etnis.

Opinion Leader Pasif (Opinion Seeking)

Dalam hal ini followers lebih aktif mencari sumber informasinya kepada opinion

leader, sehubungan dengan permasalahan yang dihadapi seperti halnya

contoh diatas tersebut. Anggota komunitas terutama yang junior seakan-akan

mengalami suatu kondisi diamana ia harus mencari informasi mengenai konflik

dari para seniornya. Hal ini bisa dimaklumi sebab seniorlah yang memiliki

informasi serta pengalaman yang lebih banyak dalam memanage konflik.

Everett M. Rogers dalam bukunya Diffusion of Innovations (1983 : 288)[14] dua

jenis opinion leader yang sering ditemui dalam kehidupan masyarakat yaitu

Monomorphic dan Polymorphic Opinion Leader

opinion leader Monomorphic merupakan jenis opinion leader yang mampu

bertindak selaku leader untuk satu macam topik atau persoalan. Jenis ini sering

kita temui di kumpulan masyarakat modern misalnya seorang ahli komunikasi

ketika ditanya mengenai bidang diluar kemampuannya maka ia akan berkata

tidak tahu.

Merton menggunakan istilah polymorphism untuk menunjukkan tingkat ketika

seseorang bertindak selaku opinion leaders bagi berbagai topik.

Selanjutnya ia menambahkan untuk mengukur opinion leader dilakukan

menggunakan tiga cara yaitu Metode Sosiometrik, Informasi Ratting, Self

Designing Method. Namun yang dipakai penulis untuk mengukur opinion

leader adalah :

Metode Sosiometrik

Page 21: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

374

Dalam metode ini, masyarakat ditanya kepada siapa mereka meminta nasihat

atau mencari informasi mengenai masalah kemasyarakatan yang dihadapinya.

Teknik ini dipakai penulis ketika melakukan pengamatan dan wawancara

terhadap salah seorang informan Chris Doko (anggota komunitas Timor),

penulis menanyakan siapa orang yang paling berperan dalam proses

pemberian informasi terkait konflik antar etnis yang terjadi ia pun menjawab

“ada senior yang biasa beta tanya dia untuk urus

masalah soalnya dia ni yang punya pengalaman banyak

soal konflik, jadi katong ana-ana kupang rata-rata pi

tanya di dia sa”. (saya biasanya menanyakan dan

meminta bantuan kepada seorang senior yang dinilai

punya banyak pengalaman berkaitan dengan konflik

antar etnis yang sedang terjadi)6.

Informasi Ratting

Metode ini mengajukan pertanyaan tertentu kepada orang /informan yang

dianggap sebagai key informan dalam masyarakat mengenai siapa yang

dianggap masyarakat sebagai pemimpin mereka. Jadi dalam hal ini informan

tersebut haruslah jeli dalam memilih siapa yang benar-benar harus memimpin

dalam masyarakat tersebut. Dari segi kepribadian, pendidikan, serta tindakan

yang dilakukannya terhadap masyarakat tersebut. Yang menjadi informan

kunci berkaitan dengan pengujian ini adalah informan yang pernah terlibat

secara langsung pada saat konflik terjadi.

E. PRASANGKA & STEREOTIP SEBAGAI NOISE DALAM PROSES

KOMUNIKASI ANTAR BUDAYA

Sebelum masuk pada inti dari temuan ini maka perlu disimak mengenai konsep

prasangka yang sering timbul dalam kehidupan sehari-hari. Secara

6 Wawancara dilakukan di Arena Futsal Salatiga di daerah Cemara Raya Tgl 23 Juli 2011

Page 22: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

375

konseptual, prasangka adalah sebuah sikap (biasanya negatif) yang ditujukan

bagi anggota-anggota beberapa kelompok/ komunitas yang didasarkan pada

keanggotaannya dalam kelompok. Dasar dari munculnya prasangka adalah

stereotip. Stereotip adalah belief tentang karakteristik anggota komunitas

tertentu bisa positif dan bisa juga negatif. Gordon W. Allport dalam buku ON

THE NATURE OF PREJUDICE yang disunting oleh John F. Dovidio, Peter

Glick & Laurie A. Rudman (2005)[15] mengatakan stereotype is a belief system

in which psychological characteristics are ascribed more or less

indiscriminately to the members of a group. Jadi stereotip merupakan sistem

kepercayaan dalam karakter psikologi seseorang untuk memberikan penilaian

kepada anggota kelompok lain tanpa memandang siapa anggota kelompok

tersebut. Prasangka sosial juga merupakan sikap-perasaan orang-orang

terhadap golongan manusia tertentu, golongan ras atau kebudayaan, yang

berlainan dangan golongan orang berprasangka itu [16]

Stereotip adalah komponen kunci dari prasangka. Setereotip adalah kerangka

kognitif yang berisikan pengetahuan dan belief tantang kelompok sosial

tertentu dan dilihat sebagai tipikal yang dimiliki oleh anggota kelompok tertentu

tersebut (Cicilia Yeti Prawasti dalam Sarwono & Meinarno 2009 : 228)[17] .

Dengan demikian, Individu yang memiliki stereotip tentang kelompok sosial

tertentu akan melihat bahwa semua anggota kelompok sosial tersebut memiliki

traits (sifat) tertentu walaupun dalam intensitas yang rendah. Stereotip ini

berpengaruh dalam proses masuknya informasi sosial.

Secara definitif stereotip adalah sekumpulan sifat-sifat tertentu yang kita

atributkan kepada sekelompok orang tanpa tanpa pertimbangan rasional dan

logis [18] Contoh stereotip yang sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari

misalnya anggapan bahwa orang Jawa memiliki karakter yang lembut dan

santun, orang Papua atau orang yang berasal dari kawasan indonesia timur

memiliki kebiasaan minum minuman keras (alkohol), anggapan bahwa orang-

orang Tionghoa sangat pelit dan pintar berdagang sehingga banyak orang

Tionghoa yang memiliki kehidupan yang relatif kondusif secara ekonomi.

Page 23: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

376

Stereotip berfungsi menggambarkan realitas antar komunitas, mendefinisikan

komunitas dalam hubungan antar etnis, membentuk image komunitas lain (dan

komunitas sendiri) yang menerangkan, merasionalisasi, dan menjustifikasi

hubungan antar kelompok dan perilaku orang pada masa lalu, sekarang, dan

akan datang di dalam hubungan itu.

Melalui stereotip kita bertindak menurut apa yang sekiranya sesuai terhadap

kelompok lain. Misalnya etnis Jawa memiliki stereotip lemah lembut dan kurang

suka berterus terang, maka kita akan bertindak berdasarkan stereotip itu

dengan bersikap selembut-lembutnya dan berusaha untuk tidak mempercayai

begitu saja apa yang diucapkan seorang etnis Jawa kepada kita. Sebagai

sebuah generalisasi kesan, stereotip kadang-kadang tepat dan kadang-kadang

tidak. Misalnya stereotip etnis Jawa yang tidak suka berterus terang memiliki

kebenaran cukup tinggi karena umumnya etnis Jawa memang kurang suka

berterus terang. Namun tentu saja terdapat pengecualian-pengecualian karena

banyak juga etnis Jawa yang suka berterus terang.

Waktu beta awal datang di salatiga, yang beta kanal

ana ambon tu si michael, karna kebetulan katong dua

satu angkatan di kampus trus satu fakultas, jadi

katong bakawan baek, nah yang beta liat, orang

ambon tu suka bagaya, sok-sok’an, pemarah, watak

keras, klo baomong suka bentak-bentak orang, cara

baomong tu talalu bagaya. (ketika Saya pertama kali

datang ke Salatiga, orang Ambon yang saya kenal

adalah Michael, karena kebetulan kami berdua

berada pada fakultas dan seangkatan dan pada saat

itu kami bersahabat, nah menurut saya karakter

orang Ambon : Sombong Sok-Sok’an, pemarah,

berwatak keras, suka membentak orang lain ketika

berkomunikasi, dan tidak santun dalam berbicara).

Page 24: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

377

Ketika ia (Chris) datang ke Salatiga sekitar tahun 2005 ia secara langsung

bergaul/ berteman dengan anggota komunitas Ambon yang juga secara

kebetulan mengambil jurusan yang sama yaitu di Fakultas Hukum Universitas

Kristen Satya Wacana Salatiga. Pergaulan mereka sebenarnya bisa dikatakan

akur sebelum konflik terjadi. Pada saat awal berkenalan dengan anggota

komunitas Ambon anggapan prasangka dan stereotip terhadap mereka adalah

biasa-biasa saja tanpa ada yang spesifik. Namun stereotip itu berubah seiring

dangan terjadi konflik antar etnis yang terjadi, dan stereotip yang muncul

terhadap anggota komunitas Ambon adalah sombong, dan menganggap

rendah orang lain (orang diluar komunitasnya). Ketika stereotip ini muncul,

maka secara perlahan Ia enggan untuk menjalin hubungan pertemanan

dengan anggota komunitas Ambon sebab pandangan ini menjadi pandangan

umum (generalisasi) terhadap Komunitas Ambon secara keseluruhan. Ini

merupakan salah satu konsekuensi yang harus diterima oleh Chris karena tlah

terlibat secara langsung dalam proses konflik tersebut.

Tabel Daftar stereotip dari kedua

komunitas etnis Timor dan Ambon

Stereotip Anggota Komunitas

Ambon Terhadap Anggota

Komunitas Timor

Stereotip Anggota Komunitas

Timor Terhadap Anggota

Komunitas Ambon

Page 25: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

378

Sombong,

Selalu ingin menang sendiri,

Pembual,

Suka minum minuman keras

(alkohol),

Solider,

Gengsi dan tidak ingin direndahkan

Pendendam,

Terbuka,

Suka berpesta pora,

Berwatak keras,

Gampang emosi,

Gemar mengucapkan kata-kata kotor,

Sok-sok’an,

pemarah,

sombong,

Fashionable (negatif),

suka minum minuman keras (alkohol),

orang yang mementingkan diri sendiri,

bersifat licik,

pembual,

bersifat memberi,

bersedia membantu,

eksklusif (sulit bergaul dengan etnis

lain),

cerewet,

pembuat gaduh,

pembuat onar

Stereotip dapat diwariskan dari generasi ke generasi melalui bahasa verbal

tanpa pernah adanya kontak dengan tujuan/objek stereotip Misalnya saja

stereotip terhadap etnis Cina mungkin telah dimiliki oleh seorang etnis Minang,

meskipun ia tidak pernah bertemu sekalipun dengan etnis Cina. Stereotip juga

dapat diperkuat oleh TV, film, majalah, koran, dan segala macam jenis media

massa.

Stereotip seringkali diasosiasikan dengan karakteristik yang bisa diidentifikasi.

Ciri-ciri yang kita identifikasi seringkali kita seleksi tanpa alasan apapun.

Artinya bisa saja kita dengan begitu saja mengakui suatu ciri tertentu dan

mengabaikan ciri yang lain.

Stereotip merupakan generalisasi dari kelompok kepada orang-orang di dalam

kelompok tersebut. Generalisasi mengenai sebuah kelompok mungkin

memang menerangkan atau sesuai dengan banyak individu dalam kelompok

tersebut.

Page 26: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

379

F. MODAL SOSIAL SEBAGAI PENUNJANG DAN KONFLIK SEBAGAI

DESTINATION DALAM KOMUNIKASI ANTARBUDAYA

Modal sosial dan komunikasi antarbudaya merupakan suatu kesatuan yang

saling mendukung, modal sosial membutuhkan kualitas proses komunikasi

yang baik dan efektif begitupun sebaliknya komunikasi antarbudaya

membutuhkan modal sosial untuk kelancaran proses komunikasi tersebut.

Modal sosial pada saat ini sudah menjadi suatu konsep yang menjadi perhatian

khusus di kalangan ilmuan maupun para ahli. Peranan dan kedudukan modal

sosial dalam aktifitas keseharian masyarakat juga telah dikaji secara lebih

intensif oleh para ahli dari berbagai sudut pandang keilmuan antara lain dari

perspektif agro-eco system, ekonomi, sosiologi, politik, antropologi dan

psikologi [19]. Selanjutnya Georgi (dalam Subejo 2004) juga menyimpulkan

bahwa social capital termasuk didalamnya individual talents, the accumulated

knowledge of society, and society’s forms of interaction, organization and

culture.

Secara tidak disadari, manusia yang merupakan mahkluk sosial hidup dengan

mengandalkan modal sosial. Hal ini selaras dengan keberadaan komunitas

etnis yang ada di Salatiga yang selalu berusaha untuk mengandalkan modal

sosial untuk bisa Survive.modal sosial dapat didiskusikan dalam konteks

komunitas yang kuat (strong community), masyarakat sipil yang kokoh,

maupun identitas negara-bangsa (nation-state identity). Modal sosial termasuk

elemen-elemen- didalamnya seperti kepercayaan (trust), jaringan (networking)

sering terjadi dikalangan masyarakat luas. Dua tokoh utama yang

mengembangkan konsep modal sosial adalah Putnam dan Fukuyama. Mereka

memberi definisi modal sosial yang penting. Putnam mengartikan modal sosial

sebagai penampilan organisasi sosial seperti jaringan-jaringan dan

kepercayaan yang memfasilitasi adanya koordinasi dan kerjasama bagi

Page 27: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

380

keuntungan bersama. Menurut Fukuyama, modal sosial adalah kemampuan

yang timbul dari adanya kepercayaan dalam sebuah komunitas7

Tabel definisi modal sosial dari para ahli (Subejo 2004 : 79)[20]

Sumber Pengertian dan Elemen Dasar dari Social Capital

Bourdieu

(1986)

The aggregate of the actual or potential resources which

are linked to possession of a durable network of more

or less institutionalized relationships of mutual

acquaintance and recognition – or in other words, to

membership of a group – which provides each of its

members with the backing of the collectively-owned

capital.

Coleman

(1988)

Social capital consits of some aspects of social

structures, and they facilitate certain actions of actors.

Putnam (1993) Features of social organization, such as trust, norms (or

reciprocity), and networks (of civil engagement), that

can improve the efficiency of society by facilitating

coordinated actions.

7 Spellberg dalam makalah modal sosial dan kebijakan publik karya Edi Suharto, PhD

Page 28: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

381

Narayan

(1997)

The rules, the norms, obligations, reciprocity and trust

embedded in social relations, social structure and

society’s institutional arrangements which enable

members to achieve their individual and community

objectives.

(Aturan, norma-norma, kewajiban, hal timbal balik dan

kepercayaan ditempelkan dalam hubungan sosial,

struktur sosial dan pengaturan kelembagaan dalam

masyarakat memungkinkan anggota untuk mencapai

sasaran hasil masyarakat dan individu mereka).

World Bank

(1998)

Social capital refers to the institutions, relationships, and

norms that shape the quality and quantity of a society’s

social interactions.

Uphoff (1999) Social capital can be considered as an accumulation of

various types of intangible social, psychological,

cultural, institutional, and related assets that influence

cooperative behavior

Dhesi (2000) Shared knowledge, understandings, values, norms, and

social networks to ensure the intended results

Dengan melihat definisi-definisi diatas maka penulis ingin mendefinisikan

modal sosial merupakan “Instrument” (alat) untuk mencapai tujuan bersama

yaitu tujuan yang saling menguntungkan antara dua atau lebih pihak yang

terintegrasi didalam proses interaksi sosial, serta mampu membangun norma

Page 29: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

382

dan nilai-nilai dalam proses tersebut, dan hal ini dilakukan dengan kesadaran

yang sungguh-sungguh. Sehingga terdapat empat elemen utama dalam modal

sosial yaitu norms, reciprocity, trust, dan network. Keempat elemen tersebut

berpengaruh secara signifikan terhadap perilaku kerjasama untuk mencapai

hasil yang diinginkan yang mampu mengakomodasi kepentingan individu yang

melakukan kerjasama maupun kelompok secara kolektif. Dari keempat elemen

diatas, sangat merangsang alur berpikir penulis bahwa untuk menjalankan

modal sosial perlu dipertimbangkan mengenai aspek Sharing. Sebenarnya

istilah ini merupakan istilah lanjutan dari empat elemen diatas yang sudah

masuk pada tataran implementasi.

Setelah melihat dan merenungkan konsep-konsep diatas maka penulis ingin

melihat pada situasi empirik mengenai modal sosial yang juga terjadi pada

komunitas-komunitas etnis yang berada di Salatiga. Seperti yang sudah

dijelaskan sebelumnya, konflik sangat dekat dengan eksistensi dari komunitas

etnis dan selalu merupakan proses pembelajaran bagi setiap anggota yang

terlibat dalam konflik tersebut. Namun yang menjadi unik dalam proses sosial

ini adalah setiap konflik yang terjadi, dapat terselesaikan dengan baik dan

relatif cepat. Mengapa hal ini bisa terjadi? Jawaban yang mungkin relevan

untuk menjawab pertanyaan ini adalah adanya modal sosial yang telah

dibentuk dan dihayati hingga dipahami secara bersama oleh pihak-pihak yang

bertikai8.

Masih teringat ketika terjadi perkelahian massa antara Komunitas etnis Ambon

(Hipma) dan Komunitas etnis Timor (Ikmasti) pada bulan September tahun

2008 dimana menyebabkan kerusakan fasilitas umum (jalan), fasilitas pribadi

(pengrusakan mobil) dan korban luka-luka (Ambon 1 orang & Timor 1 orang).

Pertikaian ini terjadi di sekitar Jl. Turen kelurahan Sidorejo Lor Kecamatan

Salatiga kota Salatiga. Aparat keamanan dalam hal ini kepolisian bertindak

sebagai penegak hukum turut berusaha dalam proses penyelesaian konflik

8 Olahan penulis berdasarkan pengamatan lapangan

Page 30: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

383

tersebut. Namun berdasarkan pengamatan penulis justru proses penyelesaian

dilakukan secara kekeluargaan dan dengan memanfaatkan elemen-elemen

dalam modal sosial yaitu:

1. Trust : adanya rasa saling percaya antara kedua etnis untuk

menyelesaikan masalah. Rasa saling percaya ini dibuktikan dengan

tindakan negosiasi yang dilakukan tanpa campur tangan pihak

kepolisian. Pihak kepolisian hanya bertindak sebagai fasilitator bukan

sebagai mediator sebab yang menjadi mediator adalah dua komunitas

etnis tersebut. Hal ini bisa terjadi karena adanya rasa “bagian dari”

suatu keutuhan. Yang dimaksud dengan keutuhan adalah rasa bahwa

kedua etnis tersebut merupakan bagian dari Indonesia Timur.

Walaupun terdengar seperti rasis, namun inilah kenyataan yang terjadi

bahwa mereka merasa adalah satu ras (berkulit hitam dan berambut

tidak lurus). Hal ini adalah bentuk dari asosiasi sukarela yang

merupakan syarat berdirinya masyarakat modern.

2. Networking : adanya rasa saling membutuhkan antar kedua belah

pihak yang bertikai sehingga mampu membentuk kondisi rekonsiliasi

yang cepat. Dan mereka juga sadar bahwa jaringan ini akan berlaku

dalam jangka waktu yang sangat panjang (beberapa tahun kedepan

ketika sudah kembali ke kampung halaman masing-masing ataupun

menetap di Salatiga dan sekitarnya.

3. Sharing : adanya rasa untuk saling berbagi antara etnis tersebut. Yang

di bagi adalah komunikasi dan informasi sehingga menimbulkan

adanya rasa saling terbuka bagi kedua pihak. Hal ini merupakan faktor

yang sangat vital dalam proses rekonsiliasi dan pembenahan kedua

komunitas etnis tersebut.

Secara inheren modal sosial mengandung social sense. Hampir semua bentuk

social capital terbentuk dan tumbuh melalui gabungan atau kombinasi tindakan

dari beberapa orang. Keputusan masing-masing pemain atau pelaku memiliki

Page 31: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

384

konsekuensi kepada semua anggota kelompok atau group. Sehingga hal

tersebut mencerminkan suatu atribut dari struktur sosial. Seperti dikemukakan

oleh Dhesi [21] bahwa modal sosial bukan merupakan private property dari

orang yang mendapat manfaat darinya. Hal ini hanya akan muncul dan tumbuh

kalau dilakukan secara bersama (shared). Sehingga modal sosial bisa

dikatakan sebagai property dari public good. Social capital akan tumbuh dan

semakin berkembang kalau digunakan secara bersama dan sebaliknya akan

mengalami kemunduran atau penurunan bahkan suatu kepunahan dan

kematian kalau tidak digunakan atau dilembagakan secara bersama.

Modal sosial tidak dapat diwariskan sepenuhnya secara otomatis dari generasi

ke generasi seperti pewarisan genetik dalam pengertian biologi. Pewarisan

modal sosial dan nilai-nilai yang menjadi atributnya memerlukan suatu proses

adaptasi, pembelajaran serta pengalaman dalam praktek nyata. Proses ini

akan tumbuh dan berkembang dalam waktu yang panjang melalui interaksi

yang berulang-ulang yang memungkinkan suasana untuk saling membangun

kesepahaman, kepercayaan serta nilai dan aturan main yang disepakati

bersama antar pelaku kerjasama. Proses yang panjang ini pun sudah dialami

oleh komunitas etnis yang telah berdiri sekitar tahun 1970an. Konflik menjadi

tujuan utama dan umpan balik dari proses komunikasi yang terjadi antar

komunitas etnis sehingga hal inilah yang membuat penulis merasa perlu

dilakukan suatu penelitian mendalam. Dan ketika melakukan beberapa

wawancara dan observasi seperti yang disajikan. Perkelahian menjadi tujuan

pokok dan umpan balik yang diharapkan bahkan di impi-impikan dan dibangun

diatas landasan strategi komunikasi yang harmonis.

Komunitas etnis yang sudah lama berdiri ini pun secara alamiah telah

mengalami berbagai macam persoalan baik internal maupun eksternal dan

mengalami proses evolusi yang cukup bervariasi dalam rentan waktu tersebut.

Proses komunikasi antar budaya yang telah terjadi selalu didasari dan

dibangun diatas kokohnya modal sosial sehingga menimbulkan situasi

transaksi sosial di kalangan tersebut.

Page 32: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

385

Agar lebih memahami peran modal sosial dalam komunikasi antar budaya

maka berikut adalah gambar atau bahan yang coba di buat oleh penulis

berdasarkan hasil pengamatan di lapangan.

G. PROSES KOMUNIKASI ANTARBUDAYA DI SALATIGA

Komunitas etnis

Timor

Komunitas etnis

Ambon

Transaksi sosial Sharing

Network

Trust

Proses Komunikasi

Antarbudaya

Modal Sosial

Nilai-Nilai Agama

Nilai-Nilai UKSW

Page 33: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

386

Diagram 8

Proses Komunikasi Antarbudaya di Salatiga

Sumber : Richard G. Mayopu

Nilai-nilai agama dalam komunitas etnis dan nilai-nilai Universitas Kristen

Satya Wacana menjadi dua sumber kuat terbentuknya modal sosial di

kalangan anggota komunitas etnis. Sebagian besar anggota komunitas etnis

Timor maupun Ambon beragama kristen baik Kristen Katholik maupun Kristen

Protestant. Nilai-nilai agama yang paling berperan penting dalam proses

komunikasi antar budaya hingga bermuara pada resolusi konflik adalah Kasih.

Kasih adalah suatu konsep kekristenan yang selalu dipakai oleh umat nasrani

untuk menyatakan kepedulian terhadap Tuhan yang diwujudnyatakan dalam

interaksi dan komunikasi sehari-hari terhadap sesama manusia. Penulis pun

merasa cukup terharu ketika mewawancarai salah seorang informan yang

pada konflik tahun 2008 mengalami luka parah (patah Tulang Hidung) yang

sempat dirawat di Rumah Sakit Umum Salatiga. Pemuda ini memiliki

perawakan yang tegap, tinggi, berambut tipis, berasal dari Tual Maluku,

bernama Michael. Kepada penulis ia menceritakan kisah perkelahian yang

mengakibatkan luka parah tersebut secara detail. Pada waktu itu sekitar bulan

september tahun 2008, ia berencana melakukan perkelahian duel dengan

seorang anak Kupang yang bernama Ando, namun ketika sedang berkelahi,

tiba-tiba ia dilempar oleh orang yang diduga teman Ando yang merasa tidak

terima Ando dipukul jatuh pada saat itu. Lemparan itu tepat mengenai

hidungnya dan batu yang digunakan cukup besar berukuran sekitar

Resolusi konflik

Page 34: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

387

segenggam tangan orang dewasa. Seketika hidungnya berdarah dan harus

dilarikan kerumah sakit. Sekitar dua minggu ia dirawat dirumah sakit.

Inilah cerita singkat kejadian tersebut, yang mengherankan adalah proses

penyelesaian masalah ini tidak diselesaikan secara hukum pidana, padahal

Berita Acara Perkara sudah dibuat di Kepolisian Resort Kota Salatiga, justru

proses penyelesaiannya adalah Ando datang menghampiri Michael di depan

Anjungan Tunai Mandiri (ATM) Bank Mandiri di dalam Kampus UKSW dan

meminta maaf kepada Michael dan sejenak Michael pun langsung memaafkan

Ando dan teman-temannya atas perbuatan mereka. Penulis pun bertanya

kepada Michael :

“Penulis :Bu,,, Kanapa Bu Kase Maaf Ando????

Michael :bagini ardy,,,,namanya katong orang Kristen,

masa Orang su datang minta maaf baek-baek trus katong

seng kase maaf???katong orang Kristen pung Kasih seng

Boleh munafik, kalo orang datang minta maaf ya katong

kase maaf,,, apa lai ini masalah kan su abis, seng usah

ungkit-ungkit lai,,,yang pasti beta tulus,,,,,”9

(Penulis : Kakak, Mengapa kakak memaafkan Ando???

Michael : Ya Kita kan Orang Kristen, ketika ada orang yang

datang dan meminta maaf atas kesalahannya patutlah kita

memberi maaf. Kasih dalam ajaran kristen adalah tidak

munafik, sehingga jika ada orang yang datang dan meminta

maaf,maka berilah maaf buat dia. Disamping itu masalah ini

kan juga sudah selesai jangan diungkit lagi, yang pasti saya

tulus mengambil tindakan ini).

9 Wawancara dilakukan dengan Sdr Michael di Delik cafe

Page 35: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

388

Inilah sumber modal sosial yang dimaksudkan dalam penelitian ini dimana

kasih yang menjadi nilai kristiani menjadi landasan secara spiritual untuk

diwujudkan dalam interaksi dan komunikasi dengan sesama anggota

komunitas maupun orang-orang diluar komunitas etnis tersebut. Dengan m

elihat kutipan wawancara dengan Michael diatas maka penulis ingin

menjelaskan bahwa tidak semua persoalan tindak pidana diselesaikan di

depan hukum, namun juga bisa diselesaikan oleh pelaku dan korban itu sendiri

dalam suatu forum yang informal dan fleksibel.

Dengan melihat peristiwa ini bisa ditarik suatu pemahaman dimana modal

sosial sangat memberikan kontribusi positif dalam upaya resolusi konflik.

Modal sosial yang dimaksud adalah Trust. Adanya suatu kepercayaan dalam

diri pelaku konflik memberikan “angin segar” disaat yang tepat dan disaat yang

dibutuhkan sehingga proses penyelesaian konflik pun datang tanpa diduga

yaitu di lokasi yang tidak ditentukan, waktu yang tidak ditentukan dan tanpa

peran khusus dari perantara atau mediator. Dan harus diingat juga bahwa

dalam situasi ini, kerelaan untuk saling memaafkan merupakan dasar dari rasa

saling percaya tersebut. Rela unuk mengakui kesalahan dan rela untuk

memaafkan dengan segala kerugian baik materil maupun non materil yang

sudah di terima oleh kedua belah pihak. Selanjutnya modal sosial yang

terdapat dalam penelitian ini adalah Networking. Jaringan juga memiliki

peranan penting dalam dalam upaya resolusi konflik. Dalam kasus Sandro dan

Michael yang sudah dijelaskan sebelumnya, sebenarnya kedua orang ini

sudah menjalin suatu hubungan pertemanan yang cukup lama sejak Tahun

2005 dimana saat itu adalah saat awal mereka bertemu dalam ruang kuliah

dan jaringan hubungan pertemanan sudah dimulai. Sehingga rasa saling

mengerti, saling percaya dan saling memaafkan pun dengan mudah bisa

dilakukan (perdamaian).

Dalam konteks komunikasi antar budaya yang terjadi pada komunitas etnis di

Salatiga jaringan ini sebenarnya mampu dibangun dengan baik khususnya

bagi komunitas etnis yang beranggotakan anggota yang berasal dari luar Jawa.

Page 36: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

389

Disadari atau tidak namun hal ini menjadi suatu perekat hubungan antar etnis

di Salatiga. Sebagian besar anggota komunitas yang berasal dari luar Jawa

secara tidak langsung secara dominan akan mencari teman ataupun sahabat

yang berasal dari daerah asal yang sama. Misalnya orang Timor akan mencari

teman atau sahabat yang berasal dari Timor baru setelah itu ia mencari

sahabat dari daerah lain seperti Papua, Sumba, Sulawesi, Kalimantan,

Sumatra. Orang Jawa akan menjadi “pilihan terakhir” bagi orang Timor untuk

di jadikan Sahabat atau teman. Oleh karena itu dalam kaitan dengan resolusi

konflik antar etnis, jaringan sudah dibangun dan dibentuk sedemikian rupa

sehingga menjadi “senjata” untuk meredam konflik.

Peran nilai-nilai dalam komunikasi antar budaya di Salatiga ini menjadi penting

dan harus diketahui pula dalam kondisi apa nilai-nilai tersebut bisa digunakan

secara efektif untuk membuahkan situasi yang damai dan dalam kondisi apa

nilai-nilai tersebut menjadi tidak berfungsi. Jawaban yang tepat menurut

penulis berdasarkan hasil temuan lapangan dan proses analisis, nilai-nilai

tersebut akan berfungsi ketika mampu dikomunikasikan dengan baik.

Komunikasi menjadi suatu tool yang digunakan untuk resolusi konflik. Dilain

sisi jika nilai-nilai tersebut tidak ditransfer melalui proses komunikasi dengan

baik maka nilai-nilai tersebut tidak akan berguna dan berfungsi. Proses

komunikasi didalam komunitas etnis bisa dilakukan dengan cara-cara yang

sederhana seperti memanfaatkan Moment. Moment yang ada misalnya Natal

Bersama Komunitas etnis, Malam keakraban atau yang sering di sebut Makrab

etnis, Paskah etnis, Ekspo Budaya UKSW, adalah kesempatan untuk

melakukan proses komunikasi antar etnis tersebut dengan cara mengundang

komunitas etnis yang lain untuk turut berpartisipasi secara aktif (bukan

formalitas) sehingga seluruh rangkaian kegiatan yang mempunyai makna-

makna kebersamaan dapat tersampaikan secara efektif kepada komunitas

lainnya. Proses komunikasi yang baik dan efektif diharapkan mampu

membuahkan hasil yang positif.

Page 37: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

390

Selanjutnya sumber modal sosial adalah penanaman nilai-nilai “Satya

Wacana” terhadap para pelaku konflik yang notabenenya adalah para

mahasiswa yang sedang menjalani studi di Universitas Kristen Satya Wacana

Salatiga. Sebelum masuk pada pembahasan yang lebih dalam mengenai nilai-

nilai “Satya Wacana”, perlu diketahui dan dipahami bahwa kehadiran UKSW

adalah untuk mengakomodir dan mencetak tenaga pengajar kristen dalam

rangka mengisi kekosongan tenaga pengajar seperti guru ke seluruh indonesia

dengan berlandaskan Iman Kristiani. Dari pidato O. Notohamidodjo pada

pembukaan peresmian Universitas Kristen Satya Wacana pada Tahun 1959

nampak bahwa beliau sejak berdirinya PTPG pada Tahun 1956 sudah melihat

perlunya suatu universitas kristen yang menyiapkan tenaga-tenaga kader

untuk gereja dan masyarakat. Dari ucapan-ucapan serta pahamnya nampak

pengaruh dari gagasan-gagasan tinggi Dr. Abraham Kuyper pendiri Vrije

Universiteit di Netherland sebagai suatu perguruan yang beralaskan iman

kristen. Dibandingkan dengan perguruan tinggi lainnya di Indonesia,Satya

Wacana nampak menonjol terutaman dalam corak keunikan “Indonesia Kecil”.

Sebanyak 19 Sinode gereja-gereja ditanah air dari Nias sampai Irian jaya

mendukungnya sehingga para mahasiswa yang berasal dari berbagai daerah

dan berbagai suku hadir dalam kampus Satya Wacana10.

Berangkat dari hal tersebut maka sudah bisa dipastikan bahwa penanaman

nilai-nilai kristiani sangatlah kental dan ditanamkan pada setiap civitas

akademika termasuk mahasiswa. Proses penanaman nilai-nilai kristiani ini

secara tidak diduga kemudian merasuk hingga kedalam tubuh komunitas etnis

seperti Ambon dan Timor sehingga untuk mewujudkan dan menampakkan

nilai-nilai kristiani tersebut maka kedua komunitas etnis ini menggelar kegiatan

kebaktian persekutuan (Ibadah) yang dilaksanakan setiap minggu atau setiap

bulan. Kebaktian persekutuan ini memang hanyalah suatu ritus yang sudah

menjadi tradisi dalam komunitas etnis namun dengan adanya kegiatan ini

10 Kreatifitas Yang Bertanggung Jawab Kumpulan Pidato dan Karangan Dr. Notohamidjodjo

S.H. Bagian pertama Lembaga Penelitian Ilmu-ilmu Sosial Universitas-ikip kristen Satya Wacana 1973 hal : Xii

Page 38: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

391

membuat suasana kekeluargaan dan keakraban menjadi hangat sebab

dibangun berlandaskan iman kristiani sehingga forum tersebut juga digunakan

sebagai suatu ajang pertemuan antar anggota komunitas. Dengan melihat hal

diatas maka nilai-nilai kristiani yang muncul adalah nilai kekeluargaan dan nilai

saling mengasihi atau kasih.

Nilai-nilai Satya Wacana yang kemudian dimaksudkan adalah suatu toleransi

antar suku bangsa yang sangat beragam di dalam wadah kampus tersebut.

Indonesia mini adalah slogan yang selalu dielu-elukan oleh pengurus ataupun

pejabat-pejabat kampus ini sebab keberagaman manusia di dalam kampus ini

diklaim berasal dari Sabang sampai Merauke. Bhineka Tunggal Ika yang

artinya adalah walaupun berbeda-beda tapi tetap satu memiliki makna yang

sangat luas, salah satu maknanya adalah walaupun berbeda suku bangsa,

etnis, ataupun ras sekalipun namun bangsa ini tetap satu dengan tidak

menghilangkan perbedaan tersebut. Secara fisik jika dilihat dan diamati

perbedaan sangat mencolok berkaitan dengan warna kulit, “semakin ke barat

semakin putih sebaliknya semakin ketimur semakin hitam”, namun ungkapan

ini sejatinya hanya merupakan ungkapan spekulatif sebab jika melihat

kenyataan di lapangan di wilayah Indonesia Timur pun banyak etnis yang

memiliki warna kulit yang putih seperti etnis Minahasa (Manado) di pulau

Sulawesi dan kenyataan inilah yang menjadi suatu nilai keberagaman yang

hakiki dari bangsa ini.

Sedikit beralih dari ciri fisik ke sifat dan karakter, maka akan ditemui juga

keberagaman karakter yang sudah dijelaskan pada bagian sebelumnya bahwa

setiap derah kesukuan dan etnis terdapat karakter yang berfariasi seperti orang

dari kawasan Indonesia Timur berkarakter tegas dan pemberani, hal ini juga

ditemukan pada orang-orang dari kawasan Indonesia bagian barat seperti

orang Batak yang juga pemberani dan berkarakter tegas tidak pandang bulu.

Jika ditarik benang merahnya kedalam kehidupan ke-Satya Wacanaan, semua

karakter yang sudah dijelaskan pada bagian-bagian sebelumnya sering ditemui

di dalam kampus tersebut.

Page 39: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

392

Salah satu bentuk pananaman nilai keberagaman yang sangat baik yang

sudah dilakukan oleh kampus tersebut jika ditinjau dari perspektif komunikasi

antar budaya adalah diadakannya kegiatan ekspo budaya atau pentas seni dan

budaya mahasiswa11 yang diikuti oleh seluruh komunitas etnis yang ada di

Salatiga dengan cara menampilkan keragaman budaya dari daerah masing

masing seperti tari-tarian, musik dan lagu daerah, cerita rakyat derah, kuliner

daerah, bahkan tidak menutup kemungkinan dari para peserta untuk

berkolaborasi dengan komunitas etnis yang lain. Tarian kolaborasi menjadi

salah satu icon untuk melunturkan stereotip dan etnosentrisme dari masing-

masing etnis terhadap yang lainnya sebab di dalam proses ini kedua anggota

etnis dikondisikan untuk lebih saling mengenal dan mengtahui tradisi dan

budaya dari masing-masing daerah. Nilai-nilai inilah yang menjadi landasan

modal sosial diantara komunitas etnis sehingga proses resolusi konflik menjadi

terbantukan dan mampu dilaksanakan dengan sangat baik.

Selanjutnya nilai-nilai Ke-Satya Wacanaan yang bisa ditemui dan diamati

adalah nilai kekeluargaan. Nilai kekeluargaan ini merupakan suatu harapan

yang sangat besar dari pendiri sekaligus Rektor pertama Universitas Kristen

Satya Wacana Bpk. Dr. O. Notohamidjodjo. Dalam menjalankan

kepemimpinannya beliau cenderung menerapkan sistem kewibawaan yang

bersifat karismatik ditambah rasionalisme Barat. Diperkaya dengan ajaran

kasih Kristus dan dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman12 [22]Oleh

karena itu dalam meresolusi konflik internal maupun eksternal lebih senang

menggunakan pendekatan kekeluargaan. Dan Nilai-nilai kekeluargaan ini pun

11 Expo Budaya/pentas seni dan budaya Universitas Kristen Satya Wacana sudah ada sejak

Universitas ini didirikan. Tujuan dari program kegiatan ini adalah untuk menanamkan nilai-nilai

nasionalisme dan pluralisme dan memberikan pesan kepada bangsa ini mengenai pentingnya arti kebinekaan, hal ini disampaikan langsung oleh Pdt. Prof John A. Titaley Th.D selaku Rektor

Universitas Kristen Satya Wacana periode 2010-2014 pada acara Sarasehan pada Tgl 18 Mei

2011. 12 Kutipan Wawancara yang dilakukan oleh Trifosa W & Izak Lattu terhadap Bpk Usadi

Wiryatnaya seorang kerabat dari Bpk O. Notohamidjodjo yang menyaksikan secara langsung

mengenai pikiran-pikiran Beliau. Kutipan wawancara ini dibuat dalam rangka untuk menerbitkan

buku peringatan 50 tahun (30 November 2006) berdirinya UKSW dengan mengambil Tema MEMPERTEGAS IDENTITAS CREATIFE MINORITY.

Page 40: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

393

masih sering ditemui didalam komunitas-komunitas etnis yang sebagian besar

anggotanya adalah mahasiswa Universitas Kirsten Satya Wacana.

Selanjutnya Bpk Richard Mauli Souboan Gultom menambahkan mengenai

Nilai-Nilai UKSW yang dituangkan dalam Visi dan Misi UKSW adalah Ke-

kristenan dan Ke-Indonesiaan. Ke-kristenan sudah dimanifestasikan sejak

awal berdirinya UKSW dalam berbagai bentuk diantaranya : Kebaktian Senin

pagi, rata-rata ada pembacaan Alkitab dan berdoa sebelum kuliah (tidak ada

aturan tertentu tentang hal ini). Selanjutnya Ke-indonesiaan juga sudah

nampak di Kampus ini seperti berbagai orang dari berbagai suku dan agama

sudah berkuliah di kampus ini sejak awal berdirinya hingga saat ini. Dua hal

ini juga merupakan nilai-nilai yang luhur yang dimiliki oleh Universitas Kristen

satya wacana yang kemudian termanifestasi secara tidak disadari kedalam

komunitas etnis di Salatiga.

VI. KESIMPULAN

Setelah melakukan proses penelitian ini maka sampailah pada kesimpulan

yang menurut penulis sangatlah mengherankan. Setiap komunikasi yang

selalu dilakukan dangan cara yang baik-baik dalam proses komunikasi itu

sendiri ternyata bertujuan untuk membangun suatu suasana konflik bahkan

hingga pada titik dimana konflik tersebut relatif sulit untuk di selesaikan. Namun

satu hal yang menarik dari penelitian ini adalah dimana modal sosial sangat

berperan penting dalam menyelesaikan konflik komunikasi yang terjadi.

Temuan yang pertama berkaitan dengan noise, feedback atau destination

adalah bahwa rasa etnosentrisme, stereotip dan prasangka menjadi gangguan

yang sangat tinggi dalam proses komunikasi antar budaya itu sendiri,

sementara feedback atau destination dari proses komunikasi antarbudaya

tersebut adalah konflik. Walaupun proses komunikasi dibangun diatas

landasan suasana yang harmonis namun dalam kenyataannya, konflik menjadi

tujuan akhir yang sangat di impi-impikan oleh komunitas etnis Timor maupun

komunitas etnis Ambon.

Page 41: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

394

Dengan demikian maka penelitian ini memberikan sedikit pemahaman yang

tidak seperti pemahaman pada umumnya dimana komunikasi selalu bertujuan

untuk menghasilkan suatu hubungan yang harmoni, namun sebaliknya juga

memiliki tujuan untuk menciptakan konflik, meskipun dalam proses

berkomunikasi menciptakan sebuah interaksi yang harmoni.

Page 42: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

395

DAFTAR PUSTAKA

[1] Rogers Everett M, William B. Hart Yoshitaka Mike, Edward T. Hall and The

History of Intercultural Communication: The United States and Japan, Keio

Communication Review No. 24, 2002

[2] Bennett, Milton, J. Intercultural communication: A current perspective. In

Milton J. Bennett (Ed.), Basic concepts of intercultural communication:

Selected readings. Yarmouth, ME: Intercultural Press. 1998

[3] Mulyana Deddy, Rakhmat Jalaludin, Komunikasi Antar Budaya , Panduan

Berkomunikasi Dengan Orang Berbeda Budaya, Bandung PT. Remaja

Rosdakarya 2003

[4] Mufid Muhamad, Etika dan Filsafat Komunikasi, Jakarta Kencana 2009

[5], [11] Soekanto Soerjono, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur

Masyarakat, CV Rajawali, Jakarta 1984

[6] Liliweri Alo, Makna Budaya Dalam Komunikasi Antar Budaya, Yogyakarta

PT. LkiS Pelangi Aksara , 2007

[7] Bartos J. Otomar, Paul Wehr, Using Conflict Theory , Cambridge

University Press 2002.

[8] Widiarto Tri, Pengantar Sosiologi, Salatiga Widya Sari Press, 2003

[9] Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi Jilid I, Jakarta PT Rineka Cipta

2003

[10] Soekanto Soerjono, Sosiologi Suatu Pengantar , Yayasan Penerbit

Universitas Indonesia, Jakarta 1974

Page 43: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

396

[12] Samovar Larry A. (San Diego Stare University) & Porter Richard E.

(California Suire University, Long Beach, Emeritus) Intercultural

Communication A Reader 10th Edition, USA 2003:

[13], [14] Rogers Everet M., Difusion Inovation, Rev. ed. of: Communication of

innovations. 2nd ed.. The Free Press A Division of Macmillan Publishing Co.,

Inc. New York 1983

[15] John F. Dovidio, Peter Glick, and Laurie A. Rudman, On the Nature of

Prejudice Fifty Years after Allport , by Blackwell Publishing Ltd 2005

[16] Gerungan W. , Psychology Sosial, P.T. Eresco Jakarta-Bandung 1978

[17] Sarwono W. Sarlito & Meinarno A. Eko, Psikologi Sosial, Jakarta Penerbit

Salemba Humanika 2009

[19] Boeree, George, Dasar-dasar Psikologi, AR-RUZZ MEDIA, Jogjakarta

2006

[19], [20], [21] Subejo, The Role Of Social Capital In Economic Development:

An Introduction to Study on Social Capital in Rural Indonesia ©Artikel dalam

Jurnal Agro Ekonomi Vol.11. ( Hal 77-86) No.1 Juni 2004

[22] Rupidara Neil, UKSW 1956-2006 Mempertegas Identitas Creative

Minority, Satya Wacana University Press, Salatiga 2006

Page 44: Komunikasi Konflik dalam Komunitas Etnis

397