BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I...

26
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada dasarnya telah terjadi sejak lama, karena adanya persekusi dan diskriminasi dari pemerintah Myanmar terhadap kelompok etnis tersebut. Konflik terbesar yang melibatkan orang-orang Rohingya terjadi pada tahun 2012. Konflik ini disebabkan oleh adanya pembunuha n dan pemerkosaan terhadap Thida Htwe, perempuan dari etnis Budha Arakan. 1 Setelah kejadian pemerkosaan yang disertai pembunuhan oleh tiga orang etnis Rohingya tersebut, konflik semakin meluas. Kali ini menyasar pusat kota Muangdaw yang merupakan kawasan dengan mayoritas penduduk muslim Rohingya. Kerusuhan ini menyebabkan korban jiwa yang belum bisa dipastikan dari kedua belah pihak yang bertikai. 2 Kerusuhan yang terjadi di Maungdaw menyebar ke Sittwe, dimana kerusuhan di Sittwe terjadi dalam skala yang lebih besar. Akibat kerusuhan ini, presiden Thein Sein memberlakukan keadaan darurat di Myanmar, dimana kondisi ini memberikan kewenangan kepada angkatan bersenjata Myanmar untuk mengambil alih keamanan di dalam negara dan juga untuk mengembal ika n kestabilan kondisi Myanmar. 3 Setelah militer Myanmar diberi kewenangan untuk 1 Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State, diakses dalam https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against- humanity-and-ethnic-cleansing-rohingya-muslims, (29/04/18. 13:00). 2 Ibid. 3 Ibid.

Transcript of BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I...

Page 1: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada dasarnya telah terjadi

sejak lama, karena adanya persekusi dan diskriminasi dari pemerintah Myanmar

terhadap kelompok etnis tersebut. Konflik terbesar yang melibatkan orang-orang

Rohingya terjadi pada tahun 2012. Konflik ini disebabkan oleh adanya pembunuhan

dan pemerkosaan terhadap Thida Htwe, perempuan dari etnis Budha Arakan. 1

Setelah kejadian pemerkosaan yang disertai pembunuhan oleh tiga orang etnis

Rohingya tersebut, konflik semakin meluas. Kali ini menyasar pusat kota

Muangdaw yang merupakan kawasan dengan mayoritas penduduk muslim

Rohingya. Kerusuhan ini menyebabkan korban jiwa yang belum bisa dipastikan

dari kedua belah pihak yang bertikai.2

Kerusuhan yang terjadi di Maungdaw menyebar ke Sittwe, dimana

kerusuhan di Sittwe terjadi dalam skala yang lebih besar. Akibat kerusuhan ini,

presiden Thein Sein memberlakukan keadaan darurat di Myanmar, dimana kondisi

ini memberikan kewenangan kepada angkatan bersenjata Myanmar untuk

mengambil alih keamanan di dalam negara dan juga untuk mengembalikan

kestabilan kondisi Myanmar. 3 Setelah militer Myanmar diberi kewenangan untuk

1Crimes Against Humanity and Ethnic Cleansing of Rohingya Muslims in Burma’s Arakan State,

diakses dalam https://www.hrw.org/report/2013/04/22/all-you-can-do-pray/crimes-against-

humanity-and-ethnic-cleansing-rohingya-muslims, (29/04/18. 13:00). 2Ibid. 3Ibid.

Page 2: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

2

mengembalikan kestabilan di dalam negeri Myanmar, konflik etnis semakin

memburuk dan mulailah terjadi praktik-praktik pembersihan etnis yang dilakukan

oleh pihak militer.

Antara November 2012 – April 2013, telah terjadi banyak insiden kekerasan

sporadis terhadap Muslim di Arakan, termasuk kekerasan seksual yang dilakukan

oleh aparat keamanan terhadap perempuan-perempuan Rohingya. Puluhan ribu

Muslim Arakan atau Rohingya hidup di kantung pengungsian atau di dalam

komunitas yang terisolasi. Mereka hidup tanpa penghidupan yang layak dan akses

kepada bantuan kemanusiaan dari organisasi-organisasi kemanusaian internasiona l.

Ribuan orang Rohingya melarikan diri menggunakan perahu ke Bangladesh,

Thailand, dan Malaysia. UNHCR memperkirakan pada bulan Desember 2013

sendiri terdapat 13.000 orang Rohingya yang datang di Malaysia. Sedangkan di

Thailand sendiri 6.000 orang Rohingya telah berlabuh di pantai-pantai di Thailand,

jumlah tersebut termasuk anak-anak dan perempuan.4

Sebagai negara tetangga terdekat, Thailand dan Bangladesh menjadi pintu

keluar utama bagi para pengungsi Rohingya. Tidak hanya menjadi pintu utama,

kedua negara tersebut juga merupakan tujuan utama dari beberapa pengungs i

Rohingya. Keberadaan pengungsi Rohingya di Thailand merupakan tanggung

jawab dari pemerintah Thailand dan UNHCR. Mereka bertanggung jawab pula atas

keamanan dari para pengungsi agar terhindar dari praktik perdagangan manusia

yang marak di negara-negara Indo-China tersebut.

4Ibid.

Page 3: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

3

Thailand sebagai negara tujuan pengungsi, pada dasarnya tidak meratifikas i

konvensi 1951 tentang pengungsi, pun dengan konvensi 1954 tentang status

individu tanpa kewarganegaraan, tetapi Thailand mengatur semuanya di dalam

Undang-undang Imigrasi 1979.5 Peraturan tersebut mengatur bahwa setiap individu

yang memasuki Thailand tanpa adanya dokumen resmi adalah subjek deportasi.

Tetapi, peraturan tersebut tidak Thailand terapkan pada kasus orang-orang tanpa

kewarganegaraan yang berasal dari Myanmar dan negara-negara tetangga lainnya

seperti kamboja dan Laos. Kebijakan ini telah Thailand terapkan kepada etnis-etnis

minoritas yang terusir dari Myanmar sebelumnya, seperti orang-orang Karen,

Karenni, Burman, dan Mon, tetapi etnis Rohingya tidak termasuk di dalamnya.

Orang-orang Karen, Karenni, Burman, maupun Mon merupakan penduduk pribumi

yang menempati daerah di antara perbatasan Myanmar dan Thailand, orang-orang

dari etnis tersebut juga mayoritas beragama Budha. Keempat etnis tersebut pada

umumnya terpaksa berpindah dari Myanmar menuju Thailand karena adanya

tekanan dari pihak militer Myanmar.

Dari semua kelompok etnis pengungsi tersebut, Karen adalah yang terbesar,

maka dari itu, Karen digunakan sebagai pembanding dengan pengungsi Rohingya.

Ada beberapa atribut identitas yang sama antara orang-orang Karen dan orang-

orang Rohingya, diantaranya: kedua etnis tersebut merupakan etnis minoritas yang

berasal dari Myanmar dan terlibat konflik berkepanjangan dengan pemerintah

Myanmar. Orang-orang Karen (termasuk Karenni) juga melakukan perlawanan

5 The Stateless Rohingya in Thailand | Center For Migration Studies, diakses dalam

http://cmsny.org/the-stateless-rohingya-in-thailand/, (29/04/18. 09:40).

Page 4: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

4

bersenjata kepada pemerintah Myanmar melalui sayap militernya, Karen National

Liberation Army, sedangkan orang-orang Rohingya melakukan perlawanan

bersenjata kepada Myanmar juga dengan Arakan Rohingya Salvation Army

(ARSA). Kedua kelompok tersebut memiliki persamaan, yaitu minoritas di

Myanmar dan sama-sama melakukan perlawanan bersenjata. Tetapi ada yang

membedakan dari kedua kelompok tersebut, yaitu atribut agama, dimana orang-

orang Karen menganut agama Buddha dan Kristen, sedangkan orang-orang

Rohingya menganut agama Islam. Sama halnya dengan etnis lain, seperti Burman

dan Mon, keduanya merupakan etnis dengan mayoritas memeluk agama Buddha

Theravada.

Orang-orang Rohingya yang berhasil masuk ke Thailand pada umumnya

bertahan hidup di luar kamp pengungsian dan secara sembunyi-sembunyi, hal

tersebut mereka lakukan untuk menghindari persekusi dari pihak berwajib

Thailand. Pihak pemerintah Thailand mengeluarkan kebijakan khusus terhadap

etnis Rohingya tersebut mulai berlaku pada tahun 2004.6 Kebijakan tersebut

digunakan untuk mendiskriminasi etnis Rohingya agar tidak mendapatkan

perlindungan, baik dari pemerintah Thailand maupun UNHCR, selain itu, kebijakan

itu juga tidak memberi ruang bagi pengungsi Rohingya untuk bisa bekerja secara

legal di Thailand. Tidak adanya hukum yang mengatur hal tersebut menjadikan

etnis Rohingya sangat rentan terhadap praktik kerja paksa dan kekerasan lainnya

yang dilakukan oleh pihak-pihak pemberi kerja. Kemungkinan terburuk lainnya

adalah etnis Rohingya akan ditangkap dan ditahan oleh kepolisian Thailand tanpa

6 Ibid.

Page 5: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

5

dasar yang jelas, dan untuk menghindarinya, etnis Rohingya diharuskan membayar

suap. Kemungkinan terparah dari diberlakukannya kebijakan tersebut adalah

praktik perdagangan manusia, otoritas Thailand secara leluasa terlibat dalam

perdagangan pengungsi Rohingya.7 Hal tersebut bisa terjadi dikarenakan etnis

Rohingya yang merupakan pengungsi tidak memiliki payung hukum yang

melindunginya. Kebijakan yang mulai berlaku sejak 2004 tersebut terus

berkembang dan berubah-ubah, yang terbaru adalah munculnya kebijakan Option

Two yang digagas oleh ISOC atau Internal Security Operation Command.

Kebijakan ini meliputi penambahan kewenangan-kewenangan untuk otoritas

Thailand dalam memperlakukan pengungsi Rohingya, terutama mereka yang

datang setelah terjadinya konflik besar di Myanmar pada tahun 2012.

Tidak hanya berlaku kepada pengungsi dari Myanmar, kebijakan yang

dilakukan oleh pemerintah Thailand tersebut juga dirasakan dampak negatifnya

oleh pengungsi dari etnis Uighur. Thailand dilaporkan telah mengirim kembali

seratus orang Uighur ke Tiongkok dan mengakibatkan orang-orang tersebut

mendapatkan perlakuan buruk dari pemerintah Tiongkok.8

Ketiadaan pengakuan membuat pengungsi Rohingya yang berada di

Thailand sangat renta terhadap ancaman-ancaman kejahatan seperti Human

Trafficking. Kebijakan tersebut bahkan telah melucuti kewenangan UNHCR

7 Special Report: Thailand secretly supplies Myanmar refugees to trafficking rings | Reuters,

diakses dalam https://www.reuters.com/article/us-thailand-rohingya-special-report/special-report-

thailand-secretly-supplies-myanmar-refugees-to-trafficking-rings-idUSBRE9B400320131205,

(29/04/18. 22:25). 8 Thailand: Implement Commitments to Protect Refugee Rights | Human Rights Watch, diakses

dalam https://www.hrw.org/news/2017/07/06/thailand-implement-commitments-protect-refugee-

rights, (29/04/18. 20:00).

Page 6: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

6

sebagai badan yang seharusnya memperhatikan para pengungsi dari Rohingya,

tidak memiliki kewenangan apapun di Thailand. Pada skripsi ini, penulis akan

berusaha untuk mencari latar belakang di balik kebijakan penolakan terhadap

pengungsi Rohingya.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan di atas, di dalam skripsi

ini penulis menarik satu rumusan masalah, yaitu:

Bagaimana identitas menjadi latar belakang penolakan pengungsi Rohingya

oleh pemerintah Thailand?

1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1.3.1. Tujuan Penelitian

Dalam penelitian ini penulis memiliki beberapa tujuan yang

akan penulis sampaikan di bawah:

1. Untuk mengetahui alasan pemerintah Thailand menolak

keberadaan etnis Rohingya.

2. Untuk mengetahui aspek apa saja yang mempengaruhi

kebijakan pemerintah Thailand.

1.3.2. Manfaat Penelitian

a. Manfaat Akademis

Penelitian ini penulis sumbangkan untuk

perkembangan ilmu hubungan internasional. Karena

Page 7: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

7

merupakan kasus kemanusiaan, isu yang penulis angkat di

dalam penelitian ini diharapkan mampu menjadi acuan dan

landasan bagi penelitian-penelitian selanjutnya yang akan

secara khusus membahas tentang peran pemerintah

Thailand dalam melawan human trafficking terhadap

pengungsi Rohingya.

b. Manfaat Praktis

Penelitian ini merupakan sumbangan penulis

terhadap diri penulis sendiri maupun terhadap bidang studi

Ilmu Hubungan Internasional secara umum sebagai bahan

untuk mengetahui bagaimana kebijakan terhadap

pengungsi Rohingya diterapkan di Thailand.

1.4. Penelitian Terdahulu

Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengangkat isu yang penulis

angkat di dalam penelitian ini. Beberapa penelitian memiliki kemiripan maupun

keterkaitan pembahasan. Tetapi semua penelitian terdahulu yang peneliti angkat

disini tetap dalam koridor konflik Rohingya atau kasus perdagangan manusia.

Berikut beberapa penelitian di antaranya:

Page 8: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

8

Penelitian pertama adalah jurnal dari K. M. Atikur Rahman.9Jurnal ini

menitik beratkan pada konflik etnis Rohingya yang ada di Myanmar. Pada jurnal

ini, dijelaskan bagaimana kondisi awal mula konflik ini terjadi hingga yang terbaru,

saat dimana konflik sudah meluas dan melibatkan pemerintahan. Atikur Rahman

melihat konflik ini sebagai salah satu bentuk konflik yang sudah mengakar di

negara-negara bekas koloni bangsa-bangsa Eropa.

Konflik etnis yang terjadi di Myanmar juga banyak terjadi negara-negara

lain, seperti di Amerika Selatan, Afrika, dan Asia Tenggara. Faktor bekas negara

jajahan yang membuat konflik seperti ini sangat mudah terjadi. Di dalam konflik

etnis di Myanmar sendiri, Atikur Rahman menjelaskannya menggunakan teori

Ethno-political conflict yang terbagi menjadi tiga, primordialist, instrumentalist,

dan constructivist. Konflik Rohingya di Myanmar ini sendiri termasuk ke dalam

kategori primordialist karena konflik ini menitik beratkan pada faktor-faktor

primordial berupa kondisi biologis dan kawasan teritorial.

Krisis Rohingya yang terjadi hingga saat ini didasari oleh faktor politik,

dimana sejak awal terbentuknya negara Myanmar, pemerintah yang berkuasa

melakukan tindakan diskriminasi terhadap etnis-etnis minoritas yang ada di

Myanmar. Praktik seperti ini yang membuat konflik etnis terus terjadi dan sangat

sukar untuk dihindari. Bahkan, pemerintah Myanmar sendiri yang seharusnya bisa

menjadi penengah di antara rentannya konflik etnis, justru mem-backup etnis

9 K.M. Atikur Rahman, Ethno-Political Conflict: The Rohingya Vulnerability in Myanmar,

International Journal of Humanities & Social Studies, Volume-II, Issue-1 (July 2015), Karinganj:

Scholar Publications, hal. 288.

Page 9: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

9

mayoritas yang ada, pada akhirnya, pemerintah pun melalui aparat keamanannya

juga ikut terlibat di dalam konflik tersebut.

Penelitian selanjutnya yang penulis telaah adalah skripsi dari Molly

Fotunella,10 dalam skripsinya, penulis menjelaskan bagaimana proses integras i

yang dilakukan oleh Spanyol terhadap etnis Rom. Permasalahan integrasi dengan

etnis Rom merupakan isu regional dimana Spanyol menjadi satu-satunya negara

yang bisa melakukan integrasi tersebut. Permasalahan etnis Rom merupakan

permasalahan sosial yang mampu mengganggu kestabilan sosial di Eropa.

Penulis di dalam skripsnya menyebutkan bahwa keberhasilan Spanyol

dalam melakukan integrasi tidak lepas dari pendekatan budaya dan sejarah di antara

keduanya. Spanyol melakukan manipulasi identitas di dalam Flamenco yang

berlanjut kepada pembentukan sistem pendidikan multikultural yang menjunjung

tinggi penghormatan kepada etnis minoritas. Pada akhirnya, Spanyol berharap

sistem tersebut mampu menghadirkan norma domestik tentang penghormatan

kepada etnis minoritas, dimana norma tersebut akan mampu mempengaruhi

Spanyol dalam tindakan, kepentingan nasional, dan juga kebijakan.

Selanjutnya, ada jurnal dari Bilal Dewansyah, dkk,11 paper yang secara

khusus melihat permasalahan pengungsi Rohingya dari konteks hukum ini secara

khusus melihat bagaimana peranan pemerintah Indonesia dan juga ASEAN dalam

menangani krisis Rohingya, mengingat negara Indonesia adalah negara non-

10 Molly Fortunella, 2017, Strategi Spanyol Dalam Integrasi Etnis Rom Terhadap Uni Eropa,

Skripsi, Malang: Jurusan Ilmu Hubungan Internasional, Universitas Muhammadiyah Malang. 11 Bilal Dewansyah,dkk, Asylum Seekers in A Non-immigrant State & The Absence Of Regional

Asylum Seekers Mechanism: a Case Study of Rohingya Asylum Seekers in Aceh -Indonesia &

ASEAN Response, Indonesia Law Review, No-1 (Februari 2014), Depok: Djokosoetono Research

Center.

Page 10: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

10

imigran yang menjadi negara transit dari pengungsi Rohingya sebelum masuk ke

negara imigran seperti Australia. Meskipun bukan negara imigran, pemerintah

Indonesia masih memiliki toleransi terhadap masuknya pengungsi Rohingya.

Tetapi, penerimaan tidaklah cukup, harus ada strategi untuk sementara mampu

meminimalisir dampak buruk krisis Rohingya, yaitu dengan cara integrasi lokal

sementara.

Strategi untuk melakukan integrasi lokal sementara bisa dilakukan,

mengingat masih adanya presekusi dari pemerintah Myanmar dan ketidakjelasan

status dari pengungsi Rohingya tersebut. Implementasi strategi ini bisa dilakukan

secara bertahap dengan objektif agar etnis Rohingya yang ada di Aceh bisa diterima

oleh masyarakat lokal sebelum nanti pada akhirnya akan dipulangkan kembali ke

Myanmar saat keadaan sudah lebih baik.

Meskipun pada dasarnya Indonesia belum meratifikasi konvensi tentang

pengungsi, sikap Indonesia yang menerima pengungsi Rohingya di Aceh adalah

salah satu bentuk hak konstitusional yang tercantum pada Undang-undang Dasar

1945. Dengan begitu, adanya hak konstitusional tersebut bisa diinterpretasi sebagai

suaka sementara. Sikap ini telah diterapkan Indonesia dalam banyak kasus

pengungsi yang telah masuk ke Indonesia sebelumnya. Tetapi, dasar hukum untuk

menangani masalah pengungsi harus segera dibuat di Indonesia, peraturan Presiden

bisa menjadi awal untuk mengembangkan tatanan legal, hingga pada akhirnya

mampu menjadi hukum tersendiri yang mampu mengatur peran pemerintah pusat

atau daera dalam penanganan isu ini.

Page 11: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

11

Karakter pengungsi Rohingya yang merupakan pengungsi regional juga

harus diselesaikan tidak hanya di level negara, tetapi juga level ASEAN. Ide tentang

pendekatan fleksibel dalam mengatasi permasalahan regional harus digaungkan

kembali, tidak hanya pada isu pengungsi, tetapi juga isu domestik lain yang

mengancam keseimbangan regional. Dalam paper tersebut, terlihat bagaimana

penulis mencoba untuk menggarisbawahi kondisi regional maupun domestik

negara-negara di ASEAN yang masih belum mampu mengatasi masalah krisis

pengungsi Rohingya dengan baik.

Penelitian selanjutnya berasal dari thesis Elizabeth Collins Kalnin,12

penelitian ini melihat bagaimana kebijakan terhadap pengungsi dan

implementasinya mempengaruhi kondisi dan pengalaman dari para pengungs i

Burma (Myanmar) di Thailand. Penelitian ini menggunakan hukum national

Thailand dan praktiknya, perjanjian bilateral, dan konvensi Perserikatan Bangsa -

Bangsa mengenai status pengungsi untuk menguji bagaimana implementas i

kebijakan terhadap pengungsi dari Burma.

Hasil dari penelitian ini adalah rekomendasi langkah-langkah dalam

penerapan kebijakan terhadap pengungsi dari Burma. Rekomendasi kebijkan

diberikan kepada beberapa pihak sekaligus, diantaranya, Pemerintah Kerajaan

Thailand, komunitas dan organisasi internasional (negara yang memberikan donor

dan juga UNHCR), dan yang terakhir kepada otoritas Burma. Rekomendasi tersebut

12 Elizabeth Collins Kalnin, 2010, Displaced Burmese In Thailand: Refugee Policies & Impact On

Access & Rights, 1988-2008, Thesis, Toronto: Department of Adult Education and Counseling

Psychology, University of Toronto.

Page 12: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

12

adalah usaha menghadirkan kesadaran bagi pihak-pihak yang terlibat langsung di

dalam isu pengungsi dari Burma di Thailand.

Penelitian selanjutnya adalah penelitian dari Bayu Mitra Adhyatma

Kusuma,13 penelitian ini menjelaskan tentang bagaimana Thailand sebagai sebuah

negara dengan mayoritas pemeluk agama Budha melakukan diskriminasi kepada

etnis Melayu Islam yang tinggal di selatan Thailand. Pengakuan Budha sebagai

agama resmi negara merupakan salah satu bentuk diskriminasi berdasar agama

yang dilakukan oleh pemerintah Thailand terhadap kelompok minoritas. Kebijakan

ini berbentuk asimilasi budaya, dimana agama Budha dijadikan satu-satunya

identitas dan budaya tunggal yang berlaku.

Kebijakan asimilasi tersebut menjadi sebuah konflik ideologi dan psikologi,

budaya menjadi dasar dari konflik tersebut. Beberapa tuntutan yang ditegaskan oleh

pemerintah Thailand, diantaranya: larangan penggunaan nama, bahasa, dan

identitas Melayu Islam dalam kehidupan bermasyarakat. Dengan adanya kondisi

tersebut, penganut Muslim di Thailand harus meninggalkan identitas Muslimnya

agar bisa berbaur dengan lingkungan sosial yang ada. Penelitian ini menjadi data

yang mampu menjawab rumusan masalah di dalam penelitian ini, hal tersebut bisa

dilakukan karena penggunaan teori Konstruktivis yang akan di bahas di bagian

selanjutnya.Penelitian selanjutnya merupakan skripsi dari Agustia Rahmah,14

skripsi ini membahas tentang bagaimana perdagangan manusia merupakan

13 Bayu Mitra Adhyatma Kusuma, Masyarakat Muslim Thailand dan Dampak Psikologis

Kebijakan Asimilasi Budaya , Jurnal Hisbah Vol-13, No-1 (Juni 2016), Yogyakarta: UIN Sunan

Kalijaga. 14 Agustia Rahmah, 2015, Kebijakan Pemerintah Thailand Dalam Mengatasi Human Trafficking

dan Implikasinya terhadap Keamanan di Kawasan Asia Tenggara, Skripsi, Bandung: Jurusan

Hubungan Internasional, Universitas Pasundan.

Page 13: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

13

ancaman serius bagi pemerintah Thailand, mengingat jumlahnya yang terus

meningkat. Selain itu, penelitian ini juga menyambungkan antara isu perdagangan

manusia yang ada di Thailand dengan keamanan regional Asia Tenggara,

mengingat Asia Tenggara adalah jalur besar perdagangan manusia.

Penelitian ini berhasil menghadirkan fakta bahwa dari semua kebijakan

Thailand selama ini, ternyata belum cukup efektf untuk menangani isu perdagangan

manusia. Kondisi domestik tersebut berdampak kepada kondisi regional yang mana

Thailand belum mampu berbuat banyak dalam menangani isu perdagangan

manusia. Penelitian ini menjadi salah satu referensi dalam menganalisa kebijakan

pemerintah Thailand terhadap isu perdagangan manusia, mengingat praktik

perdagangan manusia menyasar semua pihak, termasuk pengungsi di dalamnya.

Tabel 1.1 Posisi Penelitian

No. Nama Peneliti

dan Judul

Penelitian

Teori atau

Konsep

Hasil Penelitian

1. K.M. Atikur

Rahman, Ethno-Political

Conflict: The Rohingya Vulnerability in

Myanmar

Ethno Conflict Penelitian ini menunjukkan

bahwa konflik Rohingya berawal dari sentimen etnisitas

yang kental di Myanmar. Tidak hanya terjadi saat ini, tetapi kasus ini telah terjadi

semenjak awal kemerdekaan Myanmar. Adanya sentimen

negatif diperburuk dengan adanya pembelaan bagi etnis tertentu dari pemerintahan

Myanmar, hal ini menyebabkan konflik yang

berupa sentimen berubah menjadi konflik berdarah.

Page 14: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

14

2. Molly Fotunella, Strategi Spanyol

Dalam Integrasi Etnis Rom Terhadap Uni

Eropa

Teori Konstruktivis

(Peter J. Katzenstein)

Spanyol berhasil melakukan integrasi dengan pendekatan

sejarah dan budaya, hal tersebut mampu menghadirkan norma domestik baru yang

dianut di Spanyol, yaitu norma penghargaan terhadap kaum

minoritas. Faktor sejarah dan budaya yang berdekatan di antara kedua subjek mampu

menghadirkan integrasi yang tidak bisa dihadirkan oleh

negara lain dengan kebijakan dan pendekatan yang berbeda.

3. Bilal Dewansyah,

dkk, Asylum Seekers in a Non-Immigrant State

& The Absence of Regional Asylum

Seekers Mechanism: a Case Study of

Rohingya Asylum Seekers In Aceh-Indonesia &

ASEAN Response.

Pendekatan

Regional dan Hukum

Krisis Rohingya telah menjadi

salah satu krisis regiona l. Krisis ini menjadi masalah regional karena tidak adanya

dasar hukum dalam penanganannya. Ketidakadaan

dasar hukum tersebut membuat penanganan terhadap krisis ini lamban.

Indonesia sendiri hanya menggunakan hak konstitusional sebagai dasar

hukumnya. Sebagai jalan keluar, Indonesia bisa

membuat Peraturan Presiden yang nantinya akan menjadi Hukum tertulis dengan

kedudukan yang lebih kuat agar ada mekanisme yang

tepat untuk penanganan masalah ini. ASEAN pun sebagai lembaga regiona l

harus mampu menghadirkan mekanisme yang bisa

mengamankan kestabilan regionalnya.

4. Elizabeth Collins

Kalnin, Displaced Burmese In

Thailand:Refugee Policies &

Policy Studies Penelitian ini menghasilkan

beberapa rekomendasi penerapan kebijakan bagi beberapa pihak seperti:

Pemerintah Kerajaan Thailand, UNHCR, dan

Page 15: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

15

Impact On Access & Rights,

1988-2008.

Otoritas Burma. Rekomendasi tersebut menjawab

kekurangan dari penerapan perlindungan terhadap para pengungsi dari Myanmar

sebelumnya. Rekomendasi-rekomendasi tersebut juga

berfungsi untuk menyadarkan institusi-institusi yang bersentuhan langsung dengan

isu tersebut.

5. Bayu Mitra Adhyatma

Kusuma, Masyarakat

Muslim Thailand dan Dampak Psikologis

Kebijakan Asimilasi Budaya

Penelitian Kualitatif

Deskriptif dengan

munggunakan analisis data model

interaktif Miles dan

Huberman.

Diberlakukannya kebijakan asimilasi budaya merupakan

salah satu konflik psikologi yang digaungkan oleh

pemerintah Thailand yang langsung menjurus kepada masyarakat Muslim Thailand.

Kebijakan ini mengakiba tkan munculnya culture shock

terhadap penganut Muslim di Thailand, hal tersebut terjadi karena secara tidak langsung

pemerintah Thailand membentuk citra umat muslim yang buruk, seperti kelompok

kriminal. Kondisi ini menghadirkan kecurigaan

yang tinggi dari etnis mayoritas Thai.

6. Agustia Rahmah,

Kebijakan Pemerintah Thailand Dalam

Mengatasi Human

Trafficking dan Implikasinya terhadap

Keamanan di Kawasan Asia

Tenggara

Metode

deskriptif dengan konsep-konsep

yang digunakan

berfokus pada definisi kebijakan.

Pemerintah Thailand yang

telah berusaha keluar dari kekangan isu perdagangan manusia menggandeng pihak-

pihak lain seperti INGO, pun negara-negara tetangga yang

memiliki permasalahan yang sama. Tetapi, kebijakan dari pemerintah Thailand dinila i

kurang efektif, menginga t masih banyaknya praktik

perdagangan manusia melalui atau menuju Thailand.

7. Dendy Rizal, Analisa

Kebijakan

Konstruktivis menurut Peter

J. Katzenstein

Penolakan terhadap pengungs i Rohingya menjadi janggal

ketika pengungsi lain yang

Page 16: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

16

Penolakan Pengungsi

Rohingya Oleh Pemerintah Thailand

datang dari Myanmar diterima. Adanya pencabutan terhadap

hak-hak UNHCR juga terjadi di dalam praktiknya. Penelitian ini berfokus untuk

mencari arti atau alasan di balik kebijakan dari

pemerintah Thailand tersebut. Faktor budaya dan identitas memainkan peranan vital

dalam pengambilan kebijakan ini, mengingat Rohingya

adalah adalah Muslim dan pengungsi lain yang berhasil masuk dari Myanmar adalah

non-muslim. Selain itu, adanya konflik dengan Muslim

Melayu di selatan Thailand juga menjadi salah satu faktor pemicu kebijakan tersebut.

1.5. Kerangka Teori

1.5.1. Konstruktivisme Menurut Peter J. Katzenstein

Untuk menjelaskan fenomena tentang penolakan pengakuan dari

pemerintah Thailand terhadap pengungsi Rohingya, teori konstruktivis

digunakan sebagai landasannya, karena teori ini menyatakan bahwa

kebijakan negara dipengaruhi faktor-faktor intangible (budaya, kondisi

sosial, dll). Landasan tersebut digunakan karena penolakan terhadap

pengungsi Rohingya sangat erat hubungannya dengan isu agama ataupun

identitas, karena dari semua pengungsi yang masuk ke Thailand, hanya

Rohingya yang tidak mendapatkan pengakuan dari pemerintah.

Sebagai sebuah teori, konstruktivisme berangkat dari pemikiran

dasar bahwa dunia sosial, termasuk hubungan internasional, merupakan

Page 17: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

17

konstruksi dari manusia itu sendiri sebagai makhluk sosial. Masih menurut

teori ini, dunia sosial bukanlah suatu anugerah yang dimana hukum-

hukumnya dapat ditemukan melalui penelitian ilmiah dan dijelaskan melalui

teori ilmiah yang sebelumnya telah dijelaskan oleh penganut paham

behavioralis dan positivis. Seperti yang sudah dijelaskan di atas, dunia sosial

menurut kaum konstruktivis dibuat atau dibentuk oleh manusia yang terlibat

di dalam kehidupan bermasyarakat pada waktu dan tempat tertentu.15

Kaum konstruktivis mengkritisi kaum positivis dengan sikap yang

menekankan pada peran pemikiran yang merupakan pengetahuan bersama

atas dunia sosial, dimana kaum konstruktivis menegaskan bahwa

pengetahuan bersama ini dianut dan diciptakan oleh negara-negara yang

berada di dalam tatanan tersebut. Alexander Wendt menegaskan dengan

pernyataannya bahwa:

“Struktur sosial memiliki tiga elemen yang terdiri atas pengetahuan bersama, sumber daya material, serta praktik. Struktur sosial tersebut dijelaskan oleh

pemahaman, harapan atau pengetahuan bersama. Hal tersebut menciptakan aktor-aktor dalam suatu situasi dan

sifat hubungan di antara mereka, apakah kooperatif atau konfliktual.16”

Pada dasar pemikiran konstruktivis, tidak ada dunia internasiona l

objektif terpisah dari praktik dan institusi yang diatur oleh negara-negara itu

sendiri. Hal tersebut mengartikan bahwa negara-negara yang ada di dunia

ini membangun hubungan satu dengan yang lain yang mana juga

15 Robert Jackson dan George Sorensen , 2009, Pengantar Studi Hubungan Internasional,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal. 307. 16 Alexander Wendt , 1992, Anarchy Is What States Makes of It, International Organizations, 46,

hal. 394-419, dikutip dalam Ibid.

Page 18: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

18

membangun anarki internasional yang menegaskan hubungan

diantaranya.17

Pernyataan konsturktivis di atas menjelaskan bahwa dunia sosial

politik, termasuk hubungan internasional di dalamnya, merupakan hasil

penciptaan dan pembentukan yang dilakukan oleh masyarakat. Jika dilihat

lebih jauh dan lebih dalam lagi, hal tersebut berarti bahwa pada dasarnya

tidak ada satu pun masyrakat yang berada di luar sistem anarki yang telah

terbentuk sebelumnya. Apa yang ditegaskan oleh kaum konstruktivis

tersebut sekaligus mampu menjelaskan bagaimana posisi etnis Rohingya

yang pada dasarnya tidak memiliki negara atau tidak diakui oleh negara

tersebut tetap menjadi salah satu entitas sosial yang turut hidup di dalam

anarkisme hubungan internasional.

Pada tahap selanjutnya, berangkat dari dasar konstruktivisme di atas,

kerangka teori yang dipakai akan berkembang dengan merujuk pada dasar

teori konstruktivis dari Peter J. Katzenstein yang mengacu bahwa kebijakan

negara dibentuk oleh norma, budaya, dan identitas. Dalam penjelasannya,

Katzenstein menyatakan bahwa sturktur yang ada di tingkat domestik

memberikan pengaruh yang sangat kuat dalam pembentukan identitas suatu

negara. Perihal seperti norma ataupun budaya menjadi faktor utama yang

membentuk kepentingan dan perilaku suatu negara. Artinya, apa yang

terjadi di dalam konstruksi norma dan budaya domestik mampu

17 Ibid.

Page 19: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

19

mempengaruhi sikap dan perilaku suatu negara di dalam sistem

internasional.18

Dalam teori konstruktivisme ini, norma, identitas, maupun budaya

memiliki definisinya masing-masing, merujuk pada teori yang

dikembangkan oleh Katzenstein. Definisi norma yang dipakai oleh

Katzenstein adalah ekspektasi kolektif tentang perilaku yang tepat untuk

identitas yang diberikan. Sedangkan untuk identitas sendiri, definis inya

adalah: macam-macam ideologi yang berdasarkan pada kebangsaan dan

kenegaraan. Kebangsaan yang dimaksud disini adalah ideologi atau

kekhasan dan tujuan kolektif, contohnya nasionalisme. Sedangkan

kenegaraan adalah variasi kedaerahan di dalam sebuah negara merdeka yang

telah ditetapkan sebelumnya dan diproyeksikan secara internasional. Untuk

budaya, adalah penggabungan dari dua faktor di atas, dimana ada standar

evaluasi yang berasal dari norma dan nilai, serta standar kognitif yang

berupa aturan dan model (identitas).19

Katzenstein menggambarkan bahwa sikap suatu negara dalam

menanggapi suatu isu tidak selalu didasari oleh faktor-faktor tangible

(militer, ekonomi, dan kapabilitas industri), tetapi juga terdapat faktor-

faktor intangible (budaya, kondisi sosial, kepemimpinan dan dukungan

publik) yang memiliki peranan vital dalam pembentukan sikap negara.

18 Katzenstein, J. Peter , 1996, The Culture of National Security: Norms and Identity in World

Politics, New York: Columbia University Press, hal. 9. 19 Ibid.

Page 20: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

20

Untuk mempermudah penjelasan, berikut adalah bagan beserta deskripsi

penjelasan dari teori ini:

Untuk menjelaskan bagan teori di atas, di bawah ini adalah deskripsi

dari bagan di atas, dimana nomor menandakan deskripnya:

Efek dari Norma: Budaya atau elemen institusi dari lingkungan negara

atau yang lebih sering berbentuk norma, membentuk kepentingan atau

kebijakan keamanan suatu negara.

Efek dari Norma: Budaya atau elemen institusi dari lingkungan global

ataupun domestik suatu negara (seringnya berbentuk norma), membentuk

identitas suatu negara.

Efek dari Identitas: Variasi atau perubahan identitas suatu negara

mempengaruhi kepentingan atau kebijakan keamanan suatu negara.

Efek dari Identitas: Konfigurasi identitas suatu negara mempengaruhi

stuktur normatif antar-negara, seperti rejim atau komunitas keamanan.

Skema 1.1 Teori Konstruktivis Menurut Katzenstein

Page 21: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

21

Pengulangan: Kebijakan negara mereproduksi serta merekonstruks i

struktur budaya dan institusional.20

Bagan dan definisi di atas menjelaskan bagaimana keterkaitan

antara budaya, norma, dan identitas suatu negara dengan sebuah isu yang

sedang dihadapi. Meluasnya dimensi suatu isu dewasa ini mempengaruhi

penggunaan teori tersebut, karena ancaman tidak hanya berasal dari negara

lain, tetapi juga dari pergolakan isu-isu sosial yang terjadi di dalam suatu

negara. Penulis melihat bahwa adanya penolakan terhadap pengungs i

Rohingya oleh pemerintah Thailand merupakan hasil akhir dari adanya

konstruksi sosial tertentu yang menolak adanya pengungsi Rohingya di

dalam negaranya. Konstruksi sosial yang ada terbentuk dari norma, ataupun

identitas yang berlaku di dalam negeri Thailand.

Pengoperasian teori ini dalam mencari alasan atau arti dibalik sikap

suatu negara terhadap isu tertentu dimulai dengan mencari bagaimana

sturktur alasan atau arti yang telah terbuat yang diwujudkan dalam norma

atau identitas, mempu mempengaruhi apa yang dilakukan sebuah negara,

dalam hal ini adalah Thailand. Jika dioperasikan lebih jauh, dalam perihal

norma, Thailand tidak memiliki norma hukum khusus yang mengatur

tentang kebijakan atas pengungsi.21 Thailand tidak meratifikasi konvensi

1951 tentang pengungsi, pun dengan konvensi 1954 tentang status individu

tanpa kewarganegaraan, Thailand mengatur semuanya di dalam Undang-

20 Ibid. 21 Center For Migration Studies, Op.Cit.

Page 22: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

22

Undang Imigrasi 1979. Tidak adanya hukum khusus ini juga membuat

negara sebagai aktor pengambil keputusan rentan untuk mengambil

keputusan sporadis dalam isu tertentu, dalam hal ini adalah keputusan untuk

menolak keberadaan pengungsi Rohingya.

Sedangkan jika dilihat dari identitas, dalam hal ini identitas

kebangsaan, Thailand sebagai negara Monarki memegang teguh ajaran

Budha dan menganggap bahwa raja adalah Budha di masa depan. Ideologi

tersebut ditopang oleh sistem tunduk terhadap kerajaan.22 Berbeda dengan

pengungsi Rohingya yang merupakan pemeluk agama Islam yang memilik i

dasar religius yang berbeda. Sedangkan untuk perihal Kenegaraan, konflik

antara pemerintah Thailand dan etnis minoritas di bagian selatan Thailand

yang merupakan etnis Muslim merupakan salah satu indikasi alasan utama

dari penolakan Thailand terhadap pengungsi Rohingya.

Berdasarkan teori di atas, ada faktor-faktor intangible yang menurut

Katzenstein mampu berpengaruh terhadap keputusan suatu negara akan isu

tertentu. Norma dan identitas akan berkembang menjadi budaya dan budaya

tersebut akan menjadi landasan sikap suatu negara. Penjelasan akan budaya

tersebut akan menjadi jawaban dalam pencarian alasan dalam isu penolakan

penungsi Rohingya oleh pemerintah Thailand.

22 Understanding Thailand’s Monarchy Problem | IPI: The Global Observatory, diakses dalam

https://theglobalobservatory.org/2014/11/understanding-thailands-monarchy-problem-2/,

(01/05/18, 14:35 WIB).

Page 23: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

23

1.6. Metodologi Penelitian

1.6.1. Variabel Penelitian dan Tingkat Analisa

Dalam penelitian ini penulis menentukan yang menjadi variabel

dependen atau unit analisa adalah kebijakan pemerintah Thailand kepada

pengungsi Rohingya. Sedangkan sebagai variabel independen atau unit

eksplanasinya adalah penolakan terhadap pengungsi Rohingya.

Di dalam penelitian ini tingkat analisa dari variabel dependen adalah

negara-bangsa, sedangkan untuk variabel independennya adalah kelompok.

Dengan hal ini model level analisa yang bisa dipakai adalah model

reduksionis.23

1.6.2. Metode Penelitian

Penelitian skripsi ini akan menggunakan tipe Eksplanatif karena

penulis akan menjelaskan tentang suatu fenomena yang telah atau sedang

terjadi. Fenomena yang akan penulis jelaskan adalah perihal sikap pemerintah

Thailand yang menolak keberadaan pengungsi Rohingya.

1.6.3. Teknik Analisa Data

Penelitian ini menggunakan teknik analisa deduktif, dimana penulis

menggunakan teori yang ada untuk menjelaskan suatu fenomena. Menurut

Mochtar Mas’oed di dalam bukunya, strategi deduktif adalah metode dengan

teorisasi terlebih dahulu baru kemudian melakukan penelitian.24 Dengan

23 Mohtar Mas’oed, 1990, Ilmu Hubungan Internasional : disiplin dan metodologi, Jakarta :

LP3ES, hal. 44. 24 Ibid, hal. 223.

Page 24: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

24

strategi ini dibutuhkan teori yang relevan dan mampu menjelaskan fenomena

yang terjadi.

1.6.4. Teknik Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini penulis menggunakan teknik pengumpulan data

sekunder atau yang biasa disebut dengan kepustakaan. Data-data yang dipakai

berasal dari sumber yang akurat dan dapat dipercaya kebenarannya seperti

buku, jurnal, tesis, skripsi, laporan, artikel investigasi dan artikel ilmiah.

1.6.5. Ruang Lingkup Penelitian

1.6.5.1. Batasan Waktu

Batasan waktu dari penelitian ini akan penulis atur mulai

dari tahun 2013 hingga 2017, penulis memilih tahun 2013 sebagai

tahun awal dari penelitian ini karena tahun tersebut adalah awal dari

eksodus besar-besaran pengungsi rohingya untuk keluar dari

Myanmar dan memasuki negara lain, salah satunya Thailand.

Sedangkan tahun 2017 dipilih sebagai akhir batasan waktu

dikarenakan ketersediaan data-data berupa laporan yang terbatas

hanya sampai akhir tahun 2017.

1.6.5.2. Batasan Materi

Untuk batasan materi di dalam penelitian ini, penulis akan

membatasi pada bagaimana respon pemerintah Thailand terhadap

pengungsi Rohingya yang masuk ke negaranya.

Page 25: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

25

1.7. Argumen Dasar

Melalui analisis teori Katzenstein bahwa sikap dan kebijakan suatau negara

terhadap suatu fenomena atau isu dipengaruhi oleh identitas tertentu. Identitas yang

berlaku sendiri merupakan hasil bentukan dari isu-isu domestik yang membentuk

kebijakan penolakan dari pemerintah Thailand. Untuk faktor identitas sendiri,

etnisitas menjadi dasarnya, dimana isu etnis tersebut terpupuk berkat adanya

perbadaan budaya, dalam hal ini adalah agama. Identitas agama sendiri terlihat

menjadi alasan politik, mengingat pengungsi-pengungsi lain yang berbeda

keyakinan dengan Rohingya mampu diterima oleh Thailand. Adanya konflik

dengan etnis Muslim Thailand di bagian selatan adalah salah satu bentuk konflik

antar etnis yang masih berjalan di Thailand dan konflik tersebut juga merupakan

cerminan dari perbedaan budaya (agama) yang ada di Thailand. Kondisi tersebut

secara langsung maupun tidak mampu mempengaruhi kebijakan yang diambil oleh

pemerintah Thailand untuk pengungsi Rohingya, mengingat etnis Rohingya juga

merupakan etnis yang beragama Islam. Menyeruaknya Islamophobia juga

dimanfaatkan untuk menjadi alasan dibalik penolakan terhadap orang-orang

Rohingya.

1. 8. Struktur Penelitian

Uraian sistematika penulisan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini akan menguraikan penjelasan-penjelasan mengenar i

latar belakang, rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, penelit ian

Page 26: BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakangeprints.umm.ac.id/54361/2/BAB I.pdf · 2019-10-30 · 1 BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Konflik Rohingya, merupakan konflik etnis yang pada

26

terdahulu, kerangka teori yang menjelaskan teori Konstruktivis dari Peter J.

Katzenstein, metodologi penelitian, dan yang terakhir adalah argumen dasar.

BAB II GAMBARAN UMUM KONFLIK ROHINGYA DAN

KONDISINYA DI THAILAND

Pada bab ini, akan diurai gambaran umum tentang konflik Rohingya,

masuknya etnis Rohingya ke Thailand, kebijakan pemerintah Thailand

terhadap pengungsi Rohingya, serta dampak kebijakan penolakan pengungs i

Rohingya oleh pemerintah Thailand.

BAB III IDENTITAS SEBAGAI ALASAN PENOLAKAN

PENGUNGSI ROHINGYA OLEH PEMERINTAH

THAILAND

Pada bab ketiga ini, akan diurai jawaban atas rumusan masalah yang

mencakup proses terbentuknya politik identitas dalam pemerintah Thailand

dan juga bagaimana identitas- identitas seperti pemberontak Thailand Selatan

dan juga Islamophobia mempengaruhi kebijakan dari pemerintah Thailand.

BAB IV PENUTUP

Pada bab ini memuat kesimpulan dari keseluruhan isi penelitian dan

juga saran serta masukan bagi penelitian selanjutnya dalam topik yang sama.