komunikasi

4
29 Ignatius Haryanto. The Age of Capital: Pers, Uang, dan Kekuasaan “The Age of Capital”: Pers, Uang, dan Kekuasaan Ignatius Haryanto ABSTRAK Pers, uang, dan kekuasaan merupakan tiga unsur yang membuat roda industri pers berputar dengan lancar. Tiga unsur tersebut menjadi titik tolak untuk mengupas permasalahan aktual yang dihadapi pers pasca pemerintahan Soeharto, setelah negara tidak lagi menjadi penguasa pers. Simpulan yang disampaikan menunjukkan indikasi terwujudnya The Age of Capital dalam Industri Pers Indonesia, yaitu tatkala modal menjadi kekuatan utama yang menguasai urat nadi kehidupan pers, dan pada akhirnya menghilangkan mekanisme pers yang sehat dan objektif. Sejumlah contoh yang terjadi menunjukkan betapa Dewan Pers sendiri, yang diharapkan mampu menjamin keberlangsungan kehidupan pers yang sehat, ternyata telah terkooptasi oleh kapitalisasi modal para pengusaha yang berkepentingan dengan pembentukan citra produk mereka. dimaksudkan sebagai bagian dari kegiatan kehumasan lembaga-lembaga pemerintahan, dikenai pembayaran seperti layaknya pemuatan iklan.” Peristiwa kedua, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) dalam Catatan Akhir Tahun 2002, di salah satu bagian laporannya, mencatat tentang fenomena wartawan amplop dan kampanye antiwartawan amplop. Dalam catatannya, AJI menyebut bahwa persoalan amplop di kalangan wartawan tak sekadar persoalan integritas dan persoalan individu sang jurnalis, “…Amplop adalah masalah publik karena dampaknya tak hanya ditanggung jurnalis dan pemberi amplop.” Fenomena wartawan amplop di sini merujuk pada fenonema yang terjadi di kalangan jurnalis yang menerima uang (dimasukkan ke dalam amplop) dari pejabat pemerintah – yang seringkali memang telah diberi anggaran khusus dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, atau pun pos tertentu bagi Badan Usaha Milik Negara atau Badan Usaha Milik Daerah. Tentu saja, pemberian amplop ini berkaitan dengan keinginan sang Dalam peringatan Hari Pers Nasional tahun ini, apa kiranya yang bisa dijadikan permenungan bagi kehidupan pers dewasa ini? Tiga entitas yang bisa disebut: pers, uang, dan kekuasaan, mungkin menjadi titik berpijak bagaimana kita melihat persoalan aktual yang dihadapi pers. Untuk itu, tulisan ini hendak mengulas tiga peristiwa terakhir guna menjelaskan peliknya soal antara pers, uang, dan kekuasaan tersebut. Peristiwa pertama, Dewan Pers – yang dipilih secara independen setelah Soeharto “jatuh” dari kursi kekuasaannya – pada November 2002 mengeluarkan sebuah seruan yang diberi judul “Seruan Dewan Pers tentang Pemuatan Rubrik Pemberitaan yang Bertujuan Kehumasan” (nomor 16/PDP/XI/2002). Dalam seruan tersebut, Dewan Pers menyebut, “Dewan Pers akhir-akhir ini menerima laporan dari masyarakat, termasuk di antaranya pejabat pemerintah dan pengamat masalah pers, bahwa di beberapa daerah telah beredar penawaran untuk mengadakan kontrak kerja sama bagi penyediaan rubrik pemberitaan tertentu di media pers … yang agaknya

description

ignatius haryanto paper

Transcript of komunikasi

  • 29Ignatius Haryanto. The Age of Capital: Pers, Uang, dan Kekuasaan

    The Age of Capital:Pers, Uang, dan Kekuasaan

    Ignatius Haryanto

    ABSTRAK

    Pers, uang, dan kekuasaan merupakan tiga unsur yang membuat roda industri pers berputardengan lancar. Tiga unsur tersebut menjadi titik tolak untuk mengupas permasalahan aktual

    yang dihadapi pers pasca pemerintahan Soeharto, setelah negara tidak lagi menjadi penguasapers. Simpulan yang disampaikan menunjukkan indikasi terwujudnya The Age of Capital

    dalam Industri Pers Indonesia, yaitu tatkala modal menjadi kekuatan utama yang menguasaiurat nadi kehidupan pers, dan pada akhirnya menghilangkan mekanisme pers yang sehat dan

    objektif. Sejumlah contoh yang terjadi menunjukkan betapa Dewan Pers sendiri, yangdiharapkan mampu menjamin keberlangsungan kehidupan pers yang sehat, ternyata telah

    terkooptasi oleh kapitalisasi modal para pengusaha yang berkepentingan dengan pembentukancitra produk mereka.

    dimaksudkan sebagai bagian dari kegiatankehumasan lembaga-lembaga pemerintahan,dikenai pembayaran seperti layaknya pemuataniklan.

    Peristiwa kedua, Aliansi Jurnalis Independen(AJI) dalam Catatan Akhir Tahun 2002, di salahsatu bagian laporannya, mencatat tentangfenomena wartawan amplop dan kampanyeantiwartawan amplop. Dalam catatannya, AJImenyebut bahwa persoalan amplop di kalanganwartawan tak sekadar persoalan integritas danpersoalan individu sang jurnalis, Amplopadalah masalah publik karena dampaknya takhanya ditanggung jurnalis dan pemberi amplop.

    Fenomena wartawan amplop di sini merujukpada fenonema yang terjadi di kalangan jurnalisyang menerima uang (dimasukkan ke dalam amplop)dari pejabat pemerintah yang seringkali memangtelah diberi anggaran khusus dalam AnggaranPendapatan dan Belanja Daerah, atau pun postertentu bagi Badan Usaha Milik Negara atauBadan Usaha Milik Daerah. Tentu saja, pemberianamplop ini berkaitan dengan keinginan sang

    Dalam peringatan Hari Pers Nasional tahunini, apa kiranya yang bisa dijadikan permenunganbagi kehidupan pers dewasa ini? Tiga entitas yangbisa disebut: pers, uang, dan kekuasaan, mungkinmenjadi titik berpijak bagaimana kita melihatpersoalan aktual yang dihadapi pers. Untuk itu,tulisan ini hendak mengulas tiga peristiwa terakhirguna menjelaskan peliknya soal antara pers, uang,dan kekuasaan tersebut.

    Peristiwa pertama, Dewan Pers yang dipilihsecara independen setelah Soeharto jatuh darikursi kekuasaannya pada November 2002mengeluarkan sebuah seruan yang diberi judulSeruan Dewan Pers tentang Pemuatan RubrikPemberitaan yang Bertujuan Kehumasan (nomor16/PDP/XI/2002). Dalam seruan tersebut, DewanPers menyebut, Dewan Pers akhir-akhir inimenerima laporan dari masyarakat, termasuk diantaranya pejabat pemerintah dan pengamatmasalah pers, bahwa di beberapa daerah telahberedar penawaran untuk mengadakan kontrakkerja sama bagi penyediaan rubrik pemberitaantertentu di media pers yang agaknya

  • MEDIATOR, Vol. 4 No.1 200330

    pemberi, agar si penerima menulis pemberitaanpositif tentang instansinya. Pendeknya, inilahbentuk penyogokan yang terjadi dalam dunia pers.

    Sebenarnya, fenomena penyogokan macambegini tak hanya terjadi di kalangan pejabatpemerintah, tapi juga terjadi di kalangan bisnis dengan akumulasi jumlah yang lebih besar walau tak dipungkiri, ada juga sejumlah instansipemerintah dan bisnis yang sama sekali menolakpemberian amplop kepada wartawan.

    Yang menarik, catatan AJI berdasarkan hasilsurvei yang dilakukan 18 cabang AJI di berbagaikota menunjukkan bahwa Pemda tingkat Pertamadan Kedua selalu memiliki alokasi anggaranbernama dana pembinaan wartawan. Jumlahanggaran berbagai Pemda ini berkisar antara Rp 18juta (Kabupaten Poso) hingga Rp 11 milyar(Pemerintah Propinsi Papua) per tahunnya. Walautidak seluruhnya langsung jatuh kepada parawartawan, tapi dalam pos tersebut wartawanmendapatkan jatahnya.

    Peristiwa ketiga, atau fenomena terakhir yanghendak ditunjukkan di sini terjadi ketika sebuahmajalah yang berbasis di Jakarta menawarkan pro-posal kepada sejumlah pengusaha untuk membuatlaporan utama majalahnya yang menyerang sebuahlembaga negara yang mengurusi soal persaingansehat dalam berusaha. Proposal yang ditawarkanmencapai nilai Rp 350 juta, konon sebagai gantiongkos membuat pemberitaan yang menyudutkanlembaga negara tersebut.

    Jamannya Modal

    Jaman memang telah berganti. Momok duniapers yang dulunya adalah pihak negara, kini telahberubah. Selama lima tahun terakhir, negara nyaristak melakukan intervensi apa pun dalam dunia pers.Kelembagaan yang mewakili kepentingan ekonomiserta politik negara dalam wujud DepartemenPenerangan telah lama dibubarkan (dengan masihmembuka kemungkinan muncul kembali padapemerintahan mendatang). Namun, masih menjadipertanyaan: apakah itu berarti pers saat ini bisalebih independen dalam pemberitaannya.

    Kelihatannya, sektor yang mempengaruhipemberitaan sekarang telah bergeser pada

    kepentingan modal. Perhatikan saja angka-angkapertumbuhan pers antara tahun 1997, 1998, hingga2002. Tahun 1997, pada era ketika Soeharto masihberkuasa, jumlah penerbitan di seluruh Indonesiatak lebih dari 300 buah. Namun, setahun kemudian,tepatnya dua tahun setelah Soeharto jatuh, jumlahpenerbitan pernah mencapai rekor 1.500 buah diseluruh Indonesia! Berdasarkan survei terakhiryang dilakukan Dewan Pers pada masa 2001-2002,diperkirakan jumlah penerbitan pers yang masihbertahan mencapai sekitar 600-700 penerbitan.

    Apa sebab angka pertumbuhan pers tadi naikturun dengan sangat drastis, bak naikrollercoaster? Persoalan modal. Cuma, merekayang memiliki modal kuat yang sanggup bertahan.Lupakan diskriminasi pemilikan SIUPP (Surat IzinUsaha Penerbitan Pers) pada jaman Orde Baru,yang menghasilkan oligarki penerbitan di Indone-sia. Di era yang bebas, semua orang bolehberkompetisi mulai dari yang bermodal dengkulhingga yang bermodal milyaran. Lantas, untukmenentukan siapa yang sanggup bertahan hidupdalam 3-4 tahun kemudian, pasar-lah yang akanmenentukan.

    Untuk membedakan ratusan organisasi perstersebut sebagai emas atau loyang memangdiperlukan kehati-hatian tersendiri. Faktor modaldi sini adalah salah satu cara mengukurnya.

    Sinyalemen yang dikemukakan Dewan Persterhadap media pers yang mendesak pemerintahdaerah setempat untuk membeli halaman korannya(dengan kisaran angka antara 500 juta hingga 750juta per tahun untuk satu halaman koran perharinya menurut sumber lain) ditujukan kepadagrup media yang memiliki jaringan terluas di Indo-nesia. Menimbang gejala tersebut, tidakkah inimerupakan ekses dari suatu era modal atau,meminjam istilah sejarawan Inggris EricHobswam The Age of Capital?

    Belum lagi jika kita merujuk pada fenomenakepemilikan silang media yang mendapatperlawanan sangat keras dari para pemilik mediadalam pembahasan RUU Penyiaran. Fenomenatersebut dengan sangat jelas menunjukkan bahwalogika kapital untuk melakukan ekspansi pastimemiliki problem ketika berhadapan dengankomunitas masyarakat tertentu yang ingin tetap

  • 31Ignatius Haryanto. The Age of Capital: Pers, Uang, dan Kekuasaan

    membentengi identitas sosial mereka dalamperangkat komunikasi tertentu.

    Memang sulit juga dimengerti, dalam situasiekonomi Indonesia sedang terpuruk begini, justruindustri media naik pesat. Persoalan selanjutnyaadalah, apakah industri media yang tengahberkembang ini memang berdiri di atas landasanyang cukup kuat. Jangan-jangan, kekuatannyahanya dalam kesemuan belaka.

    Peran Strategis Pers

    Adalah wajar jika sebagian besar anggotamasyarakat mempercayakan dirinya untukmengikuti perkembangan berbagai peristiwa di luardirinya lewat pers atau media massa lainnya. Baikburuknya nilai suatu peristiwa sedikit banyakdipengaruhi oleh banyak sedikitnya mediamenawarkan hal tersebut kepada khalayaknya.

    Pernyataan ini bukannya hendak mengatakanbahwa khalayak bersikap pasif-pasif saja. Namun,proses penyajian suatu berita bagaimanapun telahmelewati suatu proses seleksi oleh industri pers/media yang ada saat ini. Dan, bagaimanapun, beritayang bisa lolos dari proses seleksi sudahdiperhitungkan tidak akan merugikan kepentinganmodal. Kepentingan modal yang dimaksud di sinitidak hanya menunjuk pada pemodal pers tersebut,tapi juga kepentingan para pengiklan terbesar,relasi bisnis sang pemilik media, dan lain-lain.

    Hitam putihnya suatu pemberitaan media,sedikit banyak berpengaruh pada penerimaan citrayang ditangkap masyarakat. Di sinilah fungsistrategis yang dimiliki media, dan membuatnyadikejar-kejar oleh mereka yang memiliki kepentinganagar citra dirinya selalu tampil cerlang-cemerlang,apakah itu pengusaha sabun, konglomerat hitam,bapak bupati, anggota DPR, artis beken, militeryang sekaligus pengusaha, biro iklan, aktivis partaipolitik, dan lain-lain. Sejumlah fenomena yangdiangkat pada awal tulisan masuk dalam kerangkapembentukan citra yang positif atau negatif tadi.

    Dewan Pers dan Jaman yang Berubah

    Agak kaget juga saya membaca pernyataanyang dikeluarkan Dewan Pers dalam acara dengar

    pendapat dengan Komisi I, akhir Januari 2003. Padakesempatan tersebut, Dewan Pers menyebutkanbahwa fenomena konglomerasi media masih jauhdari mengkhawatirkan, karena jumlah peredaranseluruh koran yang dimiliki oleh satu grup terbesarsekalipun, masih jauh dari kondisi mendominasisirkulasi koran di Indonesia. Dewan Pers menilai,perkembangan sejauh ini tidaklah menunjukkanadanya semacam monopoli informasi darikonglomerat media tersebut.

    Bagaimana kalau kita melihat fakta yang adadengan cara pandang seperti ini. Misalnya, sebuahgrup penerbitan di Indonesia semasa Soehartoberkuasa, memiliki sekitar 30 penerbitan di seluruhIndonesia. Setelah Soeharto tumbang, jumlahnyanaik hingga lima kali lipat, dan memiliki potensiakan terus membesar. Belum lagi jika dilihat bahwagrup penerbitan yang sama juga berambisimendirikan sejumlah stasiun televisi dan radio.

    Jika cara pikir ini yang dipakai, maka terlihatbahwa Dewan Pers masih memiliki paradigma lamayang menganggap negara sebagai satu-satunyamusuh pers. Pengusaha, sementara itu, tidakdianggap se-jahat negara, karena di satu sisi,pengusaha itu adalah juga pengusaha media ataumungkin pengiklan (pemberi pendapatan) bagiindustri media.

    Problem yang muncul di sini adalah kesulitanmendeteksi ancaman modal terhadap independensipers/media yang tidak kasat mata. Maka, diperlukancara pandang baru untuk melihat hal tersebut.Persoalan yang dihadapi sekarang ini bukan soalpemberitaan itu dilarang atau tidak dilarang (olehnegara), namun bergeser pada persoalan apakahpemberitaan itu ditulis atau tidak ditulis (ataudilakukan swasensor atau tidak). Inilah problemutama yang harus dideteksi lebih jauh.

    Mengukur monopoli informasi sendiri,bukanlah sekadar menghitung angka sirkulasiseluruh anggota grup berbanding dengan jumlahsirkulasi nasional. Bagaimanapun, pengaruh me-dia massa beroperasi dengan cara yang lebih khasdan kadang sulit terdeteksi. Jika melihat angkayang makro, kita memang akan jatuh padakesimpulan belum dominannya suatukonglomerat media. Namun, jika kita lihat secara

  • MEDIATOR, Vol. 4 No.1 200332

    mikro, di sebuah kota propinsi misalnya, dominasikonglomerat media terasa sangat jelas: faktanya,konglomerat media tersebut memiliki koran pagi,koran hiburan, dan koran sore sekaligus.

    Beberapa hal bisa diajukan untuk dikaji lebihlanjut. Misalnya, bagaimana sikap sejumlah mediamassa ketika di DPR membahas pembatasan iklanrokok? Kemana arah pemberitaan yang ditulissejumlah media (kita bisa melakukan analisis isiuntuk itu), atau seberapa sering pemberitaan soalpembahasan iklan rokok itu diangkat dibandingkandengan persoalan tentang lembaga penyiarankomunitas? Berkaitan dengan kemacetan jalan rayadi Indonesia, pernahkah media massa di Indone-sia menggugat industri otomotif sebagai biangkeladi utama dari kemacetan yang semakin parah(jawabannya tentu saja tidak, karena hampir semuamedia cetak memiliki suplemen otomotif danmendapatkan iklan besar dari produk-produk baru

    kendaraan bermotor ini). Lalu, di atas semua contohini, pertanyaannya adalah mengapa mediamemberikan liputan lebih sedikit (atau lebih banyak)untuk peristiwa-peristiwa tertentu?

    Sekadar Penutup

    Dalam tulisan yang terbatas ini, sulitlah untukmengajukan gagasan yang lebih komprehensiftentang apa yang seharusnya dilakukan dalammenghadapi perubahan situasi yang mengarahpada The Age of Capital. Namun, setidaknyatulisan ini hendak mencoba melihat sisi lain dalamperkembangan pers yang amat disayangkan jikapers makin tenggelam untuk mengabdi padakepentingan modal (komersialisasi), ketimbangmemperhatikan peningkatan mutu jurnalistik danpengabdiannya kepada masyarakat.

    M

    M M M