Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

15

Click here to load reader

description

PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SUASANA HUKUM NASIONAL OLEH SYAHMIN AK** Dari buku Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, PT RajaGrafindo Persada, 2006: hal.186 s/d 205For any Question and further information please send it to : [email protected]

Transcript of Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

Page 1: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

Sebagaimana kita ketahui bersama bahwa dampak ke dalam (internal effect) suatu

perjanjian internasional sangat erat hubungannya dengan sistem hukum nasional suatu

negara peserta. Perjanjian internasional tertentu tidak menghendaki adanya ketentuan

pelaksanaan, sebaliknya ada perjanjian yang menghendaki ketentuan pelaksanaan dalam

hukum nasionalnya. Dalam hukum internasional dikenal dua teori yang menjelaskan

perlu-tidaknya ketentuan pelaksanaan nasional dalam rangka penerapan perjanjian

internasional. Kedua teori dimaksud adalah teori adoption dan incorporation.

Menurut teori adoption, perjanjian internasional mempunyai dampak hukum (legal effect)

dalam suasana nasional. Perjanjian internasioal tetap mempertahankan sifat

internasionalnya (keasliannya), namun diterapkan dalam suasana hukum nasional.

Sebagai dasar teori ini adalah aliran monisme, yangmengajarkan bahwa hukum nasional

dan hukum iternasional merupakan satu kesatuan dari satu siatem hukum pada

umumnya. Sementara itu, menurut teori incorporation, perjanjian internsional itu terlebih

dahulu harus diinkorporasikan ke dalam hukum nasional, baru dapat diterapkan dan

menjadi hukum nasional. Teori ini mendasarkan ajrannya pada aliran dualisme, yaitu

hukum internasional dan hukum nasional merupakan dua sistem hukum yang berbeda.

Menurut pandangan kaum dualisme, ikutnya suatu negara dalam perjanjian internasional

melalui ratifikasi secara simultan menjadikan perjanjian internasional diinkorporasikan ke

dalam sistem hukum nasional. Sebaliknya menurut aliran dualisme yang strict dualist

system, perjanjian internasional harus ditransformasikan ke dalam hukum nasional

dengan ketentuan yang telah ada. Selama tranformasi ini belum ada dampak ke dalam

(internal effect) perjanjian internasional tersbut tidak ada, kecuali bila ada keputusan

hakim nasional atau mengadakan penafsiran hukum nasional, mulai dari asumsi bahwa

pembuat undang-undang tidak bermaksud bertindak atau mempertahankan ketentuan

yang bertentangan dengan kewajiban yang timbul dari perjanjian internasional.

Perlu atau tidaknya suatu perjanjian internasional dibuatkan aturan pelaksanaannya jika

diterapkan dalam suasan hukum nasional bergantung pada isi perjanjian itu sendiri, yaitu

73

PENERAPAN PERJANJIAN INTERNASIONAL DALAM SUASANA HUKUM NASIONAL OLEH SYAHMIN AK*

LAMPIRAN 7

* Dari buku Syahmin AK, Hukum Kontrak Internasional, PT RajaGrafindo Persada, 2006: hal.186 s/d 205

Page 2: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

apakan isi perjanjian tersebut mempunyai sifat sebagai perjanjian yang self-excuting?

Sebaliknya jika suatu perjnajian tidak berlaku secara otomatis dalam suasana nasional,

perjanjian internasioal itu berarti memiliki sifat non-self executing.

Jika perjanjian secara otomatis beralku sebagi hukum internasional, maka dapat muncul

permasalahannya, yaitu bagaimana status hukum perjanjian tersebut jika berhadapan

dengan hukum nasional yang tidak sesuai dengan isi perjanjian tersebut? Dalam hal ini,

jika kita kembali pada teori transformasi yang mengajarkan bahwa suatu perjanjian yang

telah diajdikan hukum nasional dengan jalan transformasi akan mempunyai status yang

sama sebagai hukum nasional lainnya, asas lex posterior derogat lege priori akan

diterapkan. Sebaliknya jika kita kembali kepada teori adoption yang mengajarkan di

mana perjanjian diterapkan sebagai hukum internasiona, statusnya tidak otomatis sama

dengan hukum nasional, melainkan membutuhkan penetuan sikan dari hukum nasional,

ataupun hukum interasional atau praktik. Dalam hal ini, baik teori monisme maupun teori

teori dualisme berpendapat bahwa suatu perjanjian dapat efektif berlaku pada akhirnya

bergantung pada praktik nasional masing-masing negara. Hal yang jelas perlu diingat

bahwa suatu negara bertanggung jawab atas penerapan perjanjian dalam suasana

nasional. Jika penerapannya melanggar hukum internasional, suatu negara tidak dapat

mempergunakan ketentuan hukum nasionalnya sebagai dalil pembelaan dan pembenaran

atas pelanggaran tersebut.1

Selanjutnya, bagaiman sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dalam praktik

ketatanegaraan? Untuk menjawab pertanyaan di atas, kita harus meninjau kembali

hukum konstitusi, yaitu UUD 1945. UUD 1945 ternyata tidak memberikan jawaban yang

jelas mengenai hal tersebut.2

Hal itu disebabkan oleh sering kali kaidah-kaidah hukum internasional itu memang tidak

jelas atau sudah berubah sebagai refleksi dari masyarakat internasional yang sedang

mengalami masa transisi dan mengalami perubahan yang begitu cepat. Dalam

pemberlakuan perjanjian internasional, terutama perjanjian yan diwariskan oleh

pemerintah kolonial Netherland dan dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda. Kadang-

kadang ditempuh cara tidakan sepihak (unilateral act) akrena tidak ada alternatif lain bagi

negara yang menghendaki perubahan cepat atas norma yang dirasakan tidak adil.

Akrena tidak adanya petunjuk pada UUD 1945, mengenai sikap Indonesia terhadap

perjanjian ini, Prof. Mochtar Kusumaatmadja menegasakan sebagai berikut.3

“...kita tidak menganut teori transformasi apalagi sistem Amerika Serikat. Kita

condong pada sistem negara Kontinental Eropa..., yakni langsung menganggap diri

1 Periksa Pasal 27 Konvensi Wina 1969 tentang Hukum Perjanjian.2 Mochtar Kusumaatmdja, Op.Cit., hlm.87.3 Ibid., hlm.87.

74

Page 3: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

kita terikat pada keawajiban melaksanakan dan menaati ketentuan-ketentuan

perjanjian dan konvensi yang telah disahkan tanpa perlu mengadakan lg undang-

undang pelaksana...”

Meskipun demikian, beliau juga mengingatkan sebagai berikut.

“...bahwa sebaikanya kita mengundangkan apa yang telah menjdaikan kita sebagai

pihak peserta suatu perjanjian yang telah mengikat kita, apalagi kelalaian untuk

melakukan hal itu bisa menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaan hukum yang

berlaku. Sebaliknya, dalam beberapa hal pengundangan demikian tidak perlu,

masalahnya tidak menyangkut banyak orang atau persoalannya sangat teknis dan

ruang lingkupnya sangat terbatas. Akan tetapi, pengundangan dalam Undang-

Undang Nasional mutlak dipelukan, yakni antara lain apabila diperlukan perubahan

dalam Undang-Undang Nasional yang las\ngsung menyangkut hak warga negara

sebagai perorangan.”

Dari pendapat Prof. Mochtar Kusumaatmadja di atas, jelas kiranya bahwa dalam

memberlakukan kaidah hukum internasional khususnya yang berasal dari suatu perjanjian

internasional, UUD 1945 tidak memuat petunjuk dan untuk mengetahuinya, kita harus

melihatnya pada praktik negara kita sendiri bagaimana.

D. Indonesia dan Konvensi tentang Pengkuan dan Pelaksanaan keputusan

Arbitrase Asing

1. Konvensi Jenewa 1927

Seperti telah penulis utarakan pada bab-bab terdahulu, dengan dikeluarkannya Keppres

No.34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981 Presiden Republik Indonesia telah menerbitkan

Keppres No. 34 Tahun 1981 untuk mengesahkan “Convention on the Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards” yang telah ditandatangani di New York pada

tanggal 10 Juni 1958. Konvensi ini telah mulai terlebih dahulu pada tanggal 7 Juni 1959.

Republik Indonesia baru menyatakan turut serta pada konvensi ini dengan cara accescion,

dan mulai tanggal 5 Agustus 1981.4 sebelum Konvensi New York 1958 ini dinyatakan

berlaku, di Indonesia sebagai ahli waris dari Hindia Belanda berlaku Konvensi Jenewa 1927

tenang pelaksanaan Keputusan –keputusan Arbitrase luar negeri.5 Akan tetapi, sering

timbul perbedaan paham mengenai masih berlaku atau tidaknya konvensi tersebut setal

RI menjadi negara yang berdaulat. Dengan kata lain, masih berlaku atau tidaknya

perjanjian internsional sehubungan dengan telah terjadinya suksesi negara/ pergantian

4 Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 40. Lihat Lampiran II buku ini5 Staatsblad Tahun 1933 No.131.

75

Page 4: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

negara (succession of state) dari Hindia Belanda sebagai negara yang digantikan

(predecessor state) kepada negara Kesatuan Republik Indonesia sebagai negara

pengganti (sucessor state).6

Sehubungan dengan hal tersebut, suksesi negara ini dapat dibedakan antara pengertian

yuridis dan pergantian menurut kenyataan.

Pergantian negara karena kenyataan dapat terjadi karena perubahan yang disebabkan

oleh penggabungan satu dan/atau lebih negara menjadi federasi, konfederasi, atau

negara kesatuan, dapat juga karena sesi, aneksasi, dekolonisasi.7

Hal yang menyangkut maslah kita sekarang adalah pergantian negara karena perubahan

karena dekolonisasi. Bagaimanakah nasib perjanjian internasional karena dekolonisasi?

Dalam hukum internsional dibedakan antara personal treaties dan inpersonal treaties,

serta dispositive. Personal treaties ialah perjanjian yang dibuat oleh kepala negara/kepala

pemerintahan secara pribadi sebagai kepala pemerintahan. Perjanjian demikian tidak

akan beralih kepada penggantinya. Bentuk perjanjian tidak akan beralih kepada

penggantinya. Bentuk perjanjian demikian yang personal dapat berbentuk perjanjian

yang bersifat polotis, baik bilateral maupun multilateral. Contoh perjanjian yang bersifat

politis adalah perjanjian persahabatan, persekutuan (aliansi) pemberian bantuan, dan lain

sebagainya. Dapat pula berupa kerja sama dalam bidang peradilan, misalnya perjanjian

ekstradisi dan konvesi tentang pengakuan dan pelaksanaan keputusan hakim arbitrase

luar negeri.

Sementara itu, yang dimaksud dengan perjanjian yang termasuk dalam kategori

dispositive adalah perjanjian yang menyangkut wilayah negara atau tanah. Perjanjian ini

membebani suatu wilayah dengan status hukum, misalnya pernjanjian pangkalan militer,

perjanjian perbatasan, dan lain sebgainya. Perjanjian ini mengikatkan negara dan tetap

mengikat negara tersbut, meskipun negara tersebut, meskipun telah terjadi suksesi

negara.

Ternyata dengan timbulnya negara-negara baru setelah Perang Dunia II dalam

penyelesaian maslah pernjanjian internsional yang dibuat oleh negara penjajahnya timbul

praktik yang berbeda-beda. Mereka tidak seluruhnya menaati teori di atas. Dalam

hukum internasional, ada dua doktrin yang populer yang dapat dipakai untuk

6 Salah seorang pakar hokum internsional yang banyak mencurahkan perhatian dan banyak melakukan penelitian tentang succession of state ini adalah D.P.O. Connel. Karya tulidsnnys yang amat terkenal itu di antaranya ialah: The Law of State Succession, dan State Sucession in Municipal Law and Internasional, dan State Succession and Problems of Treaty Interpretation, Mac Millan & Co., Ltd, London.

7 Syahmin AK., Hukum Perjanjian Internasional: Menurut Konvensi Wina 1969, (Bandung CV Armico, 1988), hlm.196; Lihat pula Budi Lazarusli dan Syahmin AK., Suksesi Negara dalam Hubungannya dengan Perjanjian Internsional (Bandung: CV. Remadja Karya, 1986), hlm.6 dan seterusnya.

76

Page 5: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

menganalisis sikap negara-negara baru dalam hal perjanjian internsional sehubungan

suksesi negara. Doktrin tersebut ialah acquired rigths doctrine atau vested rights

doctrine dan clean state doctrine.

Menurut acquired rights doctrine, hak yang telah diperoleh oleh negara yang diganti

beralih kepada negara yang menggantikannya. Teori ini juga disebut dengan teori

universal. Sementara itu, doktrin yang kedua berpendapat bahwa negara baru tidak

dibebani dengan kewajiban yang timbul dari perjanjian internsional yang mengikat negara

tersbut sebelum terjadinya suksesi negara. Doktrin ini juga disebut free choice doktrine.

Ternyata dalam praktiknya, doktrin tersebut tidak dapat diikuti dengan strict dan

penyelesaian masalah perjanjian internasional dalam kaitannya dengan suksesi negara

berbeda-beda, bergantung pada sikap negara-negara baru yang bersangkutan.

Cara lain untuk menyelesaikan masalah perjanjian internsional sehubungan dengan

suksesi negara ialah dengan cara membuat inheritance agreement atau disebut

perjanjian peralihan. Perjanjian peralihan ini merupakan cara agara beralihnya hak dan

kewajiban yang timbul dari suatu perjanjian internasional dalam rangka suksesi negara

dapat berjalan dengan lancar. Sebagai contoh untuk perjanjian peralihan ini adalah

perjanjian yang dibuat antara negara bekas jajahan Prancis dengan Prancis. Indonesia

sendiri mengadakan perjanjian dengan Kerajaan Belanda, mulai dari perjanjian Linggarjati

tentang penyerahan kedaulatan (1947), dan ditindaklanjuti dengan perjanjian Konferensi

Meja Bundar (KMB) tentang masalah Irian Barat (1949), kemudian disertai dengan

perjanjian peralihan yang menampung kedudukan perjanjian internasional yang dibuat

oleh pemerintah Kerajaan Belanda yang dinyatakan berlaku bagi Hindia belanda. Pasal 5

ayat (1 dan 2) Perjanjian Peralihan KMB menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh

Belanda tidak otomatis berlaku bagi bekas jajahannya di Netherlands Indie. Namun,

setelah pemutusan perjanjian KMB, sikap Indonesia tetap bahwa perjanjian internasional

yang dibuat oleh pemerintah Hindia Belanda dan dinyatakan berlaku bagi wilayah Hindia

Belanda tidak otomatis berlaku bagi Indonesia.8

Masalah perjanjian internasional dalam kaitannya dengan terjadinya suksesi negara dapat

diatasi dengan adanya Konvensi Wina 1978 tentang Suksesi Negara dalam hubungannya

dengan penghormatan pada perjanjian internasional (Vienna Convention on Sucession of

State in Respect of Treaties) yang diterima PBB pada 23 Agustus 1978.

Pasal 11 Konvensi Wina Tahun 1978 menetapkan bahwa suksesi negara tidak dapat

memengaruhi apa pun terhadap garis batas wilayah dan hak yang berhubungan dengan

rezim perbatasan yang ditetapjan oleh perjanjian internasional.9 Sementara itu, Pasal 12

8 Lihat, Keppres No.33 Tahun 1950, Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 1950.9 Konvensi Wina Tahun 1978, Article 11 – “Boundary Regime” merumuskan: A succession of States does not

as such affect;

77

Page 6: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

ayat (1,a-b) menetapkan pembentukan basis/pangkalan militer asing di wilayah negara itu

karena terjadinya suksesi negara tidak mengikat negara pengganti.10 Jadi, Pasal 12 (3)

merupakan pengecualian atas prinsip yang ditetapkan dalam Pasal 12 (1,2). Pasal 11 dan

Pasal 12 (1,2) sesuai dengan teori dispositive treaties tetap belaku, meskipun telah terjadi

suksesi negara. Isi ketentuan ini sesuai dengan ketentuan pasal 62 (2,a) Konvensi Wina

1969 tentang Hukum Perjanjian yang menegaskan bahwa perubahan mendasar tidak

dapat dipakai sebagai dasar untuk mengakhiri suatu perjanjian perbatasan.11

Kembali lepada persoalan, bagaimanakah sikap Indonesia terhadap perjanjian

internacional yang dibuat oleh pemerintah Kerajaan Belanda dan dinyatakan berlaku bagi

Hindia Belanda dalam hubungannya dengan telah terjadinya suksesi negara pada tahun

1945? Setelah berlakunya KMB sebagai perjanjian peralihan (devolution agreement),

ternyata hubungan antara Indonesia dan Negeri Belanda tidak harmonis karena masalah

Irian Barat, di mana pada saat itu Irian Barat masih tetap dikuasai oleh Kerajaan Belanda.

Perselisihan antara Indonesia dan Belanda mengenai masalah Irian Barat itu, kemudian

dipergunakan oleh Indonesia untuk membatalkan secara sepihak hubungan dengan pihak

Kerajaan Belanda. Republik Indonesia dengan menggunakan prinsip rebus sic stantibus

dan berlandaskan pada Undang-undang Nomor 13 tahun 195612, menyatakan tidak terikat

lagi pada Perjanjian KMB, dan secara tegas telah memutuskan ikatannya dengan

perjanjian Konferensi Meja Bundar tersebut. Setelah pemutusan terhadap perjanjian KMB,

sikap Indonesia terhadap perjanjian internasional dalam kaitannya dengan suksesi negara

berlandaskan pada UU No. 13 tahun 1956. Hal ini dapat kita ketahui dari pernyataan

Indonesia kepada Sekretaris Jenderal PBB (sebagai deposan untuk perjanjian yang

didaftarkan pada LBB/PBB sesuai dengan ketentuan Pasal 102 (1) Piagam PBB) Indonesia

secara tegas menyatakan sikap tetap terikat oleh beberapa konvensi, antara lain adalah:

a. Convention for the Settlement of Certain Conflicts of Laws in Connection with

Cheques and Protocol (Geneva March 19, 1931);

b. Convention on the Stamps Laws in Connection with Cheques (Geneva, March 19,

1931);

c. Convention Providing Uniform Law for Cheques and Protocol (Geneva, March 19

1931).

(1)a boundary established by treaty; or(2)obligations and rights established by a treaty and relating to the regime of a boundary.

10 Article 12 par.(3) merumuskan sebagai berikut.The provision of the present article do not apply to treaty obligations of the predecessor State providing for the establishment of foreign military bases on the territory to which the sucession of States relates.

11 Article 62 tentang Fundamental change of circumstances: par. (2.a) merumuskan: fundamental change of circumstances may not be invoked as a ground for terminating or withdrawing from a treaty:(a) if the treaty establishes boundary.

12 Lihat Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 27 tahun 1956.

78

Page 7: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

Oleh karena itu, untuk selanjutnya sikap Republik Indonesia terhadap perjanjian

internasional yang dahulu dibuat oleh Kerajaan Belanda dan dinyatakan berlaku untuk

Hindia Belanda, tidak secara otomatis berlaku. Hal ini sesuai dengan Surat Departemen

Luar Negeri Republik Indonesia tanggal 19 Desember 1972 o. 12727, yang pada pokoknya

berbunyi sebagai berikut:

“…Praktik yang dianut oleh Indonesia dewasa ini ialaha bahwa Republik Indonesia

hanya menjadi pihak pada suatu perjanjian yang dahulu dibuat oleh Nederland dan

dinyatakan berlaku untuk Hindia Belanda, selama Republik Indonesia secara tegas

menyatakan demikian, sesuai dengan prosedur dalam hukum perjanjian

internasional, kecuali mengenai perbatasan.”13

Kembali pada persoalan. Bagaimana sikap Republik Indonesia terhadap Konvensi Jenewa

1927 tentang Pengakuan dan Pelaksanaan Keputusan Hakim Arbitrase Luar Negeri?

Mengenai hal ini ada perbedaan pendapat. Pendapat pertama dikemukakan oleh Prof.

Sudargo Gautama sebagai berikut.

“…kami sendiri berpendapat bahwa Konvensi Jenewa tahun 1927 ini masih berlaku

untuk negara kita. Hal ini disebabkan oleh karena dalam Konferensi Meja Bundar,

dalam pasal peralihan telah dinyatakan bahwa berkenaan dengan pengakuan

kedaulatan dari Kerajaan Belanda kepada Republik Indonesia dihubungkan dengan

Penetapan Presiden No. 2 tanggal 10 Oktober 1945, maka persetujuan internasional

yang berlaku untuk wilayah Republik Indonesia pada saat penyerahan kedaulatan

tetap berlaku.”14

Jika kita hubungkan dengan pendapat yang telah penulis utarakan di muka, agaknya Prof.

Sudargo Gautama ini menganut teori acquired rights/vested rights, atau juga disebut

dengan teori universal.

Pendapat kedua dianut oleh Prof. Asikin Kusumaatmadja, yaitu sebagai berikut.

“Konvensi ini sudah tidak berlaku lagi sejak Konferensi Meja Bundar. Hal ini

disebabkan oleh karena tidak ada pernyataan secara tegas dan aktif oleh pihak

Indonesia bahwa kita hendak menganggap diri terikat pada konvensi itu.”

Pendapat yang kedua ini tampaknya sesuai dengan doktrin clean state.

13 Budi Lazurusdi dan Syahmin AK., Op. Cit., hlm. 95.14 Sudargo Gautama, Op. Cit., hlm. 68

79

Page 8: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

Agaknya terhadap pendapat yang berbeda-beda sebagaimana telah penulis paparkan di

atas masing-masing mempunyai pendukungnya. Sekali lagi penulis tegaskan bahwa

adanya perbedaan pendapat ini disebabkan tidak adanya ketentuan perundang-undangan

kita yang tegas-tegas mengatur masalah tersebut.

2. Implementasi Konvensi New York 1958 di Indonesia

Seperti telah penulis utarakan pada bagian awal pembahasan bab ini, Indonesia menjadi

peserta Konvensi New York 1958 dengan pernyataan ikut serta (aksesi) melalui Keputusan

Presiden Nomor 34 tahun 1981, tanggal 5 Agustus 1981. Aksesi ini didaftarkan pada

Sekretariat Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 7 Oktober 1981.

Indonesia hanya mengajukan persyaratan (reservation) pertama saja, yaitu reciprocity

principles (asas perberlakuan secara timbal balik).

Aksesi ini merupakan langkah penting terhadap perkembangan iklim arbitrase di

Indonesia. Hal ini penting karena dewasa ini dengan semakin meningkatnya kontrak

internasional yang diadakan oleh pengusaha Indonesia dengan pihak asing, di mana

klausul arbitrase tercakup di dalamnya, keppres tersebut merupakan bukti bahwa

pemerintah bersungguh-sungguh menghormati klausul tersebut beserta akibat hukum

yang ditimbulkannya.

Meskipun Indonesia telah mengaksesi Konvensi New York 1958, yang berarti bahwa

ketentuan-ketentuan konvensi tersebut mengikat Indonesia, ternyata dalam

pelaksanaannya kemudian masalah baru tentang pelaksanaan keputusan arbitrase yang

dibuat di luar negeri muncul. Masalah ini baru berkisar pada adanya dua pendapat yang

saling bertolak belakang antara Mahkamah Agung Republik Indonesia dengan para pakar

hukum ternama, khususnya Prof. Mr. Dr. Sudargo Gautama.

Mahkamah Agung berpendapat bahwa meskipun pemerintah Republik Indonesia telah

mengaksesi konvensi melalui Keppres No. 34 tahun 1981, namun dengan adanya

perundang-undangan tersebut tidak serta merta berarti keputusan arbitrase yang dibuat

di luar negeri dapat dilaksanakan di Indonesia. Mahkamah berpendapat perlu adanya

peraturan pelaksanaan dari keppres tersebut agar pelaksanaan (eksekusi) suatu

keputusan arbitrase asing dapat dilaksanakan. Lengkapnya Mahkamah menyatakan

sebagai berikut.

“Bahwa selanjutnya mengenai Keppres No. 34 tahun 1981 tanggal 5 Agustus 1981

dan lampirannya tentang pengesahan Convention on the Recognition and

Enforcement of Foreign Arbitral Awards sesuai dengan praktik hukum yang masih

80

Page 9: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

berlaku harus ada peraturan pelaksanaannya tentang apakah permohonan eksekusi

putusan hakim arbitrase dapat diajukan langsung kepada Pengadilan Negeri, kepada

Pengadilan Negeri yang mana, ataukah permohonan eksekusi diajukan melalui

Mahkamah Agung dengan maksud untuk dipertimbangkan apakah putusan tersebut

tidak mengandung hal-hal yang bertentangan dengan ketertiban hukum

internasional bahwa berdasarkan hal-hal yang diuraikan di atas, permohonan

pelaksanaan putusan hakim arbitrase asing seharusnya dinyatakan tidak dapat

diterima.”15

Sebaliknya, Prof. Dr. Sudargo Gautama berpendapat bahwa keppres tersebut tidak perlu

dijabarkan oleh peraturan perundang-undangan pelaksanaannya. Menurut beliau, sebuah

keppres tidak memerlukan peraturan pelaksanaan, berlainan dengan undang-undang

yang menentukan. Untuk itu, diperlukan peraturan pelaksanaan. Beliau memberikan

sebuah contoh tentang pasal 43 Undang-undang Nomor 1 Tentang Pokok-pokok

Perkawinan di Indonesia Tahun 1974 yang menentukan bahwa anak di luar kawin

mengikuti status hukum sang ibu. Hubungan lebih lanjut antara Ibu dan anak dengan

keluarga sang ibu akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Peraturan

pemerintah ini hingga kini belum pernah diterbitkan.

Menurut hemat penulis, sebenarnya tidak perlu ada pertentangan antara pemerintah (cq.

Mahkamah Agung Republik Indonesia) dengan para pakar hukum bila yang

dipertentangkan itu hanya soal perlu tidaknya peraturan pelaksanaan. Kehendak

pemerintah ketika mengaksesi Konvensi New York 1958 sudah jelas antara lain adalah

untuk terikat kepada ketentuan-ketentuan Konvensi New York tahun 1958 dan

menghormati secara timbal balik keputusan hakim arbitrase yang dibuat di luar negeri.

Sebagai konsekuensi dari tindakan itu sudah barang tentu pemerintah seyogianya

berupaya agar keputusan hakim arbitrase asing yang dibuat di luar negeri tersebut

dihormati dan dilaksanakan.

Peran pemerintah disini sudah jelas, yakni sebagai alat pengontrol terhadap keputusan

tersebut agar benar-benar dapat dilaksanakan di dalam negeri. Jadi, peran kontrol inilah

yang diemban oleh pemerintah. Sementara itu, yang memegang kendali utama dan

sebenarnya dalam hal ini adalah tetap ada pada para pihak yang telah membuat klausul

arbitrase dan menetapkan arbitrasenya, serta kesepakatan untuk melaksanakan segala

keputusan yang dikeluarkan oleh arbitrase yang bersangkutan.

Seperti telah diutarakan pada bab terdahulu, masalah keputusan hakim arbitrase asing di

Amerika Serikat tidak begitu menjadi masalah yang terlalu signifikan lagi karena memang

para pihak (terutama para pengusaha di negeri Paman Sam itu) telah benar-benar

15 Sudargo Gautama, Ibid., hlm. 57.

81

Page 10: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

konsisten dan konsekuen dengan apa yang telah mereka tuangkan di dalam klausul

arbitrase. Jadi, peranan pengadilan di sana tidak begitu banyak. Memang untuk para

pengusaha di Indonesia, tampaknya komitmen dan taraf pemahaman, penghargaan

terhadap klausul arbitrase belum setara dengan para pengusaha di luar negeri (Amerika

Serikat) yang telah cukup lama berkecimpung dalam lembaga arbitrase sebagai alternatif

penyelesaian sengketa komersial mereka. Di tanah air, pengenalan terhadap lembaga

arbitrase saja masih minim sekali. Bukan saja bagi kalangan pengusaha, tetapi juga di

kalangan perguruan tinggi.

Sehubungan dengan hal tersebut di atas, dikeluarkannya Peraturan Mahkamah Agung

Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1990, sekaligus menjawab dua masalah penafsiran

hukum yang saling berkaitan yang telah lama berkembang. Masalah pertama, apakah

suatu keppres memerlukan peraturan perundang-undangan pelaksanaannya atau tidak,

sebagaimana halnya dengan undang-undang? Masalah kedua, badan peradilan manakah

yang memiliki wewenang untuk menangani masalah pelaksanaan keputusan hakim

arbitrase asing tersebut?

Masalah pertama, sehubungan dengan Pemerintah Republik Indonesia telah mengaksesi

Konvensi New York tahun 1958 dengan Keppres No. 34 Tahun 1981, tanggal 5 Agustus

1981. Namun, baik Konvensi New York 1958, maupun keppresnya sendiri tidak mengatur

tentang bagaimana prosedur pelaksanaan kepuytusan arbitrase sehingga timbul reaksi

dari para ahli hukum kita. Seperti telah diutarakan di muka bahwa keppres tidak

memerlukan peraturan pelaksanaan, tetapi pihak pemerintah menganggapnya perlu.

Mengulangi pernyataan sebelumnya, menurut hemat kami, peraturan Mahkamah Agung

Nomor 1 tahun 1990 itu sekaligus merupakan penjabaran dan petunjuk lebih lanjut dari

Keppres No. 34 tahun 1981, bukan peraturan pelaksanaan sebagaimana lazimnya yang

dikehendaki oleh peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, dapat disimpulkan di

sini bahwa keppres pun, bila pemerintah menganggap perlu, dapat dibuatkan aturan

pelaksanaan.

Masalah kedua, yaitu siapakah dan atau lembaga peradilan mana yang berwenang

menangani masalah putusan arbitrase asing tersebut? Terjawab dengan ketentuan dalam

Pasal 1 Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia tahun 1990 itu sendiri bahwa

badan yang diberi kewenangan untuk menangani masalah yang berhubungan dengan

pengakuan serta pelaksanaan putusan hakim arbitrase asing itu adalah Pengadilan Negeri

Jakarta Pusat.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa dua pendapat mengenai perlu tidaknya

keppres dibuatkan aturan pelaksanaannya telah mengundang perdebatan yang sengit

dan memperoleh tanggapan yang saling bertolak belakang antara satu pihak dari

82

Page 11: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

pemerintah (cq. Mahkamah Agung Republik Indonesia) dan pihak pakar hukum Indonesia.

Akhirnya, telah terjawab dengan keluarnya Peraturan Mahkamah Republik Indonesia

Nomor 1 tahun 1990 itu dimungkinkan. Karena tidak adanya ketentuan dalam peraturan

hukum nasional Indonesia yang mengatur, bagaimanakah penerapan perjanjian

internasional sebagai pelaksanaan dari Pasal 11 UUD 1945? Meskipun ada Surat Presiden

No. 2826, dan telah dijadikan sebagai pedoman dalam hubungannya dengan pelaksanaan

Pasal 11 sesuai dengan konvensi ketatanegaraan, pelaksanaan Surat Presiden No. 2826

dalam praktiknya belum dilaksanakan secara konsisten dan konsekuen. Akibatnya praktik

negara kita sehubungan dengan perjanjian internasional masih banyak masalah yang

harus dibenahi.

83

Page 12: Kompilasi PI - Lampiran 7 - Syahmin - Penerapan PI

84