Kode/Nama Bidang Ilmu: 699 Bidang Ilmu : Kepariwisataan fileilmu pariwisata modern dengan kebiasaan...
-
Upload
truongliem -
Category
Documents
-
view
235 -
download
0
Transcript of Kode/Nama Bidang Ilmu: 699 Bidang Ilmu : Kepariwisataan fileilmu pariwisata modern dengan kebiasaan...
i
Kode/Nama Bidang Ilmu: 699 Bidang Ilmu : Kepariwisataan
LAPORAN AKHIR PELAKSANAAN KEGIATAN HIBAH UNGGULAN PROGRAM STUDI
EVALUASI DAMPAK KEGIATAN WISATA PESISIR TERHADAP PEREKONOMIAN MASYARAKAT
DI PULAU NUSA PENIDA KECAMATAN NUSA PENIDA KABUPATEN KLUNGKUNG
TIM PENGUSUL
Ida Bagus Suryawan, ST, M.Si (NIDN: 0029127802)
Made Sukana, SST. Par.,M.Par. (NIDN: 0031127904)
I Gede Anom Sastrawan, S.Par. (NIK: 517103050392001)
PROGRAM STUDI S1 DESTINASI PARIWISATA FAKULTAS PARIWISATA UNIVERSITAS
UDAYANA
2015
iii
DAFTAR ISI
Lembar Pengesahan ............................................................................. i
Daftar isi .............................................................................................. ii
Daftar Tabel ........................................................................................ iv
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ............................................................................................. 1
1.2 Rumusan Masalah ....................................................................................... 3
1.3 Tujuan Penelitian ......................................................................................... 4
1.4 Manfaat Penelitian ....................................................................................... 4
BAB II METODE PENELITIAN
2.1 Jenis Penelitian ............................................................................................ 6
2.2 Data Penelitian ............................................................................................ 6
2.3 Variabel Penelitian ...................................................................................... 6
2.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel ...................................... 7
2.4.1 Definisi Operasional ........................................................................ 7
2.4.2 Pengukuran Variabel ....................................................................... 8
2.5 Teknik Analisis Data ................................................................................. 10
BAB III REALISASI PELAKSANAAN KEGIATAN
3.1 Perkembangan Kegiatan 70% .................................................................... 12
3.1.1. Realisasi Kegiatan 70% ............................................................. 12
3.1.2. Realisasi Anggaran ...................................................................... 13
3.2. Perkembangan Kegiatan 100% ...................................................................... 14
3.2.1. Realisasi Kegiatan .................................................................. 14
3.2.2. Realisasi Anggaran ..................................................................... 15
BAB IV KAJIAN TEORITIS
4.1 Pariwisata ................................................................................................... 17
4.2. Potensi Wisata ........................................................................................... 18
iv
4.3. Pariwisata Kerakyatan .............................................................................. 19
4.4. Pembangunan Ekonomi Pariwisata ........................................................... 25
4.5. Penelitian sebelumnya ............................................................................... 30
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1. Profil Pariwisata Nusa Penida ................................................................... 33
5.2. Pariwisata dan Kehidupan Masyarakat ...................................................... 38
5.3. Kontribusi Masyarakat ............................................................................... 41
BAB VI PENUTUP
6.1. Kesimpulan ................................................................................................ 50
6.2. Rekomendasi ............................................................................................ 52
LAMPIRAN
v
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1. Realisasi Pelaksanaan Kegiatan .......................................................... 13
Tabel 3.2. Realisasi Anggaran Dana ....................................................................... 13
Tabel 3.3. Rencana Pelaksanaan Kegiatan ............................................................ 15
Tabel 3.4. Rencana Realisasi Anggaran ................................................................ 15
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Bagaimana seharusnya mengelola pariwisata, sangat tergantung siapa dan
ingin ke mana konsep pengembangan pariwisata diarahkan.Banyak praktisi dan
akademisi telah mencoba mensintesa beberapa konsep dengan mengkombinasikan
ilmu pariwisata modern dengan kebiasaan dan tradisi lokal. Bila dicermati,
bahwa kecenderungan trend pariwisata dunia ke depan adalah back to nature, to
the indigenous. Modernisasi, kapitalisme, dan globalisasi akan memakan dirinya
sendiri dan orang akan mencari sesuatu yang hilang, yaitu keunikan lokal.
Konsep yang bisa dijadikan landasan pendukung pariwisata kerakyatan
yang salah satunya bermotifkan pelestarian alam adalah konsep yang sudah ada
sejak dahulu di Bali sebagai filosofi kehidupan , yaitu konsep “Tri Hita Karana “.
Dalam modul pembelajaran “Tropical Plant Curriculum Project (Made S.Utama
dan Kohdrata, 2011), “Tri Hita Karana” (THK) berasal dari bahasa sansekerta,
dimana Tri berarti tiga, Hita berarti sejahtera, dan Karana berarti penyebab. Tri
Hita karana memiliki arti tiga hubungan harmonis yang menyebabkan
kebahagiaan. Pengelolaan pariwisata lebih cenderung memanfaatkan sumber daya
local yang ada baik sumber daya berbasis alam, budaya maupun buatan. Kajian
tentang hubungan antara penduduk dengan sumberdaya alam dan lingkungan
mempunyai arti penting, karena pemanfaatan sumberdaya alam dan lingkungan
oleh penduduk apabila kurang memperhatikan karakteristiknya, akan
mengakibatkan penurunan kualitas sumberdaya dan lingkungan (Verstappen,
1983; Dietz, 2000).
Kearifan lokal erat kaitannya dengan pencapaian konsep “Ajeg Bali” yang
sampai saat ini keberhasilannya belum juga terlaksana dengan maksimal. Menurut
Prof. Nyoman Sirtha dalam tema “Menggali Kearifan Lokal untuk AjegBali”
dalam http://www.balipost.co.id (2003) ;bentuk-bentuk kearifan lokal dalam
masyarakat dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hokum
2
adat, dan aturan-aturan khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam
dan ia hidup dalam aneka budaya masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-
macam.Jika dilihat dari sudut kacamata budaya, Fuad Hasan menyampaikan
bahwa budaya Nusantara yang plural merupakan kenyataan hidup (living reality)
yang tidak dapat dihindari.Kebhinekaan ini harus dipersandingkan bukan
dipertentangkan.Keberagaman ini merupakan manifestasi gagasan dan nilai
sehingga saling menguat dan untuk meningkatkan wawasan dalam saling
apresiasi. Kebhinekaannya menjadi bahan perbandingan untuk menemukan
persamaan pandangan hidup yang berkaitan dengan nilai kebajikan dan
kebijaksanaan (virtue and wisdom).
Dalam pandangan sosial dan budaya, peran kearifan lokal pada sektor
pariwisata kerakyatan khususnya di kancah pariwisata sangatlah penting. Menurut
pandangan penulis, kunci penting dari keberhasilan pelaksanaan pariwisata
kerakyatan adalah sinergi antara dua golongan, yaitu partisipasi antara pemerintah
dan masyarakat. Pencapaian sukses tidak akan terwujud, jika hanya
diimplementasikan pada satu sisi golongan saja. Berikutnya adalah kontinyuitas
dari program-program penunjang pariwisata kerakyatan perlu diperhatikan. Tanpa
memperhatikan kontinyuitas, maka program akan tidak berjalan dengan baik
sesuai harapan kita bersama.
Pada kasus sejumlah daerah, sector pariwisata memberikan kontribusi
ekonomi yang cukup bagi sebuah daerah. Dampak pariwisata secara umum dapat
digolongkan kedalam dua golongan yaitu dampak terhadap devisa denagara
secara makro dan dampak ekonomi mikro terhadap masyarakat dan daerah.
Terhadap masyarakat dan daerah, pariwisata memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan sektor swasta, pembangunan infrastruktur, mendorong pertumbuhan
ekonomi dan penciptaan lapangan kerja (Nizar, 2011). Hubungan komplementer
perdagangan dan pariwisata dapat diperlihatkan dengan hubungan substitusi
sebagai bentuk wujud nyata perdagangan antar daerah. Wisata untuk tujuan
berlibur dikatakan dapat mempengaruhi perdagangan akibat adanya kebutuhan
konsumsi wisatawan yang tidak ada di tempat tujuan wisata. Hal ini mendorong
kebutuhan impor bagi daerah tujuan wisata dari daerah lain untuk memenuhi
3
kebutuhan wisatawan (Gallego, 2011). Hal yang sangat berbeda dijabarkan oleh
Kadir dan Yusoff (2010) yang menjabarkan bahwa tidak terdapat hubungan
jangka panjang antara perdagangan dengan pariwisata, namun diperoleh
hubungan satu arah (pengaruh kausalitas) dari perdagangan terhadap pariwisata.
Shan dan Wilson (2001) berpendapat bahwa ada hubungan saling mempengaruhi
antara perjalanan dengan perdagangan. Dengan sejumlah teori dan pendapat para
pakar tersebut, diharapkan kegiatan pariwisata berpengaruh atau bahkan
memberikan kontribusi positif terhadap kegiatan ekonomi masyarakat yang ada
disekitar daya tarik wisata.
1.2 Rumusan Masalah
Banyak pendapat dari berbagai kalangan kurang memperhatikan
pentingnya peranan pariwisata kerakyatan sebagai tonggak mewujudkan
kemajuan sektor pariwisata di Bali yang berkelanjutan. Hal ini disebabkan belum
maksimalnya sinergi antara pemerintah dan masyarakat dalam meningkatkan
program penerapan pariwisata kerakyatan. Pulau Nusa Penida didominasi oleh
kegiatan wista berbasis wisata pesisir. Dengan kegiatan ini, pengelolaan wisata
pantai harus mengacu kepada kaidah pembangunan berkelanjutan yang terdiri atas
keberlanjutan secara ekonomi, lingkungan dan social (susilo, 2003). Mengacu
kepada perkembangan kepariwisataan di Nusa Penida, sejumlah permasalahan
yang dirumuskan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
1. Bagaimana kegiatan wisata yang ada di Nusa Penida ?
2. Sejauh mana korelasi antara pariwisata dengan kehidupan masyarakat
Pulau Nusa Penida ?
3. Apakah kegiatan wisata pesisir di Nusa Penida telah memberikan
kontribusi terhadap pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat ?
1.3 Tujuan Penelitian
Hingga saat ini, sektor pariwisata merupakan sektor yang menjadi andalan
perekonomian di Bali. Perlu ditindak lanjuti suatu program yang kontinyu
4
berbasis ekowisata untuk lebih memantapkan perkembangan sektor ini. Peran
serta masyarakat dan pemerintah yang dapat mewujudkan keberhasilan ini,
dengan bergerak secara sinergis, sehingga akan lebih memberikan manfaat positif
terhadap kehidupan masyarakat khususnya manfaat ekonomi.
Tujuan penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui kegiatan wisata yang ada di Nusa Penida sebagai
dasar penentuan besaran potensi ekonomi yang ada.
2. Hubungan antara pariwisata dengan kehidupan masyarakat Pulau Nusa
Penida baik dari sector industry, pengelolaan dan kelembagaan potensi
wisata
3. Informasi terkait kontribusi pariwisata terhadap pemenuhan kebutuhan
ekonomi masyarakat mulai kebutuhan terendah hingga kebutuhan yang
lebih tinggi.
1.4 Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan bisa diambil dalam penelitian ini dalam aspek teoritis,
secara global akan bisa memberikan awareness pada semua pihak yang bergerak
pada sektor perekonomian pariwisata khususnya. Diketahuinya dampak kegiatan
pariwisata terhadap ekonomi masyarakat diharapkan sekaligus dapat menjawab
kondisi ideal yang diharapkan bahwa setiap kegiatan pariwisata yang berkembang
disebuah daerah, memberikan kontribusi positif bagi kehidupan masyarakat.
Secara praktis, penelitian ini diharapkan dapat mewujudkan:
1. Menggali potensi wisata dan pengggambaran kegiatan pariwisata yang ada
dan peran serta masyarakat dalam perkembangannya
2. Meningkatkan kesadaran pemerintah dan masyarakat akan pentingnya
suatu sinergi dalam keberhasilan sektor pariwisata yang dapat memberikan
kontribusi nyata baik pihak yang ada didalamnya
3. Dengan memadukan proteksi destinasi wisata pada pengembangan
ekonomi pariwisata, yaitu berupa undang-undang atau kebijakan tertentu
5
yang dikeluarkan dari pemerintah, maka pembangunan ekonomi
pariwisata yang berkelanjutan akan tercapai.
6
BAB II
METODE PENELITIAN
2.1 Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan metode campuran (mixed method), yang mengombinasikan atau
mengasosiasikan bentuk kualitatifdan bentuk kuantitatif. Dalam pendekatan ini
akan mengandung asumsi-asumsi filosofis, aplikasi pendekatan-pendekatan
kualitatif dan kuantitatif, serta pencampuran kedua pendekatan tersebut dalam
satu penelitian (Creswell dan Clark, 2007). Penelitian ini juga menjelaskan
hubungan kausalitas antara variabel independen (variabel kegiatan pariwisata)
dengan variabel dependen (sumber daya pariwisata, proteksi destinasi wisata dan
dampak ekonomi pariwisata).
2.2 Data Penelitian
Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data yang berasal dari
data primer di lapangan dan data sekunder yang diperoleh dari hasil survey
lapangan, data instansional maupun survey sekunder dari buku / dokumen teknis.
2.3 Variabel Penelitian
Penelitian ini menggunakan variabel yang tidak dapat diukur secara
langsung atau unobserved variable yang sering juga disebut dengan variabel laten
atau konstruk. Variabel penelitian ini meliputi :
A. Variabel Kegiatan Pariwisata
1. Atraksi Wisata
a. Atraksi alam
b. Atraksi budaya
c. Atraksi buatan
2. Aksesbilitas wisata
a. Sarana transportasi
7
b. Prasarana Transportasi
3. Ancilary
a. Kelembagaan adat
b. Kelembagaan profesional
4. Amenities
a. Akomodasi
b. Pendukung pariwisata
B. Variabel kehidupan masyarakat
1. Karakteristik demografi
a. Jumlah penduduk
b. Pekerjaan penduduk
c. Tingkat pendidikan penduduk
2. Kegiatan Ekonomi
a. Penghasilan penduduk
b. Pengeluaran penduduk
c. Penguasaan kegiatan ekonomi
C. Variabel kebutuhan masyarakat
1. Kebutuhan fisik (Physiological need).
2. Kebutuhan memperoleh keamanan atau keselamatan (security or safety
need),
3. Kebutuhan bermasyarakat (social need),
4. Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (Esteem need),
5. Kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan
2.4 Definisi Operasional dan Pengukuran Variabel
2.4.1 Definisi Operasional
Berdasarkan kerangka konsep penelitian, terdapat variabel eksogen dan
endogen dalam penelitian ini. Definisi operasional dalam penelitian ini, dapat
dijelaskan sebagai berikut :
8
1. Kegiatan pariwisata yang dimaksud dalam penellitian ini
didefinisikan menjadi sejumlah variable yaitu : Atraksi Wisata yang
dibagi menjadi atraksi alam, atraksi budaya, atraksi buatan. Tiap
jenis atraksi akan dibagi kedalam tipologi atraksi yaitu atraksi
berbasis site / lokasi dan atraksi berbasis even / kegiatan.
Aksesbilitas wisata terdiri atas sarana transportasi dan prasarana
transportasi yang memuat informasi kwalitas dan kuantitas. Ancilary
yang didefinisikan kedalam kelembagaan yang ada di Nusa Penida
terkait dengan pengelolaan potensi wisata baik kelembagaan adat
maupun kelembagaan professional. Amenities yang dijabarkan
terkait dengan ketersediaan dan lokasi akomodasi dan fasilitas
pendukung pariwisata
2. Definisi kehidupan masyarakat lebih ditekankan pada karakteristik
demografi dan kegiatan ekonomi masyarakat. Karakteristik
demografi dijabarkan menjadi jumlah penduduk, pekerjaan
penduduk dan tingkat pendidikan penduduk.
3. Kebutuhan masyarakat di definisikan kedalam kebutuhan fisik
(Physiological need), ebutuhan memperoleh keamanan atau
keselamatan (security or safety need), kebutuhan bermasyarakat
(social need), kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (Esteem
need), kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan
2.4.2 Pengukuran Variabel
Dalam penelitian terdapat 2 (dua) jenis angket yaitu angket terbuka dan
angket tertutup. Penelitian ini menggunakan angket tertutup, yaitu angket yang
disajikan dalam bentuk sedemikian rupa, sehingga responden diminta untuk
memilih satu jawaban yang sesuai dengan karakteristik dirinya dengan
memberikan tanda silang (x) atau tanda check list (v). Check list atau daftar cek
adalah suatu daftar yang berisi subjek dan aspek-aspek yang diamati (Riduwan,
2008: 99-100). Angket ini disebarkan kepada masyarakat yang bergerak pada
sektor pariwisata di Nusa Penida. Pengukuran merupakan hal yang wajib
9
dilaksanakan dalam penelitian ilmiah, karena pengukuran adalah jembatan untuk
menuju observasi. Penelitian selalu mengharuskan pengukuran variabel dalam
bidang yang diteliti. Prosedur pengukuran variabel dimulai dari pembuatan
definisi operasional variabel. Di dalam kerangka pemikiran telah dikemukakan
mengenai variabel-varibel penelitian.Untuk mempermudah analisis data, maka
variabel yang digunakanharus terukur terlebih dahulu, pengukuran variabel dalam
penelitian ini adalah menggunakan skala likert. Skala Likert adalah skala
pengukuran dengan lima kategori respon yang berkisar antara “sangat tidak
setuju” hingga “sangat setuju” yang mengharuskan responden menentukan derajat
persetujuan atau ketidak setujuan mereka terhadap masing-masing dari
serangkaian pernyataan mengenai obyek stimulus (Malhotra, 2005: 298). Skala
Likert yang digunakan dalam penelitian ini adalah skala dengan lima tingkat
degradasi nilai. Alternatif jawaban mempunyai bobot atau skor nilai sebagai
berikut:
Sangat Tidak Setuju (STS) = diberi skor 1
Tidak Setuju (TS) = diberi skor 2
Netral (N) = diberi skor 3
Setuju (S) = diberi skor 4
Sangat Setuju (SS) = diberi skor 5
Indikator- indikator yang terukur dapat dijadikan landasan untuk membuat
item instrument yang berupa pernyataan atau pertanyaan yang perlu dijawab oleh
responden yang bersangkutan. Penggunaan skala likert pada variabel yang akan
diukur dijabarkan menjadi indikator variabel, kemudian dijadikan sebagai ukuran
untuk menyusun instrument berupa pertanyaan atau pernyataan. Skala likert ini
kemudian menskala individu yang bersangkutan dengan menambah bobot dari
jawaban dipilih. Nilai rata-rata dari masing-masing responden dapat
dikelompokkan dalam kelas interval dengan jumlah kelas = 5, sehingga interval
tersebut dapat dihitung sebagai berikut:
10
Nilai maksimum - nilai minimum
Interval = Jumlah kelas
= 5 – 1 / 5 = 0,80
Dari informasi diatas diketahui kriteria pendapat responden mengenai penerapan
pariwisata kerakyatan, partisipasi masyarakat dan pemerintah, potensi wisata,
proteksi destinasi wisata , dan pembangunan ekonomi pariwisata,adalah sebagai
berikut:
a. Nilai jawaban 1 ,00 - 1 ,79 = Sangat Tidak Setuju
b. Nilai jawaban 1 ,80 - 2,59 = Tidak Setuju
c. Nilai jawaban 2,60 - 3,39 = Netral
d. Nilai jawaban 3,40 - 4, 1 9 = Setuju
e. Nilai jawaban 4,20 - 5,00 = Sangat Setuju
2.5 Teknik Analisis Data
Analisis data yang digunakan untuk membahas permasalahan dalam
penelitian ini adalah analisis SEM. Penelitian ini diolah menggunakan program
SPSS dan AMOS. SPSS digunakan untuk input data yang diperoleh dari hasil
penelitian, sedangkan aplikasi AMOS digunakan untuk tampilan hasil penelitian
yang mudah agar bisa dilihat hubungan antar variabelnya. Adapun asumsi-asumsi
penggunaan SEM menurut Ferdinand (2002: 51), bahwa asumsi-asumsi yang
harus dipenuhi dalam prosedur pengumpulan dan pengolahan data yang dianalisis
dengan pemodelan SEM adalah sebagai berikut:
1. Ukuran Sampel
Ukuran sampel yang harus dipenuhi dalam pemodelan ini adalah minimum
berjumlah 100 dan selanjutnya menggunakan perbandingan 5 observasi untuk
setiap estimated parameter. Karena itu bila kita mengembangkan model
dengan 20 parameter, maka minimum sampel yang harus digunakan adalah
sebanyak 100 sampel.
2. Normalitas dan Linearitas
Normalitas dapat diuji dengan melihat gambar histogram data atau dapat diuji
dengan metode-metode statistik. Uji normalitas ini perlu dilakukan baik
untuk normalitas terhadap data tunggal maupun normalitas multivariat
dimana beberapa variabel digunakan sekaligus dalam analisis akhir. Uji
linearitas dapat dilakukan dengan mengamati scatterplots dari data yaitu dengan
memilih pasangan data dan dilihat pola penyebarannya untuk menduga ada
tidaknya linearitas. Dengan menggunakan kriteria critical ratio sebesar ± 2,58,
pada tingkat signifikansi 0, 01 (1%) dapat disimpulkan bahwa berdistribusi
normal (Ferdinand, 2002: 174).
3. Outliers
Outliers adalah observasi yang muncul dengan nilai-nilai ekstrim baik secara
univariat maupun multivariat yaitu yang muncul karena kombinasi
kharakteristik unik yang dimilikinya dan terlihat sangat jauh berbeda dari
observasi-observasi lainnya. Evaluasi outliers univariat yang mempunyai z-
score ≥ 3.0 akan dikategorikan sebagai outliers, sedangkan evaluasi outliers
multivariat memiliki tingkat signifikansi 0,001 berdasarkan nilai chi-square
pada derajad bebas yang ditentukan (Ferdinand, 2002: 174-175).
4. Multicollinearity dan Singularity
Multikolinearitas dapat dideteksi dari determinan matriks kovarians. Nilai
determinan matriks kovarians sangat kecil (extremely small) memberi
indikasi adanya problem multikolinearitas atau singularitas. Nilai determinan
matriks kovarians sampel yang jauh dari angka nol mencerminkan bahwa
tidak ada mutikolinearitas atau singularitas (Ferdinand, 2002: 176).
BAB III
REALISASI PELAKSANAAN KEGIATAN 3.1 Perkembangan Kegiatan 70%
3.1.1. Realisasi Kegiatan 70%
Berdasarkan usulan kegiatan penelitian yang telah diajukan pada bulan Februari
2015, pelaksanaan kegiatan penelitian dilakukan selama 8 bulan kalender. Hingga bulan
Juli tahun 2015 terhitung, pelaksanaan kegiatan telah berlangsung selama 5 bulan.
Sejumlah kegiatan yang telah dilakukan hingga bulan kelima ini adalah sebagai berikut :
1. Kegiatan persiapan administrasi berupa penyusunan surat survey dan
kegiatan administrasi rencana kegiatan survey dan penyebaran questioner
yang akan dilakukan
2. Penjajagan kebutuhan data dan informasi yang dibutuhkan untuk menjawab
rumusan masalah penelitian.
3. Kegiatan pengumpulan data sekunder berupa data terkait dengan
karakteristik fisik, social, ekonomi, kegiatan kepariwisataan, akomodasi
wisata dan tinjauan terkait dengan kebijakan Kabupaten Klungkung terkait
dengan Nusa Penida dimasa yang akan datang.
4. Survey instansional ke Badan Perencanaan dan Pembangunan Daerah
Kabupaten Klungkung untuk pengumpulan data terkait Rencana Detail tata
Ruang Kawasan Pariwisata Nusa Penida
5. Survey instansional ke Kantor Pelayanan Perijinan Terpadu Kabupaten
Klungkung untuk mencari data terkait dengan daftar akomodasi wisata
yang telah memiliki ijin di Kecamatan Nusa Penida
6. Survey instansional ke Badan Pusat Statistik Kabupaten Klungkung untuk
pengumpulan data terkait karakteristik dasar Kecamatan Nusa Penida
7. Analisa terkait dengan isu, potensi dan permasalahan di Nusa Penida
NO
JENIS KEGIATAN
TAHUN 2015
M
AR
APR
ME
I
JUN
JUL
AG
S
SEP
O
KT
1. Penjajagan
2. Pengumpulan Data
3. Pengolahan Data
4. Draf Laporan
5. Lokakarya/Seminar
6. Penyusunan Laporan
7. Laporan Akhir dan Penggandaan
Tabel 3.1. Realisasi Pelaksanaan Kegiatan
3.1.2. Realisasi Anggaran
Berdasarkan kontrak pelaksanaan penelitian antara Ketua Tim peneliti dengan Dekan
Fakultas Pariwisata Universitas Udayana, mekanisme pencairan dana akan dilakukan
dengan 2 kali termin yaitu 70% untuk termin pertama dan 30% untuk termin kedua. Termin
pertama sebesar 70% atau sejumlah Rp14.700.000,- (empat belas juta tujuh ratus ribu
rupiah) dicairkan pada tanggal 23 Juli tahun 2015. Penggunaan dana terkait dengan dana
termin I digambarkan dengan table sebagai berikut :
Tabel 3.2. Realisasi Anggaran Dana URAIAN ANGGARAN
BIAYA REALISASI
BIAYA PERSONIL 7,500,000.00 3,500,000.00
1 Ketua Peneliti (1 orang, 8 bulan)
2,400,000.00 1,500,000.00
2 Anggota Peneliti (2 orang, 8 bulan)
3,800,000.00 2,000,000.00
3 Pengolah Data (1 penelitian) 1,300,000.00 BAHAN HABIS PAKAI DAN PERALATAN Alat Tulis Kantor 8,000,000.00 8,000,000.00
1 Kertas HVS A4 70 gram Cap Sinar Dunia isi 500 lbr
800,000.00 800,000.00 Dunia isi 500 lbr
2 Bateray Alkaline AA 100,000.00 100,000.00
3 CD-RW isi 5 buah 90,000.00 90,000.00 4 Ballpoint Biasa Merk Pilot Isi 12 30,000.00 30,000.00 5 Map Box File Bantex 200,000.00 200,000.00 6 Map Holder Plastik 200,000.00 200,000.00 7 Buku Kwitansi Besar Isi 100 60,000.00 60,000.00 8 Binder Clips 70,000.00 70,000.00 9 Tinta HP Laserjet C8061 X
Colour
2,000,000.00 2,000,000.00
10 Tinta HP Laserjet C8061 X Black 3,700,000.00 3,700,000.00 11 Kertas C.D. Folio 350,000.00 350,000.00 12 Kertas F4 Sinar Dunia 70 gram 400,000.00 400,000.00
PERJALANAN 2,500,000.00 1,155,000.00
1 Sewa Kendaraan (Kota Denpasar- Kab.Klungkung) (3 orang, 3hari/bulan, 8 bulan)
1,650,000.00 1,155,000.00
2 Sewa Boat Penyebrangan Sanur – Nusa Penida
850,000.00 LAIN-LAIN (administrasi, publikasi, lokakarya/seminar, laporan)
3,000,000.00 400,000.00
1 Administrasi Kelembagaan 100,000.00 100,000.00 2 Publikasi (Jurnal Nasional,
Internasional, HaKI) 1,000,000.00
3 Seminar 1,000,000.00 4 Laporan 900,000.00 300,000.00
TOTAL 21,000,000.00 13,055,000.00 3.2. Perkembangan Kegiatan 100%
3.2.1. Realisasi Kegiatan
Sesuai dengan jadwal pelaksanaan kegiatan, target waktu pelaksanaan kegiatan
penelitian yang dirancang hingga bulan Oktober 2015 akan menjadi waktu akhir
pelaksanaan kegiatan penelitian. Sisa waktu pelaksanaan penelitian selama 3 bulan akan
dilakukan sejumlah kegiatan yaitu :
1. Penyebaran quisioner terhadap 100 orang responden di wilayah Nusa Penida
yang ditargetkan selesai pada akhir agustus
2. Lanjutan survey lapangan ke Nusa Penida
3. Wawancara terkait dengan kegiatan pariwisata di Nusa Penida terhadap 6
orang narasumber yang terdiri atas pengusaha pariwisata, pengusaha non
pariwisata, tokoh masyarakat dan pemuka agama yang ada di Nusa Penida
NO
JENIS KEGIATAN
TAHUN 2015
M
AR
APR
ME
I
JUN
JUL
AG
S
SEP
O
KT
1. Penjajagan
2. Pengumpulan Data
3. Pengolahan Data
4. Draf Laporan
5. Lokakarya/Seminar
6. Penyusunan Laporan
7. Laporan Akhir dan Penggandaan
4. Rekapitulasi questioner dan analisis data questioner yang telah disebar
sebanyak 100 orang responden
5. Penyusunan Laporan Penelitian
6. Pelaksanaan kegiatan SENASTEK yang diselenggarakan oleh LPPM Unud
sebagai bentuk sosialisasi akademis hasil penelitian
7. Pelaksanaan Seminar Hasil Penelitian
Tabel 3.3. Rencana Pelaksanaan Kegiatan
3.2.2. Realisasi Anggaran
Berdasarkan kontrak pelaksanaan penelitian, dana penelitian yang disetujui untuk
kegiatan penelitian ini adalah sebesar Rp21.000.000,-. Hingga akhir pelaksanaan kegiatan
penelitian, sejumlah dana akan dialokasikan terkait dengan pembayaran gaji personil,
biaya perjalanan untuk kegiatan survey lapangan dan biaya publikasi, seminar dan
penyusunan laporan penelitian yang akan dilakukan. Gambaran mengenai rencana realisasi
dana hingga akhir kegiatan diuraikan sebagai berikut : Tabel 3.4. Rencana Realisasi Anggaran URAIAN ANGGARAN
BIAYA RENCANA REALISASI
PERSONIL 7,500,000.00 3,300,000.00
1 Ketua Peneliti (1 orang, 8 bulan)
2,400,000.00 900,000.00
2 Anggota Peneliti (2 orang, 8 bulan)
3,800,000.00 1,800,000.00
3 Pengolah Data (1 penelitian)
1,300,000.00 600,000.00 BAHAN HABIS PAKAI DAN PERALATAN
Alat Tulis Kantor 8,000,000.00
1 Kertas HVS A4 70 gram Cap Sinar Dunia isi 500 lbr
800,000.00 Dunia isi 500 lbr
2 Bateray Alkaline AA 100,000.00 3 CD-RW isi 5 buah 90,000.00 4 Ballpoint Biasa Merk
Pilot Isi 12 30,000.00
5 Map Box File Bantex 200,000.00 6 Map Holder Plastik 200,000.00 7 Buku Kwitansi Besar Isi
100 60,000.00
8 Binder Clips 70,000.00 9 Tinta HP Laserjet C8061
X Colour
2,000,000.00
10 Tinta HP Laserjet C8061 X Black
3,700,000.00 11 Kertas C.D. Folio 350,000.00 12 Kertas F4 Sinar Dunia 70
gram 400,000.00
PERJALANAN 2,500,000.00 1,345,000.00
1 Sewa Kendaraan (Kota Denpasar- Kab.Klungkung) (3 orang, 3hari/bulan, 8 bulan)
1,650,000.00 495,000.00
2 Sewa Boat Penyebrangan Sanur – Nusa Penida
850,000.00 850,000.00 LAIN-LAIN (administrasi, publikasi, lokakarya/seminar, laporan)
3,000,000.00 2,600,000.00
1 Administrasi Kelembagaan
100,000.00 2 Publikasi (Jurnal
Nasional, Internasional, HaKI)
1,000,000.00 1,000,000.00
3 Seminar 1,000,000.00 1,000,000.00 4 Laporan 900,000.00 600,000.00
TOTAL 21,000,000.00 7,245,000.00
BAB IV
KAJIAN TEORITIS 4.1 Pariwisata
Secara etimologi, pariwisata terdiri dari dua kata yaitu pari dan wisata. Pari berarti
banyak, lengkap, berkali-kali, sedangkan wisata berarti perjalanan atau bepergian. Maka
pariwisata artinya adalah suatu perjalanan yang dilakukan secara berkali-kali.
Definisi pariwisata telah banyak dikemukakan oleh para ahli di bidang pariwisata,
namun dalam definisi tersebut masih terdapat beberapa perbedaan dalam pendefinisian.
Beberapa pengertian atau definisi pariwisata yang pernah dikemukakan oleh para ahli
dalam bidang pariwisata, antara lain:
1. Menurut Hunzieker dan Kraf (1942), pariwisata adalah keseluruhan fenomena dan
hubungan- hubungan yang ditimbulkan oleh perjalanan dan persinggahan manusia
di luar tempat tinggalnya, dengan maksud bukan untuk menetap di tempat yang
disinggahinya dan tidak berkaitan dengan pekerjaan yang menghasilkan upah.
Perjalanan yang dilakukan biasanya didorong oleh rasa ingin tahu untuk keperluan
yang bersifat rekreatif dan edukatif. (dalam Kohdyat, 1996:2)
2. Menurut McIntosh dan Gupta (1980:8), pariwisata didefinisikan sebagai gabungan
gejala dan hubungan yang timbul dari interaksi wisatawan, bisnis, pemerintah tuan
rumah, serta masyarakat tuan rumah dalam proses menarik dan melayani
wisatawan-wisatawan ini serta para pengunjung lainnya.
3. Menurut Wahab (1996), pariwisata merupakan suatu aktivitas manusia yang
dilakukan secara sadar yang mendapat pelayanan secara bergantian diantara orang-
orang di dalam negara itu dan daerah lain (daerah tertentu) untuk sementara waktu
dalam mencari kepuasan yang beraneka ragam dan berbeda dengan apa yang
dialaminya di tempat ia memperoleh pekerjaan tetap (dalam Andy
Aryawan,2002:10). Dari beberapa pengertian pariwisata di atas terdapat satu
kesamaan dalam pengertian tentang pariwisata yaitu bahwa kegiatan ini merupakan
fenomena yang ditimbulkan oleh salah satu bentuk kegiatan manusia yaitu kegiatan
perjalanan/travelling. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut diatas, kegiatan
manusia yang dilakukan dalam rangka rekreasi atau untuk mencari menikmati
suasana yang berbeda membutuhkan suatu obyek atau tempat untuk singgah.
Pemandangan alam, dalam hal ini adalah pemandangan rawa berperan sebagai
suatu obyek atau atraksi untuk memenuhi kebutuhan manusia dalam melakukan
kegiatan wisata. Segala hal yang berhubungan dengan kegiatan wisata dengan
obyek pemandangan alam berupa perairan selanjutnya dapat disebut sebagai
pariwisata air.
Definisi luas tentang pariwisata yaitu perjalanan dari suatu tempat ke tempat lain
yang bersifat sementara dan dilakukan oleh perorangan maupun kelompok sebagai usaha
untuk mencari keseimbangan atau keserasian dan kebahagiaan dengan lingkungan hidup
dan dimensi sosial, budaya, alam dan ilmu (Kodhyat dalam Spillane, 1987:35).
Dalam UU No.10/2009 tentang kepariwisataan , dinyatakan bahwa pariwisata
adalah Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas
serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha, Pemerintah, dan Pemerintah
Daerah. Dalam undang – undang yang sama dinyatakan bahwa kepariwisataan adalah
keseluruhan kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta
multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi
antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan, Pemerintah, Pemerintah
Daerah, dan pengusaha.
Dari beberapa pengertian yang telah disebutkan di atas pada dasarnya pariwisata
timbul sebagai akibat dari aktivitas manusia yang berkaitan dengan kebutuhan manusia
yaitu perjalanan. Perjalanan yang dilakukan adalah bersifat sementara waktu, tidak untuk
melakukan pekerjaan tetap dan tidak dalam usaha untuk mencari upah/nafkah.
4.2. Potensi Wisata
Dalam perekonomian masyarakat yang sedang berkembang, arti kebudayaan dalam
keseluruhannya akan terkait juga dengan identitas masyarakat yang menghasilkannya.
Masalah tersebut menjadi perlu mendapat perhatian jika dikaitkan dengan dan dimasukkan
dalam perspektif pembinaan persatuan dan kesatuan bangsa, tidak terkecuali bagi kita,
sebagai masyarakat post-colonial, kebudayaan yang merupakan bagian inti mempunyai
peran dannilai-nilai atau konsep-konsep dasar yang memberikan arah bagi berbagai
tindakan.
Nilai-nilai budaya bercitra Indonesia karena dipadu dengan nilai-nilai lain yang
sesungguhnya diderivasikan dari nilai-nilai budaya lama yang terdapat dalam berbagai
sistern budaya etnik local.Kearifan lokal pada dasarnya dapat dipandang sebagai landasan
bagi pernbentukan jatidiri bangsa secaranasional.Kearifan-kearifan lokal merupakan
indikator yang membuat suatu budaya bangsa memiliki akar.Pengembangan pariwisata
kerakyatan yang relevan dan kontekstual memiliki arti penting bagi berkembangnyasuatu
bangsa.Dalam sudut ketahanan budaya, di samping juga mempunyai arti penting bagi
identitas daerah itu sendiri.Karya-karya seni budaya yang digali dan sumber-sumber lokal
menjadi potensi yang mampu membangkitkan potensi pada sektor ekonomi pariwisata dari
berbagai pengaruh yang merintangi jalan berkembangnya sektor ini. Beberapa faktor yang
menentukan dari kearifan lokal yang menjadikannya berpotensi untuk dijadikan daya tarik
wisata, bisa ditinjau dari sudut ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi (Kallayanamitra,
2012: 8):
- Bernilai ekonomis bagi wisatawan (produk unik dan harga yang murah)
- Pengembangan pariwisata berbasis kemasyarakatan(keunikan sosial)
- Pengembangan budaya lokal (mengangkat budaya khas suatu daerah)
- Kelestarian alam (menyajikan keindahan desa atau alam)
4.3. Pariwisata Kerakyatan
Prinsip dasar kepariwisataan berbasis masyarakat adalah menempatkan masyarakat
sebagai pelaku utama melalui pemberdayaan masyarakat dalam berbagai kegiatan
kepariwisataan, sehingga kemanfaatan kepariwisataan sebesar-besarnya diperuntukkan
bagi masyarakat.Sasatan utama pengembangan kepariwisataan haruslah meningkatkan
kesejahteraan masyarakat (setempat).Konsep Community Based Development lazimnya
digunakan oleh para perancang pembangunan pariwisata srategi untuk memobilisasi
komunitas untuk berpartisipasi secara aktif dalam pembangunan sebagai patner industri
pariwisata.Tujuan yang ingin diraih adalah pemberdayaan sosial ekonomi komunitas itu
sendiri dan meletakkan nilai lebih dalam berpariwisata, khususnya kepada para wisatawan.
Community Based Development adalah konsep yang menekankan kepada pemberdayaan
komunitas untuk menjadi lebih memahami nilai-nilai dan aset yang mereka miliki, seperti
kebudayaan, adat istiadat, masakan kuliner, gaya hidup. Dalam konteks pembangunan
wisata, komunitas tersebut haruslah secara mandiri melakukan mobilisasi asset dan nilai
tersebut menjadi daya tarik utama bagi pengalaman berwisata wisatawan.Melalui konsep
Community Based Tourism, setiap individu dalam komunitas diarahkan untuk menjadi
bagian dalam rantai ekonomi pariwisata, untuk itu para individu diberi keterampilan untuk
mengembangkan small business.
Menurut Suansri (2003) ada beberapa prinsip dari community based tourism yang
harus dilakukan yaitu sebagai berikut :
1. Mengenali, mendukung, dan mempromosikan kepemilikan masyarakat dalam
pariwisata.
2. Melibatkan anggota masyarakat dari setiap tahap pengembangan pariwisata dalam
berbagai aspeknya.
3. Mempromosikan kebanggaan terhadap komunitas bersangkutan.
4. Meningkatkan kualitas kehidupan.
5. Menjamin keberlanjutan lingkungan.
6. Melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat lokal.
7. Mengembangkan pembelajaran lintas budaya.
8. Menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia.
9. Mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional
kepada anggota masyarakat.
10. Memberikan kontribusi dengan presentase tertentu dari pendapatan yang diperoleh
untuk proyek pengembangan masyarakat.
11. Menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya.
Dalam pembangunan community based tourism ada 5 aspek yang harus diberdayakan,
yakni :
1) sosial asset yang dimiliki oleh komunitas tersebut, seperti : budaya, adat-istiadat,
sosial network, gaya hidup;
2) sarana dan prasarana, bagaimana sarana dan prasaran objek wisata tersebut apakah
sudah ideal dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan;
3) organisasi, apakah telah ada organisasi masyarakat yang mampu secara mandiri
mengelola objek dan daya tarik wisata tersebut;
4) aktivitas ekonomi, bagaimanakan aktivitas ekonomi dalam rantai ekonomi
pariwisata di komunitras tersebut, apakah secara empiris telah menimbulkan
distrinbution economic benefit di antara penduduk lokal, ataukah manfaat tersebut
masih dinikmakti oleh kelompok-kelompok tertentu;
5) proses pembelajaran, satu hal yang tak kalah pentingnya dari komunitas tersebut
dalam mewujudkan objek dan daya tarik wisata.
Meskipun menuntut banyak prasyarat dan prakondisi, pergulatan untuk menjadikan
perkembangan pariwisata dunia berkelanjutan (sustainable) bagi negara-negara Dunia III
melalui pembangunan pariwisata berbasis komunitas bukan hanya merupakan sebuah
harapan melainkan sebuah peluang. Ia memperoleh rasionalnya di dalam properti dan ciri-
ciri unik yang dimilikinya, yang antara lain dan terutama meliputi paling sedikit empat hal
berikut (Nasikun, 2001):
1. Pertama, oleh karena karakternya yang lebih mudah diorganisasi di dalam skala
yang kecil, jenis pariwisata ini pada dasarnya merupakan suatu jenis pariwisata
yang bersahabat dengan lingkungan, secara ekologis aman, dan tidak menimbulkan
banyak dampak negatif seperti yang dihasilkan oleh jenis pariwisata konvensional
yang berskala massif.
2. Kedua, pariwisata berbasis komunitas memiliki peluang lebih mampu
mengembangkan obyek-obyek dan atraksi-atraksi wisata berskala kecil, dan oleh
karena itu dapat dikelola oleh komunitas-komunitas dan pengusaha-pengusaha
lokal, menimbulkan dampak sosial-kultural yang minimal, dan dengan demikian
memiliki peluang yang lebih besar untuk diterima oleh masyarakat.
3. Ketiga, berkaitan sangat erat dan sebagai konsekuensi dari keduanya, lebih dari
pariwisata konvensional yang bersifat massif pariwisata alternatif yang berbasis
komunitas memberikan peluang yang lebih besar bagi partisipasi komunitas lokal
untuk melibatkan diri di dalam proses pengambilan keputusankeputusan dan di
dalam menikmati keuntungan perkembangan industri pariwisata, dan oleh karena
itu lebih memberdayakan masyarakat.
4. Keempat, “last but not least”, pariwisata alternatif yang berbasis komunitas tidak
hanya memberikan tekanan pada pentingnya “keberlanjutan kultural” (cultural
sustainability), akan tetapi secara aktif bahkan berupaya membangkitkan
penghormatan para wisatawan pada kebudayaan lokal, antara lain melalui
pendidikan dan pengembangan organisasi wisatawan.
Dalam pembangunan pariwisata berbasis komunitas, yang terpenting adalah bagaimana
memaksimalkan peran serta masyarakat dalam berbagai aspek pembangunan pariwisata itu
sendiri. Masyarakat diposisikan sebagai penentu, serta keterlibatan maksimal masyarakat
mulai dari proses perencanaan sampai kepada pelaksanaannya. Masyarakat berhak
menolak jika ternyata pengembangan yang dilakukan tidaklah sesuai dengan kepentingan
dan kebutuhan masyarakat itu sendiri.
Dengan demikian tidaklah berlebihan pariwisata berbasis masyarakat dijadikan sebagai
salah satu bentuk paradigma baru pembangunan pariwisata yang mengusung prinsip-
prinsip pembangunan berkelanjutan (Sustainable Development) demi pencapaian
pendistribusian kesejahteraan rakyat secara lebih merata.
Model pendekatan masyarakat (community approach) menjadi standar baku bagi
proses pengembangan pariwisata di daerah pinggiran, dimana melibatkan masyarakat
didalamnya adalah faktor yang sangat penting bagi kesuksessan produk wisata. D’amore
memberikan guidelines model bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat, yakni;
Mengidentifikasi prioritas pembangunan yang dilakukan penduduk lokal (resident),
Mempromosikan dan mendorong penduduk local, Pelibatan penduduk lokal dalam
industry, Investasi modal lokal atau wirausaha sangat dibutuhkan, Partisipasi penduduk
dalam event-event dan kegiatan yang luas, Produk wisata untuk menggambarkan identitas
local, Mengatasi problem-problem yang muncul sebelum pengembangan yang lebih jauh
Poin-poin diatas merupakan ringkasan dari community approach.Masyarakat lokal harus
“dilibatkan”, sehingga mereka tidak hanya dapat menikmati keuntungan pariwisata dan
selanjunya mendukung pengembangan pariwisata yang mana masyarakat dapat
memberikan pelajaran dan menjelaskan secara lebih rinci mengenai sejarah dan keunikan
yang dimiliki.
Kemudian pada 1990-an, seiring dengan pengembangan interest dalam
mengembangkan produk pariwisata yang berkesinambungan, kebutuhan untuk
menggunakan bentuk partisipasi masyarakat menjadi sesuatu yang sangat urgen. Bentuk
partisipasi masyarakat menjadi esensil bagi pencapaian pariwisata yang berkelanjutan dan
bagi realisasi pariwisata yang berkualitas.Getz dan Jamal (1994) mengembangkan pondasi
teorintis pelibatan masyarakat dalam perencanaan dan pengembangan pariwisata dan
menganalisis watak dan tujuan dari model kolaborasi (collaboration) yang berbeda dari
model kerjasama (cooperation). Mereka berdua mendefinisikan kolaborasi sebagai “sebuah
proses pembuatan keputusan bersama diantara stakeholders otonom dari domain
interorganisasi untuk memecahkan problem-problem atau me-manage isu yang berkaitan
dengan pariwisata (Getz dan Jamal, 1994: 155). Proses kolaborasi meliputi ; 1) Problem
Setting dengan mengidentifikasi stakeholders kunci dan isu-isu. 2) Direction Setting
dengan berbagi interpretasi kolaboratif, mengapresiasi tujuan umum. 3) strukturisasi dan
implementasikan, 4) institusionalisasi.
Pariwisata kerakyatan merupakan konsep pariwisata alternatif sebagai antisipasi
teerhadap pariwisata konvensional. Pariwisata alternatif (alternative tourism) mempunyai
pengertian ganda, di satu sisi dianggap sebagai salah satu bentuk kepariwisataan yang
ditimbulkan sebagai reaksi terhadap dampak-dampak negatif dari pengembangan
pariwisata konvensional. Di sisi lain dianggap sebagai bentuk kepariwisataan yang berbeda
dari pariwisata konvensional untuk menunjang kelestarian lingkungan (Kodyat, 1997).
Ekowisata merupakan salah satu kegiatan pariwisatayang berwawasan lingkungan
dengan mengutamakan aspek konservasi alam, aspek pemberdayaan sosial budaya
ekonomi masyarakat lokal serta aspek pembelajaran dan pendidikan (id.wikipedia.org).
Ekowisata dimulai ketika dirasakan adanya dampak negatif pada kegiatan pariwisata
konvensional.Dampak negatif ini bukan hanya dikemukakan dan dibuktikan oleh para ahli
lingkungan tapi juga para budayawan, tokoh masyarakat dan pelaku bisnis pariwisata itu
sendiri.Dampak berupa kerusakan lingkungan, terpengaruhnya budaya lokal secara tidak
terkontrol, berkurangnya peran masyarakat setempat dan persaingan bisnis yang mulai
mengancam lingkungan, budaya dan ekonomi masyarakat setempat, serta banyak lagi efek
negatif lainnya.
Local genius dan kearifan lokal mengambil peranan penting dalam pengembangan
ekowisata. Dalam disiplin antropologi dikenal istilah local genius, Local genius ini
merupakan istilah yang mula pertama dikenalkan oleh Quaritch Wales. Para antropolog
membahas secara panjang lebar pengertian local genius ini (lihat Ayatrohaedi, 1986).
Antara lain Haryati Soebadio mengatakan bahwa localgenius adalah juga cultural identity,
identitas/kepribadian budaya bangsa yang menyebabkan bangsa tersebut mampu menyerap
dan mengolah kebudayaan asingsesuai watak dan kemampuan sendiri (Ayatrohaedi,
1986:18-19).
Sementara Moendardjito (dalam Ayatrohaedi, 1986:40-41) mengatakan bahwa
unsur budaya daerah potensial sebagai local genius karena telah teruji kemampuannya
untuk bertahan sampai sekarang. Beberapa contoh yang bisa mendukung pernyataan
tersebut, yaitu:
1. mampu bertahan terhadap budaya luar.
2. memiliki kemampuan mengakomodasi unsur-unsur budaya luar.
3. mempunyai kemampuan mengintegrasikan unsur budaya luar ke dalam budaya asli.
4. mempunyai kemampuan mengendalikan.
5. mampu memberi arah pada perkembangan budaya.
Beberapa bentuk kearifan lokal yang berkaitan dengan pelestarian alam juga
diungkapkan oleh Prof. Nyoman Sirtha dalam “Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali”
dalam http://www.balipost.co.id (2003), bentuk-bentuk kearifan lokal dalam masyarakat
dapat berupa: nilai, norma, etika, kepercayaan, adat-istiadat, hukum adat, dan aturan-aturan
khusus. Oleh karena bentuknya yang bermacam-macam dan ia hidup dalam aneka budaya
masyarakat maka fungsinya menjadi bermacam-macam. Beberapa fungsi dan makna
kearifan lokal, yaitu:
1. Berfungsi untuk konservasi dan pelestarian sumber daya alam.
2. Berfungsi untuk pengembangan sumber daya manusia, misalnya berkaitan
dengan upacara daur hidup, konsep kanda pat rate.
3. Berfungsi untuk pengembangan kebudayaan dan ilmu pengetahuan, misalnya pada
upacara saraswati, kepercayaan dan pemujaan pada pura Panji.
4. Berfungsi sebagai petuah, kepercayaan, sastra dan pantangan.
5. Bermakna sosial misalnya upacara integrasi komunal/kerabat.
6. Bermakna sosial, misalnya pada upacara daur pertanian.
7. Bermakna etika dan moral, yang terwujud dalam upacara Ngaben dan penyucian roh
leluhur.
8. Bermakna politik, misalnya upacara nangluk merana dan kekuasaan patron Client
Sejumlah kasus pengelolaan pariwisata berbasis alam telah menjadi pelajaran yang
berharga bagi hubungan antara manusia dengan lingkungan. Rodger et al. (2007)
menyoroti kebutuhan untuk lebih memahami pertemuan antara pengunjung dan satwa liar.
Mereka mencatat bahwa pemahaman tentang konteks sosial dan lingkungan, pariwisata
satwa liar umumnya harus memberikan kontribusi penting bagi keberlanjutan satwa liar.
Wells (1997) membedakan antara dampak ekonomi dari wisata alam, yang ia
mendefinisikan sebagai jumlah uang yang dihabiskan oleh alam turis dalam perekonomian
tentang wisata, akomodasi, makanan, souvenir, dll, dan nilai ekonomi total, yang meliputi
manfaat ekonomi luas, konservasi yang dapat dikaitkan dengan tujuan wisata alam.
Penggunaan langsung oleh wisatawan adalah hanya salah satu dari nilai-nilai ekonomi
yang mengalir dari tujuan wisata alam '(Wells, 1997).
Dari penjelasan fungsi-fungsi tersebut tampak betapa luas ranah kearifan lokal,
mulai dari yang sifatnya sangat teologis sampai yang sangat pragmatis dan teknis. Pada
kenyataannya semua hal dalam kehidupan masyarakat Hindu-Bali khususnya, tidak bisa
lepas dari peranan kearifan lokal.
Pariwisata kerakyatan hendaknya pengetahuan dasar yang diperoleh dari hidup
dalam menjaga keseimbangan alam. Hal ini terkait dengan budaya dalam
masyarakat yang terakumulasi dan diteruskan. Kebijaksanaan ini dapat menjadi abstrak
dan konkret, tetapi karakteristik penting adalah bahwa itu berasal dari pengalaman atau
kebenaran yang diperoleh dari kehidupan. Kebijaksanaa yang nyata dari pengalaman
mengintegrasikan tubuh, jiwa dan lingkungan. Ini menekankan menghormati orang yang
lebih tuadan pengalaman kehidupan mereka. Selain itu, nilai-nilai moral lebih dari hal-hal
materi (Nakorntap etal. dalam Mungmachon, 2012: 176).
Penerapan pariwisata kerakyatan pada sektor ekowisata di era globalisasi,
merupakan masalah terbesar manusia untuk dihadapi zaman sekarang, dimana adanya
ketidakmampuan untuk mengoptimalkan pelestarian alam. Kemampuan ini dapat berasal
dari menggunakan kearifan lokal. Masyarakat yang tinggal dikota-kota modern harus
mempelajari kearifan lokal lama dan disesuaikan dengan keadaan mereka (Na Thalang
dalam Mungmachon, 2001: 177). Masalah yang ditimbulkan oleh globalisasi
memprovokasi banyak orang untuk mencari cara-cara untuk lebih baik mengelola hidup
mereka. Ini merupakan cara berbeda tergantung pada pilihan yang dibuat oleh individu.
Sifat yang bijaksana dan berpengetahuan yang sangat diperlukan untuk penelitian ini,
sehingga memungkinkan untuk memilih kerangka yang tepat bagi masyarakat untuk
belajar hidup bertanggung jawab dan bijaksana. Selain itu, efek langsung adalah hanya
salah satu dari tiga kelas efek multiplier dalam perekonomian: dua lainnya adalah efek
tidak langsung yang timbul dari pendirian yang menerima barang pembelian pengeluaran
wisatawan dan jasa dari sektor-sektor lain dalam ekonomi lokal; dan efek yang terjadi dari
penduduk lokal menghabiskan mereka upah, gaji, laba didistribusikan, sewa dan bunga atas
barang dan jasa dalam perekonomian lokal (Cooper et al., 1998) diinduksi.
Dengan pendayagunaan aspek sosial, budaya, dan pelestarian pada lingkungan
berbasis ekowisata, maka akan bisa meningkatkan minat bagi wisatawan untuk
mengunjungi suatu objek wisata. Akan menambah nilai tersendiri bagi masyarakat Bali
umumnya, bahwa perekenomian yang berkembang dan bermutu adalah perekonomian
yang selalu berpegang pada dasar penjagaan lingkungan yang menjadi penggerak
pariwisata kerakyatan.
4.4. Pembangunan Ekonomi Pariwisata
Pariwisata seringkali dipersepsikan sebagai mesin ekonomi penghasil devisa bagi
pembangunan ekonomi di suatu negara tidak terkecuali di Indonesia. Namun demikian
pada prinsipnya pariwisata memiliki spektrum fundamental pembangunan yang lebih luas
bagi suatu negara.
Berdasarkan beberapa jenis pengembangan pariwisata oleh Pearce (1992), destinasi
merupakan gabungan dari produk dan pelayanan yang tersedia di satu lokasi yang dapat
menarik pengunjung diluar wilayah bersangkutan.
Franch and Martini menjelaskan pengertian manajemen destinasi: as the strategic,
organizational and operative decisions taken to manage the process of definition,
promotion and commercialisation of the tourism product [originating from within the
destination], to generate manageable flows of incoming tourists that are balanced,
sustainable and sufficient to meet the economic needs of the local actors involved in the
destination (2002:5). Inti pemikiran diatas menegaskan bahwa manajemen destinasi
berkenaan dengan keputusan strategis, organisasional dan operatif yang dilakukan untuk
mengelola proses pendefinisian, promosi dan komersialisasi produk pariwisata untuk
mewujudkan arus turis yang seimbang, berkelanjutan dan berkecukupan untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi disuatu destinasi. Segala sesuatau yang berhubungan dengan
pengembangan, pemasaran, layanan dan aktivitas pendukung harus diidentifikasi secara
tepat sesuai dengan hal-hal yang dibutuhkan dalam perencanaan wisata. Perencanaan
tersebut tentunya jangan sampai menghilangkan keunikan dari kawasan wisata, yaitu
pemandangan alam, kawasan perairan, taman-taman, dan lain-lain. Diharapkan secara
bersama-sama, para pelaku tersebut dapat membangun serta mengembangkan elemen-
elemen kepariwisataan sesuai dengan peran, tanggungjawab, dan motivasi masing-masing.
Pariwisata akan terwujud dengan adanya suasana dan fasilitas pendukung,
lingkungan alam dan sosial ekonomi serta masyarakat dan pengunjung dengan berbagai
macam ketertarikan. Ada lima pendekatan untuk perencanaan wisata yang diidentifikasikan
oleh para ahli. Lima pendekatan ini dapat diterapkan pula dalam perencanaan wisata air.
Empat diantaranya dikemukakan oleh Getz (1987:45) dan ditambah lagi satu pendekatan
yang dikemukakan oleh Page (1995:185). Pendekatan-pendekatan tersebut dapat diuraikan
sebagai berikut:
1. Boosterism. Merupakan suatu pendekatan sederhana yang melihat pariwisata sebagai
suatu atribut positif untuk suatu tempat dan penghuninya. Obyek-obyek yang terdapat
di suatu lingkungan ditawarkan sebagai aset bagi pengembangan kepariwisataan tanpa
memperhatikan dampaknya, yang menurut Hall (1991:22) nyaris dapat dikatakan
bukan sebagai suatu bentuk dari perencanaan pariwisata. Masyarakat setempat tidak
dilibatkan dalam proses perencanaan dan daya dukung wilayah yang ada tidak begitu
dipertimbangkan.
2. The Economic-Industry Approach. Pendekatan ini merupakan pendekatan yang sangat
luas digunakan oleh kota-kota yang menganggap pariwisata sebagai suatu industri
yang dapat mendatangkan manfaat-manfaat ekonomi bersama-sama dengan
penciptaan lapangan kerja serta munculnya kesempatan- kesempatan dalam
pembangunan. Konsep pariwisata dengan pendekatan ini adalah sebagai suatu ekspor
bagi sistem perkotaan, dan pemasaran digunakan untuk menarik pengunjung yang
merupakan pembelanja tertinggi. Tujuan-tujuan ekonomi lebih dinomorsatukan
daripada tujuan-tujuan sosial dan lingkungan, yaitu dengan menetapkan sasaran utama
berupa pengalaman menarik bagi pengunjung dan tingkat kepuasan yang dialami oleh
para wisatawan.
3. The Physical-Spatial Approach Pendekatan ini didasarkan pada tradisi “penggunaan
lahan” geografis dan perencana- perencana dengan pendekatan rasional untuk
perencanaan lingkungan perkotaan. Kepariwisataan dilihat di dalam suatu range
konteks, tetapi dimensi lingkungan dianggap juga sebagai isu kritis dari daya dukung
sumber daya wisata di dalam kota. Strategi-strategi perencanaan yang berbeda
berdasarkan prinsip-prinsip keruangan digunakan di sini, misalnya pengelompokan
pengunjung di kawasan-kawasan utama, atau pemecahan untuk menghindarkan terlalu
terkonsentrasinya pengunjung di satu kawasan, dan pemecahan untuk menghindarkan
kemungkinan terjadinya konflik-konflik. Hanya saja satu kritik bagi pendekatan ini
adalah masih kurang mempertimbangkan dampak sosial dan kultural dari wisata
perkotaan.
4. The Community Approach Merupakan pendekatan yang lebih menekankan pada
pentingnya keterlibatan maksimal dari masyarakat setempat di dalam proses
perencanaan. Perencanaan tradisional top-down, dimana perencana menetapkan
agenda yang perlu dimodifikasi untuk memasukkan kebutuhan dan keinginan
masyarakat lokal di dalam proses perencanaan dan penentuan keputusan. Jadi,
community tourism planning ini menganggap penting suatu pedoman pengembangan
pariwisata yang dapat diterima secara sosial (social acceptable). Pendekatan ini
menekankan pada pentingnya manfaat-manfaat sosial dan kultural bagi masyarakat
lokal bersama-sama dengan suatu range pertimbangan ekonomi dan lingkungan.
Menurut Haywood (1988), dalam penerapan rencana, “bentuk politis” dari proses
perencanaan tersebut seringkali terjadi penurunan derajat misalnya dari kemitraan
(partnership) menjadi penghargaan (tokenism).
5. Sustainable Approach (Sustainable tourism planning)Pendekatan ini adalah
pendekatan yang diidentifikasi oleh Page, merupakan pendekatan keberlanjutan
berkepentingan dengan masa depan yang panjang atas sumber daya dan efek-efek
pembangunan ekonomi pada lingkungan yang mungkin juga menyebabkan gangguan
kultural dan sosial untuk memantapkan pola-pola kehidupan dan gaya hidup
individual. Dalam konteks perencanaan pariwisata, pembangunan berkelanjutan
didasarkan pada beberapa prinsip yang ditetapkan oleh the World Commission on the
Environment and Development (the Brundtland Commission) pada tahun 1987 yang
menurut Hall (1991) berhubungan dengan eguity, the needs of economically marginal
populations, and the idea of technological and social limitations on the ability of the
environment to meet present and future needs.
Untuk menindaklanjuti adanya beberapa prinsip tersebut diatas, Dutton dan Hall
(1989) mengidentifikasikan mekanisme-mekanisme yang dapat digunakan sebagai
pedoman pencapaian suatu pendekatan berkelanjutan yang realistik untuk perencanaan
pariwisata, yaitu sebagai berikut:
1. Mendorong kerjasama dan saling perhatian untuk meningkatkan manfaat dari setiap
pendekatan, sehingga perencanaan pariwisata harus kooperatif dan didasarkan pada
sistem pengendalian terpadu.
2. Mengembangkan mekanisme koordinasi industri.
3. Meningkatkan kepedulian konsumen mengenai pilihan-pilihan yang berkelanjutan
dan tidak-berkelanjutan, termasuk manfaat-manfaat dari manajemen pengunjung.
4. Meningkatkan kepedulian produsen atas manfaat-manfaat perencanaan pariwisata
yang berkelanjutan.
5. Menggantikan pendekatan-pendekatan perencanaan konvensional dengan
perencanaan strategik, untuk ini disyaratkan semua pihak yang berkepentingan
membuat komitmen yang pasti untuk tujuan-tujuan yang berkelanjutan.
6. Memberi perhatian yang lebih besar atas keperluan perencanaan kualitas
pengalaman wisatawan, dengan suatu pandangan atas keberlanjutan jangka
panjang dari produk wisata, bersama-sama dengan memantapkan atraksi dari
kawasan tujuan wisata. Pariwisata berkelanjutan dapat dikatakan sebagai
pembangunan yang mendukung secara ekologis sekaligus layak secara ekonomi,
juga adil secara etika dan sosial terhadap masyarakat. Artinya, pembangunan
pariwisata berkelanjutan merupakan upaya terpadu dan terorganisasi untuk
mengembangkan kualitas hidup dengan cara mengatur penyediaan, pengembangan,
pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya alam dan budaya secara
berkelanjutan. Pariwisata berkelanjutan dapat didefinisikan sebagai pembangunan
kepariwisataan yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan dengan tetap
memperhatikan kelestarian lingkungan dan memberi manfaat baik bagi generasi
sekarang maupun generasi yang akan datang (Puslitbang BP. Budpar, 2003).
Pariwisata budaya mempunyai peran penting dalam membantu masyarakat lokal
mencapai potensi penuh mereka. Adanya kesepakatan tentang tantangan dan peluang yang
dihadapi masyarakat setempat dalam menggunakan pariwisata sebagai alat untuk
pengembangan ekonomi, budaya dan sosial. Pemerintah perlu aktif membantu masyarakat
lokal untuk mencapai pembangunan pariwisata berkelanjutan. Menurut laporan Konferensi
Internasional WTO (2006: 21-23) tentang pariwisata budaya dan komunitas lokal, terdapat
beberapa unsur yang direkomendasikan untuk memperluas penggunaan pariwisata budaya
sebagai alat yang efektif dalam pembangunan ekonomi lokal, yaitu:
1. Membantu masyarakat dan pejabat publik dalam memahami sifat sistem pariwisata
alam.
2. Membantu masyarakat dan pejabat publik agar bisa menentukan pengalaman
pengunjung dengan lebih baik.
3. Mengadopsi proses analisis dan dokumentasi yang menyangkut masyarakat yang
memiliki beragam ukuran.
4. Mengembangkan proyek interdisipliner meneliti isu yang membawa kapasitas dan
batasan-batasan dalam pertumbuhan.
5. Meningkatkan basis pengetahuan yang ada tentang pariwisata budaya dan masyarakat
lokal.
6. Mengembangkan perencanaan berbasis masyarakatdan teknik manajemen.
7. Mengembangkan kasus persatuan pariwisata budaya berbasis bantuan masyarakat.
8. Mengadaptasikan model tujuan wisata kewisata budaya di masyarakat daerah.
Dari penjelasan tersebut dapat diuraikan, bahwa masyarakat memiliki kendali
utama dalam pengembangan sektor pariwisata yang berbasis ekowisata. Sebagian besar
fasilitas wisata disediakan oleh masyarakat, dimana semua fasilitas tersebut saling
berkaitan antara yang satu dengan yang lainnya. Apabila semua ruang lingkup bersatu
padu, maka system ekonomi pariwisata yang berkelanjutan akan berjalan dengan baik.
Masyarakatlah pemegang kunci utama perkembangan ekonomi pariwisata berbasis
ekowisata. Dapat dikatakan bahwa masyarakat berperan sebagai jumlah keseluruhan
pengalaman wisatawan yang berwisata pada suatu daerah.
Berdasarkan beberapa wacana dalam konferensi tersebut, maka peran pariwisata
kerakyatan dalam pembangunan ekonomi pariwisata , dapat dijabarkan sebagai berikut:
- Penambahan pada pendapatan penduduk lokal
- Adanya banyak peluang bagi penduduk yang masih remaja maupun yang belum
bekerja
- Menyebabkan peningkatan permintaan produk lokal
- Adanya budaya revitalisasi
- Menyebabkan peningkatan kebanggaan masyarakat
- Peningkatan kapasitas dalam pengambilan keputusan masyarakat
4.5. Penelitian sebelumnya
Konferensi internasional WTO (2006) melaporkan tentang “Pariwisata Budaya dan
Komunitas Lokal telah meneliti dan menghasilkan suatu deskripsi tentang peluang yang
ditawarkan oleh kegiatan wisata budaya berkelanjutan untuk kontribusi ekonomin
pembangunan; kewajiban etis untuk berkontribusi pada pengentasan kemiskinan, dan
kebutuhan untuk melestarikan nilai-nilai spiritual, seni dan budaya situs warisan dan tradisi
yang ada disemua negara.Dari sudut pandang komunitas, tujuan penting dari pembangunan
pariwisata diharapkan bisa menghasilkan tingkat pendapatan yang lebih tinggi,
menciptakan lapangan kerja baru, dan meningkatkan arus devisa. Setiap perkembangan
tersebut juga diharapkan bisa melindungi lingkungan dan terutama budaya lokal,
wisatawan yang tertarik di tempat pertama yang mereka kunjungi. Potensi wisata budaya di
masyarakat lokal diharapkan bisa menjadi pertimbangan utama dalam diskusi mengenai
kebijakan tentang pengentasan kemiskinan.
Vipriyanti (2008) meneliti mengenai “Banjar Adat dan Kearifan Lokal”, yang
menjelaskan tentang norma ketegasan adalah faktor yang paling penting untuk sukses dari
Bali untuk mempertahankan ruang publik yang dikelola oleh masyarakat. Ketegasan norma
cenderung untuk mendorong kelanjutan kegiatan dalam kehidupan sosial, sumber daya,
dan pelestarian lingkungan hidup, serta kepercayaan pada Tuhan. Frekuensi dalam kegiatan
umum di Bali pada masing-masing banjar adat minimal 12 kali selama enam bulan. Ini
membuat fungsi kontrol sosial secara efektif terutama pada perilaku anggota banjar adat
yang menyimpang atau kerusakan pada sumber daya properti umum yang memiliki oleh
banjar adat.
Secara garis besar kegiatan pariwisata didominasi pertukaran barang dari daerah
asal menuju ke daerah tujuan wisata. Dengan kondisi ini seharusnya perkembangan
kegiatan ekonomi tidak hanya berlangsung di sumber wisatawan tetapi juga terjadi di
daerah tujuan wisatawan. Namun, ini dampak positif dari pengganda ekonomi hanya
merupakan cerminan sebagian dari nilai ekonomi total wisata alam karena ada juga nilai-
nilai non-penggunaan yang signifikan untuk menambahkan ke dalam persamaan. Nilai-
nilai ini termasuk nilai eksistensi yang merupakan jumlah individu akan siap untuk
membayar untuk mengetahui bahwa daerah atau spesies terus ada (Tisdell, 2003).
Penelitian Pendleton dan Rooke (2006) menunjukkan bahwa nilai-nilai non-pasar untuk
scuba-diving atau snorkeling hari di perairan hangat rangers dari US $ 3 sampai US $ 199
per hari untuk snorkeling dan US $ 31 sampai US $ 319 per hari untuk scuba-diving,
dengan surplus konsumen untuk non-penduduk umumnya melebihi bahwa bagi warga
mereka mengutip karya leeworthy et al. Dengan cara yang sama bahwa efek langsung dan
tidak langsung dapat dilihat dalam manfaat ekonomi pariwisata satwa laut demikian juga,
yang mereka terwujud dalam biaya membangun dan mempertahankan tujuan wisata alam
dan atraksi. Biaya langsung adalah mereka yang terlibat dalam 'pembelian tanah,
penyusunan rencana pengelolaan, belanja modal, pengembangan dan pemeliharaan jalan
dan fasilitas, dan semua manajemen dan administrasi biaya berulang' (Wells, 1997, hal.
21).
Biaya tidak langsung menyangkut dampak negatif yang timbul, seperti kerusakan
properti atau cedera pribadi yang disebabkan oleh satwa liar. Sementara ini mungkin
kurang jelas daripada di lokasi terestrial mana kerusakan tanaman dan predasi ternak di
pinggiran Taman Nasional telah banyak didokumentasikan (lihat, misalnya Newmarket al.,
1994).
Keprihatinan menggambarkan kekuatan diferensial nyata tidak hanya antara
berbagai jenis pemangku kepentingan tetapi juga di dalam masyarakat lokal itu sendiri, itu
jauh dari membangun homogen dan, sebagai Burkey (1993) berpendapat, ada kebutuhan
untuk mengungkap model keharmonisan masyarakat hidup. Anggota masyarakat
dibedakan oleh etnis, kelas, jenis kelamin dan usia.
Tidak hanya ada ditandai perpecahan antara orang-orang di masyarakat dengan
status istimewa dan miskin, tetapi bahkan di antara orang miskin, baris divisi yang tajam
ditarik sesuai dengan acces ke sumber daya, pasar dan lapangan kerja, baik formal maupun
informal. Dalam kasus perikanan pesisir di negara-negara berkembang, misalnya,
situasinya mungkin mirip dengan yang dijelaskan oleh Ellis dan Allison (2004) untuk
danau dan lahan basah di Afrika di mana rumah tangga wealtheir aset sendiri yang
berkaitan dengan perikanan (kapal, jaring, perangkap), serta lahan pesisir dan bisnis, dan
mungkin memiliki kontrol atas daerah memancing terbaik.
Salah satu cara di mana marginalisasi lapisan masyarakat, termasuk orang tua dan
cacat, dapat berbagi di ambil dari pendapatan ekowisata adalah melalui penjualan
cinderamata wisata. Healy (1994) merangkum keuntungan dari rumah dan produksi
kerajinan berbasis desa di bawah lima judul: kompatibilitas dengan kegiatan pedesaan;
manfaat ekonomi (khususnya distribusi yang lebih adil); pengembangan produk,
keberlanjutan; dan pendidikan wisata.
Mungmachon (2012) dalam penelitiannya yang mempunyai tema “Pengetahuan dan
Kearifan Lokal”, menjabarkan bahwa terabaikan pentingnya pengetahuan dan kearifan
lokal. Dalam usia pendidikan sekolah, pengembangan globalisasi berfokus pada
pertumbuhan ekonomi. Penelitian ini menguji pengetahuan dankearifan lokal di
masyarakat dengan masalah akibat pembangunan. Hasil dari penelitian ini adalah bahwa
orang-orang tidak sadar karena pengaruh yang masuk dan kemudian menyebar di dalam
masyarakat. Pengaruh ini menyebabkan banyak masalah lingkungan dan sosial, termasuk
hilangnya pengetahuan tradisional dan kearifan. Era globalisasi telah tiba, namun dampak
negatif yang dirasakan. masalah mereka perlu dipelajari secara kolektif untuk memulihkan
kearifan tradisional dan pengetahuan yang tetap,dan mengintegrasikan pengetahuan baru.
Kemasyarakatan merupakan suatu kekayaan, dan memiliki dampak lingkungan dan sosial
yang positif.
Sutarso (2012: 505) menyampaikan tentang kaitan kearifan lokal dengan dunia
pariwisata dengan tema “Menggagas Pariwisata Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal”,
yang memberikan pendapat bahwa nilai lokal disamping mampu menginspirasi tumbuhnya
kearifan lokal (local indigeneus), di satu sisi tumbuh menjadi nilai-nilai kehidupan yang
memberi makna pada kehidupan dan interaksi sesama mereka. Nilai strategis budaya lokal
telah menginpirasi berbagai daerah untuk mengembangkan potensi lokalitas dalam
pengembangan pariwisata. Dengan pertimbangan tersebut, dijelaskan bahwa
pengembangan pariwisata tidak boleh meminggirkan budaya dan spirit lokal.Perlu adanya
gagasan pengembangan pariwisata yang sejalan dengan pengembangan budaya dan
semangat manusia beserta cipta, rasa dan karsanya. Gagasan tersebut dikembangkan
berdasarkan asumsi bahwa pembangunan daya tarik wisata didasarkan pada pembangunan
masyarakat dan budayanya.
BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Profil Pariwisata Nusa Penida
Kabupaten Klungkung merupakan Kabupaten yang paling kecil dari 9 (sembilan)
Kabupaten dan Kodya di Bali, terletak diantara 115 ° 27 ' - 37 '' 8 ° 49 ' 00 ''. Lintang
Selatan dengan batas-batas disebelah utara Kabupaten Bangli. Sebelah Timur Kabupaten
Karangasem, sebelah Barat Kabupaten Gianyar, dan sebelah Selatan Samudra India,
dengan luas : 315 Km ².
Wilayah Kabupaten Klungkung sepertiganya ( 112,16 Km ²) terletak diantara pulau
Bali dan dua pertiganya ( 202,84 Km ² lagi merupakan kepulauan yaitu Nusa Penida, Nusa
Lembongan dan Nusa Ceningan. Menurut penggunaan lahan di Kabupaten Klungkung
terdiri dari lahan sawah 4.013 hektar, lahan kering 9.631 hektar, hutan negara 202 hektar,
perkebunan 10.060 hektar dan lain-lain 7.594 hektar.
Kabupaten Klungkung dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 69 Tahun
1958 tentang Pembentukan Daerah-Daerah Tingkat II Dalam Wilayah Daerah-Daerah
Tingkat I Bali, Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur. Penyelenggaraan
pemerintahan daerah di Kabupaten Klungkung diarahkan untuk mempercepat terwujudnya
kesejahteraan masyarakat Kabupaten Klungkung melalui peningkatan pelayanan,
pemberdayaan, peran serta masyarakat, peningkatan daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan/kekhususan
daerah, serta efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintahan daerah.
Kabupaten Klungkung dewasa ini telah mengalami Perkembangan pembangunan
yang terintegrasi dengan kepentingan masyarakat, hal ini ditandai dengan penyediaan
fasilitas-fasilitas pendukung kegiatan masyarakat mulai dari terbangunnya infrastruktur
Perhubungan, Pertanian, Pendidikan, Kesehatan dan sarana prasarana sosial budaya
lainnya. Hal ini membuktikan bahwa Pemerintah Kabupaten Kungkung telah memberikan
kesempatan kepada masyarakat, pihak swasta, investor untuk berpartisipasi dalam proses
pembangunan, sehingga tercipta masyarakat yang dinamis, kondusif, berkeadilan dan
bermartabat. Hal ini sejalan dengan visi Kabupaten Klungkung yakni :
”TERWUJUDNYA KLUNGKUNG YANG UNGGUL DAN SEJAHTERA”
Dengan pengertian bahwa Kabupaten Klungkung yang selama ini ditopang oleh
potensi yang sangat besar dengan tingkat heterogenitas tinggi serta adat budaya bernilai
luhur, harus mampu dibangun guna mencapai keunggulan daerah dengan kondisi
kesejahteraan wilayah dan masyarakat.
Visi ini menekankan pada minimalisasi gap (jurang pemisah) antar komponen
masyarakat ataupun antar wilayahnya, dengan segala gerak langkah yang merujuk pada
konsep kemitraan-kebersamaan.
Klungkung yang Unggul dan Sejahtera mengandung pengertian wilayah
Kabupaten Klungkung yang memiliki sumber-sumber daya yang unggul (lebih tinggi dari
wilayah lainnya) dengan masyarakatnya yang aman sentosa. Menciptakan Klungkung yang
Unggul dan Sejahtera mengandung pengertian usaha menciptakan keunggulan di sektor
tertentu guna menciptakan masyarakat yang cukup pangan, sandang, papan dan kualitas
hidupnya meningkat secara lahir batin menuju suatu peradaban manusia yang unggul,
sosial ekonomi yang lebih baik, atau yang lebih modern sesuai dengan amanat Pembukaan
UUD 1945.
Klungkung Yang Unggul dimaksudkan terwujudnya Klungkung sebagai pusat
pengembangan kegiatan kesenian dan budaya unggulan daerah yang didukung oleh
kualitas SDM dan sumber sumber daya keunggulan lokal meliputi pengembangan pusat
pasar Bali Timur, menjadikan RSUD Klungkung sebagai pusat rujukan Bali Timur dan
pengembangan potensi sosial ekonomi Nusa Penida sebagai kawasan Wisata terpadu.
Klungkung yang Sejahtera diwujudkan melalui peningkatan kesejahteraan sosial
dan kesejahteraan ekonomi serta daya saing daerah seluruh masyarakat Kabupaten
Klungkung meliputi peningkatan pendapatan perkapita, penurunan angka kemiskinan, dan
peningkatan IPM (peningkatan derajat kesehatan, mutu pendidikan dan paritas daya beli).
Guna mewujudkan visi tersebut diatas maka beberapa misi yang akan dijalankan
adalah:
A. Menguatkan dan meningkatkan eksistensi adat budaya Bali di Kabupaten
Klungkung.
B. Meningkatkan kualitas dan daya saing sumber daya manusiaKabupaten
Klungkung.
C. Meningkatan kesejahteraan sosial melalui pemberdayaan ekonomimasyarakat.
D. Meningkatkan perekonomian yang berbasis kerakyatan denganmengedepankan
konsepsi kemitraan.
E. Mewujudkan kepastian hukum agar terwujud ketentraman danketertiban
masyarakat.
F. Mewujudkan pemerintahan yang baik berdasarkan prinsip goodcoorporate
governance.
G. Mengembangkan jasa layanan kepada masyarakat yang lebih baik.
H. Mewujudkan pembangunan daerah yang selaras dan seimbang
I. Mewujudkan pelestarlan sumber daya alam dan lingkungan hidup dalam
pemanfaatannya yang berkelanjutan.
J. Menyediakan sarana dan prasarana wilayah yang mengakomodir perkembangan
wilayah dan kebutuhan masyarakat.
K. Menguatkan stabilitas politik dan keamanan di seluruh wilayah Kabupaten
Klungkung.
Kabupaten Klungkung merupakan dataran pantai sehingga potensi perikanan
laut.Panjang pantainya sekitar 90 Km yang terdapat di Klungkung daratan 20 Km dan
Kepulauan Nusa Penida 70 Km. Permukaan tanah pada umumnya tidak rata,
bergelombangbahkan sebagian besar berupa bukit-bukit terjal yang kering dan
tandus.Hanya sebagian kecil saja merupakan dataran rendah. Tingkat kemiringan tanah
diatas 40 % (terjal) adalah seluas 16,47 Km2 atau 5,32 % dari Kabupaten Klungkung.
Bukit dan gunung tertinggi bernama Gunung Mundi yang terletak di Kecamatan
Nusa Penida. Sumber air adalah mata air dan sungai hanya terdapat di wilayah daratan
Kabupaten Klungkung yang mengalir sepanjang tahun. Sedangkan di Kecamatan Nusa
Penida sama sekali tidak ada sungai. Sumber air di Kecamatan Nusa Penida adalah mata
air dan air hujan yang ditampung dalam cubang oleh penduduk setempat. Kabupaten
Klungkung termasuk beriklim tropis. Bulan-bulan basah dan bulan-bulan kering antara
Kecamatan Nusa Penida dan Kabupaten Klungkung daratan sangat berbeda.
Kecamatan Klungkung
Kecamatan Klungkung merupakan kecamatan terkecil dari 4 (empat) Kecamatan
yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas disebelah Utara Kabupaten
Karangasem, sebelah Timur Kecamatan Dawan, sebelah Barat Kecamatan Banjarangkan
dan sebelah Selatan dengan Selat Badung, dengan luas 2.095 Ha, secara persis semua
terletak di daerah daratan pulau Bali.
Kecamatan Banjarangkan
Kecamatan Banjarangkan merupakan Kecamatan yang terletak paling Barat dari 4
(empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung, dengan batas-batas, sebelah Utara
Kabupaten Bangli, sebelah Timur Kecamatan Klungkung, sebelah Barat Kabupaten
Gianyar dan sebelah Selatan Selat Badung, dengan luas 45,73 Km ².
Secara administrasi Kecamatan Banjarangkan terdiri dari 13 Desa, 55 dusun, 26
Desa Adat, dalam usaha untuk memajukan perekonomian di wilayah ini telah didukung
dengan beberapa sarana seperti, pasar umum, koperasi, KUD, dan bank, RPD yang
dimanfaatkan oleh masyarakat untuk memajukan perekonomian desa.
Kecamatan Dawan
Kecamatan Dawan merupakan Kecamatan yang terletak paling Timur dari 4
(empat) Kecamatan yang ada di Kabupaten Klungkung dengan batas-batas, sebelah Utara
dan Timur Kabupaten Karangasem, sebelah Barat Kecamatan Klungkung dan sebelah
Selatan Samudra Hindia dengan luas 37,38 Km ². Menurut penggunaannya luas wilayah
Kecamatan Dawan terdiri 16,21 % lahan sawah, 17,26 % lahan tegalan, 35,50 % lahan
perkebunan, 6,93 % lahan pekarangan 0,21 % kuburan dan lainnya 23,89 %.
Kecamatan Nusa Penida
Kecamatan Nusa Penida terdiri dari tiga kepulauan yaitu pulau Nusa Penida, Pulau
Lembongan dan Pulau Ceningan, terdiri dari 16 Desa Dinas, Dengan Jumlah Penduduk
46,749 Jiwa (8.543 KK). Pulau Nusa Penida bisa ditempuh dari empat tempat yaitu lewat
Benoa dengan menumpang Quiksilver/Balihai ditempuh +1 jam perjalanan, lewat Sanur
dengan menumpang perahu jarak tempuh + 1,5 Jam perjalanan. Lewat Kusamba dengan
menumpang Jukung jerak tempuh +1,5 jam perjalanan. sedangkan kalau lewat Padangbai
dengan menumpang Kapal Boat yang jarak tempuh + 1 jam perjalanan.
Secara umum kondisi Topografi Nusa Penida tergolong landai sampai berbukit.
Desa - desa pesisir di sepanjang pantai bagian utara berupa lahan datar dengan kemiringan
0 - 3 % dari ketinggian lahan 0 - 268 m dpl. Semakin ke selatan kemiringan lerengnya
semakin bergelombang. Demikian juga pulau Lembongan bagian Utara merupakan lahan
datar dengan kemiringan 0- 3% dan dibagian Selatan kemiringannya 3-8 %. Sedangkan
Pulau Ceningan mempunyai kemiringan lereng bervariasi antara 8-15% dan 15-30%
dengan kondisi tanah bergelombang dan berbukit.
Mata pencaharian penduduk adalah pertanian dan sektor perikanan merupakan mata
pencaharian utama oleh 6,68% tersebar pada desa-desa pesisir yaitu Suana, Batununggul,
Kutampi Kaler, Ped dan Desa Toyapakeh. Di Pulau Lembongan 16,80% penduduk
bergerak dibidang perikanan, dan Ceningan 12,88% mengingat kondisi dan topografi
daerah maka yang cocok dikembangkan adalah Sektor Pertanian, dan Sektor Pariwisata.
Perairan Nusa Penida, sebuah pulau yang terpisah dengan daratan Bali, secara
administratif masuk Kabupaten Klungkung memiliki daya tarik tersendiri bagi wisatawan
dalam dan luar negeri untuk menikmati panorama alam bawah laut. Pelancong menikmati
panorama alam bawah laut dengan menyelam maupun atraksi air laut lainnya, dan selama
ini turis luar negeri ternyata lebih banyak menikmati lokasi wisata tersebut jika
dibandingkan dengan pelancong Nusantara. Dewa Nyoman Putra menunjukkan data hasil
pencatatan Dinas Pariwisata Bali bahwa turis dalam dan luar negeri yang berkunjung ke
Nusa Penida bertambah ramai dari sekitar 185.909 orang pada tahun 2013 menjadi 220.761
orang pada tahun 2014. "Mereka (turis) yang datang dan menikmati keindahan alam bawah
laut itu sebagian besar adalah turis asing yakni sebanyak 206.457 orang selama 2014,
sedangkan sisanya wisatawan dalam negeri sebanyak 14.294 orang," katanya. Masyarakat
internasional yang berkunjung ke Pulau Nusa Penida yang memiliki pesisir pantai selatan
yang terbentang dari timur sampai barat menjadi tempat wisatawan menikmati snorkeling
maupun diving.
Kepulauan Nusa Penida terdiri atas Pulau Nusa Penida, Nusa Lembongan dan Nusa
Ceningan, yang dihuni sekitar 65.000 jiwa secara administratif masuk wilayah Kabupaten
Klungkung, sekitar 80 km tenggara Denpasar. Kepulauan Nusa Penida yang terdiri atas
satu kecamatan memiliki luas 363 kilometer persegi atau dua pertiga dari wilayah
Kabupaten Klungkung. Hanya sepertiga wilayah Kabupaten Klungkung yang menjadi satu
dengan daratan Bali. Masyarakat di Nusa Penida selama ini menyeberang ke daratan Pulau
Bali menggunakan perahu motor atau kapal roro dari Pelabuhan Padangbai. Pulau Nusa
Penida dan dua nusa lainnya dikeliling oleh lautan yang memiliki panorama alam bawah
laut dengan terumbu karang yang lestari tempat bersarangnya ratusan jenis ikan hias yang
berwarna-warni. Pemandangan alam bawah laut sangat dinikmati wisatawan mancanegara
yang selama ini untuk menjangkau lokasi itu menggunakan kapal wisata dari pelabuhan
Benoa, berangkat pagi hari dan kembali sore harinya.
Nusa penida terletak di sebelah tenggara Bali, yang dipisahkan oleh Selat Badung.
pulau ini memasuki kawasan kabupaten klungkung, Bali. Di dekat pulau ini terdapat juga
pulau-pulau kecil lainnya yaitu Pulau Nusa Ceningan dan Pulau Nusa Lembongan. Di
kawasan Nusa Penida terdapat banyak obyek spiritual serta tempat rekreasi wisata tirta.
Yang paling terkenal objek spiritual adalah Pura Goa Giri Putri, Pura Dalem Ped dan Pura
Pucak Mundi, sedangkan Kawasan objek Kawasan Rekreasi tirta yang sangat menarik
untuk dinikmati oleh para wisatawan, yaitu kawasan bahari dengan tumbuhan karang yang
amat indah dan bermacam-macam jenis ikan yang berwarna-warni Perairan pulau Nusa
Penida juga terkenal dengan kawasan selamnya diantaranya terdapat di Penida Bay, Manta
Point, Batu Meling, Batu Lumbung, Batu Abah, Toyapakeh dan Malibu Point.
Sebagai daerah kepualauan kecil, Pulau Nusa Penida hanya bisa diakses melalui
jalur laut. Sementara jalur udara belum memungkinkan karena belum tersedia fasilitas
Bandara. Titik pemberhentiannya pun sebagian besar berpusat di bagian utara dan timur
Pulau sedangkan di bagian selatan dan barat sulit disinggahi kapal karena berbatasan
langsung dengan tebing curam (cliff) dan ganasnya ombak dari Samudra Hindia.
Setidaknya ada lebih dari 6 pintu penyeberangan di Nusa Penida dengan tujuan area
pendaratan yang berbeda di daerah daratan Bali.
Untuk menuju pulau ini melewati beberapa jalur, diantaranya dari tanjung benoa,
sanur, kusamba dan pelabuhan padang bai. Beberapa alternative biaya penyebrangan
murah dengan menggunakan sampan (perahu) tradisional dengan mesin tempel yang
memiliki kekuatan sekitar 120 PK, biaya menengah dengan kapal roro Nusa Jaya Abadi (
transportasi utama), dan biaya tinggi menggunakan boat cepat dan bisa juga menggunakan
kapal cruise. Waktu yang diperlukan untuk masing-masing transportasi sangat bervariasi
mulai dari 20 menit sampai ada yang harus sampai 1,5 jam tetapi perlu diingatkan bahwa
semua juga tergantung dari situasi dan kondisi alam (arus, ombak, angin dan hal teknis
lainnya). Anda bisa menentukan sendiri transportasi yang anda pakai yang pasti
menyesuaikan dengan tujuan dan kebutuhan anda. Kapal akan mendarat di Pelabuhan
utama “Pelabuhan Nusa Penida” yang berada di pusat kota kecamatan.
5.2. Pariwisata dan Kehidupan Masyarakat
Kawasan Nusa Penida merupakan salah satu daerah tujuan wisata yang ada di
Kabupaten Klungkung. Kawasan Nusa Penida memiliki daya tarik utama berupa
keanekaragaman laut yang tinggi. Kawasan Nusa Peida merupakan bagian dari kawasan
segitiga terumbu karang dunia ( the coral triangle). Nusa Penida ditetapkan sebagai
Kawasan Konservasi Perairan oleh Bupati Klungkung melalui Peraturan Bupati Klungkung
No.12 tahun 2010 dengan luas 20.057 hektar. Daya tarik wisata utama di Nusa Penida
terdiri atas serangkaian kegiatan wisata pada daerah pesisir di Nusa Penida seperti : melihat
ikan mola – mola (sunfish) terutama pada bulan juli sampai dengan september pada
sejumlah lokasi cleaning station, melihat ikan Ikan Pari Manta (manta-ray) pada dua lokasi
manta point di Nusa Penida, kegiatan snorkling dan diving untuk melihat kehidupan bawah
laut seperti terumbu karang, padang lamun dan serangkaian topografi bawah laut di
Kawasan Nusa Penida. Bilamana dilihat dari sisi karakteristik daya tarik wisata yang ada di
Nusa Penida, disamping wisata alam dengan keunggulan kawasan pesisir, juga terdapat
kegiatan wisata berbasis budaya seperti wisata religius pada sejumlah pura yang ada di
Nusa Penida.
Guna menunjang kegiatan wisata di Nusa Penida, terdapat sejumlah akomodasi
wisata yang ada di Nusa Penida seperti resort, villa, bungalow dan homestay yang tersebar
disejumlah kawasan di Nusa Penida. Keberadaan potensi bahari yang ada di Kawasan Nusa
Penida oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung ditindaklanjuti dengan membentuk
Kelompok Kerja (POKJA) Kawasan Konservasi Perairan (KKP) Nusa Penida. POKJA
yang dibentuk ini menjalankan rencana kerja untuk mewujudkan KKP Nusa Penida yang
dikelola dengan efektif. Kolaborasi antara Kabupaten Klungkung, Coral Triangle Center
(CTC), dan pemegang kepentingan lainnya berhasil melahirkan Kawasan Konservasi
Perairan (KKP) Nusa Penida yang kemudian disahkan dengan Peraturan Bupati Klungkung
No.12 tahun 2010. Keberadaan KKP Nusa Penida diharapkan dapat menjaga
keanekaragaman hayati di kawasan Nusa Penida dan juga menciptakan ekowisata laut,
perikanan, dan mata pencaharian masyarakat lokal yang berkelanjutan.
Jumlah penduduk di Nusa Penida tahun 2013 sebanyak 45.340 orang yang terdiri
atas 22.550 penduduk laki – laki dan 22.790 penduduk perempuan (Klungkung dalam
angka 2014). Tingkat kepadatan penduduk di Nusa Penida adalah 224 jiwa / km2 dengan
pertumbuhan penduduk rata – rata pertahun sekitar 5%. Kemampuan baca tulis penduduk
usia 10 tahun keatas hingga tahun 2013 tercatat 92,35% penduduk sehingga masih terdapat
sebanyak 7,65% penduduk yang belum bisa membaca dan menulis.
Berdasarkan hasil quisioner yang telah disebar terhadap 100 orang responden di
Nusa Penida, diperoleh hasil sebagai berikut :
1. Data responden menurut daerah asal diperoleh hasil sebanyak 1 orang responden
menyatakan bahwa daerah asal tempat tinggal adalah di daerah Bandung dan
Buleleng, 2 orang menyatakan berasal dari lombok dan sebanyak 96 orang
menyatakan berasal dari Nusa Penida
2. Tingkat pendidikan responden dinyatakan dengan 11 orang responden
berpendidikan sarjana, 2 orang berpendidikan SD, 69 orang berpendidikan
SMA/SMK dan 18 orang berpendidikan SMP
3. Status menikah responden dinyatakan sebanyak 61 orang dan 39 responden
menyatakan belum menikah
4. Pekerjaan utama responden dinyatakan sebanyak 21 orang merupakan guide, 51
orang bekerja di hotel, villa, bungalow, 13 orang bekerja di earung, warung makan
atau restoran dan sebanyak 15 orang bekerja sebagai sopir baik sopir kendaraan
bermotor atau sebagai pengemudi boat.
5. Terkait dengan infromasi status pekerjaan utama, sebanyak 100 responden
menyatakan bahwa mereka sebagai pekerja
6. Berdasarkan kepemilikan pekerjaan sampingan, terdapat 14 responden yang
memiliki pekerjaan sampingan. Terhitung sebanyak 4 orang memiliki pekerjaan
sampingan sebagai nelayan, 1 orang memiliki pekerjaan sampingan sebagai ojek
dan 9 orang menyatakan memiliki pekerjaan sampingan sebagai petani
7. Berdasarkan status pekerjaan sampingan, tercatat sebanyak 14 orang yang memiliki
pekerjaan sampingan berstatus sebagai pemilik
8. Hasil quisioner terkait dengan pemenuhan kebutuhan fisik diperoleh informasi
bahwa :
a. Pemenuhan kebutuhan pangan diperoleh hasil 76 orang responden
menyatakan sangat setuju dan 24 orang menyatakan setuju
b. Pemenuhan kebutuhan papan diperoleh hasil 68 orang responden
menyatakan sangat setuju dan 32 orang menyatakan setuju
c. Pemenuhan kebutuhan sandang diperoleh hasil 71 orang responden
menyatakan sangat setuju , 22 orang menyatakan setuju dan 7 menyatakan
cukup setuju
9. Hasil quisioner terkait dengan pemenuhan kebutuhan rasa aman diperoleh informasi
bahwa :
a. Pemenuhan kebutuhan rasa aman akan harta diperoleh hasil 75 orang
responden menyatakan sangat setuju dan 25 orang menyatakan setuju
b. Pemenuhan kebutuhan rasa aman akan jiwa diperoleh hasil 73 orang
responden menyatakan sangat setuju , 22 orang menyatakan setuju dan 5
menyatakan cukup setuju
10. Hasil quisioner terkait dengan pemenuhan kebutuhan bermasyarakat diperoleh
informasi bahwa :
a. Pemenuhan kebutuhan penerimaan dalam masyarakat diperoleh hasil 69
orang responden menyatakan sangat setuju dan 31 orang menyatakan setuju
b. Pemenuhan kebutuhan rasa hormat dalam masyarakat diperoleh hasil 76
orang responden menyatakan sangat setuju, 20 orang menyatakan setuju dan
4 menyatakan cukup setuju
c. Pemenuhan kebutuhan untuk maju diperoleh hasil 72 orang responden
menyatakan sangat setuju , 22 orang menyatakan setuju dan 6 menyatakan
cukup setuju
d. Pemenuhan kebutuhan untuk ikut serta dalam masyarakat diperoleh hasil 70
orang responden menyatakan sangat setuju, 22 orang menyatakan setuju dan
8 menyatakan cukup setuju
e. Pemenuhan kebutuhan rasa aman akan jiwa diperoleh hasil 68 orang
responden menyatakan sangat setuju, 31 orang menyatakan setuju dan 1
menyatakan cukup setuju
11. Pemenuhan kebutuhan akan rasa hormat dari masyarakat dari orang lain, sebanyak
73 responden menyatakan sangat setuju dan 27 responden menyatakan setuju
12. Pemenuhan rasa kebanggaan dengan bekerja di bidang pariwisata di cerminkan
dengan sebanyak 77 orang responden menyatakan sangat setuju dan 23 orang
menyatakan setuju
5.3. Kontribusi Masyarakat
Partisipasi masyarakat adalah ikut sertanya seluruh anggota masyarakat dalam
memecahkan permasalahan-permasalahan masyarakat tersebut.Partisipasi masyarakat di
bidang kesehatan berarti keikutsertaan seluruh anggota masyarakat dalam memecahkan
masalah kesehatan mereka sendiri.Di dalam hal ini, masyarakat sendirilah yang aktif
memikirkan, merencanakan, melaksanakan, dan mengevaluasikan program-program
kesehatan masyarakatnya.Institusi kesehatan hanya sekadar memotivasi dan
membimbingnya (Notoatmodjo, 2007).
Mikkelsen dalam Soetomo (2006), mengatakan bahwa pembangunan pada dasarnya
merupakan proses perubahan, dan salah satu bentuk perubahan yang diharapkan adalah
perubahan sikap dan perilaku. Partisipasi masyarakat yang semakin meningkat baik secara
kualitatif maupun kuantitatif merupakan salah satu perwujudan dari perubahan sikap dan
perilaku tersebut.Ada enam jenis tafsiran mengenai partisipasi masyarakat tersebut antara
lain:
1) Partisipasi adalah kontribusi sukarela dari masyarakat kepada proyek atau program
pembangunan tanpa ikut serta dalam pengambil keputusan.
2) Partisipasi adalah usaha membuat masyarakat semakin peka dalam meningkatkan
kemauan menerima dan kemampuan menangapi proyek-proyek atau program- program
pembangunan.
3) Partisipasi adalah proses yang aktif, yang mengandung arti bahwa orang atau kelompok
terkait mengambil inisiatif dan menggunakan kebebasannya untuk melakukan hal itu.
4) Partisipasi adalah penetapan dialog antara masyarakat setempat dengan para staf dalam
melakukan persiapan, pelaksanaan dan monitoring proyek/program agar memperoleh
informasi mengenai konteks lokal dan dampak-dampak sosial.
5) Partisipasi adalah keterlibatan sukarela oleh masyarakat dalam perubahan yang
ditentukan sendiri.
6) Partisipasi adalah keterlibatan masyarakat dalam pembangunan diri, kehidupan dan
lingkungan mereka.
Conyer dalam Soetomo (2006), mengemukakan partisipasi masyarakat adalah
keikutsertaaan masyarakat secara sukarela yang didasari oleh determinan dan kesadaran
diri masyarakat itu sendiri dalam program pembangunan. Ada lima cara untuk melibatkan
keikutsertaan masyarakat yaitu:
1) Survei dan konsultasi lokal untuk memperoleh data dan informasi yang diperlukan.
2) Memanfaatkan petugas lapangan, agar sambil melakukan tugasnya sebagai agen
pembaharu juga menyerap berbagai informasi yang dibutuhkan dalam perencanaan.
3) Perencanaan yang bersifat desentralisasi agar lebih memberikan peluang yang semakin
besar kepada masyarakat untuk berpartisipasi.
4) Perencanaan melalui pemerintah lokal.
5) Menggunakan strategi pembangunan komunitas (community development)
Menurut Slamet (2003), berdasarkan pengertian partisipasi, maka partisipasi dalam
pembangunan dapat dibagi menjadi lima jenis :
1) Ikut memberi input proses pembangunan, menerima imbalan atas input tersebut dan
ikut menikmati hasilnya.
2) Ikut memberi input dan menikmati hasilnya.
3) Ikut memberi input dan menerima imbalan tanpa ikut menikmati hasil pembangunan
secara langsung.
4) Menikmati/memanfaatkan hasil pembangunan tanpa ikut memberi input.
5) Memberi input tanpa menerima imbalan dan tidak menerima hasilnya.
Menurut Notoatmodjo (2007), di dalam partisipasi setiap anggota masyarakat
dituntut suatu kontribusi atau sumbangan. Kontribusi tersebut bukan hanya terbatas pada
dana dan finansial saja tetapi dapat berbentuk daya (tenaga) dan ide (pemikiran). Dalam hal
ini dapat diwujudkan di dalam 4 M, yakni manpower (tenaga), money (uang), material
(benda-benda lain seperti kayu, bambu, beras, batu, dan sebagainya), dan mind(ide atau
gagasan).
Menurut Club du Sahel dalam Mikkelsen (2003), beberapa pendekatan untuk
memajukan partisipasi masyarakat yaitu:
1) Pendekatan pasif, pelatihan dan informasi; yakni pendekatan yang beranggapan bahwa
pihak eksternal lebih menguasai pengetahuan, teknologi, keterampilan dan sumber
daya. Dengan demikian partisipasi tersebut memberikan komunikasi satu arah, dari atas
ke bawah dan hubungan pihak eksternal dan masyarakat bersifat vertical.
2) Pendekatan partisipasi aktif; yaitu memberikan kesempatan kepada masyarakat untuk
berinteraksi secara lebih intensif dengan para petugas eksternal, contohnya pelatihan
dan kunjungan.
3) Pendekatan partisipasi dengan keterikatan; masyarakat atau individu diberikan
kesempatan untuk melakukan pembangunan, dan diberikan pilihan untuk terikat pada
sesuatu kegiatan dan bertanggung jawab atas kegiatan tersebut.
4) Pendekatan dengan partisipasi setempat; yaitu pendekatan dengan mencerminkan
kegiatan pembangunan atas dasar keputusan yang diambil oleh masyarakat setempat.
Sikap dalam Ajzen 2005 didefinisikan sebagai sebuah disposisi atau kecenderungan
untuk menanggapi hal-hal yang bersifat evaluatif, disenangi atau tidak disenangi terhadap
objek, orang, institusi atau peristiwa. Karakteristik paling utama yang membedakan sikap
dengan variabel lain adalah bahwa sikap bersifat evaluatif atau cenderung afektif (Fishbein
& Ajzen, 1975). Afek merupakan bagian dari sikap yang paling penting, dimana afek
mengacu pada perasaan dan penilaian seseorang akan objek, orang, permasalahan atau
peristiwa tertentu (Fishbein & Ajzen, 1975). Ajzen (2005) menambahkan, sikap terhadap
tingkah laku ditentukan oleh keyakinan (belief) akan akibat dari tingkah laku yang akan
dilakukan. Keyakinan ini disebut sebagai behavioral belief. Setiap behavioral belief
menghubungkan tingkah laku dengan konsekuensi tertentu dari munculnya tingkah laku
tersebut, atau kepada beberapa atribut lain seperti kerugian yang mungkin muncul ketika
melakukan tingkah laku tersebut. Sikap terhadap tingkah laku ditentukan oleh evaluasi
akibat tingkah laku dan seberapa kuat konsekuensi tersebut diasosiasikan dengan tingkah
laku.
Sikap merupakan predisposisi untuk melakukan atau tidak melakukan suatu
perilaku tertentu, sikap lebih suatu proses kesadaran yang sifatnya individual. Sikap yang
positif akan memicu sesorang untuk melakukan tindakan. Sidarta (2002) mengungkapkan
bahwa pariwisata akan mempercepat perubahan, karena wisatawan yang datang dengan
berbagai budaya yang berbeda dan lebih lanjut akan berinteraksi dengan masyarakat
setempat. Allport (1954),menjelaskan bahwa sikap mempunyai tiga komponen pokok,
yaitu :
1) Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek, artinya bagaimana
keyakinan, pendapat atau pemikiran seseorang terhadap objek.
2) Kehidupan emosional atau evaluasi terhadap suatu objek, artinya bagaimana penilaian
(terkandung didalam faktor emosi) orang tersebut terhadap objek.
3) Kecenderungan untuk bertindak (tend to behave), artinya sikap adalah komponen yang
mendahului tindakan atau perilaku terbuka. Sikap adalah ancang-ancang untuk
bertindak atau berperilaku terbuka (tindakan).
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total
attitude).Dalam penentuan sikap yang utuh, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi
memegang peranan penting.
Sikap terdiri dari empat tingkatan yaitu :
1) Menerima (Receiving). Bahwa subjek (orang) mau dan memperhatikan stimulus yang
diberikan objek.
2) Merespon (Responding). Memberikan jawaban bila ditanya. Mengerjakan dan
menyelesaikan tugas yang diberikan adalah suatu indikasi dari sikap, karena dengan
suatu usaha untuk menjawab pertanyaan atau mengerjakan tugas yang diberikan
terlepas dari pekerjaan itu benar atau salah berarti orang menerima ide itu.
3) Menghargai (Valuing). Mengajak orang lain untuk mengerjakan atau mendiskusikan
suatu masalah.
4) Bertanggung jawab (Responsible). Bertanggung jawab atas segala sesuatu yang telah
dipilihnya dengan segala resiko yang mungkin timbul.
Pengukuran sikap dapat dilakukan secara langsung dan tidak langsung.Secara
langsung dapat di tanyakan bagaimana pendapat atau pernyataan responden terhadap suatu
objek.Secara tidak langsung dapat dilakukan dengan pernyataan- pernyataan hipotesis,
kemudian ditanyakan pendapat responden.Dimana dapat dilihat, menurut penelitian
Qomarudin (2013) perubahan sosial yang terjadi dalam pengembangan pariwisata dibagi
kedalam dua aspek.Pertama, perubahan sosial yang positif dapat merubah tingkat
pendapatan menjadi lebih meningkat, majunya pola pikir sebagai hasil interaksi, dan
meningkatnya kesadaran untuk melindungi ekowisata.Sedangkan perubahan sosial yang
negatif dilihat dari perubahan pola hidup kebersamaan menjadi matrealisme, dan
individualistik, serta tingginya tingkat pencemaran akbiat wisata.
Retnowati (2004) mengungkapkan bahwa pariwisata berpotensi memicu terjadinya
perubahan perilaku masyarakat, nilai dan norma sosial, identitas masyarakat, konflik sosial,
perubahan mata pencaharian, serta kerusakan lingkungan. Adapun faktor yang
mempengaruhi sikap adalah :
1) Jenis kelamin. Perbedaan perilaku pria dan wanita dapat dilihat dari cara berpakaian
secara fisik dan melakukan pekerjaan sehari-hari. Umumnya wanita lebih
memperhatikan penampilan dari pada pria.
2) Lingkungan. Lingkungan merupakan seluruh kondisi disekitar manusia dan
mempengaruhi perkembangan dan sikap seseorang. Melalui interaksi timbal balik akan
mempengaruhi praktek seseorang dalam melakukan hygiene sanitasi disekitarnya.
3) Pekerjaan. Pekerjaan merupakan kegiatan yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari.
Makin cocok jenis pekerjaannya yang diemban, makin tinggi pula tingkat kepuasan
yang diperoleh. Orang yang bekerja disektor formal memiliki akses yang lebih baik
terhadap berbagai informasi termasuk kesehatan.
4) Kebudayaan. Pembentukan sikap tergantung pada kebudayaan tempat individu tersebut
dibesarkan, Contoh pada sikap orang kota dan orang desa terhadap kebebasan dalam
pergaulan.
5) Faktor emosional. Suatu sikap yang dilandasi oleh emosi yang fungsinya sebagai
semacam penyaluran frustasi atau pengalihan bentuk mekanisme pertahanan ego. Dapat
bersifat sementara ataupun menetap. Contoh : Prasangka (sikap tidak toleran)
Berdasarkan prinsip pelayanan sebagaimana telah ditetapkan dalam Keputusan
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor KEP/25/M.PAN/2004, yang kemudian
dikembangkan menjadi 14 unsur yang relevan, valid, dan reliable, sebagai unsur minimal
yang harus ada untuk dasar pengukuran indeks kepuasan masyarakat adalah sebagai
berikut :
1) Prosedur pelayanan, yaitu kemudahan tahapan pelayanan yang diberikan kepada
masyarakat dilihat dari sisi kesederhanaan alur pelayanan;
2) Persyaratan pelayanan, yaitu persyaratan teknis dan administratifyang diperlukan
untuk mendapatkan pelayanan sesuai dengan jenis pelayanannya;
3) Kejelasan petugas pelayanan, yaitu keberadaan dan kepastian petugas yang
memberikan pelayanan (nama, jabatan serta kewenangan dan tanggung
jawabnya);
4) Kedisiplinan petugas pelayanan, yaitu kesungguhan petugas dalam memberikan
pelayanan terutama terhadap konsistensi waktu kerja sesuai ketentuan yang
berlaku;
5) Tanggungjawab petugas pelayanan, yaitu kejelasan wewenang dan tanggung
jawab petugas dalam penyelenggaraan dan penyelesaian pelayanan;
6) Kemampuan petugas pelayanan, yaitu tingkat keahlian dan keterampilan yang
dimiliki petugas dalam memberikan/menyelesaikan pelayanan kepada mayarakat;
7) Kecepatan pelayanan, yaitu target waktu pelayanan dapat diselesaikan dalam
waktu yang telah ditentukan oleh unit penyelenggara pelayanan;
8) Keadilan mendapatkan pelayanan, yaitu pelaksanaan pelayanan dengan tidak
membedakan golongan/status masyarakat yang dilayani;
9) Kesopanan dan keramahan petugas, yaitu sikap dan perilaku petugas dalam
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara sopan dan ramah serta saling
menghargai dan menghormati;
10) Kewajaran biaya pelayanan, yaitu keterjangkauan masyarakat terhadap besarnya
biaya yang ditetapkan oleh unit pelayanan;
11) Kepastian biaya pelayanan, yaitu kesesuaian antara biaya yang dibayarkan dengan
biaya yang telah ditetapkan;
12) Kepastian jadwal pelayanan, yaitu pelaksanaan waktu pelayanan, sesuai dengan
ketentuan yang telah ditetapkan;
13) Kenyamanan lingkungan, yaitu kondisi sarana dan prasarana pelayanan yang
bersih, rapi, dan teratur sehingga dapat memberikan rasa nyaman kepada penerima
pelayanan;
14) Keamanan pelayanan, yaitu terjaminnya tingkat keamanan lingkungan unit
penyelenggara pelayanan ataupun sarana yang digunakan, sehingga masyarakat
merasa tenang untuk mendapatkan pelayanan terhadap resiko-resiko yang
diakibatkan dari pelaksanaan pelayanan.
Secara alamiah manusia mempunyai kebutuhan yang membentuk tingkatan atau
hirarki.Motivasi manusia sangat dipengaruhi oleh kebutuhan mendasar yang harus
dipenuhi untuk menjalani hidup dan kehidupannya.Kebutuhan dasar manusia merupakan
unsur-unsur yang dibutuhkan oleh manusia dalam menjaga keseimbangan baik secara
fisiologis maupun psikologis yang bertujuan untuk mempertahankan kehidupan dan
kesehatan.Teori ini menggambarkan realitas banyak dari pengalaman pribadi.Banyak orang
menemukan bahwa mereka bisa memahami pendapat Maslow.Mereka dapat mengenali
beberapa fitur dari pengalaman mereka atau perilaku yang benar dan dapat diidentifikasi
tetapi mereka tidak pernah dimasukkan ke dalam kata-kata.
Secara humanis, maslow tidak percaya bahwa manusia yang mendorong dan ditarik
oleh kekuatan mekanik, salah satu dari rangsangan dan bala bantuan (behaviorisme) atau
impuls naluriah sadar (psikoanalisis). Kebutuhan humanis berfokus pada potensi.Aliran ini
percaya bahwa manusia berusaha untuk tingkat atas kemampuan.Manusia mencari batas-
batas kreativitas, tertinggi mencapai kesadaran dan kebijaksanaan. Ini telah diberi label
“orang berfungsi penuh”, “kepribadian sehat”, atau sebagai Maslow menyebut tingkat ini,
“aktualisasi diri orang. ”
Berdasarkan teorinya Marslow menyatakan bahwa kebutuhan memenuhi yang
paling penting dahulu kemudian meningkat ke yang tidak terlalu penting.Untuk dapat
merasakan nikmat suatu tingkat kebutuhan perlu dipuaskan dahulu kebutuhan yang berada
pada tingkat di bawahnya.Kebutuhan pokok manusia yang dijabarkan menurut A Maslow
dijabarkan sebagai berikut :
a. Kebutuhan fisik (Physiological need),
b. Kebutuhan memperoleh keamanan atau keselamatan (security or safety need),
c. Kebutuhan bermasyarakat (social need), atau kebutuhan untuk
menerima/bekerjasama dalam kelompok (affiliation or acceptance need), yaitu
kebutuhan untuk berkelompok dan bermasyarakat.
d. Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (Esteem need)
e. Kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan (Self actualization need)
Pembangunan kepariwisataan yang berbasis kerakyatan merupakan salah satu
bentuk dari pembangunan pariwisata yang berkelanjutan.Aspek keberlanjutan yang
dimaksudkan dijabarkan oleh Siska Anggraeni (2014) yaitu aspek sosial-budaya (pertanian,
gotong royong, dan kegiatan-kegiatan keagamaan), lingkungan (sumber daya alam) dan
manfaat ekonomi kepada masyarakat lokal (peran serta masyarakat dalam proses
perencanaan, pembangunan, pelestarian dan penilaian terhadap pembangunan
pariwisata).Berdasarkan konsepsi pariwisata kerakyatan, Suansri (2003) menjabarkan
bahwa penerapan prinsip pariwisata kerakyatan seharusnya menerapkan prinsip yang
berhubungan dengan kebutuhan masyarakat yaitu :
1. Meningkatkan kualitas kehidupan (pemenuhan kebutuhan fisik berdasarkan teori
marslow)
2. Melindungi ciri khas (keunikan) dan budaya masyarakat local (pemenuhan
kebutuhan kehormatan dan kebanggan berdasarkan teori marslow)
3. Mengembangkan pembelajaran lintas budaya (pemenuhan kebutuhan
bermasyarakat berdasarkan teori marslow)
4. Menghormati perbedaan budaya dan martabat manusia (pemenuhan kebutuhan
kebanggaan dan kebutuhan bermasyarakat berdasarkan teori marslow)
5. Mendistribusikan keuntungan dan manfaat yang diperoleh secara proporsional
kepada anggota masyarakat (pemenuhan kebutuhan fisik berdasarkan teori
marslow)
6. Memberikan kontribusi dengan presentase tertentu dari pendapatan yang diperoleh
untuk proyek pengembangan masyarakat (pemenuhan kebutuhan fisik berdasarkan
teori marslow)
7. Menonjolkan keaslian hubungan masyarakat dengan lingkungannya (pemenuhan
kebutuhan keamanan atau keselamatan berdasarkan teori marslow)
Penjabaran hubungan teoritis ini diperkuat oleh penelitian Komsan Suriya dengan
judul “Impact of Community-based Tourism in a Village Economy in Thailand: An analysis
with VCGE model”. Dalam penelitiannya Konsam Suriya menjelaskan bahwa pelayanan
jasa home stay yang dilakukan oleh masyarakat yang lebih kaya memperoleh pendapatan
yang lebih tinggi dibandingkan dengan pendapatan masyarakat yang lebih miskin. Pada
akhir penelitiannya Komsan Suriya menegaskan bahwa kegiatan pariwisata yang dilakukan
yang berbasis masyarakat dapat memberikan pengaruh yang signifikan terhadap
peningkatan ekonomi masyarakat.Irianto (2011) menjabarkan bahwa kegiatan pariwisata
telah memberikan pengaruh positif terhadap peningkatan pendapatan ekonomi masyarakat
dan pendapatan daerah berdasarkan penelitian yang dilakukan di Gili Trawangan.Adanya
kegiatan wisata juga telah memberikan dampak ekonomi bagi masyarakat seperti
peningkatan pendapatan, peningkatan kesempatan kerja, dan peluang usaha (Achadiat
Dritasto, 2013).mengukur dampak ekonomi suatu kegiatan wisata terhadap perekonomian
masyarakat lokal dibagi menjadi dua tipe, yaitu (Vanhove, 2005):
1. Keynesian Local Income Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan berapa besar
pengeluaran pengunjung berdampak pada peningkatan pendapatan masyarakat
lokal.
2. Ratio Incorne Multiplier, yaitu nilai yang menunjukkan seberapa besar dampak
langsung yang dirasakan dari pengeluaran pengunjung berdampak terhadap
perekonomian lokal. Pengganda ini mengukur dampak tidak langsung dan dampak
lanjutan (indirect).
Penelitian menggambarkan bahwa perkembangan pariwisata telah mengakibatkan
perubahan social dan ekonomi yang terdiri atas perubahan pekerjaan dan pendapatan, pola
pembagian kerja, kesempatan kerja dan berusaha, perubahan lingkungan mencakup
perubahan pola guna lahan.
BAB VI
PENUTUP 6.1. Kesimpulan
Kegiatan Pariwisata yang ada di Pulau Nusa Penida di dasarkan atas pemanfaatan
potensi pariwisata yang ada di dalamnya. Secara umum kegiatan wisata yang ada di
wilayah ini dibedakan atas dua macam yaitu kegiatan wisata pesisir dan kegiatan wisata
bahari. Pemanfaatan potensi alam laut dan pantai menjadi ujung tombak kegiatan
pariwisata di daerah ini. Dalam pemanfaatan potensi wisata dan pengembangan kegiatan
pariwisata, telah dilakukan serangkaian pemaketan produk wisata baik sebagai paket
produk wisata berbasis kegiatan alam, berbasis site / lokasi alam atau kegiatan wisata
berbasis budaya baik berupa lokasi / site atau kegiatan. Penelitian ini memfokuskan pada
bagaimana kegiatan pariwisata yang ada, yang terdiri atas unsur 4A (Atraksi, Aksesbilitas,
Amenitas dan Ancillary) dapat memberikan kontribusi yang cukup kepada ekonomi
masyarakat mencakup 6 (enam) kebutuhan pokok dari A Maslow. Konsepsi umum yang
terjadi diperoleh bahwa kegiatan pariwisata berpengaruh signifikan terhadap kwalitas
ekonomi masyarakat.
Partisipasi masyarakat dan pemerintah yang sinergis, akan merumuskan suatu
bentuk kerjasama yang memperkuat/melindungi budaya maupun lingkungan itu sendiri
dari pengaruh budaya lain yang merugikan. Ada beberapa hal yang mempengaruhi
partisipasi masyarakat dengan pemerintah yaitu:
a. Sikap masyarakat terhadap destinasi pariwisata
b. Kepuasan penduduk terhadap pengelolaan pariwisata
c. Sikap penduduk terhadap peran serta pemerintah
d. Partisipasi penduduk terhadap pengembangan destinasi pariwisata
Sangat banyak seni budaya yang dapat digali dan sumber-sumber lokal menjadi
potensi yang mampu membangkitkan potensi pada sektor ekonomi pariwisata dari berbagai
pengaruh yang merintangi jalan berkembangnya sektor ini. Beberapa faktor yang
menentukan dari pariwisata kerakyatan yang menjadikannya berpotensi untuk dijadikan
daya tarik wisata, bisa ditinjau dari sudut ekonomi, sosial, budaya, dan ekologi:
a. Bernilai ekonomis bagi wisatawan (produk unik dan harga yang murah)
b. Pengembangan pariwisata berbasis kemasyarakatan(keunikan sosial)
c. Pengembangan budaya lokal (mengangkat budaya khas suatu daerah)
d. Kelestarian alam (menyajikan keindahan desa atau alam)
Dalam konferensi internasioanal WTO tahun 2006, dijelaskan beberapa langkah-
langkah perlindungan yang dicantumkan dalam artikel tersebut, dapat diperoleh faktor-
faktor yang mendukung perlindungan terhadap budaya lokal, yaitu:
a. Melakukan peninjauan untuk memperoleh informasi situasi
b. Melakukan kontrol pada pengembangan warisan lokal
c. Pengembangan rencana dan kebijakan dari pemerintah
d. Mendukung aksi masyarakat dan pemerintah dalam pengembangan budaya lokal.
Perkembangan kegiatan pariwisata yang berdampak pada peningkatan kegiatan
ekonomi masyarakat berdampak signifikan terhadap peningkatan pemenuhan kebutuhan
masyarakat. Maslow berpendapat bahwa kebutuhan yang diinginkan seseorang itu
berjenjang. Artinya, jika kebutuhan pertama yaitu kebutuhan fisiologi telah terpenuhi maka
kebutuhan tingkat kedua yaitu kebutuhan keamanan dan keselamatan akan muncul menjadi
yang utama. Selanjutnya jika kebutuhan tingkat kedua telah terpenuhi maka kebutuhan
tingkat ketiga yaitu kebutuhan sosial akan muncul menjadi kebutuhan utama dan
seterusnya sampai tingkat kebutuhan kelima yaitu kebutuhan akan aktualisasi diri. Terkait
dengan penerapan teori maslow dalam hubungannya dengan dampak kegiatan wisata
pesisir di Nusa Penida, pemenuhan kebutuhan tertinggi ternyata berada pada rasa
kebanggaan dari responden dengan bekerja di sektor pariwisata (77%) kemudian diikuti
oleh rasa hormat, kebutuhan rasa aman, kebutuhan fisik dan kebutuhan dalam kehidupan
bermasyarakat. Kebutuhan rasa kebanggan menjadi faktor tertinggi diakibatkan bahwa
dengan bekerja di sektor pariwisata masyarakat memperoleh status yang berbeda bahwa
mereka dianggap orang yang memiliki wawasan yang luas, kemampuan komunikasi yang
baik dan adanya perasaan yakin bahwa dengan bekerja di sektor pariwisata akan memiliki
masa depan yang lebih baik. Tingginya rasa kebanggaan ini juga di dukung dengan tingkat
pendidikan mayoritas responden masih ditingkat SMA/SMK dan status belum menikah
masih cenderung tinggi sehingga kebutuhan rasa bangga dalam upaya memperlihatkan
aktualisasi diri menjadi hal utama.Konsep dasar yang digunakan dalam analosgi ini adalah
bahwa bagaimana kebutuhan masyarakat dapat terpenuhi sebagai sebuah tolak ukur dari
tingkat ekonomi masyarakat. Abraham Maslow adalah ahli jiwa (psikologis)
mengembangkan teori motivasi yang di kenal dengan hirarki daripada kebutuhan (The
hierarchy of needs). Ia melihat kebutuhan manusia itu di atur dalam bentuk yang
bertingkat-tingkat (hirarki), yaitu dimulai dari kebutuhan yang rendah sampai kepada
kebutuhan tertinggi. Apabila kebutuhan yang rendah telah terpenuhi, maka menyusul
kebutuhan lain yang lebih tinggi tingkatannya. Kebutuhan pokok manusia menurut A
Maslow sesuai dengan tingkat-tingkatannya (hirarki) yang penting adalah sebagai berikut.
a. Kebutuhan fisik (Physiological need), yaitu kebutuhan pokok untuk memelihara
kelangsungan hidupnya, seperti sandang, pangan, dan papan.
b. Kebutuhan memperoleh keamanan atau keselamatan (security or safety need), yaitu
c. Kebutuhan yang bebas dari bahaya, ketakutan, ancaman kehilangan pekerjaan,
miliknya, pakaian atau perumahan.
d. Kebutuhan bermasyarakat (social need), atau kebutuhan untuk
menerima/bekerjasama dalam kelompok (affiliation or acceptance need), yaitu
kebutuhan untuk berkelompok dan bermasyarakat. Manusia suka berkelompok
bersama-sama untuk maksud-maksud kehidupan yang beraneka ragam. Mereka
memerlukan bergaul, termasuk didalamnya untuk menerima dan diterima menjadi
anggota kelompok, untuk menyintai dan dicintai.
e. Kebutuhan untuk memperoleh kehormatan (Esteem need), yaitu kebutuhan
memperoleh riputasi/kemasyuran, terhormat dan di hormati. Mereka membutuhkan
pujian, penghargaan dan pengakuan atas kedudukannya (status).
f. Kebutuhan untuk memperoleh kebanggaan (Self actualization need), yaitu
kebutuhan untuk membuktikan dirinya sebagai seorang yang mampu
mengembangkan potensi bakatnya, sehingga mempunyai prestasi yang dapat di
banggakan. Menurut Maslow kebutuhan yang terakhir ini adalah kebutuhan
manusia yang tertinggi menurut hirakhi.
6.2. Rekomendasi
a. Penerapan standar pelayanan wisata di Nusa Penida kepada sleuruh tenaga kerja
yang bergerak dibidang pariwisata. Upaya ini perlu dilakukan agar setiap tenaga
kerja dibidang pariwisata memiliki standar kemampuan sehingga upah yang
diterima dapat bersaing dengan pekerjaan dibidang lain
b. Masyarakat Nusa Penida seharusnya mengembangkan unit usaha pariwisata yang
terpadu sehingga nantinya dapat menjadi media perdagangan (sejenis koperasi).
Dengan berkembangnya pariwisata di Nusa Penida, unit usaha bersama ini akan
menjadi sebuah motor penggerak ekonomi masyarakat
c. Perkembangan pariwisata jelas memberikan kontribusi yang positif terhadap
pemenuhan kebutuhan. Tetapi, perlu dikembangkan MoU atau kesepakatan atau
aturan lokal agar penyerapan tenaga kerja lokal menjadi sebuah keharusan
d. Pengembangan kwalitas SDM para pemuda / pekerja pariwisata di Nusa Penida
agar nantinya mampu menduduki jabatan yang lebih baik dibandingkan saat ini.
e. Pelatihan penguasaan bahasa sebagai media komunikasi
DAFTAR PUSTAKA
Achadiat Dritasto. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari Terhadap Pendapatan
Masyarakat Di Pulau Tidung. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional. 2013.
Adhisakti, Laretna T. 2004. Peran Lembaga-lembaga Yang Menangani Objek Budaya Sebagai Aset Pariwisata. Jakarta.
Anonim. 2003. Menggali Kearifan Lokal untuk Ajeg Bali. http://www. balipost. co. id/balipostcetak/2003/9/17/bd1hl. htm.
Anonim. 2013. Ekowisata. http://id. wikipedia. org/wiki/Ekowisata.
Buckley, R. (2003) Case Studies in Ecotourism.CAB International, Wallingford, UK.
Chien-Chiang Lee, Chun-Ping Chang.Tourism Development and Economic Growth : A Closer Look at panels. Tourism Management Vol 29. 2008. Elsevier.
Cooper, C. , Fletcher, J. , Gilbert, D. , Shepherd, R. And Wanhill, S. (1998) Tourism: Principles and Practice. Prentice-Hall, Harlow, UK>
Dritasto A, Anggraeni AA. 2013. Analisis Dampak Ekonomi Wisata Bahari Terhadap Pendapatan Masyarakat Di Pulau Tidung. Jurnal Online Institut Teknologi Nasional.XX (X). [internet]. [dikutip tanggal 5 November 2013]. Malang [ID] : Institut Teknologi Nasional. Hal 1-8. Dapat diunduh dari :http://portalgaruda. org/download_article. php?article=57445.
Fachruddin Hari A. P. , Achmad Fahrudin, Niken T M Pratiwi, Setyo Budi S. Kajian Kejerlanjutan Pengelolaan Wisata Pantai di Pantai Pasir Putih Bira, Bulukumba Sulawesi Selatan.Jurnal kepariwisataan Indonesia.Pusat Penelitian dan Pengembangan Kebijakan Kepariwisataan Badan Pengembangan Sumber Daya Kementerian Pariwisata dan Ekonomi kreatif.Vol 8 Nomor 3 September 2013.
Ferdinand, A. 2002. Structural Equation Modelling Dalam Penelitian Manajemen. Semarang : Fakultas Ekonomi Undip.
Gallego, Maria SantanaRodriguez, Francisco J. Ledesma. , and rodriguez, Jorge V. Perez (2011).On The Relationship Between Tourism and Trade, In Fabio Cerina, Anil Markandya andMichael McAleer (Eds. ) Economics of Sustainable Tourism, Newyork : Routledge.
Healy, R. (1994) Tourist merchandise as a means of generating local benefits from ecotourism. Journal of Sustainable Tourism 2(3), 137-151.
http ://komunikasi. unsoed. ac. id/sites/default/files/35. joko-sutarso-ums. pdf
http://fspu. uitm. edu. my/cebs/images/stories/cebs/6jabsv2n5apr2012a5. pdf. diakses 15 April 2015 pukul 20. 41 Wita
Http://perencanaankota. blogspot. com. 2012. Perencanaan Kota Indonesia, Community Based Tourism. Jakarta
http://www. sciencedirect. com/science/article/pii/S0261517707001501 diakses 15 April 2015 pukul 20.41 Wita
I Wayan Tagel Sidarta. 2002. Dampak Perkembangan Pariwisata terhadap Kondisi Lingkungan, Sosial dan Ekonomi Masyarakat (studi kasus : kawasanPariwisata Sanur Denpasar – Bali). Tesis Program Pasca Sarjana Magister Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro Semarang.
Irianto. Dampak pariwisata terhadap kehidupan social dan ekonomi masyarakat di Gili
Trawangan Kecamatan Pemenang Kabupaten Lombok Utara.Jurnal Bisnis dan
Kewirausahaan Vol 7 No. 3. November 2011.
Isnaini Muallisin. 2007. Model Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat Di Kota Yogyakarta. Jurnal Penelitaian Bappeda Yogyakarta. No. 2 Desember 2007. ISSN 1978-0052
Kadir, N.and Jusoff K. (2010). The Cointegrasion and causality test for tourism and trade in Malaysia.International Journal of Economics and Finance.Vol 2(1)
Kallayanamitra, C. 2012. Sustainability of Community-Based Tourism: Comparison of Mae Kam Pong Village at Chiang Mai Province and Ta Pa Pao Village. Lamphun Province.
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata.2003. Cetak Biru Pariwisata Indonesia. Jakarta : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata Republik Indonesia.
King, P. 2000. Protecting Local Heritage Places. Australian Heritage Commission.Planning Excellence Award 1999-2000.
Kongprasertamorn, K. 2007. Local Wisdom, Environmental Protection and CommunityDevelopment : The Clam Farmers In Tambon Bangkhunsai, Phetchaburi Province, Thailand. MANUSYA: Journal of Humanities 10. 1.
Mansfeld, Y. (1992). Group-Differentiated Perceptions of Social Impacts Related to Tourism Development. Professional Geographer.
Mungmachon, M. R. 2012. Knowledge and Local Wisdom: Community Treasure. International Journal of Humanities and Social Science.Ubon Ratchathani University, Thailand. Vol. 2 No. 13.
Newmark, W. D., Manyanza, D.N. , Gamassa, D. -G. M. and Sariko, H. I. (1994) The conflict between wildlife and local people living adjacent to protected areas in Tanzania: human density as a predictor. Conservation Biology 8, 249-255.
Nizar, Muhammad Afdi.(2011, Juni) Pengaruh Pariwisata Terhadap Pertumbuhan Ekonomi di Indonesia.
Norman McIntyre. Coastal Tourism Development.Annal Tourism Research Vol. 36 Issue 2 (A Social Sciences Journal). ISSN 0160-7383. Elseiver Ltd. 2010.
Pedleton, L. H. and Rooke, J. (2006) Understanding the potential economic impact of SCUBA diving and snorkelling: California. Available at: http://linwoodp. bol. ucla. edu/dive. pdf
Peter Mason. 2003. Tourism Impacts, Planning and Management. Butterworth Heimann. ISBN 07506 5970X. Burlington, MA 01803
Putra, K. G. D. 2009. Tinjauan Strategis, Peluang dan Tantangan Pengembangan Pariwisata Berbasis Budaya dan Masyarakat Lokal di Indonesia. http://kgdharmaputra. blogspot. com/2009/08/tinjauan-strategis-peluang-dan. html.
Qomarudin. 2013. Perubahan Sosial dan Peran Masyarakat dalam Pengembangan Kawasan Wisata Kepulauan Karimun Jawa. Jurnal Of Educational Social Studies.2(1).[internet]. [dikutip tanggal 20 November 2013]. Semarang [ID] : Universitas Negeri Semarang. Hal 41-46. Dapat diunduh dari :http://journal. unnes. ac. id/sju/index. php/jess.
Retnowati, Eulis. 2004. Ekoturisme di Indonesia: Potensi dan Dampak. Prosiding Ekspose Hasil-hasil Penelitian Pemanfaatan Jasa Hutan dan Non Kayu Berbasis Masyarakat Sebagai Solusi Peningkatan dan Pelestarian Hutan. Bogor [ID]: Pusat Litbang Hutan dan Konservasi Alam. Hal. 71-79.
Riduwan. 2003. Dasar-dasar Statistika. Bandung : Alfabeta
Robin Nunkoo. Developing A Community Support Model For Tourism. Annal Tourism Research Vol 38 Issue.3 (A Social Sciences Journal). ISSN 0160-7383. Elseiver Ltd. 2011.
Rodger, K. , Moore, S. A. and Newsome, D. (2007) Wildlife tours in Australia: characteristics, the place of science and sustainable futures. Journalof SustainableTourism 15(2), 160-179.
Schoorl, J. W. 1991. Modernisasi Pengantar Sosiologi Pembangunan Negara-negara Sedang Berkembang.Jakarta : PT. Gramedia Pustaka Utama.
Setiawina, N. D.2013. Sistem Ekonomi Kerakyatan. Denpasar: Universitas Udayana.
Shan J. and Wilson K. (2001) Causality between trade and tourism : empirical evidence from china. Applied Economics Letters.Vol. 8 pp 279 – 283
Sidarta, IWT. 2002. Dampak Perkembangan Pariwisata Terhadap Kondisi Lingkungan, Sosial, dan Ekonomi Masyarakat. [tesis]. [internet]. [dikutip 13 November 2013]. Semarang [ID] : Universitas Diponegoro. 129 hal. Dapat diunduh dari :http://eprints. undip. ac. id/10986/1/2002MIL1729. pdf
SIRGY M. J. (1985). Using Self-Congruity And Ideal Congruity To Predict Purchase Motivation. Journal of business research, 13, 195 – 200.
Siska Anggraeni. Peran Pembangunan Kawasan Wisata Jawa Timur Park II Terhadap Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat di Sekitarnya. Jurnal Ilmiah Jurusan Ekonomi. Universitas Brawijaya. Malang. 2014
Soebagyo. 2012. Strategi Pengembangan Pariwisata Di Indonesia. Jurnal Liquidity. [internet]. [dikutip 5 November 2013]. Jakarta [ID] : Fakultas Ekonomi Universitas Pancasila. 1 (2). Hal. 153-158. Dapat diunduh dari :http://www. liquidity. stiead. ac. id/wp-content/uploads/2012/10/8-_Soebagyo-Liquidity-STIEAD. pdf.
Suansri, P. 2003. Community Based Tourism Handbook. Bangkok, Thailand : Responsible Ecological Social Tours Project (REST).
Sumarwoto, Jarot. 1995. An Alternative Tourism Model in Indonesia. Proceedings of Indonesia-Swiss on Culture and International Tourism. Yogyakarta, Indonesia
Susilo, S. B.(2003), Keberlanjutan pembangunan pulau – pulau kecil : Studi kasus Kelurahan Pulau Panggang dan Pulau Pari Kepulauan Seribu (Disertasi). Sekolah Pasca Sarjana, Institut Pertanian Bogor. Bogor. 2003. 233p
Sutarso, J. t. t. MengagasPariwisata Berbasis Budaya dan Kearifan Lokal.
Tisdell, C. (2003) Economic aspects of ecotourism: wildlife-based tourism and its contribution to nature. Sri Lankan Journal of Agricultural Economics 5(1), 83-95.
Undang-Undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah.
Utama, M. S. dan Kohdrata, N. 2011. Konservasi Keanekaragaman Hayati dengan Kearifan Lokal (Modul Pembelajaran). Denpasar: Universitas Udayana.
Vanhove, N. 2005. The Economics of Tourism Destinations. Elsevier Butterworth-
Helnemann, Oxford University. United Kingdom.
Vipriyanti, N. U.2008. Banjar Adat and Local Wisdom : Community Management for Public Space Sustainability in Bali Province. Konferensi Biennial IASC ke-12.England 14-18 Juli.
Wells, M. P. (1997) Economic perspectives on nature tourism, conservation and development.Environment Department Papers No.55. Environmental Economic Series. Environmentally Sustainable Development.The World Bank.Available at: http://www. icrtourism. org/publications/Economicperspectivestourism. pdf
Wisnawa, M. B. 2012. Pariwisata Kerakyatan. http://madebayu. blogspot. com/2012/02/pariwisata-kerakyatan. html.
World Tourism Organization. 2006. Cultural Tourism and Local Communities. UNWTO International Conference on Cultural Tourism and Local Communities.Yogyakarta 8-10 Februari.