pariwisata bersepeda dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan ...
Transcript of pariwisata bersepeda dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan ...
9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI, DAN
MODEL PENELITIAN
Dalam bab ini akan dipaparkan beberapa penelitian sebelumnya mengenai
pariwisata bersepeda untuk mengetahui teori serta pendapat dari ahli dan peneliti
sebelumnya, yang mempunyai kompetensi pada bidangnya. Diharapkan juga
dapat mengetahui sejauh mana pengembangan pariwisata bersepeda di beberapa
destinasi pariwisata yang ada di Indonesia maupun di mancanegara sehingga bisa
menjadi dasar dan acuan dalam analisa permasalahan dalam penelitian ini.
2.1 Tinjauan Pustaka
Kajian pustaka berisikan kajian sederhana beberapa penelitian terdahulu
dan juga contoh pengembangan pariwisata bersepeda di beberapa destinasi
pariwisata. Penelitian-penelitian ini digunakan sebagai perbandingan penelitian
sejenis yang relevan, mampu menjelaskan dan mempertegas penelitian. Di dalam
penelitian tersebut juga didapat beberapa latar belakang yang mendasar sehingga
pariwisata bersepeda bisa menjadi pemecah ataupun untuk mengurangi
permasalahan yang ada di destinasi pariwisata.
1.1.1. Pariwisata bersepeda di Beberapa Destinasi Pariwisata
Berdasar dari pengumpulan informasi, ada beberapa negara dan daerah
yang berhasil mengembangkan pariwisata bersepeda di dalam destinasi
pariwisatanya. Ada beberapa destinasi pariwisata yang mengembangkan
pengembangan pariwisata bersepeda dengan berbagai bentuk aktivitasnya.
10
Sebagai contoh di Indonesia pengembangan pariwisata bersepeda ada di Pulau
Gili Trawangan, Lombok, dimana adanya larangan untuk menggunakan
kendaraan bermotor di pulau tersebut, sehingga moda transportasi utama yang
digunakan oleh wisatawan adalah sepeda yang disewakan oleh penduduk
setempat. Hal ini juga menjadi daya tarik wisata di Gili Trawangan disamping
karena potensi wisata baharinya.
Di Jakarta, lebih tepatnya di Kota Tua Batavia, Jakarta Barat, juga
berkembang pariwisata dengan sepeda. Uniknya, wisatawan akan mengelilingi
kota tua dengan sepeda, namun, posisi wisatawan bukan sebagai pengendara
sepeda melainkan sebagai penumpang sepeda. Pengendara sepeda sekaligus
berperan sebagai pemandu wisata (guide), akan menjelaskan setiap detail
bangunan tua beserta sejarahnya kepada wisatawan, sembari mengelilingi Kota
Tua Batavia.
Di Bali, perkembangan pariwisata dengan mengunakan moda sepeda
sudah berkembang sejak lama. Sepeda bukan saja digunakan sebagai moda untuk
berpindah tetapi juga sebagai atraksi wisata petualangan, seperti sepeda gunung,
atau juga tur sepeda dengan mengelilingi sawah, rumah penduduk, perkebunan
atau tempat-tempat menarik lainnya. Umumnya perkembangan atraksi pariwisata
sepeda di Bali berkembang di daerah pergunungan yang memiliki kontur yang
curam, dengan starting point berada di daerah yang lebih tinggi sehingga
memudahkan dalam pergerakan wisatawan. Pariwisata sepeda ini umumnya
berada di daerah Bedugul dan Kintamani. Hal yang berbeda bisa ditemukan pada
pariwisata sepeda di Sanur dan Ubud, dimana wisatawan mengendarai sepeda
11
bertujuan untuk menikmati keindahan alam dan budaya di dalam destinasi
pariwisata. Kegiatan berpindah dari satu lokasi ke lokasi lain dan melihat alam
sekitar lebih dominan, daripada bersepeda bertualang. Ini dikarenakan kontur dari
wilayah Sanur dan Ubud yang cenderung landai dan juga atraksi wisata yang lebih
beragam, seperti alam, budaya dan fasilitas pendukung pariwisata lainnya.
Pariwisata bersepeda di mancanegara, dikembangkan di Australia dan
Selandia Baru. Di Australia perkembangan pariwisata bersepeda diikuti dengan
penjualan sepeda yang semakin meningkat pada tahun 2000 hingga 2004, serta
eksistensi komunitas sepeda juga memiliki andil dalam peningkatan jumlah
perjalanan wisata dengan menggunakan sepeda di Australia (Faulks, et al. 2006).
Kondisi yang lain di Selandia Baru, dengan makin banyaknya wisatawan yang
menggunakan sepeda, otoritas setempat memberikan pengalaman baru melalui
variasi pemandangan, masyarakat yang ramah, dan jalur sepeda yang bagus. Ada
sekitar 1,6% dari total wisatawan di Selandia baru menggunakan sepeda sebagai
moda transportasi utama, bahkan 5% dari total wisatawan asing menggunakan
sepeda dalam berwisata di negara tersebut (Ritchie, 1998:571).
Di kawasan Eropa Barat, penggunaan sepeda sebagai moda transportasi
sudah sangat umum, bahkan di Belanda dan Denmark, sepeda menjadi moda
transportasi utama yang menggerakkan warga kotanya dalam beraktivitas dan
berpindah dari rumah menuju ke tempat kerja ataupun aktivitas lain. Belanda
mempunyai banyak jalur khusus sepeda, dan terdapat banyak penunjuk jalan
untuk pengendara sepeda, lanskap yang datar, jarak yang dekat dan banyak yang
bisa untuk dilihat di sepanjang perjalanan (sightseeing)
12
(www.nederlandfietsland.nl/en diakses pada 25 September 2013). Belanda
mempunyai 27 mil (43,452 km) jalur yang dibuat khusus untuk sepeda dan sepeda
gratis yang tersedia di beberapa pos, sehingga penggunaan sepeda maksimal, bisa
mengurangi jumlah kendaraan dan kemacetan serta memberikan kesempatan bagi
wisatawan untuk melihat pemandangan yang ada di sekitar kota (Page, 2009).
Pengembangan pariwisata bersepeda di Inggris Raya, dikembangkan oleh
UK’s National Cycle Network (NCN) yang membuat program bernama Sustrans
(sustainable transport). Program ini diharapkan menjadi perubahan baru dalam
penggunaan moda transportasi dan juga menjadi kontribusi penting untuk
pariwisata berkelanjutan dan strategi pengembangan masyarakat untuk
pengelolaan lingkungan. Bahkan pada pembukaan jalur baru ke wilayah Irlandia
Utara bisa membangkitkan pariwisata pedesaan di wilayah tersebut akibat adanya
jalur sepeda (Page, 2009).
Mengacu pada Lumsdon (1999), ada tiga cara yang dilakukan NCN
sehingga berkontribusi terhadap pariwisata berkelanjutan. Pertama, dengan
mendorong wisatawan untuk mengganti kendaraan bermesin ke sepeda di dalam
destinasi pariwisata, walaupun hal ini memerlukan suatu budaya yang ramah
terhadap aktivitas bersepeda untuk mengimplementasikannya, sehingga bisa
merubah kebiasaan wisatawan. Kedua, mengurangi kegiatan wisata yang
bergantung pada kendaraan bermesin , terutama dari atraksi utama atau wilayah
yang berdekatan dengan resort dan area perkotaan. Ketiga, pertumbuhan dalam
liburan yang berbasis pada pengggunaan sepeda baik dari liburan pendek ataupun
13
jangka panjang, baik bagi masyarakat Inggris Raya maupun wisatawan luar
negeri.
2.1.2 Penelitian Terkait Pariwisata Bersepeda
Penelitian yang dilakukan oleh Lumsdon (2000) dengan judul ‘Transport
and Tourism: Cycle Tourism – A Model for Sustainable Development?’.
Penelitian ini membahas tentang pengembangan pariwisata bersepeda sebagai
sebuah model dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam penelitiannya di
Amerika Serikat ini disebutkan mengenai pertumbuhan transportasi untuk
kegiatan pariwisata dan sejauh mana transportasi mempunyai peran dalam
pengembangan pariwisata berkelanjutan melalui desain dan fasilitas yang
mendukung. Penelitian ini ditemukan fenomena bahwa penggunaan sepeda
sebagai sebuah alat advokasi bagi masyarakat, melalui penggunaan sepeda yang
massal, maka akan bisa menggugah para pemangku kebijakan untuk membuat
aturan yang bisa mengintervensi pemangku kepentingan pariwisata untuk
merubah moda transportasi dari kendaraan bermesin menjadi sepeda. Fokus dari
penelitian ini adalah bagaimana pariwisata bersepeda menjadi model yang tepat
dalam pariwisata berkelanjutan melalui hubungan antara transportasi dan
pariwisata. Persamaan dengan penelitian yang dilakukan adalah sama-sama dalam
pengembangan pariwisata bersepeda dalam mewujudkan sebuah pariwisata yang
berkelanjutan dalam sebuah destinasi pariwisata.
Selanjutnya, penelitian Broadaway (2012) berjudul, ‘Bicycle Tourism and
Rural Community Development: An Asset Based Approach’ melakukan studi
tentang pengembangan pariwisata bersepeda, dan pengembangan masyarakat
14
pedesaan melalui pendekatan asset (potensi) yang dimiliki oleh dua desa di
Amerika Serikat, yakni di Farmington, Missiouri dan Collinwood, Tennessee. Di
dalam penelitian ini melihat bagaimana peran dari masyarakat perdesaan dalam
mengembangkan pariwisata bersepeda di daerahnya dan juga cara menghadapi
berbagai tantangan dalam pengimplementasiannya. Metode pengumpulan data
dilakukan dengan pendekatan snowball sampling kepada anggota masyarakat,
untuk mengetahui detail dari akomodasi wisatawan bersepeda, proses dalam
mengembangkan pariwisata bersepeda, individu dan kelompok masyarakat yang
terlibat, jenis pemanfaatan potensi dan beberapa tantangan dalam
pengimplementasian pariwisata bersepeda. Hasil penelitian yang didapat adalah
alat yang digunakan untuk menyelaraskan antara potensi dari masyarakat dengan
kebutuhan dari pariwisata bersepeda dalam kerangka kerja yang mengatur tentang
potensi-potensi yang dimiliki oleh masyarakat. Manfaat yang bisa diambil dalam
penelitian ini adalah pendekatan potensi di dalam destinasi dengan tujuan
mengembangkan pariwisata bersepeda untuk memberikan manfaat kepada
masyarakat, mengingat dalam penelitian ini diteliti mengenai potensi dari
Destinasi Pariwisata Sanur dan juga manfaat dari aktivitas pariwisata bersepeda.
Simonsen dan Jorgensen (1998) melakukan penelitian mengenai
pariwisata bersepeda dengan lokasi di Denmark, dalam penelitiannya dipaparkan
lebih mendetail tentang dua wilayah yang akan dikembangkan sebagai bentuk dari
pariwisata bersepeda dimana motivasi dari pengembangnya adalah pariwisata
yang menguntungkan dan ramah lingkungan atau ‘very little environment cost’
(sangat sedikit dampaknya terhadap lingkungan). Dalam penelitian yang berjudul
15
‘Cycle Tourism: An Economic and Enviromental Sustainable Form of Tourism?’
ini lebih lanjut menjelaskan secara rinci mengenai demografi, aktivitas dan
perilaku, pengalaman kebutuhan keperluan rutin dan produk pariwisata bersepeda,
serta sikap terhadap lingkungan dalam melaksanakan kegiatan bersepeda. Metode
yang digunakan adalah dengan menganalisis dari sisi permintaan dan sisi
penawaran. Analisis yang digunakan adalah dengan kombinasi antara kualitatif
(wawancara, percakapan, dan dokumen tertulis) dan kuantitatif (kuesioner,
statistik, dan analisa). Kombinasi dari dari beberapa tipe analisis tersebut untuk
mendeskripsikan dari pariwisata bersepeda dan wisatawannya dengan fokus
kepada masalah yang terjadi di wilayah penelitian. Persamaan dari penelitian ini
dengan yang dilakukan oleh Simonsen dan Jorgensen adalah sama-sama
menggunakan analisis kualitatif dan kuantitatif dengan keluaran deskripsi dari
kedua analisis tersebut.
Pengembangan dari penelitian Simonsen dan Jorgensen dilakukan oleh
Rithcie (1998), dengan judul ‘Bicycle Tourism in The South Island of New
Zealand: Planning and Management Issues.’ Fokus penelitian ini melihat
perspektif dari sisi permintaan (demand) serta menjelaskan karakteristik,
infrastruktur dan perilaku perjalanan berdasarkan penerapan pariwisata bersepeda
oleh wisatawan independen yang bersepeda di South Island di Selandia Baru.
Tujuan dalam penelitiannya untuk mengembangkan pariwisata bersepeda sebagai
sebuah moda transportasi pariwisata dan berpotensial sebagai bentuk pariwisata
alternatif dan pariwisata berkelanjutan. Disebutkan bahwa pengembangan promosi
mengenai pariwisata bersepeda masih sangat sedikit dilakukan di Selandia Baru,
16
berbeda dengan di Inggris Raya dan negara-negara Eropa Barat. Metode yang
digunakan adalah survei dengan kuesioner, dimana pertanyaan bersifat terbuka
dan tertutup. Pertanyaan disusun berdasarkan 5-poin Skala Likert, dengan
pertanyaan diadaptasi dari teori motivasi oleh Schieven dan Figler, et al. Hasil
penelitian ini adalah rekomendasi dalam hal perencanaan dan manajemen di masa
depan bagi Selandia Baru ataupun negara yang baru mengembangkan pariwisata
bersepeda. Manfaat penelitian ini adalah untuk mengetahui format dan bentuk
rekomendasi bagi destinasi pariwisata dalam pengembangan pariwisata bersepeda
dalam mewujudkan pariwisata berkelanjutan.
Di dalam penelitian tesis pasca sarjana strata dua di Universitas Udayana,
ada dua penelitian yang menggunakan sepeda sebagai objek penelitian. Ariwangsa
(2012) melakukan penelitian dengan judul ‘Mountain Bike Park di Area Hutan
Bedugul – Baturiti : Sebuah Potensi yang Bagus dari Pariwisata Olahraga dan
Petualangan?’ Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan pariwisata
berkelanjutan berbasis masyarakat dan analisis data yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif. Dari hasil penelitian didapatkan bahwa potensi yang
dimiliki oleh wilayah Bedugul sangat memungkinkan untuk dikembangkan
sebagai mountain bike park, bukan saja dari fisik lanskap untuk bersepeda, yang
lebih penting karena didukung oleh masyarakat setempat.
Pada tahun berikutnya Yudatama (2013), melakukan penelitian di wilayah
kecamatan yang sama dengan judul: ‘Strategi Pengembangan Atraksi Wisata
Bersepeda Down Hill di Kecamatan Baturiti Kabupaten Tabanan’. Penelitian ini
bertujuan untuk mengetahui potensi yang ada di sekitar kawasan, persepsi
17
masyarakat, dan wisatawan, serta faktor pendorong dan penghambat dalam
pengembangan atraksi wisata bersepeda down hill. Penelitian ini menggunakan
metode kualitatif dengan analisis deskriptif kualitatif dan SWOT, sehingga
didapat strategi pengembangan wisata sepeda down hill.
Hasil dari dua penelitian tersebut hampir sama yakni sama-sama
menyatakan bahwa adanya potensi fisik dan penerimaan masyarakat yang baik
terhadap kegiatan pengembangan atraksi wisata bersepeda, baik dalam hal
persepsi dan manfaat, serta masih ada hambatan yang ditemui dalam
pengembangan atraksi wisata alternatif ini (Ariwangsa, 2012: 95-96, dan
Yudatama, 2013: 110-111). Perbedaan penelitian oleh Ariwangsa, yang meneliti
tentang potensi sebuah lokasi untuk dikembangkan sebuah atraksi wisata
mountain bike, sedangkan Yudatama melihat pengembangan atraksi wisata sepeda
down hill. Persamaan penelitian dari dua penelitian yang terakhir diacu adalah
sama-sama menyelidiki potensi yang dimiliki oleh destinasi dalam pengembangan
wisata berbasis sepeda. Perbedaan penelitian antara lain adalah lokus penelitian,
pendekatan penelitian, dan metode penelitian yang digunakan.
2.2 Konsep Penelitian
2.2.1 Transportasi dan Pariwisata
Hubungan antara transportasi dengan pariwisata, tidak terlepas dari adanya
hubungan keruangan (spatial interaction) antara dua tempat dimana satu tempat
merupakan daerah yang suplus dengan segala komoditas yang dimiliki dengan
satu tempat yang mempunyai permintaan akan komoditas tersebut. Dalam istilah
geografi, adanya perbedaan penggunaan lahan (land use) antar dua tempat dan
18
transportasi sebagai penghubung antar keduanya. Dalam konteks pariwisata
hubungan antar dua daerah (tempat) yang saling berinteraksi karena kebutuhan
wisata, maka sistem transportasi akan diperlukan (Boniface dan Cooper, 1987).
Pariwisata dan transportasi tidak bisa dipisahkan karena berkaitan dengan
pergerakan manusia di dalam suatu ruang untuk tujuan pemenuhan kebutuhan
manusia, termasuk untuk kegiatan pariwisata. Cooley (1984) dalam Page (2009:
3) menyatakan bahwa:
‘the theory of transportation’, transport was acknowledged as one of the key features underpinning sosial and economic development, not only to overcome the physical constraints of distance, but also to meet human needs for movement across time and space including travel for the purpose of tourism.’
(terjemahan penulis:”teori transportasi, transportasi sudah diketahui sebagai salah satu ciri kunci dalam menyokong social dan pembangunan ekonomi, tidak hanya untuk mengatasi masalah dalam jarak, tetapi juga mempertemukan kebutuhan manusia untuk bergerak melewati waktu dan ruang termasuk perjalanan untuk kegiatan pariwisata”)
Berdasar penjelasan tersebut, transportasi bukan hanya terbatas pada
pergerakan fisik tetapi juga transportasi sebagai proses dalam mempertemukan
kebutuhan manusia di dalam ruang dan waktu, termasuk juga dalam pemenuhan
kebutuhan pariwisata dimana waktu dan tempat memegang peranan yang sangat
penting. Waktu yang tepat akan menciptakan kualitas pengalaman berwisata,
seperti menikmati sunset atau sunrise, harus dilakukan dengan menggunakan
pertimbangan waktu sehingga bisa terbentuk suatu komoditas bernama sunrise
dan sunset tersebut.
Transportasi adalah dasar dalam pembangunan ekonomi dan
perkembangan masyarakat serta pertumbuhan industrialisasi, dalam konteks ini
menggunakan transportasi dapat menciptakan suatu barang atau komoditi yang
19
berguna menurut waktu dan tempat (Karya, 2011). Dalam konteks pembangunan
pariwisata yang tertuang dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 50
Tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional 2010-
2015. Pada pasal 19, strategi pengembangan dan kemudahan akses dan pergerakan
wisatawan menuju destinasi dan pergerakan wisatawan di Daerah Pariwisata
Nasional, dilakukan dengan (1) meningkatkan ketersediaaaan moda transportasi,
(2) meningkatkan kecukupan kapasitas angkut moda transportasi, dan (3)
mengembangkan keragaman atau diversifikasi jenis moda transportasi. Dalam
peraturan tersebut sangat jelas tergambar bahwa pembangunan kepariwisataan
tidak terlepas dari peran pembangunan trasnportasi yang menghubungkan seluruh
komponen pariwisata nasional, baik pergerakan wisatawan dari wilayah asal
wisatawan ke destinasi pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah destinasi
pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata.
Dalam industri pariwisata, transportasi menjadi elemen dalam operasional
pariwisata dan juga dipengaruhi oleh prinsip hospitality (kerahmahtamahan)
dalam pelaksanaannya (lihat Gambar 1.1). Bahkan transportasi adalah linkage dari
sebuah sistem yang menghubungkan antara permintaan dan sediaan dalam industri
pariwisata tersebut. Tanpa transportasi kebanyakan kegiatan pariwisata tidak akan
berjalan. Dalam beberapa hal, pengalaman dalam bertransportasi menjadi
pengalaman berwisata seperti, pesiar, heritage trail (jelajah wisata warisan
budaya), naik kendaraan umum atau tur bersepeda (Page, 2009).
20
Gambar 2.1. Transportasi, Sektor Operasi dari Industri Pariwisata Sumber: diterjemahkan dari Page, 2009
Pada paparan sebelumnya disebutkan pariwisata massal membuat berbagai
permasalahan di dalam suatu destinasi pariwisata termasuk dalam permasalahan
transportasi. Penyebabnya antara lain karena jumlah wisatawan yang semakin
banyak disertai dengan bertambahnya penggunaan moda transportasi,seperti: bus,
mobil dan sepeda motor. Hal yang dialami oleh suatu destinasi yang mengalami
lonjakan kunjungan wisawatan. Ada beberapa permasalahan transportasi yang
menjadi perhatian dunia pada saat ini, yang juga memengaruhi dalam industri
pariwisata yakni: kemacetan; keselamatan dan keamanan; lingkungan; dan
seasonal (musiman) (Page, 2009).
Kemacetan menjadi musuh utama pengembangan wisata di dalam suatu
destinasi pariwisata. Dalam artikel Time yang ditulis oleh Marshall (2011), yang
21
mengamati pembangunan pariwisata di Destinasi Pariwisata Kuta, disebutkan
bahwa pembangunan fasilitas mewah seperti mall, hotel berbintang lima, dan
banyak fasilitas pendukung wisata, tidak disertai dengan pembangunan
infrastruktur yang memadai seperti parkir dan jalan. Kondisi ini tentu saja menjadi
ironi karena di sisi lain pertumbuhan wisatawan meningkat namun tidak disertai
dengan fasilitas penunjang umum yang memadai dalam menampung jumlah
wisatawan tersebut. Hal inilah yang sering menjadi pemicu kemacetan di
Destinasi Pariwisata Kuta.
Keselamatan dan kenyamanan yang semakin tidak menentu membuat
permasalahan transportasi menjadi hambatan dalam pengembangan pariwisata
dalam aspek ruang wilayah. Kepercayaan wisatawan terutama dari negera maju
harus dimunculkan dengan memberi layanan transportasi yang aman dan nyaman.
Pencemaran lingkungan juga harus diperhatikan dalam pembangunan sarana dan
prarasarana transportasi sehingga tidak mengganggu destinasi pariwisata.
Diperlukan sebuah strategi yang tepat guna mengurai masalah, terutama ketika
terjadi lonjakan wisatawan di musim liburan.
Bersepeda secara umum adalah melakukan suatu pergerakan atau
bergerak, dalam hal ini bergerak ke satu tujuan menggunakan sepeda atau
bergerak dengan mengayuh sepeda sehingga membuat sepeda menjadi bergerak.
Menurut Hakim dan Utomo (2004) ada beberapa faktor yang menyebabkan
manusia bergerak di dalam suatu ruang, antara lain, ada suatu yang
menyenangkan; adanya tanda atau petunjuk yang jelas dan mengarah; bila ada
sesuatu yang sesuai atau cocok; bila sesuatu mempunyai kegunaan; bila sesuatu
22
mempunyai daya tarik; untuk mencapai tujuan; bila ada sesuatu yang
menakjubkan dan rasa ingin tahu; bila ada ruang-ruang yang memberikan rasa
aman; bila ada rasa petualangan; bila ada sesuatu yang indah dan permai, dan
menuju daerah/ruang yang cocok dengan kebutuhannya. Bisa dicermati bahwa
faktor pendukung sesorang melakukan kegiatan bersepeda didasari atas motivasi
atas rasa senang akan kegiatan, bukan hanya kegunaan sepeda sebagai sarana
berpindah.
Selain faktor yang mendukung, ada juga faktor yang mempengaruhi orang
untuk bersepeda dilihat dari faktor demografi dan sosial ekonomi, faktor budaya,
faktor lingkungan sekitar dan juga faktor peraturan yang terkait (Vandelbulcke, et
al 2010 : 118-119). Faktor demografi dan sosial ekonomi bisa dilihat dari umur,
gender, pendapatan, pendidikan, status dan profesionalitas. Selanjutnya dari faktor
budaya, semakin kuat budaya bersepeda dalam lingkungannya, membuat
seseorang semakin termotivasi untuk bersepeda. Faktor lingkungan menjadikan
cuaca, kontur tanah, struktur ruang kota, dan juga infrastruktur sebagai penentu
dasar dalam bersepeda. Pada faktor peraturan terkait, perencanaan dan juga
peraturan yang pro-sepeda yang berkekuatan hukum menjadikan orang menjadi
tertarik dalam bersepeda.
Bersepeda menjadi kecenderungan yang berkembang saat ini, bukan hanya
karena menyehatkan tetapi dampak yang ditimbulkan terhadap lingkungan sekitar
sangatlah kecil. Penggunaan sepeda tidak memerlukan ruang yang besar dan juga
tanpa menggunakan energi yang tidak dapat diperbaharui. Penggantian moda dari
kendaraan bermesin ke sepeda, menjadi salah satu alternatif bagi pengurangan
23
dampak akibat penggunaan transportasi dewasa ini dan juga bisa menjadi atraksi
baru dan menyehatkan baik bagi wisatawan, masyarakat maupun lingkungan di
destinasi pariwisata, sehingga kualitas kenyamanan di destinasi pariwisata
menjadi meningkat. Bersepeda lebih ekonomis, karena pengeluaran yang
dibutuhkan lebih kecil dari kendaraan pribadi dan kendaraan umum, juga dilihat
dari sisi pembangunan infrastruktur yang lebih efisien. Berdasar pada kondisi
tersebut, bersepeda bisa sangat diterima dari segi lingkungan, ekonomi dan sosial
(Purcher dan Buehler, 2012).
2.2.2 Pariwisata Bersepeda
Pariwisata bersepeda semakin berkembang dan menjadi diperhatikan
dalam industri pariwisata dan berpeluang menjadi potensi dalam bidang ekonomi
dan menjadi keuntungan bagi lingkungan dalam ruang wilayah dan masyarakat
yang lebih luas (Lumsdon, 2006 dan Ritchie, 1998). Definisi pariwisata bersepeda
oleh South Australian Tourist Commission (2002) adalah liburan atau kegiatan
bersantai meliputi kegiatan menginap yang bukan rumah dalam waktu satu malam
atau lebih dimana kegiatan bersepeda dilakukan sebagai aktivitas atau sebagai
salah satu moda transportasi yang digunakan. Selain itu juga dijelaskan mengenai
definisi pariwisata bersepeda dalam The Munda Biddi Trail Foundation (2005)
dalam Faulks (2006), adalah sebuah kegiatan kunjungan rekreasi, yang menginap
semalam atau sehari dan bukan merupakan tempat tinggal, dimana bersepeda
adalah bagian yang signifikan dari kunjungan rekreasi tersebut.
Lumsdon (2000), mendefinisikan pariwisata bersepeda sebagai sebuah
aktivitas rekreasi menggunakan sepeda dalam satu hari atau beberapa bagian hari,
24
untuk tujuan jarak panjang dalam berlibur. Berdasar definisi yang sudah
disebutkan tadi dapat disimpulkan bahwa pariwisata bersepeda adalah kegiatan
berlibur, atau berkunjung ke suatu destinasi dimana terletak di luar lingkungan
rumah dengan durasi lebih dari satu hari dimana bersepeda adalah bagian yang
signifikan dari liburan dan menjadi moda transportasi di dalam kegiatan berwisata
di dalam destinasi pariwisata tersebut. Pariwisata ini menjadikan sepeda sebagai
alat utama pergerakan wisatawan, menuju atau antar daerah wisata maupun di
dalam kawasan wisata dimana wisatawan itu menginap/bermalam.
Selanjutnya, wisatawan bersepeda (cycling tourist), didefiniskan oleh
Ritchie (1998: 568-569) sebagai berikut:
“a person who is away from their hometown or country for a period not less than 24 hours or one night, for the purpose of a vacation or holiday, and for whom using a bicycle as a mode of transport during this time away is an integral part of their holiday or vacation. This vacation may be independently organised or part of a commercial tour and may include the use of transport support services and any type of formal and/or informal accommodation. “ (terjemahan penulis:’Seseorang yang jauh dari rumah atau negara asal pada jangka waktu tidak kurang dari 24 jam atau satu malam, yang mempunyai tujuan untuk bersenang-senang atau berlibur, dan menggunakan sepeda sebagai moda transportasi selama kegiatannya dan menjadi bagian integral dari kegiatan berlibur. Kegiatan berlibur ini bisa dilakukan secara individual atau bagian dari tur komersial, dan bisa termasuk dalam penggunaan dari jasa pendukung transportasi dan menginap di akomodasi dari tipe formal dan informal.’) Jenis wisatawan ini yang membedakan dengan wisatawan pada umumnya
adalah penggunaan moda transportasi yakni sepeda yang digunakan sebagai moda
utama dalam melakukan pergerakan yang bertujuan untuk melakukan kegiatan
pariwisata sebagai akibat dari motivasi berwisata. Wisatawan ini menganggap
bahwa sepeda adalah bagian terpenting dari perjalanan menuju maupun di dalam
25
destinasi pariwisata. Umumnya wisatawan ini berasal dari Eropa dimana harga
bahan bakar dan mobil bernilai mahal, mempunyai transportasi publik yang
murah dan terintegrasi, mempunyai fasilitas dan infrastruktur sepeda yang
memadai, serta memiliki kesadaran akan kelestarian lingkungan yang tinggi.
2.2.3 Pariwisata Berkelanjutan
Isu lingkungan menjadi perbincangan yang menarik di dalam dunia
pariwisata saat ini, seperti sejauh mana pariwisata ikut menyumbangkan polusi di
kawasan pariwisata akibat dari aktivitasnya. Industri pariwisata oleh banyak
pengamat adalah industri yang ramah lingkungan dan tanpa mengeluarkan asap,
tetapi kalau ditelusuri lebih jauh, bahwa pariwisata sedikit banyak menyumbang
polusi bagi lingkungan dunia secara luas maupun dalam artian khusus di dalam
kawasan pariwisata tersebut.
Penggunaan transportasi menyumbangkan sebagian besar polusi, terutama
kegiatan pariwisata di negara yang tidak memiliki transportasi massal publik yang
terintegrasi dengan baik. Penggunanaan kendaraan sewa seperti bus, mobil dan
sepeda motor menjadi pilihan utama dalam mobilitas wisatawan, dan biasanya
terjadi di negara yang berkembang akibat infrastruktur yang tidak terbangun
dengan perencanaan yang baik. Banyak negara berkembang yang dihadapkan
pada masalah lingkungan dan pergerakan (mobilitas) akibat dari peningkatan luar
biasa penggunaan mobil (kendaraan bermotor/automobile) (Vandelbulcke, et al
2010: 118).
Melihat kondisi yang terjadi, prinsip pembangunan pariwisata yang
berkelanjutan menjadi penting untuk diterapkan. Definisi pembangunan pariwisata
26
berkelanjutan menurut UNESCO (www. unesco.org/education/ (diakses pada 16
September 2013)) adalah:
“Tourism that respect both local people and the traveller, cultural heritage and the environment”
(Terjemahan penulis: ‘Pariwisata yang menghormati baik penduduk local dan wisatawan, warisan budaya dan juga lingkungan’)
Dalam definisi tersebut pariwisata berkelanjutan haruslah menghormati
masyarakat lokal dan juga wisatawan sehingga tercipta keharmonisan, kepedulian
terhadap warisan sumber daya budaya dan juga lingkungan menjadi perhatian
bukan hanya sebagai faktor penarik wisatawan tetapi juga sebagai suatu warisan
yang harus dipelihara untuk generasi selanjutnya. Ditegaskan oleh UNWTO
dalam laporan Tourism and Local Agenda 21 bahwa:
”Sustainable tourism development meets the needs of present tourist and host regions while protecting and enhancing opportunities for the future”
(terjemahan penulis: pembangunan pariwisata berkelanjutan mempertemukan kebutuhan pada saat sekarang dari wisatawan dan daerah penerima wisatawan, melindungi dan meningkatkan peluang pada masa depan’)
Arida (2009: 17) menjelaskan kegiatan wisata dianggap berkelanjutan
apabila memenuhi syarat dari segi ekologis, sosial, kultural, dan ekonomis.
Pertama, secara ekologis berkelanjutan, yaitu pembangunan pariwisata tidak
menimbulkan efek negatif bagi ekosistem setempat. Kedua, secara sosial dapat
diterima berdasarkan kemampuan masyarakat local sehingga tidak menimbulkan
konflik social. Ketiga, secara kultural dapat diterima, dan dapat diadaptasi oleh
masyarakat lokal terhadap budaya wisatawan yang berbeda, dan. Keempat, secara
ekonomis menguntungkan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
27
Pembangunan pariwisata berkelanjutan tidak serta merta bisa diwujudkan
dengan mudah, banyak hambatan yang ditemui. Muller (1994) dalam Page (2001)
menyebutkan ada empat alasan mengapa perwujudan pembangunan pariwisata
berkelanjutan sulit untuk dilaksanakan. Pertama, terlalu banyak teori dan ahli dan
terlalu sedikit sumber daya, dan sedikit waktu untuk bertindak. Kedua, adanya
permintaan yang sangat besar dari sektor pariwisata. Ketiga, sementara mulai
tumbuh kesadaran lingkungan tetapi masih didominasi sikap yang mengumbar
kesenangan berlibur daripada tanggung jawab akan kelangsungan di dalam
kawasan wisata. Keempat, merubah paradigma diperlukan, menuju ke arah sosial
dan gaya hidup terhadap lingkungan yang lebih harmonis. Muller mengganggap
bahwa penerapan pariwisata berkelanjutan adalah suatu jalan yang panjang dan
sulit.
2.3 Landasan Teori
2.3.1 Teori Pariwisata
Definisi pariwisata berdasarkan Tourism Society (1976) dalam Robinson
(2012) adalah suatu yang bersifat sementara (temporary), pergerakan dalam
jangka waktu pendek dari seseorang ke daerah tujuan yang bukan daerah biasa
wisatawan tinggal dan bekerja dan juga bukan kegiatan yang wisatawan lakukan
sehari-hari. Pariwisata dalam beberapa dimensi, ada dua yang membedakan,
adalah definisi waktu dan jarak minimal. Mcintosh, Goeldener dan Ritchie (1995)
dalam Warpani, (2007), mendefinisikan bahwa pariwisata adalah kegiatan
perjalanan seseorang ke dan tinggal di tempat lain di luar lingkungan tempat
tinggalnya untuk waktu kurang dari satu tahun terus-menerus, dengan maksud
28
bersenang-senang. Didasarkan pada berbagai definisi pariwisata ada empat faktor
yang menjadi dasar pengertian pariwisata yang murni, yakni, Pertama perjalanan
itu dilakukan untuk sementara waktu, sekurang-kurangnya 24 jam dan kurang dari
satu tahun, Kedua perjalanan dilakukan dari suatu tempat ke tempat lain, Ketiga,
perjalanan itu, apapun bentuknya, harus selalu dikaitkan dengan pertamasyaan
atau rekreasi, dan Keempat orang yang melakukan perjalanan tersebut tidak
mencari nafkah di tempat yang dikunjunginya dan semata-mata sebagai konsumen
di tempat itu (Yoeti,1996: 118).
Gunn (1988) dalam Warpani (2007), memandang pariwisata sebagai
suatu sistem dan memilahnya dalam sisi permintaan dan sediaan/penawaran.
(supply dan demand). Komponen permintaan terdiri atas elemen orang, ditengarai
oleh hasrat orang melakukan perjalanan dan kemampuan melakukannya,
sedangkan komponen sediaan adalah daya tarik wisata, serta perangkutan,
informasi dan promosi dan pelayanan. Hubungan antar elemen digambarkan
sebagai suatu sistem kepariwisataan (lihat Gambar 2.2).
Dari mata seorang perencana, semua elemen adalah penting untuk
diperhatikan, baik dari segi sumber daya manusia, sumber daya alam, maupun
sumber daya binaan. Elemen kepariwisataan pada dasarnya adalah sektor kegiatan
industri yang langsung maupun tidak langsung menjadi bagian tidak terpisahkan
dengan seluruh kegiatan kepariwisataan.
29
Gambar 2.2 Sistem Kepariwisataan Sumber: Gunn, 1988 (dalam Warpani, 2007)
Dalam pengembangan pariwisata, khususnya pariwisata bersepeda,
pengembangan dari sisi penawaran pariwisata sangat penting untuk
dikembangkan, terutama destinasi pariwisata. Dalam hal ini destinasi pariwisata
merupakan bentuk yang kompleks dari sebuah produk dan jasa pariwisata.
Berdasar tersebut suatu destinasi tidak tunggal tetapi terdiri dari komponen yang
berbaur (mix) yang biasa disebut destination mix. Ada empat komponen yang
harus diperhatikan dalam penawaran pariwisata, yang dikenal dengan sebutan 4A,
yakni. Pertama attractions (daya tarik wisata) adalah komponen terpenting dalam
sistem pariwisata karena merupakan motivasi wisatawan untuk mengunjungi
destinasi pariwisata. Kedua amenities (fasilitas pendukung), adalah fasilitas seperti
ORANG Minat berwisata
Kemampuan berwisata
PERMINTAAN
INFORMASI PROMOSI
PERANGKUTAN Volume dan Mutu
semua moda
DAYA TARIK WISATA Pengembangan Sumber Daya demi kepuasan pengunjung
PELAYANAN Ragam, Mutu Makanan,
penginapan, produk wisata SEDIAAN
30
akomodasi, tempat makanan dan minuman, pusat perbelanjaan, fasilitas olahraga
dan hiburan serta fasilitas lainnya. Ketiga access (transportasi), bagaimana
wisatawan dalam mobilitas menuju destinasi pariwisata maupun ketika berada
dalam destinasi pariwisata, tidak sebatas transportasi secara fisik tetapi juga
menyangkut infrastruktur, sarana, operasional dan juga kebijakan pemerintah
mengenai transportasi. Keempat ancillary Service (pelayanan kelembagaan)
adalah penyedia layanan untuk kebutuhan wisatawan termasuk, pemandu wisata,
agensi iklan, konsultan, penyedia jasa pendidikan dan pelatihan, serta
berkoordinasi dengan badan pariwisata setempat.
Teori pariwisata sebagai sebuah sistem, dalam penelitian ini digunakan
untuk membedah rumusan masalah mengenai potensi Destinasi Pariwisata Sanur
dalam pengembangan pariwisata bersepeda, dengan menggunakan pendekatan 4A.
Mengingat bahwa potensi dan daya tarik wisata yang berada di dalam suatu
destinasi dengan jenis dan karakteristik masing-masing memiliki daya jual dan
daya saing yang berbeda-beda.
2.3.2 Teori Ekistics
Pengertian transportasi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia yang
disusun oleh Suharso dan Retnoningsih (2005) adalah pengangkutan barang oleh
berbagai jenis kendaraaan sesuai dengan kemajuan teknologi; perihal (seluk
beluk) transportasi. Kamus Inggris-Indonesia yang disusun oleh Echols dan
Shadily (1975) mengartikan lebih sederhana, yakni perangkutan/ kendaraan. Miro
(2005) menyatakan, transportasi adalah proses yakni proses pindah, proses gerak,
proses mengangkut, dan mengalihkan dimana proses ini tidak bisa dilepaskan dari
31
keperluan akan alat pendukung untuk menjamin lancarnya proses perpindahan
sesuai dengan waktu yang diinginkan.
Berbicara masalah transportasi, berarti tidak hanya berbicara mengenai
jalan dan moda tetapi juga unsur yang membentuk sistem transportasi tersebut.
Adapun unsur pokok sistem transportasi terdiri dari, penumpang/barang yang akan
dipindahkan, kendaraan/alat angkutan sebagai sarana, jalan sebagai sarana
angkutan, terminal, dan organisasi sebagai pengelola angkutan (Kadir, 2006).
Moda transportasi mempunyai peranan penting dalam proses transportasi
terutama interaksi antar wilayah dan daerah. Marler (1985) menyebutkan interaksi
antara dua tempat yang berbeda dalam penggunaan lahannya maka seseorang
harus memutuskan dengan cara apa harus menghubungkan dua daerah tersebut.
Jika bisa menggunakan sambungan komunikasi telepon dan surat menyurat, maka
tidak diperlukan sebuah perjalanan, namun jika sesorang memerlukan suatu
kehadiran fisik di daerah tersebut, di sanalah terjadi pemilihan moda transportasi
yang harus digunakan oleh orang tersebut, apakah berjalan atau menggunakan
kendaraan.
Jaringan transportasi juga merupakan suatu elemen pembentuk lingkungan
hunian bagi manusia dalam berkegiatan. Teori Ekistics yang dikemukakan oleh
Doxiadis (1967), menyebutkan bahwa selain transportasi yang membentuk yakni
natural (alam), man (manusia), society (komunitas), shell (rumah/hunian), dan
yang terakhir adalah network (jaringan) dimana termasuk juga jaringan
transportasi. Secara sistematis kelima elemen ekistics ini membetuk suatu
lingkungan dimana manusia bertempat tinggal. Alam (natural) merupakan tempat
32
bagi manusia (man) sebagai individu untuk tinggal di dalamnya dan membentuk
komunitas masyarakat. Bentukan dari manusia dalam alam membentuk kelompok
sosial (society), yang tentunya membutuhkan tempat perlindungan (shell) untuk
mereka tinggal. Shells semakin berkembang, menjadi semakin besar dan juga
semakin kompleks, sehingga membutuhkan sebuah jaringan (network).
Berdasarkan hal tersebut, secara prinsip suatu hunian dari manusia terdiri dari isi
dan tempat, baik manusia sebagai individu dan manusia sebagai suatu masyarakat.
Winarno (2006) menjelaskan elemen ekistics merupakan ekspresi fisik dari suatu
komunitas yang secara organisasi berhierarki terkait satu sama lain.
Teori ekistics menjelaskan mengenai rumusan masalah ketiga mengenai
manfaat pariwisata bersepeda dalam pengembangan pariwisata berkelanjutan di
dalam masyarakat. Teori ini akan dengan menghubungkan sejauh mana pariwisata
bersepeda dapat memberikan manfaat bagi elemen pendukung dari suatu
komunitas di dalam hunian yang ditempati oleh masyarakat. Elemen jaringan,
dalam hal ini adalah jaringan transportasi sejauh mana akan memengaruhi
keempat elemen eksistik yang lain, seperti alam, manusia, masyarakat dan
huniannya dalam konteks pariwisata bersepeda. Teori ini menjelaskan dengan
adanya jaringan apakah memberikan manfaat dalam pengembangan pariwisata
bersepeda di Destinasi Pariwisata Sanur, yang berawal dari hunian/permukiman
untuk masyarakat dan berkembang menjadi sebuah destinasi pariwisata yang juga
memberikan hunian bagi wisatawan.
33
Gambar 2. 3. Komponen-komponen Ekistics Sumber: Doxiadis (1967)
2.3.3 Teori Perencanaan
Perencanaan merupakan suatu kegiatan yang universal, berkaitan dengan
pertimbangan suatu hasil sebelum dilakukan pemilihan diantara berbagai alternatif
yang ada. Perencanaan mengandung prediksi dari suatu kegiatan ganda dan
menuju ke keterpaduan pembangunan. Pariwisata sebagai suatu aspek yang
dikembangkan dan dipelajari juga memerlukan sebuah perencanaan, sehingga bisa
menjadi penghubung antara teori yang ada dengan tindakan yang nyata dan riil di
dalam ruang dan wilayah berkehidupan masyarakat. Perencanaan pariwisata tidak
terlepas dari segala aspek kepariwisataan, sehingga seluruh perencanaan harus
mencakup jaringan seluruh kegiatan yang berkaitan dengan pariwisata, suatu
proses yang menyeluruh (komperehensif), antar disiplin dan multi disiplin
(Warpani, 2007).
Nature/ Alam
Shell/ Rumah
Network/ Jaringan
Society/ Masyarakat
Man/ Manusia
Element Ekistics
34
Pariwisata berkembang menjadi industri yang kompleks dan rumit di
dalam suatu ruang dan wilayah sehingga diperlukan sebuah perencanaan yang
berhierarki atau berjenjang, sehingga bisa menjawab persoalan pariwisata secara
khusus dalam level tingkatan wilayah tertentu. Adapun hierarki perencanaan
pariwisata dari tingkat nasional/pusat hingga ke tingkat daerah/lokal seperti
Perencanaan Pariwisata Tingkat Nasional, Perencanaan Pariwisata Tingkat
Wilayah, Perencanaan Pariwisata Tingkat Provinsi, Perencanaan Pariwisata
Kawasan Pengembangan Pariwisata, dan Rencana Tapak Kawasan Pariwisata.
Perencanaan pariwisata dalam kaitan dengan ruang wilayah haruslah juga dilihat
pariwisata sebagai sebuah sumber daya dan pariwisata sebagai sebuah fenomena
geografik untuk pengembangan suatu wilayah dan kota (Gunawan, 1993 dalam
Paturusi, 2008).
Pada suatu pengembangan kawasan wisata diperlukan keterpaduan antara
perencanaan dari tingkat nasional hingga rencana tapak, sehingga tujuan dari
pembangunan kepariwisataan bisa tercapai. Perencanaan dalam level yang
terbawah sekalipun harus menjadi sebuah cerminan dalam pengembangan
pariwisata yang lebih luas. Pengembangan pariwisata bersepeda juga tidak
terlepas dari rencana kepariwisataan baik di tingkat nasional yang bersifat umum
mengenai transportasi hingga ke level kawasan pengembangan pariwisata dan
rencana tapak yang berkaitan dengan pengembangan destinasi pariwisata hingga
sarana dan prasarana yang mendukung kegiatan pariwisata bersepeda.
Pada perencanaan di penelitian ini akan lebih fokus kepada perencanaan
pariwisata kawasan pengembangan pariwisata. Menurut Gunawan (1993) dalam
35
Paturusi (2008) perencanaan ini berfokus kepada penetuan lokasi daya tarik
wisata, termasuk kawasan konservasi, lokasi hotel, pertokoan,tempat rekreasi,
sistem jaringan transportasi dan pedestrian, terminal, perencanaan prasarana
pendukung, studi dampak yang sangat spesifik, serta pola arus wisatawan dalam
pemanfaatan fasilitas.
Berdasar teori perencanaan yang sudah disebutkan, selanjutnya bisa
ditelaah bagaimana perencanaan pariwisata bersepeda dibuat dengan pendekatan
perencanaan pariwisata pengembangan kawasan pariwisata dengan pendekatan
perencanaan sistem transportasi yakni jalur sepeda, termasuk sarana dan
prasarananya. Selanjutnya perencanaan juga melibatkan komponen-komponen
seperti pemerintah, swasta (pelaku usaha pariwisata), dan masyarakat yang
mendukung di dalam suatu destinasi pariwisata, sehingga bisa mengembangkan
sepeda sebagai moda pergerakan wisatawan yang menjadi dasar terwujudnya
pariwisata bersepeda di Destinasi Pariwisata Sanur.
2.4 Model Penelitian
Untuk menformulasikan penelitian, model penelitian dirancang bersifat
kualitatif didasarkan atas abstraksi dan sintesis dari kajian pustaka. Bermula dari
kegiatan bersepeda yang terjadi di Destinasi Pariwisata Sanur, dimana potensi
wisata dan minat wisatawan menjadi alasan wisatawan untuk bersepeda sehingga
muncullah pariwisata bersepeda. Sepeda sudah lama digunakan sebagai moda
utama bagi wisatawan di Destinasi Pariwisata Sanur, oleh sebab itu ada sebuah
peluang untuk menciptakan penerapan pariwisata berkelanjutan melalui
36
transportasi, dimana sepeda merupakan salah satu moda transportasi yang ramah
dan sesuai dengan prinsip berkelanjutan.
Fenomena dan fakta akan dukungan terhadap pariwisata ini membuat
peneliti ingin melihat potensi, perencanaan dan juga manfaat pariwisata bersepeda
di Destinasi Pariwisata Sanur. Ketiga permasalahan ini menjadi sebuah indikator
bagaimana pariwisata bersepeda bisa berkembang dan diterima oleh masyarakat
dan wisatawan sebagai sebuah atraksi dan juga moda transportasi yang identik
dengan wisatawan.
Untuk menganalisa ketiga tujuan penelitian tersebut, penelitian ini
didukung dengan menggunakan teori pariwisata, teori perencanaan, dan teori
ekistics. Ketiga teori ini untuk menjawab sejauh mana pariwisata bersepeda
berkembang di Destinasi Pariwisata Sanur. Konsep yang digunakan adalah
transportasi dan pariwisata, cycling tourim dan pariwisata berkelanjutan. Data-
data diperoleh dari pengamatan langsung, wawancara dengan informan, dan studi
kepustakaan Untuk menggabungkan antara teori dan konsep, dilakukan analisis
dengan menggunakan metode analisis deskriptif kualitatif dan statistik deskriptif.
Ketiga hasil tersebut dievaluasi dan menjadi saran dan rekomendasi bagi seluruh
pemangku kepentingan untuk mengembangkan pariwisata bersepeda di Destinasi
Pariwisata Sanur.
37
Pariwisata
Wisatawan
Rumusan Permasalahan
1. Apa potensi yang membuat destinasi pariwisata Sanur berpeluang mengembangkan pariwisata bersepeda? 2. Apa manfaat dari pariwisata bersepeda terhadap destinasi wisata di kawasan pariwisata Sanur? 3. Bagaimana perencanaan pariwisata bersepeda di destinasi wisata Sanur untuk mendukung pariwisata berkelanjutan?
Konsep : • Transportasi dan
Pariwisata • Pariwisata
Bersepeda • Pariwisata
Berkelanjutan
Analisis Kualitatif
HASIL
PENELITIAN
REKOMENDASI DAN SARAN
Gambar 2.4. Model Penelitian
: Inti Pemikiran / Ide Pokok
: Alur Rekomendasi
: Pertimbangan Konsep dan Teori
Teori : • Teori
Pariwisata • Teori Ekistics
Teori Perencanaan
Pariwisata Bersepeda
Keterangan :
Potensi Wisata Destinasi
Pariwisata Sanur