KLINIS Dalam Berbagai Seting

download KLINIS Dalam Berbagai Seting

of 12

description

Penjelasan mengenai psikologi klinis dilihat dalam berbagai perspektif dan setting

Transcript of KLINIS Dalam Berbagai Seting

PSIKOLOGI KLINIS

DALAM BERBAGAI SETTINGMata Kuliah Psikologi Klinis

Kelas B

Riskyana Wulandari

111011036

Irfa Ziaul Haq

111011039

Sofia Rabbani

111011044

Inayatul Wahidah

111011048Aisyah Winarni

111011101

FAKULTAS PSIKOLOGI

UNIVERSITAS AIRLANGGA

2011

Psikologi Klinis dalam Setting Klinis

Caleg Gila Cantik Ditemani Sumanto Pemakan Mayat

Benny N. Joewono | Rabu, 15 April 2009 | 15:34 WIBPURBALINGGA, KOMPAS.com Kedatangan sembilan pasien caleg setengah gila di Wisma Rehabilitasi Mental, Sosial, dan Narkoba yang terletak di Desa Bungkanel, Kecamatan Karanganyar, Kabupaten Purbalingga, tersebut disambut baik oleh Sumanto.Masih ingat Sumanto? Sumanto yang pernah mendapat julukan sebagai manusia pemakan mayat itu sekarang bekerja di wisma tersebut. Pria ini dengan tersenyum tampak menemani caleg perempuan setengah gila yang lumayan cantik. "Saya senang bisa menemani mereka karena lumayan cantik," katanya.Seperti yang diwartakan sebelumnya, Wisma Rehabilitasi Mental, Sosial, dan Narkoba di Desa Bungkanel, menyiapkan 25 kamar khusus bagi caleg yang stres akibat kalah dalam Pemilu 9 April itu.Ke-25 kamar yang disiapkan tersebut masing-masing berukuran 3 x 4 meter yang dilengkapi dengan kamar tidur, lemari pakaian, dan kamar mandi. Kamar yang disiapkan itu terbagi 15 untuk laki-laki dan 10 untuk perempuan, serta keluarga yang menunggunya akan diberi fasilitas tidur dan makan gratis. Mengenai metode perawatan yang dijalankan, dia mengatakan, para pasien akan ditangani secara medis dan spiritual melalui siraman rohani setiap selesai shalat. Selain itu, dilakukan pula terapi mandi malam, istigasah, dan tahlilan.Wisma rehabilitasi tersebut saat ini memiliki 300 pasien gangguan mental dan narkoba yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia, yang 100 orang di antaranya menjalani rawat inap.[http://regional.kompas.com/read/2009/04/15/15342740/caleg.gila.cantik.ditemani.sumanto.pemakan.mayat]

Ganguan jiwa atau tingkah laku abnormal dapat disebabkan oleh berbagai hal (multicausal), Coleman (1984) membahas beberapa perspektif beberapa penyebab tingkah laku abnormal dengan membedakan antara penyebab primer, penyebab predisposisi, penyebab yang mencetuskan dan penyebab yang menguatkan (reinforcing)Penyebab primer adalah kondisi yang harus dipenuhi agar suatu ganguan dapat muncul, meskipun dalam kenyataan ganguan tersebut belum muncul, misalnya kecemasan yang terjadi pada masa kecil, hal ini merupakan penyebab primer yang ada untuk terjadinya suatu ganguan jiwa atau perilaku, meskipun perilaku menyimpang tersebut belum tentu akan terjadi, penyebab predisposisi adalah keadaan sebelum munculnya suatu ganguan yang merintis kemungkinan terjadinya suatu ganguan di masa datang, misalnya seorang yang pemarah akan menjadi predisposisi pada prilaku kekerasan, penyebab yang mencetuskan adalah suatu peristiwa yang sebetulnya tidak begitu parah namun seolah-olah merupakan sebab timbunya perilaku abnormal itu, padahal sebenarnya telah ada predisposisi sebelumnya, misalnya seorang yang sejak awak sudah banyak memendam frustasi (predisposisi) setelah terjadinya peristiwa pencetus yang menjadikan munculnya ganguan jiwa, penyebab yang menguatkan (reinforcing) adalah peristiwa yang terjadi pada seseorang yang memantapkan suatu keadaan atau kecenderungan tertentu, yang telah ada sebelumnya, misalnya Bonek yang sejak awal membenci arema kemudian mereka diberikan informasi yang memancing, maka akan menimbulkan perilaku kekerasan.

Keadaan frustasi yang berlangsung terlalu dan tidak dapat diatasi oleh seseorang akan menimbulkan stres, stres adalah suatu keadaan dimana beban yang dirasakan seseorang tidak sepadan dengan kemampuan untuk mengatasi beban itu. Frustasi dapat bersumber pada hambatan yang terjadi di luar diri, maupun di dalam diri seseorang.

Kasus diatas menceritakan bahwa para calon legislatif wanita tersebut menjadi gila karena mereka terus menerus menahan stres mereka yang berasal dari rasa frustasi yang mereka dapatkan ketika tidak menang dalam pemilihan legislatif yang diikutinya.

Dapat kita lihat pula bahwa Wisma Rehabilitasi Mental, Sosial, dan Narkoba di Desa Bungkanel tersebut mengunakan pendekatan humanistik pada para pasien mereka, hal itu dapat dilihat dari cara mereka memperlakukan para pasiennya yaitu dengan berusaha untuk mengembangkan proses-proses positif yang dimiliki para pasiennya.

Salah satu tokoh dalam pendekatan humanistik adalah Karl Rogers, dalam penyelengaraan konseling, Rogers menganjurkan terapis mencipkan lingkungan terapis yang aman sehingga klien dapat dengan bebas mengungkapkan segala sesuatu yang ada dalam pikiran dan perasaannya. Dengan terapi gaya Rogers terapis harus bersikap empatik (selalu memahami jalan pikiran dan perasaan klien, mengambil sudut pandang klien), tidak menilai maupun mengarahkan namun memberi informasi, memberi kemudahan pada klien untuk mengungkapkan diri. Dalam kondisi tak menilai seperti ini, klien yang mempunyai perasaan takut dan rendah diri akan sampai pada pemahaman baru dan utuh tentang dirinya, dan sejalan dengan itu dia akan sembuh.

Psikologi klinis mempunyai tahapan-tahapan dalam proses intervensi yang dilakukan, suatu terapi berlangsung dalam proses melalui tahapan sebagai berikut:

1. Pertemuan awal; pada pertemuan ini biasanya ditanyakan data identitas klien dan masalah yang dikemukakan

2. Assesment; sesuai dengan tujuan kedatanga klien, dilakukan assesment yang dapat meliputi wawancara dan observasi, dan pemberian sejumlah tes bila diperlukan.

3. Tujuan intervensi; hal ini diterapkan setelah integrasi atas data assesment. beberapa terapis membahas tujuan intervensi ini bersama klien.

4. Implementasi terapi; hal ini meliputi pemberitahuan pada klien waktu yang diperlukan dalam intervensi serta sasaran utama terapi.

5. Mengakhiri terapi; dalam hal ini dilakukan evaluasi hasi terapi dan tindak lanjut yang akan dilakukan.

Psikologi Klinis dalam Setting SosialKorban Tsunami Butuh Penanganan Psikologis Lanjutan

Novi Muharrami Okezone| Jum'at, 26 Desember 2008 11:00 wibACEH - Empat tahun yang lalu, 26 Desember 2004, dunia dikejutkan dengan peristiwa gempa terhebat dengan kekuatan 8,9 skala richter. Pusat gempa berada di laut dan menyebabkan gelombang tsunami yang menghantam pesisir 8 negara; Indonesia, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Burma, Maladewa (Maldives), Sri Lanka, dan India.Gelombang tsunami berkecepatan sekira 800 km per jam. Ratusan ribu nyawa melayang diterjang ombak setinggi 7 meter. Infrastruktur provinsi Nangroe Aceh Darussalam (Daerah Istimewa Aceh, saat itu) luluh lantak.Empat tahun berlalu, secara umum kondisi di Aceh kini semakin baik. Pemerintah daerah yang baru telah terbentuk. Rekonstruksi infrastruktur juga sudah mencapai 60 hingga 70 persen. Namun dari sisi mental, para korban tsunami memerlukan penanganan psikologis secara berkesinambungan.Aktivis Lembaga Pusat Pelayanan Kesehatan Mental Keluarga (Himsi Jaya) di Blang Pidi, Aceh Barat Daya, NAD, Totok Widayanto mengatakan, adanya peringatan tragedi tsunami menjadi pemicu buat mereka untuk mengenang kembali saat terjadinya bencana tsunami 2004."Di satu sisi, kita bangsa Indonesia mengenang peristiwa terjadinya bencana tsunami, namun di sisi lain bagi para korban akan menjadi pemicu munculnya kenangan-kenangan saat mereka kehilangan sanak keluarga dan harta benda," ungkapnya.Menurut Totok, setelah empat tahun berjalan masih banyak korban yang mengalami trauma, walau intensitasnya tidak lagi seperti dulu. Misalnya saja, kata dia, para korban tsunami di Pulau Kayu, Blang Pidi. Mereka masih trauma dan merasa ngeri saat melihat mendung dan ombak pasang.[http://news.okezone.com/read/2008/12/26/1/177083/korban-tsunami-butuh-penanganan-psikologis-lanjutan]

"Kalau ada mendung mereka tiba-tiba lari saja, tidak jelas mengapa," ungkap Totok. Dia menambahkan, secara psikologis para korban masih menyimpan memori saat mereka berlarian karena dikejar air laut yang menghantam daratan sebelah barat pesisir NAD.Totok mengatakan saat ini para korban sudah lebih baik dan tidak seperti tahun-tahun sebelumnya. Ditambahkan, ketika datang ombak pasang para korban tsunami berlarian dan kemudian mereka menangis sambil menjerit-jerit ketakutan. Terlebih jika terjadi gempa, ada yang menangis, bersembunyi di balik meja, bahkan ada yang keluar rumah dan duduk sambil terus diam membatu.Para korban tsunami ini, kata Totok, mengalami Post Traumatic Syndrom Disorder (PTSD). Mereka membutuhkan penanganan yang intensif. Selama ini, lanjut dia, banyak penanganan masalah yang tidak tuntas, sehingga setiap ada peringatan para korban tsunami mengalami ketakutan dan kesedihan yang luar biasa."Penanganan psikologis di sini memang belum terlalu baik. Kadang-kadang rumahnya sudah selesai, tapi mereka tidak sadar kalau ketakutan mereka belum sembuh karena tertutup dengan peristiwa-peristiwa lainnya," terang Totok.Berbeda dengan anak-anak, kondisi psikologis mereka sudah lebih baik karena mereka lebih banyak bermain. Namun Totok tak menampik kalau beberapa di antaranya masih ada yang bertanya di mana orangtua mereka.Untuk penanganan PTSD, dibutuhkan waktu satu hingga enam bulan. "Tergantung juga, ada satu bulan langsung, ada yang satu hingga tiga bulan, ada juga yang lebih dari 6 bulan. Di atas enam bulan, biasanya mereka itu mencoba melupakan, tapi memori tentang bencana tsunami itu tidak hilang," terang Totok.Dia mengatakan masa penanganan yang dilakukan lembaganya kepada keluarga korban tsunami, akan berakhir pada 2009 mendatang. Ditambahkan, pemerintah telah mengeluarkan kebijakan kepada semua NGO yang ada di Aceh untuk menyelesaikan tugasnya pada 2010 mendatang.(nov)

Pada kasus di atas, peranan seorang psikolog klinis sangat diperlukan untuk penangan warga Aceh yang mengalami trauma akibat dari tsunami. Tidak hanya orang dewasa, anak-anak juga patut diberikan perhatian khusus dalam masalah psikologisnya. Penangan untuk psikologis anak mungkin lebih cepat penanganannya dari pada orang dewasa. Seperti disebutkan dalam artikel di atas bahwa anak-anak Aceh yang mengalami trauma tsunami sudah mulai dapat mengatasi ketakutannya dengan mengalihkan perhatian trauma mereka ke sarana bermain. Pembentukan taman bermain untuk anak-anak yang mengalami trauma pasca tsunami akan sangat membantu anak-anak untuk melupakan ketakutan mereka. Dengan adanya taman bermain ini, diharapkan anak-anak korban gempa tersebut, dapat bangkit dari kesedihan dan trauma yang dialami, serta kembali ceria dan tetap bisa bermain seperti anak-anak lainnya, karena dunia anak memang tidak lepas dari kegiatan bermain. Sementara untuk orang dewasa dapat dilakukan konseling. Kegiatan konseling bisa dijadikan alternatif dalam mengatasi trauma yang berkelanjutan. Dalam proses konseling, konselor berupaya memberikan kondisi-kondisi pada klien agar mereka mampu memenuhi kebutuhannya akan kebermaknaan, cinta, kebutuhan akan aktualisasi sehingga klien bisa membuat solusi serta berani melakukannya (Brammer, 1982). Warga diajak untuk berbagi mengenai hal yang membebaninya. Warga dibiarkan untuk mengungkapkan segala yang dirasakan hingga mendapatkan kebutuhannya akan rasa aman, warga diajak untuk berani menerima kenyataan dengan ikhlas. Bahwa segala sesuatunya telah diatur oleh Yang Maha Kuasa dan ini bukanlah menjadi akhir dari segalanya, namun untuk menunjukkan seberapa kuat diri kita mampu bangkit lagi setelah terjatuh.Psikologi Klinis dalam Setting Pendidikan dan Perkembangan

Untuk membantu keluarga membuat keputusan penting mengenai penanganan ADHD, National Institute for Mental Health (NIMH) melakukan penelitian yang paling mendalam yang pernah dilakukan untuk menilai penanganan ADHD. Penelitian ini dinamakan The Multimodal Treatment Study of Children with ADHD (MTA). Data dari penelitian ini memperlihatkan bahwa pemberian obat stimulan (methylphenidate - obat stimulan yang umum digunakan untuk ADHD) efektif dalam mengatasi gejala ADHD, baik secara tersendiri atau dalam kombinasi dengan terapi perilaku. Juga ditemukan bahwa penanganan yang meliputi obat lebih efektif terhadap gejala-gejala ADHD (seperti hiperaktifitas) dibanding terapi perilaku saja.

Penelitian ini memperlihatkan bahwa untuk kebanyakan anak dengan ADHD, obat-obatan secara dramatis mengurangi hiperaktifitas, memperbaiki perhatian, dan meningkatkan kemampuan untuk bergaul dengan orang lain.Meskipun obat secara tersendiri terbukti mengobati ADHD, penelitian MTA memperlihatkan bahwa menggabungkan terapi perilaku dengan obat berguna dalam membantu keluarga, pengajar, dan anak dalam mengubah perilaku yang menimbulkan masalah di rumah dan di sekolah.

Terapi Psikososial / Terapi PerilakuTerapi psikososial / terapi perilaku sendiri, seperti pelatihan kemampuan sosial atau terapi individual, tidak terbukti sama efektifnya dengan obat dalam mengobati gejala-gejala utama ADHD. Tetapi terapi perilaku sendiri dapat dianjurkan sebagai terapi awal bila gejala ADHD cukup ringan, diagnosa ADHD belum pasti, atau keluarga memilih terapi ini.Contoh kasus:Rida berusia 7 tahun. Saat ini dia duduk di kelas 1 Sekolah Dasar. Orang tuanya seringkali mendapatkan masukan dan laporan dari gurunya bahwa dia seringkali jalan-jalan di kelas. Rida lebih banyak berdiri dan tidak fokus pada pekerjaan sekolahnya.Orang tuanya pun mengakui bahwa di rumah pun Rida seperti itu. Seringkali Rida berganti-ganti aktivitas dan tidak pernah sampai selesai. Misalnya, bermain bongkar pasang dan selang beberapa menit kemudian sudah beralih pada permainan yang lain.Kondisi seperti ini bisa mempengaruhi prestasinya di sekolah. Rida seringkali sulit dikontrol. Dia sering mengabaikan apa yang Mamanya perintahkan.Kasus yang dialami Rida hanyalah salah satu kasus yang terjadi pada anak-anak lainnya. Kadangkala sebagai orang dewasa, jika kita memperhatikan seorang anak yang berganti-ganti aktivitas, kita memiliki asumsi bahwa anak itu mengalami kebosanan.Namun, perlu diperhatikan lebih seksama lagi, apakah anak itu memang bosan atau ada hal lain yang terjadi padanya. Ketidakmampuan anak untuk menaruh perhatian terhadap berbagai aktivitas tentunya dapat menghambat perkembangan akademik dan perkembangan sosial anak.Hal ini dapat terjadi karena dia tidak dapat menyelesaikan tugas dengan penuh perhatian dan proses belajar yang terganggu. Oleh sebab itu sangat penting jika orang tua maupun pendidik dapat melakukan deteksi atau mengetahui lebih awal yang terjadi pada anak sehingga dapat dilakukan penanganan dengan tepat.Pada kasus Rida dan yang akan kita bicarakan lebih jauh merupakan sebuah ilustrasi mengenai Gangguan Pemusatan Perhatian atau Attention Deficit/ Hiperactivity (ADHD).ADHD adalah sebuah gangguan dengan karakteristik adanya gejala kurang perhatian yang diikuti dengan hiperaktivitas maupun tidak (Monastra, 2005).Seperti dijelaskan Wenar (1994) dalam bukunya Developmental Psychopatology, terdapat karakteristik utama dari ADHD. Antara lain adalah kurang perhatian, impulsif dan hiperaktif.a) Kurang perhatianAnak-anak yang mengalami Gangguan Pemusatan Perhatian atau ADHD mengalami kesulitan untuk menaruh perhatian secara terus menerus dalam menyelesaikan tugas atau dalam aktivitas bermain.Seperti yang terjadi pada Rida, dia kesulitan menaruh perhatian pada aktivitasnya bahkan ketika sedang bermain. Kurang perhatian seringkali berkaitan dengan rendahnya performansi sekolah karena anak membutuhkan waktu untuk berkonsentrasi dan menyerap informasi sebaik menaruh perhatian yang cukup panjang untuk melengkapi tugas tanpa adanya gangguan. Kondisi dimana anak mengalami kesulitan untuk menyelesaikan tugasnya membuat mereka menjadi frustrasi dan tertekan.b) ImpulsifDalam arti khususnya, impulsif adalah bertindak tanpa ada pertimbangan tertentu. Ketika dihadapkan pada tugas yang kompleks, misalnya ketika tiba-tiba dalam pikiran mereka terdapat sebuah ide atau solusi tertentu, mereka tidak melakukan pertimbangan apapun apakah ide/pemikiran/perilaku mereka baik ataupun yang pantas.Mereka mengatakan sesuatu tanpa dipikirkan sehingga kadangkala memberikan jawaban yang tidak benar saat di kelas atau mereka mengalami kesulitan ambil bagian dalam sebuah permainan.Hal ini terjadi karena mereka mengalami kesulitan untuk mengatur reaksi diri terhadap rangsangan dari luar. Sangat sulit sekali jika kita melarang mereka untuk berhenti dari impulsivitasnya karena anak-anak dengan ADHD mengalami kesulitan untuk berhenti melihat, mendengar bahkan berpikir.c) HiperaktifTerdapat berbagai dasar tentang hiperaktif. Yaitu anak-anak dengan ADHD lebih aktif dari pada anak-anak normal dalam waktu 24 jam bahkan saat tidur sekalipun.Mereka menunjukkan kegelisahan yang sangat besar dalam berbagai tugas sehingga mereka memperlihatkan gerakan-gerakan yang tidak relevan, tidak bertahan di tempat duduk mereka, bahkan selalu tidak bisa duduk dengan tenang seperti anak-anak yang lainnya.DAFTAR PUSTAKAAdhd.com [On-line]. Diakeses pada tanggal 29 Mei 2011 dari www.adhd.com

Joewono, Benny N. (2009). Caleg Gila Cantik Ditemani Sumanto Pemakan Mayat. Kompas.com [On-line]. Diakses pada tanggal 31 Mei 2011 dari http://regional.kompas.com/read/2009/04/15/15342740/caleg.gila.cantik.ditemani.sumanto.pemakan.mayatKonseling Menjadi Alternatif dalam Penanganan Trauma Pascabencana Alam. Kedaikarir.com [On-line]. Diakses pada tanggal 31 Mei 2011 dari http://kedaikarir.com/2009/04/konseling-menjadi-alternatif-dalam-penanganan-trauma-pasca-bencana-alam.htmlMuharrani, Novi. (2008). Korban Tsunami Butuh Penanganan Psikologis Lanjutan. Okezone.com [On-line]. Diakses pada tanggal 31 Mei 2011 dari http://news.okezone.com/read/2008/12/26/1/177083/korban-tsunami-butuh-penanganan-psikologis-lanjutanSlamet .S & Markam .S. (2008). Pengantar Psikologi Klinis. Jakarta: Penerbit Universitas Jakarta.