Kian Anak Kanker Rscm

275
UNIVERSITAS INDONESIA APLIKASI MODEL KONSERVASI LEVINE DALAM ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KANKER YANG MENGALAMI MASALAH NUTRISI DI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO JAKARTA KARYA ILMIAH AKHIR LINA DEWI ANGGRAENI 1006800900 FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN PROGRAM NERS SPESIALIS ILMU KEPERAWATAN PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK UNIVERSITAS INDONESIA DEPOK, JUNI 2013

description

KANKER

Transcript of Kian Anak Kanker Rscm

  • i Universitas Indonesia

    UNIVERSITAS INDONESIA

    APLIKASI MODEL KONSERVASI LEVINE DALAM ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KANKER YANG MENGALAMI MASALAH NUTRISI DI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

    JAKARTA

    KARYA ILMIAH AKHIR

    LINA DEWI ANGGRAENI

    1006800900

    FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    PROGRAM NERS SPESIALIS ILMU KEPERAWATAN

    PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK

    UNIVERSITAS INDONESIA

    DEPOK, JUNI 2013

  • ii Universitas Indonesia

    UNIVERSITAS INDONESIA

    APLIKASI MODEL KONSERVASI LEVINE DALAM ASUHAN KEPERAWATAN PADA ANAK KANKER YANG MENGALAMI MASALAH NUTRISI DI RSUPN Dr. CIPTO MANGUNKUSUMO

    JAKARTA

    KARYA ILMIAH AKHIR

    Disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

    Ners Spesialis Keperawatan Anak

    LINA DEWI ANGGRAENI

    1006800900

    FAKULTAS ILMU KEPERAWATAN

    PROGRAM NERS SPESIALIS ILMU KEPERAWATAN

    PEMINATAN KEPERAWATAN ANAK

    UNIVERSITAS INDONESIA

    DEPOK, JUNI 2013

  • v Universitas Indonesia

    KATA PENGANTAR

    Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan YME, atas berkat dan rahmatNya

    yang diberikan sehingga penulis dapat menyelesaikan Karya Ilmiah Akhir yang

    berjudul Aplikasi Model Konservasi Levine dalam Asuhan Keperawatan pada

    Anak Kanker yang Mengalami Masalah Nutrisi Di RSUPN Dr. Cipto

    Mangunkusumo Jakarta

    Penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah memberikan

    masukan, bimbingan, dukungan dan bantuannya sehingga Karya Ilmiah Akhir ini

    dapat terselesaikan sesuai waktu yang telah ditentukan.

    1. Ibu Nani Nurhaeni, S.Kp, M.N selaku dosen pembimbing yang telah banyak

    memberikan arahan, bimbingan, masukan dan pemahaman dalam penyusunan

    Karya Ilmiah Akhir ini.

    2. Ibu Happy Hayati, M.Kep., Sp.Kep.An selaku pembimbing yang telah

    memberikan waktu, masukan dan bimbingan dalam penyusunan Karya Ilmiah

    Akhir ini.

    3. Ibu dr. Endang Windiastuti, Sp. A (K) selaku penguji yang telah meluangkan

    waktunya untuk memberikan arahan dan masukan.

    4. Ibu Yuliana Hanaratri, MAN selaku penguji yang telah meluangkan waktunya

    untuk memberikan arahan dan masukan.

    5. Ibu Titi Sulastri, M.Kes selaku penguji yang telah meluangkan waktunya

    untuk memberikan arahan dan masukan.

    6. Ibu Dewi Irawaty, MA., PhD sebagai Dekan Fakultas Ilmu Keperawatan

    Universitas Indonesia.

    7. Ibu Astuti Yuni Nursasi, S,Kp, M.N sebagai Ketua Program Studi Pasca

    Sarjana Fakultas Ilmu Keperawatan Universitas Indonesia.

    8. Seluruh staf dan karyawan Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUPN Cipto

    Mangunkusumo Jakarta yang telah memberikan bantuan yang besar dan

    kerjasama yang baik selama praktik residensi I dan II

  • vi Universitas Indonesia

    9. Seluruh dosen pengajar Program Studi Magister Ilmu Keperawatan Peminatan

    Keperawatan Anak yang membantu dalam pembelajaran keilmuan terkait

    keperawatan anak.

    10. Pihak-pihak terkait dalam Karya Ilmiah Akhir ini, yang tidak dapat penulis

    sebutkan satu per satu, terimakasih atas informasi yang disampaikan.

    11. Orang tua, suami dan anakku tercinta yang telah memberikan dukungan, doa,

    semangat, dan kasih sayangnya sepanjang waktu.

    12. Teman-teman seangkatan yang telah memberikan semangat dan kerjasamanya

    selama ini.

    Semoga Tuhan YME senantiasa memberikan kemudahan, rejeki, kesehatan dan

    kebaikan atas segala dukungan dan bantuannya selama penyusunan Karya Ilmiah

    Akhir ini. Akhir kata, penulis berharap Karya Ilmiah Akhir ini dapat bermanfaat

    bagi banyak pihak.

    Depok, Juni 2013

    Penulis

  • ix Universitas Indonesia

    ABSTRAK

    Nama : ProgramStudi : Judul :

    Lina Dewi Anggraeni Ners Spesialis Keperawatan Anak Aplikasi Model Konservasi Levine dalam Asuhan Keperawatan Pada Anak Kanker yang Mengalami Masalah Nutrisi Di RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

    Masalah nutrisi merupakan permasalahan yang sering dihadapi oleh anak kanker. Tujuan penulisan Karya Ilmiah Akhir ini adalah memberikan gambaran pelaksanaan Praktik Residensi Keperawatan Anak kanker yang mengalami masalah nutrisi dengan mengaplikasikan Model Konservasi Levine. Dalam pencapaian kompetensi sebagai Ners Spesialis Keperawatan Anak residen telah menjalankan peran sebagai pemberi asuhan keperawatan, peran koordinasi dan kolaborasi, pembuatan keputusan etik, advocator, dan innovator. Aplikasi Model Konservasi Levine tertuang dalam lima kasus terpilih, dimana trophicognosis yang umum ditemukan adalah ketidakseimbangan nutrisi kurang atau lebih dari kebutuhan tubuh. Intervensi diberikan berdasarkan empat prinsip konservasi. Hasil evaluasi terhadap trophicognosis ketidakseimbangan nutrisi menunjukkan adanya peningkatan terhadap kemampuan konservasi energi. Model Konservasi Levine dapat diterapkan pada klien anak dengan kanker yang mengalami masalah nutrisi. Pencapaian kompetensi dalam praktik residensi keperawatan anak telah memperkaya dan meningkatkan pengetahuan serta keterampilan klinis residen. Kata kunci: Anak dengan kanker; Malnutrisi; Model Konservasi Levine; Nutrisi; Overweight/obesitas

  • x Universitas Indonesia

    ABSTRACT

    Nama : Study Program : Judul :

    Lina Dewi Anggraeni Specialist Pediatric Nurse Program The Application of Levine Conservation Model of Nursing Care in Children with Cancer Who Have Nutrition Problem at RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta

    Nutritional problem is commonly faced by children with cancer. The aim of this final assignment was to provide Nursing Practice Residency implementation of children with cancer which have nutritional problems by applying Levine Conservation Model. Competencies that had been made included providing nursing care, coordination and collaboration, ethical decision making, advocator and innovator. Levine Conservation Model was applied in five selected cases and the trophicognosis commonly found was imbalanced nutrition supply of the body needs. Interventions were given based on the four principles of conservation, that are conservation of energy, conservation of structural integrity, conservation of personal integrity, and conservation of social integrity. Evaluation of nutritional imbalance trophicognosis showed an increase in energy conservation ability. Levine Conservation Model can be applied to children with cancer who have a nutrition problem. Achievement of competence in the practice residency of nursing children have enriching and improving knowledge and clinical skills of resident. Keywords: Child with cancer; Levine Conservation Model; Malnutrition; Overweight/obesity.

  • xi Universitas Indonesia

    DAFTAR ISI

    Hal.

    HALAMAN JUDUL .

    HALAMAN PERSETUJUAN ..........

    HALAMAN PENGESAHAN ...

    KATA PENGANTAR ..

    HALAMAN PERNYATAAN ORISINALITAS ..

    HALAMAN PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI

    ABSTRAK

    DAFTAR ISI .

    DAFTAR SKEMA ............

    DAFTAR GAMBAR

    DAFTAR TABEL .

    DAFTAR LAMPIRAN .

    BAB 1. PENDAHULUAN ..

    1.1 Latar belakang .........

    1.2 Tujuan ...........

    1.3 Sistematika penulisan ...

    BAB 2. APLIKASI TEORI KEPERAWATAN PADA ASUHAN

    KEPERAWATAN .

    2.1 Gambaran kasus ....

    2.2 Tinjauan teoritis ....

    2.3 Integrasi Model Konservasi Levine menurut Levine dalam Proses

    Keperawatan ..........

    2.4 Aplikasi Teori keperawatan pada kasus terpilih ...

    BAB 3. PENCAPAIAN KOMPETENSI ...

    3.1 Pencapaian kompetensi dalam praktik residensi keperawatan anak .

    3.2 Peran Ners Spesialis Keperawatan Anak ..

    BAB 4. PEMBAHASAN .........

    4.1 Penerapan Model Konservasi Levine dalam Asuhan Keperawatan pada

    Anak dengan Kanker yang mengalami Masalah Nutrisi ...

    ii

    iii

    iv

    v

    vii

    viii

    ix

    xi

    xiii

    xiv

    xv

    xvi

    1

    1

    13

    13

    15

    15

    20

    52

    60

    103

    103

    108

    113

    113

  • xii Universitas Indonesia

    4.2 Pencapaian kompetensi selama melakukan praktik residensi ..

    BAB 5. SIMPULAN DAN SARAN

    5.1 Simpulan ...

    2.2 Saran ..

    DAFTAR PUSTAKA

    LAMPIRAN-LAMPIRAN

    136

    139

    139

    141

  • xiii Universitas Indonesia

    DAFTAR SKEMA

    Skema 2.1 Integrasi Model Konservasi Levine dalam Proses Keperawatan

    pada Anak dengan Kanker .

    Skema 2.2 Integrasi Model Konservasi Levine dalam Proses Keperawatan

    pada Anak dengan Limfoma Burkitt .

    Skema 3.1 Kerangka Kompetensi Perawat Spesialis menurut International

    Council of Nurses (ICN)

    58

    59

    112

  • xiv Universitas Indonesia

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 2.1 Fase Mukosistis ............................................................................ 35

  • xv Universitas Indonesia

    DAFTAR TABEL

    Tabel 2.1 Estimasi kebutuhan kalori harian pada anak diatas 1 tahun ......... ... 28

  • xvi Universitas Indonesia

    DAFTAR LAMPIRAN

    Lampiran 1 Kontrak Belajar Keperawatan Klinik Khusus

    Lampiran 2 Aplikasi Teori Keperawatan pada Kasus Terpilih

    Lampiran 3 Proyek Inovasi

  • 1 Universitas Indonesia

    BAB I

    PENDAHULUAN

    1.1 Latar belakang Kanker adalah suatu pertumbuhan sel yang abnormal dan berkembang secara

    progresif, sehingga sel kehilangan kemampuan untuk melakukan fungsinya

    dengan baik. Hal ini disebabkan karena adanya perubahan deoxyribonucleic

    acid (DNA) (James & Ashwill, 2007). van Bokhorst-de van der Schueren

    (2005) mengungkapkan bahwa kanker adalah suatu penyakit sistemik yang

    secara langsung mempengaruhi sel dan dapat menyebar ke daerah lain. Hal ini

    menyebabkan berbagai komplikasi dan hilangnya fungsi organ secara

    progresif, yang pada akhirnya akan mempengaruhi status gizi. Berdasarkan

    beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa kanker adalah suatu

    kondisi dimana sel mengalami suatu perubahan (mutasi) dari deoxyribonucleic

    acid (DNA). Perubahan tersebut mengakibatkan sel mengalami pertumbuhan

    yang abnormal, progresif, dan tidak terkendali, sehingga sel tersebut

    kehilangan kemampuan untuk melakukan fungsinya dengan baik. Selain itu

    perkembangan penyakit ini dapat mempengaruhi status gizi penderita. Kanker

    dapat menyerang bagian manapun dari anggota tubuh manusia

    tanpa memandang usia dan jenis kelamin. Tidak hanya orang tua baik pria

    maupun wanita, kanker juga banyak menyerang anak-anak bahkan balita.

    Kanker merupakan penyebab utama kematian pada anak-anak di seluruh

    dunia, yang terjadi setelah anak melewati usia bayi (Hockenberry & Wilson,

    2009). Data statistik resmi dari International Agency for Research on Cancer

    (IARC) menyebutkan bahwa satu dari 600 anak akan menderita kanker

    sebelum umur 16 tahun (Cutland, 2011). Data dunia menyebutkan bahwa,

    setiap tahunnya lebih dari 175.058 anak usia nol sampai 14 tahun terdiagnosis

    kanker (Globocan, 2008). Menurut American Cancer Society/ACS (2012)

    insiden kanker pada anak mengalami peningkatan yang cepat sekitar 0,5%

    setiap tahun, dari tahun 2004-2008.

  • 2

    Universitas Indonesia

    Indonesia sebagai salah satu negara berkembang, mencatat bahwa

    permasalahan kanker pada anak saat ini menjadi persoalan yang cukup besar

    (Depkes RI, 2011). Menurut Globocan (2008), terdapat sekitar 7448 anak

    Indonesia terdiagnosis kanker setiap tahunnya. Yayasan Onkologi Anak

    Indonesia (YOAI, 2009) menyebutkan bahwa di Jakarta dan sekitarnya

    dengan jumlah penduduk 12 juta jiwa, diperkirakan terdapat 650 pasien

    kanker anak per tahun. Data Rumah Sakit Umum Pendidikan Nasional

    (RSUPN) Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, menunjukkan bahwa pada tahun

    2012, penyakit utama anak yang dirawat adalah kanker (Departemen Ilmu

    Kesehatan Anak RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo, 2012).

    Berdasarkan data dunia, jenis kanker pada anak yang terjadi pada usia 0-14

    tahun, diantaranya leukemia sebesar 30%, kanker otak dan saraf sistem

    sebesar 12,3%, non-Hodgkin limfoma sebesar 10,7%, tumor wilms sebesar

    5,3%, Hodgkin limfoma sebesar 4,2%, kanker hati sebesar 2,1% (IARC,

    2008). Jenis kanker di Indonesia yang terjadi pada anak usia 0-14 tahun

    diperkirakan sekitar 2,5% dari keseluruhan jenis kanker pada semua usia,

    insidens leukemia sebesar 44,8%, kanker otak dan sistem saraf sebesar 9,7%,

    non-Hodgkin limfoma sebesar 7,5%, dan tumor wilms sebesar 3,7% (IARC,

    2008).

    Kanker pada anak merupakan masalah yang cukup kompleks mengingat

    penanganan (perawatan dan pengobatan) penyakit tersebut dapat memberikan

    dampak terhadap aspek bio-psiko-sosio-spiritual anak. Maka penanganannya

    memerlukan kerjasama multi disiplin profesi kesehatan dan salah satunya

    adalah perawat. Perawat diharapkan mampu memberikan asuhan keperawatan

    anak dalam konteks keluarga secara holistik yang mencakup aspek bio-psiko-

    sosio-spiritual guna mengurangi komplikasi dari permasalahan tersebut.

    Permasalahan umum yang sering terjadi pada pasien yang dirawat di rumah

    sakit adalah malnutrisi (Wiryana, 2007). Barker, Gout dan Crowe (2011) dan

    Mehta et al (2013) mengungkapkan bahwa malnutrisi adalah suatu istilah yang

  • 3

    Universitas Indonesia

    digunakan untuk menggambarkan ketidakseimbangan nutrisi baik

    undernutrition (underweight) maupun overnutrition (overweight/obesitas).

    European Society of Parenteral and Enteral Nutrition (ESPEN)

    mengklarifikasi definisi malnutrisi dengan menyoroti perbedaan antara

    kaheksia, sarkopenia (hilangnya massa dan fungsi otot) dan malnutrisi

    (underweight) (Muscaritoli et al., 2010). Kaheksia dapat didefinisikan sebagai

    sindrom multifaktor yang ditandai dengan kehilangan berat badan, lemak dan

    otot serta peningkatan katabolisme protein karena penyakit yang mendasari

    (Muscaritoli et al., 2010; Holmes, 2011). Oleh karena itu, malnutrisi pada

    pasien rawat inap merupakan kombinasi dari kaheksia dan malnutrisi

    (underweight).

    Menurut Mehta et al (2013) malnutrisi (underweight) adalah

    ketidakseimbangan antara asupan dan kebutuhan nutrisi. Ketidakseimbangan

    tersebut dapat mengakibatkan defisit energi, protein, atau mikronutrien, yang

    pada akhirnya berdampak negatif terhadap pertumbuhan dan perkembangan.

    Malnutrisi merupakan permasalahan yang sering ditemukan pada anak dengan

    kanker, hal ini berkaitan erat dengan penyakit yang mendasarinya (kanker)

    dan efek samping pengobatan (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Akbulut

    (2011), mengungkapkan malnutrisi pada anak dengan kanker dihubungkan

    dengan kaheksia yang merupakan interaksi komplek dari inflamasi sitokin dan

    metabolisme tubuh. Kanker kaheksia atau cancer anorexia-cachexia syndrome

    (CACS) merupakan sindrom multifaktor, yang dikarakteristikkan dengan

    penurunan berat badan, lemak, dan otot, serta perubahan katabolisme protein

    (Holmes, 2011), menurut sumber lain berupa anoreksia, rasa cepat kenyang,

    dan asthenia (kelemahan baik secara fisik maupun mental) (Akbulut, 2011).

    Salah satu manifestasi kanker kaheksia adalah anoreksia. Anoreksia adalah

    suatu keadaan yang ditandai dengan penurunan keinginan untuk makan, yang

    dapat menyebabkan berkurangnya asupan nutrisi. Beberapa hasil penelitian

    menyebutkan bahwa penurunan nafsu makan terjadi akibat adanya respon tuan

    rumah (host) terhadap sel kanker. Keadaan ini dapat menyebabkan perubahan

  • 4

    Universitas Indonesia

    pada hormon (seperti leptin, ghrelin), neuropeptida, dan cytokinin (Yarbro,

    Wujcik, & Gobel, 2011). Menurut Laviano et al (2008) cytokinin, termasuk

    tumor necrosis factor- (TNF- ), interferon-, leukemia inhibitory factor

    (LIF), interleukin 1 dan 6, dan ciliary neurotrophic factor (CNTF) memainkan

    peran penting dalam pengaturan asupan nutrisi dan berat badan.

    Penurunan nafsu makan juga dapat disebabkan oleh faktor psikologis seperti

    depresi, cemas, nyeri, dan faktor situasional (seperti isolasi, tidak menyukai

    makanan rumah sakit). Fatigue, merupakan manifestasi yang sering

    dilaporkan pada penderita kanker, dan sering dihubungkan dengan penurunan

    asupan nutrisi. Kondisi ini sering kali menggangu aktivitas sehari-hari dan

    mungkin membatasi kemampuan klien untuk memperoleh dan menyiapkan

    makan (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Anoreksia pada anak dengan kanker

    juga dapat terjadi karena adanya obstruksi mekanik di sepanjang traktus

    gastrointestinal. Hal ini menyebabkan berkurangnya asupan makanan

    (Sungurtekin et al, 2004).

    Kanker kaheksia juga dapat disebabkan oleh perubahan metabolisme. Respon

    tuan rumah (host) terhadap sel kanker dapat menyebabkan perubahan

    metabolisme makronutrien (karbohidrat, protein, dan lemak). Glukosa

    merupakan substansi energi untuk tubuh, yang digunakan untuk mendukung

    fungsi organ vital. Pada anak dengan kanker, asupan glukosa sebagai sumber

    energi menjadi kurang karena anoreksia, nausea, dan perasaan kenyang.

    Asupan glukosa yang tidak adekuat, menyebabkan tubuh memproduksi

    glukosa dengan melakukan glukoneogenesis, memproduksi glukosa dari

    laktat, asam amino, dan asam lemak bebas. Hal ini dapat menyebabkan

    resistensi sel terhadap insulin (Mantovanni et al, 2006).

    Berdasarkan hasil studi yang dilakukan oleh Brinksma, Huizinga, Sulkers,

    Kamp, Roodbol, dan Tissing (2012), disimpulkan bahwa malnutrisi yang

    terjadi pada pasien leukemia adalah 5-10% saat diagnosis, dan 0-5% selama

    pengobatan. Selain itu, disimpulkan juga bahwa malnutrisi lebih banyak

  • 5

    Universitas Indonesia

    terjadi pada anak dengan tumor padat. Malnutrisi yang terjadi pada kasus

    neuroblastoma adalah 50% pada saat diagnosis dan 20-50% selama

    pengobatan, pada kasus medulloblastoma dan Primitive Neuro Ectodermal

    Tumor (PNET) sebanyak 31% saat diagnosis, dan pada kasus lain berkisar

    antara 0% sampai 30% pada saat diagnosis dan selama pengobatan.

    Pernyataan tersebut didukung oleh Bauer, Jurgens, dan Fruhwald (2011), yang

    mengungkapkan bahwa malnutrisi lebih banyak terjadi pada anak dengan

    tumor padat.

    Prevalensi masalah malnutrisi pada anak dengan kanker berkisar 60%, dan

    berkaitan erat dengan pemberian pengobatan (Montgomery et al, 2013).

    Penanganan (perawatan dan pengobatan) kanker pada anak adalah dengan

    kemoterapi, operasi atau pembedahan dan radioterapi (James & Aswill, 2007)

    atau gabungan antara kemoterapi dan radioterapi (Hockenberry & Wilson,

    2009). Terapi yang diberikan pada pasien kanker bertujuan untuk

    menyembuhkan penyakit atau memperpanjang umur, serta meningkatkan

    kualitas hidup (Hockenberry & Wilson, 2009). Pengobatan kanker ini

    memberikan dampak yang positif dan negatif. Dampak positif pada pemberian

    kemoterapi adalah membunuh sel-sel kanker yang berkembang dengan cepat

    (James & Ashwill, 2007). Dampak negatif yang akan dialami oleh pasien

    diantaranya adalah penekanan sumsum tulang (neutropenia, anemia, dan

    trombositopenia), fatigue/kelelahan (Ericson, 2004), mual-muntah, anoreksia,

    konstipasi, diare, rambut rontok, esophagitis dan mukositis (James & Ashwill,

    2007; Hockenberry & Wilson, 2009; Tomlinson & Kline, 2010).

    Perubahan sensasi rasa dan bau yang dialami oleh penderita kanker,

    dihubungkan dengan penggunaan beberapa agen kemoterapi, diantaranya

    cisplatin, doxorubicin, carboplatin, methotrexate, 5-fluorouracil, levamisole,

    dan cyclophosphamide (Bernhardson, Tisheelman, & Rutqvist, 2008). Selain

    itu, agen kemoterapi juga dapat merusak sel mukosa, sensori rasa, dan reseptor

    penciuman. Hal ini berkontribusi terhadap kejadian anoreksia dan penurunan

    asupan nutrisi (Duggan, Watkins, & Walker, 2008). Efek samping negatif dari

  • 6

    Universitas Indonesia

    kemoterapi yang sering ditemukan pada anak, diantaranya adalah mual dan

    muntah. Mual dan muntah dapat terjadi dengan segera (akut) setelah

    pemberian kemoterapi atau dalam onset lambat (Yarbro, Wujcik, & Gobel,

    2011). Menurut James dan Ashwill (2007), agen kemoterapi juga dapat

    menyebabkan pengelupasan (cedera) pada jaringan mukosa di sepanjang

    saluran percernaan, yang dapat berkembang menjadi mukositis dan

    esophagitis. Kondisi ini dapat menimbulkan rasa nyeri dan berkontribusi

    terhadap penurunan asupan nutrisi.

    Kemoterapi juga dapat berkontribusi terhadap kejadian konstipasi. James dan

    Ashwill (2007) menjelaskan bahwa konstipasi dapat diperburuk dengan

    adanya penurunan aktivitas, nyeri karena pengobatan, dan rendahnya asupan

    nutrisi. Selain itu, pengeluaran feses yang keras dapat menyebabkan abrasi

    pada membran mukosa rektum dan dapat meningkatkan resiko terjadinya

    infeksi bakteri dalam darah. Gangguan pola eliminasi lain yang terjadi adalah

    diare. Menurut Berger, Shuster, dan Von Roenn (2007) diare biasanya terjadi

    dua (2) sampai 14 hari setelah pemberian kemoterapi dan disebabkan oleh

    agen kemoterapi seperti fluoropyrimidine dan paclitaxel. Selain itu, diare

    dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan elektrolit, malnutrisi,

    kehilangan albumin, dan menyebabkan pengurangan dosis kemoterapi yang

    pada akhirnya menyebabkan perawatan lebih lama.

    Permasalahan nutrisi pada anak dengan kanker bukan hanya underweight

    tetapi juga overweight/obesity. Lughetti, Bruzzi, Predieri, dan Paolucci (2012)

    mengungkapkan bahwa obesitas merupakan salah satu kondisi kronis yang

    mempengaruhi kesehatan di seluruh dunia dan mempengaruhi para penderita

    kanker. Hal ini juga berdampak pada meningkatnya angka kesakitan dan

    kematian. Obesitas sering ditemukan pada pasien dengan leukemia limfositik

    akut (LLA), baik selama dan setelah kemoterapi (Orgel, 2011). Tahun pertama

    pengobatan LLA merupakan periode yang paling sering dilaporkan adanya

    peningkatan berat badan, terutama akhir dari fase kondolidasi (50%)

    (Arguelles, Barrios, Buno, Madero, & Argente, 2000). Hal yang sama

  • 7

    Universitas Indonesia

    diungkapkan oleh Oeffinger et al (2003), bahwa LLA memiliki prevalensi

    lebih tinggi untuk mengalami obesitas (30-50%), hal ini mungkin akibat dari

    pengobatan.

    Faktor pengobatan yang dapat meningkatkan risiko obesitas/overweight pada

    anak dengan kanker adalah penggunaan steroid dosis tinggi selama fase

    induksi dan reinduksi (dalam remisi) (Sala Pencharz & Barr, 2004).

    Pengobatan glukokortikoid, dalam hal ini dexamethasone merupakan salah

    satu pengobatan yang penting pada anak yang menderita leukemia (Vries et

    al., 2008). Dexamethasone dapat menyebabkan apoptosis dan menstimulasi

    respon glukokortikoid yang merupakan indikator awal respon tubuh terhadap

    kemoterapi. Selain itu, dexamethasone memberikan efek yang lebih signifikan

    daripada prednisone dalam menurunkan kejadian relaps dan meningkatkan

    keberhasilan terhadap pengobatan. Pengobatan glukokortikoid untuk hampir

    semua kasus leukemia limfositik pada anak dapat meningkatkan asupan

    energi, dan efek ini memberikan kontribusi terhadap peningkatan berat badan

    yang pada akhirnya mengakibatkan obesitas/overweight (Sala, Pencharz &

    Barr, 2004).

    Faktor lain yang juga dapat meningkatkan risiko obesitas/overweight pada

    anak dengan kanker adalah penumpukan lemak (adiposity). Miller, Lipstiz,

    dan Mitnik (2010) mengungkapkan bahwa penyebab terjadinya penumpukan

    lemak (adiposity) hingga saat ini belum dipahami secara jelas. Namun, teori

    lain menyebutkan bahwa pengobatan glukokortikoid dapat meningkatkan

    penumpukan lemak (adiposity) dengan menekan sekresi hormon pertumbuhan

    (Marky, Mellander, Lannering, & Albertsson-Wikland, 1991 dalam Lughetti,

    Bruzzi, Predieri & Paolucci, 2012) atau hal tersebut menyebabkan resistensi

    terhadap leptin (Davies, Evans, Jones, Evans, Jenney, & Gregory, 2004).

    Menurut Lughetti, Bruzzi, Predieri dan Paolucci (2012), faktor lingkungan

    memberikan pengaruh terhadap peningkatan kejadian obesitas selama dan

    setelah pengobatan LLA. Selama pengobatan, anak dengan kanker biasanya

    mengalami perubahan aktivitas sehari-hari, seperti peningkatan asupan energi

  • 8

    Universitas Indonesia

    dan penurunan aktivitas fisik. Penurunan aktivitas fisik disebabkan sejumlah

    faktor, termasuk kapasitas latihan berkurang, penurunan fungsi motorik,

    penurunan keinginan untuk melakukan kegiatan rekreasi dan over protective.

    Permasalahan nutrisi baik underweight maupun obesitas/overweight yang

    dialami oleh anak dengan kanker akan mempengaruhi kualitas hidupnya.

    Malnutrisi yang terjadi pada anak kanker memiliki konsekuensi baik jangka

    pendek maupun jangka panjang. Menurut Bauer, Jurgens, dan Fruhwald

    (2011), konsekuensi malnutrisi jangka pendek yang terjadi pada anak kanker

    berupa penurunan fungsi otot dan lemak tubuh, yang pada akhirnya akan

    merubah komposisi tubuh, penurunan toleransi dan respon terhadap

    kemoterapi, terlambatnya pengobatan, gangguan biokimia tubuh seperti

    anemia dan hipoalbuminemia, serta meningkatkan risiko infeksi. Konsekuensi

    malnutrisi jangka panjang meliputi gangguan pertumbuhan, gangguan

    neurodevelopment, kepadatan tulang yang abnormal, penurunan kualitas hidup

    dan peningkatan risiko terjadinya kanker sekunder (Bauer, Jurgens, &

    Fruhwald, 2011).

    Konsekuensi jangka panjang pada anak dengan leukemia yang telah

    menyelesaikan terapi seringkali menjadi kekhawatiran tersendiri.

    Obesitas/overweight merupakan hasil dari akumulasi lemak yang berlebihan.

    Lemak yang merupakan jaringan metabolik aktif, akan memproduksi faktor

    proinflammatory yang berkontribusi terhadap inflamasi vaskular. Hal ini

    merupakan predisposisi pembentukan lesi vascular atherosclerotic, yang pada

    akhirnya anak dengan kanker rentan terhadap premature atherosclerotic

    (Miller, Lipstiz, & Mitnik, 2010). Maldonado-Alczar, Nez-Enrquez,

    Garca-Ruiz, Fajardo-Gutierrez dan Meja-Arangure (2013) mengungkapkan

    bahwa anak dengan kanker berisiko mengalami resistensi insulin, diabetes

    melitus, hipertensi, dislipidemia dan peningkatan risiko kardiovaskular.

    Menurut Butturini et al (2007) obesitas yang terjadi saat diagnosis juga

    diyakini dapat memprediksi anak dengan ALL mengalami relaps.

  • 9

    Universitas Indonesia

    Permasalahan nutrisi baik underweight maupun obesitas/overweight yang

    dialami oleh anak penderita kanker harus ditangani sejak dini oleh tim

    kesehatan termasuk tenaga perawat. Perawat adalah individu yang selalu

    berhubungan dengan anak dan keluarga. International Council of Nurses/ICN

    (2012) mengungkapkan bahwa keperawatan meliputi pemberian tindakan

    keperawatan baik secara mandiri maupun kolaborasi terhadap seorang

    individu tanpa membedakan usia, keluarga, kelompok dan masyarakat, sakit

    atau sehat dalam semua kondisi. Perawat spesialis khususnya perawat anak

    berperan untuk memberikan praktik profesional yang memiliki akuntabilitas

    dengan tetap memperhatikan aspek etik dan legal (professional, ethical and

    legal practice), memberikan asuhan dan manajemen asuhan keperawatan

    (care provision and management), dan mengembangkan profesionalisme

    untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan asuhan keperawatan

    (professional, personal and quality development) (ICN, 2009). Keperawatan

    memiliki peran penting dalam membantu individu yang sakit atau sehat untuk

    menanggapi berbagai stresor. Hal ini dilakukan untuk mencapai kesejahteraan

    yang optimal dan meningkatkan kualitas hidup individu.

    Ruang non infeksi RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo merupakan rumah sakit

    rujukan nasional yang menyediakan perawatan bagi anak dengan berbergai

    penyakit non infeksi kelas III termasuk di dalamnya adalah kanker pada anak.

    Berdasarkan hasil dokumentasi ruangan (Januari-Desember 2012) didapatkan

    bahwa lima penyakit terbesar yang dirawat di ruang non infeksi adalah

    leukemia (43,54%), retinoblastoma (18,57%), neuroblastoma (10,2%),

    limfoma maligna (6,09%), dan osteosarkoma (5,51%). Hasil dokumentasi

    ruangan (Januari-Maret 2013) menunjukkan bahwa leukemia limfositik akut

    tetap berada pada posisi pertama sebanyak 30,9%, diikuti oleh leukemia

    mieloblastik akut (11,89%), retinoblastoma (9,35%), dan kanker nasofaring,

    rabdomiosarkoma, dan osteosarkoma (4,06%). Berdasarkan hasil pengamatan

    yang dilakukan oleh residen pada saat praktik di ruang anak non infeksi

    RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (periode 18 Februari sampai dengan 10

    Mei 2013), didapatkan bahwa dari pasien yang mengalami keganasan 59,61%

  • 10

    Universitas Indonesia

    memiliki status gizi baik, 26,92% memiliki status gizi kurang, 6,15% memiliki

    status gizi buruk, 5% memiliki status gizi lebih (overweight), dan 2,31%

    mengalami obesitas.

    Penanganan masalah nutrisi pada setiap anak dengan kanker berbeda satu

    dengan lainnya. Nutrisi dan energi akan lebih banyak terpakai apabila terdapat

    sel kanker dalam tubuh anak. Ketika seorang anak yang menderita kanker

    tidak mendapatkan nutrisi yang adekuat, maka akan terjadi ketidakseimbangan

    nutrisi/energi. Berman, Snyder, Kozier, dan Erb (2009) mengungkapkan

    bahwa keseimbangan energi seseorang ditentukan dengan membandingkan

    antara asupan energi dan pengeluaran energi. Untuk mencapai keseimbangan

    energi maka asupan dan pengeluaran energi harus seimbang. Hal ini

    menekankan bahwa nutrisi yang adekuat sangat dibutuhkan untuk

    mempertahankan keseimbangan energi pada anak dengan kanker yang

    mengalami masalah nutrisi. Salah satu teori keperawatan yang berfokus pada

    keseimbangan energi adalah Levines Conservation Model (Model Konservasi

    Levine) (Alligood, 2010; Tomey & Alligood, 2010).

    Parker (2005) mengungkapkan bahwa Model Konservasi Levine telah

    diaplikasikan sebagai kerangka kerja dalam berbagai area praktik keperawatan

    diantaranya area obstetrik, neonatologi, pediatrik, geriatrik, dan perawatan

    jangka panjang. Ekman dan Ehrenberg (2002) telah menerapkan Model

    Konservasi Levine terhadap pemberian asuhan keperawatan pada lansia

    penderita gagal jantung kongestif yang mengalami kelelahan/fatigue. Menurut

    Model Konservasi Levine (Levine, 1973 dalam Ekman & Ehrenberg, 2002),

    fatigue/kelelahan merupakan manifestasi dari upaya tubuh untuk

    mempertahankan dirinya sendiri, terjadi ketika pasokan energi tidak dapat

    memenuhi permintaan energi. Proses ini mempengaruhi kondisi emosional

    dan kesejahteraan fisik pasien dan mengancam keutuhan (wholeness).

    Mefford (2004) mengembangkan dan menguji teori promosi kesehatan pada

    bayi preterm berdasarkan Model Konservasi Levine, yang dapat digunakan

  • 11

    Universitas Indonesia

    untuk memandu praktik keperawatan neonatus. Menurut Mefford (2004),

    pengkajian dan intervensi keperawatan tidak hanya berfokus pada perubahan

    fisiologis anak tetapi juga kebutuhan dukungan psikososial bagi keluarga. Hal

    ini menunjukkan bahwa aplikasi dari praktik keperawatan yang holistik

    berdasarkan pada teori keperawatan dapat membantu meningkatkan kesehatan

    klien dan keluarga. Gregory (2008) menemukan bahwa necrotizing

    enterocolitis/NEC berkembang pada bayi prematur yang tidak mendapatkan

    nutrisi enteral (ASI). Hal tersebut juga dapat disebabkan karena meningkatnya

    kebutuhan oksigenasi yang digunakan untuk mempertahankan organ vital lain,

    sehingga proses oksigenasi pada saluran pencernaan tidak terpenuhi. Model

    Konservasi Levine diharapkan juga mampu dijadikan sebagai panduan dalam

    pemberian asuhan keperawatan pada anak penderita kanker yang mengalami

    masalah dalam menjaga keseimbangan energi, gangguan pada integritas

    struktural, integritas personal, maupun integritas sosial.

    Model Konservasi Levine mendeskripsikan tentang cara yang kompleks yang

    memungkinkan individu (anak) untuk melanjutkan fungsi meskipun

    dihadapkan pada tantangan/hambatan yang sangat berat (Levine, 1990 dalam

    Parker, 2005). Model Konservasi Levine memandu perawat untuk fokus pada

    pengaruh dan tanggapan individu sesuai tingkat organismik. Perawat

    diharapkan mampu menyelesaikan tujuan model melalui prinsip konservasi

    energi, struktur, integritas personal dan sosial (Levine, 1967 dalam Tomey &

    Alligood, 2010). Prinsip-prinsip tersebut merupakan sarana untuk menilai

    apakah anak cukup memiliki bekal untuk melakukan proses adaptasi

    (Alligood, 2010; Tomey & Alligood, 2010).

    Model Konservasi Levine mengidentifikasi tiga (3) konsep penting dalam

    penggunaan konsep modelnya yaitu adaptasi (adaptation), keutuhan

    (wholeness), dan konservasi (conservation). Adaptasi adalah suatu proses

    perubahan, dimana individu mampu mempertahankan integritas dalam realitas

    lingkungan tertentu (Levine, 1973 dalam Tomey & Alligood, 2010).

    Kemampuan adaptasi setiap individu berbeda-beda menurut waktu (histority),

  • 12

    Universitas Indonesia

    karakter individu (specifity), dan tingkat kemampuan adaptasi (redundancy)

    (Levine 1991, dalam Tomey & Alligood, 2010). Hasil akhir dari adaptasi

    (proses perubahan) adalah konservasi. Konservasi bertujuan untuk memelihara

    keutuhan dan keseimbangan yang terdapat pada diri individu tersebut (Levine,

    1973 dalam Mock et al, 2007). Keutuhan (wholeness) menjadi ada ketika

    interaksi atau adaptasi terjadi secara terus-menerus (konstan) antara organisme

    dengan lingkungannya (Levine, 1991 dalam Tomey & Alligood, 2010).

    Prinsip konservasi yang mendasari model ini adalah konservasi energi,

    konservasi integritas struktural, konservasi integritas personal dan konservasi

    integritas sosial (Levine 1989 dalam Mock et al, 2007). Selama konservasi ini,

    diharapkan individu (anak) dapat menghadapi rintangan/hambatan,

    beradaptasi, dan mempertahankan keunikannya. Ketika tantangan lingkungan

    terjadi, seperti dalam kasus kanker dan pengobatannya, anak memulai proses

    multidimensional adaptasi untuk mempertahankan hidup dan melestarikan

    adaptasi. Diagnosis kanker dan pengobatannya (pembedahan, kemoterapi dan

    radioterapi) menghasilkan perubahan lingkungan biokimia (ancaman terhadap

    integritas struktural) dan menciptakan tekanan psikososial yang berkaitan

    dengan kelangsungan hidup dan kualitas hidup (ancaman terhadap integritas

    personal dan sosial).

    Levine mempercayai bahwa perawatan yang berorientasi pada pasien (patient

    center care) adalah pelayanan keperawatan yang bersifat individual

    (individualized nursing care) (Levine, 1973 dalam Parker, 2005). Perawat

    dapat membantu individu beradaptasi demi mempertahankan keunikan

    individu tersebut. Hal ini dilakukan dengan serangkaian tahapan proses

    keperawatan. Menurut Levine proses keperawatan dilakukan dengan

    menggunakan pemikiran kritis, diantaranya melakukan pengkajian

    (mengumpulkan data melalui wawancara dan observasi), trophicognosis

    (menyimpulkan fakta dan menentukan sebuah keputusan mengenai bantuan

    yang dibutuhkan pasien). Tahap selanjutnya adalah melakukan hipotesis

  • 13

    Universitas Indonesia

    (rencana keperawatan), melakukan intervensi keperawatan dan evaluasi

    keperawatan (Alligood, 2010).

    Berdasarkan uraian diatas, residen merasa tertarik untuk mengaplikasikan dan

    menganalisis asuhan keperawatan pada anak kanker yang mengalami masalah

    nutrisi dengan menggunakan pendekatan Levines Conservation Model

    (Model Konservasi Levine).

    1.2 Tujuan 1.2.1 Tujuan Umum

    Memberikan gambaran aplikasi Model Konservasi menurut Levine dalam

    asuhan keperawatan pada anak penderita kanker yang mengalami masalah

    nutrisi.

    1.2.2 Tujuan Khusus 1.2.2.1 Memberikan gambaran asuhan keperawatan pada anak kanker yang

    mengalami masalah nutrisi dengan menggunakan pendekatan Model

    Konservasi Levine.

    1.2.2.2 Memberikan uraian analisis terhadap asuhan keperawatan yang diberikan

    pada anak penderita kanker yang mengalami masalah nutrisi dengan

    menggunakan pendekatan Model Konservasi Levine.

    1.2.2.3 Memberikan gambaran pencapaian kompetensi dalam praktik spesialis

    keperawatan anak dan peran perawat dalam memberikan asuhan

    keperawatan secara profesional dengan memperhatikan aspek etik dan

    legal.

    1.3 Sistematika penulisan Karya Ilmiah Akhir (KIA) ini terdiri dari lima (5) bab, yang terdiri dari: Bab

    satu (1), merupakan pendahuluan yang membahas latar belakang, tujuan, dan

    sistematika penulisan karya ilmiah akhir ini. Bab dua (2) menguraikan aplikasi

    teori keperawatan dalam pemberian asuhan keperawatan pada anak yang

    mengalami masalah nutrisi, yang meliputi uraian mengenai gambaran kasus,

  • 14

    Universitas Indonesia

    tinjauan teori, integrasi teori dan konsep keperawatan dalam proses asuhan

    keperawatan dan aplikasi teori keperawatan pada kasus terpilih. Bab tiga (3),

    menguraikan pencapaian kompetensi praktik residensi keperawatan anak dan

    peran perawat anak dalam pemberian asuhan keperawatan. Bab empat (4),

    memaparkan analisis penerapan Model Konservasi menurut Levine dalam

    asuhan keperawatan pada anak dengan masalah nutrisi dan pencapaian target

    kompetensi. Bab terakhir adalah bab lima (5), yang berisi simpulan dan saran

    dari seluruh proses penulisan karya ilmiah akhir (KIA).

  • 15 Universitas Indonesia

    BAB 2

    APLIKASI TEORI KEPERAWATAN PADA PRAKTIK

    RESIDENSI KEPERAWATAN ANAK

    Bab 2 ini menguraikan gambaran kasus yang dikelola residen selama melakukan

    praktik residensi keperawatan anak lanjut I dan II di RSUPN Dr. Cipto

    Mangunkusumo. Gambaran kasus ini merupakan kasus terpilih pada anak dengan

    kanker yang mengalami masalah nutrisi, yang terdiri dari satu kasus dengan

    masalah nutrisi: lebih dari kebutuhan tubuh dan empat kasus dengan masalah

    nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh. Pada bab ini juga akan diuraikan mengenai

    tinjauan teoritis terkait dengan kasus yang dipilih, integrasi teori dan konsep

    keperawatan dalam proses keperawatan, dan aplikasi teori keperawatan pada

    kasus terpilih.

    2.1 Gambaran kasus 2.1.1 Kasus 1

    An. M. S, usia 3 tahun, jenis kelamin laki-laki, masuk ke RSUPN Dr. Cipto

    Mangunkusumo pada tanggal 28 Agustus 2012 dengan diagnosis medis

    tumor suprasella dan keluhan utama sesak nafas. Pada saat dilakukan

    pengkajian (18/09/2012), klien memasuki hari perawatan ke-22. Ibu

    mengatakan sesak nafas, batuk, dan pilek pada anaknya sudah berkurang,

    Kesadaran kompos mentis (CM), tampak lemah, suhu 36,9oC/axilla,

    frekuensi nadi 120x/menit, tekanan darah 100/60mmHg, dan frekuensi

    pernafasan 42x/menit. Hasil pemeriksaan darah lengkap/DPL (16/09/2012):

    hemoglobin 10,9gr/dl dan hematokrit 33,3%, Hasil pemeriksaan hitung jenis

    didapatkan: eosinofil 3,4%, neutrofil 42,9%, dan limfosit 51,3%. Ibu juga

    mengatakan anaknya mengalami kelemahan pada kedua ekstremitas bawah

    dan ekstremitas atas sebelah kiri dan air kencingnya banyak sekali. Saat ini,

    ibu mengatakan anaknya masih malas untuk makan dan minum, serta klien

    terpasang Nasogastric Tube/NGT. Berat badan saat ini: 10,5 kg, tinggi

    badan 92 cm, lingkar lengan atas 10,5 cm, terdapat iga gambang, wasting,

    dan baggy pants. Kebutuhan kalori klien adalah 1625 kkal.

  • 16

    Universitas Indonesia

    Masalah keperawatan yang muncul pada anak M. S adalah ketidakefektifan

    bersihan jalan nafas, ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan,

    risiko kekurangan volume cairan dan ketidakseimbangan elektrolit,

    hambatan mobilitas fisik, risiko keterlambatan pertumbuhan dan

    perkembangan, dan risiko cedera akibat profil darah abnormal. Intervensi

    keperawatan yang telah dilakukan, diantaranya: memantau tolerasi nutrisi

    per oral dan NGT, memberikan posisi semifowler pada klien, memberikan

    cairan secara adekuat, kolaborasi dalam pemenuhan nutrisi, pemberian

    antibiotik, transfusi, dan pemeriksaan laboratorium secara berkala.

    Hasil evaluasi setelah dilakukan intervensi selama 15 hari adalah masalah

    ketidakefektifan bersihan jalan nafas, keterbatasan aktivitas teratasi, diare

    dan hipertermi teratasi. Pemenuhan nutrisi adekuat, masalah risiko

    kekurangan volume cairan dan elektrolit tidak terjadi, pertumbuhan dan

    perkembangan klien dapat dipertahankan, dan risiko cidera akibat profil

    darah abnormal (penurunan kadar hemoglobin) tidak terjadi.

    2.1.2 Kasus 2 An. S. N, usia 3 tahun 1 bulan, jenis kelamin perempuan masuk ke RSUPN

    Dr. Cipto Mangunkusumo pada tanggal 01/09/2012 dengan diagnosis medis

    Leukemia Limfoblastik Akut (LLA) L1 B-lineage. Klien memiliki riwayat

    putus berobat setelah kemoterapi yang pertama. Klien mendapatkan

    perawatan di PICU selama 19 hari, dan pengkajian dilakukan pada tanggal

    24/09/2012 (perawatan hari ke 24). Kesadaran CM, suhu 36,9oC/axilla,

    frekuensi nadi 100x/menit, kuat, regular, frekuensi pernafasan 28x/menit,

    teratur, dan tekanan darah 100/66 mmHg. Ibu mengatakan anak banyak

    minum, banyak kencing, dan sering mengalami mimisan jika anak

    menangis. Klien jarang bermain dengan teman sebayanya, klien lebih suka

    menonton televisi dan bermain boneka bersama ibu dan ayahnya.

    Ibu juga mengatakan nafsu makan anaknya meningkat, berat badan saat ini

    14 kg, tinggi badan 82cm, dan lingkar perut 57cm, dan tampak moonface.

  • 17

    Universitas Indonesia

    Kebutuhan kalori klien 1500 didapatkan secara enteral yakni dalam bentuk

    makan biasa. Hasil pemeriksaan darah lengkap (24/09/2012): prokalsitonin

    1,17 mg/ml, hemoglobin 8,5 gr/dl, hematokrit 25,5%, leukosit 880/L,

    trombosit: 40.000/L, dan eritrosit: 2.97 juta/L. Kadar absolute neutrofil

    count (ANC) adalah 0 sel/mikroliter.

    Masalah keperawatan utama pada klien S. N adalah ketidakseimbangan

    nutrisi: lebih dari kebutuhan tubuh, risiko syok hipovolemik, risiko cedera

    akibat profil darah abnormal, dan risiko infeksi. Intervensi keperawatan

    yang telah dilakukan adalah memberikan cairan secara adekuat, melakukan

    dan mengajarkan hand hygiene pada keluarga, memberikan edukasi kepada

    orang tua mengenai obesitas pada anak dengan kanker, dan kolaborasi dalam

    pemberian antibiotik, transfusi, dan pemeriksaan laboratorium.

    Hasil evaluasi setelah dilakukan intervensi selama 5 hari adalah masalah

    risiko syok hipovolemik, risiko cedera (perdarahan akibat trombositopenia

    dan penyebaran infeksi akibat leukopenia) tidak terjadi. Pada masalah

    ketidakseimbangan nutrisi: lebih dari kebutuhan tubuh, menunjukkan klien

    masih mengalami obesitas dan berat badan tidak mengalami penurunan,

    namun orang tua sudah mengerti mengenai obesitas pada anaknya.

    2.1.3 Kasus 3 An. F. R, usia 3 tahun 5 bulan, jenis kelamin laki-laki masuk ke RSUPN Dr.

    Cipto Mangunkusumo pada tanggal 18 Februari 2013 dengan diagnosis

    medis LLA. Hasil Bone Marrow Puncture/BMP (06 Pebruari 2013)

    menyatakan hiperaktif enteropoetik. Pengkajian dilakukan pada tanggal 25

    Pebruari 2013 (perawatan hari ke 8). Kesadaran apatis somnolen, suhu

    36,7oC/axilla, frekuensi nadi 104x/menit, frekuensi nafas 28x/menit,

    tekanan darah 90/50 mmHg. Hasil DPL (14/02/2013) didapatkan

    hemoglobin 9,5g/dL, hematokrit 31,0%, eritrosit: 3.65x106, MCHC:

    30,6g/dL, eosinofil 0.1%, Monosit 12.5%, dan kreatinin darah 0.20mg/dL.

    Saat ini berat badan klien F. R 11,315 kg, tinggi badan 89 cm, terpasang

  • 18

    Universitas Indonesia

    NGT di nasar sinistra, bibir tampak kering, pecah-pecah, dan terdapat

    mukositis oral. Kebutuhan kalori klien F. R adalah 1200 kkal. Klien

    mengalami diare sejak dua hari yang lalu, bab 5x/hari, konsistensi cair,

    warna kuning, dan terdapat ampas.

    Masalah keperawatan An. F.R adalah ketidakseimbangan nutrisi: kurang

    dari kebutuhan tubuh, risiko cedera akibat profil darah abnormal, risiko

    kekurangan volume cairan dan ketidakseimbangan elektrolit, diare, dan

    kerusakan membran mukosa oral. Intervensi keperawatan yang telah

    dilakukan adalah memantau tolerasi nutrisi per NGT, melakukan perawatan

    mulut, memberikan cairan secara adekuat, memonitor balance cairan

    (asupan dan keluaran), kolaborasi dalam pemberian pemenuhan nutrisi,

    cairan pengganti, antibiotik, transfusi, dan pemeriksaan laboratorium.

    Hasil evaluasi setelah dilakukan intervensi selama 9 hari adalah masalah

    ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh teratasi, risiko

    cedera akibat profil darah abnormal (penurunan kadar hemoglobin) tidak

    terjadi, risiko kekurangan volume cairan dan ketidakseimbangan elektrolit

    berganti menjadi kekurangan volume cairan dan telah dapat diatasi. Masalah

    diare telah teratasi dan kerusakan membran mukosa oral telah teratasi

    sebagian.

    2.1.4 Kasus 4 An. M. S. A, usia 5 tahun 6 bulan, jenis kelamin laki-laki dengan diagnosis

    medis Tumor mandibula ec tersangka tumor osteoid, anemia, dan gizi buruk

    marasmik. Saat dilakukan pengkajian (25 Maret 2013), klien memasuki

    perawatan hari ke 8. Kesadaran CM, suhu 37.3oC/axilla, frekuensi nadi

    105x/menit, frekuensi nafas 36x/menit, dan tekanan darah 88/55 mmHg.

    Pada klien tampak benjolan di sub mandibula sinistra, mendorong lidah ke

    bagian dalam sebelah kanan, berukuran 12 x 13 x 10 cm, massa teraba keras

    dan padat. Klien mengalami hipersalivasi bercampur dengan pus, dan

    berbau, didaerah sebelah kiri mulut tampak kemerahan seperti inflamasi, dan

  • 19

    Universitas Indonesia

    terdapat nyeri tekan (skala nyeri 3). Saat ini berat badan klien M. S. A 14,6

    kg, tinggi badan 110 cm, dan lingkar lengan atas 11,2 cm, terdapat iga

    gambang dan wasting. Kebutuhan kalori klien M.S.A adalah 1400 kkal yang

    didapatkan dari nutrisi enteral yaitu F100 8 x 175 ml. Hasil pemeriksaan

    darah lengkap (24 Maret 2013) didapatkan hemoglobin 11,5 gr/dl,

    hemotokrit 37%, leukosit: 16320/l, albumin: 3,31gr/dl.

    Masalah keperawatan utama pada klien M.S.A adalah ketidakseimbangan

    nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, nyeri, kerusakan membran mukosa

    mulut, risiko infeksi, ketidakefektifan bersihan jalan nafas, dan cemas.

    Intervensi keperawatan yang telah dilakukan adalah memantau tolerasi

    nutrisi per NGT, melakukan perawatan mulut, memberikan cairan secara

    adekuat, mengkaji tingkat nyeri, mengajarkan teknik relaksasi: menarik

    nafas dalam, memonitor balance cairan (intake dan output), melakukan dan

    mengajarkan hand hygiene pada keluarga, menjelaskan kepada orang tua

    kondisi anaknya dan kolaborasi dalam pemberian pemenuhan nutrisi sesuai

    kondisi klien, antibiotik, inhalasi, dan pemeriksaan laboratorium. Hasil

    evaluasi setelah dilakukan intervensi selama 17 hari adalah masalah

    ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh teratasi. Masalah

    kerusakan membran mukosa mulut, nyeri, cemas dan bersihan jalan nafas

    teratasi.

    2.1.5 Kasus 5 An. D.P.A, usia 10 bulan, jenis kelamin laki-laki dengan diagnosis medis

    acute limfoblastic leukemia-high risk (ALL-HR). Pengkajian dilakukan saat

    klien masuk RSUPN Dr. Cipto Mangunkusumo (02 Mei 2013), klien masuk

    untuk kemoterapi fase konsolidasi. Kesadaran CM, suhu 38oC/axilla,

    frekuensi nadi 88x/menit, frekuensi nafas 24x/menit, dan tekanan darah

    84/63 mmHg. Saat ini klien mengalami mual, batuk, pilek, terdapat sekret

    berwarna putih, dan demam. Berat badan 6,3 kg, panjang badan 68 cm.

    Kebutuhan kalori anak D.P.A adalah 650 kkal yang didapatkan dari makan

    lunak BS 3x (450 kkal) dan SF 5x60 ml (200 kkal). Hasil DPL (02/05/2013)

  • 20

    Universitas Indonesia

    didapatkan hemoglobin 10,4 gr/dL, hematokrit 31,6%, dan leukosit

    13440/l. Hasil pemeriksaan hitung jenis didapatkan data sebagai berikut:

    basofil 2,5%, netrofil 23,4% limfosit 54,5%, dan monosit 17,7%. Hasil

    aspirasi sumsum tulang (22/04/2013) menyimpulkan gambaran sumsum

    tulang dapat sesuai dengan remisi.

    Masalah keperawatan yang muncul adalah ketidakefektifan bersihan jalan

    nafas, ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh, risiko

    kerusakan membran mukosa mulut, kerusakan integritas kulit, hipertermi,

    dan cemas. Intervensi keperawatan yang telah dilakukan adalah memantau,

    melakukan perawatan mulut, memberikan cairan secara adekuat, memonitor

    balance cairan (asupan dan keluaran), memberikan kompres hangat,

    mengajarkan keluarga cara melakukan perawatan mulut, menjelaskan

    kepada orang tua mengenai kondisi klien dan kolaborasi dalam pemberian

    pemenuhan nutrisi, antipiretik, antibiotik, dan pemeriksaan laboratorium.

    Hasil evaluasi setelah dilakukan intervensi selama 9 hari adalah masalah

    ketidakseimbangan nutrisi: kurang dari kebutuhan tubuh teratasi. Masalah

    ketidakefektifan bersihan jalan nafas, kerusakan integritas kulit, cemas dan

    hipertermi teratasi. Risiko infeksi dan risiko kerusakan membran mukosa

    mulut tidak terjadi.

    2.2 Tinjauan teoritis 2.2.1 Konsep Kanker

    Menurut National Cancer Institute/NCI (2012) kanker merupakan suatu

    kondisi di mana sel telah kehilangan kendali terhadap mekanisme

    normalnya, sehingga mengalami pertumbuhan yang abnormal, penyakit ini

    dapat menyebar melalui sistem peredaran darah dan limfe. Kanker adalah

    suatu penyakit sistemik yang secara langsung mempengaruhi sel dan dapat

    menyebar ke daerah lain. Hal ini menyebabkan berbagai komplikasi dan

    hilangnya fungsi organ secara progresif, yang pada akhirnya akan

    mempengaruhi status gizi (van Bokhorst-de van der Schueren, 2005).

  • 21

    Universitas Indonesia

    2.2.1.1 Kanker pada anak

    Kanker yang berkembang pada anak berbeda dengan kanker pada orang

    dewasa. Menurut Bowden dan Greenberg (2010) kanker pada anak

    seringkali muncul dari lapisan embrionik mesodermal. Sel-sel ini akan

    tumbuh menjadi jaringan ikat, otot, tulang, tulang rawan ginjal, organ

    seksual, darah, pembuluh darah dan limfe, serta organ limfoid. Dimana,

    92% kanker pada anak seperti sarkoma, leukemia, dan limfoma

    berkembang dari jaringan embrional primitif. Sisanya 8% timbul dari

    jaringan neuroektodermal dan berkembang menjadi tumor central nervous

    system atau CNS. Kanker epitelial cukup jarang ditemukan pada anak di

    bawah usia 15 tahun. Tumor yang berasal dari jaringan mesoektodermal

    dan neuroektodermal terletak lebih dalam dibandingkan dengan tumor

    epithelial, dan sulit dideteksi hingga tumor tersebut membesar (Bowden &

    Greenberg, 2010). Hampir 80% kanker pada anak, telah terjadi metastasis

    jauh (penyebaran) pada saat diagnosis (Ruccione, 2002). Kanker pada

    anak berbeda-beda berdasarkan jenis histologi, letak/lokasi penyakit, ras,

    jenis kelamin, dan usia (NCI, 2012).

    Insiden kanker pada anak belum diketahui dengan jelas, namun

    diperkirakan akan terus meningkat setiap tahunnnya. Statistik resmi dari

    International Agency for Research on Cancer (IARC) menyebutkan

    bahwa satu dari 600 anak akan menderita kanker sebelum umur 16 tahun

    (Cutland, 2011). Jenis kanker pada anak yang terjadi pada usia 0-14 tahun,

    diantaranya leukemia sebesar 30%, kanker otak dan saraf sistem sebesar

    12,3%, non-Hodgkin limfoma sebesar 10,7%, tumor wilms sebesar 5,3%,

    Hodgkin limfoma sebesar 4,2%, kanker hati sebesar 2,1% (IARC, 2008).

    2.2.1.2 Etiologi dan Patofisiologi kanker pada anak

    Sampai saai ini penyebab kanker pada anak belum dapat dipastikan (James

    & Ashwill, 2007; Pillitteri, 2010), namun kanker dapat dicetuskan oleh

    berbagai faktor yang memicu terjadinya karsinogenesis (proses

    pembentukan kanker). Faktor-faktor tersebut diantaranya adalah genetik

    meliputi abnormalitas kromosom (Gurney & Bondy, 2004), dan penurunan

  • 22

    Universitas Indonesia

    sistem imun. Zat karsinogenik seperti radiasi, iritasi fisik, dan iritasi kimia

    berkontribusi terhadap perkembangan kanker. Beberapa jenis kanker pada

    anak terjadi sebelum anak berusia 5 tahun, hal ini menekankan bahwa

    faktor lingkungan memiliki kontribusi yang kecil terhadap perkembangan

    sel kanker (Bowden & Greenberg, 2010; Pillitteri, 2010).

    Kurt et al. (2008) mengungkapkan bahwa kanker pada anak juga terkait

    dengan faktor genetik. Beberapa kelainan genetik disebabkan oleh

    penyusunan ulang kromosom yang mengakibatkan translokasi berupa

    delesi dan duplikasi sekelompok gen. Proses ini merupakan tahap awal

    terjadinya kanker. Pillitteri (2010) menjelaskan bahwa agen karsinogenik

    dan herediter secara bersamaan mengubah sifat sel dari sel normal menjadi

    sel kanker (transformasi). Tahap yang digunakan untuk mengubah sifat sel

    tersebut, diantaranya adalah tahap inisiasi, promosi, dan progresi. Pada

    tahap inisiasi, transformasi sel dihasilkan dari interaksi kimia, radiasi, atau

    virus dengan sel DNA. Tahap kedua adalah tahap promosi, dimana sel

    mulai berkembang biak dan menghindari mekanisme yang ditetapkan guna

    melindungi tubuh dari pertumbuhan dan penyebaran sel-sel tersebut.

    Selanjutnya tahap ketiga adalah progresi, dimana sel-sel tumor bergabung

    dan tumbuh menjadi neoplasma yang sepenuhnya ganas (Mahan, Escott-

    Stump, & Raymond, 2012).

    Hipotesis yang lebih kontroversial berpendapat bahwa kanker berkembang

    sebagai akibat dari kegagalan sistem kekebalan tubuh untuk membedakan

    antara sel normal dan abnormal (James & Ashwill, 2007). Pernyataan ini

    didukung oleh teori oncogenic virus, yang memiliki kemampuan untuk

    merubah struktur dari DNA atau RNA dalam sel. Virus RNA tipe C

    mungkin berperan terhadap kejadian leukemia dan EpsteinBarr virus

    (virus DNA) dihubungkan dengan kejadian lymphoma burkitt. Fakta

    tersebut menyatakan bahwa defisiensi kekebalan tubuh akan meningkatkan

    pertumbuhan sel kanker (Pillitteri, 2010). Ketika pengawasan terhadap

  • 23

    Universitas Indonesia

    virus dan sel abnormal hilang, virus akan menginvasi dan sel abnormal

    akan berkembang secara bebas.

    2.2.1.3 Tanda dan gejala kanker pada anak

    Kanker pada anak sulit untuk didiagnosis sehingga dibutuhkan kepekaan

    pemberi layanan kesehatan dalam mengenali manifestasi klinis yang

    muncul. Sulitnya mengenali manifestasi klinis dan diagnosis kanker

    disebabkan karena gejala yang muncul hampir sama dengan gejala

    penyakit pada umumnya (Bowden & Greenberg, 2010). Tanda dan gejala

    kanker dipengaruhi oleh tipe atau jenis kanker, penyebaran penyakit, dan

    usia anak (James & Ashwill, 2007).

    Bowden dan Greenberg (2010) menjelaskan beberapa tanda dan gejala

    yang muncul pada anak dengan kanker, diantaranya adalah 1) gejala

    kompresi, infiltrasi, atau obstruksi yang disebabkan oleh tumor (seperti

    nyeri tulang dan abdomen); 2) perubahan produksi sel darah merah

    (penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, leukosit, atau trombosit); 3)

    adanya sekresi subtansi dari sel tumor yang mempengaruhi fungsi organ

    normal; dan 4) adanya perubahan metabolik, elektrolit, hormonal, atau

    imunologis yang disebabkan oleh metabolisme sel tumor atau kematian

    sel.

    James dan Ashwill (2007) membagi tanda dan gejala utama yang muncul

    pada anak dengan kanker, yaitu tanda-tanda yang jelas dan manifestasi

    klinis yang terselubung. Tanda-tanda yang jelas (overt signs), diantaranya

    terdapat massa; purpura; pucat; kehilangan berat badan; muntah di pagi

    hari; demam yang berulang dan terus-menerus. Manifestasi klinis yang

    terselubung, diantaranya nyeri tulang; sakit kepala; lymphadenopathy;

    perubahan keseimbangan, gaya berjalan, dan kepribadian; kelelahan atau

    fatique; dan malaise.

  • 24

    Universitas Indonesia

    2.2.1.4 Penatalaksanaan kanker pada anak

    Terapi untuk anak dengan kanker berfokus pada tindakan membunuh

    pertumbuhan sel-sel abnormal sekaligus melindungi sel-sel di sekitarnya

    yang normal. Menurut James dan Aswill (2007) penatalaksaan atau terapi

    modalitas primer pada anak dengan kanker terdiri dari kemoterapi,

    pembedahan, dan radioterapi. Selain itu, supportive care penting dilakukan

    dengan tujuan untuk meminimalkan efek samping dan hasil akhir yang

    merugikan yang merugikan dari pengobatan kanker (Bowden &

    Greenberg, 2010).

    Menurut Tomlinson dan Kline (2010) radioterapi adalah penggunaan ion

    radiasi untuk mengobati penyakit keganasan. Pengobatan radioterapi

    bertujuan untuk mencapai pengendalian tumor secara lokal dan

    meminimalkan efek jangka panjang. Radioterapi menyebabkan kerusakan

    sel-sel, terutama kerusakan pada DNA, dengan cara menghambat

    pembelahan dan pertumbuhan sel (Pillitteri, 2010). Selain efek terapeutik,

    radioterapi juga memiliki efek samping baik jangka pendek maupun

    jangka panjang. Efek jangka pendek diantaranya adalah anoreksia, mual,

    muntah, kelelahan/fatique dan reaksi kulit seperti eritema (James &

    Ashwill, 2007).

    Radioterapi dapat membahayakan sel-sel normal di area sekitar tumor. Hal

    ini tentu saja akan berdampak pada organ sekitar karena semua radiasi

    memancarkan energi radiasi, baik dalam bentuk gelombang maupun

    partikel. Menurut Pillitteri (2010) pemberian radioterapi memiliki efek

    jangka panjang, diantaranya adalah efek terhadap tulang (pertumbuhan

    tulang yang tidak simetris); hormon (disfungsi tiroid, hipotalamus, dan

    kelenjar pituitary); sistem nervus (letargi, rasa kantuk yang mendalam dan

    kejang); dan selanjutnya adalah efek terhadap organ dada (pneumonitis

    dan fibrosis pulmonari serta terjadi penebalan pericardium) dan perut

    (malabsorpsi kronik, penurunan fungsi hati dan ginjal).

  • 25

    Universitas Indonesia

    Pembedahan merupakan penatalaksanaan utama pada anak dengan tumor

    padat. Menurut Bowden dan Greenberg (2010) pembedahan merupakan

    terapi definitive pada sebagian panderita kanker anak dan tujuan utama

    pembedahan adalah membuang semua penyakit keganasan yang terlihat,

    dengan tetap mempertahankan dan memulihkan fungsi tubuh normal.

    Pembedahan juga dapat digunakan untuk mendiagnosa suatu penyakit

    yaitu dengan tindakan biopsi. Tehnik pembedahan yang dilakukan pada

    anak dengan kanker meliputi biopsi dan debulking yaitu pengangkatan

    massa tumor ketika tidak mungkin untuk diangkat seluruhnya (James &

    Ashwill, 2007). Pada umumnya pembedahan dilakukan pada penderita

    dengan tumor primer yang masih dini, karena penatalaksanaan ini

    berpotensi untuk meningkatkan kualitas hidup klien (Catane, Cherny,

    Klohe, Tanneberger, & Schrijvers, 2006).

    Penatalaksanaan selanjutnya adalah kemoterapi. Kemoterapi adalah terapi

    pengobatan yang bersifat toksik yang mampu mencegah terjadinya

    pembelahan dan penyebaran sel kanker (Tomlinson & Kline, 2010). Saat

    ini pemberian kemoterapi pada kanker anak mempunyai peranan yang

    sangat penting, karena telah berhasil meningkatkan angka kesembuhan

    (Permono et al., 2010). Menurut Bowden dan Greenberg (2010)

    penatalaksanaan kemoterapi merupakan penatalaksanaan atau pengobatan

    yang sangat efektif terutama pada kasus leukemia. Tidak hanya pada kasus

    hemato-onkologi, kemoterapi juga dapat digunakan untuk pengobatan

    tumor padat (Catane, Cherny, Klohe, Tanneberger, & Schrijvers, 2006).

    Kemoterapi dapat diberikan baik secara oral, intravena, intramuskular,

    subkutan, maupun intratekal. Agen kemoterapi yang biasanya diberikan

    yaitu alkylating agent, antimetabolit, alkaloid, antibiotik, nitrosoureas,

    enzim, terapi imun dan steroid (Pilliteri, 2010; Potts, 2011).

    Kemoterapi diberikan secara terjadwal dalam waktu yang cukup lama,

    mulai dari beberapa bulan hingga tahunan. Menurut Tomlinson dan Kline

    (2010) kemoterapi dapat diberikan sebagai terapi tunggal atau primer dan

  • 26

    Universitas Indonesia

    kombinasi dengan terapi modalitas lainnya. Kemoterapi sebagai terapi

    primer atau tunggal artinya adalah kemoterapi menjadi terapi utama tanpa

    terapi radiasi dan pembedahan. Pemberian kemoterapi yang bertujuan

    untuk menghilangkan metastasis mikro dari sel-sel tumor setelah operasi

    dan/atau radiasi merupakan teknik kemoterapi adjuvant. Kemoterapi

    neoadjuvant adalah teknik pemberian kemoterapi yang diberikan sebelum

    operasi atau radiasi untuk mengurangi besarnya tumor (Bowden &

    Greenberg, 2010; Potts, 2011). Selanjutnya adalah kemoterapi sebagai

    terapi kombinasi, artinya agen kemoterapi diberikan bersamaan dengan

    pembedahan, radiasi, terapi imun, dan transplantasi sumsum tulang.

    Pengobatan kanker ini memberikan dampak yang positif dan negatif.

    Dampak positif pada pemberian kemoterapi adalah membunuh sel-sel

    kanker yang berkembang dengan cepat (James & Ashwill, 2007),

    sedangkan dampak negatif yang akan dialami oleh pasien adalah

    penekanan pada sumsum tulang (neutropenia, anemia, dan

    trombositopenia), fatique/kelelahan (Ericson, 2004), mual-muntah,

    anoreksia, konstipasi, diare, rambut rontok, esophagitis dan mukositis

    (James & Ashwill, 2007; Hockenberry & Wilson, 2009; Tomlinson &

    Kline, 2010).

    2.2.2 Nutrisi pada anak dengan kanker Nutrisi merupakan komponen dasar (makanan) yang berguna untuk

    kesehatan, yang dapat mempengaruhi proses penyembuhan individu dari

    penyakit akut, kronik, pembedahan, dan trauma (Perry, Potter, & Elkin,

    2012). Komposisi nutrisi terdiri dari berbagai macam nutrien, dimana

    masing-masing nutrien memiliki efek metabolik yang spesifik pada tubuh

    manusia. Berman, Snyder, Kozier, dan Erb (2009) mendefinisikan nutrien

    sebagai suatu zat organik, zat nonorganik, dan zat yang memproduksi energi

    yang ditemukan dalam makanan dan dibutuhkan untuk mempertahankan

    fungsi tubuh. Selain itu, nutrien juga memiliki tiga fungsi utama yaitu

    menyediakan energi untuk metabolisme dan pergerakan tubuh, menyediakan

  • 27

    Universitas Indonesia

    zat yang dibutuhkan untuk membentuk jaringan tubuh, dan mengatur proses

    metabolisme tubuh. Secara garis besar, nutrien terbagi menjadi makronutrien

    (karbohidrat, protein, dan lemak) dan mikronutrien (vitamin dan mineral),

    dan air (Mahan, Escott-Stump, & Raymond, 2012). Menurut Tomlison dan

    Klien (2010) seseorang memiliki risiko mengalami masalah nutrisi apabila

    memiliki kriteria sebagai berikut: terjadi penurunan berat badan (BB) 5%

    dari BB sebelum sakit, BB/TB atau BMI persentil 10, asupan nutrisi <

    70% dari perkiraan kebutuhan selama 5 hari atau lebih, disfungsi saluran

    cerna terjadi lebih dari 5 hari.

    2.2.2.1 Kebutuhan nutrisi pada anak dengan kanker

    Nutrisi yang adekuat sangat penting ketika seorang anak menderita kanker.

    Nutrisi merupakan salah satu faktor penting yang dibutuhkan oleh anak

    dengan kanker dalam menjaga, mempertahankan fungsi tubuh dan

    meningkatkan adaptasi terhadap tantangan penyakit dan efek samping

    pengobatan. Sel kanker dan pengobatan yang diperoleh anak penderita

    kanker dapat mempengaruhi nafsu makan, toleransi terhadap makanan,

    dan kemampuan tubuh untuk menggunakan nutrisi (ACS, 2012).

    Kebutuhan nutrisi anak dengan kanker bervariasi sesuai dengan tingkatan

    usia dan faktor yang mempengaruhinya. Kondisi ini dapat menyebabkan

    stres psikologi dan meningkatkan katabolisme yang secara signifikan

    dapat meningkatkan kebutuhan nutrisi pada anak dengan kanker. Tidak

    banyak hasil penelitian yang membahas mengenai estimasi kebutuhan

    energi pada anak dengan kanker. Namun, beberapa studi menunjukkan

    bahwa kebutuhan energi pada anak dengan kanker akan meningkat 20-

    90% dari kebutuhan yang telah diperkirakan (Bechard, Adiv, Jaksic, &

    Duggan, 2006). Tomlinson dan Kline (2010) mengungkapkan beberapa

    metode yang dapat digunakan untuk memperkirakan estimasi kebutuhan

    energi pada anak, diantaranya adalah the recommended dietary allwance

    (RDA), the estimated energy requirement (EER), the dietary reference

    intake (DRI), dan the Harris-Beneedict equation. Namun, metode estimasi

  • 28

    Universitas Indonesia

    dikembangkan berdasarkan rekomendasi pada populasi anak yang sehat,

    sehingga metode ini tidak akurat untuk memprediksi kebutuhan energi

    pada anak dengan kanker.

    Metode estimasi lain yang digunakan untuk memperkirakan kebutuhan

    energi pada anak berdasarkan usia adalah resting energy expenditure

    (REE). REE adalah jumlah energi yang digunakan untuk mempertahankan

    fungsi hemostatik normal selama periode istirahat. Metode estimasi ini,

    mengkalikan hasil REE dengan aktivitas dan/atau faktor stres yang sesuai

    dengan kondisi anak (WHO, 1985 dalam Baron, 2005). Metode estimasi

    ini dapat berguna untuk membantu menentukan kebutuhan kalori sehari-

    hari pada anak dengan kondisi akut (Tomlinson & Kline, 2010).

    Tabel 2. 1 Estimasi kebutuhan kalori harian pada anak diatas 1 tahun

    Tahap 1 Hitung REE (BB dalam kg)

    Usia (tahun)

    1-3

    3-10

    10-18

    18-30

    Laki-laki

    60,9 x BB - 54

    22,7 x BB 495

    17,5 x BB 651

    15,3 x BB 679

    Perempuan

    61 x BB - 51

    22,5 x BB 499

    12,2 x BB 746

    14,7 x BB 496

    Tahap 2 Kalikan dengan aktivitas/faktor stress

    Anak bergizi baik pada saat istirahat tidur dengan stres ringan-sedang = (REE) x (1,3)

    Anak yang sangat aktif dengan stres ringan-sedang = (REE) x (1,5)

    Anak tidak aktif dengan stres berat (trauma, sepsis, kanker, pembedahan) = (REE) x (1,5)

    Anak dengan aktivitas minimal membutuhkan energi untuk kejar tumbuh = (REE) x (1,5)

    Anak yang aktif membutuhkan energi untuk kejar tumbuh = (REE) x (1,7)

    Anak yang aktif dengan stres berat = (REE) x (1,7)

    Sumber: Wolrd Health Organization, 1985 dalam Tomline & Kline (2010)

    Kebutuhan protein pada anak dengan kanker juga meningkat, terutama

    saat anak mendapatkan kemoterapi/radioterapi dan mengkonsumsi

    kortikosteroid. Sama halnya estimasi kebuthan energi, tidak banyak hasil

    penelitian yang membahas mengenai estimasi kebutuhan protein pada

    anak dengan kanker. Kebutuhan protein pada anak biasanya berkisar

  • 29

    Universitas Indonesia

    antara 1,5-2,5gr/kg berat badan atau dua kali Recommended dietary

    allowances (RDA) sesuai usia dan jenis kelamin (Tomlinson & Kline,

    2010).

    2.2.2.2 Permasalahan nutrisi pada anak dengan kanker

    Barker, Gout dan Crowe (2011) dan Mehta et al (2013) mendefinisikan

    bahwa malnutrisi adalah suatu istilah yang digunakan untuk

    menggambarkan ketidakseimbangan nutrisi baik undernutrition

    (underweight) maupun overnutrition (overweight/obesitas). Menurut

    Yarbro, Wujcik, dan Gobel (2011) penyakit/sel kanker, tuan rumah (host),

    dan pengobatan kanker dapat menggangu fungsi normal dari tubuh. Hal ini

    menyebabkan perubahan metabolisme dan kebutuhan energi, yang dapat

    mengakibatkan perubahan penyimpanan (deposit) tubuh dan memiliki

    potensi untuk berkembang menjadi obesitas, kehilangan berat badan, atau

    kaheksia. Masalah nutrisi pada anak dengan kanker dapat disebabkan baik

    oleh penyakit kanker itu sendiri maupun efek dari pengobatan. Pada

    pembahasan selanjutnya dalam penulisan karya ilmiah ini, penggunaan

    istilah malnutrisi dimaksudkan pada keadaan kurang gizi (underweight)

    sedangkan untuk kelebihan nutrisi disebut gizi lebih yang meliputi

    overweight atau obesitas.

    a. Malnutrisi pada anak dengan kanker

    Malnutrisi merupakan permasalahan yang sering ditemukan pada anak

    dengan kanker, hal ini berkaitan erat dengan penyakit yang mendasari

    (kanker) dan efek samping pengobatan (Yarbro, Wujcik, & Gobel,

    2011). Mehta et al (2013) mengungkapkan malnutrisi (underweight)

    adalah ketidakseimbangan antara asupan dan pengeluaran nutrisi.

    Ketidakseimbangan tersebut dapat mengakibatkan defisit energi, protein,

    atau mikronutrien, yang pada akhirnya berdampak negatif terhadap

    pertumbuhan dan perkembangan. Boediwarsono (2006) mendefinisikan

    malnutrisi sebagai suatu keadaan dimana terjadi penurunan berat badan

    lebih dari 10% dari berat badan semula dalam kurun waktu tiga bulan.

  • 30

    Universitas Indonesia

    Akbulut (2011), mengungkapkan malnutrisi pada anak dengan kanker

    dihubungkan dengan kaheksia yang merupakan interaksi komplek dari

    inflamasi sitokin dan metabolisme tubuh. Kanker kaheksia atau cancer

    anorexia-cachexia syndrome (CACS) merupakan sindrom multifaktor,

    yang dikarakteristikkan dengan kelihangan berat badan, lemak, dan otot,

    serta perubahan katabolisme protein (Santarpia, Contaldo, & Pasanisi,

    2011), anoreksia, rasa cepat kenyang, dan asthenia (kelemahan baik

    secara fisik maupun mental) (Akbulut, 2011), serta anemia (Tomlinson

    & Klien, 2010).

    1) Kaheksia yang berhubungan dengan sel kanker

    Topkan, Yavuz, dan Ozyilkan (2007) mengungkapkan mekanisme

    patofisiologi malnutrisi karena kanker kaheksia belum jelas, namun

    hal ini diyakini berhubungan dengan adanya interaksi antara sel

    kanker dengan tuan rumah (host). Selain itu, kanker kaheksia juga

    diakibatkan oleh berbagai faktor (multifaktor), diantaranya: 1)

    anoreksia dan asupan nutrisi yang tidak adekuat, dan 2) perubahan

    energi dan metabolisme substrat, yang dapat menyebabkan

    kehilangan lemak dan otot yang cepat. Anoreksia adalah suatu

    keadaan yang ditandai dengan penurunan keinginan untuk makan,

    yang dapat menyebabkan berkurangnya asupan nutrisi. Beberapa

    hasil penelitian menyebutkan bahwa penurunan nafsu makan terjadi

    akibat adanya respon tuan rumah (host) terhadap sel kanker. Keadaan

    ini dapat menyebabkan perubahan pada hormon (leptin, ghrelin),

    neuropeptida, dan cytokinin (Dahele & Fearon, 2004; Laviano,

    Maguia, & Fanelli, 2006).

    Menurut Laviano, Maguia, dan Fanelli (2006) cytokinin, termasuk

    tumor necrosis factor- (TNF- ), interferon-, leukemia inhibitory

    factor (LIF), interleukin (IL) 1 dan 6, dan ciliary neurotrophic factor

    (CNTF) memainkan peran penting dalam pengaturan asupan nutrisi

    dan berat badan. TNF- akan memproduksi efek anorectic yang

    secara langsung di atur oleh sistem saraf pusat (SSP), dimana TNF-

  • 31

    Universitas Indonesia

    yang berada di hipotalamus lateral akan mengaktifkan aktivitas saraf

    neuron yang sensitif terhadap glukosa. Menurut Ramos, Suzuki,

    Mark, Inui, Asakawa, dan Meguid (2004), dalam Yarbro, Wujcik,

    dan Gobel (2011) mekanisme anoreksia yang disebabkan oleh IL 1

    belum dapat dijelaskan secara pasti, namun hal ini berhubungan

    dengan rasa kenyang (early satiety). Peningkatan kadar IL 6

    dihubungan dengan kehilangan berat badan pada pasien dengan

    lymphoma (Rubin, 2003).

    Penurunan nafsu makan juga dapat disebabkan oleh faktor psikologis

    seperti depresi, cemas, nyeri, dan faktor situasional (seperti isolasi,

    tidak menyukai makanan rumah sakit). Fatique, merupakan

    manifestasi yang sering dilaporkan pada penderita kanker, dan sering

    dihubungan dengan penurunan asupan nutrisi. Kondisi ini sering kali

    menggangu aktivitas sehari-hari dan mungkin membatasi

    kemampuan klien untuk memperoleh dan menyiapkan makan

    (Yarbro, Wujcik, & Gobel, 2011). Anoreksia pada anak dengan

    kanker juga dapat terjadi karena adanya obstruksi mekanik di

    sepanjang traktus gastrointestinal. Hal ini menyebabkan

    berkurangnya asupan makanan (Sungurtekin et al., 2004). Anoreksia

    dapat menyebabkan malnutrisi, penurunan kemampuan dalam

    mentoleransi pengobatan, meningkatkan risiko toksisitas, dan

    penurunan kualitas hidup (Laviano, Maguia, & Fanelli, 2006).

    Kanker kaheksia juga dapat disebabkan oleh perubahan metabolisme.

    Respon tuan rumah (host) terhadap sel kanker dapat menyebabkan

    perubahan metabolisme makronutrien (karbohidrat, protein, dan

    lemak) (Topkan, Yavuz, & Ozyilkan, 2007). Glukosa merupakan

    subtansi energi untuk tubuh, yang digunakan untuk medukung fungsi

    organ vital. Pada anak dengan kanker, asupan glukosa sebagai

    sumber energi menjadi kurang karena anoreksia, nausea, dan

    perasaan kenyang. Asupan glukosa yang tidak adekuat, memprakasai

  • 32

    Universitas Indonesia

    tubuh untuk memproduksi glukosa dengan melakukan

    glukoneogenesis, memproduksi glukosa dari laktat, asam amino, dan

    asam lemak bebas. Namun, peningkatan produksi glukosa ini tidak

    diikuti dengan peningkatan insulin sehingga menyebabkan resistensi

    sel terhadap insulin (Matovanni et al., 2006).

    Menurut Duggan, Watkins, dan Walker (2008) beberapa studi

    mengungkapkan bahwa adipose merupakan aspek utama dalam

    pengaturan berat badan. Hal ini disebabkan karena jaringan adipose

    memiliki kemampuan untuk memproduksi, menyimpan, dan

    mensekresikan substansi aktif seperti cytokinin. Kanker kaheksia

    juga dihubungkan dengan penurunan jaringan adipose, yang terutama

    dihasilkan dari penurunan aktivitas lipoprotein lipase (LPL) dan

    peningkatan hormone-sensitive lipase. LPL berfungsi untuk

    mengubah triacyglycerols menjadi asam giserol dan lemak. Ketika

    aktivitas LPL menurun, lemak tidak dapat disimpan dan pasien akan

    kehilangan sejumlah subtansi lemak dalam tubuh (Yarbro, Wujcik, &

    Gobel, 2011). Hilangnya sejumlah subtansi lemak dalam tubuh

    menyebabkan muscle wasting dan pada akhirnya menyebabkan

    kematian (Argiles, Lopez-Sariano, & Busques, 2008).

    2) Kaheksia yang berhubungan dengan efek samping pengobatan

    Kanker kaheksia pada anak dapat diakibatkan juga karena efek

    samping pengobatan. Kemoterapi dan radioterapi memiliki efek

    samping terhadap saluran pencernaan (tractus gastrointestinal),

    diantaranya mual-muntah, mukositis, konstipasi, dan diare. Kondisi-

    kondisi tersebut berkontribusi terhadap penurunan asupan nutrisi,

    yang pada akhirnya dapat mengakibatkan gangguan pemenuhan

    nutrisi. Berikut uraian mengenai efek samping pengobatan yang

    mempengaruhi tractus gastrointestinal yang dapat menyebabkan

    kanker kaheksia pada anak.

  • 33

    Universitas Indonesia

    a) Mual muntah

    Mual dan muntah merupakan efek samping negatif yang sering

    ditemukan pada anak yang mendapatkan kemoterapi dan

    radioterapi. Menurut Tomlison dan Kline (2010) mekanisme

    neurofisiologi yang mengontrol mual dan muntah diatur oleh

    sistem saraf pusat (SSP) dengan mekanisme yang berbeda. Mual

    dikontrol oleh sistem saraf otonom sedangkan pusat muntah

    berlokasi di reticular lateral medulla. Pusat ini akan menerima

    input aferen dari lima sumber, yakni: chemoreceptor trigger zone

    (CTZ), vagal dan aferen simpatis dari viseral, reseptor midbrain

    yang mendeteksi perubahan tekanan intrakranial, apparatus

    labirin yang mendeteksi pergerakan dan posisi, dan struktur

    sistem saraf pusat atas (seperti sistem limbik).

    Mual bersifat subjektif dan ditandai dengan adanya keinginan

    atau dorongan untuk muntah. Mual juga disertai dengan gejala-

    gejala otonom seperti pucat, takikardia, diaforesis, dan

    pengeluaran saliva (Wilhelm, Dehoorne-Smith, & Kale-Pradhan,

    2007). Muntah adalah kontraksi berirama dari diafragma,

    dinding perut, dan otot dada yang mendahului muntah. Berde et

    al (2006) mengungkapkan bahwa pusat muntah akan diaktifkan

    oleh serangkaian mekanisme, dimana melibatkan nervus phrenic

    pada area diafragma, nervus spinal pada area abdominal, nervus

    visceral dan nervus di saraf pusat yang akan menstimulasi pusat

    muntah hingga termanifestasikan menjadi muntah. Aktivasi pusat

    muntah dapat terjadi sebagai hasil input aferen dari obat, seperti

    agen kemoterapi, gerak, bau, pemandangan, situasi, dan emosi

    (Hawkins & Grunberg, 2009). Mual muntah pada anak dengan

    kanker dapat menyebabkan dehidrasi, gangguan elektrolit,

    malnutrisi, dan mental confusion. Hal ini juga dapat

    menyebabkan penurunan kualitas hidup pasien, memperpanjang

    hari rawat, dan peningkatan biaya kesehatan.

  • 34

    Universitas Indonesia

    b) Mukositis

    Menurut James dan Ashwill (2007) agen kemoterapi dapat

    menyebabkan pengelupasan (cidera) pada jaringan mukosa di

    sepanjang saluran percernaan. Mukositis dapat terjadi pada

    mukosa oral, faring, esophagus, dan traktus gastrointestinal.

    Mukositis oral merupakan inflamasi dan ulserasi yang terjadi

    pada membran mukosa oral yang biasanya diakibatkan oleh efek

    samping dari pengobatan kemoterapi dan radioterapi (Sonis et al,

    2004). Potting, Uitterhoeve, Op, dan van (2006) mengungkapkan

    bahwa mukositis oral ditandai dengan adanya: 1) tanda

    perubahan obyektif seperti eritema, lesi, dan oedema; 2)

    perubahan subyektif seperti nyeri, sensitivitas, dan perasaan

    kering, serta 3) adanya perubahan fungsi seperti perubahan suara,

    mengunyah, dan menelan.

    Shih, Miaskowski, Dodd, Stotts, dan MacPhail (2005)

    mengungkapkan bahwa sel mukosa membelah dengan sangat

    cepat, sel tersebut akan hidup dalam 3-5 hari, kemudian sel epitel

    lama akan digantikan dengan sel baru dalam 7-14 hari.

    Mukosistis terjadi dalam beberapa fase. Fase tersebut diantaranya

    adalah fase inflamasi, fase epithelial, fase ulserasi, dan fase

    penyembuhan. Fase yang pertama adalah fase inflamasi, pada

    fase ini sel epitel, endothelial dan jaringan konektif dalam

    mukosa mulut terkena radikal bebas, sehingga memacu respon

    inflamasi dengan mengeluarkan sitokinin, interleukin IB,

    prostaglandin, dan faktor nekrosis tumor (TNF) (Scardina, Pisano

    & Messina, 2010). Pada fase kedua yaitu fase epitel terjadi

    penghambatan pembelahan sel epitel pada mukosa mulut,

    sehingga menyebabkan sel-sel epitel menjadi berkurang dan

    tidak segera diganti oleh sel epitel yang baru. Hal ini

    menyebabkan terjadinya kerusakan epitel, epitel menjadi atrofi

  • 35

    Universitas Indonesia

    dan terjadi eritema karena peningkatan vaskularisasi (Scardina,

    Pisano & Messina, 2010; Sonis, 2004).

    Fase ketiga yaitu fase ulserasi, dimana kerusakan epitel

    menyebabkan eksudasi dan pembentukan pseudomembran. Pada

    fase ini terjadi kolonisasi mikroba pada permukaan mukosa yang

    rusak, hal ini dapat diperburuk oleh keadaan netropenia

    (Scardina, Pisano & Messina, 2010; Sonis, 2004). Pada fase ini

    luka pada mukosa menembus epitel sampai lapisan submukosa

    yang menyebabkan rasa nyeri dan mengalami disfungsi. Fase

    yang keempat yang merupakan fase terakhir adalah fase

    penyembuhan, dimana terjadi pembentukan sel-sel epitel yang

    baru, fase ini biasanya terjadi pada hari ke 12-16, tetapi

    dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu tingkat proliferasi epitel,

    pembentukan kembali flora normal, tidak adanya faktor yang

    mengganggu penyembuhan luka, infeksi dan iritasi mekanis

    (Sonis et al., 2004).

    Gambar 2.1 Fase Mukositis (Sonis,2004)

    Selain itu, agen kemoterapi juga dapat merusak sensori rasa, dan

    reseptor penciuman. Perubahan sensasi rasa dan bau yang

    dialami oleh penderita kanker, dihubungkan dengan penggunaan

    beberapa agen kemoterapi, diantaranya cisplatin, doxorubicin,

    carboplatin, methotrexate, 5-fluorouracil, levamisole, dan

    cyclophosphamide (Bernhardson, Tisheelman, & Rutqvist, 2009).

  • 36

    Universitas Indonesia

    Kondisi-kondisi ini dapat menimbulkan rasa nyeri, anoreksia dan

    berkontribusi terhadap penurunan asupan nutrisi (Duggan,

    Watkins, & Walker, 2008).

    c) Konstipasi dan Diare

    Kemoterapi juga dapat berkontribusi terhadap kejadian

    konstipasi. Menurut Woolery et al dalam Tomlinson dan Klien

    (2010) konstipasi adalah penurunan frekuensi BAB dari pola

    normal atau BAB kurang dari 3x/minggu, yang ditandai dengan

    konsistensi feses keras, pengeluaran feses yang tidak sempurna,

    kesulitan mengeluarkan feses yang ditandai dengan adanya

    tindakan mengejan, dan adanya dorongan untuk BAB yang

    mendesak. Menurut Tomlison dan Kline (2010) konstipasi dapat

    menyebabkan mual dan muntah, nyeri abdomen, anoreksia, dan

    menurunkan toleransi dari kemoterapi. James dan Ashwill (2007)

    menjelaskan bahwa konstipasi dapat diperburuk dengan adanya

    penurunan aktivitas, nyeri karena pengobatan, dan rendahnya

    asupan nutrisi.

    Gangguan pola eliminasi lain yang terjadi adalah diare. Diare

    merupakan efek samping yang umum terjadi pada pasien yang

    mendapatkan kemoterapi, terutama fluorouracil dan terapi

    berbasis. Selain itu, diare juga dapat terjadi pada pasien yang

    mendapatkan radioterapi pada daerah perut dan pinggul

    (Muehlbauer et al., 2009). Diare adalah peningkatan abnormal

    pada kuantitas, frekuensi, atau likuiditas feses (Tomlison dan

    Kline, 2010). Menurut Berger, Shuster, dan Von Roenn (2007)

    diare biasanya terjadi dua (2) sampai 14 hari setelah pemberian

    kemoterapi.

    Diare dapat menyebabkan ketidakseimbangan cairan dan

    elektrolit, malnutrisi, dehidrasi, dan memperpanjang hari rawat,

    yang semuanya dapat menyebabkan gangguan kardiovaskular

  • 37

    Universitas Indonesia

    dan kematian. Oleh karena itu, diare dapat mengganggu dan

    mengurangi pengobatan kanker dengan menyebabkan penundaan

    atau pengurangan dosis. Pada akhirnya, penundaan dan

    pengurangan dapat berdampak pada kelangsungan hidup

    (Tomlinson & Kline, 2010).

    b. Obesitas/overweight pada anak dengan kanker

    Obesitas merupakan salah satu kondisi kronis yang mempengaruhi

    kesehatan di seluruh dunia, juga mempengaruhi para penderita kanker,

    dan yang terpenting adalah hal tersebut dapat meningkatkan angka

    kesakitan dan kematian (Lughetti, Bruzzi, Predieri, & Paolucci, 2012).

    Menurut Center for Disease Control and Prevention/CDC (2011), salah

    satu indikator yang dapat digunakan untuk mengukur kegemukan tubuh

    bagi anak-anak dan remaja adalah body mass index (BMI) dan

    pengukuran ini dapat dilakukan pada anak dengan rentang usia 2-20

    tahun.

    Obesitas sering ditemukan pada pasien dengan leukemia limfositik akut

    (LLA), baik selama dan setelah kemoterapi (Orgel, 2011). Tahun

    pertama pengobatan LLA merupakan periode yang paling sering

    dilaporkan adanya peningkatan berat badan, terutama akhir dari fase

    kondolidasi (50%) (Arguelles, Barrios, Buno, Madero, & Argente,

    2000; Withycombe et al., 2009). Hal yang sama diungkapkan oleh

    Oeffinger, Mertens, dan Sklar (2003), bahwa LLA memiliki prevalensi

    lebih tinggi untuk mengalami obesitas (30-50%), hal ini mungkin akibat

    dari pengobatan.

    Faktor pengobatan yang dapat meningkatkan risiko obesitas/overweight

    pada anak dengan kanker adalah penggunaan steroid dosis tinggi

    selama fase induksi dan reinduksi (dalam remisi) (Sala Pencharz &

    Barr, 2004; Sgarberi et al., 2006). Pengobatan glukokortikoid, dalam

    hal ini dexamethasone merupakan salah satu pengobatan yang penting

  • 38

    Universitas Indonesia

    pada anak yang menderita leukemia (Vries et al., 2008).

    Dexamethasone dapat menyebabkan apoptosis dan menstimulasi respon

    glukokortikoid yang merupakan indikator awal respon tubuh terhadap

    kemoterapi. Selain itu, dexamethasone memberikan efek yang lebih

    signifikan daripada prednisone dalam menurunkan kejadian relaps dan

    meningkatkan keberhasilan terhadap pengobatan. Pengobatan

    glukokortikoid untuk hampir semua kasus leukemia limfositik pada

    anak dapat meningkatkan asupan energi, dan efek ini memberikan

    kontribusi terhadap peningkatan berat badan yang pada akhirnya

    mengakibatkan obesitas/overweight (Sala, Pencharz & Barr, 2004).

    Faktor lain yang juga dapat meningkatkan risiko obesitas/overweight

    pada anak dengan kanker adalah penumpukan lemak (adiposity). Miller

    et al. (2010) mengungkapkan bahwa penyebab terjadinya penumpukan

    lemak (adiposity) hingga saat ini belum dipahami secara jelas. Namun,

    teori lain menyebutkan bahwa pengobatan glukokortikoid dapat

    meningkatkan penumpukan lemak (adiposity) dengan menekan sekresi

    hormon pertumbuhan (Marky, Mellander, Lannering, & Albertsson-