KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …
Transcript of KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …
1
KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA
NIM : 11160480000003
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
i
KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA
NIM : 11160480000003
HALAMAN JUDUL
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
ii
KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN
(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat
Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)
Oleh:
ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA
NIM : 11160480000003
LEMBAR PERSETUJUAN
PROGRAM STUDI ILMU HUKUM
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA
1442 H / 2021 M
Pembimbing I Pembimbing II
Dr. Ismail Hasani, S.H.,M.H.
NIP. 19771217 200710 1 002
Fathudin, S.H.I., S.H.,M.A. Hum., M.H.
NIP. 19850610 201903 1 007
iii
iv
LEMBAR PERNYATAAN
Saya yang bertanda tangan di bawah ini:
Nama : Annisa Hidayatush Sholikha
NIM : 11160480000003
Program Studi : Ilmu Hukum
Alamat : Komplek Sepolwan Pasar Jumat, Jakarta Selatan, 12310
Nomor Kontak : 082298358162
Email : [email protected]
Menyatakan bahwa:
1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah
satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan
dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah
Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya
atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatatullah Jakarta.
Jakarta, 30 Maret 2021
A nnisa Hidayatush Sholikha
v
ABSTRAK
ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA NIM, 11160480000003,
KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis),
Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas
Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442
H/2021 M.
Studi ini menjelaskan permasalahan mengenai komparasi dalam Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan yang terdapat di negara Indonesia dan negara
Prancis. Yang dimana dalam komparasi tersebut, terdapat suatu persamaan dan
perbedaan dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Studi ini bertujuan
untuk mengetahui perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia dan juga di negara Prancis. Secara khusus, skripsi ini mendalami
tentang suatu perbedaan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan antara negara
Indonesia dengan negara Prancis.
Penelitian dalam skripsi ini merupakam penelitian hukum normatif yang
menjadikan Undang-Undang serta putusan hakim sebagai objek kajian yang
kemudian ditinjau dari aspek teoritis maupun berbagai instrumen hukum yang ada
dalam negara Prancis maupun di Indonesia, terkait Mahkamah Agung, Mahkamah
konstitusi, dan Dewan Konstitusi.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di Indonesia terdapat dua lembaga
yang melakukan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yakni Mahkamah
Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal inilah yang menjadi dasar dari komparasi
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dengan negara Prancis, yang dimana
dinegara Prancis hanya dilaksanakan dengan satu lembaga saja, yaitu Dewan
Konstitusi. Secara umum, perbedaan praktek Pengujian Konstitusionalitas
tersebut mengandung berbagai aspek seperti aspek Kelembagaan, Prosedur dan
sifat Putusannya. Dalam konteks kelembagaan, model Institusionalisasi khusus
dengan membentuk lembaga tersendiri seperti Mahkamah Konstitusi di Indonesia.
Kemudian model ekstra pengujian dengan membentuk badan baru secara khusus
tetapi berkarakter politik dan bukan merupakan badan peradilan, ini ditemukan di
Prancis dengan Conseil Constitutionnel. Eksistensi lembaga Pengujian
Konstitusionalitas berimplikasi pada aspek procedural dan bentuk pengujianya.
Kata Kunci : Pengujian, Peraturan Perundang-Undangan, Prancis
Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Ismail Hasani, S.H.,M.H.
2. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A. Hum., M.H.
Daftar Pustaka : Tahun 1958 – Tahun 2020
vi
KATA PENGANTAR
حيم حمن الر بســــــــــــــــــم الله الر
Assalamu’alaikum WR. WB
Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Atas segala nikmat dan karunia
yang tak terhingga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda
Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi Wassallam, beserta seluruh keluarga,
sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Tiada henti meminta
kepada-Nya untuk selalu diberikan kesehatan, pengetahuan luas, kesabaran, dan
kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Berkat kasih sayang, dan petunjuk
serta rahmat-Nya, peneliti dapat mengolah data dengan baik hingga
terselesaikannya skripsi ini dengan judul skripsi “KEWENANGAN
PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Analisis
Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)”.
Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum
(S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi
ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dan
dukungan dari Allah SWT. dan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini
berlangsung.
Dengan kerendahan hati, peneliti tidak akan sanggup untuk melewati
rintangan dan hambatan dalam proses pembuatan skripsi ini sendiri tanpa adanya
bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Peneliti mengucapkan banyak terima
kasih yang sebesar-besarnya atas para pihak yang telah memberikan peranan
secara langsung maupun tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh
peneliti, kepada yang terhormat:
1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Drs. Abu
Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas
Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
vii
3. Dr. Ismail Hasani, S.H.,M.H. dan Fathudin, S.H.I., S.H., M.A. Hum., M.H.
sebagai Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan
pikiran untuk membimbing peneliti menyelesaikan skripsi dengan baik.
Juga kepada Drs. Noryamin Aini, M.A. sebagai Pembimbing Akademik
yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam
membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
4. Kedua orang tua saya, bapak Arifin dan Ibu Suryani yang tiada henti setiap
saat untuk selalu memberikan dorongan agar terselesaikannya skripsi ini,
serta memanjatkan doa untuk anak tercintanya agar selalu semangat
menjalani proses hidup.
5. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini secara langsung
maupun tidak langsung yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.
Hanya ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya yang dapat peneliti
sampaikan, semoga Allah SWT membalas kebaikan-kebaikan kalian semua.
Aamiin Aamiin Yaa Rabbal ‘alaamiin.
Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat kekurangan
dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini memberikan
manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan
penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan terima kasih.
Jakarta, 30 Maret 2021
Annisa Hidayatush Sholikha
viii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i
LEMBAR PERSETUJUAN..................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii
ABSTRAK ............................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii
BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .......................... 6
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................ 7
D. Metode Penelitian ............................................................................. 8
E. Sistematika Pembahasan ................................................................ 11
BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN ............................................................. 13
A. Kerangka Konseptual ..................................................................... 13
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ........................................ 13
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian
Peraturan Perundangan Satu Atap di Indonesia ...................... 14
3. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan ............................. 16
4. Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) ........................... 16
B. Kerangka Teori ............................................................................... 17
1. Teori Negara Hukum ............................................................... 17
2. Teori Jenjang Hukum (Stufenbau) .......................................... 18
3. Teori Konstitusi ....................................................................... 20
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .............................................. 21
BAB III LEMBAGA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI NEGARA INDONESIA DAN NEGARA
PRANCIS .............................................................................................. 26
A. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
Negara Indonesia ............................................................................ 27
B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Melaksanakan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ............... 32
ix
C. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
Prancis ............................................................................................ 35
BAB IV KONSEPSI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DI NEGARA INDONESIA DENGAN
NEGARA PRANCIS ............................................................................. 40
A. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Di Negara Indonesia Dengan Negara Prancis ................................ 40
B. Komparasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis ......................... 47
BAB V PENUTUP ............................................................................................. 59
A. Kesimpulan ..................................................................................... 59
B. Rekomendasi .................................................................................. 60
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 62
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Perkembangan ketatanegaraan Indonesia pada hakikatnya telah
mengantar perubahan yang sangat signifikan, terlebih menempatkan
Indonesia sebagai Negara Hukum. Hal tersebut termanifestasikan ke dalam
pola tatanan hukum di Indonesia berbentuk struktur piramida dengan sistem
berjenjang, berlapis dan berkelompok. Pernyataan tersebut menunjukkan
bahwa norma hukum yang berlaku di Indonesia bersumber pada norma
hukum yang lebih tinggi, sehingga struktur piramida tersebut bersumber pada
norma dasar atau norma tertinggi di Indonesia, yaitu Undang Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1
Namun dalam tataran praktiknya, walaupun negara Indonesia menganut
sistem hukum yang berjenjang seringkali terjadi ketidaksinambungan antara
peraturan atas dengan yang lebih tinggi dan bahkan berujung kepada
munculnya kerugian kepada masyarakat atas peraturan tersebut. Melihat
problematika tersebut apabila merujuk kedalam teori Perundang-Undangan
jika terdapat peraturan yang saling bertentangan, maka yang berlaku ialah
norma hukum yang derajatnya lebih tinggi, dan dikenal dengan istilah lex
superiori derogat legi inferiori.2 Melainkan dalam hal ini di perlukan suatu
upaya pembuktian atas peraturan yang dinilai bertentangan atau merugikan.
Upaya pembuktian tersebut, kemudian terfasilitasi melalui konsepsi
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan untuk memberikan suatu kepastian
hukum.
Secara teoritis, Pengujian Peraturan Perundang-Undang merupakan
suatu cara yang dapat dilakukan jika terdapat Peraturan Perundang-Undangan
yang bertentangan satu sama lain. Sebagai contoh, jika ada suatu Peraturan
1 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Materi
Muatan), (Yogyakarta: PT Kanisius, 2007), h. 44-45. 2 Dudu Duswara Mahmudin, Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa, (Bandung: Refika,
2003), h. 70.
2
Perundang-Undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan
Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan jika bertentangan maka
pengujian tersebut bertujuan untuk membatalkan peraturan Perundang-
Undangan yang tingkatannya lebih rendah. Sejatinya, urgensi Pengujian
Peraturan Perundang-Undang merupakan sebuah wewenang untuk menilai
Peraturan Perundang-Undang sudah sesuai atau bertentangan dengan aturan
yang lebih tinggi. Implementasi dari Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia, kemudian dipusatkan kepada Mahkamah Agung.
Namun dalam perkembangannya terjadi konfigurasi sistem ketatanegaraan
untuk lebih menjamin kepastian hukum dengan melahirkan Mahkamah
Konstitusi melalui Amandemen Undang undang Dasar 1945.3
Indonesia telah memberlakukan sistem Kekuasaan kehakiman menjadi
satu atap, yang mana telah diatur dalam Undang-Undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.4 Walaupun Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan dilaksanakan satu atap dalam kekuasaan
kehakiman, tetap bahwasanya badan pelaksana pengujian Peraturan
Perundang-Undangan tersebut ada di dua Lembaga, yakni Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Kemudian, mengenai konsepsi Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan satu atap, bukan merupakan sebuah ide baru.
Di beberapa negara, telah menerapkan pemikiran konsep tersebut lebih dulu.
Terjadinya suatu perkembangan kelembagaan pada negara-negara di dunia,
tidak terhenti pada negara tersebut telah lahir, tetapi akan selalu berkembang
seiring berjalannya perkembangan pada sistem ketatanegaraan. Munculnya
sistem ketatanegaraan yang telah lahir ke dunia, membuahi sebuah lembaga
negara baru yang pada awalnya mempunyai kewenangan untuk melakukan
Constitutional Review dengan alasan pemegang kekuasaan, untuk membuat
dan menjalankan suatu Undang-Undang dirasa telah menjalankan
3Jimly Assiddiqie, Sejarah Constitutional Review & Gagasan Pembentukan
MK,http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan- pembentukan-
mk/, diakses pada 19 Juni 2020 pukul 20.52 WIB. 4https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10029/penyatuan-atap-
kekuasaankehakiman-tuntas-sebagian, diakses pada 17 Desember 2020.
3
kekuasaannya secara sewenang-wenang, yang mengakibatkan rakyat tidak
merasakan dengan rasa penuh keadilan dalam bernegara. Sejarah yang
terdapat dalam suatu lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk
melaksanakan Constitutional Review di dunia, telah berkembang pesat
melalui tahapan pengalaman yang beranekaragam disetiap negara. Lembaga
negara tersebut tidak asing bernama Mahkamah Konstitusi. Namun, ada juga
negara yang melekatkan kewenangan pengujian kepada lembaga negara yang
sudah ada sebelumnya yaitu Mahkamah Agung.5
Dalam penelitian ini, mengapa peneliti memilih negara Prancis sebagai
negara pembanding, dikarenakan bahwasanya di negara Prancis model
Pengujian Peraturan Perundang-Undangannya unik. Dikatakan unik karena
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan hanya dilakukan di Conseil
Constitutionnel. Dilihat dari fungsinya, Conseil Constitutionnel memiliki
fungsi kuasi-yudisial. Juga didalam Conseil Constitutionnel, bukan hanya
terdapat orang-orang politik saja, tetapi terdapat dewan yang backgroundnya
adalah orang-orang hukum, yang mempunyai keahlian dalam melakukan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Beberapa model pengujian seperti
ini diikuti oleh negara-negara di Eropa.
Sebagai contoh komparasi, seperti di Negara Prancis terdapat
Constitutional Review yang melekat di parlement, karena parlement
merupakan bagian dari lembaga politik yang memiliki kewenangan untuk
membentuk suatu Undang-Undang, sehingga dalam hal ini perlu di eratkan
dengan sistem review nya, karena dinilai dalam tubuh parlemenlah bisa
ditentukan hukum yang akan berlaku di negara Prancis. Kemudian pada tahun
2008, terjadi amandemen dan tahun 2010 telah mengaplikasikan dapat
mengajukan keberatan terhadap Undang-Undang yang telah disahkan. Pada
saat ini, bukan lagi hanya Rancangan Undang-Undang, tetapi Undang-
Undang. Dan didalam Dewan Konstitusi pada saat ini, terdapat Presiden
Republik, Presiden Senat, Presiden Majelis Nasional, Perdana Menteri
5 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara (Jakarta:
Konstitusi Press, 2005), h.10.
4
Prancis, 60 anggota Majelis Nasional, atau 60 Senator dan bukan hanya
melekat pada parlemen.
Lembaga Penguji Undang-Undang di Prancis disebut Dewan Konstitusi
(Conseil Constitutionnel) yang didirikan pada tahun 1958.6 Keberadaan
lembaga tersebut bagi Prancis merupakan suatu hal yang dapat melengkapi
lembaga peradilan tertinggi di bidang hukum administrasi yang sudah ada
sejak sebelumnya, tetapi lembaga tersebut tidak memiliki hubungan satu
sama lain. Membangun sistem konstitusi di Prancis, tentu tidak singkat
perjalanannya. Prancis membangun konstitusinya sampai pada konstitusi
kelima pada tahun 1958, barulah sistem constitutional preview dapat berjalan
optimal sehingga membawa pengaruh yang cukup besar bagi Negara
demokrasi lainnya di daratan Eropa.7
Kondisi berbeda dapat dilihat dengan membandingkan antara Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan negara Prancis.
Bahwasanya kedua negara tersebut, mempunyai wewenang melakukan suatu
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang terdapat di dua lembaga,
yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menariknya, di Indonesia
dan Prancis menerapkan sistem satu atap Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan.
Berdasarkan maklumat yang tertuang dalam amandemen, kemudian
melahirkan dua lembaga yang dapat mengujikan Peraturan Perundang-
Undangan yaitu Mahkamah Agung (untuk Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang) dan
Mahkamah Konstitusi (untuk Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-
Undang Dasar) yang bertujuan untuk menjaga validitas Peraturan Perundang-
Undangan dan meminimalisir conflict of norm (konflik dalam norma).
Kondisi berbeda dapat dilihat pula dengan membandingkan antara Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan negara Prancis.
6 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … ,
h.117. 7 Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), h. 26.
5
Penerapan Pengujian dalam Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia, merekat pada suatu lembaga kekuasaan kehakiman yaitu
Mahkamah Agung dan juga pada Mahkamah Konstitusi. Perlu adanya
pelimpahan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi dikarenakan dalam
hal pembenahan suatu perkara di Mahkamah Agung yang kian menumpuk
dengan penyelesaian yang lambat, kemudian sulitnya akses terhadap
keadilan, serta rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi peradilan
tersebut, menyebabkan perkara yang ada di Mahkamah Agung menjadi
menumpuk. Termaktub bahwasanya, terdapat ribuan kali dalam persidangan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang dilakukan. Yakni bersumber
pada data yang tercantum pada Kepaniteraan di Mahkamah Agung, tercatat
dalam kurun waktu pada tahun 2019, Mahkamah Agung telah menerima
20.058 persoalan mengenai perkara Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, terliput di dalamnya mengenai perkara hak uji materi pada
Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang. Sementara,
kuantitas perkara dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undang di
Mahkamah Konstitusi semasa tahun 2019, hanya terhitung 122 perkara saja.8
Ketimpangan dalam jumlah permohonan Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan dalam hal tersebut, sangat jelas berdampak kepada beberapa hal,
contohnya dalam kualitas putusan, durasi waktu berperkara, dan lambatnya
suatu penyelesaian perkara. Selain itu, juga dapat berdampak kepada
penegakan dalam konstitusi, karena Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan diamanatkan pada dua institusi berbeda, tentu dikhawatirkan
berbeda pula penafsiran. Kemudian muncul perdebatan para akademisi
tentang konfigurasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.9
Berdasarkan problematika tersebut, diperlukan pengkajian dan analisis
secara historikal konteks mengenai konsepsi Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia dan Negara Prancis. Sejauh ini Mahkamah Konstitusi
melihat bahwa perkara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang
8 https://www.mahkamahagung.go.id, diakses pada 26 Juni 2020 pukul 10.25 WIB.
9 Sholahuddin Al-Fatih, “Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Satu Atap
Melalui Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Ilmiah Hukum, Vol.25, No.2, 2018, h. 249.
6
dilakukan oleh Mahkamah Agung begitu banyak, tidak hanya perkara
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang tetapi
juga perkara kasasi dan upaya hukum lain serta perkara peninjauan kembali
yang notabenenya membutuhkan waktu untuk penyelesaiannya, sehingga
tidak menunjukkan integralitas visi dan konsep hukum atas asas peradilan
yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan, karena antara Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi memiliki standar berbeda mengenai konsep hukum
yang ditegakkan. Sehingga atas hal tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji
lebih secara komperehensif pembahasan ini dalam bentuk skripsi yang
berjudul KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN (Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan
Negara Prancis)
B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah
1. Identifikasi Masalah
Berdasarkan penjabaran yang telah diuraikan dalam latar belakang
masalah, maka identifikasi masalahnya ialah sebagai berikut:
a. Ketidaksinambungan akibat telah dilaksanakan suatu Undang-
Undang yang inkonsisten terhadap Peraturan Perundang-Undangan
yang lebih tinggi.
b. Upaya penanganan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
Mahkamah Agung dengan pelimpahan kewenangan kepada
Mahkamah Konstitusi.
c. Urgensi kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
antara negara Indonesia dengan negara Prancis.
d. Adanya perbedaan lembaga Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan antara negara Indonesia dengan negara Prancis.
2. Pembatasan Masalah
Berdasarkan latar belakang dan serta masalah yang berhasil di
identifikasi oleh peneliti, maka permasalahan yang timbul semakin
kompleks sehingga peneliti membatasi masalah-masalah yang akan
7
dibahas dengan tujuan agar peneliti fokus terhadap historikal konteks dan
kewenangan dari Pengujian Peraturan Perundang-Undangan antara Negara
Indonesia dan Negara Prancis.
3. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah
tersebut, peneliti akan mengkaji tentang komparasi dalam Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan antara Negara Indonesia dengan Negara
Prancis, maka perumusan masalah yang ingin disajikan oleh peneliti
dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:
a. Bagaimana Perkembangan pada Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia?
b. Bagaimana Perbandingan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Antara Negara Indonesia, dengan Negara Prancis?
C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di
atas, maka tujuan diadakan penelitian ini sebagai berikut:
a. Mengetahui Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia.
b. Mengetahui Perbandingan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
di Negara Indonesia dan Negara Prancis.
2. Manfaat Penelitian
a. Secara Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat
sehingga dapat menambah wawasan yang dapat digunakan dalam
pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan terkhusus pada
hukum kelembagaan negara. Serta dapat dijadikan sebagai bahan
acuan oleh kalangan pelajar, mahasiswa dan kalangan akademis
lainnya.
8
b. Secara Praktis
Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat hukum
kelembagaan negara, juga manfaat praktisnya yaitu dapat dijadikan
bahan referensi dan bahan kajian untuk pertimbangan bagi pembentuk
Undang-Undang dan dapat diterapkan dalam bentuk nyata sebagai
partisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945.
D. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Dalam skripsi ini, penulis menggunakan penelitian hukum
normatif10 yang menjadikan Undang-Undang serta putusan hakim sebagai
objek kajian yang kemudian ditinjau dari aspek teoritis maupun berbagai
hukum negara lain terkait mahkamah konstitusi.11
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena menggunakan
data kualitatif. Dalam penelitian terkait Kewenangan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif yaitu
didasarkan pada relevansi data terhadap permasalahan, hasil penelitian ini
disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat.
2. Pendekatan Penelitian
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
Pendekatan Perundang-Undangan (statute-approach),12 yakni pendekatan
menggunakan legislasi dan regulasi dalam hal ini berkaitan dengan UUD
NRI 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
10Sukismo, Karakter Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis, (Yogyakarta:Penerbit
Puskumbangsi Leppa UGM, 2008), h. 8. 11 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h. 35-37. 12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:
Bayumedia, 2007), h.391.
9
Agung dan dan Pendekatan konseptual dengan (conceptual-approach)13
yang merujuk kepada doktrin hukum yang ada, dan juga Constitution Of 4
October, 1958 (Constitution du 4 October, 1958 en vigueur/ la
Constitution de la 5e Republique), yang mengatur tentang Dewan
Konstitusi (Council Constitutional), yang ada pada Title VII/BAB VII.14
3. Data Penelitian dan Sumber Bahan Hukum
Data yang peneliti butuhkan dalam menjawab permasalahan
penelitian ini berupa informasi terkait ketentuan dalam Peraturan
Perundang-Undangan mengenai Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di negara Indonesia dan Negara Prancis. Aturan hukum yang
digunakan sebagai sumber bahan hukum berkaitan dengan aturan
Perundang-Undangan mengenai kekuasaan kehakiman, Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung.
Informasi yang dibutuhkan tersebut tersimpan dalam dokumen
Peraturan Perundang-Undangan dalam bentuknya yaitu Undang-Undang
Dasar, dan Peraturan yang dibawahnya. Adapun penjabarannya sebagai
berikut:
a. Sumber Hukum Primer
1) UUD NRI 1945
2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman
3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi
4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung
5) Constitution of 4 October, 1958 (Constitution du 4 octobre, 1958
en vigueur/ la Constitution de la 5e Republique), yang mengatur
tentang Dewan Konstitusi di Prancis
b. Sumber Hukum Sekunder
13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Prenada Media, 2005), h. 119. 14 Desy Wulandari, “EX ANTE REVIEW, dalam Mewujudkan Konstitusionalitas
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Article Indonesian State Law Review,
Vol.1, No.1, Oktober 2018, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, h.39.
10
Bahan sekunder ialah bahan hukum yang memberi penjelasan
terhadap bahan primer. Bahan sekunder berupa publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, meliputi:
1) Buku yang relevan dengan tema penelitian
2) Artikel, Jurnal, maupun makalah yan membahas tentang Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan
3) Bahan non-hukum
4. Metode Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan
data untuk sumber data primer dan penunjang berupa data sekunder
sebagai berikut:
Studi Dokumen, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan
pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan
penelitian.15 Peneliti mengumpulan data dengan membaca dokumen yang
memuat informasi terkait Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan. Dokumen yang dimaksud ialah Peraturan Perundang-
Undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah
Konstitusi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah
Agung, Constitution of 4 October, 1958 (Constitution du 4 octobre 1958
en vigueur/ la Constitution de la 5e Republique), yang mengatur tentang
Dewan Konstitusi di Prancis.
5. Teknik Pengolahan Data dan Metode Analisis Data
Data yang telah diperoleh dari studi dokumen yang telah dilakukan
selanjutnya akan disederhanakan lalu akan diolah menjadi analisis
deskriptif yaitu memaparkan atau menarasikan informasi yang telah
15 Supriyadi, “Community Of Practitioners: Solusi Alternatif Berbagi Pengetahuan Antar
Pustakawan”, Jurnal Lentera Pustaka, (Semarang, 2016), h. 85.
11
didapatkan dalam bentuk rangkaian kalimat-kalimat hingga mudah
dipahami.
Penelitian ini menggunakan metode analisis normatif, sebuah jenis
penelitian dengan menekankan aspek pemahaman suatu norma hukum
yang terdapat dalam Perundang-Undangan serta norma-norma yang hidup
dan berkembang dalam masyarakat.
6. Metode Penulisan
Acuan metode penulisan penelitian ini mengacu kepada “Pedoman
Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017” yang
diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.
E. Sistematika Pembahasan
Masing-masing bab dalam penelitian ini terdiri atas beberapa sub bab
sesuai dengan pembahasan dan materi yang akan diteliti. Adapun perinciannya
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini membahas mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat
Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.
BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN
Bab ini memuat beberapa teori yang menjadi landasan berfikir
dalam permasalahan yang dibahas yang saling memiliki
keterkaitan hukum, Dalam bab ini peneliti membahas mengenai
kajian pustaka, kerangka konseptual, kerangka teoritis dan
tinjauan (review) kajian terdahulu.
BAB III PERKEMBANGAN PENGUJIAN PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA
Bab ini membahas mengenai Lembaga yang menguji Peratutan
Perundang-Undangan di Indonesia maupun di Prancis. kemudian
dalam bab ini juga, membahas mengenai Perkembangan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan dilingkungan Kekuasaan
12
Kehakiman dan juga mengenai kewenangannya. Yang dimana
didalamnya berisikan Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia dari sebelum amandemen dan setelah
amandemen dan begitu pula di lingkungan Prancis.
BAB IV KOMPARASI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN
NEGARA PRANCIS
Bab ini membahas secara mendalam fokus utama disertai dengan
hasil analisis data secara mendalam mengenai:
a. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
negara Indonesia.
b. Perbandingan mengenai Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan Antara Negara Indonesia dengan Negara Prancis.
BAB V PENUTUP
Bab ini merupakan bagian akhir dalam penelitian ini yang berisikan
kesimpulan pembahasan dan rekomendasi. Kesimpulan merupakan
hasil penyederhanaan dari analisis data yang telah didapatkan serta
hasil pembuktian maupun uraian yang telah dideskripsikan pada bab
sebelumnya yang berkaitan dengan pokok masalah.
13
BAB II
KEKUASAAN KEHAKIMAN
A. Kerangka Konseptual
Kerangka Konseptual ini bertujuan untuk memberikan batasan mengenai
apa yang akan diteliti di dalam penelitian ini. Kerangka Konseptual pada
hakikatnya merumuskan definisi operasional yang akan digunakan untuk
menyamakan presepsi. Terdapat beberapa definisi yang dipakai dalam rujukan
penulisan skripsi ini. Adanya definisi ini karena membahas persoalan hukum
sehingga peneliti tidak mengacu kepada pendapat perseorangan saja namun
merujuk pada Peraturan Perundang-Undangan. Berikut ialah beberapa definisi
yang akan diuraikan sebagai berikut:
1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi
Berbicara mengenai penyempurnaan pelaksanaan reformasi
konstitusional yang integral menuju proses demokratisasi, perlu
dibentuknya suatu mahkamah yang memang dikhususkan untuk menjaga
konsitusi suatu negara. Oleh karena itu dalam perubahan ketiga Undang-
Undang Dasar dalam Pasal 24 ayat (2) tertulis “kekuasaan kehakiman
dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan Badan Peradilan Umum,
Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan
Peradilan Tata Usaha Negara, dan juga pada sebuah Mahkamah
Konstitusi”. Pasal 24C ayat (1) menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi
berwenang mengadili pada tingkat pertama dan juga terakhir, yang
putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, kemudian memutus sengketa kewenangan
lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang
Dasar, memutus pembubaran partai politik dan juga memutus perselisihan
tentang hasil pemilihan umum (pemilu).1 Kewenangan menurut H.D Stoud
adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan
penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik dalam
1 Jimly Asshhiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Rawamangun: Sinar
Grafika, 2011), h. 204.
14
hukum publik, artinya Mahkamah Konstitusi mempunyai sebuah sebuah
hak atau kekuasaan yang telah dilimpahkan kepadanya sesuai dengan apa
yang telah dijelaskan didalam Peraturan Perundang-Undangan.2
2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Peraturan
Perundangan Satu Atap di Indonesia
Pandangan mengenai pemberlakuan satu atap pengajuan untuk
menguji Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi,
merupakan suatu upaya untuk menguatkan bahwasanya, Mahkamah
Konstitusi merupakan Court of Law, dan Mahkamah Agung merupakan
Court of Justice, karena Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
termasuk juga kedalam ranah Court of Law bukan Court of Justice.3
Kemudian dalam proses beracara di Mahkamah Agung dianggap kurang
fair. Jika berperkara di Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan konsep
terbuka untuk umum, maka permohonan Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Agung dilakukan secara tertutup. Dengan
sistem pengalihan kewenangan pada Pengujian Peraturan yang ada di
bawah Undang-Undang, dari Mahkamah Agung ke Mahkamah
Konstitusi merupakan suatu hal yang dapat memudahkan masyarakat
agar tidak menimbulkan kebingungan dalam perkara pengajuan dalam
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Sebagaimana telah dijelaskan
sebelumnya, Mahkamah Agung merupakan institusi yang sangat sibuk
dengan banyaknya suatu perkara, sehingga pelimpahan kewenangan itu
akan meringankan kerja pada Mahkamah Agung. Sebagaimana
dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Agung dengan kuantitas SDM yang
terbatas, harus menangani puluhan ribu perkara setiap tahunnya.
Demi mengejawantahkan upaya dalam Pengujian Peraturan
Perundangan satu atap melalui Mahkamah Konstitusi, sistem dasar yang
perlu dilakukan supaya pengalihan kewenangan Pengujian Peraturan
2 Stoud HD, De Betekenissen Van De Wet, Dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan
Peradilan Adiministrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004), h. 4.
3Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU,
http://www.antaranews.com/print , diakses tanggal 20 oktober 2020.
15
Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi, yakni dengan melakukan perubahan pada pasal
24A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,
yang mengatur mengenai Mahkamah Agung. Di dalam pasal 24A
tersebut, tertera bahwasanya Mahkamah Agung berwenang mengadili
pada tingkat kasasi, menguji dalam Peraturan Perundang-Undangan di
bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan juga memiliki
wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Jika mekanisme
amandemen kelima terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945 dirasa cukup sulit, untuk dilakukan maka
pemerintah bisa membuat sebuah Undang-Undang yang menyatakan
bahwa pembenahan pada sistem Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di bawah Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah
Konstitusi. Supaya skenario tersebut, dapat berjalan lancer dan
dibutuhkan juga kesepakatan antara para pihak, yaitu Mahkamah
Konstitusi, Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.4 Kewenangan ini lah
yang membedakan antara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di
Indonesia dengan negara Prancis. Banyaknya perdebatan yang
membicarakan mengenai sistem satu atap, hingga saat ini belum
membuahi hasil yang diinginkan. Tetapi pengujian di Indonesia masih
berjalan dengan baik sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
Mekanisme Pengujian Peraturan Perundang-Undang Satu Atap,
bukanlah sebuah hal yang baru. Di beberapa Negara sudah menerapkan
sistem satu atap, seperti halnya di negara yang telah menerapkan konsep
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan satu atap yakni, Negara
Prancis (Constitutional Preview dan Review) atau yang bisa kita sebut
dengan Dewan Konstitusi.
4 Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU,
http://www.antaranews.com/print , diakses tanggal 20 oktober 2020.
16
3. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Menurut Teori Konstitusi, sistem dalam Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan merupakan suatu bentuk upaya untuk menguatkan
konsep negara hukum yang menempatkan konstitusi sebagai hukum
tertinggi. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan merupakan
konstitusi bergaransi terhadap semua produk hukum untuk menciptakan
penegakan hukum yang baik dalam suatu Negara.5
Istilah lain dari Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yaitu
dikenal dengan istilah Judicial Rivew. Dalam hal ini, istilah Judicial
Review terpatok penggunaanya pada proses uji Perundang-Undangan,
yang dilakukan oleh suatu lembaga peradilan. Kemudian, terpapar pula
mengenai pembagian Judicial Review, Constitutional Review dan
Judicial Constitutional Review. Yang dimana, Constitutional Review
digunakan secara umum guna untuk proses uji konstitusionalitas produk
dalam Perundang-Undangan yang berada di bawah naungan konstitusi,
dan juga dilakukan oleh lembaga legislatif, (seperti oleh MPR pada masa
Orde Baru) bisa juga oleh lembaga peradilan, bahkan oleh sebuah
lembaga khusus yang ditunjuk untuk melakukan tugas uji constitutional
tersebut (seperti Dewan Konstitusi di Prancis). Istilah khusus Judicial
Constitutional Review baru dapat digunakan dalam membicarakan proses
uji konstitusionalitas yang dilakukan oleh lembaga peradilan saja.6
4. Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel)
Tercantum jelas didalam sistem konstitusi Prancis mengenai ‘Cour
de’Cassation’ yang terpisah keberadaannya dari ‘Conseil
Constitutionnel’. Dalam artian ‘Cour de’Cassation’ itu sendiri yaitu
Mahkamah Agung, lembaga pradilan; sedangkan ‘Conseil
Constitutionnel’ bukan pengadilan, melainkan Dewan Konstitusi. Oleh
karenanya, penyebutannya bukan ‘cour’ (pengadilan), tetapi ‘conseil’
5 Taufiqurrahman Syahuri, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian
Peraturan PerundangUndangan, (Jakarta: BPHN Kemenhum dan HAM RI, 2014), h. 51-52. 6 https://alisafaat.wordpress.com/2008/05/28/toetsingsrecht-%E2%80%93-judicial-review-
%E2%80%93-constitutional-review, (Di Akses pada 25 Januari, 2021 pukul 22:11 WIB)
17
(dewan). Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua lembaga ini
jelas terlihat pula dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di
Mahkamah Agung, seluruh anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi
sebaga hakim, maka dalam susunan keanggotaan ‘Conseil
Contitutionnel’ tidak seperti itu. Anggota Dewan Konstitus dapat berasal
dari partai politik atau birokrat dan sebagainya, walaupun sebagian besar
di antaranya adalah para ahli hukum. Memang, esensi dari fungsi-fungsi
yang dijalankan oleh lembaga pengawal konstitusi ini bukanlah fungsi-
fungsi peradilan dalam arti yang lazim. Dalam sistem konstitusi Prancis,
lembaga ini lebih bersifat semi-peradilan.7
B. Kerangka Teori
1. Teori Negara Hukum
Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara Indonesia
berdasarkan atas hukum, hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD
1945. Salah satu prinsip yang menyangga tegaknya negara modern ini
adalah supremasi hukum (Supremacy of Law). Letak supremasi hukum
negara Indonesia adalah konstitusi. Di samping itu, J.B.J.M. ten Berge
menyebutkan bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah adanya asas
legalitas. Asas legalitas menghendaki bahwa Undang-Undang secara
umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan
(pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan
yang tidak benar. Sehingga pelaksanaan wewenang oleh organ
pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada Undang-Undang tertulis.8
Kesadaran akan pentingnya kedudukan Peraturan Perundang-
Undangan tersebut dalam sistem ketatanegaraan kita, baik karena materi
muatan maupun kedudukannya maka tertib peraturan perundangan wajib
7 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … , h.
56. 8 J.G Steenberk, dalam Dahlan Thaib (et.al), Teori dan Hukum Konstitusi, (Rajawali
Grafindo, Jakarta, 2012), h. 15.
18
untuk diwujudkan, salah satunya melalui Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan.
Secara teoritis konsepsional, teori negara hukum ini memiliki
makna penting dalam menjalankan kewenangan Mahkamah Konstitusi,
mengapa demikian dikarenakan teori dalam negara hukum ini muncul
sebagai penolakan atas paham kedaulatan negara dan kedaulatan raja.
Melambangkan bahwasanya, kekuasaan tertinggi bukan terletak pada
raja, dan bukan pula pada negara, melainkan pada hukum yang
bersumber pada kesadaran setiap orang. Hukum pada paham ini diartikan
sebagai “perintah-perintah negara”.9
Dalam hal ini, penulis memiliki pemahaman keterkaitan antara
teori negara hukum dengan konstitusi. Terbilang bahwasanya,
Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan
kehakiman yang mempunyai peran penting dalam usaha untuk
menegakkan konstitusi dan juga prinsip negara hukum yang sesuai
dengan tugas dan wewenangnya, sebagaimana yang tertera dalam
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas
dasar aturan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi berwenang khusus
untuk mengadili perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi, dalam
rangka menjaga dan menegakkan konstitusi agar bertanggung jawab
sesuai dengan kehendak rakyat.
2. Teori Jenjang Hukum (Stufenbau)
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan erat kaitannya dengan
Hirarki Peraturan Perundang-Undangan. Mengingat bahwa tata Peraturan
Perundang-Undangan harus tersusun secara hierarkis dan saling berkaitan
satu sama lain. Secara teoritik telah tersampaikan melalui teori Hans
Kelsen mengenai Stufenbau des Recht atau hirarki norma hukum. Dalam
teori ini berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan yang
berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari
kaidah yang lebih tinggi. Hans Kelsen menjelaskan lebih lanjut bahwa,
9 Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 4.
19
kaidah hukum itu sendiri tidak lain adalah “command of the sovereign” -
kehendak yang berkuasa.10 Sehingga hukum itu adalah sah (valid)
apabila dibuat oleh lembaga atas otoritas yang berwenang
membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, dimana norma
yang lebih rendah harus sesuai dengan yang lebih tinggi, dan norma yang
lebih tinggi menjadi acuan norma di bawahnya. Hal ini senada seperti
apa yang dikemukakan oleh Merkl bahwa suatu norma hukum itu selalu
mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantkizt).11 Dalam hal tata
susunan atau hirarki sistem norma-norma yang tertinggi (norma dasar) itu
menjadi tempat bergantungnya norma-norma yang di bawahnya sehingga
apabila norma dasar itu berubah, maka akan menjadi rusaknya sistem
norma yang berada di bawahnya. Di Indonesia norma tertinggi ini
dikontekskan dalam bentuk konstitusi. Karena itu, norma ini merupakan
alasan tertinggi bagi keabsahan norma, norma yang satu diciptakan
sesuai dengan yang lain, dan dengan demikian terbentuklah sebuah
tatanan hukum dalam struktur hierarkis.12
Dengan makna lain diartikan bahwa, ketentuan dalam Perundang-
Undangan yang ditetapkan oleh suatu negara maka, ketentuan yang lebih
rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.
Seperti halnya, suatu norma hukum sebagai produk pembuat Undang-
Undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi sebagai norma
hukum tertinggi. Maka sudah jelas, bahwa teori ini lah yang berfungsi
untuk mencegah terjadinya suatu pertentangan antara peraturan yang
rendah dengan peraturan yang lebih tinggi. Karena jelas aturannya sangat
berlaku dan terus diterapkan supaya tidak terjadi kekosongan hukum.
Hans nawiasky, merupakan seorang murid dari hans Kelsen.
Mengembangkan teori gurunya mengenai teori jenjang norma dalam
10 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,
(Bandung: Nusamedia, 2011), h. 23-24. 11 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,
… , h.23. 12 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2008, h. 244.
20
kaitan dengan suatu negara. Hans Kelsen dalam bukunya: allegemeine
Rechtslehre, mengemukakan bahwa suatu norma hukum dari negara
manapun selalu berlapis-lapis dan juga berjenjang. Dimana saat norma
yang dibawah berlaku, berdasar dan bersumber dari norma yang lebih
tinggi lagi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, sampai pada suatu
norma yang tertinggi disebut Norma Dasar. Tetapi, Hans Nawiasky juga
berpendapat selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,
norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans
Nawiasky juga mengelompokan norma-norma hukum dalam suatu
negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:
1. Kelompok I: staatspundamentalnorm (Norma Pundamental Negara).
2. Kelompok II: Staatgrundsetz (aturan dasar/pokok negara).
3. Kelompok III: Formell Gesetz (Undang-Undang formal).
4. Kelompok IV: Verordnung dan autonome satzung (aturan pelaksana
dan aturan otonom ).13
Terlepas dari adanya suatu kelompok-kelompok noma hukum
tersebut selalu ada tata susunan norma hukum setiap negara walaupun
mempunyai istilah berbeda-beda ataupun jumlah norma yang berbeda
dalam setiap kelompoknya.
3. Teori Konstitusi
Konstitusionalisme adalah pemikiran yang mengehendaki
pembatasan kekuasaan, berkaitan dengan kewenangan Negara. Negara-
negara di dunia akan menggunakan konstitusi sebagai pengatur
kehidupannya. Negara penganut sistem Negara hukum dan kedaulatan
pada konsep pemerintahannya akan menggunakan konstitusi. Teori
Konstitusi menghendaki agar Negara dibentuk atas dasar basic norm
yang mana demokrasi merupakan naluri masyarakat. Sehingga konstitusi
13Teori Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Dan Judicial Review,
(https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1149/05.3%20bab%203.pdf ), di akses pada
23 Feb 2021.
21
yang dibentuk merupakan konstitusi demokrasi yang menghendaki rule
of the law.14
Dalam bukunya I Dewa Gede Atmadja15 yang berjudul Hukum
Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD
1945, dikutip pengertian konstitusi dari Kamus Hukum Inggris, Oxford
Dictionary of Law bahwa “Constitution is the rules and practices that
determain the composition and functions of the organs of central and
local government in a state and regulate the relationship between
individual and the state”. Dalam terjemahannya konstitusi adalah aturan-
aturan hukum dan praktek-praktek yang menentukan susunan dan fungsi
lembaga pemerintahan pusat dan daerah, serta mengatur hubungan antara
warga negara dan negara.
Sejatinya, perlu pemahaman lebih mengenai konstitusi dan
konstitusional, karena terdapat perbedaan. Yang dimana dalam hal ini,
konstitusi merupakan ketentuan yang mengatur mengenai ketatanegaraan
sedangkan konstitusional yang merupakan pembatasan kekuasaan dan
jaminan hak rakyat melalui konstitusi.
C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu
Tinjauan terhadap kajian terdahulu ialah bertujuan untuk
membandingkan skripsi atau karya ilmiah yang telah ada dengan apa yang
akan diteliti mengenai penelitian tersebut guna menghindari pemahaman
bagi pembaca ataupun penulis terhadap duplikasi, replikasi, dan
penjiplakan. Berikut beberapa penelitian atau karya ilmiah yang telah ada:
1. CAHYO DWI NUGRAHANTO dalam skripsi yang berjudul “HAK
UJI MATERIL OLEH KEKUASAAN KEHAKIMAN (PENGUJIAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) TERHADAP
PERATURAN MENTERI OLEH MAHKAMAH AGUNG
14 Novendri M. Nggilu, Hukum dan Teori Konstitusi (Perubahan Konstitusi yang
partisipatif dan Populis), (Yogyakarta: UII Press, 2015), h.17. 15 I Gede Atmajaya, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah
Perubahan UUD 1945, (Malang: Setara Press, 2010), h. 22-23.
22
REPUBLIK INDONESIA”.16 Skripsi ini terfokus mengkaji mengenai
peraturan menteri yang diakui keberadaan dan eksistensinya dalam
sistem legislasi nasional, juga terfokus kepada lembaga negara yang
berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Perundang-
Undangan, baik menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang
Dasar maupun menguji peraturan dibawah Undang-Undang terhadap
Undang-Undang adalah Mahkamah Konstitusi. Berbeda dengan skripsi
peneliti yang berfokus membahas mengenai historikal konteks dan
kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
dan Negara Prancis.
2. SYLVIA AMANDA dalam skripsi yang berjudul “STUDI
PERBANDINGAN PRINSIP HUKUM ACARA DI MAHKAMAH
KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG DALAM SIDANG
PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.17 Skripsi ini terfokus
pada keterkaitan hukum beracara Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dan alasan
mengapa Pengujian Peraturan Perundang-Undangan oleh Mahkamah
Agung dilakukan secara tertutup untuk umum, selain itu skripsi
tersebut juga mengkaji mengenai persidangan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan yang juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi
dan dilakukan secara terbuka. Persamaan dengan skripsi tersebut yaitu
sama-sama membahas mengenai perbandingan, yang membedakan
dengan peneliti, peneliti membahas mengenai historikal konteks dan
kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yang dimana
didalamnya terdapat sejarah awal dan sesudah amandemen mengenai
Pengujian Peraturan Perundang-Undangn di indoensia dan
16 Cahyo Dwi Nugroho, Hak Uji Materil Oleh Kekuasaan Kehakiman (Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan) Terhadap Peraturan Menteri oleh Mahkamah Agung Republik
Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, 2011. 17 Sylvia Amanda, Studi Perbandingan Prinsip Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung dalam Sidang Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Skripsi Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2017.
23
membandingkan dengan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
yang ada di Negara Prancis.
3. INGGRIT IFANI dalam skripsi yang berjudul “LEGAL STANDING
PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH
KONSTITUSI RI”.18 Skripsi ini terfokus membahas mengenai apakah
wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Peraturan Perundang-
Undangan sudah sesuai dengan UUD 1945, tentu jelas berbeda dengan
peneliti, peneliti membahas mengenai kewenangan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan satu atap di Indonesia dan
menganalisis perbandingan antar Negara yaitu Negara Prancis.
4. Artikel Jurnal berjudul “KEWENANGAN PENGUJIAN
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MAHKAMAH
AGUNG TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
DI BAWAH UNDANG-UNDANG”.19 Oleh Doni Silalahi. Jurnal ini
fokus mengkaji dan memusatkan Kewenangan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan Mahkamah Agung. Persamaan di dalam skripsi
yang peneliti teliti adalah sama-sama membahas mengenai
kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan
perbedaannya adalah peneliti fokus terhadap komparasi Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dengan Negara Prancis.
5. Artikel Jurnal berjudul “PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-
UNDANGAN INDONESIA”.20 Oleh Machmud Aziz. Dalam
pembahasan yang di tulis oleh penulis, pokok masalah yang ada
didalamnya berisikan mengenai Pengujian peraturan Perundang-
Undangan dalam arti luas, kemudian pada dasarnya di samping untuk
18 Inggrit Ifani, Legal Standing Ppengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI,
Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2015. 19 Doni Silalahi, “Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Mahkamah
Agung Terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang”, Jurnal Mahasiswa
S2 Hukum Universitas Tanjungpura, Vol.3 No. 3, 2016.
20 Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan
Perundang-Undangan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 5, 2010.
24
mengoreksi produk hukum legislatif baik Pusat maupun Daerah agar
sesuai atau tidak bertentangan dengan konstitusi (UUD) sehingga
produk hukum tersebut dapat memberikan kepastian hukum
(rechszekerheid), perlindungan hukum (rechtsbescherming), keadilan
hukum (rechtsvaardigheid) dan kemanfaatan (nuttigheid) kepada setiap
orang atau masyarakat secara keseluruhan. semua jenis peraturan
perundangundangan dan segala tingkatannya diuji di Mahkamah
Konstitusi. Tentu juga di jurnal tersebut membahas Mahkamah Agung
dan Mahkamah Konstitusi, dimana dengan hanya Mahkamah
Konstitusi yang berwenang menguji semua jenis dan tingkatan
Peraturan Perundang-Undangan maka pengujian tersebut dapat
dilakukan secara efisien dan efektif serta menghindari terjadinya
conflict of interest dan conflict of interpretation dengan Mahkamah
Agung. Sedangkan pokok pembahasan yang mau saya bahas, tentu
berbeda dengan jurnal tersebut. Yang dimana, dalam skripsi saya
membahas mengenai komparasi Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan di Indonesia dengan negara Prancis. Juga mengenai sejarah
terbentuknya Pengujian Peraturan Perundang-Undangan tersebut.
Berdasarkan keseluruhan data yang ada, skripsi peneliti memiliki
perbedaan serta persamaan dengan penelitian yang terdahulu.
Perbedaannya, jika penelitian terdahulu membahas mengenai
perbandingan prinsip hukum acara dalam proses Judicial Review di
Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Yang dimana dampak
dari adanya perbandingan prinsip tersebut, diperlukan lembaga yang
memungkinkan peranan hukum dan hakim untuk bisa mengontrol
proses dari perbandingan prinsip tersebut.
Berbeda halnya dengan skripsi peneliti yang berfokus mengenai
analisis secara historikal konteks mengenai konsepsi Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan Negara Prancis. Di
dalam skripsi peneliti juga memaparkan mengenai perbandingan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dengan negara
25
Prancis, yang menyatakan bahwasanya salah satu perbedaan yang
signifikan tertera pada lembaga pengujiannya. Di Indonesia terdapat
dua lembaga pengujian, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah
Konstitusi, yang menjalankan fungsi dari lembaga yudikatif. Berbeda
halnya dengan Prancis, lembaga pengujiannya bernama Dewan
Konstitusi. Dewan ini masuk kedalam suatu lembaga politik yang
menjalankan kekuasaan (fungsi) yudisial (diluar dari lembaga
yudikatif).
Persamaan skripsi peneliti dengan penelitian terdahulu ialah
penelitian tentang Judicial Review atau Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan dalam Kekuasan Kehakiman yaitu Mahkamah
Agung (untuk Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah
Undang-Undang) dan Mahkamah Konstitusi (untuk Pengujian Undang-
Undang terhadap Undang-Undang Dasar).
26
BAB III
LEMBAGA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
NEGARA INDONESIA DAN NEGARA PRANCIS
Pemikiran mengenai suatu Pengujian, dalam Peraturan Perundang-
Undangan telah ada sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia. Moh. Yamin,
telah mengungkapkan mengenai pentingnya Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, pada waktu penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dalam sidang
BPUPKI. Kemudian, Moh. Yamin menghendaki agar Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan dimasukkan kedalam Undang-Undang Dasar yaitu sebagai
bagian dari wewenang Mahkamah Agung. Tak lama, gagasan ini ditolak oleh
Soepomo, menurutnya Undang-Undang Dasar 1945, tidak menganut ajaran trias
politica, sehingga tidak tepat untuk mengeluarkan pengaturan mengenai
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam Undang-Undang Dasar 1945.1
Itu sebabnya, di dalam UUD 1945 sebelum amanden tidak dinyatakan secara
eksplisit kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.
Amandemen UUD 1945 telah memberikan suatu perubahan yang sangat
signifikan, yaitu telah mengamanatkan kepada dua lembaga yang terdapat dalam
kekuasaan kehakiman, yaitu menjalankan kewenangannya dalam Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan. Perubahan yang terjadi ini tentu menjadi bagian
dari pengaruh dari pergerakan politik dan ketatanegaraan pada saat itu, dan
dilatarbelakangi dengan adanya reformasi.
Terdapat isu yang menjadi sebuah perdebatan dalam amandemen Undang-
Undang Dasar 1945, yaitu telah diberikannya kewenangan kepada lembaga
yudisial untuk melaksanakan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,
khususnya Pengujian Undang-Undang. Kemudian, kewenangan ini diakomodasi
dalam Pasal 24C UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah
Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, sedangkan Pengujian
1 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), h. 71-74.
27
Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang diberikan kepada
Mahkamah Agung.2
Tradisi hukum yang berkembang di Prancis, memang awalnya di warisi
oleh pemikiran Rousseau. Menurut Prof. Djokosutono yang dijadikan pedoman
tidak lagi paham Montoesquieu, tetapi paham Rousseau. Dalam kajian filosofis
Rousseau kehendak umum (general will) adalah keinginan yang tidak dapat
dipertanyakan. Ketika itu gagasan the sovereignity of the law of the people
mendominasi paradigma berpikir di kalangan para ahli dan praktisi Prancis, yang
berdaulat ialah de collective will. Maka ada baiknya mengulas sejenak periode
berlakunya ajaran tersebut. Ajaran ini pada kenyataannya membuat pasang surut
perkembangan sistem constitutional review di sebagian besar negara-negara
Eropa. Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi atau organ sejenisnya yang
terdapat di negara-negara Eropa adalah lembaga yang didirikan atau dibentuk
untuk menyandang peran sebagai pengawal konstitusi tersebut sama sekali
terlepas dari sistem peradilan umum. Oleh karena itu, kedudukannya terpisah, sui
gene organ konstitusional dan memiliki kekuasaan eksklusif untuk
menyelenggarakan pengujian konstitusional terhadap Rancangan Undang-Undang
dan peraturan tata tertib parlemen.3
A. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Negara Indonesia
Kualitas penting yang harus dijaga di negara Indonesia, salah satunya
adalah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Dalam hal ini, seperti yang
kita pelajari bersama, pada dasarnya, Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan merupakan suatu pengujian terhadapa produk hukum yang
dilakukan oleh suatu lembaga yudikatif atau suatu badan peradilan, yang
dimana lembaga ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh konstitusi
untuk menguji produk hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Peranan
dari Mahkamah Konstitusi sendiri adalah dalam menguji konstitusionalitas
Undang-Undang (secara materiil dan formal) memerlukan penggunaan
2Lutfil Ansori, “Politik Hukum Judicial Review Ketetapan MPR”, Jurnal Hukum dan
Perundangan Islam, Vol. 6, No.1, April 2016, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, h.30. 3 Djosutono, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Al Rasid, (Ghalia Indonesia:
Jakarta, 1982), h. 91.
28
interpretasi penafsiran hukum atas Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa
dengan interpretasi penafsiran hukum atas UUD, Mahkamah Konstitusi dapat
memperluas atau mempersempit arti, maksud, dan tujuan dari UUD.4 Dalam
melakukan kewenangannya untuk pengujian (judicial review), juga dipercaya
untuk menjalankan fungsi check and balances di antara lembaga pemegang
kekuasaan negara. Secara teori, fungsi tersebut dilakukan untuk menghindari
kesewenang-wenangan lembaga-lembaga negara.5 Kata istilah Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan lebih dikenal dalam masyarakat di Indonesia,
sebenarnya lahir dari negara yang menganut asas sistem pemisahan kekuasaan
(trias politica) dimana Amerika Serikat sebagai negara yang terkenal
menggunakannya prinsip tersebut.
Dalam histrorinya, pada saat pertama kali dilaksanakan di negara
Amerika, Amerika belum mempunyai suatu pengaturan yang ada pada
konstitusi atau Undang-Undang. Tidak ada aturan yang memperkenankan
adanya kewenangan pada Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Agung,
namun ketua Mahkamah Agung pada saat itu, yakni Jhon Marshall
mempernyatakan bahwa terdapat kewajiban konstitusional para hakim pada
saat disumpah untuk menjaga konstitusi. Marshal, mengeluarkan argumentasi
bahwa dengan pernyataan sumpah memberikan kewajiban pada Mahkamah
Agung untuk menjaga supremasi konstitusi. Hal ini memberikan kewajiban
kepada Mahkamah Agung, untuk dapat menyatakan Undang-Undang tidak
memiliki kekuatan yang mengikat apabila Undang-Undang tersebut dianggap
melanggar konstitusi.6 Kasus untuk pertama kali tersebut dikenal dengan
kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803. Marbury vs Madison merupakan
kasus hukum mengenai pengangkatan sekelompok hakim baru pada larut
malam yang kemudian dikenal sebagai “the midnight judges”, hakim-hakim
4 Muhammad Junaidi, Hukum Konstitusi “Pandangan dan Gagasan Modernisasi Negara
Hukum”, (PT RajaGrafindo Persada: Depok, 2018), h. 177. 5 Maria Farida Indrati, Pengujian Peraturan PerundangUndangan Mengenal Keberadaan
Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Modul 1, h. 3. 6 Maria Farida, Masalah Hak Uji Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dalam Teori
Perundang-Undangan, Seri Buku Ajar, (Jakarta: FHUI, 2000) h.105.
29
tengah malam.7 Untuk memperluas lebih dalam mengenai makna suatu
Judicial Review (Pengujian Peraturan Perundang-Undangan), kita dapat
mencoba mengenal suatu istilah yang dikenal dalam kepustakaan Belanda,
yakni toetsingsrecht. Toetsingsrecht merupakan hak menguji terhadap produk
hukum. Hak menguji ini akan memiliki sebutan yang berbeda, sesuai lembaga
mana yang akan menggunakannya.8
Kembali lagi pada pembahasan mengenai Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan di negara Indonesia, sejatinya hak menguji produk
hukum yang dipegang pada lembaga yudikatif di Indonesia terbagi menjadi
dua yaitu oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, dengan
menjalankan tugas yang berbeda satu sama lain. Mahkamah Konstitusi dalam
hal pengujian, lembaga ini menguji khusus Undang-Undang, kemudian
Mahkamah Agung menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah
Undang-Undang. Meskipun Judicial Review dan Toetsingrecht mempunyai
history yang berbeda dalam perkembangannya, tetapi esensi dari kedua
pengertian tersebut hamper sama, yaitu menguji produk hukum.
Perkembangan hukum dan ketatanegaraan dalam masalah pengujian produk
hukum pada lembaga yudikatif inilah yang tidak lepas mempengaruhi adanya
pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia, terkhususnya di negara
Indonesia.9 Dalam kultur di negara Eropa Continental, pengujian hukum
tersentralisasi pada satu badan yang dikenal dengan istilah Centralized
Judicial Review.
Ketika diberlakukannya suatu Konstitusi Republik Indonesia Serikat
(RIS), Pengujian Peraturan Perundang-Undangan pernah menjadi salah satu
wewenang pada Mahkamah Agung. Tapi, hanya terbatas pada Pengujian
Undang-Undang Negara bagian terhadap suatu Konstitusi. Seperti yang
tercantum dalam Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158, Konstitusi Republik
7 Ismail Hasani, Pengujian Konstitusionalitas PERDA, (Jakarta: Kepustakaan Populer
Gramedia, 2020), h. 64. 8 Jimly Asshidiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konpres, 2006),
h.2. 9 Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan
Kepaniteraan MKRI, 2010) h.1.
30
Indonesia Serikat. Berbeda halnya dengan Undang-Undang Dasar Sementara
Tahun 1950, konstitusi ini tegas tidak mengatur mengenai Pengujian Undang-
Undang. Persoalan ini dipengaruhi dengan cara pandang bahwa Undang-
Undang dilihat sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh
pemerintah bersama DPR.10
Sebelum adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, wewenang
menguji suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di
pegang oleh MPR. Kewenangan MPR ini berdasarkan kepada Ketetapan MPR
Nomor III/MPR/2000 mengenai Sumber Hukum, dan Tata Urutan Peraturan
Perundang-Undangan. Pada Pasal 5 ayat (1) ketetapan tersebut terbilang
“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-Undang
terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan MPR.” Dalam
perkembangannya, hampir tidak pernah MPR melakukan tindakan pengujian
terhadap Undang-Undang yang notabene seluruhnya dibuat oleh eksekutif.
Dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) 6 Oktober
Tahun 1999, fraksi-fraksi MPR di samping sepakat untuk mengamandemen
UUD 1945, prioritas utama dalam amandemen tersebut dilakukan terhadap
DPR dan Mahkamh Agung.11 Kemudian, kebijakan tersebut diambil dalam
rangka memperkuat kedudukan kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pembuat
Undang-Undang. Dari pemikiran seperti itu, beberapa dinamika pemikiran
terkait dengan upaya merumuskan suatu lembaga yang berwenang untuk
melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yaitu Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.
Pokok pemikiran yang menyatakan bahwasanya wewenang tersebut
diberikan kepada MPR akhirnya dikesampingkan, karena sudah tidak lagi
menjadi lembaga tertinggi pada saat itu. Kemudian gagasan yang menyatakan
bahwasanya kewenangan diberikan kepada Mahkamah Agung, juga akhirnya
tidak dapat diterima. Karena Mahkamah Agung sendiri sudah banyak
terbebani dalam menangani tugas dan kasus-kasus. Dan salah satu
10 Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, … , h. 25. 11 MPR RI, Risalah Rapat ke-1 Badan Pekerja MPR RI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR
RI, 1999), h. 80- 81.
31
kewenangan Mahkamah Agung yang membatasi dirinya yaitu sebagai
lembaga penguji produk hukum dibawah Undang-Undang. Sampai kemudian
disepakati bahwa, Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga
yang representative untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai lembaga yang independen, Mahkamah
Konstitusi juga termasuk kedalam lembaga Kekuasaan Kehakiman.
Pengujian yang dilakukan oleh suatu lembaga khusus, pertama kali
diusulkan oleh Professor Hans Kelsen. Menurutnya, dalam sebuah negara
hukum, penting dengan dipusatkan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
yang dipegang oleh satu badan khusus. Kelsen yang saat itu berperan dalam
pembentukan konstitusi di negara Austria, mencoba memperkenalkan adanya
sebuah lembaga Pengujian Peraturan Perundang-Undangan khusus yang
dinamakan “verfassungsgerichtshof” atau Mahkamah Konstitusi.12 Usulan
idenya diterima, kemudian dirumuskan dalam konstitusi Austria. Walaupun
sebelum adanya ide ini, Austria telah mengenal kewenangan mengadili
sengketa antar warga negara dengan pemerintahan terkait dengan
perlindungan hak politik, bahkan untuk pengadilan negara bagian telah ada
wewenang memutuskan keberatan konstitusional yang diajukan warga negara
atas tindakan negara.13 Namun, kewenangan tersebut ada pada Mahkamah
Agung di negara Austria, sedangkan gagasan Kelsen yakni, pembentukan
lembaga khusus yaitu Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review
kepada produk hukum. Pada saat itu, pemikiran briliannya kemudian menjadi
pembicaraan yang hangat di kalangan ilmuwan Eropa Continental. Jimly
Asshidiqie mengatakan bahwa negara Austrialah yang menjadi negara pelopor
terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Undang-
Undang Dasar 1920 Austria.14 Setelah pendirian Mahkamah Konstitusi di
Austria, barulah bermunculan Mahkamah Konstitusi yang serupa di beberapa
12 Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan MK,
makalah yang dibuat untuk acara “The Three E Lecture Series”, @merica, Pacific Place, Level 3,
(Jakarta, 18 Juni 2012), h.1. 13 Muchamad Ali Safaat, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretriat Jendral
MK RI, 2011), H. 2-3. 14 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional
sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: Prandnya Paramita, 2006), H. 131.
32
negara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2003, Indonesia membentuk
Mahkamah Konstitusi. Menurut Jimly Asshidiqqie, pada tahun tersebut telah
ada 78 negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di
luar struktur dari Mahkamah Agung.15
B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Melaksanakan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia
Moh. Mahfud MD, pada tahun 2009 telah membuka wacana untuk
menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial
review terhadap seluruh Peraturan Perundang-Undangan. Adapun alasan yang
dikemukakan Moh. Mahfud MD, adalah16
Pengujian Undang-Undang terhadap UUD dan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Peraturan
Perundang-Undangan yang derajatnya lebih tinggi semuanya dijadikan
kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar ada
konsentrasi dan konsistensi penafsiran semua Peraturan Perundang-Undangan
dari yang paling tinggi (UUD) sampai yang paling rendah (Perda).
Dari gagasan Mahfud di atas, ada dua hal yang menjadi dasar
pertimbangannya, yaitu konsentrasi dan konsistensi penafsiran semua
peraturan perundang-undangan. Mengacu kepada pendapat Mahfud tersebut,
tidak lain dimaksudkan untuk dapat mengejawantahkan konsepsi negara
hukum Indonesia yang konstitusional demokratis.
Seiring berjalannya waktu, penjabaran mengenai pengujian produk
legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (Judicial Review) akan terus
berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara Madison versus
Marbury hingga pembentukan peradilan khusus konstitusional di Austria
(1920). Pokok-pokok pemikiran John Marshall dan Hans Kelsen telah
memengaruhi “cara” berhukum di banyak negara. Kemudian, Indonesia
sendiri mengimplementasikan konsep tersebut pada perubahan Undang-
15 Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan MK, … ,
hal.1. 16 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali
Pers, 2009), h. 285.
33
Undang Dasar ke tiga. Berbicara mengenai Mahkamah Konstitusi, Mahkamah
Konstitusi sendiri terbentuk pada tanggal 13 Agustus 2003. Dalam kurun
waktu 7 (tujuh) tahun sejak berdirinya, Mahkamah Konstitusi telah menjadi
sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari keadilan
(Justisiabellen).17
Pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi jawaban akhir dari
beberapa kemungkinan lembaga mana yang diberikan kewenangan untuk
melakukan Judicial Review. Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga baru
yang menjadi pelaku kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung yang
sebelumnya telah ada. Perubahan Konstitusi Indonesia yang menempatkan
konstitusi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi atau supremasi konstitusi.
Apabila sebelum perubahan UUD 1945, MPR dikatakan sebagai pemegang
kedaulatan rakyat, maka perubahan UUD ini menggantikan dengan menyebut
konstitusi sebagai norma yang akan memberikan perintah kepada lembaga
yang berwenang. Beberapa literatur menyatakan adanya perubahan dari
supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi.
Hal ini tercermin pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi
“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut
UndangUndang Dasar” Konstitusi yang kemudian akan memberikan aturan
siapa yang akan melakukan kedaulatan tersebut dan termasuk batasan
wewenang lembaga negara dan pemerintah agar tidak melanggar hak-hak
rakyat Indonesia. Konstitusi adalah norma tertinggi yang berlaku sebagai
pedoman atau patokan dari norma-norma hukum lainnya. Konstitusi tidak
dapat dikesampingkan. Norma hukum di bawahnya harus sesuai. Untuk
memastikan kesesuaian antara konstitusi dengan norma hukum di bawahnya,
perlu dibentuk mekanisme yang dapat memastikan bahwa aturan hukum di
bawah konstitusi sesuai dan tidak bertentangan. Mahkamah Konstitusi yang
akhirnya diberikan tugas untuk melakukannya.18
17 Pusat Studi Konstitusi Hakultas Hukum Andalas, “Perkembangan Pengujian
PerundangUndangan di Mahkamah Konstitus”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010,
h. 148. 18 Maria Farida Indrati, Modul Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, ... , h.10.
34
Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai lembaga negara produk reforal.
Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang
menginginkan tejadinya perbaikan dalam bidang penegakan hukum. Sejauh
ini, Mahkamah Konstitusi telah merespons harapan publik tersebut melalui
proses peradilan yang bersih dan putusan yang menjunjung tinggi prinsip
keadilan. Terkait dengan penegakan prinsip keadilan ini, Mahkamah
Konstitusi mengedapankan keadilan substantif, yaitu keadilan yang lebih
didasarkan pada kebenaran materil dari pada kebenran formal.19
Keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut diatur dalam Pasal 24C ayat
(1) dan ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen yang kemudian dipertegas
kembali dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sejak
mulai tahun 2003 itulah Mahkamah Konstitusi telah membuka diri untuk
menerima permohonan dari masyarakat yang merasa hak-hak dan kewenangan
konstitusionalnya dilanggar akibat berlakunya suatu undang-undang. Pada
awalnya fungsi ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, tetapi
seiring dengan perkembangan waktu dan tumbuhnya kesadaran masyarakat,
pada sepanjang tahun 2004 sampai tahun 2010 ini sudah cukup banyak
perkara yang diajukan dan diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.
Sebagian dari perkara yang masuk tersebut sudah ada ketetapan
hukumnya dengan dijatuhkannya putusan oleh Mahkamah Konstitusi.
Kemudian pembentukan Mahkamah Konstitusi menandai era baru dalam
sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Beberapa wilayah yang tadinya
tidak tersentuh (untouchable) oleh hukum, seperti masalah pengujian
peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang, sekarang dapat
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk juga kewenangan-
kewenangan lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen.20
19 Muhammad Junaidi, Hukum Konstitusi Pandangan dan Gagasan Modernisasi Negara
Hukum, (Depok: Rajawali Pers, 2018), h. 183. 20 Bambang Sutiyoso, “Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan
Kehakiman di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, 2010, h. 26.
35
C. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Prancis
Berbicara mengenai sejarah Peraturan Perundang-Undangan di Prancis,
terdapat sebuah sebutan yang berbeda dari negara Indonesia. Yang dimana, di
Indonesia bernama Mahkamah Konstitusi, dan di negara Prancis di sebutan
dengan Dewan Konstitusi. Dalam hal ini, Dewan Konstitusi Prancis sendiri,
didirikan pada tahun 1958 yang bertepatan dengan berlakunya Konstitusi
Republik Kelima. Semula ide pembentukan organ ini memang didesain untuk
melucuti kekuasaan parlemen. Oleh karena itu, organ yang disebut Conseil
Constitutionnel sering pula dikatakan sebagai bentuk paling mutakhir dari
sistem pengujian konstitusional. Akibatnya, model ala Prancis banyak
diadopsi oleh model constitutional review yang terdapat di negara-negara
Eropa. Conseil Constitutionnel adalah tribunal yang digagas secara khusus
untuk menegakkan kaidah-kaidah fundamental seperti tercantum dalam
Pembukaan Konstitusi 1946 dan Deklarasi tentang Hak-Hak Manusia.21
Di dalam sistem konstitusi Prancis, jelas tercantum ketentuan mengenai
‘Cour de’Cassation’ yang terpisah keberadaannya dari ‘Conseil
Constitutonnel’. ‘Cour de’Cassation’ adalah Mahkamah Agung, lembaga
pradilan; sedangkan ‘Conseil Constitutionnel’ bukan pengadilan, melainkan
semi-peradilan. Oleh karena itu sebutannya bukan ‘cour’ (pengadilan), tetapi
‘conseil’ (dewan). Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua lembaga
ini jelas terlihat pula dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di
Mahkamah Agung, seluruh anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi
sebaga hakim, maka dalam susunan keanggotaan ‘Consell Contitutionell’
tidak demikian. Anggotanya dapat berasal dari partai politik atau birokrat dan
sebagainya, meskipun sebagian terbesar di antaranya selalu para ahli hukum.
Memang pada hakikatnya fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga
pengawal konstitusi ini bukanlah fungsi-fungsi peradilan dalam arti yang
lazim. Dalam sistem konstitusi Prancis, lembaga ini lebih bersifat semi-
21 Jimly Asshiddiqie, Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, (PT Sinar
Grafika: Jakarta, 2011), h. 136.
36
peradilan.22 Memperhatikan asal-usul sistem pengujian konstitusional di
Prancis, Kekuasaan Dewan Konstitusi, yang diatur dalam Konstitusi,
ditentukan dan dilengkapi oleh undang-undang organik. Kekuasaan yang
diberikan padanya oleh undang-undang ini dapat dibagi menjadi dua kategori:
1. Ex ante review:
Dewan Konstitusi dipilih secara wajib dengan undang-undang
dasar dan peraturan Dewan Parlemen sebelum diundangkannya DPR dan
sebelum berlakunya DPR. Ini juga dapat dirampas dari komitmen
internasional sebelum ratifikasi atau persetujuannya. Untuk legislasi biasa,
Dewan dapat disita dari sebuah undang-undang sebelum diundangkan.
Dalam dua kasus terakhir ini, Dewan dapat ditangkap dengan cara yang
berbeda tergantung pada tindakan yang sedang ditinjau, baik oleh otoritas
politik (Presiden Republik, Perdana Menteri atau presiden Majelis
Nasional atau Senat), atau oleh setidaknya 60 Anggota Parlemen atau 60
Senator.
Sejak 1999, Dewan Konstitusi juga dapat memeriksa konstitusionalitas
undang-undang wilayah yang bergantung yang diadopsi oleh Kongres
Kaledonia Baru.
2. Ex post review:
Sejak 1 Maret 2010 dan setelah amandemen konstitusi tanggal 23
Juli 2008, Dewan Konstitusi dapat mempertimbangkan apakah ketentuan
legislatif yang sudah berlaku melanggar hak dan kebebasan yang dijamin
di bawah Konstitusi, bertindak atas rujukan oleh Conseil d'État atau
Pengadilan Kasasi. Dalam kasus seperti itu, pengujian konstitusional
dilakukan atas prakarsa pemohon, karena pertanyaan tersebut diajukan
melalui permohonan yang diajukan dalam persidangan di hadapan
pengadilan. Kasus-kasus tersebut melibatkan aplikasi untuk putusan
pendahuluan prioritas tentang masalah konstitusionalitas.
22 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … , h.
56.
37
-Sebagai pengadilan yang bertanggung jawab untuk menggambarkan
yurisdiksi antara undang-undang dan bidang peraturan, Dewan Konstitusi
juga dapat ditangkap di satu sisi selama diskusi di depan Parlemen oleh
presiden DPR yang relevan atau oleh Perdana Menteri, atau di sisi lain
mantan pos oleh Perdana Menteri untuk mengklasifikasi ulang ketentuan
legislatif, yaitu mengubah dengan keputusan suatu ketentuan legislatif
yang isinya bersifat pengaturan.
- Menyusul amandemen tanggal 23 Juli 2008, Dewan Konstitusi dapat
dipanggil untuk memverifikasi apakah persyaratan di mana RUU diajukan
sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang organik
(Undang-Undang Organik no. 2009-403 tanggal 15 April 2009).23
Sebelum berlakunya konstitusi kelima, berlaku konstitusi republik
pertama (1792-1799), kedua (1848-1852), ketiga, (1875-1940), dan
keempat (1946-1958). Jika dilihat dari sudut tatanegara, ketika itu sistem
Prancis secara absolut sangat mengagumkan doktrin kedaulatan parlemen.
Meskipun masing-masing species dari kekuatan legislatif dan konstituen
melebur secara nyata kedalam genus parlemen. Akan tetapi, dalam kurun
waktu tersebut konstitusi hanya dapat diubah oleh kekuatan mayoritas
sederhana yang terdapat di majelis nasional (national assembly). Pada
zaman ini bukan berarti doktrin kedaulatan parlemen itu tidak
dipermasalahkan oleh mereka yang meragukan kesucian organ yang
mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut. Sebab dalam praktik pernah
terdapat aneka langkah minimal untuk membatasi diskresi organ legislatif
dengan tujuan melindungi hak-hak fundamental. Namun, dapat dikatakan
gagasan untuk melindungi hak-hak dasar itu tidak pernah disetujui oleh
parlemen.24
23 http://www.conseil-constitutionnel.fr/conseil-constitutionnel/english/presentation/presentation.25739.html, (Di akses pada 14 April 2021).
24 Alec Stone, The Birth of Judicial in France: The Constitutional Council in Comparative
Perspective, Oxford University Press, New York, 1992, h.27.
38
Fakta sejarah memperlihatkan sistem uji konstitusionalitas yang berlaku
di Prancis saat ini sudah lama diupayakan. Tepatnya sejak Konstitusi
Direcitoire tahun 179525 mulai berlaku. Pada masa itu seorang sarjana Prancis,
Abb Sieyes, mengusulkan pembentukan juri konstitusional (jurie
constitutionnare). Ide pendirian organ khusus konstitusional ini ternyata sudah
dikemukakan oleh Sieyes sejak tahun 1793.26 Menurutnya, keberadaan juri
konstitusional itunantinya dapat mempertahankan konstitusi. Ini hanya dapat
dilaksanakan dengan cara membatalkan produk legislasi parlemen jika dinilai
bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu, Abb Sieyes jauh lebih awal
mengusulkan organ pengawal konstitusi dari pada Hans Kelsen.
Berdasarkan konstitusi 1946, organ pengawal konstitusi disebut
Committee constitutionnel. Komposisi organ tersebut masing-masing terdiri
atas Presiden Republik, Majelis Nasional (National Assembly), dan senat
(Council of Republic). Anggota Komite Konstitusional itu sendiri adalah
politis yang diberi tugas untuk menguji kadar konstitusionalitas produk
legislasi. Masalah yang dihadapi dalam ketentuan yang terdapat dalam
Konstitusi 1946 adalah Komite Konstitusional hanya bertugas menyelesaikan
sengketa kewenangan antar dua kamar di parlemen. Jika mayoritas anggota
senat meyakini bahwa Majelis Nasional menetapkan suatu undang-undang
yang tidak sesuai dengan konstitusi, maka anggota senat dapat mengusulkan
kepada Presiden Republik Prancis agar presiden mengundang Komite
Konstitusional untuk menyelenggarakan sidang. Selanjutnya dikatakan:
If a majority of the upper house believes that the National Assembly has
passed legislation which violetes constitution, it could ask the president of the
Republic to convene the Constitutional Committee. The Committee then is
required to seek a compromise between the two chambers but, if consultations
fail, the committee must rule on the legislation constitutionalit, if consultation
legislation is then judge to be unconstitutional by the committee, it is sent back
25 Harun Al Rasyid dalam disertasinya, Pengisian Jabatan Presiden, yang dikutip oleh
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, dalam bukunya yang berjudul “Peradilan Konstitusi di
10 Negara”, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011), h.140. 26 Alec Stone, The Birth of Judicial Politics in France, The Constitutional Council in
Comparative Perspective, … , h.30.
39
to the National Assembly for a new reading. Finnaly, if the assembly
subsequent adopts the original law a second time, then the constitution must
revise in order to enable its promulgation.27
27 Alec Stone, The Birth of Judicial in France, … , h.29.
40
BAB IV
KONSEPSI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI
NEGARA INDONESIA DENGAN NEGARA PRANCIS
A. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Negara
Indonesia Dengan Negara Prancis
Conseil Constitutionnel dalam konstitusi Prancis, diatur dalam Bab VII
tentang Dewan Konstitusi (Title VII: The Constitutional Council). Bab
tersebut terdiri dari 8 (delapan) Pasal, yakni tetera dalam Pasal 56 sampai
dengan Pasal 63. Dalam konstitusi Prancis1, kewenangan Conseil
Constitutionnel diatur dalam Pasal 61, yang pada intinya menetapkan bahwa,
sebelum suatu undang-undang organik dinyatakan berlaku, terlebih dahulu
harus disampaikan kepada Conseil Constitutionnel. Kemudian, Putusan
Dewan Konstitusi itu sendiri bersifat final dan mengikat terhadap seluruh
kekuasaan publik, kewenangan administratif maupun badan peradilan umum
lainnya (Lihat Pasal 62 Konstitusi Republik Kelima Prancis 1958). “No appeal
shall lie from the decisions of the Constitutional Council. They shall be
binding on public authorities and on all administrative authorities and all
courts”.2
Sejarah ‘institusi’ yang berperan dalam melaksanakan “constitutional
review” di dunia berkembang pesat melalui tahapan dari pengalaman yang
beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian
konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah
Konstitusi, ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga
yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Pengalaman di berbagai negara di
dunia, memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu
negara ke negara yang lain. Dalam hal ini, kehadiran sistem pengujian
1 Conseil Constitutionnel, Constitution of 4 October 1958, (http://www.conseil-
constitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/english/constitution/constitution-of-4-october-
1958.25742.html ), diakses pada 23 Feb 2021. 2 Pasal 62, (http://www.conseil-
constitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/english/constitution/constitution-of-4-october-
1958.25742.html ), diakses pada 23 Feb 2021.
41
konstitusional ataupun mekanisme “Judicial Review” yang terus berkembang
dalam praktik di berbagai negara demokrasi, pada umumnya, disambut dengan
sangat antusias, baik di dunia akademis maupun praktik, bahkan tidak kurang
oleh lingkungan cabang kekuasaan kehakiman itu sendiri. Seperti
dikemukakan oleh Lee Bridges, George Meszaros, dan Maurice Sunkin:
“Judicial Review has been increasingly celebrated, not least by the judiciary
itself, as means by which the citizen can obtain redress against oppressive
government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to prevent and
check the abuse of executive power”.3 Umumnya, pengaturan mengenai
pengujian peraturan perundang-undangan ini, dilaksanakan dengan
menerapkan sistem check and balances, guna untuk mengendalikan dan
mengimbangi antar kekuasaan yang ada pada lembaga pemerintahan supaya
tidak sewenang-wenang dalam melakukan tugasnya.
Perubahan besar terjadi pada era reformasi, yang dimana reformasi ini
merupakan perubahan terhadap suatu sistem dari masa ke masa hingga pada
masa kini. Seperti halnya, pada dinamika perkembangan dalam ketatanegaraan
di Indonesia, mengalami perubahan yang besar. Salah satu perubahannya yaitu
dalam lembaga kekuasaan kehakiman, bahwasanya dalam Pasal 24C Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang kemudian
ditegaskan lebih lanjut pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, telah mendapat hasil dari Amandemen Undang-
Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana telah memberikan
sebuah amanat agar terbentuknya suatu Lembaga Pengawal Konstitusi
bernama Mahkamah Konstitusi. Wewenang untuk menguji sebuah Undang-
Undang terhadap Konstitusi atau Undang-Undang Dasar, sudah jelas
merupakan sebuah wewenang dari penegak konstitusi, yaitu Mahkamah
Konstitusi. Walaupun demikian, tercatat sudah dalam sejarah bahwasanya,
upaya dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan sebagai sejarah
mencatat bahwa upaya pengujian undang-undang sebagai sistem Peradilan
3 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … , h. 1-
2.
42
Konstitusional, bukanlah hal baru karena konsep tersebut sebenarnya sudah
mulai diperkenalkan oleh Moh Yamin, sejak sidang BPUPKI pada saat itu.4
Dalam kultur hukum Anglo Saxon, dapat dikatakan bahwa negara
Amerika Serikat lah yang paling proaktif dalam mengembangkan sebuah
doktrin Judicial Review. Walau tidak dapat disangkal bahwa, negara Inggris
tidak mempunyai latar belakang sejarah ketatanegaraan yang sama dengan
negara Amerika Serikat. Meski demikian, di negara Inggris tidak
mengembangkan doktrin mengenai Judicial Review, sebagaimana di negara
Amerika Serikat mengembangkannya dengan pro-aktif. Bahkan, doktrin
Judicial Review medern yang pesat perkembangannya di negara-negara
penganut Anglo Saxon, merupakan buah kreasi pemikiran bangsa Amerika
Serikat yang dipersembahkan bagi negara penganut Common law system dan
bahkan juga diluar penganut sistem tersebut.5
Masuknya pasal 24C tentang Mahkamah Konstitusi, merupakan salah
satu hasil dari amandemen ke tiga UUD 1945, yang dimana Mahkamah
Konstitusi pada saat itu merupakan lembaga baru. Kemudian Mahkamah
Konstitusi langsung diamanahi dalam beberapa wewenang dan kewajiban
penting untuk mengawal konstitusi, yaitu menguji Undang-Undang terhadap
Undang-Undang Dasar, kemudian memutus pembubaran partai politik dan
juga memutus perselisihan hasil dalam Pemilihan Umum (Pemilu).6
Seiring dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi sudah
menerima beberapa kali pelimpahan wewenang dari lembaga kekuasaan
kehakiman lainnya, yaitu Mahkamah Agung. Terbukti, bahwasanya
Mahkamah Agung pernah memberikan wewenang terkait pengujian tentang
sengketa pemilu dan pemilukada kepada Mahkamah Konstitusi. Seperti yang
kita ketahui bersama, hanya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi
yang mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian terhadap peraturan
4 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,
(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 581. 5 Nurul Qamar, “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi,
Vol. I, No. 1, November 2012, h. 5.
43
perundang-undangan. Walaupun wewenang tersebut dibedakan dan
dilaksanakan sesuai dengan tupoksinya masing-masing, yaitu Mahkamah
Agung berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah
undang-undang terhadap undang-undang, dan Mahkamah Konstitusi
berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.
Selama pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, banyak sekali
Undang-Undang yang dipersoalkan karena bertentangan dengan UUD yang
lebih mencerminkan kehendak politik sepihak pemerintah yang intervensionis,
tetapi tidak ada lembaga yang dapat mengujinya. Dengan demikian, maksud
pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang paling pokok adalah
menjaga agar tidak ada UU yang bertentangn dengan UUD dan kalu itu ada,
maka Mahkamah Konstitusi dapat membatalkannya.7 Itulah sebabnya, sering
dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal konstitusi dan
penafsir tunggal (yang mengikat) atas konstitusi.
Menurut Abdul Latif, (Hakim Tipikor Mahkamah Agung), dalam
diskusinya dalam ruangan Dekan yang berada di Fakultas Hukum UMI pada
Jum’at, 15 April 2011, dalam acara kuliah umum Hukum Acara Mahkamah
Konstitusi dan Ilmu Perundang-Undangan, beliau mengatakan bahwasanya,
Mahkamah Konstitusi sebetulnya tidak hanya memiliki kewenangan semata
dalam Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, akan
tetapi Mahkamah Konstitusi juga bisa melakukan Pengujian terhadap Produk
Legislasi dalam Pemerintah Daerah berupa Peraturan Daerah (PERDA)
terhadap Undang-Undang Dasar. Dasar Konstitusional dalam hal ini
ditentukan pada Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, dan sebagai Ration de
Troinya atau Ratio Legis nya yakni dengan adanya substansi hukum PERDA
yang sumber lahir kewenangan pengaturan ini dari konstitusi.8 Hal ini sesuai
dengan teori kekuasaan kehakiman, yang dimana teori ini merupakan
kekuasaan negara yang merdeka, dimaksudkan bahwasanya kekuasaan
kehakiman, disamping kekuasaan pemerintahan dan juga kekuasaan
7 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 98-99. 8 Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, … , h. 3-4.
44
perundang-undangan yang mempunyai kekuasaan yang bebas. Maka di dalam
teori ini juga, Mahkamah Konstitusi bukan hanya bisa menguji Undang
Undang terhadap Undang-Undang Dasar, tetapi juga bisa menguji produk
legislasi pemerintah daerah (PERDA) terhadap UU.
Dan menurut Munir Fuady9 dalam buku yang ditulisnya, ada beberpa
pokok pemikiran mengenai diterimanya sebuah doktrin Judicial Review secara
mendunia, yakni:
1. Prinsip-prinsip hukum, seharusnyaa berlaku umum di dunia.
2. Prinsip-prinsip hukum yang berlaku disuatu negara, seas as, dan selaras
satu sama lain.
3. Pengakuan kepada hukum yang suci sebagai perintah dewa-dewi (Tuhan).
4. Pengakuan kepada hukum sebagai titah Tuhan.
5. Pengakuan terhadap hukum alam dalam arti klasik.
6. Pengakuan terhadap hukum alam berdasarkan kepada rasio manusia.
7. Pengakuan terhadap due proces of law.
8. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.
Peneliti berpendapat bahwasanya perkembangan pengujian peraturan
perundang-undangan yang sudah diatur dalam peraturan di negara Indonesia
dan Prancis, harus diterapkan dengan baik. Walaupun di setiap negara tidak
luput dari pelanggaran, tetapi hukum harus tetap diterapkan demi terciptanya
sebuah keadilan. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang
menyatakan bahwasanya, konstitusi Indonesia berdasarkan atas hukum. Dan
letak supremasi hukum negara Indonesia adalah konstitusi.
Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa, setelah usai perang dunia II,
pandangan tentang Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review, telah
menyebar luas keseluruh benua yang ada di Eropa dengan mendirikan
Mahkamah Konstitusi secara terpisah oleh Mahkamah Agung. Namun dalam
hal ini, negara Prancis mengadopsi sistem ini secara berbeda dengan jalan
membentuk Constitutional Counsil (Counsil Constitutionel), termasuk negara-
9 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: Aditama, 2009), h. 84.
45
negara bekas jajahannya.10 Dalam hal ini, Constitutional Counsil juga
mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian. Meskipun sifatnya
terbatas hanya melakukan control a priore, yang memiliki arti bahwasanya
pengujian diuji oleh Dewan Konstitusi Prancis itu sebelum suatu UU
diundangkan secara resmi atau bisa dikatakan dengan semi peradilan.
Kemudian setelah Rancangan Undang Undang tersebut diundangkan menjadi
Undang Undang, baru tidak bisa lagi diuji oleh Constitutional Council.
Terlampir dalam suatu perkembangan dalam penerapan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan di beberapa negara, termuat 5 (Lima) model
yang tercuat, sebagaimana telah di gagaskan oleh Jimly Asshiddieqie, yakni:
1. Model dari suatu Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yang
diberikan pada lembaga tersendiri yaitu, (Mahkamah Konstitusi). Undang-
undang Dasar di negara Austria tahun 1920 yang disusun oleh Han
Kelsen, secara tegas memberikan kewenangan Judicial Review, kepada
satu badan peradilan.
2. Model kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, menyatu
jadi kewenangan Mahkamah Agung, dan juga badan peradilan yang
berada dibawahnya. Sistem ini sering disebut dengan, ‘American System
Control’ karena sistem ini merupakan pertama kalinya diterapkan di
Amerika Serikat.
3. Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, tidak diberikan pada
sebuah institusi peradilan (court), tapi diserahkan kepada sebuah Dewan
Konstitusi (The Constitutional Council). Salah satu negara yang
menggunakan model ini yakni negara Prancis. Dalam pengalaman
ketatanegaraan di negara Prancis, Dewan Konstitusi bukanlah lembaga
pertama yang diberikan kewenangan untuk melakukan judicial review,
karena jauh sebelumnya pada tahun 1799, telah dikenal lembaga yang
bernama ‘Senat Conservateur’ dan pada tahun 1946 dibentuk Komite
Konstitusi.
10 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, … , h.3.
46
4. Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, diserahkan kepada
parlemen. Model seperti ini, biasanya dianut oleh negara-negara yang
menganut ‘supremacy parlement’ dan Indonesia (sebelum amandemen
UUD) merupakan salah satu penganut sistem supremasi parlemen, dengan
adanya lembaga tertinggi negara MPR pada masa itu.
5. Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, diserahkan kepada
sebuah lembaga arbitrase (constitutional arbitrage). Salah satu yang
menganut sistem ini yakni negara Belgia.
Dari beberapa model pengujian peraturan perundang-undangan yang
tertera diatas, Bisa kita lihat bersama bahwasanya terdapat perbedaan
penerapan pengujian peraturan perundang-undangan oleh negara-negara
tersebut. Di Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut model
pertama, yaitu telah terbentuknya sebuah lembaga peradilan konstitusi yang
dimana lembaga tersebut terlepas dari pengaruh lembaga peradilan lainnya.
Perkembangan yang terjadi di negara Prancis, tentu berbeda dengan
negara Indonesia dan negara-negara lainnya. Dalam perkembangannya Dewan
Konstitusi dipandang tidak hanya sekedar melaksanakan kewenangan
tradisionalnya, yakni mengawasi aktivitas Parlemen. Pada saat itu, Dewan
Konstitusi Prancis ikut terlibat dalam menentukan arah kebijaksanaan negara.
Hal ini disebabkan setiap rancangan undang-undang yang akan diundangkan
harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari organ tersebut. Dewan
Konstitusi itu sendiri adalah organ yang merdeka dari pengaruh kekuasaan
Parlemen dan putusannya bersifat final serta mengikat organ-organ lain.11
Mulanya, Prancis termasuk bersama-sama dengan Inggris dan Belanda
dikenal sebagai penentang keras gagasan yang memberikan kewenangan
kepada hakim atau pengadilan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas
atas Undang-Undang. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ide dari
pengujian konstitusionalitas itu sendiri diterima, tetapi sebagai alternatifnya,
sistem pengujian itu tidak dilakukan oleh lembaga non-peradilan. Oleh
karenanya, yang dirumuskan dalam konstitusi Prancis bukan ‘cour’
11 Jimly Asshiddiqie, Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, … , h. 137.
47
(pengadilan), melainkan ‘consell’ (dewan), sehingga dibentuk lembaga
‘conseil constitutionnel’, bukan ‘cour constitutionnel’.12
B. Komparasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Antara Negara
Indonesia Dengan Negara Prancis
Negara Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis. Dalam hal
ini, suatu Undang-Undang terbilang sebagai sumber penting bagi kehidupan
dalam bernegara, dikarenakan Undang-Undang merupakan sebuah
perwujudan dari aspirasi rakyat yang diformalkan. Kemudian berdasarkan
Undang-Undang, pemerintah mendapatkan wewenang utama untuk
melakukan suatu perbuatan hukum. Faktor yang tercantum di dalam
Konstitusionalitas Pembentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan salah
satunya yakni, terpacu pada Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.13 Pada
perubahan ketiga amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, yang kemudian Mahkamah Konstitusi terbentuk pada
13 Agustus 2003. Mencetuskan bahwasanya Mahkamah Agung bukan lagi
menjadi pelaku tunggal Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman
diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada
dibawahnya dan juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.14
Terdapat suatu perbedaan yakni bahwasanya di negara Indonesia,
menerapkan dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang
dilakukan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tertera jelas
berbeda dengan negara Prancis, metode yang digunakan dalam melakukan
Pengujian Konstitusional, yakni dilaksanakan sebelum Undang-Undang resmi
menjadi Legislative Act yang mengikat secara umum, bentuknya masih
menjadi Rancangan Undang-Undang, dan di Indonesia berbentuk Undang-
12 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … ,
h.55. 13 I Dewa Gede Atmadja, dkk. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, (Malang:
Setara Press, 2015), h. 176.
14 Antoni Putra, “Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 15, No. 2, (Jakarta, 2018), h. 70.
48
Undang. Dalam hal ini, peneliti sangat tertarik untuk membahas lebih dalam
mengenai beragam jenis Pengujian Konstitusional di berbagai negara,
terkhusnya di negara Indonesia dan negara Prancis (Constitutional Council).
Dalam hal ini, dapat mengkomparasikannya dengan baik antara kedua negara
tersebut, yaitu Indonesia dengan Prancis, dan tak lepas juga dari menganalisa
permasalahan dari kualitas dan substansi dari Peraturan Perundang-Undangan
yang sudah ada di Indonesia.
Berbicara mengenai komparasi Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, salah satu hal unik dari pengujian di Indonesia yaitu terdapat dua
lembaga pengujian, yang dimana dalam hal ini terdapat pemikiran tentang
pemberlakuan satu atap pengajuan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.
Seperti menurut Prof Jimly Asshidiqie, pembagian tugas pada Judicial Review
atas Peraturan Perundang-Undang antara Mahkamah Konstitusi dan
Mahkamah Agung bukan suatu yang ideal, karena dapat menimbulkan
perdebatan atas putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jimly Asshiddqie berpandangan idealnya
kewenangan menguji Peraturan Perundang-Undangan dibebankan kepada
Mahkamah Konstitusi sebagai penyatuatapan Pengujian Undang-Undang
(including of law and justice), meskipun gagasan itu disadari olehnya bahwa
tidak mudah direalisasikan karena perbedaan pengertian, konsep didasarkan
kepada prinsip demokrasi yang terus dikembangkan.15 Namun bertolak dari
prinsip bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan the guardian of the
constitution dan Mahkamah Agung sebagai the guardian of the Indonesian
law, hal ini adalah upaya untuk menegaskan bahwasanya, Mahkamah
Konstitusi merupakan court of law, dan Mahkamah Agung adalah court of
justice. Karena Judicial Review termasuk ke dalam ranah court of law bukan
court of justice. Terbilang bahwasanya Mahkamah Konstitusi merupakan
court of law, yaitu mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri,
sedangkan Mahkamah Agung adalah cour of justice yaitu mengadili
15 Muhammad Ishar Helmi, “Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Sosial dan Budaya, 2019, Vol. 6, No. 1, Syar-I FSH UIN Jakarta,
h.105.
49
ketidakadilan untuk mewujudkan sebuah keadilan.16 Peneliti menegaskan
bahwasanya, terbilang sebelumnya Mahkamah Agung merupakan sebuah
Institusi yang sangat sibuk dengan berbagai macam perkara, akan menjadi
ringan apabila dilimpahkan kewenangan tersebut kepada Mahkamah
Konstitusi. Seperti yang diketahui, Mahkamah Agung dengan jumlah Sumber
Daya Manusia yang terbatas, harus menangani puluhan ribu kasus tiap
tahunnya.
Demi terealisasikannya upaya dalam Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan satu atap melalui Mahkamah Konstitusi di Indonesia, maka
mekanisme dasar yang perlu dilakukan agar pengalihan wewenang pengujian
peraturan perundangan di bawah Undang-Undang menjadi wewenang
Mahkamah Konstitusi adalah dengan melakukan perubahan pasal 24A UUD
NRI Tahun 1945 yang mengatur tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal 24A
tersebut dinyatakan, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat
kasasi, menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang
terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan
oleh Undang-Undang. Jika mekanisme amandemen kelima terhadap UUD
NRI Tahun 1945 dirasa cukup sulit untuk dilakukan, maka pemerintah bisa
membuat sebuah Undang-Undang yang menyatakan bahwa penanganan
Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang
dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Agar skenario tersebut berjalan lancar,
dibutuhkan kesepakatan antar para pihak, yaitu antara Mahkamah Konstitusi,
Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.17 Pemaparan tersebut melambangkan
bahwa terdapat perbedaan lembaga pengujian antara negara Indonesia dengan
negara Prancis. Tetapi, tetap di Indonesia belum menerapkan sistem pengujian
satu atap. Di Prancis, pengujian tetap dilaksanakan oleh Counseil
Constitutionnel yang bersifat kuasi-yudisial. Persamaan dalam pengujian ini
ialah terdapat pada sifat putusan yang Final dan Mengikat
16 Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU,
http://www.antaranews.com/print, diakses tanggal 25 Desember 2020. 17 Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU, … ,
diakses tanggal 25 Desember 2020.
50
Mekanisme pengujian peraturan perundangan-undangan di setiap
negara, memiliki kekhasan masing-masing seperti di negara Indonesia dan
Prancis. Setelah kita ketahui bersama mengenai pelaksanaan dalam Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan
Mahkamah Konstitusi, dan juga pengujian yang dilakukan oleh Dewan
Konstitusi (Counseil Constitutionnel), berikut adalah komparasi pengujian
konstitusional antara negara Indonesia dengan negara Prancis18:
No. Indikator Indonesia Prancis
1. Dasar Hukum Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 (UUD 1945)
Pasal 24 ayat (2), 24C ayat
(1), UndangUndang Nomor 8
tahun 2011 tentang
Mahkamah Konstitusi Jo.
UndangUndang Nomor 24
tahun 2003 tentang
Mahkamah Konstitusi, dan
Peraturan Mahkamah
Konstitusi
(PMK)No.06/PMK/2005
tentang Pedoman Beracara
Perkara Pengujian Undang-
Undang.
Undang-Undang Nomor 3
tahun 2009 tentang
Perubahan Kedua Atas
Undang-Undang Nomor 14
tahun 1985 tentang
Constitution of 4 October,
1958 (Constitution du 4
octobre 1958 en vigueur/ la
Constitution de la 5e
Republique), yang mengatur
tentang Dewan Konstitusi
(Constitutional Council)
terdapat dalam Title
VII/BAB VII.
18 Desy Wulandary, “EX ANTE REVIEW dalam Mewujudkan Konstitusionalitas Peraturan
Perundang-Undangan di Indonesia”, … , h. 40-41.
51
Mahkamah Agung.
2. Lembaga
yang
melakukan
pengujian
Mahkamah Agung (Supreme
Court) dan
Mahkamah Konstitusi
(Constitutional Court).
Dewan Konstitusi (Counseil
Constitutionnel).
3. Kedudukan
Lembaga
Yakni, Lembaga Kekuasaan
Kehakiman Negara yang
telah melakukan kekuasaan
(fungsi) yudisial.
Yakni, suatu Lembaga
Kuasi-Yudisial yang
Menjalankan kekuasaan
(fungsi) yudisial (diluar dari
lembaga yudikatif).
4. Objek
Pengujian
(Objectum
litis)
Undang-Undang yang sudah
disahkan kemudian
diundangkan (posteriori
review/ ex parte review).
Suatu Rancangan Undang-
Undang yang sudah
diterima atau disetujui oleh
parlemen, namun belum
diundangkan (beforetheir
promulgation). Pengujian
ini sering disebut apriori
abstract review/ ex ante
review dan ex post review19,
suatu pengujian terhadap
Undang-Undang, yang
dimana kewenangan
tersebut baru diaplikasikan
tahun 2010,
Merupakan pengadilan yang
bertanggung jawab untuk
menggambarkan yurisdiksi
antara Undang-Undang dan
bidang peraturan, Dewan
19 https://www.conseil-constitutionnel.fr/en/general-overview, Di Akses Pada 14 April 2021.
52
Konstitusi juga dapat
ditangkap di satu sisi selama
diskusi di depan Parlemen
oleh presiden DPR yang
relevan atau oleh Perdana
Menteri, atau di sisi lain
mantan pos oleh
Perdana Menteri untuk
mengklasifikasi ulang
ketentuan legislatif, yaitu
mengubah dengan
keputusan suatu ketentuan
legislatif yang isinya
bersifat pengaturan, dan
juga Dewan Konstitusi
mengatur
pembagian kekuasaan antara
Negara dan teritori negara
tetangga.
5. Legal
Standing,
Yakni dapat
mengajukan
permohonan
pengujian
Merupakan Perorangan warga
Negara Indonesia, kesatuan
masyarakat hukum adat,
badan hukum publik atau
privat, dan lembaga negara
Yakni, Presiden Republik,
Presiden Senat, Presiden
Majelis Nasional, Perdana
Menteri Prancis, 60 anggota
Majelis Nasional, atau 60
Senator.20
6. Jangka Waktu
Pelaksanaan
Pengujian
Peraturan
Baik Undang-Undang,
Mahkamah Agung,
Mahkamah Konstitusi,
maupun PMK (Peraturan
Setelah permohonan
diajukan kepada Dewan
Konstitusi, harus dapat
melahirkan putusan dalam
20 https://www.conseil-constitutionnel.fr/en/general-overview, Di Akses pada 14 April 2021.
53
Perundang-
Undangan
Mahkamah Konstitusi) tidak
mengatur secara jelas berapa
lama proses uji materiil
Undang-Undang
hingga adanya putusan
Mahkamah Konstitusi. Dapat
dimaknai bahwa jangka
waktu penyelesaiannya non
limitative (tidak terbatas).
jangka waktu 1 (satu) bulan,
namun apabila atas
permintaan pemerintah
dengan alasan yang sangat
mendesak, batas waktu
dapat dipercepat menjadi 8
(delapan) hari.
7. Prosedur
Pengambilan
Putusan
Pengambilan putusan
dilakukan dengan
melaksanakan Rapat
Permusyawaratan pada
Hakim (RPH). Putusan
diambil secara musyawarah
untuk mufakat, apabila tidak
mencapai mufakat maka rapat
ditunda sampai rapat
permusyawaratan berikutnya.
Akan tetapi apabila setelah
diusahakan sungguh-
sungguh, tetap tidak
menghasilkan kesepakatan
bulat, maka dari itu putusan
diambil dari suara terbanyak
(voting).
Putusan tersebut diambil
secara mufakat bulat, dan
tidak mengenal adanya
dissenting opinion, (karena
tidak dibenarkan menurut
Undang-Undang). Apabila
hasil dari voting ialah seri,
maka suara presiden
selanjutnya akan
menentukan. Ketua /
Presiden Dewan Konstitusi
ditunjuk sebagai
memegang suara kunci yang
menentukan apabila
keputusan diambil melalui
pemungutan suara dan
berakhir dengan seri (the
deciding vote in case of a
tie).
8. Sifat putusan Mahkamah Agung bersifat
Final, namun dapat dilakukan
Final dan Mengikat, serta
tidak ada upaya hukum lain
54
upaya hukum luar biasa
berupa peninjauan kembali
putusan pengadilan yang
telah memperoleh kekuatan
hukum tetap dan grasi.
Mahkmah Konstitusi, bersifat
Final dan mengikat (final and
binding).
untuk mengubahnya.
9. Implikasi
Putusan
Tidak terdapat upaya hukum
setelah putusan dikeluarkan
oleh Mahkamah Konstitusi,
Undang-Undang yang
dinyatakan inkonstitusional
oleh Mahkamah Konstitusi
juga harus melakukan suatu
perubahan atau dihapuskan
Pasal yang bersangkutan dari
Undang-Undang tersebut.
Rancangan Undang-Undang
yang terbilang
inkonstitusional oleh Dewan
Konstitusi, tidak dapat
diberlakukan maupun
diimplementasikan. Putusan
tersebut memiliki kekuatan
hukum mengikat terhadap
seluruh kewenangan
administrative dan organ
peradilan umum.
Seperti yang sudah kita telaah bersama, bahwasanya di Indonesia
terdapat dualisme adanya Pengujian Peraturan Perundang-Undangan atau yang
bisa kita sebut dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun,
kelemahan ketika norma hukum yang diberikan oleh putusan pengadilan
bertolak belakang. Persoalan akan timbul apabila Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang tengah berlangsung di
Mahkamah Agung, sementara Undang-Undang yang menjadi batu uji juga
tengah diuji di Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan bertentangan dengan
UUD NRI Tahun 1945, maka menjadi tidak relevan permohonan Judicial
Review di Mahkamah Agung tersebut tetap dilaksanakan, sebab Undang-
55
Undang yang dijadikan batu uji sudah dinyatakan tidak dapat lagi berlaku.21
Kemudian, berbeda halnya dengan negara Prancis. Sistem Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan yang dilaksanakan di Prancis, terjadi sebelum Undang-
Undang yang bersangkutan resmi menjadi Legislative Act, dan masih
berbentuk Rancangan Undang-Undang. Dewan Konstitusi memiliki tanggung
jawab penuh dalam menguji tingkat keselarasan produk hukum dengan
konstitusi itu sendiri. Hal ini meliputi Undang-Undang secara umum dan
peraturan tata tertib permanen National Assembly dan Senate. Putusan dewan
konstitusi itu sendiri bersifat final mengikat terhadap seluruh kekuasaan
publik, kewenangan administrative, maupun badan peradilan lainnya.
Peneliti telah menemukan temuan perbandingan, antara negara Indonesia
dengan negara Prancis dalam konsep Pengujian Peraturan Perundang-
Undangan, yaitu tertera dalam posisi subjek penguji, dan objek penguji, yang
dimana negara kita sendiri negara Indonesia, subjek penguji dikuasi oleh
sebuah Mahkamah yang biasa kita sebut Mahkamah Agung, yang merupakan
lembaga dari kekuasaan kehakiman dan termasuk kedalam lembaga yudisial di
Indonesia, bukan hanya Mahkamah Konstitusi saja tetapi Mahkamah Agung
juga termasuk didalamnya dan mempunya posisi yang sama derajatnya oleh
Mahkamah Konstitusi. Maka, kedudukan sedemikian menjadi konsekuensi
pada Indonesia, karena menganut sistem separation of powers (pemisahan
kekuasaan). Di Prancis, hanya Dewan Konstitusi yang dapat melaksanakan
pengujian. Peneliti juga menemukan persamaan dalam Pengujian Peraturan
Perundangan-Undangan antara negara Indonesia dengan negara Prancis, yaitu
mengenai kewenangan, kewenangan Conseil Constitutionnel dengan
Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sama-sama untuk menyatakan
suatu Undang-Undang bertentangan dengan konstitusi.
Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara
21 Taufiqurrahman Syahuri, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian
Peraturan PerundangUndangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan
HAM RI, (Jakarta, 2014), h. 39.
56
Perkara Pengujian Undang-Undang, telah mengatur mengenai proses
pengajuan permohonan Pengujian Undang-Undang, sebagimana berikut:22
1. Pengajuan terhadap permohonan (identitas, posita dan petitum)
2. Pemeriksaan kelengkapan permohonan
3. Pencatatan permohonan di BRPK
4. Pembentukan panel hakim, penjadwalan sidang
5. Sidang pemeriksaan pendahuluan
6. Sidang pemeriksaan pokok-pokok perkara dan bukti-bukti
7. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)
8. putusan.
Adapun subjek dalam pengujian di negara Prancis dipegang oleh Dewan
Konstitusi (Conseil Constitutionnel) yang dimana dewan tersebut menduduki
sebagai lembaga kuasi yudisial. Mengenai sejarah terbentuknya Dewan
tersebut, sudah peneliti jabarkan di bab sebelumnya, dan akan dipertegas lagi
didalam bab ini, yang mana Conseil Constitutionnel didirikan pada tahun
1958, setelah disahkannya republic Prancis pada waktu itu. Kemudian, ada
tiga alasan utama mengapa Dewan Konstitusi tersebut lebih tepat disebut
sebagai lembaga politis (kuasi yudisial), yaitu23 (1) Pengaturan mengenai
Dewan Konstitusi secara konstitusional berdasarkan Konstitusi Prancis
diletakkan dalam bab tersendiri diluar bab yang mengatur tentang Kekuasaan
Kehakiman, yaitu diletakkan ada Bab VII. Sedangkan perihal kekuasaan
kehakiman diatur secara tersendiri dalam Bab VIII, (2) anggota Dewan
Konstitusi bukanlah hakim dan tidak pula dipersyaratkan harus berpendidikan
hukum. Sebagaimana dapat dilihat dalam Konstitusi Prancis dan Undang-
Undang yang mengatur tentang Dewan Konstitusi Prancis tidak ada satupun
penyebutan yang menunjukkan bahwa anggota Dewan Konstitusi adalah
hakim. Demikian juga untuk menjadi anggota Dewan Konstitusi, tidak
22 https://www.mkri.id/public/content/pmk/PMK_PMK6.pdf, (Di akses pada 30 Desember
2020, pukul 21:30 WIB) 23 Arif ainul Yaqin, Pengujian Konstitusional (constitutional review) di Prancis, artikel
hukum, dalam,http://equityjusticia.blogspott.co.id/2015/02/normal-o-false-false-in-x-none-x.html,
(Diakses pada 30 Desember 2020, pukul 23:20 WIB)
57
dipersyaratkan keharusan berpendidikan hukum sebagaimana hal tersebut
telah menjadi keharusan untuk seseorang dapat menjadi hakim di mana pun,
dan (3) Dewan Konstitusi memang tidak dimaksudkan untuk menjadi suatu
lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman. mengapa demikian karena pada
sejarah awal dibentuknya Dewan Konstitusi, justru merupakan hasil dari
kompromi antara dua pancaran pemikiran yang saling berbenturan, kemudian
prinsip supremasi parlemen, merupakan cermin kedaulatan rakyat serta
ketidakpercayaan pada lembaga peradilan, di satu sisi dengan kebutuhan akan
penegakan hukum dasar yang tertuang dalam konstitusi dan prinsip check and
balances terhadap parlement yang sangat berkuasa di sisi lain. Maka dari itu,
objek pengujiannya berupa Rancangan Undang-Undang.
Tatanan yang terdapat dalam Pengujian Konstitusionalitas di negara
Prancis, dapat dibedakan yakni Rancangan Undang-Undang yang bersifat non
organic (non organic law) atau organic (organic law). Jika dijabarkan satu
persatu, yang merupakan Rancangan Undang-Undang Organik ialah suatu
Rancangan Undang-Undang yang telah dibentuk atas perintah langsung dari
Konstitusi, sedangkan Rancangan Undang-Undang biasa, ialah suatu
Rancangan Undang-Undang yang dibentuk tanpa adanya perintah langsung
dari konstitusi (selain dari Undang-Undang organik). Kemudian dari pada itu,
Dewan Konstitusi juga diberikan tanggung jawab untuk melakukan
pemeriksaan dan verifikasi atas konstitusionalitas atau peraturan dibawah
konstitusi, diantaranya ialah:24
1. Undang-Undang (organic laws), yang umumnya menyangkut legislasi,
yang membentuk, memperbarui kedudukan, atau memfungsikan institusi
atau badanbadan public
2. Peraturan Tata Tertib Majelis Nasional, Senat
3. Perjanjian internasional (international treaties)
4. Undang-Undang biasa (ordinary legislation) yang bukan termasuk
kategori Undang-Undang (organic laws).
24 Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, … , h.
136.
58
Merujuk kepada konstitusionalitas, dewan bukanlah satu-satunya organ
penjamin konstitusi. Karena jika dicermati secara teliti dictum Pasal 5
Konstitusi Republik Kelima (1958). Presiden Republik Prancis juga diberi
tugas untuk menegakkan dan menghormati konstitusi. Bunyi pasal 5, “The
President of the Republic shall ensure the respect of the Constitution”.25
Dalam hal ini berarti, Presiden memiliki upaya sendiri dalam menjalankan
konstitusi tanpa perlu dari dewan konstitusi itu sendiri.
25http://www.conseilconstitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/english/constitution/constituti
on-of-4-october-1958.25742.html, Di akses pada 23 Maret 2021.
59
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dianalisis diatas, untuk mengakhiri
pembahasan tersebut, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:
1. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di indonesia,
menjadi sesuatu yang urgent dalam kehidupan bernegara. Terutama bagi
negara hukum (rechtstaate) yang demokratis. Sejatinya, kewenangan
Mahkamah Konstitusi bersifat mutlak untuk melaksanakan Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) terhadap Undang-
Undang yang dimana didalamnya terdapat peraturan yang mengatur
mengenai pelanggaran hak-hak konstitusional masyarakat yang tertera
dalam pasal 24C UUD 1945. Hak-hak konstitusional yang dimaksud ialah
hak-hak yang ditegaskan oleh konstitusi. Dalam kewenangan Mahkamah
Konstitusi pula dalam menguji Undang-Undang yang bertentangan dengan
Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan suatu proses didalam
menegakkan Negara Hukum dan demokrasi, sehingga untuk menciptakan
hal yang demikian, setiap putusan yang di tetapkan oleh Mahkamah
Konstitusi harus dilaksanakan dan di realisasikan dengan sebaik-baiknya.
2. Perbandingan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia,
menjadi dasar dari komparasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
dengan negara Prancis, yang dimana dinegara Prancis hanya dilaksanakan
dengan satu lembaga saja, yaitu Dewan Konstitusi. Kemudian dalam hal
pengujian kepada dua lemabaga di Indonesia, mengakibatkan berbagai
macam persoalan, persoalan yang terpancar yaitu mengenai kepastian
hukum, marwah dari kelembagaan tersebut, dan kekosongan hukum.
Kemudian, makna dari Pengujian Peraturan Perundang-Undangan itu
sendiri menurut ajaran trias politica adalah untuk memberikan
perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam konteks proses
berdemokrasi dan menegakkan negara hukum yang demokratis atau negara
demokrasi yang berbasis konstitusi. Dalam hal ini, Pengujian Peraturan
60
Perundang-Undangan baik yang dilakukan oleh lembaga eksekutif,
yudikatif, maupun legislatif baik secara internal maupun eksternal
merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Peraturan Perundang-
Undangan, sangatlah ideal jika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
yang dilakukan lembaga yudikatif menggunakan sistem satu atap yaitu
semua jenis Peraturan Perundang-Undangan dan segala tingkatannya diuji
di Mahkamah Konstitusi. Dengan hanya Mahkamah Konstitusi yang
berwenang menguji semua jenis dan tingkatan Peraturan Perundang-
Undangan maka pengujian tersebut dapat dilakukan secara efisien dan
efektif serta menghindari terjadinya conflict of interest dan conflict of
interpretation dengan Mahkamah Agung.
B. Rekomendasi
Berdasar pada permasalahan yang telah penulis paparkan di atas, maka
penulis mencoba memberikan beberapa rekomendasi berupa:
1. Negara Indonesia adalah negara hukum, dengan demikian letak supremasi
hukum terletak pada konstitusi. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi
memiliki wewenang penting sebagai pengawal konstitusi untuk
menjalankan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dengan baik,
konsisten dalam menjalankan tugas dan kewajiban serta memutus perkara
dengan seadil-adilnya, demi mewujudkan keadilan dalam kemasyarakatan,
dalam berbangsa dan bernegara serta tercapainya kemakmuran dan
kesajahteraan. Diperlukan pengaturan lebih jelas dan lebih baik melalui
amandemen ulang maupun peraturan yang sifatnya mengatur aturan
mengenai Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar
1945. Karena melihat pentingnya lembaga Mahkamah Konstitusi dalam
menguji Undang-Undang. Juga dalam pengujian peraturan lain yang
diawah Undang-Undang, seperti peraturan daerah, maka Pengujian
Peraturan Perundang-Undangan berada pada satu lembaga saja dan
kewenanagan di limpahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Seperti di negara
Prancis, pengujian konstitusionalnya terfokus kepada Dewan Konstitusi.
61
2. Dewan Konstitusi dapat meninjau Undang-Undang hanya dalam dua
keadaan. Pertama, Dewan Konstitusi secara otomatis meninjau RUU untuk
Undang-Undang organik sebelum dapat ditandatangani menjadi Undang-
Undang. Ini adalah Undang-Undang yang berkaitan dengan organisasi dan
fungsi pemerintah. Mereka melengkapi Konstitusi dan terletak di antara
Konstitusi dan hukum biasa dalam hierarki norma Prancis. Kedua, Dewan
Konstitusi dapat meninjau Undang-Undang untuk Undang-Undang biasa
sebelum ditandatangani menjadi Undang-Undang, tetapi hanya jika diminta
oleh Presiden Republik, Perdana Menteri, Presiden Majelis Nasional, atau
Presiden Senat. Dalam dua keadaan tersebut, Dewan Konstitusi tidak dapat
membatalkan Undang-Undang setelah ditandatangani dan diundangkan.
Artinya, hingga reformasi konstitusi pada 23 Juli 2008, yang
memperkenalkan “masalah prioritas konstitusionalitas” (QPC). QPC
sendiri merupkan prosedur di mana pihak dalam gugatan dapat menantang
hukum karena melanggar hak atau kebebasan yang dijamin oleh Konstitusi.
Cara kerjanya adalah, ketika ada pihak yang berargumen bahwa suatu
Undang-Undang melanggar hak atau kebebasan yang dijamin oleh
konstitusi, maka pengadilan harus segera memutuskan apakah pertanyaan
tersebut harus diterima. Sejatinya, dalam suatu pengujian RUU seperti yg
dilakukan di negara Prancis, bisa menjadi lesson learnt bagi negara
Indonesia.
62
DAFTAR PUSTAKA
BUKU
Asshiddiqie, Jimly. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai
Negara. Jakarta: Konstitusi Press.
_____ . 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta:
Konpres.
_____ _. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca
Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.
__ ___ . 2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT
Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.
___ __ . 2010. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai
Negara. Jakarta: Sinar Grafika.
_____ . 2011. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia.
Rawamangun: Sinar Grafika.
Dudu Duswara M. 2003. Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa. Bandung:
Refika.
Djosutono. 1982. Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Fachruddin, Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Adiministrasi Terhadap
Tindakan Pemerintah. Bandung: Alumni.
Frans Magnis S. 1999. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.
Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern. Bandung: Aditama.
Hasani, Ismail. 2020. Pengujian Konstitusionalitas PERDA. Jakarta: Kepustakaan
Populer Gramedia.
Huda, Ni’matul dan R. Nazriyah. 2011. Teori dan Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan. Bandung: Nusamedia.
Ibrahim, Johnny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.
Malang: Bayumedia.
I Dewa Gede Atmadja. 2015. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum.
Malang: Setara Press.
63
Indrati, Maria Farida. 2000. Masalah Hak Uji Terhadap Peraturan Perundang-
Undangan dalam Teori Perundang-Undangan, Seri Buku Ajar.
Jakarta: FHUI.
____ _ . 2007. Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan
Materi Muatan). Yogyakarta: PT Kanisius.
Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal. 2011. Peradilan Konstitusi di 10
Negara. Jakarta: PT Sinar Grafika.
Junaidi, Muhammad. 2018. Hukum Konstitusi “Pandangan dan Gagasan
Modernisasi Negara Hukum”. PT RajaGrafindo Persada: Depok.
J.G Steenberk, dalam Dahlan Thaib (et.al). 2012. Teori dan Hukum Konstitusi.
Jakarta: Rajawali Grafindo.
Kelsen, Hans. 2008. Teori Hukum Murni. Bandung: Nusa Media.
M. Mahfud MD. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta:
Rajawali Pers.
_____________. 2013. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen
Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Novendri M. Nggilu. 2015. Hukum dan Teori Konstitusi (Perubahan Konstitusi
yang partisipatif dan Populis). Yogyakarta: UII Press.
Peter Mahmud M. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta:Prenada Media.
Ridwan HR. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Safaat, Muchamad Ali, dkk. 2011. Hukum Acara MK. Jakarta: Sekretriat Jendral
MK RI.
Soemantri, Sri. 1997. Hak Uji Material di Indonesia. Bandung: Alumni.
Stone, Alec. 1992. The Birth of Judicial in France: The Constitutional Council in
Comparative Perspective. Oxford University Press: New York.
Supriyadi. 2016. Community Of Practitioners: Solusi Alternatif Berbagi
Pengetahuan Antar Pustakawan. Semarang: Jurnal Lentera Pustaka.
Sukismo. 2008. Karakter Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis. Yogyakarta:
Puskumbangsi Leppa UGM.
64
Syahrizal, Ahmad. 2006. Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi
Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif.
Jakarta: Prandnya Paramita.
Syahuri, Taufiqurrahman. 2014. Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika
Pengujian Peraturan PerundangUndangan. Jakarta: BPHN Kemenhum
dan HAM RI.
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN
Undang-Undang Dasar 1945
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Constitution of
4 October, 1958 (Constitution du 4 octobre, 1958 en vigueur/ la
Constitution de la 5e Republique), yang mengatur tentang Dewan
Konstitusi di Prancis
SKRIPSI
Nugroho, Cahyo Dwi. 2011. Hak Uji Materil Oleh Kekuasaan Kehakiman
(Pengujian Peraturan Perundang-Undangan) Terhadap Peraturan
Menteri oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Skripsi Fakultas
Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret.
Amanda, Sylvia. 2017. Studi Perbandingan Prinsip Hukum Acara di Mahkamah
Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Sidang Pengujian Peraturan
Perundang-Undangan, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Jakarta.
Ifani, Inggrit. 2015. Legal Standing Ppengujian Undang-Undang oleh Mahkamah
Konstitusi RI, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.
JURNAL
Ansori, Lutfil. 2016. “Politik Hukum Judicial Review Ketetapan MPR”. Jurnal
Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 6,. No.1. Universitas Islam
Negeri Sunan Ampel.
Asshiddiqie, Jimly. 2012. “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan
Pembentukan MK”, makalah yang dibuat untuk acara “The Three E
Lecture Series”, @merica, Pacific Place, Level 3. Jakarta.
65
Helmi, Muhammad Ishar. 2019. “Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review
Di Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Sosial dan Budaya. Vol. 6, No. 1.
Syar-I FSH UIN Jakarta.
Indrati, Maria Farida. “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Mengenal
Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia”. Modul 1.
MPR RI. 1999. “Risalah Rapat ke-1 Badan Pekerja MPR RI”. Jakarta: Sekretariat
Jenderal MPR RI.
Pusat Studi Konstitusi Hakultas Hukum Andalas. 2010. “Perkembangan
Pengujian PerundangUndangan di Mahkamah Konstitus”. Jurnal
Konstitusi, Vol. 7, No. 6.
Putra, Antoni. 2018. “Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan”.
Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 15, No. 2.
Silalahi, Doni. 2016. “Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan
Mahkamah Agung Terhadap Peraturan Perundang-Undangan di Bawah
Undang-Undang”. Jurnal Mahasiswa S2 Hukum Universitas
Tanjungpura, Vol.3 No. 3.
Sutiyoso, Bambang. 2010. “Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku
Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”. Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6.
Tim Penyusun Hukum Acara MK. 2010. “Hukum Acara MK”. Jakarta:
Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.
Al Rasyid, Harun. dalam disertasinya, Pengisian Jabatan Presiden. Dikutip oleh
Jimly
Qamar, Nurul. 2012. “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”,
Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1.
Wulandari, Desy. 2018. “ANTE REVIEW dalam Mewujudkan Konstitusionalitas
Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”. Article Indonesian:
State Law Review. Vol.1. No.1.
WEB
https://alisafaat.wordpress.com/2008/05/28/toetsingsrecht-%E2%80%93-judicial-
review-%E2%80%93-constitutional-review
https://www.mkri.id/public/content/pmk/PMK_PMK6.pdf
http://equityjusticia.blogspott.co.id/2015/02/normal-o-false-false-in-x-none-x.html
http://www.hukumonline.com/berita
http://www.antaranews.com/print
66
http://www.conseilconstitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/english/constitution/co
nstitution-of-4-october-1958.25742.html
http://www.conseil-constitutionnel.fr/conseil-
constitutionnel/english/presentation/presentation.25739.html