KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

76
KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis) SKRIPSI Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.) Oleh: ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA NIM : 11160480000003 PROGRAM STUDI ILMU HUKUM FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1442 H / 2021 M

Transcript of KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

Page 1: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

1

KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA

NIM : 11160480000003

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021 M

Page 2: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

i

KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA

NIM : 11160480000003

HALAMAN JUDUL

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021 M

Page 3: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

ii

KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN

(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)

SKRIPSI

Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H.)

Oleh:

ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA

NIM : 11160480000003

LEMBAR PERSETUJUAN

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM

FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI

SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA

1442 H / 2021 M

Pembimbing I Pembimbing II

Dr. Ismail Hasani, S.H.,M.H.

NIP. 19771217 200710 1 002

Fathudin, S.H.I., S.H.,M.A. Hum., M.H.

NIP. 19850610 201903 1 007

Page 4: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

iii

Page 5: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

iv

LEMBAR PERNYATAAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini:

Nama : Annisa Hidayatush Sholikha

NIM : 11160480000003

Program Studi : Ilmu Hukum

Alamat : Komplek Sepolwan Pasar Jumat, Jakarta Selatan, 12310

Nomor Kontak : 082298358162

Email : [email protected]

Menyatakan bahwa:

1. Skripsi ini merupakan hasil karya saya yang diajukan untuk memenuhi salah

satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum (S.H.) pada Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan

dengan ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah

Jakarta.

3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa hasil karya ini bukan hasil karya asli saya

atau merupakan hasil jiplakan orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi

yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatatullah Jakarta.

Jakarta, 30 Maret 2021

A nnisa Hidayatush Sholikha

Page 6: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

v

ABSTRAK

ANNISA HIDAYATUSH SHOLIKHA NIM, 11160480000003,

KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

(Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis),

Program Studi Ilmu Hukum, Konsentrasi Hukum Kelembagaan Negara, Fakultas

Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1442

H/2021 M.

Studi ini menjelaskan permasalahan mengenai komparasi dalam Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan yang terdapat di negara Indonesia dan negara

Prancis. Yang dimana dalam komparasi tersebut, terdapat suatu persamaan dan

perbedaan dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Studi ini bertujuan

untuk mengetahui perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di

Indonesia dan juga di negara Prancis. Secara khusus, skripsi ini mendalami

tentang suatu perbedaan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan antara negara

Indonesia dengan negara Prancis.

Penelitian dalam skripsi ini merupakam penelitian hukum normatif yang

menjadikan Undang-Undang serta putusan hakim sebagai objek kajian yang

kemudian ditinjau dari aspek teoritis maupun berbagai instrumen hukum yang ada

dalam negara Prancis maupun di Indonesia, terkait Mahkamah Agung, Mahkamah

konstitusi, dan Dewan Konstitusi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa, di Indonesia terdapat dua lembaga

yang melakukan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yakni Mahkamah

Agung dan Mahkamah Konstitusi. Hal inilah yang menjadi dasar dari komparasi

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dengan negara Prancis, yang dimana

dinegara Prancis hanya dilaksanakan dengan satu lembaga saja, yaitu Dewan

Konstitusi. Secara umum, perbedaan praktek Pengujian Konstitusionalitas

tersebut mengandung berbagai aspek seperti aspek Kelembagaan, Prosedur dan

sifat Putusannya. Dalam konteks kelembagaan, model Institusionalisasi khusus

dengan membentuk lembaga tersendiri seperti Mahkamah Konstitusi di Indonesia.

Kemudian model ekstra pengujian dengan membentuk badan baru secara khusus

tetapi berkarakter politik dan bukan merupakan badan peradilan, ini ditemukan di

Prancis dengan Conseil Constitutionnel. Eksistensi lembaga Pengujian

Konstitusionalitas berimplikasi pada aspek procedural dan bentuk pengujianya.

Kata Kunci : Pengujian, Peraturan Perundang-Undangan, Prancis

Pembimbing Skripsi : 1. Dr. Ismail Hasani, S.H.,M.H.

2. Fathudin, S.H.I., S.H., M.A. Hum., M.H.

Daftar Pustaka : Tahun 1958 – Tahun 2020

Page 7: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

vi

KATA PENGANTAR

حيم حمن الر بســــــــــــــــــم الله الر

Assalamu’alaikum WR. WB

Alhamdulillah segala puji bagi Allah SWT. Atas segala nikmat dan karunia

yang tak terhingga. Shalawat serta salam semoga tercurahkan kepada Baginda

Nabi Muhammad Shollallahu ‘alaihi Wassallam, beserta seluruh keluarga,

sahabat, dan para pengikut beliau sampai akhir zaman nanti. Tiada henti meminta

kepada-Nya untuk selalu diberikan kesehatan, pengetahuan luas, kesabaran, dan

kekuatan untuk menyelesaikan skripsi ini. Berkat kasih sayang, dan petunjuk

serta rahmat-Nya, peneliti dapat mengolah data dengan baik hingga

terselesaikannya skripsi ini dengan judul skripsi “KEWENANGAN

PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN (Analisis

Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis)”.

Penulisan skripsi ini dilakukan untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum

(S.H.) pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Skripsi

ini tidak dapat peneliti selesaikan dengan baik tanpa adanya bantuan dan

dukungan dari Allah SWT. dan berbagai pihak selama penyusunan skripsi ini

berlangsung.

Dengan kerendahan hati, peneliti tidak akan sanggup untuk melewati

rintangan dan hambatan dalam proses pembuatan skripsi ini sendiri tanpa adanya

bantuan dan dukungan dari berbagai pihak. Peneliti mengucapkan banyak terima

kasih yang sebesar-besarnya atas para pihak yang telah memberikan peranan

secara langsung maupun tidak langsung atas pencapaian yang telah dicapai oleh

peneliti, kepada yang terhormat:

1. Dr. Ahmad Tholabi, S.H., M.H., M.A. Dekan Fakultas Syariah dan Hukum

Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Muhammad Ali Hanafiah Selian, S.H., M.H. Ketua Program Studi Ilmu

Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Drs. Abu

Tamrin, S.H., M.Hum. Sekretaris Program Studi Ilmu Hukum Universitas

Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.

Page 8: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

vii

3. Dr. Ismail Hasani, S.H.,M.H. dan Fathudin, S.H.I., S.H., M.A. Hum., M.H.

sebagai Pembimbing Skripsi yang telah meluangkan waktu, tenaga, dan

pikiran untuk membimbing peneliti menyelesaikan skripsi dengan baik.

Juga kepada Drs. Noryamin Aini, M.A. sebagai Pembimbing Akademik

yang telah memberikan arahan, bimbingan, dan kesabaran dalam

membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.

4. Kedua orang tua saya, bapak Arifin dan Ibu Suryani yang tiada henti setiap

saat untuk selalu memberikan dorongan agar terselesaikannya skripsi ini,

serta memanjatkan doa untuk anak tercintanya agar selalu semangat

menjalani proses hidup.

5. Semua pihak yang terlibat dalam penyusunan skripsi ini secara langsung

maupun tidak langsung yang tidak dapat peneliti sebutkan satu persatu.

Hanya ucapan terimakasih yang sebesar-besarnya yang dapat peneliti

sampaikan, semoga Allah SWT membalas kebaikan-kebaikan kalian semua.

Aamiin Aamiin Yaa Rabbal ‘alaamiin.

Peneliti menyadari dalam penelitian skripsi ini banyak terdapat kekurangan

dan perbaikan. Namun, peneliti tetap berharap agar karya ilmiah ini memberikan

manfaat bagi pembaca. Kritik dan saran sangat diharapkan untuk perbaikan dan

penyempurnaan karya ilmiah ini di masa mendatang. Sekian dan terima kasih.

Jakarta, 30 Maret 2021

Annisa Hidayatush Sholikha

Page 9: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

viii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................. i

LEMBAR PERSETUJUAN..................................................................................... ii

LEMBAR PERNYATAAN .................................................................................... iii

ABSTRAK ............................................................................................................... v

KATA PENGANTAR ............................................................................................ vi

DAFTAR ISI ......................................................................................................... viii

BAB I PENDAHULUAN ................................................................................... 1

A. Latar Belakang Masalah ................................................................... 1

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah .......................... 6

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian ........................................ 7

D. Metode Penelitian ............................................................................. 8

E. Sistematika Pembahasan ................................................................ 11

BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN ............................................................. 13

A. Kerangka Konseptual ..................................................................... 13

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi ........................................ 13

2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian

Peraturan Perundangan Satu Atap di Indonesia ...................... 14

3. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan ............................. 16

4. Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel) ........................... 16

B. Kerangka Teori ............................................................................... 17

1. Teori Negara Hukum ............................................................... 17

2. Teori Jenjang Hukum (Stufenbau) .......................................... 18

3. Teori Konstitusi ....................................................................... 20

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu .............................................. 21

BAB III LEMBAGA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN DI NEGARA INDONESIA DAN NEGARA

PRANCIS .............................................................................................. 26

A. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di

Negara Indonesia ............................................................................ 27

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Melaksanakan

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia ............... 32

Page 10: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

ix

C. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di

Prancis ............................................................................................ 35

BAB IV KONSEPSI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN DI NEGARA INDONESIA DENGAN

NEGARA PRANCIS ............................................................................. 40

A. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Di Negara Indonesia Dengan Negara Prancis ................................ 40

B. Komparasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Antara Negara Indonesia Dengan Negara Prancis ......................... 47

BAB V PENUTUP ............................................................................................. 59

A. Kesimpulan ..................................................................................... 59

B. Rekomendasi .................................................................................. 60

DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ 62

Page 11: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Perkembangan ketatanegaraan Indonesia pada hakikatnya telah

mengantar perubahan yang sangat signifikan, terlebih menempatkan

Indonesia sebagai Negara Hukum. Hal tersebut termanifestasikan ke dalam

pola tatanan hukum di Indonesia berbentuk struktur piramida dengan sistem

berjenjang, berlapis dan berkelompok. Pernyataan tersebut menunjukkan

bahwa norma hukum yang berlaku di Indonesia bersumber pada norma

hukum yang lebih tinggi, sehingga struktur piramida tersebut bersumber pada

norma dasar atau norma tertinggi di Indonesia, yaitu Undang Undang Dasar

Negara Republik Indonesia Tahun 1945.1

Namun dalam tataran praktiknya, walaupun negara Indonesia menganut

sistem hukum yang berjenjang seringkali terjadi ketidaksinambungan antara

peraturan atas dengan yang lebih tinggi dan bahkan berujung kepada

munculnya kerugian kepada masyarakat atas peraturan tersebut. Melihat

problematika tersebut apabila merujuk kedalam teori Perundang-Undangan

jika terdapat peraturan yang saling bertentangan, maka yang berlaku ialah

norma hukum yang derajatnya lebih tinggi, dan dikenal dengan istilah lex

superiori derogat legi inferiori.2 Melainkan dalam hal ini di perlukan suatu

upaya pembuktian atas peraturan yang dinilai bertentangan atau merugikan.

Upaya pembuktian tersebut, kemudian terfasilitasi melalui konsepsi

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan untuk memberikan suatu kepastian

hukum.

Secara teoritis, Pengujian Peraturan Perundang-Undang merupakan

suatu cara yang dapat dilakukan jika terdapat Peraturan Perundang-Undangan

yang bertentangan satu sama lain. Sebagai contoh, jika ada suatu Peraturan

1 Maria Farida Indrati, Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan Materi

Muatan), (Yogyakarta: PT Kanisius, 2007), h. 44-45. 2 Dudu Duswara Mahmudin, Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa, (Bandung: Refika,

2003), h. 70.

Page 12: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

2

Perundang-Undangan yang lebih rendah, tidak boleh bertentangan dengan

Peraturan Perundang-Undangan yang lebih tinggi dan jika bertentangan maka

pengujian tersebut bertujuan untuk membatalkan peraturan Perundang-

Undangan yang tingkatannya lebih rendah. Sejatinya, urgensi Pengujian

Peraturan Perundang-Undang merupakan sebuah wewenang untuk menilai

Peraturan Perundang-Undang sudah sesuai atau bertentangan dengan aturan

yang lebih tinggi. Implementasi dari Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia, kemudian dipusatkan kepada Mahkamah Agung.

Namun dalam perkembangannya terjadi konfigurasi sistem ketatanegaraan

untuk lebih menjamin kepastian hukum dengan melahirkan Mahkamah

Konstitusi melalui Amandemen Undang undang Dasar 1945.3

Indonesia telah memberlakukan sistem Kekuasaan kehakiman menjadi

satu atap, yang mana telah diatur dalam Undang-Undang

Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.4 Walaupun Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan dilaksanakan satu atap dalam kekuasaan

kehakiman, tetap bahwasanya badan pelaksana pengujian Peraturan

Perundang-Undangan tersebut ada di dua Lembaga, yakni Mahkamah

Konstitusi dan Mahkamah Agung. Kemudian, mengenai konsepsi Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan satu atap, bukan merupakan sebuah ide baru.

Di beberapa negara, telah menerapkan pemikiran konsep tersebut lebih dulu.

Terjadinya suatu perkembangan kelembagaan pada negara-negara di dunia,

tidak terhenti pada negara tersebut telah lahir, tetapi akan selalu berkembang

seiring berjalannya perkembangan pada sistem ketatanegaraan. Munculnya

sistem ketatanegaraan yang telah lahir ke dunia, membuahi sebuah lembaga

negara baru yang pada awalnya mempunyai kewenangan untuk melakukan

Constitutional Review dengan alasan pemegang kekuasaan, untuk membuat

dan menjalankan suatu Undang-Undang dirasa telah menjalankan

3Jimly Assiddiqie, Sejarah Constitutional Review & Gagasan Pembentukan

MK,http://jimlyschool.com/read/analisis/276/sejarah-constitutional-review-gagasan- pembentukan-

mk/, diakses pada 19 Juni 2020 pukul 20.52 WIB. 4https://www.hukumonline.com/berita/baca/hol10029/penyatuan-atap-

kekuasaankehakiman-tuntas-sebagian, diakses pada 17 Desember 2020.

Page 13: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

3

kekuasaannya secara sewenang-wenang, yang mengakibatkan rakyat tidak

merasakan dengan rasa penuh keadilan dalam bernegara. Sejarah yang

terdapat dalam suatu lembaga negara yang mempunyai kewenangan untuk

melaksanakan Constitutional Review di dunia, telah berkembang pesat

melalui tahapan pengalaman yang beranekaragam disetiap negara. Lembaga

negara tersebut tidak asing bernama Mahkamah Konstitusi. Namun, ada juga

negara yang melekatkan kewenangan pengujian kepada lembaga negara yang

sudah ada sebelumnya yaitu Mahkamah Agung.5

Dalam penelitian ini, mengapa peneliti memilih negara Prancis sebagai

negara pembanding, dikarenakan bahwasanya di negara Prancis model

Pengujian Peraturan Perundang-Undangannya unik. Dikatakan unik karena

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan hanya dilakukan di Conseil

Constitutionnel. Dilihat dari fungsinya, Conseil Constitutionnel memiliki

fungsi kuasi-yudisial. Juga didalam Conseil Constitutionnel, bukan hanya

terdapat orang-orang politik saja, tetapi terdapat dewan yang backgroundnya

adalah orang-orang hukum, yang mempunyai keahlian dalam melakukan

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Beberapa model pengujian seperti

ini diikuti oleh negara-negara di Eropa.

Sebagai contoh komparasi, seperti di Negara Prancis terdapat

Constitutional Review yang melekat di parlement, karena parlement

merupakan bagian dari lembaga politik yang memiliki kewenangan untuk

membentuk suatu Undang-Undang, sehingga dalam hal ini perlu di eratkan

dengan sistem review nya, karena dinilai dalam tubuh parlemenlah bisa

ditentukan hukum yang akan berlaku di negara Prancis. Kemudian pada tahun

2008, terjadi amandemen dan tahun 2010 telah mengaplikasikan dapat

mengajukan keberatan terhadap Undang-Undang yang telah disahkan. Pada

saat ini, bukan lagi hanya Rancangan Undang-Undang, tetapi Undang-

Undang. Dan didalam Dewan Konstitusi pada saat ini, terdapat Presiden

Republik, Presiden Senat, Presiden Majelis Nasional, Perdana Menteri

5 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara (Jakarta:

Konstitusi Press, 2005), h.10.

Page 14: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

4

Prancis, 60 anggota Majelis Nasional, atau 60 Senator dan bukan hanya

melekat pada parlemen.

Lembaga Penguji Undang-Undang di Prancis disebut Dewan Konstitusi

(Conseil Constitutionnel) yang didirikan pada tahun 1958.6 Keberadaan

lembaga tersebut bagi Prancis merupakan suatu hal yang dapat melengkapi

lembaga peradilan tertinggi di bidang hukum administrasi yang sudah ada

sejak sebelumnya, tetapi lembaga tersebut tidak memiliki hubungan satu

sama lain. Membangun sistem konstitusi di Prancis, tentu tidak singkat

perjalanannya. Prancis membangun konstitusinya sampai pada konstitusi

kelima pada tahun 1958, barulah sistem constitutional preview dapat berjalan

optimal sehingga membawa pengaruh yang cukup besar bagi Negara

demokrasi lainnya di daratan Eropa.7

Kondisi berbeda dapat dilihat dengan membandingkan antara Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan negara Prancis.

Bahwasanya kedua negara tersebut, mempunyai wewenang melakukan suatu

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang terdapat di dua lembaga,

yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Menariknya, di Indonesia

dan Prancis menerapkan sistem satu atap Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan.

Berdasarkan maklumat yang tertuang dalam amandemen, kemudian

melahirkan dua lembaga yang dapat mengujikan Peraturan Perundang-

Undangan yaitu Mahkamah Agung (untuk Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan dibawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang) dan

Mahkamah Konstitusi (untuk Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-

Undang Dasar) yang bertujuan untuk menjaga validitas Peraturan Perundang-

Undangan dan meminimalisir conflict of norm (konflik dalam norma).

Kondisi berbeda dapat dilihat pula dengan membandingkan antara Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan negara Prancis.

6 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … ,

h.117. 7 Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1986), h. 26.

Page 15: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

5

Penerapan Pengujian dalam Peraturan Perundang-Undangan di

Indonesia, merekat pada suatu lembaga kekuasaan kehakiman yaitu

Mahkamah Agung dan juga pada Mahkamah Konstitusi. Perlu adanya

pelimpahan kewenangan kepada Mahkamah Konstitusi dikarenakan dalam

hal pembenahan suatu perkara di Mahkamah Agung yang kian menumpuk

dengan penyelesaian yang lambat, kemudian sulitnya akses terhadap

keadilan, serta rendahnya kepercayaan publik terhadap institusi peradilan

tersebut, menyebabkan perkara yang ada di Mahkamah Agung menjadi

menumpuk. Termaktub bahwasanya, terdapat ribuan kali dalam persidangan

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang dilakukan. Yakni bersumber

pada data yang tercantum pada Kepaniteraan di Mahkamah Agung, tercatat

dalam kurun waktu pada tahun 2019, Mahkamah Agung telah menerima

20.058 persoalan mengenai perkara Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan, terliput di dalamnya mengenai perkara hak uji materi pada

Peraturan Perundang-Undangan dibawah Undang-Undang. Sementara,

kuantitas perkara dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undang di

Mahkamah Konstitusi semasa tahun 2019, hanya terhitung 122 perkara saja.8

Ketimpangan dalam jumlah permohonan Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan dalam hal tersebut, sangat jelas berdampak kepada beberapa hal,

contohnya dalam kualitas putusan, durasi waktu berperkara, dan lambatnya

suatu penyelesaian perkara. Selain itu, juga dapat berdampak kepada

penegakan dalam konstitusi, karena Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan diamanatkan pada dua institusi berbeda, tentu dikhawatirkan

berbeda pula penafsiran. Kemudian muncul perdebatan para akademisi

tentang konfigurasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia.9

Berdasarkan problematika tersebut, diperlukan pengkajian dan analisis

secara historikal konteks mengenai konsepsi Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia dan Negara Prancis. Sejauh ini Mahkamah Konstitusi

melihat bahwa perkara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang

8 https://www.mahkamahagung.go.id, diakses pada 26 Juni 2020 pukul 10.25 WIB.

9 Sholahuddin Al-Fatih, “Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Satu Atap

Melalui Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Ilmiah Hukum, Vol.25, No.2, 2018, h. 249.

Page 16: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

6

dilakukan oleh Mahkamah Agung begitu banyak, tidak hanya perkara

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang tetapi

juga perkara kasasi dan upaya hukum lain serta perkara peninjauan kembali

yang notabenenya membutuhkan waktu untuk penyelesaiannya, sehingga

tidak menunjukkan integralitas visi dan konsep hukum atas asas peradilan

yang sederhana, cepat dan berbiaya ringan, karena antara Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi memiliki standar berbeda mengenai konsep hukum

yang ditegakkan. Sehingga atas hal tersebut peneliti tertarik untuk mengkaji

lebih secara komperehensif pembahasan ini dalam bentuk skripsi yang

berjudul KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN (Analisis Perbandingan Antara Negara Indonesia Dengan

Negara Prancis)

B. Identifikasi, Pembatasan, dan Perumusan Masalah

1. Identifikasi Masalah

Berdasarkan penjabaran yang telah diuraikan dalam latar belakang

masalah, maka identifikasi masalahnya ialah sebagai berikut:

a. Ketidaksinambungan akibat telah dilaksanakan suatu Undang-

Undang yang inkonsisten terhadap Peraturan Perundang-Undangan

yang lebih tinggi.

b. Upaya penanganan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di

Mahkamah Agung dengan pelimpahan kewenangan kepada

Mahkamah Konstitusi.

c. Urgensi kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

antara negara Indonesia dengan negara Prancis.

d. Adanya perbedaan lembaga Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan antara negara Indonesia dengan negara Prancis.

2. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang dan serta masalah yang berhasil di

identifikasi oleh peneliti, maka permasalahan yang timbul semakin

kompleks sehingga peneliti membatasi masalah-masalah yang akan

Page 17: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

7

dibahas dengan tujuan agar peneliti fokus terhadap historikal konteks dan

kewenangan dari Pengujian Peraturan Perundang-Undangan antara Negara

Indonesia dan Negara Prancis.

3. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan pembatasan masalah

tersebut, peneliti akan mengkaji tentang komparasi dalam Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan antara Negara Indonesia dengan Negara

Prancis, maka perumusan masalah yang ingin disajikan oleh peneliti

dengan pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana Perkembangan pada Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia?

b. Bagaimana Perbandingan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Antara Negara Indonesia, dengan Negara Prancis?

C. Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang permasalahan dan perumusan masalah di

atas, maka tujuan diadakan penelitian ini sebagai berikut:

a. Mengetahui Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia.

b. Mengetahui Perbandingan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

di Negara Indonesia dan Negara Prancis.

2. Manfaat Penelitian

a. Secara Teoritis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat

sehingga dapat menambah wawasan yang dapat digunakan dalam

pengembangan ilmu hukum pada umumnya dan terkhusus pada

hukum kelembagaan negara. Serta dapat dijadikan sebagai bahan

acuan oleh kalangan pelajar, mahasiswa dan kalangan akademis

lainnya.

Page 18: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

8

b. Secara Praktis

Penelitian ini dapat bermanfaat bagi para peminat hukum

kelembagaan negara, juga manfaat praktisnya yaitu dapat dijadikan

bahan referensi dan bahan kajian untuk pertimbangan bagi pembentuk

Undang-Undang dan dapat diterapkan dalam bentuk nyata sebagai

partisipasi dalam pembangunan negara dan masyarakat Indonesia

berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945.

D. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Dalam skripsi ini, penulis menggunakan penelitian hukum

normatif10 yang menjadikan Undang-Undang serta putusan hakim sebagai

objek kajian yang kemudian ditinjau dari aspek teoritis maupun berbagai

hukum negara lain terkait mahkamah konstitusi.11

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif karena menggunakan

data kualitatif. Dalam penelitian terkait Kewenangan Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan ini, peneliti menggunakan penelitian kualitatif yaitu

didasarkan pada relevansi data terhadap permasalahan, hasil penelitian ini

disajikan dalam bentuk kalimat-kalimat.

2. Pendekatan Penelitian

Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

Pendekatan Perundang-Undangan (statute-approach),12 yakni pendekatan

menggunakan legislasi dan regulasi dalam hal ini berkaitan dengan UUD

NRI 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah

Konstitusi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah

10Sukismo, Karakter Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis, (Yogyakarta:Penerbit

Puskumbangsi Leppa UGM, 2008), h. 8. 11 Moh. Nazir, Metode Penelitian, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 2005), h. 35-37. 12 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang:

Bayumedia, 2007), h.391.

Page 19: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

9

Agung dan dan Pendekatan konseptual dengan (conceptual-approach)13

yang merujuk kepada doktrin hukum yang ada, dan juga Constitution Of 4

October, 1958 (Constitution du 4 October, 1958 en vigueur/ la

Constitution de la 5e Republique), yang mengatur tentang Dewan

Konstitusi (Council Constitutional), yang ada pada Title VII/BAB VII.14

3. Data Penelitian dan Sumber Bahan Hukum

Data yang peneliti butuhkan dalam menjawab permasalahan

penelitian ini berupa informasi terkait ketentuan dalam Peraturan

Perundang-Undangan mengenai Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di negara Indonesia dan Negara Prancis. Aturan hukum yang

digunakan sebagai sumber bahan hukum berkaitan dengan aturan

Perundang-Undangan mengenai kekuasaan kehakiman, Mahkamah

Konstitusi dan Mahkamah Agung.

Informasi yang dibutuhkan tersebut tersimpan dalam dokumen

Peraturan Perundang-Undangan dalam bentuknya yaitu Undang-Undang

Dasar, dan Peraturan yang dibawahnya. Adapun penjabarannya sebagai

berikut:

a. Sumber Hukum Primer

1) UUD NRI 1945

2) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman

3) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah

Konstitusi

4) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung

5) Constitution of 4 October, 1958 (Constitution du 4 octobre, 1958

en vigueur/ la Constitution de la 5e Republique), yang mengatur

tentang Dewan Konstitusi di Prancis

b. Sumber Hukum Sekunder

13 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta:Prenada Media, 2005), h. 119. 14 Desy Wulandari, “EX ANTE REVIEW, dalam Mewujudkan Konstitusionalitas

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”, Article Indonesian State Law Review,

Vol.1, No.1, Oktober 2018, Fakultas Hukum Universitas Negeri Semarang, h.39.

Page 20: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

10

Bahan sekunder ialah bahan hukum yang memberi penjelasan

terhadap bahan primer. Bahan sekunder berupa publikasi tentang

hukum yang bukan merupakan dokumen resmi, meliputi:

1) Buku yang relevan dengan tema penelitian

2) Artikel, Jurnal, maupun makalah yan membahas tentang Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan

3) Bahan non-hukum

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode pengumpulan

data untuk sumber data primer dan penunjang berupa data sekunder

sebagai berikut:

Studi Dokumen, yaitu serangkaian kegiatan yang berkenaan dengan

pengumpulan data pustaka, membaca dan mencatat serta mengolah bahan

penelitian.15 Peneliti mengumpulan data dengan membaca dokumen yang

memuat informasi terkait Politik Hukum Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan. Dokumen yang dimaksud ialah Peraturan Perundang-

Undangan seperti Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan

Kehakiman, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah

Konstitusi, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah

Agung, Constitution of 4 October, 1958 (Constitution du 4 octobre 1958

en vigueur/ la Constitution de la 5e Republique), yang mengatur tentang

Dewan Konstitusi di Prancis.

5. Teknik Pengolahan Data dan Metode Analisis Data

Data yang telah diperoleh dari studi dokumen yang telah dilakukan

selanjutnya akan disederhanakan lalu akan diolah menjadi analisis

deskriptif yaitu memaparkan atau menarasikan informasi yang telah

15 Supriyadi, “Community Of Practitioners: Solusi Alternatif Berbagi Pengetahuan Antar

Pustakawan”, Jurnal Lentera Pustaka, (Semarang, 2016), h. 85.

Page 21: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

11

didapatkan dalam bentuk rangkaian kalimat-kalimat hingga mudah

dipahami.

Penelitian ini menggunakan metode analisis normatif, sebuah jenis

penelitian dengan menekankan aspek pemahaman suatu norma hukum

yang terdapat dalam Perundang-Undangan serta norma-norma yang hidup

dan berkembang dalam masyarakat.

6. Metode Penulisan

Acuan metode penulisan penelitian ini mengacu kepada “Pedoman

Penulisan Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum Tahun 2017” yang

diterbitkan oleh Fakultas Syariah dan Hukum.

E. Sistematika Pembahasan

Masing-masing bab dalam penelitian ini terdiri atas beberapa sub bab

sesuai dengan pembahasan dan materi yang akan diteliti. Adapun perinciannya

sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini membahas mengenai Latar Belakang Masalah, Identifikasi

Masalah, Perumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat

Penelitian, Metode Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB II KEKUASAAN KEHAKIMAN

Bab ini memuat beberapa teori yang menjadi landasan berfikir

dalam permasalahan yang dibahas yang saling memiliki

keterkaitan hukum, Dalam bab ini peneliti membahas mengenai

kajian pustaka, kerangka konseptual, kerangka teoritis dan

tinjauan (review) kajian terdahulu.

BAB III PERKEMBANGAN PENGUJIAN PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN DI INDONESIA

Bab ini membahas mengenai Lembaga yang menguji Peratutan

Perundang-Undangan di Indonesia maupun di Prancis. kemudian

dalam bab ini juga, membahas mengenai Perkembangan Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan dilingkungan Kekuasaan

Page 22: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

12

Kehakiman dan juga mengenai kewenangannya. Yang dimana

didalamnya berisikan Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia dari sebelum amandemen dan setelah

amandemen dan begitu pula di lingkungan Prancis.

BAB IV KOMPARASI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN ANTARA NEGARA INDONESIA DENGAN

NEGARA PRANCIS

Bab ini membahas secara mendalam fokus utama disertai dengan

hasil analisis data secara mendalam mengenai:

a. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di

negara Indonesia.

b. Perbandingan mengenai Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan Antara Negara Indonesia dengan Negara Prancis.

BAB V PENUTUP

Bab ini merupakan bagian akhir dalam penelitian ini yang berisikan

kesimpulan pembahasan dan rekomendasi. Kesimpulan merupakan

hasil penyederhanaan dari analisis data yang telah didapatkan serta

hasil pembuktian maupun uraian yang telah dideskripsikan pada bab

sebelumnya yang berkaitan dengan pokok masalah.

Page 23: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

13

BAB II

KEKUASAAN KEHAKIMAN

A. Kerangka Konseptual

Kerangka Konseptual ini bertujuan untuk memberikan batasan mengenai

apa yang akan diteliti di dalam penelitian ini. Kerangka Konseptual pada

hakikatnya merumuskan definisi operasional yang akan digunakan untuk

menyamakan presepsi. Terdapat beberapa definisi yang dipakai dalam rujukan

penulisan skripsi ini. Adanya definisi ini karena membahas persoalan hukum

sehingga peneliti tidak mengacu kepada pendapat perseorangan saja namun

merujuk pada Peraturan Perundang-Undangan. Berikut ialah beberapa definisi

yang akan diuraikan sebagai berikut:

1. Kewenangan Mahkamah Konstitusi

Berbicara mengenai penyempurnaan pelaksanaan reformasi

konstitusional yang integral menuju proses demokratisasi, perlu

dibentuknya suatu mahkamah yang memang dikhususkan untuk menjaga

konsitusi suatu negara. Oleh karena itu dalam perubahan ketiga Undang-

Undang Dasar dalam Pasal 24 ayat (2) tertulis “kekuasaan kehakiman

dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung, dan Badan Peradilan Umum,

Lingkungan Peradilan Agama, Lingkungan Peradilan Militer, Lingkungan

Peradilan Tata Usaha Negara, dan juga pada sebuah Mahkamah

Konstitusi”. Pasal 24C ayat (1) menyatakan bahwa “Mahkamah Konstitusi

berwenang mengadili pada tingkat pertama dan juga terakhir, yang

putusannya bersifat final untuk menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar, kemudian memutus sengketa kewenangan

lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang

Dasar, memutus pembubaran partai politik dan juga memutus perselisihan

tentang hasil pemilihan umum (pemilu).1 Kewenangan menurut H.D Stoud

adalah keseluruhan aturan-aturan yang berkenaan dengan perolehan dan

penggunaan wewenang pemerintahan oleh subjek hukum publik dalam

1 Jimly Asshhiddiqie, Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia, (Rawamangun: Sinar

Grafika, 2011), h. 204.

Page 24: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

14

hukum publik, artinya Mahkamah Konstitusi mempunyai sebuah sebuah

hak atau kekuasaan yang telah dilimpahkan kepadanya sesuai dengan apa

yang telah dijelaskan didalam Peraturan Perundang-Undangan.2

2. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Peraturan

Perundangan Satu Atap di Indonesia

Pandangan mengenai pemberlakuan satu atap pengajuan untuk

menguji Peraturan Perundang-Undangan di Mahkamah Konstitusi,

merupakan suatu upaya untuk menguatkan bahwasanya, Mahkamah

Konstitusi merupakan Court of Law, dan Mahkamah Agung merupakan

Court of Justice, karena Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

termasuk juga kedalam ranah Court of Law bukan Court of Justice.3

Kemudian dalam proses beracara di Mahkamah Agung dianggap kurang

fair. Jika berperkara di Mahkamah Konstitusi dilakukan dengan konsep

terbuka untuk umum, maka permohonan Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Mahkamah Agung dilakukan secara tertutup. Dengan

sistem pengalihan kewenangan pada Pengujian Peraturan yang ada di

bawah Undang-Undang, dari Mahkamah Agung ke Mahkamah

Konstitusi merupakan suatu hal yang dapat memudahkan masyarakat

agar tidak menimbulkan kebingungan dalam perkara pengajuan dalam

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Sebagaimana telah dijelaskan

sebelumnya, Mahkamah Agung merupakan institusi yang sangat sibuk

dengan banyaknya suatu perkara, sehingga pelimpahan kewenangan itu

akan meringankan kerja pada Mahkamah Agung. Sebagaimana

dijelaskan sebelumnya, Mahkamah Agung dengan kuantitas SDM yang

terbatas, harus menangani puluhan ribu perkara setiap tahunnya.

Demi mengejawantahkan upaya dalam Pengujian Peraturan

Perundangan satu atap melalui Mahkamah Konstitusi, sistem dasar yang

perlu dilakukan supaya pengalihan kewenangan Pengujian Peraturan

2 Stoud HD, De Betekenissen Van De Wet, Dalam Irfan Fachruddin, Pengawasan

Peradilan Adiministrasi Terhadap Tindakan Pemerintah, (Bandung: Alumni, 2004), h. 4.

3Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU,

http://www.antaranews.com/print , diakses tanggal 20 oktober 2020.

Page 25: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

15

Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang menjadi wewenang

Mahkamah Konstitusi, yakni dengan melakukan perubahan pada pasal

24A Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945,

yang mengatur mengenai Mahkamah Agung. Di dalam pasal 24A

tersebut, tertera bahwasanya Mahkamah Agung berwenang mengadili

pada tingkat kasasi, menguji dalam Peraturan Perundang-Undangan di

bawah Undang-Undang terhadap Undang-Undang, dan juga memiliki

wewenang lainnya yang diberikan oleh Undang-Undang. Jika mekanisme

amandemen kelima terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945 dirasa cukup sulit, untuk dilakukan maka

pemerintah bisa membuat sebuah Undang-Undang yang menyatakan

bahwa pembenahan pada sistem Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di bawah Undang-Undang dilakukan oleh Mahkamah

Konstitusi. Supaya skenario tersebut, dapat berjalan lancer dan

dibutuhkan juga kesepakatan antara para pihak, yaitu Mahkamah

Konstitusi, Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.4 Kewenangan ini lah

yang membedakan antara Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di

Indonesia dengan negara Prancis. Banyaknya perdebatan yang

membicarakan mengenai sistem satu atap, hingga saat ini belum

membuahi hasil yang diinginkan. Tetapi pengujian di Indonesia masih

berjalan dengan baik sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

Mekanisme Pengujian Peraturan Perundang-Undang Satu Atap,

bukanlah sebuah hal yang baru. Di beberapa Negara sudah menerapkan

sistem satu atap, seperti halnya di negara yang telah menerapkan konsep

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan satu atap yakni, Negara

Prancis (Constitutional Preview dan Review) atau yang bisa kita sebut

dengan Dewan Konstitusi.

4 Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU,

http://www.antaranews.com/print , diakses tanggal 20 oktober 2020.

Page 26: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

16

3. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Menurut Teori Konstitusi, sistem dalam Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan merupakan suatu bentuk upaya untuk menguatkan

konsep negara hukum yang menempatkan konstitusi sebagai hukum

tertinggi. Pengujian Peraturan Perundang-Undangan merupakan

konstitusi bergaransi terhadap semua produk hukum untuk menciptakan

penegakan hukum yang baik dalam suatu Negara.5

Istilah lain dari Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yaitu

dikenal dengan istilah Judicial Rivew. Dalam hal ini, istilah Judicial

Review terpatok penggunaanya pada proses uji Perundang-Undangan,

yang dilakukan oleh suatu lembaga peradilan. Kemudian, terpapar pula

mengenai pembagian Judicial Review, Constitutional Review dan

Judicial Constitutional Review. Yang dimana, Constitutional Review

digunakan secara umum guna untuk proses uji konstitusionalitas produk

dalam Perundang-Undangan yang berada di bawah naungan konstitusi,

dan juga dilakukan oleh lembaga legislatif, (seperti oleh MPR pada masa

Orde Baru) bisa juga oleh lembaga peradilan, bahkan oleh sebuah

lembaga khusus yang ditunjuk untuk melakukan tugas uji constitutional

tersebut (seperti Dewan Konstitusi di Prancis). Istilah khusus Judicial

Constitutional Review baru dapat digunakan dalam membicarakan proses

uji konstitusionalitas yang dilakukan oleh lembaga peradilan saja.6

4. Dewan Konstitusi (Conseil Constitutionnel)

Tercantum jelas didalam sistem konstitusi Prancis mengenai ‘Cour

de’Cassation’ yang terpisah keberadaannya dari ‘Conseil

Constitutionnel’. Dalam artian ‘Cour de’Cassation’ itu sendiri yaitu

Mahkamah Agung, lembaga pradilan; sedangkan ‘Conseil

Constitutionnel’ bukan pengadilan, melainkan Dewan Konstitusi. Oleh

karenanya, penyebutannya bukan ‘cour’ (pengadilan), tetapi ‘conseil’

5 Taufiqurrahman Syahuri, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian

Peraturan PerundangUndangan, (Jakarta: BPHN Kemenhum dan HAM RI, 2014), h. 51-52. 6 https://alisafaat.wordpress.com/2008/05/28/toetsingsrecht-%E2%80%93-judicial-review-

%E2%80%93-constitutional-review, (Di Akses pada 25 Januari, 2021 pukul 22:11 WIB)

Page 27: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

17

(dewan). Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua lembaga ini

jelas terlihat pula dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di

Mahkamah Agung, seluruh anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi

sebaga hakim, maka dalam susunan keanggotaan ‘Conseil

Contitutionnel’ tidak seperti itu. Anggota Dewan Konstitus dapat berasal

dari partai politik atau birokrat dan sebagainya, walaupun sebagian besar

di antaranya adalah para ahli hukum. Memang, esensi dari fungsi-fungsi

yang dijalankan oleh lembaga pengawal konstitusi ini bukanlah fungsi-

fungsi peradilan dalam arti yang lazim. Dalam sistem konstitusi Prancis,

lembaga ini lebih bersifat semi-peradilan.7

B. Kerangka Teori

1. Teori Negara Hukum

Konstitusi Indonesia menegaskan bahwa negara Indonesia

berdasarkan atas hukum, hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD

1945. Salah satu prinsip yang menyangga tegaknya negara modern ini

adalah supremasi hukum (Supremacy of Law). Letak supremasi hukum

negara Indonesia adalah konstitusi. Di samping itu, J.B.J.M. ten Berge

menyebutkan bahwa salah satu prinsip negara hukum adalah adanya asas

legalitas. Asas legalitas menghendaki bahwa Undang-Undang secara

umum harus memberikan jaminan (terhadap warga negara) dari tindakan

(pemerintah) yang sewenang-wenang, kolusi, dan berbagai jenis tindakan

yang tidak benar. Sehingga pelaksanaan wewenang oleh organ

pemerintahan harus ditemukan dasarnya pada Undang-Undang tertulis.8

Kesadaran akan pentingnya kedudukan Peraturan Perundang-

Undangan tersebut dalam sistem ketatanegaraan kita, baik karena materi

muatan maupun kedudukannya maka tertib peraturan perundangan wajib

7 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … , h.

56. 8 J.G Steenberk, dalam Dahlan Thaib (et.al), Teori dan Hukum Konstitusi, (Rajawali

Grafindo, Jakarta, 2012), h. 15.

Page 28: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

18

untuk diwujudkan, salah satunya melalui Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan.

Secara teoritis konsepsional, teori negara hukum ini memiliki

makna penting dalam menjalankan kewenangan Mahkamah Konstitusi,

mengapa demikian dikarenakan teori dalam negara hukum ini muncul

sebagai penolakan atas paham kedaulatan negara dan kedaulatan raja.

Melambangkan bahwasanya, kekuasaan tertinggi bukan terletak pada

raja, dan bukan pula pada negara, melainkan pada hukum yang

bersumber pada kesadaran setiap orang. Hukum pada paham ini diartikan

sebagai “perintah-perintah negara”.9

Dalam hal ini, penulis memiliki pemahaman keterkaitan antara

teori negara hukum dengan konstitusi. Terbilang bahwasanya,

Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu pelaku kekuasaan

kehakiman yang mempunyai peran penting dalam usaha untuk

menegakkan konstitusi dan juga prinsip negara hukum yang sesuai

dengan tugas dan wewenangnya, sebagaimana yang tertera dalam

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Atas

dasar aturan tersebut, maka Mahkamah Konstitusi berwenang khusus

untuk mengadili perkara ketatanegaraan atau perkara konstitusi, dalam

rangka menjaga dan menegakkan konstitusi agar bertanggung jawab

sesuai dengan kehendak rakyat.

2. Teori Jenjang Hukum (Stufenbau)

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan erat kaitannya dengan

Hirarki Peraturan Perundang-Undangan. Mengingat bahwa tata Peraturan

Perundang-Undangan harus tersusun secara hierarkis dan saling berkaitan

satu sama lain. Secara teoritik telah tersampaikan melalui teori Hans

Kelsen mengenai Stufenbau des Recht atau hirarki norma hukum. Dalam

teori ini berintikan bahwa kaidah hukum merupakan suatu susunan yang

berjenjang dan setiap kaidah hukum yang lebih rendah bersumber dari

kaidah yang lebih tinggi. Hans Kelsen menjelaskan lebih lanjut bahwa,

9 Frans Magnis Suseno, Kuasa dan Moral, (Jakarta: Gramedia, 1999), h. 4.

Page 29: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

19

kaidah hukum itu sendiri tidak lain adalah “command of the sovereign” -

kehendak yang berkuasa.10 Sehingga hukum itu adalah sah (valid)

apabila dibuat oleh lembaga atas otoritas yang berwenang

membentuknya dan berdasarkan norma yang lebih tinggi, dimana norma

yang lebih rendah harus sesuai dengan yang lebih tinggi, dan norma yang

lebih tinggi menjadi acuan norma di bawahnya. Hal ini senada seperti

apa yang dikemukakan oleh Merkl bahwa suatu norma hukum itu selalu

mempunyai dua wajah (das Doppelte Rechtsantkizt).11 Dalam hal tata

susunan atau hirarki sistem norma-norma yang tertinggi (norma dasar) itu

menjadi tempat bergantungnya norma-norma yang di bawahnya sehingga

apabila norma dasar itu berubah, maka akan menjadi rusaknya sistem

norma yang berada di bawahnya. Di Indonesia norma tertinggi ini

dikontekskan dalam bentuk konstitusi. Karena itu, norma ini merupakan

alasan tertinggi bagi keabsahan norma, norma yang satu diciptakan

sesuai dengan yang lain, dan dengan demikian terbentuklah sebuah

tatanan hukum dalam struktur hierarkis.12

Dengan makna lain diartikan bahwa, ketentuan dalam Perundang-

Undangan yang ditetapkan oleh suatu negara maka, ketentuan yang lebih

rendah tidak boleh bertentangan dengan ketentuan yang lebih tinggi.

Seperti halnya, suatu norma hukum sebagai produk pembuat Undang-

Undang yang dianggap bertentangan dengan konstitusi sebagai norma

hukum tertinggi. Maka sudah jelas, bahwa teori ini lah yang berfungsi

untuk mencegah terjadinya suatu pertentangan antara peraturan yang

rendah dengan peraturan yang lebih tinggi. Karena jelas aturannya sangat

berlaku dan terus diterapkan supaya tidak terjadi kekosongan hukum.

Hans nawiasky, merupakan seorang murid dari hans Kelsen.

Mengembangkan teori gurunya mengenai teori jenjang norma dalam

10 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,

(Bandung: Nusamedia, 2011), h. 23-24. 11 Ni’matul Huda dan R. Nazriyah, Teori dan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,

… , h.23. 12 Hans Kelsen, Teori Hukum Murni, Nusa Media, Bandung, 2008, h. 244.

Page 30: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

20

kaitan dengan suatu negara. Hans Kelsen dalam bukunya: allegemeine

Rechtslehre, mengemukakan bahwa suatu norma hukum dari negara

manapun selalu berlapis-lapis dan juga berjenjang. Dimana saat norma

yang dibawah berlaku, berdasar dan bersumber dari norma yang lebih

tinggi lagi, dan norma yang lebih tinggi berlaku, sampai pada suatu

norma yang tertinggi disebut Norma Dasar. Tetapi, Hans Nawiasky juga

berpendapat selain norma itu berlapis-lapis dan berjenjang-jenjang,

norma hukum dari suatu negara itu juga berkelompok-kelompok. Hans

Nawiasky juga mengelompokan norma-norma hukum dalam suatu

negara itu menjadi empat kelompok besar yang terdiri atas:

1. Kelompok I: staatspundamentalnorm (Norma Pundamental Negara).

2. Kelompok II: Staatgrundsetz (aturan dasar/pokok negara).

3. Kelompok III: Formell Gesetz (Undang-Undang formal).

4. Kelompok IV: Verordnung dan autonome satzung (aturan pelaksana

dan aturan otonom ).13

Terlepas dari adanya suatu kelompok-kelompok noma hukum

tersebut selalu ada tata susunan norma hukum setiap negara walaupun

mempunyai istilah berbeda-beda ataupun jumlah norma yang berbeda

dalam setiap kelompoknya.

3. Teori Konstitusi

Konstitusionalisme adalah pemikiran yang mengehendaki

pembatasan kekuasaan, berkaitan dengan kewenangan Negara. Negara-

negara di dunia akan menggunakan konstitusi sebagai pengatur

kehidupannya. Negara penganut sistem Negara hukum dan kedaulatan

pada konsep pemerintahannya akan menggunakan konstitusi. Teori

Konstitusi menghendaki agar Negara dibentuk atas dasar basic norm

yang mana demokrasi merupakan naluri masyarakat. Sehingga konstitusi

13Teori Hierarki Peraturan Perundang-Undangan Dan Judicial Review,

(https://dspace.uii.ac.id/bitstream/handle/123456789/1149/05.3%20bab%203.pdf ), di akses pada

23 Feb 2021.

Page 31: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

21

yang dibentuk merupakan konstitusi demokrasi yang menghendaki rule

of the law.14

Dalam bukunya I Dewa Gede Atmadja15 yang berjudul Hukum

Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah Perubahan UUD

1945, dikutip pengertian konstitusi dari Kamus Hukum Inggris, Oxford

Dictionary of Law bahwa “Constitution is the rules and practices that

determain the composition and functions of the organs of central and

local government in a state and regulate the relationship between

individual and the state”. Dalam terjemahannya konstitusi adalah aturan-

aturan hukum dan praktek-praktek yang menentukan susunan dan fungsi

lembaga pemerintahan pusat dan daerah, serta mengatur hubungan antara

warga negara dan negara.

Sejatinya, perlu pemahaman lebih mengenai konstitusi dan

konstitusional, karena terdapat perbedaan. Yang dimana dalam hal ini,

konstitusi merupakan ketentuan yang mengatur mengenai ketatanegaraan

sedangkan konstitusional yang merupakan pembatasan kekuasaan dan

jaminan hak rakyat melalui konstitusi.

C. Tinjauan (Review) Kajian Terdahulu

Tinjauan terhadap kajian terdahulu ialah bertujuan untuk

membandingkan skripsi atau karya ilmiah yang telah ada dengan apa yang

akan diteliti mengenai penelitian tersebut guna menghindari pemahaman

bagi pembaca ataupun penulis terhadap duplikasi, replikasi, dan

penjiplakan. Berikut beberapa penelitian atau karya ilmiah yang telah ada:

1. CAHYO DWI NUGRAHANTO dalam skripsi yang berjudul “HAK

UJI MATERIL OLEH KEKUASAAN KEHAKIMAN (PENGUJIAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN) TERHADAP

PERATURAN MENTERI OLEH MAHKAMAH AGUNG

14 Novendri M. Nggilu, Hukum dan Teori Konstitusi (Perubahan Konstitusi yang

partisipatif dan Populis), (Yogyakarta: UII Press, 2015), h.17. 15 I Gede Atmajaya, Hukum Konstitusi Problematika Konstitusi Indonesia Sesudah

Perubahan UUD 1945, (Malang: Setara Press, 2010), h. 22-23.

Page 32: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

22

REPUBLIK INDONESIA”.16 Skripsi ini terfokus mengkaji mengenai

peraturan menteri yang diakui keberadaan dan eksistensinya dalam

sistem legislasi nasional, juga terfokus kepada lembaga negara yang

berwenang untuk melakukan pengujian terhadap Peraturan Perundang-

Undangan, baik menguji Undang-Undang terhadap Undang-Undang

Dasar maupun menguji peraturan dibawah Undang-Undang terhadap

Undang-Undang adalah Mahkamah Konstitusi. Berbeda dengan skripsi

peneliti yang berfokus membahas mengenai historikal konteks dan

kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

dan Negara Prancis.

2. SYLVIA AMANDA dalam skripsi yang berjudul “STUDI

PERBANDINGAN PRINSIP HUKUM ACARA DI MAHKAMAH

KONSTITUSI DAN MAHKAMAH AGUNG DALAM SIDANG

PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN”.17 Skripsi ini terfokus

pada keterkaitan hukum beracara Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung dan alasan

mengapa Pengujian Peraturan Perundang-Undangan oleh Mahkamah

Agung dilakukan secara tertutup untuk umum, selain itu skripsi

tersebut juga mengkaji mengenai persidangan Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan yang juga dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi

dan dilakukan secara terbuka. Persamaan dengan skripsi tersebut yaitu

sama-sama membahas mengenai perbandingan, yang membedakan

dengan peneliti, peneliti membahas mengenai historikal konteks dan

kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yang dimana

didalamnya terdapat sejarah awal dan sesudah amandemen mengenai

Pengujian Peraturan Perundang-Undangn di indoensia dan

16 Cahyo Dwi Nugroho, Hak Uji Materil Oleh Kekuasaan Kehakiman (Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan) Terhadap Peraturan Menteri oleh Mahkamah Agung Republik

Indonesia, Skripsi Fakultas Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret, 2011. 17 Sylvia Amanda, Studi Perbandingan Prinsip Hukum Acara di Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung dalam Sidang Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Skripsi Fakultas

Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2017.

Page 33: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

23

membandingkan dengan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

yang ada di Negara Prancis.

3. INGGRIT IFANI dalam skripsi yang berjudul “LEGAL STANDING

PENGUJIAN UNDANG-UNDANG OLEH MAHKAMAH

KONSTITUSI RI”.18 Skripsi ini terfokus membahas mengenai apakah

wewenang Mahkamah Konstitusi menguji Peraturan Perundang-

Undangan sudah sesuai dengan UUD 1945, tentu jelas berbeda dengan

peneliti, peneliti membahas mengenai kewenangan Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan satu atap di Indonesia dan

menganalisis perbandingan antar Negara yaitu Negara Prancis.

4. Artikel Jurnal berjudul “KEWENANGAN PENGUJIAN

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN MAHKAMAH

AGUNG TERHADAP PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

DI BAWAH UNDANG-UNDANG”.19 Oleh Doni Silalahi. Jurnal ini

fokus mengkaji dan memusatkan Kewenangan Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan Mahkamah Agung. Persamaan di dalam skripsi

yang peneliti teliti adalah sama-sama membahas mengenai

kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Sedangkan

perbedaannya adalah peneliti fokus terhadap komparasi Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dengan Negara Prancis.

5. Artikel Jurnal berjudul “PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN DALAM SISTEM PERATURAN PERUNDANG-

UNDANGAN INDONESIA”.20 Oleh Machmud Aziz. Dalam

pembahasan yang di tulis oleh penulis, pokok masalah yang ada

didalamnya berisikan mengenai Pengujian peraturan Perundang-

Undangan dalam arti luas, kemudian pada dasarnya di samping untuk

18 Inggrit Ifani, Legal Standing Ppengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Konstitusi RI,

Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta, 2015. 19 Doni Silalahi, “Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Mahkamah

Agung Terhadap Peraturan Perundang-undangan di Bawah Undang-Undang”, Jurnal Mahasiswa

S2 Hukum Universitas Tanjungpura, Vol.3 No. 3, 2016.

20 Machmud Aziz, “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Dalam Sistem Peraturan

Perundang-Undangan Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7 No. 5, 2010.

Page 34: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

24

mengoreksi produk hukum legislatif baik Pusat maupun Daerah agar

sesuai atau tidak bertentangan dengan konstitusi (UUD) sehingga

produk hukum tersebut dapat memberikan kepastian hukum

(rechszekerheid), perlindungan hukum (rechtsbescherming), keadilan

hukum (rechtsvaardigheid) dan kemanfaatan (nuttigheid) kepada setiap

orang atau masyarakat secara keseluruhan. semua jenis peraturan

perundangundangan dan segala tingkatannya diuji di Mahkamah

Konstitusi. Tentu juga di jurnal tersebut membahas Mahkamah Agung

dan Mahkamah Konstitusi, dimana dengan hanya Mahkamah

Konstitusi yang berwenang menguji semua jenis dan tingkatan

Peraturan Perundang-Undangan maka pengujian tersebut dapat

dilakukan secara efisien dan efektif serta menghindari terjadinya

conflict of interest dan conflict of interpretation dengan Mahkamah

Agung. Sedangkan pokok pembahasan yang mau saya bahas, tentu

berbeda dengan jurnal tersebut. Yang dimana, dalam skripsi saya

membahas mengenai komparasi Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan di Indonesia dengan negara Prancis. Juga mengenai sejarah

terbentuknya Pengujian Peraturan Perundang-Undangan tersebut.

Berdasarkan keseluruhan data yang ada, skripsi peneliti memiliki

perbedaan serta persamaan dengan penelitian yang terdahulu.

Perbedaannya, jika penelitian terdahulu membahas mengenai

perbandingan prinsip hukum acara dalam proses Judicial Review di

Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung. Yang dimana dampak

dari adanya perbandingan prinsip tersebut, diperlukan lembaga yang

memungkinkan peranan hukum dan hakim untuk bisa mengontrol

proses dari perbandingan prinsip tersebut.

Berbeda halnya dengan skripsi peneliti yang berfokus mengenai

analisis secara historikal konteks mengenai konsepsi Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dan Negara Prancis. Di

dalam skripsi peneliti juga memaparkan mengenai perbandingan

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia dengan negara

Page 35: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

25

Prancis, yang menyatakan bahwasanya salah satu perbedaan yang

signifikan tertera pada lembaga pengujiannya. Di Indonesia terdapat

dua lembaga pengujian, yaitu Mahkamah Agung dan Mahkamah

Konstitusi, yang menjalankan fungsi dari lembaga yudikatif. Berbeda

halnya dengan Prancis, lembaga pengujiannya bernama Dewan

Konstitusi. Dewan ini masuk kedalam suatu lembaga politik yang

menjalankan kekuasaan (fungsi) yudisial (diluar dari lembaga

yudikatif).

Persamaan skripsi peneliti dengan penelitian terdahulu ialah

penelitian tentang Judicial Review atau Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan dalam Kekuasan Kehakiman yaitu Mahkamah

Agung (untuk Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dibawah

Undang-Undang) dan Mahkamah Konstitusi (untuk Pengujian Undang-

Undang terhadap Undang-Undang Dasar).

Page 36: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

26

BAB III

LEMBAGA PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

NEGARA INDONESIA DAN NEGARA PRANCIS

Pemikiran mengenai suatu Pengujian, dalam Peraturan Perundang-

Undangan telah ada sejak awal kemerdekaan Republik Indonesia. Moh. Yamin,

telah mengungkapkan mengenai pentingnya Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan, pada waktu penyusunan Undang-Undang Dasar 1945 dalam sidang

BPUPKI. Kemudian, Moh. Yamin menghendaki agar Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan dimasukkan kedalam Undang-Undang Dasar yaitu sebagai

bagian dari wewenang Mahkamah Agung. Tak lama, gagasan ini ditolak oleh

Soepomo, menurutnya Undang-Undang Dasar 1945, tidak menganut ajaran trias

politica, sehingga tidak tepat untuk mengeluarkan pengaturan mengenai

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dalam Undang-Undang Dasar 1945.1

Itu sebabnya, di dalam UUD 1945 sebelum amanden tidak dinyatakan secara

eksplisit kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan.

Amandemen UUD 1945 telah memberikan suatu perubahan yang sangat

signifikan, yaitu telah mengamanatkan kepada dua lembaga yang terdapat dalam

kekuasaan kehakiman, yaitu menjalankan kewenangannya dalam Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan. Perubahan yang terjadi ini tentu menjadi bagian

dari pengaruh dari pergerakan politik dan ketatanegaraan pada saat itu, dan

dilatarbelakangi dengan adanya reformasi.

Terdapat isu yang menjadi sebuah perdebatan dalam amandemen Undang-

Undang Dasar 1945, yaitu telah diberikannya kewenangan kepada lembaga

yudisial untuk melaksanakan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan,

khususnya Pengujian Undang-Undang. Kemudian, kewenangan ini diakomodasi

dalam Pasal 24C UUD 1945 yang memberikan kewenangan kepada Mahkamah

Konstitusi untuk menguji Undang-Undang terhadap UUD, sedangkan Pengujian

1 Sri Soemantri, Hak Uji Material di Indonesia, (Bandung: Alumni, 1997), h. 71-74.

Page 37: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

27

Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang diberikan kepada

Mahkamah Agung.2

Tradisi hukum yang berkembang di Prancis, memang awalnya di warisi

oleh pemikiran Rousseau. Menurut Prof. Djokosutono yang dijadikan pedoman

tidak lagi paham Montoesquieu, tetapi paham Rousseau. Dalam kajian filosofis

Rousseau kehendak umum (general will) adalah keinginan yang tidak dapat

dipertanyakan. Ketika itu gagasan the sovereignity of the law of the people

mendominasi paradigma berpikir di kalangan para ahli dan praktisi Prancis, yang

berdaulat ialah de collective will. Maka ada baiknya mengulas sejenak periode

berlakunya ajaran tersebut. Ajaran ini pada kenyataannya membuat pasang surut

perkembangan sistem constitutional review di sebagian besar negara-negara

Eropa. Seperti diketahui, Mahkamah Konstitusi atau organ sejenisnya yang

terdapat di negara-negara Eropa adalah lembaga yang didirikan atau dibentuk

untuk menyandang peran sebagai pengawal konstitusi tersebut sama sekali

terlepas dari sistem peradilan umum. Oleh karena itu, kedudukannya terpisah, sui

gene organ konstitusional dan memiliki kekuasaan eksklusif untuk

menyelenggarakan pengujian konstitusional terhadap Rancangan Undang-Undang

dan peraturan tata tertib parlemen.3

A. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Negara Indonesia

Kualitas penting yang harus dijaga di negara Indonesia, salah satunya

adalah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan. Dalam hal ini, seperti yang

kita pelajari bersama, pada dasarnya, Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan merupakan suatu pengujian terhadapa produk hukum yang

dilakukan oleh suatu lembaga yudikatif atau suatu badan peradilan, yang

dimana lembaga ini memiliki kewenangan yang diberikan oleh konstitusi

untuk menguji produk hukum yang dibentuk oleh lembaga legislatif. Peranan

dari Mahkamah Konstitusi sendiri adalah dalam menguji konstitusionalitas

Undang-Undang (secara materiil dan formal) memerlukan penggunaan

2Lutfil Ansori, “Politik Hukum Judicial Review Ketetapan MPR”, Jurnal Hukum dan

Perundangan Islam, Vol. 6, No.1, April 2016, Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, h.30. 3 Djosutono, Hukum Tata Negara, dihimpun oleh Harun Al Rasid, (Ghalia Indonesia:

Jakarta, 1982), h. 91.

Page 38: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

28

interpretasi penafsiran hukum atas Undang-Undang Dasar. Artinya bahwa

dengan interpretasi penafsiran hukum atas UUD, Mahkamah Konstitusi dapat

memperluas atau mempersempit arti, maksud, dan tujuan dari UUD.4 Dalam

melakukan kewenangannya untuk pengujian (judicial review), juga dipercaya

untuk menjalankan fungsi check and balances di antara lembaga pemegang

kekuasaan negara. Secara teori, fungsi tersebut dilakukan untuk menghindari

kesewenang-wenangan lembaga-lembaga negara.5 Kata istilah Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan lebih dikenal dalam masyarakat di Indonesia,

sebenarnya lahir dari negara yang menganut asas sistem pemisahan kekuasaan

(trias politica) dimana Amerika Serikat sebagai negara yang terkenal

menggunakannya prinsip tersebut.

Dalam histrorinya, pada saat pertama kali dilaksanakan di negara

Amerika, Amerika belum mempunyai suatu pengaturan yang ada pada

konstitusi atau Undang-Undang. Tidak ada aturan yang memperkenankan

adanya kewenangan pada Pengujian Undang-Undang oleh Mahkamah Agung,

namun ketua Mahkamah Agung pada saat itu, yakni Jhon Marshall

mempernyatakan bahwa terdapat kewajiban konstitusional para hakim pada

saat disumpah untuk menjaga konstitusi. Marshal, mengeluarkan argumentasi

bahwa dengan pernyataan sumpah memberikan kewajiban pada Mahkamah

Agung untuk menjaga supremasi konstitusi. Hal ini memberikan kewajiban

kepada Mahkamah Agung, untuk dapat menyatakan Undang-Undang tidak

memiliki kekuatan yang mengikat apabila Undang-Undang tersebut dianggap

melanggar konstitusi.6 Kasus untuk pertama kali tersebut dikenal dengan

kasus Marbury vs Madison pada tahun 1803. Marbury vs Madison merupakan

kasus hukum mengenai pengangkatan sekelompok hakim baru pada larut

malam yang kemudian dikenal sebagai “the midnight judges”, hakim-hakim

4 Muhammad Junaidi, Hukum Konstitusi “Pandangan dan Gagasan Modernisasi Negara

Hukum”, (PT RajaGrafindo Persada: Depok, 2018), h. 177. 5 Maria Farida Indrati, Pengujian Peraturan PerundangUndangan Mengenal Keberadaan

Mahkamah Konstitusi di Indonesia, Modul 1, h. 3. 6 Maria Farida, Masalah Hak Uji Terhadap Peraturan Perundang-Undangan dalam Teori

Perundang-Undangan, Seri Buku Ajar, (Jakarta: FHUI, 2000) h.105.

Page 39: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

29

tengah malam.7 Untuk memperluas lebih dalam mengenai makna suatu

Judicial Review (Pengujian Peraturan Perundang-Undangan), kita dapat

mencoba mengenal suatu istilah yang dikenal dalam kepustakaan Belanda,

yakni toetsingsrecht. Toetsingsrecht merupakan hak menguji terhadap produk

hukum. Hak menguji ini akan memiliki sebutan yang berbeda, sesuai lembaga

mana yang akan menggunakannya.8

Kembali lagi pada pembahasan mengenai Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan di negara Indonesia, sejatinya hak menguji produk

hukum yang dipegang pada lembaga yudikatif di Indonesia terbagi menjadi

dua yaitu oleh Mahkamah Agung atau Mahkamah Konstitusi, dengan

menjalankan tugas yang berbeda satu sama lain. Mahkamah Konstitusi dalam

hal pengujian, lembaga ini menguji khusus Undang-Undang, kemudian

Mahkamah Agung menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah

Undang-Undang. Meskipun Judicial Review dan Toetsingrecht mempunyai

history yang berbeda dalam perkembangannya, tetapi esensi dari kedua

pengertian tersebut hamper sama, yaitu menguji produk hukum.

Perkembangan hukum dan ketatanegaraan dalam masalah pengujian produk

hukum pada lembaga yudikatif inilah yang tidak lepas mempengaruhi adanya

pembentukan Mahkamah Konstitusi di dunia, terkhususnya di negara

Indonesia.9 Dalam kultur di negara Eropa Continental, pengujian hukum

tersentralisasi pada satu badan yang dikenal dengan istilah Centralized

Judicial Review.

Ketika diberlakukannya suatu Konstitusi Republik Indonesia Serikat

(RIS), Pengujian Peraturan Perundang-Undangan pernah menjadi salah satu

wewenang pada Mahkamah Agung. Tapi, hanya terbatas pada Pengujian

Undang-Undang Negara bagian terhadap suatu Konstitusi. Seperti yang

tercantum dalam Pasal 156, Pasal 157, dan Pasal 158, Konstitusi Republik

7 Ismail Hasani, Pengujian Konstitusionalitas PERDA, (Jakarta: Kepustakaan Populer

Gramedia, 2020), h. 64. 8 Jimly Asshidiqqie, Hukum Acara Pengujian Undang-Undang, (Jakarta: Konpres, 2006),

h.2. 9 Tim Penyusun Hukum Acara MK, Hukum Acara MK, (Jakarta: Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan MKRI, 2010) h.1.

Page 40: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

30

Indonesia Serikat. Berbeda halnya dengan Undang-Undang Dasar Sementara

Tahun 1950, konstitusi ini tegas tidak mengatur mengenai Pengujian Undang-

Undang. Persoalan ini dipengaruhi dengan cara pandang bahwa Undang-

Undang dilihat sebagai pelaksanaan kedaulatan rakyat yang dilaksanakan oleh

pemerintah bersama DPR.10

Sebelum adanya amandemen Undang-Undang Dasar 1945, wewenang

menguji suatu Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945 di

pegang oleh MPR. Kewenangan MPR ini berdasarkan kepada Ketetapan MPR

Nomor III/MPR/2000 mengenai Sumber Hukum, dan Tata Urutan Peraturan

Perundang-Undangan. Pada Pasal 5 ayat (1) ketetapan tersebut terbilang

“Majelis Permusyawaratan Rakyat berwenang menguji Undang-Undang

terhadap Undang-Undang Dasar 1945, dan Ketetapan MPR.” Dalam

perkembangannya, hampir tidak pernah MPR melakukan tindakan pengujian

terhadap Undang-Undang yang notabene seluruhnya dibuat oleh eksekutif.

Dalam Sidang Umum Majelis Permusyawaratan Rakyat (SU MPR) 6 Oktober

Tahun 1999, fraksi-fraksi MPR di samping sepakat untuk mengamandemen

UUD 1945, prioritas utama dalam amandemen tersebut dilakukan terhadap

DPR dan Mahkamh Agung.11 Kemudian, kebijakan tersebut diambil dalam

rangka memperkuat kedudukan kekuasaan kehakiman dan kekuasaan pembuat

Undang-Undang. Dari pemikiran seperti itu, beberapa dinamika pemikiran

terkait dengan upaya merumuskan suatu lembaga yang berwenang untuk

melakukan pengujian terhadap Undang-Undang yaitu Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Mahkamah Agung, dan Mahkamah Konstitusi.

Pokok pemikiran yang menyatakan bahwasanya wewenang tersebut

diberikan kepada MPR akhirnya dikesampingkan, karena sudah tidak lagi

menjadi lembaga tertinggi pada saat itu. Kemudian gagasan yang menyatakan

bahwasanya kewenangan diberikan kepada Mahkamah Agung, juga akhirnya

tidak dapat diterima. Karena Mahkamah Agung sendiri sudah banyak

terbebani dalam menangani tugas dan kasus-kasus. Dan salah satu

10 Sri Soemantri, Hak Menguji Material di Indonesia, … , h. 25. 11 MPR RI, Risalah Rapat ke-1 Badan Pekerja MPR RI, (Jakarta: Sekretariat Jenderal MPR

RI, 1999), h. 80- 81.

Page 41: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

31

kewenangan Mahkamah Agung yang membatasi dirinya yaitu sebagai

lembaga penguji produk hukum dibawah Undang-Undang. Sampai kemudian

disepakati bahwa, Mahkamah Konstitusi merupakan satu-satunya lembaga

yang representative untuk melakukan pengujian Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai lembaga yang independen, Mahkamah

Konstitusi juga termasuk kedalam lembaga Kekuasaan Kehakiman.

Pengujian yang dilakukan oleh suatu lembaga khusus, pertama kali

diusulkan oleh Professor Hans Kelsen. Menurutnya, dalam sebuah negara

hukum, penting dengan dipusatkan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

yang dipegang oleh satu badan khusus. Kelsen yang saat itu berperan dalam

pembentukan konstitusi di negara Austria, mencoba memperkenalkan adanya

sebuah lembaga Pengujian Peraturan Perundang-Undangan khusus yang

dinamakan “verfassungsgerichtshof” atau Mahkamah Konstitusi.12 Usulan

idenya diterima, kemudian dirumuskan dalam konstitusi Austria. Walaupun

sebelum adanya ide ini, Austria telah mengenal kewenangan mengadili

sengketa antar warga negara dengan pemerintahan terkait dengan

perlindungan hak politik, bahkan untuk pengadilan negara bagian telah ada

wewenang memutuskan keberatan konstitusional yang diajukan warga negara

atas tindakan negara.13 Namun, kewenangan tersebut ada pada Mahkamah

Agung di negara Austria, sedangkan gagasan Kelsen yakni, pembentukan

lembaga khusus yaitu Mahkamah Konstitusi untuk melakukan Judicial Review

kepada produk hukum. Pada saat itu, pemikiran briliannya kemudian menjadi

pembicaraan yang hangat di kalangan ilmuwan Eropa Continental. Jimly

Asshidiqie mengatakan bahwa negara Austrialah yang menjadi negara pelopor

terbentuknya Mahkamah Konstitusi sebagaimana tercantum dalam Undang-

Undang Dasar 1920 Austria.14 Setelah pendirian Mahkamah Konstitusi di

Austria, barulah bermunculan Mahkamah Konstitusi yang serupa di beberapa

12 Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan MK,

makalah yang dibuat untuk acara “The Three E Lecture Series”, @merica, Pacific Place, Level 3,

(Jakarta, 18 Juni 2012), h.1. 13 Muchamad Ali Safaat, Hukum Acara Mahkamah Konstitusi, (Jakarta: Sekretriat Jendral

MK RI, 2011), H. 2-3. 14 Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi Konstitusional

sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif, (Jakarta: Prandnya Paramita, 2006), H. 131.

Page 42: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

32

negara, termasuk Indonesia. Pada tahun 2003, Indonesia membentuk

Mahkamah Konstitusi. Menurut Jimly Asshidiqqie, pada tahun tersebut telah

ada 78 negara yang memiliki Mahkamah Konstitusi yang berdiri sendiri di

luar struktur dari Mahkamah Agung.15

B. Kewenangan Mahkamah Konstitusi dalam Melaksanakan Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia

Moh. Mahfud MD, pada tahun 2009 telah membuka wacana untuk

menambah kewenangan Mahkamah Konstitusi untuk melakukan judicial

review terhadap seluruh Peraturan Perundang-Undangan. Adapun alasan yang

dikemukakan Moh. Mahfud MD, adalah16

Pengujian Undang-Undang terhadap UUD dan Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang terhadap Peraturan

Perundang-Undangan yang derajatnya lebih tinggi semuanya dijadikan

kewenangan Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar ada

konsentrasi dan konsistensi penafsiran semua Peraturan Perundang-Undangan

dari yang paling tinggi (UUD) sampai yang paling rendah (Perda).

Dari gagasan Mahfud di atas, ada dua hal yang menjadi dasar

pertimbangannya, yaitu konsentrasi dan konsistensi penafsiran semua

peraturan perundang-undangan. Mengacu kepada pendapat Mahfud tersebut,

tidak lain dimaksudkan untuk dapat mengejawantahkan konsepsi negara

hukum Indonesia yang konstitusional demokratis.

Seiring berjalannya waktu, penjabaran mengenai pengujian produk

legislasi oleh sebuah lembaga peradilan (Judicial Review) akan terus

berkembang. Bermula dari Amerika (1803) dalam perkara Madison versus

Marbury hingga pembentukan peradilan khusus konstitusional di Austria

(1920). Pokok-pokok pemikiran John Marshall dan Hans Kelsen telah

memengaruhi “cara” berhukum di banyak negara. Kemudian, Indonesia

sendiri mengimplementasikan konsep tersebut pada perubahan Undang-

15 Jimly Asshiddiqie, Sejarah Constitutional Review dan Gagasan Pembentukan MK, … ,

hal.1. 16 Moh. Mahfud MD, Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu, (Jakarta: Rajawali

Pers, 2009), h. 285.

Page 43: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

33

Undang Dasar ke tiga. Berbicara mengenai Mahkamah Konstitusi, Mahkamah

Konstitusi sendiri terbentuk pada tanggal 13 Agustus 2003. Dalam kurun

waktu 7 (tujuh) tahun sejak berdirinya, Mahkamah Konstitusi telah menjadi

sebuah lembaga kekuasaan kehakiman yang diakui oleh para pencari keadilan

(Justisiabellen).17

Pembentukan Mahkamah Konstitusi menjadi jawaban akhir dari

beberapa kemungkinan lembaga mana yang diberikan kewenangan untuk

melakukan Judicial Review. Mahkamah Konstitusi menjadi lembaga baru

yang menjadi pelaku kekuasaan kehakiman, selain Mahkamah Agung yang

sebelumnya telah ada. Perubahan Konstitusi Indonesia yang menempatkan

konstitusi sebagai pemegang kedaulatan tertinggi atau supremasi konstitusi.

Apabila sebelum perubahan UUD 1945, MPR dikatakan sebagai pemegang

kedaulatan rakyat, maka perubahan UUD ini menggantikan dengan menyebut

konstitusi sebagai norma yang akan memberikan perintah kepada lembaga

yang berwenang. Beberapa literatur menyatakan adanya perubahan dari

supremasi MPR menjadi supremasi konstitusi.

Hal ini tercermin pada Pasal 1 ayat (2) UUD 1945 yang berbunyi

“kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut

UndangUndang Dasar” Konstitusi yang kemudian akan memberikan aturan

siapa yang akan melakukan kedaulatan tersebut dan termasuk batasan

wewenang lembaga negara dan pemerintah agar tidak melanggar hak-hak

rakyat Indonesia. Konstitusi adalah norma tertinggi yang berlaku sebagai

pedoman atau patokan dari norma-norma hukum lainnya. Konstitusi tidak

dapat dikesampingkan. Norma hukum di bawahnya harus sesuai. Untuk

memastikan kesesuaian antara konstitusi dengan norma hukum di bawahnya,

perlu dibentuk mekanisme yang dapat memastikan bahwa aturan hukum di

bawah konstitusi sesuai dan tidak bertentangan. Mahkamah Konstitusi yang

akhirnya diberikan tugas untuk melakukannya.18

17 Pusat Studi Konstitusi Hakultas Hukum Andalas, “Perkembangan Pengujian

PerundangUndangan di Mahkamah Konstitus”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, Desember 2010,

h. 148. 18 Maria Farida Indrati, Modul Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, ... , h.10.

Page 44: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

34

Mahkamah Konstitusi sendiri sebagai lembaga negara produk reforal.

Mahkamah Konstitusi menjadi tumpuan ekspektasi masyarakat yang

menginginkan tejadinya perbaikan dalam bidang penegakan hukum. Sejauh

ini, Mahkamah Konstitusi telah merespons harapan publik tersebut melalui

proses peradilan yang bersih dan putusan yang menjunjung tinggi prinsip

keadilan. Terkait dengan penegakan prinsip keadilan ini, Mahkamah

Konstitusi mengedapankan keadilan substantif, yaitu keadilan yang lebih

didasarkan pada kebenaran materil dari pada kebenran formal.19

Keberadaan Mahkamah Konstitusi tersebut diatur dalam Pasal 24C ayat

(1) dan ayat (2) UUD 1945 hasil amandemen yang kemudian dipertegas

kembali dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Perubahan Atas

Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Sejak

mulai tahun 2003 itulah Mahkamah Konstitusi telah membuka diri untuk

menerima permohonan dari masyarakat yang merasa hak-hak dan kewenangan

konstitusionalnya dilanggar akibat berlakunya suatu undang-undang. Pada

awalnya fungsi ini belum dimanfaatkan dengan baik oleh masyarakat, tetapi

seiring dengan perkembangan waktu dan tumbuhnya kesadaran masyarakat,

pada sepanjang tahun 2004 sampai tahun 2010 ini sudah cukup banyak

perkara yang diajukan dan diperiksa oleh Mahkamah Konstitusi.

Sebagian dari perkara yang masuk tersebut sudah ada ketetapan

hukumnya dengan dijatuhkannya putusan oleh Mahkamah Konstitusi.

Kemudian pembentukan Mahkamah Konstitusi menandai era baru dalam

sistem kekuasaan kehakiman di Indonesia. Beberapa wilayah yang tadinya

tidak tersentuh (untouchable) oleh hukum, seperti masalah pengujian

peraturan perundang-undangan terhadap Undang-Undang, sekarang dapat

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi, termasuk juga kewenangan-

kewenangan lainnya yang diatur dalam UUD 1945 pasca amandemen.20

19 Muhammad Junaidi, Hukum Konstitusi Pandangan dan Gagasan Modernisasi Negara

Hukum, (Depok: Rajawali Pers, 2018), h. 183. 20 Bambang Sutiyoso, “Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku Kekuasaan

Kehakiman di Indonesia”, Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6, 2010, h. 26.

Page 45: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

35

C. Sejarah Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Prancis

Berbicara mengenai sejarah Peraturan Perundang-Undangan di Prancis,

terdapat sebuah sebutan yang berbeda dari negara Indonesia. Yang dimana, di

Indonesia bernama Mahkamah Konstitusi, dan di negara Prancis di sebutan

dengan Dewan Konstitusi. Dalam hal ini, Dewan Konstitusi Prancis sendiri,

didirikan pada tahun 1958 yang bertepatan dengan berlakunya Konstitusi

Republik Kelima. Semula ide pembentukan organ ini memang didesain untuk

melucuti kekuasaan parlemen. Oleh karena itu, organ yang disebut Conseil

Constitutionnel sering pula dikatakan sebagai bentuk paling mutakhir dari

sistem pengujian konstitusional. Akibatnya, model ala Prancis banyak

diadopsi oleh model constitutional review yang terdapat di negara-negara

Eropa. Conseil Constitutionnel adalah tribunal yang digagas secara khusus

untuk menegakkan kaidah-kaidah fundamental seperti tercantum dalam

Pembukaan Konstitusi 1946 dan Deklarasi tentang Hak-Hak Manusia.21

Di dalam sistem konstitusi Prancis, jelas tercantum ketentuan mengenai

‘Cour de’Cassation’ yang terpisah keberadaannya dari ‘Conseil

Constitutonnel’. ‘Cour de’Cassation’ adalah Mahkamah Agung, lembaga

pradilan; sedangkan ‘Conseil Constitutionnel’ bukan pengadilan, melainkan

semi-peradilan. Oleh karena itu sebutannya bukan ‘cour’ (pengadilan), tetapi

‘conseil’ (dewan). Perbedaan karakter politik atau hukum dari kedua lembaga

ini jelas terlihat pula dalam pola susunan keanggotaan keduanya. Jika di

Mahkamah Agung, seluruh anggotanya adalah ahli hukum dan berprofesi

sebaga hakim, maka dalam susunan keanggotaan ‘Consell Contitutionell’

tidak demikian. Anggotanya dapat berasal dari partai politik atau birokrat dan

sebagainya, meskipun sebagian terbesar di antaranya selalu para ahli hukum.

Memang pada hakikatnya fungsi-fungsi yang dijalankan oleh lembaga

pengawal konstitusi ini bukanlah fungsi-fungsi peradilan dalam arti yang

lazim. Dalam sistem konstitusi Prancis, lembaga ini lebih bersifat semi-

21 Jimly Asshiddiqie, Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, (PT Sinar

Grafika: Jakarta, 2011), h. 136.

Page 46: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

36

peradilan.22 Memperhatikan asal-usul sistem pengujian konstitusional di

Prancis, Kekuasaan Dewan Konstitusi, yang diatur dalam Konstitusi,

ditentukan dan dilengkapi oleh undang-undang organik. Kekuasaan yang

diberikan padanya oleh undang-undang ini dapat dibagi menjadi dua kategori:

1. Ex ante review:

Dewan Konstitusi dipilih secara wajib dengan undang-undang

dasar dan peraturan Dewan Parlemen sebelum diundangkannya DPR dan

sebelum berlakunya DPR. Ini juga dapat dirampas dari komitmen

internasional sebelum ratifikasi atau persetujuannya. Untuk legislasi biasa,

Dewan dapat disita dari sebuah undang-undang sebelum diundangkan.

Dalam dua kasus terakhir ini, Dewan dapat ditangkap dengan cara yang

berbeda tergantung pada tindakan yang sedang ditinjau, baik oleh otoritas

politik (Presiden Republik, Perdana Menteri atau presiden Majelis

Nasional atau Senat), atau oleh setidaknya 60 Anggota Parlemen atau 60

Senator.

Sejak 1999, Dewan Konstitusi juga dapat memeriksa konstitusionalitas

undang-undang wilayah yang bergantung yang diadopsi oleh Kongres

Kaledonia Baru.

2. Ex post review:

Sejak 1 Maret 2010 dan setelah amandemen konstitusi tanggal 23

Juli 2008, Dewan Konstitusi dapat mempertimbangkan apakah ketentuan

legislatif yang sudah berlaku melanggar hak dan kebebasan yang dijamin

di bawah Konstitusi, bertindak atas rujukan oleh Conseil d'État atau

Pengadilan Kasasi. Dalam kasus seperti itu, pengujian konstitusional

dilakukan atas prakarsa pemohon, karena pertanyaan tersebut diajukan

melalui permohonan yang diajukan dalam persidangan di hadapan

pengadilan. Kasus-kasus tersebut melibatkan aplikasi untuk putusan

pendahuluan prioritas tentang masalah konstitusionalitas.

22 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … , h.

56.

Page 47: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

37

-Sebagai pengadilan yang bertanggung jawab untuk menggambarkan

yurisdiksi antara undang-undang dan bidang peraturan, Dewan Konstitusi

juga dapat ditangkap di satu sisi selama diskusi di depan Parlemen oleh

presiden DPR yang relevan atau oleh Perdana Menteri, atau di sisi lain

mantan pos oleh Perdana Menteri untuk mengklasifikasi ulang ketentuan

legislatif, yaitu mengubah dengan keputusan suatu ketentuan legislatif

yang isinya bersifat pengaturan.

- Menyusul amandemen tanggal 23 Juli 2008, Dewan Konstitusi dapat

dipanggil untuk memverifikasi apakah persyaratan di mana RUU diajukan

sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh undang-undang organik

(Undang-Undang Organik no. 2009-403 tanggal 15 April 2009).23

Sebelum berlakunya konstitusi kelima, berlaku konstitusi republik

pertama (1792-1799), kedua (1848-1852), ketiga, (1875-1940), dan

keempat (1946-1958). Jika dilihat dari sudut tatanegara, ketika itu sistem

Prancis secara absolut sangat mengagumkan doktrin kedaulatan parlemen.

Meskipun masing-masing species dari kekuatan legislatif dan konstituen

melebur secara nyata kedalam genus parlemen. Akan tetapi, dalam kurun

waktu tersebut konstitusi hanya dapat diubah oleh kekuatan mayoritas

sederhana yang terdapat di majelis nasional (national assembly). Pada

zaman ini bukan berarti doktrin kedaulatan parlemen itu tidak

dipermasalahkan oleh mereka yang meragukan kesucian organ yang

mencerminkan kedaulatan rakyat tersebut. Sebab dalam praktik pernah

terdapat aneka langkah minimal untuk membatasi diskresi organ legislatif

dengan tujuan melindungi hak-hak fundamental. Namun, dapat dikatakan

gagasan untuk melindungi hak-hak dasar itu tidak pernah disetujui oleh

parlemen.24

23 http://www.conseil-constitutionnel.fr/conseil-constitutionnel/english/presentation/presentation.25739.html, (Di akses pada 14 April 2021).

24 Alec Stone, The Birth of Judicial in France: The Constitutional Council in Comparative

Perspective, Oxford University Press, New York, 1992, h.27.

Page 48: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

38

Fakta sejarah memperlihatkan sistem uji konstitusionalitas yang berlaku

di Prancis saat ini sudah lama diupayakan. Tepatnya sejak Konstitusi

Direcitoire tahun 179525 mulai berlaku. Pada masa itu seorang sarjana Prancis,

Abb Sieyes, mengusulkan pembentukan juri konstitusional (jurie

constitutionnare). Ide pendirian organ khusus konstitusional ini ternyata sudah

dikemukakan oleh Sieyes sejak tahun 1793.26 Menurutnya, keberadaan juri

konstitusional itunantinya dapat mempertahankan konstitusi. Ini hanya dapat

dilaksanakan dengan cara membatalkan produk legislasi parlemen jika dinilai

bertentangan dengan konstitusi. Oleh karena itu, Abb Sieyes jauh lebih awal

mengusulkan organ pengawal konstitusi dari pada Hans Kelsen.

Berdasarkan konstitusi 1946, organ pengawal konstitusi disebut

Committee constitutionnel. Komposisi organ tersebut masing-masing terdiri

atas Presiden Republik, Majelis Nasional (National Assembly), dan senat

(Council of Republic). Anggota Komite Konstitusional itu sendiri adalah

politis yang diberi tugas untuk menguji kadar konstitusionalitas produk

legislasi. Masalah yang dihadapi dalam ketentuan yang terdapat dalam

Konstitusi 1946 adalah Komite Konstitusional hanya bertugas menyelesaikan

sengketa kewenangan antar dua kamar di parlemen. Jika mayoritas anggota

senat meyakini bahwa Majelis Nasional menetapkan suatu undang-undang

yang tidak sesuai dengan konstitusi, maka anggota senat dapat mengusulkan

kepada Presiden Republik Prancis agar presiden mengundang Komite

Konstitusional untuk menyelenggarakan sidang. Selanjutnya dikatakan:

If a majority of the upper house believes that the National Assembly has

passed legislation which violetes constitution, it could ask the president of the

Republic to convene the Constitutional Committee. The Committee then is

required to seek a compromise between the two chambers but, if consultations

fail, the committee must rule on the legislation constitutionalit, if consultation

legislation is then judge to be unconstitutional by the committee, it is sent back

25 Harun Al Rasyid dalam disertasinya, Pengisian Jabatan Presiden, yang dikutip oleh

Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal, dalam bukunya yang berjudul “Peradilan Konstitusi di

10 Negara”, Jakarta: PT Sinar Grafika, 2011), h.140. 26 Alec Stone, The Birth of Judicial Politics in France, The Constitutional Council in

Comparative Perspective, … , h.30.

Page 49: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

39

to the National Assembly for a new reading. Finnaly, if the assembly

subsequent adopts the original law a second time, then the constitution must

revise in order to enable its promulgation.27

27 Alec Stone, The Birth of Judicial in France, … , h.29.

Page 50: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

40

BAB IV

KONSEPSI PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN DI

NEGARA INDONESIA DENGAN NEGARA PRANCIS

A. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Di Negara

Indonesia Dengan Negara Prancis

Conseil Constitutionnel dalam konstitusi Prancis, diatur dalam Bab VII

tentang Dewan Konstitusi (Title VII: The Constitutional Council). Bab

tersebut terdiri dari 8 (delapan) Pasal, yakni tetera dalam Pasal 56 sampai

dengan Pasal 63. Dalam konstitusi Prancis1, kewenangan Conseil

Constitutionnel diatur dalam Pasal 61, yang pada intinya menetapkan bahwa,

sebelum suatu undang-undang organik dinyatakan berlaku, terlebih dahulu

harus disampaikan kepada Conseil Constitutionnel. Kemudian, Putusan

Dewan Konstitusi itu sendiri bersifat final dan mengikat terhadap seluruh

kekuasaan publik, kewenangan administratif maupun badan peradilan umum

lainnya (Lihat Pasal 62 Konstitusi Republik Kelima Prancis 1958). “No appeal

shall lie from the decisions of the Constitutional Council. They shall be

binding on public authorities and on all administrative authorities and all

courts”.2

Sejarah ‘institusi’ yang berperan dalam melaksanakan “constitutional

review” di dunia berkembang pesat melalui tahapan dari pengalaman yang

beragam di setiap negara. Ada yang melembagakan fungsi pengujian

konstitusional itu dalam lembaga yang tersendiri bernama Mahkamah

Konstitusi, ada pula yang mengaitkan fungsi pengujian itu kepada lembaga

yang sudah ada, yaitu Mahkamah Agung. Pengalaman di berbagai negara di

dunia, memperlihatkan bahwa tradisi yang mereka ikuti tidak sama dari satu

negara ke negara yang lain. Dalam hal ini, kehadiran sistem pengujian

1 Conseil Constitutionnel, Constitution of 4 October 1958, (http://www.conseil-

constitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/english/constitution/constitution-of-4-october-

1958.25742.html ), diakses pada 23 Feb 2021. 2 Pasal 62, (http://www.conseil-

constitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/english/constitution/constitution-of-4-october-

1958.25742.html ), diakses pada 23 Feb 2021.

Page 51: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

41

konstitusional ataupun mekanisme “Judicial Review” yang terus berkembang

dalam praktik di berbagai negara demokrasi, pada umumnya, disambut dengan

sangat antusias, baik di dunia akademis maupun praktik, bahkan tidak kurang

oleh lingkungan cabang kekuasaan kehakiman itu sendiri. Seperti

dikemukakan oleh Lee Bridges, George Meszaros, dan Maurice Sunkin:

“Judicial Review has been increasingly celebrated, not least by the judiciary

itself, as means by which the citizen can obtain redress against oppressive

government, and as a key vehicle for enabling the judiciary to prevent and

check the abuse of executive power”.3 Umumnya, pengaturan mengenai

pengujian peraturan perundang-undangan ini, dilaksanakan dengan

menerapkan sistem check and balances, guna untuk mengendalikan dan

mengimbangi antar kekuasaan yang ada pada lembaga pemerintahan supaya

tidak sewenang-wenang dalam melakukan tugasnya.

Perubahan besar terjadi pada era reformasi, yang dimana reformasi ini

merupakan perubahan terhadap suatu sistem dari masa ke masa hingga pada

masa kini. Seperti halnya, pada dinamika perkembangan dalam ketatanegaraan

di Indonesia, mengalami perubahan yang besar. Salah satu perubahannya yaitu

dalam lembaga kekuasaan kehakiman, bahwasanya dalam Pasal 24C Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang kemudian

ditegaskan lebih lanjut pada Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, telah mendapat hasil dari Amandemen Undang-

Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana telah memberikan

sebuah amanat agar terbentuknya suatu Lembaga Pengawal Konstitusi

bernama Mahkamah Konstitusi. Wewenang untuk menguji sebuah Undang-

Undang terhadap Konstitusi atau Undang-Undang Dasar, sudah jelas

merupakan sebuah wewenang dari penegak konstitusi, yaitu Mahkamah

Konstitusi. Walaupun demikian, tercatat sudah dalam sejarah bahwasanya,

upaya dalam Pengujian Peraturan Perundang-Undangan sebagai sejarah

mencatat bahwa upaya pengujian undang-undang sebagai sistem Peradilan

3 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … , h. 1-

2.

Page 52: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

42

Konstitusional, bukanlah hal baru karena konsep tersebut sebenarnya sudah

mulai diperkenalkan oleh Moh Yamin, sejak sidang BPUPKI pada saat itu.4

Dalam kultur hukum Anglo Saxon, dapat dikatakan bahwa negara

Amerika Serikat lah yang paling proaktif dalam mengembangkan sebuah

doktrin Judicial Review. Walau tidak dapat disangkal bahwa, negara Inggris

tidak mempunyai latar belakang sejarah ketatanegaraan yang sama dengan

negara Amerika Serikat. Meski demikian, di negara Inggris tidak

mengembangkan doktrin mengenai Judicial Review, sebagaimana di negara

Amerika Serikat mengembangkannya dengan pro-aktif. Bahkan, doktrin

Judicial Review medern yang pesat perkembangannya di negara-negara

penganut Anglo Saxon, merupakan buah kreasi pemikiran bangsa Amerika

Serikat yang dipersembahkan bagi negara penganut Common law system dan

bahkan juga diluar penganut sistem tersebut.5

Masuknya pasal 24C tentang Mahkamah Konstitusi, merupakan salah

satu hasil dari amandemen ke tiga UUD 1945, yang dimana Mahkamah

Konstitusi pada saat itu merupakan lembaga baru. Kemudian Mahkamah

Konstitusi langsung diamanahi dalam beberapa wewenang dan kewajiban

penting untuk mengawal konstitusi, yaitu menguji Undang-Undang terhadap

Undang-Undang Dasar, kemudian memutus pembubaran partai politik dan

juga memutus perselisihan hasil dalam Pemilihan Umum (Pemilu).6

Seiring dalam perkembangannya, Mahkamah Konstitusi sudah

menerima beberapa kali pelimpahan wewenang dari lembaga kekuasaan

kehakiman lainnya, yaitu Mahkamah Agung. Terbukti, bahwasanya

Mahkamah Agung pernah memberikan wewenang terkait pengujian tentang

sengketa pemilu dan pemilukada kepada Mahkamah Konstitusi. Seperti yang

kita ketahui bersama, hanya Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi

yang mempunyai wewenang untuk melakukan pengujian terhadap peraturan

4 Jimly Asshiddiqie, Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca Reformasi,

(Jakarta: Bhuana Ilmu Populer, 2007), h. 581. 5 Nurul Qamar, “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Konstitusi,

Vol. I, No. 1, November 2012, h. 5.

Page 53: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

43

perundang-undangan. Walaupun wewenang tersebut dibedakan dan

dilaksanakan sesuai dengan tupoksinya masing-masing, yaitu Mahkamah

Agung berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan dibawah

undang-undang terhadap undang-undang, dan Mahkamah Konstitusi

berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar.

Selama pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru, banyak sekali

Undang-Undang yang dipersoalkan karena bertentangan dengan UUD yang

lebih mencerminkan kehendak politik sepihak pemerintah yang intervensionis,

tetapi tidak ada lembaga yang dapat mengujinya. Dengan demikian, maksud

pembentukan Mahkamah Konstitusi di Indonesia yang paling pokok adalah

menjaga agar tidak ada UU yang bertentangn dengan UUD dan kalu itu ada,

maka Mahkamah Konstitusi dapat membatalkannya.7 Itulah sebabnya, sering

dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan pengawal konstitusi dan

penafsir tunggal (yang mengikat) atas konstitusi.

Menurut Abdul Latif, (Hakim Tipikor Mahkamah Agung), dalam

diskusinya dalam ruangan Dekan yang berada di Fakultas Hukum UMI pada

Jum’at, 15 April 2011, dalam acara kuliah umum Hukum Acara Mahkamah

Konstitusi dan Ilmu Perundang-Undangan, beliau mengatakan bahwasanya,

Mahkamah Konstitusi sebetulnya tidak hanya memiliki kewenangan semata

dalam Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar, akan

tetapi Mahkamah Konstitusi juga bisa melakukan Pengujian terhadap Produk

Legislasi dalam Pemerintah Daerah berupa Peraturan Daerah (PERDA)

terhadap Undang-Undang Dasar. Dasar Konstitusional dalam hal ini

ditentukan pada Pasal 18 UUD NRI Tahun 1945, dan sebagai Ration de

Troinya atau Ratio Legis nya yakni dengan adanya substansi hukum PERDA

yang sumber lahir kewenangan pengaturan ini dari konstitusi.8 Hal ini sesuai

dengan teori kekuasaan kehakiman, yang dimana teori ini merupakan

kekuasaan negara yang merdeka, dimaksudkan bahwasanya kekuasaan

kehakiman, disamping kekuasaan pemerintahan dan juga kekuasaan

7 Moh. Mahfud MD, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,

(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2013), h. 98-99. 8 Nurul Qamar, Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi, … , h. 3-4.

Page 54: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

44

perundang-undangan yang mempunyai kekuasaan yang bebas. Maka di dalam

teori ini juga, Mahkamah Konstitusi bukan hanya bisa menguji Undang

Undang terhadap Undang-Undang Dasar, tetapi juga bisa menguji produk

legislasi pemerintah daerah (PERDA) terhadap UU.

Dan menurut Munir Fuady9 dalam buku yang ditulisnya, ada beberpa

pokok pemikiran mengenai diterimanya sebuah doktrin Judicial Review secara

mendunia, yakni:

1. Prinsip-prinsip hukum, seharusnyaa berlaku umum di dunia.

2. Prinsip-prinsip hukum yang berlaku disuatu negara, seas as, dan selaras

satu sama lain.

3. Pengakuan kepada hukum yang suci sebagai perintah dewa-dewi (Tuhan).

4. Pengakuan kepada hukum sebagai titah Tuhan.

5. Pengakuan terhadap hukum alam dalam arti klasik.

6. Pengakuan terhadap hukum alam berdasarkan kepada rasio manusia.

7. Pengakuan terhadap due proces of law.

8. Pengakuan terhadap hak-hak asasi manusia.

Peneliti berpendapat bahwasanya perkembangan pengujian peraturan

perundang-undangan yang sudah diatur dalam peraturan di negara Indonesia

dan Prancis, harus diterapkan dengan baik. Walaupun di setiap negara tidak

luput dari pelanggaran, tetapi hukum harus tetap diterapkan demi terciptanya

sebuah keadilan. Hal ini termaktub dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 yang

menyatakan bahwasanya, konstitusi Indonesia berdasarkan atas hukum. Dan

letak supremasi hukum negara Indonesia adalah konstitusi.

Jimly Asshidiqie berpendapat bahwa, setelah usai perang dunia II,

pandangan tentang Mahkamah Konstitusi dengan Judicial Review, telah

menyebar luas keseluruh benua yang ada di Eropa dengan mendirikan

Mahkamah Konstitusi secara terpisah oleh Mahkamah Agung. Namun dalam

hal ini, negara Prancis mengadopsi sistem ini secara berbeda dengan jalan

membentuk Constitutional Counsil (Counsil Constitutionel), termasuk negara-

9 Munir Fuady, Teori Negara Hukum Modern, (Bandung: Aditama, 2009), h. 84.

Page 55: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

45

negara bekas jajahannya.10 Dalam hal ini, Constitutional Counsil juga

mempunyai kewenangan untuk melakukan pengujian. Meskipun sifatnya

terbatas hanya melakukan control a priore, yang memiliki arti bahwasanya

pengujian diuji oleh Dewan Konstitusi Prancis itu sebelum suatu UU

diundangkan secara resmi atau bisa dikatakan dengan semi peradilan.

Kemudian setelah Rancangan Undang Undang tersebut diundangkan menjadi

Undang Undang, baru tidak bisa lagi diuji oleh Constitutional Council.

Terlampir dalam suatu perkembangan dalam penerapan Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan di beberapa negara, termuat 5 (Lima) model

yang tercuat, sebagaimana telah di gagaskan oleh Jimly Asshiddieqie, yakni:

1. Model dari suatu Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, yang

diberikan pada lembaga tersendiri yaitu, (Mahkamah Konstitusi). Undang-

undang Dasar di negara Austria tahun 1920 yang disusun oleh Han

Kelsen, secara tegas memberikan kewenangan Judicial Review, kepada

satu badan peradilan.

2. Model kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, menyatu

jadi kewenangan Mahkamah Agung, dan juga badan peradilan yang

berada dibawahnya. Sistem ini sering disebut dengan, ‘American System

Control’ karena sistem ini merupakan pertama kalinya diterapkan di

Amerika Serikat.

3. Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, tidak diberikan pada

sebuah institusi peradilan (court), tapi diserahkan kepada sebuah Dewan

Konstitusi (The Constitutional Council). Salah satu negara yang

menggunakan model ini yakni negara Prancis. Dalam pengalaman

ketatanegaraan di negara Prancis, Dewan Konstitusi bukanlah lembaga

pertama yang diberikan kewenangan untuk melakukan judicial review,

karena jauh sebelumnya pada tahun 1799, telah dikenal lembaga yang

bernama ‘Senat Conservateur’ dan pada tahun 1946 dibentuk Komite

Konstitusi.

10 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, … , h.3.

Page 56: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

46

4. Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, diserahkan kepada

parlemen. Model seperti ini, biasanya dianut oleh negara-negara yang

menganut ‘supremacy parlement’ dan Indonesia (sebelum amandemen

UUD) merupakan salah satu penganut sistem supremasi parlemen, dengan

adanya lembaga tertinggi negara MPR pada masa itu.

5. Model Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, diserahkan kepada

sebuah lembaga arbitrase (constitutional arbitrage). Salah satu yang

menganut sistem ini yakni negara Belgia.

Dari beberapa model pengujian peraturan perundang-undangan yang

tertera diatas, Bisa kita lihat bersama bahwasanya terdapat perbedaan

penerapan pengujian peraturan perundang-undangan oleh negara-negara

tersebut. Di Indonesia termasuk salah satu negara yang menganut model

pertama, yaitu telah terbentuknya sebuah lembaga peradilan konstitusi yang

dimana lembaga tersebut terlepas dari pengaruh lembaga peradilan lainnya.

Perkembangan yang terjadi di negara Prancis, tentu berbeda dengan

negara Indonesia dan negara-negara lainnya. Dalam perkembangannya Dewan

Konstitusi dipandang tidak hanya sekedar melaksanakan kewenangan

tradisionalnya, yakni mengawasi aktivitas Parlemen. Pada saat itu, Dewan

Konstitusi Prancis ikut terlibat dalam menentukan arah kebijaksanaan negara.

Hal ini disebabkan setiap rancangan undang-undang yang akan diundangkan

harus terlebih dahulu memperoleh persetujuan dari organ tersebut. Dewan

Konstitusi itu sendiri adalah organ yang merdeka dari pengaruh kekuasaan

Parlemen dan putusannya bersifat final serta mengikat organ-organ lain.11

Mulanya, Prancis termasuk bersama-sama dengan Inggris dan Belanda

dikenal sebagai penentang keras gagasan yang memberikan kewenangan

kepada hakim atau pengadilan untuk melakukan pengujian konstitusionalitas

atas Undang-Undang. Namun, dalam perkembangan selanjutnya, ide dari

pengujian konstitusionalitas itu sendiri diterima, tetapi sebagai alternatifnya,

sistem pengujian itu tidak dilakukan oleh lembaga non-peradilan. Oleh

karenanya, yang dirumuskan dalam konstitusi Prancis bukan ‘cour’

11 Jimly Asshiddiqie, Ahmad Syahrizal, Peradilan Konstitusi di 10 Negara, … , h. 137.

Page 57: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

47

(pengadilan), melainkan ‘consell’ (dewan), sehingga dibentuk lembaga

‘conseil constitutionnel’, bukan ‘cour constitutionnel’.12

B. Komparasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan Antara Negara

Indonesia Dengan Negara Prancis

Negara Indonesia merupakan negara hukum yang demokratis. Dalam hal

ini, suatu Undang-Undang terbilang sebagai sumber penting bagi kehidupan

dalam bernegara, dikarenakan Undang-Undang merupakan sebuah

perwujudan dari aspirasi rakyat yang diformalkan. Kemudian berdasarkan

Undang-Undang, pemerintah mendapatkan wewenang utama untuk

melakukan suatu perbuatan hukum. Faktor yang tercantum di dalam

Konstitusionalitas Pembentukan dalam Peraturan Perundang-Undangan salah

satunya yakni, terpacu pada Hierarki Peraturan Perundang-Undangan.13 Pada

perubahan ketiga amandemen Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945, yang kemudian Mahkamah Konstitusi terbentuk pada

13 Agustus 2003. Mencetuskan bahwasanya Mahkamah Agung bukan lagi

menjadi pelaku tunggal Kekuasaan Kehakiman. Berdasarkan Pasal 24 ayat (2)

UUD NRI Tahun 1945, menyebutkan bahwa “kekuasaan kehakiman

diselenggarakan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada

dibawahnya dan juga oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”.14

Terdapat suatu perbedaan yakni bahwasanya di negara Indonesia,

menerapkan dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan yang

dilakukan di Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Tertera jelas

berbeda dengan negara Prancis, metode yang digunakan dalam melakukan

Pengujian Konstitusional, yakni dilaksanakan sebelum Undang-Undang resmi

menjadi Legislative Act yang mengikat secara umum, bentuknya masih

menjadi Rancangan Undang-Undang, dan di Indonesia berbentuk Undang-

12 Jimly Asshiddiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai Negara, … ,

h.55. 13 I Dewa Gede Atmadja, dkk. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum, (Malang:

Setara Press, 2015), h. 176.

14 Antoni Putra, “Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan”, Jurnal Legislasi

Indonesia, Vol. 15, No. 2, (Jakarta, 2018), h. 70.

Page 58: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

48

Undang. Dalam hal ini, peneliti sangat tertarik untuk membahas lebih dalam

mengenai beragam jenis Pengujian Konstitusional di berbagai negara,

terkhusnya di negara Indonesia dan negara Prancis (Constitutional Council).

Dalam hal ini, dapat mengkomparasikannya dengan baik antara kedua negara

tersebut, yaitu Indonesia dengan Prancis, dan tak lepas juga dari menganalisa

permasalahan dari kualitas dan substansi dari Peraturan Perundang-Undangan

yang sudah ada di Indonesia.

Berbicara mengenai komparasi Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan, salah satu hal unik dari pengujian di Indonesia yaitu terdapat dua

lembaga pengujian, yang dimana dalam hal ini terdapat pemikiran tentang

pemberlakuan satu atap pengajuan Judicial Review di Mahkamah Konstitusi.

Seperti menurut Prof Jimly Asshidiqie, pembagian tugas pada Judicial Review

atas Peraturan Perundang-Undang antara Mahkamah Konstitusi dan

Mahkamah Agung bukan suatu yang ideal, karena dapat menimbulkan

perdebatan atas putusan yang saling bertentangan antara Mahkamah

Konstitusi dan Mahkamah Agung. Jimly Asshiddqie berpandangan idealnya

kewenangan menguji Peraturan Perundang-Undangan dibebankan kepada

Mahkamah Konstitusi sebagai penyatuatapan Pengujian Undang-Undang

(including of law and justice), meskipun gagasan itu disadari olehnya bahwa

tidak mudah direalisasikan karena perbedaan pengertian, konsep didasarkan

kepada prinsip demokrasi yang terus dikembangkan.15 Namun bertolak dari

prinsip bahwa Mahkamah Konstitusi merupakan the guardian of the

constitution dan Mahkamah Agung sebagai the guardian of the Indonesian

law, hal ini adalah upaya untuk menegaskan bahwasanya, Mahkamah

Konstitusi merupakan court of law, dan Mahkamah Agung adalah court of

justice. Karena Judicial Review termasuk ke dalam ranah court of law bukan

court of justice. Terbilang bahwasanya Mahkamah Konstitusi merupakan

court of law, yaitu mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri,

sedangkan Mahkamah Agung adalah cour of justice yaitu mengadili

15 Muhammad Ishar Helmi, “Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review Di

Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Sosial dan Budaya, 2019, Vol. 6, No. 1, Syar-I FSH UIN Jakarta,

h.105.

Page 59: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

49

ketidakadilan untuk mewujudkan sebuah keadilan.16 Peneliti menegaskan

bahwasanya, terbilang sebelumnya Mahkamah Agung merupakan sebuah

Institusi yang sangat sibuk dengan berbagai macam perkara, akan menjadi

ringan apabila dilimpahkan kewenangan tersebut kepada Mahkamah

Konstitusi. Seperti yang diketahui, Mahkamah Agung dengan jumlah Sumber

Daya Manusia yang terbatas, harus menangani puluhan ribu kasus tiap

tahunnya.

Demi terealisasikannya upaya dalam Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan satu atap melalui Mahkamah Konstitusi di Indonesia, maka

mekanisme dasar yang perlu dilakukan agar pengalihan wewenang pengujian

peraturan perundangan di bawah Undang-Undang menjadi wewenang

Mahkamah Konstitusi adalah dengan melakukan perubahan pasal 24A UUD

NRI Tahun 1945 yang mengatur tentang Mahkamah Agung. Dalam pasal 24A

tersebut dinyatakan, Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat

kasasi, menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang

terhadap Undang-Undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan

oleh Undang-Undang. Jika mekanisme amandemen kelima terhadap UUD

NRI Tahun 1945 dirasa cukup sulit untuk dilakukan, maka pemerintah bisa

membuat sebuah Undang-Undang yang menyatakan bahwa penanganan

Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di bawah Undang-Undang

dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi. Agar skenario tersebut berjalan lancar,

dibutuhkan kesepakatan antar para pihak, yaitu antara Mahkamah Konstitusi,

Mahkamah Agung, DPR, dan Presiden.17 Pemaparan tersebut melambangkan

bahwa terdapat perbedaan lembaga pengujian antara negara Indonesia dengan

negara Prancis. Tetapi, tetap di Indonesia belum menerapkan sistem pengujian

satu atap. Di Prancis, pengujian tetap dilaksanakan oleh Counseil

Constitutionnel yang bersifat kuasi-yudisial. Persamaan dalam pengujian ini

ialah terdapat pada sifat putusan yang Final dan Mengikat

16 Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU,

http://www.antaranews.com/print, diakses tanggal 25 Desember 2020. 17 Jimly Asshiddiqie, MK Siap Ambil Alih Wewenang MA Uji Aturan di Bawah UU, … ,

diakses tanggal 25 Desember 2020.

Page 60: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

50

Mekanisme pengujian peraturan perundangan-undangan di setiap

negara, memiliki kekhasan masing-masing seperti di negara Indonesia dan

Prancis. Setelah kita ketahui bersama mengenai pelaksanaan dalam Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan yang dilakukan oleh Mahkamah Agung dan

Mahkamah Konstitusi, dan juga pengujian yang dilakukan oleh Dewan

Konstitusi (Counseil Constitutionnel), berikut adalah komparasi pengujian

konstitusional antara negara Indonesia dengan negara Prancis18:

No. Indikator Indonesia Prancis

1. Dasar Hukum Undang-Undang Dasar

Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 (UUD 1945)

Pasal 24 ayat (2), 24C ayat

(1), UndangUndang Nomor 8

tahun 2011 tentang

Mahkamah Konstitusi Jo.

UndangUndang Nomor 24

tahun 2003 tentang

Mahkamah Konstitusi, dan

Peraturan Mahkamah

Konstitusi

(PMK)No.06/PMK/2005

tentang Pedoman Beracara

Perkara Pengujian Undang-

Undang.

Undang-Undang Nomor 3

tahun 2009 tentang

Perubahan Kedua Atas

Undang-Undang Nomor 14

tahun 1985 tentang

Constitution of 4 October,

1958 (Constitution du 4

octobre 1958 en vigueur/ la

Constitution de la 5e

Republique), yang mengatur

tentang Dewan Konstitusi

(Constitutional Council)

terdapat dalam Title

VII/BAB VII.

18 Desy Wulandary, “EX ANTE REVIEW dalam Mewujudkan Konstitusionalitas Peraturan

Perundang-Undangan di Indonesia”, … , h. 40-41.

Page 61: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

51

Mahkamah Agung.

2. Lembaga

yang

melakukan

pengujian

Mahkamah Agung (Supreme

Court) dan

Mahkamah Konstitusi

(Constitutional Court).

Dewan Konstitusi (Counseil

Constitutionnel).

3. Kedudukan

Lembaga

Yakni, Lembaga Kekuasaan

Kehakiman Negara yang

telah melakukan kekuasaan

(fungsi) yudisial.

Yakni, suatu Lembaga

Kuasi-Yudisial yang

Menjalankan kekuasaan

(fungsi) yudisial (diluar dari

lembaga yudikatif).

4. Objek

Pengujian

(Objectum

litis)

Undang-Undang yang sudah

disahkan kemudian

diundangkan (posteriori

review/ ex parte review).

Suatu Rancangan Undang-

Undang yang sudah

diterima atau disetujui oleh

parlemen, namun belum

diundangkan (beforetheir

promulgation). Pengujian

ini sering disebut apriori

abstract review/ ex ante

review dan ex post review19,

suatu pengujian terhadap

Undang-Undang, yang

dimana kewenangan

tersebut baru diaplikasikan

tahun 2010,

Merupakan pengadilan yang

bertanggung jawab untuk

menggambarkan yurisdiksi

antara Undang-Undang dan

bidang peraturan, Dewan

19 https://www.conseil-constitutionnel.fr/en/general-overview, Di Akses Pada 14 April 2021.

Page 62: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

52

Konstitusi juga dapat

ditangkap di satu sisi selama

diskusi di depan Parlemen

oleh presiden DPR yang

relevan atau oleh Perdana

Menteri, atau di sisi lain

mantan pos oleh

Perdana Menteri untuk

mengklasifikasi ulang

ketentuan legislatif, yaitu

mengubah dengan

keputusan suatu ketentuan

legislatif yang isinya

bersifat pengaturan, dan

juga Dewan Konstitusi

mengatur

pembagian kekuasaan antara

Negara dan teritori negara

tetangga.

5. Legal

Standing,

Yakni dapat

mengajukan

permohonan

pengujian

Merupakan Perorangan warga

Negara Indonesia, kesatuan

masyarakat hukum adat,

badan hukum publik atau

privat, dan lembaga negara

Yakni, Presiden Republik,

Presiden Senat, Presiden

Majelis Nasional, Perdana

Menteri Prancis, 60 anggota

Majelis Nasional, atau 60

Senator.20

6. Jangka Waktu

Pelaksanaan

Pengujian

Peraturan

Baik Undang-Undang,

Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi,

maupun PMK (Peraturan

Setelah permohonan

diajukan kepada Dewan

Konstitusi, harus dapat

melahirkan putusan dalam

20 https://www.conseil-constitutionnel.fr/en/general-overview, Di Akses pada 14 April 2021.

Page 63: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

53

Perundang-

Undangan

Mahkamah Konstitusi) tidak

mengatur secara jelas berapa

lama proses uji materiil

Undang-Undang

hingga adanya putusan

Mahkamah Konstitusi. Dapat

dimaknai bahwa jangka

waktu penyelesaiannya non

limitative (tidak terbatas).

jangka waktu 1 (satu) bulan,

namun apabila atas

permintaan pemerintah

dengan alasan yang sangat

mendesak, batas waktu

dapat dipercepat menjadi 8

(delapan) hari.

7. Prosedur

Pengambilan

Putusan

Pengambilan putusan

dilakukan dengan

melaksanakan Rapat

Permusyawaratan pada

Hakim (RPH). Putusan

diambil secara musyawarah

untuk mufakat, apabila tidak

mencapai mufakat maka rapat

ditunda sampai rapat

permusyawaratan berikutnya.

Akan tetapi apabila setelah

diusahakan sungguh-

sungguh, tetap tidak

menghasilkan kesepakatan

bulat, maka dari itu putusan

diambil dari suara terbanyak

(voting).

Putusan tersebut diambil

secara mufakat bulat, dan

tidak mengenal adanya

dissenting opinion, (karena

tidak dibenarkan menurut

Undang-Undang). Apabila

hasil dari voting ialah seri,

maka suara presiden

selanjutnya akan

menentukan. Ketua /

Presiden Dewan Konstitusi

ditunjuk sebagai

memegang suara kunci yang

menentukan apabila

keputusan diambil melalui

pemungutan suara dan

berakhir dengan seri (the

deciding vote in case of a

tie).

8. Sifat putusan Mahkamah Agung bersifat

Final, namun dapat dilakukan

Final dan Mengikat, serta

tidak ada upaya hukum lain

Page 64: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

54

upaya hukum luar biasa

berupa peninjauan kembali

putusan pengadilan yang

telah memperoleh kekuatan

hukum tetap dan grasi.

Mahkmah Konstitusi, bersifat

Final dan mengikat (final and

binding).

untuk mengubahnya.

9. Implikasi

Putusan

Tidak terdapat upaya hukum

setelah putusan dikeluarkan

oleh Mahkamah Konstitusi,

Undang-Undang yang

dinyatakan inkonstitusional

oleh Mahkamah Konstitusi

juga harus melakukan suatu

perubahan atau dihapuskan

Pasal yang bersangkutan dari

Undang-Undang tersebut.

Rancangan Undang-Undang

yang terbilang

inkonstitusional oleh Dewan

Konstitusi, tidak dapat

diberlakukan maupun

diimplementasikan. Putusan

tersebut memiliki kekuatan

hukum mengikat terhadap

seluruh kewenangan

administrative dan organ

peradilan umum.

Seperti yang sudah kita telaah bersama, bahwasanya di Indonesia

terdapat dualisme adanya Pengujian Peraturan Perundang-Undangan atau yang

bisa kita sebut dengan Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Namun,

kelemahan ketika norma hukum yang diberikan oleh putusan pengadilan

bertolak belakang. Persoalan akan timbul apabila Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan terhadap Undang-Undang tengah berlangsung di

Mahkamah Agung, sementara Undang-Undang yang menjadi batu uji juga

tengah diuji di Mahkamah Konstitusi dan dinyatakan bertentangan dengan

UUD NRI Tahun 1945, maka menjadi tidak relevan permohonan Judicial

Review di Mahkamah Agung tersebut tetap dilaksanakan, sebab Undang-

Page 65: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

55

Undang yang dijadikan batu uji sudah dinyatakan tidak dapat lagi berlaku.21

Kemudian, berbeda halnya dengan negara Prancis. Sistem Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan yang dilaksanakan di Prancis, terjadi sebelum Undang-

Undang yang bersangkutan resmi menjadi Legislative Act, dan masih

berbentuk Rancangan Undang-Undang. Dewan Konstitusi memiliki tanggung

jawab penuh dalam menguji tingkat keselarasan produk hukum dengan

konstitusi itu sendiri. Hal ini meliputi Undang-Undang secara umum dan

peraturan tata tertib permanen National Assembly dan Senate. Putusan dewan

konstitusi itu sendiri bersifat final mengikat terhadap seluruh kekuasaan

publik, kewenangan administrative, maupun badan peradilan lainnya.

Peneliti telah menemukan temuan perbandingan, antara negara Indonesia

dengan negara Prancis dalam konsep Pengujian Peraturan Perundang-

Undangan, yaitu tertera dalam posisi subjek penguji, dan objek penguji, yang

dimana negara kita sendiri negara Indonesia, subjek penguji dikuasi oleh

sebuah Mahkamah yang biasa kita sebut Mahkamah Agung, yang merupakan

lembaga dari kekuasaan kehakiman dan termasuk kedalam lembaga yudisial di

Indonesia, bukan hanya Mahkamah Konstitusi saja tetapi Mahkamah Agung

juga termasuk didalamnya dan mempunya posisi yang sama derajatnya oleh

Mahkamah Konstitusi. Maka, kedudukan sedemikian menjadi konsekuensi

pada Indonesia, karena menganut sistem separation of powers (pemisahan

kekuasaan). Di Prancis, hanya Dewan Konstitusi yang dapat melaksanakan

pengujian. Peneliti juga menemukan persamaan dalam Pengujian Peraturan

Perundangan-Undangan antara negara Indonesia dengan negara Prancis, yaitu

mengenai kewenangan, kewenangan Conseil Constitutionnel dengan

Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi, sama-sama untuk menyatakan

suatu Undang-Undang bertentangan dengan konstitusi.

Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, dan

Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 06/PMK/2005 tentang Pedoman Beracara

21 Taufiqurrahman Syahuri, Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika Pengujian

Peraturan PerundangUndangan, Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan

HAM RI, (Jakarta, 2014), h. 39.

Page 66: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

56

Perkara Pengujian Undang-Undang, telah mengatur mengenai proses

pengajuan permohonan Pengujian Undang-Undang, sebagimana berikut:22

1. Pengajuan terhadap permohonan (identitas, posita dan petitum)

2. Pemeriksaan kelengkapan permohonan

3. Pencatatan permohonan di BRPK

4. Pembentukan panel hakim, penjadwalan sidang

5. Sidang pemeriksaan pendahuluan

6. Sidang pemeriksaan pokok-pokok perkara dan bukti-bukti

7. Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH)

8. putusan.

Adapun subjek dalam pengujian di negara Prancis dipegang oleh Dewan

Konstitusi (Conseil Constitutionnel) yang dimana dewan tersebut menduduki

sebagai lembaga kuasi yudisial. Mengenai sejarah terbentuknya Dewan

tersebut, sudah peneliti jabarkan di bab sebelumnya, dan akan dipertegas lagi

didalam bab ini, yang mana Conseil Constitutionnel didirikan pada tahun

1958, setelah disahkannya republic Prancis pada waktu itu. Kemudian, ada

tiga alasan utama mengapa Dewan Konstitusi tersebut lebih tepat disebut

sebagai lembaga politis (kuasi yudisial), yaitu23 (1) Pengaturan mengenai

Dewan Konstitusi secara konstitusional berdasarkan Konstitusi Prancis

diletakkan dalam bab tersendiri diluar bab yang mengatur tentang Kekuasaan

Kehakiman, yaitu diletakkan ada Bab VII. Sedangkan perihal kekuasaan

kehakiman diatur secara tersendiri dalam Bab VIII, (2) anggota Dewan

Konstitusi bukanlah hakim dan tidak pula dipersyaratkan harus berpendidikan

hukum. Sebagaimana dapat dilihat dalam Konstitusi Prancis dan Undang-

Undang yang mengatur tentang Dewan Konstitusi Prancis tidak ada satupun

penyebutan yang menunjukkan bahwa anggota Dewan Konstitusi adalah

hakim. Demikian juga untuk menjadi anggota Dewan Konstitusi, tidak

22 https://www.mkri.id/public/content/pmk/PMK_PMK6.pdf, (Di akses pada 30 Desember

2020, pukul 21:30 WIB) 23 Arif ainul Yaqin, Pengujian Konstitusional (constitutional review) di Prancis, artikel

hukum, dalam,http://equityjusticia.blogspott.co.id/2015/02/normal-o-false-false-in-x-none-x.html,

(Diakses pada 30 Desember 2020, pukul 23:20 WIB)

Page 67: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

57

dipersyaratkan keharusan berpendidikan hukum sebagaimana hal tersebut

telah menjadi keharusan untuk seseorang dapat menjadi hakim di mana pun,

dan (3) Dewan Konstitusi memang tidak dimaksudkan untuk menjadi suatu

lembaga peradilan atau kekuasaan kehakiman. mengapa demikian karena pada

sejarah awal dibentuknya Dewan Konstitusi, justru merupakan hasil dari

kompromi antara dua pancaran pemikiran yang saling berbenturan, kemudian

prinsip supremasi parlemen, merupakan cermin kedaulatan rakyat serta

ketidakpercayaan pada lembaga peradilan, di satu sisi dengan kebutuhan akan

penegakan hukum dasar yang tertuang dalam konstitusi dan prinsip check and

balances terhadap parlement yang sangat berkuasa di sisi lain. Maka dari itu,

objek pengujiannya berupa Rancangan Undang-Undang.

Tatanan yang terdapat dalam Pengujian Konstitusionalitas di negara

Prancis, dapat dibedakan yakni Rancangan Undang-Undang yang bersifat non

organic (non organic law) atau organic (organic law). Jika dijabarkan satu

persatu, yang merupakan Rancangan Undang-Undang Organik ialah suatu

Rancangan Undang-Undang yang telah dibentuk atas perintah langsung dari

Konstitusi, sedangkan Rancangan Undang-Undang biasa, ialah suatu

Rancangan Undang-Undang yang dibentuk tanpa adanya perintah langsung

dari konstitusi (selain dari Undang-Undang organik). Kemudian dari pada itu,

Dewan Konstitusi juga diberikan tanggung jawab untuk melakukan

pemeriksaan dan verifikasi atas konstitusionalitas atau peraturan dibawah

konstitusi, diantaranya ialah:24

1. Undang-Undang (organic laws), yang umumnya menyangkut legislasi,

yang membentuk, memperbarui kedudukan, atau memfungsikan institusi

atau badanbadan public

2. Peraturan Tata Tertib Majelis Nasional, Senat

3. Perjanjian internasional (international treaties)

4. Undang-Undang biasa (ordinary legislation) yang bukan termasuk

kategori Undang-Undang (organic laws).

24 Jimly Asshidiqie, Model-Model Pengujian Konstitusional di Berbagai Negara, … , h.

136.

Page 68: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

58

Merujuk kepada konstitusionalitas, dewan bukanlah satu-satunya organ

penjamin konstitusi. Karena jika dicermati secara teliti dictum Pasal 5

Konstitusi Republik Kelima (1958). Presiden Republik Prancis juga diberi

tugas untuk menegakkan dan menghormati konstitusi. Bunyi pasal 5, “The

President of the Republic shall ensure the respect of the Constitution”.25

Dalam hal ini berarti, Presiden memiliki upaya sendiri dalam menjalankan

konstitusi tanpa perlu dari dewan konstitusi itu sendiri.

25http://www.conseilconstitutionnel.fr/conseilconstitutionnel/english/constitution/constituti

on-of-4-october-1958.25742.html, Di akses pada 23 Maret 2021.

Page 69: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

59

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Berdasarkan pembahasan yang telah dianalisis diatas, untuk mengakhiri

pembahasan tersebut, maka penulis memberikan kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkembangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di indonesia,

menjadi sesuatu yang urgent dalam kehidupan bernegara. Terutama bagi

negara hukum (rechtstaate) yang demokratis. Sejatinya, kewenangan

Mahkamah Konstitusi bersifat mutlak untuk melaksanakan Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan (Judicial Review) terhadap Undang-

Undang yang dimana didalamnya terdapat peraturan yang mengatur

mengenai pelanggaran hak-hak konstitusional masyarakat yang tertera

dalam pasal 24C UUD 1945. Hak-hak konstitusional yang dimaksud ialah

hak-hak yang ditegaskan oleh konstitusi. Dalam kewenangan Mahkamah

Konstitusi pula dalam menguji Undang-Undang yang bertentangan dengan

Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan suatu proses didalam

menegakkan Negara Hukum dan demokrasi, sehingga untuk menciptakan

hal yang demikian, setiap putusan yang di tetapkan oleh Mahkamah

Konstitusi harus dilaksanakan dan di realisasikan dengan sebaik-baiknya.

2. Perbandingan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia,

menjadi dasar dari komparasi Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

dengan negara Prancis, yang dimana dinegara Prancis hanya dilaksanakan

dengan satu lembaga saja, yaitu Dewan Konstitusi. Kemudian dalam hal

pengujian kepada dua lemabaga di Indonesia, mengakibatkan berbagai

macam persoalan, persoalan yang terpancar yaitu mengenai kepastian

hukum, marwah dari kelembagaan tersebut, dan kekosongan hukum.

Kemudian, makna dari Pengujian Peraturan Perundang-Undangan itu

sendiri menurut ajaran trias politica adalah untuk memberikan

perlindungan dan penegakan hak asasi manusia dalam konteks proses

berdemokrasi dan menegakkan negara hukum yang demokratis atau negara

demokrasi yang berbasis konstitusi. Dalam hal ini, Pengujian Peraturan

Page 70: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

60

Perundang-Undangan baik yang dilakukan oleh lembaga eksekutif,

yudikatif, maupun legislatif baik secara internal maupun eksternal

merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari sistem Peraturan Perundang-

Undangan, sangatlah ideal jika Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

yang dilakukan lembaga yudikatif menggunakan sistem satu atap yaitu

semua jenis Peraturan Perundang-Undangan dan segala tingkatannya diuji

di Mahkamah Konstitusi. Dengan hanya Mahkamah Konstitusi yang

berwenang menguji semua jenis dan tingkatan Peraturan Perundang-

Undangan maka pengujian tersebut dapat dilakukan secara efisien dan

efektif serta menghindari terjadinya conflict of interest dan conflict of

interpretation dengan Mahkamah Agung.

B. Rekomendasi

Berdasar pada permasalahan yang telah penulis paparkan di atas, maka

penulis mencoba memberikan beberapa rekomendasi berupa:

1. Negara Indonesia adalah negara hukum, dengan demikian letak supremasi

hukum terletak pada konstitusi. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi

memiliki wewenang penting sebagai pengawal konstitusi untuk

menjalankan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan dengan baik,

konsisten dalam menjalankan tugas dan kewajiban serta memutus perkara

dengan seadil-adilnya, demi mewujudkan keadilan dalam kemasyarakatan,

dalam berbangsa dan bernegara serta tercapainya kemakmuran dan

kesajahteraan. Diperlukan pengaturan lebih jelas dan lebih baik melalui

amandemen ulang maupun peraturan yang sifatnya mengatur aturan

mengenai Pengujian Undang-Undang terhadap Undang-Undang Dasar

1945. Karena melihat pentingnya lembaga Mahkamah Konstitusi dalam

menguji Undang-Undang. Juga dalam pengujian peraturan lain yang

diawah Undang-Undang, seperti peraturan daerah, maka Pengujian

Peraturan Perundang-Undangan berada pada satu lembaga saja dan

kewenanagan di limpahkan kepada Mahkamah Konstitusi. Seperti di negara

Prancis, pengujian konstitusionalnya terfokus kepada Dewan Konstitusi.

Page 71: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

61

2. Dewan Konstitusi dapat meninjau Undang-Undang hanya dalam dua

keadaan. Pertama, Dewan Konstitusi secara otomatis meninjau RUU untuk

Undang-Undang organik sebelum dapat ditandatangani menjadi Undang-

Undang. Ini adalah Undang-Undang yang berkaitan dengan organisasi dan

fungsi pemerintah. Mereka melengkapi Konstitusi dan terletak di antara

Konstitusi dan hukum biasa dalam hierarki norma Prancis. Kedua, Dewan

Konstitusi dapat meninjau Undang-Undang untuk Undang-Undang biasa

sebelum ditandatangani menjadi Undang-Undang, tetapi hanya jika diminta

oleh Presiden Republik, Perdana Menteri, Presiden Majelis Nasional, atau

Presiden Senat. Dalam dua keadaan tersebut, Dewan Konstitusi tidak dapat

membatalkan Undang-Undang setelah ditandatangani dan diundangkan.

Artinya, hingga reformasi konstitusi pada 23 Juli 2008, yang

memperkenalkan “masalah prioritas konstitusionalitas” (QPC). QPC

sendiri merupkan prosedur di mana pihak dalam gugatan dapat menantang

hukum karena melanggar hak atau kebebasan yang dijamin oleh Konstitusi.

Cara kerjanya adalah, ketika ada pihak yang berargumen bahwa suatu

Undang-Undang melanggar hak atau kebebasan yang dijamin oleh

konstitusi, maka pengadilan harus segera memutuskan apakah pertanyaan

tersebut harus diterima. Sejatinya, dalam suatu pengujian RUU seperti yg

dilakukan di negara Prancis, bisa menjadi lesson learnt bagi negara

Indonesia.

Page 72: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

62

DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Asshiddiqie, Jimly. 2005. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai

Negara. Jakarta: Konstitusi Press.

_____ . 2006. Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta:

Konpres.

_____ _. 2007. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pasca

Reformasi. Jakarta: Bhuana Ilmu Populer.

__ ___ . 2009. Menuju Negara Hukum yang Demokratis. Jakarta: PT

Bhuana Ilmu Populer Kelompok Gramedia.

___ __ . 2010. Model-Model Pengujian Konstitusional Di Berbagai

Negara. Jakarta: Sinar Grafika.

_____ . 2011. Konstitusi & Konstitusionalisme Indonesia.

Rawamangun: Sinar Grafika.

Dudu Duswara M. 2003. Pengantar Ilmu Hukum; Sebuah Sketsa. Bandung:

Refika.

Djosutono. 1982. Hukum Tata Negara. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Fachruddin, Irfan. 2004. Pengawasan Peradilan Adiministrasi Terhadap

Tindakan Pemerintah. Bandung: Alumni.

Frans Magnis S. 1999. Kuasa dan Moral. Jakarta: Gramedia.

Fuady, Munir. 2009. Teori Negara Hukum Modern. Bandung: Aditama.

Hasani, Ismail. 2020. Pengujian Konstitusionalitas PERDA. Jakarta: Kepustakaan

Populer Gramedia.

Huda, Ni’matul dan R. Nazriyah. 2011. Teori dan Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan. Bandung: Nusamedia.

Ibrahim, Johnny. 2007. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif.

Malang: Bayumedia.

I Dewa Gede Atmadja. 2015. Teori Konstitusi dan Konsep Negara Hukum.

Malang: Setara Press.

Page 73: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

63

Indrati, Maria Farida. 2000. Masalah Hak Uji Terhadap Peraturan Perundang-

Undangan dalam Teori Perundang-Undangan, Seri Buku Ajar.

Jakarta: FHUI.

____ _ . 2007. Ilmu Perundang-Undangan I (Jenis, Fungsi dan

Materi Muatan). Yogyakarta: PT Kanisius.

Jimly Asshiddiqie dan Ahmad Syahrizal. 2011. Peradilan Konstitusi di 10

Negara. Jakarta: PT Sinar Grafika.

Junaidi, Muhammad. 2018. Hukum Konstitusi “Pandangan dan Gagasan

Modernisasi Negara Hukum”. PT RajaGrafindo Persada: Depok.

J.G Steenberk, dalam Dahlan Thaib (et.al). 2012. Teori dan Hukum Konstitusi.

Jakarta: Rajawali Grafindo.

Kelsen, Hans. 2008. Teori Hukum Murni. Bandung: Nusa Media.

M. Mahfud MD. 2009. Konstitusi dan Hukum dalam Kontroversi Isu. Jakarta:

Rajawali Pers.

_____________. 2013. Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen

Konstitusi. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Nazir, Moh. 2005. Metode Penelitian. Jakarta: Ghalia Indonesia.

Novendri M. Nggilu. 2015. Hukum dan Teori Konstitusi (Perubahan Konstitusi

yang partisipatif dan Populis). Yogyakarta: UII Press.

Peter Mahmud M. 2005. Penelitian Hukum. Jakarta:Prenada Media.

Ridwan HR. 2011. Hukum Administrasi Negara. Jakarta: Raja Grafindo Persada.

Safaat, Muchamad Ali, dkk. 2011. Hukum Acara MK. Jakarta: Sekretriat Jendral

MK RI.

Soemantri, Sri. 1997. Hak Uji Material di Indonesia. Bandung: Alumni.

Stone, Alec. 1992. The Birth of Judicial in France: The Constitutional Council in

Comparative Perspective. Oxford University Press: New York.

Supriyadi. 2016. Community Of Practitioners: Solusi Alternatif Berbagi

Pengetahuan Antar Pustakawan. Semarang: Jurnal Lentera Pustaka.

Sukismo. 2008. Karakter Penelitian Hukum Normatif dan Sosiologis. Yogyakarta:

Puskumbangsi Leppa UGM.

Page 74: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

64

Syahrizal, Ahmad. 2006. Peradilan Konstitusi, Suatu Studi tentang Adjudikasi

Konstitusional sebagai Mekanisme Penyelesaian Sengketa Normatif.

Jakarta: Prandnya Paramita.

Syahuri, Taufiqurrahman. 2014. Pengkajian Konstitusi Tentang Problematika

Pengujian Peraturan PerundangUndangan. Jakarta: BPHN Kemenhum

dan HAM RI.

PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN

Undang-Undang Dasar 1945

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung Constitution of

4 October, 1958 (Constitution du 4 octobre, 1958 en vigueur/ la

Constitution de la 5e Republique), yang mengatur tentang Dewan

Konstitusi di Prancis

SKRIPSI

Nugroho, Cahyo Dwi. 2011. Hak Uji Materil Oleh Kekuasaan Kehakiman

(Pengujian Peraturan Perundang-Undangan) Terhadap Peraturan

Menteri oleh Mahkamah Agung Republik Indonesia, Skripsi Fakultas

Hukum Universitas Negeri Sebelas Maret.

Amanda, Sylvia. 2017. Studi Perbandingan Prinsip Hukum Acara di Mahkamah

Konstitusi dan Mahkamah Agung dalam Sidang Pengujian Peraturan

Perundang-Undangan, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN

Jakarta.

Ifani, Inggrit. 2015. Legal Standing Ppengujian Undang-Undang oleh Mahkamah

Konstitusi RI, Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum UIN Jakarta.

JURNAL

Ansori, Lutfil. 2016. “Politik Hukum Judicial Review Ketetapan MPR”. Jurnal

Hukum dan Perundangan Islam, Vol. 6,. No.1. Universitas Islam

Negeri Sunan Ampel.

Asshiddiqie, Jimly. 2012. “Sejarah Constitutional Review dan Gagasan

Pembentukan MK”, makalah yang dibuat untuk acara “The Three E

Lecture Series”, @merica, Pacific Place, Level 3. Jakarta.

Page 75: KEWENANGAN PENGUJIAN PERATURAN PERUNDANG …

65

Helmi, Muhammad Ishar. 2019. “Penyelesaian Satu Atap Perkara Judicial Review

Di Mahkamah Konstitusi”. Jurnal Sosial dan Budaya. Vol. 6, No. 1.

Syar-I FSH UIN Jakarta.

Indrati, Maria Farida. “Pengujian Peraturan Perundang-Undangan, Mengenal

Keberadaan Mahkamah Konstitusi di Indonesia”. Modul 1.

MPR RI. 1999. “Risalah Rapat ke-1 Badan Pekerja MPR RI”. Jakarta: Sekretariat

Jenderal MPR RI.

Pusat Studi Konstitusi Hakultas Hukum Andalas. 2010. “Perkembangan

Pengujian PerundangUndangan di Mahkamah Konstitus”. Jurnal

Konstitusi, Vol. 7, No. 6.

Putra, Antoni. 2018. “Dualisme Pengujian Peraturan Perundang-Undangan”.

Jurnal Legislasi Indonesia. Vol. 15, No. 2.

Silalahi, Doni. 2016. “Kewenangan Pengujian Peraturan Perundang-Undangan

Mahkamah Agung Terhadap Peraturan Perundang-Undangan di Bawah

Undang-Undang”. Jurnal Mahasiswa S2 Hukum Universitas

Tanjungpura, Vol.3 No. 3.

Sutiyoso, Bambang. 2010. “Pembentukan Mahkamah Konstitusi Sebagai Pelaku

Kekuasaan Kehakiman di Indonesia”. Jurnal Konstitusi, Vol. 7, No. 6.

Tim Penyusun Hukum Acara MK. 2010. “Hukum Acara MK”. Jakarta:

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MKRI.

Al Rasyid, Harun. dalam disertasinya, Pengisian Jabatan Presiden. Dikutip oleh

Jimly

Qamar, Nurul. 2012. “Kewenangan Judicial Review Mahkamah Konstitusi”,

Jurnal Konstitusi, Vol. I, No. 1.

Wulandari, Desy. 2018. “ANTE REVIEW dalam Mewujudkan Konstitusionalitas

Peraturan Perundang-Undangan di Indonesia”. Article Indonesian:

State Law Review. Vol.1. No.1.

WEB

https://alisafaat.wordpress.com/2008/05/28/toetsingsrecht-%E2%80%93-judicial-

review-%E2%80%93-constitutional-review

https://www.mkri.id/public/content/pmk/PMK_PMK6.pdf

http://equityjusticia.blogspott.co.id/2015/02/normal-o-false-false-in-x-none-x.html

http://www.hukumonline.com/berita

http://www.antaranews.com/print