Keumalahayati Project - Dian Aditya Ning Lestari - Pengembangan Teknologi Light Destroyer sebagai...
-
Upload
dian-aditya-ning-lestari -
Category
Documents
-
view
202 -
download
5
description
Transcript of Keumalahayati Project - Dian Aditya Ning Lestari - Pengembangan Teknologi Light Destroyer sebagai...
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [1]
Keumalahayati Project: Pengembangan Light Destroyer untuk Melengkapi
Revolusi Nausena Pavara Indonesia
Disusun oleh Dian Aditya Ning Lestari
Sebagai tugas akhir Mata Kuliah Revolusi Sistem Persenjataan1
2012
Revolusi Nausena Pavara (Revolution of Naval Power) akan penulis tawarkan dalam
tulisan ini untuk diaplikasikan agar Indonesia sebagai kekuatan maritim 2050.2
Sesuai dengan
dasar-dasar teori Revolution in Military Affairs (RMA), Revolusi Nausena Pavara perlu
diterapkan untuk menjadi dasar transformasi di tiap-tiap aspek penting: aspek nilai, aspek
organisasi dan aspek teknologi. Agar dapat mencapai transformasi pada teknologi, inovasi
militer dan difusi teknologi diiringi dengan kesiapan industri pertahanan dibutuhkan. Teknologi
yang penulis argumentasikan penting untuk diadopsi bagi revolusi ini adalah teknologi kapal
perang light destroyer (DDL), yang dengan pelaksanaan Keumalahayati Project dapat
direalisasikan.
Indonesia Menuju RMA: Kepentingan dan Kesiapan
Indonesia adalah negara maritim terbesar di Asia Tenggara. Dengan kepemilikannya atas
1919440 km2 kawasan tanah dan 735355 sq mi kawasan laut,3 Indonesia memiliki banyak
perbatasan laut yang penting untuk dijaganya dari ancaman. Untuk itu, tentunya penting bagi
Indonesia untuk memiliki kekuatan angkatan laut yang handal. Kekuatan laut yang begitu
handal, hingga membuatnya tidak akan diremehkan oleh tetangga-tetangganya.
Indonesia sekaligus pemilik dari luas wilayah, jumlah penduduk dan potensi ekonomi
paling signifikan di kawasan. Diperkirakan oleh Goldman Sachs Investment Bank bahwa
1 Terima kasih kepada Andi Widjajanto atas bimbingannya selama kelas ini 2 Makalah ini tidak dapat dikutip tanpa izin penulis 3 Indonesia Diplomatic Handbook, (USA: USA International Business Publications, 2007), hlm. 8.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [2]
Indonesia akan menjadi satu dari tujuh GDP terbesar di dunia di tahun 2050.4 Bukan tidak
mungkin bagi Indonesia, dengan demikian, untuk melakuan Revolution in Military Affairs
(RMA) –alias Revolusi Krida Yudha.
Selain itu, Indonesia berada di daerah pertukaran strategis antara kepentingan dari
berbagai kawasan. Ia berada di pertemuan antara kepentingan Cina dan Australia, kepentingan
perdagangan India denga Jepang, dengan Taiwan, kepentingan negara-negara Asia Timur dengan
negara di Timur Tengah, dan Indonesia juga berada di tengah kehadiran kekuatan militer AS di
Asia Timur, serta berada diantara dua kekuatan militer besar milik Cina dan Australia. Posisi
tersebut semakin menjustifikasi pentngnya Indonesia untuk melaksanakan RMA demi menjadi
sebuah nausena pavara di kawasan.
Tinjauan Konseptual: RMA, Inovasi Militer, Difusi Teknologi, dan Industri Pertahanan
RMA
RMA atau Revolution in Military Affairs atau Revolusi Krida Yudha adalah sebuah
konsep yang seringkali diasosiasikan pada perubahan besar dalam cara-cara berperang, seperti
transformasi di ranah strategic culture dan conduct of warfare. Seringkali pula, ia diasosiasikan
dengan transformasi di taraf yang riil dan teknis: pengembangan suatu sistem persenjataan
tertentu. Dikatakan oleh Alvin dan Hedi Toffler:
―A military revolution, in its fullest sense, occurs only when a new civilization arises to challenge the old, when an entire society transforms itself, forcing its armed forces to change at
every level simultaneously—from technology and culture to organization, strategy, tactics,
training, doctrine, and logistics.‖5
Dapat disimpulkan dengan demikian, bahwa RMA merupakan konsep yang dapat
diasosiasikan dengan perubahan teknologi, budaya, doktrin, strategi, taktik, dan lain-lain, selama
dapat dijustifikasi bahwa perubahan tersebut telah atau akan mengubah cara-cara manusia
melakukan perang. Karena, perubahan dalam cara-cara perang itu sendiri merupakan inti dari
RMA. Inti dari RMA adalah sebuah revolusi, yang untuk mencapainya diperlukan inovasi, dan
adanya transformasi di lini konseptual (nilai), organisasional, dan teknologi.6
4 Dominic Wilson and Raluca Dragusanu, The Expanding Middle: The Exploding World Middle Class and falling
Global Inequality, in Global Economic Paper No: 170 (July 2008), hlm. 4 5 Peter Dombrowzski dan Eugene Gholz, Buying Military Innovation: Technological Innovation and the Defense
Industri, (New York: Columbia University Press, 2006), hal. 6 6 Ibid.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [3]
Military Innovation
Inovasi militer dianggap sebagai langkah awal dari melakukan RMA. Secara teoretik,
inovasi militer dapat dilihat dari berbagai perspektif: realisme struktural; masyarakat (societal)
dan organisasional. Perspektif realisme struktural menganalisis insentif negara melakukan
inovasi militer: ancaman external, tujuan revisionis, dan keberadaan sumber daya. Perspektif
masyarakat dan organisasional melihat kohesi sosial, product champion, jenjang karir, dan
kegagalan masa lalu sebagai aspek-aspek yang bisa mendukung inovasi teknologi militer.7
Inovasi militer secara spesifik dimanifestasikan pada: 8
- Konsep berperang baru
- Konsep integrasi baru: doktrin, taktik, training, dan support
Inovasi militer tidak selalu membutuhkan teknologi tinggi sehingga negara dengan
kemampuan teknologi rendah dapat pula melakukannya. Hal ini perlu ditekankan karena inovasi
militer berbeda dengan inovasi teknologi pada RMA.
Inovasi militer dapat terjadi secara integratif dan disintegratif:9 integratif ketika inovasi
dikaitkan secara langsung dengan inovasi doktrin, taktik, training, support, dan segala aspek
grand strategy, dan disintegratif ketika semuanya dilakukan secara terpisah. Inovasi militer
sebagai langkah awal RMA ini secara konseptual memiliki semangat yang sama dengan tahapan
pertama transformasi RMA menurut Alvin dan Toffler: transformasi nilai, landasan awal dari
penciptaan apa yang nantinya akan penulis sebut sebagai nausena mulya.
Technological Diffusion
Tahap kedua dari RMA adalah technological diffusion.10
Difusi teknologi mengacu
kepada lalu lintas atau pertukaran teknologi militer dari suatu negara ke negara lain.11
Dalam
konteks internal negara, suatu pertukaran teknologi juga relevan disebut sebagai difusi teknologi.
7 Lihat Dokumen RAND: “Predicting Military Innovation” oleh Jeffrey A. Isaacson, Christopher Layne, dan John
Acquilla, Arroyo Center, disponsori oleh United States Army, RAND, 1999, hal. 4. 8 Ibid, hal. 7. 9 Andi Widjajanto, dalam seminar Mata Kuliah Revolusi Sistem Persenjataan, Departemen Ilmu Hubungan
Internasional, Faktultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Indonesia, 2012, pada Selasa, 29 Mei 2012, 11:00-
13:30. 10 Ibid 11Williah J. Delgrego, “The Diffusion of MilitaryTechnologies to Foreign Nations Arms Transfers Can Preserve the
Defense Technological and Industrial Base,” Air University Press, Maxwell Air Force Base, Alabamahal, hal.3,
diakses dari http://aupress.au.af.mil/digital/pdf/paper/t_delgrego_diffusion_of_military_technologies.pdf, 9/6/2012,
15:03.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [4]
Menurut Andi Widajanto difusi teknologi ini bisa terjadi secara internal, yaitu difusi antara
teknologi sipil dan militer; dan external, yaitu difusi teknologi melalui perdagangan senjata.12
Dalam konteks ini, penulis akan berargumentasi tentang bagaimana Indonesia harus melakukan
difusi teknologi dengan Australia dalam melaksanakan Keumalahayati Project untuk
mengembangkan light destroyer.
Defense Industry
Agar dapat melaksanakan RMA, sebuah negara harus didukung oleh industri pertahanan
yang siap. Tanpa kemampuannya untuk memproduksi peralatan dan sistem persenjataan yang
baru, RMA tidak akan dimungkinkan.13
Dalam the Military Balance 2009 dijelaskan bahwa ada
tiga model industri pertahanan yang bisa diikuti oleh negara: autarki, niche-production, dan
global supply chain.14
Model autarki dipilih oleh negara yang menginginkan seluruh bagian dari
komponen persenjataan yang ingin dimilikinya dapat diproduksinya sendri. Salah satu negara di
Asia Pasifik mengadopsi model ini adalah Cina. Negara dengan model autarki pada industrinya
ini mengingankan self-sufficiency dalam produksi segala jenis sistem persenjataannya.
Niche-production sebagai model industri pertahanan kedua banyak dilakukan oleh negara
yang menyadari ketidakmampuannya dalam memproduksi segala kebutuhan persenjataannya,
namun ingin menghindari dependensi total pada impor, seperti Indonesia yang mulai
mengembangkan tank Anoa buatan PT Pindad sehingga tidak perlu melakukan impor senjata
jenis tank.
Melaksanakan model industri pertahanan ketiga, global supply chain, suatu negara
menjadikan dirinya bagian dari rantai suplai senjata global, mengincar produksi global dari suatu
spesialisasi tertentu dalam sistem persenjataan, seperti komponen persenjataan. Singapura adalah
contoh negara yang melakukan produksi dalam prseperti Singapura, hanya saja, memiliki
spesialisasi di bidang elektronik dalam pertahanan, sehingga ketika misalnya Amerika Serikat
ingin membentuk joint production, Singapura diandalkan dalam mensuplai teknologi tersebut.
12 Loc Cit. 13 Peter Dombrowzski dan Eugene Gholz, Buying Military Innovation: Technological Innovation and the Defense
Industri, (New York: Columbia University Press, 2006), hal. 1 14 _____(2009): East Asia and Australasia, The Military Balance.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [5]
Revolusi Nausena Pavara Tahap I: Inovasi Militer dan Nausena Mulya (2012-2032)
Dalam usaha menjadi sebuah naval power (nausena pavara) dan melakukan RMA,
Indonesia harus melakukan transformasi dari ranah yang paling mendasar sampai yang paling
teknis. Transformasi konseptual di ranah nilai adalah transformasi paling mendasar tersebut,
dengan dilanjutkan oleh inovasi teknologi militer sebagai pengejawantahan lebih spesifiknya.
Suatu negara, jika ingin melakukan RMA, harus melakukan inovasi teknologi militer terlebih
dahulu. Namun, bagaimana dengan Indonesia? Analisis perspektif realisme struktural dalam
melihat insentif inovasi militer tidak bekerja di Indonesia. Ancaman external sebagai salah satu
insentif ada bagi Indonesia, namun walau demikian inovasi militer tidak berjalan signifikan.
Mengapa demikian? Kemungkinan besar karena kegagalan kohesi sosial, 15
yang menurut
penulis adalah tidak adanya visi bersama antara masyarakat dan TNI tentang bagaimana
menjalankan pertahanan maritim Indonesia; dan ketidaksesuaian organisasional, 16
yang menurut
penulis, dalam kasus Indonesia, adalah pengaturan komando armada angkatan laut yang tidak
berbasis-ancaman. Karena itu, penulis menawarkan tiga hal: 1. Internalisasi Nausena Mulya
(Naval Values) bagi sipil dan militer; 2. Redefinisi Persepsi Ancaman; 3. Rekonseptualisasi
Taktik Militer Angkatan Laut Indonesia; dan 4. Reorganisasi Komando Wilayah Angkatan Laut
Indonesia berbasis-ancaman.
1. Internalisasi Nausena Mulya bagi Sipil dan Militer
Yang dimaksud dengan Nausena Mulya (atau Naval Values) disini adalah nilai-nilai yang
berhubungan dengan kesadaran akan Indonesia sebagai negara maritim dan pentingnya fokus
pada pembangunan kekuatan angkatan laut sebagai pengejawantahan dari tujuan pertahanan
negara. Menurut pasal 4 UU No. 3/2001 tentang Pertahanan Negara, tujuan utama pertahanan
negara adalah “untuk menjaga dan melindungi kedaulatan negara, keutuhan wilayah Negara
Kesatuan Republik Indonesia, dan keselamatan segenap bangsa dari segala bentuk ancaman.”17
Adalah fakta bahwa Indonesia memiliki yurisdiksi atas 1919440 km2 kawasan tanah dan
15 Lihat Dokumen RAND: “Predicting Military Innovation” oleh Jeffrey A. Isaacson, Christopher Layne, dan John
Acquilla, Arroyo Center, disponsori oleh United States Army, RAND, 1999, hal. 4. 16 Lihat Dokumen RAND: “Predicting Military Innovation” oleh Jeffrey A. Isaacson, Christopher Layne, dan John
Acquilla, Arroyo Center, disponsori oleh United States Army, RAND, 1999, hal. 4. 17 Rizal Sukma, “POSTUR PERTAHANAN INDONESIA,”Pengantar Diskusi Untuk FGD-ProPatria, Discussion
Paper, (Jakarta:, CSIS Jakarta, 5 Februari 2003) diakses dari
http://www.propatria.or.id/download/Paper%20Diskusi/postur_pertahanan_indonesia_rs.pdf, 12/01/2012, 1:28.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [6]
735355 sq mi kawasan laut.18
Dengan demikian Indonesia memiliki banyak perbatasan laut yang
penting untuk dijaganya dari ancaman Untuk melindungi ancaman dari luar maupun ancaman
dari dalam,19
bagaimanapun juga kekuatan angkatan laut penting.
Nausena mulya perlu diinternalisasikan tidak hanya kepada para prajurit tapi juga kepada
seluruh masyarakat. Kesadaran masyarakat akan kondisi strategis dan ketidakmampuan kita
menghadapi ancaman akan kita akan menghasilkan opini publik yang positif bagi pelaksanaan
RMA di bidang Indonesia. Internalisasi nausena mulya juga perlu dilakukan pada TNI yang
sekarang memiliki budaya penganak-emasan matra darat yang kuat.20
Berikut adalah
rekomendasi kebijakan penulis bagi pelaksanaan transformasi nilai tersebut:
1) Internalisasi nausena mulya pada kurikulum siswa
Perlu disosialiasaikan kepada calon-calon penerus bangsa dan calon-calon prajurit ini
bahwa negara yang akan mereka jalankan dan/atau mereke bela ini adalah negara kepulauan
dengan area laut yang sangat luas. Sense of urgency yang tinggi perlu ditumbuhkan dikalangan
generasi penerus bangsa tentang pentingnya pertahanan laut. Bersamaan dengan itu, sense of
pride (rasa bangga) perlu pula ditimbulkan akan negara maritimnya ini. Dengan demikian akan
terjadi perubahan mindset padaa calon-calon pelaksana sipil, maupun militer, maupun swasta ini
sehingga mereka memahami pentingnya pengembangan kekuatan angkatan laut demi
tercapainya tujuan pertahanan negara Indonesa.
2) Internalisasi nausena mulya pada kuriulum pendidikan pertahanan
Internalisasi nausena mulya pada kurikulum pendidikan pertahanan ini juga sangat
penting. Para prajurit harus diubah mindset-nya tentang persepsi ancaman di Indonesia: benar
bahwa ancaman dari dalam negeri tetap ada, tetapi itu bukan berarti kita melupakan ancaman
dari luar. Hal ini harus dibawa ke ruang kelas Universitas Pertahanan dan institusi pendidikan
18 Indonesia Diplomatic Handbook, (USA: USA International Business Publications, 2007), hlm. 8. 19 Dijelaskan dalam Buku Putih Pertahanan Indonesia bahwa Ancaman adalah „setiap usaha dan kegiatan, baik dari
luar maupun dari dalam negeri, yang dinilai mengancam atau membahayakan kedaulatan negara, keutuhan wilayah
negara, dan keselamatan bangsa.‟Ancaman dapat datang dari eksternal amupun internal dan dalam bentuk militer
maupun nirmiliter. Lebih lanjut baca Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia
2008, (Jakarta: Departemen Pertahanan Republik Indonesia, 2008) hlm. 27. 20 Sebagai sisa masa orde baru, masa dimana militer sangatlah “berjaya” dalam konteks kedekatannya terhadap
negara dan penjalanan pemerintahannya, dimana militer yang dimaksud dekat tersebut adalah bagian dari Angkatan
Darat Republik Indonesia, sehingga selama bertahun-tahun Angkatan Darat “dianak emaskan” dan menerima
berbagai privilege dan mendapatkan lebih banyak perhatian daripada matra lainnya. Info lebih lanjut baca Chappy
Hakim, Pertahanan Indonesia, (Indonesia: Red & White Publishing, 2011), hlm. 206-227
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [7]
pertahanan lainnya. Ancaman dari luar yang penulis maksud disini tentunya bukan hanya
penjagaan perbatasan dari aksi-aksi pencurian ikan (yang sudah diperkirakan telah meruikan
Indonesia lebih dari 250 triliun21
) dan perlindungan dari bajak laut, tetapi juga keberadaan
angkatan militer negara-negara tetangga yang berkeliling tepat didepan pintu masuk ke wilayah
kita. Persahabatan dengan negara tetangga dibawah kondisi dynamic equilibrium yang
ditekankan SBY,22
menjaga kestabilan kawasan, 23
serta menjaga perdamaian dunia24
memang
adalah tujuan negara yang harus kita capai, tetapi mempersiapkan diri atas ancaman yang
mungkin datang di masa depan juga merupakan tugas kita. Ci vis pacam para bellum.25
Dalam
konteks persepsi ancaman, relevan terhadap perkembangan kekuatan Cina dan keberadaan
angkatan laut AS di kawasan Asia Pasifik, sudah semestinya Indonesia merespon perimbangan
kekuatan tersebut dengan membangun angkaatan laut yang kuat.
2. Redefinisi Persepsi Ancaman Maritim Indonesia
Redefinisi persepsi ancaman, menurut penulis, adalah bagian yang penting dalam inovasi
militer sebelum berangkat ke ranah taktik, demi menuju RMA. Tentang hal ini, pertama-tama
penulis ingin kembali menekankan pentingnya melihat sekitar kita: siapa negara tetangga kita?
Bagaimana letak geografis kita? Siapa saja dan kepentingan-kepentingan apa saja yang mengapit
kita? Jika kita mengenal musuh kita, kemenangan selangkah ditangan.26
Pertama, siapa saja negara tetangga kita? Mereka adalah negara-negara Asia Tenggara
(yang terus mengembangkan kekuatan militernya27
) dan dua negara besar Asia Pasifik yang
kepentingannya mengapit kita di barat laut dan tenggara –sekaligus sebagai status quo kekuatan
maritim terkuat: Cina dan Australia. Keberadaan mereka harus menjadi fokus utama dari
21 Informasi diakses dari hhtp://bataviase.co.id, 12/01/2012, 17:05. 22 “Deeper Economic Links Will Prevent Conflict,” 13 November 2011, diakses dari
http://thejakartaglobe.com/home/deeper-economic-links-will-prevent-conflict-sby/478103, 12/1/2012, 19:59. 23 Stabilitas dan keamanan kawasan sebagai salah satu modalitas pencapaian Kepentingan Nasional Indonesia, lebih
lanjut baca Departemen Pertahanan Republik Indonesia, Buku Putih Pertahanan Indonesia 2008, (Jakarta:
Departemen Pertahana Republik Indonesia, 2008), diunduh dari
http://www2.kemhan.go.id/buku_putih/bukuputih.pdf, hlm.39-42. 24 Terdapat dalam preamble Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 Negara Republik Indonesia. 25 Istilah yang memiliki arti “If you want peace, prepare for war.” 26 Disadur dari taktk militer Sun Tzu: ―Know your enemy and know yourself, 1000 battles to be won.‖ 27 Untuk info lebih spesifik terhadap pengembangan kekuatan yang dilakukan negara-negara di Asia Tenggara, lihat
Anthony H. Cordesman, Arleigh A. Burke, Robert Hammond, The Military In Asia 1990-2010: A Quantitative
Analysis, Publikasi dari CSIS Asia, 2010.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [8]
persepsi ancaman kita, bukan untuk menciptakan persepsi permusuhan, tetapi untuk menciptakan
kesadaran akan pentingnya memiliki kekuatan maritim yang bisa menangkal mereka.
Kedua, kita perlu melihat dua laut lepas yang mengapit kita: Samudera Hindia dan
Samudera Pasifik. Laut lepas ini akan menjadi channel ancaman-ancaman militer maupun non-
militer yang tidak dapat diprediksi. Hal ini disebabkan oleh status laut lepas sebagai laut yang
bebas dari hukum dan bebas dari yurisdiksi wilayah. Penjagaan atas perbatasan dengan laut lepas
ini harus kita jadikan fokus kedua persepsi ancaman maritim. Pentingnya fokus yang bertingkat
ini adalah karena Indonesia, dengan segala keterbatasannya, harus objektif dalam melaksanakan
gelar pertahanannya, agar tidak membuang-buang sumber daya yang terbatas.
Ketiga adalah fokus pada persepsi ancaman maritim internal. Kita harus menghapus
mindset bahwa hanya angkatan darat-lah yang penting dalam merespon kemungkinan-
kemungkinan ancaman internal, apalagi dengan keberadaan ALKI kita yang senantiasa dilalui
kapal-kapal asing. Karenanya, angkatan laut yang memadai penting untuk merespon berbagai
ancaman internal yang dapat terjadi di Indonesia.
Berdasarkan tiga fokus ini, penulis mengembangkan pola persepsi ancaman “XO.” Pola
“XO” tersebut dapat dilihat pada peta sebagai berikut:
Gambar 1. Peta Persepsi Ancaman Maritim Indonesia*
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [9]
*Keterangan:
F1: Fokus 1 Ancaman Maritim Indonesia
F2: Fokus II Ancaman Maritim Indonesia
F3: Fokus III Ancaman Maritim Indonesia
Perubahan persepsi ancaman ini akan berpengaruh terhadap perubahan doktrin, grand
strategy, dan taktik, yang merupakan unsur penting dalam inovasi militer. Rekomendasi
kebijakan berikutnya akan berfokus pada taktik, yang akan menyesuaikan diri dengan persepsi
diatas, dan dengan rencana pengembangan alut sista andalan baru kita: light destroyer.
3. Rekonseptualisasi Taktik Maritim Indonesia
Perubahan pada persepsi ancaman tidak ada gunanya jika perubahan dalam ranah taktik
tidak dilakukan. Jika sebelumnya grand strategy kita memfokuskan pada pertahanan diri pada
ALKI, kita harus mulai menyusun taktik perang baru berdasarkan persepsi ancaman diatas.
Selain penjagaan perbatasaan, pola persepsi ancaman “XO” mengidentifikasi adanya negara-
negara tetangga berkekuatan besar yang berpotensi menjadi ancaman. Karenanya, kita harus
mengakui kelemahan diri kita sendiri terlebih dahulu agar bisa mengidentifikasi bagaimana kita
bisa menang. Seperti yang dikatakan oleh Sun Tzu: ―Know your enemy, and know yourself.28
‖
Sebagai pihak yang lebih lemah, jelas bahwa Indonesia harus mengadopsi satu taktik
tipikal yang selalu digunakan mereka yang memiliki keterbatasan dari segi kekuatan:
assymetrical warfare. Bagaimanakah assymetrical warfare ini bisa dilakukan di laut? Dengan
swarm tactics tentunya.
Swarm tactic adalah sebuah taktik dalam perang laut dimana sekelompok kapal perang
kecil dengan persenjataan lengkap, dengan jumlah yang signifikan, berusaha untuk mengepung
kapal perang yang lebih besar dan menghancurkan pertahanan lawan.29
Swarm tactic bukannya
tidak pernah memenangkan kontestasi kekuatan di lautan. Lagipula, taktik kapal besar vis a vis
kapal besar tidak selalu membawa hasil kemenangan yang lebih baik, apalagi jika perang
tersebut dilakukan melawan negara yang lebih kuat. Salah satu contoh kasus adalah Iran, yang
28 Dikutip dalam “Sun Tzu‟s Art of War” (Sun Zi Bing Fa) 29 http://www.eaglespeak.us/2010/09/swarm-tactics-training-aid-for-defense.html
―X‖ mengacu kepada persilangan dua
fokus potensi ancaman external F1 dan F2
dan ―O‖ mengacu kepada lingkup potensi
ancaman internal F3.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [10]
saat melawan AS di tahun 1988, mengalami kekalahan karena melakukan taktik kapal besar vis a
vis kapal besar ini. Karenanya, sejak itu ia belajar bahwa swarm tactic adalah taktik yang lebih
baik bagi negara lemah.30
Indonesia harus belajar dari pengalaman Iran dan mengaplikasikan swarm tactic.
Karenanya, doktrin assymetrical seawarfare harus mulai ditulis dalam buku panduan strategi
pertahanan maritim Indonesia bagi tiap-tiap prajurit kita. Selanjutnya, tinggal mengatur ulang
tata komando angkatan laut kita agar efektif, efisien dan tepat guna dalam pelaksanaan taktik ini.
4. Reorganisasi Komando Wilayah Angkatan Laut Indonesia dengan Berbasis-Ancaman
Tujuan dari transformasi pada organisasi pertahanan ini adalah mencapai Nausena
Sangathana (Naval Organization) yang ideal, integratif dan menyeluruh, sesua dengan
keseluruhan Revolusi Nausena Pavara yang dilakukan. Karenanya penulis merekomendasikan
pemembagian organisasi pertahanan maritim Indonesia kedalam tiga komando wilayah maritim
utama, yang sesuai dengan doktrin swarm tactic dan pola persepsi ancaman XO.31
Pertama, Angkatan Laut Indonesia Timur dengan pusat komando di pangkalan utama
TNI AL di Makassar, Sulawesi Selatan. Yang kedua adalah Angkatan Laut Indonesia Barat yang
akan berada dibawah yursitiksi markas TNI AL di Riau. Yang ketiga adalah Angkatan Laut
Ibukota dengan pusat komando di Ibukota Jakarta. Angkatan Laut Indonesia Timur akan
bertanggung jawab terhadap pertahanan laut di wilayah F1 dan F2 di bagian Timur Indonesia.
Untuk membantu tugasnya akan dibuat sub-komando sub-komando yang terdiri atas: Sub-
komando Manokwari, bertanggung jawab atas penjagaan wilayah ancaman F2 dengan Samudera
Pasifik, Sub-komando Manado yang akan bertanggung jawab atas penjagaan Laut Sulawesi
dengan Laut Sulu, Filipina, dan Sub-komando Kepulauan Babar yang akan bertanggung jawab
terhadap penjagaan atas wilayah ancaman F1 Laut Arafuru dan Laut Timor. Angkatan Laut
Indonesia Timur dengan demikian juga telah mengamankan dan bertanggung jawab atas patroli
di wilayah F3 Laut Banda.
Kedua, Angkatan Laut Indonesia Barat, yang akan bertanggung jawab terhadap wilayah
ancaman nomor satu paling strategis, sekaligus paling berbahaya bagi Indonesia: F1 Laut Natuna
yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan dan dilewati oleh jalur perdagangan dunia
30 http://www.washingtoninstitute.org/policy-analysis/view/irans-doctrine-of-asymmetric-naval-warfare 31 Rekomendasi ini akan berbeda dengan status quo rencana perubahan yang akan dilakukan Indonesia, yaitu
pembagian Angkatan Laut Indonesia Tengah, Barat dan Timur.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [11]
Selat Malaka, dan F2 Samudera Hindia. Komando wilayah inipun juga akan bertanggung jawab
terhadap keamanan di Selat Malaka, demi terciptanya keamanan dalam lalu lintas kapal-kapal
asing di wilayah tersebut. Perlu diketahui bahwa Laut Cina Selatan merupakan kawasan yang
begitu penting bagi negara tetangga Indonesia karena ZEE mereka (termasuk ZEE Indonesia)
yang saling bertemu disana. Di kawasan ini pun terjadi berbagai saling klaim yursidiksi antara
Vietnam, Cina, Taiwan dan Filipina terhadap dua kepulauan terbesar, yaitu Spratlys dan
Paracels,32
sehingga membuat kawasan ini makin konfliktual dan berpotensi mengancam.
Ketiga, Angkatan Laut Ibukota, yang akan bertanggung jawab atas keamanan Ibukota
yang, sebagai pusat pemerintahaan dan penjalanan negara, amat penting bagi kedaulatan
Republik Indonesia. Angkatan Laut Ibukota akan menjaga seluruh perbatasan laut yang adjacent
terhadap garis pantai dimana Ibukota Indonesia berada.
Selain itu, untuk mendukung kerja angkatan laut tersebut, penulis merekomendasikan
didirikannya pangkalan angkatan laut di:
1. Manokwari, Papua Barat, di bawah yurisdiksi Angkatan Laut Indonesia Timur.
2. Kepulauan Sangihe, Sulawesi Utara, di bawah yurisdiksi Angkatan Laut Indonesia Timur.
3. Pulau Sermata, Kepulauan Barbat, di bawah yurisdiksi Angkatan Laut Indonesia Timur.
4. Pelabuhan Ratu, Jawa Barat, di bawah yursidiksi Angkatan Laut Ibukota
5. Kota Medan, Sumatera Utara, dibawah yurisdiksi Angkatan Laut Indonesia Barat
6. Pulau Laut, Kepulauan Natuna, di bawah yurisdiksi Angkatan Laut Indonesia Barat
7. Pulau Nias, Sumatera Utara, di bawah yurisdiksi Angkatan Laut Indonesia Barat
8. Tanjung Pinang, Kepulauan Riau, dibawah yurisdiksi Angkatan Laut Indonesia Barat
Pangkalan–pangkalan laut diatas akan dibangun berdasarkan kebutuhan fungsionalnya
sebagai markas kapal-kapal yang akan menjaga keutuhan wilayah RI di tiap perbatasan.
32 Hasjim Djalal, Indonesia and The Law of The Sea, (Jakarta: Centre for Strategic and International Studies, 1995),
hlm. 365.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [12]
Revolusi Nausena Pavara Tahap II: Difusi Teknologi dengan Australia dan Pengembangan
Light Destroyer via Keumalahayati Project (2032-2042)
Tahapan kedua dalam RMA adalah difusi teknologi. Karenanya, setelah melakukan
inovasi militer, negara harus mulai siap untuk mengembangkan alut sista pilihannya. Light
destroyer adalah apa yang akan penulis rekomendasikan untuk dikembangan sebagai bagian dari
Revolusi Nausena Pavara secara keseluruhan demi menggapai cita-cita Indonesia menjadi
kekuatan maritim di tahun 2050.
Light destroyer adalah kelas kapal penghancur ringan yang mampu melakukan tugasnya
untuk menghancurkan pertahanan lawan, dengan kapasitas yang cukup untuk memiliki
persenjataan yang lengkap. Spesifikasi dari light destroyer antara lain:33
Type: Light destroyer
Displacement: 4,200 tons Length: 425 ft (129.5 m) Beam: 48 ft (14.6 m)
Propulsion: Two shafts each with one Rolls-Royce Olympus and one Rolls-Royce Tyne gas
turbine
Speed: 30 knots (56 km/h; 35 mph) Range: Up to 6,000 mi (9,700 km)
Complement: 210 Sensors and
processing systems: Automated combat data system
Armament: one 5"/54 caliber Mark 45 gun, Six Harpoon missiles, two double-barreled close-
range guns, one Mk 13 missile launcher and Standard anti-aircraft missiles, six anti-submarine
torpedoes in two triple tube mounts
Aircraft carried: Two helicopters
Aviation facilities: Hangar and stern flight deck
Australia adalah satu dari sedikit negara yang pernah memilih light destroyer ini sebagai
salah satu alut sista yang ingin diandalkannya –walau kemudian proyek ini dibatalkan ditengah-
tengah karena berbagai persoalan. Dengan demikian ia merupakan salah satu rekan yang
berpotensi diajak bekerjasama untuk membuat proyek pengembangan light destroyer ini. Di
masa lalu RAN (Royal Australian Navy) pernah mencoba mengembangkan proyek light
33 Blackman, Raymond V.B., ed. (1972). Jane's Fighting Ships 1972-73. Jane's Year Books. London: Sampson,
Low, Marston & Co.
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [13]
destroyer nya sendiri, tapi gagal karena berbagai alasan teknis.34
Walau demikian, Australia tetap
pernah memiliki waktu yang lama mengembangkan kapal ini. Selama tahun 1966 hingga 1973
berbagai tantangan, ideasi, dan inovasi mereka hadapi dan lakukan demi mengembangkan
proyek ini. Jika sekalipun proyek ini mengalami kegagalan, justru dari kegagalan inilah
Indonesia bisa belajar. Karenanya, joint-project dengan Australia tidak akan memberikan
kerugian. Proyek ini akan penulis sebut sebagai Keumalahayati Project.
Prospek kerjasama dengan Australia juga bukan tidak ada. Justru, prospeknya sangat
jelas. Australia dan Indonesia merupakan negara tetangga yang bisa saja saling memiliki persepsi
ancaman yang sama terhadap satu sama lain: jika tidak berteman maka bermusuhan. Selain itu,
ancaman-ancaman maritim lainnya bagi Australia, karena kedekatan geografis, tentunya akan
mirip dengan Indonesia, sehingga tidak salah jika kita mengembangkan proyek ini dengan
mereka.
Keumalahayati Project
Mengapa “Keumalahayati?” Keumalahayati alias Laksamana Malahayati adalah seorang
laksamana wanita asal Aceh yang merupakan laksamana (admiral) wanita pertama –bukan hanya
di Indonesia tapi juga di dunia. Laksamana Keumalahayati merupakan tokoh yang cerdas,
tangkas, sigap, dan senantiasa siap mempertahankan tanahnya dan membela suaminya tercinta
dengan kemampuannya memimpin armada. Walau bertubuh kecil, ia mampu melawan para
kompeni dan menggugurkan kapal-kapal penjajah saat itu. Bagi penulis, ini merupakan
gambaran amat tepat bagi sebuah light destroyer dan penulis akan merekomendasikan
penggunaan nama proyek ini untuk proyek pengadaan light destroyer Indonsia. Berikut adalah
tahapan-tahapan Keumalahayati Project yang dikembangkan penulis:
Keumalahayati Project tahap 1 (2032-2033): Prosesi pembuatan deal dengan Australia
Keumalahayati Project tahap 2 (2033-2041): Pengembangan light destroyer (R&D,
pembuatan, instalasi weapon system, etc)
Keumalahayati Project tahap 3 (2041-2042): Pengiriman 10 unit light destroyer ke Indonesia
34 Senate Foreign Affairs, Defence and Trade Committee (2006), hal. 42–43
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [14]
Setelah kedatangan 10 unit light destroyer tersebut, keseluruhan unitnya akan
ditempatkan di lokasi yang paling penting untuk dipertahankan: Lokasi F1 Laut Natuna yang
berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan. Keberadaan ancaman Cina di kawasan perairan
tersebut sudah jelas dan kita, memiliki tanggung jawab untuk menangkal keberadaannya.
Dengan keberadaan Keumalahayati Project ini serta segala kelengkapan rekomendasi
Revolusi Nausena Pavara yang diberkan penulis, Indonesia telah melakukan RMA di bidang
Perang Maritimnya.
Revolusi Nausena Pavara Tahap III: Mencapai Autarki dalam Penguasaan Teknologi
Light Destroyer dan Sistem Senjatanya (2042-2050)
Satu hal yang tidak boleh dilupakan saat kita sudah berhasil melakukan difusi teknologi
dan memiliki teknologinya, adalah kemampuan untuk memproduksi sendiri. Untuk itu, industri
pertahanan yang siap dan kompeten dibutuhkan. Sayangnya, industri pertahanan di Indonesia,
khususnya pada bidang maritim belum berada pada posisi tersebut.
Perusahaan yang diandalkan Indonesia dalam konteks industri pertahanan maritim adalah
PT PAL. Sesungguhnya, PT PAL bukannya tidak memiliki potensi sama sekali. PT PAL mampu
memproduksi kapal patroli perairan cukup mengundang minat negara tetangga.35
PT PAL juga
melayani pemesanan dalam negeri. Pada periode 2011, PT PAL Indonesia berhasil memenuhi
pesanan lima kapal TNI Angkatan Laut, yakni tiga kapal pandu atau tug boat, satu kapal tanker
dan satu kapal perang (KRI Banda Aceh). Namun tetap saja, jumlah pemesanan tersebut tidak
banyak. PT PAL juga tidak bisa berhenti hanya pada penguasaan teknologi kapal patroli saja,
atau ia tidak akan berkembang. Selain itu, kurangnya investasi pemerintah pada R&D dan tidak
adanya tujuan jelas juga menjadi permasalahan.
Dengan menjalankan Keumalahayati Project,PT PAL dapat mendapatkan pelajaran dari
pengalaman Australia. Bukan hanya tentang cara pembuatan light destroyer, tapi juga tentang
profesionalitas dan efisiensi kerja industrinya. Karenanya, dengan menjalankan joint-project
tersebut, Indonesia akan memiliki pelajaran-pelajaran baru dan sumber daya manusia baru yang
kapabel yang nantinya dapat menjadi pencipta dari light destroyer kita sendiri. Dengan demikian
35TNI AL Percayakan Kapal Perang kepada PT PAL Indonesia, diakses dari
http://hankam.kompasiana.com/2012/01/22/tni-al-percayakan-kapal-perang-kepada-pt-pal-indonesia/, pada tanggal
21 Mei 2012, pukul 23.35 WIB
Departemen Ilmu Hubungan Internasional, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Indonesia, 2012 [15]
kita dapat menargetkan tujuan baru bagi industri pertahanan Indonesia, yaitu pencapaian industri
yang autarky dalam produksi light destroyer dan berbagai armament lainnya yang terkait.
Jika tahapan-tahapan diatas telah dilaksanakan, ditambah dengan adopsi teknologi
dengan Keumalahayati Project, penulis percaya industri pertahanan indonesia menjad industri
pertahanan yang ideal. Dengan doktrin perang yang mendukungnya, masyarakat yang
mendukungnya, dan grand strateg yang mendukungnya, penulis yakin bahwa pada tahun 2050
Indonesia sudah dapat melakukan produksi sendiri. Dengan demikian, RMA telah sukses
dilaksanakan. Produksi light destroyer kemudian dapat ditambah dan derah fokus ancaman F1
bisa memiliki 20 dan masing-masing F2 bisa memiliki 10. Di kawasan ancaman F3, 10 light
destroyer juga diharapkan terus mengelilingii ALKI kita. Paling tidak, itulah yang penulis
bayangkan tentang Indonesia dan pertahanan maritimnya 38 tahun dari sekarang. Semoga
dengan pelaksanaan rekomendasi kebijakan diatas, kenyataannya justru bisa jauh lebih baik.
Penutup
Seperti apakah potret Indonesia yang kita inginkan sekitar tiga dasawarsa dari sekarang?
Penulis membayangkan bahwa saat itu Indonesia dalah sebuah nausena pavara – naval power
yang tidak akan kalah dari siapapun. Pembuatan light destroyer yang didukung oleh inovasi
militer yang sesuai, difusi teknologi yang tepat dan industri pertahanan yang siap dengan detail
seperti yang dijelaskan diatas akan membuat Indonesia mampu menjadi kekuatan maritim itu.
Adalah takdir Indonesia untuk menjadi kekuatan martim yang tidak hanya mampu menjaga
keutuhan wilayah kita tetapi juga menjaga stabilitas dan keamanan kawasan. Selain itu, penting
juga bagi kita untuk membela kepentingan nasional di berbagai sudut lautan kita dan
mengamankan berbagai kesempatan disana. Dengan berbagai rekomendasi-berbasis-argumentasi
diatas, disatukan dalam sebuah paket Revolusi Nausena Pavara, penulis telah memberikan saran
akan bagaimana Indonesia dapat melakukan RMA demi menjadi kekuatan maritim yang tidak
terkalahkan pada tahun 2050.