Strategi Literasi Media Mahasantri Gontor 2 dalam Mencegah ...
KETIMPANGAN RELASI GENDER MAHASANTRI DALAM …
Transcript of KETIMPANGAN RELASI GENDER MAHASANTRI DALAM …
KETIMPANGAN RELASI GENDER MAHASANTRI DALAM
ORGANISASI FKMSB (FORUM KOMUNIKASI MAHASISWA
SANTRI BANYUANYAR) DI JABODETABEK
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana (S.Sos)
Oleh:
ACHMAD FARUK
109032200021
JURUSAN SOSIOLOGI
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN)
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
iv
ABSTRAKSI
Organisasi merupakan wadah berkreasi dan bersilaturahmi yang kemudian juga
memberikan kesempatan bagi semua anggotanya untuk mengembangkan potensi
dalam proses aktualisasi diri. Namun akan menjadi persoalan yang kurang elok ketika
dalam pola relasi organisasi terdapat kelompok yang terlalu mendominasi baik dalam
strukural maupun dalam konteks yang lain. Pada prosesnya, dominasi juga akan
melahirkan sebuah ketimpangan dalam beberapa aspek bagi para anggotanya. Dan
akan menjadi sesuatu yang menarik ketika ketimpangan itu terjadi pada organisasi
mahasiswa santri (mahasantri) sebagai kaum intelektual yang sudah tercerahkan oleh
ilmu pengetahuan. Bagaimanakah dengan mahasantri dalam organisasi FKMSB
Jabodetabek? Persoalan inilah yang diteliti penulis sebagai objek penelitian. Secara
purposif diambil 12 mahasantri sebagai informan, dan difokuskan pada mahasantri
FKMSB yang pernah menjadi pengurus maupun aktif sebagai anggota dari kampus
yang berbeda-beda. Dari beberapa kampus yang berbeda tersebut kemudian
dikelompokan kedalam dua kategori kampus yang mempunyai pola pendidikan
kampus modernis dan yang berorientasi fundamentalis. Metode analisis yang
digunakan adalah Teori Analysis Pathway (GAP) dengan menggunakan empat aspek:
Akses, partisipasi, kontrol dan pemanfaatan, yang semua aspek tersebut digunakan
untuk melihat adanya ketimpangan relasi gender dan beberapa faktor terjadinya
ketimpangan relasi gender mahasantri dalam organisasi FKMSB Jabodetabek
Berdasarkan hasil penelitian ini, ditemukan kurangnya akses dan kurangnya
partisipasi anggota perempuan dalam beberapa program pengembangan skill dan
knowledge. Sebagai organisasi modern yang sudah mempunyai AD-ART dalam hal ini
tidak ada aturan yang membatasi perempuan dalam berorganisasi, namun realitanya
anggota perempuan belum sekalipun mendapatkan posisi strategis seperti menjadi
ketua maupun wakil. Bahkan sebagian besar anggota perempuan merasa kurang
dilibatkan dan kurang diberdayakan dalam beberapa kegiatan, sehingga dalam
organisasi FKMSB Jabodetabek ini tampak lebih dominan anggota laki-laki baik
dalam posisi struktural maupun partisipasi dalam beberapa kegiatan. Hal ini juga dapat
menunjukkan bahwa anggota laki-laki lebih mempunyai kontrol (Power) dan lebih
banyak mendapatkan manfaat dari proses berorganisasi. Beberapa faktor yang menjadi
penyebab adalah, faktor pemahaman agama yang masih kental akan pemahan tekstual
yang kemudian sebagian besar informan mempunyai pemahaman tidak membolehkan
perempuan menjadi pemimpin. Kemudian budaya patriarkhi yang masih dianut dari
tanah kelahirannya yakni pulau madura, bahwa dalam relasi sehari-hari selalu
mengedepankan sosok laki-laki dan sebaliknya perempuan dijadikan sebagai the
second class, dan budaya ini berlanjut dalam organisasi ini. Kemudian, relasi
organisasi yang masih lemah, bahwa pola relasi dalam organisasi FKMSB ini masih
kurang ada keterbukaan satu sama lain, seperti masih adanya intruksi dari salah satu
keluarga pesantren (Neng) yang kemudian membatasi kaum perempuan terlibat secara
maksimal dalam proses berorganinsasi. Dan faktor lainnya adalah, banyaknya
mahasantri yang memilih perguruan tinggi aliran timur tengah dengan menggunakan
pola pendidikan yang berorientasi fundamentalis.
Kata kunci: Ketimpangan Gender, Mahasantri, Organisasi
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim.
Assalamualaikum, Wr. Wb.
Puji syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan nikmatnya berupa
harapan kesempatan dan kekuatan kepada penulis dalam menyelesaikan proses
penulisan skripsi ini, dengan judul “KETIMPANGAN RELASI GENDER
MAHASANTRI DALAM ORGANISASI FORUM KOMUNIKASI
MAHASISWA SANTRI BANYUANYAR (FKMSB) DI JABODETABEK”, dari
awal hingga akhir dalam keadaan sehat walafiat. Semoga penulis selalu diberikan
kesemangatan dan senantiasa dijadikan insan akademis yang selalu dapat menaburkan
kebaikan kepada seluruh alam dan berguna bagi insan sesama sebagaimana
khoirunnas anfauhum linnas.
Penulis menyadari bahwa dalam kepenulisan skripsi ini tidak akan pernah
tercipta tanpa dorongan dan motivasi dari berbagai pihak yang telah rela memberikan
segala bantuan baik itu bantuan moral maupun materil. Oleh sebab itu, penulis ingin
mengucapkan terima kasih kepada:
1. Prof. Dede Rosyada sebagai rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Prof. Dr. Zulkifly, MA., selaku dekan FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Dr. Cucu Nurhayati, M.Si,selaku Ketua Program Studi (Prodi) dan Bapak
Husnul Khitam, M.Si, selaku Sekretaris Program Studi Sosiologi FISIP UIN
Syarif Hidayatullah.
4. Joharotul Jamilah, M.Si, selaku dosen penasehat akademik penulis selama
masih menjalani aktifitas perkuliahan dan sebagai pengajar pada program studi
Sosiologi FISIP UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
vi
5. Ibu Ida Rosyidah, MA, selaku pembimbing skripsi yang telah memberikan
segala kesiapan dan waktu luangnya, tenaga, perhatian dan kesabarannya dalam
memberikan arahan dan masukan dalam penyelesaian skripsi ini. Terimakasih
atas ilmunya bunda, semoga tuhan membalasnya dengan kebaikan yang tak
terhingga.
6. Segenap kawan-kawan yang tergabung dalam keluarga besar Ikatan Mahasiswa
Alumni Bata-bata (IMABA) dan Forum Komunikasi Mahasiswa Santri
Banyuanyar (FKMSB) tempat dimana penulis bersilaturrahmi, berjuang dan
berbagi bersama sebagai sesama santri yang berjuang di ibu kota Jakarta.
7. Segenap kawan-kawan yang tergabung dalam keluarga besar Forum
Mahasiswa Madura (FORMAD) Jabodetabek, tempat dimana penulis menjalin
silaturrahmi dan melestarikan identitas primordial-etnis Madura di kota rantau.
8. Kawan-kawan sosiologi angkatan 2009, Ulumudin, Ichsan Fajri, Daniel, Nur
Azizah, Resty, Ahsya, Rian reza, Fahmi, Abdillah, dan kawan-kawan yang
tidak bisa penulis sebutkan namanya satu persatu, terimakasih atas
kebersamaan dan persaudaraannya selama ini.
9. Teman-teman yang selalu ada buat penulis dan sudah bersedia menjadi sahabat
di dalam suka maupun duka, Achmad Asy’ari, Salim Assegaf, Surahman, Azis
fais, Bung maman, Ainur Rofiq, Badri Amin, Zain panick, Jauharil Wafi,
Hasbul dan Syafie salim. Mator Sakalangkong Serajeh.
10. Sosok yang selalu memberikan harapan baru dan semangat untuk lebih baik
lagi dan segera wisuda. Desy Nurlita terima kasih atas doanya.
11. Semua adek-adek yang selalu mendoakan penulis dan berharap segera
memakai toga, A Rofiq, Taufik, Melqy, Kosim R, Jamal, Imam, Syaiful, Rian
A, Faisol, Hasyin, Fauzi, Ainiatul qoriah, Azizah, Wardah, Hida, Atien dan
viii
DAFTAR ISI
COVER .......................................................................................................... ii
LEMBAR PEMBIMBING ........................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN .......................................................................... iv
LEMBAR BEBAS PLAGIARISME ........................................................... v
ABSTRAKSI ................................................................................................. vi
KATA PENGANTAR ................................................................................... vii
DAFTAR ISI .................................................................................................. viii
DAFTAR TABEL ......................................................................................... ix
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang ......................................................................... 1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................... 6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................ 7
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................... 9
E. Kerangka Teori ........................................................................ 14
1. Gender Analisis Pathway .................................................. 14
2. Definisi Konseptual ........................................................... 16
a. Gender ........................................................................ 16
b. Ketimpangan Gender ................................................. 17
c. Mahasantri ................................................................. 21
d. Organisasi ................................................................. 22
F. Metodologi Penelitian .............................................................. 24
1. Pendekatan dan Metode Penelitian ................................... 24
2. Subyek Penelitian .............................................................. 25
3. Lokasi Penelitian ............................................................... 28
4. Waktu Penelitin ................................................................ 28
ix
5. Jenis Data ......................................................................... 29
a. Data Primer ............................................................... 29
b. Data Sekunder ........................................................... 29
6. Teknik Pengumpulan Data ................................................ 29
a. Wawancara ................................................................ 31
b. Dokumentasi ............................................................. 31
7. Metode Pengolahan dan Analisis Data ............................ 30
a. Reduksi Data ............................................................. 30
b. Display Data .............................................................. 31
c. Penarikan Kesimpulan .............................................. 31
G. Sistematika Penelitian .............................................................. 31
BAB II GAMBARAN UMUM
A. Madura, Masyarakat, Santri dan FKMSB .............................. 32
B. Sejarah Berdirinya Organisasi Mahasantri FKMSB ............... 34
C. FKMSB Wilayah Jabodetabek ............................................... 40
D. Latar Belakang Pendidikan ..................................................... 44
BAB III TEMUAN DAN ANALISIS
A. Akses Mahasantri Dalam Mendapatkan Sumber daya Di
Organisasi ................................................................................ 46
1. Akses Mahasantri Dalam Jabatan di Struktural ................ 48
2. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill ................. 52
3. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan
Knowledge ......................................................................... 55
B. Partisipasi Mahasantri Dalam Organisasi ................................ 58
1. Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial ............... 59
2. Partisipasi Mahasantri Dalam Struktur Organisasi ........... 61
x
3. Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge 66
C. Kontrol dalam Organisasi ........................................................ 69
1. Keterlibatan Mahasantri Dalam Keanggotaan dan Posisi
Struktural ........................................................................... 69
2. Kontrol Mahasantri Dalam Relasi Organisasi .................. 71
D. Manfaat Yang Didapatkan Dalam Organisasi ......................... 75
1. Manfaat Keterlibatan Mahasantri Dalam Kegiatan
FKMSB ............................................................................. 75
2. Manfaat Keberadaan Basecamp FKMSB Jabodetabek .... 77
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
B. Kesimpulan .............................................................................. 79
C. Saran ........................................................................................ 85
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... xiv
LAMPIRAN .................................................................................................. xvi
xi
DAFTAR TABEL
Tabel I.G.2 : Profil Informan FKMSB Jabodetabek 26
Tabel I.G.3 : Waktu Penelitian 27
Tabel II.C.1 : Data Anggota FKMSB Jabodetabek Selama Tiga Tahun Terahir 43
Tabel II.D.1 : Latar belakang Mahasantri FKMSB Jabodetabek 44
Tabel III.A.1 : Akses Mahasantri Dalam Menjabat di Struktur Organisasi FKMSB48
Tabel III.A. 1 : Penafsiran Mahasantri Terhadap Kepemimpinan Perempuan 50
Tabel III.A. 2 :Akses Mahasantri dalam Pengembangan Skill 54
Tabel III.B.1 : Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial 59
Tabel III.B.2 : Partisipasi Mahasantri Dalam Struktur Organisasi 62
Tabel III.B.2 : Partisipasi Anggota Perempuan Dalam Struktur Organisasi 64
Tabel III.B.3 : Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge 66
Tabel III.C.1 : Data Jumlah Keanggotaan dan Keterlibatan Mahasantri 69
Tabel III.C.2 : Bentuk Intruksi Neng Kepada Anggota Perempuan 74
Tabel III.D.1 : Manfaat Pelaksanaan Acara FKMSB Terhadap Mahasantr i 76
Tabel III.D.2 : Manfaat Pengadaan Basecamp Terhadap Mahasantri 78
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penelitian ini ingin mengetahui bagaimana masih terjadinya
ketimpaangan relasi gender dalam organisasi mahasantri, serta menelusuri
faktor-faktor yang mempengaruhi mengapa ketimpangan relasi gender masih
saja terjadi dalam organisasi mahasantri yang notabeninya mempunyai basis
pemahaman agama yang kuat. Organisasi mahasantri yang akan menjadi objek
penelitian ini adalah Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar
(FKMSB) di Jabodetabek. Hal ini berangkat dari temuan awal berupa catatan-
catatan, studi dokumentasi serta wawancara dengan para pendiri, alumni dan
anggota, bahwa di dalam organisasi mahasantri tersebut, masih banyak terdapat
temuan ketimpangan relasi gender dalam praktiknya.
Ketika bicara mahasiswa, tentu saja tidak dapat dilepaskan dari
perbincangan kaum intelektual. Dalam beberapa literature sering disinggung
bahwa mahasiswa tergolong dalam barisan kaum intelektual atau cendikiawan.
Memang mereka adalah golongan yang terdidik dan secara keilmuan, mereka
adalah orang-orang yang sedang menjalani proses pematangan intelektual.
Oleh karena itu, tidaklah aneh apabila sering muncul dari golongan ini suara
yang memperjuangkan nilai-nilai keadilan sosial, kebebasan, kemanusiaan,
demokrasi, dan solidaritas kepada kaum tertindas. (Zainuddin, 2004: 72-73).
Dalam hal ini gambaran objektif tentang perbedaan pendidikan di satu
sisi, dan ketimpangan gender di sisi lain, tak pelak menjadi isu penting. Dan
2
tatanan sosial budaya merupakan dasar bagi berlangsungnya struktur yang
diskriminatif. Hal ini pula yang menjadi penyebab timbulnya ketidakadilan
gender dan ketimpangan pendidikan yang terasa patut untuk diperjuangkan
oleh para cendikiawan. Kalau boleh menilik dari data-data kesenjangan gender
di Jakarta, Sejauh ini hasil yang dicapai upaya pembangunan kualitas hidup di
Jakarta masih tampak kentara cenderung menguntungkan kepada penduduk
laki-laki. Fenomena ini tercermin dari indikator komposit yang digunakan
untuk menilai kesenjangan gender, yaitu IPG menunjukkan angka yang lebih
rendah dibanding IPM. Pada perkembangannya, selama kurun waktu 2009-
2011 IPG DKI Jakarta selalu menunjukkan posisi lebih rendah dibandingkan
IPM. Besaran rasio yang diperoleh berdasarkan perbandingan antara IPG
terhadap IPM pada kisaran 94 - 95 persen. Hal ini dapat dimaknai, meski IPG
memperlihatkan perkembangan yang selalu meningkat selama periode 2009-
2011, tetapi ketimpangan gender masih terjadi. (BPS Provinsi DKI Jakarta
2013).
Ketimpangan relasi gender yang masih terjadi dalam konstrusksi sosial
masyarakat, mengisyaratkan adanya akses dan pembagian peran serta
kekuasaan yang masih mejadi persoalan. Akses dan peran ini adalah persoalan
yang menjadi kajian penting dalam studi gender akhir-akhir ini. Karena dalam
konteks peran dan kekuasaan ini, ketidaksetaraan dan ketimpangan relasi masih
dirasakan menjadi konstruksi masif dan akut dalam relasi sosial yang
berkeadilan. Semakin kentara ketika ketimpangan relasi dan peran gender
terjadi karena adanya aturan, tradisi, dan hubungan sosial timbal balik yang
3
menentukan feminitas dan maskulinitas, (Azyurmardi Azra, 2003: VII) yang
menyebabkan relasi itu tidak berjalan dalam ruang yang berkeadilan. Hal ini
semakin menjadi persoalan mendasar ketika relasi yang demikian dipandang
sebagai sesuatu yang seharusnya benar dan sah, karena mendapatkan legitimasi
dari budaya dan konstruksi pemahaman keagamaan.
Kenyataan sebagaimana diatas, semakin menjadi persoalan dan unik
ketika semua itu masih terjadi dalam kalangan komunitas atau organisasi yang
anggotanya terdiri dari kaum terdidik di perguruan tinggi (Mahasiswa).
Padahal sebagaimana disebut Blumberger bahwa suatu komunitas dalam hal ini
sebenarnya dapat diharapkan menjadi jawaban bagaimana perempuan
mendapat kesempatan yang sama untuk berkiprah di ruang publik
(Blumberger 1987:123).
Namun harapan ini masih belum menemukan konteks dan ruangnya
dalam sebagian komunitas dan organisasi. Termasuk dalam konteks ini
organisasi mahasantri yang menjadi objek penelitian ini yaitu Forum
Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanayar (FKMSB) yang telah lama berdiri
dan berkiprah dalam ruang-ruang perkotaan seperti di Jabodetabek.
Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (selanjutnya disebut
FKMSB) sudah memulai kiprahnya sejak tahun 1999 di Yogyakarta, yang
kemudian memperluas sayap anak cabangnya hingga Jabodetabek yang berdiri
pada tahun 2008 silam. Organisasi ini tentu adalah organisasi yang anggotanya
adalah mahasiswa santri atau mahasiswa yang dahulunya adalah seorang santri
(selanjutnya di sebut mahasantri) dari sebuah pondok pesantren semi modern di
4
Madura, lebih tepatnya adalah Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar
Pamekasan Madura.
Pada perkembangannya, organisasi ini bisa disebut organisasi modern.
Asumsi ini paling tidak berdasarkan beberapa hal; pertama, dari konteks
kelahirnnya, bahwa ia lahir berdasarkan semangat dan pemikiran modern yang
telah bercokol dan menjadi arus utama kalangan santri yang telah menjadi
mahasiswa saat itu. Kedua, berdasarkan tempat kelahirannya yaitu kota
Yogyakarta di mana arus pemikiran modern berlangsung massif. Ketiga,
berdasarkan ruang perkembangan dan tumbuh kembangnya, yaitu di perkotaan
di mana pusat modernisme ditempa sedemikian rupa. Dalam konteks ini bisa
dipahami karena mahasantri ini eksodus dari desa ke kota-kota besar untuk
melanjutkan studi mereka keperguruan tinggi yang memang berada di pusat-
pusat kota seperti di Jabodetabek. Keempat, berdasarkan struktur
organisasinya. Selain sudah mempunyai AD/ART, sistem pemilihan ketua,
proses kerja dan penyusunan kepengurusan sudah dilakukan secara demokratis
sebagaimana organisasi modern pada umumnya.
Dalam konteks kemoderenan sebagaimana disebut di atas, penelitian
terhadap mahasantri FKMSB ini menemukan relevansi dan keunikannya. Hal
ini bisa ditelaah dalam beberapa hal; Pertama, dalam organisasi modern dengan
anggota yang terdiri dari kaum terdidik, serta mempunyai AD/ART yang jelas
ternyata organisasi ini dalam sejarahnya belum sekalipun dipimpin bahkan
mencalonkan atau dicalonkan pimpinannya dari kalangan perempuan.
5
Kedua, dalam temuan awal penelitian ini, tampak bahwa dalam relasi
keorganisasian antara laki-laki dan perempuan masih sangat terpisah dan
berjarak sedemikian rupa. Hal ini tampak misalnya dalam ruang-ruang kajian,
rapat-rapat, serta dalam kegiatan-kegiatan keorganisasian yang masih
menggunakan tabir dari kain atau pemisah antara laki-laki dan perempuan.
Ketiga, dalam konteks tertentu justru kalangan perempuan sendiri
menolak secara tegas jika ruang pertemuan dengan laki-laki dan perempuan
tidak diberikan pembatas berupa tabir. Dalam temuan awal penelitian ini
terdapat pula ada kasus-kasus bahwa kalangan perempuan mengancam akan
keluar dan mendirikan organisasi sendiri khusus kalangan perempuan karena
dalam satu kali pertemuannya tidak diberikan tabir.
Keempat, pelibatan atau bahkan keterlibatan dalam pengambilan
keputusan organisasi sangat minim (untuk tidak mengatakan tidak ada).
Bahkan dalam Rapat Koordinasi Nasional (RAKORNAS) yang terakhir di
Jakarta pada 15 Januari 2015 yang lalu, tampak perempuan tidak dilibatkan
atau bahkan tidak melibatkan diri, bahkan ada, namun hanya menjadi penonton
dan pendengar semata. Sehingga seluruh keputusan Rapat Koordinasi Nasional
(RAKORNAS) itu adalah murni keputusan laki-laki.
Penelitian ini semakin relevan, kala ketimpangan relasi sebagaimana di
atas masih eksis ditengah organisasi yang hidup dan berkembang di tengah
kemoderenan kota Jabodetabek yang metropolitan dimana pemikiran modern
dipupuk untuk maju dan berkembang. Di sisi yang lain, organisasi yang sudah
modern, dengan anggotanya yang terdiri dari mahasiswa terdidik di perguruan
6
tinggi dengan arus informasi akademik maupun informasi non akademik
masuk setiap hari, namun ketimpangan gender itu masih ditemukan. Melihat
dari perkembangan dan beberapa kasus yang terjadi, tampaknya belum
memungkinkan perempuan untuk sekedar dicalonkan menjadi pimpinan di
organisasi ini karena dominasi laki-laki yang begitu kuat.
Ketimpangan relasi dan peran gender dikalangan mahasiswa santri
seperti FKMSB ini menjadi menarik dan patut untuk diteliti lebih mendalam.
Menarik selain karena organisasi ini lahir dari tangan atau kelompok
mahasiswa, sekelompok elit akademisi yang sudah akrab dengan dunia
pemikiran di kampus, namun dalam praktiksnya masih terjadi dominasi laki-
laki dan ketimpangan relasi dalam berorganisasi. Meskipun tidak dapat
dipungkiri pula kenyataan bahwa mereka (pendiri dan seterusnya anggota-
anggotanya) juga berlatar belakang santri, yakni telah tercerahkan dengan
pendidikan dan kehidupan ala pesantren, tetapi kehidupan sebagai mahasiswa
dan interaksinya dengan semangat dan dialektika di kampus telah sedikit
banyak mempengaruhi pemikiran mereka, namun demikian ketimpangan relasi
itu masih sangat terasa hingga kini.
B. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri Forum
Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek?
2. Faktor apa yang menyebabkan terjadinya ketimpangan relasi gender
dalamorganisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa Santri
Banyuanyar?
7
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan pertanyaan penelitian sebagaimana di atas, maka tujuan
yang hendak dicapai oleh peneliti dalam melakukan penelitian adalah sebagai
berikut:
1. Untuk mendeskripsikan adanya ketimpangan relasi gender mahasantri
Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di
Jabodetabek.
2. Selanjutnya adalah untuk mengetahui dan dapat mendeskripsikan faktor-
faktor yang menjadi penyebab masih terjadinya ketimpangan relasi
gender dalam organisasi mahasantri Forum Komunikasi Mahasiswa
Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek?
Hasil dari penelitian ini diharapkan memberikan manfaat dan konstribusi
yang positif bagi semua pihak. Adapun manfaat dari penelitian ini dapat
diklasifikasikan sebagai berikut:
A. Manfaat Teoritis
1. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi sumber referensi dan
menambah pengetahuan serta dapat dijadikan bahan acuan bagi
penelitian yang lain di masa mendatang.
2. Kemudian hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan
kontribusi bagi dunia pendidikan dan dapat meningkatkan
perkembangan ilmu pengetahuan terutama disiplin ilmu sosiologi
8
Gender yang memang menemukan relevansinya di masa sekarang
ini.
3. Disamping itu, hasil dari penelitian ini diharapkan mampu
memperkaya ilmu pengetahuan sosial, terutama dibidang ilmu
sosiologi.
b. Manfaat Praktis
1. Bagi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, hasil dari
penelitian ini dapat menjadi koleksi dan referensi yang bisa memberi
wawasan atau pemahaman yang lebih luas tentang sosiologi terlebih
lagi dalam konteks ini adalah sosiologi gender sebagaimana konsen
dari penelitian ini.
2. Bagi Mahasiswa. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai bahan
bacaan bagi mahasiswa yang mencari atau membutuhkan informasi,
serta dapat memberikan wawasan atau pemahaman yang lebih
mendalam tentang realitas dan tantangan sosial yang ada saat ini
3. Bagi Peneliti. Hasil penelitian ini menjadi bekal wawasan dan
pengalaman secara nyata sehingga dapat memberi pemahaman dan
kontribusi nyata terhadap persoalan yang ada di masyarakat.
4. Bagi masyarakat umum. Hasil penelitian ini memberi pemahaman
baru kepada masyarakat pada umumnya mengenai kesetaraan gender
yang seharusnya dilakukan dan didapatkan perempuan sehingga
9
masyarakat mampu untuk memahami dan menelaah atas situasi dan
kondisi tersebut.
D. Tinjauan Pustaka
Pada penelitian ini, peneliti menemukan beberapa penelitian yang
cukup relevan mengenai relasi ketimpangan Gender Mahasantri dalam
organisasi.
1. Pertama, hasil penelitian yang dilakukan oleh Miftahuddin, Nur Hidayah,
dan Supardi (2008) yang diberi judul : Sensitivitas Dan Aplikasi
Kesetaraan Gender Di Organisasi Kemahasiswaan Universitas Negeri
Yogyakarta. Dalam penelitian ini Miftahuddin lebih menekankan kepada
sensitivitas perempuan terhadap isu-isu kesetaraan gender dalam
organisasi dimana ia juga menitikberatkan kepada aktivitas atau peran-
peran perempuan dalam beberapa organisasi ekstrakurikuler.Namun dalam
penelitian ini tidak disebutkan secara lebih jelas menggunakan teori apa
dalam mengenalisis permasalahan tersebut.Dan dari hasil penelitiannya
menunjukkan bahwa wacana gender sebagian besar sudah diakses oleh
organisasi mahasiswa yang menjadi subyek penelitian. Hanya saja dalam
hal sensitivitas dan aplikasi kesetaraan gender belum semuanya
menunjukkan kondisi yang serupa. Kegiatan yang dilakukan pun belum
menjamin bahwa dalam praktek keseharian organisasi mencerminkan hal
senada, karena kenyataan menunjukkan bahwa dalam kegiatan praktis
kepanitiaan perempuan masih sering ditempatkan untuk mengurusi hal-hal
10
yang bersifat domestik, sedangkan laki-laki sebaliknya. Persamaannya
dengan penelitian ini sama-sama menggunakan metodologi kualitatif, dan
sama-sama ruang lingkupnya adalah organisasi,Namun berbeda dengan
yng akan penulis teliti yakni objek penelitiannya lebih ke organisasi
berbasis pesantren yang mempunyai backround pendidikan yang berbeda-
beda.
2. Tesis yang disusun oleh Lathifatul Hasanah (2007) dengan judul:
Pendidikan Perspektif Gender. Studi Kebijakan tentang kesetaraan dan
keadilan gender di Madrasah. Tesis ini menggunakan beberapa teori dasar
tentang gender. Teori kodrat alam (Nature), teori Kebudayaan (Nurture),
Teori Psikoanalisa dan Teori Fungsionalisme Struktural. Dan
menggunakan dua metodologi kualitatif dan kuantitatif dalam metode
penelitiannya.Dari tesis ini ditemukan ada beberapa faktor yang
mempengaruhi ketidak setaraan atau kesenjangan gender dalam bidang
pendidikan (Termasuk madrasah) yaitu faktor partisipasi, akses, kontrol
dan faktor manfaat. Persamaannya dengan penelitian ini adalah
menggunakan tema yang sama yaitu kesetaraan gender dan keadilan
gender, serta menggunakan pisau analysis GAP (Gender Analysis
Pathway). Namun yang sangat berbeda disini adalah metodologi dan objek
penelitiannya yang akan dilakukan lebih menekankan ke mahasantri dalam
organisasi, sedangkan hasil penelitian ini lebih kepada para santri di
Madrasah.
11
3. Tesis yang disusun oleh Eneng Darol Affifah dengan judul” Analisis
Gender dan Pengaruhnya terhadap gerakan perempuan Islam Indonesia:
Studi kasus Pucuk pimpinan fatayat Nahdatul Ulama 2004. Dalam tesis ini
menggunakan teori Interaksionalitas dan teori gerakan perempuan. Dengan
menggunakan metodologi kualitatif dan pendekatan deskriptif, Eksplanatif
dan interpretatives”. Dalam tesis ini memusatkan perhatinnya untuk
menjawab pengaruh perspektif gender terhadap ajaran agama islam dan
gerakan organisasi perempuan islam serta faktor-faktor apa saja yang
melatarbelakangi diadopsinya analisis gender ke dalam organisasi
perempuan islam serta dalam bentuk apa pengaruhnya terhadap gerakan
organisasi. Dalam temuanya pengaruh yang paling terlihat adalah pada
organisasi fatayat Nahdaul Ulama dalam sepuluh tahun terahir ini. Yakni
dengan direalisasikannya beberapa program yang hampir seluruhnya
adalah program berbasis pada analisis gender. Hal ini mampu merubah
cara pandang mengenai hubungan laki-laki dan perempuan. Persamaannya
dengan penelitian ini adalah sama-sama menggunakan metodologi
kualitatif dan objek penelitiaannya sama-sama dalam ruang lingkup
organisasi. perbedaannya adalah teori yang digunakan adalah
Interaksionalitas dan teori gerakan perempuan, sedangkan disisi lain
penulis menggunakan pisau analysis GAP (Gender Analysis Pathway)
4. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Rahmi Fitrianti & Abdullah dengan
judul : Ketidaksetaraan gender dalam pendidikan. Dari penelitian ini
ditemukan bahwa ada banyak faktor terjadinya ketidaksetaraan gender
12
dalam pendidikan di daerah Majalaya Kabupaten Karawang. Disebabkan
oleh pengaruh akses, partisipasi, kontrol, manfaat serta nilaipun,
perempuan harus mendahulukan laki-laki dalam meraih kesempatan
pendidikan semenjak dahulu sampai dengan saat ini. Pada masyarakat
Majalaya hal ini diperkuat karena minimnya akses terhadap pendidikan,
rendahnya pertisipasi serta kontrol yang tidak menguntungkan bagi
perempuan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuallitatif dengan
jenis penelitian bersifat eksplanatif. Persamaan yang sangat mendasar
adalah sama-sama meneliti dengan tema yang sama yaitu ketidaksetaraan
gender dan mencari tau faktor ketidak setaraan dengan menggunakan GAP
yaitu ; Faktor Akses, Partisipasi, Kontrol dan manfaat. Serta sama-sama
menggunakan pendekatan metodologi kualitatif. Sedangkan yang
membedakan dengan penelitian disini adalah objek penelitiannya lebih
kepada pendidikan secara umum, sedangkan penulis disini lebih tertuju ke
Mahasantri dalam konteks organisasi.
5. Tesis yang disusun oleh Susanto dengan judul : Sensitivitas Gender Di
Dunia Pesantren, Studi Kasus Pndok Pesantren Dar al- Tauhid Cirebon
Jawa barat. Tesis ini menggunakan metodelogi penelitian bersifat kualitatif
dengan pendekatan geneologi dengan mengikuti studi-studi sejarah dan
antropologi tradisional. Dari hasil penelitiannya ditemukan bahwa
perkembangan sensitivitas gender di Pesantren Dar-al Tauhid Cirebon
semakin menguat. Hal ini ditandai oleh terjadinya pergeseran orientasi
pesantren dari keilmuan klasik minded menuju adanya disvertikasi
13
keilmuan pesantren yang responsif gender. Upaya sensitivitas ini
dilakukan melalui training, pengajian santri, penerbitan buku yang berisi
ide-ide islam responsif gender, serta pelayanan dan pendampingan korban
Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang difasilitasi oleh Women’s
Crisis Center Balqis. Persamaanya dengan penelitian ini sama-sama
menggunakan tema gender dan lingkup penelitiannya juga dalam konteks
pesantren, metodologi penelitian yang sama-sama menggunakan
metodologi kualitatif. Namun yang membedakan adalah yang satu lebih
kepada sensitifitas gendernya namun penulis di sini lebih menekankan
kepada faktor ketidak setaraan atau ketimpangan relasi gender. Yang objek
penelitiannya lebih kepada mahasantri dalam organisasi sedangkan hasil
penelitian ini lebih ke ruang lingkup para santri yang masih berada dalam
pesantren.
Dari berbagai hasil penelitian yang berkaitan dengan relasi
ketimpangan gender dalam organisasi, baik yang berdasarkan penelitian atau
beberapa hasil refleksi lainnya, peneliti melihat bahwa penelitian yang secara
khusus berkaitan dengan Menelaah ketimpangan Relasi Gender Dalam
Organisasi, masih belum secara khusus melihat langsung pada proses
ketimpangan gender sebagaimana fokus penelitian ini. Selain hal itu, jika di
lihat pada objeknya belum pula di temukan penelitian yang meneliti pada
organisasi Mahasantri, khususnya Forum Komunikasi Mahasiswa Santri
Banyuanyar (FKMSB) terlebih penelitian secara khusus menggunakan studi
kasus Organisasi FKMSB wilayah Jabodetabek masih belum ada.
14
Dengan demikian hasil penelitian ini mempunyai posisi yang berbeda
dengan penelitian-penelitian yang sudah ada sebelumnya. Tentu saja hasil
dari penelitian ini diharapakan selain menambah khasanah ilmu pengetahuan
dan melengkapi referensi yang sudah ada, juga menjadi bahan kajian lebih
baik serta menjadi bahan perbandingan yang lebih objektif dan terpercaya
dalam kacamata akademik.
E. Kerangka Teori
1. Gender Analysis Pathway (GAP)
Dalam penelitian ini peneliti mencoba memusatkan perhatian pada
ketidakadilan struktural dan sistem kultural yang disebabkan oleh
konstruksi gender di kalangan mahasantri khusunya di FKMSB
Jabodetabek. Untuk mengetahui hal itu, maka peneliti mencoba
menggunakan pisau analisis, Gender Analysis Pathway (GAP) Alat untuk
mengetahui kesenjangan gender dengan melihat empat aspek: Akses, peran,
kontrol dan manfaat yang diperoleh laki-laki dan perempuan dalam
program-program pembangunan.
Dan untuk melihat ruang sosial dan kultural seperti apa
ketimpangan itu terkonstruksi selama ini dan apa saja penyebab dan faktor-
faktornya. Dalam hal ini menurut Moser (1993:) disebabkan oleh empat
faktor : akses, partisipasi, Kontrol dan pemanfaatan. Hal ini juga sejalan
dengan Gender Analisys Pathway (GAP) bagaimana melihat potensi
kesenjangan antara perempuan dan laki-laki sebagai obyek maupun sebagai
15
subyek pembangunan. Lebih jelasnya hal ini juga disampaikan oleh
Suryadi dan Idris (2004 : 158-164) yang mengkategorikan terjadinya
ketimpangan gender ke dalam empat aspek tersebut. Yang kemudian dari
empat aspek tersebut akan dijadikan alat analisis untuk menentukan
keadilan gender mahasantri di Organisasi FKMSB Jabodetabek.
a. Akses adalah peluang atau kesempatan dalam memperoleh atau
menggunakan sumber daya tertentu. Dalam konteks organisasi
peneliti memfokuskan pada akses perempuan dalam struktur dan
akses mendapatkan hak yang sama dalam pengembagan skill.
b. Partisipasi. adalah keikutsertaan atau peran seseorang/kelompok
dalam suatu kegiatan dan atau dalam pengambilan keputusan, dan
dalam konteks ini peneliti memfokuskan pada partisipasi
perempuan dan laki-laki dalam dan struktural organisasi FKMSB.
c. Kontrol. Adalah penguasaan wewenang atau kekuatan untuk
mengambil keputusan. Dan hal ini ketimpangan gender dapat
diukur dengan skala kuantitas dalam keanggotaan dan struktural.
d. Manfaat, adalah kegunaan sumber yang dapat dinikmati secara
optimal. Dalam hal ini peneliti ingin melihat manfaat yang
diperoleh oleh laki-laki dan perempuan dalam beberapa kegiatan
dan posisi strukural.
Dari gambaran empat aspek diatas, memang agak sulit jika
keadilan gender itu direalisasikan. Namun dalam batas-batas tertentu, bisa
saja prospek keadilan gender dengan memberikan kesempatan yang sama
16
menempati posisi strategis serta memberikan kesempatan yang sama kaum
perempuan dengan kaum laki-laki, dalam kontek tertentu saja, misalnya
dalam hal ikut berpartisipasi aktif di organisasi baik secara struktural
maupun prakteknya hal ini menjadi harapan perempuan yang mungkin
akan semakin lebih baik.
2. Definisi Konseptual
a. Gender
Dalam Khasanah ilmu-ilmu sosial istilah gender digunakan dengan
makna khusus yang secara fundamental berbeda dengan jenis kelamin yang
bersifat biologis. Hal ini juga diperkuat oleh Moore bahwa Gender berbeda
dari seks atau jenis kelamin laki-laki dan perempuan yang bersifat biologis
(Moore, 1988). Orang pertama kali membedakan istilah gender dan jenis
kelamin ialah Ann Oakley, ahli sosiologi Inggris (Saptari & Halzner)..
Gender merupakan kajian tentang tingkah laku perempuan dan hubungan
sosial antara laki-laki dan perempuan (Saptari, 1997). Karena itu dalam
konteks ini gender adalah konstruksi masyarakat atau bentukan sosial
tentang laki-laki dan perempuan baik itu sifat, status, peran dan kesempatan
yang tidak bersifat permanen (Inayah; 2003; 4).
Gender disebutkan dalam Women’s Studies Encyclopedia bahwa
gender adalah suatu konsep kultural yang dipakai untuk membedakan
peran, perilaku, mentalitas, dan karakteristik emosional antara laki-laki dan
perempuan yang berkembang dalam masyarakat ( Musdah Mulia, 2004: 4).
17
Ia juga menyatakan bahwa gender adalah suatu konsep yang mengacu pada
peran-peran yang dapat diubah sesuai dengan perubahan zaman (Musdah
Mulia dan Marzani 2001. 13)
Dari beberapa definisi di atas dapat dipahami bahwa gender adalah
suatu sifat yang dijadikan dasar untuk mengidentifikasi perbedaan antara
laki-laki dan perempuan dilihat dari segi kondisi sosial dan budaya, nilai
dan perilaku, mentalitas, dan emosi, serta faktor-faktor nonbiologis lainnya.
Sebagaimana dijelaskan di atas bahwa setiap unit sosial termasuk dalam
konteks ini organisasi mahasantri mempunyai konsruksinya sendiri. Oleh
karena itu konstruksi khas mahasiswa santri ini akan menjadi objek telaah
dan kajian sosial gender peneliti dalam proses penelitian ini.
b. Ketimpangan Gender
Perbedaan-perbedaan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya
bertujuan untuk saling menolong antara keduanya bukan untuk saling
menguasai atau untuk saling menindas satu sama lain. Cita-cita Al-Qur’an
sesungguhnya adalah tegaknya kehidupan manusia yang bermoral luhur
dan menghargai nilai-nilai kemanusiaan universal (Husein Muhammad
2007: 37).
Namun secara kompromis untuk melihat ketidaksetaraan gender
terdapat teori keseimbangan (equilibrium). Pendekatan teori ini
menekankan pada konsep kemitraan dan keharmonisan dalam hubungan
antara laki-laki dan perempuan. Konsep ini tidak mempertentangkan jenis
18
kelamin karena mereka harus bekerjasama secara harmonis dalam suasana
kemitraan baik dalam keluarga, masyarakat, bangsa, maupun Negara.
Untuk mewujudkan gagasan itu maka dalam setiap kebijakan dan
perencanaan program perlu diperhitungkan kepentingan dan peran laki-laki
dan perempuan secara seimbang. Kedua jenis kelamin ini sama-sama
memiliki tanggung jawab secara komplementer, saling mengisi dan
melengkapi serta tidak bertentangan satu sama lain. R.H Tawney
menyebutkan bahwa keragaman peran apakah karena faktor biologis, etnis,
aspirasi, minat, pilihan atau budaya pada hakekatnya adalah realitas
kehidupan manusia (Kemenag PP RI,II 2001: 50).
Namun demikian, karena gender merupakan hasil dari konstruksi
atau bentukan sosial, maka dalam realitas satu budaya tertentu konstruksi
itu menyebabkan terjadinya ketimpangan dan ketidakseimbangan dalam
relasi laki-laki dan perempuan. Ketidakseimbangan berdasarkan gender
(gender inequality) mengacu pada ketidakseimbangan akses sumber-
sumber yang langka dalam masyarakat. Sumber-sumber yang penting itu
meliputi kekuasaan barang-barang material, jasa yang diberikan orang lain,
prestise, perawatan medis, otonomi pribadi, kesempatan untuk memperoleh
pendidikan dan pelatihan, serta kebebasan dari paksaan atau siksaan fisik
(Chafetz, 1991: 52).
Ketimpangan dalam konstruksi gender tentang bagaimana harus
menjadi laki-laki dan perempuan telah melahirkan ketidakadilan gender.
Ketidakadilan gender itu bisa dilihat dalam konstruksi sosial budaya dalam
19
masyarakat bahkan dalam kebijakan pemerintah. Sejarah perbedaan gender
dimulai sejak manusia lahir, kemudian perbedaan tersebut dikonstruksi
secara sosial, diobyektifikasi dan disosialisasikan dari generasi yang satu ke
generasi yang lainnya. Hal ini semakin menemukan tempatnya kala proses
internalisasi terus menerus dilakukan, sehingga kemudian diyakini
memiliki kebenaran sendiri dan tidak dianggap sebagai konstruksi (Inayah,
2014; 22).
Disisi lain ketimpangan gender semakin mengakar ketika masih
kuatnya budaya patriarkhi yang dianut. Konsep patriarkhi sebagaimana
disebutkan oleh Rueda yang mengatakan bahwa patriarki adalah penyebab
penindasan terhadap perempuan (2007: 120). Masyarakat yang menganut
sistem patriarki meletakkan laki-laki pada posisi dan kekuasaan yang
dominan dibandingkan perempuan. Laki-laki dianggap memiliki kekuatan
lebih dibandingkan perempuan. Di semua lini kehidupan, masyarakat
memandang perempuan sebagai seorang yang lemah dan tidak berdaya
Menurut Masudi seperti yang dikutip Faturochman, sejarah
masyarakat patriarki sejak awal membentuk peradaban manusia yang
menganggap bahwa laki-laki lebih kuat (superior) dibandingkan
perempuan baik dalam kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, maupun
bernegara. Kultur patriarki ini secara turun-temurun membentuk perbedaan
perilaku, status, dan otoritas antara laki-laki dan perempuan di masyarakat
yang kemudian menjadi hirarki gender (2002: 16).
20
Disisi lain hubungan antara laki-laki dan perempuan pada dasarnya
tercipta bukanlah hubungan atas bawah bahwa laki-laki harus diatas dan
perempuan menjadi the second class yang selalu tertindas. Dalam sejarah
panjang, Muhammad sebagai sosok revolusiner dan orang yang paling
berpengaruh sedunia mengajarkan bagaimana relasi antara laki-laki dan
perempuan dalam konteks sosial yang seharusnya masih sangat relevan
untuk ditunjukkan. Sebagaiaman Siti Khadijah sebagai saudagar kaya yang
menjadi pengusaha dan Muhammad menjadi orang yang paling dipercaya
sebagai pegawainya, sebelum akhirnya setelah pernikahan keduanya itu,
Muhammadlah yang seringkali bertugas sebagai manajer utama untuk pergi
berdagang ke Syiria maupun ke Habasyah. (Djunaidi & Thobieb 2006 : 9).
Hal ini masih terus berlanjut pada konteks rumah tangga Muhammad dan
Siti Khadijah bagaimana mereka saling menghargai dan saling menjunjung
tinggi satu sama lain, yang kemudian tak ada ketimpangan yang tercipta
maupun diskrimansi dalam relasi keduanya.
Namun pada realitas sosial saat ini, masih banyak stereotype
terhadap perempuan yang menganggap lemah dan tidak punya kapasitas
yang kemudian mengarah pada diskrimasi terhadap perempuan. Disinilah
persoalannya, karena perempuan seringkali diposisikan bergantung pada
suami dan berperan di sektor domestik, sehingga perempuan juga dianggap
sangat mendahulukan emosionalitasnya. Untuk itulah kemudian gerakan
feminisme liberal lebih menekankan pada upaya reformasi sistem hukum,
21
politik, dan pendidikan sebagai cara untuk menghapus diskriminasi
terhadap perempuan. (Endang sumiarti, 2004 : 60-63 ).
Hal lain yang paling umum juga sangat mempengaruhi adanya
ketimpangan maupun diskriminasi terhadap perempuan adalah karena
konstruksi tersebut, ketimpangan gender masih lumrah ditemukan dalam
kehidupan masyarakat akibat dari konstruksi yang terus menerus dilakukan,
baik itu dari budaya masyarakat, pemahaman keagamaan, dan dari
kebijakan negara-negara yang bias gender. Dalam konteks konstruksi yang
melahirkan ketimpangan relasi bisa ditemukan dalam berbagai kebudayaan
terutama dalam konteks ini dalam organisasi mahasantri Forum
Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) yang menjadi objek
penelitian ini.
C. Mahasantri
Santri dalam KBBI 2013 didefinisikan sebagai orang yang
mendalami agama Islam, orang yang beribadah dengan sungguh-sungguh,
dan saleh. Jika dilihat dari asal usulnya, menurut beberapa ilmuan, kata
santri berasal dari kata india “shastri” yang mempunyai arti orang yang
memiliki pengetahuan kitab suci. Namun pendapat yang lain mengatakan
bahwa asal kata santri berasal dari bahasa sansekerta ”cantrik” yang
berarti orang yang selalu mengikuti guru. Versi yang lainnya menganggap
santri sebagai gabungan antara kata “saint” (manusia baik) dan kata “tra”
22
(suka menolong) sehingga pesantren dapat berarti tempat pendidikan
manusia baik-baik.
Pada dasarnya, pemaknaan mahasiswa dinilai sebagai tatanan
orang yang berintelektual. Sedangkan santri biasanya kerap dikenal
sebagai manusia yang suci dan jauh dari dosa. Dengan menggabungkan
keduanya maka akan muncul manusia sempurna yang berintelektual tinggi
dan bertatakrama santun (Achmad Marzuki, 2012).
Namun, sejauh ini penulis masih belum menemukan definisi yang
secara eksplisit mendefinisikan dari dua kata mahasiswa dan santri.
Namun dari beberapa artikel yang penulis tangkap makna secara
sederhananya adalah, individu yang lulus dan basis pendidikannya dari
pondok pesantren kemudian melanjutkan kuliah di suatu perguruan tinggi,
atau individu yang kuliah di suatu perguruan tinggi sekaligus secara
bersamaan menempuh pendidikan di suatu pesantren. Namun dalam
konteks mahasantri yang akan menjadi objek penelitian ini, adalah siswa
atau santri yang pernah mengecap pendidikan di pesantren darul ulum
Banyuanyar yang kemudian melanjutkan studinya ke berbagai perguruan
tinggi di Jabodetabek.
D. Organisasi
Terdapat beberapa definisi organisasi dari beberapa tokoh, J.
William Schulze (1886:31) Menurutnya, organisasi adalah suatu
penggabungan dari orang orang, benda-benda, alat-alat perlengkapan,
23
ruang lingkup kerja dan segala hal yang berhubungan dengannya dan
disatukan dalam sebuah hubungan yang teratur dan sangat efektif untuk
mencapai segala tujuan yang diinginkan. Sedangkan menurut Chester I.
Barnard (1886) organisasi dikemukakan dalam bukunya yang berjudul The
Function of The Executive, yang berarti suatu sistem mengenai usaha
usaha kerjasama yang dilakukan oleh dua orang atau lebih.
Tujuan umum organisasi menurut Barnard (1886: 34) adalah
sebagai sebuah tujuan moral. Untuk menanamkan tujuan moral tersebut
terhadap anggota organisasi, eksekutif harus memahaminya sebagai
sebuah tugas yang mulia dan bermakna. Boulding menjelaskan pendapat
Barnard dengan mengusulkan dalil bahwa bentuk hirarkis organisasi dapat
secara luas diinterpretasikan sebagai suatu alat untuk menyelesaikan
konflik pada setiap tingkatan hirarki, yang mengkhususkan diri dalam
menyelesaikan konflik dari tingkatan yang lebih rendah.
Organisasi pada dasarnya merupakan tempat atau wadah di mana
orang-orang berkumpul, bekerjasama secara rasional dan sistematis,
terkendali, dengan memanfaatkan sumber daya (dana, material,
lingkungan, metode, sarana, prasarana, data) dan lain sebagainya yang
digunakan secara efisien dan efektif untuk mencapai tujuan bersama.
Istilah organisasi dalam konteks penelitian ini digunakan untuk melihat
dan menganalisis organisasi mahasantri yaitu forum mahasiswa santri
banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek terutama dalam konteks kerjasama
yang mereka lakukan kaitannya dengan relasi laki-laki dan perempuan.
24
Diakui atau tidak dalam sebuah organisasi ada sistem dan budaya yang
bekerja, dalam ruang demikian organisasi ini akan mejadi objek penelitian.
G. Metodologi Penelitian
1. Pendekatan dan Metode Penelitian
Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan sosiologi
gender. Sebagaimana dipahami bahwa sudah sejak lama, kira-kira pada
tahun 1970-an pertanyaan mendasar yang muncul di kalangan aktivis
perempuan terutama dalam kerangka membangun teoritisnya, ditujukan
pada suatu pertanyaan mendasar, bagaimana dapat menerangkan relasi laki-
laki dan perempuan terutama dapat memperjelas ketertindasan perempuan?
Pertanyaan ini menjadi titik tolak di mana kerangka teori keilmuan untuk
menerangkan fenomena tersebut dibangun. Dari pertanyaan tersebut
muncullah teori sosial feminis dimana teori-teori sosial pada awalnya
menjadi motor penggerak utama (Aziz Faiz, 2015; 1). Dengan demikian,
sosiologi gender telah menjadi penggerak utama untuk menjelaskan relasi
dan konstruksi laki-laki dan perempuan. Karena itulah kemudian dalam
konteks penelitian ini penulis menggunakan pendekatan sosiologi gender
dimana memang sudah sejak lama berkembang terutama di kalangan aktivis
perempuan. Dan untuk mengenalisis adanya ketimpangan relasi gender dan
faktor yang menyebabkan adanya ketimpangan pada mahasantri dalam
FKMSB Jabodetabek ini, penulis menggunakan Gender Analysis Pathway
(GAP) sebagai pisau analisis.
25
Adapun metode dari penelitian ini menggunakan metode kualitatif
deskriptif. Metode kualitatif dipilih bertujuan untuk melakukan penelitian
secara mendalam mengenai permasalahan adanya ketimpangan relasi gender
dalam organisasi mahasantri FKMSB Jabodetabek. Oleh karena itu, untuk
mengetahui secara detail mengapa hal itu bisa terjadi serta faktor-faktor
adanya ketimpangan tersebut, diperlukan wawancara mendalam kepada
informan. Menurut Creswell (1998) penelitian kualitatif sebagai suatu
gambaran kompleks, meneliti kata-kata, laporan terinci dan pandangan
responden, dan melakukan studi pada situasi yang dialami (Juliansyah,
2011:34). Sedangkan menurut Kirk dan Miller (1986) penelitian kualitatif
adalah tradisi tertentu dalam ilmu pengetahuan sosial yang secara
fundamental bergantung pada pengamatan pada manusia dalam kawasannya
sendiri dan berhubungan dengan orang-orang tersebut dalam bahasanya dan
dalam peristilahannya (Lexy, 2004:3). Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan format deskriptif, bertujuan untuk menjelaskan,
meringkaskan berbagai kondisi, berbagai situasi, atau berbagai variabel
yang timbul di masyarakat yang menjadi objek penelitian itu berdasarkan
apa yang terjadi. Kemudian mengangkat kepermukaan karakter atau
gambaran tentang kondisi, situasi, ataupun variabel tersebut (Bungin,
2003:36).
26
2. Subyek Penelitian
Penelitian ini dilakukan terhadap semua anggota mahasantri yang
tergabung dalam Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar
(FKMSB) di Jabodetabek, serta masih aktif kuliah di beberapa kampus di
wilayah Jabodetabek dan berasal dari semester IV ke atas, hal ini mengingat
semester IV ke atas sudah banyak yang aktif di berbagai organisasi yang lain,
dan tentunya sedikit banyak sudah mengetahui konsep gender.
Dalam mengelompokkan dua kategori modernis dan fundamentalis
yang berbeda ini, penulis melihat atas dasar pola pendidikan yang dipakai,
dan pola relasi mahasiswa dalam keseharian. Walaupun disisi lain tidak
membenarkan secara umum identitas dari kampus tersebut, serta tidak
membenarkan secara kolektif mahasiswanya mempunyai ideologi modernis
maupun fundamentalis, dalam hal ini penulis bertujuan untuk lebih
memudahkan menjadi kelompok yang lebih mudah dipetakan.
Kategori kampus yang masuk dalam kelompok modernis adalah UIN
Ciputat, UMJ Cirendeu, Unindra Condet dan STT Ganesha Legoso, hal ini
atas dasar pola pendidikan yang digunakan memadukan pendidikan umum
dan agama secara proporsional, dan pola relasi mahasiswa laki-laki dan
perempuan hampir memeberikan ruang yang sama dan sudah terbiasa
berkumpul bersama dalam satu kelas maupun dalam beberapa aktivitas
perkuliahan. Sedangkan disisi lain kelompok fundamentalis terdiri dari
kampus Lipia, Al-Hikmah, An-Nuaimi dan STIE Hidayatullah, hal ini
berdasarkan sistem dan pola pendidikannya masih sangat kental dengan
27
sistem pendidikan timur tengah yang lebih mengedepankan pendidikan
keislaman tekstual, dan cenderung lebih sedikit memberikan porsi pendidikan
umum. Serta dalam konteks relasi keseharianpun sangat jarang ditemukan
mahasiswa laki-laki dan perempuan berkumpul dan bersama-sama dalam satu
kelas dan hampir semuannya ada pembatas. Bahkan salah satau perguruan
tinggi dalam kelompok ini hanya mengkhususkan untuk mahasiswa laki-laki
saja. Hal ini sedikit dari sebagain besar yang penulis dapatkan untuk
kemudian berani mengkategorikan ke dalam kelompok fundamentalis.
Berdasarkan data awal yang berhasil dikumpulkan, penting kiranya
penulis menyertakan beberapa latar belakang informan menurut inisial, serta
posisi atau jabatan dalam organisasi FKMSB, dan latar belakang kampus
yang sudah dikategorikan ke dalam dua kelompok modernis dan
fundamentalis. Berikut penulis sertakan kedalam bentuk tabel untuk lebih
memudahkan.
Tabel I. G.II. Profil Informan Mahasantri FKMSB Jabodetabek
No Nama Jenis
Kelamin Jabatan Kampus Daerah Kategori Semester
1. IM Pr Mantan Infokom UIN Ciputat Modernis 8
2. HO Pr Mantan Korwat LIPIA Pasar Minggu Fundamentalis 8
3. MZ Pr Anggota UMJ Cirenndeu Modernis 8
4. FZ Pr Anggota Al Hikmah Mampang Fundamentalis 8
5. KR Lk Anggota GANESHA Legoso Modernis 8
6. EV Pr Anggota LIPIA Pasar Minggu Fundamentalis 6
7. AK Lk Mantan Wakil UNINDRA Condet Modernis 6
8. AH Lk Infokom Hidayatulllah Depok Fundamentalis 6
9 JU Pr MantanInfokom Al-Hikmah Mampang Fundamentalis 4
10 AR Lk Mantan Ketua UIN Ciputat Modernis 6
11 ME Lk Mantan Sekretaris UNINDRA Condet Modernis 6
12 BS Pr Mantan Korwat Al-Hikmah Mampang Fundamentalis 8
(Sumber Data: Sekretaris Umum FKMSB 2013/ 2014)
Berdasarkan tabel diatas terdapat enam informan yang masuk dalam
kategori kelompok modernis, IM, MZ, KR, AK, AR dan ME. Sedangkan
28
delapan informan lainnya masuk dalam kategori kelompok fundamentalis,
HO, FZ, EV, AH, JU dan BS.
2. Lokasi Penelitian
Peneliti memilih tempat penelitian di daerah Jabodetabek, yakni di
beberapa kampus Mahasiswa Santri Banyuanyar menuntut ilmu. Yaitu di UIN
Syarif Hidayatullah Ciputat, UMJ Cirendeu, UNINDRA Condet, STT
GANESHA Legoso, LIPIA Pasar Minggu, Al-Hikmah Mampang Prapatan,
STIE Hidayatullah Depok dan An-Nuaimi Kebayoran Lama.
4. Waktu Penelitian
Dalam penelitian ini penulis membutuhkan waktu kurang lebih 15 bulan
terhitung dari bulan Januari 2015 hingga Maret 2016. Waktu tersebut
digunakan peneliti untuk memperoleh data melalui wawancara, bahan bacaan,
bahan pustaka, laporan-laporan penelitian serta mengolah dan menganalisis
data. Hal ini dilakukan agar penelitian dapat menghasilkan data secara lengkap
dan akurat.
Tabel I.G.III Waktu Penenlitian
No Kegiatan
Jan Feb Maret April Mei Juni Juli Feb Maret
Minggu ke Minggu
ke
Minggu
ke
Minggu
ke
Minggu
ke
Minggu
ke
Minggu
ke
Minggu
ke
Minngu
ke
1 Penelitian Awal
1
2 Diskusi Proposal Bab I
4
3 Diskusi Metodologi &
Teori 3
4 Diskusi Bab II 2
5 Menentukan Matriks
1
6 Turun Lapangan
1 s/d 4
7 Penyusunan Data
Grafik 2
8 Pengumpulan Data 3 1
9 Analysis Temuan 2
10 Pengumpulan Bab III 1
11 Revisi Bab III 2
12 Diskusi IV Kesimpulan
& saran 1
13 Pengumpulan Skripsi 4
29
5. Jenis Data
Sumber data utama dalam penelitian kualitatif adalah kata-kata dan
tindakan, selebihnya adalah data tambahan seperti dokumen dan lain-lain
(Lexy J. Moleong 2009:157). Hasil didapatkan melalui dua sumber data,
yaitu:
a. Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh langsung dari hasil
wawancara yang diperoleh dari narasumber atau informan yang
dianggap berpotensi dalam memberikan informasi yang relevan. Di
dalam penelitian ini yang menjadi sumber data primer adalah
keterangan yang diperoleh dari 12 informan.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah sebagai data pendukung data primer dari
literatur dan dokumen serta data yang diambil dari suatu organisasi
dengan permasalahan di lapangan yang terdapat pada lokasi penelitian
berupa bahan bacaan, bahan pustaka, dan laporan-laporan
penelitiandan laporan penelitian yang telah dilakukan sebelumnya
yang tercantum dalam tinjauan pustaka.
6. Teknik Pengumpulan Data
Pada penelitian ini, peneliti menggunakan teknik pengumpulan data
sebagai berikut:
a. Wawancara
30
Metode wawancara adalah proses memperoleh keterangan
untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka
antara pewawancara dengan responden atau orang yang diwawancarai,
dengan atau tanpa menggunakan pedoman (guide) wawancara
(Bungin, 2013:133). Pertanyaan dan jawaban diberikan secara verbal
dan menghindari prasangka-prasangka sehingga dapat menemukan
sesuatu yang dianggap penting untuk mendapat hasil yang sempurna
(Anselm Strauss dan Juliet Corbin, 1997; 12). Wawancara dilakukan
secara mendalam terhadap 12Informan dengan tujuan memperoleh
data dan informasi secara lengkap dengan bahasa Indonesia,
b. Dokumentasi
Tehnik dokumentasi adalah cara mengumpulkan yang dilakukan
dengan katagori dan klasifikasi catatan peristiwa yang sudah berlalu.
Metode dokumentasi dalam penelitian ini adalah memanfaatkan
dokumen-dokumen, seperti buku pengkaderan anggota baru FKMSB,
AD/ART-nya termasuk dalam hal ini adalah buku-buku, dan literatur
lainnya yang medukung terhadapa penelitian ini.
7. Metode Pengolahan dan Analisis Data
a. Reduksi Data
Data yang diperoleh di lapangan ditulis/diketik dalam bentuk uraian
atau laporan yang terinci. Laporan-laporan tersebut direduksi,
dirangkum serta dipilih hal-hal yang pokok untuk difokuskan pada hal
31
yang penting, yang kemudian dicocokkan dengan matriks agar dapat
terusun lebih sistematis. Data yang direduksi memberi gambaran yang
lebih tajam tentang hasil penelitian awal yang kemudian
mempermudah peneliti untuk mencari kembali data yang diperoleh
bila diperlukan.
b. Display Data (penyajian data)
Dari data yang dihasilkan melalui wawancara serta bahan bacaan
maupun bahan pustaka maka menghasilkan data yang banyak.
Kemudian dari data tersebut akan dipilih informasi yang penting dan
diperlukan untuk menjawab pertanyaan penelitian. Hanya data yang
bersifat penting saja yang disajikan baik dalam bentuk tulisan, tabel
maupun grafik.
c. Penarikan Kesimpulan
Kesimpulan berisi inti dari hasil temuan penelitian di lapangan.
Kesimpulan mengandung kalimat inti yang menjelaskan dan
menjawab pertanyaan penelitian. Dari seluruh data yang telah di
reduksi, setelah itu disajikan (display data) lalu kemudian diambil
kesimpulan dari seluruh data yang diperoleh. Sehingga dapat
menjelaskan keseluruhan penelitian secara singkat dan jelas.
32
H. Sistematika Penelitian
Bab I Pendahuluan: Bagian ini terdiri dari pernyataan masalah,
pertanyaan penelitian,tujuan dan manfaat, tinjauan pustaka, kerangka teori
metodologi penelitian dan juga sistematika penelitian. Bab II Gambaran
Umum:Bagian ini memuat gambaran umum objek penelitian serta gambaran
umum Madura, Masyarakat santri dan FKMSB. Dan dilengkapi data-data
Organisasi FKMSB untuk menunjang dan melengkapi data penelitian. Bab III
Analisis dan Temuan: Bagian ini berisi analisis dari hasil temuan penelitian di
lapangan. Bab ini juga berisi hasil wawancara dan temuan awal yang
merupakan data primer yang dipergunakan untuk bahan analisa. Bab IV
Kesimpulan dan Saran: Bagian ini memuat kesimpulan dan saran.
Kesimpulan dari seluruh hasil penelitian yang telah dilakukan serta saran
yang berguna untuk keperluan penelitian selanjutnya.
33
BAB II
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
A. Madura, Masyarakat Santri dan FKMSB
Masyarakat Madura dikenal dangan masyarakat yang beragama Islam
dengan corak yang khas. Dikatakan khas karena identitas keberagamaan yang
tidak bisa dipisah dari kehidupan mereka sehari harinya. Karena saking
khasnya keberagamaan orang madura hingga muncul kata-kata yang sering
dilekatkan pada mereka yaitu “sejelek-jeleknya orang madura pasti mereka
tahu mengaji alqur’an”. Sebagai pulau yang berpenghuni mayoritas muslim
(+97-99%), Madura menampakkan ciri khas keberislamannya, khususnya
dalam aktualisasi ketaatan kepada ajaran normatif agamanya. Selain akar
budaya lokal (asli Madura), syariat Islam juga begitu mengakar dalam
kehidupan masyarakat Madura. Bahkan ada ungkapan budaya: Seburuk-
buruknya orang Madura, jika ada yang menghina agama (Islam) maka mereka
tetap akan marah. (Aziz 2014:12) Dengan demikian identitas keislaman khas
itu tidak mudah lepas dari masyarakat madura dengan tingkat fanatisme yang
tinggi.
Kekuatan utama keberagamaan masyarakat madura ditopang dengan
berdirinya berbagai pondok pesantren yang tumbuh dan terus berkembang.
Pendidikan khas pondok pesantren ini mendominasi dalam proses
pemberdayaan masyarakat Madura. Hal ini dapat ditemui dengan ungkapan
khas anak muda bahwa “ga’ mondok ga’ keren”. Kata-kata ini menjadi
pemahaman umum dalam konteks madura bahwa kalau anak muda tidak
mondok kesebuah pondok pesantren maka dia akan dianggap kurang keren.
34
Dalam konteks yang demikian tidak heran juga jika dikatakan bahwa
masyarakat madura adalah masyarakat santri dengan tradisi kuat khas NU.
Indikator masyarakat santri ini selain karena khas masyarakat madura yang
bisa dipastikan mempunyai langgar sebagai tempat ibadah, juga karena tumbuh
kembangnya pondok pesantren di Madura hampir disetiap desa. Hal ini karena
banyak sekali putra-putra kyai yang kemudian mendirikan sebuah pondok
pesantren baru sebagai langkah pembangunan masyarakat beragama di
Madura.
Salah satu pondok pesantren yang sangat tua dalam konteks Madura
adalah pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar yang terletak di Desa Potoan
Daya Kecamatan Palengaan Kabupaten Pamekasan, Sekalipun belum ada data
yang valid namun dari cerita-cerita santrinya diperkirakan pondok pesantren ini
telah berdiri sekitar 250 tahun yang silam. Mengingat perkiraan umur pondok
pesantren yang sudah dua setengah abad itu, tentu sudah banyak sekali
melahirkan alumni-alumni yang banyak berkiprah dalam masyarakat. Alumni
dari pondok pesantren ini terkumpul dalam PERADABAN (Persatuan Alumni
Darul Ulum Banyuanayar), yang mewadahi alumni secara keseluaran. Namun
ada wadah alumni lain yang khusus dan khas yaitu FKMSB (Forum
Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar). Organisasi khusus menangani
alumni pondok pesatren banyuanyar yang terfokus pada alumni yang
menyandang status mahasiswa.
Sebagaimana telah disebutkan di atas, FKMSB atau Forum Komunikasi
Mahasiswa Santri Banyuanayar adalah wadah Alumni Pondok Pesantren Darul
Ulum Banyuanyar khusus bagi mahasiswa alumni dari pondok tersebut yang
35
menyebar di beberapa kota di Indonesia bahkan luar negeri. Karena pusat studi
itu banyak tumbuh di perkotaan maka organisasi ini banyak berkembang di
perkotaan pula mengingat mereka adalah alumni yang kemudian eksodus dan
merantau untuk menuntut ilmu di perguruan tinggi di berbagai kota di
indonesia. Tentu saja dalam hal ini termasuk kota-kota di Madura dan kota-
kota besar seperti Surabaya, Yogyakarta dan Jakarta.
Di kota-kota besar termasuk dalam konteks penelitian ini adalah FKMSB
di wilayah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok, Tanggerang dan Bekasi),
mereka menempuh pendidikan dari jenjang strata satu hingga strata tiga. Tentu
dalam konteks yang demikian, FKMSB telah tumbuh berkembang dan sudah
memainkan peran dalam konteks pengembangan keberagaman dan keilmuaan
masyarakat Madura terutama mereka yang alumni Pondok Pesantren
Banyuanyar untuk terus diajak dan kemudian melanjutkan jejang studinya
keperguruan tinggi. Bahkan dalam konteks-konteks tertentu organisasi ini
terutama ogranisasi daerahnya seperti wilayah Jabodetabek, Surabaya dan lain
sebagainya bersaing untuk kemudian semakin memperbanyak kader baik putri
maupun putra setiap tahunnya agar mereka bisa melanjutkan studinya kesetiap
daerah tersebut.
B. Sejarah Berdirinya Organisasi Mahasantri FKMSB
Terbentuknya sebuah komunitas bisa dilacak dalam berbagai literatur
sosiologi. Dalam berbagai literatur itu dikatakan bahwa manusia saling
tergantung satu sama lain yang tidak mungkin terpisah dengan hidup
menyendiri. Hal ini menghadirkan pemahaman akan adanya keterikatan
36
dengan orang lain yang menunjukkan bahwa manusia hidup berkelompok.
(Aziz 2015:23)
Independensi sebagai individu tidak mungkin ada tanpa dependensi dari
masyarakat.(K.J. Veeger 1993:9) Karena itu, terbentuk apa yang disebut
dengan proses sosial yang melahirkan struktur dengan hadirnya kelompok
sosial, kebudayaan, lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan
wewenang. Sedangkan pada sisi mentalitasnya, akan melahirkan sistem nilai,
pola dan cara berfikir, sikap, tingkah laku dan sistem norma-norma.( Soekanto
1993:45-46)
Sosiolog Jerman Max Weber, melihat bahwa tindakan sosial dapat
menjelaskan hubungan sosial dalam masyarakat itu sendiri. Bagi Weber, ciri-
ciri yang khas dari hubungan-hubungan sosial adalah hubungan itu bermakna
bagi mereka yang mengambil bagian di dalamnya, dan hubungan sosial
tersebut memiliki tiga bentuk, yaitu: konflik atau perjuangan, komunitas, dan
kerjasama.( Doyle Paul Jhonson 199:23) Dalam ruang lingkup kajian sosial
mengenai masyarakat dengan hadirnya kerjasama yang berbentuk masyarakat
maka Forum Komunikasi Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) bisa dilihat
sebagai bagian proses tindakan sosial itu yang di dalamnya hadir kerjasama
berdasarkan kesamaan tujuan, nilai dan identitas.
Jika dilihat dari proses terbentuknya Forum Komunikasi Mahasiswa
Santri Banyuanyar (FKMSB) maka tempak mereka lahir karena kesamaan
identitas mereka yang merasa sebagai masyarakat santri dan tentu karena
berasal dari pondok pesantren yang sama yaitu Pondok Pesantren Darul Ulum
Banyuanyar. Kesantuan asal usul dan latar belakang pendidikan ini yang
37
menyebabkan mereka kemudian saling berhubungan dan berinteraksi dengan
membentuk perkumpulan khusus yang disebut dengan FKMSB. Jika ditelaah
lebih jauh organisasi ini merupakan organisasi primordial yang berbasis santri
dengan status sebagai mahasiswa di berbagai kampus dalam negeri maupun di
luar negeri, FKMSB dibentuk pada tanggal 21 Januari di Aula MA Darul
Ulum, FKMSB ini merupakan kelanjutan dari Ikatan Mahasiswa Darul Ulum
(IMAD) yang diketuai Drs. Kholil Asy’ari (Sekarang wakil Bupati,
Pamekasan). Beberapa alumni ponpes Banyuanyar yang menggerakkan IMAD
antara lain; Drs. Moh. Mansyur, (Sekarang anggota KPU Bangkalan) Drs
Johanni, Moh. Buhori S.Ag, Dr. H. Zainuddi Syarif, M.Ag, Kholil, S.Ag dan
sejumlah nama lainnya. Namun seiring dengan perkembangan dan kebutuhan
direncanakan IMAD berubah menjadi FKMSB.
Dalam rencana perubahan nama tersebut dari IMAD ke FKMSB di latari
dengan keinginan untuk mengakomodasi semua kalangan bukan hanya
lembaga darul ulum saja, namun juga pondok pesantren Al-Hamidy
Banyuanyar. Maklum pondok pesantren darul ulum Banyuanyar berdampingan
tak terpisah dengan pondok pesantren Al-Hamidy Banyuanyar yang memang
pondok pesantren yang sama-sama didirikan oleh satu keluarga. Dalam ruang
pemikiran kekeluargaan yang demikian, muncul inisiatif untuk alumninya bisa
bersatu dalam forum dan wadah organisasi yang sama yaitu FKSMB.Walaupun
pada kenyataan selanjutnya keinginan untuk menyatukan wadah alumni ini
kurang mendapat respons oleh sebagaian besar alumni Alhamidy, walaupun
tidak dapat dimungkiri bahwa di daerah seperti Malang dan Jabodetabek
alumni Al-Hamidi bergabung dengan FKMSB. Selain karena belum banyak
38
alumninya yang menyebar dan keberadaan mereka yang sedikit, mahasiswa
Alhamidy Banyuanyar bergabung dengan FKMSB karena kesamaan dalam
konteks kultural yang memang lebih dekat.
FKMSB di awal kepengurusan berbetuk presidium dan pada Kongres I
berhasil memilih Ach Fauzan (STAI AL-Khairat) sebagai sekjen. Pada
Rakernas FKMSB akhir 2000, disepakati untuk membentuk kepengurusan di
setiap wilayah. Dalam forum tersebut juga dirumuskan lambang FKMSB.
Kemudian pada Kongres II tahun 2001 kepengurusan FKMSB disempurnakan
dengan membentuk badan eksekutif yang dipimpin oleh ketua sedangkan
presidium dialihfungsikan sebagai legislaif. Badan eksekutif dan legislatif
tersebut juga dibentuk di setiap wilayah. Pada Kongres inilah AD/ART
FKMSB disahkan. Kongres juga berhasil memilih Ach. Mukhlisin (Unijoyo)
sebagai ketua yang selanjutnya diberi wewenang membentuk kepengurusan
pusat. Sedangkan ketua presidium terpilih adalah H. Holil, S.Ag (Alumnus UII
Yogyakarta).
Kemudian FKMSB menggelar Kongres III ahir 2003 di aula ponpes Al-
mujtama’. Dalam Kongres ini AD/ART FKMSB kembali disempurnakan dan
sistem organisasi dimantapkan. Kongres berhasil memilih Ach Baidowi
Amirudin (UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta) sebagai ketua. Dalam forum itu
juga berhasil menetapkan Abd Hamid, SHI (IAIN Sunan Ampel Surabaya)
sebagai ketua presidium. Dimasa kepengurusan ini terjadi perombakan secara
signifikan dengan mengandalkan eksistensi. Bahkan, FKMSB mulai
diperhitungkan sebagai kekuatan baru dalam level gerakan periode ini
penyusunan pedoman administrasi FKMSB serta pengaktifan forum-forum
39
organisasi seperti sidang tahunan, Rakorwil, hingga Rakornas. berbagai bidang
bisa dirambah FKMSB khususnya dunia tulis menulis. Kemudian FKMSB
menggelar Kongres IV januari 2006 di Hotel Madinah yang kembali memilih
Ach Baidowi Amirudin sebagai ketua Umum FKMSB kedua kalinya.
Sedangkan ketua presedium terpilih adalah Mahrus Ali (UII Yogyakarta)
dalam kepengurusan ini, distribusi kewenangan mulai diatur seperti
pembentukan pembantu ketua.
FKMSB mempercepat Kongres V karena pertimbangan regenerasi dan
pengoptimalan organisasi pada kongres V berhasil memilih Muhsin Salim
(UIM Pamekasan) sebagi ketua umum. Sedangkan ketua presedium terpilih
adalah Moh Ilyas (Unira Pamekasan). Mulai kepengurusan ini, Pembantu ketua
umum dipangkas menjadi wakil ketua umum.
Dan pada tanggal 21 Januari 2009 FKMSB menggelar Kongres yang ke
VI guna terciptanya organisasi yang runtun sesuai dengan AD/ART, Pada
kongres ke VI Ini terpilihlah Hafiz al- Azad (UIN Syarif Hidayatullah) Sebagai
perwakilan kandidat dari Jakarta dan terpilih menjadi ketua umum FKMSB
periode 2009-2011, dan sebagai wakil ketuanya adalah Wawardi Asyari
(Universitas Islam Madura) dengan ketua Badan legislatif terpilih Ach. Farwis
( IAIN Sunan Ampel Surabaya) Dalam kepengurusan ini terpilih Juga Jufriady
( Ma’had aly An-Nuaimy Jakarta ) sebagai skretaris umum dan Isma’il sebagai
Bendahara umum (UIN Sunan Kalijaga, Yogjakarta).
Kemudian pada tanggal 24-26 Desember 2011, FKMSB menggelar
Kongres yang ke VII bertempat di Singosari, Malang. Pada Kongres ini,
AD/ART kembali di sempurnakan lagi dan di perbaiki, khususnya yang
40
mengatur mengenai kepengurusan wilayah. Kongres ini berhasil memilih
Ahmad Zairi Syakur (Malang) sebagai ketua umum FKMSB periode 2011-
2013. Sedangkan wakil ketua dipegang oleh Saiful Harir (Sumenep), sekretaris
umum Edy Sugianto, tetapi kemudian di ganti oleh Agus Zainuddin
(Pamekasan) karena alasan Edy Sugianto menikah, sementara Bendahara
umum saudara Zainal Azhar (Jakarta). Dan baru kemudian kongres terkahir
yaitu kongres di asrama haji sukolilo surabaya yang kemudian melahirkan
sosok Syaiful Bahri (FKMSB Jabodetabek) sebagai ketua umum pada periode
2014/2015.
Jika dilihat dan ditelaah dalam sejarah FKMSB sebagaimana di atas,
tampak tidak muncul nama-nama perempuan untuk memegang dan ikut
mengatur jalannya organisasi ini. Sejarah organisasi FKMSB sebagaimana
penulis jelaskan diatas tampak bahwa dalam kepengurusan harianpun nama-
nama perempuan belum muncul dan dicantumkan karena mereka memang
tampak belum banyak di perhitungkan padahal jumlah merekla sangat banyak.
Baru kemudian pada kongres 2014 di asrama haji Surabaya para perempuan ini
semakin vokal. Sehingga kemudian pada hasil rapat kerja di Surabaya muncul
nama Rohmatun (FKMSB Malang) sebagai bendahara umum walaupun
jabatanya tidak sampai selesai karena alasan menikah.
Kemunculan nama Rohmatun dalam Kongres Surabaya karena upaya
yang sangat kuat dilakukan oleh kalangan perempuan FKMSB yang dimotori
oleh Halimah Bukhori (FKMSB Jabodetabek) untuk mendapatkan posisi.
Mereka berjuang untuk kemudian perempuan diperlakukan khusus dengan
membentuk badan otonom yang yang diberi nama HIMAH (Himpunan
41
Muslimah) FKMSB. Tidak berhenti sampai disitu ternyata tuntutan mereka
berlanjut dengan upaya merombak AD/ART dan menempatkan HIMAH
sebagai badan otonom yang harus diakui secara legalitas di AD/ART itu
sendiri. Dalam upaya berjuang akan hal ini mereka bahkan sempat melakukan
aksi walk outatau keluar dari area kongres karena usulan mereka dianggap
dihalang-halangi. Mereka kaum perempuan ini tidak mau hanya berdasarkan
persetujuan kongres dan surat keputusan dari ketua umum semata, namun juga
dilegalkan di AD/ART itu sendiri.
C. FKMSB Wilayah Jabodetabek
Perkembangan FKMSB memang sangat pesat seiring dengan semakin
banyaknya alumni Pondok Pesantren Darul Ulum Banyuanyar. Pondok
pesantren tua di Pamekasan Madura ini rata-rata mengeluarkan lulusan seribu
lima ratus (1500) santri putra dan putri setiap tahunnya. Namun demikian
mereka yang sudah lulus dari pondok pesantren ini tidak bisa serta merta
melanjutkan kuliah atau studi mereka ke jenjang yang lebih tinggi. Setelah
lulus mereka diharuskan menjadi apa yang mereka sebut dengan guru tugas
atau guru pengabdian. Mereka harus menjadi guru-guru atau ustadz-ustadz
yang dikirim oleh pondok pesantren ke setiap daerah di Indonesia, dengan
durasi pengabdian selama satu tahun. Mereka banyak tersebar di selain pulau
madura dan jawa, mereka dikirim juga ke pedalaman Kalimantan, Papua dan
Riau serta daerah-daerah lainnya di Indonesai untuk mengabdi mencerdaskan
anak bangsa. Pengiriman santri yang demikian oleh pondok pesantren sudah
berlansung sekitar 80 (delapan puluh) tahun yang silam.
42
Setelah mereka menyelesaikan tugas mengabdi dan kembali ke pondok
pesantren, baru kemudian mereka merancang untuk melanjutkan studi mereka
ke jenjang yang lebih tinggi yaitu ke perguruan tinggi. Dalam momen mereka
kembali ke pondok pesantren ini, mereka sudah mulai membangun komunikasi
dengan kakak angkatan mereka yang telah terlebih dahulu berada dan
melanjutkan kuliah diberbagai kota di Indonesia. Termasuk dalam hal ini di
daerah Jabodetabek (Jakarta, Bogor, Depok dan Bekasi). Mahasiswa santri
Banyuanyar di daerah ini termasuk yang terbesar karena menyebar di berbagai
kampus di empat kota sekaligus. Termasuk dalam konteks ini mahasiswa santri
bagian putri yang memang lebih banyak melanjutkan kuliah ke Jabodetabek
ketimbang ke kota-kota lainnya di Indonesia.
Tentu saja FKMSB dengan tujuan reaktualisasi kaum santri dan
meningkatkan nilai ukhwah di kalangan santri Banyuanyar, diamini oleh
beberapa mahasiswa yang sudah terlebih dahulu kuliah di daerah Jabodetabek.
Tujuan mulia yang menginspirasi mereka untuk kemudian berencana membuat
cabang FKMSB di Jobodetabek sebagaimana daerah lainnya di Indoensai
seperti Malang, Surabaya dan Yogyakarta. Dengan segenap pertimbangan pada
visi dan misi organisasi berupa: Menggali potensi dan mengembangkan
pemikiran sebagai upaya penguatan wacana. Menampung, mengarahkan dan
menyalurkan kepedulian santri terhadap masalah sosial. Membentuk pola
pembinaan dan pemberdayaan santri yang terpadu untuk mendukung tujuan
organisasi. Menginternalisasikan nilai Islam dalam seluruh aspek kehidupan.
Hal ini ingin sekali diterapkan di Jabodetabek dengan kekuatan silaturahmi
dengan mempertimbangkan potensi santri yang sudah kuliah di daerah ini.
43
Karena itu para mahasantri ini berinisiatif untuk segera mendirikan organisasi
secepatnya.
Jika ditelusuri berdirinya FKMSB Jabodetabek ini dimulai sejak tahun
2008 kala itu di motori oleh Holisul Ibad dan Ahmad Jufri yang pada waktu itu
kuliah di An-nuami Kebayoran lama Jakarta. Karena sesuai dengan AD/ART
FKMSB bahwa suatu wilayah bisa membentuk cabang ketika sudah ada
anggota menimal tujuh orang, mereka segera memprosesnya. Karena,kala itu di
Jakarta sudah lebih dari ketentuan tersebut namun disisi yang lain mereka
belum terbentuk cabang secara resmi. Oleh karena itu mereka berkonsultasi
dengan ketua umum FKMSB Muhsin Salim yang berkantor di kota Pamekasan
sekaligus menyerahkan surat rencana mendirikan cabang FKMSB Jabodetabek.
Akhirnya usulan tersebut dibawa kerapat pengurus pusat dengan disetujui
badan legislatif FKMSB maka disetujui terbentuknya pengurus cabang tersebut
dan dibentuk pengurus sementara yang diketuai oleh Khulisul Ibad sendiri.
Sebagaimana aturan AD/ART organisasi, cabang baru boleh dibentuk atas
persetujuan ketua umun dan badan legislatif namun hanya sah dan secara resmi
dikenakan kewajiban organisasi hanya setelah disahkan di Kongres. Oleh
karena itu, FKMSB Jabodetabek disahkan pada Kongres tahun 2009.
Dengan terbentuknya organisasi FKMSB secara resmi di Jabodetabek
maka mereka membuat rencana kerja yang salah satunya adalah sosialisasi
mengenai kampus-kampus di Jabodetabek ke pondok pesantren Banyuanyar
baik putra maupun putri untuk kemudian mereka bisa melanjutkan kuliah ke
daerah Jabodetabek. Hasilnya hingga saat ini sangat fantastis dengan jumlah
kader baru lebih dari seratus mahasiswa santri yang kuliah ke daerah ini.
44
Termasuk yang paling banyak dalam konteks ini adalah mahasiswa santri
bagain putri.
Mahasiswa santri bagian putri ini semakin membeludak ke Jakarta tatkala
salah satu putri kyai sendiri yaitu Neng, kuliah di Al-Hikmah Jakarta Selatan.
Sehingga hadirnya seorang Neng ini di Jakarta maka santri-santri putri
terdorong juga untuk kuliah ke Jakarta. Hal ini bisa dipahami karena Neng
dipandang sebagai contoh dan cukup berpengaruh di kalangan santri putri dan
tingkat kepatuhan yang sangat tinggi. Sehingga dengan demikian, tidak heran
jika sampai saat ini santri putri yang kuliah paling banyak berada didaerah
Jabodetabek. Ketika penelitian ini dilakukan, mereka para mahasiswa santri
yang berasal dari Pondok Pesantren Banyuanyar Pamekasan Madura ini
tersebar di beberapa kampus di Jabodetabek, Berikut data anggota FKMSB
Jabodetabek dalam tiga tahun terahir.
Tabel II. C.1. Anggota FKMSB Jabodetabek Dalam Tiga Tahun Terahir
(Sumber Data: SekretarisUmum FKMSB 2014/2015)
Dari data tersebut terlihat peningkatan yang sangat tinggi oleh anggota laki-laki
setiap tahunnya, Dan anggota perempuan juga mengalami peningkatan walaupun
NO Kampus 2012/2013 2013/2014 2014/2015
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
1 LIPIA 0 9 0 9 0 9
2 AL-HIKMAH 4 5 4 7 4 7
3 HIDAYATULLAH 18 0 25 0 25 0
4 AN-NUAIMI 3 0 3 0 3 0
5 STPD Bekasi 0 2 1 2 2 3
6 IbnuKholdunDepok 3 0 1 2 1 2
7 STT GANESHA 5 0 5 1 8 1
8 UIN JAKARTA 25 7 25 7 27 7
9 UNINDRA 5 0 5 0 8 0
10 UMJ 2 1 5 1 5 2
JUMLAH 65 24 74 29 83 31
89 103 115
45
tidak sedominan anggota laki-laki. Namun dinamika yang terjadi tampak
mahasantri laki-laki yang tidak sama sekali kuliah di Lipia, serta mahasantri
perempuan yang tak seorangpun kuliah di Hidayatullah dan An-niami, serta
dominasi mahasantri yang kuliah di UIN Syarif hidayatullah walaupun memang
leih banyak laki-laki. Hal ini atas beberapa faktor, antara lain disebabkan
kurangnya minat dari mahasantrinya sendiri untuk memilih perguruan tinggi
tersebut, kemudian beberapa perguruan tinggi yang hanya dikhususkan untuk
mahasantri laki-laki saja. Namun sebagai bahan tambahan ternyata mahasantri
FKMSB mengalami banyak kesulitan untuk bisa diterima di perguruan tinggi
sesuai keinginannya sendiri, terlebih dalam memilih perguruan tinggi yang
berstandar internasional.
D. Latar Belakang Pendidikan Informan
Perguruan tinggi yang juga menjadi tempat menuntut ilmu para mahasantri
FKMSB di Jabodetabek adalah beberapa kampus yang notabenenya kampus
bercorak islami, hal ini sangat sejalan karena mahasantri FKMSB sebagai santri
yang seharusnya selalu mengedepankan nilai-nilai kesantrian dan selalu
menjunjung tinggi nilai-nilai keislaman. Namun disisi lain tidak sedikit pula
mahasantri FKMSB yang juga mempunyai keinginan dan memilih kuliah di
beberapa kampus negeri atau umum.
Terdapat beberapa kampus Islam, Negeri dan swasta yang sudah banyak
diminati oleh mahasantri FKMSB untuk melanjutkan studinya ke perguruan tinggi
di Jabodetabek. beberapa kampus tersebut adalah UIN syarif Hidayatullah Jakarta,
Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), Al-Hikmah Mampang, Stie
46
Hidayatullah Depok, LIPIA Pasar minggu, An-Nuaimi Kebayoran lama, dan
UNINDRA Condet.
Dari beberapa kampus tersebut lebih banyak mahasantri memilih kampus
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta sebagai tujuan awal melanjutkan jenjang
studinya, walaupun tidak semua mahasantri diterima menjadi Mahasiswa UIN
Syarif Hidayatullah, Namun mereka dapat memilih beberapa kampus yang
lokasinya tidak jauh dari UIN atau area Ciputat. Sampai tahun 2015 ini tercatat
hampis sebagian besar anggota FKMSB laki-laki dan perempuan bertempat
tinggal di daerah Ciputat Tangerang selatan. Dimana berdiri beberapa kampus
seperti UIN, UMJ, Stie Ahmad Dahlan, dan STT Ganesha.
Disisi lain ada beberapa Mahasantri yang memilih Stie Hidayatullah
Depok sebagai tujuan awal, mengingat kampus tersebut menyediakan beasiswa
penuh dan disediakan tempat tinggal yang kemudian menjadi sesuatu yang sangat
menarik mahasantri untuk memilih kampus tersebut. Apalagi di kampus tersebut
hanya dikhususkan untuk laki-laki saja, artinya anggota perempuan FKMSB tak
satupun yang berasal dari Stie Hidayatullah Depok.
Dan yang terakhir adalah kampus Al-Hikmah dan Lipia. Beberapa kampus
yang berada di daerah mampang prapatan ini lebih banyak ditempati anggota
perempuan. Walaupun ada anggota laki-laki yang memilih kampus tersebut,
namun masih lebih banyak anggota perempuan yang bertempat di daerah tersebut.
Dari beberapa kampus dan latar belakang pendidikan yang berbeda ini,
secara umum akan melahirkan karakter dan mindset yang berbeda juga terhadap
para mahasiswanya. Namun besar harapan, Sebagai organisasi mahasantri yang
47
sudah tercerahkan oleh ilmu pengetahuan dan ilmu keagamaan diharapkan
organisasi tersebut mampu menerima dan saling menghargai perbedaan, serta
saling menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.
47
BAB III
TEMUAN DAN ANALISIS
Pada bab ini penulis ingin menjabarkan hasil temuan terjadinya ketimpangan relasi
gender dan berbagai faktor ketimpangan yang telah penulis kategorikan berdasarkan data
yang dikumpulkan selama proses penelitian ini berlangsung. Ketimpangan yang terjadi antara
lain akan dilihat dalam bentuk akses, ketimpangan dalam bentuk parsitipasi, serta
ketimpangan dalam bentuk kontrol. Sedangkan konteks yang terahir ketimpangan dalam
bentuk pengambilan manfaat dalam proses berorganisasi mahasantri pada Forum Komunikasi
Mahasiswa Santri Banyuanyar (FKMSB) di Jabodetabek.
A. AKSES MAHASANTRI DALAM BERORGANISASI DI FKMSB
Akses adalah “The capacity to use the resources necessary to be a fully active
and productive (socially, economically and politically) participant in society, including
access to resources, services, labor and employment, information and benefits”. Secara
sederhana definisi tersebut dapat diartikan sebagai kapasitas untuk menggunakan
sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi secara aktif dan produktif (secara sosial,
ekonomi dan politik) dalam masyarakat termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan,
tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan manfaat (Hery Puspita 2013: 5)
Dalam Gender Analysis Pathway (GAP) Akses adalah kesempatan perempuan
dan laki-laki mendapatkan peluang atau kesempatan yang sama dalam menggunakan
sumber daya tertentu, yakni semua anggota mempunyai akses dan kesempatan yang
sama menggunakan sumber daya tertentu. Dalam hal ini penulis fokuskan pada akses
mahasantri menduduki posisi struktur kepengurusan organisasi FKMSB Jabodetabek.
Dan yang kedua adalah kesempatan mendapatkan akses dalam pengembangan skill dan
knowledge di beberapa perhelatan acara organisasi FKMSB Jabodetabek.
48
1. Akses Mahasantri Dalam Jabatan di Struktur Organisasi FKMSB
Struktur organisasi merupakan posisi dimana seseorang mendapatkan kesempatan
menerima tugas dan melakukan pekerjaan sesuai dengan job deskripnya masing-masing
dalam menjalankan roda organisasi secara lebih baik. Dalam hal ini penulis ingin
melihat akses keterlibatan semua anggota laki-laki dan perempuan dalam jabatan di
struktur organisasi FKMSB. Dari hasil temuan ini ternyata akses keterlibatan perempuan
untuk mendapatkan posisi dalam struktur kepengurusan di FKMSB masih sangat minim.
Hal ini sebagaimana disampaikan oleh beberapa informan perempuan:
Kalau akses ke struktural bisa dibilang gak ada ya... kalaupun ada di sruktural
posisinya gak jauh-jauh dari bendahara, itupun seringkali adanya penunjukan
secara langsung, mungkin karena perempuannya lebih sedikit jadi mau-mau aja
gitu...(Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 maret 2015)
Emang masih kurang. Sekarang kan laki-lakinya juga lebih banyak, mungkin juga
pengurusnya lebih banyak laki-laki, jadinya kepedulian kepada akhwat kurang
kalau menurut saya (Wawancara pribadi dengan JU, Condet, 24 April 2015).
Hal senada juga disampaikan oleh informan yang lain, bahwa dalam konteks
struktural anggota perempuan merasa kurang dihargai.
Tidak pernah, perempuannya lebih sedikit, bahkan kadang pas ngadain acara
pakek main nunjuk-nunjuk aja, perempuan yang jadi ininya,,, gitu.. bahkan lebih
parahnya lagi walaupun gag ada orangnya kadang langsung ditentuin aja, yah...
jadi perempuannya kayak kurang dihargai gitu.. (Wawancara pribadi dengan IM,
Ciputat, 21 MARET 2015 19:00)
Dari beberapa data tersebut dapat disimpulkan bahwa akses perempuan dalam
struktur organisasi memang tidak ada, dan ini dirasakan oleh sebagian besar perempuan
yang mengaku kurang merasa dilibatkan dan kurang mendapatkan kesempatan dalam
jabatan struktural. Hal ini ditunjukkan dengan adanya penunjukan secara langsung
kepada perempuan dalam mendapatkan posisi tertentu. Untuk lebih jelasnya dalam
konteks akses ini penulis sertakan informasi tersebut ke dalam bentuk grafik dibawah ini:
49
Tabel.III.A.I. Akses Mahasantri Dalam Struktur Organisasi
No Nama Jenis
Kelamin
Latar
Belakang
Pendidikan
Akses ke Jabatan Struktural
Kesempatan Menjabat Dalam Struktur
Ada Tidak ada Tidak tau
1. IM
Per
empu
an
UIN √
2. HL Lipia √
3. MZ UMJ √
4. HZ Al-hikmah √
5. JU Al-hikmah √
6. BS Al-hikmah √
7. EV Lipia √
8. AH
Lak
i-la
ki
Hidayatullah √
9. KR Ganesha √
10. AB UIN √
11. ME UIN √
12. AK Unindra √
Jumlah 3 7 2
12
Dari data diatas menunjukkan bahwa semua informan perempuan menyatakan
tidak mendapatkan akses dalam jabatan struktural. Dalam konteks akses ini menurut
informan perempuan disebabkan tidak adanya kesempatan terhadap perempuan serta
adanya penunjukan langsung terhadap perempuan pada posisi-posisi yang mengarah
pada posisi yang bias gender, sehingga anggota perempuan hanya menduduki posisi-
posisi seperti seksi konsumsi, perlengkapan dan beberapa posisi yang kurang
menguntungkan perempuan.
Berbeda dengan informan laki-laki yang menuturkan bahwa akses dalam
struktural disebabkan karena kurangnya kemampuan atau kapasitas dari perempuannya
sendiri, dan salah satu informan menyatakan bahwa laki-laki memang lebih baik
daripada perempuan, seperti yang dituturkan dua informan berikut ini:
Sebenarnya ada... Cuma saya rasa perempuan memang kurang mempunyai
kapasitas berada dalam struktur, apalagi menjadi leader, ini kan organisasi
pesantren,,, yang kita tau perempuan masih menjadi the second class. Dan
perempuan harus perjuangkan itu karena saya rasa disitulah problemnya.
(Wawancara pribadi dengan ME, Ciputat,25 Maret 2015 13:00).
50
Sama-sama punyalah... tapi inikan organisasi pesantren... jadi memang kurang
pas kalau perempuan terlibat dalam struktur, apalagi sampe’ jadi ketua, masih
banyak laki-laki yang lebih layak lah.. (Wawancara pribadi dengan AR, Jakarta,
23 Maret 2015).
Salah satu faktor yang mencolok atas kurangnya akses dalam struktur ini adalah
adanya pengakuan bahwa organisasi pesantren ini kurang tepat kalau ketuanya adalah
sosok perempuan. Walaupun disisi lain ternyata ada salah satu perempuan yang mengaku
sanggup bahkan siap menjadi ketua. Seperti pengakuan salah satu informan berikut ini:
Menurut saya sah-sah saja perempuan jadi ketua, apalagi di AD-ART cukup jelas
kalau perempuan juga punya hak yang sama dengan anggota laki-laki, saya siap
kok kalau ada kesempatan menjadi ketua. Cuma masalahnya sampe sekarang
perempuan gag pernah diberi kesemptan kan..? (Wawancara pribadi dengan
IM,Jakarta, 21 MARET 2015 19:00)
Saya pernah dipimpin oleh perempuan dalam sebuah organisasi, saya merasa
nyaman-nyaman aja bahkan saya merasa lebih baik disana”. kalau alasannya itu
karena pesantren, saya rasa itu pembodohan buat perempuan. (Wawancara
pribadi dengan MZ,Jakarta, 26 Maret 2015 17:30)
Namun selain karena tidak adanya kesempatan perempuan menjabat dalam
struktur, yang paling menarik disini adalah kuatnya stereotype yang dianut bahwa
anggota perempuan kurang layak dan kurang cukup mempunyai kapasitas berada dalam
struktural. Dan selanjutnya kuatnya budaya patriarkhi yang selalu mengedepankan sosok
laki-laki dalam pucuk kepemimpinan, sehingga melahirkan pola relasi yang selalu
merugikan kaum perempuan dalam konteks struktural.
Namun faktor lain yang ditemukan dan tidak kalah menarik menyatakan bahwa
hal ini dikarenakan seluruh anggota organisasi FKMSB adalah para mantan santri yang
masih punya pemahaman agama yang kuat dengan menyatakan bahwa perempuan tidak
boleh menjadi pemimpin. hal ini atas dasar pemahaman nas al-qur’an “Arrijaalu
qowwaamuna alannisa’ ”yang sebagian besar menafsirkan bahwa perempuan tidak boleh
menjadi ketua atau pemimpin. berikut beberapa perbedaan pendapat informan terkait
51
wacana perempuan menjadi pemimpin yang penulis kelompokkan ke dalam bentuk tabel
berikut ini:
TabelIII.A.II. Penafsiran Perempuan Menjadi Pemimpin
No Nama Jenis
Kelamin
Latar belakang
pendidikan
Kategori
Kampus
Wacana Perempuan
menjadi pemimpin
dalam organisasi
Boleh
Tidak boleh
1. AH P
erem
pu
an
Hidayatullah
FU
ND
AM
EN
TA
LIS
√
2. HL Lipia √
3. EV Lipia √
4. HZ Al-hikmah √
5. JU Al-hikmah √
6. BS Al-hikmah √
7. MZ UMJ
PR
OG
RE
SIF
√
8. IM
Lak
i-la
ki
Uin √
9. KR Ganesha √
10. AB UIN √
11. ME UIN √
12. AK Unindra √
Jumlah 6 6
12
Dari data tersebut memperlihatkan bahwa informan yang setuju terhadap wacana
perempuan menjadi pemimpin adalah mahasiswa yang mempunyai latar belakang
pendidikan Islamnegeri dan umum, seperti UMJ, UIN, Ganesha dan Unindra. Sedangkan
sebaliknya informan yang tidak setuju berasal informan yang mempunyai pola
pendidikan timur tengan yang berorientasi fundamentalis Seperi Lipia, Al-hikmah dan
Hidayatullah. Hal ini sedikit menunjuksn bahwa latar belakang pendidikan fundamentalis
juga berpengaruh terhadap pola pikir mahasantri.
Sedangkan disisi lain, Syaikh Mahmud Syaltut yang merupakan mantan
pemimpin tertinggi Al Azhar seperti yang dikutip oleh Quraisy Shihab dalam
(Perempuan: Dari Cinta Seks dari Nikah Mut’ah sampai Nikah Sunnah dari Bias Lama
sampai Bias Baru, 2005:07) menyatakan, bahwa Allah telah menganugerahkan potensi
yang cukup kepada laki-laki dan perempuan untuk mengemban tanggung jawab sosial
dan kemanusiaan. Potensi ini juga termasukdalam hal kepemimpinan. Karena pada
52
akhirnya setiap manusia akan mempertanggungjawabkan kepemimpinannya kepada
Allah SWT, maka tak ada alasan bagi pelarangan seorang perempuan menjadi pemimpin.
Dari pernyataan tersebut menjadi menarik karena pada umumnya seorang yang
mempunyai latar pendidikan Islam mempunyai pandangan yang lebih progresif terhadap
kepemimpinan perempuan. Namun, dalam temuan ini ternyata justru informan yang
mempunyai latar belakang pendidikan modernis yang membolehkan perempuan menjadi
pemimpin atau ketua dalam organisasi FKMSB. Seperti salah satu informan berikut ini
Suatu hal yang baru dan suatu hal yang sangat membanggakan bila FKMSB bisa
melahirkan pemimpin perempuan. Saya sangat setuju itu. Ini akan menjadi suatu
langkah lebih maju dari apa yang saya bayangkan. Apalagi dalam AD-ART tidak
ada larangan perempuan menjadi katua. (Wawancara pribadi dengan AK, Condet,
17 April 2015)
Sejalan dengan pernyataan informan, bahwa dalam konteks AD-ART FKMSB
sekalipun ternyata memang tidak ditemukan larangan ataupun batasan terhadap
keterlibatan perempuan dalam struktur kepengurusan, jadi dapat disimpulkan
berdasarkan data ini akses perempuan dalam struktur organisasi dan menurut AD-ART
pada dasarnya tidak ada larangan, namun pada realitanya dalam struktur organisasi ini
tetap laki-laki yang selalu menjadi ketua, dan sebaliknya perempuan selalu mendapatkan
posisi perlengkapan saja. Hal ini menunjukkan bahwa, akses anggota perempuan
terhadap jabatan dalam struktural masih belum maksimal, walaupun dalam AD-ART
tidak ada larangan namun dalam realitanya masih belum bisa dirasakan secara
proporsional, dan terjadi ketimpangan.
2. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill
Skill merupakan kemampuan yang dimiliki seseorang yang kemudian mulai
dikembangkan dan diaplikasikan kedalam kehidupan sehari-hari. Tak terkecuali dalam
hal ini penulis ingin menjelaskan akses perempuan dan laki-laki dalam pengembangan
53
skill di organisasi FKMSB. Pengembangan skill yang dimaksud penulis disini adalah
akses untuk menjadi MC dan Moderator dalam beberapa acara yang dihelat oleh
organisasi FKMSB. Dan dari beberapa data dan hasil wawancara ini ditemukan beberapa
pengakuan bahwa dalam hal ini anggota perempuan juga hampir tidak pernah
mendapatkan akses dalam pengembangan skill tersebut.
Kalau MC dan Moderator gak pernah tuh,,, paling kalau di konsumsi atau
perlengkapan iya..yah.... mungkin panitianya lebih percaya kalau laki-laki lebih
bisa dan lebih pas dibandingin perempuan, tapi bukan berarti perempuan juga gak
bisa kan... !? ini sih... lebih ke siapa yang dipercaya dan siapa yang
rekomendasiin. Tapi biasanya asal nunjuk aja tapi perempuan gag pernah ada
yang nunjuk (Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 21 april 2015)
Gak pernah... iya ikuti aja keputusan rapat, masa’ perempuan mau ngajuin
sendiri. saya bisa jadi MC saya mau... kan gak enak juga. Seharusnya anggota
laki-laki ada yang lebih peka lah... nawarin aja itu udah menghargai banget
daripada gak sama sekali.(Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang,23 Maret
2015).
Dari pengakuan dua informan perempuan tersebut mencerminkan bahwa laki-laki
tidak memberikan akses kepada perempuan untuk menjadi MC atau Moderator. Bahkan
laki-laki dianggap kurang peka dan tidak menghargai perempuan karena tidak pernah
memberikan akses berupa kesempatan terhadap perempuan dalam pengembangan skill.
Dan yang lebih mirisnya lagi ada salah satu informan yang mengaku sangat kecewa
dengan keputusan panitia. Bahwa pernah dalam suatu acara menawarkan menjadi MC
pada perempuan, tapi kemudian pas acara dimulai, tanpa ada konfirmasi atau informasi
sebelumnya tawaran menjadi MC atau Moderator itu digagalkan seketika.
Kemaren pas acara Milad sebenarnya ditawari jadi MC dan Direjen gitu, saya
juga udah mempersiapkan diri, tapi pas acara ternyata yang maju malah cowok,
itu saya kecema banget, gak menghargai banget deh...(Wawancara pribadi
dengan IM Jakarta, 21 Maret 2015)
Dari data ini kemudian penulis mendapatkan kesempatan menanyakan ke ketua
FKMSB periode 2014-2015 seputar perempuan yang sampai saat ini hampir tidak pernah
dilibatkan atau diberikan kesempatan menjadi MC atau Moderator.
54
Sebenarnya dulu pernah perempuan diplot menjadi MC pas acara pelantikan
pengurus kalau gag salah, tapi sebelum acara selesai waktu itu ada yang komplain
dan ternyata yang komplain justru dari para akhwat sendiri, alasannya sih ... kalau
masih ada laki-laki kenapa harus pakek perempuan bukannya suara perempuan
itu juga aurat dan gag boleh, Mon sampe’ kataoan Neng kakdintoh kita se
etukanih (Madura: red- “kalau sampai katahuan putri kiayi bakalan kita yang
dimarahi”) Mungkin atas dasar ini juga perempuan hingga sekarang kurang
terlibat walaupun mungkin perempuan yang lain juga banyak yang
mengharapkan menjadi MC juga. (Wawancara pribadi dengan AR, Ciputat, 23
Maret 2015)
Dari jawaban ini, sedikit memberikan penjelasan bahwa kurangnya akses
terhadap anggota perempuan menjadi MC ataupun Moderator tidak hanya disebabkan
karena faktor kurangnya akses dari laki-laki saja, melainkan adanya pemahaman agama
yang dianut oleh sebagian informan perempuan yang menyatakan bahwa suara
perempuan adalah aurat. Dan disisi lain juga memberikan alasan takut diketahui dan
dimarahi oleh Neng. Hal ini yang kemudian menjadi penyebab kurangnya akses
perempuan mendapatkan kesempatan dalam pengembangan skill ini. Walaupun tidak
bisa dipungkiri bahwa, disisi lain ada informan perempuan yang sebenarnya juga
menginginkan mendapat kesempatan menjadi MC atau Moderator dalam organisasi
alumni pesantren itu.
Jadi MC, siapa yang gag pengin sih.... itukan ilmu pengetahuan juga, apalagi ini
organisasi kita sendiri, kita bisa terlibat di dalamnya itu luar biasa. Kalau bagi
saya ini akan menjadi bentuk sumbangsih saya sebagai anggota dan sebagai
alumni pesantren. (Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang 23 Maret 2015)
Namun data yang berhasil dihimpun oleh penulis menunjukkan bahwa dalam
beberapa pertemuan terahir perempuan ternyata tidak sama sekali mendapatkan
kesempatan tersebut. terlepas hal itu sudah ditawarkan oleh anggota laki-laki atau
perempuannya yang tidak mau, hal ini menunjukkan bahwa berdasarkan data yang
terhimpun, anggota perempuan sampai detik ini masih belum mendapatan akses yang
sama dalam pengembangan skill menjadi MC atau Moderator dalam seluruh perhelatan
program FKMSB. Berikut data autentik yang dapat penulis sajikan kedalam bentuk tabel:
55
Tabel.III.A.II. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill
No Beberapa Acara Pada
Pertemuan Terahir 2014-
2015
Menjadi Moderator Menjadi MC
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
1 Musyawarah Besar √ - √ -
2 Pengkaderan Anggota Baru √ - √ -
3 Milad 50 Tahun FKMSB √ - √ -
3 Rakornas √ - √ -
4 Musywil √ - √ -
5 Perayaan Isro’ mikroj √ - √ -
Jumlah 5 0 5 0
Dari data diatas ini, menunjukkan tak sekalipun perempuan mendapatkan akses
menjadi MC atau Moderator. Dalam hal ini jelas suatu hal yang sangat merugikan kaum
perempuan dan sangat bisa disimpulkan bahwa dalam aspek akses pengembangan skill
ini, kesempatan atau akses anggota perempuann tertutup. Sehingga semakin
menunjukkan bahwa perempuan mendapatkan perlakuan tidak adil. Dan semakin
menguatkan stereotype bahwa perempuan lemah dan tidak mempunyai kapasitas dalam
pengembangan skill.
Hal ini juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Masdar F. Mas’udi
(2003: 37) bahwa ketidakadilan pangkal mulanya adalah disebabkan adanya pelabelan
sifat-sifat tertentu (stereotype) pada kaum perempuan yang cenderung merendahkan.
Misalnya, bahwa perempuan itu lemah, lebih emosional ketimbang nalar, cengeng, tidak
tahan banting, tidak patut hidup selain di dalam rumah.
3. Akses Mahasantri Dalam Pengembangan Skill dan Knowledge
Modul FKMSB merupakan satu-satunya buku panduan organisasi yang di
lounching beberapa waktu lalu, tepatnya di acara milad FKMSB yang ke 17 pada 10
Januari 2015 di Jakarta. Dalam penyusunan dan kepenulisan modul tersebut dibutuhan
skill menulis yang baik serta punya wawasan keilmuan (Knowledge) yang mempuni, dan
56
hal ini sangat berhubungan skill dan knowledge anggota FKMSB. Tak terkecuali dengan
anggota perempuan yang seharusnya juga mendapatkan kesempatan dalam penyusunan
dan kepenulisannya tersebut. Namun ternyata pada realitanya ditemukan bahwa tak ada
satupun perwakilan anggota perempuan yang menjadi atau yang diikutsertakan dalam
tim penyusun terbitanya modul FKMSB tersebut.
Saya gak tau, apalagi mau dilibatkan, taunya itu pas acara milad ternyata mau
lounching modul katanya. (Wawancara pribadi dengan MZ,Ciputat, 26 Maret
2015 17:30)
Apalagi dilibatkan, informasinya aja kita gak dapet... gak tau. (Wawancara
pribadi dengan SH, Mampang 28 Maret 2015 19:00)
Informan perempuan yang ketiga juga mengaku tidak tau perihal modul tersebut
Kurang tau kenapa gak dilibatkan yang jelas saya juga taunya pas di acara, dan
setelah baca emang dari laki-laki aja tim penyusunnya. Para akhwat Sebenarnya
bukan gak bisa, dari dulu yang ngelola majalah Shibghah itu dari akhwat kok..!
(Wawancara pribadi dengan HZ, Mampang 23 Maret 2015)
Hampir semua informan perempuan yang diwawancarai, mempunyai jawaban
yang serupa dan mengatakan tak mendapatkan informasi, serta membenarkan bahwa
perempuan tidak dilibatkan dalam kepenulisan tersebut, dan mengetahuinya sesaat
sebelum mau dilaouncing bahwa ada modul FKMSB. Sedangkan informan laki-laki
yang menjadi pengurus menjawab bahwa tidak ada cukup waktu untuk
menginformasikan hal itu kepada para anggota perempuan:
Kemaren kan emang buru-buru, jadi gak sempat ngabari juga, karna kita pengin
cepat-cepat kelar juga nulisnya.. (Wawancara pribadi dengan ME, Jakarta 30
Maret 2015)
Iya kemaren kita tidak sempat kepikiran melibatkan perempuan, karena memang
waktunya mepet dan akan segera diselesaikan, iya udah semuanya dihandle laki-
laki karena menginginkan gerak cepat waktu itu. (Wawancara pribadi dengan
KR, Jakarta, 27 Maret 2015)
Dari hasil wawancara ini hampir sama dengan dengan konteks akses, bahwa
anggota laki-laki secara tidak langsung mempunyai stereotype terhadap perempuan
lemah dan tidak bisa gerak cepat, sehingga dalam kepenulisan modul FKMSB tersebut
57
tidak seorangpun perempuan yang dilibatkan dan salah satu alasannya adalah karna
stereotipe terhadap perempuan tidak bisa gerak cepat.
Namun disisi lain, pada dasarnya kaum minoritas yakni anggota perempuan
bukanlah anggota yang tidak mempunyai potensi ataupun kreativitas yang dapat
disumbangkan terhadap organisasi FKMSB Jabodetabek selama ini, terlebih dalam dunia
kepenulisan. Bahkan dalam tiga tahun terahir ditemukan bahwa perempuanlah yang
mengusulkan dan mengelola penerbitan tabloid Shibghah FKMSB Jabodetabek sebagai
media penunjang kreatifitas dan wadah penyampaian ide dan gagasan. Dan akhirnya
keberadaan tabloid tersebut cukup digandrungi bahkan menjadi Trending topic FKMSB
wilayah yang lain.
Dari dulu perempuanlah yang menghandle penerbitan tabloid Shibghah, dan itu
sudah cukup digandrungi dalam lingkup FKMSB Pusat (Wawancara pribadi
dengan EV, Mampang, 29 April 2015 13:15).
Dari temuan tersebut sedikit membuka penglihatan bahwa perempuan seharusnya
mendapatkan perlakuan yang sama serta hak yang sama dengan laki-laki, terlebih dalam
kepenulisan modul tersebut. Namun pada realitanya akses perempuan selalu
mendapatkan penghalang dan hal yang justru merugikan. Dan pada puncaknya kaum
laki-laki masih saja melakukan dan justru menyia-nyiakan potensi yang dimiliki oleh
kaum perempuan itu sendiri. Dalam konteks ini tentunya kepenulisan modul FKMSB.
Hal ini juga sejalan degan apa yang dikemukakan oleh Griffiths (2006: 125)
bahwa terkadang kelompok yang dominan secara sengaja cendrung mempertahankan
posisinya dan menahan proses perubahan sosial yang mungkin akan mengacaukan status
tersebut. Ketakutan akan kehilangan kekuasaan ahirnya mendorong mereka untuk
melakukan penindasan dan menyia-nyiakan potensi produktif dari kaum minoritas.
58
Dalam konteks akses ini terlihat jelas bahwa anggota perempuan tidak
mendapatkan akses yang sama dengan anggota laki-laki, baik dalam Pengembangkan
skill maupun knowledge, dan yang paling tampak dalam hal ini terjadi pada penerbitan
modul FKMSB. Lebih miris lagi perempuan sampai tidak mendapatkan informasi dalam
penyusunan dan penerbitan modul tersebut. Dari konteks akses ini, faktor terjadinya
ketimpangan dalam beberapa aspek tersebut dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama,
kuatnya sistem patriarki yang selalu mengedapankan laki-laki dibanding perempuan,
sehingga melahirkan relasi antar keduanya kurang terbuka. Kedua, kultur agama dan
sistem pendidikan yang masih belum terbuka dalam konteks isu-isu gender sehingga
melahirkan pemahaman-pemahaman yang bias gender, sehingga pada beberapa realitas
organisasi FKMSB terjadi ketidakadilan dalam peran dan hak terhadap perempuan.
Ketiga, adanya stereotype bahwa perempuan dianggap lemah, tidak bisa gerak cepat
serta tidak cukup pantas menjadi pemimpin, sehingga membuat perempuan lebih inferior
dan semakin tidak mempunyai kesempatan dalam mengembangkan potensi yang
dimilikinya.
Ketimpangan dalam konteks akses ini faktor yang sangat mencolok adalah
kuatnya sistem patriarkhi serta Stereotype terhadap perempuan yang pada dasarnya
disebabkan oleh konstruksi sosial yang sudah terbentuk sekian lama. Hal ini terbentuk
melalui proses sosial dan kultural yang selama diserap sehingga menjadi sesuatu yang
tidak disadari dalam berperilaku. Hal ini juga sejalan dengan teori behavioral
differencesyang dikembangkan oleh Oakley (1972) dalam bukunya Sex,
Gender,andSociety. Dalam buku tersebut terdapat asumsi dasar dari teori Oakley bahwa,
perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat tuhan adalah perbedaan perilaku
(Behavioral differences) antara laki-laki dan perempuan yang dikonstruksi secara sosial
melalui proses sosial dan kultural yang panjang. Asumsi ini menunjukkan bahwa
59
ketimpangan relasi itu terdapat dalam konteks perilaku dan perlakukan yang sebenarnya
sudah tertanam secara masif melalui proses sosial dan kultural yang selama ini mereka
serap, sehingga menjadi ruang ketidaksadaran mereka dalam berperilaku dan
memperlakukan. Dan pada akhirnya tidak mengherakan jika dalam relasi keduanya
masih terjadi ketimpangan satu sama lain.
B. PARTISIPASI MAHASANTRI DALAM ORGANISASI
Berbeda dengan konteks akses dimana perempuan lebih menekankan pada
bagaimana mendapatkan semua fasilitas atau sumberdaya organisasi secara adil dan sama-
sama menggunakan wadah reaktualisasi diri secara bersamaan tanpa ada yang membatasi
ataupun larangan. Dalam konteks partisipasi ini Gender Analysis Pathway (GAP) lebih
menekankan bagaimana partisipasi disini sama-sama melibatkan laki-laki dan perempuan
dan terlibat secara langsung dalam rencana-rencana strategis serta kebijakan organisasi
yang akan dijalankan secara kolektif, sehingga kaum perempuan pada hususnya dapat
menyuarakan aspirasinya serta benar-benar merasa diberdayakan.
Dalam konteks partisipasi ini beberapa ahli gender juga mendefinisikan
dengan“Who does what?” (Siapa melakukan apa?) Bahwa laki-laki dan perempuan
berpartisipasi dan mempunyai hak yang sama dalam proses pengambilan keputusan atas
penggunaan sumberdaya organisasi secara demokratis, namun tidak berarti bebas berbuat
semaunya tetapi dilakukan secara terkendali dan terarah berupa kerjasama dengan tidak
mencampuri atau mengambil tugas pokok orang lain (Veitzal Rivai, 2003: 52)
1. Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial
Dalam partisipasi ini penulis memfokuskan partisipasi perempuan dalam
beberapa kegiatan yang sudah dilaksanakan, hal ini berhubungan dengan skill
managerial bagaimana perempuan juga seharusnya terlibat dan mendapatkan hak yang
sama dalam kegiatan tersebut terlebih dalam struktur kepanitiaan bagaimana perempuan
60
seharusnya mendapatkan kemampuan memimpin dalam organisasi dan dapat terlibat
secara langsung serta dapat menyuarakan aspirasinya dalam menentukan suatu
kebijakan.
Dari data yang penulis dapati terlihat jelas ada ketimpangan yang sangat
mencolok dalam beberapa kegiatan tersebut. Berikut penulis rangkum ke dalam bentuk
tabel.
Tabel.III.B.I.Partisipasi Mahasantri Dalam Skill Managerial
PARTISIPASI DALAM PROGRAM KEGIATAN
No Kegiatan 2014/2015 Menjadi ketua panitia Menjadi Sekretaris Menjadi Bendahara
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
1 Musyawarah Besar √ - √ - √ -
2 Pengkaderan Anggota Baru √ - √ - √ -
3 Milad 50 Tahun FKMSB √ - √ - - √
3 Rakornas √ - √ - √ -
4 Musywil √ - √ - √ -
5 Perayaan Maulid Nabi √ - √ - √ -
6 Seribu waqaf Al-qur’an √ - √ - √ -
Jumlah 5 0 5 0 4 1
Dari data ini terlihat jelas bahwa dalam beberapa kegiatan yang dihelat oleh
FKMSB Jabodetabek ini tak seorangpun perempuan terlibat sebagai seorang ketua,
sekretaris dan hanya sekali sebagai bendahara. Kurangnya keterlibatan perempuan dalam
perhelatan acara tersebut tentunya sangat merugikan perempuan. Skill Managerial
seperti merealisasikan suatu kegiatan dan kemampuan mesukseskan suatu kegiatan jelas
hanya akan didapatkan oleh anggota laki-laki saja. Kurangnya keterlibatan anggota
perempuan dalam hal ini menurut beberapa informan perempuan:
Kepanitiaan itu kan biasanya dipilih dengan musyawarah, kadang perempuannya
juga tidak mau dan kadang laki-laki juga gak ada yang mau mengusulkan
perempuan jadi panitia, yah.... karena dari dulu memang seperti itu mau diapain
lagi.. (Wawancara pribadi dengan AH, Depok, 21 maret 2015 09:00)
Kurang tau ya,,, yang jelas dalam pembentukan kepanitiaan itu melibatkan
perempuan, cuma memang selama ini kita gag pernah menggunakan perempuan
61
sebagai ketua panitia. Bukan percaya atau tidak percaya ya... Cuma belum
terbiasa aja mungkin (Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 Maret 2015)
Sebagian informan laki-laki mengatakan kurangnya kesempatan perempuan
dalam konteks ini tidak ada hubungannya dengan kapasitas perempuan
Gak... bukan masalah itu, perempuan juga punya kapasitas kok. Inikan ntar
kerjanya bersama-sama, ketua itu kan cuma bertanggung jawab sepenuhnya. Jadi
tinggal intruksi aja ntar... (Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta,27 Maret
2015)
Dan dari informan perempuan yang lain juga menuturkan:
Sejak saya ikut musyawarah pembentukan panitia kalau mau ngadain acara gitu,
gak pernah perempuan diusulkan jadi ketua. paling kalau pas giliran seksi
konsumsi langsung ditunjuk aja gitu.... kamu jadi seksi kosumsinya. Yaudah ikut-
ikut aja... mau menolak gimana ini kan buat kita bersama. (Wawancara pribadi
dengan BS, Mampang, 28 Maret 2015 19:00)
Dari data ini terlihat jelas bahwa ketika anggota laki-laki menjadi ketua secara
tidak langsung hanya anggota laki-laki saja yang punya otoritas dan mengendalikan
organisasi ini, namun anggota perempuan yang tidak mendapatkan posisi yang kurang
menguntungkan menjadi semakin inferior dan hanya bisa mengerjakan hal-hal yang
selalu berhubungan dengan dapur, seperti seksi kosumsi dan seksi perlengkapan
sebagaimana posisi tersebut selalu diidentikkan dengan posisi ideal perempuan.
Dalam hal ini penyebabnya tidak jauh berbeda dengan konteks akses, yaitu
adanya stereotype terhadap anggota perempuan yang masih kuat dari kalangan pengurus
laki-laki sehingga partisipasi dalam skill managerial tidak sepenuhnya bisa dirasakan.
Dalam hal ini anggota perempuan seringkali mendapatkan posisi yang kurang
menguntungkan seperti seksi konsumsi dan perlengkapan. Dan yang lebih menarik
disini, walaupun sudah jelas dalam AD-ART bahwa pemilihan dilakukan secara
demokratis, namun pada realitanya ternyata dalam pemilihan struktur kepanitiaan para
anggota laki-laki masih sering menggunakan penunjukan langsung kepada anggota
perempuan, bahkan seringkali tanpa sedikitpun mempertimbangkan dan menawarkan
62
terlebih dahulu kesiapan perempuan dalam mengemban tugas tersebut. Pada akhirnya
dalam konteks ini lagi-lagi anggota laki-laki saja yang diuntungkan dan sebaliknya
perempuan semakin inferior dan semakin pasif.
Hal ini sejalan dengan Para peneliti feminis barat yang secara umum mempunyai
keyakinan bahwa sekali pria mendominasi sebuah kelompok masyarakat dalam bidang-
bidang tertentu,perempuan akan menjadi kelompok yang tertindas dan pasif (S. Duval
1998: 13)
2. Partisipasi Mahasantri Dalam Struktural Oganisasi
Keterlibatan semua anggota baik laki-laki maupun perempuan dalam struktur
organisasi merupakan cerminan ideal suatu organisasi. Dan dalam tegaknya organisasi
yang baik pula, seharusnya semua anggota laki-laki maupun perempuan dapat terlibat
secara proporsional terlebih dalam menentukan suatu kebijakan yang diharapkan tidak
saling merugikan satu sama lain. Namun nyatanya dalam struktur organisasi ini masih
terlihat bahwa keterlibatan anggota perempuan sangatlah minim dan sangat tidak
proporsional. Tercatat sejak berdirinya organisasi FKMSB ini pada tahun 2008 di
Jabodetabek, tak pernah sekalipun perempuan mendapatkan posisi baik sebagai ketua
maupun wakil ketua. Hanya sekali menjadi sekretaris pada tahun 2011/2012 dan dua kali
menjadi bendahara pada tahun 2010/2011 dan 2011/2012. Padahal sampai tahun 2014-
2015 organisasi ini terhitung sudah memasuki tujuh periode, dimana organisasi ini
seharusnya sudah berkembang dan sosok perempuan seharusnnya sudah sangat
diperhitungkan. Namun realita yang ada tidak sesuai fakta dan harapan perempuan pada
umumnya, bahwa perempuan masih saja kurang mendapatkan hak yang sama.
Berikut data pertisipasi mahasantri dalam struktur organisasi dalam beberapa
periode yang dirangkum kedalam bentuk tabel:
63
Tabel.III.B.II.Partisipasi Mahasantri Dalam Sruktur Organisasi
Struktur Organisasi Selama Tujuh Periode
No Tahun Ketua dan wakil Sekretaris Bendahara
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
1 2008/2009 √ √ √
2 2009/2010 √ √ √
3 2010/2011 √ √ √
4 2011/2012 √ √ √
5 2012/2013 √ √ √
6 2013/2014 √ √ √
7 2014/2015 √ √ √
(Sumber Data: Sekretaris Umum FKMSB Jabodetabek 2014/2015)
Dari data ini tergambar jelas dimana sosok perempuan tidak pernah sekalipun
menjadi ketua ataupun wakil dalam struktur FKMSB Jabodetabek. Dan tampak betapa
dominannya anggota laki-laki dalam jabatan ketua sekretaris maupun bendahara.
Kurangnya partisipasi perempuan dalam jabatan ketua maupun wakil, menurut
mantan ketua wilayah FKMSB periode 2014/2015 disebabkan oleh perempuannya
sendiri:
Belum ada memang selama ini perempuan yang mau menjabat jadi ketua.
Mungkin karena perempuannya yang memang belum siap mencalonkan,
sebenarnya bisa-bisa aja mencalonkan... tapi itu tadi kendalanya di perempuannya
aja yang mungkin belum kepikiran kesana, kalaupun ada kendala yang lain saya
kurang tau itu. (Wawancara pribadi dengan AR, Jakarta, 26 Maret 2015).
Kalau untuk mencalonkan diri dari perempuannya tidak mungkin juga sih...
kebetulan perempuannya juga sedikit, yah... tetap kalah jumlah sama laki-laki. Ya
udah ngikutin aja...(Wawancara pribadi dengan BS, Mampang, 28 maret 2015
19:00)
Alasan informan pertama menyatakan penyebabnya adalah dari perempuannya
sendiri, bahwa perempuan dianggapap belum siap menjabat sebagai ketua maupun wakil,
namun alasan dari informan perempuan bukanlah faktor dari perempaunnya. Melainkan
karena dominasi laki-laki dalam keanggotaan yang secara kuantitas lebih banyak
daripada perempuan, sehingga perempuan merasa akan sia-sia bila mencalonkan diri.
Namun, lagi-lagi problem yang sama juga dikemukakan oleh informan laki-laki bahwa
bukan karena dominasi keanggotaan, melainkan karena perempuannya sendiri yang
dipandang belum siap dan belum ada yang dinilai punya kapasitas
FKMSB Jabodetabek memang belum saatnya dipimpin oleh kaum perempuan,
karena berbagai faktor internal dan eksternal juga. Selain karena perempuannya
64
yang memang masih belum siap saya kira, anggota perempuan juga belum ada
yang cukup pantas dicalonkan untuk saat ini. Terdapat faktor eksternal yang
sifatnya sangat erat kaitannya dengan pesantren. Sejauh ini diakui atau tidak
pesantren Banyuanyar itu masih menganut faham patriaki yang secara tidak
langsung kurang memberi ruang kepada perempuan menjadi pemimpin
(Wawancara pribadi dengan KR, Jakarta, 27 maret 2015)
Hal ini juga secara tidak langsung diamini oleh informan perempuan yang
mempunyai latar belakang pendidikan islam fundamentalis aliran timur tengah, bahwa
sejatinya kurang setuju atas keterlibatan perempuan dalam struktural kepengurusan:
Pada dasarnya kalau perempuan menjadi ketua itu bisa menyalahi fitrah
perempuan. Ia kalau masih ada laki-laki yaa… ngapain harus perempuan..!?
yah.... walaupun ini organisasi yang seharusnya demokratis, tapi menurut saya
gak harus perempuan juga yang jadi ketuanya kan... Perbandingannya sih
perempuan itu dua tapi laki-laki satu itu sudah cukup. (Wawacara pribadi dengan
HO, Mampang, 29 Maret 2015 21:30).
Namun terlepas dari alasan yang dituturkan oleh informan laki-laki dan sebagian
informan perempuan yang mempunyai latar belakang pendidikan islam fundamentalis
itu, ternyata masih ada dua informan perempuan yang berpendapat bahwa perempuan
pada dasarnya juga bisa menjadi pemimpin dan terlibat aktif secara demokratis dalam
struktur organisasi ini.
Menurut saya sah-sah saja perempuan jadi ketua dan terlibat dalam struktural,
karena memang di AD-ART cukup jelas kalau perempuan juga punya hak yang
sama dengan anggota yang lain. (Wawancara pribadi dengan IM, Jakarta, 21
Maret 2015 19:00)
Kenapa tidak,,,? Perempuan juga punya hak, dan saya rasa perempuan juga
banyak yang punya kapasiatas dalam mempimpin (Wawancara pribadi dengan
MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30)
Penuturan dua informan ini sekaligus membuka pandangan bahwa dalam
organisasi ini masih ada sebagian kecil anggota perempuan yang menginginkan menjadi
ketua, dan tentunya sedikit banyak mengerti bagaimana seharusnya menjadi ketua,
karena pada dasarnya menurut (Richard I Lester : 1991) menjadi ketua atau pemimpin
adalah sebuah seni mempengaruhi dan mengarahkan orang lain dengan cara kepatuhan,
kepercayaan dan rasa hormat. Dan dari beberapa unsur tersebut bukanlah hal yang sulit
bagi mahasantri atau sosok perempuan untuk tidak memilikinya juga.
65
Namun yang menjadi dasar alasan dan faktor kurangnya partisipasi perempuan
dalam struktural, dalam hal ini sebenarnya tak terkecuali beberapa perbedaan pandangan
terhadap setuju tidaknya perempuan terlibat dalam struktur organisasi yang lebih
demokratis dalam konteks AD-ART. Untuk lebih jelasnya berikut penulis sertakan
perbedaan pandangan tersebut dari semua informan yang dirangkum ke dalam bentuk
tabel dibawah ini:
Tabel.III.B.II.Keterlibatan Mahasantri Dalam Struktur Organisasi
No Nama
Informan
Jenis
Kelamin Latar Belakang
Pendidikan Menjadi Ketua
Menjadi
Sekretaris
Menjadi
Bendahara
Boleh
Tidak Boleh
Boleh Tidak Boleh
Boleh Tidak Boleh
1 IM
Perem
pu
an
UIN √ - √ - √ -
2 HO Lipia - √ √ - √ -
3 MZ UMJ √ - √ - √ -
4 HZ Al-hikmah √ - √ - √ -
5 JU Al-hikmah √ - √ - √ -
6 EV Lipia - √ √ - √ -
7 BS Al-hikmah - √ √ - √ -
8 AH
La
ki-
lak
i
Hidayatullah √ - √ - √ -
9 AK Unindra √ - √ - √ -
10 AR UIN √ - √ - √ -
11 ME UIN √ - √ - √ -
12 KR Ganesha √ - √ - √ -
JUMLAH 9 3 12 0 12 0
Dari data tersebut menunjukkan bahwa dalam konteks AD-ART FKMSB,
sebagian besar informan membolehkan perempuan menjabat dalam struktur organisasi,
baik menjadi ketua, seksretaris ataupun bendahara. Namun dari 12 informan terdapat tiga
informan yang masih berpendapat bahwa perempuan tidak boleh menjadi ketua.
Ia tetap gag boleh lah... sudah jelas juga kan ayatnya, Arrijalu qowwamuna
alannisa’. iya... walaupun FKMSB gag ngelarang itu juga. (Wawancara pribadi
dengan BS, Mampang, 28 Maret 2015 19:00)
Pada dasarnya kalau perempuan menjadi ketua itu bisa menyalahi fitrah
perempuan.Ia kalau masih ada laki-laki yaa… ngapain harus perempuan..!?”
yah.... walaupun ini organisasi yang seharusnya demokratis, tapi menurut saya
gak harus perempuan juga yang jadi ketuanya kan... Perbandingannya sih
perempuan itu dua tapi laki-laki satu itu sudah cukup. (Wawacara pribadi dengan
HO, Mampang, 29 Maret 2015 21:30).
Bukan berarti saya tidak setuju kalau perempuan terlibat, Cuma kalau untuk
menjadi ketua menurut saya itu langkah yang terlalu berani, menjaga itu akan
66
lebih baik saya rasa. (Wawancara pribadi dengan EV, Mampang, 29 April 2015
13:15)
Dari pengakuan tiga informan perempuan tersebut menunjukkan bahwa
perempuan memang tidak ingin terlibat dalam struktural hususnya menjadi ketua. Hal ini
semakin menguatkan bahwa latar belakang pendidikan aliran timur tengah menjadi satu
alasan yang juga berpengaruh kuat terhadap tegaknya demokratisasi organisasi dimana
perempuan selalu menjadi sosok The second class. Namun disisi lain menurut
Nasaruddin Umar (2000 : 49) Seorang cendekiawan kontemporer yang menyatakan
bahwa tidak ada satupun dalil, baik dari al-qur’an maupun hadist yang melarang kaum
perempuan untuk terjun ke dalam bidang politik baik sebagai pejabat maupun pemimpin
negara. Fakta sejarah mengungkapkan bahwa perempuan-perempuan di sekitar Nabi
terlihat aktif dalam dunia politik. Nasaruddin Umar juga menegaskan bahwa kata
Khalifah pada surat al-baqarah ayat 30 tidak merujuk hanya kepada satu jenis kelamin
tertentu, laki-laki dan perempuan sama-sama memiliki fungsi sebagai Khalifah di muka
bumi yang akan mempertanggung jawabkan kepemimpinannya di hadapan Allah SWT.
Faktor pemahaman agama tersebut sangat menarik walaupun disisi lain tidak
dapat dipungkiri bahwa ada banyak perempuan yang sangat ingin terlibat ke dalam
struktur organisasi bahkan menjadi ketua sekalipun. Namun, kembali pada konteks
partisipasi dalam kepengurusan ternyata dapat disimpulkan bahwa memang terjadi
ketimpangan dalam struktural. Walaupun faktornya adalah perempuannya sendiri yang
menyatakan kurang setuju jika perempuan menjadi ketua, namun sebagaimana organisasi
modern dan tertuang dalam AD-ART, bahwa semua anggota FKMSB memiliki
kesempatan yang sama dalam struktural. Mengingat sebagian perempuan juga
mempunyai keinginan yang kuat terlibat dalam posisi yang lebih strategis. Seharusnya
67
anggota perempuan tidak selalu mendapatkan posisi yang bias gender yang selalu
diposisikan diseksi konsumsi dan perlengkapan saja.
3. Partisipasi Mahasantri Dalam Pengembangan Knowledge
Diskusi mingguan merupakan salah satu wadah pengembangan knowledge dan
program ini sudah rutin diagendakan dan disepakati dalam rapat kerja (Raker) yang
dihelat di Mampang Jakarta Selatan pada 12 Januari 2015. Pengembangan knowledge
atau keilmuan ini sangat sejalan sebagaimana tujuan dasar berdirinya FKMSB itu adalah
reaktualisasi kaum santri dan meningkatkan nilai ukhwah di kalangan mahasantri
Banyuanyar. Dan yang menjadi harapan adalah semua anggota dapat mengikuti dan
mendapatkan hak yang sama untuk mengembangkan knowledge dalam forum diskusi
tersebut tak terkecuali anggota perempuan dalam hal ini.
Tapi yang sangat mencengangkan ternyata dalam forum ini, tak satupun anggota
perempuan terlibat dalam program pengembangan knowledge baik dalam segi kehadiran
sebagai audiens maupun keterlibatan sebagai pemateri. Berikut data partisipasi
perempuan dalam pegembangan knowledge dalam forum diskusi mingguan:
Tabel.III.B.III. Partisipasi Perempuan Dalam Pengembangan Knowledge di
Forum Diskusi FKMSB Jabodetabek 2014/2015
No Bln/
Minggu Tema Diskusi Pemateri
Audience Jumlah
Pr Lk
1
Ap
ril
I Kajian Tokoh timur tengah Mukit - 30 30
II Ekonomi Konfensional Kosim Rahman
- 25 25
III Libur Kosong - - -
IV Sejarah Nusantara Hotibul Umam
- 29 29
2 Mei
I Pelatihan Jurnalistik Moh Toha - 20 20 II Survival Jurnalisme Musyfiq - 21 21 III Kode etik Jurnalis Moh Melqy - 19 19 IV Tafsir Hermantika Mursidi - 23 23
3
Jun
i
I Tokoh AliSyariaty Moh Melqy - 24 24 II Tokoh Sosiologi Haviz al asad - 27 27 III Ulumul Qur’an Ust Mukit - 27 27
VI Kajian Tokoh Tirto Adhi Soerjo
Sulaiman - 24 24
(Sumber data : Ketua bidang kajian mingguan FKMSB wilayah Jabodetabek)
68
Dari data tersebut tidak ada satupun perempuan yang mendapat kesempatan
menjadi moderator dan hadir sebagai audiens. Hal ini sepintas terlihat jelas bahwa tidak
adanya partisipasi dalam pengembangan knowledge ini mencerminkan adanya
ketimpangan yang sangat mencolok. Namun setelah ditanya mengapa partisipasi
perempuan dalam pengembangan knowledge ini tidak pernah ada satupun yang terlibat.
Dua informan perempuan berikut ini menjawab.
Sebenarnya bukan gak mau terlibat atau gak dilibatkan, Cuma waktu dan
jaraknyaitu yang jadi kendala, diskusinya kan malem.. jadinya gak mungkin kalo
malem-malem perempuan hadir kan,,,!? Apalagi jauh-jauh ke ciputat!!
(Wawancara pribadi denganBS, Mampang, 28 maret 2015 19:00)
Dilibatkan juga sih..,smsnya juga dapet, Cuma kurang diberdayakan menurut
saya. kadang pengin hadir juga, cuma perempuannya sedikit yang hadir jadinya
males gitu, yah.... kadang perempuan juga jadi partisipasi pasif sih... (Wawancara
pribadi dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30).
Namun sebaliknya dari semua informan laki-laki hanya ada satu informan saja
yang mengaku tidak bisa mengikuti dalam forum diskusi mingguan itu.
Sebenarnya pengin hadir cuma jauh banget ke ciputat, kan tinggalnya di
depok…!? (Wawancara pribadi dengan AH, Depok, 21 Maret 2015 09:00)
Data ini menjelaskan bahwa kurangnya keterlibatan anggota dalam forum diskusi
mingguan ini jelas karena faktor jarak dan waktu, namun beberapa alasan lain yang juga
menjadi penyebab adalah kehadiran anggota perempuan yang terkadang hanya menjadi
partisipasi pasif, sehingga membuat anggota perempuan semakin tidak bisa berpartisiapsi
dalam forum tersebut. Namun alasan yang paling umum adalah faktor jarak dan waktu
yang kurang pas. Hal ini juga sependapat dengan ketua bidang diskusi mingguan sebagai
faktor kurangnya partisipasi anggota perempuan khususnya dalam mengikuti forum
diskusi ini.
Kami sebagai panitia sebenarnya sudah menginformasikan kesemua anggota,
Cuma mungkin yang jadi kendala memang jarak yang jauh ya.. jadi tidak
memungkinkan semua anggota terlibat secara maksimal. (Wawancara pribadi
dengan SY, Jakarta, 30 Maret 2015)
69
Secara keseluruhan informan perempuan memberikan jawaban yang serupa atas
alasan ketidakhadiran dan kurang terlibatnya dalam forum diskusi mingguan tersebut.
Bahwa Selain karena faktor jarak dan waktu, perempuan juga merasa malas dan tidak
nyaman sehingga merasa kurang percaya diri ketika lebih banyak laki-laki yang hadir
mengikuti forum diskusi tersebut. Dalam konteks ini kurangnya keterlibatan anggota
perempuan murni bukan karena dari perempuannya sendiri yang kurang berupaya
mengikuti forum tersebut, namun lebih karena faktor jarak dan waktu. dan dalam
pengembangan knowledge ini sangat tampak karena kebijakan pengurus dalam hal ini
anggota laki-laki yang kurang mempertimbangkan perempuan dalam memutuskan waktu
dan tempat acara diskusi tersebut yang kemudian sangat tidak menguntungkan
perempuan. Sehingga acara tersebut menjadi acara yang tidak berkesetaraan gender dan
hanya bisa dirasakan oleh anggota laki-laki saja.
Seharusnya dalam perhelatan acara ini, pihak pengurus ada yang memfasilitasi
anggota perempuan untuk alat transportasi misalnya antar jemput. Pertimbangannya
adalah kalau malam-malam perempuan tidak aman dan rawan kejahatan. Dan selebihnya
yang menjadi faktor penyebab adalah karena anggota perempuan merupakan kelompok
minoritas dan kurang dilibatkan dalam forum-forum tertentu. Bahkan walaupun terlibat
sekalipun terkadang hanya menjadi pelengkap dan menjadi partisipasi pasif.
Dari data penelitiaan awal juga menunjukkan bahwa dalam Rapat Koordinasi
Nasional (RAKORNAS) yang terakhir di Jakarta pada 15 Januari 2015 yang lalu, tampak
perempuan tidak dilibatkan atau bahkan tidak melibatkan diri, bahkan ada, namun hanya
menjadi penonton dan pendengar semata, Sehingga seluruh keputusan RAKORNAS itu
adalah murni keputusan laki-laki.
70
C. KONTROL MAHASANTRI DALAM ORGANISASI
Dalam Gender Analysis Pathway (GAP) kontrol diartikan sebagai penguasaan,
wewenang atau kekuatan untuk mengambil keputusan yang menunjukkan akan peran
seseorang dalam sebuah kelompok sosial baik itu kelompok ekonomi, sosial, dan politik.
Ahli gender yang lain juga mendefinisikan bahwa kontrol sering bisa dipahami dari
sebuah pertanyaan berikut ini, ”Who has what? (Siapa punya apa?) Dalam konteks ini
penulis ingin memfokuskan pada dua sub bab: Jumlah keterlibatan mahasantri dalam
beberapa posisi struktural, serta kontrol terhadap mahasantri dalam relasi organisasi.
1. Keterlibatan Mahasantri Dalam Keanggotaan dan Posisi Struktural
Dalam konteks ketimpangan relasi gender dalam aspek kontrol ini, penulis ingin
melihat keseluruhan mahasantri FKMSB dari beberapa tahun terahir ini, baik dalam
jumlah keterlibatan keanggotaan maupun dalam posisi strategis distruktur kepengurusan.
Tentunya dominasi diantara keduanya akan sangat berdampak pada pengambilan
keputusan dan berpengaruh juga pada siapa yang paling punya power dalam menentukan
kebijakan. Berikut data keanggotaan dan beberapa posisi dalam struktur kepengurusan
dalam tiga tahun terahir.
Tabel.III.C.I. Keanggotaan dan Keterlibatan Mahasantri Dalam Posisi Struktural
NO TAHUN Jumlah
Keanggotaan
Keterlibatan
Dalam
Struktural
Keterlibatan
Dalam Posisi
Ketua
Keterlibatan
Dalam Posisi
Wakil
Keterlibatan
Dalam Posisi
Sekretaris
Keterlibatan
Dalam Posisi
Bendahara
Lak
i-laki
Perem
pu
an
Lak
i-laki
Perem
pu
an
Lak
i-laki
Perep
uan
Lak
i-laki
Perem
pu
an
Lak
i-laki
Perep
uan
Lak
i-laki
Perem
pu
an
1. 2014/2015 83 31 20 7 1 0 1 0 1 0 1 0
2. 2013/2014 74 29 18 7 1 0 1 0 1 0 1 0
3. 2012/2013 65 24 15 6 1 0 1 0 1 0 1 0
4. 2011/2012 1 0 1 0 0 1 0 1
(Sumber data: Sekretaris Umum FKMSB Jabodetabek)
71
Dari tabel ini bisa terlihat bahwa anggota laki-laki lebih dominan pada jumlah
keanggotaan maupun dalam posisi struktural. Namun berdasarkan presentase jumlah
keanggotaan dari tahun 2012-2013 sampai 2014-2015 dapat dikatakan keterlibatan
perempuan dalam struktural mengalami peningkatan. Dan pada tahun 2014/2015
ternyata dari 83 anggota laki-laki hampir 40% terlibat dalam struktural, Sedangkan dari
31 anggota perempuan hampir 25% terlibat dalam struktur, presantase ini sudah cukup
dikatakan seimbang dan proporsinal mengingat jumlah keanggotaan laki-laki jauh lebih
banyak daripada anggota perempuan yang kemudian menyebabkan anggota perempuan
lebih sedikit mendapatkan posisi dalam struktural.
Namun yang tetap menarik disisi lain adalah keterlibatan perempuan dalam
mendapatkan posisi yang lebih strategis dalam struktur. Hal ini masih sejalan dengan
data-data sebelumnya bahwa anggota perempuan lebih sedikit mendapatkan posisi
strategis di struktural. Berdasarkan hasil temuan data diatas menunjukkan bahwa, tak
ada satupun perempuan yang pernah mengisi posisi ketua ataupun wakil, dan pada
posisi sekretaris dan bendahara hanya sekali dan itupun pada periode 2011-2012 tiga
tahun yang lalu. Pada konteks ini secara jelas anggota perempuan selalu mendapatkan
posisi yang tidak strategis, sedangkan sebaliknya anggota laki-laki mendapatkan posisi
yang strategis.
Dalam struktur organisasi tentunya posisi yang lebih strategis ini sangat
berpengaruh pada siapa yang mempunyai kontrol dan power, semua kebijakan akan
lahir dari elit organisasi ini. Dan kurangnya keterlibatan perempuan dalam konteks ini
akan sangat merugikan. Terlebih dalam menentukan suatu kebijakan terkadang
perempuan kurang dihiraukan, kurang mendapatkan informasi, bahkan dalam program-
program tertentu seringkali tidak dilibatkan. Hal ini sejalan dengan hasil penelitian
awal bahwa dalam program sosialisasi ke pondok pesantren Banyuanyar. Dalam
72
perhelatannya tak pernah sekalipun anggota perempuan diikutkan. Dan masih banyak
lagi dalam beberapa kegiatan yang lain anggota perempuan kurang dilibatkan. Dan
kebenaran ini diakui oleh beberapa informan perempuan
Jarang dilibatkan,,, kadang ngadain acara aja kita tidak tau, dan parahnya lagi
taunya dari orang lain bukan dari kelompok kita maksudnya, ini kan aneh masak
organisasi kita yang tau programnya malah orang lain. Ia mungkin ada benarnya
juga karena dominasi laki-laki, Saya sih sampe beranggapan organisasi ini
emang mau diurus oleh laki-laki saja ya... (Wawancara pribadi dengan IM,
Jakarta, 21 Maret 2015 19:00)
Dilibatkan sih iya... kan biasanya dibicarakan dalam forum atau rapat gitu...
Cuma kurang diberdayakan menurut saya, dalam forum itu kan lebih banyak
laki-laki... wajarlah kalau hampir semua kebijakan itu lahir dari laki-laki.
Ahirnya Perempuan ikut-ikut aja. kan biar kompak!? (Wawancara pribadi
dengan MZ, Jakarta, 26 Maret 2015 17:30).
Salah satu informan mengatakan bahwa, ketika suatu kebijakan selalu
menegedepankan laki-laki saja hal itu tentunnya sudah sangat merugikan perempuan.
Yang jelas ketika dalam suatu kebijakan cuma lebih mengedepankan laki-laki
itu sudah merugikan perempuan. Biasanaya kalau ngadain sosialisasi ke
pesantren di madura belum pernah FKMSB itu mengutus perempuan, setiap
tahun selalu anggota laki-laki (Wawancara pribadi dengan MZ, Jakarta, 26
Maret 2015 17:30)
Hal ini semakin menegaskan bahwa dominasi laki-laki dalam aspek kontrol ini
sangat kental bahwa laki-laki lebih punya otoritas dan sebagai anggota yang lebih
dominan serta sebagai elit organisasi, tentunya dengan posisi tersebut anggota laki-laki
lebih mempuyai otoritas terlebih dalam menentukan suatu kebijakan yang pada
akhirnya akan sangat menguntungkan kelompok mayoritas saja, Menurut Kamla
Bashim (1996: 1) Dominasi laki-laki dalam sebuah kelompok akan sangat
mempengaruhi terhadap pengambilan keputusan dimana selama ini laki-laki selalu
menempati di garis terdepan dan selalu menduduki posisi superior. Sedangkan disisi
lain perempuan senantiasa menjadi sosok yang tersubordinasidan inferior sehingga
selalu menjadi sosok yang tertindas dan sangat tidak diuntungkan.
73
2. Kontrol Mahasantri Dalam Relasi Organisasi
Dalam suatu organisasi seharusnya relasi antara laki-laki dan perempuan
tercipta suatu hubungan yang harmonis dan saling mendukung satu sama lain. Dari
berbagai ketimpangan yang kemudian menjelaskan adanya kontrol yang kuat dari laki-
laki terlihat dominasi laki-laki dalam setiap lini. Sehingga membuat perempuan lebih
inferior dari anggota laki-laki.
Dalam konteks kontrol mahasantri dalam relasi organisasi ini, ternyata
ditemukan beberapa arahan dan campur tangan keluarga pesantren ( Neng : Putri kiayi)
yang seringkali secara tidak langsung melarang anggota perempuan untuk tidak terlalu
bergabung dengan para anggota laki-laki dalam organisasi. Bahkan dalam beberapa
pertemuan, menurut salah satu informan yang tak ingin disebutkan identitasnya
menyatakan bahwa, Neng seringkali menginstruksikan supaya menggunakan tabir
dalam setiap acara FKMSB.
Salah satu instruksi yang sering Neng tekankan adalah menghadirkan tabir
dalam setiap rapat dan pada pertemuan-pertemuan FKMSB. yah... mungkin biar
lebih terjaga aja hubungan antara Ikhwan dan Akhwat (Wawancara pribadi
dengan X, Jakarta 14, April 2015).
Salah satu informan perempuan yang lain juga menuturkan
Pernah suatu hari ada rapat yang melibatkan anggota perempuan dan laki-laki
dan saat itu tidak menggunakan tabir, keesokan harinya mereka dilarang
mengikuti kegiatan lagi, dan mengancam pula untuk membentuk organisasi
khusus perempuan, yang terpisah secara struktur organisasi (Wawancara pribadi
dengan X, Mampang, 23 Maret 2015)
Namun demikian, menurut beberapa informan anggota yang dekat dengan Neng
seperti HB (Mantan Kordinator Akhwat FKMSB Jabodeabek) ahirnya mampu
menegosiasikan hal ini dengan Neng sehingga ancaman itu ahirnya tidak terjadi. Dan
akhirnya kontrol yang mereka punyai dan jalankan lebih banyak berperan dalam
konteks domestik perempuan itu sendiri. Seperti memposisikan dirinya dalam seksi
perlengkapan, konsumsi. Hal inilah yang kemudian dilihat sebagai penghambat bagi
74
perempuan dalam mendapatkan akses dan partisipasi anggota perempuan dalam proses
berorganisasi secara demokratis dan profesional. Sehingga dalam relasinyapun
berdampak pada kontrol perempuan dalam relasi organisasi yang kurang harmonis
karna disatu sisi ada yang mendukung arahan ataupun instruksi tersebut, dan disisi lain
malah tidak meresponnya. sehingga tidak mengherankan jika anggota perempuan
maupun anggota laki-laki sampai detik ini terkesan kurang harmonis dan kurang
kompak dalam relasi organisasi.
Padahal kalau mengkaji lebih dalam di Al-Qur’an sendiri sebagai pegangan
umat Islam khususnya kaum santri, di samping Al-Hadits, menegaskan bahwa laki-
laki dan perempuan memiliki kapasitas yang sama, baik kapasitas moral, spiritual,
maupun intelektual. Dalam penyampaian pesannya, Al-Qur’an seringkali
menggunakan ungkapan “laki-laki dan perempuan beriman” sebagai bukti
pengakuannya terhadap kesetaraan hak dan kewajiban mereka. Dalam hal
kewajiban agama, Al-Qur’an juga tidak menunjukkan beban yang berbeda kepada
keduanya. Prinsip kesetaraan tersebut dimaksudkan untuk membentuk hubungan
yang harmonis antara keduanya (Ali Munhanif, 2002: xxvi).
Dari data tersebut bisa ditarik kesimpulan bahwa melemahnya kontrol ini tidak
hanya karena dominasi laki-laki dalam struktur ataupun dalam keanggotaan, melainkan
juga adanya campur tangan dan instruksi keluarga pesantren yakni Neng, yang
kemudian lebih banyak mengarahkan untuk tidak teralalu berinteraksi dalam proses
berorganisasi, sehingga relasi antara keduanyapun kurang harmonis dan anggota
perempuan tidak banyak ikut serta membangun dan mengambil kesempatan untuk
terlibat lebih aktif dalam organisasi ini. Dan yang Kedua, budaya patriarkhi yang masih
kental bahwa anggota laki-laki selalu menduduki posisi paling depan, sehingga
kerapkali keterlibatan perempuan dalam beberapa kegiatan tidak maksimal dan selalu
75
lebih dominan dalam pekerjaan yang bersifat domestik. Budaya patriarkhi ini juga
mempengaruhi kondisi hubungan perempuan dan laki-laki, yang pada ahirnnya
memperlihatkan hubungan subordinasi, hubungan atas-bawah dengan menunjukkan
dominasi anggota laki-laki dalam setiap lini.
Dari data tersebut tampak dominasi anggota laki-laki sebagai sosok yang
mempunyai kontrol yang akan selalu memberikan perlakuan kurang adil sehingga
perempuan sebagai kelompok minoritas lebih mudah ditindas dan lebih sering
mengalami penderitaan karena tekanan oleh pihak mayoritas, dan hubungan antara
keduanyapun sering menimbulkan konflik yang ditandai oleh sikap subyektif seperti
prasangka dan tingkah laku yang tak bersahabat (Schwingenschlogl, 2007: 32)
Sebagai data yang masih bisa digali lebih dalam, kemudian penulis juga sempat
menanyakan ke beberapa informan sehubungan dengan instruksi Neng yang
menganjurkan penggunaan tabir dan selalu menyarankan perempuan untuk selalu
menjaga diri dan membatasi interaksi dengan laki-laki dalam relasi organisasi dalam
kegiatan FKMSB. Hal ini tergambar jelas bahwa hampir semua informan tidak setuju
dengan instruksi tersebut. Seperti pada tabel berikut :
Tabel III.C.II.Beberapa Bentuk Intruksi Neng Kepada Anggota Perempuan
No Nama
Latar
Belakang
Pendidikan
Instruksi Penggunakan Tabir
dalam suatu acara
Instruksi Membatasi Diri
Dengan Dalam Relasi
Organisai .
Setuju
Tidak
Setuju kondisional Setuju
Tidak
Setuju
Biasa saja/
Tidak tau
1 IM UIN √ √
2 HO Lipia √ √
3 MZ UMJ √ √
4 HZ Al-Hikmah √ √
5 JU Al-Hikmah √ √
6 BS Al-Hikmah √ √
7 AH Unindra √ √
8 AM Hidayatullah √ √
9 KR Ganesha √ √
10 AR UIN √ √
11 ME UIN √ √
12 EV Lipia √ √
Jumlah 4 7 1 4 7 1
12 12
76
Dari data ini menyatakan sebagian besar informan tidak setuju dengan instruksi
Neng. sebanyak 7 dari 12 Informan menyatakan tidak setuju dengan instruksi
penggunaan tabir dalam beberapa acara, dan hanya empat informan saja yang setuju.
Disisi lain instruksi kepada perempuan untuk membatasi diri dengan laki-laki dalam
relasi organisai juga tidak jauh berbeda dengan konteks sebelumnya yakni 7 dari 12
Informan menyatakan tidak setuju, Namun 4 diantaranya menyatakan setuju dengan
beberapa alasan yang berbeda. Hal ini menggambarkan bahwa ternyata tidak semua
instruksi dari Neng disetujui oleh anggota, Namun yang menjadi kemungkinan besar
adalah tingginya nilai-nilai pengetahuan keagamaan yang kemudian anggota FKMSB
selalu menghargai status yang disandangnya sehingga instruksi tersebut seringkali
dipenuhi walaupun terasa berat untuk dijalani.
D.MANFAAT YANG DIDAPATKAN DALAM ORGANISASI
Manfaat dalam Gender Analysis Pathway (GAP) adalah: Apakah perempuan dan
laki-laki menikmati manfaat yang sama dari hasil pembangunan? Dalam konteks ini
penulis ingin melihat pada beberapa program yang sudah dijalankan, dalam konteks
organisasi FKMSB ini perempuan dan laki-laki idealnya bisa mendapatkan manfaat yang
sama dan setara. Dan untuk terwujudnya kesetaran dan keadilan gender ditandai dengan
tidak adanya diskriminasi antara perempuan dan laki-laki, dan dengan demikian mereka
memiliki akses, berpartisipasi, dan kontrol atas organisasi serta memperoleh manfaat yang
setara dan adil antara laki-laki dan perempuan (Faqih : 1997- 13)
1. Manfaat Keterlibatan Mahasantri Dalam Program FKMSB
Aspek pengambilan manfaat yang sama ini menjadi salah satu aspek yang
paling nyata dalam konteks relasi antara laki-laki dan perempuan, kurangnya akses dan
minimnya kesempatan perempuan dalam konteks partisipasi akan berpengaruh terhadap
77
pengambilan manfaat yang rendah dan tidak setara, begitu juga melemahnya kontrol
dari perempuan itu sendiri menyebabkan proses pengambilan manfaat yang tidak sama
dengan laki-laki. Dengan demikian anggota perempuan akan sangat dirugikan. Dalam
konteks yang lebih konkrit ini misalnya anggota perempuan memang tidak banyak
terlibat dalam diskusi mingguan, kepenulisan modul dan beberapa pengembangan skill
dan knowledge sehingga hal itu sangat berdampak pada aspek manfaat yang sampai
saat ini perempuan kurang bisa merasakan mendapatkan manfaat yang sama.
Kuranglah... mungkin kedepannya bisa ditingkatkan lagi, dan perempuan lebih
banyak terlibat (Wawancara pribadi dengan IM,Jakarta, 21 MARET 2015
19:00)
Informan laki-lakipun juga menuturkan
Memang Kurang sih..., mungkin masih proses aja menuju kesetaraan. Ini
perjuangan dan saya rasa ini tidak gampang (Wawancara pribadi dengan ME,
Jakarta 30 Maret 2015)
Dari beberapa data sebelumnya sudah menunjukkan bahwa dalam beberapa
program kegiatan, anggota perempuan mengalami subordinasi dan selalu
mendapatkan perlakuan kurang profesional, bahkan dalam struktur kepengurusan juga
mengalami stereotype bahwa perempuan lemah dan kurang pantas menjadi leader.
Sehingga tak pernah sekalipun anggota perempuan menjadi ketua, wakil maupun
sekretaris dalam suatu program FKMSB, seperti terlihat jelas pada tabel (III,B,I
Partisipasi Perempuan Dalam Skill Managerial) Dan dapat disimpulkan bahwa dalam
konteks manfaat ini perempuan sangat tidak mendapatkan manfaat yang sama dengan
anggota laki-laki.
78
Tabel.III.D.I. Manfaat Mahasantri Dalam Pelaksanaan Program FKMSB
PROGRAM KEGIATAN FKMSB
No Kegiatan 2014/2015 Menjadi ketua panitia Menjadi Sekretaris Menjadi Bendahara
Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan Laki-laki Perempuan
1 Musyawarah Besar √ - √ - √ -
2 Pengkaderan Anggota Baru √ - √ - √ -
3 Milad 50 Tahun FKMSB √ - √ - - √
3 Rakornas √ - √ - √ -
4 Musywil √ - √ - √ -
5 Perayaan Maulid Nabi √ - √ - √ -
6 Seribu waqaf Al-qur’an √ - √ - √ -
Jumlah 5 0 5 0 4 1
Dari tabel diatas dapat disimpulkan bahwa semua kegiatan-kegiatan yang
sudah dilaksanakan, ternyata tak sekalipun anggota perempuan terlibat di dalamnya.
Hal ini menunjukkan bahwa, ternyata dalam setiap acara FKMSB anggota perempuan
tidak mendapatkan manfaat yang sama dalam proses merealisasikan beberapa acara
tersebut. Baik pemanfaatan dalam struktural maupun dalam relasi keduanya dalam
suatu agenda yang melahirkan ilmu pngetahuan dan wawasan.
2. Manfaat Keberadaan Basecamp FKMSB Jabodetabek
Dan yang paling menarik lagi, dalam konteks manfaat ini anggota perempuan
juga tidak mendapatkan tempat atau Basecamp khusus seperti yang sudah didapatkan
oleh anggota laki-laki beberapa tahun yang lalu.Sampai saat ini FKMSB Jabodetabek
hanya memfasilitasi anggota laki-laki saja. Dan sebagai informasi bahwa pengadaan
basecamp ini juga sedikit banyak dibantu secara finansial oleh beberapa senior untuk
pembayaran sewa tempatnya. Tentu hal ini akan sangat membantu secara finansial.
Namun tidak demikian dengan anggota perempuan yang kemudian memilih untuk
bertempat tinggal di Kos-kosan.
Iya…. kita ngekos. Kebetulan cewek-ceweknya kan sedikit yang di ciputat,
gag, paling kalau ada acara aja ke Basecamp. basecamp itu kan cuma buat
laki-laki saja. (Wawancara pribadi dengan MZ,Jakarta, 23 Maret 2015).
79
Iya kan perempuannya kebetulan juga sedikit, paling yang tinggal berdekatan
5 orangan aja, yaudah kita ngekos aja. pengennya sih punya Basecamp juga,,
Cuma mau gimana lagi. Kan udah ada cowok-cowoknya. (Wawancara pribadi
dengan IM,Jakarta, 21 Maret 2015 19:00)
Hal senada juga disampaikan informan yang lain bahwa Basecamp FKMSB
ini hanya ditempati oleh anggota laki-laki saja.
Iya memang... karna yang tinggal diciputat itu lebih banyak laki-laki jadi
ditampung di Basecamp. Gag lah... ntar yang ada timbul fitnah kalau di
basecamp perempuan sama laki-laki. (Wawancara pribadi denganKR, Jakarta,
27 maret 2015)
Dari beberapa data tersebut menunjukkan bahwa pengadaan Basecamp ini
hanya ditempati oleh anggota laki-laki saja, tapi tidak dengan anggota perempuan
yang sebenarnya juga menginginkan pengadaan Basecamp tersebut yang dianggap
akan sedikit lebih membantu secara finansial dan tentunya akan lebih fokus dalam
berorganisasi. Namun hal ini tidak pernah terfikirkan oleh pengurus FKMSB.
Tabel.III.D.II. Manfaat Pengadaan Basecamp FKMSB
No Nama Jenis
Kelamin
MANFAAT
Pengadaan Basecamp
Ada Tidak Ada
1. IMO
Per
empu
an
√
2. HOL √
3. MUZ √
4. HZA √
5. JUW √
6. SHO √
7. EVI √
8. AHM
Lak
i-la
ki
√
9. KRA √
10. ABR √
11. MEL √
12. ABH √
Jumlah 5 7
12
Dalam konteks pengambilan manfaat, Beberapa temuan lebih banyak
disebabkan oleh karena dua hal, pertama, selain karena dominasi laki-laki yang sangat
kuat, juga disebabkan oleh anggota laki-laki yang kurang sensitif dan kurang peka
untuk melibatkan anggota perempuan dalam setiap proses organisasi yang mereka
80
jalani. Akibatnya perempuan tidak dapat mengakses, mengontrol dan mengambil
manfaat secara langsung dalam setiap kebijakan dan dari setiap program yang mereka
agendakan. Tentu logika sederhananya adalah, tanpa terlibat tidak mungkin dapat
mengambil maafaat yang maksimal pada sesuatu yang seharusnya mereka dapatkan.
Kedua, adalah keengganan perempuan untuk terlibat, hal ini besar kemungkinan
disebabkan adanya instruksi Neng yang kemudian berdampak pada pengambilan
manfaat yang belum terpenuhi secara maksimal dan tak sesuai harapan. Bahkan dalam
pengadaan Basecamp sekalipun, tergambar jelas bahwa tidak satupun anggota
perempuan yang bisa menempatinya dan hal itu hanya dikhususkan untuk anggota
laki-laki saja . Hal ini menunjukkan bahwa sampai persoalan fasilitas sekalipun,
ternyata anggota perempuan belum mampu mendapatkan manfaat yang sama, dan
masih sangat jauh dari kata-kata proporsional. Dan disisi lain pengurus FKMSB yang
lebih banyak diisi oleh anggota laki-laki kurang begitu memahami dan tidak punya
inisiatif untuk membentuk Basecamp khusus untuk anggota perempuan. Dalam
konteks ini jelas-jelas kurangnya akses, partisipasi dan kontrol yang lemah yang
dirasakan anggota perempuan, secara otomatis selanjutnya juga akan melahirkan
kurangnya manfaat yang seharusnya bisa dapatkan. Dan dari beberapa hasil penelitian
ini sudah menujukan bahwa dalam relasi mahasantri dalam organisasi FKMSB sejauh
ini masih tampak ada ketimpangan dalam setiap aspek.
81
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
A. KESIMPULAN
1. Ketimpangan Relasi Gender Mahasantri Dalam Orgaisasi FKMSB
Ketimpangan relasi gender mahasantri dalam organisasi FKMSB ini, banyak
ditemukan dalam beberapa aspek. Dalam konteks akses ternyata anggota perempuan kurang
mendapatkan akses dan peluang untuk mencalonkan diri dalam posisi struktural organisasi.
Bahkan Dalam pengembangan Skill dan knowledge, ternyata ditemukan bahwa anggota
perempuan tak sekalipun mendapatkan akses menjadi MC ataupun Moderator, sehingga
anggota laki-laki dalam konteks akses ini lebih dominan dalam segala aspek. Terlebih dalam
kepenulisan modul FKMSB, ternyata anggota perempuan tak satupun mendapatkan informasi
dalam penyusunan da kepenulisan tersebut. Semakin mencolok adanya ketimpangan yang
dalam organisasi FKMSB ini ketika anggota perempuan seringkali mendapatkan perlakuan
tidak adil dan mengalami tindakan subordinat dan stereotype bahwa perempuan dianggap
lemah dan tidak punya kapasitas menjadi leader.
Disisi lain dalam konteks partisipasi mahasantri dalam pengembangan skill
Managerial, keterlibatan perempuan juga sangat minim. Hal ini berdasarkan temuan bahwa
dalam beberapa program yang dihelat FKMSB tak satupun anggota perempuan yang
mendapatkan kesempatan menduduki posisi yang strategis sehingga kesempatan dalam
mendapatkan pengetahuan memimpin (skill managerial) tidak ada. Partisipasi dalam
pengembangan Knowledge juga tampak tidak maksimal, hal ini terlihat bahwa dalam program
82
diskusi mingguan tak sekalipun anggota perempuan dilibatkan menjadi moderator, pemateri
bahkan dalam tiga bulan selama peneitian ini berlangsung tak satupun anggota perempuan
yang hadir menjadi audiens. Sehingga dalam konteks partisipasi ini anggota laki-laki lebih
banyak berpartisipasi dalam proses berorganisasi.
Dalam konteks kontrol, penelitian ini menemukan dominasi anggota laki-laki dalam
jumlah keanggotaan dan dalam posisi struktural yang hampir semua posisi struktural diisi
oleh anggota laki-laki saja. Hal ini menunjukkan betapa dominanya anggota laki-laki yang
secara tidak langsung menjadi sosok yang paling mempunyai power, pemegang kendali dan
kebijakan yang dapat mengontrol organisasi ini seperti apa yang mereka inginkan. Bahkan
dalam beberapa temuan ini, tidak jarang anggota perempuan tidak dilibatkan dalam beberapa
pertemuan bahkan dalam kegiatan tertentu. Sehingga Dalam konteks kontrol ini jelas anggota
perempuan sering mengalami penindasan dan dalam relasi organisasi antar keduanya terjadi
tidak balance.
Dan dalam konteks pamanfaatan, menunjukkan bahwa anggota perempuan kurang
mendapatkan porsi yang sama seperti apa yang sudah didapatkan dan dirasakan oleh anggota
laki-laki. manfaat dalam mendapatkan pengetahuan dan wawasan dalam struktur
kepengurusan dan dalam mensukseskan beberapa program. Hal ini hanya bisa dirasakan oleh
sebagian besar anggota laki-laki saja, sedangkan anggota perempuan lebih banyak diberikan
posisi perlengkapan dan konsumsi sehingga manfaat yang didapatkan anggota perempuan
sangat tidak sesuai dengan harapan dan tidak menujukkan adanya ketimpangan antar anggota.
Bahkan untuk sekedar menempati Basecamp saja perempuan tidak bisa. Hal ini tidak lepas
karena kurangnya kepedulian pengurus FKMSB yang dihuni oleh sebagian banyak anggota
laki-laki.
83
2. Faktor Ketimpangan Relasi Gender Mahasantri Dalam Organisasi FKMSB
Beberapa faktor penyebab terjadinya ketimpangan relasi gender mahasantri dalam
organisasi FKMSB Jabodetabek adalah
1. Budaya Patriarkhi
Budaya patriarkhi yang selalu mengedepankan laki-laki sebagai tokoh sentral
dalam relasi kehidupan sehari-hari. Hal ini juga berlaku dalam organisasi FKMSB,
sehingga perempuan selalu menjadi the second class dan mendapat perlakuan yang
kurang profesional dalam realitas organisasi. Kultur organisasi yang terkonstruksi
oleh budaya patriarkhi ini sudah sekian lama tertanam sejak dari asal mereka yaitu
pulau Madura. Hal ini diperkuat dengan temuan data bahwa sampai detik ini pucuk
kepemimpinan tertinggi masih kokoh dipimpin oleh anggota laki-laki. Semakin
komplek dalam konteks ini anggota perempuan selalu mendapat tantangan yang
sangat besar dari kelurga kyai terutama dari putri-putrinya, sehingga ruang gerak
dan keterlibatan perempuan dalam organisasi FKMSB semakin terbatas.
2. Pemahaman Agama
Semua anggota FKMSB merupakan mantan santri, dimana mereka menempuh
pendidikan di pesantren Darul Ulum Banyuanyar yang masih belum terbuka dalam
konteks isu-isu gender dan masih menerapkan metode salaf berupa mengaji kitab-
kitab salaf seperti kitab yang dianggap benar dan harus diikuti, walaupun disisi
lain tidak sedikit yang dikritisi para aktivis gender karena mangandung konstruksi
yang bias gender. seperti beberapa dalil al-qur’an yang ditafsirkan bahwa hanya
laki-laki yang bisa menjadi pemimpin, dan corak keagamaan yang fiqih centres ini
masih sangat kental mempengaruhi kultur kehidupan mereka sehari-hari, baik
84
dalam sosial budayanya dan keagamaannya sehingga dalam konteks ini tidak
heran jika perempuan selalu mendapatkan perlakuan subordinat dan sering
mendapatkan stereotype bahwa perempuan lemah dan tidak punya kapasitas untuk
menjadi pemimpin.
3. Lemahnya pola relasi dalam organisasi
Pola komunikasi dan relasi anggota baik laki-laki maupun perempuan disini
terlihat masih kurang terbuka dalam konteks relasi keduanya, sehingga juga
mempengaruhi efektifitas organisasi. Hal ini juga didukung dengan temuan bahwa
masih terjadi beberapa perlakuan yang kurang profesional dengan masih adanya
penunjukan langsung dalam menentukan posisi di struktur organisasi.
4. Basis pendidikan yang berorientasi fundamentalis
Semua Santri yang sudah lulus dari pondok pesantren Banyuanyar melanjutkan
kuliah ke beberapa kampus di Jabodetabek dan sangat jarang memilih perguruan
tinggi berbasis umum apalagi ke UIN yang sempat mendapat klaim Liberal.
Terlebih anggota perempuan lebih banyak memilih perguruan tinggi yang
tergolong Islam aliran timur tengah, seperti LIPIA, Al-Hikmah,An-Nuaimi dan
Hidayatullah yang semua itu merupakan pola pendidikan berbasis Fundamentalis.
Hal ini sangat terlihat ketika mahasantri dari kampus tersebut memberikan
pendapat dan mengklaim suatu pendapat dan dalilnya harus dikuti dan harus
dibenarkan. Hal ini juga dianggap menjadi faktor kurangnya keterlibaan anggota
perempuan dalam proses berorganisasi secara profesional.
85
B. Saran-saran
Berdasarkan hasil penelitian ketimpangan relasi gender dalam organisasi mahasantri
FKMSB Jabodetabek ini, ada beberapa saran yang dapat dikemukakan baik yang bersifat
akademis maupun praktis yang akan ditujukan:
1. Untuk Organisasi FKMSB
Perlu diupayakan sebuah pendekatan dan pembelajaran untuk meningkatkan sensitivitas
gender di kalangan anggota FKMSB berupa diskusi ataupun kajian tentang relasi gender
agar terwujud pemahaman yang sadar gender sehingga semua anggota mendapatkan
kesempatan dan hak-hak yang sama dalam relasi berorganisasi.
2. Untuk Pesantren Banyuanyar
Perlu adanya keterbukaan komunikasi yang kemudian meningkatkan sensetivitas gender
bagi pengasuh, para ustadz dan ustadzah, sehingga dapat memberikan arahan bahkan
kebijakan yang kemudian memberlakukan pembelajaran terkait gender yang seharusnya
diberikan sejak dini kepada para santri di pesantren. Dan selebihnya mulai diberikan
beberapa penjelasan dan arahan terkait pendidikan berspektif gender, yang kemudian
diharapkan lulusan pesantren dapat memahami dan mempunyai persepsi yang baik dalam
konteks realitas sosial saat ini.
Selanjutnya, juga perlu adanya keterbukaan komunikasi antara pengurus dan keluarga
Pesantren terkait anggota FKMSB perempuan serta peran pengurus perempuan yang
selama ini masih terlihat kaku dan terkesan kurang berani tampil kedepan karena stigma
perempuan yang masih kental akan budaya patriarki dan selalu diposisikan sebagai the
second class.
86
Peran pengurus pusat FKMSB, pengurus pesantren dan keluarga pesantren sangat tepat
untuk membicarakan dan menentukan beberapa kebijakan dengan harapan terciptanya
relasi organisasi FKMSB yang lebih baik terlebih bagi anggota perempuan kedepan.
3. Untuk Pemerintah dan Kementerian Agama
Perlu adanya kebijakan pemerintah yang memberikan porsi yang cukup terhadap lembaga
pendidikan di pesantren berupa pengetahuan sosial berspektif gender yang kemudian
memungkinkan lulusan pesantren lebih melek memahami konteks realitas sosial, serta
lebih responsif terhadap isu-isu gender yang berkembang dan semakin mengantisipasi
adanya ketimpangan antara laki-laki dan perempuan.
Dan perlu adanya buku kurikulum berbasis agama dan pengetahuan umum yang
dikomparasikan dengan standar nasional yang kemudian diberikan dan diajarkan dalam
lembaga pendidikan pesantren. Sehingga pesantren dapat melahirkan sosok pelajar yang
mempuni baik dalam pengetahun agama maupun dalam pengetahuan sosial.
LXXXVI
Daftar Pustaka
Affan dan Faiz azis. “Bara di Pulau Madura: Mengurai Konflik Syi’ah Sunni di
Sampang Madura.” Yogyakarta. Suka press, 2014.
Bologh, Roslyn Walach, Feminist Social Theorizing and Moral Reasoning: on
Difference and Dialectic, Dalam Perkumpulan sosiologi Amerika, Social
Teory. San Francisco: Jose-Bass, 1984.
Faiz Aziz, Feminisme Marxis Dalam Ruang Sosial “Kita” Dewasa Ini. Tesis yang
diperesentasikan dalam Forum Gerakan Mahasiswa Peduli Perempuan.
Yogyakarta: UIN SUKA, 2015.
Faiz Aziz, Komunitas Hijabers: Komodifikasi, Elitisme dan Identitas
Keberagaman Muslimah Perkotaan. Yogyakarta: Suka Press, 2015.
Fadilah, Suralaga, dkk, Pengantar Kajian Gender. Jakarta: Pusat Studi Wanita
(PSW) UIN Jabodetabek bekerjasama dengan McGill Project/IISEP, 2003.
Jamhari. Citra Perempuan Dalam Islam. Yogyakarta: Gramedia Pustaka Utama,
2003.
Mulia, Siti Musdah. “Sosialisasi Keadilan dan Kesetaraan Jender,” Jakarta:
Sekretariat Jenderal Departemen Agama, 2005.
Mulia, Siti Musdah. “Keadilan dan Kesetaraan Gender Perspektif Islam.”
Jakarta: Lembaga Kajian Agama dan Jender, 2003.
Rohmaniyah, Inayah. “Konstruksi Patriarki dalam Tafsir Agama: Sebuah
Perjalanan Panjang.” Yogyakarta: Dandra Pustaka Indonesia, 2014.
Soekanto. “Beberapa Teori Sosiologi Tentang Masyarakata.” Jakarta: Rajawali
Press, 1993.
Strauss, Anselm dan Juliet Corbin. Dasar-Dasar penelitian Kualitatif, terj.
Djunaidi Ghony. Surabaya: PT Bina Ilmu, 1997.
Sukri, Sri Suhandjati. “Pemahaman Islam dan Tantangan Keadilan Gender. “
Yogyakarta: Gama Media, 2002.
Veeger, K.J. “Realitas Sosial: Refleksi Sosial atas Hubungan Individu
Masyarakat dalam Cakrawala Sejarah Sosiologi,” Jakarta: Gramedia,
1993.
Mulia, Siti Musdah. “Islam Menggugat Poligami.” Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2004.
LXXXVII
Megawangi, Ratna. “Membiarkan Berbeda: Sudut Pandang Baru tentang Relasi
Gender.” Bandung: Mizan, 1999.
Nasaruddin, H. Umar. “Bias Gender dalam Penafsiran Kitab Suci.” Jakarta: PT
Fikayati Aneska, 2000.
Nunuk, A, dan Murniati. “Getar Gender,” Magelang: Yayasan Indonesia Tera
Anggota IKAPI, 2004.
Nurhaeni, Dwi Astuti. “Gender Analisys Pathway (GAP) Alat Analisis Gender
untuk Perencanaan Pembangunan. Jakarta: Bappenas Bekerjasama
dengan Kemenerian Negara Pemberdayaan Perempuan, 2007.
Puspita, Hery. “Konsep, Teori dan Analisis Gender.” Sebuah makalah yang
dipresentasikan di Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen Fakultas
Ekologi Manusia Institute Pertenian Bogor, 2013.
Puspitawati, H. “Gender dan Keluarga: Konsep dan Realita di Indonesia.”
Bogor: PT. IPB Press, 2012.
Veithzal Rivai. “Kepemimpinan dan Perilaku Organisasi.” Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 2003.
Damin, Sudarman, Menjadi Peneliti Kualitatif. Bandung: Pustaka Setia, 2002.
Muhammad, Husein. “Fiqh Perempuan.” Yogyakarta: LkiS, 2007.
MATRIKS Penelitian : Ketimpangan relasi gender Mahasantri dalam Organisasi FKMSB
Jabodetabek.
NO INFORMAN INFO YANG DIGALI
1 Anggota dan
pengurus
Relasi perempuan dalam kegiatan dan kesempatan berpartisipasi dalam program.
Ketidak seimbangan dalam konteks apa
Kesempatan perempuan dalam struktur kepengurusan
Faktor yang menjadi kendala perempuan kurang terlibat dalam kegiatan dan pengembangan skill dan knowedge
Faktor penghambat perempuan dalam menjabat di struktural
2 Pendiri dan ketua
FKMSB
Sejarah dan perkembangan FKMSB Jabodetabek
Konfirmasi data yang dirasa membutuhkan penegasan dan penjelasan
Wawancara dengan Informan
1. Informan diminta bercerita tentang relasi antara aki-laki dan perempuan dalam organisasi
FKMSB.
2. Informan diminta menceritakan pengalaman – pengalaman yang berkaitan dengan akses,
partisipasi dan kontrol dalam organisasi FKMSB.
3. Informan iminta menceritakan kendala dan faktor-faktor yang menyebabkan adanya
ketimpangan relasi gender dalam organisasi FKMSB Jabodetabek.
Dokumentasi beberapa acara yang menggunakan pembatas atau tabir antara laki-laki dan
perempuann dalam acara FKMSB Jabodetabek. Foto bersama ketua FKMSB wilayah Jabodetabek.
Dan Basecamp FKMSB