Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

29
JOURNAL READING KETERGANTUNGAN TEMBAKAU DAN SCHIZOPHRENIA Oleh: I Gede Egy Saputra Jaya 0702005074 Pembimbing: dr. Wayan Westa, Sp.KJ (K) DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA 1

Transcript of Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

Page 1: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

JOURNAL READING

KETERGANTUNGAN TEMBAKAU

DAN SCHIZOPHRENIA

Oleh:

I Gede Egy Saputra Jaya

0702005074

Pembimbing:

dr. Wayan Westa, Sp.KJ (K)

DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

DI BAGIAN/SMF PSIKIATRI

RSUP SANGLAH/FAKULTAS KEDOKTERAN UNUD

2012

1

Page 2: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

RESUME

Ketergantungan tembakau pada pasien schizophrenia mendapat perhatian yang

meningkat dengan sedikitnya pilihan terapi. Individu dengan schizophrenia memiliki

angka prevalensi merokok yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan

populasi umum. Sebagai konsekuensinya, pasien juga memilikai angka penghentian

merokok yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum. Peningkatan

prevalensi penggunaan tembakau pada populasi ini membuat gejala semakin rumit dan

juga memiliki efek samping pada fisiologi pasien.

Merokok mungkin merupakan suatu faktor resiko besar untuk terjadinya

schizophrenia dengan onset yang dini. Ketika remaja dengan faktor resiko genetik dan

lingkungan untuk schizophrenia mulai merokok, mereka menjadi lebih rentan pada

penyakit sebab neurotransmisi nikotinik meningkatkan ketergantungan tembakau.

Suatu tinjauan ulang dari model yang berhubungan dengan merokok dan

schizophrenia secara berulang menunjukkan bahwa pasien menemukan bahwa merokok

menarik karena efek menenangkan yang dirasakan. Banyak studi juga menunjukkan

selama fase awal dari penghentian merokok pasien tidak mengalami perburukan dari

gejala psikotiknya. Sekarang ini, pilihan pengobatan untuk perokok dengan

schizophrenia meliputi farmakoterapi dan intervensi konseling. Walaupun

farmakoterapi bekerja sekalipun tanpa terapi konseling, hasil akhir dapat ditingkatkan

bila kedua terapi tersebut dikombinasikan. Sayangnya hanya sekitar 5% dari perokok

yang berusaha untuk berhenti merokok yang mendapatkan konseling. Pilihan terapi

tambahan meliputi obat-obat yang disetujui oleh Food and Drug Administration seperti

nicotine patch, permen karet nikotin, spray hidung nikotin dan nicotine lozenges. Studi

sebelumnya telah membuktikan bahwa pilihan terapi tersebut dapat memiliki

keuntungan yang lebih besar untuk pasien karena hal ini memperbaiki ukuran

elektrofisiologikal yang abnormal, pergerakan mata saccadic dan perbaikan daya ingat

secara keseluruhan. Lebih dari itu, terapi nikotin memiliki onset kerja yang cepat,

mengurangi craving dengan segera yang menyerupai merokok. Obat-obat ini juga

mudah digunakan yang mungkin lebih menarik bagi populasi ini.

2

Page 3: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

Ketergantungan Tembakau dan Schizophrenia: Suatu Hubungan yang Kompleks

Mrigasha Patel

Rutgers, The State University of New Jersey

Dibawakan oleh: I Gede Egy Saputra Jaya dibawah bimbingan dr.Wayan Westa,Sp.KJ(K)

Abstrak

Ketergantungan tembakau pada pasien dengan schizophrenia mendapat perhatian yang

meningkat dengan sedikitnya pilihan terapi. Individu dengan schizophrenia memiliki

angka prevalensi merokok yang lebih tinggi secara signifikan dibandingkan dengan

populasi umum. Sebagai konsekuensinya, pasien juga memilikai angka penghentian

merokok yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum. Peningkatan

prevalensi penggunaan tembakau pada populasi ini membuat gejala semakin rumit dan

juga memiliki efek samping pada fisiologi pasien. Studi baru-baru ini menunjukkan

bahwa pasien dengan schizophrenia merokok sebelum onset dari penyakit dan juga

mulai merokok lebih awal dibandingkan dengan populasi rata-rata. Pasien juga menjadi

psikotik lebih awal dari pasien yang tidak merokok, dan juga memerlukan dosis obat

anti psikotik yang lebih tinggi. Tinjauan ulang ini mempelajari literatur terbaru dan

mendiskusikan model yang diusulkan untuk menjelaskan hubungan antara

ketergantungan tembakau dan schizophrenia dan menyimpulkan dengan mendiskusikan

pilihan terapi untuk perokok dengan schizophrenia.

Pendahuluan

Ketergantungan tembakau merupakan kelainan yang paling sering terjadi pada populasi

dengan Serious Mental Illness (SMI). Sekitar 75-80% dari individu dengan

schizophrenia, kelainan bipolar dan SMI lain menggunakan tembakau. Penggunaan

tembakau tidak hanya menurunkan kualitas hidup pada pasien ini, tapi juga

menyebabkan kematian akibat penyakit medis. Diantara populasi SMI, individu dengan

schizophrenia memiliki prevalensi tertinggi dari ketergantungan tembakau.

Schizophrenia merupakan salah satu dari penyakit mental yang paling melemahkan,

mempengaruhi kira-kira 1 % dari populasi global. Penyakit ini ditandai dengan adanya

gangguan yang dalam pada kognisi dan emosi, mempengaruhi atribut manusia yang

fundamental seperti bahasa, pikiran, persepsi, afek, dan perasaan diri. Gejala biasanya

meliputi manifestasi psikotik seperti mendengar suara dari dalam diri, atau mengalami

3

Page 4: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

sensasi lain yang tidak berhubungan dengan suatu sumber yang jelas (halusinasi) dan

memberikan arti atau maksud yang tidak biasa pada kejadian normal atau

mempertahankan kepercayaan personal yang salah (delusi). Berdasarkan panduan

DSM-IV untuk mendiagnosis psikosis, tidak ada suatu gejala yang pasti untuk

diagnosis. Sebagai gantinya, diagnosis dibuat dengan menggunakan suatu pola dari

tanda dan gejala, bersama-sama dengan gangguan pada fungsi sosial dan okupasional

dan durasi dari karakteristik ini. Ketergantuangan tembakau merupakan suatu pusat

perhatian yang berkembang pada populasi ini. Individu dengan schizophrenia memiliki

angka ketergantungan tembakau dua sampai empat kali lebih tingggi dibandingkan

populasi umum. Sebagai tambahan, pasien merokok lebih banyak dan memiliki angka

penghentian rokok yang lebih rendah dibandingkan dengan populasi umum. Lebih dari

itu, studi telah menunjukkan bahwa pasien dengan schizophrenia di Amerika Serikat

saja merokok seharga 20 juta dolar setiap tahunnya. Ini merupakan suatu beban

ekonomi yang tinggi untuk pasien dan masyarakat yang membuat merokok pada

populasi ini mendapat perhatian lebih.

Individu dengan schizophrenia rata-rata menghisap sebanyak 25 batang rokok

tiap harinya. Hal ini lebih tinggi secara signifikan dari populasi umum. Efek berbahaya

dari merokok pada pasien dengan schizophrenia meliputi angka kejadian kanker yang

tinggi, penyakit kardiovaskular dan respirasi, serta meningkatnya gejala psikiatri. Selain

itu, ketergantungan tembakau pada populasi ini juga dapat meningkatkan permintaan

alkohol dan obat-obatan terlarang yang meningkatkan resiko terjadinya kekambuhan

zat. Sebagai akibat dari efek berbahaya ketergantungan tembakau ini, penting untuk

menilai alasan mengapa pasien dengan schizophrenia memiliki angka ketergantungan

tembakau yang tinggi. Pengertian akan model sebab dan efek dapat membantu dalam

pengembangan pilihan terapi untuk penghentian merokok yang lebih efektif untuk

populasi ini.

Demografi dan Gejala Klinis

Onset dari schizophrenia biasanya dilihat selama masa remaja atau pada awal umur

20an pada laki-laki sedangkan pada wanita onsetnya biasanya terjadi pada akhir usia

20an atau awal usia 30 tahun. Walaupun insiden penyakit ini sedikit lebih tinggi pada

laki-laki, wanita juga tidak jarang mengalami penyakit ini. Pada kedua gender, onset

4

Page 5: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

dari penyakit ini dipercepat dengan adanya suatu fase premorbid, yang secara tipikal

terjadi pada masa kanak-kanak. Fase ini ditandai dengan adanya defisit kognitif,

motorik dan sosial yang ringan dan kadang-kadang menunjukkan gejala-gejala seperti

depresi (depression like symptoms). Walaupun fase berikutnya dapat bervariasi pada

waktu terjadinya, fase prodromal dari penyakit biasanya mulai muncul pada waktu

remaja. Fase ini ditandai dengan defisit fungsional dan gejala positif yang sangat

singkat. Gejala positif dari schizophrenia adalah gejala pengubahan-realita yang

mencakup delusi dan halusinasi dan dapat berupa auditorik maupun visual, yang mulai

matang selama tahap psikotik yang mengikuti fase prodromal. Tahap psikotik kemudian

diikuti dengan suatu tahap yang stabil yang ditandai dengan kemunduran sosial dan

fungsional, berbagai kesulitan kognitif dan gejala negatif. Gejala negatif meliputi suatu

kehilangan dari fungsi afektif seperti penarikan sosial (sosial withdrawal), kehilangan

motivasi, miskin bicara, kurangnya minat, kesenangan dan inisiatif (Tabel 1)

Gejala negatif juga dapat menyebabkan gangguan fungsional yang lebih berat

dibandingkan dengan psikosis. Gejala klinis yang lain dari schizophrenia meliputi

cemas, gangguan penglihatan, disorientasi dari pikiran dan tingkah laku, gangguan

sensorik dan motorik serta gangguan mood. Individu dengan schizophrenia juga

memiliki angka mortalitas yang tinggi. Mereka lebih rentan untuk melakukan usaha

5

Page 6: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

bunuh diri karena gaya hidup yang miskin dan juga memiliki lebih banyak penyakit

medis.

Faktor Resiko

Walaupun penyebab pasti dari schizophrenia masih belum diketahui, resiko genetik,

biologikal, lingkungan dan neurodevelopment telah diusulkan untuk menjelaskan

schizophrenia. Faktor resiko berikut ini dijelaskan di bawah: faktor genetik, lingkungan,

teori peningkatan neurotransmiter dan teori neurodevelopmental, serta faktor resiko

penggunaan zat.

Studi mengenai genetik dan keluarga telah menunjukkan bahwa mereka yang

memiliki orangtua ataupun saudara kandung dengan schizophrenia memiliki

kemungkinan sepuluh kali lipat lebih besar untuk mengalami penyakit yang sama, dan

mereka dengan kedua orangtua schizophrenia lima puluh kali lipat lebih mungkin

mendapatkan penyakit tersebut.

Kembar monozigot dan anak angkat yang memiliki ibu biologis dengan

schizophrenia juga menunjukkan suatu resiko yang lebih besar untuk perkembangan

penyakit itu sendiri.

Satu teori yang diajukan tentang gejala schizophrenia adalah bahwa individu

dengan penyakit tersebut cenderung memiliki peningkatan level neurotransmiter

dopamin di otak mereka. Teori ini didasarkan pada efek dari obat stimulan yang

meningkatkan neurotransmisi dopaminergik. Selain itu juga ditemukan bahwa ketika

individu dengan schizophrenia diterapi dengan obat antipsikotik, terdapat suatu

penurunan neurotransmisi dopaminergik di otak dan pasien menunjukkan fungsionalitas

yang lebih baik pada level perseptual dan gejala positif yang lebih sedikit.

Faktor lingkungan yang dapat menyebabkan penyakit ini meliputi sensitifitas

individu ini pada lingkungan sekitar setiap harinya seperti musim, urbanisasi, status

sosioekonomi dan hubungan kekeluargaan serta interaksi dari semua faktor tersebut

meningkatkan insiden penyakit ini.

Hipotesis neurodevelopmental dari schizophrenia adalah suatu teori mayor yang

juga diusulkan sebagai suatu faktor resiko untuk schizophrenia. Hipotesis ini

mengusulkan bahwa abnormalitas dari perkembangan otak awal yang mempengaruhi

sirkuit kritikal di otak dapat meningkatkan resiko dari schizophrenia. Hipotesis tersebut

6

Page 7: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

diperoleh dari observasi seperti frekuensi dari komplikasi obstetrik, pajanan dari agen

infeksius atau toksik pada masa prenatal dan gangguan fisik dan neurofisiologikal yang

berkontribusi terhadap kelainan otak. Hal ini juga diusulkan sebagi fakta bahwa selama

trimester kedua masa kehamilan, efek prenatal meliputi defisit pada dorsolateral

prefrontal korteks (DLPFC). Area ini selanjutnya mempengaruhi tugas mengingat, yang

berkontribusi pada gejala schizophrenia. Bagaimanapun, hipotesis tersebut tidak

konklusif karena sebagian besar pasien tidak melihat tanda dari penyakit ini sampai

masa remaja. Hal ini dikarenakan mielinisasi dari neuron di DLPFC merupakan suatu

proses perkembangan dan DLPFC merupakan area terakhir di otak yang mulai

mengalami proses mielinisasi. Setiap lesi atau abnormalitas di otak yang terjadi selama

masa prenatal tidak akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap tingkah laku

sampai awal usia dewasa. Oleh karena itu, hipotesis neurodevelopment juga

memungkinkan untuk menjadi faktor resiko dari schizophrenia karena hal ini

bertanggung jawab untuk banyak defisit kognitif yang selanjutkan akan terlihat pada

penyakit ini.

Penggunaan Zat sebagai suatu Faktor Resiko

Schizophrenia sering dicetuskan oleh interaksi dari semua faktor resiko yang telah

disebutkan di atas. Bagaimanapun, faktor resiko mayor yang lain untuk individu dengan

schizophrenia adalah penggunaan obat-obatan terlarang, alkohol dan terutama merokok.

Pasien schizophrenia memiliki angka prevalensi merokok dua sampai empat kali lebih

tinggi dibandingkan dengan populasi umum. Resiko dari merokok telah menjadi

perhatian besar pada individu dengan schizophrenia sebab penelitian terbaru telah

mendemonstrasikan bahwa pasien dengan schizophrenia tidak hanya merokok sebelum

onset dari penyakitnya, tetapi mereka mulai merokok lebih awal dibandingkan dengan

populasi rata-rata dan juga menjadi psikotik lebih awal dari rata-rata pasien

schizophrenia yang tidak merokok. Sebagai tambahan, mereka juga membutuhkan

pengobatan yang lebih sebab kandungan tar dalam tembakau diketahui dapat

meningkatkan aktifitas isoenzim CYP1A2. Hal ini bertentangan dengan banyak

pengobatan psikiatrik dan mengurangi kadar antipsikotik dalam darah, yang

menyebabkan pasien memerlukan dosis pengobatan yang lebih tinggi. Sebagai

akibatnya, karena pasien membutuhkan pengobatan dengan dosis ganda, mereka juga

7

Page 8: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

mengalami efek samping yang lebih besar. Ketergantungan tembakau pada populasi ini

juga menyebabkan angka kematian yang tinggi pada populasi ini dan mereka dengan

penyalahgunaan zat berumur lebih muda pada saat rawat inap pertama mereka dan lebih

sering masuk rumah sakit sesudah itu.

Model-model yang Menjelaskan Hubungan antara Merokok dan Schizophrenia

Beberapa model telah diajukan untuk menjelaskan mengapa individu dengan

schizophrenia cenderung merokok lebih dari populasi umum. Sebagian dari model ini

cenderung untuk menerangkan keuntungan yang dirasakan pasien dari merokok. Model

ini juga menjelaskan mengapa pasien dengan schizophrenia memiliki angka merokok

yang lebih tinggi. Tetapi harus diingat bahwa disamping keuntungan jangka pendek

yang nyata diantara populasi ini, konsekuensi negatif jangka panjang dengan mudah

dapat menghapuskan setiap keuntungan yang didapatkan pasein dari merokok seperti

yang mereka lakukan pada setiap keadaan.

Model yang pertama adalah model “self-medication” dari gejala negatif, yang

menyebutkan bahwa individu dengan schizophrenia menggunakan rokok sebagai suatu

cara untuk menghilangkan gejala depresif dan psikotik mereka. Pasien yang menderita

schizophrenia dapat menggunakan nikotin untuk mengobati diri sendiri untuk beberapa

alasan. Pertama, nikotin diketahui dapat meningkatkan proses kognitif yang

berhubungan dengan fungsi prefrontal seperti atensi atau aktivitas berpikir. Nikotin

berperan sebagai fasilitator dalam proses ini dengan memodulasi “signal-to-noise-ratio”

dan menyelaraskan aktivitas neuronal pada korteks prefrontal. Kedua, nikotin dapat

meningkatkan proses plastis di hipokampus yang menguntungkan bagi defisit kognitif

pada schizophrenia yang berhubungan dengan proses belajar dan memori. Terakhir,

nikotin dapat memperbaiki gejala yang berhubungan dengan mood dan stress dengan

memodulasi respon reward dan stress dari otak. Studi berikut juga mendukung model

“self-medication”. Suatu studi yang dilaksanakan di rumah sakit rawat inap psikiatri,

melaporkan hubungan positif yang signifikan antara Fagerstrom Test for Nicotine

Dependence (FTND) yang mengukur tingkat keparahan merokok, dan Positive and

Negative sydrome Scale (PANSS) yang menyediakan suatu penilaian terhadap berbagai

gejala negatif. Temuan yang signifikan ini, bahwa tingkat keparahan penggunaan rokok

berkorelasi positif dengan gejala negatif, mencerminkan gangguan pada atensi, orientasi

8

Page 9: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

dan proses pikir pada pasien dengan schizophrenia. Hasil ini konsisten dengan fakta

bahwa pasien dengan gejala negatif lebih besar dapat menggunakan merokok sebagai

“self-medication” untuk mengatasi gangguannya tersebut. Sejak pasien dengan gejala

negatif mayor cenderung menghindari interaksi sosial dan aktivitas sosial yang lain oleh

karena penyakitnya, suatu alasan yang masuk akal untuk menjelaskan ketergantungan

tembakaunya yaitu bahwa merokok dapat dengan mudah menjadi suatu “time filler” dan

suatu alat untuk menghindari kebosanan untuk pasien.

Alasan lain mengapa individu dengan schizophrenia memiliki angka

ketergantungan tembakau yang tinggi adalah karena mereka biasanya memiliki

kesulitan yang besar dalam penghentian merokok. Dalam suatu studi yang dilakukan

pada 26 individu dengan schizophrenia kronis yang di rawat inap di suatu unit

penelitian di rumah sakit, didapatkan bahwa hanya 8% dari pasien yang berhenti

merokok. Hal ini sesuai dengan temuan bahwa sejak pasien menggunakan tembakau

sebagai “self-medication” untuk menenangkan gejala negatif mereka, berhenti merokok

dapat menjadi suatu tantangan besar untuk banyak pasien.

Individu dengan schizophrenia diketahui mengalami gangguan kognitif. Pada

suatu studi yang dilaksanakan oleh T.J. Taiminen et al., 49 dari 88 pasien yang direkrut

adalah perokok. Hasil utama dari studi tersebut adalah bahwa perokok dengan nilai

yang tinggi pada lima faktor dari PANSS model untuk gejala schizophrenia, yang

meliputi disorganisasi konseptual (P2), disorientasi (G10), kesulitan dalam pemikiran

abstrak (N5), postur dan perilaku (G5), dan kurangnya atensi (G11) berhubungan

dengan perokok berat. Nilai yang tinggi menunjukkan bahwa merokok memperbaiki

banyak aspek dari fungsi kognitif pasien dengan menyesuaikan abnormalitas aktivitas

dopamin prefrontal yang rendah atau dengan meningkatkan fungsi dari jalur kolinergik

di otak. Suatu studi yang dilaksanakan oleh Sacco et al menilai 25 perokok dengan

schizophrenia dan 25 perokok sebagai kontrol. Setelah suatu seri penilaian

neurofisiologikal, didapatkan bahwa merokok dengan selektif meningkatkan daya ingat

dan atensi pada perokok dengan schizophrenia. Studi ini juga menerangkan angka yang

tinggi dari ketergantungan tembakau pada individu dengan schizophrenia karena daya

ingat dan atensi memegang peranan yang tak terukur dalam tingkah laku kognitif dan

jika merokok dapat memfasilitasi perilaku tersebut maka ini berperan sebagai suatu cara

dari “self-medication” untuk populasi ini.

9

Page 10: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

Lebih banyak studi telah melaporkan bahwa gejala awal schizophrenia

menyebabkan inisiasi dari merokok. Telah diduga bahwa individu dengan schizophrenia

termotivasi untuk merokok karena merokok tidak hanya berperan sebagai mekanisme

menghadapi penyakit untuk populasi ini tetapi juga menyediakan pembebasan

sementara dari gejala psikiatri. Fase prodromal dari schizophrenia berlangsung satu atau

dua tahun sebelum onset dari gejala psikotik. Selama fase ini pasien biasanya

mengalami gejala-gejala kecemasan, berkurangnya atensi dan penarikan sosial. Ini tidak

sampai akhir dari fase prodromal saat gejala positif mulai muncul. Suatu studi yang

dilaksanakan dari data yang dikumpulkan dari Northern Finland birth cohort (n=11017)

dan melalui National Finish Hospital Discharge Registry didapatkan bahwa 100

merupakan individu dengan schizophrenia (n=100), 55 merupakan pasien dengan

psikosis lain (n=55), 315 adalah subjek tanpa gangguan psikotik (n=315) dan 10.464

digunakan sebagai subjek kontrol (n=10.464). Studi tersebut juga memeriksa hubungan

antara faktor lingkungan dan familial yang dapat menyebabkan pasien merokok. Hasil

utama dari studi tersebut adalah bahwa rata-rata perbedaan waktu diantara permulaan

dari merokok dan onset dari schizophrenia adalah 2,3 ± 6,6 yang secara signifikan lebih

rendah dari perbedaan waktu untuk subjek dengan psikosis lain (8,6 ± 6,3). Sebagai

suatu hasil dari periode waktu yang pendek ini, Riala et al membuat hipotesis bahwa

merokok mungkin merupakan suatu tanda dari fase prodromal schizophrenia. Temuan

ini dapat berhubungan dengan model “self-medication” sebab temuan itu menyarankan

bahwa individu dengan schizophrenia mengalami ketergantungan tembakau sebagai

akibat dari gejala abnormal selama fase prodromal, yang menyebabkan pasien

menggunakan ketergantungan tembakau sebagai suatu bentuk pembebasan dari gejala-

gejala psikiatri.

Efek menenangkan dari merokok pada populasi schizophrenia telah diketahui

sebagai satu dari banyak alasan mengapa pasien termotivasi untuk merokok. Suatu studi

yang diselenggarakan oleh Gurpegui et al. membandingkan alasan utama untuk

merokok diantara subjek kontrol (n=100) dan individu dengan schizophrenia (n=173).

Para partisipan diwawancara menggunakan suatu kuisioner yang mempelajari alasan

utama untuk merokok dengan meminta subjek untuk menjawab pertanyaan “mengapa

kamu merokok”. Pilihannya meliputi kesenangan, ketenangan (pengurangan

kecemasan), kebutuhan, ketagihan, kebiasaan, hiburan dan tidak tahu. The Fagerstrom

10

Page 11: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

Test for Nicotine Dependence (FTDN) akhirnya mengklasifikasikan perokok menjadi

grup ketergantungan ringan, ketergantungan tinggi dan ketergantungan sangat tinggi.

Pasien dengan schizophrenia juga dinilai pada Positive and Negative Syndrome Scale

(PANSS). Alasan utama untuk merokok berbeda secara signifikan diantara kedua grup.

Usia rata-rata subjek dengan schizophrenia pada studi tersebut adalah 35,5 ± 7,7 dan

usia rata-rata dari onset merokok adalah 15,8 ± 4,2. Pada subjek dengan schizophrenia,

ketenangan sebagai alasan utama untuk merokok lebih banyak dari grup

pembandingnya. Studi ini juga merupakan contoh dari “self-medication”. Efek

menenangkan sementara dari merokok dapat dirasakan sebagai sesuatu yang sangat

menarik bagi pasien, sebab gejala dari penyakit tidak hanya menyebabkan kecemasan

dan gangguan yang tak terukur, tetapi juga menyebabkan stress fisiologikal yang besar.

Alasan lain mengapa schizophrenia dapat mendorong seseorang untuk merokok

adalah karena interaksi dari rokok tembakau dengan obat-obat antipsikotik. Forchuk et

al. melakukan studi dimana didapatkan suatu hipotesis bahwa individu dengan

schizophrenia termotivasi untuk merokok bukan hanya karena pembebasan dari gejala-

gejala psikiatri, tetapi juga untuk mendapatkan pembebasan dari efek samping obat

antipsikotik. Pola dari penelitian tersebut meliputi deskriptif, pola korelasi yang menilai

hubungan anatara efek samping pengobatan, gejala psikiatri dan alasan untuk merokok

dan komponen lain yang memeriksa analisis dari isi pertanyaan “open-ended” yang

berhubungan dengan pengalaman subjektif merokok. Temuan-temuan tersebut

konsisten dengan hipotesisnya karena telah ditemukan bahwa motivator terkuat untuk

merokok adalah efek sedatif (M=2.32 ± .87), kontrol terhadap gejala negatif (M=2.10 ±

1.05), ketagihan (M=2.09 ± 1.00) dan kontrol terhadap efek samping dari obat-obat

antipsikotik (M= 1.85 ± .92). Efek samping ini ditambah dengan gejala schizophrenia

dapat menyebabkan kesulitan yang ekstrim pada pasien, sedangkan merokok memiliki

efek menenangkan, dan juga digunakan untuk mengontrol efek samping dari

pengobatan. Walaupun Forchuk et al menunjukkan bahwa salah satu alasan pasien

schizophrenia merokok adalah untuk mengontrol efek samping dari obat-obat

antipsikotik, harus juga dicatat bahwa interaksi dari tembakau dan obat antipsikotik

dapat mengubah kadar antipsikotik dalam darah, yang kemudian menyebabkan pasien

memerlukan dosis pengobatan yang lebih tinggi untuk mendapatkan efek yang

diinginkan. Dosis yang lebih tinggi dari obat antipsikotik dapat berakibat pada efek

11

Page 12: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

samping yang lebih banyak, dan sebagai akibatnya pasien juga memiliki angka

ketergantungan tembakau yang lebih tinggi, yang meningkatkan resiko dari berbagai

penyakit yang berhubungan dengan pemakaian tembakau.

Kendati temuan bahwa merokok dapat disebabkan oleh karena gejala dari

schizophrenia, banyak studi telah melaporkan bahwa merokok dapat merupakan satu

dari banyak faktor resiko lingkungan yang menyebabkan schizophrenia. Dalam suatu

studi kohort yang diselenggarakan oleh Weiser et al, suatu sampel acak dari remaja laki-

laki (n=14248) diobservasi untuk studi tersebut. Dalam 4-16 tahun follow up,

didapatkan bahwa perokok usia remaja memiliki resiko yang lebih besar kedepannya

untuk mengalami schizophrenia dan secara signifikan lebih mungkin dirawat inap untuk

schizophrenia kedepannya. Sebagai tambahan, ditemukan juga bahwa nikotin

mengaktifasi aktifitas neurotransmisi dari dopamin mesolimbik yang berperan sebagai

reward. Reward ini penting untuk para remaja yang mulai menunjukkan gejala dari

penyakit psikiatri.

Dalam suatu studi yang diselenggarakan oleh Spring et al (n=78), pilihan untuk

merokok versus aktivitas yang menyenangkan dan aktivitas sosial lainnya dinilai

diantara pasien dengan schizophrenia (n=26), pasien dengan depresi (n=26) dan

perokok berat yang tidak memiliki kelainan psikistri (n=26). Ditemukan bahwa

dibandingkan dengan perokok tanpa gangguan mental, perokok dengan schizophrenia

dan depresi merasakan rokok lebih menguntungkan karena adanya nilai reward yang

besar dibandingkan dengan reward alternatif untuk aktivitas lain. Walaupun nilai

reward dari merokok berarti bagi pasien schizophrenia, neurotransmisi dari dopamin

mesolimbik dapat meningkatkan resiko psikosis pada individu yang sudah terekspos

oleh resiko familial dan lingkungan lain dari schizophrenia. Jadi, dapat dibuat hipotesis

bahwa merokok pada individu dengan schizophrenia yang berada pada resiko tinggi

untuk mendapatkan penyakit tersebut karena faktor lain, dapat menjadi suatu tanda

untuk perkembangan schizophrenia.

Walaupun faktor-faktor yang berhubungan dengan merokok dapat dianalisis

pada hampir semua titik dari penyakit, remaja adalah suatu waktu yang kritis untuk

mengevaluasi merokok karena merokok dimulai pada umur 15 tahun. Pada sebagian

besar kasus, merokok juga terjadi sebelum onset dari penyakit. Banyak studi telah

disahkan bahwa onset dari schizophrenia terjadi sekitar umur 18 tahun. Fakta bahwa

12

Page 13: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

inisiasi dari merokok terjadi hampir selalu 3 tahun sebelum onset dari penyakit mungkin

dapat dijelaskan oleh pengaruh familial, penyalahgunaan zat dan juga neurotransmisi

nikotinik yang berperan dalam patofisiologi schizophrenia.

Rohde et al melaksanakan suatu studi dimana partisipan (n=941) diwawancara

pada tiga titik waktu, pada awal masuk sekolah menengah atas dan pada usia 24 tahun.

Diagnosis untuk setiap masalah psikiatri didapatkan pada setiap penilaian, dan orangtua

biologis serta saudara kandung diwawancara untuk menentukan kebiasaan merokok dan

psikopatologi selama hidup. Studi ini menyimpulkan bahwa remaja dari orangtua yang

memiliki kebiasaan merokok atau melakukan penyalahgunaan zat lebih mungkin untuk

mulai merokok pada usia lebih muda. Sebagai tambahan, suatu lingkungan rumah yang

stabil dengan dua orangtua biologis atau keluarga yang mendukung perkembangan

individu dapat melindungi remaja dari penyalahgunaan zat. Walaupun studi ini tidak

secara spesifik menargetkan individu dengan schizophrenia, hasilnya dapat

diaplikasikan untuk remaja yang lebih mungkin untuk menjadi schizophrenia karena

faktor lingkungan dan genetik memegang peranan penting dalam perkembangan

penyakit ini.

Hasil dari sampel remaja laki-laki yang yang diteliti oleh Weiser et al, juga

mengusulkan bahwa jumlah rokok yang dihisap sebelum onset dari penyakit juga secara

signifikan berhubungan dengan resiko untuk berkembangnya schizophrenia.

Dibandingkan dengan individu yang tidak merokok, remaja yang merokok 1-9 batang

rokok per hari memiliki resiko 1.38 kali lebih besar untuk masuk rumah sakit karena

schizophrenia dan mereka yang merokok 10 batang rokok atau lebih per harinya 2.28

kali lebih mungkin untuk diopname di rumah sakit selanjutnya. Data dari abnormalitas

pada transmisi nikotinik dan prevalensi yang tinggi dari merokok pada pasien yang

potensial mengalami schizophrenia mengindikasikan bahwa gangguan neurotransmisi

nikotinik mungkin dilibatkan dalam faktor resiko untuk berkembangnya schizophrenia.

Penyalahgunaan zat juga meningkatkan resiko terjadinya schizophrenia. Sebagai

tambahan, onset merokok yang lebih awal juga dilihat sebagai suatu indikator dari

penyalahgunaan zat. Suatu studi yang diselenggarakan oleh Weiser et al menskrining

270.000 remaja dan 50.413 dari jumlah tersebut diduga memiliki kelainan tingkah laku

dan kepribadian. Remaja-remaja ini juga ditanyakan mengenai penggunaan zat dan

obat-obatan terlarang dan diikuti untuk melihat opname selanjutnya untuk

13

Page 14: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

schizophrenia. Ditemukan sebanyak 12.4% dari remaja yang dengan sukarela

melaporkan penggunaan zat, dikemudian hari diopname untuk schizophrenia. Temuan

ini mengindikasikan bahwa sejak penyalahgunaan zat meningkatkan resiko dari

schizophrenia, menambahkan ketergantungan tembakau pada faktor resiko kedepannya

dapat meningkatkan bahaya untuk berkembangnya schizophrenia.

Remaja tidak hanya memiliki resiko yang lebih besar untuk menjadi

schizophrenia karena terdapat semua faktor resiko lain, tetapi mereka juga diketahui

memiliki defisit kognitif yang lebih besar dibandingkan pasien schizophrenia dewasa.

Suatu studi oleh White et al membandingkan remaja dengan onset schizophrenia yang

terjadi pada masa kanak-kanak atau remaja (n=49) dengan orang dewasa dengan

schizophrenia yang onsetnya baru terjadi pada masa dewasa (n=139), sukarelawan

remaja yang sehat (n=32), dan sukarelawan dewasa yang sehat (n=240). Kedua grup

diperiksa di awal dari perjalanan penyakit mereka dan grup kontrol dicocokkan dengan

grup kasus berdasarkan umur dan tingkat pendidikan orang tua. Didapatkan bahwa

pasien remaja menunjukkan hasil tes fungsi motorik, bahasa dan daya ingat yang lebih

buruk secara signifikan dari pasien dewasa. Hal ini merupakan temuan yang penting

karena seperti sudah diketahui bahwa banyak individu dengan schizophrenia merokok

untuk menenangkan defisit kognitif mereka dan sangat mungkin bahwa banyak dari

remaja ini telah mulai merokok untuk menenangkan defisit kognitifnya. Bagaimanapun,

juga telah diketahui bahwa merokok meningkatkan neurotransmisi dopamin

mesolimbik, yang dapat meningkatkan resiko psikosis pada individu yang telah terpajan

oleh resiko familial dan lingkungan lain dari schizophrenia. Seperti itu, ketergantungan

tembakau memberikan tantangan besar bagi remaja dengan schizophrenia karena

ketergantungan tembakau menyebabkan penyakit klinis dari waktu ke waktu dan juga

meningkatkan mortalitas.

Alasan lain mengapa remaja yang merokok memiliki resiko lebih besar untuk

menjadi schizophrenia karena selama fase prodromal, remaja mengalami penarikan

sosial, perilaku aneh dan juga pencapaian sekolah yang rendah. Hal ini terjadi ketika

permulaan merokok juga mulai menjadi suatu bentuk “self-medication”. Walaupun

merokok dapat memberi efek menenangkan untuk remaja selama fase distress afektif.

Studi sebelumnya telah menunjukkan bahwa merokok dapat juga meningkatkan

kemungkinan masuk rumah sakit pada pasien schizophrenia. Oleh karena itu, fakta

14

Page 15: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

bahwa remaja mulai merokok selama periode ini mungkin menjadi suatu indikator dari

penyakit mental yang serius seperti schizophrenia.

Implikasi dari Ketergantungan Tembakau pada Schizophrenia

Ketergantungan tembakau pada pasien schizophrenia dapat memiliki banyak implikasi

yang tidak diinginkan. Berdasarkan laporan National Institute of Mental Health,

individu dengan schizophrenia memiliki harapan hidup yang yang lebih singkat dan

meningkatnya angka kematian dibandingkan dengan populasi umum. Peningkatan

angka morbiditas dan mortalitas dapat ditujukan untuk ketergantungan tembakau dan

faktor resiko lain yang dapat dimodifikasi seperti kurangnya nutrisi, obesitas, gaya

hidup sedenter dan perawatan kesehatan yang buruk. Lebih dari itu, pasien memiliki

resiko ganda untuk penyakit kardiovaskular dan tiga kali lipat resiko untuk mengalami

penyakit saluran respirasi dan kanker paru-paru. Perokok berat pada populasi ini juga

berhubungan dengan resiko yang lebih tinggi dari penyalahgunaan zat.

Merokok juga mempengaruhi metabolisme dan kadar obat-obatan psikiatri

dalam darah. Menurunnya kadar obat dalam darah disebabkan oleh induksi dari

isoenzim P450 1A2, yang tidak disebabkan oleh nikotin dalam tembakau, tetapi

disebabkan oleh hidrokarbon polisiklik aromatik yang terdapat dalam asap rokok.

Penurunan kadar obat dalam darah yang disebabkan oleh meningkatnya ketergantungan

tembakau juga menjelaskan mengapa banyak pasien mengalami efek samping yang

lebih rendah dari penggunaan obat-obatan antipsikotik. Obat-obatan yang biasa

digunakan oleh pasien yang dipengaruhi oleh penurunan level obat di darah adalah

olanzapine, clozapine, haloperidol dan fluphenazine. Hal ini penting bagi para

profesional di bidang kesehatan mental untuk mempertimbangkan ketergantungan

tembakau ketika memonitor dosis obat pasien dan meningkatkan efektifitas dari obat

antipsikotik.

Pasien dengan schizophrenia juga sering memiliki kesulitan keuangan dan

ketergantungan tembakau hanya menambah biaya, sebab sebagian besar pasien

merokok sebanyak rata-rata 25 batang per hari (1 bungkus). Beban finansial ini

membuat pasien kesulitan untuk memperoleh rokok disamping fakta bahwa mereka

ketagihan terhadap rokok. Sebagai konsekuensinya, banyak institusi psikiatri

menawarkan rokok sebagai token ekonomy untuk mempertahankan agar perilaku pasien

15

Page 16: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

tetap baik. Hal ini merupakan implikasi problematik karena pasien dengan

schizophrenia menerima pengobatan dari berbagai variasi tempat seperti rumah sakit

pemerintah, rumah sakit psikiatri dan program perawatan satu hari. Tempat tersebut

seharusnya memberikan peluang untuk terapi intensif penghentian merokok, tetapi

karena dirasakan nilai penguatan rokok yang tinggi, banyak institusi menjadi segan

untuk menjelek-jelekan merokok.

Yang terakhir, tetapi yang paling penting, remaja yang memiliki resiko untuk

berkembang menjadi schizophrenia dan yang mulai merokok pada usia muda lebih

mungkin menjadi pecandu rokok di kemudian hari dan juga lebih mungkin mengalami

implikasi yang tidak diinginkan dari ketergantungan tembakau seperti yang sudah

disebutkan diatas, lebih awal dari mereka yang tidak merokok.

Kesimpulan

Model-model yang ditinjau juga mendukung hipotesis bahwa inisiasi dini dari merokok

mungkin merupakan suatu faktor resiko besar untuk terjadinya schizophrenia dengan

onset yang dini. Ketika remaja dengan faktor resiko genetik dan lingkungan untuk

schizophrenia mulai merokok, mereka menjadi lebih rentan pada penyakit sebab

neurotransmisi nikotinik meningkatkan ketergantungan tembakau. Merokok juga dapat

menjadi suatu tanda dari fase prodromal pada remaja karena inisiasi dari merokok

biasanya dimulai pada periode tersebut. Sebagai tambahan, merokok dapat dilihat

sebagai salah satu faktor resiko mayor karena perbedaan waktu antara usia saat mulai

merokok dan onset dari penyakit lebih singkat dibandingkan dengan individu yang tidak

merokok. Studi telah menunjukkan bahwa onset schizophrenia biasanya dapat dilihat

dimana saja diantara awal dan akhir masa remaja. Terlebih lagi model juga

menunjukkan bahwa pasien pada fase prodromal juga mulai merokok sebelum onset

dari penyakit. Sebagai konsekuensi, penting diadakan program penghentian merokok

secara langsung untuk remaja, mereka yang merokok, mereka yang berada pada fase

prodromal dan juga memiliki faktor resiko lain untuk schizophrenia. Hal ini dapat

mengurangi kerentanan pada penyakit dan angka mortalitas yang dapat dilihat di

kemudian hari pada populasi ini yang disebabkan oleh ketergantungan tembakau. Suatu

tinjauan ulang dari model yang berhubungan dengan merokok dan schizophrenia secara

berulang menunjukkan bahwa pasien menemukan bahwa merokok menarik karena efek

16

Page 17: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

menenangkan yang dirasakan. Banyak studi juga menunjukkan bahwa selama fase awal

dari penghentian merokok pasien tidak mengalami perburukan dari gejala psikotiknya.

Sekarang ini, pilihan pengobatan untuk perokok dengan schizophrenia meliputi

farmakoterapi dan intervensi konseling. Walaupun farmakoterapi bekerja sekalipun

tanpa terapi konseling, hasil akhir dapat ditingkatkan bila kedua terapi tersebut

dikombinasikan. Sayangnya hanya sekitar 5% dari perokok yang berusaha untuk

berhenti merokok yang mendapatkan konseling. Pilihan terapi tambahan meliputi obat-

obat yang disetujui oleh Food and Drug Administration seperti nicotine patch, permen

karet nikotin, spray hidung nikotin dan nicotine lozenges. Studi sebelumnya telah

membuktikan bahwa pilihan terapi tersebut dapat memiliki keuntungan yang lebih besar

untuk pasien karena hal ini memperbaiki ukuran elektrofisiologikal yang abnormal,

pergerakan mata saccadic dan perbaikan daya ingat secara keseluruhan. Lebih dari itu,

terapi nikotin memiliki onset kerja yang cepat, mengurangi craving dengan segera yang

menyerupai merokok. Obat-obat ini juga mudah digunakan yang mungkin lebih

menarik bagi populasi ini.

Tinjauan ulang yang luas ini pantas dikatakan sebagai sesuatu yang

mengkombinasikan temuan-temuan terbaru dalam bidang ketergantungan tembakau dan

schizophrenia. Studi-studi yang telah didiskusikan relatif baru dan menyediakan

beberapa teori yang membantu tentang hubungan antara schizophrenia dan

ketergantungan tembakau. Keuntungan lain tentang tinjauan ini adalah bahwa tinjauan

ini memperhitungkan hampir semua model yang diusulkan untuk menjelaskan

ketergantungan tembakau pada pasien schizophrenia. Lebih dari itu, tinjauan ini juga

menyentuh metode pengobatan yang mungkin untuk populasi ini. Disamping

keuntungan tersebut, tinjauan ini juga memiliki keterbatasan yang pantas

dipertimbangkan. Salah satu dari keterbatasan studi ini adalah tidak terdapat cukup

penelitian yang diselenggarakan dalam bidang remaja dengan schizophrenia yang

merupakan perokok berat. Bukti tersebut seharusnya akan sangat membangun tinjauan

ini sebab hal itu akan dapat menyediakan dukungan tambahan untuk hipotesis bahwa

remaja dengan resiko schizophrenia berpotensi lebih besar untuk menjadi pecandu

rokok berat. Keterbatasan lain dari tinjauan ulang ini adalah bahwa tinjauan ini hanya

membuat acuan yang sangat kecil pada neurobiologi selular dan molekular dari nikotin.

17

Page 18: Ketergantungan Tembakau Dan Schizophrenia

Banyak penelitian diperlukan dalam komponen molekular dan seluler dari nikotin, jadi

farmakoterapi yang lebih baik dapat ditemukan untuk populasi ini.

Umur pada saat onset merupakan suatu faktor prognostik kunci pada

schizophrenia dan mengidentifikasi prediktor yang dapat dimodifikasi pada usia onset

adalah krusial pada populasi ini. Bagaimanapun ini dapat menjadi suatu tantangan besar

secara diagnostik karena fase prodromal tidak memiliki gejala spesifik dan hal itu

terjadi dua sampai tiga tahun sebelum gejala psikotik mulai muncul. Hal ini membuat

deteksi dini dari schizophrenia menjadi sangat sulit dan merokok dapat dihentikan

selama kekacauan ini. Studi sebelumnya juga menunjukkan bahwa kerentanan terhadap

schizophrenia mungkin berhubungan dengan kerentanan untuk mulai merokok. Sebagai

konsekuensinya, lebih banyak studi diperlukan untuk dilakukan pada gambaran

diagnostik dari penyakit selama fase prodromal. Tenaga profesional di bidang kesehatan

mental seharusnya memperhitungkan efek dari merokok pada fase prodromal penyakit

dan meresepkan pengobatan yang sesuai. Penelitian di bidang ini dapat mencegah usia

harapan hidup yang lebih rendah yang disebabkan oleh kanker, penyakit kardiovaskular

dan respirasi serta defisit kognitif dari penyakit ini.

18