Kesustraan Arab Depuniet

download Kesustraan Arab Depuniet

of 21

Transcript of Kesustraan Arab Depuniet

Pendahuluan Manusia yang mengandalkan daya nalar terhadap sesuatu dengan kekuatan fikiran, akan menghasilkan suatu paradigma yang berwujud teoritis dan selanjutnya dapat diaplikasikan dalam menganalisis suatau hal. Hasil analisis tersebut akan dipaparkan. Karya sastra yang secara majazi merupakan hasil dari pada kekuatan nalar dan imajinasi yang tinggi yang begitu kreatif akan tertuang dalam bentuk karya sastra dengan tahapan cipta dan karsa, bila dikolerasikan dengan sastra, pada intinya proses eksplorasi daya cipta dan fikiran memiliki pengaruh kepada karya sastra yang diciptakan , sehingga unsur-unsur kejiwaan akan mempengaruhi terciptanya suatu karya sastra baik dari dampak emotif maupun dampak motif. Hal yang sangat urgen dalam suatu analisis adalah mengetahui hakekat suatu istilah definitif dan untuk mengetahui hakekat karya sastra, maka lebih dahulu ditinjau definisi seni sastra. Secara etimologi Simorangkir (1959) mendefinisikan bahwa kata kesusastraan terdiri dari; susastra=artinya huruf atau buku. Kesusastraan=kumpulan buku-buku yang indah bahasa dan baik isinya. Kemudian terdapat pengertian bahwa sastra (castra) berasal dari bahasa Sanskerta yang artinya tulisan atau bahasa yang indah1. Namun secara terminologi ada pendapat yang mengemukakan tentang Karya Sastra, yaitu sastra ialah karya seni yang dikarang menurut standar bahasa kesusastraan, maksudnya adalah penggunaan kata-kata yang indah dan gaya bahasa serta gaya cerita yang menarik 2. Seperti puisi karena puisi adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata sebagai media penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi, seperti halnya lukisan yang menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.3 Selain itu puisi juga mengekspresikan emosi, suasana hati, rasa pesona, kagum dan rasa takzim.1

objektif dan otentik

sesuai dengan teori yang diakui dan

Rachmat Djoko Pradopo. Prinsip-Prinsip Kritik Sastra. (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 32. 2 Zainuddin. Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, (Jakarta: Rineka Cipta,1992), hlm. 99.3

Rachmat Djoko Pradopo.Prinsip-Prinsip Kritik Sastra (Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007), hlm. 62. Mengutip Subagio Sastrowardojo, Puisi dan Deklamasi Dalam Rangka pengajaran Sastra di Sekolah Menengah, dimuat di majalah Gelora Th. II/7, April 1961, hlm.15.

1

Walalupun yang paling dominan dalam puisi ialah emosi, tetapi sesungguhnya akar emosi itu adalah dalam pikiran. Oleh karena itu maka pikiran dan emosi menggambaran hal-hal yang imaginatif. Dengan demikian puisi merupakan emosi kekaguman yang bersatu dengan pikiran. Atau dengan kata lain emosi dan pikiran bersatu secara nyata dalam situasi yang imaginatif sifatnya.4 Berdasarkan definisi di atas, maka dapat disimpulkan bahwa kesusastraan adalah semua aspek-aspek yang merupakan hasil dari seni dan kreasi manusia dan berguna untuk memberikan keindahan dan kelembutan dalam hubungan nilai-nilai sebuah karya sastra, atau dapat dikatakan bahwa kesusastraan adalah hasil kehidupan jiwa yang terwujud dan terungkap dalam tulisan atau gambaran yang menggambarkan atau mencerminkan peristiwa kehidupan masyarakat atau anggota masyarakat. Sehingga karya-karya tersebut akan mempengaruhi gejolak hati dan nurani insan yang membaca dan memperhatikannya. Untuk memahami inti sari dari sebuah karya sastra, membutuhkan beberapa tahap yang belum tentu mudah untuk mengerti maksud dan tujuan, dan tahap-tahap yang dibutuhkan tersebut harus dilakukan sebelum sampai pada tahap pemahaman, dengan memahami dan menguasai berbagai sistem kode yang cukup rumit, baik kode bahasa, kode badaya, maupun kode bersastra yang khas. Serta mengetahui tahapan- tahapan dalam metodologi penelitian sastra, seperti memahami penggunaan metode strukturalisme semiotik dengan pendekatan secara objektif. Pendekatan strukturalisme terhadap karya sastra harus ditempatkan dalam keseluruhan model semiotik: penulis, pembaca, kenyataan, tetapi pula sistem sastra dan sejarah sastra semuanya harus memainkan peranannya dalam intrepretasi karya sastra yang menyeluruh.5 Semiotika atau studi tentang sistem lambang pada dasarnya merupakan lanjutan dari strukturalisme. Sebab itulah sering disebut strukturalisme semiotik. Lambang-lambang kebahasaan dalam suatu karya sastra, sebagai sesuatu yang dihadirkan lewat motivasi subjektif pengarang dan pemaknaannya.64

B. P. Situmorang, Puisi; Teori Apresiasi Bentuk Dan struktur (Ende-Flores : Penerbit Nusa Indah, 1983), hlm. 12. 5 A teeuw, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori sastra (Jakarta:Dunia Pustaka Jaya,1984), hlm. 154. 6 Drs. Aminuddin, MPd, Pengantar Apresiasi Karya Sastra (Bandung:C.V. Sinar Baru, 1987), hlm. 124.

2

Pendekatan secara objektif adalah pendekatan terhadap suatu karya sastra dalam hal ini puisi sebagai struktur yang mencukupi dirinya sendiri atau otonom.7 Bisa juga dikatakan mendekati suatu karya sastra yang berdiri bebas dari penyair, audience, dan dunia yang mengelilinginya, sebuah dunia dalam dirinya, yang harus ditimbang atau di analisis dengan kriteria intrinsik seperti kompleksitas, keseimbangan, integritas dan saling hubungan antara unsur-unsur pembentuknya.8 Sehingga didapati keseluruhan makna yang cermat dari hasil analisis strukturalisme yang teliti, serta mendalam. Suatu karya sastra dapat bernilai tinggi berdasarkan dunia angan dan khayalan yang tersusun dalam kata-kata dan gaya bahasa, hingga akhirnya akan dapat menggugah sifat emotif dan perasaan. Dalam tataran menjadikan khayalan dan apa yang dirasakan, yang difikirkan secara imajinasif yang arbitrer dan irasional, maka bahasa yang digunakan ialah bahasa konotatif yang penuh dengan pengaruh oleh kenangan dan pembayangan. Oleh karena itulah bahasa sastra tidak bersifat menunjuk suatu hal namun dapat menunjuk berbagai aspek yang bersifat abstrak. Sebagai salah satu produk budaya manusia, sastra dalam perkembangannya tentu senantiasa mengiringi perubahan dan perkembangan masyarakat pendukungnya. Kelahiran sastra di mana dan kapan pun berada tidak dapat dilepaskan dari masyarakat pembacanya. Kebermaknaan sebuah karya sastra lahir akibat adanya resepsi dari pembaca. Masyarakat pembaca dalam hal ini akan bisa melakukan resepsi maupun apresiasi, bila karya sastra itu menampilkan sesuatu yang tidak jauh dan asing -untuk tidak mengatakan harusdari kehidupan mereka. Bukankah medium sastra, baik lisan atau tulis, adalah bahasa dan bahasa itu sendiri merupakan produk sosial. Tidaklah berlebihan, bila ada yang menyatakan bahwa karya sastra adalah sebuah dokumen, kesaksian tentang suasana hati dan pikiran masyarakat dan zaman penciptaannya. Dengan demikian, bila masyarakat pendukungnya selalu dalam proses evolusinya maka tidaklah bisa diandaikan bahwa karya sastra yang dilahirkan atau yang mengawalnya tidak mengalami evolusi perkembangannya.

7 8

A teeuw, Op. cit. hlm. 120 Djoko Pradopo. op. cit. hlm. 27

3

Atas dasar asumsi dan pemikiran di atas, berikut akan dilakukan deskripsi sekilas tentang Kesusastraan Arab Kontemporer. Pertama-tama akan dipaparkan mengenai periodisasi kesusastraan Arab untuk melihat sejauh mana kedudukan kesusastraan Arab dalam area perkembangan sastra Arab sepanjang sejarahnya.

Sejarah Sastra (Tarikhul Adab) dan Fungsinya Tarikhul Adab atau Sejarah sastra adalah suatu ilmu yang membahas mengenai keadaan bahasa serta sastra seperti puisi dan prosa yang diciptakan oleh anak-anak pengguna bahasa itu dalam berbagai masa, sebab-sebab kemajuan dan kemudurannya, serta kehancuran yang mengancam kedua produk sastra tersebut, serta mengalihkan perhatiannya terhadap para tokoh terkemuka dari kalangan penulis dan ahli bahasa, serta melakukan kritik terhadap karya-karya mereka, dan menjelaskan pengaruh mereka dalam ide, penciptaan, dan gaya bahasa (uslub). Tarikhul Adab atau sejarah sastra dalam pengertian seperti di atas merupakan ilmu yang baru tumbuh, dan dicetuskan oleh penulis Itali pada abad ke-18 M. Di kawasan timur, sejarah sastra baru dikenal ketika pergaulan antara Kawasan Timur dan Kawasan Barat semakin menguat. Orang yang pertama kali mentransfer ilmu mengenai sejarah sastra ke dalam dunia sastra Arab ialah alUstadz Hasan Taufiq al-Adl, setelah kepulangannya dari Jerman, dan selanjutnya beliau mengajar di Universitas Daarul Ulum9. Pengertian sejarah sastra di atas adalah pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra secara dalam arti khusus. Sedangkan pengertian Tarikhul Adab/sejarah sastra dalam pengertian umum adalah ilmu yang mempelajari deskripsi kronologis sesuai perjalanan zaman yang terhimpun dalam buku-buku, tercatat dalam lembaran-lembaran, dan yang terpahat dalam batu-batu prasasti, yang mengungkapkan perasaan (emosi), ide, pengajaran tentang suatu ilmu atau seni, pengabdian suatu cerita, suatu realitas, termasuk di dalamnya penyebutan orangorang yang muncul dan terkenal (terkemuka) dari kalangan para ilmuan, para filosuf, dan para pengarang, serta menjelaskan referensi yang mereka gunakan,9

Bachrum Bunyamin. Diktat Kuliah Sastra Arab Jahiliyyah. (Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga, 2003). hlm. 6.

4

aliran-aliran yang mereka anut, dan posisi mereka dalam bidang seni yang digeluti, yang semua itu akan menunjukkan kemajuan atau kemunduran dari semua ilmu pengetahuan. Pada umumnya, bangsa-bangsa yang maju dan berkebudayaan mempunyai hasil karya kesusastraan dari bahasa nasionalnya. Dan hasil karya sastra yang ditinggalkan itu akan dikenal oleh generasi yang mendatang melalui pembelajaran sejarah kesusastraan. Demikian pula dengan hasil karya kesusastraan Arab dapat dikenal dari sejarah kesusastraan Arab. Sehingga dapatlah didefinisikan bahwa sejarah kesusastraan Arab ialah ilmu pengetahuan yang mempelajari bahasa Arab yang ditinjau dari segi hasil karya sastranya, baik dari segi puisi maupun prosanya, dari sejak periodesasinya. Ahmad al-Iskandari dan Musthafa Anani mengemukakan bahwa manfaat mempelajari sejarah sastra khususnya sejarah kesusastraan Arab10, antara lain: 1. Mengetahui sebab-sebab kemajuan dan kemunduran sastra, yang ditinjau ari segi agama, sosial, maupun politik. 2. Mengetahui gaya-gaya (uslub) bahasa, cabang-cabang seninya, pemikiranpemikiran penggunanya, dan istilah-istilah yang mereka ciptakan, perbedaan cipta rasa mereka dalam prosa dan puisi mereka, sehingga dapat memberikan wawasan baru kepada kita setelah mengkaji ilmu ini untuk membedakan antara bentuk-bentuk bahasa pada suatu masa dengan bentuk-bentuk bahasa pada masa yang lain.3. Mengenal dan mempejari tokoh-tokoh yang berpengaruh dari kalangan

timbulnya dengan

segala perkembangan

menurut

ahli bahasa dan sastra pada setiap masa, serta mengetahui sesuatu yang baik dan buruk yang terdapat dalam puisi dan prosa dalam karya-karya mereka, sehingga kita dapat meneladani contoh-contoh yang baik dan menjauhkan diri dari contoh-contoh yang tidak baik.

Sastra Bahasa (Adabul Lughah)10

Ahmad Al-Iskandari. Al-Wasith Fi al-Adab al-Arabiy wa Tarikh. (Mesir:Daar al-Maarif, 1916). hlm. 5.

5

Bahasa adalah yang berarti bahasa adalah tiap-tiap media untuk bertukar perasaan dan pikiran seperti isyarat, suara, dan ucapan11. Menurut Harimurti Kridalaksana, bahasa adalah sistem lambang yang arbitrair yang dipergunakan oleh suatu masyarakat untuk bekerja sama, berinteraksi, dan mengidentifikasikan diri12. Adapun sastra bahasa (Adabul-Lughah) itu sendiri adalah kata-kata indah yang mengandung imajinasi yang cermat, pelukisan yang lembut, yang diwariskan atau dihasilkan oleh para penyair dan penulis, bertujuan untuk mendidik jiwa, menghaluskan rasa, dan membudayakan bahasa. Ada juga yang mendefinisikan bahwa sastra bahasa adalah segala bentuk prosa dan puisi yang dihasilkan oleh pikiran seseorang yang menggambarkan watak dan kebiasaan, daya khayal, serta batas kemampuan mereka dalam menggunakan bahasa yang bertujuan mendidik jiwa, memperbaiki pikiran dan meluruskan lisan. Terkadang kata "Adab" digunakan juga untuk menyebutkan segala pembahasan ilmiah dan cabang-cabang seni sastra yang dihasilkan oleh setiap bahasa13. Sehingga kata "Adab" dapat mencakup segala sesuatu yang dihasilkan oleh akal pikiran para ilmuan, penulis, dan penyair atau sastrawan. Kesusastraan Arab (al-Adab al-Arabiy) merupakan kesusastraan terkaya, karena merupakan kesusastraan yang tercipta sejak masa kanak-kanak manusia sampai runtuhnya kebudayaan Arab14. Bahasa Mudlor, setelah masa Islam, bukan hanya menjadi bahasa suatu bangsa saja, tetapi menjadi bahasa bagi semua bangsa yang masuk ke dalam agama Allah (Islam), atau berada di bawah lindungannya. Mereka menciptakan makna-makna dan konsep-konsep, serta memperluas maknamakna dengan bantuan rahasia-rahasia bahasa mereka. Kemudian mereka menjelajah kepelosok bumi dengan membawa agama, sastra, budaya, dan ilmu. Lalu mereka berakulturasi dengan setiap bahasa yang didatangainya, serta menyebarluaskan ilmu pengetahuan orang-orang masa lampau dan peradaban11

Majdi Wahbah dan Kamil al-Muhandis, mujam al-mustholat al-arabiyah fi al-lughah wa aladab. (Beirut: maktabati Lubnan, 1984). hlm. 318.12 13

Harimurti Kridalaksana. Kamus Linguistik. ( Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2008). hlm.17. Bahrudin Achmad . Sejarah Kesusasteraan Arab Jahiliyah. ( Bekasi: e-book copyright, 2011). hlm. 1. 14 Ibid.

6

orang-orang-orang terdahulu, dari bangsa-bangsa Yunani, Persia, Yahudi, Hindu, dan Habsyi. Dia berdiri kokoh menghadapi halangan dan rintangan selama berabad-abad yang panjang. Dia menyaksikan pertarungan bahasa-bahasa di sekelilingnya dengan kepala tengadah dan langkah yang tegap, mewarisi hasil cipta rasa dan buah akal pikiran dari setiap peradaban (sastra/literatur) dan kepercayaan. Bahasa bangsa-bangsa dengan beraneka ragam perbedaannya, bagaikan parit-parit dan sungai-sungai yang mengalir, lalu bercabang-cabang, kemudian berhimpun dan bermuara pada satu samudera, yaitu bahasa Arab. Periodesasi Kesusastraan Arab Pada umumnya, periodesasi kesusastraan dibagi sesuai dengan perubahan politik. Sastra dianggap sangat tergantung pada revolusi sosial atau politik suatu negara dan permasalahan menentukan periode diberikan pada sejarawan politik dan sosial, dan pembagian sejarah yang ditentukan oleh mereka itu biasanya diterima begitu saja tanpa dipertanyakan lagi15. Penentuan mulainya atau berakhirnya masa setiap periodesasi hanyalah perkiraan, tidak dapat ditentukan dengan pasti, dan biasanya untuk mengetahui perubahan dalam sastra itu biasanya akibat perubahan sosial dan politik16. Di bawah ini akan dipaparkan bentuk penulisan periodesasi yang dilakukan oleh para ahli kesusastraan Arab, antara lain: Sejarah perkembangan sastra Arab dibagi atas enam periode17 : 1. Periode Jahiliyah Periode ini merupakan periode pembentukan dasar-dasar bahasa Arab. Pada periode ini ada kegiatan-kegiatan yang dapat membantu perkembangan bahasa Arab, yakni di suq (pasar) Ukaz, Zu al-Majaz, dan Majannah yang merupakan festival dan lomba bahasa Arab antara suku Quraisy dan suku-suku lain yang datang ke Mekkah untuk berbagai keperluan, yang dapat membentuk suatu kesusastraan yang baku.15

Rene Wellek dan Austin Waren, Penerjemah: Melani Budianta. Teori Kesusastraan. (Jakarta: PT. Gramedia, 1989). hlm. 354. 16 Jamiat al-Imam Muhammad ibn Suud al-Islamiyyah. Al-Adab. (Riyadh: Jamiat al-Imam Muhammad ibn Suud al-Islamiyyah, 1993). hlm. 18. 17 Ahmad Hasan Kahil. Tarikh al-Adab al-Arabiy Juz 1 fi al-Ashr al-Jahiliy. (Mekkah: AlMaarif As-Suudiyyah, 1953). hlm. 5-6.

7

2. Periode Permulaan Islam Sejak datangnya Islam sampai berdirinya Bani Umayyah. Setelah Islam Berkembang luas, terjadilah perpindahan orang-orang Arab ke daerah-daerah baru. Mereka tinggal dan menetap di tengah-tengah penduduk asli, sehingga mulailah terjadi asimilasi dan pembauran yang memperkuat kedudukan bahasa Arab. 3. Periode Bani Umayyah Periode yang ditandai dengan intenfikasi pencampuran orang-orang Arab Islam dengan penduduk asli Pada masa pemerintahan Bani Umayyah, orang Arab merupakankelompok Aristokrat yang mempunyai ambisis besar untuk mengembangkan kebudayaan mereka dengan cara sebagai bahasa negara. Mereka melakukan menjadikan bahasa Arab Arabisasi dalam berbagai bidang

kehidupan. Karena itu, penduduk asli mencoba mempelajari bahasa Arab sebagai bahasa pergaulan dan bahasa agama. Dengan jalan lain, sejak sepertiga akhir abad pertama Hijriah bahasa Arab telah mencapai posisi yang tinggi, terhormat dan kuat dalam wilayah Islam. 4. Periode Abbasiyah Selama periode ini perkembangan bahasa dan sastra Arab tetap mendapat perhatian. Lapangan kehidupan di masa pemerintahan Abbasiah, lebih makmur dan maju, ilmu pengetahuan Islam banyak digali di zaman ini. Maka kerajaan Bani Abbasiah besar sekali jasanya untuk kemajuan peradaban dunia Islam. Pengaruh Parsi sangat kuat , rakyatnya dapat bergembira dengan hasil cocok tanam mereka dan kemegahan kota Baghdad sebagai ibu kota kerajaannya. Sampai saat ini terkenal sebagai salah satu tempat kejayaan kebudayaan Islam. Ibu kota kerajaan itu menjadi tempat tujuan penyair. Para penyair tersebut saling berlomba untuk mendapatkan kesenangan dari raja dengan jalan menjadi dan mengagungkannya. Kebolehan seperti itu akan mendapat pujian pula dari rakyat. 5. Periode sesudah abad ke-5 H Kehancuran kota Baghdad, menyebabkan hancurnya pusat ilmu pengetahuan umat Isalam. Penyerbuan tentara Holako ke Baghdad menyebabkan banyaknya para ulama dan penyair yang lari ke Syam dan Kairo, maka pada8

akhirnya kedua kota ini menjadi pusat Islam dan bahasa Arab. Perkembangan syair di masa ini sangat lemah. Kegairahan penyair untuk mencipta jauh berkurang dari masa sebelumnya . Bait-bait syair pada masa itu hanya ditujukan untuk mendekatkan diri pada khaliq. 6. Periode kesusastraan Arab di zaman Modern Pada akhir abad XVIII ketika bangsa Arab di bawah pemerintahan Daulat Utsmaniyah keadaannya sangat lemah. Bangsa Eropa setelah melihat keadaan ini, kembali mengulangi akspansinya ke Timur Tengah. Mereka datang tidak dengan kekerasan tetapi kedatangan ini dengan dalih untuk menyebarkan ilmu pengetahuan dan memperluas roda perdagangan. Pemerintahan berikutnya yang jatuh kepada Muhammad Ali (yang semula diangkat oleh Sultan Usmani menjadi Gubernur Mesir) berusaha untuk menerima kebudayaan Barat dan hasil ilmu pengetahuan Barat, Ali tidak lagi mementingkan pemerintah dan pembangunan, maka perkembangan di bidang sastra berkurang. Dua abad kemudian barulah muncul lagi karya sastra Arab yang baru, dan para penyair menyesuaikan diri dengan keadaan zaman moderen, mereka mulai melepaskan diri dari ciri khas klasik, namun keterikatannya masih ada. Keistimewaan syair modren ini , lebih mementingkan isi dari pada sampiran , bahasanya mudah dan sesuai dengan keadaan. Hana al-Fakhuriyyah membaginya ke dalam lima periodesasi, yaitu: 1. Periode Jahiliyyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini dibagi atas dua bagian, yaitu masa sebelum abad ke-5, dan masa sesudah abad ke5 sampai dengan Hijrahnya Nabi Muhammad SAW ke Madinah (1 H/622 M). 2. Periode Islam, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak tahun 1 H/622 M hinggga 132 H/750 M, yang meliputi: masa Nabi Muhammad SAW dan Khalifah ar-Rasyidin (1-40 H/662-661 M), dan masa Bani Umayyah (41-132 H/661-750 M). 3. Periode Abbasiyah, perkembangan kesusastraan Arab pada masa ini berlangsung sejak 132 H/750 M sampai 656 H/1258 M.9

4. Periode kemunduran kesusastraan Arab (656-1213 H/1258-1798 M), periode ini di mulai sejak Baghdad jatuh ke tangan Hulagu Khan, pemimpin bangsa Mongol, pada tahun 1258 M, sampai Mesir dikuasai oleh Muhammad Ali Pasya (1220 H/1805 M). 5. Periode kebangkitan kembali kesusastraan Arab; periode kebangkitan ini dimulai dari masa pemerintahan Ali Pasya (1220 H/1805 M) hingga masa sekarang. Sedangkan Ahmad Al-Iskandari dan Mustafa Anani dalam Al-Wasit AlAdab Al-Arabiyah Wa Tarikhihi membagi periodesasi kesusastraan Arab ke dalam lima periode18, yaitu: 1. Periode Jahiliyah, periode ini berakhir dengan datangnya agama Islam, dan rentang waktunya sekitar 150 tahun. 2. Periode permulaan Islam atau shadrul Islam, di dalamnya termasuk juga periode Bani Umayyah, yakni dimulai dengan datangnya Islam dan berakhir dengan berdirinya Daulah Bani Abbas pada tahun 132 H. 3. Periode Bani Abbas, dimulai dengan berdirinya dinasti mereka dan berakhir dengan jatuhnya Bagdad di tangan bangsa Tartar pada tahun 656 H. 4. Periode dinasti-dinasti yang berada di bawah kekuasaan orang-orang Turki, di mulai dengan jatuhnya Baghdad dan berakhir pada permulaan masa Arab modern. 5. Periode Modern, dimulai pada awal abad ke-19 Masehi dan berlangsung sampai sekarang ini. Adanya Perbedaan istilah dalam penulisan periodesasi kesusastraan Arab seperti tiga contoh di atas, merupakan suatu hal yang wajar, seperti yang dikemukakan Teeuw bahwa perbedaan itu disebabkan empat pendekatan utama19, yaitu: 1. Mengacu pada perkembangan sejarah umum, politik atau budaya.18

Ahmad Al-Iskandari. Al-Wasith Fi al-Adab al-Arabiy wa Tarikh. (Mesir:Daar al-Maarif, 1916). hlm. 10. 19 A teeuw, Op. cit. hlm. 311-317.

10

2. Mengacu pada karya atau tokoh agung atau gabungan dari kedua hal tersebut. 3. Mengacu pada motif atau tema yang terdapat dalam karya sepanjang zaman. 4. Mengacu pada asal-usul karya sastra. Pada masa Pra-Islam atau Jahiliyah, khazanah kesusastraan Arab diwarnai oleh dominasi genre puisi terhadap genre prosa. Hal ini bisa dimaklumi mengingat tradisi lisan saat itu yang jauh lebih kuat dan memasyarakat dari pada tradisi tulis. Genre karya sastra prosa yang ada pada waktu itu adalah al-khutbah (pidato), almatsal (peribahasa), dan al-hikmah (pepatah). Genre prosa ini pun sangat bernuansa kelisanan daripada keberaksaraan. Oleh karena itu amatlah wajar bila karya sastra naratif jenis cerpen dan novel sebagaimana yang ada sekarang belum muncul. Sementara itu genre puisi yang mewarnai khazanah kesusastraan Arab ketika itu adalah jenis Qasidah, yaitu sekumpulan larik puisi yang memiliki wazan (metre), qafiyah (rima), dan rawiyy . Fase-fase yang dilalui genre ini sehingga bentuknya menjadi sempurna sebagaimana yang ditemukan pada awal abad VI M itu sulit dijelaskan karena keterbatasan dokumen sejarah. Genre puisi ini disebut Qasidah karena penyair dengan sengaja menggubah, mengumpulkan, dan membakukannya, atau karena puisi ini ingin menjelaskan makna yang ditujunya. Biasanya jumlah lariknya minimal tujuh20 atau sembilan larik21. Muhalhil bin Rabiah al Tagliby merupakan penyair yang disebut-sebut sebagai orang pertama menulis Qasidah22. Hal penting yang kelak menjadi kriteria pembeda antara puisi klasik dan kontemporer adalah apa yang dinamakan dengan amud al Syiry, the art of versification, kata ini mengacu pada cara penggubahan puisi yang diwariskan orang Arab secara turun-temurun yang meliputi wazan (metre), qafiyah (rima), dan uslub (gaya)nya. Hal lain yang menjadi ciri puisi jahiliyah adalah adanya penyebutan atlal pada awal setiap jenis puisi, baik puisi20

21

Majdi Wahbah dan Kamil al-Muhandis, Op. cit. hlm. 293. Muhammad al-Tunjy.1993. Al-Mujam Al-Mufassal fi Al- Adab I & II. (Beirut: Dar al Kutub Ahmad Al-Iskandari. Op. cit. hlm. 44.

al-Ilmiyah, 1993). hlm. 710.22

11

Tasybib atau Gazal (cinta), Hamasah atau Fakhr (Keberanian dan rasa kebanggaan), Madah (pujian), Rasa(ratapan/ elegi), Hija(ejekan, satire), Itizar (minta maaf), maupun wasf (deskripsi). Atlal di sini berarti reruntuhan atau puingpuing rumah atau kampung halaman yang mengingatkan dan membuat rindu seseorang pada masa lalunya23. Kehadiran Islam dan Al-Quran yang membawa berbagai gagasan reformatif dan revolusioner di segala bidang sehingga menyedot perhatian bangsa Arab sedikit banyak telah membawa implikasi pada kemunduran -lebih tepat disebut kemandegan- puisi Arab. Al-Quran dalam banyak ayat disamping melontarkan satu tantangan pada para penyair terkemuka Arab saat itu untuk membuat kreasi karya yang setara dengannya meski hanya satu surat yang pada akhirnya tantangan itu tidak mampu mereka hadapi24. juga telah menyebut mereka sebagai pihak yang diikuti oleh orang-orang yang sesat25. Terlepas dari apakah vonis Al-Quran itu memang berbicara tentang kenyataan faktual atau hanya dimaksudkan untuk mengurangi dan menggerogoti kekuasaan hegemonik para penyair yang memiliki kedudukan sangat tinggi dalam strata sosial masyarakat Arab jahiliyah, tempat Islam dengan serangkaian ajaran agama, moral, dan sosial diturunkan, yang jelas puisi di awal Islam kehilangan gema dan daya tariknya yang semula sangat menyihir dan menghipnotis masyarakat jahiliyah. Baru kemudian, setelah keterkejutan budaya mulai reda dan digantikan oleh pengaruh Islam yang kuat di semenanjung Arabia, Bizantium, Syiria, Mesir, Afrika Utara, dan Spanyol pada masa Nabi Muhammad SAW, Khulafaurrasyidin maupun Umayyah, Gema kesusastraan Arab mulai semarak lagi. Dalam hal ini interaksi bangsa Arab sebagai pemegang kendali kekuasaan dengan bangsa- bangsa setempat telah melahirkan satu kebudayaan baru yang bisa23

24

Muhammad al-Tunjy. Op. cit. hlm. 107. Al-Quran, Surat Al-Baqarah ayat 23:

(, Dan jika kalian (tetap) dalam keraguan atas apa yang Kami turunkan kepada hamba Kami (Muhammad)yaitu al-Qur'an maka buatlah satu surat (saja) yang semisal dengannya dan ajaklah ahli-ahli kalian selain Allah, jika kalian orang-orang yang benar). Al-Quran, Surat Asysyuaraa ayat 224 : (, Dan penyair-penyair itu diikuti oleh orang-orang yang sesat).25

12

disebut sebagai kebudayaan campuran atau hibrida. Adanya corak budaya baru ini pada gilirannya juga ikut berperan dalam perkembangan kesusastraan Arab. Genre sastra yang berkembang pada masa ini di samping puisi yang tetap menduduki tempat teratas adalah al-khutbah, al-hikmah, al-matsal, dan al-risalah (surat indah) terutama sebagai sebagai media dakwah Islam. Para orator yang terkenal pada masa ini selain empat khulafaurrasyidin adalah Sahban Wail, Ziyad bin Abihi, dan al Hajaj bin Yusuf. Ada dua kelompok penyair yang menonjol pada masa ini, yaitu penyair gazal (cinta) dan penyair hija (satire). Kelompok pertama ada dua aliran, yaitu aliran hijaz yang puisipuisinya bersifat realis dan penuh perasaan; dan aliran uzri yang puisi-puisinya bersifat idealis, melankolis, sublim, dan murni. Aliran pertama dipelopori oleh Umar bin Abi Rabiah dan al Ahwas bin al Arji sedangkan aliran kedua dimotori oleh Jamil dan Qais bin Darih. Kelompok kedua, para penyair satiris dipelopori oleh tiga orang penyair kenamaan dari Iraq, yakni al-Akhtal, al-Farazdaq, dan Jarir. Daulah Abbasiyah kemudian muncul menggantikan Daulah Umayyah dengan serangkaian pola dan kebijakan baru sehingga mampu mengantarkan bangsa Arab (Islam) pada puncak peradabannya. Periode ini yang dikenal sebagai the golden age merupakan hasil logis dari kebebasan ilmiah yang diberikan para penguasa dan semangat keilmuan yang dihembuskan oleh ajaran Islam. Watak inklusivitas ajaran Islam telah mendorong masyarakat untuk tidak risih dan malu-malu dalam menyerap setiap produk pemikiran dan budaya asing bahkan kalau perlu dengan memakai jasa orang asing yang tentu saja berbeda agama dan bahasa, seperti nampak jelas dalam gerakan penerjemahan berbagai karya asing ke dalam bahasa Arab. Pada gilirannya kondisi semacam ini mampu mengantarkan masyarakat Islam pada kemajuan dalam berbagai bidang. Kesusastraan Arab pun tidak luput dari laju gerbong kemajuan ini. Pada periode ini lahir bentuk baru dalam genre prosa, yaitu al-maqmah. Kata ini bisa secara ethimologis bisa berarti tempat pertemuan atau khutbah dan perbincangan yang dilontarkan orang-orang dalam tempat- tempat pertemuan mereka. Badi alZaman al-Hamdany (w. 398 H), seorang pelopor jenis sastra ini memaknainya sebagai tempat pertemuan khusus untuk menyampaikan nasehat, pelajaran, dan kuliah. Dialah yang melekatkan pada kata ini satu arti figuratif artistik yang13

mengacu pada bahan pembicaraan yang disampaikan pada khalayak26. Banyak penelaah sastra yang meyakini bahwa bentuk al-maqmah merupakan benih genre cerpen dalam kesusastraan Arab. Hanya saja, Syauqy Daif berbeda dengan pendapat ini menyatakan bahwa al-maqmah adalah seni didaktis yang tidak ada kaitannya sama sekali dengan seni naratif. Bentuk sastra ini berkembang pesat di Andalusia27. Para prosais kenamaan di era ini antara lain: Ibn Al-Muqaffa (106142 H), penulis kallah wa dumnah dan al-adab al-sagr serta al-adab al-kabr, Badi Zaman al-Hamdany, Ibnu Zaidun, Ahmad bin Abd Rabbah pengarang aliqd al-fard , al-Hariry, Al-Jahiz -penulis kitab al-hayawn , dan Ibnu Qutaibah, penulis kitab al-syir wa al-syuar serta Ibnu Tufail dengan bukunya Hayy bin Yaqzn. Di masa ini ada perubahan mendasar dalam penulisan puisi. Bila di masamasa sebelumnya penyebutan atau lebih tepatnya kerinduan pada kampung halaman dan puing-puing atll selalu diletakkan pada awal puisi, maka pada periode ini meski penyebutan se macam itu masih ada akan tetapi tidak selalu berada di awal qasidah. Awal qasidah seringkali melukiskan istana, kesenangan hidup, perjalanan dengan kapal, khamr, dan bahkan terkadang mencela penyebutan atlldan penyair yang mempertahankannya28. Puisi sabh karya Abu Nuwas dapat dipakai contoh dari kecenderungan tidak menyebut atll di awal qasidah. Para penyair kenamaan era ini antara lain : Basyar bin Burd (w. 167 H), Abu Nuwas (145-199 H), Muslim bin Walid (w. 208 H), Abu al-Atahiyah (130-211 H), Abu Tamam (190-231 H), al-Buhtury (206284 H), Ibnu al Rumy (221-283 H), Abu al-Tayyib al-Mutanabby (303-354 H), Ibnu Hani al-Andalusy (326-362 H), dan Abu al Ala al-Maarry (363-449 H) serta Rabiah al-Adawiyah. Di masa ini pula lahir satu bentuk puisi yang oleh ahli sastra dipandang juga sebagai benih lahirnya puisi Arab bebas, yaitu al-muwasysyah. Bentuk puisi ini cukup popuper di Andalusia pada abad III H. Meskipun jenis puisi ini kemudian juga menyebar ke dunia Timur, orang-orang Andalusia dalam hal kreasi al-muwasysyah ini lebih unggul dari pada orang-orang Timur.26 27

Muhammad al-Tunjy. Op. cit. hlm. 816. Muhammad Salih al-Syanty. Al- Adab Al-Araby A- Hadis. (Saudi Arabiya : Dar al-Tibaah wa al-Nasyr al-Islamiyah,1992). hlm. 272. 28 Ahmad Al-Iskandari. Op. cit. hlm. 245.

14

Secara etimologis,

al-muwasysyah merupakan derivasi dari kata

al-

wusyah yang berarti sebuah kalung dari permata dan mutiara yang masing-masing dirangkai dan dihubungkan sedemikian rupa serta dipakai kalung oleh wanita. Ungkapan saubun muwasysyahun berarti baju yang dibordir dan dihias. Secara terminologis, al-muwasysyah memiliki banyak definisi. Salah satunya adalah yang dinyatakan oleh Ibnu Sina al-Malik al-Misry dalam bukunya Dar al-Tiraz. Menurutnya, al-muwasysyah adalah ungkapan yang berwazan, metrik tertentu dengan qafiyah, rima yang berlainan; paling banyak terdiri dari enam qafl dan lima larik yang selanjutnya disebut al-muwasysyah al-taam dan minimal terdiri dari lima qafl dan lima larik yang kemudian disebut al-muwasysyah al-aqra. Yang pertama diawali dengan qafl dan yang kedua dimulai dengan bait, larik. Bentuk al-muwasysyah sendiri cukup beragam, tetapi yang paling populer adalah penyair menulis dua larik yang masing-masing sadr-nya berima sama dan masing-masing ajz-nya juga memiliki rima lain yang sama. Dua larik itu lalu dikuti oleh tiga larik yang masing-masing sadrnya sama dan masing-masing ajznya juga berima sama. Kemudian diikuti dua larik yang kedua sadr dan ajz-nya mempunyai rima yang sama dengan awal al-muwasysyah. Selanjutnya penyair menulis lima larik lain yang susunannya sama. Bentuk lain al-muwasysyah adalah penyair menulis satu larik yang sadr dan ajz-nya berima sama, lalu tiga syatr dengan satu rima yang berlainan dengan larik, kemudian dua syatr yang rimanya sama dengan larik pertama, dan seterusnya29. Al-muwasysyah muncul karena corak kehidupan masyarakat Andalusia yang sarat kemewahan, kesenangan, dan hiburan. Al-Muwasysyah merupakan bentuk ekspresi yang sesuai dengan kecenderungan itu. Bentuk ini merupakan satu pembaharuan dalam tipografi puisi Arab, bukan dalam isinya30. Penyair pertama yang meretas jenis puisi ini menurut Ibnu Khaldun adalah Miqdam bin al Muafy al-Qubry dan diikuti oleh Abu Umar Ashmad bin Abd Rabbah, pengarang buku al-Iqd. Sedangkan yang berhasil mempopulerkan almuwasysyah ke seluruh Andalusia adalah Ibadah bin Ma al-Sama (w. 422 H). Sepeninggalnya muncul beberapa penyair al-muwasysyah Andalusia, antara lain29 30

Muhammad al-Tunjy. Op. cit. hlm. 838. Anis Dawud. Al-Tajdid fi Syir Al-Mahjar. (Mesir : Dar al Katib al Araby li al Tibaah wa al Nasyr,1967). hlm. 30-31.

15

yang populer adalah : Yahya bin Baqqy, Abu Bakar bin zahr, Ibnu Sahl, dan Lisan al-Din bin al-Khatib. Cahaya keemasan yang dipantulkan oleh kemajuan dalam segala bidang di masa Abbasiyah pun mulai memudar dan akhirnya suram akibat runtuhnya daulah Abbasiyah oleh invasi bangsa Mongol, pimpinan Hulagu Khan ke Bagdad 1258 M. Kebebasan ilmiah dan semangat berkreasi berubah menjadi kejumudan dan taqlid buta. Pada akhirnya suasana demikian berdampak pada perkembangan kesusastraan. Akibat penguasa baru yang kurang pengetahuan dan penguasaan bahasa Arabnya, maka perkembangan sastra di berbagai daerah kecuali di beberapa wilayah di Semenanjung, Iraq, Mesir, dan Syam mengalami masa surut. Bahasa komunikasi harian yang semula memakai bahasa Arab mmiyah kini digantikan oleh bahasa Persia, Turki, dan bahasa Kurdi yang sedikit bercampur dengan bahasa Arab. Di masa ini hampir tidak ditemukan karya prosa fiksi yang mencapai masterpiece. Demikian pula dengan genre puisi yang sedikit bertahan dan berkembang di Iraq, Semenanjung, Syam, Mesir, Andalusia, dan Maroko. Puisi-puisi diarahkan untuk memuja Nabi Muhammad saw dan para wali atau bahkan kehidupan tasawuf dan zuhud, meninggalkan kesenangan duniawi (al Iskandary: 306-307).Beberapa penyair masa ini antara lain: al-Busairy (608-695 H), Safiy al-Din al-Haliy (677-750 H), Ibnu Nabatah (676-768 H), dan Ibnu Matuq al-Mausawy. Setelah hampir lima abad berada dalam masa surut bahkan keterpurukan di berbagai bidang, maka pada akhir abad ke-18 M bangsa Arab mulai memasuki fase sejarah kesadaran dan kebangkitan. Kesadaran ini semakin mendapat energinya setelah mereka bersentuhan dengan kebudayaan Barat melalui ekspedisi Napoleon Bonaparte ke Mesir pada tahun 1798. Kesadaran dan tambahan energi itu lantas diimplementasikan di masa Muhammad Ali dengan cara mengirimkan banyak sarjana ke Barat. Penerjemahan berbagai karya asing Barat, baik tentang kesusastraan atau ilmu pengetahuan lainnya digalakkan dengan motor Rifaah Rafi al-Tahtawy (1801-1873 M). Banyak percetakan dan penerbitan majalah atau surat kabar muncul. Dalam kondisi penuh semangat pembaharuan ini, kesusastraan Arab merangkak bangkit.16

Kesimpulan Pada zaman jahiliyah, genre adab yang paling dominan ialah puisi. Saat itu puisi yang paling populer ialah ( Puisi-puisi Yang Tergantung). Disebut demikian karena puisi-puisi tersebut digantungkan di dinding Kabah. Dinding Kabah kala itu kurang lebih juga berfungsi sebagai majalah dinding. Berdasarkan temanya, puisi zaman jahiliyah dibedakan atas ( membanggabanggakan diri atau suku), ( kepahlawanan), ( puji-pujian), (rasa putus asa, penyesalan, dan kesedihan), ( kebencian dan olok-olok), ( tentang keadaan alam), ( tentang wanita), ( permintaan maaf). Setelah Islam datang, tidak berarti bahwa puisi-puisi menjadi dilarang. Islam datang untuk memelihara yang sudah baik, memperbaiki yang kurang baik, menghilangkan yang buruk-buruk saja, dan melengkapi yang masih lowong. Tentang puisi, Nabi bersabda,( Sesungguhnya diantara puisi itu terdapat hikmah). Ketika Hasan ibn Tsabit ( ) mengajak untuk mencemooh musuh - musuh Islam, Nabi berkata, ( Cemoohlah mereka, Jibril bersamamu). Nabi pernah memuji puisi Umayyah ibn Abu Shalti, seorang penyair jahiliyah yang menjauhi khamr dan berhala. Nabi juga pernah memuji puisi Al-Khansa, seorang wanita penyair zaman jahiliyyah. Bahkan, Nabi pernah menghadiahkan burdah (gamis)-nya kepadaKaab ibn Zuhair saat Kaab membacakan qasidahnya yang berjudul . Karena itu, muncullah apa yang disebut dengan Qasidah Burdah. Di masa permulaan Islam ini, berkembang pula genre pidato dan surat korespondensi. Surat-surat pada mulanya dibuat oleh Nabi untuk menyeru raja-raja di sekitar Arab agar masuk Islam. Pada masa Bani Umayyah, muncul tema-tema politik dan polemiknya sebagai dampak dari ramainya pergelutan politik dan aliran keagamaan. Namun, pada masa ini Islam juga mencapai prestasi pembebasan ( )yang luar biasa, sehingga banyak memunculkan ( Puisi Pembebasan dan Dakwah Islam). Para penyair yang terkenal pada masa ini antara lain Dzur17

Rimah, Farazdaq, Jarir, Akhtal, dan Qais ibn Al-Mulawwih (terkenal dengan sebutan Majnun Laila). Pada zaman Bani Abbasiyah, surat menyurat menjadi semakin penting dalam rangka penyelenggaraan sistem pemerintahan yang semakin kompleks. Dalam genre prosa, muncul prosa pembaruan ( ) yang ditokohi oleh Abdullah ibn Muqaffa dan juga prosa lirik yang ditokohi oleh antara lain AlJahizh. Salah satu prosa terkenal dari masa ini ialah Kisah Seribu Satu Malam ( .) Dalam dunia puisi juga muncul puisi pembaruan yang ditokohi oleh antara lain Abu Nuwas dan Abul Atahiyah. Masa Bani Abbasiyah sering disebut-sebut sebagai Masa Keemasan Sastra Arab. Karena Islam juga eksis di Andalusia (Spanyol), maka tidak ayal lagi kesusastraan Arab juga berkembang disana. Pada zaman Harun Al-Rasyid, berdiri Biro Penerjemahan Darul Hikmah. Namun hal lain yang perlu dicatat ialah bahwa pada masa ini banyak terjadi kekeliruan berbahasa di tengah masyarakat akibat pergumulan yang kuat bangsa Arab dengan bangsa ajam (non Arab). Setelah melewati Masa Keemasan, kesusastraan Arab kemudian memasuki masa kemunduran, yang sering juga disebut sebagai zaman pertengahan, zaman Mamluk, atau zaman Turki. Secara umum kemunduran ini disebabkan oleh mulai timbulnya instabilitas politik. Bahasa Arab saat itu bahkan bisa dikatakan telah hancur dihadapan bahasa resmi, Turki. Meski namanya zaman kemunduran, namun tidak sedikit para sastrawan ternama muncul pada masa ini. Menjelang zaman modern, sastra Arab mulai dihadapkan dengan sastra Barat. Dalam hal ini, terdapat dua aliran utama. Pertama, aliran konservatif ( ,)yakni mereka yang masih memegang kaidah puisi Arab secara kuat. Mereka itu antara lain Mahmud Al-Barudi dan Ahmad Syauqi. Yang terakhir disebut ini sering dikenal dengan sebutan ( Pangeran Para Penyair) dan Poet of Court (Penyair Istana). Disamping itu terdapat pula Hafizh Ibrahim yang dikenal dengan sebutan Poet of People (Penyair Rakyat). Aliran yang kedua ialah aliran modernis ( ,)yakni mereka yang ingin lepas dari kaidah dan gaya tradisional serta sangat terpengaruh oleh sastra Barat.18

Demikianlah potret sekilas sastra Arab dalam periode sejarahnya. Oleh karena sifatnya hanya tinjauan sekilas untuk mengetahui kedudukan sastra Arab maka tentu nampak meloncat-loncat. Penulis sangat menyadari itu dan tentunya akan berusaha lebih giat untuk memperbaiki kekurangan tersebut di waktu yang akan datang.

19

Daftar Pustaka Achmad, Bahrudin , 2011, Sejarah Kesusasteraan Arab Jahiliyah, Bekasi: ebook copyright. Al-Iskandari, Ahmad, 1916, Al-Wasith Fi al-Adab al-Arabiy wa Tarikh, Mesir: Daar al-Maarif. Al-muhdar, Ali Yunus & H. Bey Arifin, 1983, Sejarah Kesusasteraan Arab, Surabaya: PT. Bumi Ilmu. Al-Syanty, Muhammad Salih, 1992, Al- Adab Al-Araby Al- Hadis, Saud Arabiya: Dar al-Tibaah wa al-Nasyr al-Islamiyah. Al-Tunjy, Muhammad,1993 Al-Mujam Al-Mufassal fi Al- Adab I & II, Beirut: Dar al Kutub al-Ilmiyah. A teeuw, 1984, Sastra dan Ilmu Sastra: Pengantar Teori sastra ,Jakarta:DuniaPustaka Jaya. B. P. Situmorang, 1983, Puisi; Teori Apresiasi Bentuk Dan struktur, Ende-Flores : Penerbit Nusa Indah. Bunyamin, Bachrum, 2003, Diktat Kuliah Sastra Arab Jahiliyyah, Yogyakarta: Jurusan Bahasa dan Sastra Arab Fakultas Adab UIN Sunan Kalijaga. Al-Quran & terjemahannya, 1971, Yayasan Penterjemahan dan Penafsiran AlQuran. Dawud, Anis. 1967. Al-Tajdid fi Syir Al-Mahjar. Mesir : Dar al Katib al Arabyli al Tibaah wa al Nasyr,1967). Djoko Pradopo, Rahmat, 1994, Prinsip Kritik Sastra, Yogyakarta. Gajah Mada University Prees. Drs. Aminuddin, MPd, 1987, Pengantar Apresiasi Karya Sastra , Bandung:C.V. Sinar Baru. Harimurti Kridalaksana, 2008, Kamus Linguistik, Utama. Jakarta: Gramedia Pustaka

20

Jamiat al-Imam Muhammad ibn Suud al-Islamiyyah,1993, Al-Adab, Riyadh: Jamiat al-Imam Muhammad ibn Suud al-Islamiyyah. Kahil,Ahmad Hasan, 1953, Tarikh al-Adab al-Arabiy Juz 1 fi al-Ashr al-Jahiliy, Mekkah: Al-Maarif As-Suudiyyah. Majdi Wahbah dan Kamil al-Muhandis, 1984 Mujam Al-mustholat Al-Arabiyah fi Al-Lughah wa Al-Adab. Beirut: maktabati Lubnan, 1984. Wellek, Rene dan Waren, Austin, Penerjemah: Melani Budianta, 1989, Teori Kesusastraan, Jakarta: PT. Gramedia. Zainuddin, 1992, Materi Pokok Bahasa dan Sastra Indonesia, Jakarta: Rineka Cipta.

21