kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim...
-
Upload
sara-sahrazad -
Category
Documents
-
view
412 -
download
1
description
Transcript of kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan di indonesia oleh Dr.Suparman Ibrahim...
KESENJANGAN ANTARA HASIL PENDIDIKAN
TINGGI DAN JABATAN DI INDONESIA
(Data SP80 dan SP90)
SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH
Disertasi Ditulis Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Dalam
Mendapatkan Gelar Doktor Kependidikan
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN JAKARTA
1995
ABSTRAK
SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH, Kesenjangan Antara Hasil Pendidikan
Tinggi dan Jabatan di Indonesia( Data SP80 dan SP90).
Disertasi. Jakarta: Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta, Agustus 1995.
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara hasil
pendidikan dan jenis pekerjaan di Indonesia, pada jenjang pendidikan tinggi.
Kesenjangan yang dimaksudkan adalah kesenjangan antara jurusan pendidikan
kepada jenjang yang ditamatkan minimal S1 dengan jenis/jabatan pekerjaan yang
ditekuni di Indonesia berdasarkan data Sensus Penduduk tahun 1980 dan data Sensus
Penduduk tahun 1990.
Metode penelitian yang digunakan adalah metode kuantitatif dengan
menggunakan data tape dari Biro Pusat Statistik (BPS). Penelitian dilakukan dengan
langkah-langkah sebagai berikut; (1) mengkaji konsep dan definisi kesenjangan
antara jurusan pendidikan tinggi dan jenis/jabatan pekerjaan serta kaitannya dengan
pembangunan eknomi, sosial, dan kependudukan/demografi; (2) mengkaji
ketersediaan data secara nasional di Indonesia yang ada di BPS; (3) menyelaraskan
konsep kesenjangan dengan ketersediaan data; (4) melakukan pengolahan dan analisis
data.
Penelitian ini menunjukkan bahwa kesenjangan jurusan pendidikan tinggi
dengan jenis/jabatan pekerjaan menunjukkan adanya penurunan dari 91,3 persen pada
tahun 1980 menjadi 77,7 persen pada tahun 1990.
Hipotesis adanya asosiasi antara variabel ekonomi, sosial, demografi, dan
interaksinya dengan kesenjangan yang terjadi sementara bisa diterima. Lebih lanjut,
hasil ini memberikan indikasi bahwa kesenjangan yang terjadi selama PJP I yang
digambarkan pada data tahun 1980 dan data 1990 di Indonesia mempunyai kaitan erat
dengan perkembangan pembangunan nasional. Secara khusus mempunyai kaitan
dengan berbagai perkembangan prioritas pembangunan di Indonesia dapat dinyatakan
dalam Trilogi Pembangunan yang pada awalnya pada prioritas dengan urutan (1)
i
stabilitas, (2) pertumbuhan ekonomi, dan (3) pemerataan, menjadi (1) pertumbuhan,
(2) pemerataan, dan (3) stabilitas.
Pembangunan nasional pada PJP II, mulai dicanangkan program Link and
Match yang secara teoritis biasa disebut relevansi antara hasil/keluaran sistem
pendidikan dengan kebutuhan industri. Hal ini akan terwujud apabila pendekatan
pembangunan pendidikan yang direncanakan secara terpadu bisa dilaksanakan secara
berkesinambungan.
ii
ABSTRACT
SUPARMAN IBRAHIM ABDULLAH. Mismatch Between Field of Study in Higher
Education and Occupation in Indonesia (Population Census Data 1980 and 1990).
Dissertation. Jakarta: Program of Graduate Studies, IKIP Jakarta, Augusts 1995.
The aim of this dissertation is to analyze the mismatch between the field of
study of graduates in higher education and their subsequent occupation. The
definition of mismatch is based on the mismatch between Indonesia graduate level
education, at least at least at the S1 level and the occupation the graduate
subsequently hold in accordance to the 1980, and 1990 Population Census.
The study employed quantitative methods using the census data tape from the
Central Bureau of Statistics. The following steps were taken (1) exploring the concept
and the definition of mismatch between the field of study in higher education and
their subsequent occupation, according to socio-economic-demographic patters; (2)
assessing the national Population Census 1980 and 1990 data available in the CBS;
(3) application of the concepts defined of mismatch above with the data available;
and (4) data processing and analysis.
The results showed that there has been a significant decline in the degree of
mismatch from 91.3 percent in 1980 to 77.7 percent in 1990.
The hypothesis stipulating association between socio-economic-demographic
variables and interaction in relation to the mismatch is temporarily acceptable.
Furthermore, it indicates that the mismatch which occurred during the First Long-
term Development as stated in the 1980 and 1990 data is strongly related to
Indonesia’s national development. In particular, it relates to the shifting of priorities
of the National development as stated in Trilogi Pembangunan from the (1) stability,
(2) growth, and (3) equity to (1) growth, (2) equity, and (3) stability.
National development in PJP II, has launched a program called Link and Match
which is theoretically known as the relevance between the output of the education
iii
system and industrial requirements. This can be achieved successfully through an
integratedly planned approach of development education which is continuously
implemented.
iv
PERSETUJUAN KOMISI PROMOTOR
Nama
Tanda Tangan Tanggal
Prof. Dr. A.O.B. Situmorang, M.A
(Ketua)
__________
_______
Prof. Dr. Kartomo Wirosuhardjo, M.A.
(Anggota)
__________
_______
Prof. Dr. I Gusti Ngurah Agung, M.St, M.Sc.
(Anggota)
__________
_______
PERSETUJUAN PANITIA UJIAN DOKTOR
Nama
Tanda Tangan Tanggal
Dr. Anna Suhaenah Suparno M.Pd. 1)
(Ketua)
__________
_______
Prof. Dr. A.O.B. Situmorang, M.A. 2)
(Sekretaris)
__________
_______
Tanggal Lulus : ________________
No.Registrasi: 7017902955
1). Rektor IKIP Jakarta
2). Direktur PPS IKIP Jakarta
v
KATA PENGANTAR
Penulis panjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, bahwa
dengan rahmat, taufik, hidayah, dan inayahnya penulis bisa menyelesaikan tugas
penyusunan disertasi ini.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya
kepada Komisi Promotor, yaitu Prof.DR.A.O.B. Situmorang, M.A., Prof.DR.
Kartomo Wirosuhardjo, M.Sc., dan Prof.DR. I Gusti Ngurah Agung, M.St, M.Sc. atas
bimbingannya sehingga tugas penyusunan disertasi ini bisa penulis rampungkan.
Kepada Direktur dan Asisten Direktur I Program Pasca Sarjana IKIP Jakarta,
penulis sampaikan terima kasih yang tulus atas dorongan dan perhatiannya, sehingga
penulis bisa menyelesaikan tugas ini.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya juga
disampaikan kepada Ketua dan Sekretaris Panitia Ujian ialah Rektor IKIP Jakarta dan
Direktur PPS IKIP Jakarta. Kepada para anggota penguji Prof. Dr.A.O.B.
Situmorang, M.A., Prof. Dr. Toeti Soekamto, M.Pd., Prof. DR. Kartomo
Wirosuhardjo, M.A., Prof. DR.I Gusti Ngurah Agung, M.St.M.Sc., Dr. Anna
Suhaenah Suparno, Dr. ies Pongtuluran, dan Dr. Arief S. Sadiman, juga kami
ucapkan terima kasih yang tulus sehingga ujian dapat dilaksanakan.
Ucapan terima kasih yang tulus dan penghargaan yang setinggi-tingginya
disampaikan kepada Puslit Pranata Pembangunan, Lembaga Penelitian, Universitas
Indonesia yang telah memberikan izin belajar serta menggunakan berbagai fasilitas
komputasi hingga tugas ini selesai. Kepada istri tercinta Siti Hasanah, dan kedua
PUTRI SAYA Maria Cleopatra dan Sara Sahrazad juga diucapkan banyak terima
kasih atas dorongannya hingga pekerjaan ini selesai.
Ucapan terima kasih disampaikan kepada semua fihak yang telah membantu,
sehingga tugas penyusunan disertasi ini bisa penulis selesaikan.
Suparman, IA
vi
DAFTAR ISI
Halaman
ABSTRAK ……………………………………………………………….. i
ABSTRACT …………………………………………………………......... iii
PERSETUJUAN KOMISI PROMOTOR ………………………………… v
KATA PENGANTAR ……………………………………………………. vi
DAFTAR ISI …………………………………………………………....... vii
DAFTAR TABEL ……………………………………………………….. x
DAFTAR GAMBAR ..…………………………………………………… xi
DAFTAR LAMPIRAN …………………………………………………… xii
BAB I. PENDAHULUAN DAN PERUMUSAN MASALAH ……….
1
A. Latar Belakang Masalah………………………………… 1
B. Identifikasi Masalah…………………………………….. 13
C. Pembatasan Masalah……………………………………. 20
D. Perumusan Masalah.......................................................... 21
E. Tujuan Penelitian............................................................... 22
F. Kegunaan Penelitian......................................................... 22
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN
PENGAJUAN HIPOTESIS .....................................................
23
A. Deskripsi Teoritis ………………………………………. 23
1. Kebijaksanaan Relevansi.............................................. 33
2. Uraian Teori …………………………………………. 37
vii
3. Kesenjangan atau Mismatch ………………………… 42
B. Hasil-hasil Penelitian yang relevan.................................. 44
C. Kerangka Berfikir ……………………………………… 46
D. Hipotesis ………………………………………………..
48
BAB III. METODOLOGI PENELITIAN …………………………….
49
A. Tujuan Penelitian ……………………………………... 49
B. Tempat dan Waktu Penelitian ………………………... 49
C. Metode Penelitian …………………………………….. 49
D. Teknik Pengambilan Contoh …………………………. 50
E. Instrumen Penelitian ………………………………….. 51
F. Pengolahan dan Analisis Data ………………………… 52
G. Pengertian Dasar Beberapa Istilah ……………………. 61
BAB IV HASIL PENELITIAN ……………………………………….
63
A. Deskripsi Data ………………………………………… 63
1. Jurusan pendidikan responden ……………………... 63
2. Kegiatan ekonomi ………………………………….. 65
3. Jabatan …………………………………………........ 65
4. Sosial ……………………………………………….. 66
5. Ekonomi ……………………………………………. 67
6. Demografi ………………………………………….. 68
B. Kesenjangan …………………………………………... 69
C. Pengujian Hipotesis …………………………………… 71
1. Distribusi responden ……………………………….. 71
2. Deskripsi kesenjangan ……………………………… 77
viii
3. Pengujian hipotesis ………………………………… 96
D. Diskusi Hasil …………………………………………. 112
1. Diskusi …………….......…………………………… 112
2. Keterbatasan .......………………………………….. 114
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………..
119
A. Kesimpulan …………………………………………… 119
B. Implikasi Hasil Penelitian …………………………….. 124
C. Saran-saran ……………………………………………. 127
DAFTAR PUSTAKA …………………………………………………….. 134
LAMPIRAN
ix
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1.1. Proporsi biaya Pendidikan Terhadap GNP Tahun
1980-an dan 1992
15
Tabel 1.2. Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi (APPT)
Berbagai Negara (1986-87) dan Indonesia (1992)
16
Tabel 2.1. Distribusi Hasil Pendidikan Tinggi Tahun 1994
dan Proyeksinya tahun 1994 Dan 2018 menurut
Kelompok Jurusan
29
Tabel 2.2. Proyeksi Lulusan Sarjana menurut PTN Dan PTS
(Ribu Orang)
30
Tabel 2.3. Kebutuhan Tambahan Tenaga So keatas Repelita
V – X (Orang)
31
Tabel 2.4. Konsistensi antara Reformasi Pendidikan dan
Reformasi dua jenis Dunia Kerja
34
Tabel 3.1. Daftar Variabel dan kategorinya dalam Penelitian 59
Tabel 4.1. Distribusi persentase sarjana yang bekerja
menurut Variabel-variabel dalam penelitian,
Sensus Penduduk, dan Kategori jawaban
73
Tabel 4.2. Perbandingan Uji Statistik tahun 1980-1990 105
x
DAFTAR GAMBAR Halaman
Gambar 1.1. Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat
Tinggi di Dunia Kerja/Industri
3
Gambar 1.2. Pendidikan dan Berbagai Kebutuhan 7
Gambar 1.3. Link & Match Proses dan Hasil Pendidikan 8
Gambar 1.4. Prinsip Korespondensi Antara Luaran
Pendidikan Formal dengan Luaran Proses
Sosial, Ekonomi, dan Politik
10
Gambar 1.5. Hubungan antara Polity, Keluarga, Sekolah
dan Pekerjaan
11
Gambar 2.1. Pendidikan dan Pembangunan dalam rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia
26
Gambar 2.2 Sistem Pendidikan Nasional 36
Gambar 2.3 Kerangka Pikir faktor-faktor yang Berasosiasi
dengan Kesenjangan.
47
Gambar 4.1 Urutan derajat pengaruh/asosiasi Sembilan
variabel dependen terhadap derajat
kesenjangan Dari tahun 1980 hingga tahun
1990.
78
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN DAN PERUMUSAN MASALAH
A. Latar Belakang Masalah
Undang-Undang nomor 2 tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional
mencantumkan fungsi dan tujuan pendidikan nasional secara berurutan pada Pasal 3
dan Pasal 4 sebagai berikut:
Pendidikan Nasional berfungsi untuk mengembangkan kemampuan serta
meningkatkan mutu kehidupan dan martabat manusia Indonesia dalam
rangka upaya tujuan nasional.
Pendidikan Nasional bertujuan mencerdaskan kehidupan bangsa dan
mengambangkan manusia Indonesia seutuhnya, yaitu manusia yang beriman
dan bertaqwa terhadap Tuhan Yang Maha Esa dan berbudi pekerti luhur,
memiliki pengetahuan dan ketrampilan, kesehatan jasmani dan rohani,
kepribadian yang mantap dan mandiri serta rasa tanggung jawab
kemasyarakatan dan kebangsaan.
Dalam GBHN 1993 sektor pendidikan butir d, disebutkan:
Pendidikan nasional dikembangkan secara terpadu dan serasi baik antar
berbagai jalur, jenis dan jenjang pendidikan maupun antar sektor pendidikan
dengan sektor pembangunan lainnya serta antar daerah. Masyarakat sebagai
mitra pemerintah berkesempatan seluas-luasnya untuk berperan serta dalam
penyelenggaraan pendidikan nasional (hal.13).
2
Kualitas pendidikan perlu disesuaikan dengan kemajuan ilmu pengetahuan
dan teknologi serta tuntutan perkembangan pembangunan. Perlu pula terus
dikembangkan kerja sama antara dunia pendidikan dengan dunia usaha
dalam rangka pendidikan dan pelatihan untuk pemenuhan kebutuhan tenaga
yang cakap dan terampil bagi pembangunan sehingga tercipta keterpaduan
dengan perencanaan tenaga kerja nasional (hal. 13).
Selanjutnya dalam GBHN 1993 sektor pendidikan butir i. antara lain
disebutkan:
Pendidikan tinggi harus terus dibina dan dikembanhgkan untuk menyiapkan
peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan
kepemimpinan yang tanggap terhadap pengetahuan dan teknologi. Disamping
itu , pendidikan tinggi juga harus mampu melahirkan manusia yang berjiwa
penuh pengabdian, dan memiliki rasa tanggung jawab yang besar terhadap
masa depan bangsa dan negara (hal. 14).
Djojonegoro (1994e) menguraikan bahwa upaya peningkatan kualitas sumber
daya manusia hanya dapat dilakukan apabila mutu pendidikan relevan dan bermutu
tinggi. Sehubungan dengan itu, Depdikbud memberikan penekanan yang sangat
khusus pada peningkatan mutu dan relevansi pendidikan dengan maksud agar sistem
pendidikan tetap serasi dan selaras dengan kebutuhan pembangunan, khususnya
menghadapi era industrialisasi masyarakat Indonesia. Mutu dan relevansi pendidikan
dapat diukur dengan pertanyaan sejauh mana para lulusan pendidikan memperoleh
pekerjaan sesuai dengan bidang ilmu yang selama ini dipelajarinya. Pendekatan ini
pada gilirannya akan memberikan arahan mengenai jenis keahlian yang perlu
dikembangkan, dan jenis-jenis keahlian yang perlu dikendalikan pertumbuhannya.
3
Relevansi pendidikan tersebut sudah merupakan salah satu tema pembangunan
pendidikan sejak Repelita I, yang dapat diartikan dengan “kesesuaian antara
pendidikan dengan kebutuhan pembangunan”. Tema tersebut terus digunakan dari
Repelita ke Repelita seolah-olah sudah melekat di dalam pembangunan nasional
sektor pendidikan (Enoch, 1992; Thomas, 1973; Atmakusuma, A., Teken, I.G.B,
Soehardjo, A. and Asngari, P.S. 1974; Shaeffer, 1990).
Notodihardjo (1990) menunjukkan bahwa tahun 1981 program-program
pendidikan tinggi juga diarahkan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan nasional
dan tidak hanya ditujukan untuk perbaikan pendidikan tinggi saja. Salah satu program
utama DIKTI pada waktu itu adalah peningkatan efisiensi eksternal pendidikan, dan
salah satu program utamanya adalah program peningkatan Relevansi Pendidikan.
Formulasi pemikiran yang diajukan oleh Notodihardjo adalah bagaimana
sebenarnya pandangan dan harapan mahasiswa, lulusan dan pengguna lulusan
perguruan tinggi tentang kaitan antara pendidikan tinggi dan tenaga kerja tingkat
tinggi. Formulasi keterkaitan ini disajikan dalam model pada Gambar 1.1 di bawah
ini.
Gambar 1.1 Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi
di Dunia Kerja / Industri
SISTEM
PENDIDIKAN TINGGI
SISTEM
DUNIA KERJA
Sumber: Notodihardjo. (1990). Pendidikan Tinggi dan Tenaga Kerja Tingkat Tinggi
di Indonesia: Studi Tentang Kaitan Antara Perguruan Tinggi dan Industri di Jawa. p. 5
4
Pada waktu itu antara lain ditemukan bahwa dorongan melanjutkan studi di
perguruan tinggi secara umum atas pertimbangan yang bersifat sosial-ekonomis, dan
diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai di masyarakat. Selanjutnya
dikatakan bahwa mahasiswa perguruan tinggi mengharapkan bekerja secara tetap
sesuai dengan bidang studi (jurusan) yang dipelajari di perguruan tinggi. Kebanyakan
pada waktu itu tahun 1981 ingin bekerja di sektor pemerintahan. Diperkirakan pada
saat ini, ada perubahan para mahasiswa perguruan tinggi tentang keinginannya untuk
bekerja di sektor mana. Namun mengenai jabatan atau diperkirakan tidak berubah,
khususnya keinginan atau harapan untuk bekerja pada jabatan (okupasi) yang sesuai
dengan bidang/jurusan studinya.
Tema relevansi telah dijabarkan lebih jelas untuk memperkecil ketidakpastian
dan sekaligus menjadikan istilah “Relevansi Pendidikan” tidak bersifat retorika
semata-mata. Essensi relevansi adalah link and match. Keterkaitan dan kesepadanan
(link and match) atau kesesuaian antara hasil pendidikan dan dunia kerja, tersurat
pada kata kunci (GBHN, 1993) pendidikan nasional perlu dilakukan secara lebih
terpadu dan serasi, baik antara sektor pendidikan dan sektor pembangunan lainnya,
antara daerah maupun antara berbagai jenjang dan jenis pendidikan.
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1994) telah menetapkan empat
kebijaksanaan pokok dalam bidang pendidikan, yaitu (1) pemerataan dan kesempatan,
(2) relevansi pendidikan dengan pembangunan, (3) kualitas pendidikan, dan (4)
efisiensi pendidikan.
Pemerataan diprioritaskan melalui wajib belajar sembilan tahun, kemudian
relevansi pada prinsipnya adalah link and match. Selanjutnya Djojonegoro (1994d)
5
menjelaskan tentang kebijaksanaan meningkatkan kualitas dan efisiensi hasil
pendidikan. Diuraikan bahwa hasil suatu pendidikan disebut berkualitas jika
mempunyai salah satu ciri berikut. Pertama peserta didik mempunyai kemampuan
yang tinggi terhadap tugas-tugas belajar (learning task) yang harus dikuasainya
sesuai dengan tujuan dan sasaran pendidikan, di antaranya hasil belajar akademik
yang dinyatakan dalam prestasi belajar (kualitas internal). Kedua hasil pendidikan
sesuai dengan kebutuhan peserta didik bukan hanya mengetahui sesuatu, melainkan
dapat melakukan sesuatu yang fungsional untuk kehidupannya (learning and
earning). Ketiga hasil pendidikan sesuai atau relevan dengan tuntutan lingkungan
juga khususnya dunia kerja. Dari segi ini, maka relevansi merupkana salah satu aspek
atau indikator dari kualitas.
Selanjutnya efisiensi secara konvensional diartikan makin rendah biaya yang
diperlukan dan makin maksimal hasil yang dicapai, maka berarti makin tinggi
efisiensi. Dalam pandangan kontemporer efisiensi bukan hanya biaya yang menjadi
ukurannya, tetapi justru keefektifan atau kualitas hasil. Dalam konteks yang luas
efisensi berkaitan dengan profesionalisme dalam manajemen pendidikan yang di
dalamnya terkandung disiplin, kesetiaan, keahlian, etos kerja, cost effectiveness, dan
lain-lain. Implikasi lanjutnya, untuk meningkatkan efisiensi perlu dikembangkan
kebijakan yang memungkinkan efisiensi diwujudkan, antara lain: reorganisasi dan
desentralisasi sehingga sumber daya pendidikan (yang tersebar di seluruh Indonesia)
dapat dimanfaatkan secara maksimal.
Selanjutnya empat pokok kebijaksanaan, prioritas perguruan tinggi adalah
relevansi pendidikan dengan pembangunan, yang dalam langkah pelaksanaannya
6
dikenal dengan kebijakan keterkaitan dan kesepadanan (link and match). Dalam
menciptakan keterkaitan dan kesepadanan atau link and match, perguruan tinggi
diharapkan mengadakan dialog atau tukar pikiran yang lebih intensif dengan berbagai
pihak, baik instansi pemerintah maupun swasta, dunia usaha, pertanian, industri, dan
masyarakat pada umumnya. Dengan dialog tersebut dapat diketahui berbagai
pendapat, aspirasi, maupun keinginan masyarakat, kemudian merumuskan berbagai
kebijaksanaan, perencanaan dan pelaksanaan program pendidikannya yang sesuai
dengan aspirasi tersebut.
Dengan demikian link and match berarti mendekatkan perguruan dengan
masyarakat dan daerah, baik aspirasi maupun kebutuhannya, serta membantu
masyarakat dengan memanfaatkan kepakaran dan kemampuan perguruan tinggi.
Hanya dengan pengetahuan yang mendalam tentang apa yang dibutuhkan
pembangunan dan mengaitkan berbagai upaya pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan tersebut, pendidikan akan dapat lebih mencapai hasil sesuai dengan
misi dan fungsinya.
Djojonegoro (1994f) menjelaskan konsep relevansi atau link and match
sebagai berikut. Kebijakan ini dikembangkan dengan maksud untuk meningkatkan
keterkaitan antara pendidikan dengan dunia pembangunan. Link secara harfiah berarti
bertautan, keterkaitan, atau hubungan interaktif, dan match berarti kecocokan. Pada
dasarnya, link and match merujuk pada kebutuhan (need, demands). Kebutuhan
dalam pembangunan sangat luas, bersifat multidimensional, dan multisektoral, mulai
dari kebutuhan peserta didik sendiri, kebutuhan keluarganya, kebutuhan untuk
7
pembinaan warga masyarakat dan warga negara yang baik, dan sampai ke kebutuhan
dunia kerja (Gambar 1.2).
Dari perspektif ini link menunjukkan pada proses, yang berarti bahwa proses
pendidikan selayaknya sesuai dengan kebutuhan pembangunan, sehingga hasilnya
cocok (match) dengan kebutuhan, baik dari segi jumlah, mutu, jenis, kualifikasi, dan
waktu. Jadi pada prinsipnya konsep link and match adalah supply-demands dalam arti
luas, yaitu dunia pendidikan sebagai penyiap SDM dan individu, masyarakat, serta
dunia kerja sebagai pihak yang membutuhkan (Gambar 1.3).
Gambar 1.2 Pendidikan dan Berbagai Kebutuhan
Kebutuhan Pribadi/Individu Kebutuhan Keluarga Dunia Pendidikan Kebutuhan Bangsa Dan Masyarakat Kebutuhan dunia kerja/usaha Sumber: Djojonegoro, W (1994f). Pendidikan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui
Sistem Pendidikan. Dalam Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: I I A Januari – Juni 1994. Jakarta: DEPDIKBUD (Makalah disampaikan Raker Teknis Golkar Korbid Umum dan Hukum DPP Golkar, Jakarta 9 Juni 1994), p.522.
8
Gambar 1.3 Link & Match Proses dan Hasil Pendidikan
Sarana & Prasarana
Masukan Proses (Peserta Didik) Belajar Mengajar Hasil Lulusan
Sumber Daya Manusia Kebutuhan-kebutuhan
LINK MATCH
Sumber: Djojonegoro, W (1994f). Pendidikan Kualitas Sumber Daya Manusia Melalui Sistem Pendidikan. Dalam Kumpulan Pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: I I A Januari – Juni 1994. Jakarta: DEPDIKBUD (Makalah disampaikan Raker Teknis Golkar Korbid Umum dan Hukum DPP Golkar, Jakarta 9 Juni 1994), p.522.
Selanjutnya dikatakan bahwa ada derajat link and match menurut jenjang dan
jenis pendidikan. Pada pendidikan dasar idealnya mempunyai derajat yang rendah,
menengah cukup, pendidikan tinggi akademik mempunyai derajat yang cukup, dan
pendidikan tinggi profesional mempunyai derajat yang tinggi.
Selanjutnya Levin (1976) juga menguraikan keterkaitan dinamis antara sektor
pendidikan dengan sektor-sektor lainnya yang disebut prinsip korespondensi yang
sebenarnya juga merupakan prinsip relevansi atau link and match. Dikatakan bahwa
segala kegiatan dan proses di sektor pendidikan mempunyai kaitan langsung dengan
keadaan masyarakat umum yang bersangkutan, termasuk masalah sosial, ekonomi,
politik. Salah satu contoh prinsip korespondensi antara sekolah dan tatatan sosial,
9
ekonomi, politik adalah proses pendidikan dimana peserta didik akan mencapai
tingkat kompetensi yang sesuai dengan kehidupannya (Zaltman, et al., 1977).
Hubungan di atas secara sederhana diajukan oleh Levin seperti dalam Gambar 1.4 di
bawah ini. Selanjutnya prinsip korespondensi dari Levin (1976) melalui Gambar 1.4
tersebut dijelaskan sebagai berikut:
The activities and outcomes of the edicational sector correspons to those of
the society generally. That is, all edicational systems represent an attempt to serve
their respective sociseties such that the social, economic, and political relationships
of the educational sector will mirror closely those of the society of which they are a
part. Educational outcomes are produced in line with desired social, economic, and
political outcomes through educational resources, the schools’ budget, and the
educational processes taking place in the schools themselves (pp.10).
10
Gambar 1.4 Prinsip Korenspondensi Antara
Luaran Pendidikan Sekolah dengan Luaran Proses Sosial, Ekonomi, dan Politik
EXTERNAL
INFLUENCES
POLITY
BUDGET AND GOALS
EDUCATIONAL RESOURCE
EDUCATIONAL PROCESS
EDUCATIONAL OUTCOMES
SOCIAL, POLITICAL, ECONOMIC OUTCOMES
E D U C R A E T F I O O R N M A L
Sumber: H.M. Levin. (1976) Educational Reform: Its Meaning? Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limits of Educational Reform. New York: David McKay Company. Inc, p.31
11
Gambar 1.5 Hubungan antar Polity, Keluarga,
Sekolah, dan Pekerjaan
WORK
ORGANIZATION Demand for worker Worker traits INSTITUTION EDUCATIONAL EDUCATION VALUE, CULTURE, PROCESS OUTCOME POLITY AND OTHER YOUTH TRAITS Values
rules for success child (class orientation) bearing
FAMILY
Sumber: H.M. Levin (1976) A Taxonomy of Educational Reforms for Changes in the Nature Work. Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limits of Educational Reform. New York: David McKay Company. Inc.p.84.
Levin juga menjelaskan konsep demand and supply, atau kebutuhan dan hasil
pendidikan. Kebutuhan menurut Levin dikelompokkan menjadi dua, pertama
kebutuhan keluarga dan kedua kebutuhan dunia kerja. Konsep ini secara sederhana
disajikan pada Gambar 1.5 yang menunjukkan kaitan antara sistem sosial (lembaga,
nilai, budaya, dan tata kehidupan) dengan keluarga, sekolah, dan dunia kerja..
Sistem sosial memberikan pengaruh kepada dunia pekerjaan, keluarga, dan proses
pendidikan. Sistem sosial memberikan pengaruh kepada dunia kerja yang kemudian
menentukan kebutuhan tenaga kerja. Begitu pula sistem sosial memberikan warna
kepada keluarga dalam menentukan kebutuhan-kebutuhan yang diinginkan dengan
12
nilai-nilai sosial yang ada pada keluarga tersebut, secara bersama-sama kebutuhan-
kebutuhan dunia kerja menentukan proses pendidikan. Pada gilirannya proses
pendidikan memberikan hasil yang siap latih dan siap bekerja. Maka pada akhirnya
dunia kerja yang dihasilkan sebagaimana yang diharapkan, akan memperkuat sistem
sosial yang ada.
Jadi essensi reformasi pendidikan akan berhasil jika diiringi dengan tatanan
dunia kerja yang mendukungnya, atau sebaliknya. Di Indonesia, selama PJP I juga
telah mencanangkan empat kebijakan pembangunan pendidikan di atas, namun
pemerataan masih diutamakan bagi masyarakat banyak, sehingga kelompok
masyarakat pada umur pendidikan tinggi masih mengalami berbagai kendala. Begitu
pula kebijakan lainnya, tentang relevansi, walaupun telah dilakukan pengupayaannya
sejak lama, namun dari sisi permintaan dalam hal ini dunia kerja (sektor pembangunan
sosial-ekonomi-budaya termasuk dunia industri, perdagangan dan jasa) di Indonesia
berkembang sangat pesat. Khususnya di pendidikan tinggi walaupun berkembang
sangat pesat, namun diperkirakan pandangan masa depan calon peserta didik tidak
dibekali informasi kedepan, teapi pada informasi yang bersifat patroon-client, atau
panutan. Berkaitan dengan masalah kualitas, dan efisiensi di pendidikan tinggi
perintisan sistem akreditasi telah dimulai sejak lama, namun operasionalisasi pada saat
ini sedang dalam taraf uji coba.
13
B. Identifikasi Masalah
Selama Orde-Baru pemerintah Indonesia telah memprioritaskan pembangunan
ekonomi, dan dapat dirasakan secara nyata. Begitu pula pembangunan di sektor non
ekonomi yang tergabung dalam koordinasi Menko Kesra yang mencakup sepuluh
sektor ialah: agama, pendidikan, kebudayaan, Ilmu Pengetahuan dan penelitian,
kesehatan, kependudukan dan keluarga berencana, perumahan dan pemukiman,
kesejahteraan sosial, generasi muda, dan peranan wanita. Biro Pusat Statistik (1994)
dalam ulasan buku Indikator Kesejahteraan Rakyat, menunjukkan bahwa bidang
kesra secara nyata diwarnai oleh sektor kesehatan, kependudukan dan keluarga
berencana, perumahan dan pemukiman, kemudian peranan wanita. Sektor-sektor
kesra lainnya termasuk pendidikan masih merupakan kegiatan prioritas yang belum
nampak urutan keberhasilannya (BPS, 1994).
Beberapa masalah pokok pendidikan selama PJP I, diungkapkan oleh
Djojonegoro (1994c) antara lain:
(1) Belum semua program pendidikan berorientasi kepada kebutuhan pembangunan.
(2) Pada jenjang pendidikan tinggi masih terdapat keragaman kualitas yang luas
antara perguruan tinggi menurut lokasi geografis (kota besar, kota kecil, Jawa luar
Jawa) dan status (Negeri Swasta).
Khusus perguruan tinggi, penekanannya pada relevenasi pendidikan dengan
pembangunan, yang dalam langkah pelaksanaannya dikenal dengan kebijakan
keterkaitan dan kesepadanan (Link and Match). Bahkan setiap penyelenggaraan pasca
sarjana perlu benar-benar mengkaji kebutuhan masyarakat dan memproyeksikannya
14
dalam program-program yang benar-benar memenuhi kebutuhan pembangunan
nasional (Link and Match).
Djojonegoro (1994b) dalam tulisannya yang berjudul Kebijakan
Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan dan Implikasinya pada Sistem
Administrasi Negara, menguraikan bahwa essensi dari relevansi adalah link and
match antara pendidikan dan kebutuhan pembangunan. Khususnya dengan dunia
kerja atau dunia industri. Dalam konteks link and match relevansi lebih ditekankan
pada kebutuhan pembangunan dan kebutuhan dunia kerja. Untuk menciptakan link
and match antara dunia pendidikan dan dunia kerja/dunia usaha/industri diperlukan
usaha-usaha secara reciprocal antara kedua pihak. Dunia usaha/industri dituntut
untuk lebih membuka diri terhadap pendidikan, baik dalam arti sikap maupun
tindakan nyata termasuk menjadi tempat magang dan praktek lapangan bagi peserta
didik. Di pihak lain dunia pendidikan dituntut untuk melakukan konsolidasi mulai
tahap perencanaan sampai implementasi dan evaluasinya sehingga kebijakan ini
mempunyai arti yang maksimal, sesuai dengan tujuannya.
Perguruan tinggi merupakan institusi pendidikan pada tingkat tersier yang
diharapkan dapat menghasilkan manusia-manusia yang berkualitas tinggi karena di
banyak perguruan tinggi telah tersedia sarana dan prasarana yang mutakhir untuk
pengembangan IPTEK. Ketersediaan SDM yang mempunyai kualifikasi sesuai
dengan yang diperlukan merupakan modal utama dalam meningkatkan daya saing di
bidang teknologi.
Selanjutnya Bank Dunia (1994) membahas kendala dan tantangan pada
pendidikan tinggi. Dikatakan bahwa lembaga pendidikan tinggi mempunyai tanggung
15
jawab membina peserta didik agar mendapatkan pengetahuan yang cukup dan
ketrampilan tertentu untuk menduduki tanggung jawab tertentu pada pemerintahan,
dunia usaha, dan berbagai jabatan profesi. Begitu pula lembaga pendidikan tinggi
mempunyai tanggung jawab mengembangkan IPTEK melalui riset, alih teknologi,
adaptasi, dan desiminasi IPTEK, untuk mendukung berbagai program pembangunan
yang dilakukan oleh pemerintah. Oleh karenanya investasi pendidikan tinggi sangat
penting bagi pembangunan ekonomi sosial, namun selama ini dinilai dalam keadaan
yang sangat krisis.
Tabel 1.1
Proporsi biaya Pendidikan terhadap GNP tahun 180- an dan 1992
Negara 19980-1n 1992 Amerika Serikat 6,8 - Jepang 4,9 - Jerman 4,4 - Taiwan 5,5 - Korea 3,7 - Indonesia 1,0 3,1 Thailand - 3,6 Singapura - 4,8 Malaysia - 4,9
Sumber: Dirjen DKTI. (1994). Penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pada Forum
Dengar Pendapat Dengan Komisi X DPR-RI Tanggal 22 Februari 1994, mengenai Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan IPTEK. p.4
Hal ini karena investasi pendidikan tinggi di hampir semua negara sangat
tergantung kepada pemerintah. Sebagai gambaran proporsi biaya pendidikan secara
nasional terhadap GNP sebagaimana pada Tabel 1.1 menunjukkan bahwa Indonesia
16
mempunyai angka yang paling kecil. Tahun 1992 menunjukkan biaya pendidikan
sama dengan 3,1 persen dari GNP. Angka ini paling kecil di ASEAN pada tahun yang
sama, dan jauh di bawah Korea, Taiwan, Jepang tahun 1980-an.
Pengembangan pendidikan tinggi mempunyai korelasi dengan pembangunan eknomi,
hal ini ditunjukkan bahwa di negara maju angka partisipasi pendidikan tinggi (APPT)
sekitar 51 persen, kemudian di negara berkembang sekitar 21 persen, dan di negara
kurang berkembang hanya 6 persen.
Tabel 1.2 Angka Partisipasi Pendidikan Tinggi (APPT)
Berbagai Negara (1986-87 dan Indonesia 1992) __________________________________________________________________ Negara APPT (%) ________________________________________________________________________ Amerika Serikat 37 Jepang 25 Jerman 23 Australia 22 Taiwan 22 Korea 21 Indonesia 10 ________________________________________________________________________ Sumber: Dirjen DKTI. (1994). Penjelasan Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Pada Forum
Dengar Pendapat Dengan Komisi X DPR-RI Tanggal 22 Februari 1994, mengenai Pengembangan Sumber Daya Manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan IPTEK. p.4
Selanjutnya apabila dibandingkan dengan negara ASEAN, ternyata pada
tahun 1992 angka partisipasi pendidikan tinggi di Indonesia hanya 10 persen yang
diproyeksikan pada tahun 2018 mencapai 25 persen (Ditjen Dikti, 1994; GBHN,
1993; Pusinfot, 1995). Tahun 2018 angka ini baru akan sama dengan Jepang tahun
17
1986, atau pada tahun 2000 Indonesia akan sama dengan Korea, Taiwan, Australia
pada tahun 1986 (Tabel1.2).
Dirjen DIKTI (1994), dalam penjelasan pada Forum Dengar Pendapat dengan
Komisi X DPR-RI, tanggal 22 Febrauari 1994, mengenai pengembangan sumber
daya manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan penguasaan
IPTEK, menguraikan bahwa lulusan seluruh sistem pendidikan tinggi pada saat ini,
dengan jumlah mahasiswa sekitar 2,1 juta hanya sekitar 170.000 orang. Meskipun
terdapat peluang yang sangat besar untuk meningkatkan kualitas SDM bagi lulusan
pendidikan (PT), bukan berarti pasaran kerja juga telah siap untuk dapat menerima
peningkatan lulusan perguruan tinggi. Biro Pusat Statistik pada tahun 1990
mengungkapkan bahwa tingkat pengangguran lulusan PT mencapai 8,7 persen
dibandingkan dengan 0,9 persen bagi lulusan SD. Terjadinya pengangguran dan
kecilnya proporsi lulusan PT di angkatan kerja menunjukkan adanya ketidak sesuaian
antara kebutuhan tenaga kerja dengan hasil PT. Pada tahun 1992, jumlah lulusan
sarjana dan diploma sekitar 175.000 orang. Sebagian besar lulusan PT tersebut masih
didominasi bidang ilmu sosial (51%), diikuti bidang ilmu pendidikan (23,5%), bidang
teknik (14%), sedangkan 11,5 sisanya adalah lulusan bidang-bidang ilmu
kedokteran, pertanian dan ilmu-ilmu dasar. Pertanyaan yang timbul sebagai contoh di
bidang teknik adalah sampai berapa besar proporsi lulusan PT perlu ditingkatkan
untuk memenuhi pembangunan industri. Berbagai subsektor menyatakan sukarnya
memperoleh sarjana teknik yang diperlukan untuk memenuhi tingkat pengembangan
industrinya. Pengembangan direncanakan sangat pesat peningkatannya. Sebagai
contoh PLN, BUMN, dll yang pada akhirnya membutuhkan tambahan sarjana teknik
18
yang diperkirakan tidak akan tersedia cukup banyak sarjana teknik pada saat
dibutuhkan.
Selanjutnya Djojonegoro (1994) menguraikan bahwa ada tiga kecenderungan
besar yang telah dan akan mempengaruhi proses pembangunan nasional, yang
mempunyai implikasi terhadap program pembangunan sumber daya manusia.
Kecenderungan pertama makin dirasakan perlunya orientasi nilai tambah dalam
rangka meningkatkan produktivitas nasional dan pertumbuhan ekonomi sebagai
upaya memelihara dan meningkatkan pembangunan yang berkelanjutan.
Kecenderungan kedua transformasi dari masyarakat agraris ke masyarakat industri,
yang ditandai oleh berbagai perubahan fisik, pranata sosial dan pergeseran sistem
nilai. Kecenderungan ketiga adalah proses globalisasi yang penuh tantangan bagi
bangsa Indonesia. Negara yang unggul dalam bidang ekonomi serta bidang ilmu
pengetahuan dan teknologi yang akan dapat mengambil manfaat besar dari
globalisasi.
Sebagai ilustrasi misalnya, perlu ditinjau kembali seberapa jauh program dan
jurusan yang ada relevan dengan kebutuhan pembangunan dalam arti bahwa tenaga
yang dihasilkan dapat diserap oleh kegiatan perekonomian dan pembangunan, sejauh
mana penelitian yang dilakukan dapat memberi manfaat langsung pada
pembangunan, khususnya yang menyangkut perkembangan ekonomi daerah atau
wilayah setempat, dan sejauh mana program pengabdian masyarakat telah
menumbuhkan kepekaan sivitas akademik perguruan tinggi terhadap permasalahan
sosial-eknomi, seperti upaya pengentasan kemiskinan, pemberantasan buta huruf,
bantuan kepada sektor informal serta pengusaha kecil dan menengah.
19
Dari uraian di atas, dan selaras dengan model Levin (1976) maupun berbagai
penjelasan kebijakan pemerintah Indonesia dalam hal ini Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan, khususnya menyangkut pendidikan tinggi menunjukkan betapa
pentingnya pemecahan masalah relevansi hasil pendidikan tinggi dengan
pembangunan.
Dengan mengetahui ketidaksesuaian antara hasil pendidikan dengan
kebutuhan pembangunan dan berbagai proses pendidikan yang mengoptimalkan
derajat relevansi lebih lanjut melalui perencanaan pengembangan SDM dengan
mengkaitkan (link) proses pendidikan dan disepadankan (match) dengan kebutuhan
pembangunan dapat dirancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan
teknik instruksional (Miarso, 1989 p. 113; Holloway, 1984 p.2). Dengan perkataan
lain teknologi pendidikan ialah usaha memudahkan kegiatan belajar melalui
identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan pembangunan secara sistematis
segala sumber belajar termasuk pengelolaannya (Miarso 1989: p.11), maka tujuan
kebijakan relevansi dapat dicapai secara optimal.
Secara khusus pada pendidikan tinggi, masalah link and match antara jurusan
pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni merupakan bidang kajian yang sangat
penting agar bukan hanya masalah relevansi, tetapi juga menyangkut kebijakan
lainnya ialah kualitas, efisiensi, dan pemerataannya.
Penelitian ini secara khusus akan menganalisis relevansi atau link and match antara
jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan pekerjaan yang ditekuni. Penelitian
dilakukan pada periode PJP I, dengan menggunakan data-tape sensus penduduk tahun
1990 (SP80) dan sensus penduduk tahun 1990 (SP90) dengan segala keterbatasannya.
20
C. Pembatasan Masalah
Prioritas kebijakan pembangunan pendidikan tinggi di Indonesia adalah
relevansi antara hasil pendidikan tinggi dengan berbagai kebutuhan (pribadi/individu,
keluarga, bangsa dan masyarakat, dunia kerja/usaha), khususnya kebutuhan dunia
kerja/usaha.
Masalah kesenjangan antara pendidikan yang dicapai dan jabatan pekerjaan
(BPS dan Depnaker, 1982) yang ditekuni senantiasa dijumpai di berbagai kelompok
masyarakat, baik di negara maju maupun di negara berkembang.
Beberapa penelitian yang pernah dilakukan secara khusus antara lain, adalah
proyek P2I (Bappenas-Depnaker-Depdikbud-BPS, 1991), Mistmatch Between
Occupation & Education (RDCMI-YTKI dan ILO-ARTEP, 1989), dan beberapa
studi penelusuran (tracer study) yang pernah dilakukan tentang Studi Pelacakan
Lulusan Perguruan Tinggi (LD-FEUI, 1985). Penelitian-penelitian tersebut dilakukan
pada kelompok tertentu dan di propinsi tertentu. Metode pengumpulan datanya
menggunakan survei, pada populasi tertentu.
Penelitian ini menganalisis secara nasional tentang relevansi atau link and
match atau kesesuaian antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan yang ditekuni.
Karena hasil penelitian dirancang untuk memberikan masukan bagi para perencana
dalam merancang bagaimana (teknologi pendidikan) mengatasi masalah
ketidaksesuaian atau mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan yang
ditekuni, pada antisipasi PJP II, maka penekanan penelitian ini pada pengukuran
mismatch atau kesenjangan.
21
Penelitian kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan jabatan pada PJP I,
menggunakan data SP80 dan SP90. Kemudian spesifikasi pengukurannya dilakukan
kepada:
i) penduduk yang menamatkan pendidikan tertinggi pada jenjang S1, dengan
ii) jurusan pendidikan yang ditamatkan menurut klasifikasi International
Classification of Education (ISCED),
iii) jabatan pekerjaan menurut Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI), dan
iv) lapangan pekerjaan menurut klasifikasi lapangan Usaha Indonesia (KLUI)
D. Perumusan Masalah
Masalah yang akan diteliti dapat dirumuskan sebagai berikut:
i) Bagaimana perbedaan kesenjangan (jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan
pekerjaan yang ditekuni) antara kelompok jurusan, demikian juga antara
kelompok jabatan?
ii) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan
antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni?
iii) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara
hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni?
iv) Bagaimanakah asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan antara
hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni?
v) Bagaimana kesenjangan yang ada menurut berbagai dimensi: ekonomi,
demogrfi, dan sosial? Atau bagaimana secara multivariat asosiasi/pengaruh
22
faktor ekonomi, demografi, dan sosial, terhadap kesenjangan antara hasil
pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni?
vi) Sejauh mana penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan
jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan pada tahun
1980?
E. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara hasil
pendidikan dan jabatan pekerjaan di Indonesia, pada jenjang pendidikan tinggi.
F. Kegunaan Penelitian
Penyajian hasil analisis kesenjangan ini akan berguna sebagai salah satu
masukan bagi penyusunan perencanaan pelaksanaan program pendidikan nasional,
baik jangka pendek, menengah, maupun jangka panjang.
23
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
DAN PENGAJUAN HIPOTESIS
A. Deskripsi Teoritis
1. Kebijakan Relevansi (Link and Match)
Sejak tahun 1950 terjadi perkembangan pendidikan yang pesat di negara-
negara berkembang, maka sebagai akibatnya terjadi kesenjangan yang sangat tinggi
antara lulusan dan kesempatan kerja. Sejak itu pengelolaan pendidikan dianggap turut
bertanggung ajwab atas makin bertambahnya tenaga berpendidikan yang
menganggur. Kemudian para perencanaan pendidikan menekuni “ pendekatan tenaga
kerja” di integrasikan dengan pendekatan-pendekatan lainnya.
Sebagaimana diuraikan pada bab sebelumnya, empat kebijaksanaan pokok
pembangunan pendidikan nasional ialah pemerataan kesempatan pendidikan,
relevansi pendidikan dengan pembangunan, kualitas pendidikan, dan efisiensi
pengelolaan pendidikan. Kebijaksanaan ini kemudian diturunkan kedalam bentuk
strategi pokok pembangunan pendidikan nasional di bidang pendidikan dengan
peningkatan empat butir kebijaksanaan tersebut di atas. Depdikbud (1994)
menjelaskan bagaimana strategi pokok ini secara umum agar dapat dicapai secara
optimal. Keempat strategi di atas akan ditingkatkan dengan penjelasan berikut.
Strategi pertama peningkatan pemerataan kesempatan pendidikan bertujuan
untuk menciptakan keadaan agar semua orang mempunyai kesempatan yang sama
untuk mendapatkan pendidikan. Kesempatan ini tidak dibedakan menurut jenis
24
kelamin, status sosial ekonomi, agama, dan lokasi geografis. Kebijakan pemerataan
dan perluasan kesempatan ini menekankan bahwa setiap orang tanpa memandang
asal usulnya mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pendidikan pada
semua jenis, jenjang, maupun jalur pendidikan, sehingga diharapkan bahwa keadilan
di dalam pelayanan pendidikan akan meningkat.
Strategi kedua, meningkatkan relevansi pendidikan dengan pembangunan,
dimaksudkan agar proses dan hasil pendidikan dapat disesuaikan dengan kebutuhan
industrialisasi akan tenaga terampil dan ahli. Dalam rangka meningkatkan relevansi
antara pendidikan dengan kebutuhan pembangunan, pemerintah mengeluarkan
kebijaksanaan Link and Match. Melalui kebijaksanaan ini perlu diperkuat keterikatan
antara pendidikan dan industri atau dunia usaha dalam perencanaan, pelaksanaan,
penilaian, dan sertifikasi pendidikan dan pelatihan kejujuran yang relevan dengan
kebutuhan ekonomi. Kebijaksanaan ini bertujuan untuk menciptakan keadaan supaya
keluaran pendidikan sepadan dengan kebutuhan berbagai sektor pembangunan akan
tenaga ahli dan terampil sesuai dengan jumlah, mutu, dan sebarannya. Secara khusus,
arah yang dituju oleh kebijakan link and match adalah menciptakan keadaan yang
menunjang agar program pendidikan selaras dengan kebutuhan industri dan dunia
usaha akan tenaga terampil dan ahli yang terus berubah dan berkembang setiap saat.
Strategi ketiga ialah peningkatan kualitas pendidikan menunjuk pada kualitas proses
dan hasil pendidikan. Suatu sistem pendidikan dikatakan bermutu dari segi proses
jika proses belajar-mengajar berlangsung secara efektif, dan peserta didik mengalami
proses pembelajaran yang bermakna dan ditunjang oleh sumber daya (manusia, dana,
sarana, prasarana) yang memadai. Proses pendidikan yang berkualitas akan
25
membuahkan hasil pendidikan yang bermutu dan relevan dengan pembangunan. Oleh
sebab itu, intervensi sistematis perlu diberikan terhadap input, proses, dan sistem
ujiannya, sehingga akan dapat memberikan jaminan terciptanya kualitas hasil yang
tinggi.
Strategi keempat ialah peningkatan efisiensi pengelolaan pendidikan. Efisiensi
dapat dicapai jika sistem pendidikan dapat mencapai sasarannya secara efektif. Untuk
mencapai efektivitas pengelolaan sistem faktor penunjangnya seperti profesionalisme
dalam manajemen nasional sistem pendidikan yang didalamnya terkandung disiplin,
kesetiaan, keahlian, etos kerja, dan efektivitas biaya. Implikasinya, untuk
meningkatkan efisiensi perlu dikembangkan kebijakan yang memungkinkan
terwujudnya efektivitas dengan pengerahan sumber-sumber daya yang relatif kecil
akan tetapi dimanfaatkan secara optimal, sehingga dapat menghasilkan keluaran yang
optimal pula.
Secara khusus strategi dasar implementasi peningkatan relevansi atau link and
match melalui lima butir ialah:
a. Pemenuhan kebutuhan individu peserta didik dan tenaga kerja.
b. Penguatan program pendidikan kejuruan menengah dan tinggi melalui magang,
PPL, praktek di dunia usaha/industri.
c. Penguatan pendidikan ketrampilan sebagai bagian integral dari kurikulum SLTP.
d. Peningkatan program ketrampilan di luar sekolah melalui kejar paket B dan
pemanfaatan BLK/KLK bekerjasama dengan Depnaker.
e. Penguatan program pendidikan profesional di perguruan tinggi (Diploma dan
Politeknik)
26
Gambar 2.1 Pendidikan dan Pembangunan dalam rangka
Pengembangan Sumber Daya Manusia
EKONOMI
POLITIK
TEKNOLOGI
SUSBUD
TUJUAN PEMBANGUNAN
NASIONAL (GBHN)
Landasan Teori PENDIDIKAN DALAM PSDM
ANALISIS KEBIJAKAN DALAM
PENDIDIKAN
Strategi Pendidikan Dalam
P S D M
Sumber: Djojonegoro, W dan Suryani, A, (1994). Peningkatan Kualitas Sumberdaya Manusia untuk Pembangunan: Analisis Relevansi Pendidikan dengan kebutuhan Pembangunan Menyongsong Era Teknologi dan Industri. Jakarta: Pusat Informatika, Balitbang Dikbud. p. 39.
Di Indonesia, konsep relevansi secara umum yang telah disepakati secara
nasional, dicantumkan di dalam GBHN, dan di berbagai dokumen kebijakan
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Djojonegoro dan Suryadi (1994) juga
menuangkan alur pikir pendidikan dan pembangunan dalam rangka pengembangan
sumber daya manusia, sebagaimana pada Gambar 2.1 di bawah ini. Analisis
kebijakan dalam pendidikan harus mempertimbangkan berbagai landasan teori
27
PSDM, dan memperhitungkan berbagai masukan dari dunia ekonomi, politik, sosial-
budaya, dan teknologi, serta berpegang kepada tujuan pembangunan nasional
termasuk tujuan pendidikan. Baru kemudian diturunkan berbagai strategi untuk
dilaksanakan dalam rangka mencapai tujuan nasional tersebut. Kebijakan pendidikan
pada Pelita VI mencakup empat aspek sebagaimana disebutkan pada bab terdahulu,
ialah pemerataan kesempatan pendidikan, relevansi pendidikan dengan
pembangunan, kualitas pendidikan dan efisiensi pengelolaan. Penelitian menggali
informasi dan menganalisis kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan
yang ditekuni kaitannya dengan faktor eksternal yang mempengaruhi, ialah ekonomi,
demografi, dan sosial. Hal ini merupakan sub-bagian dari konsep relevansi atau
korespondensi Levin (1976), maupun sub bagian dari kotak analisis kebijakan dalam
pendidikan yang dalam kerangka pikir yang diajukan oleh Djojonegoro dan Suryadi
(1995) di atas.
Beberapa negara menggunakan pendekatan ini dengan maksud untuk
meningkatkan kesesuaian antara jumlah lulusan berbagai jenis dan tingkat pendidikan
dengan kebutuhan dan daya serap pasar kerja. Pada awal 1980-an Enoch menjelaskan
bahwa di Indonesia masalah pengangguran merupakan masalah yang serius antara
lain disebabkan masih rendahnya kualifikasi tenaga kerja yang terdaftar di Bursa
Tenaga Kerja.
Pada Pelita VI ini, kebijaksanaan pada jenjang pendidikan tinggi
diprioritaskan pada relevansi pendidikan dengan pembangunan. Relevansi pada
hakekatnya adalah link and match. Adapun strategi (Dirjen Dikti, 1994)
operasinalisasi Link and Match di perguruan tinggi adalah sebagai berikut:
28
a. Meningkatkan kerjasama dengan dunia kerja, dunia usaha dan industri.
b. Memperkuat kerja praktek lapangan,kuliah kerja dan magang, sesuai dengan
bidang studinya.
c. Meningkatkan jumlah mahasiswa yang mempelajari sains dan teknologi sampai
sekitar 25 persen dari seluruh populasi mahasiswa.
d. Memperkuat sarana dan prasarana dan tenaga baik untuk program akademik
maupun profesional.
World Bank (1994) juga mengajukan strategi operasional pada reformasi
pendidikan tinggi sebagai berikut:
a. Mendorong pengembangan lembaga-lembaga pendidikan, termasuk lembaga-
lembaga swasta.
b. Mendorong lembaga-lembaga pendidikan negeri dalam pengadaan
penganekaragaman sumber dana, termasuk cost-sharing dengan para mahasiswa,
dan mengaitkan sumber dana pemerintah bagi pengembangan sarana peningkatan
mutu.
c. Mengkaji ulang peran pemerintah pada pendidikan tinggi.
d. Mengenalkan kebijakan yang terencana pada berbagai prioritas pengembangan
kualitas dan pemerataan pendidikan.
Dalam perencanaan pendidikan Indonesia senantiasa telah memperhatikan
masalah relevansi, khususnya yang berkaitan dengan masalah jumlah lulusan sebagai
penyediaan tenaga kerja. Kerjasama dengan instansi terkait terutama Depnaker dan
Bappenas juga dilakukan dalam upaya analisis kebutuhan tenaga kerja untuk semua
29
jenis pekerjaan kaitannya dengan berbagai tambahan/ penyediaan tenaga kerja
sebagai hasil proses pendidikan. Sebagai ilustrasi di bawah ini disajikan Tabel 2.1
tentang proyeksi hasil pendidikan tinggi.
Sebagai perbandingan komposisi lulusan pendidikan tinggi di Indonesia pada tahun
1994, serta proyeksinya pada akhir tahun 1998, dan 2018 disajikan pada Tabel 2.1
menurut jurusan pendidikan.
Tabel 2.1 Distribusi Hasil Pendidikan Tinggi tahun 1994
Dan Proyeksinya tahun 1998 dan 2018 Menurut kelompok Jurusan
Jurusan 1994 1998 2018 Sosial 73 60 30 IPA + Lainnya 14 15 25 Teknik 13 25 45 Sumber: Ditjen DIKTI. (1995). Bahan Sajian Mendikbud di Menko Kesra, Februari 1995. p.3
Pada tahun 1994, keadaan lulusan perguruan tinggi bidang studi sosial 73
persen, teknik ada 14 persen, dan IPA 13 persen. Diproyeksikan pada tahun 1998
komposisi lulusan pendidikan tinggi untuk jurusan sosial 60 persen, teknik 25 persen
dan IPA 15 persen, dan pada tahun 2018 menjadi sosial 30 persen, teknik 45 persen,
dan IPA 25 persen.
Depdikbud (1994) membuat proyeksi persediaan dan kebutuhan (supply dan
demand) lulusan SO dan S1 menurut bidang studi, selama Pelita VI diproyeksikan
dan Pelita VII bahwa bidang studi teknik dan IPA kurang, sedang jurusan IPS
surplus.
30
Bappenas-Depdikbud-Depnaker-BPS (1988/89a, 1988/89b) melalui berbagai
studi, seperti yang dilakukan oleh Robertson (1991), juga Balitbang-Depdikbud
(1992), Boediono, MsMohan, dan Adams (Ed) (1992) membahas berbagai hal yang
berkaitan dengan evaluasi dan perencanaan pendidikan di Indonesia, termasuk di
dalamnya pendidikan tinggi. Penelitian tersebut yang sekarang telah menjadi
dokumen penting di Bappenas, mencantumkan proyeksi lulusan SO+S1+S2+S3
hingga Pelita X atau akhir tahun 2018. Selanjutnya diproyeksikan lulusan menurut
jurusan pendidikan, jenjang, dan menurut PTN dan PTS. Kebutuhan tenaga
profesional dan teknisi hingga akhir Pelita X juga diproyeksikan.
Tabel 2.2 Proyeksi Lulusan Sarjana menurut PTN dan PTS
(Ribu Orang) Repelita Repelita Repelita Repelita Repelita Repelita Program V VI VII VIII IX X 1. Lulusan SO: 521.1 744 969.3 1.196 1.424 1.652
- PTN 169.8 229.5 289.8 349.8 410.1 470.7 - PTS 316.8 427.8 540.3 652.5 765.0 877.5 - Politeknik 34.5 86.7 139.2 194.1 249.0 304.2
2. Lulusan S1 821.7 1,314.0 1,807.8 2,306.7 2,805.0 3,303.6 - PTN 439.2 702.3 966.0 1,232.4 1,498.8 1,765.2 - PTS 382.5 611.7 841.8 1,074.3 1,306.2 1,538.4
3. Lulusan S2 + S3 20.4 55.2 83.1 110.4 138.0 165.6 4. TOTAL 1,369.2 2,113.2 2,860.2 3,613.5 4,367.1 5,121.6
Sumber: Math Robertson (1991). Consolidated Report on Policy and Research Activities
Professional Human Resource Develompement Project (PHRDP) Government of Indonesia-World Bank (Loan No. 3134-IND), BAPPENAS. Jakarta: Bappenas.
31
Tabel 2.2 Kebutuhan Tambahan Tenaga So ke atas
Repelita: V- X 1988-93 1993-98 1998-2003 2003-2008 2008-2013 2013-2018 (R V) (R VI) (R VII) (RVIII) (R IX) (R X) 1. Pertanian 7,479 11,960 12,714 15,912 19,276 22,022 2. Penggalian (68) 412 1,591 1,664 1,777 1,489 3. Konstruksi 18,307 28,751 37,467 50,206 68,201 83,932 4. Industri 195,659 305,243 29,511 370,183 497,564 658,204 5. Transportasi 61,247 71,681 68,719 71,939 75,103 123,797
& Komunikasi 6. PU 19,994 35,450 36,608 54,477 49,404 75,713 7. Perdagangan 164,101 198,487 324,514 386,105 548,223 732,310 8. Lembaga 33,577 47,664 51,358 61,552 72,498 66,896
Keuangan 9. Jasa 259,855 322,808 323,353 364,410 415,857 527,832 10. Total 717,781 940,392 1,110,571 1,373,536 1,818,226 2,414,320 Sumber: Math Robertson (1991). Consolidated Report on Policy and Research Activities
Professional Human Resource Develompement Project (PHRDP) Government of Indonesia-World Bank (Loan No. 3134-IND), BAPPENAS. Jakarta: Bappenas. (p.11).
Proyeksi kebutuhan menurut sembilan sektor pembangunan. Proyeksi
kebutuhan didasarkan atas berbagai kajian baik dari sisi luaran pendidikan sekolah
menurut jenjang tertentu yang tidak melanjutkan sekolahnya, yang drop-out, maupun
dari luaran sistem lainnya yang masuk angkatan kerja seperti luaran berbagai latihan,
maupun luaran dari Pendidikan Luar Sekolah (PLS). Kemudian dari angka tersebut
secara khusus bagi tenaga kerja profesional dan teknisi yang kebanyakan dari luaran
pendidikan tinggi (Akademi ke atas) oleh Robertson (1991) dilakukan analisis suplai
dan kebutuhannya. Robertson mendapatkan gambaran pada PJP II tentang suplai dan
kebutuhan tenaga kerja berpendidikan tinggi (Akademi ke atas) sebagai berikut:
32
Insinyur (Engineers) : kurang Teknisi (Engineering Technicians) : kurang Kedokteran dan Tenaga Medis (Medical and Healtd Occ) : kurang Hakim (Lawyers) : surplus Akuntan (Accountans) : surplus Guru (Teachers) : surplus Ekonomi/Administrasi/Manajemen (Economics/Adm/Mgt) : surplus IPA (Scientists) : surplus
Di sisi lain Balitbang Depdikbud Boediono dkk (1992) termasuk konsultan
asing juga melakukan studi berbagai masalah pendidikan serta proyeksi-proyeksi
tentang enrollment, biaya, kebutuhan tenaga pendidikan, dan lain-lain hingga periode
PJP II. Berbagai proyeksi ini termasuk luaran pendidikan tinggi. Luaran oendidikan
ini juga diintegrasikan dengan berbagai kajian pengembangan sumber daya manusia
(PSDM) yang diprakarsai BAPPENAS.
Para pakar, antara lain Apps (1988), Enoch (1992), Levin (1976), Pongtuluran
(1989), dan Watson (1990) telah mengajukan buah pikirannya berupa model-model
implementasi relevansi atau korespondensi antara pendidikan tinggi dengan dunia
kerja, sebagai berikut.
Apps (1988) juga menjelaskan bahwa tatanan sosial memberikan pengaruh
kepada dunia pendidikan secara umum untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
sumber daya manusia, atau sebaliknya pada gilirannya dunia pendidikan juga
memberikan pengaruh kepada akselerasi perubahan sosial. Dijelaskan tatanan sosial
ini mencakup tren kependudukan yang mengarah kepada kelompok umur tua makin
banyak (silinder komposisinya), berubahnya situasi agraris ke industri, kemudian
industri ke jasa dan informasi, teknologi dan globalisasi. Hal ini berarti makin
dibutuhkan tenaga kerja menurut jabatan-jabatan yang mengarah kepada profesional.
33
Hal ini berarti makin diperlakukannya relevansi kebutuhan dengan proses
pendidikan, khususnya pendidikan profesional.
Enoch (1992) membahas tentang hubungan (relevansi) dunia pendidikan dan
sosial-ekonomi, pengembangan sumber daya manusia khususnya lapangan pekerjaan.
Dijelaskan bahwa pendidikan dan kehidupan masyarakat saling mempengaruhi.
Pendidikan dipengaruhi oleh masyarakat akan memberikan pengaruh terhadap dunia
pendidikan, baik perencanaan maupun implementasinya. Begitu pula sebaliknya,
melalui proses pendidikan memberikan ilmu pengetahuan, ketrampilan, pendidikan,
akal, budi pekerti kepada peserta didik yang langsung atau tidak langsung
menentukan jenis pekerjaannya di kemudian hari: profesinya akan menempatkan dia
pada tingkat sosial tertentu dan mempengaruhi perkembangan seterusnya.
Levin (1976) mengajukan suatu konsep bagaimana prinsip korespondensi
antara dunia pendidikan dan dunia kerja yang sama dengan konsep relevansi atau link
and match secara sederhana disajikan dalam Tabel 2.4 di bawah ini.
34
Tabel 2.4 Konsistensi antara Reformasi Pendidikan dan
Reformasi dua jenis Dunia Kerja
Work Reform
Emphasis on Emphasis on Individuality Participations 1. Educational 1. Team teaching technology 2. Differentiaced staffing 2. Mastery learning Educational Reform 3. Felxible modular 3. Desegregation sheduling 4. Open schooling 4. Micro political change 5. Educational vouchers 5. Community control 6. Deschooling 6. Factory-run school Sumber: Levin, H.M. (1976) A Taxonomy of Educational Reforma for Changes in the Nature Work. Dalam
M. Carnoy dan H.M. Levin (1976) The Limites of Educational Reform. New York David McKay Company. Inc. p. 109.
Tabel di atas menunjukkan kaitan antara reformasi pendidikan dengan dua jenis
reformasi dunia kerja, ialah penekanan pada individu dan penekanan pada kerja bersama
dan partisipasi. Selanjutnya Levin (1976) menjelaskan sebagai berikut:
The educational reforms that are consisten with these two types of work reforms,
those that correspond to a greater emphasis on worker individuality and those that focus
on greater worker participation and cooperation. Among the educational modifications
that would appear to be cinsistent with the first type of work reform are the uses of
educational modifications that would appear to be consistens with the first type of work
reform are the uses of educational technology, particularly those that permit the student to
proceed at his own pace and at his own convenience such as audio-cassettes, programmed,
instruction, and computer-assisted instruction, differential staffing and flexible modular
scheduling with their emphasis on individualization of instruction, open schools with their
focus on diversity and choice of activities, and both vouchers and deschooling with their
orientations toward alternative school and learning environments.
35
Work reforms that emphasis greater cooperation and participation would be
consistent with the adoption of team teaching where adults are expected to cooperate in
the instructional process; mastery learning with its concern for equalizing skill levels and
guaranteeing that all students meet mastery requirements; desegregation of school with its
attempt to improve human relationships among races and social classes; micro political
reforms that would increase the participation of students and teachers in the instructional
process; community control with its stress on governance and control of school by the
community training in teamwork, sharing, and cooperation as part of the work enterprise
(pp.130).
Hal ini menunjukkan bahwa Levin (1976) menjelaskan bagaimana keterkaitan
antara relevansi atau korespondensi antara dunia pendidikan dan dunia kerja, harus
berjalan secara simultan. Artinya apabila disisi dunia pendidikan melalukan reformasi, agar
dunia kerja bisa diakomodasi, maka dunia kerja juga melakukan reformasi atau sebaliknya.
Dengan meningkatkan relevansi berarti mengurangi kesenjangan antara dunia pendidikan
dan dunia kerja.
Watson (1990) menyatakan bahwa pelaksanaan pendidikan tinggi dalam hal ini
politeknik mempunyai relevansi dengan penyiapan tenaga kerja menurut jabatan yang
dibutuhkan. Dalam hal ini dikatakan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat tentang
tenaga teknisi, bisnis, IPA, dan kebutuhan tenaga profesional lainnya.
Pongtuluran (1989) menekankan betapa pentingnya layanan utama bagi peserta
didik sebagai input utama dengan memperhatikan input sumberdaya, lingkungan dengan
memperhitungkan (merelevansikan) masukan dari dunia kerja dan lulusan itu sendiri dalam
proses belajar mengajar, pada berbagai tingkat pendidikan. Input utama dalam proses
belajar mengajar di semua jenjang pendidikan adalah (1) peserta didik, kemudian input
36
yang kedua (1.A) adalah sumber daya termasuk manajemen, mencakup tenaga, kurikulum,
sarana, prasarana, dan dana. Kemudian input yang tiga adalah (1.B) lingkungan baik
material, moral, dan spiritual. Lulusan secara langsung atau tidak langsung memberikan
umpan balik (Feed Back (FB) ), baik yang baru lulus, yang sudah bekerja, atau yang
melanjutkan.
Gambar 2.2
SISTEM PENDIDIKAN NASIONAL
PEMERINTAH MASYARAKAT/ FBC ( - )
SWASTA
LINGKUNGAN LINGKUNGAN
FEED BACK (FB)
(1.B) INPUT LINGKUNGAN
Material/Moral/Spiritual
ORANG TUA MASYARAKAT
(1) INPUT UTAMA PESERTA DIDIK
(2) PROSES BELAJAR MENGAJAR
(3) OUT PUT LULUSAN
(4) OUTCOME MELANJUTKAN /
BELAJAR
Tenaga Kurikulum Sarana Prasarana
Dana
(1.A) INPUT SUMBER DAYA M A N A J E M E N
Sumber: Pongtuluran, A. (1989).
37
2. Uraian teori
Per Dalin (1978) membahas teori perubahan pendidikan; teori fungsional, teori
elektik, dan teori konflik. (1) Teori fungsional diturunkan dari teori Revolusi Darwin.
Perubahan sosial termasuk pendidikan berubah secara evolusi. Teori ini dalam praktek
interaksi/relevansi antara dunia pendidikan dan pembangunan menurunkan berbagai sub-
sub teori seperti: contingency theories, human capital theory, and structural-functional
theory. (2)Teori elektik diturunkan dari dunia psychotherapeuthic merupakan teori
perubahan sosial termasuk pendidikan berdasarkan perubahan dalam human personality.
(3) Kemudian teori konflik didasarkan atas konflik sosial-ekonomi yang diturunkan dari
teori Marxis dan Neo-Marxis. Dikatakan bahwa perubahan pendidikan hanya bisa
dilakukan melalui revolusi sosial atas pandangan konflik yang didasarkan atas perubahan
ekonomi dan perubahan struktur sosial.
Namun diuraikan bahwa perubahan pendidikan merupakan proses kompleks yang
tidak dapat dijelaskan hanya oleh satu teori. Per Dalin menguraikan tentang model dari
perubahan pendidikan: the problem solving model. The social interaction model, the
research, delelopment and diffusion model (Rd and D), dan the lingkage model. Pada
prinsipnya teori dan model perubahan pendidikan dijelaskan baik langsung maupun tidak
langsung mempunyai kaitan atau ketergantungan dengan perubahan eksternal yang
dijelaskan dengan perubahan sosial-ekonomi, atau pada bahasan sebelumnya adalah
berkaitan dengan pembangunan. Bahkan sebenarnya antara perubahan pendidikan dan
perubahan sosial-ekonomi (pembangunan) terdapat keterkaitan yang bersifat timbal balik.
Low, Heng, dan Wong (1992) menguraikan pendekatan sub teori fungsional yang
biasa dipergunakan dalam perencanaan pendidikan, ialah teori human capital formation
38
yang mencakup berbagai pendekatan: social demand approach, manpower requirements
approach, Rate of return approach, dan optimum allocation of resources approach.
Khususnya teori social demand approach maupun teori manpower requirements approach
memasukkan kebutuhan tenaga kerja menurut jabatan-jabatan tertentu, yang oleh dunia
pendidikan dilakukan sebagai rektor eksternal yang diperhitungkan dalam perencanaan
pendidikan. Artinya teori-teori ini juga menunjukkan faktor eksternal yang mempengaruhi
dunia pendidikan sebagai penghasil tenaga kerja. Dijumpai secara empiris bahwa pada
tahun 1970-an hingga awal 1980-an menunjukkan kaitan antara dunia pendidikan dengan.
Perencanaan kebutuhan tenaga kerja dan pasar kerja secara cocok hingga jenjang SLTA.
Untuk jenjang pendidikan tinggi dari sisi proyeksi kebutuhannya dijumpai banyak
menyimpang. Hal ini terjadi di negara-negara Afrika. Psacharopoulos (1986) menjelaskan
masalah ini, karena empat situasi yang menyebabkannya. Pertama perubahan berbagai
negara dari agraris ke industri dan jasa; kedua rasio tenaga kerja terdidik dengan tidak
terdidik meningkat tajam terutama sejak tahun 1960-an; ketiga rasio pendapatan bagi
tenaga terdidik dengan tidak terdidik menurun drastis; keempat biaya pendidikan terserap
pada jenjang pendidikan tingkat dasar dan menengah; sehingga pada jenjang pendidikan
tinggi menjadi relatif sangat kecil.
Enoch (1992) dan Simanjuntak (1986) juga menjelaskan teori-teori yang berkaitan
dengan perencanaan pendidikan dan lapangan pekerjaan. Teori-teori tersebut adalah (1)
teori neoklasik (orthodoks), (2) teori dualisme lapangan kerja, dan (3) teori produksi yang
radikal dan segmentasi pasar kerja. Teori neoklasik dijelaskan sebagai aplikasi teori
ekonomi pada dunia kerja atas dasar penyediaan dan permintaan. Besarnya penyediaan
atau supply tenaga kerja dalam masyarakat adalah jumlah orang yang menawarkan jasanya
39
untuk proses produksi. Di antara mereka sebagian sudah aktif dalam kegiatannya yang
menghasilkan barang dan jasa. Mereka digolongkan bekerja. Sebagian lain tergolong yang
siap bekerja dan yang sedang mencari pekerjaan. Kelompok ini disebut pencari kerja atau
penganggur. Jumlah yang bekerja dan pencari kerja dinamakan angkatan kerja atau labour
force. Jumlah orang bekerja tergantung permintaan atau demand dalam masyarakat.
Permintaan tersebut dipengaruhi oleh kegiatan ekonomi dan upah. Kemudian proses
terjadinya penempatan atau hubungan kerja melalui penyediaan dan permintaan tenaga
kerja yang melalui penyediaan dan permintaan tenaga kerja yang dinamakan pasar kerja.
Seorang dalam pasar kerja berarti dia menawarkan jasanya untuk produksi, apakah dia
sedang bekerja atau mencari pekerjaan. Besarnya penempatan (jumlah orang yang bekerja)
di pengaruhi oleh faktor kekuatan penyediaan dan permintaan tersebut. Selanjutnya,
besarnya penyediaan dan permintaan tenaga kerja dipengaruhi oleh tingkat upah. Dalam
ekonomi neoklasik diasumsikan bahwa penyediaan atau penawaran tenaga kerja akan
bertambah bila tingkat upah bertambah. Sebaliknya permintaan terhadap tenaga kerja akan
berkurang bila tingkat upah meningkat. Dengan asumsi bahwa semua pihak mempunyai
informasi yang lengkap mengenai pasar kerja, maka teori neoklasik beranggarapan bahwa
jumlah penyediaan tenaga kerja selalu sama dengan permintaan. Dalam hal penyediaan
sama dengan permintaan dinamakan dalam keadaan ekuilibrium. Dalam kenyataan,
keadaan ekuilibrium itu tidak pernah dicapai karena informasi memang tidak pernah
sempurna dan hambatan-hambatan institusional selalu ada. Kaitannya dengan dunia
pendidikan, maka hasil dari proses pendidikan merupakan supply tenaga kerja, sedangkan
proses pembangunan merupakan pencipta lapangan pekerjaan atau demand tenaga kerja.
40
Teori dualisme atas asumsi modern dan tradisional. Sektor modern menggunakan
teknologi, sehingga membutuhkan tenaga kerja sedikit, kemudian sektor tradisional
menggunakan alat sederhana sehingga membutuhkan banyak tenaga kerja. Dikatakan
bahwa di sini dunia pendidikan memainkan dua peran ialah: pertama pekerja terdidik lebih
mudah dilatih, dan mudah diberikan penugasan pada sektor modern. Kedua dikatakan
bahwa memperpanjang waktu pendidikan mempunyai korelasi kecil terhadap jumlah
pekerjaan yang tersedia atau produktivitas pekerja sektor modern, karena pendidikan
sendiri tidak menciptakan lapangan pekerjaan.
Teori yang radikal dan segmentasi pasaran kerja mengasumsikan bahwa hubungan
sosial merupakan faktor utama, bukan harga (upah) ataupun teknologi. Jadi jika orang
berpendidikan menjadi penganggur, maka teori segmentasi akan menganalisis perubahan
sifat tugas yang disediakan bagi lulusan pendidikan, baik menengah maupun pendidikan
tinggi, bukan oda ciri-ciri pekerja yang melakukan tugas tersebut. Jadi jika terjadi orang
berpendidikan menjadi penganggur, maka teori segmentasi akan menganalisis perubahan
sifat tugas yang disediakan bagi lulusan pendidikan, baik menengah maupun pendidikan
tinggi, sehingga relevansi pendidikan bisa di implementasikan.
Teori diatas mendudukung konsep relevansi atau link and match antara dunia
pendidikan dan pembangunan. Dalam proses belajar-mengajar, peran teknologi pendidikan
juga memperhatikan faktor-faktor eksternal dalam merancang sistem pembelajarannya.
Faktor-faktor eksternal ini diantaranya adalah faktor demand atau kebutuhan pembangunan
termasuk tenaga kerja tersebut di atas. Maka peran teknologi pendidikan antara lain adalah
mendinamisasi sistem pembelajaran dengan mempertimbangkan faktor eksternal tersebut.
Perubahan yang terjadi pada dunia pembangunan pada gilirannya memberikan penyerasian
41
pada sistem pembelajaran yang dilakukan secara dinamis. Holloway (1984), diperkuat oleh
Miarso (1988), yang menyatakan bahwa teknologi pendidikan adalah bagaimana
pembelajaran dapat dicapai secara optimal. Hal ini dicirikan dengan (1) memadukan
berbagai macam pendekatan dari bidang psikologi, komunikasi, manajemen, rekayasa dan
lain-lain, (2) memecahkan masalah secara serempak dan menyeluruh, (3) digunakan
teknologi sebagai proses, dan (4) timbulnya daya lipat atau sinergis.
Implementasi relevansi atau keterkaitan ini oleh menteri pendidikan Djojonegoro
(1994j) dijadikan landasan bagi lembaga pendidikan tinggi dalam mendirikan atau
membuka jurusan-jurusan agar memperhatikan tiga faktor: Aspirasi masyarakat, kebutuhan
tenaga kerja dari dunia usaha, dan kemampuan lembaga untuk menyelenggarakannya.
Kemudian konsep keterkaitan (link) dan kesepadanan (match) antara persediaan dan
kebutuhan tenaga kerja perlu dijadikan dasar untuk mengembangkan program-program di
perguruan tinggi di Indonesia. Pada PJP II, jenis-jenis pekerjaan dalam era teknologi akan
mengakibatkan kebutuhan pada pekerja yang lebih mengandalkan kemampuan intelektual,
kebutuhan pada pekerja yang lebih kreatif, kebutuhan pada pekerja yang mampu
menyesuaikan diri dengan perubahan dan kebutuhan pada pekerjaan yang mampu
mengolah dan mendayagunakan informasi.
Implikasi dari tantangan yang dihadapi bangsa Indonesia khususnya di bidang
peningkatan kualitas sumber daya manusia adalah penguasaan IPTEK. Oleh karenanya
kiprah mahasiswa dalam proses belajar di perguruan tinggi maupun melalui pengalaman
(experimental learning) termasuk dalam berorganisasi, pada dasarnya merupakan wujud
dari tanggung jawab terhadap masa depan bangsa dan negara, di samping untuk
kepentingan setiap pribadi mahasiswa. Dalam mewujudkan peran serta dan tanggung
42
jawabnya itu secara optimal, tugas utama mahasiswa adalah belajar sebaik-baiknya dengan
tuntutan tugas-tugas belajar (learning taks) di perguruan tinggi, sehingga diperoleh
wawasan, pengetahuan, ketrampilan, dan sikap-sikap/nilai-nilai yang fungsional bagi
kehidupan di masa kini dan masa depan. Namun agar lebih lengkap, para, mahasiswa juga
diharapkan untuk memanfaatkan wahana-wahana kegiatan ekstra dan ko-kurikuler, baik
dalam pengembangan berpikir, kecendikiaan yang menyangkut kepekaan sosial, maupun
penguasaan IPTEK.
3. Kesenjangan atau Mismatch
Hauser (1974) menjelaskan masalah kesenjangan antara jurusan pendidikan dan
jabatan pekerjaan melalui evolusi pendekatan pengukuran tenaga kerja labour utilization
approach. Namun konsep ini pada waktu itu hanya menyarankan apakah seseorang dengan
jenjang pendidikannya sudah bekerja sesuai dengan kemampuannya atau belum. Kalau
seseorang tersebut ternyata bekerja di bawah kemampuannya dikatakan mismatch.
Kelompok ini dalam pendekatan labour utilization approach dimasukkan pada kelompok
tidak bekerja penuh (utilized inadequately). Secara historis, pengukuran penduduk yang
bekerja pada awalnya di Amerika dilakukan dengan pendekatan gainful worker approach,
kemudian mulai sensus penduduk tahun 1970 dilakukan dengan labour force approach,
dan pada akhirnya hingga sekarang menggunakan labour utilization approach. Pendekatan
gainful worker merupakan pendekatan yang pertama dengan pengakuan responden akan
kegiatannya. Pendekatan labour force approach merupakan modifikasi dari gainful
worker dengan menambahkan konsep aktivitas dengan mengukur apakah seseorang
bekerja, atau mencari pekerjaan. Konsep waktu, dipergunakan apakah bekerja minimal satu
43
jam selama seminggu yang lalu pada hari pencacahan. Pendekatan labour utilization
dengan menambahkan pertanyaan tentang pendidikan dan latihan, pendapatan, dan jumlah
jam bekerja. Pendekatan ini juga mencatat orang yang tidak lagi mencari pekerjaan, tetapi
mau menerima pekerjaan jika ada lowongan. Pendekatan ini disarankan untuk menyajikan
data total angkatan kerja, terdiri dari bekerja penuh (utulized adequately) dan tidak bekerja
penuh (utilized inadequately). Yang tidak bekerja penuh dirinci menurut menganggur,
jumlah jam kerja, tingkat pendapatan, dan mismatch antara pendidikan dan jabatan.
Penelitian kesenjangan antara pendidikan yang dicapai dengan jabatan pekerjaan
yang ditekuni di Indonesia masih sangat sedikit dilakukan. Relevansi secara teoritis hasil
pendidikan sebagai suplai tenaga kerja diharapkan sesuai dengan permintaan atau
ketersediaan jabatan pekerjaan yang ada. Pembangunan di sektor ekonomi mempunyai
implikasi terhadap permintaan tenaga kerja yang mempunyai kualifikasi ketrampilan
tertentu.
Perkembangan pembangunan yang mengarah kepada industrialisasi pada jangka
panjang kedua memerlukan tenaga kerja yang mempunyai berbagai ketrampilan dan
keahlian.
Sehubungan dengan itu, berbagai jenis pendidikan kejuruan dan keahlian termasuk
politeknik harus diperluas dan ditingkatkan mutunya. Selanjutnya kerjasama antara dunia
pendidikan dengan dunia usaha dalam rangka memenuhi kebutuhan tenaga yang cakap dan
terampil menjadi sangat utama (GHBN, 1993).
Hal ini berarti bahwa walaupun tujuan akhir dari pendidikan nasional merupakan
tujuan yang sangat ideal, namun tujuan antara perlu dicapai sesuai dengan kebutuhan
pembangunan. Kecocokan hasil pendidikan dengan jabatan pekerjaan yang tersedia
44
merupakan salah satu tujuan antara yang dimaksudkan. Jadi secara sistem pendidikan di
Indonesia akan memberikan luaran secara khusus menurut jurusannya sesuai (match)
dengan jabatan yang dibutuhkan di lapangan. Secara ideal harus tercapai hingga 100
persen. Kesenjangan yang terjadi dapat diberikan toleransi yang wajar, sedemikian rupa
hingga percepatan pemenuhan kebutuhan berbagai jabatan pekerjaan dapat dipenuhi.
Kebutuhan tersebut sesuai dengan proyeksi-proyeksi tenaga kerja pada PJP II.
B. Hasil-hasil Penelitian yang Relevan
Penelitian tentang kesenjangan antara hasil pendidikan dan jabtan pekerjaan ini
merupakan kegiatan yang sangat penting sebagai masukan dalam perencanaan
pembangunan sumber daya manusia.
Dalam literatur yang didapatkan melalui jasa information Section UNESCO ada
delapan hasil penelitian yang membahas secara umum masalah mismatching between
education and occupation. Penelitian tersebut membahas tentang kebijaksanaan mereduksi
kesenjangan yang ada di India pada kasus migrasi (Oommen, 1989); dan kesenjangan
antara pendidikan dan lapangan pekerjaan yang tersedia bagi tenaga yang mempunyai
pendidikan lebih tinggi secara makro (Jones, 1988). Selanjutnya Jones membahas tentang
keuntungan-keutungan hubungan penanganan pendidikan di negara-negara Asia dengan
Australia. Kasarda dan Friedrichs (19875) juga membahas tentang perbandingan
kesenjangan pendidikan dan tenaga kerja di daerah perkotaan di Jerman dan di Amerika.
Pembahasan juga secara makro yang menunjukkan bahwa adanya kelonggaran keberadaan
kegiatan pabrik-pabrik yang mempekerjakan blue-collar ke pembatasan-pembatasan
kegiatan pabrik-pabrik yang mempunyai implikasi terhadap kebutuhan tenaga kerja yang
45
white-collar. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa penduduk yang mempunyai
latar belakang pendidikan yang lebih rendah cenderung tidak dapat mendapatkan
pekerjaan. Oleh karenanya masalah kesenjangan ini menjadi lebih tinggi di kota-kota di
dua negara tersebut, dan bahkan lebih lebar daripada tingkat kesenjangan secara nasional.
Selanjutnya Clogg dan Shockey (1984), juga membahas tentang Mismatch between
occupation and schooling: a prevalence measure, recent trends and demographic analysis
di Amerika.
Metode pengukuran kesenjangan yang dipergunakan hanya membandingkan
proporsi pekerja yang menamatkan pendidikan sekolah tertentu dengan lapangan pekerjaan
tertentu. Berbagai metode pengukuran telah dilakukan, antara lain oleh Clogg dan Shockey
(1984), dengan menanyakan kepada responden apakah pekerjaan yang ditekuni pada saat
ini memang dirasa cocok dengan pendidikan yang diperoleh. Dari jawaban ini kemudian
dilakukan analisis menurut kelompok umur (cohort), dan jenis kelamin. Metode ini
dilakukan untuk mengukur prevalensi. Di samping itu dilakukan pula ukuran alternatif
dengan membandingkan banyaknya tahun sekolah dan jabatan pekerjaan (occupation)
dengan menggunakan ukuran rata-rata ditambah satu standar deviasi sebagai garis ambang
kesenjangan. Misalnya distribusi pekerja di suatu jabatan tertentu katakan manajer ternyata
rata-rata banyaknya tahun belajar/sekolah sama dengan 12,58 tahun dan standar deviasi
sama dengan 2,61 tahun, maka dijumlahkan menjadi 15,40 tahun. Angka ini dibulatkan
menjadi 16 tahun merupakan batas ambang mismatch pada jabatan manajer. Kemudian
dihitung berapa persen manajer yang lama belajar lebih dari 16 tahun, katakan sama
dengan 20,3 persen, maka dikatakan kesenjangan manajer sama dengan (100-20,3) persen
atau 79,7 persen. Begitu seterusnya untuk jabatan-jabatan lainnya. Selanjutnya penelitian
46
di atas hanya menghitung jumlah tahun belajar dengan jabatan yang ditekuni, tetapi tidak
menghitung bagaimana jurusan yang tamatkan dengan jabatan pekerjaan yang ditekuninya
(Clogg dan Shockye, 1984). Dengan metode ini didapatkan bahwa derajat mismatch di
Amerika tahun 1970 sekitar 92 persen (100-8) dan pada tahun 1980 menjadi 85,8 persen
(100-14,2). Angka ini kemudian bervariasi menurut jenis kelamin, jabatan pekerjaan, dan
kelompok etnis. Notodihardjo (1990) pada tahun 1981 melakukan penelitian tentang:
bidang industri: Pandangan dan harapan mahasiswa lulusan dan pengguna lulusan
perguruan tinggi di Jawa. Penelitian ini menyimpulkan antara lain ditemukan bahwa
dorongan melanjutkan studi di perguruan tinggi secara umum atas pertimbangan yang
bersifat sosial-ekonomis, dan diharapkan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai di
masyarakat. Selanjutnya dikatakan bahwa mahasiswa perguruan tinggi mengharapkan
bekerja secara tetap sesuai dengan bidang studi (jurusan) yang dipelajari di perguruan
tinggi. Kebanyakan juga ingin bekerja di sektor pemerintahan.
C. Kerangka Berfikir
Secara umum banyak sekali faktor-faktor yang turut menentukan terjadinya
kesenjangan antara jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaan yang
ditekuni.
Penelitian ini memilih indikator ekonomi, demografi, dan sosial yang dianggap
mempunyai asosiasi dengan kesenjangan yang ada. Kesenjangan ini tiada lain adalah
ketidakcocokan yang terjadi antara jurusan pendidikan yang ditekuni oleh anggota
masyarakat dengan jabatan pekerjaan yang ditekuninya. Faktor demografi, faktor
sosial,dan faktor ekonomi ini mempengaruhi seseorang untuk memilih jurusan dan tingkat
47
pendidikan. Ketiga faktor tersebut di samping secara langsung mempunyai peran terhadap
terjadinya pilihan pendidikan serta jabatan pekerjaan dapat juga berperan secara tidak
langsung. Peranan faktor demografi secara tidak langsung dapat melalui faktor sosial dan
melalui faktor ekonomi. Begitu pula faktor sosial secara tidak langsung juga melalui faktor
ekonomi. Bahkan diperkirakan ada pengaruh interaksi dari faktor demografis, sosial, dan
ekonomi terhadap kesenjangan tersebut (Gambar 2.3). Kerangka berfikir ini mengikutkan
faktor kelas yang pernah diduduki setelah menamatkan S1, terhadap kesenjangan yang
dialami.
Gambar 2.3
Kerangka Pikir Faktor-faktor yang berasosiasi dengan kesenjangan DEMOGRAFI
SOSIAL
EKONOMI KESENJANGAN
VARIABLE KONTROL
Secara matematis kerangka berfikir ini dapat dituliskan sebagai berikut (Jphnson &
Wichern, 1982, p.269):
Kesenjangan = f (D, S, E)
Dimana: D = Demografi E = Ekonomi S = Sosial
48
D. Hipotesis
Selanjutnya dari masalah yang ada serta tujuan penelitian yang diuraikan di atas, hipotesis
yang diajukan dapat dirumuskan sebagai berikut:
i) ada perbedaan kesenjangan (jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan pekerjaan
yang ditekuni) antara kelompok jurusan. Demikian juga antara kelompok jabatan.
ii) Ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil
pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, dan
iii) Ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan antara hasil
pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni,
iv) Ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan
tinggi dan jabatan yang ditekuni,
v) Secara multivariat ada asosiasi/pengaruh faktor demografi, sosial, dan ekonomi
terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang
ditekuni,
vi) Ada penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan
yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan pada tahun 1980.
49
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
A. Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kesenjangan antara pendidikan dan
jabatan pekerjaan, yang secara khusus mencakup:
i) Kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi (Institut, Sekolah Tinggi, dan
Universitas) dan jabatan pekerjaan yang ditekuni.
ii) Analisis kesenjangan menurut jurusan pendidikan, menurut jabatan pekerjaan.
iii) Analisis asosiasi faktor ekonomi dengan kesenjangan.
iv) Analisis asosiasi faktor demografi dengan kesenjangan.
v) Analisis asosiasi faktor sosial dengan kesenjangan.
vi) Analisis asosiasi multivariat faktor demografi, sosial, dan ekonomi dengan
kesenjangan.
vii) Analisis penurunan kesenjangan selama periode tahun 1980 sampai tahun 1990.
B. Tempat dan waktu penelitian
Analisis ini dilaksanakan di Indonesia selama tiga tahun ialah 1993-1995.
C. Metode Penelitian.
Metode penelitian yang diuraikan di sini mencakup populasi, data; jenis dan
sumbernya, variabel-variabel yang dipergunakan, dan metode analisis.
50
Penelitian ini dilakukan atas populasi semua penduduk Indonesia yang menamatkan
jenjang pendidikan terakhir Sarjana atau S1 ke atas. Jadi populasi penelitian ini merupakan
su-populasi dari populasi pada sensus penduduk tahun 1980 (SP80) dan sensus penduduk
tahun 1990 (Sp90). Begitu pula sampel yang dipergunakan adalah sub-sampel dari sampel
SP80 dan sampel SP90.
D. Teknik Pengambilan Contoh
Kegiatan sensus penduduk di Indonseia untuk pencacahan individu dilakukan pada
sampel yang dipilih secara acak di setiap blok sensus lima persen pada SP80, dan di setiap
wilayah pencacahan sekitar lima persen, pada SP90.
Penelitian ini menggunakan unit statistik individu yang mempunyai pendidikan
Sarjana. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan data SP80 dan SP90. Kegiatan
pengumpulan data sensus ini dilakukan oleh Biro Pusat Statistik dengan dua tahap, pertama
pencacahan lengkap, kemudian pencacahan sampel. Pencacahan lengkap SP80 mencakup
pertanyaan-pertanyaan: hubungan dengan kepala rumahtangga, jenis kelamin, status
sekolah untuk anak usia 7-12 tahun. Adapun pencacahan lengkap SP90 mencakup
pertanyaan-pertanyaan: hubungan kepala rumah tangga, umur, jenis kelamin, dan status
perkawinan (Poedjiastoeti, 1989).
Pengambilan contoh atau sampel dilakukan secara multistage sampling, ialah
dipilih semua propinsi, kemudian di setiap propinsi dipilih semua kabupaten/kotamadya,
disemua kabupaten/kotamadya dipilih semua kecamatan. Kemudian di kecamatan-
kecamatan dipilih secara acak sederhana dipilih beberapa blok sensus, dan terakhir di
setiap blok sensus dipilih secara acak sistimatis rumah tangga. Pencacahan sampel rumah
51
tangga dipilih secara sampel acak sistematik sederhana (Systematic Random Sampling)
pada blok sensus yang terpilih. Sampel dipilih lima persen dari semua blok sensus yang
ada pada SP80 dan lima persen dari setiap wilayah pencacahan pada SP90 (Poedjiastoeti,
1989). Data SP80 telah tersedia, baik dalam bentuk publikasi maupun dalam bentuk media
tape. Data SP80 yang tersedia dalam media tape dapat diketahui dalam buku Penjelasan
Mengenai Rekord Data Sensus Penduduk 1980 yang diterbitkan oleh BPS. Demikian
halnya data tape SP90 dapat diakses oleh umum sejak 1993, dan cakupannya dalam buku
Penjelasan Mengenai Rekord Data Sensus Penduduk 1990.
Data yang dipergunakan untuk analisis diolah dari data tape SP80 dan SP90 seri-S.
Selanjutnya variabel-variabel yang dipilih dalam penelitian ini ada empat kategori, ialah
variabel terikat kesenjangan, dan variabel bebas demografi, sosial, dan ekonomi.
E. Instrumen Penelitian
Instrumen penelitian adalah kuesioner sensus penduduk tahun 1980 dan kuesioner
sensus penduduk tahun 1990 sebagaimana terlampir. Namun demikian pada penelitian ini
hanya diambil 19 pertanyaan, sebagaimana di daftar pada Tabel 3.1 pada lampiran 2.
Variabel terikat merupakan variabel yang diturunkan dari beberapa pertanyaan.
Pertanyaan yang menyangkut kesenjangan diolah dari tiga pertanyaan ialah pendidikan
tertinggi yang ditamatkan dalam hal ini Sarjana (S1), kemudian pertanyaan yang
menyangkut jurusan pendidikan di mana pada sensus penduduk tahun 1980 terdiri dari
tiga digit dan pada sensus penduduk tahun 1990 terdiri dua digit. Pengelompokan jurusan
pendidikan mengikuti International Standard Classification of Eudcation disebut ISCED
(BPS, 1990, p.6). Begitu pula untuk jabatan yang secara internasional mengikuti sistem
52
International Standard Classification of Occupation disebut ISCO (U.N, 1989, p. 135;
ILO, 1990; dan BPS, 1982). Khusus untuk penelitian ini diambil pengelompokan dua digit
baik untuk ISCED maupun untuk ISCO. Untuk ISCED dan ISCO masing-masing diambil
dua digit untuk merancang kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan
pekerjaan yang ditekuni.
Variabel bebas terdiri dari variabel demografi, sosial, dan variabel ekonomi.
Variabel demografi terdiri dari variabel: Jumlah anggota rumah tangga, hubungan dengan
kepala rumah tangga, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan.
Variabel sosial terdiri dari: pembagian wilayah seperti kota-pedesaan, Jawa Bali
dan pulau lain tempat lahir atau status migran, dan agama yang dianut.
Variabel ekonomi terdiri dari: Jenjang pendidikan yang diselesaikan, lapangan
pekerjaan, perpindahan lapangan pekerjaan selama satu tahun terakhir, dan mencari
pekerjaan tambahan atau tidak.
Variabel kontrol adalah tingkat/kelas tertinggi yang pernah/sedang dialami.
F. Pengolahan dan Analisis Data
Data tape SP80 dan SP90 secara lengkap memuat data sampel sensus penduduk
tahun 1980 maupun data sensus penduduk tahun 1990 sebagaimana informasi yang ada
pada daftar pertanyaan/kuesioner. Untuk penelitian ini hanya diambil data yang mencakup
19 pertanyaan, sebagaimana diuraikan di atas.
Kesenjangan dihitung berdasarkan variabel jurusan pendidikan dua digit dan
variabel jabatan pekerjaan utama tiga digit. Jabatan ini diambil digit pertama 0/1, 2 dan
sebagian 3 pada Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI), dimana kebanyakan pekerjanya
53
adalah yang berpendidikan tinggi. Variabel kesenjangan ini diturunkan dari empat
pertanyaan yang ada pada daftar pertanyaan SP80-S dan SP90-S, sebagai berikut: (diambil
dari daftar pertanyaan SP90-S Blok VI. B P. 18, Blok VI.b P. 19, Blok VII P.24, dan Blok
VII P. 30 yang bersesuaian dengan daftar pertanyaan pada SP80-S Blok VII P. 22, Blok
VII P.23, Blok VIII P.27, dan Blok VIII P. 34).
Berikut ini disalin empat pertanyaan sensus penduduk tahun 1990 Blok VI.b P.18,
Blok VI.b P. 19, Blok VII P.23, dan Blok VII P.30 tersebut diatas.
P.18 Pendidikan tertinggi yang ditamatkan
1. Tidak/belum tamat Sd 5. SMTP Kejuruan 2. SD 6. SMTA Kejuruan 3. SMTP Umum 7. Diploma I/II 4. SMTA Umum 8. Akademik D.III 9. Universitas/Div 19. Jurusan Pendidikan (Tulis selengkap mungkin)
…………………………………………. ………………………………………….
(Kode ISCED hingga dua digit) P.23 Yang terbanyak dilakukan selama seminggu lalu 1. Bekerja 2. Sekolah 3. Mengurus Rumah Tangga 4. Lainnya P. 30 Jenis pekerjaan utama selama seminggu yang lalu (tulis selengkap mungkin) ……………………………………………………………………………………… (Sesuai dengan klasifikasi ISCO hingga tiga digit)
Populasi penelitian ini adalah individu yang mempunyai pendidikan tertinggi
sarjana. Untuk analisis kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan
dipilih hanya mereka yang bekerja.
54
Adapun variabel kesenjangan diturunkan dengan cara membandingkan antara
jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaan utama yang ditekuni. Jika
secara teoritis ternyata cocok diberi nilai 0, artinya tidak senjang, sebaliknya diberi nilai 1,
artinya senjang.
Apabila seseorang menamatkan suatu jenjang pendidikan sarjana (S1) dengan
jurusan tertentu, kemudian ia bekerja pada jabatan pekerjaan yang memang sesuai dengan
keahliannya maka dikatakan sesuai atau matching. Sebaliknya jika orang tersebut bekerja
pada jabatan pekerjaan yang tidak sesuai maka dikatakan senjang atau mismatch.
Adapun daftar matching antara jurusan pendidikan (ISCED dua digit) dengan jenis
pekerjaan utama (ISCO/KJI tiga digit) didefinisikan seperti disajikan pada Tabel 3.2 pada
Lampiran 2.
Kemudian variabel-variabel yang tergolong dalam variabel demografi, sosial,
ekonomi, serta variabel kontrol setelah dilakukan penelaan antara cakupan variabel secara
teoritis dengan cakupan variabel yang tercakup pada SP80 dan SP90, akhirnya didapatkan
daftar variabel yang akan dinalisis dalam penelitian ini.
Biro Pusat Statistik dalam mengumpulkan data sensus penduduk mencakup
variabel pendidikan tertinggi yang ditamatkan dan jurusannya menurut klasifikasi
International Classification of Education (ISCED) hingga tiga digit. Begitu pula variabel
jabatan pekerjaan menurut Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI) hingga tiga digit pula. Dari
data ini dapat ditentukan bahwa secara individu apakah pendidikan yang dicapai dan
jabatan pekerjaannya sesuai atau tidak sesuai. Jika klasifikasi jurusan pendidikan seseorang
ternyata sesuai dengan klasifikasi jabatan pekerjaannya maka individu tersebut diberi kode
nol (0) artinya tidak ada kesenjangan, sebaliknya diberi kode satu (1) artinya ada
55
kesenjangan. Selanjutnya kesenjangan ini dapat diukur dengan suatu nilai proporsi antara
nol hingga 100 untuk setiap dimensi, baik dimensi KJI, dimensi demografi, dimensi sosial,
dan dimensi ekonomi.
Secara teoritis x orang mempunyai pendidikan jurusan A mestinya semuanya x
orang tersebut bekerja pada lapangan pekerjaan yang membutuhkan jurusan A.
i) Kalau ini terjadi maka nilai kesenjangannya adalah nol, artinya tidak ada
kesenjangan.
ii) Sebaliknya jika ternyata tak ada yang bekerja pada lapangan usaha yang
membutuhkan A maka angka derajat mismatch sama dengan 100, artinya seratus
persen lulusan tersebut tak ada yang bekerja pada lapangan pekerjaan yang sesuai
dengan pendidikannya.
iii) Apabila sebagian atau y dari lulusan jurusan tersebut bekerja pada jabatan
pekerjaan yang sesuai maka nilai kesenjangannya antara 0 s/d 100.
DK = (<x-y>/x). 100%
Variabel yang dipergunakan untuk melakukan pengujian hipotesis ada 10 buah
ialah kesenjangan (KES), Daerah (B1P5), Pulau (B1P1Y), Agama (B6P9X), Migrasi
(MIG1), Lapanganb Pekerjaan (B7P31C), Hubungan dengan Kepala Rumah tangga
(B6P1B), Jenis Kelamin (B6P2), Umur (b6p4y), Status Perkawinan (B6P5B). Semua
variabel dituliskan dalam bentuk simbol sesuai dengan pembagian blok dan nomor
pertanyaan pada SP90. Misalnya B1P5 adalah pertanyaan tentang daerah yang diambil dari
kuesioner SP 90 Blok (B) satu dan pertanyaan (P) nomor lima.
56
Penjelasan tentang pembagian kategori untuk 10 variabel yang dipergunakan ada
Tabel 3.1. Pengelompokan ulang dari kategori jawaban aslinya dilakukan dengan
pertimbangan bahwa beberapa kelompok dijumpai respondennya yang sangat kecil. Hal ini
mengakibatkan pada penyajian tabulasi silang yang dimensinya lebih tinggi akan dijumpai
banyak sel yang kosong. Misalnya, untuk agama yang aslinya terdiri dari enam kategori (1)
Islam, (2) Kristen, (3) Katolik, (4) Hindu, (5) Budha, (6) Lainnya dikelompokkan menjadi
dua kelompok ialah (0) Non-Islam, (1) Islam. Disamping itu ada variabel yang didapatkan
dari hasil pengolahan atau sebagai variabel turunan (derived variabel), ialah variabel kas
(kesenjangan) dan variabel migrasi.
Secara rinci penjelasan kesepuluh variabel tersebut adalah sebagai berikut .
Variabel Terikat
Kesenjangan
KES (kesenjangan) merupakan variabel dependen dalam penelitian
yang mempunyai nilai kategorik (0) Tidak senjang dan (1)
senjang. Nilai kategorik ini dihasilkan berdasarkan konsep
kesenjangan dari jurusan pendidikan yang ditamatkan oleh
seseorang dengan jenis pekerjaan (jabatan) yang ditekuni saat
pencacahan.
57
Variabel Bebas
Ekonomi
B7P31C Lapangan Pekerjaan yang terdiri dari dua digit, dari pertanian,
industri pengolahan, dll dengan pertimbangan distribusi yang
sangat tidak merata, khususnya lebih dari 50 persen sarjana
bekerja di sektor pemerintahan/hankam maka dikelompokkan
menjadi dua kategori ialah (0) Lainnya dan (1)
Pemerintahan/hankam.
Demografi
B6P1B Hubungan dengan Kepala Rumahtangga, yang aslinya
mempunyai Sembilan kategori ialah (1) Kepala
Rumahtangga, (2) Istri/suami, (3) Anak, (4) Menantu, (5)
Cucu, (6) Orang tua/mertua, (7) Famili lain, (8) Pembantu
rumahtangga, (9) Lainnya, Kerena distribusi yang sangat
bervariasi kemudian dikelompokkan menjadi dua kategori
ialah (0) Anak/menantu+lain, dan (1) Kepala rumahtangga dan
suami/istri.
B6P2 Jenis kelami8n terbagi atas dua kelompok, ialah (0) Perempuan
(1) Laki-laki.
B6P4Y Umur dikelompokkan menjadi dua kategori, ialah (0) kurang
dari 40 th, (1) Lebih dari 40 th.
58
B6P5B Status Perkawinan dikelompokkan menjadi (0) Belum kawin
dan (1) Pernah kawin.Sosial
B1P5 Daerah terbagi atas dua kategori, ialah dengan kode (0)
Pedesaan (1) Kota.
B1P1Y Pulau yang terdiri dari lebih dari ribuan, yang secara umum
dibagi menjadi lima kelompok dalam penelitian ini
dikelompokkan lagi menjadi dua kelompok, ialah (0) Lainnya
dan (1) Jawa+Bali.
B6P6X Agama yang secara nasional dibagi menjadi enam kelompok,
kemudian dikelompokkan lagi menjadi dua kategori, ialah (0)
Non Islam, dan (1) Islam.
MIG1 Migrasi adalah variabel yang diturunkan dari pertanyaan
propinsi tempat tinggal sekarang dengan tempat tinggal lima
tahun yang lalu. Apabila sama maka bukan migran dan
sebaliknya migran. Kode ini adalah (0) Tdk Migran (1)
Migran.
59
Tabel 3.1 Daftar variabel dan kategorinya dalam Penelitian
V a r i a b e l Kategori Jawaban (0,1) KES Kesenjangan 0 Tdk Senjang 1 Senjang B1P5 D a e r a h 0 Pedesaan 1 Kota B1P1Y Pulau 0 Lainnya 1 Jawa+Bali B6P6X Agama 0 Non-Islam 1 Islam MIG1 Migrasi 0 Tdk Migran 1 Migran B7P31C Lap Pekerjaan 0 Lainnya 1 emerinth/Hankam B6P1B Hub dg Krt 0 Ana/menantu+lain 1 Krt s/i B6P2 Jenis Kelamin 0 Perempuan 1 Laki-laki B6p4y Umur 0 Kurang dr 40 th 1 40 th ke atas B6p5B Stat.Perkawinan 0 Blm kawin 1 Pernah Kawin
Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan
variabel dengan menggunakan metode analisis faktor. Variabel baru ini merupakan
indeks komposit, yang kemudian dijadikan indikator. Indikator baru ini
dikontruksikan beerdasarkan factor score coefficients (koefisien yang didapatkan dari
analisis faktor), dengan telah mempertimbangkan nilai kontribusi (eigen value)
faktor-faktor atau varabel-variabel yang dipergunakan. Angka Eigen value
menunjukkan jumlah kontribusi variabilitas (informasi) dari faktor-faktor atau
variabel-variabel yang dipergunakan dalam membuat suatu indeks komposit.
Dalam analisis ini dibuat indeks komposit variabel-variabel Pulau, Daerah,
dan status Migran. Kemudian variabel demografi terdiri dari variabel hubungan
dengan kepala rumahtangga, status perkawinan, dan variabel umur.
Indeks komposit variabel sosial pada data tahun 1980 memuat 58,1 persen
dari total informasi atau variabilitas yang terkandung di dalam tiga variabel ialah
60
variabel Pulau, Daerah, dan Status Migran. Kemuadian untuk data tahun 1990
memuat 63,0 persen. Selanjutnya untuk indeks komposit demografi pada tahun 1980
memuat 40,2 persen dari informasi atau variabilitas yang terkandung dalam faktor-
faktor. Hubungan dengan Kepala rumahtangga, status perkawinan, dan umur.
Sedangkan pada data tahun 1990 memuat 38,0 persen informasi yang terkandung di
dalam ketiga informasi tersebut.
Kemudian data Demografi dan sosial dikategorikan menjadi dichotomous
(0,1). Nol untuk skor negatif, dan satu untuk ekor nol atau positif. Selanjutnya
didefinisikan bahwa untuk variabel sosial skor negatif disebut kelompok sosial
rendah, dan untuk skor nol atau positif disebut kelompok sosial tinggi. Sama halnya
untuk variabel demografi yang negatif disebut kelompok demografi rendah, dan bagi
kelompok nol atau positif disebut kelompok demografi tinggi.
Deskripsi pengaruh atau asosiasi variabel ekonomi, sosial, dan demografi
terhadap kesenjangan dapat dianalisis secara multivariate dengan menggunakan
metode analisis asosiasi parsial dan pengaruh interaksinya yang diajukan oleh Agung
(1993). Ukuran ini didapatkan secara deskriptif pembedaan proporsi kesenjangan
antara kategori dalam suatu variabel bebas, pada kategori tertentu dari variabel-
variabel bebas lainnya. Secara teoritis kasus ini merupakan probabilitas bersyarat.
Pengujian hipotesis dilakukan dengan metode multivariat regresi logistik dan
nilai statistik Odds Ratio yang dimodifikasi (Agung, 1993).
61
G. Pengertian Dasar Beberapa Istilah
Jurusan Pendidikan : Klasifikasi jurusan pendidikan mengikuti International
Standard Classification of Education (ISCED). Klassifikasi ini diturunkan hingga tiga
digit. Pada penelitian ini hanya diturunkan hingga dua digit, karena keterbatasan pada
data-data yang tersedia di Biro Pusat Statistik (BPS).
Klasifikasi Jabatan Indonesia (KJI) : Suatu pengelompokan pekerja (angkatan
kerja yang bekerja) menurut jabatannya (occupation) yang diturunkan dengan
modifikasi dari International Standard Classification of Occupation (ISCO) (BPS,
1982). Pembagian ini didasarkan atas keahlian tertentu yang dimiliki seseorang yang
layak menduduki jabatan tertentu. Klasifikasi ini diturunkan hingga tiga digit. Digit
pertama adalah sbb: 0/1. Tenaga Profesional, Teknisi dan yang sejenis 2.
Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan, 3. Tenaga Tatausaha dan tenaga yang sejenis, 4.
Tenaga Usaha Penjualan, 5. Usaha Jasa, 6. Usaha Pertanian, 7. Tenaga Produksi, 8.
Operator Alat Angkutan, 9. Pekerja Kasar, 10. lainnya. Penelitian ini pada akhirnya
dipergunakan klasifikasi tiga digit yang termasuk 0/1, 2, dan lainnya untuk digit 3 s/d
10.
Klasifikasi Lapangan Usaha Indonesia (KLUI): suatu klasifikasi kegiatan
ekonomi menurut lapangan usaha. SKLUI ini diturunkan dari International Standard
of Industrial Classification (ISIC). Lapangan Usaha ini dikelompokkan hingga lima
digit (BPS, 1985, 1990). Digit pertama merupakan kelompok besar, seperti 1.
Pertanian, 2. Pertambangan dan Penggalian, 3. Indurstri Pengolahan, 4. Listrik, Gas
& Air, 5. Bangunan, 6. Perdagangan, 7. Angkutan, 8. Lembaga Keuangan, 9.
Pemerintahan/hankam, 0. Lainnya. Pada penelitian ini menggunakan kelompok tiga
62
digit, dan untuk pekerja yang menamatkan pendidikan sarjana ke atas. Sektor
pemerintahan adalah klasifikasi sembilan (9) dan KLUI.
Tujuan pendidikan tinggi adalah : (1) menyiapkan peserta didik menjadi
anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/atau profesional yang
dapat menerapkan, mengembangkan dan/atau menciptakan ilmu pengetahuan,
teknologi dan/atau kesenian; (2) mengembangkan dan menyebasrluaskan ilmu
pengetahuan, teknologi dan/atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk
meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.
Penyelenggaraan untuk mencapai tujuan tersebut berpedoman pada : (1) tujuan
pendidikan nasional; (2) kaidah, moral dan etika ilmu pengetahuan; dan (3)
kepentingan masyarakat; serta memperhatikan minat, kemampuan dan prakarsa
pribadi.
Pendidikan Tinggi : adalah pendidikan pada jenjang yang lebih tinggi dari
pada pendidikan menengah di jalur pendidikan sekolah.
Pendidikan akademik : adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama
pada pengusaan ilmu pengetahuan dan pengembangannya, yang diselenggarakan oleh
sekolah tinggi, institut dan universitas.
Pendidikan profesional : adalah pendidikan tinggi yang diarahkan terutama
pada kesiapan penerapan keahlian tertentu, yang diselenggarakan oleh akademi,
politeknik, sekolah tinggi, institut dan universitas. Pendidikan profesional terdiri atas
Program Diploma dan Program Spesialis.
The polity : refers to an organized society with a polity has variious properties
that will crete demands on its educational sector.l (Levin, 1976)
63
BAB IV
HASIL PENELITIAN
A. Deskripsi Data
1. Jurusan pendidikan responden
Berdasarkan data sensus Penduduk tahun 1980 (SP80) dan data Sensus
Penduduk tahun 1990 (SP90), penduduk yang berpendidikan S1 secara nasional
masing-masing ada 227.910 orang dan 983.407 orang. Dari jumlah tersebut yang
bekerja secara berurutan pada tahun 1980 ada 190.453 orang, dan pada tahun 1990
yang bekerja ada 772.258 orang.
Distribusi penduduk tersebut menurut jurusan pendidikannya, baik secara
keseluruhan maupun yang bekerja, dapat dijelaskan sebagai berikut. Dari 21 jurusan
yang ada menunjukkkan bahwa distribusi penduduk yang mempunyai pendidikan
tertinggi minimal sarja (S1) pada tahun 1980 relatif lebih merata dibandingkan pada
tahun 1990 (koefisien variasinya (KV) lebih rendah, KV1980- 1,15 dan KV 1990-
1,21).
Selanjutnya dijumpai hal yang sama bahwa pada tahun 1980 distribusi
penduduk yang mempunyai pendidikan S1 ke atas dan sudah bekerja relatif lebih
merata dibandingkan pada tahun 1990 (koefisien variasinya (KV) lebih rendah, KV
1980 = 1,18 dan KV1990 = 1,20)
Walaupun secara absolut menunjukkan kecenderungan rata-rata sekitar 15
persen baik secara keseluruhan maupun bagi kelompok yang sudah bekerja namun
distribusinya mengalami perubahan yang sangat lamban. Artinya distribusi sarjana
64
menurut jurusan pendidikan pada tahun 1980, hampir sama dengan distribusi pada
tahun 1990. Jurusan-jurusan yang didominasi para sarjana pada tahun 1980 juga
didominasi pada tahun 1990. Data pada Tabel 1 dan Tabel 2 (selanjutnya pada Bab
ini, Tabel 1 s/d tabel 40 pada Lampiran Bab IV) menunjukkan penjelasan tersebut
diatas. Lima jurusan yang paling banyak sarjananya pada tahun 1980 adalah :
Ekonomi, Hukum dan Kehakiman, Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Teknik atau
Teknologi, Kedokteran dan kesehatan. Pada tahun 1990 ialah : Ekonomi, Ilmu
Pendidikan dan Keguruan, Hukum dan Kehakiman, Teknik Atau Teknologi,
Administrasi Perusahaan dan Niaga Negara.
Kemudian tiga jurusanyang mempunyai pertumbuhan palaing pesat adalah :
Keagamaan dan Ilmu Ketuhanan, Administrasi Perusahaan dan Niaga Negara,
Kesenian dan Seni Rupa.
Selanjutnya sarjana yang sudah bekerja pada tahun 1980 didominasi oleh lima
jurusan ialah : Ekonomi, Hukum dan Kehakiman, Ilmu Pendidikan dan Keguruan,
Teknik atau Teknologi dan kedokteran dan Kesehatan, Kemudian pada tahun 1990
didominasi oleh Jurusan : Ekonomi, Ilmu Pendidikan danKeguruan, Teknik atau
Teknologi, Hukum dan Kehakiman, Administra Perusahaan dan Niaga Negara. Lima
Jurusan yang sudah bekerja dan mempunyai pertumbuhan paling pesat adalah :
Keagamaan dan Ilmu Ke Tuhanan, Kesenian dan Seni Rupa, Administrasi
Perusahaan dan Niaga Negara, Perikanan, Ilmu Pendidikan dan Keguruan.
65
2. Kegiatan Ekonomi
Tahun 1980 jumlah sarjana yang tercatat ada 227.910 orang yang bekerja ada
83,6 persen atau 190.453 orang, kemudian yang masih sekolah pada waktu itu ada
dua persen, mengurus rumahtangga ada 6,9 persen, dan lainnya ada 7,6 persen. Pada
tahun 1990 jumlah sarjana ada 983.407 orang yang terdiri dari 78,5 persen atau
772.258 orang yang bekerja, 1,9 persen masih sekolah, 7,8 persen mengurus rumah
tangga, dan 11,8 persen lainnya. Dari kenyataan diatas menunjukkan bahwa proporsi
sarjana yang bekerja pada tahun 1990 cenderung menurun, walaupun secara absolut
meningkat 3,5 kalinya.
3. Jabatan
Jumlah sarjana yang bekerja pada tahun 1980 adalah 227.910 orang.
Distribusi menurut jabatannya (ISCO satu digit) terdiri dari 0,2 persen tenaga
profesional, 98,5 persen tenaga Kepemimpinan dan Ketatalaksanaan, Pejabat
Pelaksana dan tenaga sejenisnya, dan 1,3 persen sebagai tenaga kasar.
Adapun jumlah sarjana yang bekerja pada tahun 1990 sebanyak 772,258 orang
menunjukkan bahwa 34,8 persen padajabatan tenagas profesional, kemudian 63,6
persen pada jabatan Ksepemimpinan dan ketatalaksanaan, Pejabat Pelaksana, dan
tenaga sejenisnya, dan sisanya 1,7 persen sebagai tenaga kasar.
Jumlah sarjana tahun 1980 sebanyak 227,910 orang dan jumlah sarjana pada tahun
1990 sebanyak 772,258 ini selanjutnya akan diteliti kesenjangan antara jurusan
pendidikan dan jabatan.
66
Selanjutnya dikaji bagaimana kesenjangan tersebut menurut kategori sosial,
ekonomi dan demografi sebagaimana uraian berikut ini.
4. Sosial
Variabel sosial terdiri dari : pembagian wilayah seperti Kota-Pedesaan,
Kawasan Barat Indonesia (KBI) dan Kawasan Timur Indonesia (KTI), pulau, status
migran, dan agama yang dianut. Distribusi sarjana yang bekerja menurut daerah kota
dan pedesaan mengalami perubahan dari tahun 1980 dan 1990. Pada tahun 1980
sekitar 80 persen sarjana bekerja diperkotaan, kemudian pada tahun 1990 tercatat
menjadi sekitar 83 persen. Dari pembagian KBI danKTI tidak terlihat adanya
perubahan, namun pembagian menurut pulau (Sumatera, Jawa-Bari, danlainnnya)
menunjukkan adanya perubahan yang makin merata. Pada tahun 1`980 terkonsentrasi
di Jawa-Bali sekitar 70 persen, pada tahun 1990 berubah menjadi 67,8 persen
walaupun jumlah absolutnya tetap tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa di luar Jawa-
Bali makin banyak proporsi sarjana yang bekerja.
Dilihat dari agama (islam, Non-Islam) ternyata makin banyak proporsi sarjana
beragama Islam. Pada tahun 1980 komposisinya 69 persen Islam dan 31 persen Non-
Islam, kemudian pada tahun 1990 menjadi 73 persen Islam dan 27 persen non-Islam.
Hal ini dapat difahami karena selama kurun waktu 10 tahun merupakan masa transisi
dan dimulainya revolusi pendidikan tinggi di Indonesia telah menjamah masyarakat
banyak, terutma mayoritas Islam. Hal ini juga sebagai akibat dari kebijakan
pemerataan pendidikan termasukpendidikan tinggi sejak Pelita I (Thomas, 1974;
Enoch 1992).
67
Selanjutnya dilihat dari migrasi yang didefinisikan bahwa seorang dikatakan
melakukan migrasi apabila propinsi tempat tinggal pada waktu pencacahan dan
propinsi tempat tinggal laima tahun yang lalu berbeda. Dari definisi ini terlihat bahwa
sarjana yang telah bekerja pada tahun 1980 banya 16,6 persen yang melakukan
migrasi, kemudian pada tahun 1990 proporsinya menurun hanya sekitar 14,6 persen.
5. Ekonomi
Variabel ekonomi terdiri dari : lampangan pekerjaan utama, perpindahan
lapangan pekerjaan selama satu tahun terakhir, dan mencari pekerjaan tambahan atau
tidak.
Lapangan pekerjaan para sarjana di Indonesia hingga saat ini sangat
tergantung pada sektor pemerintahan/hankam. Tahun 1980 sarjana yang bekerja di
sektor pemerintahan/hankam ada 74,4 persen kemudian pada tahun 1990 menurun
proporsinya menjadi 65,8 persen. Ada perubahan yang sangat mencolok ialah di
sektor lembaga keuangan, industri, perdagangan, dan sektor bangunan. Hal ini sesuai
dengan perkembangan pembangunan selama kurun waktu 10 tahun yang secara pesat
berkembang pada sektor-sektor tersebut. Pertuimbuhan ekonomi makro selama
periode 1980-1990 sekitar 8 persen, pertanian sekitar 5,5 persen, industri sekitar 14
persen, sektor lainnya 6,5 persen (BPS, 1993)
Dari jumlah sarjana yang bekerja tersebut terlihat angka penurunan proporsi
yang masih mencari pekerjaan. Pada tahun 1980 menunjukkan angka 4,3 persen,
kemudian pada tahun 1990 menunjukkan angka 2,2 persen yang masih mencari
pekerjaan walaupun sudah bekerja.
68
Selanjutnya responden juga diminta keterangannya apakah setahun sebelum
pencacahan sudah bekerja atau belum. Dari 100 persen sarja yang bekerja pada tahun
1980 ada sekitar enam persen, setahun sebelum pencacahan belum bekerja, kemudian
pada tahun 1990 ada 10 persen, setahun sebelum pencacahan belum bekerja. Artinya
kelompok enam persen atau 10 persen ini dapat dari lulusan baru (new entrance), dari
sarjana yang memang pada tahun-tahun sebelumnya belum mendapatkanpekerjaan
atau masih menganggur. Hal ini memberikan indikasi bahwa kesempatan kerja bagi
sarjana pada tahun 1990-an lebih banyak dibandingkan tahun 1980-an.
6. Demografi
Variabel demografi terdiri dari variabel : hubungan dengan kepada rumah
tangga, jumlah anggota ruamah tangga, jenis kelamin, dan umur, dan status
perkawinan. Pada tahun 1980 sekitar 83 persen mempunyai suami/istri. Kemudian
pada tahun 1990 hanya sekitar 74 persen. Yang mempunyai hubungan dengan kepala
rumah tangga sebagai anak/menantu pada tahun 1980 ada 10 persen, tetapi pada
tahun 1990 ada 18,4 persen. Hal ini menunjukkan bahwa di dalam rumah tangga
selama sepuluh tahun ada perubahan jumlah sarjana yang makin banyak dan juga
bekerja, tetapi lebih banyak yang masih tinggal dengan orang tua atau mertua.
Dari jenis kelamin, terlihat ada perubahan bahwa makin banyak
jumlahmaupun proporsi wanita yang mempunyai pendidikan sarjana keatas dan
bekerja. Pada tahun 1980 hanya sekitar 16 persen, kemudian pada tahun 1990
menjadi 23 persen, kemudian padas tahun 1990 menjadi 23 persen wanita
berpendidikan sarjana atau lebih dan bekerja.
69
Dari komposisi usia terlihat bahwa pada tahun 1990 cenderung berusia lebih
muda dibandingkan pada tahun 1980. Dari status perkawinan juga terlihat bahwa
pada tahun 1980 ada 14 persen yang menyatakan belum kawin, pada tahun 1990 ada
23,4 persen. Komposisi umur dan status perkawinan juga mempunyai
kaitan erat dengan perubahan hugungan dengan kepala rumah tangga yang secara
umum makin tinggi yang ikut orang tua / mertua.
B. Kesenjangan
Sesuai dengan konsep dan definisi operasional tentang kesenjangan ternyata
pada tahun 1980 seluruh sarjana yang bekerja menunjukkan adanya kesenjangan
antara jurusan pendidikan (I S C E D) dan Jabatan pekerjaannya (ISCO) 91,3 persen,
dan hanya 8,7 persen yang tidak senjang atau sesuai. Kemudian pada tahun 1990
menunjukkan ada 78 persen senjang dan 22 persen tidak senjang atau yang sesuai.
Pada tahun 1980 dari 23 jurusan pendidikan tinggi yang ada sembilan dari
yang derajat kesesuaiannya paling tinggi secara berurutan adalah : Ilmu Pengetahuan
Alam, Teknik atau teknologi, Pertanian, Peternakan, kehutanan, Arsitektur &
Perencanaan Kota, Perikanan, Kedokteran dan Kesehatan, Ekonomi.
Pada tahun 1990 sembilan jurusan yang mempunyai derajat kesesuaian dari
yang paling tinggi adalah : Ilmu Pendidikan dan Keguruan, Arsitektur & Perencanaan
Kota, Teknik atau Teknologi, Komunikasi Massa & Dokumentasi, Kedokteran dan
Kesehatan, Ekonomi, Keagamaan dan Ilmu Ketuhanan, Administrasi Perusahaan dan
Niaga Negara, kesenian dan seni rupa (Tabel 3 dan Tabel 4 pada lampiran Tabel
Analisis Bab IV).
70
Namun ada perbedaan yang mendasar antara keadaan tingkat kesesuaian pada
tahun 1980 dan keadaan pada tahun 1990. Disamping derajat kesesuaian pada tahun
1990 lebih tinggi juga lebih merata (ditunjukkan dengan koefisien variasi yang leibh
kecil. Koefisien variasi standar deviasi/rata-rata. Di tahun 1980 derajat kesesuaian
secara umum hanya 8,7 persen, kemudian menurut jurusan pendidikan dari yang
minimum 0 jurusan humaniora dan maksimum 47 persen untuk jurusan IPA. Pada
tahun 1990 secara umum derajat kesesuaiannya 22,3 persen, dan menurut jurusan
pendidikan menunjukkan distribusi antara 0 pada jurusan pelayanan jasa hingga 80
persen pada jurusan Ilmu Pendidikan dan Keguruan.
Angka kesenjangan pada tahun 1980 nampak ada kejanggalan, terutama
beberapa jurusan pendidikan yang menunjukkannilai kesenjangan 100 persen. Hal ini
mungkin ada kesalahan sampling, dimana pada tahun 1980 teknik sampling yang
diambil tidak sesempurna sensus penduduk 1990 (Poedjiastoeti, 1989). Disamping itu
kodifikasi jurusan pendidikan pada sensus penduduk tahun 1980 berbeda dengan
kodifikasi jurusan pendidikan pada tahun 1990. Penyelarasan jurusan pendidikan
pada sensus penduduk 1980 dengan sensus penduduk tahun 1990, memberikan
kontribusi pada kesalahan pengelompokan. Setelah didiskusikan dengan Biro Pusat
Statistik (Mamas, G dan Madjid, A 12 Oktober 1995, secara berurutan ahli
kependudukan, dan mantan ketua BPS), menyimpulkan bahwa untuk pengelompokan
satu digit jurusan pendidikan (ISCED), jabatan pekerjaan hingga dua digit, dan
lapangan pekerjaan hingga dua digit mempunyai tingkat validasi yang tinggi. Apabila
pengelompokan di atas dilihat menurut daerah hanya dapat hingga tingkat propinsi,
karena kerangka sampel yang dirancang hanya dapat estimasi hingga tingkat propinsi.
71
Namun untuk pengelompokan yang lebih rinci (digit lebih besar) mempunyai tingkat
validasi yang sangat rendah.
Jadi apabila pengelompokannya dijadikan tiga kelompok jurusan atau bidang
studi ialah (1) Sosial, (2) IPA, dan (3) Teknik akan mempunyai tingkat validasi yang
tinggi. Pengukuran kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan
perlu dilakukan pendataan secara nasional, melalui sensus. Walaupun masalah
relevansi antara jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan tidak merupakan satu-
satunya ukuran atau tujuan dari pendidikan tinggi di Indonesia.
C. Pengujian Hipotesis
1. Distribusi responden
Pada tahun 1980 proporsi sarjana yang tidak senjang atau yang sesuai antara
jurusan pendidikan yang ditamatkan dengan jabatan pekerjaannya ada 8,7 persen dan
yang senjang ada 91,3 persen. Kemudian pada tahun 1990 yang tidak senjang ada
22,3 persen, dan yang senjang ada 77,7 persen. Apabila dibandingkan keadaan pada
tahun 1980 dan 1990 menunjukkan bahwa kesenjangan makin kecil. Pada tahun 1980
ada 91,3 persen yang senjang, kemudian pada tahun 1990 menjadi 77,7 persen.
Hal ini berarti ada penurunan sekitar 13,6 persen selama sepuluh tahun.
Apabila dikatakan sebaliknya derajat kesesuaian (tidak senjang) para sarjana di
Indonesia menurut jurusan pendidikan dan jabatan yang ditekuninya makin baik.
Pada tahun 1980 derajat kesesuaian 8,7 persen, kemudian pada tahun 1990 menjadi
22,3 persen. Perubahan yang makin baik ini sangat ditentukan oleh berbagai faktor,
antara lain dimungkinkan pada tahun 1990-an dibandingkan keadaan pada tahun
72
1980-an, keadaan ketenagakerjaan baik lapangan maupun jabatannya sudah lebih
banyak tersedia dan lebih banyak pilihan, sehingga jabatan-jabatan yang tersedia
lebih banyak ditempati oleh para sarjana yang lebih cocok jurusannya.
Distribusi sarjana menurut kategori daerah pedesaan dan kota, menunjukkan
adanya perubahan yang cenderung pada tahun 1990 makin ke kota. Pada tahun 1980
ada 19,6 persen sarjana yang dipedesaan dan 80.4 persen yang ada dikota. Pada tahun
1990 jumlah sarjana yang di pedesaan ada 16,9 persen dan yang di kota menjadi 83,1
persen. Pergeseran ini dimungkinkan karena lapangan pekerjaan serta jabatan
pekerjaan yang tersedia bagi para sarjana pada tahun 1980-an dibandingkan pada
tahun 1990-an makin banyak di daerah kota. Di samping itu juga perubahan
demografidan sosial yang juga turut menentukan perubahan tersebut. Secara
demografis, para sarjana yang baru didominasi penduduk usia muda di kota,
sedangkan sarjana yang sudah bekerja tergeser karena umur, mungkin persiun, atau
alasan lainnya.
Selanjutnya secara sosial, antara lain peluang penduduk mendapatkan
pendidikan yang lebih tinggi adalah penduduk kota, dan pembangunan yang sangat
menonjol dengan kebutuhan keterampilan khusus yang dimiliki oleh sarjana juga
pembangunan di daerah kota.
Distribusi sarjana menurut pulau yang dikelompokkan menjadi tiga kategori
Jawa-Bali, Sumatera, dan lainnya menunjukkan distribusi yang sangat mencolok,
Para sarjana masih mayoritass di Jawa, walaupun selama kurun waktu sepuluh tahun
sudah ada pergeseran distribusinya. Sekitar 70 persen sarjana pada tahun 1980 ada di
Jawa, kemudian pada tahun 1990 menjadi 67,8 persen. Hal ini menunjukkan
73
perubahan yang menggembirakan. Berbagai indikasi dapat ditarik, antara lain makin
tingginya kesempatan lapangan pekerjaan maupun jabatan di luar Jawa-Bali,
sehingga proporsi sarjana yang sudah bekerja di luar Jawa-Bali makin tinggi pada
tahun 1990-an dibandingkan keadaan tahun 1980-an.
Tabel 4.1 Distribusi persentase sarjana yang bekerja
Menurut variabel-variabel dalam penelitian sensus penduduk, dan kategori jawaban
Sensus Penduduk 1980 Sensus Penduduk 1990 V a r i a b e l ---------------------------- ------------------------------- 0 1 0 1 Kesenjangan 8,7 9,3 22,3 77,7 D a e r a h 19,6 80,4 16,9 83,1 Pulau 29,6 70,4 32,2 67,8 Agama 30,6 69,4 26,8 73,2 Migran 83,4 16,6 85,4 14,6 Lap Pekerjaan 25,6 74,4 34,2 65,8 Hub dg Krt 18,2 81,8 28,6 71,4 Jenis kelamin 16,7 83,3 24,0 76,0 U m u r 65,2 34,8 70,9 29,1 Status Perkawinan 15,9 84,1 26,2 73,8
Menurut agama yang dianut yang dikategorikan menjadi Non Islam dan Islam
menunjukkan bahwa perubahan yang sangan bermakna selama sepuluh tahun. Pada
tahun 1980 proporsi sarjana yang beragama Islam ada 69,4 persen, kemudian pada
tahun 1990 menjadi 73,2 persen. Makin tingginya proporsi ini disamping seiring
dengan proporsi jumlah penduduk Indonesia menurut agama yang mayoritas
74
menganut Agama Islam, juga menjunjukkan makin tingginya kesempatan
memperoleh pendidikan tinggi bagi masyarakat banyak> Namun diperkirakan walau
makin banyak proporsi sarjana dari kategori masyarakat Islam, yang Non-Islam
walaupun proporsinya lebih kecil jumlahnya tetap bertambah dari tahun 1980-an
hingga tahun 1990-an. Bahkan apabila dilihat mutu pendidkan yang tercermin pada
jurusan pendidikan akan berbeda. Sarjana Non-Islam terdistribusi pada jurusan-
jurusan ekonomi, kedokteran, dan teknik. Selanjutnya dari laparangan pekerjaan
sarjana non-Islam mayoritas pada serktor perdagangan, lembaga keuangan,
pemberintahan, dan industri.
Teori migrasi menyatakan bahwa makin baik kehidupan seseorang cenderung
pada mereka yang emlakukan migrasi termasuk urbanisasi (Todaro, 1982). Hal ini
tidak berlaku pada kelompok masyarakat berpendidikan sarjana. Pada tahun 1980
sarjana yang sudah bekerja yang melakukan migrasi selama 5 tahun ada 16,6 persen,
kemudian pada tahun 1990 menurun hanya 14,6 persen. Hal ini diperkirakan bahwa
kelompok mansyarakat berpendidikan sarjana yang sudah bekerja secara umum
kehidupannya lebih mapan. Dalam demografi, faktor penyebab migrasi pendidkan
apalagi urbanisasi adalah faktor ekonomi termasuk lapangan pekerjaan.
Kelompok sarjana yng sudah bekerja menurut lapangan pekerjaan terbagi
pada Pemerintahan/Hankam dan lainnya. Pengelompokan ini semata karena
mayoritas sarjana di Indonesia bekerja pada sektor Pemerintahan/Hankam. Sarjana
yang bekerja di Pemerintahan/Hankam pada tahun 1980 ada 74,4 persen, kemudian
pada tahun 1990 menurun menjadi 65,8 persen. Hali ini menunjukkan adanya banyak
faktor. Antara lain pada tahun 1980-an di samping para sarjana jumlahnya sedikit,
75
dunai swasta masih sangat rendah partisipasinya, maka para sarjana ini memilih
lapangan pekerjaan yang terbaik pada saat itu adalah di Pemerintahan/Hankam.
Kemudian keadaan tahun 1990-an di sektor swasta mkulai berperan, investasi
meningkat lapangan pekerjaan non-Pemerintah/Hankam yang menbutuhkan sarjana
cukup tinggi, maka terjadi pergeseran tersebut di atas.
Secara demografis salah satu variabelnya adalah hubungan dengan kepala
rumahtangga dalam satu atap/keluarga. Di Indonesia menjadi sangant penting karena
secara demografis derajat ketergantungan antar kerabat masih tinggi. Dalam satu
atap/ruamahtangga dapat dihuni oleh orang tua, anak, cucu, orang tua, mertua,
menantu, pembantu, bahkan oranglain atau kerabat. Khusus kelompok yang
mempunyai pendidikan tertinggi sarjana pada tahun 1980 dilihat dari variabel ini
menunjukkan bahwa ada 81,8 persen sebagai kepala rumah tangga, istri, atau suami,
dan 18,2 persen yang dalam rumah tangga sebagai anak atau menantu atau lainnya
seperti mertua, orang tua atau kerabat lain. Pada tahun 1990 komposisinya berubah
menjadi 71,4 persen kepala rumah tangga, istri, atau suami dan 28,6 persen sebagai
anak, menantu, atau kerabat lain. Pergeseran ini menunjukkanbanyak hal antara lain
makin tingginya anak atau menantu dalam suatu rumah tangga yang mendapatkan
kesempatan memperoleh pendidikan hingga sarjana.
Pembagian menurut jenis kelamin menjunjukkan perubahan komposisi yanbg
sangat menonjol. Pada tahun 1980 83,3 persen sarjana di Indonesia laki-laki dan 16,7
persen perempuan. Pada tahun 1990 telah berubah dengan sangat bermakna ialah 76
persen sarjana laki-laki dan 24 persen perempuan. Hal ini tiada lain merupakan
resultante dari berbagai kebijakan pemerintah dalam pembelaan kelompok
76
perempuan, yang direalisasikan melalui kebijaksanaan pengiriman mahasiswa keluar
negeri dengan komposisi maksimum 70 persen laki-laki dan minimum 30 persen
perempuan (Bappenas, 1983).
Dari kelompok umur yang dibagi menjadi dua kategori kurang dari 40 tahun
dan kategori 40 tahun keatas, juga menunjukkan adanya perubahan komposisi yang
bermakna. Pada tahun 1980 65,2 persen sarjana yang berumur kurang dari 40 tahun,
pada tahun 1990 menjadi 70,9 persen sarjana yang berumur kurang dari 40 tahun.
Pergeseran ini dimungkinkan oleh karena banyak faktor, antara lain kesempatan
mendapatkan pendidikan lebih tinggi pada periode 1980-1990 lebih tinggi baik
didalam negeri di PTN maupun di PTS, dan juga kesempatan pendidikan di luar
negeri. Pergeseran ini terjadi secara demografis antara lain menurut kohor (kelompok
umur) menunjukkan bahwa kesempatan memperoleh pendidikan makin baik,
kelompok umur SLP dan SLA pada tahun 1980-an memperoleh kesempatan
menyelesaikan sarjana pada tahun 1985-an, yang kemudian pada tahun 1990-an telah
terjun pada kelompok sarjana yang bekerja. Hal ini juga menunjukkan bahwa pada
dekade tahun 1980-an mulai bermunculan perguruan tinggi swasta yang telah
meluluskan sarjananya, disamping produk program pendidikan di luar negeri.
Terakhir variabel demografi yang diambil dalam penelitian ini adalah status
perkawinan. Pada tahun 1980 15,9 persen belum kawin, dan 84,1 persen sudah
pernan kawin (kawin, janda, duda, cerai mati, cerai hidup). Pada tahun 1990 26,2
persen belum kawin, dan 73,8 persen pernah kawin. Hal ini banyak faktor yang
mempengaruhinya, antara lain faktor demografi, seperti umur di mana banyak sarjana
77
pada umur lebih muda tahun 1990-an, faktor ketergantungan tempat tinggal dimana
masih ikut orang tua, dan mungkin faktor sosial juga yang mempengaruhinya.
2. Deskripsi kesenjangan
Kesenjangan yang didefinisikan sebelumnya kemudian dikaji kaitan
sederhana (asosiasinya) dengan sembilan variabel-variabel independen tersebut.
Kenyataan secara umum pada tahun 1980 dan tahun 1990 menunjukkan berbagai
persamaan dan perbedaan. Secara umum kesamaan makro menunjukkan ada asosiasi
secara sederhana yang signifikan antara variabel sosial, ekonomi, demografi terhadap
kesenjangan.
Ada dua perbedaan mendasar :
1) Variabel demografi jenis kelamin tidak menunjukkan adanya perbedaan
kesenjangan menurut jenis kelamin laki-laki dan perempuan pada tahun
1980. Tetapi ada perbedaan secara nyata pada tahun 1990.
2) Perubahan urutan derajat asosiasi antara sembilan variabel independen
terhadap kesenjangan. Keadaan pada tahun 1980 dari yang derajat
asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan paling besar hingga ke yang
paling kecil signifikansinya secara berurutan adalah : migrasi, Lapangan
Pekerjaan,
Daerah, Pulau, Hubungan dengan kepada rumahtangga, Umur, Status
perkawinan, Agama, Jenis Kelamin. Pada tahun 1990 urutannya menjadi :
Daerah, Pulau Jenis Kelamin, Lapangan Pekerjaan, Umum Migrasi,
Agama, Status Perkawinan, Hukungan dengan Kepala rumahtangga.
Variabel daerah yang pada tahun 1980 pada urutan yang tiga pada tahun
78
1990 menjadi pada urutan yang pertama. Hal ini memberikan indikasi
bahwa perubahan pengaruh variabel daerah (kota, pedesaan) terhadap
kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan jabatan pada tahun 1990
dijumpai sangat tinggi.
Sosial
Selanjutnya apabila dikaji dari tabel 5 dan tabel 6 terlihat bahwa pada tahun
1980 semua sarjana yang bekerja dan tidak senjang ada 8,7 persen dan yang senjang
ada 91,3 persen, sedangkan pada tahun 1990 yang tidak senjang 22,3 persen dan yang
senjang ada 77,7 persen.
Gambar 4.1 Perubahan urutan derajat pengaruh/asosiasi sembilan
Variabel independen terhadap kesenjangan Dari tahun 1980 hingga tahun 1990
Urutan 1980 1990 1. Migrasi 4. . → . 1. D a e r a h 2. Lap Pekerjaan 5. . → . 2. Pulau 3. D a e r a h 1. . → . 7. Jenis Kelamin 4. Pulau 2. . → . 5. Lap Pekerjaan 5. Hub dg Krt 6. . → . 8. Umur 6. Umur 8. . → . 4. Migrasi 7. Stat.Perkawinan 9. . → . 3. Agama 8. A g a m a 3. . → . 9. Stat.Perkawinan 9. Jenis kelamin 7. . → . 6. Hub dg Krt
79
Apabila dikaji bagaimana distribusi ini menurut daerah kota dan pedesaan
menunjukkan perubahan yang sangat tinggi, di tahun 1980 yang senjang di pedesaan
lebih tinggi dari di kota, tetapi sebaliknya pada tahun 1990 kesenjangan di pedesaan
lebih kecil dibandingkan di kota. Jadi di samping secara umum kesenjangan antara
jurusan pendidikan dan jabatan pekerjaan yang ditekuni oleh para sarjana yang sudah
bekerja makin kecil atau keadaannya makin baik selama kurun waktu 1980-1990, di
daerah pedesaan membaik lebih cepat keadaannya dibandingkan di perkotaan. Hal ini
banyak sekali faktor yang menentukannya, di antaranya faktor perhatian
pembangunan di pedesaan yang makin membaik, pilihan sarjana bekerja di pedesaan
cenderung lebih cocok jurusan pendidikannya dengan jabatan yang ditekuni atau
yang dipilihnya. Tetapi di kota sebaliknya, sarjana yang bekerja di kota, terutama
yang masih baru cenderung akan menerima pekerjaan apa saja terlebih dahulu
sebelum mendapatkan pekerjaan yang lebih cocok dengan jurusannya.
Variabel pulau meningkat dari urutan nomor empat pada tahun 1980, menjadi
nomor dua pada tahun 1990. Hal ini menunjukkan indikasi hasil pembangunan SDM
selama periode 1980 hingga 1990 termasuk distribusinya menurut pulau yang dibagi
menjadi Jawa-Bali, Sumatera, dan pulau-pulau lainnya makin membaik. Hal ini
ditunjukkan distribusi sarjana menurut kelompok pulau tersebut diatas pada tahun
1980 dan tahun 1990. Pada tahun 1980 sarjana yang ada di Jawa-Bali ada 70,4
persen, Sumatera 15,1 persen dan pulau lainnya ada 14,4 persen. Selanjutnya pada
tahun 1990 menunjukkan perubahan yang lebih merata ialah di Jawa 67,8 persen di
Sumatera 15,9 persen, dan di pulau-pulau lainnya ada 16,3 persen. Hal ini merupaian
indikasi pembangunan secara umum selama kurun waktu sepuluh tahun yang lebih
80
memberikan kesempatan bagi sarjana untuk bekerja di luar Jawa lebih baik.
Disamping itu juga merupakan indikasi membaiknya pembangunan SDM
berpendidikan tinggi di Luar Jawa. Perubahan ini secara rinci juga menunjukkan
bahwa pada tahun 1980 kesenjangan di luar jawa lebih besar, dan di Sumatera lebih
besar dari dipulau-pula lainnya. Pada tahun 1990 secara umum kesenjangan makin
kecil, walaupun di luar jawa masih lebih besar juga dibandingkan di Jawa, namun
kesenjangan di Sumatera dan di pulau-pulau lainnya sama (Tabel 5 dan Tabel 6).
Variabel agama yang pada tahun 1980 merupakan variabel yang mempunyai
derajat asosiasi relatif kecil terhadap kesenjangan, namun pada tahun 1990 bergeser
satu tangga menjadi lebih signifikat. Hal yang sama seperti variabel jenis kelamin
bahwa pembangunan di bidang keagamaan kaitannya dengan pengembangan SDM
menunjukkan derajat pengaruh yang sangat signifikan. Walaupun secara mutlak
jumlah sarjana pada tahun 1990 meningkat sekitar empat kali jumlah pada tahun
1980, namun secara proporsional kelompok Islam bertambah lebih cepat. Pada tahun
1980 sarjana non-Islam ada 30,6 persen, kemudian pada tahun 1990 hanya 26,8
persen. Apabila dilihat kesenjangan menunjukkan bahwa pada tahun 1980 kelomnpok
sarjana non-Islam lebih kecil kesenjangannya dibandingkan kelompok sarjana
Islam.Pada tahun 1990 keadaannya sama bahkan kelompok Islam menunjukkan
penurunan kesenjangan yang lebih cepat. Hal ini dimungkinkan bahwa kelompok
non-Islam di Indonesia pada umumnya tinggal di kota-kota yang sejak kemerdekaan
telah mempunyai akses ekonomi, sosial, dan demografi yang lebih baik termasuk
adses pendidikan lebih baik pula. Sehingga dampat pembangunan SDM
81
berpendidikan tinggi cenderung lebih berdampak kepada kelompok Islam (Tabel 7
dan Tabel 16).
Variabel Migrasi memberikan asosiasi terhadapt variabel kesenjangan baik
pada tahun 1980 maupun pada tahun 1990 sangant signifikan, namun ada pergeseran
urutan dari delapan variabel independen lainnya yang dipergunakan dalam penelitian
ini. Pada urutan yang pertama, kemudian pda tahun 1990 bergeser menjadi urutan
yang keenam. Hal ini menunjukkan indikasi bahwa kebijakan pemerataan
pembangunan daerah yang makin membaik, sehingga peluang pilihan-pilihan jabatan
pekerjaan yang lebih cocok bagi para sarjana menjadi lebih besar dan lebih mapan.
Apabila dikaji lebih mendalam bahwa pada tahun 1980 sarjana yang sudah bekerja
terdiri dari 83,4 persen tidak melakukan migrasi antar propinsi selama lima tahun
yang lalu, dan hanya 16,6 persen yang melakukan migrasi selama lima tahun yang
lalu. Kemudian keadaannya berubah bahwa pada tahun 1990 ternyata sarjana yang
sudah bekerja dan tidak melakukan migrasi antar propinsi selama lima tahun yang
lalu lebih besar dibandingkan tahun 1980, ialah sebesar 85,4 persen, dan yang tidk
melakukan migrasi selama lima tahun yang lalu ada 14,6 persen. Selanjutnya
kesenjangan yang ada pada tahun 1980 secara umum lebih besar dibandingkan
keadaan tahun 1990. Namun secara rinci pada tahun 1980 kelompok migran lebih
kecil kesenjangan dibandingkan kelompok non-migran. Selanjutnya pada tahun 1990
keadaannya adalah sebaliknya, kelompok migran lebih besar kesenjangannya,
dibandingkan yang non-migran (Tabel 8 dan Tabel 17).
82
Ekonomi
Variabel lapangan pekerjaan sebagai kegiatan ekonomi pada tahun 1980 pda
urutan yang kedua, kemudian pada tahun 1990 bergeser menjadi urutan yang
keempat. Distribusi sarjana yang bekerja pada tahun1980 74,4 persen pada lapangan
pekerjaan pemerintahan/hankam dan hanya 25,6 persen pada sektor lainnya.
Kemudian pada tahun 1990 sarjana yang bekerja pada lapangan pekerjaan
pemerintahan/hankam menurun menjadi 65,8 persen, dan disektor lainnya ada 34,2
persen. Hal ini menunjukkan ketergantungan para sarjana pada sektor
pemerintahan/hankam makin mengecil. Hal ini merupakan indikasi bahwa disamping
makin besarnya peluang di sektor swasta yang makin luas bagi sarjana, juga makin
kecilnya minat para sarjana untuk bekerja di sektor pemerintahan/hankam. Artinya
selama kurun waktu sepuluh tahun 1980-1990 telah terjadi perubahan persepsi para
sarjana dari keinginan utama bekerja di sektor pemerintahan/pegawa negeri ke sektor
non-pemerintahan/swasta. Apabila dilihat dari kesenjangan antara jurusan pendidikan
sarjananya dengan jabatan yang ditekuni menunjukkan bahwa secara umum makin
kecil selama kurun waktu sepuluh tahun. Secara rinci menurut lapangan pekerjaannya
pada tahun 1980 di samping mayoritas sarjana bekerja pda lapangan
pemerintahan/hankam juga dijumpai kesenjangannya lebih besar dibandingkan pada
sektor lainnya. Selanjutnya pada tahun 1990 penunjukan perubahan yang sebaliknya,
ialah walaupun sektor pemerintahan tetap masih mayoritas, namun kesenjangannya
lebih kecil (keadaannya lebih baik) dibandingkan pada sektor lainnya (Tabel 9 dan
Tabel 18).
83
Demografi
Variabel hubungan dengan kepada rumahtangga yang pada tahun 1980
mempunyai derajat asosiasi atau pengaruh terhadap kesenjangan yang sangat
signifikan dan merupakan variabel nomor lima, tetapi pada tahun 1990 walaupun
mempunyai derajat asosiasi yang signifikan namun pada urutan yang kesembilan.
Artinya hubungan dengan kepala rumahtangga pada tahun 1990 pada urutan yang
terakhir derajat signifikannya. Hal ini memberikan indikasi bahwa dependensi tempat
tinggal para sarjana pada tahun 1980 dan tahun 1990 mempunyai kesamaan
signifikansinya, tetapi berbeda urutannya dibandingkan delapan variabel lain yang
dipergunakan dalam penelitian ini. Pada tahun 1980 proporsi sarjana yang sudah
bekerja yang masih menumpang/serumah dengan orang tua orang lain cenderung
lebih sedikit dibandingkan keadaan tahun 1990. Namun apabila dilihat dari
kesenjangan antara jurusan pendidikan kesarjanaannya dengan jabatan yang
ditekuninya keadaan tahun 1980 menunjukkan bahwa kelompok anak/menantu atau
lainnya lebih kecil dibandingkan denan kelompok kepala rumahtangga, istri atau
suami. Kemudian keadaan pada tahun 1990 menunjukkan bahwa walaupun secara
umum menjadi lebih kecil kesenjangannya dibandingkan tahun 1980, tetapi pada
kelompok anak/menantu atau lainnya menunjukkan kesenjangan yang lebih besar
(Tabel 10 dan Tabel 19). Artinya, selama kurun waktu sepuluh tahun telah terjadi
banyak sekali purubahan, khususnya tentang pembangunan perumahan, telah terjadi
pada kelompok sarjana yang sudah bekerja dalam rumahtangga sebagai kepala rumah
tangga/istri atau suami dan relatif lebih baik kehidupannya yang tercermin pada
84
pekerjaan yang dimiliki lebih cocok jurusan kesarjanaannya dengan jabatan yang
ditekuninya.
Variabel jenis kelamin pada tahun 1980 yang menunjukkan tidak signifikan
asosiasi/pengaruhnya terhadap kesenjangan, pada tahun 1990 menjadi sangat
signifikan pengaruhnya. Disamping itu variabel jenis kelamin ini pada tahun 1980
disamping sangat sedikit juga tidak menunjukkan adanya perbedaan kesenjangannya
dengan kelompok laki-laki, sebaliknya dengan keadaan tahun 1990. Pada tahun 1980
pada urutan yang kedelapan pengaruhnya terhadap kesenjangan, dan pada tahun 1990
meningkat menjadi urutan yang ketiga. Hal ini merupakan salah satu indikasi
keberhasilan kebijakan pemerintah dalam bidang peranan dan partisipasi wanita
dalam pembangunan, khususnya dalam pembangunan sumber daya manusia. Jumlah
sarjana wanita yang bekerja pada tahun 1980 dan 16,7 persen, kemudian jumlah
tersebut pada tahun 1990 menjadi 24 persen. Secara absolut pertambahannya sekitar
enam kali, sedangkan untuk pria hanya 3,7 kalinya. Apabila dikaji menurut
kesenjangannya, pada kelompok sarjana wanita pada tahun 1980 sama dengan
kelompok laki-laki, tetapi pada tahun 1990 menjadi berbeda secara signifikan. Pada
tahun 1990 kelompok sarjana wanita kesenjangan antara jurusan dengan jabatan yang
ditekuni lebih kecil dibandingkan kelompok laki-laki (Tabel 11 dan Tabel 20). Jadi
selama kurun waktu pembangunan SDM wanita telah berhasil sangat cemerlang,
disamping secara absolut sangat tinggi keberhasilannya, juga dalam hal kesesuaian
jurusan dan jabatan/profesinya yang lebih berhasil pula.
Variabel umur memberikan asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan pada
tahun 1980 dan pada tahun 1990 hanya berubah urutannya satu tahap. Pada tahun
85
1980 merupakan urutan yang keempat, menjadi urutan yang kelima pada tahun 1990.
Variabel umur dikelompokkan menjadi dua kategori ialah kurang dari 40 tahun
sebagai usia yang sangat produktif, dankelompok sarjana yang usianya 40 tahun atau
lebih yang merupakan usia menginjak kematangan. Pada tahun 1980 ada 65,2 persen
kelompok sarjana yang bekerja yang berusia kurang dari 40 tahun. Kemudian pada
tahun 1990 kelompok ini meningkat jumlahnya menjadi 70,9 persen. Dikaji dari
kesenjangannya menunjukkan bahwa pada tahun 1980 menunjukkan perbedaan
kesenjangan yang sangat kecil antara kedua kelompok tersebut. Namun pada tahun
1990 menunjukkan perbedaan kesenjangan yang sangat signifikan. Derajat
kesenjangan pada kelompok umur kurang dari 40 tahun 77,1 persen, sedangkan pada
kelompok umur 40 tahun keatas 79,1 persen. Hal ini berarti kesenjangan antara
jurusan kesarjanaan dengan jabatan/profesi pekerjaannya pada tahun 1990 masih
lebih tinggi terjadi pada kelompok usia 40 tahun ke atas, dibandingkan
dengankelompok usia kurang dari 40 tahun (Tabel 12 dan Tabel 21). Bisa dikatakan
bahwa pembangunan SDM berpendidikan tinggi kaitannya dengan kesesuaian
jurusan dan jabatan yang ditekuni lebih berhasil. Kelompok umur 40 tahun keatas
diperkirakan pada tahun 1980 telah pula bekerja dan mayoritas sudah sarjana.
Variabel status perkawinan yang pada tahun 1980 menunjukkan derajat
asosiasi/pengaruh terhadap kesenjangan, pada tahun 1990 bergeser urutannya menjadi
yang paling rendah derajat asosiasi/pengaruhnya terhadap kesenjangan. Hal ini tidak
memberikan indikasi apapun, karena pada umumnya sarjana baik laki-laki maupun
perempuan yang telah bekerja mayoritas di atas usia kawin. Sehingga pengaruh
berbagai kebijakan pemerintah di bidang perkawinan mempunyai dampat yang relatif
86
sangat kecil pada kelompok masyarakat ini. Selanjutnya dilihat dari kesenjangannya
menunjukkan hal –hal berikut. Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang berstatus
belum kawin mempunyai kesenjangan yang lebih kecil dibandingkan yang sudah
pernah kawin. Begitu pula keadaan pada tahun 1990 menunjukkan gejala yang sama,
bahwa kelompok sarjana yang belum kawin yang telah bekerja relatif kesenjangannya
lebih kecil dibandingkan dengan kelompok yang pernah kawin (Tabel 13 dan Tabel
22).
Selanjutnya untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan
variabel dengan bobot Factor Score coefficients (koefisien yang didapatkan dari
analisis faktor).
Angka Eigen value menunjukkan jumlah kontribusi variabelitas (informasi)
dari faktor-faktor atau variabel-variabel yang dipergunakan dalam membuat suatu
indeks komposit. Dalam analisis ini membuat indeks komposit variabel sosial dan
demografi. Variabel sosial terdiri dari variabel Pulau, Daerah, dan Status Migran.
Kemudian variabel demografi terdiri dari variabel hubungan dengan kepala
rumahtangga, Status Sperkawinan, dan variabel umur.
Indeks komposit variabel sosial (sosiall) pada data tahun 1980 memuat 58,1 persen
dari total informasi atau variabilitas yang terkandung didalam tiga variabel ialah
varibel Pulau, Daerah, dan Status Migran. Kemudian untuk datatahun 1990 memuat
63,0 persen. Selanjutnya untuk indeks komposite demografi pada tahun 1980 memuat
40,2 persen dari informasi atau variabilitas yang terkandung dalam faktor-faktor
hubungan dengan kepala rumahtangga, status Perkawinan, dan Umur. Sedangkan
87
pada data tahun 1990 memuat 38,0 persen informasi yang terkandung di dalam ketiga
informasi tersebut.
Indeks komposit yang tersusun dengan metode regresi dari variabel-variabel
tersebut yang distandarkan dengan koefisien dalam persamaan sebagai berikut.
Sosial = 0,491 * Pulau + 0,317 * Daerah + 0,482 * Migrasi (thn1980). Eigen value
1,74 atau 58,1 persen.
Sosial = 0,462 * Pulau + 0,340 * Daerah + 0,453 * Migrasi (thn 1990). Eigen value
1,87 atau 63,0 persen
Demografi = 0,596 * Hub-KRT + 0,632 * S-kawin + 0,272 * Umur (thn 1980). Eigen
value 1,21 atau 40,2 persen
Demografi = 0,670 * Hub-KRT + 0,658 * S-kawin + 0,040 * Umur (thn 1990). Eigen
value 1,14 atau 38,0 persen
Dimana
Hub - KRT = Hubungan dengan Kepala Rumah Tangga
S - kawin = Status Perkawinan.
Kemudian data demografi dan sosial dikategorikan menjadi dichotomous
(0,1). No 1 untuk skor negatif, dan satu untuk skor nol atau positif. Selanjutnya
88
didefinisikan bahwa untuk variabel sosial skor negatif disebut kelompok sisial
rendah, dan untuk sekor nol atau positif disebut kelompok sosial tinggi. Sama halnya
untuk variabel demografi yang negatif disebut kelompok demografi rendah, dan bagi
kelompok nol atau positif desebut kelompok demografi tinggi.
Deskripsi pengaruh atau asosiasi variabel ekonomi, sosial, dan demografi
terhadap kesenjangan dapat dianalisis secara multivariate dengan menggunakan
metode analisis asosiasi parsial dan pengaruh interaksinya yang diajukan oleh Agung
(1993).
Ukuran ini didapatkan secara deskriptif pembedaan proporsi kesenjangan antara
kategori dalam suatu variabel independen, pada kategori tertentu dari variabel-
variabel independen lainnya. Secara teoritis kasus ini merupakan probabilitas
bersyarat.
Keadaan tahun 1980
1) Keadaan tahun 1980 interaksi ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh
terhadap kesenjangan yang ditunjukkan dengan angka koefisien interaksi (Ki)
sebesar 0,0250 (Tabel 25 pada Lampiran Bab IV). Kemudian secara parsial,
tahun 1980 menunjukkan bahwa koefisien asosiasi (Ka) parsial antara faktor
demografi terhadap kesenjangan pada kelompok sarjana yang bekerja di
sektor ekonomi non-pemerintah sama dengan -0,0106. Ini menunjukkan
bahwa bagi kelompok sarjana dengan skor demografi negatif atau kelompok
demografi rendah, bekerja pada sektor pemerintah mempunyai kesenjangan
89
yang lebih tinggi dibandingkan kelompok dengan skor demografi positif.
Sebaliknya pada kelompok yang bekerja di pemerintahan (Ka=0,0144).
Selanjutnya kelompok sarjana yang bekerja pada sektor non-pemerintah
mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan
kelompok yang bekerja di pemerintahan (Ka=0,0117), baik mereka yang
mempunyai skor demografi negatif maupun positif (Ka=0,0367).
2) Interaksi lapangan pekerjaan dan sosial mempunyai pengaruh terhadap
kesenjangan (Ki=0,0063). Apabila dilihat menurut kelompok sarjana yang
bekerja pada kelompok sosial negatif mempunyai angka kesenjangan lebih
tinggi dibandingkan dengan kelompok sosia positif, baik yang sektor non-
pemerintahan maupun di sektor pemerintahan (Ka= -0,0326 dan -0,0063).
Selanjutnya sarjana yang bekerja di non pemerintahan mempunyai angka
kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan yang bekerja di pemerintahan,
baik pada kelompok sosial negatif maupun kelompok sosial positif
(Ka=0,0220 dan Ka=0,0292).
3) Interaksi variabel sosial dan demografi mempunyai pengaruh terhadap
kesenjangan (ki= -0,0117). Sarjana yang bekerja menurut kelompok sosial
negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
kelompok sosial positif, baik pada kelompok demografi negatif maupun
positif (Ka=0,0157 dan Ka=0,0040). Selanjutnya jika dilihat sarjana yang
bekerja menurut kelompok demografi skor negatif mempunyai angka
kesenjangan yang lebih rendah dari kelompok sosial skor negatif maupun
positif (Ka=-0,0215 dan Ka=-0,0332).
90
4) Kesenjangan dilihat dari variabel sosial dan demografi pada kategori ekonomi
tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.
Sarjana yang bekerja di non-pemerintah menunjukkan interaksi bertanda
negatif antara variabel sosial dan demografi terhadap kesenjangan, sebaliknya
bertanda positif pada kelompok yang bekerja di sektor pemerintahan. Secara
rinci dapat dilihat bahwa kelompok sarjana yang bekerja di non-pemerintah
saja sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif
mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka pada kelompok demografi positif, baik pada mereka yang tergolong
sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial
skor negatif mampunyai angka kesenjangan dengan mereka pada kelompok
sosial positif, baik pada mereka yang tergolong demografi skor negatif
maupun positif. Selanjutnya sarjana yang bekerja di pemerintahan saja adalah
sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai
angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka pada
kelompok demografi positif, baik pada mereka yang tergolong sosial skor
negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial skor negatif
mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka pada kelompok sosial positif, baik pada mereka yang tergolong
demografi skor negatif maupun positif.
5) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan demografi pada kategori sosial
Tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.
91
Interaksi variabel ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh terhadap
angka kesenjangan bertanda positif, baik pada kelompok sosial negatif
maupun kelompok sosial positif.
Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok sosial negatif adalah
sebagai berikut.Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai
angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan denganmereka pada
kelompok demografi positif, pada mereka bekerja di non-pemerintah tetapi
sebagaliknya yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja
di non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, pada kelompok yang
secara demografis skor negatif, sebaliknya pada yang skor demografi positif.
Selanjutnya pada kelompok sosial positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada
kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, pada
mereka bekerja di non-pemerintah tetapi sebaliknya yang bekerja di
pemeritahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah mempunyai
angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka yang di
pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis skor negatif
maupun positif.
6) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan sosial pada kategori demografi
tertentu dijumpai hal sebagai berikut. Interaksi variabel ekonomi dan sosial
mempunyai pengaruh terhadap angka kesenjangan bertanda positif, pada
92
kelompok yang secara demografis skor negatif. Sebaliknya pada kelompok
yang secara demografis skor positif.
Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok demografi skor
negatif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok sosial skor negatif
mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka pada kelompok demografi positif, baik yang bekerja di non-
pemerintahan maupun di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di
non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka yang dipemerintahan, pada kelompok sosial
skor negatif, sebaliknya pada yang skor sosial positif. Selanjutnya pada
kelompok demografi positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok
sosial skor negatif mempunyai angka kesenjanganyang lebih tinggi
dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, baik yang di non-
pemerintah maupun di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di
non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah
dibandingkan dengan mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok
yang secara demografis skor negatif maupun positif.
Keadaan tahun 1990
1) Interaksi ekonomi dan demografi mempunyai pengaruh terhadap
kesenjangan.
Kelompok sarjana yang secara demografis mempunyai skor negatif
mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
93
kelompok yang secara demografis skor positif, pada sektor non pemerintah.
Sebaliknya kelompok sarjana dengan skor demografi negatif, bekerja pada
sektor non-pemerintahan lebih rendah. Kemudian yang bekerja di sektor di
non-pemerintahan mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi
dibandingkan yang bekerja di sektor pemerintahan, baik pada kelompok
demografis skor negatif maupun positif.
2) Interaksi ekonomi dan sosial mempunyai pengaruh terhadap kesenjangan.
Apabila dilihat menurut kelompok sarjana yang bekerja pada kelompok sosial
skor negatif mempunyai angka kesenjangan lebih tinggi dibandingkan
dengan kelompok sosial positif, pada sektor non-pemerintahan. Sebaliknya
pda sektor pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-
pemerintahan mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan
yang bekerja di pemerintahan, pada kelompok sosial skor negatif. Sebaliknya
pada kelompok sosial skor positif.
3) Interaksi variabel sosial dan demografi mempunyai pengaruh terhadap
kesenjangan. Sarjana yang bekerja menurut kelompok sosial negatif
mempunyai angka kesenjangan yang sama dengan kelompok sosial positif,
pada kelompok demografi skor negatif. Namun lebih tinggi pada kelompok
demografi skor positif. Selanjutnya jika dilihat sarjana yang bekerja menurut
kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih
rendah dari kelompok demografi skor positif, pada kelompok sosial skor
negatif. Tetapi sebaliknya pada kelompok sosial skor positif.
94
4) Kesenjangan dilihat dari variabel sosial dan demografi pada kategori ekonom
tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.
Sarjana yang bekerja di non-pemerintah menunjukkan interaksi bertanda
negatif antara variabel sosial dan demografi terhadap kesenjangan, baik pada
kelompok yang bekerja di non-pemerintahan maupun di pemerintahan.
Secara rinci dapat dilihat bahwa kelompok sarjana yang bekerja di non
pemerintah saja sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor
negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan
dengan mereka pada kelompok demografi positifk baik pada mereka yang
tergolong sosial skor negatif maupun positif. Selanjutnya sarjana pada
kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, baik pada
mereka yang tergolong demografi skor negatif maupun positif.
Selanjunya sarjana yang bekerja di pemerintahan saja adalah sebagai berikut.
Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai angka
kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan mereka pada kelompok
demografi positif, baik pada mereka yang tergolong sosial skor negatif
maupun positif. Selanjutnya sarjana pada kelompok sosial skor negatif
mempunyai angka kesenjanganyang lebih rendah dibandingkan denan
mereka pada kelompok sosial positif, baik pada mereka yang tergolong
demografi skor negatif maupun positif.
5) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan demografi pada kategori
sosial tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut. Interaksi variabel ekonomi
95
dan demografi mempunyai pengaruh terhadap angka kesenjangan bertanda
positif, baik pada kelompok sosial negatif maupun kelompok sosial positif.
Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok sosial negatif adalah
sebagai berikut. Sarjana pada kelompok demografi skor negatif mempunyai
angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka pada
kelompok demografi positif, pada mereka bekerja di non-pemerintah tetapi
sebaliknya yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di
non-pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi
dibandingkan denganmereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang
secara demografis skor negatif maupun positif.
Selanjutnya pada kelompok sosial positif adalah sebagai berikut. Sarjana pada
kelompok demografi skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok demografi positif, pada
mereka bekerja di non-pemerintah tetapi sebaliknya yang bekerja
dipemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-pemerintah
mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan dengan
mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara demografis
skor negatif maupun positif.
6) Kesenjangan dilihat dari variabel ekonomi dan sosial pada kategori
demografi tertentu dijumpai hal-hal sebagai berikut.
Interaksi variabel ekonomi dan sosial mempunyai pengaruh terhadap angka
kesenjangan bertanda positif, pada kelompok yang secara demografis skor
negatif maupun positif.
96
Secara rinci dapat dilihat bahwa sarjana pada kelompok demografi skor
negatif adalah sebagai berikut. Sarjana pada kelompok sosial skor negatif
mempunyai angka kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan
mereka pada kelompok demografi positif, pada kelompok yang bekerja di
non-pemerintahan. Sebaliknya pada kelompok yang bekerja di pemerintahan.
Selanjutnya sarjana yang bekerja di non- pemerintah mempunyai angka
kesenjangan yang lebih tinggi dibandingkan dengan mereka yang di
pemerintah, baik pada kelompok sosial skor negatif maupun positif.
Selanjutnya pada kelompok demografi positif adalah sebagai berikut. Sarjana
pada kelompok sosial skor negatif mempunyai angka kesenjangan yang lebih
tinggi dibandingkan dengan mereka pada kelompok sosial positif, pada
kelompok yang bekerja di non-pemerintahan. Sebaliknya pada kelompok
yang bekerja di pemerintahan. Selanjutnya sarjana yang bekerja di non-
pemerintah mempunyai angka kesenjangan yang lebih rendah dibandingkan
dengan mereka yang di pemerintahan, baik pada kelompok yang secara
demografis skor negatif maupun positif.
3. Pengujian hopotesis
Hipotesis yang dituliskan pada bab terdahulu ada lima butir ialah tentang
perbedaan kesenjangan antara jurusan pendidikanyang ditamatkan dan jabatan/profesi
yang ditekuni, ada asosiasi/pengaruh demografi terhadap kesenjangan, ada
asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan, dan ada asosiasi/pengaruh
faktor ekonomi terhadap kesenjangan.
97
Secara sistematif hipotesis ini dituliskan sebagai berikut.
i) Ada perbedaan kesenjangan (antara hasil pendidikan dan jabatan
pekerjaan yang ditekuni, pada jenjang pendidikan tinggi) antara
kelompok sarjana menurut kelompok jurusan. Demikian juga
antara kelompok jabatan.
ii) Ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap kesenjangan
antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni,
iii) Ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap kesenjangan antara
hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni,
iv) Ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap kesenjangan
antara hali pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni,
v) Ada penurunan kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan
jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990 dibandingkan
pada tahun 1980, dan
vi) Secara multivariat pada asosiasi/pengaruh faktor demografi, sosial
dan ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi
dan jabatan pekerjaan yang ditekuni.
Hipotesis tersebut secara sederhana telah dibuktikan sebagaimana pada uraian
c.2 tentang deskripsi kesenjangan. Tiga faktor dalam hipotesis : demografi, sosial,
ekonomi secara sederhana mempunyai asosiasi dengan kesenjangan. Artinya, secara
berurutan menunjukkan hal-hal sebagai berikut :
98
Pertama memang ada kesenjangan bagi pada sarjana yang telah bekerja
menurut Jurusan dan jabatan yang ditekuninya.
Kedua telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor demografi terhadap
kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang
ditekuni. Faktor demografi yang terdidi dari empat variabel yaitu hubungan
dengan kepala Rumahtangga (B6P1B), jenis perkawinan (B6P2), umur
(B6P4Y), dan status perkawinan (B6P5B) masing-masing mempunyai
asosiasi/pengaruh yang signifikan baik pada tahun 1980 maupun pada tahun
1990.
Ketiga telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor sosial terhadap
kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang
ditekuni. Faktor sosial terdiri dari dari empat variabel ialah daerah (B1P5),
Pulau (B1P1Y), Agama (B6P6X), Migrasi (MIG1) masing-masing juga
menunjukkan asosiasi/pengaruh yang signifikan terhadap kesenjangan yang
terjadi pada sarjana yang telah bekerja menurut jurusan dan jabatan yang
ditekuninya. Keadaan ini terbukti pada data tahun 1980 maupun pada data
tahun 1990.
Keempat telah terbukti bahwa ada asosiasi/pengaruh faktor ekonomi terhadap
kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang
ditekuni. Data ekonomi yang dipergunakan adalah pendekatan data akses
sumber pendapatan melalui variabel lapangan pekerjaan (B7P31C) yang
ditekuni yang menunjukkan asosiasi/pengaruh yang signifikan terhadap
kesenjangan yang terjadi pada sarjana yang telah bekerja menurut jurusan dan
99
jabatan yang ditekuninya. Keadaan ini terbukti pada data tahun 1980 maupun
pada data tahun 1990.
Kelima telah terbukti pula bahwa ada penurunan kesenjangan antara hasil
pendidikan tinggi dan jabatan pekerjaan yang ditekuni, pada tahun 1990
dibandingkan pda tahun 1980. Hal ini ditunjukkan secara umum bahwa
kesenjangan pada tahun 1980 sebesar 91,3 persen, sedangkan pada tahun 1990
telah turun menjadi 77,7 persen. Penurunan ini terjadi sangan signifikan, yang
ditunjukkan dengan test statistik Z0, dimana Z0 = (P1–
P2)/√{P.q[1/n1+1/n2]}untuk uji beda dua proporsi.
Z0 = (0,913-0,777)/√[0,804x0,196x(1/190453+1/1772258)]
= 133,91.
Untuk melihat apakah secara multivariat ada asosiasi/pengaruh faktor
demografi, sosial dan ekonomi terhadap kesenjangan antara hasil pendidikan tinggi
dan jabatan pekerjaan yangditekuni, sesuai dengan skala pengukuran variabel-
variabel dalam penelitian ini bersifat kategorik dan dichotomous, digunakan model
Logistik (Agung, 1993). Model ini merupakan model yang diselaraskan analog
dengan analisis regresi ganda, namun dalam penelitian ini semua variabelnya
mempunyai ukuran dua kategori yang mempunyai nilai dichotomous {0,1}.
Penyelarasan model dilakukan pada variabel kesenjangan (K) sebagai variabel
dependen dan indikator ekonomi (E), demografi (D), dan sosial (S), serta semua
100
kemungkinan interaksinya SxE, SxD, ExD, ExDxS sebagai variabel independen.
Masing-masing mempunyai ukuran kategorik dengan nilai nol dan satu (0,1).
K 0 Tidak Senjang 1 senjang
E 0 Di N-Pemerintahan 1 Di Pemerintahan
D 0 Skor < 0 1 Skor ≥ 0
S 0 Skor < 0 1 Skor ≥ 0
Variabel kesenjangan (K) didefinisikan sebagai berikut. Apabila seorang yang
bekerja dengan jabatan tertentu (ISCO tiga digit) dan tidak cocok dengan jurusan
kesarjanaannya (ISCED) dua digit) dikatakan senjang dan diberi skor satu, sebaliknya
diberi skor 0. Indikator ekonomi (E) merupakan indikator lapangan pekejaan. Jika
seseorang bekerja di lapangan Non-Pemerintahan diberi skor 0, kemudian yang
bekerja di Pemerintahan diberi skor 1. Indikator demografi (D) merupakan indikator
yang disusun berdasarkan tiga variabel demografi. Tiga varabel demografi tersebut
adalah hubungan dengan Kepala Rumah tangga, statu Perkawinan, dan Umur.
Penyusunan dilakukan denganmenggunakan analisis faktor. Indikator demografi
diberi skor 0 atau (D=0) jika indeks komposit atau faktor skor < 0, dan diberi skor 1
(D=1) Apabila indeks komposit atau faktor skor ≥ 0. Dengan cara yang sama untuk
indikator sosial (S), dimana indikator ini merupakan indeks komposit dari tiga
variabel Pulau, Daerah dan Migran.
101
Persamaan umum fungsi logistik adalah sebagai berikut.
Ln [p/(1-p)] = B0 + B1E + B2D + B3S
+ B4ExD + B5ExS + B6DxS
+ B7ExDxS
atau dapat dituliskan sebagai berikut
p/(1-p) = Exp (B0).Exp(B1E).Exp(B2D).Exp(B3S)
Exp(B4ExD).Exp(B5ExS).Exp(B6DxS)
Exp(B7ExDxS)
dimana p adalah proporsi atau probalitas terjadinya kesenjangan.
Persamaan fungsi logistik yang diselaraskan pada data tahun 1980 dan pada
data tahun 1990 secara berurutan adalah sebagai berikut.
Ln [p/(1-p)]1980 = 2,6100 -- 0,2232*E - 0,3365*D
-- 0,5751*S + 0,4394*ExS
+ 0,2815*DxS + 0,7254*ExD
- 0,5992*ExDxS.
atau
[p/(1-p)]1980 = Exp (2,6100).Exp(-0,2232*E)
Exp(-0,3365*D).Exp(-0,5751*S)
Exp(0,4394*ExS).Exp (0,2815*DxS.
Exp(0,7254*ExD).Exp (-0,5992*ExDxS)
102
atau berdasarkan koefisien Exp (B)
p/q = 13.5990508518 * 0,7999E * 0,7143D * 0,5626S
* 1,5518SxE * 1,3252SxD
* 2,0656ExD * 0,5493ExDxS
Ln [p/(1-p)] 1990= 2.3614 - 1,4453* E - 0,3032*D
- 0,8584*S + 0,9255*ExS
+ 0,0622*DxS + 0,5681*ExD
- 0,1145*ExDxS.
atau
[p/(1-p)]1990 = Exp(2.3614) .Exp (-1,4453 * E)
Exp(-0,3032 * D) .Exp (-0,8584 * S)
Exp(0,9255 * ExS) .Exp (0,0622 * DxS).
Exp (0,5681 * ExD) .Exp (-0,1145 * ExDxS)
atau berdasarkan koefisien Exp (B)
p/q = 2.3614 * 0.2357E * 0.7384D * 0.4238S
* 2.52311SxE * 1.0642SxD * 1.7649ExD
* 0.8918ExDxS
103
Uji Tuna Cocok
Pengujian kecocokan dengan metode estimasi kecenderungan maksimum
(Maximum Likelihood Estimation), dengan pengertian hasil nilai yang di observasi
mempunyai kecenderungan yang sebesar mungkin atau maksimal (Agung 1995).
Nilai kecenderungan (likelihood) ini kurang dari satu. Oleh karenanya dipergunakan
nilai tes -2LL = -2 Log Likelihood. Dikatakan bahwa model akan sempurna jika nilai
likelihood (kecenderungan) sama dengan satu, atau -2 LL =0.
Penyelerasan model pada data tahun 1980 menunjukkan angka -2LL=
111591.651 dengan angka signifikan sangat kecil, yang berarti model logistik yang
diselaraskan berbeda dengan model sempurna. Namun demikian statistik Model Chi-
Square (MCS) = 1003.421 dengan derajat bebas tujuh, dan angka significance
kecilyang berarti secara bersama-sama indikator E, D, S dan interaksinya mempunyai
pengaruh yang berarti terhadap kesenjangan. Selanjkutnya statistik Improvement
mempunyai makni yang sama seperti MCS, jika metode estimasi dilakukan dengan
forword atau backword. Dikatakan bahwa MCS analog dengan D dalam regresi
ganda, dan Improvement analog dengan perubahan F dalam analisis regresi regresi
ganda. Selanjutnya Statistik Goodness of Fit = 190423.970 dengan derajat bebas
sangat besar dan signifikansi sangat kecil, menunjukkan bahwa model yang
diselaraskan berbeda secara signifikan dengan model sempurna. Statistik Goodness of
Fif sama dengan statistik -2LL.
Metode lain untuk mengetahui sejauh mana penyelerasan model cocok dengan
yang sempurna dengan menggunakan tabel klasifikasi. Penyelarasan model pada data
tahun 1980 menunjukkan angka sebesar 91,30 persen. Artinya 91,30 persen observasi
104
masih benar apabila diprediksi dengan model yang diselaraskan tersebut (Nurosis,
1986 : B-44).
Jadi analisis multivariate menggunakan model Logistik menunjukkan bahwa
hiptesis yang menyatakan ada pengaruh atau asosiasi antara indikator ekonomi,
demografi, sosial, serta interaksinya terhadap kesenjangan yang terjadi tidak ditolak.
Pada tahun 1980 mempunyai nilai statistik uji kecocokan -2LL = 111591,651
dan pada tahun 1990 -2LL = 804924,148 (Tabel 4.2). Kemudian pada tahun 1980
mempunyai nilai statistik uji pengaruh ganda MCS = 1003,421 dan pada tahun 1990
MCS = 11284,145.
Berdasarkan derajat signifikansinya, pada tahun 1980 dan pada tahun 1990
berdasarkan statistik -2LL, keduanya menunjukkan perbedaan yang berarti terhadap
model yang sempurna, namun berdasarkan statistik MCS, keduanya menunjukkan
bahwa indikator E, D, S, dan interaksinya mempunyai pengaruh terhadap
kesenjangan secara bermakna. Pada tahun 1980 menurut statistik Classification Table
menunjukkan tingkat kecocokan sebesar 91,30 persen, sedangkan pada tahun 1990
menunjukkan tingkat kecocokan sebesar 77,82 persen.
105
Tabel 4.2 Perbandingan Uji Statistik tahun 1980 dan 1990
Statistik Tahun 1980 Tahun 1990 Chi – Square df Significance Chi – Square df Significance -2 Log Likelihood 111591.651* * * * * * .0000 804924.148 * * * * * .0000 Model Chi-Square 1003.421 7 .0000 11284.145 7 .0000 Improvement 1003.421 7 .0000 11284 7 .0000 Goodness of Fit 190423.970* * * * * * .0000 771257.020 * * * * * .0000 Classification Table Percent Correct Overall 91.30% Percent Coorect Overall 77.82% Kebermaknaan Pengaruh indikator E, D, S
Indikator E, D, S dan interaksinya mempunyai pengaruh secara berarti
terhadap kesenjangan (k) yang ditunjukkan dengan nilai statistik Wald dan nilai
signifikansinya yangmenunjukkan angka kurang dari 0,0500. Hal ini berarti bahwa
Indikator E, D, S serta interaksinya SxE, SxD, ExD dan ExDxS mempunyai pengaruh
terhadap kesenjangan secara bermakna atau Narasi Pengaruh Indikator E, D dan S.
Pengaruh indikator E, D, S, dan interaksinya terhadap kesenjangan (K)
ditunjukkan dengan koefisien Beta (B) atau nilai Exp (B). Nilai B menunjukkan nilai
perubahan dari log odds. Log odds nilai log rasio probabilitas terjadinya kesenjangan
dengan tidak terjadinya kesenjangan. Artinya perubahan dari niali salah sati indikator
E, D, S, SxE, SxD ExD, ExDxS dari 0 ke 1 akan memberikan pengaruh kepada nilai
log odds sebesar Bi dengan asumsi ceteris paribus (Nurosis, 1986:B-43).
Kesenjangan menurut indikator Ekonomi
106
Selanjutnya untuk analisis odds Ratio (OR) dilakukan sedikit modifikasi
sehingga dapat ditemkukan beberapa pengaruh perubahan suatu indikator independen
E, D, S dari 0 ke 1 terhadap kesenjangan (K). Nilai Or pada Tabel 38 ini
menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Kelompok sarjana yang status demografinya
rendah (S=0) dan status sosial juga rendah (S=0), statistik OR atau perbandingan
probabilitas terjadinya kesenjangan antara pendidikan dan jabatan pekerjaan tahun
1980 pada kelompok sarjana yang bekerja di sektor pemerintahan (E=1) sama dengan
0,7999 kali dibandingkan dengankelompok sarjana yang bekerja di Non-
Pemerintahan (E=0). Angka OR ini berbeda pada kelompok sarjana yang skor
demografi rendah (E=0) dan skor sosial tinggi (S=1), skor demografi finggi (D=1)
dan skor sosial rendah (S=0) , skor demografi tinggi (D=1) dan skor sosial tinggi
(S=1), secara berurutan adalah sama dengan 1,2413; 1,6523; dan 1,4084.
Ketiga nilai ini lbih besar dari satu yang berarti probabilitas terjadinya
kesenjangan bagi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan (E=1) lebih besar
dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=0) pada tahun 1980.
Keadaan ini berubah pda keadaan tahun 1990, semua statistik OR
menunjukkan nilai kurang dari satu. Secara berurutan nilai OR pada kelompok
sarjana yang skor demografi rendah (E=0) dan skor sosial rendah (S=0), skor
demografi rendah (D=0) dan skor sosial tinggi (S=1), skor demografi tinggi (D=1)
dan skor sosial rendah (S=0), skor demografi tinggi (D=1) dan skor sosial tinggi
(S=1), masing-masing secara berurutan mempunyai nilai 0,2357; 0,5947; 0,4160;
0,9360.
107
Keempat nilai ini kurang dari satu yang berarti probabilitas terjadinya
kesenjangan bagi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan (E=1) lebih kecil
dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=0) pada tahun 1990.
Kesenjangan menurut Indikator Demografi
Nilai 0R pada Tabel 39 ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut. Pada tahun
1980 kelompok sarjana yang bekerja di Non-Pemerintahan (E=O) dan status sosial
rendah (S=O), bekerja di Non-Pemerintahan (E=O) dan Status sosial tinggi (S=1),
bekerja di Pemerintahan (E=1) dan status sosial rendah (S=O), bekerja di
Pemerintahan (E=1) dan status sosial tinggi (S=1), secara berurutan mempunyai nilai
OR sama dengan 0,7143; 0,9466; 1,4755; 1,0740.
Pada tahun 1990 kelompok sarjana yang bekerja di Non-Pemertinahan (E=O)
dan status sosial rendah (S=O) bekerja di Non Pemerintahan (E=O) dan status sosial
tinggi (S=1), bekerja di Pemerintahan (E=1) dan status sosial rendah (S=0), bekerja di
Pemerintahan (E=1) dan status sosial tinggi (S=1), secara berurutan mempunyai nilai
OR sama dengan 0,7384, 0,7858, 1,3032, 1,2368.
Hal ini menunjukkan bahwa sarjana yang bekerja di Non Pemerintah (E=O)
baik status sosial rendah (S=O) maupun tinggi (S=1) mempunyai probabilitas
kesenjangan (p) antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatannya lebih rendah
dibandingkan dengan yang bekerja di Pemerintahan. Sebaliknya sarjan ayng bekerja
di Pemerintah (E=) baik status sosial rendah (S=O) maupun tinggi (S=1) mempunyai
probabilitas kesenjangan (p) antara jurusan pendidikan dan jabatannya lebih tinggi
dibandingkan yang bekerja di Pemerintahan.
108
Kesenjangan menurut Indikator Sosial
Nilai OR pada Tabel 40 ini menunjukkan hal-hal sebagai berikut : Pada tahun
1980 kelompok sarjana dengan status demografi rendah (D=O) dan bekerja di Non-
Pemertinahan (E=O), status demografi rendah (D=O) dan bekerja di Pemerintahan
(E=1); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Non-Pemerintahan (E=O); Status
demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Pemerintahan (E=1), secara berurutan
mempunyai nilai OR sama dengan 0,7999; 0,8730; 0,7456; 0,6355. Nilai-nilai OR
tersebut kurang dari satu yang menunjukkan bahwa probabilitas kesenjangan (p)
antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatannya pada status sosial tinggi (S=1) lebih
rendah dibandingkan dengan mereka yang status sosial tinggi (S=1). Hal ini terjadi
pada semua kategori demografi dan ekonomi.
Pada tahun 1990 kelompok sarjana dengan status demografi rendah (D=0) dan
bekerja di Non-Pemerintahan (E=O), status demografi rendah (D=O) dan bekerja di
Pemerintahan (E=1); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Non Pemerintahan
(E=O); status demografi tinggi (D=1) dan bekerja di Pemerintahan (E=1), secara
berurutan mempunyai nilai OR sama dengan o,4238; 1,0693, 0,4510; 1,0148. Hal
ini menunjukkan bahwa kelompok sosial tinggi (S=1) probabilitas terjadinya
kesenjangan lebih kecil dibandingkan pada kelompok sosial rendah (S=O), baik pada
mereka yang status demografi rendah (D=O) maupun status demografi tinggi (D=1)
dan bekerja di Non Psemerintahan (E=O).
Sebaliknya pada kelompok sosial tinggi (S=1) probabilitas terjadinya
kesenjangan lebih besar dibandingkan pada kelompok sosial rendah (S=O), baik pada
109
mereka yang status demografi rendah (D=O) maupun status demografi tinggi (D=1)
dan bekerja di Pemerintahan (E=0).
Jadi fungsi logistik terlengkap diselaraskan pada data tahun 1980 dan data
tahun 1990 berbeda dengan model sempurna, namun tetap menunjukkan pengaruh
variabel independen dari indikator E, D, S, dan interaksinya secara bersama-sama
mempunyai pengaruh terhadap variabel dependen kesenjangan (K) secara bermakna.
Masing-masing variabel independen E, D, S, dan interaksinya juga berpengaruh
secara bermakna (Ceteris paribus) terhadap kesenjangan (K) yang ditunjukkan
dengan statistik Wald.
Pada tahun 1980 probabilitas terjadinya kesenjangan (p) pada sarjana yang
bekerja di Pemerintahan secara umum lebih besar dibandingkan denan yang bekerja
di non-Pemerintahan. Sebaliknya terjadi pada tahun 1990, probabilitas kesenjangan
yang bekerja di Pemerintahan lebih kecil dibandingkan dengan yang bekerja di Non
Pemerintahan. Hal ini terjadi baik pada kelompok sarjana dengan skor demografi
rendah maupun tinggi, begitu pula skor sosial rendah maupun tinggi.
Menurut Demografi
Pada tahun 1980 para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai
probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana
dengan status demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Non-
Pemerintahan, baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi.
Sebaliknya, para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas
terjadinya kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan para sarjana dengan
110
status demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan,
baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Pada tahun 1990
mempunyai pola yang sama dengan keadaan tahun 1980. Perbedaan terjadi pada
angka besarannya.
Menurut Sosial
Pada tahun 1980 para sarjana dengan status sosial tinggi mempunyai
probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana
dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada semua kelompok ekonomi maupun
sosial. Pada tahun 1990 para sarjana dengan status sosial tinggi mempunyai
probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan sarjana
dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di
Pemerintahan, baik yang mempunyai status demografi rendah maupun tinggi.
Untuk membanding pengujian dengan model Logistik dipergunakan analisis
regresi ganda dan model loglinear. Dalam hal ini dipergunakan hanya untuk menguji
bagaimana gambaran populasinya walaupun asumsi normalitas tidak terpenuhi, tetapi
masih dapat dipergunakan (Agung, 1995: 222). Model loglinear yang biasa
dipergunakan untuk menganalisis asosiasi/korelasi antara variabel-variabel dalam
tabel silang ganda (multiway crosstabelations). Teknik ini menggunakan formula
persamaan fungsi di mana log setiap frekwensi dalam sel merupakan fungsi dari
pengaruh total dan interaksinya. Dalam proses pengolahan pemasangan model dapat
dilakukan secara sempurna yang disebut saturated model, atau dapat dirancang hanya
111
model terbatas dengan menentukan salah satu variabel sebagai variabel dependen.
Dalam struktus penelitian ini dapat dituliskan persamaannya sebagai berikut.
Log fij = b1k + b2KxD + b3KxS + b4KxE + b5KxDxS
+ b6KxDxE + b7KxSxE + b8KxDxSxE.
Dimana : K = Kesenjangan
D = Demografi
S = Sosial
E = Ekonomi
X = Interaksi
fij = frekwensi pada sel tabel silang ganda berdimensi empat
(K,D,S,E).
Selanjutnya penyelarasan dilakukan pada masing-masing data tahun 1980 dan
pada data tahun 1990. Interaksi variabel ekonomi dan Sosial disimbolkan ExS,
interaksi variabel demografi dan sosial disimbolkan DxS, interaksi variabel ekonomi
dan demografi disimbolkan ExD, dan interaksi antara ketiga variabel ekonomi,
demografi dan sosial disimbolkan ExDxS.
Analisis multivariate menggunakan model Lo-linear menunjukkan bahwa
hipotesis yang menyatakan ada pengaruh atau asosiasi antara variabel ekonomi,
demografi, sosial, serta interaksinya dengan kesenjangan yang terjadi juta ditolak.
112
D. Diskusi Hasil
1. Diskusi
Dengan perumusan masalah yang diajukan di muka, pembatasan, serta konsep
dan definisi yang diajukan tentang kesenjangan, jabatan pekerjaan, jurusan
pendidikan, lapangan pekerjaan, variabel sosial, variabel demografi, variabel
ekonomi maka berdasarkan kerangka pikir yang diajukan penelitian ini menghasilkan
hal-hal berikut.
Secara makro kesenjangan antara luaran pendidikan tinggi jenjang s1 keatas
di Indonesia pada periode PJP I yang diambil data tahun 1980 dan tahun 1990 sebagai
benchmark menunjukkan kesenjangan masing-masing 90,3 persen dan 77,7 persen.
Angka ini berarti menunjukkan kesesuaian sebesar 8,7 persen pada tahun 1980 dan
22,3 persen pada tahun 1990. Angka ini juga terjadi hampir sama dengan keadaan di
Jerman (kasardadan Friedrichs, 1985). Walaupun hal ini terjadi dengan konsep
kesenjangan yang dirancang aplikasinya secara khusus, yang akan berbeda hasilnya
dengan rancangan yang berbeda, namun hal ini memberikan tanda atau signal
bagaimana proses belajar mengajar selama periode akhir tujuh puluhan dari periode
delapan puluhan yang tercermin pada keadaan tahun 1980 dan 1990. Hasil secara
makro nasional mempunyai validitas yang tinggi, namun tidak kepada
pengelompokan yang lebih kecil lagi.
Angka ini menunjukkan perubahanyang signifikan selama periode 10 tahun
pada PJP I. Perubahan yang signifikan ini seiring dengan perubahan hasil
pembangunan nasional selama PJP I tersebut.Secara spesifik pada penelitian ini
dengan mengambil variabel ekonomi, sosial, dan demografi yang didefinisikan
113
berdasarkan data individu pada SP80 dan SP90 menunjukkan adanya asosiasi atau
peran atau pengaruh yang mungkin secara langsung atau tidak terhadap kesenjangan
yang terjadi. Pengaruh situasi ekonomi, sosial, dan demografi pada tahun 1980, dan
perubahannya hingga tahun 1990 yang menggambarkan perubahan keberhasilan
pembangunan nasional ini juga mempunyai perubahan struktur, dan derajat
pengaruhnya kepada kesenjangan tersebut.
Pada tahun 1980 faktor ekonomi memberikan peran yang lebih kecil terhadap
kesenjangan yang terjadi dibandingkan faktor sosial, dan demografi. Tetapi pada
tahun 1990 faktor ekonomi, bersama sama dengan faktor sosial dan demografi
memberikan pengaruh yang sangat signifikan terhadap kesenjangan.
Temuan ini menunjukkan bahwa secara makro ada dua hal. Pertama faktor
ekonomi, sosial, dan demografi berkaitan secara signifikan dengan kesenjangan
antara jurusan pendidikan dan jabatan pekerjaan pada jenjang yang ditamatkan S1
keatas. Keua dengan menggunakan pertolongan model analisis deskripsi ganda yang
diajukan oleh Agung (1993) dapat dianalisis peranan atau kaitan faktor ekonomi,
sosial, dan demografi lebih rinci. Dengan perkataan lain analisis rinci ini dapat
dipergunakan sebagai bahan masukan dan penyusunan perencanaan di tingkat strategi
(Situmorang, 1985).
Namun demikian analisis diatas masih dalam batas toleransi pengelompokkan
yang relatif masih dianggap valid, ialah pengelompokan masih tingkat nasional, dan
hanya sampai kelompok dichotomous, baik pada indikator ekonomi, demografi dan
sosial.
114
Pada analisis awal pengelompokan yang dilakukan sebagai pada Tabel 1
samapai dengan Tabel 4 pada lampiran Tabel Analisis Bab IV, menunjukkan
berbagai distorsi yang diakibatkan dari (1) ukuran dan rancangan sampel, (2)
penyelarasan klasifikasi jurusan pendidikan tahun 1980 dengan tiga digit, dan tahun
1990 menjadi dua digit, (3) pengoperasionalisasi konsep kesenjangan antara jurusan
pendidikan dengan jabatan (occupation) yang ditekuni, dan (4) lain-lain, seperti
kemampuan pencacah pada sensus penduduk tahun1980 yang berbeda dengan 1990,
rancangan blok sensus yang berbeda. Secara common sense tentang distorsi tersebut
harus dilakukan validasi atau penyelarasan terhadap faktor-faktor yang
mempengaruhi, terutama pada butir (2) dan (3) diatas. Untuk melakukan ini
seyogyanya ada penelitian atau pengolahan dan analisis ulang dengan pendekatan
yang berbeda terhadap data yang sama (SP80 dan SP90) atau melakukan penelitian
lapangan.
2. Keterbatasan
Berbagai keterbatasan pada penelitian ini, antara lain pada data, aplikasi
konsep kesenjangan, dan metode yang dipergunakan, dibahas di bawah ini.
Data yang dipergunakan adalah data sekunder, walaupun data tape yang
diakses secara utuh. Namun data tersebut merupakan data makro nasional. Data rinci
pada sensus penduduk baik tahun 1980 dan data sensus tahun 1990, dikumpulkan
melalui sampel berukuran lima persen. Sampel ini dirancang oleh Biro Pusat Statistik
untuk estimasi pada berbagai pengelompokkan tertentu dan tingkat tertentu,
sebagaimana yang tercakup pada berbagai terbitan sensus penduduk.
115
Pengelompokkan yang dapat dipertanggungjawabkan akurasi danvaliditasnya untuk
pendidikan yang muncul pada berbagai terbitan adalah menurut jenjangnya. Adapun
pengolahan menurut jurusan pendidikan Biro Pusat Statistik tidak menerbitkannya.
Hal ini karena masih banyak pekerjaan validasi yang harus dilakukan, melalui
berbagai pertemuan para ahli dan pengguna sebelum diterbitkan. Biro Pusat Statistik
dalam kegiatan penyajian data berupa publikasi, biasanya melakukan validasi melalui
pembahasan pada pertemuan dengan mengundang instansi terkait, para pengguna,
dan para ahli dari berbagai perguruan tinggi, maupun masyarakat. Data tahun 1980
pertanyaan no 23 blok VII (B8P7) halaman 8 lampiran, mencakup informasi
klasifikasi jurusan hingga tiga digit, kemudian data tahun 1990 pertanyaan no 19 blok
VIB atau B6BP19 halaman 13 lampiran, mencakup informasi jurusan hanya dua
digit. Selanjutnya jawaban klasifikasi jurusan pendidikanpada sensus penduduk tahun
1980 berbeda dibandingkan dengan klasifikasi jurusan pada sensus penduduk tahun
1990. Hal ini kemudian dilakukan penyelarasan. Sehingga ada beberapa kendala yang
mengakibatkanada distorsi pada pengelompokan ulang. Membanding keadaan tahun
1980 dengan tahun 1990 secara makro dapat dipercaya. Namun untuk
pengelompokkan lebih rinci, diperkirakan ada beberapa distorsi yang dijumpai.
Penyelarasan dari tiga digit menjadi dua digit memberikan kontribusi kesalahan. Data
dikumpulkan oleh petugas pengumpulan data sensus yang mempunyai kualifikasi
pencacah berbeda. Pencacahan dilakukan oleh petugas pencecah sepeti matri statistik
dan juga menggunakan tenaga lokal dengan persyaratan paling tidak lulusan SMA
atau diutamakan pada guru SD di Daerah. Namun sesuai dengan perkembangan
tingkat pendidikan masyarakat Indonesia pada tahun 1980 relatif lebih rendah
116
dibandingkan dengan keadaan tahun 1990. Poedjiastoeti (1989) menjelaskan bahwa
didaerah-daerah pendesaan, secara terpaksa digunakan bantuan tenaga pencacah yang
pendidikannya belum SMA, karena tidak adanya tenaga yang mempunyai kualifikasi
tersebut. Hal ini memberikan kontribusi kesalahan pada penggalian serta penuangan
jawaban jurusan pendidikan maupun jabatan pekerjaan. Sehingga memberikan
kontribusi kesalahan pada penyelarasan jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan.
Konsep pengukuran kesenjangan yang pernah dilakukan melalui pendekatan
persepsi responden (Clogg dan Shockey, 1984), dan pendekatan jumlah tahun belajar
yang diselaraskan dengan lapangan pekerjaan (Kasarda dan Friedrichs, 1985).
ILO (1990) pada penjelasan ISCO-88 memberikan conceptual framework
sebagai berikut:
The framework necessary for designing and constructing ISCO-88 has been
based on two main concept of the kind of performed or job, and the concept of
skill.
Job-defined as a set of tasks and duties executed, of meant to be executed, by
one person. A set of jobs whose main tasks and duties are characteriazed by a
high degree of similarity constitute an occupation persons are classified by
occupation through their relathionship to a past, present or future job.
Skill-defined as the ability to carry out the tasks and duties of a given job has
two following dimensions: skill level and skill specialisation. Skill level –
which is a function of the complexity an range of teh tasks and duties
involved. Skill specialisation – defined vy the field of knowledge required. The
tools and machinery used. The materials worked on or with. As well the kinds
of goods and services produced.
117
Pada buku ISCo-88 tersebut diberikan penjelasan bahwa ada empat tingkat
keterampilan (skill level). Keterampilan tingkat pertama bersesuaian dengan
kemampuan yang didapatkan di tingkat Sekolah Dasar, keterampilan tingkat dua
bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di sekolah SLTP, keterampilan
tingkat tiga bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di SLTA, dan
keterampilan tingkat empat bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di
perguruan tinggi ke atas. Namun pada prekteknya dilapangan juga menggunakan
beberapa subjective judgment was involved in determining the skill levels of
occupations. Konsep umum diatas tidak berlaku pada kelompok kepemimpinan
danketatalaksanaan (legislators, senior officials an managers) dan tenaga angkatan
bersenjata (ormed force). Acuan diatas merupakan acuan umum, sehingg untuk
mengaplikasikan pada tingka tertentu, seperti pada penelitian ini cenderung pada
keterampilan tingkat empat yang bersesuaian dengan kemampuan yang didapatkan di
perguruan tinggi keatas.
Pada penelitian ini pendekatan pengukuran kesenjangan antara jurusan
pendidikan tinggi dengan jabatan yang ditekuni oleh sarjana ditentukan sacara
subyektif dan arbitrary, (Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 pada lampiran halaman 18 dan 21).
Jadi pengaplikasian konsep mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dengan
jabatan (occuppation) yang ditekuni sebagaimana Tabel 3.2 dan Tabel 3.3 pada
lempiran halaman 18 dan 21, masih mempunyai berbagai kekurangan dan
keterbatasan. Penyelarasan konsep mismatch atau sebaliknya kesesuaian antara
jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni akan berbeda-=beda bagi orang
atau kelompok yang berbeda, walaupun dengan acuan yang sama. Oleh kiarenanya,
118
penelitian ini merupakan penelitian awal, yang harus ditindaklanjuti, dan direplikasi
sehingga didapatkan pengertian dan operasionalisasi serta aplikasi yang lebih definitif
tentang mismatch antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan yang ditekuni
(occupation). Walaupun metode statistik yang dipergunakan telah memenuhi berbagai
persyaratan atau asumsi yang diperlukan, namun data dan aplikasi konsep
kesenjangan mempunyai berbagai keterbatasan, maka hasilnya juga mempunyai
kelemahan dan keterbatasan.
Metode analisis yang dipergunakan adalah metode analisis multitable atau
analisis tabulasi berdimensi ganda dan menggunakan model logistik. Komputasi
dilakukan dengan menggunakan soft-ware SPSS PC+. Berhubung adanya
keterbatasan kemampuan soft-ware ini, yang hanya mencapuk lima faktor/variabel
bebas dalam analisis model logistik, maka dilakukan penggabungan variabel dalam
faktor demografi yang terdidi dari tiga variabel, faktor sosial terdiri dari tiga variabel,
dan faktor ekonomi terdidi dari satu variabel, sebagaimana pada uraian diatas.
119
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Secara umum menurut pengelompokan geografis, dan pengelompokan
ekonomi, demografi, sosial dengan cakupan nasional secara dichotomous, validitas
data masih dapat diterima dan dapat dipergunakan hasilnya. Adapun pengelompokan
pada jenjang yang lebih rinci, seperti jurusan pendidikan menurut klasifikasi dua
digit, kemudian jabatan menjadi dua atau tiga digit akan memberikan hasil yang
mempunyai validitas rendah.
Penelitian ini merupakan penelitian awal, yang harus diimprovisasi dengan
berbagai penelitian yang dilakukan oleh orang lain, kelompok lain dengan
menggunakan berbagai pendekatan yang lain, sehingga mendapatkan konsep dan
pengoperasian yang sama untuk dipergunakan dalam pengembangan proses belajar
mengajar diperguruan tinggi. Penelitian penelitian lebih rinci dapat dilakukan dengan
berbagai pendekatan yang berbeda untuk mencapai hasil yang lebih obyektif.
Selanjutnya dengan kesenjangan antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan
yang ditekuni oleh masyarakat Indonesia didefinisikan secara matematis, sedemikian
rupa seperti telah diuraikan di atas, memberikan hasil berikut, kesenjangan ini telah
diukur berdasarkan data pada sensus penduduk tahun 1980, dan tahun 1990. Pada
tahun 1980 kesenjangan pada masyarakat Indonesia yang menyelesaikan jenjang
pendidikan S1 dan bekerja terjadi sebanyak 91,3 persen. Kemudian pada tahun 1990
terjadi 77,3 persen. Penurunan terjadi selama sepuluh tahun secara signifikan.
120
Penurunan angka kesenjangan yang terjadi dari tahun 1980 dibandingkan tahun 1990,
mempunyai kaitan langsung secra kualitatif dengan implementasi perencanaan
pembangunan pendidikan yang selama ini dilakukan.
Untuk mempermudah pemahaman dilakukan penggabungan variabel-variabel
bebas menjadi indeks komposit atau disebut variabel indikator, ialah indikator
ekonomi, demografi, dan sosial yang disusun dengan metode analisis faktor.
Indikator ekonomi terdiri dari lapangan pekerjaan dipemerintahan dan di non
pemerintahan. Indikator sosial terdiri dari variabel pulau, daerah, dan status migran.
Indikator demografi terdiri dari hubungan dengan kepala rumahtangga, status
perkawinan, dan umur. Faktor ekonomi, sosial, dan demografi mempunyai kaitan
dengan kesenjangan baik pada tahun 1980 dan tahun 1990. Begitu pula ada
perubahan Struktur keterkaitan tersebut selama kurun waktu sepuluh tahun tersebut.
Secara makro faktor ekonomi, demografi, dan sosial menunjukkan adanya asosiasi
terhadap kesenjangan yang terjadi selama PJP I, yang tergambarkan pada data tahun
1980 dan tahun 1990 secara signifikan. Dengan perkataan lain bahwa ada perbedaan
kesenjangan jurusan pendidikan dan jabatan yang ditekuni menurut kategori
ekonomi, demografi, sosial, atau menurut kategori lapangan pekerjaan, daerah, pulau,
agama, mobilitas penduduk , keluarga atau tempat tinggal, jenis kelamin, umur, dan
status perkawinan terhadap kesenjangan yang telah terjadi. Hasil menunjukkan bahwa
ada pengaruh factor-faktor tersebut terhadap kesenjangan.
Berdasarkan indicator-indikator tersebut diatas, dengan menggunakan metodr analisis
regresi logistik yang dimodifikasi (Agung,1993), untuk diaplikasikan pada persamaan
regresi dimana variabel terikat mempunyai jawaban {0,1}dan variabel bebasnya
121
sebagai indikator. Variabel bebas atau indikator juga mempunyai skala pengukuran
yang dichotomous atau {0,1}. Persamaan ini memberikan informasi tentang
perbedaan kesenjangan kelompok individu yang terjadi menurut variabel bebas
tertentu dengan memperhitungkan variabel-variabel bebas lainnya.
Metode multivariate odds Ratio yang dikembangkan oleh Agung (1993) berdasarkan
konsep Log odds dengan memperhitungkan faktor interaksi, juga diaplikasikan.
Konsep Log odds dalam disertasi ini merupakan nilai log rasio probabilitas terjadinya
kesenjangan dengan tidak terjadinya kesenjangan. Artinya perubahan dari nilai salah
satu indikator R, D, S, SxE, SxD, ExD, ExDxS dari 0 ke 1 akan memberikan
pengaruh kepada nilai log odds sebesar βi dengan asusmi ceteris paribus. Selanjutnya
statistik odds Ratip (OR) yang dimodifikasi dipergunakan untuk analisis berapa
resiko kesenjangan sarjana menurut suatu indikator bebas tertentu setelah
memperhitungkan indikator-indikator bebas lainnya. Berdasarkan fungsi logistik
terlengkap yang diselaraskan pada data tahun 1980 dan data tahun 1990 menunjukkan
penjelasan sebagai berikut. Menurut indikator Ekonomi, pada tahun 1980 probabilitas
terjadinya kesenjangan (p) para sarjana yang bekerja di Pemerintahan secara umum
lebih besar dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan. Sebaliknya
terjadi pada tahun 1990, probabilitas kesenjangan yang bekerja di Pemerintahan lebih
kecil dibandingkan dengan yang bekerja di Non-Pemerintahan. Hal ini terjadi baik
pada kelompok sarjana dengan skor demografi rendah maupun tinggi, begitu pula
skor sosial rendah maupun tinggi. Menurut indikator Demografi, pada tahun 1980
para sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas terjadinya
kesenjangan (p) lebih kecil dibandingkan dengan para sarjana dengan status
122
demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Non-Pemerintahan,
baik pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Sebaliknya, para
sarjana dengan status demografi tinggi mempunyai probabilitas terjadinya
kesenjangan (p) lebih besar dibandingkan dengan para sarjana dengan status
demografi rendah. Hal ini terjadi pada sarjana yang bekerja di Pemerintahan, baik
pada mereka yang status sosialnya rendah maupun tinggi. Pada tahun 1990
mempunyai pola yang sama dengan keadaan tahun 1980. Perbedaan terjadi pada
angka besarannya. Menurut indikator sosial, pada tahun 1980 para sarjana dengan
status sosial tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesejangan (p) lebih kecil
dibadingkan dengan para sarjana dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada
semua kelompok ekonomi maupun sosial. Pada tahun 1990 para sarjana dengan status
sosial tinggi mempunyai probabilitas terjadinya kesenjangan (p) lebih besar
dibandingkan dengan para sarjana dengan status sosial rendah. Hal ini terjadi pada
sarjana yang bekerja di Pemerintahan, baik yang mempunyai status demografi
rendah maupun tinggi.
Berdasarkan statistik odd Ratio kesenjangan antara jurusan pendidikan dengan
jabatan yang diketahui pada tahun 1980 dan tahun 1990 disimpulkan sebagai berikut.
Pada tahun 1980, kelompok sarjana yang bekerja di pemerintahan mempunyai
resiko kesenjangan 1,034 kali dibandingkan yang bekerja di sektor non-pemerintahan,
setelah memperhitungkan faktor demografi dan sosial. Pada tahun 1990, kelompok
sarjana yang bekerja di pemerintahan mempunyai resiko kesenjangan 0,9131 kali
dibandingkan yang bekerja di sektor non-pemerintahan, setelah memperhitungkan
123
faktor demografi dan sosial. Hal ini berarti ada penurunan resiko kesejangan bagi
sarjana yang bekerja di sektor pemerintahan selama kurun waktu sepuluh tahun.
Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang mempunyai status demografi tinggi
mempunyai resiko kesenjangan sebesar 1,0098 kali dibandingkan yang mempunyai
status demografi rendah, setelah memperhitungkan faktor ekonomi dan sosial. Pada
tahun 1990 kelompok sarjana yang mempunyai status demografi tinggi mempunyai
resiko kesenjangan sebesar 1,0066 kali dibandingkan yang mempunyai status
demografi rendah, setelah memperhitungkan faktor ekonomi dan sosial. Hal ini dapat
disimpulkan bahwa resiko kesenjangan bagi sarjana yang mempunyai status
demografi tinggi dibandingkan dengan yang mempunyai status demografi rendah,
relatif tidak berubah selama kurun waktu sepuluh tahun.
Pada tahun 1980 kelompok sarjana yang mempunyai status sosial tinggi
mempunyai resiko kesenjangan 0,9671 kali dibandingkan yang mempunyai status
sosial rendah, setelah memperhitungkan faktor demografi dan ekonomi. Pada tahun
1990 kelompok sarjana yang mempunyai status sosial tinggi mempunyai resiko
kesenjangan 0,9836 kali dibandingkan yang mempunyai status sosial rendah, setelah
memperhitungkan faktor demografi dan ekonomi. Hal ini dapat disimpulkan bahwa
resiko kesenjangan bagi sarjana yang mempunyai status sosial tinggi dibandingkan
dengan sarjana yang mempunyai status sosial rendah, secara relatif tidak ada
perubahan selama kurun waktu sepuluh tahun.
Pada PJP I, Indonesia memprioritaskan pendidikan dasar dengan program wajib
belajar, yang pada awal PJP II ini ditingkatkan hingga wajib belajar sembilan tahun.
Pendidikan Tinggi secara nasional baru bertambah jumlahnya, khususnya PTS mulai
124
awal tahun 1980-an. Dunia pendidikan tinggi secara konseptual telah melaksanakan
kebijakan relevansi sejak lama, seperti tertera pada The Indonesian Higher-Education
Law of 1961 pasal 1 ayat 2 butir 2 menyebutkan bahwa preparing personnel who are
in performing those functions that require a higher education and who are skilled in
preserving and advancing knowledge. Hal ini berarti relevansi dengan dunia kerja,
atau penyiapan tenaga kerja yang merupakan bagian dari pembangunan sumber daya
manusia (SDM). Adapun pembangunan SDM sendiri baru ditekankan di Indonesia
mulai PJP II ini sebagai prioritas.
Secara umum perencanaan pembangunan pendidikan yang dipergunakan di
berbagai negara ada beberapa pendekatan, antara lain pendekatan atas permintaan
masyarakat, berdasarkan kebutuhan tenaga kerja, dan pendekatan rate of return
(Psacharopoulos & Woodhall, 1985; Levin, 1976 Soenarya, 1994). Di Indonesia pada
tahun 1980 dan tahun 1990 sebagai bench-mark PJP I, yang masih tingginya angka
kesenjangan sebagaimana hasil penelitian ini, maka nampaknya bisa ditarik
kesimpulan bahwa hal ini terjadi juga sebagai akibat bahwa pendidikan tinggi yang
berjalan selama ini masih cenderung dipengaruhi oleh faktor permintaan masyarakat,
ketimbang faktor kebutuhan tenaga kerja. Kesimpulan ini juga diperkuat dengan
kesimpulan yang pernah dilakukan oleh para pendahulu (Puslit Pranata
Pembangunan, UI dan Bappenas, 1991a, 1991b).
B. Implikasi Hasil Penelitian
Pengalaman data tahun 1980 dan 1990 sebagaimana hasil diskusi pada penelitian
ini, dan kelak diintegrasikan lagi dengan data Sensus Penduduk tahun 2000, dapat
125
dipergunakan untuk analisis berbagai proyesi pada masa PJP II. Selanjutnya
berdasarkan berbagai proyeksi kebutuhan tenaga berpendidikan tinggi dan didasarkan
atas temuan secara makro pada penelitian ini, maka mempunyai implikasi berikut.
Implikasi kebijakan secara makro dengan dunia pendidikan tinggi pada PJP II,
semua pihal terkait memperhatikan kebijakan pemerintah tentang (1) peningkatan
pemerataan dan kesempatan, (2) peningkatan relevansi pendidikan dengan
pembangunan, (3) peningkatan kualitas pendidikan, dan (4) peningkatan efisiensi
pengelolaan pendidikan. Secara khusus peningkatan relevansi antara jurusan
pendidikan (bidang studi) dan kebutuhan tenaga kerja pada PJP II, dapat
diimplementasikan. Hal ini secara historis di negara-negara lain juga telah menjadi
perhatian, khususnya menghadapi era globalisasi.
Melihat keadaan secara internasional, St. John (1980) mengemukakan bahwa
sekitar tahun 1980-an di Amerika dan Australia senantiasa menyertakan relevansi
kebutuhan dunia usaha pada tahap penilaian (assessment) dalam model strategi
implementasi kebijakan pengembangan pendidikan tinggi. Kumudian Meyer-Dohm
(1990) menguraikan bahwa perguruan tinggi di Eropa, telah melakukan kerja sama
dengan dunia industri dan perdagangan. Begitu juga Jones (1990) mengemukakan
bahwa mulai tahun 1990-an di perguruan tinggi diharapkan diberikan mata kuliah
tambahan untuk mengakomodasi kebutuhan dunia ekonomi modern. Melalui
berbagai konsultasi dan kerjasama antara dunia perguruan tinggi dan dunia bisnis
akan membuahkan lulusan yang diharapkan. Bank Dunia (1994) menguraikan strategi
reformasi pendidikan tinggi berdasarkan pengalaman keberhasilan negara-negara
berkembang dalam melaksanakan efisiensi, peningkatan kualitas, dan peningkatan
126
pemerataan. Pada penjelasan peningkatan kualitas dan pemerataan diajukan strategi
(1) meningkatkan sistem pembelajaran dan riset, (2) meningkatkan relevansi
pendidikan tinggi dengan kebutuhan pasar kerja, dan (3) pemerataan.
Oleh karenanya tindak lanjut penelitian ini seyogyanya diikuti berbagai
kegiatan, antara lain sebagai berikut.
- Sejawat, kelompok, dan pemerintah agar melakukan berbagai penelitian
tentang relevansi, khususnya antara jurusan pendidikan tinggi dan jabatan
(occupation) yang selama ini terjadi atau berbagai proyeksi kebutuhan
mendatang. Berdasarkan penelitian-penelitian tersebut agar didapatkan
kesepakatan hasil, sehingga dapat dipergunakan sebagai bahan acuan dalam
merancang berbagai produk instruksional. Termasuk pengisian muatan lokal
bagi setiap atau kelompok perguruan tinggi.
- Secara makro terjadi link and match atau korespondensi, atau relevansi antara
dunia pendidikan tinggi dengan tatanan ekonomi, demografi, sosial. Hal ini
juga ditunjukkan pada penelitian ini pada tahun 1980 dan pada tahun 1990.
Sebagai implikasinya pada masyarakat teknologi pendidikan, agar mencari
berbagai usaha memudahkan kegiatan belajar melalui identifikasi,
pengembangan, pengorganisasian, dan penggunaan secara sistematis segala
sumber belajar termasuk pengelolaannya. Khusus implikasi relevansi adalah
merancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan teknik
instruksional yang mempehatikan kebutuhan pembangunan, dalam hal ini
memperhatikan berbagai proyeksi kebutuhan keterampilan pendidikan tinggi
dengan instrumen kebijakan memasukkan muatan lokal.
127
- Penelitian ini menganalisis faktor ekonomi yang merupakan lapangan
pekerjaan; faktor sosial mencakup daerah, pulau, agama, dan mobilitas
penduduk, kemudian faktor demografi mencakup keluarga atau tempat
tinggal, jenis kelamin, umur, dan status perkawinan terhadap kesenjangan
yang telah terjadi. Hasil menunjukkan bahwa ada pengaruh faktor-faktor
tersebut terhadap kesenjangan. Dengan perkataan lain memang terjadi
kesenjangan secara berbeda menurut berbagai kelompok dari faktor-faktor
tersebut. Maka temuan ini mempunyai implikasi bahwa pelaksanaan
kebijakan pemerintah dalam pendidikan tinggi di samping memperhatikan
faktor-faktor tersebut, juga faktor kebutuhan tenaga dalam pembangunan.
C. Saran-saran
Walaupun selama ini PJP I diperkirakan berbagai perencanaan pendidikan
masih ditekankan pada pendidikan dasar dan menengah dan belum terpadu
(Soenarya, 1994), namun pada PJP II ini sudah harus dilakukan berbagai upaya
perencanaan secara terpadu khususnya dengan pembangunan nasional. Hal ini telah
menjadi komitmen bersama yang telah dituangkan dalam GBHN (1988, 1993), di
samping berbagai tantangan yang harus dihadapi dalam memasuki era globalisasi.
Pembangunan SDM, termasuk pendidikan tinggi juga telah menjadi komitmen
nasional, dan juga internasional (APEC Secretariate, 1994a) yang juga telah menjadi
kesepakatan APEC ECONOMIC LEADERS’ di Bogor, butir delapan termasuk yang
direkomendasikan oleh Eminent Persons Group (EPG) dan The Pacific Bussiness
Forum (PBF) (APEC Secretariate, 1994b, 1994c). Pada kesepakatan ini antara lain
128
menyetujui pengembangan sumber daya manusia (SDM) yang mendukung
pembangunan menyongsong era globalisasi adalah tukar menukar pengiriman
mahasiswa. Di samping juga diusulkan berbagai pelatihan yang bersifat ketrampilan
tinggi (high skill). Hal ini merupakan kegiatan yang menjembatani antara kebutuhan
tenaga kerja dengan pengeluaran pendidikan. Secara khusus pelatihan yang
diperuntukkan bagi para sarjana merupakan kegiatan yang mengacu kepada
kebutuhan tenaga profesional, yang pada gilirannya akan mempercepat proses
kesesuaian antara jurusan pendidikan dengan jabatan yang ditekuni.
Sejak tahun 1987, Kelompok Kerja pengembangan sumber daya manusia
(PSDM) telah melaksanakan studi mengenai beberapa topik yang relevan dengan
kebijakan dalam pengembangan sumber daya manusia selama PJP I. Model-model
perencanaan yang sudah dikembangkan dan digunakan oleh kelompok studi ini antara
lain studi yang dilakukan tahun 1987, 1988, 1989, dan 1990. Disamping itu pelatihan
perencanaan tenaga kerja pada tingkat Propinsi, dan Kabupaten juga dilakukan mulai
tahun 1988. Para peserta didik adalah terdiri dari para sarjana pegawai negeri di
daerah dari lintas sektor dan juga dari masyarakat. Kurikulum terpadu telah dirancang
termasuk mempelajari perencanaan pendidikan di tingkat daerah.
Maka sudah saatnya pendidikan tinggi di Indonesia harus sudah mulai
melakukan upaya untuk melaksanakan kebijakan pemerintah, khususnya dalam
kebijakan relevansi. Berbagai upaya, dimaksudkan merupakan kegiatan teknologi
pendidikan yang secara makro mencakup usaha memudahkan kegiatan belajar di
perguruan tinggi melalui identifikasi, pengembangan, pengorganisasian, dan
penggunaan secara sistematis segala sumber belajar termasuk pengelolaannya,
129
dengan memperhatikan relevansi antara pendidikan tinggi dengan pembangunan,
khususnya jurusan pendidikan atau bidang studi dengan kebutuhan tenaga kerja, dan
faktor-faktor ekonomi, sosial, dan demografi.
Kaitan dengan studi ini, maka disarankan beberapa hal pokok sebagai berikut :
1) Dalan perencanaan pendidikan tinggi agar diintegrasikan masukan tentang
Kesenjangan antara jurusan pendidikan atau bidang studi dan jabatan
pekerjaan (occupations) yang akan dibutuhkan.
2). Pendidikan Tinggi untuk jurusan eksakta seperti Teknik, Kedokteran,
dan MIPA, agar diberikan prioritas pada PJP II, sehingga akan memperkecil
kesenjangan yang akan terjadi.
3) Pendidikan Tinggi profesional yang mengutamakan peningkatan
kemampuan penerapan ilmu pengetahuan terdiri atas Program Diploma dan
Program Spesialis, yang dilaksanakan oleh akademi, politeknik, sekolah
tinggi, institut universitas agar diberikan dorongan dan prioritas-prioritas
sehingga dapat memberikan jumlah lulusan yang lebih banyak, untuk
memenuhi kekurangan yang diperkirakan akan muncul. Kesenjangan antara
jurusan dan jabatan pekerjaan akan dapat makin kecil pada PJP II.
4) Perencanaan pendidikan tinggi secara terpadu dengan melihat kebutuhan
masyarakat, kebutuhan tenaga kerja, dan efisiensi menjadi sangat penting
pada PJP II. Hal ini akan sangat bermanfaat apabila berbagai kajian bahan
perencanaan yang berkaitan dengan tiga pendekatan tersebut telah
dilakukan. Salah satu bahan masukan yang sangat penting yang mengaitkan
130
antara jabatan pekerjaan dengan kebijaksanaan jurusan pendidikan tinggi,
baik pendidikan akademik maupun pendidikan profesional, akan dapat
memperkecil kesenjangan yang terjadi. Hal ini berarti mempercepat proses
realisasi konsep Link and Match.
5). Pendidikan Tinggi pada jurusan yang diperkirakan luarannya surplus,
seperti jurusan hukum, ekonomi, keguruan, dan MIPA, seyogyanya
ditingkatkan mutu pendidikannya. Selanjutnya jurusan-jurusan yang
luarannya diperkirakan sangat kurang seperti luaran insinyur, teknisi, dan
tenaga para medis agar dapat diprioritaskan. Bagaimana masalah ini dapat
dipenuhi baik dari konteks, input, proses, dan produknya (CIPP) atau dari
perencanaan makro, meso, dan mikro secara nasional merupakan ranah
teknologi pendidikan dalam proses mengakomodasi pemenuhan kebutuhan
tenaga kerja berpendidikan tinggi pada PJP II akan menjadi sangat penting.
6) Kebijaksanaan pemerintah dalam dunia pendidikan, khususnya kebijakan
relevansi dan peningkatan mutu agar menjadi program utama
pengembangan perguruan tinggi. Masyarakat Teknologi Pendidikan, agar
mencari berbagai usaha memudahkan kegiatan belajar melalui identifikasi,
pengembangan, pengorganisasian, dan penggunaan secara sistematis segala
sumber belajar termasuk pengelolaanya. Khusus implikasi relevansi adalah
merancang pengembangan instruksional baik model, strategi, dan teknik
instruksional yang memperhatikan kebutuhan pembangunan, dalam hal ini
memperhatikan berbagai proyeksi kebutuhan keterampilan pendidikan
tinggi dengan instrumen kebijakan memasukkan muatan lokal.
131
7) Mengadakan kerjasama dunia pendidikan tinggi dengan dunia usaha
dalam hal, praktek lapangan, penelitian, dan kerjasama pembelajaran
termasuk tenaga kependidikannya (dosen dan tenaga penunjang akademik).
Mahasiswa memanfaatkan kerja praktek lapangan, dosen dan tenaga
kependidikan dapat melakukan riset dan penelitian-penelitian untuk
kemajuan perusahaan maupun kemajuan IPTEK. Para pengusaha, dan
teknisi dalam perusahaan dapat melakukan alih teknologi melalui supervisi,
penelitian bersama, dan berbagai kegiatan lainnya.
8) Pemerintah disarankan memberikan perhatian dan perlakuan yang
proporsional terhadap dunia pendidikan tinggi, baik yang dilaksanakan oleh
swasta, maupun oleh pemerintah. Indonesia merupakan negara nomor lima
tertinggi dari 39 negara, yang mempunyai sumbangan penerimaan
mahasiswa di PTS. Negara-negara tertinggi sebelum Indonesia adalah
Filipina, Korea, Jepang, Belgia, baru Indonesia (W.B. 1994).
9) Masalah relevansi antara jurusan pendidikan dengan jabatan pekerjaan
pendidikan tinggi tidak merupakan satu-satunya ukuran atau tujuan dari
pendidikan tinggi di Indonesia. Namun demikian, pengukuran kesenjangan
antara jurusan pendidikan tinggi dengan jabatan disarankan agar dilakukan
pendapatan secara nasional, melalui sensus.
10) Para pengambil keputusan senantiasa dihadapkan kepada berbagai
situasi atau masalah yang harus menjawab ya atau tidak, bertindak atau
tidak, disetujui atau ditolak atas pertimbangan berbagai variabel kebijakan
atau berbagai variabel bebas lainnya yang dianggap mempengaruhi atau
132
menentukan. Metode Odds Ratio yang dimodifikasi ini dapat dipergunakan
dengan sangat efisien untuk memberikan kemudahan bagi para pengambil
keputusan tersebut. Maka disarankan metode analisis regresi logistik beserta
statistik odd Rationya merupakan metode analisis multivariat yang
disarankan dapat dipakai pada berbagai analisis kebijakan pendidikan.
11) Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, dapat memberikan masukan
kepada BPS, agar rancangan sample, pada setiap pengumpulan data yang
berkaitan dengan pendidikan seperti pada SUSENAS-Modul Pendidikan
yang akan datang, dan sensus penduduk tahun 2000, memperhitungkan
kebutuhan estimasi jurusan pendidikan dan tenaga kerja.
12) Berbagai pendekatan operasionalisasi konsep mismatch disarankan agar
dapat dilakukan penelitiannya, baik oleh berbagai cendekiawan, kelompok
maupun oleh pemerintah dalam hal ini DIKTI, sehingga misi pendidikan
tinggi yang terkandung dalam GBHN dapat dilakukan secara optimal.
Apabila berbagai pendekatan operasionalisasi konsep mismatch yang
merupakan salah satu dari kebijakan relevansi antara dunia pendidikan dan
pembangunan dalam hal ini dunia kerja, maka percepatan pencapaian
berbagai target pembangunan akan lebih berhasil.
13) Penelitian eksperimen pada berbagai hal yang berkaitan dengan proses
terjadinya kesenjangan, dikaitkan dengan bagaimana (Teknologi
Pendidikan) upaya pengurangan akan terjadinya kesenjangan tersebut
melalui rancangan proses belajar-mengajar secara makro dapat dilakukan.
Salah satu contoh berbagai penelitian eksperimen penerjemahan kurikulum
133
muatan lokal perguruan tinggi ke dalam konsep relevansi atau kesesuaian
antara proses pendidikan di perguruan tinggi dan antisipasi kebutuhan
tenaga profesional (ahli) di lapangan.
134
DAFTAR PUSTAKA
Agung, I.G.N. (1993). Metode Penelitian Sosial:
Pengertian dan pemakaian praktis. Jakarta: LD-FEUI
APEC Secretariate. (1994a). APEC economic leaders’
declaration of common resolve. Singapore:APEC Scretariate.
_______ (1994b). Report of the Pacific bussiness forum. Singapore APEC
Secretariate.
_______ (1994c). Selected APEC documents. Singapore: APEC Scretariate.
Apps, J.W. (1988). Higher education in a learning society: Meeting new demands for
education and training. San Francisco : Jossey-Bass Publishers.
Atmakusuma, A., Teken, I.G.B. Soeherdjo, A. and Asngari, P.S. (1974). The role of
the Provincial Universities in regional developmnet in Indonesia an
assessment. Singapore: RIHED.
Baily, A. (1990). Personal transferable skills for employmentL The role of higher
education. Dalam P.W.C. Wright. (Ed.). Industry and higher education:
Collaboration to improve students’ learning and training (pp. 68-74. London:
SRHE/Open University Press.
Balitbang Depdikbud, (1992). Discussion papers education, economic, and social
development: Conference on second 25 year development plant education and
culture, January 21-23, 1992 Indo Alam Hotel, Cipanas, West Java. Jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
135
Bappenas-Depdikbud-Depnaker-BPS (1988/89a). Perencanaan pendidikan dan
kesempatan kerja dalam pengembangan sumber daya manusia. Jakarta:
Bappenas.
-------- (1988/89b). Proyeksi kebutuhan persediaan tenaga kerja menurut jenis
jabatan dan pendidikan tahun 1994-2003. Jakarta: Bappenas.
_______ (1991). Kesesuaian lulusan fakultas teknik di Indonesia. Hasil Penelitian.
Jakarta: Bappenas.
Blaug, M. (1979). The quality of population in developing countries, with particuar
reference to education and training. Dalam P.M. Hauser (Ed.). World
population and development: Challenges and prospects (pp.361-401).
Syracuse: Syracuse University Press.
Boediono, Mc Mahon W.W., and Don Adams (Ed), (1992). Economic and social
development: Second 25 year development plant education and culture.
Jakarta: Dikbud.
BP-7 Pusat (1993). Undang-undang Dasar, P4: Ketetapan MPR No.II/MPR/1978.
GBHN: Ketetapan MPR No.II/MPR/1993.Jakarta: BP-7.
BPS. (1992). Penjelasan klasifikasi jabatan Indonesia. Jakarta: BPS.
_______ (1985). Penjelasan mengenai rekord data sensus penduduk 1980. Jakarta:
BPS.
_______ (1990). Pedoman pra komputer: DAFTAR SP90-RWLII. Jakarta: BPS.
136
_______ (1993). Buku Tahunan. Jakarta: BPS.
_______ (1994). Idikator kesejahteraan rakyat, 1993. Jakarta: BPS.
BPS dan Depnaker. (1982). Klasifikasi jabatan Indonesia. Jakarta: BPS.
Clogg, C.C. and Shockey, J.W. (1984). Mismatch between Occupation and
schooling: A prevalence measure, recent trends and demographic analysis.
Journal of Demography, 21 (2). Pp. 235-257.
Depdikbud. (1994). Pembangunan pendidikan dan kebudayaan menjelang era
tinggal landas. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Depdikbud. (1975). Petunjuk pelaksanaan kebijaksanaan dasar pengembangan
pendidikan tinggi jangka panjang. Jakarta: Dirjen DIKTI.
Depnaker. (1987). Kamus jabatan nasional. Jakarta: Ditjen Pembinaan dan
Penempatan Tenaga Kerja.
Ditjen DIKTI. (1994). Penjelasan Dirjen Dikti pada forum dengar pendapat dengan
Komisi X DPR-RI tanggal 22 Pebruari 1994, mengenai pengembangan
sumber daya manusia untuk mendukung pemanfaatan pengembangan dan
penguasaan IPTEK. Jakarta: Direktorat Jenderal DIKTI.
-------- (1995). Bahan sajian Mendikbud di Menko Kesra, Februari 1995. Jakarta:
DIKTI.
Djojonegoro, W. (1994a). Issues and challenges in educational development:
cooeperation and Linkages, presented at The Southeast Asian Ministers of
137
Education Council (SEAMEC). Jakarta. February 2-4, 1994. Dalam
Kumpulan pidato Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia:
IIA Januari-Juni 1994 (hal. 126-128). Jakarta: DEPDIKBUD.
______ (1994b). Kebijakan Pembangunan Pendidikan dan Kebudayaan dan
implikasinya pada sistem administrasi negara. Dalam Kumpulan pidato
menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni
1994 (hal. 195-215). Jakarta: DEPDIKBUD.
-------- (1994c). Kebijaksanaan pembangunan bidangpendidikan dan permasalahan
yang dihadapi. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indoensia: IIA Januari-Juni 1994 (hal.263-272). Jakarta:
DEPDIKBUD.
_______ (1994d). Masalah Pendidikan: Pokok Pikiran disampaikan pada kursus
regular Angkatan XX Sesko ABRI 1994/1995, 10 Februari 1994. Dalam
Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia:
IIA Januari-Juni 1994 (hal. 150-154). Jakarta: DEPDIKBUD.
_______ (1994e). Pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia menjelang
PJP II. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 134-146). Jakarta:
DEPDIKBUD
--------- (1994f). Peningkatan kualitas sumber daya manusia melalui sistem
pendidikan. Dalam Kumpulan pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 510-531). Jakarta:
DEPDIKBUD
--------- (1994g). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada musyawarah
138
program Pasca Sarjana PTS. Dalam Kumpulan pidato Menteri Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal. 415-416).
Jakarta: DEPDIKBUD.
-------- (1994h). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada pelantikan
Rektor Universitas Brawijaya, 1 Januari 1994. Dalam Kumpulan Pidato
menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni
1994 (hal. 60-82). Jakarta: DEPDIKBUD.
-------- (1994i). Sambutan menteri Pendidikan danKebudayaan pada Rakernas
Gubernur se Indonesia, 23 Februari 1994. Dalam Kumpulan pidato menteri
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-Juni 1994 (hal.
180-194). Jakarta: DEPDIKBUD.
--------- (1994j). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada upacara
pelantikan rektor Universitas Gajah Mada, 22 Maret 1994. Dalam Kumpulan
pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-
Juni 1994 (hal.280-301). Jakarta: DEPDIKBUD.
---------- (1994k). Sambutan menteri Pendidikan dan Kebudayaan pada upcara
pelantikan Rektor Universitas Haluoleo, 4 April 1994. Dalam Kumpulan
pidato menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia: IIA Januari-
Juni 1994 (hal. 346-353). Jakarta: DEPDIKBUD
Djojonegoro, W. dan Suryadi, A. (1994). Peningkatan Kualitas sumber daya manusia
untuk pembangunan: Analisis relevansi pendidikan dengan kebutuhan
pembangunan menyongsong era teknologi dan industri. Jakarta: Pusat
Informatik, Balitbang Dikbud.
Enoch, J.E. (1992). Dasar-dasar perencanaan pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara.
139
Fielden, J. (1990). The shifting culture of higher education. Dalam P.W.G. Wright.
(1990). Industry and higher education: Collaboration to improve students’
learning and training (pp. 75-81). London: SRHE/Open University Press.
Gramedia. (1991). Peraturan pemerintah Republik Indonesia Nomor 30 tahun 1990,
tentang pendidikan tinggi. Jakarta: Gramedia.
Hallaq, J. (1990). Investing in the future: Setting educational priorities in the
developing world. Paris: UNDP-UNESCO.
Hauser, P.M. (1974). The measurement of labour utilization. Reprint from: Malayan
Economic Reviw. Vol XIX. No.1, April 174. Quezon City: University of
Phillippines.
Holloway, R.E. (1984). Educational technology: A critical Perspective. New York:
ERIC.
Hutasoit, M. (1973). Surat Putusan menteri Pendidikan, Pengadjaran dan
Kebudayaan No.25 tahun 1958. Jakarta: Kementerian Pendidikan,
Pengadjaran, dan Kebudayaan.
International Labour Office. (1990). ISCO-88. Geneva: ILO.
Johnson, R.A. and Wichern. D.W. (1982). Applied multivariate statistical analysis.
New-Jersey: Prentice-Hall, Inc.
Jones, A. (1990). A responsive higher education. Dalam P.W.G. Wright. (Ed.).
Industry and higher education: Collaboration to improve students’ learning
and training (pp. 82-87). London: SRHE/Open University Press.
140
Jones, G.W. (1988). Expansion of secondary and tertiarty Education in Southeast
Asia : some implication For Australia. Australia: IPDP research notes no. 94.
Kasarda, J.D. and Friedrichs, J. (1985). Comparative demographic-employement
mismatches in U.S. and West German cities. Annual meeting of the
Population Association of America. Boston: Massachusetts, March 28-30.
Kelompok Kerja Pengembangan SDM. (1989a). Dukungan studi mengenai
pengembangan SDM: Buku I evaluasi sistem pendidikan dan latihan selama
15 tahun terakhir. Jakarta: Bappenas.
---------- (1989b). Dukungan studi mengenai pengembangan SDM: Buku II
Perkembangan Struktur ekonomi dan Kesempatan kerja pada Repelita V, VI,
dan VII. Jakarta: Bappenas.
King, E.M. and Lillard, L.A. (1989). Determinants of Schooling attainment and
enrollment rates in the Philippines. A Rand Note, The U.S. Agency for
International Development.
LDFE-UI. 1985. Studi pelacakan lulusan perguruan tinggi. Jakarta: LDFE-UI.
Levin, H.M. (1976a). Educational reform: its meaning? Dalam M. Carnoy dan H.M.
Levin (Eds.). The limits of educational reform (pp. 23-51). New York: David
McKay company. Inc.
_______ (1976b). A Taxonomy of educational reforms for changes in the nature
work. Dalam M. Carnoy dan H.M. Levin (Eds). The limits of Educational
reform (pp. 83-114). New York: David McKay Company. Inc.
Low,L., Heng, T.M. dan Wong, S.T. (1992). Economic of education and manpower
141
development issues and policies in Singapore. Singapore: McGraw-Hill.
Lowe, R. (1990). Educating for industry: The historical role of higher education in
England. Dalam P.W.G. Wright. (Ed.). Industry and higher education:
Collaboration to improve students’ learning and training. (pp. 9-17). London:
SRHE/Open University Press.
Mason, A. (1986). Demographic prospects in the Reoublic of Korea: Population,
households, and education to the year 2000. Working Papers, East-west
Population Institute, Honolulu, Hawai.
Mason, A. (1988). The Transition in education: Intergenerational effects. NUPRI
Research Paper Series No. 42.
Meyer-Dohm, P.M. (1990). Graduates of higher educationWhat do Employes expect
in the 1990s? Dalam P.W.G. Wright. (Ed.). Industry and higher education:
Collaboration to improve students’learning and training (pp. 61-67). London:
SRHE/Open University Press.
Miarso, Y. (1988). Peranan teknologi pendidikan dalam pembangunan di masa depan.
Makalah disampaikan dalam Seminar Akademik Mahasiswa Fakultas Ilmu
Pendidikan IKIP Padang, tanggal 28-29 Oktober 1988.
_______ (1989). Buku/Monograf: Teknologi pendidikan. Jakarta: PAU-UT.
Norusis, M.J. (1986). Advanced statistics SPSSPC + for The IBM PC/ XT/AT.
Chicago: Illinois. SPSS Inc.
Notodihardjo, H. (1990). Pendidikan tinggi dan tenaga kerja tingkat tinggi di
Indonesia. Jakarta: UI-Press.
142
Oommen, T.K. (1989). India: Brain drain or the migration of Talent?. Journal of
international migration. 27 (3) PP. 411-425.
Per Dalin. (1978). Limit to educational change. New York: St. Martin’s Press.
Pustaka Tinta Mas. (1990). Himpunan ketetapan-ketetapan MPRS tahun 1966, 1967,
1968 dan MPR tahun 1973, 1978, 1983, 1988. Surabaya: Pustaka Tinta Mas.
Poedjiastoeti, S. (1989). Rencana sensus penduduk 1990 dan perbandingannya
dengan sensus penduduk1980. Majalah Demografi Indonesia. No.31 pp. 74-
85. Jakarta: L.D. FE-UI
Pongtuluran, A. (1989). Penjelasan sistem pendidikan nasional terkandung dalam
Undang-undang Republik Indonesia terkandung dalam Undang Undang
Republik Indonesia Nomor: 2 tahun 1989, tentang sistem pendidikan
nasional. Jakarta: Biro Perencanaan Depdikbud.
Psacharopoulos. G. and Woodhall, M. (1985). Education for development: An
Analyis of investment Choices. Washington: oxford University Press.
Pusat Informatik. (1995). Perbandingan pendidikan di Indonesia dengan negara lain.
Jakarta: Pusat Informatik, Balitbang Dikbud.
Puslit Pranata Pembangunan, UI dan Bappenas. (1991a). Studi pengembangan sistem
dan kebijaksanaan SDM. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.
________ (1991b). Laporan diskusi teknis: Pengembangan sistem dan kebijaksanaan
SDM. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.
143
--------- (1992a). Kegiatan penunjang sistem pengembangan SDM: Analisis
penyebaran dan tren tenaga kerja di Indonesia, masalah dan saran
pengelolaannya. Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.
--------- (1992b). Kegiatan penunjang kebijakan pengebangan SDM: Integrasi
analisis kebijaksanaan SDM dalam model ekonomi-demografi-sosial. Jakarta:
Puslit Pranata Pembangunan-UI.
--------- (1992c). Model perencanaan terpadu pengembangan SDM. Jakarta: Puslit
Pranata Pembangunan-UI.
________ (1992d). Studi Proyeksi SDM pada pembangunan jangka panjang kedua.
Jakarta: Puslit Pranata Pembangunan-UI.
RDCMD-YTKI dan ILO-ARTEP. (1989). Mismatch between Occupation &
education. Hasil Penelitian. Jakarta: YTKI.
Robertson M. (1991). Consolidated report on policy and Research activities
professional human resource Development project (PHRDP). Government of
Indonesia-World Bank (Loan No.3134-IND), BAPPENAS. Jakarta:
Bappenas.
Schultz, T.P. (1987). School expenditures and enrollments, 1960-80: The effects of
income, prices, and population growth, In D.G. Johnson and R.D. Lee (Ed.),
Population growth and economic Development: Issues and evidence.
Wisconsin: The University Press.
Shaeffer, S. (1990). Educational change in Indonesia: ACase study of three
innovations. Paris: IDRC.
144
Simanjuntak, P. (1985). Pengantar ekonomi sumber daya Manusia. Jakarta: LP-FEUI
Situmorang, A.O.B. (1985). Strategi pengembangan sumber daya manusia. Jakarta:
PPS-IKIP Jakarta: PPS-IKIP Jakarta (tidak dipublikasikan)
Soenarya, E. (1994). Model penerapan pendekatan sistem dalam perencanaan
pendidikan suatu kajian teoritik. Disertasi. Jakarta: PPS-IKIP Jakarta.
St. John, E.P. (1981). The policy process in higher education. Armidale: The Institute
for Higher Education.
Thomas, R.M. (1973). A chronicle of Indonesian higher Education. Singapore:
Eurasia Press.
Tilaar, H.A.R. (1990). Pendidikan dalam pembangunan nasional menyongsong abad
XXI. Jakarta: Balai Pustaka, Jakarta.
--------- (1995). 50 tahun pembangunan pendidikan nasional 1945-1995: Suatu
analisis kebijakan. Jakarta: Gramedia
Todaro, M.P. (1982). Economic development in the third World. New Yoek:
Longman Inc.
Tribe, K. (1990). The ‘US model’ for higher education: structure and finance. Dalam
P.W.G. Wright. (1990). Industry and higher education: Collaboration to
improve students’ learning and training (pp. 43-60). London: SRHE/Open
University Press.
145
UNDP. (1989). Education and training in the 1990s: Developing countries Needs
and startegies, education development center. New York: Oxford University
Press.
United Nations. (1989). Handbook on social indicators: Studies in methods series F
No.49. New York: United Nations.
UNESCO. (1984). Guide to statistics on science and Technology. Paris: UNESCO.
Watson, D. (1990). The changing shape of professional education. Dalam H. Bines.
dan D. Watson. Developing professional education. Milton Keynes:
SRHE/Open University.
Williams, G. and Loder, C. (1990). Industry contributions to higher education
funding and their effects. Dalam P.W.G. Wright. (1990). Industry and higher
education: Collaboration to improve students’ learning and training (pp.31-
42). London:SRHE/Open University Press.
World Bank. (1994). Development in practice higher education: The lessons of
experience. Washington, D.C.: The World Bank.
______ (1978). Labor market segmentation and the determination of earnings: A
case study. World Bank Staff Working Paper No.278.
________ (1989). Human resource development policy, planning and institutional
development project briefing document. Jakarta: Bappenas.
Zaltman, G., Florio, D.H., and Sikorski, L.A. (1977). Dynamic educational change.
New York: The Free Press.
146
Dokumen Pemerintah
Undang-undang Republik Indonesia Nomor : 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor: 30 Tahun 1990 tentang
Pendidikan Tinggi.
Ketetapan Permusyawaratan Rakyat Republik Indosia Nomor II/MPR/1988 tentang
Garis-Garis Besar Haluan Negara.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 1989 tentang Rencana
PembangunanLima Tahun Kelima (REPELITA V) 1989/90-1993/94
Ketetapan Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia Nomor II/MPR/1993
tentang Garis-GarisBesar Haluan Negara.
Keputusan Presiden Republik Indonesia Nomor 17 Tahun1994 tentang Rencana
Pembangunan Lima Tahun Kelima (REPELITA VI) 1994/95-1998/99.
DAFTAR LAMPIRAN
1. Instrumen Penelitian (Kuesioner)
1.1 Kuesioner Sensus Penduduk tahun 1980
1.2 Kuesioner Sensus Penduduk tahun 1990
2. Daftar Pertanyaan dan Daftar Matching
2.1 Daftar Pertanyaan yang dipergunakan dalam penelitian
2.2 Daftar Matching antara Jurusan Pendidikan dan Jabatan/jenis pekerjaan
3. Tabel Analisis Bab IV
4. Riwayat Hidup
1