Skripsi Abdullah Rois1

172
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya, pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik yang tak habis-habisnya (Mahmud Arief, 2008: 21). Hingga saat sekarang problem dalam dunia pendidikan kita masih saja menjadi wacana publik yang sangat meresahkan, baik itu menyangkut 1

description

pelajari lah

Transcript of Skripsi Abdullah Rois1

Page 1: Skripsi Abdullah Rois1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya

sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas

masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai

contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di

ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di

setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam

kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di

persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal

pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu

dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha

seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya

menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas

kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan

membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling

menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya,

pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik

yang tak habis-habisnya (Mahmud Arief, 2008: 21).

Hingga saat sekarang problem dalam dunia pendidikan kita masih saja

menjadi wacana publik yang sangat meresahkan, baik itu menyangkut

1

Page 2: Skripsi Abdullah Rois1

2

persoalan mutu pendidikan yang sangat rendah, sistem pembelajaran yang

belum memadai serta profesionalitas pengajar yang sangat langka. Sehingga

apa yang menjadi cita-cita dalam dunia pendidikan di tanah air kita hanya baru

sebatas retorika dan angan-angan belaka. Konsekuensi logis dari problem

dalam dunia pendidikan ini yang dapat kita amati secara langsung adalah

munculnya perilaku amoral dalam lingkungan kita yang menempati posisi

yang sangat tinggi. Seperti kekerasan, penipuan, pemerkosaan, pertengkaran

dan pembunuhan.

Walaupun dalam kondisi yang seperti ini, bagi sebagian pendidik

ataupun pemegang kebijakan ingin mengalami terjadinya sebuah perubahan.

Namun keinginan tersebut sangat sering terartikulasikan dalam bentuk

kesadaran naif. Faktor yang paling penting dalam pendidikan adalah

bagaimana menumbuhkembangkan sikap kritis peserta didik terhadap objek,

bukannya apa yang diajarkan pendidik tentang objek. Mengetahui (to know)

tidak sama dengan menebak (to gues); informasi itu akan bermanfaat jika kita

dapat menangkap akar permasalahannya (Freire, 2000: 11).

Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai

pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh

keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang mendapatkan

pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-

menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai "korban penindasan".

Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan

semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang

Page 3: Skripsi Abdullah Rois1

3

paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog.

Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses

pembenaran dari praktik-praktik yang melembaga. Dengan konsep

Konsientisasi-nya atau pendidikan sebagai penyadaran, secara ekstrim Freire

menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah

ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan

dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran

golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat

hierarkis piramidal ( http://re-searchengines.com/ahmadnajip.html ).

Freire adalah seorang pendidik yang terus mencari membuat ramuan

"obat mujarab" untuk mengubah wajah pendidikan itu sendiri sekaligus wajah

dunianya. Yaitu, dari model pendidikan "gaya bank" (banking concept of

education) ke model pendidikan hadap masalah (problem-posing education)

yang memposisikan pendidik dan peserta didiknya sebagai subyek-subyek

yang mengetahui tugas dan tanggung jawabnya secara benar sesuai dengan

hakikatnya, dari model pendidikan yang tidak terpaut (delinking) ke model

pendidikan yang terpaut (linking) dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-

politiknya (Abd. Malik, dkk. 2001: 162). Pendidikan yang membelenggu dan

yang membebaskan a la Freire secara singkat digambarkannya sebagai

dikotomi model pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik

berbeda dan bahkan saling bertentangan. Model pendidikan yang

membelenggu antara lain memiliki ciri-ciri; guru menanamkan kesadaran

yang keliru kepada siswa dengan melakukan tindakan manipulatif, pendekatan

Page 4: Skripsi Abdullah Rois1

4

dalam pendidikannya bersifat preskriptif dan sekedar transfer nilai. Sedangkan

model pendidikan yang membebaskan juga memiliki cirri-ciri; guru

mengkondisikan peserta didiknya mengenal kehidupan senyatanya secara

kritis, pendekatan yang dipilih bersifat dialogis dan menempatkan

pengetahuan sebagai suatu yang dinamis dalam proses transformasi yang akan

diuji dalam kehidupan nyata (Abd. Malik, dkk. 2001: 162).

Konsep dan politik pendidikan Freire mempunyai visi filosofis yakni

manusia yang terbebaskan (liberated humanity). Visi ini berpijak pada

penghargaan terhadap manusia dan pengakuan bahwa harapan dan masa depan

yang disampaikan kepada kaum tertindas tidak sekedar menjadi hiburan,

sebagaimana juga bukan untuk terus-menerus mengecam dan menentang

kekuatan objektif kaum tertindas (Paulo Freire, 1999: 12).

Dengan komitmennya pada hubungan dialektis antara praktik dan

teori, Freire senantiasa mendasarkan praktiknya pada ide-ide teoritis yang

meyakinkan, yang selanjutnya berhubungan erat dengan tindakan-tindakan

praktisnya. Ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menjalankan suatu

praksis pedagogis, tanpa definisi muatan a priori, buku teks, atau teknik-

teknik pendidikan. Tujuannya adalah membangun suatu proses pendidikan

yang disebutnya "penyadaran" (conscientization), yang dibangun berdasarkan

realitas sosio dan kultural guru dan murid (Joy A. Palmer, 2003: 238).

Kaitannya dengan konsep pendidikan yang ditawarkan Freire diatas,

dalam Islam–pun sebenarnya telah memberikan kontribusi keilmuan dalam

dunia pendidikan. Islam adalah agama pembebasan karena "Islam

Page 5: Skripsi Abdullah Rois1

5

memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan

kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan,

mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan

tertindas". Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire telah

diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam strategi gerakan dakwah Islam

menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan

sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan

ketidakadilan dalam segala aspeknya. Nabi dalam kerangka dakwah Islam

untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah

ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya

memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material

kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatanan yang telah ada

menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter

(http://www.uinsuska.info).

Islam adalah agama ilmu dan cahaya, bukanlah suatu agama

kebodohan dan kegelapan. Wahyu yang pertama diturunkan mengandung

perintah membaca kepada Rasulullah. Pengulangan atas perintah tersebut dan

penyebutan kembali mengenai masalah ilmu dan pendidikan itu, dapat kita

rasakan dalam menghubungkan soal pendidikan dengan Tuhan dalam Q.S. Al-

'Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:

& t�ø% $# ÉΟó™ $$Î/ y7 În/ u‘ “Ï%©!$# t, n= y{ ∩⊇∪ t, n= y{ z≈ |¡ΣM}$# ôÏΒ @, n=tã ∩⊄∪ ù& t�ø% $# y7š/ u‘uρ ãΠt�ø. F{ $#

∩⊂∪ “Ï% ©!$# zΟ‾= tæ ÉΟn=s) ø9 $$ Î/ ∩⊆∪ zΟ‾= tæ z≈ |¡ΣM}$# $ tΒ óΟs9 ÷Λs>÷è tƒ ∩∈∪

Page 6: Skripsi Abdullah Rois1

6

"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya". (Q.S. Al-'Alaq : 1-5) (Depag RI, 1971: 1079)

Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan

yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar

bagi semua orang; pintu masjid dan institut-institut terbuka buat semua, tanpa

perbedaan antara si kaya dan si miskin, tinggi atau rendahnya kedudukan

sosial seorang siswa (Athiyah, 1993: 5). Oleh karena itu, di dalam pendidikan

Islam terwujud prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, persamaan dan

kesempatan yang sama buat belajar, tanpa diskrimasi antara si kaya dan si

miskin (Athiyah, 1993: 10).

Berdasarkan latarbelakang masalah diatas, penulis tertarik untuk

melakukan suatu kajian yang penulis konsep dalam sebuah judul :

“Konsep Konsientisasi Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam”.

B. Definisi Operasional

Untuk menghindari kesalahpahaman serta memudahkan pengertian

yang dimaksud berdasarkan judul di atas, maka penulis memberikan batasan-

batasan pengertian yang tersusun di dalamnya, sehingga tidak menimbulkan

interpretasi yang keliru.

1. Konsep Konsientisasi

Bila melihat dari akar katanya, konsep dalam bahasa Inggris

diartikan dengan draft (kamus Indonesia-English), dan menurut istilah

konsep di maknai sebagai pemikiran umum atau ide, pendapat yang

Page 7: Skripsi Abdullah Rois1

7

diabstrakkan (Depdikbud, 1993: 764). Sedangkan Konsientisasi

(kesadaran) berakar dari kata sadar, artinya tahu, mengerti, ingat, paham,

serta terbuka hati dan pikirannya untuk berbuat sesuai dengan kata hatinya.

Sedangkan secara terminologi kesadaran adalah keinsyafan akan

perbuatannya (Sujarwa, 2001: 115).

Menurut istilah konsientisasi adalah proses di mana manusia

mendapatkan kesadaran yang terus semakin mendalam tentang realitas

kultural yang melingkupi hidupnya dan akan kemampuannya merubah

realitas itu (Siti Murtiningsih, 2006: 63)

Konsep konsientisasi yang dimaksudkan penulis dalam penelitian

ini adalah sebuah pemikiran mengenai proses yang mendeskripsikan

perkembangan individu yang berubah dari kesadaran magis menuju

kesadaran naif dan akhirnya sampai pada kesadaran kritis.

2. Perspektif

Dalam bahasa inggris; perspective: pandangan, cara pandang (Pius

A Partanto dan M., 1994: 592) dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

memiliki dua definisi:

a. Cara melukiskan suatu benda dalam permukaan yang mendatar sebagai

mana terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar dan

tinggi).

b. Sudut pandang; pandangan (Depdikbud, 1993: 675).

Page 8: Skripsi Abdullah Rois1

8

3. Pendidikan Islam

Secara etimologi pendidikan Islam sering disebut dengan istilah

tarbiyyah, ta’dib, ta’lim, atau istilah lain yang maknanyapun memiliki

keunikan makna tersendiri; rabbâ-yarbû-tarbiyah: bermakna tambah dan

berkembang, rabbâ-yurbî-tarbiyah: bermakna tumbuh dan menjadi

besar/dewasa, rabbâ-yarubbu-tarbiyah: bermakna memperbaiki,

menguasai urusan, memelihara dan merawat. Sehingga bila diambil dari

kata kerjanya (rabbâ), maka pendidikan Islam memiliki arti

menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan dan

menjinakkan (Abdul Mujid dan Yusuf Mudzakir, 2006: 11). Sedang secara

terminology menurut berbagai pakar pendidikan dapat dirumuskan sebagai

berikut:

Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan

suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif

mengembangkan potensi dirinya, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,

serta serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan

Negara (UU Guru dan Dosen, 2006: 72).

Pendidikan adalah suatu tindakan yang sadar bertujuan untuk

memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya insani)

menuju kesempurnaan insani (insan kamil). Pendidikan adalah proses

kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, seirama

dengan perkembangan anak (Achmadi, 1987: 5).

Page 9: Skripsi Abdullah Rois1

9

Menurut SA. Ibrahim dalam Arifin mengatakan bahwa pendidikan

Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang

dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam, sehingga

dengan mudah ia dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan

ideologi Islam (HM. Arifin, 1991: 3-4).

Dari beberapa definisi tentang pendidikan Islam di atas, penulis

dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam yang dimaksud penulis

dalam penelitian ini adalah segala usaha untuk memelihara dan

mengembangkan fitrah manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya

(insan kamil) sesuai dengan norma Islam.

C. Rumusan Masalah

Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan

permasalahannya adalah : “ Bagaimana Konsep Konsientisasi Paulo Freire

Dalam Perspektif Pendidikan Islam ”.

D. Tujuan dan Manfaat Penelitian

1. Tujuan Penelitian

Dengan melihat rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas,

maka maksud dari tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui

bagaimanakah pandangan pendidikan Islam terhadap konsep konsientisasi

Paulo Freire.

2. Manfaat Penelitian

a. Memberikan wawasan dan pengetahuan baru tentang konsep

konsientisasi yang dikembangkan dalam perspektif pendidikan Islam

Page 10: Skripsi Abdullah Rois1

10

b. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya tentang konsep

konsientisasi yang dikembangkan dalam perspektif pendidikan Islam.

c. Sebagai bahan evaluasi bagi suatu lembaga pendidikan Islam serta

tenaga kependidikan untuk menemukan format baru tentang konsep

konsientisasi yang dikembangkan dalam perspektif pendidikan Islam.

d. Untuk memperoleh bahan penyusunan skripsi guna memenuhi

sebagian syarat menyelesaikan studi di STAIN Purwokerto.

E. Tinjauan Pustaka

Konsep konsientisasi yang dikembangkan dalam perspektif pendidikan

Islam merupakan topik yang sedang hangat diperbincangkan dan dikaji oleh

para penulis dalam berbagai perspektif, baik melalui kegiatan diskusi/seminar

maupun dalam bentuk tulisan seperti buku, jurnal, majalah, surat kabar, artikel

dan lain sebagainya. Bentuk kegiatan tersebut sebagian besar merupakan

upaya menata kembali pendidikan yang pada saat ini mengalami

ketertinggalan dan keterpurukan.

Diantara penulis pendidikan Islam di Indonesia misalnya, Imam Hanafi

dalam Jurnal Ilmiah Ke-Islaman mencoba untuk menggali kembali hakikat

keberagamaan yang seharusnya ditampilkan oleh manusia beragama. Dengan

memakai cermin praktek pendidikan yang membebaskan sebagaimana

dilakukan oleh Paulo Freire di Brazil pada paruh 1960-an. Menurut Freire,

kala itu pendidikan di Brazil telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan

untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya

bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana

Page 11: Skripsi Abdullah Rois1

11

murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau

memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah

melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut

dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya dan

mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan

tidak munculnya kesadaran kritis pada murid".

Dalam buku Siti Murtiningsih terbitan tahun 2006 yang berjudul

Pendidikan Alat Perlawanan (Teori Pendidikan Radikal Paulo Freir)

menjelaskan bahwa dengan konsep konsientisasi atau pendidikan sebagai

penyadaran, Freire menghidupkan kembali daya kritis dalam system

pendidikan. Freire juga mengembalikkan pemahaman kita tentang hubungan

guru dan murid. Freire menyebut "setiap kebudayaan, lingkungan social dan

ekonomi, guru atau murid selalu mengambil posisi tertentu, entah si penindas

atau tertindas". Freire lalu menyuntikkan kesadaran kritis, dan membuat status

ontologism murid bergeser, dari objek sistem pendidikan menjadi subjek

dengan komitmen politik yang menjadikan dunia sebagai ruang hidup bersama

untuk kemanusiaan.

Buku terjemahan Paulo Freire The Politic of Education: Culture,

Power and Liberation tahun 1999, menjelaskan bahwa daya tarik dan

kekuatan Freire adalah kejujuran untuk mengungkapkan, menyatakan, tanpa

tedeng aling-aling kondisi kemanusiaan kita yang telah sedemikian rapuhnya

di mana kita sendiri justru sering bersikap tidak manusiawi dalam

menghadapinya. Filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia

Page 12: Skripsi Abdullah Rois1

12

ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian

lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil,

dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Bagi

Freire, penindasan, apa pun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi,

sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).

Kemudian sebuah artikel yang berjudul Nilai Pedagogis Paulo Freire

dan Masa Depan Pendidikan yang ditulis oleh Ahmad Najip tahun 2003,

mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil

ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang dinilai kering dari

aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak

sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri . Untuk

itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses belajar

mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga

dalam dunia pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan yang dinilai tepat

dijalankan di dunia ketiga adalah konsep pendidikan Paulo Freire yang

menganggap bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan .

Berdasarkan penelaahan penulis bahwa apa yang akan dikaji penulis

dalam penelitian ini yaitu konsep konsientisasi Paulo Freire dalam perspektif

pendidikan Islam berbeda dengan kajian para tokoh di atas. Walaupun pada

hakikatnya ada diantara para pemikir diatas yang menyinggung dan

membahasnya.

Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih sangat

memerlukan berbagai pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam. Hal ini

Page 13: Skripsi Abdullah Rois1

13

penulis gunakan sebagai bahan acuan dalam menggagas teori untuk

menemukan format ideal yang memiliki koherensi dengan kajian ilmu yang

akan dilakukan oleh penulis.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Ditinjau dari sifatnya, riset ini tergolong riset kepustakaan (library

research) bukan studi kancah (Sutrisno Hadi, 2004: 4). Maksudnya adalah

menjadikan bahan pustaka sebagai sumber primer yang akan dikaji dalam

penelitian ini dan sumber sekunder yang berkaitan dengan permasalahan

yang dihadapi.

2. Sumber Data

Sumber data yang sering digunakan dalam sebuah penelitian

terdapat dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.

Sumber data primer atau data tangan pertama adalah sumber data

yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat

pengukuran atau pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber

informasi yang dicari (Saifuddin Azwar, 1998: 91). Sumber pertama ini

bisa berupa sumber asli baik berbentuk dokumen maupun berbentuk

peninggalan lainnya (Winarno Surakhmad, 1994: 134). Sedangkan yang

dimaksud sumber data sekunder atau data tangan ke dua adalah data yang

diperoleh dari fihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek

penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud data dolumentasi atau

data laporan yang telah tersedia. (Saifuddin Azwar, 1998: 91).

Page 14: Skripsi Abdullah Rois1

14

Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis

yaitu penelaahan terhadap konsep konsientisasi yang dikembangkan dalam

pendidikan Islam, maka sumber yang digunakan sebagai acuan oleh

penulis dalam penelitian ini adalah berbagai literatur yang relevan dengan

pembahasan yang akan dilakukan oleh penulis, baik berupa buku-buku,

majalah, surat kabar, artikel pendidikan, jurnal pendidikan maupun yang

lainnya.

Secara garis besar di bawah ini ada beberapa literatur yang penulis

gunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian ini antara lain, meliputi

buku Falsafah Pendidikan Islam karangan Omar Mohammad, buku Dasar-

Dasar Pokok Pendidikan Islam karangan M. Athiyah, buku Falsafah

Pendidikan Islam karangan Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany,

buku Filsafat Pendidikan Islam karangan Abd. Aziz, buku Pendidikan

Islam Mazhab kritis karangan Assegaf dan Suyadi, buku Ilmu Pendidikan

Islam karangan Nur Uhbiyati, buku terjemahan William A. Smith yang

berjudul Concientizao: Tujuan dan arah Pendidikan Paulo Freire, buku

terjemahan The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation

karangan Paulo Freire, buku Pendidikan Kaum Tertindas, karangan Paulo

Freire, buku Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo

Freire karangan Siti Murtiningsih.

3. Metode Pengumpulan Data

Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian

ini adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi dalam penelitian ini

Page 15: Skripsi Abdullah Rois1

15

digunakan untuk memperoleh konsep-konsep dan pandangan-pandangan

yang terkait dengan konsep konsientisasi yang berupa buku-buku, internet,

surat kabar dan sebagainya.

4. Metode Analisis Data

Metode anlisis yang digunakan penulis adalah metode Content

Analisis (Analisis isi), yaitu merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan

suatu komunikasi (Noeng Muhadjir, 1998: 49). Metode ini melibatkan

olahan filosofis dan teoritis. Pada dasarnya ada tiga syarat di dalam

analisis ini, yaitu objektivitas, sistematis dan generalis (Noeng Muhadjir,

1998: 70). Metode ini penulis gunakan dalam rangka untuk menggali dan

mengungkapkan seluruh pokok-pokok konsep konsientisasi Paulo Freire

dan juga konsep pendidikan Islam.

Sedang kerangka berfikir yang digunakan oleh penulis adalah

sebagai berikut:

a. Berfikir Deduktif

Berfikir deduktif adalah proses pendekatan yang berangkat dari

kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan

menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data

tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi)

(Safuddin Azwar, 1998: 40). Dengan kata lain, metode deduktif adalah

suatu metode yang berangkat dari pengetahuan umum, dan bertitik tolak

pada pengetahuan yang khusus (Sutrino Hadi, 1995: 36).

Page 16: Skripsi Abdullah Rois1

16

Metode ini penulis gunakan dalam penelitian ini dalam rangka

menyimpulkan konsep konsientisasi Paulo Freire dan juga konsep

pendidikan Islam terkait dengan sub pokok pembahasan tertentu, yang

sebelumnya telah penulis identifikasi secara keseluruhan dari pokok-pokok

kedua konsep tersebut melalui metode content analysis.

b. Berfikir Induktif

Metode induktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan

atau fakta-fakta khusus menjadi kesimpulan yang bersifat umum. (Sutrisno

Hadi, 1995: 42). Metode ini penulis gunakan dalam rangka untuk menguji

kembli validitas tentang konsep konsientisasi dan konsep pendidikan Islam

yang telah penulis simpulkan dengan menggunakan metode deduktif,

sehingga dalam satu kesimpulan kdang penulis memadukan antara metode

deduktif dan metode induktif.

c. Metode Komparatif

Metode komparatif adalah metode pengambilan kesimpulan

dengan cara membandingkan tentang benda-benda, kesamaan pandangan

dan perubahan-perubahan pandangan orang, pendapat satu dengan lainnya

terhadap suatu kasus atau peristiwa. (Suharsimi Arikunto, 2002: 236).

Metode ini penulis gunakan untuk mengkomparasikan berbagai pemikiran

atau pandangan berkaitan dengan konsep konsentisasi Paulo Freire yang

dikembangkan dalam pendidikan Islam. Sehingga dapat ditarik

kesimpulan dari pemikiran-pemikiran tokoh tersebut.

Page 17: Skripsi Abdullah Rois1

17

G. Sistematika Penulisan

1. Bagian Muka

Halaman judul, nota pembingbing, halaman pengesahan, halaman

motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar dan daftar isi.

2. Bagian Isi

Bab pertama, meliputi: latarbelakang masalah, definisi operasional,

rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode

penelitian, sistematika penulisan skripsi.

Bab kedua, konsep pendidikan Islam, meliputi: konsep manusia

dalam pandangan Islam, pengertian pendidikan Islam, dasar dan tujuan

pendidikan Islam, metode serta kurikulum pendidikan Islam.

Bab ketiga, biografi dari Paulo Freire, meliputi: latar belakang

kehidupan, pemikiran edukatif serta corak pemikiran Paulo Friere.

Bab keempat, meliputi: konsep manusia dalam pandangan Paulo

Freire, pengertian konsep konsientisasi, gagasan dasar konsep

konsientisasi, fitrah manusia menurut Islam, paradigma pendidikan kritis,

pendidikan humanis dalam Islam, konsep konsientisasi Paulo Freire dalam

perspektif pendidikan Islam serta posisinya dalam pendidikan Islam.

Bab kelima, berupa penutup, yang berisikan tentang kesimpulan,

saran-saran dan kata penutup.

3. Bagian Akhir

Pada bagian ini memuat: daftar pustaka, lampiran-lampiran dan

daftar riwayat hidup penulis.

Page 18: Skripsi Abdullah Rois1

18

BAB II

KONSEP PENDIDIKAN ISLAM

A. Konsep Manusia dalam Pandangan Islam

Begitu sentralnya manusia sebagai makhluk Tuhan, maka hampir

semua ilmu pengetahuan menjadikan manusia sebagai objek studinya. Bukan

hanya ilmu sosial dan humaniora, tetapi sebagian ilmu-ilmu kealaman dan

eksakta juga menjadikan manusia sebagai objek studinya. Yang membedakan

antara ilmu-ilmu tersebut adalah sudut pandang terhadap manusia, sesuai

dengan disiplin masing-masing, misalnya biologi mengkaji manusia dari aspek

biologisnya, kedokteran mengkaji manusia dari aspek kesehatan atau medis,

ilmu politik mengkaji manusia dari sudut pandang politik, ekonomi mengkaji

interaksi manusia dalam bidang ekonomi, sedangkan ilmu pendidikan

membahas manusia dari sudut pandang fenomena dan aktifitasnya dalam

pendidikan.

Oleh karena itu, sebelum menguraikan konsep pendidikn Islam,

penulis menganggap penting untuk mengkaji tentang konsep manusia dalam

pandangan Islam, karena manusia merupakan sesuatu yang sangat vital dalam

pendidikan. Tanpa kejelasan konsep ini, pendidikan Islam tidak akan bisa

dipahami secara jelas dan terkesan meraba-raba.

a. Pengertian Hakikat Manusia

Menurut Nur Khalif dan el-Han dalam “Kamus Ilmiah Popular”,

mengartikan hakikat sebagai kebenaran, kenyataan yang sebenarnya substansi

18

Page 19: Skripsi Abdullah Rois1

19

(Nur Khalif dan el-Han, t.t.: 166). Dalam filsafat yang disebut hakikat dari

suatu benda (hal), ialah keadaan sebenarnya dari benda (hal) tersebut.

Sedangkan menurut Mahmud Yunus dalam “Kamus Arab Indonesia”, kata

hakikat merupakan bentuk masdar dari “haqqa” , yang berarti sebenarnya

(Mahmud Yunus, 1990: 106). Jadi hakikat manusia dapat diartikan substansi

atau keadaan yang sebenarnya, tetap dan tidak berubah, dan substansi itu

merupakan ciri khas yang di miliki oleh manusia yang dapat membedakan

dengan makhluk lain.

Dalam al-Qur’an hakikat manusia banyak diungkapkan sebagai

makhluk dua dimensi. Asal manusia secara esensial bermula dari Allah,

bersifat nur (cahaya), ruh (hidup), dan ghaib (tidak nampak oleh mata kasar).

Ia tidak dapat didefinisikan oleh kata-kata, huruf, bunyi, ataupun sesuatu,

melainkan hanya Dialah yang dapat mengetahui dan memahaminya,Firman

Allah Qur'an Surat An-Nur ayat 35 berbunyi:

ª!$# â‘θ çΡ ÅV≡uθ≈ yϑ¡¡9 $# ÇÚö‘F{$#uρ 4 ã≅ sWtΒ ÍνÍ‘θ çΡ ;ο 4θ s3ô± Ïϑx. $pκ�Ïù îy$t6 óÁ ÏΒ ( ßy$t6 óÁÏϑø9 $#

’ Îû >πy_%y ã— ( èπy_% y –“9 $# $ pκ ¨Ξr( x. Ò=x. öθ x. A“Íh‘ ߊ ߉s%θムÏΒ ;ο t�yf x© 7π Ÿ2 t�≈ t6•Β 7πtΡθ çG÷ƒ y— āω

7π§‹Ï% ÷�Ÿ° Ÿω uρ 7πŠ Î/ ó�xî ߊ%s3tƒ $pκ çJ÷ƒ y— â ûÅÓムöθs9 uρ óΟs9 çµó¡|¡ ôϑs? Ö‘$ tΡ 4 î‘θœΡ 4’ n?tã 9‘θ çΡ 3 “ωöκ u‰

ª!$# Íν Í‘θ ãΖÏ9 tΒ â !$ t± o„ 4 ÛUÎ�ôØ o„uρ ª! $# Ÿ≅≈sWøΒ F{$# Ĩ$ ¨Ψ=Ï9 3 ª!$#uρ Èe≅ ä3Î/ > óx« ÒΟŠ Î=tæ ∩⊂∈∪

Artinya: "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang

Page 20: Skripsi Abdullah Rois1

20

dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Q.S. Al-Nur: 35) (Depag RI, 1971: 550).

Sedangkan usul dari manusia adalah berasal dari air, lumpur, debu, dan

bumi. Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Mu'minun: 12-14, yang

berbunyi:

ô‰ s) s9uρ $oΨ ø) n=yz z≈|¡Σ M}$# ÏΒ 7' s#≈ n=ß™ ÏiΒ &ÏÛ ∩⊇⊄∪

§Ν èO çµ≈oΨ ù=yè y_ Zπ x/ ôÜçΡ ’ Îû 9‘#t�s% &Å3Β ∩⊇⊂∪

¢ΟèO $ uΖ ø)n= yz sπ x/ ôÜ‘Ζ9$# Zπ s) n=tæ $uΖ ø)n=y‚ sù sπ s)n= yè ø9$# Zπ tóôÒ ãΒ $uΖ ø)n= y‚sù sπ tó ôÒ ßϑø9 $# $ Vϑ≈sàÏã

$ tΡ öθ |¡s3sù zΟ≈sàÏè ø9$# $ Vϑøtm: ¢ΟèO çµ≈tΡ ù' t±Σr& $) ù=yz t�yz#u 4 x8 u‘$ t7tF sù ª! $# ß|¡ôm r& tÉ) Î=≈sƒø: $# ∩⊇⊆∪

Artinya: "Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik." (Q.S. al-Mu'minun: 12-14) (Depag RI, 1979: 550).

Surat al-Hijjr: 28, yang berbunyi:

øŒ Î)uρ tΑ$s% y7 •/u‘ Ïπs3Í×‾≈n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤÎ) 7, Î=≈yz #\�t±o0 ÏiΒ 9≅≈|Áù= |¹ ôÏiΒ :* yϑym 5βθ ãΖó¡ ¨Β ∩⊄∇∪

Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk." (Q.S. al-Hijjr: 28). (Depag RI, 1971: 393).

Ini artinya jika manusia ditinjau dari asal kejadian, maka hakikatnya

bersifat ruhaniyah, sedangkan apabila dilihat dari usul kejadian, maka

hakikatnya adalah bersifat jasmaniah.

Page 21: Skripsi Abdullah Rois1

21

Persoalan hakikat manusia juga telah dikembangkan oleh beberapa

pemikir muslim. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin sebagaimana dikutip oleh

Ibnu Rusn menggunakan empat istilah dalam membahas tentang esensi

manusia yaitu: qalb, ruh, nafs, dan aql. Pengertian masing-masng istilah

tersebut adalah sebagai berikut:

“Hati (qalb) ialah halus, ketuhanan dan bersifat kerohanian, ia dengan hati yang bertubuh ada hubungannya. Yang halus itu hakikat manusia. “Ruh adalah yang halus, yang mengetahui, dan yang merasa dari mansuia.” “Jiwa (nafs) yaitu yang halus yang telah kami sebutkan yakni hakikat manusia; diri dan dzatnya.” “Akal (aql) kadang ditujukan dan dimaksudkan yang memperoleh pengetahuan, dan itu adalah hati yakni yang halus … kadang ditujukan dan dimaksudkan sifat orang yang berilmu, dan kadang ditujukan dan dimaksudkan tempat pengetahuan yakni yang mengetahui.” (Ibnu Rusn, 1998: 31)

Penggunaan keempat istilah di atas menunjukkan bahwa kajin al-

Ghazali terhadap esensi manusia sangat mendalam, menyertai sepanjang

perkembangan pemikirannya.

Menurut al-Farabi, menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua

komponen, yaitu jasad dan jiwa.

1. Komponen jasad Menurut Al-Farabi, komponen ini berasal dari alam ciptaan, yang mempunyai bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan terdiri atas organ. 2. Komponen jiwa Menurut Al-Farabi, komponen jiwa berasal dari alam perintah (alam kholiq) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia. hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan walaupun tidak menyamai Dzat-Nya (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 10-11).

Page 22: Skripsi Abdullah Rois1

22

Sedangkan Syari'ati dalam Suwito, mengungkapkan bahwa manusia

tercipta dari dua hakikat yang berbeda, yakni tanah (lumpur), dan ruh. Tanah

(Lumpur) adalah simbol kerendahan, kenistaan, dan kekotoran. Sedangkan ruh

adalah spirit yang Maha Sempurna, cenderung mengajak manusia kearah yang

suci dan baik budi. Makna simbolik dari pengertian di atas adalah manusia

diciptakan dalm dua sifat dasar, yakni sifat ketuhanan dan sifat kesyetanan.

Karena hakikat kejadian yang seperti itulah, pada saat tertentu, manusia dapat

mencapai derajat yang tinggi, tapi di sisi lain justru manusia dapat terjebak

pada derajat yang hina (Suwito, 2004: 139-134).

Menurut Achmadi mengemukakan bahwa hakikat wujud manusia

terbagi menjadi dua yaitu segi fisik dan segi rohani. Dari segi fisik manusia

berasal dari tanah yang dalam bentuknya sebagai manusia dalam al-Qur'an

disebut sebagai basyar (Q.S. Al-Hijjr: 26-28), yakni makhluk fisik-biologis

kejadiannya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis

binatang mamalia, yaitu bermula dari nutfah (zigote) menjadi 'alaqah

(morulla) kemudian menjadi muthghoh (embrio) dan akhirnya terbentuklah

janin, yang struktur gradual lebih sempurna dari binatang (Q.S. At-Tiin: 4 dan

Q.S. Al-Mu'minun: 13-14) (Achmadi, 1987: 44-45).

Dari segi rohani : setelah pembentukan fisik mendekati sempurna

dalam bentuk janin maka Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia dan sejak

saat itu dia benar-benar menjadi makhluk jasmani rohani yang mulia sehingga

malaikatpun diperintahkan oleh Allah agar tunduk kepada manusia (Adam).

Al-Hijjr 29:

Page 23: Skripsi Abdullah Rois1

23

Œ Î* sù …çµ çF÷ƒ §θy™ àM ÷‚ x/tΡ uρ ϵŠ Ïù ÏΒ Çrρ •‘ (#θ ãè s) sù …çµ s9 tωÉf≈y™ ∩⊄∪

Artinya: "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kehidupannya dan telah meniupkan ruh-Ku (ruh ciptaan-Nya) maka tunduklah kamu (para malaikat) kepadanya dengan bersujud." (Q.S. al-Hijjr: 29) (Depag RI, 1971: 393).

Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengertian hakikat

manusia menurut para tokoh memiliki kesamaan pengertian meskipun

redaksinya berbeda-beda. al-Ghazali menyebutnya dengan istilah qalb, ruh,

nafs, dan Aql. Al-Farabi mengistilahkannya dengan jasad dan jiwa. Sedangkan

Syari'ati mengistilahkan hakikat manusia dengan tanah dan lumpur, yang

keduanya merupakan simbol dari kebaikan dan keburukan manusia. Dengan

demikian dapat disimpulkan hakikat manusia terdiri dari dua unsur yaitu unsur

materi (jasad) dan non materi (ruhani).

b. Fungsi dan Tujuan Penciptaan Manusia

Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga

yang sebaik-baiknya (Q.S. At-Tiin: 4) dan rupa yang seindah-indahnya (Q.S.

Al-Tagrabun: 3) dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istimewa

seperti panca indera dan hati (Q.S. An-Nahl: 78) agar manusia bersyukur

kepada Allah yang telah menganugerahi keistimewaan-keistimewaan itu.

Dengan demikian, manusia diciptakan Allah bukan sekedar main-main, akan

tetapi memiliki fungsi dan tujuan tertentu. Secara global fungsi dan tujuan

manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai khalifatullah dan

sebagai 'abdullah (Samsul Nizar, 2002: 17).

Page 24: Skripsi Abdullah Rois1

24

1). Khalifatullah

Dalam al-Qur'an, konsep khalifah secara jelas tersirat dalam Surat

al-Baqarah ayat 30:

øŒ Î)uρ tΑ$ s% š�•/u‘ Ïπ s3Í×‾≈ n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤ Î) ×≅Ïã%y ’ Îû ÇÚö‘F{$# Zπx/‹Î=yz ( (#þθ ä9$ s% ã≅yè øgrB r& $ pκ�Ïù

tΒ ß‰ Å¡ø/ ム$ pκ�Ïù à7 Ï/ó¡o„ uρ u !$ tΒÏe$!$# ßøt wΥuρ ßxÎm7|¡çΡ x8 ωôϑpt¿2 ⨠Ïd‰ s)çΡ uρ y7 s9 ( tΑ$s% þ’ ÎoΤ Î)

ãΝn=ôã r& $tΒ Ÿω tβθ ßϑn=÷è s? ∩⊂⊃∪

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. al-Baqarah: 30) (Depag RI, 1971: 13).

Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi sebagaimana dikutip Samsul

Nizar, kata khalifah dalam ayat ini memiliki dua makna, yaitu: (1)

pengganti, yaitu pengganti Allah untuk melaksanakan titahnya di muka

bumi; (2) pemimpin, yang diserahi tugas untuk memimpin diri dan

makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendaya gunakan alam semesta

bagi kepentingan manusia secara keseluruhan (Samsul Nizar, 2002: 18).

Karena Allah Dzat yang menguasai dan memelihara alam (Rabbul

'alamin), maka manusia sebagai wakil Tuhan tugas utamanya ialah menata

dan memelihara serta melestarikan alam sembari menggunakan dengan

sebaik-baiknya guna kesejahteraan hidupnya (Q.S. Hud: 61). Jabatan

sebagai khalifatullah ini merupakan anugerah tetpi sekaligus sebagai

Page 25: Skripsi Abdullah Rois1

25

amanah. Oleh karena itu segala aktivitas dalam kaitannya dengan ke-

khalifah-an ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (Achmadi,

1987: 60).

Bagi syariati, sebagaimana dikutip Suwito, manusia sebagai

khalifah merupakan gambaran ideal, yaitu manusia yang mempunyai sifat-

sifat ketuhanan yang dapat mengendalikan sifat-sifat rendah dan hina

(Suwito, 2004: 152-153).

Tujuan dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka

bumi menurut Hamdani Bakran Adz-Zaky, secara global dapat

digolongkan menjadi dua. Pertama, tugas dan tanggung jawab Uluhiyyah;

yaitu yang berhubungan dengan Tuhannya, yang meliputi: (1) memimpin

diri sendiri, keluarga, lingkungan dan alam untuk bersujud, bertasbih,

bertahmid dan bertakbir. (2) mendidik, merawat, menyembuhkan diri

sendiri, keluarga, lingkungan dan alam agar menjadi sumber rahmat,

ilham, hidayah, serta menjganya dari penyakit, gangguan, rongrongan, dan

bisikan syetan yang akan menyesatkan dan menghancurkan moral spiritual

serta moral Illahiyah. Kedua, tugas dan tanggung jawab rububiyah, yaitu

yang berhubungan dengan makhluknya, yang meliputi: (1) memimpin diri

sendiri, keluarga, lingkungan dan alam, agar dapat mengembangkan

kehidupan yang hidup, bermusyawarah, bermufakat, serta saling

mendatangkan manfaat dan keseimbangan. (2) mendidik, menyembuhkan,

mengawasi diri sendiri, keluarga, lingkungan dan alam secara professional

serta menjaganya dari penyimpangan-penyimpangan dan gangguan,

Page 26: Skripsi Abdullah Rois1

26

sehingga semuanya bisa menjadi sumber energi kehidupan yang potensial

(Hamdani Bakran Adz-Zaky, 2001: 71-72).

Muhammad Abduh dalam Assegaf-Suayadi tujuan diciptakannya

manusia menurut ayat di atas adalah sebagai khalifah di muka bumi. Ke-

khalifah-an yang demikian sesungguhnya juga merupakan ibadah yang

bernilai tinggi dihadapan Ilahi. Sebagai senjata menjadi khalifah untuk

membuat kemaslahatan di muka bumi, Allah memberikan akal sebagai

pembeda antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta yang

dilarang dan diperintahkan.

Dengan demikian, sebagai khalifatullah fi al-Ard, manusia diberi

tugas dan tanggung jawab yang berat. Karena begitu berat tugas dan

tanggung jawab ini kelompok langit, bumi dan bukit-bukit (gunung)

semuanya menolak (Q.S. Al-Ahzab: 72) (Assegf-Suyadi, 2008: 76).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implikasi

terpenting dari ke-khalifah-an manusia di muka bumi ini adalah

kemampuannya didalam memimpim diri sendiri, mendidik keluarga,

lingkungan, memahami alam semesta tempat ia hidup, serta melakukan

pengawasan, pemanfaatan, penjagaan, dan penyimpangan-penyimpangan

dan gangguan terhadap ekosistem kehidupan, baik antara manusia alam

dan lingkungannya.

2). 'Abd

Konsep 'abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai

hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian spiritual

Page 27: Skripsi Abdullah Rois1

27

kepada Allah SWT yang secara jelas ditegaskan dalam al_qur'an Surat

adz-Dzariyat ayat 56, yang berbunyi:

$ tΒuρ àMø)n= yz £Åg ø: $# }§ΡM}$#uρ āω Î) Èβρ߉ ç7÷èu‹Ï9 ∩∈∉∪

Artinya: " Dan Aku tidk menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (Q.S. Adz-Dzariyat: 56) (Depag RI, 1971: 862).

Konsep ibadah yang dirujukkan pada ayat di atas, ditafsirkan

dengan pengertian patuh kepada Allah sekaligus melaksanakan segala

yang diajarkan-Nya. Dari tujuan Allah menciptakan manusia dalam ayat di

atas, maka proses pendidikan harus membentuk jiwa siswa yang selalu

tunduk pada perintah agama, dengan tanpa mengesampingkan dimensi

inteletualitas (Assegaf-Suyadi, 2008: 75). Dengan demikian konsep 'abd

merupakan tugas-tugas individu manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini,

diwujudkan dalam bentuk ritual khusus (ibadah mahdlah) yang pedoman

serta petunjuk pelaksanannya sudah ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya

secara rinci dalam al-Qur'an dan Hadits.

Secara lebih luas, konsep 'abd sebenarnya meliputi seluruh

aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan seluruh

aktivitas seorang hamba selama ini ia hidup di alam semesta ini dapat

dinilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu memang ditujukan semata-

mata hanya untuk mencari ridha Allah SWT. Belajar adalah ibadah

manakala itu dilakukan dengan niat mencari ridha Allah. Bekerja juga

adalah ibadah manakala itu dilakukan dengan niat mencari ridha Allah.

Semua aktivitas seorang hamba dalam dimensi kehidupan adalah ibadah

Page 28: Skripsi Abdullah Rois1

28

manakal itu benar-benar untuk mencari ridha Allah semata. Pada dasarnya

konsep ini merupakan makna sesungguhnya ibadah manakala dipahami,

dihayati dan diamalkan. Maka seorang muslim akan menemukan jati

dirinya sebagai insan paripurna (al-insan al-kamil). (Samsul Nizar, 2002:

19-20).

Dengan demikian, sebagai seorang hamba manusia harus

menempatkan diri sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua

ketentuan pemiliknya, serta bersikap tawadu', tidak arogan dan senantiasa

pasrah pada semua titah perintah Allah (tawakal). Bila hal tersebut dapat

direalisasikan oleh seorang hamba dengan sungguh-sungguh, baru seorang

hamba memiliki nilai pengabdian kepada Khaliq-Nya.

c. Potensi Manusia

Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah dibekali dengan berbagai

potensi-potensi yang terkandung di dalamnya, hal itu merupakan konsekuensi

logis dari proses penciptaan. Tanpa potensi yang diberikan, Tuhan tidak

mungkin akan mengamanatkan tugas ke-khalifah-an di muka bumi ini kepada

manusia.

Dalam Islam, potensi manusia dikenal dengan istilah fitrah. Kata ini,

menurut Quraish Shihab, terambil dari kata al-fathr, yang berarti belahan,

penciptaan, dan kejadian. Dengan merujuk kepada al-Qur'an Surat ar-Rum:

30, lebih lanjut Quraish shihab mengatakan bahwa manusia sejak asal

kejadiannya membawa potensi-potensi beragama yang hanif dan juga

Page 29: Skripsi Abdullah Rois1

29

memiliki potensi untuk mengenal nama-nama (Quraish Shihab, 1999: 283-

284).

Beberapa tokoh Islam menyimpulkan kata fitrah dengan arti: suci,

tulus dan murni, agama Islam, keesaan Allah, tabiat asli manusia, potensi

untuk mengabdi, dan kesanggupan untuk menerima kebenaran (Ramayulis,

2004: 278). Dalam versi yang lain, Hasan langgulung, mengatakan bahwa

pada prinsipnya potensi-potensi manusia tersimpul dalam sifat-sifat Allah

(Asma' al-Husna), artinya jika Allah bersifat al-'ilm (Maha Mengetahui) maka

manuisapun memiliki sifat tersebut, dan begitu seterusnya dengan sifat-sifat

yang lain (Hasan Langgulung, 1989: 262-263).

Firman Allah SWT dalam surah Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:

óΟÏ% r' sù y7 yγ ô_uρ È Ïe$# Ï9 $Z/‹ÏΖ ym 4 |N t�ôÜÏù «! $# ÉL©9 $# t�sÜsù } $ ¨Ζ9$# $ pκ ö�n= tæ 4 Ÿω Ÿ≅ƒÏ‰ ö7s? È, ù= y⇐Ï9

«!$# 4 š�Ï9≡ sŒ ÚÏe$!$# ÞΟÍhŠs) ø9$# �∅Å3≈ s9 uρ u�sY ò2r& Ĩ$Ζ9$# Ÿω tβθ ßϑn=ôè tƒ ∩⊂⊃∪

Artinya: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (Q.S. Ar-Rum: 30). (Depag RI, 1971: 145).

Dari ayat tersebut timbullah berbagai interpretasi tentang makna fitrah

sebagaimana dikemukakan dalam Muhaimin dan Abdul Mujib, yaitu:

1. Fitrah berarti suci (thuhr)

Menurut Al-Auza'iy, fitrah adalah kesucian, dlam jasmani dan rohani. Arti

ini didukung oleh hadits Nabi SAW.

Page 30: Skripsi Abdullah Rois1

30

ا����ة ا� �� %��ن وا�#�"!اد و�� ا���رب و����� ا����� و���

��. ,��- , ا'+ ه�ی�ة(ا�'& .(

"Lima macam dalam kategori kesucian, yaitu berkhitan, memotong rambut, mencukur kumis, menghilangkan kuku, dan mencabut bulu ketiak." (H.R. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)

2. Fitrah berarti Islam (dienul Islam)

Abu Hurairah berpendapat bahwa yang dimaksud fitrah adalah agma.

Pendapat ini didukung oleh hadits Nabi SAW.

���1. ا�اح!9:� '�� ح!39+ ا6 �8 آ��'- ان ا6 �. ادم و'�3- ح��3ء

)روا> ,��ض ��ر(

"Bukanlah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang Allah menceritakan kepadaku dalam Kitab-Nya bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang Islam." (H.R. Iyadh Humar).

3. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah (at-tauhid)

Manusia lahir dengan membawa konsep tauhid, atau paling tidak ia

berkecenderungan untuk meng-Esa-kan Tuhannya dan berusaha terus

mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut.

4. Fitrah berarti murni (al-ikhlas)

Manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satu di antaranya adalah

kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas.

5. Fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecerdasan

untuk menerima kebenaran.

Page 31: Skripsi Abdullah Rois1

31

6. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan

ma'rifatullah.

7. Fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan

dan kesesatannya.

Manusia lahir dengan ketetapannya, apkah ia nanti menjadi orang yang

bahagia ataukah menjadi orang yang sesat? Semua itu bergantung pada

ketetapan yang diperoleh manusia sejak lahir.

8. Fitrah berarti tabiat alami yang yang dimiliki manusia (human nature).

9. Fitrah berarti al-Ghorizah (insting) dan Al-Munazzalah (wahyu dari

Allah).

Ibnu Taimiyyah membagi fitrah menjadi dua macam:

a. Fitrah al-Munazzalah

Fitrah luar yang masuk pada diri manusia, fitrah ini berupa petunjuk Al-

Qur'an dan As-Sunnah, yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing

bagi fitrah al-Gharizah.

b. Fitrah al-Gharizah

Fitrah intern dalam diri manusia yang memberi daya akal (wahyu al-'aqal),

yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia (Muhaimin

dan Abdul Mujib, 1993: 12-21).

Secara global, Jalaludin membagi potensi manusia menjadi empat,

yaitu:

Page 32: Skripsi Abdullah Rois1

32

a. Potensi Naluriyah (Hidayah al-Gharizziyah)

Potensi ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk

memelihara kebutuhan dan kelanjutan hidup manusia. dorongan tersebut

berupa: (1) insting untuk memelihara diri (makan, minum dan penyucian

tubuh; (2) nafsu amarah untuk bertahan atau menghindari dari gangguan

yang mengancam dirinya; (3) naluri seksual, untuk mengembangkan

jenisnya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

b. Potensi Indrawi (Hidayah al-Hassiyat)

Potensi ini merupakan peluang manusia untuk mengenal sesuatu

diluar dirinya melalui alat indra yang dimilikinya. Potensi ini terdiri atas

indra penglihat, pencium, peraba, pendengar dan perasa.

c. Potensi Akal (Hidayal al-'Aqliyyat)

Potensi ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk

memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisis,

membandingkan, maupun membuat kesimpulan, antara benar dan salah.

d. Potensi keagamaan (Hidayah al-Diniyyat)

Potensi ini berupa dorongan untuk megabdi kepada sesuatu yang

dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi (Jalaludin, 2003: 34-36).

Jadi, potensi-potensi yang dimiliki manusia, sebagaimana diuraikan

diatas, semuanya masih bersifat potensi-potensi dasar yang bekerja secara

alami.

Page 33: Skripsi Abdullah Rois1

33

d. Implikasi Konsep Manusia dalam Pendidikan

Bertolak dari konsep manusia dalam Islam, maka konsep pendidikan

Islam, dalam perumusannya, harus bertolak dan mempertimbangkan wujud

sekaligus hakikat manusia, tujuan dan fungsi penciptaan manusia serta

potensi-potensi dasar manusia. Dari uraian tersebut, menurut Samsul Nizar,

paling tidak ada 2 (dua) implikasi terpenting dalam hubungannya dengan

pendidikan Islam, yaitu:

a. Karena manusia adalah makhluk yang resultan dari dua komponen (materi

dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang

mengacu kearah realisasi dan pengembangan-pengembangan komponen-

komponen tersebut.

Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus dibangun di

atas kesatuan (integrasi) antara pendidikan Qalbiyyah dan 'Aqliyyah,

sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara

intelektual dan teruji secara moral. Jika kedua komponen tersebut

dipisahkan dalam proses pendidikan Islam, maka out-put yang dihasilkan

akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-

pribadi yang sempurna (insan kamil).

b. Al-Qur'an menjelaskan, bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini

adalah sebagai khalifah dan sebagai "abd. Sebagaimana dalam al-Qur'an

Surat al-Baqarah: 30, yang berbunyi:

Page 34: Skripsi Abdullah Rois1

34

øŒ Î)uρ tΑ$s% š�•/u‘ Ïπ s3Í×‾≈n= yϑù=Ï9 ’ ÎoΤÎ) ×≅Ïã% y ’ Îû ÇÚö‘F{ $# Zπ x/‹Î= yz ( (#þθ ä9$ s% ã≅ yè øgrB r& $pκ�Ïù tΒ

߉ Å¡ø/ ム$ pκ�Ïù à7Ï/ ó¡o„uρ u !$ tΒÏe$!$# ßøt wΥuρ ßxÎm7|¡çΡ x8ω ôϑpt ¿2 ⨠Ïd‰s) çΡ uρ y7 s9 ( tΑ$ s% þ’ ÎoΤÎ) ãΝn= ôã r& $tΒ

Ÿω tβθ ßϑn=÷è s? ∩⊂⊃∪

"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S. Al-Baqarah: 30) (Depag RI, 1971: 13).

Serta Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56, yang berbunyi:

$ tΒuρ àMø)n= yz £Åg ø: $# }§ΡM}$#uρ āω Î) Èβρ߉ ç7÷èu‹Ï9 ∩∈∉∪

Artinya: " Dan Aku tidk menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (Q.S. Adz-Dzariyat: 56) (Depag RI, 1971: 862).

Sebagai senjata menjadi khalifah dan 'abd di muka bumi ini, Allah

memberikan akal sebagai pembeda antara yang benar dan yang salah, yang

baik dn yang buruk, serta yang dilarang dan diperintahkan. Dengan akal pula,

akan menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk yang lain. Allah

berfirman:

tβρ â÷ß∆ ù' s? r& } $Ψ9 $# Îh�É9ø9$$ Î/ tβöθ |¡Ψ s? uρ öΝä3|¡à/Ρ r& öΝ çFΡ r&uρ tβθ è=÷Gs? |=≈tGÅ3ø9 $# 4 Ÿξ sù r& tβθ è= É)÷è s? ∩⊆⊆∪

Artinya: "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. Al-Baqarah: 44) (Depag RI, 1971: 16).

Page 35: Skripsi Abdullah Rois1

35

Penggunaan akal pada ayat di atas, menunjukkan bahwa Islam

menaruh perhatian yang besar bagi perkembangan akal manusia. Oleh karena

itu, proses pendidikan harus menumbuhkembangkan akal sekaligus

menyandarkannya pada hukum tertinggi Islam. Dengan demikian, pendidikan

Islam akan mencetak hamba-hamba Allah dengan kekuatan intelektualitas

yang tinggi beserta sifat tawadu' dan keimanan yang mendalam. Dengan

demikian, maka peserta didik akan menemukan kesejatian manusia

(humanisasi) yang bahagia di dunia dan di akhirat nanti (Samsul Nizar, 2002:

21-22).

Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa potensi manusia sebagai

khalifah dan 'abd, menghendaki adanya program pendidikan yang

menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar

manusia tegar menjadi khalifah dan taqwa sebagai substansi dari aspek 'abd.

Sementara itu, manusia sebagai makhluk dua dimensi (materi dan immateri),

menghendaki adanya program pendidikan yang sepenuhnya mengacu pada

konsep equilibrium, yaitu integrasi yang utuh antara aspek 'aqliyyah dan aspek

qabliyyah.

B. Pengertian Pendidikan Islam

Dengan diawali sejarah kehidupan manusia, Adam as. sebagai manusia

pertama, proses pendidikan Islam telah dimulai. Allah SWT sebagai murabbi

pertama yang mengajarkan kepada Adam as. dengan ilmu pengetahuan

tentang nama-nama benda (QS. Al-Baqârah: 31), yang tidak diajarkan kepada

makhluk lain, termasuk malaikat sekalipun. Selain pengetahuan yang

Page 36: Skripsi Abdullah Rois1

36

diberikan kepadanya, telah diajarkan juga norma kehidupan guna memprotek

fitrahnya sebagai makhluk dengan larangan Allah untuk menjauhi pohon

Khuldi (QS. Al-Baqarah: 35).

Dengan berkembangnya peradaban kehidupan manusia, sampainya

pada masa Nabi Muhammad SAW sebagai pengembang pendidikan Islam

telah membawa manusia lebih memahami jati dirinya, hal inilah yang

diajarkan Allah kepada al-Ma’lûm SAW. melalui wahyu pertamanya 5 ayat

dari QS. Al-‘Alaq yang berbunyi:

ù& t�ø% $# ÉΟó™ $$Î/ y7 În/ u‘ “Ï%©!$# t, n= y{ ∩⊇∪ t, n= y{ z≈ |¡ΣM}$# ôÏΒ @, n=tã ∩⊄∪ ù& t�ø% $# y7š/ u‘uρ ãΠt�ø. F{ $#

∩⊂∪ “Ï%©!$# zΟ‾=tæ ÉΟn= s)ø9 $$ Î/ ∩⊆∪ zΟ‾=tæ z≈|¡Σ M}$# $ tΒ óΟs9 ÷Λ s>÷ètƒ ∩∈∪

Artinya: “1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. 4. Yang megajar (manusia) dengan perantara kalam, 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5) (Depag RI, 1971: 1079)

Wahyu pertama ini adalah pengetahuan dasar tentang hakikat manusia

dan sebagai way of life menyembah Tuhannya, dengan proses membaca

seluruh alam ini dengan ucapan iqra’ . membaca yang dimaksudkan adalah

men-tadabburi isi alam beserta isinya dan diri dari nabi, karena Sang Ummi

tidak dapat menjawab perintah yang disampaikan oleh Jibril kepada al-Ummi.

Bukan berarti nabi tidak dapat membaca, hal tersebut karena untuk menjaga

kepribadian seorang penyampai wahyu Allah. Perintah membaca disini bukan

hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad semata, namun untuk seluruh umat

Page 37: Skripsi Abdullah Rois1

37

manusia sepanjang sejarahnya, realitas kalimat ini adalah kunci pembuka jalan

kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Quraish Shihab, 1996: 167).

Sebelum membicarakan pengertian pendidikn dalam Islam secara lebih

luas, penulis memandang perlu untuk melacak dan mengkaji akar istilah

pendidikan dalam Islam itu sendiri, baik dari sisi etimologi maupun dari sisi

terminologi.

Istilah pendidikan Islam merupakan jalinan dari dua kata, yaitu

pendidikan dan Islam. Islam sebagai kata kunci yang memiliki fungsi sebagai

sifat, penegas dan pemberi ciri khas bagi kata pendidik. Dengan demikian

pendidikan dalam Islam adalah pendidikan yang memiliki ciri khas Islam.

Secara etimologi pendidikan Islam sering disebut dengan istilah

tarbiyyah, ta’dîb, ta’lîm, atau istilah lain yang maknanyapun memiliki

keunikan makna tersendiri; rabbâ-yarbû-tarbiyah: bermakna tambah dan

berkembang, rabbâ-yurbî-tarbiyah: bermakna tumbuh dan menjadi

besar/dewasa, rabbâ-yarubbu-tarbiyah: bermakna memperbaiki, menguasai

urusan, memelihara dan merawat. Sehingga bila diambil dari kata kerjanya

(rabbâ), maka pendidikan Islam memiliki arti menumbuhkan,

mengembangkan, memelihara, membesarkan dan menjinakkan (Abdul Mujib

dan Yusuf Mudzakir, 2006: 11).

a. Al-Tarbiyah

Kata al-Tarbiyah yang bermakna seperti dimaksud diatas terdapat

dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 24 dan asy-Syu’ara ayat 18:

...>>>>>≅è% uρ Éb> §‘ $ yϑßγ÷Η xqö‘ $# $ yϑx. ’ ÎΤ$ u‹−/u‘ #Z��Éó |¹ ∩⊄⊆∪

Page 38: Skripsi Abdullah Rois1

38

Artinya: “ ….Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.” (QS. Al-Isra’: 24) (Depag RI, 1971: 428)

tΑ$s% óΟs9 r& y7 În/ t�çΡ $uΖŠÏù #Y‰‹Ï9 uρ |M ÷WÎ6s9 uρ $ uΖŠÏù ôÏΒ x8 Ì�çΗéå tÏΖ Å™ ∩⊇∇∪

Artinya: “Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.” (QS. Asy-Syura’: 18) (Depag RI, 1971: 574).

Uraian di atas, secara filosofis, mengisyaratkan bahwa proses

pendidikan Islam yang terkandung dalam Istilah al-Tarbiyyah, memuat

empat unsur, yaitu: (1) memelihara dan menjaga fitrah anak didik

menjelang dewasa; (2) mengembangkan seluruh potensi menuju

kesempurnaan; (3) mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; dan

(4) melaksanakan pendidikan secara bertahap (Abdurrahman AnNahlawi,

1992: 32).

Istilah al-Tarbiyah merupakan istilah yang paling popular untuk

merujuk arti pendidikan karena menurut Athiyah Abrasyi, sebagaimana

dikutip oleh Ramayulis (2004: 3), al-Tarbiyah merupakan istilah yang

mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang

mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna dalam hal

etika, sistematis dalam berpikir, memiliki ketajaman sempurna intuitif, giat

dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang lain, berkompetisi dalam

menangkap bahasa tulisan dan lisan serta memiliki beberapa ketrampilan.

Dengan demikian, makna pendidikan yang terkandung dalam

istilah al-Tarbiyah, dapat disimpulkan sebagai suatu proses pengembangan

Page 39: Skripsi Abdullah Rois1

39

seluruh potensi, dengan menjaga dan memelihara serta mengarahkan

seluruh fitrah dan potensi peserta didik menuju kebaikan dan

kesempurnaan, yang dilakukan secara bertahap.

b. Al-Ta'lim

Kata al-Ta'lim merupakan bentuk masdar dari kata 'allama, yang

berarti mengajar yakni lebih bersifat pemberian atau penyampaian

pengertian, pengetahuan dan ketrampilan (Achmadi, 1987: 3). Kata al-

Ta'lim dalam al-Qur'an bisa dijumpai yaitu dalam Surat al-Rahman ayat 2-

4 dan al-Baqarah ayat 31, yang berbunyi:

zΝ‾=tæ tβ#uö�à)ø9 $# ∩⊄∪ šYn=y{ z≈ |¡ΣM}$# ∩⊂∪ çµyϑ‾= tã tβ$ u‹t6 ø9 $# ∩⊆∪

Artinya: "Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara." (Q.S. Al-Rahman: 2-4) (Depag RI, 1979: 885).

zΝ‾=tæ uρ tΠyŠ#u u !$ oÿôœF{ $# $ yγ‾= ä. ...

Artinya: "Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…." (Q.S. Al-Baqarah: 31) (Depag RI, 1979: 14).

Makna yang terkandung dalam ayat tersebut dalam konteks

pendidikan Islam adalah upaya untuk mengaktualisasikan sifat-sifat

kesempurnaan yang telah dianugerahkan oeh Allah kepada manusia.

Pengertian al-Ta'lim secara lebih luas tersirat dalam al-Qur'an

Surat al-Baqarah ayat 151, yang berbunyi:

!$ yϑx. $uΖ ù=y™ ö‘r& öΝà6‹Ïù Zωθ ß™ u‘ öΝà6ΖÏiΒ (#θ è=÷G tƒ öΝä3ø‹n=tæ $oΨ ÏG≈tƒ# u öΝà6Š Ïj. t“ムuρ

ãΝà6ßϑÏk=yè ムuρ |=≈tG Å3ø9 $# sπyϑò6Ït ø:$# uρ Ν ä3ßϑÏk= yè ãƒuρ $ ¨Β öΝs9 (#θ çΡθ ä3s? tβθ ßϑn= ÷ès? ∩⊇∈⊇∪

Page 40: Skripsi Abdullah Rois1

40

Artinya: "Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 151) (Depag RI, 1979: 38).

Berdasarkan firman Allah tersebut, menurut Abdul Fattah Jalal,

pendidikan tidak terbatas pada kemampuan membaca secara harfiah, tetapi

lebih luas dari itu, yaitu membaca dengan perenungan yang sarat dengan

pemahaman dan pada gilirannya melahirkan tanggung jawab moral

terhadap ilmu yang diperoleh melalui bacaan itu. Konsep inilah yang

digunakan oleh Rasulullah Saw. didalam mengatur dan mendidik para

sahabat untuk mencapai tingkat tazkiyah (proses penyucian diri) yang

membuat mereka berada dalam kondisi siap untuk mencapai tingkat al-

hikmah (Abdul Fattah Jalal, 1988: 29-34).

Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan yang terkandung

dalam istilah al-Ta'lim mengandung pengertian bahwa pendidikan

merupakan proses yang didalamnya terkandung adanya transformasi

pengetahuan-pengetahuan, pengertian, dan metode yang tidak hanya

menekankan pada aspek kehidupan serta skill (ketrampilan) yang

semuanya dihayati secara sungguh-sungguh didalam merealisasikannya

dalam kehidupan sehari-hari.

c. Al-Ta'dib

At-ta'dib merupakan bentuk masdar dari kata kerja addaba, juga

diartikan mendidik yang lebih tertuju pada penyempurnaan akhlaq-budi

pakerti (Achmadi, 1987: 4).

Page 41: Skripsi Abdullah Rois1

41

Menurut al-Attas, sebagaimana dikuti Samsul Nizar, istilah al-

Ta'dib merupakan term yang paling tepat untuk diartikan pendidikan

karena didalamnya mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan,

kebijaksanaan, pengajaran serta pengasuhan. Konsep ini didasarkan pada

hadits nabi, yang diriwayatkan oleh al-Asykari dari Ali ra., yang berbunyi:

)روا> ا�@1:�ي , ,�8(اد'3+ ر'+ ��ح1 �<دی=+

Artinya: "Tuhan telh mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku" (HR. Al-'Asykary dari Ali ra) (Samsul Nizar, 2002: 30).

Muhammad Naquib Al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Wan

Daud, secara berhati-hati menerjemahkan kata kerja "addabani" yang ada

dalam hadits tersebut dengan "telah mendidikku", kemudian mengartikan

perkataan "ta'dib" dengan "pendidikan". Dari sini, terjemahan hadits

tersebut adalah "Tuhan telah mendidikku dan menjadikan pendidikanku

sebaik-baik pendidikan". Al-Attas, mengutip Ibnu Mansur dengan

menyamakkan addaba dengan 'allama, pengertian yang memperkuat

posisinya dalam menegaskan bahwa konsep pendidikan Islam yang betul

adalah al-Ta'dib (Wan Daud, 1998: 175).

Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya Konsep Pendidikan

Islam, sebagaimana dikutip oleh Achmadi, dengan gigih mempertahankan

penggunaan istilah ta'dib untuk konsep pendidikan Islam, bukan tarbiyah

atau ta'lim, dengan alasan bahwa dalam istilah ta'dib, mencakup wawasan

ilmu dan amal yang merupakan esensi pendidikan Islam (Achmadi, 2005:

26).

Page 42: Skripsi Abdullah Rois1

42

Sedangkan Wan Daud mendefinisikan al-Ta'dib, dengan mengutip

pendapat Al-Farabi, sebagai aktifitas yang bertujuan memproduksi suatu

karakter yang bersumber dari sifat moral (Wan Daud, 1998: 180).

Berdasarkan batasan tersebut, maka al-Ta'dib berarti pengenalan

dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam diri

manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala

sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan

akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan

tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.

Terlepas dari kegigihan argumen Naquib al-Attas dan para ahli

pendidikan Islam didalam mempertahankan ketiga term diatas (al-

Tarbiyah, al-Ta'lim, al-Ta'dib) sebagai konsep pendidikan Islam, dalam

pembahasan ini penulis tidak akan memperdebatkan secara panjang lebar,

karena sesungguhnya ketiga term tersebut merupakan satu kesatuan yang

saling terkait, dalam arti bila pendidikan dinisbatkan kepada al-Ta'dib,

harus melalui pengajaran (al-Ta'lim), sehingga dengannya ilmu dapat

diperoleh, sedangkan agar ilmu dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan,

peserta didik memerlukan bimbingan (al-Tarbiyah).

Oleh karena itu, pendidikan Islam secara etimologi harus

mencakup ketiga term tersebut, yaitu al-Tarbiyah, al-Ta'lim dan al-Ta'dib.

Dengan demikian yang dimaksud pengertian pendidikan Islam adalah

adanya proses murrabi, mu'allim dan muaddib.

Page 43: Skripsi Abdullah Rois1

43

Sedang secara terminologi menurut berbagai pakar pendidikan dapat

dirumuskan sebagai berikut:

proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. (Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, 2006: 28)

Menurut Muhaimin pendidikan dalam Islam dapat dimaknai secara

sederhana sebagai berikut:

a. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan Islami adalah pendidikan yang

dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang

terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunah.

b. Pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan agama Islam, yakni upaya

mendidik agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi

pandangan dan sikap hidup seseorang (way of life).

c. Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktek penyelenggaraan

pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam,

dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan Umatnya, baik Islam

sebagai agama, ajaran, maupun sistem budaya dan peradaban sejak zaman

nabi Muhammad SAW. sampai sekarang (Muhaimin, 2002: 29-30).

Dari paparan diatas dapat difahami bahwa pengertian pendidikan Islam

adalah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai,

sumber dasar hukum Islam yang dibudayakan oleh masyarakat.

Pengertian pendidikan dalam Islam telah banyak didefinisikan oleh

para ahli pendidikan, khususnya pendidikan Islam, antara lain:

Page 44: Skripsi Abdullah Rois1

44

a. Menurut Muhammad SA. Ibrahimi (Bangladesh) dalam Abdul Mujib dan

Jusuf Mudzakkir menyatakan bahwa Islamic education in true sense of the

lear, is a system of education which enable a man to lead his life

according to the Islamic ideologi, so that he may easily mound his life in

accordance with tenets of Islam. (Pendidikan Islam dalam pandangan yang

sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang

dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam, sehingga

dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam)

(Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2006: 25).

b. Oemar Muhammad al-Toumy al-Asyaibany, mengemukakan bahwa

pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta

didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses

tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai

aktifitas asas dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam

masyarakat (Muhammad al-toumy, 1979: 399).

c. Menurut Achmadi, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan

Islam ialah "Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah

manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya

manusia seutuhnya (insane kamil) sesuai dengan norma Islam (Achmadi,

1992: 20).

d. Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, dalam Samsul Nizar,

mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan,

mendorong, serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan

Page 45: Skripsi Abdullah Rois1

45

berdasarkan pada nilai-nilai tinggi dan kehidupan yang mulia. Harapannya

adalah terbentuknya pribadi yang lebih sempurna, dalam potensi akal,

perasaan, maupun perbuatannya (Samsul Nizar, 2002: 31-32).

e. Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 merumuskan

pendidikan Islam dengan “Bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan

jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan,

melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam”

(Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 27).

Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian

pendidikan Islam secara terminologi adalah usaha bimbingan secara sadar

untuk mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya insani menuju

terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam yang dilakukan secara

bertahap dan berkesinambungan.

C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam

Eksistensi kehidupan manusia tidak akan lepas dari interaksi antara

dirinya dengan yang lain. Dalam melakukan interaksinya, menumbuh

kembangkan kepribadiannya menjadi corak kehidupan berpendidikan.

Pertumbuhan dan perkembangan manusia akan menjadi sebuah hasil karya

cipta yang berarti buat dirinya dan makhluk lainnya, bila memiliki pondasi

kuat dalam berinteraksi dan berargumen. Hal tersebut diupayakan untuk

kelangsungan hidup mereka menuju keridlaan Yang Maha Kuasa.

Page 46: Skripsi Abdullah Rois1

46

a. Dasar Pendidikan Islam

Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu, yang berfungsi

mengarah kepada pencapaian tujuan dan landasan sesuatu (Ramayulis,

2004: 53). Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang

dijadikan untuk merealisasikan dasar/ideal pendidikan Islam (Abdul Mujib

dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 44). Achmadi menyatakan bahwa dasar

pendidikan Islam adalah pandangan hidup yang melandasi seluruh aktifitas

pendidikan (Achmadi, 2005: 81).

Dalam perumusan dasar pendidikan Islam, yang harus menjadi

pertimbangan selain falsafah suatu bangsa, juga pertimbangan-

pertimbangan teologis seorang muslim. Islam yang diyakini mengandung

kebenaran mutlak yang bersifat fundamental, universal dan eternal, secara

akidah menjadikan manusia sesuai dengan fitrahnya. Oleh karena itu,

proses pendidikan hendaknya didasarkan pada cita-cita tersebut. Dari

sekian banyak nilai yang terkandung dalam Qur’an dan Hadits, nilai yang

paling fundamental adalah nilai tauhid. Tauhid merupakan nilai intrinsik,

nilai dasar, yang paling fundamental dan memiliki posisi yang paling

tinggi. Tauhid merupakan pondasi seluruh ragam ajaran Islam yang secara

terminologis, berarti pengakuan terhadap ke-Esaan Allah. Dan bukan

hanya mengakui akan ke-Esaan-Nya saja, tetapi juga meyakini kesatuan

Pencipta (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind),

kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance) dan kesatuan tujuan dari

kesatuan ketuhanan (unity of Godhead) (Achmadi, 2005: 83-85).

Page 47: Skripsi Abdullah Rois1

47

Berdasarkan term diatas, sesungguhnya tauhid saja sudah cukup

sebagai landasan bagi seluruh kegiatan hidup dan kehidupan umat

manusia, karena ia merupakan nilai esensial dan sentral dalam gerak hidup

muslim yang tertuju kesana (ghâyah ‘ala hayyâh), dan termasuk

pendidikan, karena aktifitas pendidikan akan dijiwai oleh norma-norma

Ilâhiyyah, serta motivasi untuk beribadah kepada Sang Khâliq.

Dari literatur yang penulis dapatkan, dalam pengklasifikasian dasar

pendidikan Islam ada beberapa perbedaan, namun esensi dari semuanya

memiliki persamaan persepsi, mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadits yang

berimplikasi kepada seluruh aktifitas kehidupan manusia.

Hasan Langgulung dalam “Manusia dan Pendidikan: Suatu

Analisis Psikologis dan Pendidikan” menyatakan bahwa proses pendidikan

didasarkan pada enam komponen, yaitu: al-Qur’an, al-Sunnah, qaul

sahâbah, masâlih al mursalah, ‘urf dan pemikiran hasil ijtihad intelektual

muslim (Hasan Langgulung, 1989: 35). Sedang Abdul Mujib dan Jusuf

Mudzakkir menjadikan keenam komponen tersebut sebagai sumber, acuan

dari pendidikan, kemudian ia lebih menilik kepada operasional yang

menjadi pondasi pendidikan Islam, yaitu: dasar historis, dasar sosiologi,

dasar ekonomi, dasar politik dan administratif, dasar psikologi, dasar

filosofi, dan dasar religius (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2006: 31-

42).

Page 48: Skripsi Abdullah Rois1

48

1). Dasar Historis

Dasar historis adalah acuan yang berorientasi pada pengalaman

pendidikan masa lalu, baik yang termodifikasi dalam sebuah literatur

maupun kebijakan-kebijakan masa lalu yang dapat dijadikan pijakan pada

masa kini. Dasar ini akan memberikan input tentang kelebihan pendidikan

masa lalu dan kekurangannya atau maju mundurnya peradaban pendidikan

masa lalu yang telah ditempuh. Hal ini pun telah disinyalir oleh Allah

dalam firman-Nya dalam surat al-Hasyr ayat 18 yang artinya: “Dan

hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk

hari esok” (QS. Al-Hasyr: 18).

Sejarah masa lalu di Arab misalnya kegemaran mereka tentang

sastra, maka pendidikan sastra menjadi identitas dan potensi akademik

bangsa Arab.

2). Dasar Sosiologis

Dasar sosiologi adalah memposisikan kerangka sosial budaya

menjadi acuannya, yang menjadi tolok ukur dalam prestasi belajar. Karena

relevansi output pendidikan dapat diukur dengan memperhatikan

kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sehingga format pendidikan

nantinya tidak akan merusak tatanan sosial masyarakat yang telah

membudaya, tapi penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan dengan

baik.

Page 49: Skripsi Abdullah Rois1

49

3). Dasar Ekonomi

Presfektif dari dasar ekonomi adalah potensi-potensi finansial,

penggalian dan penggalian sumber-sumbernya serta pertanggungjawaban

terhadap pentasharufannya. Pendidikan akan berjalan dengan baik dengan

adanya kecukupan finansial yang mendukung, dalam hal ini bukan kuota

yang ada saja, namun kebersihan, kesucian, dan tidak tercampurnya

dengan barang syubhât. Ada nilai keberkahan yang hilang bila sumber

finansial tidak bersih, walaupun kelihatannya menunjukkan keberhasilan

dalam pendidikan secara formal, namun kepincangan dalam keberkahan

spiritual yang berimbas kepada outputnya, peserta didik tidak akan

memiliki implikasi yang signifikan terhadap perkembangan moral dan

spiritual. Allah SWT berfirman kepada Nabi Daud dalam Hadits

Qudsinya: “Hai Daud, hindari dan peringatkan pada kaummu dari

makanan syubhât karena sesungguhnya hati orang yang memakan

makanan syubhât itu tertutup dari-Ku”, jadi harta syubhât (tidak jelas

halal-haramnya) saja tidak diperbolehkan, apalagi yang haram.

4). Dasar Politik dan Administratif

Dasar ini memberikan bingkaian ideologis dari suatu masyarakat

pada tempat tertentu, yang dijadikan acuan dalam penyatuan presepsi

tujuan hidup yang dicita-citakan dan direncanakan. Dasar politik ditujukan

agar adanya kebijakan-kebijakan yang ‘ammah untuk kemaslahatan

bersama, sedang dasar administratif untuk memudahkan dalam pengaturan

hal-hal teknis agar tertata dengan proporsional.

Page 50: Skripsi Abdullah Rois1

50

5). Dasar Psikologi

Dasar psikologis dimaksudkan untuk memberikan informasi

tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik,

pendidik, tenaga administrasi serta sumber daya manusia yang lainnya.

Dasar ini bertujuan dalam kepuasan batin dari seluruh komponen

pendidikan dengan adanya peningkatan prestasi dan kompetisi dari

seluruhnya serta adanya suasana makmur sisi luar dan tentram dalam jiwa,

sebagai keindahan dari proses pendidikan.

6). Dasar Filosofis

Dasar filosofis adalah dasar yang memberikan kemampuan untuk

memilih yang terbaik, arahan, pengontrolan kepada semua dasar

operasinal lainnya. Bagi masyarakat sekuler, dasar filosofis

menjadikannya acuan yang terpenting dalam pendidikan, namun bagi

masyarakat religius, muslim misalnya, hanya dijadikan sebagai bagian

dasar cara berfikir tentang pendidikan secara sistematik, radikal dan

universal yang asasnya dari nilai-nilai Ilâhiyyah.

7). Dasar Religius

Dasar religius merupakan dasar pendidikan Islam yang sangat

bermakna, karena merupakan kontruksi dari aktualisasi dasar-dasar

pendidikan yang lainnya. Agama menjadi frame bagi semua dasar

pendidikan Islam yang implikasinya menjadikan pendidikan sebagai

ibadah, karena ibadah merupakan aktualisasi diri (self-actualization) yang

paling ideal dalam pendidikan Islam.

Page 51: Skripsi Abdullah Rois1

51

b. Tujuan Pendidikan Islam

Manusia di dunia ini, dikelilingi oleh fenomena alam yang tidak

terbilang, yang masing-masing muncul dengan membawa maksud dan

pesan, ujar Bakker yang dikutip oleh Abdur Rahman Shalih Abdullah.

Manusia sebagai makhluk dari Dzat Sang Khâliq, yang mana Ia pun

memiliki tujuan dalam penciptaan makhluk-Nya, yaitu untuk beribadah

kepada-Nya (Abdur Rahman shaleh, 1991: 147). Sebagaimana firman-

Nya:

$ tΒ uρ àMø) n=yz £Åg ø: $# }§ΡM}$#uρ āω Î) Èβρ߉ ç7÷è u‹Ï9 ∩∈∉∪

Artinya : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada-Ku.” (Adz-Dzariat: 56) (Depag RI, 1971: 862).

Secara analitis, tujuan adalah cita-cita, yaitu suasana ideal yang

ingin diwujudkan (Ahmad Warid Khan, 2002: 175). Sedang menurut

Zakiyah Darajat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah

suatu usaha atau kegiatan selesai dikerjakan (Zakiyah Daradjat, 1992:

223). Muzayyin Arifin, mengatakan bahwa tujuan itu bisa jadi

menunjukkan futuritas yang terletak suatu jarak tertentu (Muzayyin Arifin,

1991: 223). Dari beberapa pendapat ini dapat disimpulkan bahwa tujuan

adalah batas akhir (ghâyah) dari suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan

seseorang untuk maksud tertentu yang diwujudkan oleh cita-cita, dan

kehendak.

Page 52: Skripsi Abdullah Rois1

52

Tujuan pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai arah yang

diharapkan setelah subjek didik mengalami perubahan proses pendidikan,

baik pada tingkah laku individu maupun dalam kehidupan masyarakat.

Bila dalam Islam, tujuan pendidikan Islam adalah sebagai tujuan

dari keislaman seseorang dengan diharapkan mencapai kesempurnaan

(insân kâmil), karena Islam sendiri sebagai agama samâwi yang memiliki

nilai dan norma sebagai pandangan hidup yang termaktub dalam al-Qur’an

dan al-Hadits (Muzayyin Arifin, 2003: 108).

Selaras dengan fitrah yang dimiliki manusia, begitu juga dengan

pendidikan sebagai alat untuk mengetahui jati diri manusia itu sendiri guna

makrifat kepada Allah SWT., maka tujuan dari pendidikan harus mengarah

kepada dimensi yang dimiliki manusia.

Dalam menentukan tujuan pendidikan Islam sayogyanya

berorientasi pada aspek yang dimiliki manusia itu sendiri, karena dialah

pelaku pendidikan.

Rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilkan dari seminar

pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad yang dikutip oleh

Abdul Majid adalah:

"Education aims at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling and bodile sense. Education should, therefore, cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large" (Abdul Majid, 2006: 82-83).

Page 53: Skripsi Abdullah Rois1

53

Yang maksudnya bahwa pendidikan seharusnya bertujuan

mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara

total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan dan panca

indra. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya pelayanan bagi

pertumbuhan manusia dalam segala aspek yang meliputi aspek spiritual,

intelektual imajinasi, fisik, ilmiah, linguistic, baik secara individu, maupun

secara kolektif dan memotivasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan

pencapaian kesempurnaan. Tujuan pendidikan bertumpu pada

terealisasinya ketundukan kepada Allah SWT. baik dalam level individu,

komunitas, dan manusia secara luas.

Menurut Abdur Rahman Shaleh Abdullah, karakteristik-

karakteristik yang harus diperhatikan, antara lain:

1. Keharmonisan antara kebutuhan individu dengan komunitas, karena

tujuan pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi muslim

yang dapat berkomunikasi serta beadaptasi dengan lingkungannya.

2. Keseimbangan antara realitas dengan idealitas, karena harapan dari

tujuan pendidikan Islam adalah mampu untuk mengatasi kesenjangan

sosial dan menempatkannya pada posisi yang ideal norma Islam.

3. Teratur dan tidak labil, dalam artian bahwa dalam penentuan tujuan

pendidikan harus bersifat pasti, dan tidak mudah goyah yang mendasar

pada prinsip-prinsip yang telah dibangun berdasarkan efektif dan

efensial semangat keislaman.

Page 54: Skripsi Abdullah Rois1

54

4. Berorientasi pada kehidupan dunia dan akhirat, karena kehidupan di

dunia merupakan lahan untuk dimanfaatkan dan hasilnya dituai di

akhirat. Aktifitas yang dilakukan di dunia hendaknya dikembalikan

hanya sebagai wujud kepatuhan kepada Tuhan dan harapan akan ridha-

Nya, sebagaimana firman-Nya.

ö≅è% ¨βÎ) ’ ÎAŸξ |¹ ’Å5 Ý¡èΣuρ y“$u‹øt xΧ uρ †ÎA$yϑtΒ uρ ¬! Éb> u‘ tÏΗs>≈ yè ø9$# ∩⊇∉⊄∪

“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.”(QS. Al-An’am: 162) (Depag RI, 1971: 216).

5. Diwujudkan kedalam bentuk tingkah laku yang dapat diteliti,

sebagaimana konsep shalat adalah do’a, namun bukanlah hanya

sekedar do’a, ada aplikasi darinya. Walau dalam Islam niat merupakan

hal yang vital, namun ia merupakan hal tersebut merupakan aspek

yang tersembunyi. Jadi dalam pendidikan Islam diharapkan bentuk-

bentuk prilaku yang mencerminkan kemuliaan (Abdur Rahman Shaleh,

1991: 147-173).

Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam yang diharapkan adalah

terciptanya perilaku yang mencerminkan norma-norma Islam sebagai

cerminan terbentuknya manusia yang sempurna (insan kamil). Hal tersebut

dapat tercapai bila komponen-komponen yang positif dari peserta didik

dapat teraktualisasikan.

D. Metode Pendidikan Islam

Bila kembali kita telusuri tentang tujuan dari pendidikan dalam Islam

bahwa, adanya keteraturan dalam proses dengan efektifitas dan efesiensi

Page 55: Skripsi Abdullah Rois1

55

waktu, maka hal tersebut tidak dapat dicapai bila tanpa cara/teori yang

komprehensif.

Secara umum metode dapat diartikan sebagai cara mengerjakan

sesuatu, dengan cara yang baik maupun yang tidak baik. Dalam pandangan

filosofi pendidikan, metode merupakan alat yang mempunyai fungsi ganda,

yaitu bersifat poligramatis (memiliki kegunaan ganda) dan monopragmatis

(hanya memiliki satu kegunaan) (Muzayyin Arifin, 2003: 89). Jadi metode

pendidikan merupakan sebuah cara untuk digunakan dalam proses pendidikan,

yang satu sisi memiliki kegunaan ganda dan sisi yang lain hanya satu.

Dalam firman Allah SWT. Dinyatakan: “Hai orang-orang yang

beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri

kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat

keberuntungan” (QS. al-Mâidah: 35), ini berimplikasi bahwa dalam

pelaksanaan pendidikan Islam dibutuhkan adanya metode yang tepat guna

tercapainya cita-cita pendidikan.(Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006:

165).

Jadi dapat difahami bahwa metode pendidikan merupakan suatu cara

dalam melaksanakan proses pendidikan guna tercapainya cita-cita pendidikan

yang diidamkan.

Dalam Pendidikan Islam, perintah untuk menggunakan metode tertentu

guna mentransformasikan nilai-nilai Islam telah ditegaskan oleh Allah dalam

surat an-Nahl ayat 125, yang berbunyi:

Page 56: Skripsi Abdullah Rois1

56

äí÷Š $# 4’ n<Î) È≅‹Î6 y™ y7În/ u‘ Ïπyϑõ3Ïtø: $$ Î/ Ïπ sàÏã öθ yϑø9 $#uρ ÏπuΖ |¡pt ø:$# ( Οßγ ø9 ω≈ y_uρ ÉL©9 $$ Î/ }‘Ïδ ß|¡ ômr& 4 ¨β Î) y7 −/ u‘ uθ èδ ÞΟn=ôã r& yϑÎ/ ¨≅ |Ê tã Ï& Î#‹Î6 y™ ( uθ èδ uρ ÞΟn= ôãr& t ω tGôγ ßϑø9 $$Î/ ∩⊇⊄∈∪

Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dial ah Yang Paling Mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Dan Dial ah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125) (Depag RI. 1971: 421).

Ayat tersebut mengandung tiga metode penting dalam pengajaran

agama Islam kepada manusia, yaitu dengan metode bil hikmah, mauidzah

hasanah (ceramah, nasehat) dan mujâdilah bil lati hiya ahsan (diskusi). Dan

dalam mengembangkan metode-metode pengajaran, para pemikir Islam

menggunakan ayat-ayat lainnya.

Dalam penggunaan metode menurut Abdur Rahman Shaleh Abdullah

ada beberapa aspek esensial yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik,

yaitu; pertama metode dan relefansinya yang sesuai dengan sasaran dan tujuan

dari pendidikan Islam, yaitu membentuk pribadi yang beriman dan berserah

diri kepada Allah, kedua metode pengajaran yang aktual bersumber dari al-

Qur’an ataupun diderivasi darinya, dan ketiga metode disiplin dan motivasi

atau dalam terminologi al-Qur’an disebut dengan tsawab (penghargaan) dan

‘iqab (hukuman) (Abdur Rahman Shaleh, 1991: 212).

Berkaitan dengan pengembangan metode pendidikan Islam, Abdul

Munir Mulkhan mendiskripsikannya sebagai berikut:

Page 57: Skripsi Abdullah Rois1

57

1) Allah SWT. menyuruh manusia untuk mencontoh kepribadian Nabi

Muhammad, karena sesungguhnya pada dirinya terdapat tauladan yang

baik (QS. Al-Ahdzab: 21)

2) Allah SWT. menyuruh hambanya agar menyeru manusia menuju jalan

yang lurus dengan hikmah, pengajaran yang baik dan argumentasi yang

dapat dipertanggungjawabkan (QS. An-Nahl: 125).

3) Allah SWT. menyuruh umat Islam untuk mengembangkan sifat arif dan

bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu aktifitas (diskusi)

dan bermusyawarah, serta bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imron: 159

dan QS. Asy-Syuraa’: 38).

4) Manusia diperintahkan untuk melakukan eksplorasi di muka bumi dan

memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan

Allah (QS. Al-An’am: 11) (Abdul Munir Mulkhan, 1993: 249-250).

Berdasarkan pendapat-pendapat diatas sebenarnya orientasi dari

metode adalah untuk mempermudah proses kesempurnaan manusia, baik

sebagai ‘âbid dan khalîfâtullâh fi al-ard. Jadi dalam menggunakan metode

pendidikan yang sudah diderivasi dari al-Qur’an haruslah dilakukan dengan

secara teliti dan penuh kehati-hatian, karena pelaku pendidikan, dalam hal ini

adalah manusia yang memiliki beragam dimensi yang harus difahami dan

disesuaikan dengannya secara proporsional.

Untuk mewujudkan pelaksanaan metode yang bersumber dari

khazanah Islam sendiri, maka perlu dilakukan pembentukan metode-metode

yang relevan dan efektif yang selanjutnya diaplikasikan secara praktis. Dalam

Page 58: Skripsi Abdullah Rois1

58

hal ini Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir menyebutkan ada enam bentuk

metode pendidikan dalam Islam, yaitu:

a. Metode Diakronis, yaitu metode yang menonjolkan aspek sejarah agar

siswa dapat memiliki pengetahuan yang relevan, sebab-akibat, atau

kesatuan integral. Dengan metode ini, menjadikan siswa selalu ingin

mengetahui lebih lanjut pengalaman yang ia peroleh dari sejarah masa lalu

dan menjadikannya sebagai suatu kenyataan yang memiliki kesatuan yang

mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan

tempat terjadinya sejarah atau kejadian tersebut.

b. Metode Sinkronis-Analitis, yaitu metode yang memberikan kemampuan

analitis teoritis sehingga mengembangkan keimanan dan mental-intelek

bagi siswa.

c. Metode Problem Solving (Hill al-Musykilât), yaitu suatu metode yang

menghadapkan siswa dengan berbagai permasalahan suatu cabang ilmu

pengetahuan dengan solusi-solusinya. Dan pengembangannya dapat

melalui teknik simulasi, micro teaching, dan critical incident (tanqîbiyah).

d. Metode Empiris (Tajrîbiyah), yaitu metode pengajaran yang

memungkinkan peserta didik mempelajari ajaran Islam melalui proses

realisasi, aktualisasi, serta interrealisasi norma-norma dan kaidah Islam

melalui proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial.

e. Metode Induktif (al-Istiqrâiyah), yaitu metode yang digunakan oleh

pendidik dalam menjelaskan materi, berangkat dari materi yang khusus

Page 59: Skripsi Abdullah Rois1

59

(juz’iyah) menuju kesimpulan yang general. Hal ini dilakukan agar siswa

dapat mengetahui kebenaran hakiki dengan melalui riset.

f. Metode Deduktif, yaitu metode yang digunakan pendidik dalam

menjelaskan materi, yang berangkat dari kaidah-kaidah yang umum

kemudian menjelaskannya dengan contoh-contoh yang spesifik.

Dimaksudkan oleh metode ini agar siswa dapat mengetahui inti dari setiap

materi yang disampaikan oleh pendidik (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir,

2006: 179-183).

Dari paparan bentuk metode-metode diatas, pada dasarnya dalam

pembentukan dan pelaksanan proses pendidikan Islam harus memperhatikan

berbagai aspek dari keteladanan, perenungan, dan pengaplikasian. Dan hal ini

tidak dapat dilakukan bila tidak melihat pada sisi yang berkaitan dengan diri

manusia/peserta didik dan pendidik serta sisi sosial masyarakatnya.

E. Kurikulum Pendidikan Islam

Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur terpenting

dalam setiap bentuk dan model pendidikan apa pun. Tanpa adanya kurikulum,

sulit rasanya bagi para perencana pendidikan dalam mecapai tujuan

pendidikan yang diselenggarakan. Mengingat pentingnya kurikulum, maka

kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana pendidikan.

Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu "Curir", yang artinya

"pelari" dan "curere", yang berarti tempat berpacu. Jadi, istilah kurikulum

pada mulanya berasal dari dunia olahraga pada jaman Romawi Kuno di

Page 60: Skripsi Abdullah Rois1

60

Yunani, yang mengandung pengertian "suatu jarak yang harus ditempuh oleh

pelari dari garis star sampai garis finish (Hasan Langgulung, 1989: 179).

Sedangkan dalam kosakata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan

kata manhaj, yang berarti "jalan yang terang" atau jalan yang terang yang

dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan. Apabila pengertian ini

dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum, berarti jalan

terang yang dialaui pendidikan atau guru latih dengan orang-orang yang di

didik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan

sikap (Samsul Nizar, 2002: 56).

Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum

adalah pondasi yang digunakan oleh para pendidik untuk membimbing para

peserta didiknya kearah maksud atau tujuan pendidikan yang diinginkan

melalui proses akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap.

Dalam konteks pendidikn Islam, kurikulum yang dirumuskan memiliki

cirri khas tersendiri karena pendidikan Islam dibangun atas dasar ajaran-ajaran

Islam dan pandangan hidup manusia dalam Islam. Bertolak dari pandangan

hidup manusia dan ajaran Islam, serta kaidah-kaidah Islam inilah, kurikulum

pendidikan Islam dirumuskan.

Muhammad at-Toumy Al-Syaibany menyatakan bahwa kurikulum

dikatakan kurikulum pendidikan Islam, apabila memiliki prinsip-prinsip,

sebagai berikut: (1) berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilai-

nilainya; (2) prinsip menyeluruh (universal), pada tujuan-tujuan dan

kandungan-kandungan kurikulum; (3) prinsip keseimbangan yang relative

Page 61: Skripsi Abdullah Rois1

61

antara tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum; (4) prinsip-prinsip

interaksi antara kebutuhan siswa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat; (5)

prinsip pemeliharaan perbedaan-perbadaan individual diantara peserta didik,

baik perbedaan dari segi bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan

sebagainya; (6) prinsip perkembangan dan perubahan sesuai dengan tuntutan

yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolute; (7) prinsip pertautan

(integritas) antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan aktifitas yang

terkandung didalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara

kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid juga kebutuhan masyarakat

(Muhammad at-Taomy Al-Syaibany, 1979: 520-522).

Dari pernyataan at-Toumy al-Syaibany di atas, kurikulum pendidikan

Islam hendaknya dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip illahiyyah dan

insaniyyah yang termanifestasikan dalam materi-materi pelajaran yang

ditawarkan, sehingga dapat terbentuk manusia yang paripurna (insan kamil).

Di samping dasar-dasar atau landasan-landasan dan prinsip-prinsip

diatas, kurikulum pendidikan Islam juga memiliki karakteristik-karakteristik

yang berbeda dengan kurikulum pendidikan yang lain. Karakteristik

kurikulum pendidikan Islam, sebagaimana diuraikan oleh Khoiron Rosyadi

adalah sebagai berikut: (1) menolak dualisme sistem kurikulum, antara

kurikulum agama dengan kurikulum sekuler; (2) menonjolkan tujuan agama

dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat dan tehniknya; (3)

meluasnya perhatian dan menyeluruhnya kandungan-kandungannya; (4)

adanya keseimbangan yang relatif, antara kandungan kurikulum dengan ilmu-

Page 62: Skripsi Abdullah Rois1

62

ilmu, seni, kemestian, pengalaman dan kegiatan yang bermacam-macam; (5)

kecenderungan pada seni halus, aktifitas jasmani, pengetahuan tehnik, latihan

kejuruan dan bahasa asing (Khoiron Rosyadi, 2004: 259-260),.

Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa rumusan kurikulum

pendidikan Islam sangat berbeda dengan rumusan kurikulum pendidikan yang

lain, dikarenakan kurikulum pendidikan Islam lebih menonjolkan tujuan

agama dan akhlak. Oleh karena itu, rumusan kurikulum pendidikan Islam

harus diorientasikan kepada pencapaian tujuan agama dan akhlak.

Dari uraian tentang konsep pendidikan Islam di atas, dapat di pahami

bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Islam memiliki konsepsi yang

sangat utuh dan komprehensip. Artinya proses pendidikan yang diharapkan

dalam pendidikan Islam bukan hanya sekedar membentuk pribadi yang cerdas

secara intelektual dan berketrampilan, akan tetapi lebih dari itu, bagaimana

kecerdasan dan ketrampilan yang sudah terbentuk dalam diri peserta didik

memiliki implikasi pengabdian terhadap Khaliknya, baik dalam posisinya

sebagai 'abdullah maupun sebagai khalifatullah fi al ard.

Page 63: Skripsi Abdullah Rois1

63

BAB III

LATAR BELAKANG KEHIDUPAN

DAN

PEMIKIRAN PAULO FREIRE

A. Biografi Paulo Friere

Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota kecil

yang letaknya dekat pelabuhan di timur laut Brazil. Recife adalah salah satu

pusat kemiskinan dan keterbelakangan di kawasan Brazilia bagianTimur Laut.

Freire dilahirkan oleh seorang ibu bernama Edeltrus Neves Freire, dan ayahnya

adalah seorang polisi bernama Joaquim Thomis Tocles Freire. Freire berada

dalam didikan kedua orang tuanya dengan sikap yang demokratis, terbuka

dan dialogis. Sikap itu tercermin dalam tindakan kedua orang tuanya yang

selalu menekankan agar menghargai pendapat orang lain. Freire mengakui

bahwa orang tuanyalah yang membuat ia selalu menghormati setiap dialog

serta pendapat-pendapat orang lain (Siti Murtiningsih, 2004: 15).

Ketika krisis ekonomi melanda di Brazilia yakni pada tahun 1929,

keluarga Freire ikut terkena dampaknya dan terjatuh miskin. Masa kecil

Freire adalah masa-masa yang memprihatinkan dan sulit. Pada waktu usianya

baru menginjak delapan tahun, Freire mengalami sendiri penderitaan yang

disebabkan karena kelaparan. Kondisi inilah menjadi embrio prinsip

perjuangan Freire nantinya, bahkan akhirnya mendorongnya untuk bertekad

mempertaruhkan seluruh hidupnya kelak bagi perjuangan melawan

penderitaan akibat kelaparan tersebut. Sejak saat itu, Freire kecil telah

63

Page 64: Skripsi Abdullah Rois1

64

memutuskan hidupnya untuk berjuang demi kebebasan dan kemerdekaan

dari kelaparan. Freire ingin agar orang lain tidak ada yang merasakan

penderitaan karena kelaparan sebagaimana yang ia alami (Freire, 2008: xi).

Pada tahun 1931, ayahanda Freire meninggal dunia. Ketika itu usia

Freire baru menginjak sepuluh tahun dan keluarganya baru saja pindah dari

Recife ke kota Jabatao. Di Jabatao, Freire dan keluarganya terus berjuang

untuk dapat hidup dengan sejahtera dan mereka mulai menata kembali

kehidupannya. Tiga tahun kemudian, setelah kondisi ekonomi membaik,

Freire kecil dapat melanjutkan pendidikannya di bangku sekolah. Bahkan

Freire dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Freire

melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Recife dengan mengambil

Fakultas Hukum. la juga mempelajari filsafat dan psikologi sambil bekerja

sebagai guru bahasa Portugis di sekolah menengah pertama. Selama periode ini,

Freire membaca karya-karya Marx dan para intelektual katolik seperti Maritian,

Bernanos, dan Moenir yang sangat berpengaruh dalam filsafat pendidikannya.

Pada awal tahun 1944, Freire menikah dengan Elza Maria Costa

Oliveria, seorang guru sekolah dasar (yang kemudian menjadi kepala

sekolah). Perkawinannya tersebut melahirkan tiga orang putri dan dua orang

putra. Perkawinannya dengan seorang kepala sekolah, ternyata membawa

perubahan orientasi pemikirannya yang cukup mendasar, karena mulai

saat itulah Freire mulai tumbuh minatnya pada teori-teori kependidikan,

kemudian ia lebih banyak membaca buku-buku pendidikan, filsafat, dan sosiologi

pendidikan daripada buku-buku hukum, suatu ilmu di mana ia menganggap

Page 65: Skripsi Abdullah Rois1

65

dirinya sebagai seorang siswa yang rata-rata. Bahkan keilmuan hukum yang

selama ini ia tekuni, ketika menjelang ujian kepengacaraan, ia mengabaikan

hukum sebagai mata pencaharian untuk bekerja sebagai seorang pegawai

kesejahteraan sosial. Ia selanjutnya menjadi kepala Mufti Kemasyarakatan di

negara bagian Pernambuco. Pengalamannya di bidang pelayanan masyarakat

selama bertahun-tahun, membawanya kepada kontak langsung dengan penduduk

miskin di daerah perkotaan. Dari kontak dengan masyarakat miskin tersebut,

dan tugas-tugas kependidikan serta organisasional yang dijalankan di sana,

membuat Freire mulai merumuskan cara untuk berkomunikasi dengan orang-

orang yang tidak memiliki apa-apa, dan inilah yang menjadi cikal-bakal

dialogis dalam proses konsientisasi nantinya.

Pengalamannya di bidang pendidikan, kebudayaan, dan sosial selama

bertahun-tahun, telah membawa Freire meraih gelar doktor pada UniVersitas

Recife. Bahkan Freire untuk pertama kalinya mengungkapkan pemikirannya

dalam bidang filsafat pada tahun 1959, dalam disertasinya di Universitas

Recife dengan tema Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education). Karya

ini kemudian disusul oleh karya lainnya sebagai profesor sejarah dan filsafat

pendidikan pada universitas yang sama. Di Recife juga, la melakukan

beberapa eksperimen dalam pengajaran kepada kaum buta huruf.

Pada tahun enam puluhan, Brazilia merupakan bangsa yang lemah dan

miskin. Pelbagai gerakan reformasi seeara serempak bermunculan. Gerakan-

gerakan ini meliputi kaum sosialis, kaum komunis, mahasiswa, kaum

pemimpin buruh, kaum populis, serta kaum militan Kristen. Mereka semua

Page 66: Skripsi Abdullah Rois1

66

saling berlomba-lomba ingin mewujudkan tujuan sosial politiknya masing-

masing." Di tengah-tengah harapan yang luhur dan hidup berkemakmuran,

Freire menjadi direktur utama Dinas Budaya Universitas Recife (University of

Recife's Cultural Extension Service). Lembaga ini menjalankan program

pemberantasan buta huruf bagi ribuan petani di Brazil. Program ini dapat

dilaksanakan dengan baik karena berhasil meningkatkan minat baca dan

menulis kelompok petani-petani dalam waktu tiga jam saja. Keberhasilan ini

mendorong Freire untuk menerapkan programnya pada masyarakat secara

keseluruhan. Sampai akhirnya tahun 1964 kudeta militer meletus di Brazilia.

Rasa ketakutan mencekam seluruh rakyat Brazil karena di mana-mana warga

sipil ditangkapi dan ditahan. Freire tidak luput dari situasi ini. Ia ditangkap

lantaran ajaran dan metodologinya dalam pemberantasan buta huruf. Dengan

ide-ide revolusionernya, justru membawa Freire pada tempat yang

menyedihkan; penjara. Oleh rezim yang berkuasa saat itu, ide-ide Freire

dianggap sangat berbahaya dan membuatnya patut dituduh subversi. Selama

tujuh puluh hari Freire dijebloskan ke dalam penjara dan selama itu pula ia

menjadi pesakitan dan berulang-ulang diinterogasi. Setelah keluar penjara

bukan berarti angin kebebasan bagi Freire, karena ia langsung diusir dari

negerinya. Ia lantas memutuskan untuk pergi ke Chili dan meneruskan

agenda revolusionernya.

Di Chili, selama lima tahun ia terlibat dalam program pemberantasan

buta huruf yang diselenggarakan pemerintah hingga akhirnya mampu

membuat dunia internasional merasa takjub dan penuh keheranan. Unesco

Page 67: Skripsi Abdullah Rois1

67

mengakui bahwa Chili rnerupakan salah satu dari lima bangsa di dunia yang

paling berhasil mengatasi masalah pendidikan dasar. Freire kemudian ditarik

bekerja di Unesco pada The Children Institue for Agrarian Reform dalam

program-program yang berhubungan dengan pendidikan. Karena

keberhasilan-keberhasilan Freire dalam bidang ini figurnya mulai menarik

perhatian.

Pada awal tahun 1950, Freire diundang ke Amerika Serikat dan

diperkenankan menjabat sebagai guru besar tamu pada Universitas Harvard.

Ia mengajar di pusat pengkajian pendidikan dan pembangunan Harvard

(Harvard's Center for S'tudies in Education and Development) merangkap

sebagai anggota Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial (The Center

for the Study of Development and Social Change). (Assegaf-Suyadi, 2008:

57-59). Cakrawala intelektual Freire semakin bertambah luas karena

bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan baru di negeri ini.

Di Amerika Serikat, waktu itu sedang berlangsung huru-hara rasialis

yang meletus sejak tahun 1965. Pelbagai pengalaman Freire di negeri ini

menjadi bagian-bagian penting dari kebangkitan pemikirannya. Freire

mendapati bahwa ternyata tekanan dan penindasan terhadap kaum lemah yang

tidak memiliki kapasitas politik, tidak hanya terjadi pada Negara-negara dunia

ketiga atau negara-negara yang memiliki ketergantungan kebudayaan saja.

Pengenalan ini memperluas pandangan Freire tentang dunia ketiga dan tidak

lagi berkutat pada pengertian geografis belaka. Namun mulai merambah pada

Page 68: Skripsi Abdullah Rois1

68

perspektif-perspektif yang bersifat politis. Tema-tema kekerasan lantas menjadi

sangat menonjol di dalam karya-karya Freire di kemudian hari.

Pada tahun 1970, Freire meninggalkan Amerika Serikat dan pindah ke

Geneva, Swiss. Di Geneva, Freire bekerja sebagai konsultan sampai

kemudian menjadi asisten sekretaris pendidikan Dewan Gereja-Gereja sedunia

di Geneva. Dalam rangka tugas yang terakhir ini, Freire sering melakukan

perjalanan ke pelbagai belahan dunia. Ia memberikan kuliah dan

mengabdikan dirinya demi membantu pelaksanaan program pendidikan

bagi negara-negara Asia dan Afrika. Ketika itu Freire masih menjadi anggota

komite eksekutif di Institut Actlon Culturalle (IDAC) yang bermarkas di

Geneva.

Sampai pertengahan tahun 1979, pemikiran Freire sudah dikenal di

banyak negara. Sampai kemudian pemerintah Brazil mengundangnya pulang

kembali dari pengasingan pada akhir tahun itu. Di negeri kelahirannya

Freire menerima tawaran untuk memimpin sebuah Fakultas di Universitas Sao

Paulo. Tahun 1988, menteri pendidikan untuk kota Sao Paulo mengundang

Freire dan memberinya tanggung jawab untuk memimpin reformasi sekolah

bagi dua pertiga bagian dari wilayah Negara tersebut (Siti Murtiningsih,

2004: 19).

B. Pemikiran Edukatif Paulo Freire

Pemikiran edukatif Freire, tidak bisa dilepaskan dari sejarah

pemikirannya. Freire yang hidup di tengah masyarakat Amerika Latin yang di

dalamnya berdiri suatu struktur piramida kerucut yang menandakan hirarki

Page 69: Skripsi Abdullah Rois1

69

penindasan. Sebagian besar rakyat dalam keadaan miskin, tertindas serta

menggantungkan diri pada kaum elit minoritas yang justru karena

kekuasaannya mereka bertindak sebagai kelompok penindas. Dalam keadaan

rakyat yang demikian itu, maka kesadaran rakyat akan selalu tergantung dan

saling menenggelamkan diri. Ketergantungan tersebut menurut Freire dapat

dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ketergantungan ekonomis yang

ditandai dengan terputusnya modal baik seeara kuantitatif maupun kualitatif

di tengah sedikit orang saja, yakni kaum elit dan kaum metropolitan. Kedua,

ketergantungan kelas yang ditandai dengan polarisasi dua kelas di mana kelas

yang satu bergantunng sepenuhnya dengan kelas yang lain. Ketergantungan

tersebut muncul akibat ketergantungan ekonomi (Siti Murtiningsih, 2004:

21).

Keadaan struktur masyarakat yang demikian itu, dengan mudah akan

muncul suatu tatanan masyarakat yang vertikal bersama pola relasi sosial yang

memarjinalisasi. Struktur sosial yang hirarkis vertikalis beserta tendensi

marginalisasi ini terjadi baik dalam keluarga maupun dalam sistem

pendidikan yang ada. Situasi seperti ini akan terus memacu berlangsungnya

penindasan dan yang pasti hanya menguntungkan kaum penindas semata.

Tetapi yang lebih tragis, menurut Freire, rakyat yang situasinya seperti itu

akan menghanyutkan masyarakat tertindas untuk menerima dan menghayati

nilai-nilai tertentu yang mendukung ketertindasannya. Nilai-nilai dan sikap

taat, tunduk, patuh, menerima, miskin inisiatif, dan dogmatis tumbuh sangat

Page 70: Skripsi Abdullah Rois1

70

subur dalam rakyat yang demikian dan pada ujungnya mengukuhkan karakter

fatalistik.

Sebagian besar rakyat dalam keadaan tenggelam pada situasi yang

menindas, represif dan tidak mampu lagi menyadari keberadaan dirinya.

Mereka larut dalam iklim penindasan yang masif dan tidak mempunyai

partisipasi aktif dalam tiap-tiap masalah yang muncul di tengah ma-

syarakat. Mereka terperangkap di dalam kebudayaan "bisu" (Siti Murtiningsih,

2004: 22), yaitu suatu keadaan yang merupakan ciri utama dari

keterbelakangan masyarakat-masyarakat dunia ketiga.

Pada saat rakyat merasa takut, para penguasa memperkuat kedu-

dukannya dengan mengembangbiakkan mitos-mitos yang menumpulkan

kesadaran kritis kaum tertindas. Sebagai contoh dari mitos tersebut adalah

menumpuk kekayaan. Bagi mereka (yang menumpuk kekayaan), kaya adalah

hak yang sepatutnya dan tidak perlu disangkal lagi; bahwa seseorang menjadi

kaya karena ia berusaha keras dan berani mengambil risiko; bahwa apabila

seseorang miskin dan tidak dapat hidup layak itu karena ia tidak mampu,

malas serta tidak tahu berterima kasih; bahwa pemberontakan merupakan

dosa besar terhadap Tuhan; juga bahwa cinta kasih serta kemurahan hati

kaum elit disebabkan karena mereka rela menolong. Dengan mitos ini, seolah-

olah para penindas memanfaatkan ranah kepercayaan kaum tertindas akan

Maha Pengampunnya Tuhan untuk kepentingan penindasannya.

Hingga pada suatu saat, mitos-mitos inilah yang menyebabkan kaum

tertindas menjadi takut akan kebebasan apalagi kekayaan. Mereka

Page 71: Skripsi Abdullah Rois1

71

melembagakan gambaran diri sebagai kaum tertindas yang dalam dirinya

membentuk sikap yang ikut memperkuat siasat-siasat licik kaum tertindas

tersebut. Pandangan-pandangan bahwa mereka tidak tahu apa-apa, sama sekali

tidak berguna, malas, dan lemah, serta tidak mau belajar, adalah suara-suara

yang paling akrab mereka dengar. Akibatnya mereka buta akan realitas

sosial yang sangat represif (menindas). Mereka meyakini bahwa kondisi

mereka seperti itu adalah yang semestinya terjadi dan karenanya pantas

diterima dengan begitu saja, yang kemudian berakibat pada terdistorsinya

kesadaran mereka.

Perjuangan Freire berambisi untuk menyadarkan kelompok rakyat

tertindas ini bahwa mereka bukanlah objek, melainkan subjek yang bebas dan

mandiri. Bagi Freire, mereka harus sadar akan kedudukannya di dalam

masyarakat di mana pun ia tinggal. Bahkan mereka juga harus sadar bahwa

kemanusiaan mereka telah dihancurkan dan dirampas serta harus direbut lagi

melalui perjuangan yang gigih. Karena dalam jiwa rakyat tertindas telah

terbangun rasa takut dalam perjuangannya, usaha untuk mendapatkan

kemanusiaan kembali itu begitu sulit, berat, dan bahkan menyusahkan.

Hingga pada akhirnya, Freire menyimpulkan bahwa usaha-usaha

pembebasan kesadaran tersebut tidak mungkin hanya dilakukan dengan

penyebaran mitos-mitos belaka. Karena hal itu hanya akan membuat rakyat

menjadi tidak kreatif seperti halnya yang dilakukan oleh kaum penindas

dengan cara-cara mereka. Bagi Freire usaha-usaha penyadaran rakyat

haruslah didukung oleh pelaksanaan skenario pendidikan yang berorientasi

Page 72: Skripsi Abdullah Rois1

72

pada pembebasan di mana antara guru dan murid terbangun sebuah hubungan

yang dialogis.

Freire lebih memfokuskan pada cara pandang dunia serta gambaran

tentang realitas sosial yang dibangun oleh kaum penindas harus dirombak

melalui pendidikan yang kritis. Selain kepentingan pembebasan, juga karena

tatanan dunia bukanlah hal yang statis. Melainkan dapat diubah dan bisa terus

berkembang. Rakyat tertindas harus terus berjuang dan belajar tidak sekadar

untuk melawan kelaparan tetapi juga untuk memperjuangkan kebebasan dalam

membangun, berkarya, berpartisipasi, dan memperbaiki kehidupannya di dunia

ini. Di samping itu, kelas-kelas tertindas juga harus berjuang mewujudkan

posisinya sebagai subjek dan pribadi otonom dalam menentukan arah

perjuangannya. Inilah yang menurut Freire merupakan unsur pokok dari sikap

kreatif yang penuh tanggung jawab (Assegaf-Suyadi, 2008: 62-63).

C. Corak Pemikiran Paulo Freire

Freire dikenal sebagai seorang filsuf, pendidik dan juga seorang aktivis

politik. Sebagai seorang filsuf, Freire senantiasa mendahului pikiran

pengalaman filsuf-filsuf lainnya yang berasal dari situasi dan posisi

kefilsafatan yang tidak sama, seperti Sarte dan Mounier, Erich Fromm dan

Louis Althusser, Ortega Y Gaset dan Mao, Martin Luther King dan Che

Guevara, Unamuno, dan Marcuse (Abd. Malik Haramain, dkk, 2003: 152).

Hal ini dilakukannya ketika ia terlibat langsung dalam upaya perjuangan-

perjuangan membebaskan kaum tertindas dalam rangka menciptakan dunia

baru khususnya melalui filsafat pendidikan.

Page 73: Skripsi Abdullah Rois1

73

Gerakan dan pemikiran-pemikiran lain yang turut serta memberi

pengaruh pada pemikiran Freire adalah gerakan tokoh-tokoh teologi

pembebasan. Tokoh teologi pembebasan yang dapat disebut di sini ialah

Gustavo Guteirrez, Rubem Alves, dan juga Juan Luis Segundo. Pada masa

Freire gerakan ini mendesak supaya pihak-pihak gereja terlibat langsung

dalam menanggulangi masalah-masalah rakyat serta aktif melakukan

pembebasan, yang merupakan persoalan konkret bagi rakyat Brazil (Assegaf-

Suyadi: 64). Secara terperinci, corak pemikiran Freire dapat digolongkan

sebagai berikut:

1. Eksistensialisme

Eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap dominasi alam

impersonal yang nihil individualitas yang menggejala pada era modern,

atau pada abad teknologi. Eksistensialisme juga bisa disebut sebagai

pemberontakan terhadap gerakan massa di era kontemporer ini.

Masyarakat modern menyimpan tendensi untuk mereduksi manusia

merosot menjadi mesin. Inilah tuduhan utama eksistensialisme terhadap

gejala dehumanisasi modern. Bahwa manusia ada dalam ancaman

objektivikasi dan menempatkannya sekadar menjadi alat pemenuhan

kebutuhan manusia yang tanpa "rasa". Di samping itu, eksistensialisme

juga menentang keras gerakan-gerakan totaliter yang menindas atau

mendehumanisasi.

Eksistensialisme sangat menjunjung tinggi pengalaman personal

dan memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia yang merupakan

Page 74: Skripsi Abdullah Rois1

74

aspek paling fundamental, karena dalam pengalaman personal tersebut,

manusia dilengkapi dengan kesadaran yang bersifat langsung serta subjektif.

Di samping itu, eksistensialisme juga menganjurkan agar dalam

kehidupannya manusia tidak boleh takut pada introspeksi. Topik-topik

utama dalam eksistensialisme yang berkaitan dengan pendidikan ialah

permasalahan-permasalahan individualitas dan personalitas manusia.

Eksistensialisme mengajak manusia untuk memberontak terhadap segala

hal yang merampas sisi kemanusiaan manusia (assegaf-Suyadi, 2008: 64-

65).

Dalam dua karya besarnya, Pedagogy of the Oppressed dan

Pedagogy of The Critical Consciuosness, Freire terlihat banyak mengutip

pandangan-pandangan para filsuf eksistensialisme seperti Sartre, Jaspers,

Marcel, Heidegger, Eamus, Martin Buber, dan banyak filsuf lainya yang

bisa dikategorikan dalam paham eksistensialisme (Siti Murtiningsih,

2004: 28).

Collins dalam Siti Murtiningsih mengatakan, tidak mengherankan

jika Freire terpengaruh oleh pandangan para filsuf eksistensialis tersebut.

Walaupun demikian, tidaklah mudah untuk mengategorisasikan bahkan

menggolong-golongkan pemikiran Freire dalam ranah eksistensialis ini

kecuali melalui nilai-nilai serta titik-titik perhatian yang terungkap dalam

gagasan-gagasan Freire. Hal ini bisa diamati melalui pemikiranmya

khususnya tentang pendidikan di mana Freire sangat mendambakan suatu

eksistensi yang otentik, yakni kebebasan bagi manusia agar mampu

Page 75: Skripsi Abdullah Rois1

75

berperan sebagai subjek (Siti Murtiningsih, 2004: 28).

Untuk lebih meyakinkan bahwa Freire adalah seorang

eksistensialis bisa dicermati melalui pemikiran-pemikiran Freire dalam

diskursus mengenai intersubjektivitas. Di samping itu, fokus yang

dikedepankan yaitu dialog sebagai sarana mendasar dalam metodologinya

dan sebagai tolak ukur untuk menilai derajat sejauh mana penindasan atau

keterbukaan mencirikan suatu struktur politik yang berlaku. Hal ini

merupakan bukti bahwa Freire sangat menjunjung tinggi intersubjektivitas

yang berarti juga bisa diduga seorang eksistensialis. Freire sangat

menekankan pentingnya dialog sebagai unsur yang krusial terutama dalam

metodologi tesis-tesisnya, tidak terlepas dalam metodologi pendidikan.

Bagi Freire, dialog merupakan jembatan penghubung antara guru sebagai

subjek dengan murid sebagai subjek yang lain. Dengan demikian, guru dan

murid merupakan dua subjek yang berhadapan dan senantiasa berdialog,

bukannya membentuk hubungan antara subjek dan objek. Pola relasi yang

demikian ini hanya bisa terjadi apabila unsur dialog ditempatkan

sebagai penghubung keduanya. Bahkan dialog juga bisa meniadi

parameter yang mendasar untuk menilai derajat penindasan yang

dijalankan oleh struktur politik penindasan.

Di samping itu, masih ada lagi aspek lain yang ikut memengaruhi

corak pemikiran Freire sebagai seorang eksistensialis, yaitu

penegasannya tentang wujud pribadi dan keputusan-keputusannya dalam

menghadapi interpretasi-interpretasi yang menegaskan makna dunia. Freire

Page 76: Skripsi Abdullah Rois1

76

misalnya, selalu mendorong pada rakyat tertindas untuk memenuhi

kedudukannya sebagai subjek yang merdeka. Freire mendorong rakyat

tertindas untuk melenyapkan berbagai mitos, slogan-slogan struktur

ekonomi, berikut bentuk pemerintahan yang represif yang tidak memberi

peluang bagi manusia untuk menjadi dirinya sendiri atau menjadi objek

penindasan (Assegaf-Suyadi, 2008: 65-66).

Collins Denis sebagaimana dikutip Assegaf dan Suyadi

mengatakan bahwa Freire sangat menyesalkan keadaan struktur yang

menindasnya, manusia justru mengada sebagai orang lain bahkan meniru

perilaku sang penindas. Hal ini berarti manusia gagal berperan sebagai

dirinya sendiri atau menjadi objek semata, dan didesak untuk kehilangan

pilihan-pilihan bebasnya atas pemikirannya sendiri. Karena hal

semacam itu, menurut Collins, metodologi Freire pun juga selalu

bertujuan mengelaborasi masalah-masalah yang menyebabkan

manusia merasa dipojokkan dalam pemikiran-pemikirannya sendiri serta

mengada bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai orang lain

(Assegaf-Suyadi, 2008: 66).

2. Kristianisme

Freire dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga

pemeluk agama Katolik. Keputusan dan kesetiaan yang dimilikinya

terhadap gereja tentu melekat kuat dalam kehidupannya sehari-hari.

Keyakinan Freire terhadap teologi gereja menginspirasinya sehingga ia

tertarik dan berharap bahwa teologi baru akan membuka peluang baru

Page 77: Skripsi Abdullah Rois1

77

bagi perubahan sosial bagi daratan Amerika Latin dalam aspek-aspeknya

yang mendesak dan fundamental. Dan upaya tersebut menurutnya dapat

dicapai melalui pendidikan tentang tujuan-tujuan ini. Dengan demikian,

dalam hubungan mereka dengan dunia, orang-orang Kristen harus

melebur secara aktif dan mengatasnamakan pembebasan sebagaimana

kristus mengajarkannya.

Berdasarkan hal ini, maka tidak mengherankan apabila Freire

sangat terpengaruh bahkan kental dengan pemikiran-pemikiran revo-

lusioner kaum teologi pembebasan. Bagi kaum teologi pembebasan,

agama merupakan alat pembebas manusia dari institusi-institusi

masyarakat yang menindasnya. Dan para teolog Amerika Latin pun pada

waktu itu, juga telah sadar bahwa agama ternyata turut serta melestarikan

penindasan di Amerika Latin.

Namun demikian, kristianis yang menjadi sumber inspirasi

pembebasan Freire tidak berakar hingga praksis pembebasannya.

konsientisasi sebagai inti pendidikan kritis, misalnya, merupakan karya

murni rasionalitas Freire. Sistem dialog dan kesadaran kritis yang

diusung pendidikan kritis Freire sangat kental dengan rasionalitas

mutlak yang tanpa memedulikan dimensi kristianisme. Manusia sebagai

subjek yang dicita-citakannya merupakan produk pendidikan kritis

antroposentris yang bercorak empirik dan positivistik. Akibatnya,

peserta didik yang lahir dari rahim pendidikan kritis ini akan mengakui

adanya Tuhan, namun memisahkan Tuhan dari praksis kehidupannya. Di

Page 78: Skripsi Abdullah Rois1

78

sinilah letak kesekularitasannya Freire (Assegaf-Suaydi, 2004: 67).

3. Dialektika

Untuk mengetahui konsep dialektika pemikiran Freire secara

mendalam, terlebih dahulu harus diungkapkan hubungan antara konsep

epistimologi Freire dengan pandangannya tentang realitas. Pandangan

Freire mengenai realitas dunia terpusat pada subjek pandang yaitu

manusia. Artinya, ia akan melihat dunia sebagaimana ia melihat manusia

itu sendiri. Dalam siklus dialektikanya, pemahaman tentang manusia

adalah pemahaman tentang yang bukan manusia itu sendiri. Jadi untuk

memahami manusia, bagi Freire perlu tahu apa yang disebut "bukan

manusia".

Menurut Freire, keberadaan manusia harus selalu diletakkan dalam

hubungannya dengan dunia (termasuk yang bukan manusia) tempat ia

berada. Bagi Freire, dunia manusia adalah dunia yang tersendiri.

Dunia binatang, tumbuhan, dan benda-benda lain (nonmanusia) tidak akan

berarti tanpa peran subjek yaitu manusia untuk mengartikan dan

menafsirkannya dalam rangka memperoleh pengetahuan. Sedangkan

manusia mempunyai kemampuan untuk memersepsikan benda atau dunia

di luar dirinya dan juga mampu memersepsikan keberadaan dirinya

sendiri.

Hubungan manusia dengan dunia yang dialogis integralistik di

atas bersifat unik. Keunikan tersebut terletak pada kemampuannya untuk

mengetahui (act of knowledge). Dan tindakan mengetahui tidak akan

Page 79: Skripsi Abdullah Rois1

79

terlepas dari pikiran bahasa (though-langguage) yang juga menentukan

orientasi manusia terhadap dunianya. Dengan demikian, maka inti dari

epistemologi pendidikan Freire terletak pada tindakan untuk mengetahui

(act of knowledge) melalui sistem dialektika (Assegaf-Suyadi, 2008: 68).

Dari pandangannya tersebut, Freire sangat menjunjung tinggi

kesadaran. Kesadaran tersebut menurutnya ada yang otentik dan ada yang

tidak otentik. Status kesadaran ini dinyatakan dalam penjelasan

eksistensial mengenai keberadaan manusia dalam dunia. Jelasnya, Freire

berpendapat bahwa kemampuan manusia dalam menggunakan pikiran-

bahasanya, jika dijalankan dengan benar maka pikiran-bahasa tersebut

bukanlah sumber alienasi bagi manusia melainkan sebagai proses

mengetahui dan menamai dunianya sendiri. Dalam proses tersebut,

subjektivitas dan objektivitas menyatu di dalamnya. Subjektivitas manusia

merupakan otoritas penafsiran subjek atau manusia dalam mengetahui

realitas dunianya, sedangkan objektivitas adalah keadaan nyata tempat

dunia dan realitanya ditafsirkan oleh manusia atau subjek itu sendiri dalam

mengetahui dunia.

Dengan demikian, maka manusia bagi Freire, merupakan makhluk

non-dualistik yang menyejarah dan ia baru bermakna manakala telah hadir

dalam hubungan yang dialogis dengan dunia, di mana ia berperan

sebagai subjek pemikiran, budaya, dan sejarah. Oleh karena itu, objektivitas

dan subjektivitas tidak bisa dipisahkan dalam hubungan tersebut.

Manusia suatu saat adalah sebab, tetapi pada saat yang lain manusia

Page 80: Skripsi Abdullah Rois1

80

merupakan akibat dari sejarah dan kebudayaan itu sendiri. Apabila manusia

mengingkari dan menolak kesempatannya untuk terlibat dalam mengubah

sejarah melalui tindakan pikiran-bahasa yang otentik, ia akan terasing dari

realitasnya, yang mengindikasikan bukan manusia yang otentik lagi.

Keterasingan tersebut tidak lain merupakan akibat dari pikiran-

bahasa manusia itu sendiri yang tidak mencerminkan realitas sebagai proses.

Hal ini berdampak pada penggunaan pikiran-bahasa yang menyimpang,

dalam menjelaskan realitas atau dalam berhubungan dengan dunianya. Jika

penyimpangan ini muncul, maka bisa dengan mudah untuk dideteksi melalui

tanda yang dibawa yakni dominasinya pemahaman mengenai

kenyataan yang dianggap statis. Freire menegaskan bahwa pikiran

tidak akan bekerja tanpa bahasa dan keduanya mustahil tanpa adanya suatu

hal yang menjadi acuan bagi tindakannya (Siti Murtiningsih, 2004: 37-38).

Mengenai keautentikan manusia, ditegaskan oleh Freire bahwa

manusia berbeda, bahkan terkesan bertentangan dengan "binatang" (binatang

adalah kata simbolik yang dipakai Freire untuk mewakili makhluk dan

benda lain selain manusia). Manusia adalah satu-satunya makhluk yang

"ada" dan mempunyai hubungan sejati dengan dunia. Manusia adalah

makhluk yang historis, sedangkan binatang adalah makhluk nonhistoris.

Manusia hidup dalam proses tiada henti secara kritis dan dialogis,

sedangkan binatang hidup dalam kekinian abadi yang berhubungan

seeara nonkritis dan anti dialogis dengan dunia. Manusia

mempunyai kemampuan berefleksi dan selalu bertujuan atas segala

Page 81: Skripsi Abdullah Rois1

81

tindakan atau perbuatannya dalam berhubungan dengan dunia, sedangkan

segala bentuk tindakan binatang tanpa didasarkan pada ketidaksadaran dan

rutinitas keabadian. Muatan maksud atau "tujuan" (yang dalam bahasa

modern adalah politik) dalam setiap aktivitas manusia adalah dasar

perbedaan dengan tindakan yang dilakukan oleh binatang yang

merupakan sebaliknya dengan manusia. Binatang tidak bisa disebut

"bertindak" walaupun Ia beraktivitas, karena memang binatang tidak

mempunyai tujuan atau maksud terhadap setiap tindakannya. Karena

tidak mempunyai tujuan dan maksud maka tindakannya pun tidak

didasarkan pada kesadaran. Oleh karena itu, manusialah yang mampu

untuk bertindak dan mencipta lantaran kemampuannya berefleksi dengan

dunia. Dimensi hubungan manusia dengan dunianya terangkai dalam

suatu epos (wiracarita) yang menempatkan satu di "sini" berhubungan

dengan satu yang di "sana", sesuatu pada saat "ini" dan sesuatu yang

akan datang atau yang ada di "sana", serta "masa lalu" dan "masa depan".

Dengan demikian, manusia adalah pencipta sejarah sekaligus ciptaan

sejarah (Siti Murtiningsih, 2004: 38).

Apabila manusia tidak mampu menggunakan kemampuan kritisnya

(kemampuan bertujuan dan berefleksi), maka ia sama dengan

binatang, yang hanya hidup di dunia dan mengakomodisi dunia

kebisuan. Demikian pula apabila manusia dalam aktivitasnya tidak dapat

menumbuhkan kesadaran dan reflektivitas, maka la hidup dalam budaya

kebisuan dan kekinian abadi yang mengakibatkan hidup manusia tidak

Page 82: Skripsi Abdullah Rois1

82

mampu melakukan penamaan terhadap dunianya. Binatang merupakan

makhluk dalam dirinya sendiri sekaligus objek bagi makhluk lainnya.

Tetapi kehidupan binatang juga tidak bisa terlepas dan terpisah dari

aktivitasnya, berkesinambungan, dan di sisi lain dicirikan oleh spesiesnya.

Namun demikian, manusia adalah makhluk yang mampu berefleksi bagi

tindakan praktis. Dalam tindakan praktisnya tersebut manusia dituntut untuk

menjadi manusia secara utuh. Jika manusia mampu merefleksikan dirinya,

maka ia berada dalam sejarah dan meyakini bahwa tindakannya tersebut

adalah benar. Pada bagian lain Freire menyatakan bahwa media yang sangat

penting bagi subjektivitas manusia adalah kemampuan untuk menghormati

dan menghargai subjektivitas Orang lain. Untuk sampai pada tahap ini,

syarat yang harus ditempuh manusia adalah menumbuhkan kesadaran

"berdialog" (Assegaf-Suyadi, 2008: 71).

Selanjutnya, Freire menyatakan bahwa manusia mempunyai

kemampuan yang unik untuk meninjau kembali persepsi (pengetahuannya)

atas sebuah fakta atau realitas. Manusia akan memahami hal-hal yang riil

sebagai masalah yang harus diselesaikan. Dalam proses pemahaman

tersebut, terjadi dialektika di mana memahami diartikan sebagai

"mengagumi" realitas dan mengagumi kembali hingga pada ujungnya

manusia mampu mengajukan kritik terhadap realitas tersebut, terutama pada

sisi sistemnya. Inilah yang dimaksud Freire dengan pengetahuan kritis.

Namun demikian, Freire selalu mengingatkan selalu akan terdapat

dua jebakan yang membahayakan bagi pengetahuan kritis tersebut. Pertama,

Page 83: Skripsi Abdullah Rois1

83

idealisme subjektif; dan kedua, objektivisme mekanik. Kesalahan pertama

bisa terjadi jika pengetahuan kritis dipakai untuk mengidentifikasi pemikiran

sebagai objek kesadaran, yang akan menjerumuskan manusia pada solipisme

(anggapan bahwa yang benar hanyalah dirinya). Adapun kesalahan kedua

dapat terjadi apabila seseorang mengesampingkan kesalahan mendasar

bahwa kesadaran manusia juga merupakssan bagian dari realitas. Dalam

hal ini terdapat persepsi yang keliru bahwa kesadaran disinyalir sebagai

tiruan terhadap realitas eksternal. Oleh karena itu, kesadaran realitas

bukan hanya tiruan dari fakta-fakta yang nyata, tetapi kenyataan juga

bukan merupakan konstruksi yang tidak terprediksikan oleh kesadaran.

Dua jebakan kesalahan tersebut hanya dapat diatasi dengan pemahaman

dialektikal yang menyatu antara subjektivitas dan objektivitas (Assegaf-

suyadi, 2008: 71-72).

D. Beberapa Karya Paulo Freire

Freire bekerja memulai karyanya ketika sebuah masalah datang

padanya dan menjadikannya jelas bahwa keseluruhan sistem pendidikan yang

berlaku adalah salah satu sebab utama dari tumbuhnya kebudyaan bisu.

Rakyat tenggelam dalam genangan keadaan dimana kesadaran kritis dan

jawaban-jawaban praktis tidak dimungkinkan (Freire, 2000: xi).

Karya pertama Freire ditulis pada hari-hari ketika ia mendekam dalam

penjara. Karya ini berjudul Educacao Como Practica da Liberade (Education

as Practice of Freedom), dan masa-masa sulit dipenjara membuatnya

Page 84: Skripsi Abdullah Rois1

84

beberapa kali mengalami kemacetan. Freire baru menyelesaikannya di Chili,

tempat ia diasingkan oleh pemerintah Brazil waktu itu. Freire memasukkan

dua eseinya dalam buku ini yaitu Educacao da Liberade dan Extension

Communication, yang terbit dalam edisi Inggris dengan judul Education for

Critical Consciousness.

Pada tahun 1969-1970, tercatat Freire menulis dua esei untuk Harvard

Educational Review. Yang pertama adalah Adult Literacy Process as Cultural

for Freedom, dan yang kedua Cultural Action and Conscientization. Kedua

esei itu merupakan edisi bahasa Inggris dari ringkasan teori-teorinya tentang

pendidikan, yang sebelumnya pernah dielaborasi dalam karya-karyanya yang

berbahasa Portugal dan Spanyol. Artikel yang sama juga pernah diluncurkan

dalam penerbitan bersama, dengan judul Cultur Action for Freedom dan

Pedagogy in Process. Karya ini dibuka dengan sebuah pengantar yang ditulis

oleh Paulo Freire sendiri, yang merupakan refleksi dan pandangannya tentang

tema-tem alienasi dan dominasi yang menyelimuti dunia pendidikan. Setelah

karya itu, terbit sebuah edisi Inggris yang mungil dari karyanya yang terkenal

pedagogy of the Oppresed (Murtiningsih, 2006: 20). Disusul karya lainnya

yaitu The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation, Pedagogy of

Hope: Reliving Pedagogy of the Oppresed dan Teacher’s as Cultural Workes:

Letter’s to Those Who Dare Teach (Joy A. Palmer, 2003: 234).

Page 85: Skripsi Abdullah Rois1

85

BAB IV

Konsep Konsientisasi Dalam Perspektif Pendidikan Islam

A. Konsep Konsientisasi Paulo Freire

a. Konsep Manusia Menurut Pandangan Paulo Freire

Secara ekplisit, Freire tidak memberikan definisi tentang asal-usul

manusia, baik menurut alamiahnya maupun menurut ajaran Kristen. Tetapi

Freire mendefinisikan manusia sebagaimana yang bukan manusia. Artinya,

untuk memahami apa itu manusia, maka haruslah paham apa itu bukan

manusia. Pandangannya yang demikian bertitik tolak pada realitas yang

menunjukkan bahwa aktivitas manusia merupakan kebalikan dari aktivitas

yang bukan manusia. Oleh karena itu, hakikat manusia menurut Freire juga

bertolak dari aktivitas manusia tersebut. Freire mengatakan bahwa di dunia ini

sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian

lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil,

dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia

(Aseegaf-Suyadi, 2008: 144).

Menurut Lelyveld yang dikutip oleh Murtiningsih mengatakan bahwa

Freire mengembangkan konsep pendidikannya bertolak dari pandangannya

tentang manusia dan dunia. Kodrat manusia, menurut Freire, tidak saja berada-

dalam-dunia, namun berada-bersama-dengan-dunia. Manusia tidak hanya

hidup di dunia tetapi hidup dan berinteraksi dengan dunia. Situasi ini

mengandaikan bahwa manusia perlu sikap orientatif. Orientasi merupakan

85

Page 86: Skripsi Abdullah Rois1

86

usaha pengembangan bahasa pikiran (thought-language). Artinya bahwa

manusia tidak hanya sanggup, namun juga mengerti dan untuk kemudian

merubah realitas (Murtiningsih, 2006: 7).

Panggilan sejati manusia (man’s ontological vocation) menurut Paulo

Freire adalah menjadi pelaku—subyek, bukan penderita atau obyek—yang

sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau

mungkin menindasnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya, maka

panggilan manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ketidakbebasan

manusia bisa bersumber dari dirinya seperti dikemukakan Erich Fromm dalam

Fear of Freedom (http://pkmirocky.wordpress.com/2009/paulo-freire/).

Para penggagas determinisme menganggap manusia dan seluruh alam

semsesta tak ubahnya jam mekanik yang telah dirancang sebelumnya dan

segala sesuatunya telah ditentukan, tinggal menjalankan saja. Gottfried

Wilhem Leibniz (1646-1716) menyatakan, kita tidak pernah bebas karena

tindakan-tindakan kita setiap saat ditentukan oleh hukum-hukum alam yang

telah dibentuk di masa lalu. Menurutnya, jiwa menggerakkan tubuh dengan

tujuan yang sudah ditentukan seperti sebuah automaton (mesin mekanik yang

berjalan sendiri). Menurut David Hume (1711-1776), keputusan-keputusan

kita tak lepas dari karakter intrinsik kita masing-masing, sehingga untuk bisa

mengambil keputusan yang berbeda, kita harus menjadi manusia yang

berbeda. John Locke (1632-1704) menganggap ada hukum dasar yang

menggerakkan putusan dan tindakan manusia, yaitu prinsip mendapatkan

kesenangan dan menghindari penderitaan. Baruch de Spinoza (1632-1677)

Page 87: Skripsi Abdullah Rois1

87

menyatakan bahwa tindakan-tindakan dan pengalaman manusia sesungguhnya

telah ditentukan dengan keniscayaan yang sepasti matematika tak ubahnya

roda-roda mekanis, namun kita merasa (seolah-olah) bebas jika kita

menikmatinya. “Sebuah batu di udara dapat merasa bebas jika ia melupakan

tangan yang melemparnya,” tutur Spinoza (http://www.unisosdem.org/article)

Dalam pandangan Freire, apapun nama dan alasannya, penindasan

adalah melawan hakikat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat

ganda, dalam pengertian, terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga

atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat atau hakikat

manusia itu sendiri. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena

hak-hak manusiawi mereka dinistakan karena mereka dibuat tak berdaya dan

dibenamkan dalam kebudayaan bisu. Adapun minoritas kaum penindas

menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati

nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamamnya.

Dehumanisasi – keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi manusia – bukan hanya menandai mereka yang kemanusiaannya telah dirampas, melainkan (dalam cara yang berlainan) menandai pihak yang telah merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokan terhadap cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Karena dehumanisasi merupakan pembengkokan terhadap cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh, cepat atau lambat kaum tertindas akan bangkit dan berjuang melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya (Freire, 1999: 435).

Freire dalam Assegaf juga mengatakan: “The dehumanization resulting from an unjust order is not a cause for despair but for hope, leading to the incessant pursuit of the humanity denied by injustice. Hope, however, does not consist in crossing one’s arms and waiting. As long as I fight, I am moved by hope, and if I fight with hope, then I can wait”. “Dehumanisasi yang dihasilkan oleh adanya aturan yang tidak adil, bukan penyebab keputusasaan tapi (justru) menimbulkan harapan yang

Page 88: Skripsi Abdullah Rois1

88

membawa pada pencarian tiada henti tentang kemanusiaan, yang disangkal oleh adanya ketidakadilan. Bagaimanapun, harapan, tidak diperoleh hanya dengan berdiam diri dan menunggu. Selama berjuang, aku dibangkitkan oleh harapan, dan ketika aku berjuang dengan disertai harapan, maka aku dapat menunggu” (Assegaf dan Suyadi, 2008: 153).

Collin’s dalam Murtiningsih mengatakan bahwa Freire berusaha keras

mengajak manusia agar menjadi dirinya sendiri. Kalau disebut dalam istilah

Sartre, ialah untuk mengada bagi dirinya (etre pour soi). Yakni menjadi

makhluk yang hidup dan berada dengan sadar serta bebas bagi dirinya sendiri.

Karena manusia adalah makhluk bebas, makhluk yang sadar, dan makhluk

yang merdeka untuk dirinya sendiri. Freire sangat prihatin dengan keadaan di

mana karena struktur yang menindasnya, manusia justru mengada sebagai

orang lain. Hal ini berarti manusia menjadi objek semata, dan didesak untuk

kehilangan pilihan-pilihan atas pemikirannya sendiri. Karena hal seperti itu,

menurut Collins, metodologi Freire pun selalu juga bertujuan mengelaborasi

masalah-masalah yang menyebabkan manusia merasa dipojokkan dalam

pemikiran-pemikirannya sendiri serta mengada bukan sebagai dirinya sendiri,

tetapi sebagai orang lain (Murtiningsih, 2006: 29).

Maka dari itu, tidak ada pilihan lain kecuali memanusiakan kembali

kemanusiaan yang telah terdustakan tersebut dan menjadikan hal ini sebagai

pilihan mutlak. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak harus menjadi

keharusan. Jika suatu kenyataan menyimpang dari keharusan, maka manusia

berkewajiban mengubahnya, agar sesuai dengan keharusan. Disinilah letak

peran dan fungsi manusia sebagai pengubah dan “mengada” bersama

dunianya. Tidak ada tugas yang lebih mulia atas manusia kecuali menciptakan

Page 89: Skripsi Abdullah Rois1

89

realitas sesuai dengan keharusan dan mengembalikan sisi kemanusiaan yang

ternodai. Itulah fitrah manusia sejati, manusia yang memerankan dirinya

sebagai subjek mutlak atau aktor bagi perubahan atas dunianya.

Pada titik inilah yang membedakan manusia dengan binatang, yang

hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga mempunyai naluri, tetapi manusia

mempunyai kelebihan yaitu kesadaran (konsientisasi). Hal ini bukan berarti

manusia menjadi subjek yang tanpa batas, tetapi dengan fitrahnya tersebut,

manusia harus mampu mengatasi keterbatasan yang mengekangnya tadi.

Dengan demikian, orang-orang yang menyerah pada situasi batas, tanpa

adanya usaha untuk mengatasinya, sesungguhnya orang tersebut berada dalam

situasi tidak manusiawi. Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu

fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan bebas. Ini adalah ujung

perjuangan humanisasi Freire (Aseegaf-Suyadi, 2008: 145).

Manusia memiliki kemampuan untuk merefleksikan dirinya sebagai

“aku” serta merefleksikan realitas dihadapannya sebagai “bukan aku”. “Aku”

adalah subjek yang sanggup bertutur dalam caranya berhubungan dengan

dunia. Kedudukan ini menghasilkan hubungan manusia, sebagai subjek, dan

dunia, sebagai objek, menjadi tugas yang tak terselesaikan (Murtiningsih:

2006).

Freire berpikiran bahwa manusia menerima kenyataan atau realitas di

hadapannya sebagai proses yang dapat direfleksikan serta dilihatnya sebagai

sejarah. Manusia menyatakan dunianya sebagai bagian sejarah dari kompleks

Page 90: Skripsi Abdullah Rois1

90

masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Dalam konteks ini, Freire

meyakini bahwa manusia adalah bagian dari sejarah dan budaya objektif.

Dalam bahasa Collin’s yang dikutip Murtiningsih mengatakan bahwa

manusia adalah manusia, sejauh dalam keadaannya sebagai makhluk ia bisa

mengekspresikan diri dalam dialektika yang berlawanan. Maksudnya ilah

statusnya untuk menjadi dan untuk menjadikan. Ini digolongkan manusia

sebagai makhluk sejarah dan budaya (Murtinngsih, 2006: 40).

Sebagai makhluk yang menyejarah, manusia memiliki tugas untuk

menjadi subjek dan untuk memahami dunia. Maksud Freire adalah, sebagai

proyek yang tidak pernah usai dari sebuah prksis, manusia mempunyai tugas

ontologism yang penting yaitu menjadi manusia yang utuh. Jika manusia

mampu merefleksikan dirinya, maka ia berada dalam sejarah dan meyakini

bahwa tindakannya adalah benar. Pada bagian lainnya, Freire menyatakan

bahwa media yang sangat penting bagi manusia, sebagai subjek, untuk

menghormati subjektivitas orang lain adalah “dialog” (Murtiningsih, 2006:

40).

Freire dalam Assegaf menjelaskan bahwa dalam hal ini, bukan berarti

manusia menjadi subjek yang tanpa batas, tetapi dengan fitrahnya tersebut,

manusia harus mampu mengatasi keterbatasan yang mengekangnya tadi.

Dengan demikian, orang-orang yang menyerah pada situasi batas, tanpa

adanya usaha untuk mengatasinya, sesungguhnya orang tersebut berada dalam

situasi tidak manusiawi. Freire juga menegaskan bahwa manusia adalah

penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka

Page 91: Skripsi Abdullah Rois1

91

dan bebas. Ini adalah ujung dari perjuangan humanisasi manusia (Assegaf dan

Suyadi, 2008: 145).

Dalam proses kemanusiaan sebagai makhluk yang sadar, manusia

bukan hanya hidup di dunia namun juga bersama dengan dunia, bersama

orang lain. Hanya manusia sebagai makhluk ‘terbuka’ yang dapat melakukan

transformasi terhadap dunia secara berkesinambungn dengan aksi,

pemahaman dan mengungkapkan kenyataan dalam bahasa yang kreatif.

Manusia dapat hidup bersama dengan dunia karena dia dapat menjaga

jarak dengannya secara objektif. Tanpa objektifikasi (objectification) seperti

ini, termasuk mengobjektifiksi dirinya, manusia hanya dapat hidup di dunia

tanpa pengetahuan tentang dirinya dan dunia.

Lain halnya dengan binatang yang hanya berada di dunia karena tidak

dapat mengobjektifikasi dirinya dan dunia. Binatang hidup tanpa

memperhitungkan waktu, tanpa bahasa verbal, ‘tenggelam’ di dasar dunia

tanpa ada kemungkinan untuk muncul kepermukaan atau mengatur dan

mengikuti perkembangan jaman. Sebaliknya, manusia mampu mengatur dn

mentransendensikan diri serta terus mengembangkan apa yang telah

dilakukannya (Freire, 2002: 123). To exist berarti suatu cara hidup manusia

yang sanggup melakukan transformasi, produksi, membuat keputusan,

berkreasi dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri.

Manusia yang hanya sekedar hidup tidak akan dapat melakukan

refleksi dan mengetahui bahwa dirinya hidup di dunia. Berbeda dengan

seseorang subjek yang menghayati hidupnya dengan ‘kekuasaan’ (dominan),

Page 92: Skripsi Abdullah Rois1

92

dan yang mempertanyakan hubungannya dengan dunia. Kekuasaanya adalah

karya, sejarah, kebudayaan, nilai-dimana manusia menjalani pengembaraanya

dalam dialektika antara determinisme dan kebebasan.

Jika manusia tidak mengikuti perkembangan dunia dan ‘muncul’ ke

permukaan sebagaimana kesadaran dimaknai sebagai pengakuan (admiration)

atas dunia sebagai objek, maka manusia hanya akan menjadi makhluk yang

menyerah pada takdir (determinate being), dan manusia tidak mungkin dapat

berpikir secara bebas. Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya

mempunyai kemauan, yang mampu membebaskan dirinya. Semua ini

merupakan refleksi yang akan menghasilkan perubahan dunia, bukan sekedar

kesadaran semu. Oleh karena itu, kesadaran akan kenyataan yang ada dan

tindakan di dunia adalah konstituen yang tak terpisahkan dari transformasi

dengan pelaku manusia yang menjadi makhluk yang mempunyai hubungan

(beings of relations) (Freire, 2002: 124).

Hal dasar yang membedakan manusia dengan hewan adalah

kemampuan manusia untuk secara sadar ‘hidup di dalam dan dengan dunia’

(being in and with the world). Sementara hewan hanya hidup ‘di dalam dunia’,

manusia dapat hidup ‘bersama dengan dunia’ dalam arti dapat menjaga jarak

secara obyektif dengan dunia. Tanpa obyektifikasi (objectification), yang

termasuk mengobyektifikasi dirinya, manusia hanya hidup ‘di dalam dunia’

tanpa pengetahuan tentang dirinya dan dunia.

Hidup ‘bersama dengan dunia’ berarti, manusia dapat mentransformasi

dunia dan dirinya. Mentransformasi dunia menurut Freire, sama dengan

Page 93: Skripsi Abdullah Rois1

93

memanusiakannya (to humanize), atau “mengisi (impregnating) dunia dengan

kehadirannya yang sengaja dan berdaya cipta, menanamnya dengan karya

manusia…(Freire, 1999: 127)

Berdasarkan uraian diatas, konsep manusia menurut pandangan Freire

adalah humanisasi “menjadi manusia seutuhnya”. Freire mengartikan fitrah

manusia sebagai subjek yang berkehendak penuh, bebas, dan tidak terikat oleh

apapun. Bebas dalam pengertian ini adalah bahwa manusia berhak

mengembangkan potensi atau bakat yang ada pada dirinya sesuai dengan

kemampuannya. Proses dialogis merupakan media yang sangat penting bagi

manusia sebagai subjek untuk dapat menghormati subjektivitas dirinya dan

dunianya.

Manusia juga dikatakan sebagai makhluk yang menyejarah. manusia

adalah makhluk yang berbeda dengan binatang. Manusia memiliki kesadaran

akan tindakan dan dunia di mana mereka berada. Mereka bertindak sesuai

dengan arah yang ditujunya, menetapkan keputusan-keputusan bagi dirinya

sendiri dan bagi kaitannya dengan dunia serta sesama manusia lainnya, dan

mencampuri dunia dengan kehadirannya yang kreatif dengan cara

memperbarui dunia. Tidak seperti binatang, manusia tidak sekedar hidup,

tetapi juga mengada; dan keberadaanya itu menyejarah.

Page 94: Skripsi Abdullah Rois1

94

b. Konsep Konsientisasi Paulo Freire

1. Pengertian Konsientisasi

Bila melihat dari akar katanya, konsep dalam bahasa Inggris

diartikan dengan draft (kamus Indonesia-English), dan menurut istilah

konsep di maknai sebagai pemikiran umum atau ide, pendapat yang

diabstrakkan (Salim, 1993: 764). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia

(2007: 588), konsep diartikan sebagai rancangan atau ide yang

diabstrakkan dari peristiwa konkret. Sedangkan Konsientisasi (kesadaran)

berakar dari kata sadar, artinya tahu, mengerti, ingat, paham, serta terbuka

hati dan pikirannya untuk berbuat sesuai dengan kata hatinya. Sedangkan

secara terminologi kesadaran adalah keinsyafan akan perbuatannya

(Sujarwa, 2001: 115).

Dalam kamus Freirean, konsientisasi didefinisikan sebagai “proses

perkembangan seorang individu yang berubah dari kesadaran magis

menuju kesadaran naif dan akhirnya sampai pada kesadaran kritis”

(Smith, A. William, 2001: hal.xvii).

Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga berinteraksi dengan dunia di mana ia berada. Di dalam situasi keberadaannya tersebut, manusia harus memiliki kesadaran kritis yang diarahkan pada realitas sehingga terjadi suatu interaksi ketika manusia menanyai, menguji dan menjelajahi realitas tersebut. Hal yang paling bernilai bagi manusia adalah menjadi manusia seutuhnya yang dicapai melalui proses pembebasan, atau dalam istilah Freire disebut “konsientisasi” (Judha Semal, 2005: 145).

Dengan kata kunci “sadar”, manusia dapat melangkah lebih dari

sekadar ‘bebas dari’ (penindasan) namun meningkat dan melampaui

dirinya menjadi ‘bebas untuk’ (berkarya, memberi diri untuk sesama).

Page 95: Skripsi Abdullah Rois1

95

Konsientisasi merupakan istilah khas yang dicetuskan dan

dikembangkan oleh Freire sendiri. Menurut Freire, konsientisasi adalah

sebuah proses dialektis di mana kaum miskin dan tertindas makin lama

makin sadar akan situasi ketertindasannya dan kemudian berkehendak

untuk mengubah kondisinya. Proses dialektis yang dimaksud adalah aksi-

refleksi-aksi yang kemudian menjadi kesatuan praksis. Konsep ini

dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa realitas (social) yang ada, secara

historis bukan sesuatu yang jatuh dari langit (give) tetapi dibentuk

(constructe) oleh manusia (http://fpbn3.blogspot.com/2008/riset-dan-

konsientisasi- pendekatan.html)

Menurut Mu’arif dalam “Liberalisasi Pendidikan” mengatakan

bahwa konsientisasi merupakan suatu usaha untuk membebaskan manusia

dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu

menakutkan. Maksud dari gerakan penyadaran itu adalah agar manusia

bisa mengenal realitas sekaligus dirinya sendiri. Manusia bisa memahami

kondisi kehidupannya yang terbelakang itu dengan kritis. Minimal dengan

usaha penyadaran itu, manusia bisa memahami kondisi dirinya sendiri

serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang menyebabkannya

(Mu’arif, 2008: 79).

Freire dalam Murtiningsih mengemukakan bahwa konsientisasi

adalah proses di mana manusia mendapatkan kesadaran yang terus

semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidupnya

dan akan kemampuannya untuk mengubah realitas itu. Freire menerangkan

Page 96: Skripsi Abdullah Rois1

96

konsientisasi sebagai proses menjadi manusia yang lebih penuh atau suatu

proses perkembangan kesadaran melalui tiga tahap yang berbeda tapi

saling berhubungan, yaitu magis, naif dan kesadaran kritis (Murtiningsih,

2006: 63).

Dengan demikian, pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya

bisa dilakukan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang

benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya

(Freire, 2002: xvii). Freire tiba pada kesimpulan bahwa inti dari kesadaran

manusia adalah intensionalitas pengalaman akan realitas (keterlibatan

penuh dan sadar dalam suatu proses) (Freire, 1999: xxvi).

Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa pengertian konsientisasi

yang dimaksud penulis merupakan suatu usaha untuk menumbuhkan

kesadaran manusia akan relitas yang ada dalam dirinya sendiri maupun

dengan dunianya. Kesadaran diri di sini tidak sekedar berhenti pada tahap

refleksi, tetapi juga merembes sampai aksi nyata yang terus menerus yakni

berubah dari kesadaran magis menuju kesadaran naif dan akhirnya sampai

pada kesadaran kritis.

2. Gagasan dasar Konsientisasi dalam pendidikan

Seperti dikutip Michael W. Apple dkk., dalam Joy A. Palmer,

Freire menulis:

”Pendidikan untuk orang tertindas (adalah) pendidikan yang harus dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas (individu atau manusia secara keseluruhan) dalam perjuangan tanpa henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan ini membuat penindasan dan penyebabnya menjadi objek refleksi kaum

Page 97: Skripsi Abdullah Rois1

97

tertindas, dan dari refleksi itulah lahir pembebasan”. (Joy A. Palmer, 2003: 232),

Tujuan utama manusia sesungguhnya, menurut pandangan Freire,

ialah humanisasi yang ditempuh melalui proses pembebasan. Freire secara

eksplisit juga menyatakan bahwa tujuan akhir yang menjadi dasar

keberadaan manusia adalah untuk menjadi manusia. Manusia tidak sama

dengan binatang. Proses untuk menjadi manusia secara penuh hanya

mungkin apabila manusia berintegrasi dengan dunia (Murtiningsih, 2006:

55). Adalah kesadaran yang menentukan status eksistensi ini. Manusia

mampu menyadari waktu, keluar dari himpitan hari lalu, menemukan hari

ini, dan terus melangkah di masa depan. Dengan kesadaran manusia

bergerak aktif dan kreatif. Peran aktif dalam menghadapi kenyataan itulah

yang lantas mengahasilkan sejarah dan kebudayaan secara dinamis

(Murtiningsih, 2006: 67).

Freire dalam Assegaf dan Suyadi mengemukakan bahwa penindas

dan tertindas merupakan manifestasi dari dehumanisasi yang sejati.

Penindas didehumanisasikan oleh tindakan penindasannya sendiri.

Tindakannya tersebut juga dapat membutakan dirinya sehingga mampu

menghancurkan dirinya sendiri. Sementara itu, yang tertindas

didehumanisasikan oleh realitas eksistensial penindas atas dirinya dan

internalisasi bayang-bayang penindasnya. Freire mengklaim bahwa tugas

kemanusiaan kaum tertindas adalah membebaskan dirinya sendiri dan

penindas-penindasnya;

Page 98: Skripsi Abdullah Rois1

98

Only power that springs from the weakness of the oppressed will be sufficiently strong enough to free both. (Hanya kekuatan yang muncul dari kelemahan kaum tertindaslah, yang mampu dan cukup kuat untuk membebaskan keduanya sendiri dan penindasnya) (Assegaf-Suayadi, 2008: 148-149).

Konsientisasi mengemban amanah pembebasan, yang dengan

amanah itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru.

Pembebasan yang bermakna transformasi atas sebuah sistem realitas yang

saling terkait dan kompleks serta reformasi beberapa individu untuk

mereduksi konsekuensi dari pelakunya. Inti utama perbedaan paedagogis

antara konsientisasi dan bentuk pendidikan lainnya terletak pada

permasalahan yang diajukan dalam konsientisasi yang tidak memiliki

jawaban yang telah diketahui sebelumnya. Pendidikan tidak sekedar

mengajarkan ilmu pengetahuan social dalam pelajaran IPS, tetapi juga

mendidik supaya ilmu pengetahuan social tersebut dipahami dan dimaknai

serta direfleksikan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Konsientisasi

bukanlah tujuan sederhana yang harus dicapai, tetapi merupakan tujuan

puncak dari pendidikan untuk kaum tertindas (William A. Smith, 2008: 4-

5).

Konsientisasi bukanlah teknik atau transfer informasi, apalagi

untuk pelatihan ketrampilan, tetapi merupakan proses dialogis yang

mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan

masalah-masalah eksistensial mereka.. konsientisasi mengemban amanah

yang pembebabasan, yang dengan amanah itu berarti penciptaan norma,

aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Pembebasan yang bermakna

Page 99: Skripsi Abdullah Rois1

99

transformasi atas sebuah sistem realitas yang saling terkait dan kompleks

serta reformasi beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi negatif

dari para pelakunya (Abdurrachman Assegaf dan Suyadi, 2008: 147).

Freire dalam Assegaf mengatakan “As the oppressed, fighting to be human, takeaway the oppressor’s power to dominate and suppres, they restore to the oppressor’s the humanity they had lost in the exercise of oppression”. “Kaum tertindas berjuang mengembalikan kemanusiaan, mengambil alih kekuatan kaum penindas dalam mendominasi dan menindas. Mereka mengembalikan sisi kemanusiaan kaum penindas yang telah hilang, dalam tindakan penindasan mereka” (Assegaf dan Suyadi, 2008: 150).

Pada bagian lain Freire juga mengatakan sebagaimana dikutip

Assegaf bahwa konsientisasi juga merupakan proses dialektika antara aksi

dan refleksi. Hal yang diungkapkan Freire sebagai berikut:

Maka dari itu, pandangan dialektis menunjukkan kepada kita pentingnya menolak sebagai hal yang salah, misalnya pemahaman kesadaran sebagai refleks semata-mata objektivitas jasmani, tetapi pada waktu yang sama pentingnya menolak pemahaman tentang kesadaran yang akan memberikan kesadaran itu daya kuasa yang menentukan daya realitas konkret (Assegaf dan Suyadi, 2008: 151).

Selain itu, konsientisasi merupakan proses respons terhadap

kekuatan-kekuatan yang menghalangi transformasi realitas penindasan

melalui dialogis kritis. Bagi Freire, dialog secara esensial didefinisikan

sebagai kata yang disusun oleh refleksi dan aksi. Kata yang diucapkan

tanpa tindakan (atau maksud tindakan) adalah verbalisme, dan perkataan

tanpa refleksi merupakan aktivisme.

"There is no true word that is not at the same time a praxis. Thus, to speak a true word is to transform the word." "Mengungkapkan perkataan yang benar, dalam waktu yang bersamaan, dapat terefleksikan dalam dataran praksis. Jadi,

Page 100: Skripsi Abdullah Rois1

100

berbicara dengan kata-kata yang benar, dapat mengubah dunia." (Assegaf dan Suyadi, 2008: 152)

Keberadaan manusia tidak mungkin tanpa kata, juga tidak

berlangsung dalam kata-kata palsu, tetapi hanya dalam kata-kata yang

benar, dengan apa manusia mengubah dunianya. Mengada secara

manusiawi adalah menamai dunia, mengubahnya. Sekali dinamai, maka

dunia pada gilirannya akan tampil kembali di hadapan pemberi nama

sebagai sebuah permasalahan dan membutuhkan penaman baru. Manusia

tidak diciptakan dalam kebisuan, tetapi dalam kata, dalam karya, dalam

tindakan refleksi. Sementara mengucapkan kata yang benar – yakni karya,

praksis – adalah mengubah dunia, maka mengucapkan kata tersebut

bukanlah hak istimewa sejumlah kecil orang, tetapi hak setiap orang

(Freire, 2008: 76-77).

Paulo Freire seorang tokoh pendidikan menyatakan ada dua

pandangan dunia yang mempersepsikan manusia kepada dunianya.

Pandangan pertama melihat manusia sebagai objek, yang dapat dibentuk

dan disesuaikan. Pandangan lainnya melihat manusia sebagai subyek,

makhluk yang bebas dan mampu melampaui dunia.

Dalam konsep pertama manusia berdiam diri, kalaupun melakukan

tindakan hanya bersifat pasif atau patuh (taat) tanpa ada waktu untuk

merefleksikan diri berdasarkan perintah. Manusia akan tenggelam pada

dunianya karena pendidikan adalah satu jalan bagi peserta didik beradaptasi

(menyesuaikan diri dengan lingkungan). Pola pendidikan berdasarkan

pandangan pertama diterapkan untuk melanggengkan status quo (anti

Page 101: Skripsi Abdullah Rois1

101

perubahan) karena proses belajar adalah sebuah proses transfer pengetahuan

sehingga manusia hanya menampung pengetahuan tersebut atau lebih dikenal

dengan “gaya bank” (http://www.ahmadheryawan.com/).

Lebih jauh Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan

dalam hal ini hubungan guru-murid di semua tingkatan identik dengan

watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan

dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini

menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru

sebagai "penabung". Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa

ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan "gaya bank"

tersebut.

1. Guru mengajar, murid diajar.

2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.

3. Guru berpikir, murid dipikirkan.

4. Guru bercerita, murid mendengarkan.

5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.

6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.

7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan

gurunya.

8. Guru memilih bahan dan inti pelajaran, murid (tanpa diminta

pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.

Page 102: Skripsi Abdullah Rois1

102

9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan

kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan

murid.

10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.

Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire

menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan

secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk

dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai

proses penyadaran (konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan

proses kemanusiaan yang ekslusif (http://www.ahmadnajip.com).

Erich Fromm dalam Murtiningsih mengatakan bahwa pendidikan

yang memandang orang sebagai objek hanya akan menghasilkan sifat

manusia yang disebut necrophily (cinta benda mati), dan tidak

menumbuhkan sifat biophily (cinta kehidupan). Fromm juga mengatakan

bahwa orang yang dihinggapi necrophily hanya cinta segala sesuatu yang

tidak bertumbuh dan segala sesuatu bersifat mekanis. Padahal ciri khas

kehidupan manusia adalah pertumbuhan fungsional yang teratur

(Murtiningsih, 2006: 73).

Kepentingan sistem bank dalam pendidikan sesungguhnya terletak

pada bagaimana merubah kesadaran peserta didik. Bukan mengubah

keadaan yang membuat peserta didik tidak menyadari realitas yang

dihadapinya (Murtiningsih, 2006: 74). Jadi, sistem bank ini cenderung

melakukan dikotomi atas segala sesuatu, dengan selalu mengandaikan dua

Page 103: Skripsi Abdullah Rois1

103

tahap dalam tindakan sang pendidik. Dapat dikatakan bahwa sistem

pendidikn ini, dengan memitoskan realitas, terus berusaha menutupi fakta

yang menjelaskan cara manusia berinteraksi dalam dunia. Sistem ini

menolak dialog dan memperlakukan peserta didik sebagai objek

pembantu. Sistem bank dalam pendidikan menghalangi kreativitas dan

menjinakkan kesadaran yang tertuju pada dunia dengan jalan

mengisolasikan kesadaran dari dunia. (Murtiningsih, 2006: 7)

Dalam pandangan yang kedua, pendidikan diarahkan agar manusia

bisa berpikir untuk diri sendiri dan dapat berintegrasi di dunianya melalui

aksi dan refleksi. Cara pandang yang melihat manusia sebagai subjek,

pada gilirannya pandangan ini melahirkan pendidikan hadap masalah.

Gaya pendidikan hadap masalah bukan bertujuan membentuk manusia

yang hanya mampu beradaptasi akan tetapi manusia harus mampu

berintegrasi (menjadi kesatuan) dengan lingkungannya dan melakukan

perubahan (http://www.ahmadheryawan.com/).

Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang

ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia

sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-

masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan

realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas

dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya

ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian

didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk

Page 104: Skripsi Abdullah Rois1

104

berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan

budaya, ekonomi dan politik (Manggeng, 2005: 42)

Freire dalam Murtiningsih mengatakan bahwa sistem hadap

masalah dalam pendidikan berangkat dari asumsi tentang manusia sebagai

makhluk yang sadar dengan kesadaran yang tertuju pada dunia. Manusia

dipanggil menjadi makhluk yang sadar dan inilah yang disebut Freire

sebagai tujuan humanisasi. Sistem pendidikan ini tidak bermaksud

menyimpan—sebagaimana sistem pendidikan ala bank. Namun bermaksud

mengemukakan problem-problem manusia dalam kaitannya dengan dunia

eksternal. Metode pendidikan ini mensarikan ciri khas kesadaran yakni

“sadar akan” dan tidak saja ditujukan pada objek luar namun sekaligus

terarah ke dalam diri sendiri sebagai kesadaran “mengenai” kesadaran

(Murtiningsih, 2006: 82).

Freire dalam Murtiningsih juga mengatakan bahwa dialog adalah

unsur yang sangat fundamental. Dialog, demikian Freire, adalah

pertemuan antar-manusia, dengan perantaraan dunia, untuk membangun

martabat insani (Murtiningsih, 2006: 87).

Karena berdialog merupakan metode yang tepat untuk

mendapatkan pengetahuan, maka subjek harus memakai pendekatan

ilmiah dalam berdialektika dengan dunia sehingga dapat menjelaskan

realitas secara benar. Maka sesungguhnya mengetahui itu tidak sama

dengan mengingat atau mengoleksi sesuatu yang sebelumnya telah

diketahui dan yang sekarang terlupakan (Freire, 1999: 105).

Page 105: Skripsi Abdullah Rois1

105

Dialog selanjutnya menuntut adanya keyakinan yang mendalam

terhadap diri manusia untuk membuat dan membuat kembali, mencipta

dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia

seutuhnya. Keyakinan terhadap diri manusia adalah sebuah prasyarat a

priori bagi dialog; "manusia dialogis" percaya dengan orang lain bahkan

sebelum dia bertatap muka dengannya. "Manusia dialogis" bersifat kritis

dan tahu bahwa walaupun dalam diri manusia terdapat kekuatan untuk

mencipta dan mengubah, namun dalam sebuah situasi keterasingan yang

nyata dia mungkin saja salah dalam menggunakan kemampuan itu.

Bukannya merusak keyakinan terhadap manusia, tetapi kemungkinan itu

justru menyadarkannya sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi

(Freire, 2008: 1).

Freire dalam Assegaf-Suayadi juga mengaitkan hal ini dengan

harapan, dalam hal ini harapan yang memanusiakan manusia, dengan

mengatakan bahwa:

"The dehumanization resulting from an unjust order is not a cause for despair but for hope, leading to the incessant pursuit of the humanity denied by injustice. Hope, however, does not consist in crossing one's arms and waiting. As long as I fight, I am moved by hope; and if I fight with hope, then I can wait." "Dehumanissi yang dihasilkan oleh adanya aturan yang tidak adil, bukan penyebab keputusasaan tapi (justru) menimbulkan harapan yang membawa pada pencarian yang tiada henti tentang kemanusiaan, yang disangkal oleh adanya ketidakadilan. Bagaimanapun, harapan, tidak diperoleh hanya dengan berdiam diri dan menunggu. Selama berjuang, aku dibangkitkan oleh harapan, dan ketika aku berjuang dengan disertai harapan, maka aku dapat menunggu." (Assegaf dan Suyadi, 2008: 153)

Page 106: Skripsi Abdullah Rois1

106

Menurut analisis Freire, dialog yang penuh dengan harapan

merupakan tindakan revolusiaoner, sebagai pengetahuan empiris yang

bertemu dengan pengetahuan kritis. Demikianlah analisis Freire tentang

dialog. Disamping itu, Freire juga menegaskan bahwa dialog tidak boleh

didikotomikan antara aksi dan refleksi.

Kodifikasi menampilkan realitas yang ada termasuk individunya,

yang kemudian dianalisis menurut konteks di mana mereka hidup. Lebih

jauh Freire menegaskan bahwa kodifikasi telah mentransformasikan

pandangan hidup dari konteks kehidupan nyata dalam konteks yang

teoritis. Pengalaman eksistensial tersebut mencakup keseluruhan hidup

siswa, baik pada saat pembelajaran berlangsung maupun di luar

pembelajaran tersebut. Dalam proses dekodifikasi, representasi

pengalaman hidup eksistensial dan proses memahami pengalaman

sebelumnya, akan muncul keraguan dan kemudian akan menggantikan

atau mengubah pendapatnya dengan pengetahuan yang lebih kritis. Freire

mempertahankan model pendidikan progessif yang tidak terpisah dari

moralitas dan emosi. Freire dengan bersemangat mengungkapkan bahwa

dialog merupakan "radically necessary" bagi keberhasilan proses

penyadaran, humanisasi dan transformasi yang sejati (Assegaf dan Suyadi,

2008: 15).

Page 107: Skripsi Abdullah Rois1

107

Kesadaran Magis

Kesadaran Naif

Humanisasi

Kesadaran Kritis

Manusia Sebagai Subjek

Dialektik-Kritis

Kodifikasi

Sistem Realitas Sosial

Skema Konsep Konsientisasi

Skema di atas menunjukkan bahwa konsientisasi berangkat dari

asumsi yang paling asasi yakni sistem realitas sosial. Dari asumsi ini, akan

menjadikan manusia terlibat secara langsung dengan realitas dunianya.

Dalam keterlibatannya tersebut, manusia senantiasa berdialog secara kritis

dengan kehidupan nyata. Agar dialog berjalan kritis dan bermanfaat, Freire

mensyaratkan agar dialog berlandaskan pada kerendahan hati, cinta, dan

harapan. Pada sisi lain, proses dialogis subjek dengan realitas atau objek,

akan diperjelas oleh kodifikasi yang dilakukannya, yaitu representasi atas

realiatas konkret tersebut yang dianalisis guna menemukan pengetahuan

Page 108: Skripsi Abdullah Rois1

108

kritis. Pengetahuan kritis inilah yang memunculkan kesadaran

(konsientisasi) dalam tiga tahapan yakni magis, naif dan kritis. Ujung dari

kesadaran tersebut tidak lain adalah pengembangan sisi kemanusiaan

secara lengkap sehingga manusia menjadi manusia yang bebas dan

merdeka (Assegaf dan Suyadi, 2008: 157-158).

Freire mendeskripsikan konsientisasi sebagai proses untuk menjadi

manusia yang seutuhnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi

tiga fase; kesadaran magis, naif dan kritis. (A. Smith, 2008: 54). Untuk

lebih jelasnya, mengenai ketiga fase kesadaran manusia dalam skema

tersebut di atas, adalah sebagai berikut :

1. Kesadaran Magis

Mansour fakih dalam A. Smith mengatakan bahwa kesadaran

magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan

antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin

yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem

politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar

manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan

ketidakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar

tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses

belajar mengajar tersebut dalam prepektif Freirean disebut sebagai

pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan

kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap satu

permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘kebenaran’

Page 109: Skripsi Abdullah Rois1

109

dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari

setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat (William A. Smith, 2008: xvii).

Freire dalam A. Smith mengatakan:

Orang-orang yang masih dalam tingkat kesadaran pertama terperangkap dalam "mitos inferioritas alamiah". "Mereka mengetahui bahwa mereka melaku kan sesuatu, apa yang tidak diketahui adalah tindakan untuk mengubah." (William A. Smith, 2008: 60).

Bagi-penindas, jika hendak mendehumanisasikan mereka, di

sinilah pentingnya mencegah orang-orang dari penamaan masalah-

masalah, sehingga mereka tetap terikat dengan penjelasan magis dan

membatasi kegiatan-kegiatannya sekedar menerima secara pasif. Bukannya

melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka justru

menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.

Freire juga mengatakan dalam A. Smith bahwa:

Kesadaran magis dicirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan…(William A. Smith, 2008: 61).

Kesadaran magis atau yang lebih dikenal sebagai kesadaran semi

intransitif, adalah kesadaran di mana, pada diri kaum tertindas, terjebak

oleh mitos inferioritas alam atau merasa rendah diri. Manusia mengetahui

bahwa mereka melakukan sesuatu, tetapi perlakuannya tersebut tidaklah

berusaha untuk melakukan perubahan, justru bersifat penyesuaian.

Sehingga mereka tetap terbelenggu dengan penjelasan magis dan mem-

batasi kegiatan-kegiatannya sekadar menerima secara pasrah. Tahap ini

mempunyai ciri-ciri sifat fatalisme yang mengarahkan orang untuk

Page 110: Skripsi Abdullah Rois1

110

menyerah begitu saja kepada ketidakmungkinan melawan kenyataan yang

menindas. Manusia dalam kesadaran ini juga tidak dapat mengetahui

pelbagai perubahan yang terjadi pada diri orang lain. Yang mereka ketahui

hanya sebatas pengertian kalau mereka melakukan suatu tindakan. Freire

mengatakan: "Kesadaran magis dicirikan dengan fatalisme, yang menye-

babkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan

untuk melawan kekuasaan (Assegaf dan Suyadi, 2008: 158)." Kesadaran

magis ini mempunyai tiga aspek, yaitu:

a). Aspek Penamaan

Pada aspek ini kesadaran manusia berada pada dua tingkat

tanggapan, terutama kesadaran dalam hal permasalahan-permasalahan

yang paling dehumanisasi dalam kehidupannya. Dua tingkat tanggapan

tersebut dapat diartikan sebagai ciri-ciri dari aspek penamaan dalam

kesadaran magis. Kesadaran magis dalam konteks ini diekspresikannya

dalam bentuk penolakan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan

permasalahan mempertahankan hidup. Pada tingkat penolakan terhadap

permasalahan, manusia jelas-jelas menolak bahwa mereka mempunyai

masalah. Tetapi pada tingkatan yang kedua manusia mulai merasakan

bahwa mereka mempunyai masalah, tetapi masalah-masalah tersebut

dianggapnya sebagai rutinitas dalam proses mempertahankan hidup secara

biologis (Assegaf dan Suyadi, 2008: 158-159).

Hal senada juga diungkapkan oleh A. Smith. Dua tingkat

tanggapan dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri dari aspek penamaan

Page 111: Skripsi Abdullah Rois1

111

dalam kesadaran logis, yakni penolakan terhadap masalah dan masalah-

masalah mempertahankan hidup. Pada tingkat penolakan terhadap

masalah, orang-orang jelas-jelas menolak bahwa mereka memiliki

masalah, atau mereka menghindari masalah dengan cara meletakkan

masalah di waktu atau tempat lain (William A. Smith, 2008: 61-62).

Pada tingkat penamaan yang kedua, individu-individu dapat

berkata bahwa mereka memiliki masalah, tetapi masalah-masalah

tersebut didefinisikan dalam pengertian bertahan hidup secara fisik

atau biologis.

Sebagaimana ungkapan Freire:

"Manusia dalam kesadaran semi-intransitif tidak dapat memahami masalah-masalah yang berada di luar lingkungan kebutuhan biologis. Minat mereka semata-mata tertuju pada seputar kelangsungan hidup, dan mereka tidak mempunyai pengertian tentang sisi kehidupan yang berada pada dataran sejarah." (Murtiningsih, 2006: 63)

b). Aspek Berpikir

Kesadaran magis ini ditandai dengan dua orirentasi dasar, yakni

menyerahkan fakta-fakta kepada penguasa untuk menjelaskan mengapa

segalanya seperti ini dan pandangan sederhana tentang hubungan kauslitas.

Freire mengatakan:

Kesadaran magis ... menangkap fakta-fakta dan kemudian menyerahkannya kepada penguasa yang akan mengendalikan kesadaran mereka dan harus dipatuhi (A. Smith, 2008: 63). Orang-orang tidak bisa membedakan antara persepsi mereka atas objek-objek dari tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungannya, sehingga mereka terjatuh pada penjelasan magis karena mereka tidak dapat menangkap kausalitas yang sebenarnya (A. Smith, 2008: 63).

Page 112: Skripsi Abdullah Rois1

112

Aspek berpikir pada kesadaran magis ini juga mempunyai dua

tingkat tanggapan, yakni menyerahkan pelbagai permasalahan kepada

penguasa dan pandangan yang sangat sederhana terhadap hubungan

kausalitas. Segala permasalahan dimintakan penjelasannya kepada

penguasa seputar mengapa segalanya jadi seperti ini. Adapun pan-

dangannya yang sangat sederhana terhadap kausalitas, karena mereka tidak

mampu memahami kondisi mereka yang problematis, dan justru sekadar

mengumpulkan fakta-fakta. Tuhan, nasib, keberuntungan, dan waktu,

semuanya berperan. Di sinilah pentingnya untuk membedakan antara

ketergantungan fatalistik pada penguasa dan kepercayaan yang genuine

pada eksistensi seorang penguasa yang memiliki kekuatan spiritual besar

dan dipandang kritis (Assegaf dan Suyadi, 2008: 159). Freire mengatakan

dalam kutipan Smith: Orang-orang tidak bisa membedakan antara

persepsi mereka atas objek-objek dari tantangan yang ditimbulkan oleh

lingkungannya, sehingga mereka terjatuh pada penjelasan magis karena

mereka tidak dapat menangkap kausalitas yang sebenarnya (William A.

Smith, 2008: 64).

c). Aspek Aksi

Setelah manusia menolak bahwa mereka mempunyai masalah,

kemudian mendefinisikannya secara eksklusif bahwa mereka mengalami

kesulitan untuk mempertahankan hidupnya, dan mengetahui bahwa

mereka bergantung pada Tuhan, alam, dan penindas. Kemudian,

tindakan logis yang mereka lakukan adalah penarikan diri untuk menjauh

Page 113: Skripsi Abdullah Rois1

113

dari keadaan, menyesuaikan dengan kehidupan yang ada, dan menunggu

segalanya berubah dengan sendirinya (Assegaf dan Suyadi, 2008: 160).

2. Kesadaran Naif

Mansour fakih dalam A. Smith mengatakan bahwa keadaan yang

dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia

menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah

etika, kreativitas, ‘need for achevement’ dianggap sebagai penentu

perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat

miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni

mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya

‘membangunan’ dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’

adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan.

Pendidikan dalam kontek ini juga tidak mempertanyakan sistem dan

struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar,

merupakan faktor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan.

Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar

murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut

(William A. Smith, 2008: xvii).

Perubahan dari kesadaran magis ke kesadaran naif adalah perubahan

dari menyesuaikan diri dengan fakta-fakta kehidupan yang tak terelakkan

guna memperbarui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan

individu-individu dalam sebuah sistem yang pada dasarnya keras.

Kontradiksi yang dihadapi oleh individu yang naif ini terjadi antara

Page 114: Skripsi Abdullah Rois1

114

sistem ideal yang seharusnya berjalan, dan pelanggaran terhadap sistem

tersebut oleh orang-orang jahat dan bodoh. Jika mereka dapat

"memperbarui" perilakunya, maka sistem tersebut akan berjalan dengan

baik.

Freire melukiskan sikap naif dan romantik tersebut dengan kata-kata

sebagai berikut:

Kesadaran transitif... ditandai dengan penyederhanaan masalah …penjelasan yang fantastis ... dan argumentasi yang rapuh (A. Smith, 2008: 69).

Pergeseran kesadaran magis ke kesadaran naif adalah perubahan

dari memyesuaikan diri dengan realitas kepada perubahan untuk mem-

perbarui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan individu--

individu dalam sebuah sistem. Dalam perjalanannya, perubahan tersebut

menemui kontradiksi yang kuat antara sistem ideal yang seharusnya

berjalan, dengan sistem yang dilanggar oleh orang-orang yang jahat dan

bodoh. Kesadaran ini dicirikan oleh sikap menyederhanakan masalah

secara berlebihan karena ketakutan nostalgia masa lalu. Berkaitan dengan

hal ini, Freire mengatakan:

"Keadaan kesadaran transitif...dicirikan dengan terlalu menyederhanakan permasalahan...penjelasan yang seadanya... dan alasan yang tidak kuat" (Murtiningsih, 2006: 64).

Orang-orang menghabiskan waktu secara bersama-sama untuk

mencari kesenangan bersama dan lari dari masalah-masalah keseharian.

Mereka minum-minum bersama dan berbincang-bincang tentang masa

lampau yang lebih baik atau keputusasaan mereka terhadap keadaan

Page 115: Skripsi Abdullah Rois1

115

sekarang. Ketika mereka berbicara tentang apa yang seharusnya

dilakukan, mereka selalu mengacu pada apa yang seharusnya dilakukan

orang lain, atau apa yang harus mereka lakukan untuk memperbarui diri

mereka sendiri atau penindas secara individual yang melanggar norma-

norma yang berlaku dalam sistem yang sedang berjalan. Kehidupan yang

lebih baik berarti melanggengkan status quo; hari esok yang lebih baik

hanya berarti penyempurnaan norma-norma yang berlaku saat ini.

Bagi pemikir naif, yang penting adalah akomodasi terhadap keadaan sekarang yang normal (A. Smith, 2008: 70).

Manusia menghabiskan waktu untuk mencari kebahagiaan bersama

dan lari dari masalah-masalah keseharian yang menimpa mereka. Mereka

selalu membicarakan masa lalu yang selalu lebih baik daripada masa

sekarang dan mereka berputus asa untuk memperbaikinya. Ketika mereka

berbicara tentang apa yang seharusnya mereka lakukan, mereka justru

mengacu pada hal-hal yang dilakukan oleh orang lain (Assegaf dan

Suyadi, 2008: 160). Kesadaran ini mencakup tiga aspek pula, yaitu:

a). Aspek Penamaan

Orang yang naif memandang bahwa sistem yang ideal (hukum,

pemerintahan, polisi) adalah sumber norma; contohnya, para pendeta boleh

memungut uang penghapusan dosa, tetapi mereka harus mengenakan

jubah terbaiknya dan menyelenggarakan upacara pembaptisan sebaik-

baiknya. Kemudian permasalahan muncul ketika ada penyimpangan

terhadap idealitas norma tersebut. Norma yang absah adalah milik kaum

tertindas dan bisa diarahkan ke dalam atau keluar. Pelanggaran ke arah

Page 116: Skripsi Abdullah Rois1

116

dalam berpusat pada insiden-insiden di mana kaum tertindas melihat

dirinya sebagai sumber masalah, kekotoran, kebiasaan, atas perilaku

mereka. Kaum tertindas menyalahkan dirinya sendiri karena tidak seperti

penindas, atau tidak bisa memenuhi keinginan penindas. Sedangkan

pelanggaran ke arah luar berpusat pada individu atau kelompok dari

kelas penindas yang mengambil keuntungan dari peran dan perilaku

mereka yang melanggar peraturan di dalam sistem yang paternalistik.

Permasalahan dalam kesadaran ini hanya menunjuk individu dan

kelompok, tetapi tidak pernah menunjuk pada sistem, interelasi

antarindividu yang dipaksa oleh harapan dan norma (Assegaf-Suaydi,

2008: 161).

b). Aspek Berpikir

Pola berpikir secara logis-empiris terjadi setelah proses

penamaan. Manusia secara simplistis menyalahkan dirinya sendiri atau

orang lain yang termasuk kelompok tertindas. Cara lain untuk menyalah-

kan diri sendiri adalah dengan sikap menyalahkan nenek moyang

mereka yang dituduh sebagai keluarga yang tidak berbuat apa pun untuk

mereka, mereka menentang akar-akar kultural dan konsekuensinya juga

menentang diri sendiri dengan tanpa dasar. Bagi Freire, proses semacam

ini disebutnya sebagai "memberi makanan kepada benalu penindas".

Oleh karena itu, individu-individu akan selalu melanggengkan ideologi dan

keyakinan penindas. Kaum tertindas men ginternalisasikan kepercayaan-

kepcrcayaan atau mitos-mitos tersebut dan menjadikannya sebagai milik

Page 117: Skripsi Abdullah Rois1

117

sendiri. Hal ini menunjukkan sebuah proses yang aktif, upaya

sengaja, yang bertentangan dengan penerimaan pasif yang

disebutkan sebagai bagian dari kesadaran magis. Jika kaum tertindas

menyalahkan diri sendiri, mereka pertama-tama bisa menerima

penjelasan penindasnya mengenai keadaannya yang sekarang ini terjadi

(Assegaf-Suaydi, 2008: 161-162).

Menurut A. Smith mengatakan bahwa orang-orang tertindas

dalam kesadaran naif berpendapat bahwa ada sesuatu yang salah.

Mereka dapat mengidentifikasi sejumlah ketidakadilan dan

mengaitkannya dengan kisah panjang bagaimana mereka dieksploitasi.

Akan tetapi, mereka belum bisa melampaui batas dari sekedar

menyalahkan individu-individu. Mereka gagal melihat bahwa kekuatan-

kekuatan yang besar dalam sebuah sistem memaksa kaum tertindas

sekaligus penindas. Mereka secara naif, romantis, dan nostalgis berasumsi

bahwa individu-individu pada dasarnya adalah agen-agen bebas dan

independen dari sistem sosio-ekonomi di mana mereka hidup (William

A. Smith, 2008: 76).

c). Aspek Aksi

Tindakan-tindakan individual pada aspek ini, berkaitan erat

dengan aspek lainnya di mana meraka memahami keadaan. Jika

mereka merasa bersalah atau kawan-kawannya yang salah, mereka

akan mengubah tindakannya karena merasa salah juga. Dan mereka

akan meniru penindasnya, walaupun ia salah. Pendidikan menjadi lebih

Page 118: Skripsi Abdullah Rois1

118

signifikan sebagai cara untuk menjerumuskan kaum tertindas ke dalam

sistem penindas. Mereka akan memakai pakaian yang berbeda dengan

kawannya yang dipandang salah tadi dan berusaha agar tampak

seperti penindas secara fisik, serta meniru kebiasaan-kebiasaan

penindas.

Freire mengatakan: ".... mereka hidup dalam dualitas di mana menjadi sama dengan menyerupai, dan menyerupai sama berarti menyerupai penindas..." (A. Smith, 2008: 77).

3. Kesadaran Kritis

Pada tahap terakhir, yakni kesadaran transitif kritis, perubahan

yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya

pembaruan atau penghancuran individu-individu tertentu. Proses

perubahan ini memiliki dua aspek: (1) penegasan diri dan penolakan

untuk menjadi "inang bagi benalu", serta (2) berusaha secara sadar

dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem

yang adil yang bisa mereka kuasai (Assegaf dan Suyadi, 2008: 162).

Sebagaimana ungkapan Freire berikut ini:

"Kesadaran transitif-kritis dicirikan oleh kedalaman menafsirkan atas masalah: dengan mengganti keterangan-keterangan magis dan prinsip-prinsip sebab-akibat: dengan menguji penemuan seseorang dan keterbukaan terhadap pembaharuan: dengan berusaha menghindari penyelewengan kita memahami masalah dan menghindari prasangka-prasangka saat menganalisisnya: dengan menolak pengalihan tanggung jawab: dengan menolak peran-peran pasif: dengan argumentasi yang kuat: dengan lebih mempraktikan dialog daripada polemik: dengan menerima hal haru karena pertimbangan ke depan bukan hanya karena sifat barunya dan dengan akal sehat tidak menolak sesuatu yang lama hanya karena lamanya: dengan menerima apa yang benar baik dari hal yang baru maupun yang lama."(Murtiningsih, 2006: 64-65)

Page 119: Skripsi Abdullah Rois1

119

Mansour fakih dalam A. Smith (2008: xvii) mengatakan bahwa

Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber

masalah. Pendekatan struktural menghindari ‘blaming the victims’ dan

lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem

sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan

masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk

mampu mengidentifikasi ‘ketidak adilan’ dalam sistem dan struktur yang

ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur

itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan

dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesematan agar

peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang

secara fundamental baru dan lebih baik. Kesadaran kritis ini juga

mempunyai tiga aspek, yaitu:

a). Penamaan

Orang-orang tertindas yang berubah ke kesadaran kritis

menyadari bahwa betapapun kerasnya usaha mereka, mereka tidak akan

mampu menyerupai penindasnva. Kebanggaan menghargai diri sendiri

yang semakin berkembang mendorong mereka untuk menolak penindas

sebagai sosok yang harus ditiru. Mereka menekankan pada

etnisitasnya sendiri, bukan karena mereka melawan penindasnya dan

sekadar ingin tampil beda semata, tetapi karena mereka ingin menjadi diri

mereka sendiri, yaitu sebagai manusia yang jujur dan unik terhadap

tradisi dan kebiasaan yang ada pada diri mereka sendiri. Di samping itu,

Page 120: Skripsi Abdullah Rois1

120

kesadaran kritis ini juga terfokus pada "sistem". Dalam kesadaran ini

peraturan, peristiwa, hubungan, dan prosedur tertentu dianggap sebagai

contoh dari ketidakadilan sistematis yang dilembagakan oleh penindas.

Perampasan, pembungkaman, dan penyimpangan bukanlah perkecualian,

tetapi kesengajaan yang direncanakan secara sistemik. Konsekuensi-

konsekuensi dari penindasan tersebut tidak hanya terjadi dalam satu

waktu, satu tempat, dan menimpa seorang individu, tetapi berlangsung

dalam jangka waktu yang lama, menyebar luas, dan menimpa banyak

orang bahkan suku. Kekejaman dan penghinaan yang dilakukan penindas

tidak hanya ditujukan pada seorang individu, tetapi dijadikan kebijakan,

norma, prosedur, dan hukum yang harus dipatuhi setiap orang, (mengapa

menyalahkan A padahal yang salah adalah kapitalisme, contohnya)

(Assegaf dan Suyadi, 2008: 163-164).

b). Aspek Berpikir

Kemampuan dalam mendefinisikan masalah sebagai kesalahan

sistem dan bukan kesalahan seorang individu menjadikan individu-individu

kaum tertindas paham tentang dua hal: (1) bagaimana mereka harus kerja

sama untuk bekerja secara sistematis, (2) bagaimana penindas melakukan

cara kerja ini. Mereka mengetahui bahwa tindakan mereka selama ini

berarti "memberi makan benalu". Penindas tidak lagi sekadar kebal

terhadap kritik, tetapi mereka telah menjadi laki-laki dan perempuan awam

yang memiliki kelemahan dan kesalahan. Pandangan kaum tertindas

terhadap penindasnya menjadi lebih realistis, demikian juga terhadap

Page 121: Skripsi Abdullah Rois1

121

diri sendiri dan kelompok mereka. Sekarang kaum tertindas mengetahui

bahwa diri dan kelompoknya bukan saja baik tapi juga kuat. Mereka serta-

merta menolak dengan gagah berani terhadap kekerasan horizontal dan

penghakiman semaunya sendiri atau norrna yang dibuatnya sendiri secara

sepihak. Dari kehidupan yang menindas tersebut, mereka memahami

adanya tujuan dan seperangkat pengetahuan. Mereka sepenuhnya menolak

ideologi penindas, termasuk perilaku dan kepercayaannya secara total.

Berpikir pada tahap kesadaran kritis, berarti mampu secara jelas

mengartikulasikan kontradiksi-kontradiksi antara tindakan mereka sendiri

dan tujuan pembebasannya. Hal ini bisa menyebabkan sikap menyalahkan

diri sendiri berubah menjadi penyadaran akan kelemahan dan

kekurangan diri secara realistis, dan akhirnya menyadari bahwa

sistemlah yang salah.

Pada tahap kedua kesadaran kritis, individu tertindas mengge-

neralisasi sistem yang menindas ke sistem lain yang menindasnya.

Bahkan mereka bukan hanya memahami bagaimana pendeta

mendapatkan keuntungan dari mereka, tetapi mereka juga memahami

hubungan antara sistem perbankan yang menolak memberikan pinjaman

bagi individu yang lemah, miskin dan tidak memiliki modal serta sistem

keagamaan yang menuntut orang-orang kaya pada tiap tahunnya untuk

membelanjakan semua hartanya untuk menyelenggarakan pesta bagi

seluruh masyarakat, misalnya. Berkaitan dengan hal tersebut Freire

menyatakan: "Kesadaran kritis menganggap semua fakta sebagaimana

Page 122: Skripsi Abdullah Rois1

122

adanva secara empiris dalam korelasi-korelasi kausalitas dan

lingkungan..." (William A. Smith, 2008: 84-86).

c). Aspek Aksi

Aksi-aksi kaum tertindas pada kesadaran kritis ini, akan menuju

pada dua arah, yakni aktualisasi diri dan mengubah sistem. Mereka akan

mencari model-model peran baru dan pantang untuk sekadar meniru. Paling

tidak, mencari model orang-orang yang tidak fanatik atau penindas

merupakan indikasi yang baik atas kegiatan kritis. Kepercayaan pada

kawan ditunjukkan pada sikap menyandarkan pada belajar kelompok

secara dialogis. Mereka memiliki agresivitas yang tinggi dan selalu

diarahkan untuk menentang penindas atau sistem yang menindas. Di

samping itu, mereka juga memburu informasi melalui membaca,

berdiskusi, bertanya, dan melakukan penelitian untuk menemukan

perspektif baru kemudian diuji coba serta direvisi sesuai dengan hasil dari

perspektif yang mereka temukan sendiri. Refleksi dan aksi menjadi

interdependen, sebuah lingkaran berpikir analitis dan aksi konstan yang

radikal dan dirancang untuk meningkatkan akurasi pemahaman. Proses ini

oleh Freire disebut sebagai prakis yang berlawanan dengan retorika dan

hipotesis yang dianggapnya sebagai verbalisme naif, atau dengan aksi yang

terisolasi yang disebutnya sebagai aktivisme naif. Ciri lain dari kesadaran

ini adalah keberanian kaum tertindas untuk mengambil risiko dan tidak

kenal takut akan tantangan yang akan dihadapi. Mereka lebih berani dalam

Page 123: Skripsi Abdullah Rois1

123

mengadakan perubahan daripada tertindas karena status quo yang berati

menjadi objek perubahan (A. Smith, 2008: 87-88).

Dengan demikian proses konsientisasi sangat berkaitan erat

dengan keadaan kultural yang terjadi dengan membuka realitas yang

membelenggu manusia dalam keterasingannya. Konsientisasi mencermin-

kan kebangkitan kesadaran secara sempurna. Pada tahap-tahap kesadaran

itulah manusia mampu melontarkan kritik terhadap realitasnya sendiri

secara sistemik dan melakukan praksis terhadapnya. Jika manusia mampu

mencapai tahapan terakhir yakni kesadaran transitif-kritis ini, maka

manusia akan berhasil membebaskan dirinya dari belenggu keterasingan

yang berujunng pada penindasan tersebut. Oleh karena itu, pembebasan

yang dialami kaum tertindas ini adalah pembebasan dari kesadaran naif

menuju kesadaran kritis. Perubahan kesadaran tersebut yang akan

menumbuhkan kekuatan untuk mengadakan perombakan sistem realitas

diri yang statis, manusia hanya mampu beradaptasi dengan realitas yang

proporsional yakni realitas yang dinamis dan manusia terlibat secara

intens bersama dunianya (Assegaf dan Suyadi, 2008: 166). Namun untuk

bisa sampai pada tahap kesadaran ini, Freire mengingatkan:

"Langkah-langkah kritis dari kesadaran transitif menuju kesadaran kritis tidaklah terjadi secara otomatis. Untuk mencapai tingkat ini dibutuhkan program pendidikan yang bersifat aktif dan dialogis yang berhubungan dengan tanggung jawab sosial dan politik, dan disiapkan untuk menghindari bahaya masifikasi." (Murtiningsih, 2006: 65).

Konsientisasi adalah sebuah proses perkembangan dalam tiga fase

yang berbeda tetapi saling berhubungan, yakni fase kesadaran magis, naif

Page 124: Skripsi Abdullah Rois1

124

dan kritis. Orang-orang dalam fase kesadaran magis menyesuaikan

dengan kehidupan di mana mereka tinggal. Mereka mendefinisikan

masalah dengan mengaitkannya pada persoalan-persoalan cara bertahan

hidup dan merasa bahwa masalah-masalah ini disebabkan oleh ke-

kuasaan-kekuasaan yang di luar jangkauan mereka. Tindakan-tindakan

yang mereka lakukan terentang sejak dari menerima keadaan secara pasif

sampai menggulingkan kekuasaan-kekuasaan yang mereka anggap

membelenggu kehidupan mereka.

Demikianlah konsep konsientisasi yang digagas Paulo Freire. Uraian di

atas mendeskripsikan secara ringkas mengenai konsientisasi yang berangkat

dari asumsi yang paling asasi yakni sistem realitas sosial. Dari asumsi ini,

akan menjadikan manusia terlibat secara langsung dengan realitas dunianya.

Dalam keterlibatan tersebut, manusia senantiasa berdialog secara kritis dengan

realitas kehidupan nyata. Agar dialog berjalan kritis dan bermanfaat, Freire

mensyaratkan agar dialog berlandaskan pada kerendahan hati, cinta, dan

harapan. Pada sisi yang lain, proses dialogis subjek dengan realitas atau objek,

akan diperjelas oleh kodifikasi yang dilakukannya, yaitu representasi atas

realitas konkret tersebut yang kemudian dianalisis guna menemukan

pengetahuan kritis. Pengetahuan kritis inilah yang nantinya memunculkan

kesadaran (konsientisasi) dalam tiga tahapan yakni magis, naif dan kritis.

Ujung dari kesadaran tersebut tidak lain adalah pengembalian sisi

kemanusiaan secara lengkap sehingga menjadi manusia yang bebas dan

merdeka.

Page 125: Skripsi Abdullah Rois1

125

B. Konsep Konsientisasi Paulo Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam

a. Fitrah Manusia menurut Pandangan Islam

Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa konsep konsientisasi Paulo

Freire merupakan sebuah konsep yang berangkat dari asumsi yang paling

asasi yakni sistem realitas sosial. Dari asumsi ini, akan menjadikan manusia

terlibat secara langsung dengan realitas dunianya. Dalam keterlibatan tersebut,

manusia senantiasa berdialog secara kritis dengan realitas kehidupan nyata.

Agar dialog berjalan kritis dan bermanfaat, Freire mensyaratkan agar dialog

berlandaskan pada kerendahan hati, cinta, dan harapan. Pada sisi yang lain,

proses dialogis subjek dengan realitas atau objek, akan diperjelas oleh

kodifikasi yang dilakukannya, yaitu representasi atas realitas konkret tersebut

yang kemudian dianalisis guna menemukan pengetahuan kritis. Pengetahuan

kritis inilah yang nantinya memunculkan kesadaran (konsientisasi) dalam tiga

tahapan yakni magis, naif dan kritis. Ujung dari kesadaran tersebut tidak lain

adalah pengembalian sisi kemanusiaan secara lengkap sehingga menjadi

manusia yang bebas dan merdeka (Assegaf dan Suyadi, 2008: 157-158).

Bila melihat konsep konsientisasi di atas, orientasi akhir dari konsep

konsientisasi adalah humanisme. Ide dasar humanisme Paulo Freire ini

berangkat atas pengakuannya terhadap keberadaan fitrah manusia. Freire

mengartikan fitrah manusia sebagai subjek yang berkehendak penuh, bebas,

dan tidak terikat oleh apapun. Bebas dalam pengertian ini adalah bahwa

manusia bebas mengembangkan potensi atau bakat yang ada pada dirinya

Page 126: Skripsi Abdullah Rois1

126

sesuai dengan kemampuan dan batas-batasnya (Assegaf dan Suyadi, 2008:

14).

Dalam konsep pendidikan Islam telah dijelaskan, bahwa manusia

sebagai makhluk ciptaan Allah dibekali dengan berbagai potensi-potensi yang

terkandung di dalamnya, hal itu merupakan konsekuensi logis dari proses

penciptaan. Tanpa potensi yang diberikan, Tuhan tidak mungkin akan

mengamanatkan tugas ke-khalifah-an di muka bumi ini kepada manusia.

Dalam Islam, potensi manusia dikenal dengan istilah fitrah. Kata ini,

menurut Quraish Shihab, terambil dari kata al-fathr, yang berarti belahan,

penciptaan, dan kejadian. Dengan merujuk kepada al-Qur'an Surat ar-Rum:

30, lebih lanjut Quraish shihab mengatakan bahwa manusia sejak asal

kejadiannya membawa potensi-potensi beragama yang hanif dan juga

memiliki potensi untuk mengenal nama-nama (Quraish Shihab, 1999: 283-

284).

Beberapa tokoh Islam menyimpulkan kata fitrah dengan arti: suci,

tulus dan murni, agama Islam, keesaan Allah, tabiat asli manusia, potensi

untuk mengabdi, dan kesanggupan untuk menerima kebenaran (Ramayulis,

2004: 278). Dalam versi yang lain, Hasan langgulung, mengatakan bahwa

pada prinsipnya potensi-potensi manusia tersimpul dalam sifat-sifat Allah

(Asma' al-Husna), artinya jika Allah bersifat al-'ilm (Maha Mengetahui) maka

manuisa pun memiliki sifat tersebut, dan begitu seterusnya dengan sifat-sifat

yang lain (Hasan Langgulung, 1989: 262-263).

Page 127: Skripsi Abdullah Rois1

127

Kata fitrah dalam al-Qur'an sebagaimana dikemukakan oleh Abdul

Mujib dalam tabel berikut ini:

No Kata Tempat Ayat Objek Aspek Korelasi Ayat

Al-Rum: 30 ���ة 1Manusia secara

umum Psikis

Agama Hanif (Islam)

2 +���� Al-Hud: 51 Kata ganti

orang pertama tunggal

Psiko-pisik

Tidak meminta upah

dakwah mengajak

menyembah kepada Allah

3 +���� Yasin: 22 Kata ganti

orang pertama tunggal

Psiko-pisik

Tidak meminta upah

dakwah mengajak

menyembah kepada Allah

4 +���� Al-Zukhruf: 27 Kata ganti

orang pertama tunggal

Psiko-pisik

Beribadah atau

menyembah kepada Allah

5 ����� Thaha: 72 Kata ganti

orang pertama jama'

Psiko-pisik

Keimanan ahli sihir terhadap

kebenaran yang berasl dari Allah

Al-Isra': 51 ���آ� 6Kata ganti

orang pertama jama'

Psiko-pisik

Orang-orang musyrik yang tidak percaya

akan kebangkitan hari akhir.

Berdasarkan tabel di atas maka dapat dipahami sebagai berikut:

1. Objek kata fitrah pada tabel tersebut ditujukan pada tiga kategori, yaitu:

a. Manusia secara umum, seperti pada Q.S. al-Rum: 30. Objek manusia

secara umum ini disebabkan oleh kondisi ayat yang bersift deskriptif,

yaitu sekedar menggambarkan konsep manusia secara umum tanpa

Page 128: Skripsi Abdullah Rois1

128

dikaitkan dengan aktivitasnya. Konsep manusia disini dikorelasikan

dengan konsep agama yang hanif (Islam). Artinya, setiap

penggambaran konsep manusia tidak boleh lepas dari konsep agama

hanif, sebab di alam arwah ruh manusia telah meyakini dan

menyatakan danya agama hanif itu.

b. Kata ganti (dhamir) orang pertama, baik dalam bentuk tunggal

sepertipada Q.S. Hud: 15, Yasin: 22, al-Zukhruf: 27, maupun dalam

bentuk jamak seperti pada Q.S. Thaha: 72. Objek fitrah ini telah

dikaitkan dengan konsep diri pribadi, sehingga perbuatannya telah

nampak teraktualisasi melalui "al-ibadah". Konsep diri pribadi yang

dicerminkan dari term fitrah selalu berkonotasi baik, sebab hakikat diri

manusia selalu diasumsikan baik dan ia berkecenderungan menuju

arah kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itulah maka objek ayat ini

dikorelasikan dengan aktivitas dakwah dan ibadah, sebab keduanya

bukan berada di dalam dunia ide melainkan sudah berada di dunia

empirik yang menyangkut perbuatan nyata manusia.

c. Kata ganti orang kedua jamak, seperti pada Q.S. al-Isra: 51. Objek ini

terkait dengan diri orang lain. Konsep tentang pribadi orang lain tidak

hanya bersumber dari faktor internal manusia, tetapi juga dipengaruhi

oleh faktor eksternal. Karena pengaruh luar maka aktualisasi fitrah

tidak lagi mencerminkan watak atau natur aslinya, sehingga ayat ini

dikorelasikan dengan objek orang-orang musyrik.

Page 129: Skripsi Abdullah Rois1

129

2. Apabila sifat ayat itu sekedar menggambarkan kondisi fitrah maka struktur

manusia yang dimaksudkan adalah struktur psikis, sebab esensi fitrah

bersifat psikis, yaitu beragama yang hanif. Namun apabila sifat ayat

menggmbarkan aktualisasi fitrah maka struktur yang dimaksudkan adalah

psiko-pisik. Struktur psikis menggambarkan citra bathiniah, sedang

struktur pisik menggambarkan citra lahiriah.

3. Fitrah merupakan wujud abstrak. Sebagai wujud abstrak, ia membutuhkan

aktualisasi. Aktualisasi fitrah yang sesungguhnya adalah al-ibadah. Ibadah

merupakan aktualisasi fitrah manusia yang nyata. Ibadah dalam konteks

ini memiliki ruang lingkup yang luas, mencakup keseluruhan aktivitas

manusia dalam rangka mencari ridha Allah SWT (Abdul Mujib, 2002: 12-

13).

Menurut al-Farabi, dan Ibnu Ruysd menyatakan bahwa manusia

terdiri dari dua komponen, yaitu jasad dan jiwa.

1. Komponen jasad Menurut Al-Farabi, komponen ini berasal dari alam ciptaan, yang mempunyai bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan terdiri atas organ. Sedangkan menurut Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi.

2. Komponen jiwa Menurut Al-Farabi, komponen jiwa berasal dari alam perintah (alam kholiq) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia. hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan walaupun tidak menyamai Dzat-Nya. Sedangkan Ibnu Rusyd memandang jiwa sebagai kesempurnan awal bagi jasad alami yang organic. Kesempurnaan ini Karen jiwa dapat dibedakan dengan kesempurnaan lain yang merupakan pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan, sedangkan disebut organik karena jiwa menunjukkan jasad yang terdiri dari anggota-anggota (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 10-11).

Page 130: Skripsi Abdullah Rois1

130

Muhammad Abduh dalam Assegaf dan Suyadi mengartikan fitrah

sebagaimana tertera dalam hadits riwayat Abu Hurairah r.a.:

D�Dد ی�D! ,�8 ا����ة �<'Dا> یDEدا�- أو ی�C3ا�- أو ی��1A �- و�+ �

).روا> ا�=%� رى(روایF أو ی�� آ� �-

Artinya: "seseorang tidak dilahrkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya yang menjdikannya Yahudi, Nasrni, dan Majusi, dalam riwayat lain musyrik." (HR. Abu Hurairah).

Hadits tersebut menegaskan keterkaitan antara fitrah dengan

pendidikan. Fitrah dalam hal ini berarti potensi yang dimiliki oleh manusia

untuk menerima agama, iman dan tauhid serta perilaku suci. Kata "potensi"

bisa dimaknai sebagai kemampuan atau kesanggupan yang dapat

dikembangkan, bisa juga diartikan sebagai bakat manusia. jika demikian,

maka pendidikan hendaknya menjadi penopang bagi perkembangan fitrah

manusia, yakni mengembangkan agma, iman, dan perilaku suci serta

mengembangkan bakat atau potensi manusia. berdasarkan hal tersebut, potensi

manusia mencakup dua aspek, yaitu aspek religiositas (agama, iman dan

perilaku suci) dan aspek intelektualitas atau kecerdasan yang mencakup bakat

atau kemampuan (Assegaf dan Suyadi, 2008: 184-185).

Secara global, Jalaludin membagi potensi manusia menjadi empat,

yaitu:

c. Potensi Naluriyah (Hidayah al-Gharizziyah)

Potensi ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk

memelihara kebutuhan dan kelanjutan hidup manusia. dorongan tersebut

berupa: (1) insting untuk memelihara diri (makan, minum dan penyucian

Page 131: Skripsi Abdullah Rois1

131

tubuh; (2) nafsu amarah untuk bertahan atau menghindari dari gangguan

yang mengancam dirinya; (3) naluri seksual, untuk mengembangkan

jenisnya dari satu generasi ke generasi berikutnya.

d. Potensi Inderawi (Hidayah al-Hassiyat)

Adalah potensi yang Allah berikan kepada manusia dalam bentuk

kemampuan inderawi sebagai penyempurna hidayah pertama tadi.

Pancaindera ini merupakan jendela komunikasi untuk mengetahui

lingkungan kehidupan manusia dan dalam Al-qur'an banyak sekali

disebutkan fungsi indera manusia seperti pendengaran dan penglihatan:

"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak

mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,

penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur" (Q.S. an-Nahl: 78).

Potensi ini merupakan peluang manusia untuk mengenal sesuatu

diluar dirinya melalui alat indra yang dimilikinya. Potensi ini terdiri atas

indra penglihat, pencium, peraba, pendengar dan perasa.

e. Potensi Akal (Hidayal al-'Aqliyyat)

Potensi ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk

memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisis,

membandingkan, maupun membuat kesimpulan, antara benar dan salah.

Potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas.

Dengan potensi akal ini manusia mampu berpikir dan berkreasi

menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang

diberikan kepada manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Kemajuan

Page 132: Skripsi Abdullah Rois1

132

dunia ini sangat ditentukan oleh kemajuan fungsi akal manusia. Akal ini

pulalah yang membedakan secara tajam antara manusia dengan makhluk-

makhluk lainnya seperti halnya binatang, sehingga manusia disebut

sebagai "hayawanun natiqun" (binatang yang berakal).

f. Potensi keagamaan (Hidayah al-Diniyyat)

Yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang

berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan

aturan perbuatan yang tertulis dalam Al-qur'an dan Assunah (firman

Allah dan tradisi utusan-Nya). Keyakinan dan perbuatan atau iman dan

amal sholeh ini merupakan pondasi dasar dalam agama Islam untuk

mengarahkan potensi-potensi dari naluri, inderawi dan aqli. Sehingga

agama akan memberikan garis lurus bagi naluri, inderawi dan aqli atau

dengan kata lain antara naluri, inderawi, aqli dan agama ada dalam suatu

garis lurus yang tidak dapat terpisahkan, agar integritas manusia sebagai

manusia, sebagai khalifah Allah di muka bumi dapat berfungsi dengan

baik. Agama memberikan petunjuk tentang rentangan hidup manusia

secara diakronis, yaitu rentangan waktu kehidupan dari alam ruh, alam

rahim, alam dunia, alam kubur dan alam akherat. Agama pula yang

memberikan petunjuk bagaimana hati dan akal dapat secara simultan

berfungsi dengan baik dengan menggunakan fasilitas naluri dan inderawi.

Agama memberikan dorongan dan arahan sekaligus mengontrol fungsi-

fungsi hati dan akal. Agama memberikan tuntunan hati dan akal mampu

melihat kebenaran dan menggerakan perilaku ke hal-hal yang utama.

Page 133: Skripsi Abdullah Rois1

133

Agama merupakan kebutuhan fitrah manusia sesuai dengan fitrah

manusia itu sendiri. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada

Agama Allah, tetaplah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia

menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah Agama

yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Q.S. ar-

Rum: 30).

Potensi ini berupa dorongan untuk megabdi kepada sesuatu yang

dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi (Jalaludin, 2003: 34-36).

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat titik

temu antara konsep konsientisasi Paulo Freire dengan konsep pendidikan

Islam, yaitu pada orientasi kedua konsep tersebut yang berakhir pada

humanisasi. Sedangkan ide dasar dari konsep konsientisasi Paulo Freire dan

pendidikan Islam adalah mengenai keberadaan fitrah manusia. Jika dalam

pandangan Freire mengartikan fitrah manusia sebagai subjek yang

berkehendak penuh, bebas, dan tidak terikat apapun. Bebas dalam pengertian

Freire disini adalah bahwa manusia bebas mengembangkan potensi atau bakat

yang ada pada dirinya sesuai dengan kemampuan dan batas-batasnya. Dalam

konteks pendidikan Islam, fitrah diartikan sebagai potensi-potensi yang

dimiliki manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. dalam mengemban

amanah sebagai khlifatullah di muka bumi. Potensi-potensi tersebut meliputi;

potensi naluriyah, potensi inderawi, potensi akal, dan potensi keagamaan.

Kemudian potensi-potensi tersebut menuntut adanya pengembangan dari

Page 134: Skripsi Abdullah Rois1

134

dalam diri manusia, agar manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai 'abd

dan khalifah di muka bumi ini.

b. Paradigma Pendidikan Kritis

Menurut Juandi dalam artikelnya "Menuju Pendidikan Dialogis-Kritis"

mengartikan paradigma sebagai suatu cara memandang dunia (world view)

yang dipakai untuk menunjukan sistem pemikiran. Paradigma ini akan

menghasilkan sesuatu tindakan yang merefleksikan paradigma yang dianut.

Dunia pendidikan bila dibenturkan pada paradigma yang berkembang

sesungguhnya akan melahirkan sesutu pemahaman yang radikal tentang

pendidikan. Bagaimana pendidikan itu memandang dunia baik dunia

pendidikan sendiri maupun dunia dalam pengertian sosial kemasyarakatan

(http://www.ikamaliska.com).

Pengertian Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran atau

faham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan (Mustofa

Rembangy, 2008: 102). Dalam perspektif kritis, proses pendidikan merupakan

proses refleksi dan aksi (praksis) terhadap seluruh tatanan dan relasi sosial dari

sistem dan struktur sosial dan bagaimana peran dan cara kerjanya dalam

menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur yang

diskriminatif terhadap kaum tertindas dan kaum yang tersingkirkan seperti

kaum miskin, kaum buruh, para penyandang cacat atau mereka yang memiliki

kemampuan berbeda, kaum perempuan, anak-anak, serta bagaimana

melakukan proses dekonstruksi dan berbagai aksi praktis maupun strategi

Page 135: Skripsi Abdullah Rois1

135

menuju sistem sosial yang sensitif dan non diskriminatif (Mustofa Rembangy,

2008: 10).

Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem yang telah memiliki basis

nilai sebagai landasan epistemologi. Secara praktis, paradigma pendidikan

kritis dalam pendidikan Islam menghendaki pendidik-peserta didik untuk

secara bebas berargumentasi tanpa merasa dibatasi oleh kedudukan masing-

masing, dan hanya nilai atau etikalah yang menjembatani proses ini (Assegaf

dan Suyadi, 2008: 226). Dalam konteks pendidik dan peserta didik tersebut,

paradigma pendidikan kritis akan menjadi sebuah pendekatan humanistik-

tauhidik dalam proses pembelajaran yang membentuk manusia (pendidik-

peserta didik) menjadi diri yang memiliki independensi akal, dengan mengacu

pada nilai-nilai Islami, sehingga mampu mengembangkan dan mengamalkan

pengetahuannya secara praktis dengan dilandasi kesadarannya secara

bertanggung jawab (Assegaf dan Suyadi, 2008: 227).

Paradigma pendidikan kritis dalam pendidikan Islam lebih

menekankan pada optimalisasi penggunaan akal (sebagai salah satu potensi

yang dimiliki manusia) dalam mengkaji segala bentuk ciptaan-Nya (wahyu

dan alam). Ajaran Islam sangat menghargai akal sebagai anugerah Allah yang

terbesar bagi manusia (Assegaf dan Suyadi, 2008: 226). Islam mengakui

eksistensi akal untuk berpikir, dan itulah yang membedakannya dengan

makhluk lain, sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 42 :

Ÿω uρ (#θ Ý¡Î6ù=s? �Yys ø9 $# È≅ÏÜ≈t7ø9$$ Î/ (#θ ãΚçG õ3s? uρ ¨, ys ø9 $# öΝçFΡr&uρ tβθ çΗ s>÷è s? ∩⊆⊄∪

Page 136: Skripsi Abdullah Rois1

136

Artinya: "Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui." (Q.S. al-Baqarah: 42). (Depag RI, 1971: 16).

Firman Allah lagi dalam Q.S. al-'Ankabuut ayat 43:

š�ù=Ï? uρ ã≅≈sVøΒ F{ $# $yγ ç/ Î�ôØ nΣ Ä¨$ ¨Ζ=Ï9 ( $ tΒuρ !$ yγ è=É) ÷è tƒ āω Î) tβθ ßϑÎ=≈ yè ø9$# ∩⊆⊂∪

Artinya: "Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (Q.S. al-'Ankabuut: 43) (Depag RI, 1971: 634).

Firman Allah dalam Q.S. Muhammad ayat 24:

Ÿξ sùr& tβρã�−/y‰ tG tƒ šχ#u ö�à) ø9 $# ôΘ r& 4’ n? tã A>θ è= è% !$yγ ä9$x/ ø%r& ∩⊄⊆∪

Artinya: "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?" (Q.S. Muhmmad: 24) (Depag RI, 1971: 833). Firman Allah SWT. dalam Q.S. Yunus ayat 100:

$ tΒ uρ šχ%x. C§ø/ uΖÏ9 βr& š∅ ÏΒ ÷σè? āω Î) Èβ øŒÎ* Î/ «!$# 4 ã≅yè øgs† uρ š[ô_ Íh�9$# ’ n? tã šÏ%©!$#

Ÿω tβθ è= É)÷è tƒ ∩⊇⊃⊃∪

Artinya: "Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." (Q.S. Yunus: 100). (Depag RI, 1971: 322).

Senada dengan ayat di atas, Islam selalu mengajak manusia untuk

berpikir dan bernalar, agar tiap-tiap pribadi melihat kebenaran, bukan melihat

siapa yang mengatakan kebenaran itu. Begitu pula, mempelajari ilmu agama

yang merupakan perwujudan wahyu Tuhan, tidak dapat terlepas dari fungsi

'aql sebagaimana 'aql itu mempelajari ilmu kealaman untuk dapat

memahaminya (Assegaf dan Suyadi, 2008: 228).

Dalam pandangan Machfudin dalam Sunhaji, pendidikan merupakan

pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan

Page 137: Skripsi Abdullah Rois1

137

prosesnya harus berjalan dengan kebijakan “Learning Process Skill”

daripada “Learning Concept”. Pada pendekatan proses akan ditandai dengan

kurikukulum yang student centered, bukan teacher centered. Peran guru lebih

sebagai fasilitator, mediator, dinamisator, organisator, dan katalisator yang

bekerja keras untuk memberlakukan “dialog” sebagai ruh yang mendasari

hidupnya proses pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap “anti

dialog” di dalamnya. Sementara Mansour Fakih dalam Sunhaji juga

mengtakan, proses pendidikan ideal di atas memungkinkan munculnya sikap

kritis (prise conscience) pada peserta didik, di mana persepsi terhadap siswa

tidak lagi ia pandang sebagai “cawan” (yang pasif dan dituangi air ke

dalamnya), tetapi sebagai subjek yang belajar dan bersama-sama dengan

subjek yang mendidik untuk selalu berada dalam derap pencarian makna

sesuatu kebenaran. Paradigma pendidikan semacam ini sering disebut sebagai

pendidikan “produksi kesadaran kritis”. Lebih lanjut, hasil dari proses

pendidikan adalah kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran

kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan lebih merupakan pembebasan

manusia. Pendidikan merupakan sarana memproduksi kesadaran untuk

mengembalikan kemanusiaan manusia (http://insaniaku.files.wordpress.com).

Mansour Fakih dalam Sunhaji juga mengatakan, bahwa pendidikan

kritis merupakan media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat

dipisahkan. Pendidikan merupakan bagian dari proses transformasi sosial,

maka pendidikan kritis merupakan proses perjuangan polotik.

Page 138: Skripsi Abdullah Rois1

138

Melihat dasar filosofis dari pendidikan kritis di atas, maka selanjutnya

ada 3 (tiga) ciri pokok pendidikan kritis.

1. Belajar dari realitas atau pengalaman; yang dipelajari bukan ajaran (teori,

pendapat, kesimpulan, wejangan, nasihat, dan seterusnya) dari seseorang,

tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau

sekelompok orang yang terlibat di atas keadaan nyata tersebut. Akibatnya,

tidak ada otoritas pengetahuan seorang yang lebih tinggi dari lainnya.

Keabsahan pengetahuan seorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam

realitas tindakan/pengalaman langsung, bukan pada retorika atau

kepintaran omong-nya.

2. Tidak menggurui; karena itu tidak ada guru dan tidak ada murid yang

digurui, semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah

guru sekaligus murid pada saat yang bersamaan.

3. Dialogis; proses berlangsungnya belajar mengajar bersifat komunikasi

dalam berbagai bentuk kegiatan (diskusi, kelompok bermain, dan

sebagainya), dan media (peraga, grafik, audio-visual, dan sebagainya)

yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang

yang terlibat dalam proses pelatihan tersebut

(http://insaniaku.files.wordpress.com).

Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa paradigma

pendidikan kritis dalam pendidikan Islam mengacu pada pemberdayaan

potensi yang telah dimiliki oleh manusia. Akal merupakan salah satu dari

potensi yang dimiliki oleh manusia yang memegang peranan penting dalam

Page 139: Skripsi Abdullah Rois1

139

paradigma pendidikan kritis ini. Dengan akal, manusia mampu menemukan

kebenaran hakiki melalui proses berpikir (tafakkur). Paradigma pendidikan

kritis juga memberikan kebebasan yang sama kepada pendidik dan peserta

didik untuk menyampaikan gagasan dan pikirannya (proses dialogis), akan

tetapi dalam proses penyampaian tersebut harus memperhatikan nilai-nilai

etika yang ada.

c. Pendidikan Humanis

Pendidikan merupakan proses dekonstruksi yang memproduksi wacana

untuk membangkitkan kesadaran kritis kemanuisaan. Pendidikan identik

dengan proses pembebasan manusia. Pendirian ini berangkat dari asumsi

bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada telah mengalami

proses dehumanisasi. Istilah humanis merupakan kata sifat dari homo

(manusia). Secara istilah humaniora/humanis yang memiliki muatan

pengertian sebagai bahan pendidikan yang mecerminkan keutuhan manusia

dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi.

Pendidikan humanis tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi

mengajak untuk menghayati, menyelami, serta memahami berbagai bentuk

ekspresi ragam manusia. Oleh karena itu, dapat disebut tidak semata

menyentuh intelektual anak, tetapi lebih jauh adalah sisi kemanusiaannya itu

sendiri, baik dalam konteks individual maupun sosio-kultural. Dengan kata

lain, pendidikan humanis bertujuan untuk pengangkatan manusia muda ke

arah insani atau lebih tegas lagi “memanusiakan manusia muda”

(http://insaniaku.files.wordpress.com).

Page 140: Skripsi Abdullah Rois1

140

Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan

yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar

bagi semua orang; sehingga tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin,

tinggi dan rendahnya kedudukan sosial seorang siswa (Athiyah al-Abrasyi,

1993: 5). Islam tidak mengatakan kepada si miskin, kaum dijadikan untuk

menduduki tempat-tempat yang rendah sedang orang-orang kaya dijadikan

untuk menduduki tempat-tempat yang tinggi, seperti apa yang disuarakan di

Eropa sampai pada abad ke-19. Sebaliknya Islam senantiasa menyerukan:

Insan ini semua adalah sama ibarat gigi sisir, tidak ada kelebihan kecuali

dengan taqwa. Inilah demokrasi, keadilan dan persamaan di dalam Islam

(Athiyah al-Abrasyi, 1993: 9).

M. Rusli Karim dalam Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi mengatakan

bahwa pendidikan Islam sebagai manifestasi ajaran keislaman harus diacu

kearah pembebasan. Praktik pendidikan tidak mengenal diskriminasi apa pun,

termasuk di dalamnya hegemoni dan privillese pada kelompok manusia

tertentu (Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, 2004: 123). Di sana tidak boleh

terjadi pengultusan kebenaran dengan, misalnya, adanya pengotakan

superioritas guru/dosen dan inferioritas siswa/mahasiswa. Sebaliknya di sana

harus dibina terciptanya demokratisasi pendidikan yang disesuaikan dengan

kualifikasi professional pada masing-masing sivitas akademika yang ada.

Kemudian Asghar Ali Enginer sebagaimana dikutip Imam Tholkhah

dan Ahmad Barizi (2004: 123), menilai bahwa manusia pada dasarnya agen

yang bebas. Keikhlasan sejati tidak ada tanpa kemerdekaan dan kebebasan

Page 141: Skripsi Abdullah Rois1

141

berpikir dan berbuat. Artinya, kemerdekaan dan kebebasan merupakan

pernyataan asasi yang pertma dan terakhir dari nilai kemanusiaan.

Sebagaimana firman Allah SWT. Q.S. al-An'am ayat 164:

ö≅è% u�ö�xîr& «! $# Èöö/ r& $ |/ u‘ uθ èδ uρ �> u‘ Èe≅ä. &ó x« 4 Ÿω uρ Ü=Å¡õ3s? ‘≅ à2 C§ø/ tΡ āω Î) $ pκ ö�n=tæ 4 Ÿω uρ â‘Ì“s? ×ο u‘Η#uρ u‘ø—Íρ 3“t�÷z é& 4 §ΝèO 4’ n< Î) /ä3În/ u‘ ö/ä3ãè Å_ ó÷£∆ / ä3ã∞Îm7t⊥ ã‹sù $ yϑÎ/ öΝçFΖä. ϵŠ Ïù

tβθ à/ Î=tG øƒ rB ∩⊇∉⊆∪

Artinya: Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." (Q.S. al-An'am: 164) (Depag RI, 1971: 217).

Paradigma tauhid dalam konteks pendidikan Islam bukan saja

mengajarkan kemerdekaan dan kebebasan, melainkan bagaimana

membangunkan manusia dari belenggu-belenggu eksistensial ke arah

kesejatian di seluruh situasi dan kondisi di mana ia "berada". Manusia adalah

sama di hadapan Tuhan, yang membedakan adalah kualitas taqwa.

Sebagaimana Q.S. al-Hujurat ayat 13:

¨β Î) ö/ ä3tΒ t�ò2r& y‰Ψ Ïã «! $# öΝä39s) ø?r& 4 ¨βÎ) ©! $# îΛÎ=tã ×��Î7yz ∩⊇⊂∪

Artinya: "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. al-Hujurat: 13) (Depag RI, 1971: 874).

Sebagaimana dikutip Abd. Aziz, Omar Mohammad al-Toumy

Syaibany menjelaskan pandangan Islam terhadap manusia menjadi (delapan)

prinsip penting, yaitu:

Page 142: Skripsi Abdullah Rois1

142

1. Kepercayaan bahwa manusia itu makhluk yang termulia di dalam jagad

raya ini.

2. Kepercyaan bahwa manusia mempunyai tiga dimensi; badan, akal dan ruh.

3. kepercayaan akan kemuliaan manusia.

4. Kepercayaan bahwa manusia itu adlah hewn yang berpikir.

5. Kepercayaan bahwa manusia dalam perubahannya selalu terpengaruh oleh

factor-faktor warisan dan alam lingkungan.

6. Kepercayaan bahwa manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan.

7. Kepercayaan bahwa manusia mempunyai keluwesan sifat dan selalu

berubah.

8. Kepercayaan bahwa ada perbedaan perorangan di antara manusia. (Abd.

Aziz, 2009: 33).

Al-Abrasy dalam Assegaf dan Suyadi, memandang manusia itu

memiliki kebebasan (liberal), dan kebebasan ini merupakan bagian yang tak

terpisahkan dari khazanah intelektual Islam. Dikatannya:

"Ketika Islam datang, Islam membangkitkan akal manusia dari tidurnya, membebaskannya dari kekangan keterbatasan pemikiran orang-orang terdahulu serta keyakinan mereka, dan mendorongnya untuk bebas berpikir … dan menjadikannya sebagai manusia yang bebas berpendapat dan berpikir". (Assegaf dan Suyadi, 2008: 99)

Kebebasan menurut pandangan Islam bersifat asasi, karena memang

merupakan fitrah manusia dan merupakan hak asasi setiap manusia. Terbukti

Allah melarang manusia merampas hak kebebasan orang lain dan sebaliknya

manusia harus mampu menghargai kebebasan orang lain. Sampai dalam dalam

Page 143: Skripsi Abdullah Rois1

143

mengajak pada kebenaran pun seperti mengajak orang lain masuk Islam kita

dilarang untuk memaksanya (Achmadi, 1987: 63).

Berkaitan dengan itu, Muhammad Sayyid al-Wakil dalam analisis

sejarahnya mengatakan bahwa, sesungguhnya Islam pernah mendirikan

peradaban besar dan dunia tidak sanggup mendirikan peradaban besar yang

semisal dengannya. Karena Islam memberi kebebasan kepada akal untuk

berfikir dan berkreasi tidak menghambat para pemikir dan tidak membatasi

tema-tema kajian bagi para pengkaji (http://pdf-search-

engine.com/Liberalisasi Pendidikan Islam-html-).

Umat yang sudah berkualitas bebas menelaah dan mengkaji alam

semesta ini untuk memperkuat ketaqwaannya kepada Allah SWT. Bertalian

dengan itu, Iqbal mengatakan kebebasan adalah prasyarat kebaikan. Agama

Islam dalam keasliannya tidak memaksakan atau memperjuangkan suatu

sistem sosial politik yang ekslusif.

Kebebasan merupakan prasyarat kehidupan bagi umat yang

mendayagunakan akalnya dengan akal, fakta bisa diketahui, fenomena alam

bisa dikaji, masalah-maslah ilmiah dapat didiskusikan bahkan dengan akal

pula dapat mengetahui Tuhan semesta alam. Akan merupakan hikmah Allah

‘azza wajallah yang diberikan kepada hamba-Nya. Dengan akal rasional

itulah, yang dijadikan Allah sebagai pelayan-pelayan wahyu untuk memahami

dan memaknai ayat-ayat sekaligus diaktualisasikannya dalam realitas

kehidupan. Metode berfikir rasional dan filosofis melahirkan dinamika dan

sikap optimisme dalam hidup. Metode berfikir tersebut diterapkan oleh faham

Page 144: Skripsi Abdullah Rois1

144

Qadariyah yang menggambarkan kebebasan manusia dan perbuatan

(http://pdf-search-engine.com/Liberalisasi Pendidikan Islam-html-).

Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire, sebenarnya

telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam

menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan

sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan

ketidakadilan dalam segala aspeknya. Lebih lanjut, Hanif dengan mengutip

Engineer menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk

pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi

yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya

memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material

kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada

menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.

Lebih lanjut, Imam Hanafi memberikan penegasan yang lebih

substansial lagi. Menurutnya, Islam adalah agama pembebasan karena "Islam

memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan

kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan,

mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan

tertindas" (http://www.uinsuska.info).

߉ƒ Ì�çΡuρ βr& £ßϑ‾Ρ ’ n? tã šÏ% ©!$# (#θ à/ Ïè ôÒ çGó™$# †Îû ÇÚö‘F{$# öΝßγ n=yè øgwΥuρ Zπ£ϑÍ← r&

ãΝßγ n=yè ôftΡ uρ šÏOÍ‘≡ uθ ø9 $# ∩∈∪

Artinya: "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan

Page 145: Skripsi Abdullah Rois1

145

menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)". (Q.S. al-Qashash: 5). (Depag RI, 1971: 609).

Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa asal usul diturunkannya Islam

(dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu

ketertindasan dan ketidaksadaran.

Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah melakukan sebuah

gerakan pembebasan yang cukup revolusioner. Nabi Muhammad bukan saja

melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang selama berabad-

abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran perempuan

dalam berbagai sektor publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat) kepada setiap

Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah,

umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam

pandangan Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan

dengan nur (cahaya), artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu

terbebas dari kegelapan menuju cahaya keselamatan

(http://www.uinsuska.info).

Ilmu pengetahuan berasal dari kata ilmu dan pengetahuan. Dalam

pandangan James K. Feiblenan sebagaimana dikutip oleh Endang Saifuddin

Anshari dalam Abd. Aziz (2009: 103), mengatakan bahwa pengetahuan

(ma'rifah/knowledge) adalah hubungan antara objek dan subjek (relation

between object and subject). Dengan kata lain, pengetahuan adalah paham

suatu subjek terhadap objek yang dihapai. Subjek disini adalah manusia

sebagai kesatuan berbagai macam kesanggupan (akal, panca indra, dsb.) yang

digunakan untuk mengetahui sesuatu. Sebaliknya, objek disini adalah benda

Page 146: Skripsi Abdullah Rois1

146

atau hal yang diselidiki, yang merupakan realitas bagi manusia yang

menyelidiki.

Sementara Tim DEPAG RI sebagaimana dikutip Abd. Aziz,

mengemukakan pengertian ilmu dalam pandangan para ahli mempunyai

pengertian sebagai berikut:

1. Ralph Ross dan Firnest Van Den Haag dalam bukunya "The Fehric of

Society" menulis, "science is empirical, rasional, general, and cumulative

and it is all four at once." (Ilmu adalah sesuatu yang empiris, rasional,

umum, dan kumulatif, dan keempat-empatnya serempak.

2. Ashley Montagu dalam bukunya "The Culture Man" menyebutkan bahwa

"science is asistirnatized knowledge service from observation, study, and

experimentation carried on onder to determine the nature or principles of

what being studied." (Ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu

system yang berasl dari pengalaman, studi dan pengalaman untuk

menentukan hakikat dan prinsip tentang sesuatu yang sedang dipelajari.

3. Zakiah Daradjat, dkk. dalam merumuskan "Ilmu adalah seperangkat

rumusan pengembangan pengetahuan yang dilaksanakan secara obyektif,

sistematis, baik dengan pendekatan deduktif, amupun induktif, yang

dimanfaatkan untuk memperoleh keselamatan, kebahagiaan, dan

pengalaman manusia yang berasal dari Tuhan, dan disimpulkan oleh

manusia melalui hasil penemuan pemikiran dari pada ahli (Abd. Aziz,

2009: 103-104).

Page 147: Skripsi Abdullah Rois1

147

Dari beberapa definisi di atas, ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri

khusus, yaitu:

1. Objek ilmu pengetahuan adalah empiris, yaitu fakta-fakta empiris yang

dapat dialami langsung oleh manusia dengan menggunakan panca

indranya.

2. Ilmu pengetahuan mempunyai karakterstik tersendiri, yaitu mempunyai

sistemtika, hasil yang diperoleh besifat rasional dan obyektif, universal,

dan kumulatif.

3. Ilmu yang dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, studi, dan pemikiran,

baik melalui pendekatan deduktif, maupun pendekatan induktif atau

kedua-duanya.

4. Sumber dari segala ilmu adalah Tuhan, karena Dia yang menciptakannya.

5. Fungsi ilmu adalah untuk keselamatan, kebahagian, pengamanan manusia

dari segala sesuatu yang menyulitkan (Abd. Aziz, 2009: 104-105).

Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang

realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al-

Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran,

penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran.

Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Israa : 36:

Ÿω uρ ß#ø) s? $ tΒ }§øŠs9 y7s9 ϵÎ/ íΟù= Ïæ 4 ¨βÎ) yì ôϑ¡¡9 $# u�|Ç t7ø9$# uρ yŠ#xσ à/ ø9 $#uρ ‘≅ ä. y7Í×‾≈s9 'ρ é& tβ%x.

çµ÷Ψ tã Zωθ ä↔ó¡ tΒ ∩⊂∉∪

Artinya: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,

Page 148: Skripsi Abdullah Rois1

148

semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (Q.S. al-Isra: 36) (Depag RI, 1971: 429).

"Pengetahuan (‘ilm ) dalam pandangan Ibn Khaldul dalam Imam

Hanafi, merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat

"suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau

boleh merupakan appersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu".

Sementara Iqbal memberikan pandangan "Ilmu itu harus dinilai dengan

konkrit. Hanya kekuatan intelektual yang menguasai yang konkritlah yang

akan memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit"

(http://www.uinsuska.info/).

Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat

ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara

utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas

suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap

subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal

dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa

terukur kebenarannya.

Oleh karena, ilmu dalam Islam adalah sebagai kesadaran tentang

realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam

semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai

mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa

suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal

untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami

kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang

Page 149: Skripsi Abdullah Rois1

149

metarealitas, yakni suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk

mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi

tiada.

Kesadaran inilah yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk

penindasan di alam semesta. Sebuah kesadaran yang akan menghantarkan

manusia pada posisinya sebagai abd (hamba) sekaligus sebagai khalifah

(wakil Tuhan) di alam semesta ini (http://www.uinsuska.info/).

Ali Syari'ati dalam Suwito juga mengemukakan bahwa manusia yang

"menjadi", atau manusia yang berusaha "menjadi", memiliki tiga karakteristik

yang membedakannya dengan makhluk lain, yakni:

• Kesadaran diri (Self-Awarenes, Self Conciousness). Sifat ini menuntun

manusia untuk memilih dan kemudian menolongnya untuk mencipta

sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada di alam semesta.

• Kemauan bebas (Free to choice). Manusia adalah satu-satunya makhluk

yang bebas untuk memilih bagi dirinya sendiri.

• Kreativitas (daya cipta, creativitness). Manusia bukan hanya makhluk

pembuat alat, tapi ia pencipta dan pembuat barang-barang yang belum ada

di alam. (Suwito, 2004: 204).

Pendidikan Islam sebagai instrumen penting orientasi pembebasan

diharapkan mampu menyadarkan manusia ke arah eksistensial. Proses

pendidikan yang dijalankan bagaimana menciptakan manusia kritis, reflektis,

dan integratif. Manusia kritis adalah manusia cerdas di dalam mengidentifikasi

dan mencari solusi terbaik bagi problematika kehidupan yang ada. Manusia

Page 150: Skripsi Abdullah Rois1

150

reflektif adalah manusia cerdas di dalam membangun keikutsertaan

kerja/kinerja yang baik. Manusia integratif adalah manusia cerdas yang

mampu membangun relasi dengan seluruh elemen-elemen kehidupan secara

menyeluruh, baik dengan sesame maupun dengan lingkungan (Imam Tolkhah

dan Barizi, 2004: 123-124).

Al-qur'an secara tegas mengintruksikan sikap kritis terhadap segala hal

dan melarang taklid. Karena sikap taklid membuat orang tertutup menerima

kebenaran yang rasional. Allah SWT. secara tegas mewanti-wanti manusia di

dalam firman-Nya;

Ÿω uρ ß#ø)s? $ tΒ }§ øŠs9 y7s9 ϵÎ/ íΟù=Ïæ 4 ¨β Î) yì ôϑ¡¡9 $# u� |Çt7ø9 $#uρ yŠ# xσ à/ø9$#uρ ‘≅ ä. y7 Í×‾≈s9 'ρé& tβ%x.

çµ ÷Ψtã Zωθ ä↔ ó¡tΒ ∩⊂∉∪

Artinya: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (Q.S. al-Israa: 36) (Depag RI, 1971: 429).

Ayat di atas memberikan pengertian bahwa taklid adalah sesuatu yang

di "haramkan" di dalam Islam. Karena taklid bisa menafikan dan sekaligus

memiliki kecenderungan untuk melemparkan tanggung jawab kepada orang

lain (Imam Tolkhah dan Barizi, 2004: 24).

Adalah tugas pendidikan Islam untuk merekonstruksi sistem

pendidikan yang mengarah kepada dehumanisasi. Sistem pendidikan Islam

harus menjadi alternatif ke arah humanisasi pendidikan karena cita-cita ideal

Islam adalah tercapainya bentuk-bentuk dan aspek-aspek kemanusiaan secara

menyeluruh, baik lahir maupun batin. Islam sebagai abstract noun dari kata

Page 151: Skripsi Abdullah Rois1

151

aslama-yuslimu-islaman, dalam konteks pendidikan, berarti proses kontinuitas

keislaman dan kependidikan dengan mengapresiasi secara positif dan kritis

terhadap perkembangan dan kebutuhan zman. Sehingga dengan begitu Islam

sebagai agama yang sesuai dengan situasi dan kondisi (al-Islam shalih li kulli

zaman wa makan) tidak menjadi kering karena penetrasi global yang terus

berkembang (Imam Tolkhah dan Barizi, 2004: 125).

Lebih Lanjut Imam Tolkhah dan Barizi, mengemukakan beberapa hal

yang perlu diidentifikasi melalui bahasan ini dari ajaran Islam bagi bangunan

sistem pendidikan Islam ke arah pembebasan dan humanisasi. Pertama,

konsep musyawarah dan dialogika (munazharah). Sebuah kisah di dalam al-

Qur'an dikatakan bahwa ketika Nabi Ya'kub a.s. memerintahkan anak-anaknya

mencari Nabi Yusuf a.s. di istana peninggalan Fir'aun, dia berkata: Janganlah

masuk dari stu pintu, tapi masuklah dari pelbagai pintu (Q.S. Yusuf: 67).

Logikanya, adalah jika masuk dari satu pintu, sulit Yusuf ditemukan. Lebih

baik berpencar, meski tetap harus ada persetujuan bersama bahwa sipa saja

yang menemukan mau membagi dengan yang lain. Sebab betapa pun,

penemuan itu adalah penemuan bersama, bukan monopoli pribadi atau

kelompok.

Salah satu ajaran yang bisa diambil dari kisah tersebut adalah

pembangunan sistem kependidikan yang harus didasarkan pada aspek

musyawarah, dialog, dan kebersamaan kepemilikan. Semua sivitas akademika

dan masyarakat secara luas harus dilibatkan dalm pembangunan kependidikan.

Konsep musyawarah dan dialogika ini sebagai kritik terhadap sistem

Page 152: Skripsi Abdullah Rois1

152

pendidikan naratif (hubungan searah) dan pendidikn "gaya bank" ala Paulo

Freire. Pendidikan gaya bank dan narasi ini mengandaikan peserta didik

laksana bejana-bejana kosong yang perlu diisi oleh guru, semakin penuh

semakin baik. Peserta didik tak lebih sebagai manusia mandul yang perlu

dikasihani dan "disuapi" pelbagi pengetahuan sesuai selera guru tanpa hak

untuk menolak. Implikasinya, sistem pendidikan demikian hanya bertumpu

pada penguasaan materi dan aspek hafalan, bukan pada kemampuan analisis.

Akibatnya, pendidikan cenderung kurang humanis, tidak kritis, dan tidak

membebaskan. Sementara pendidikan dengan sistem musyawarah dan

dialogika berusha mengantarkan peserta didik secara humanis pada kesejatian

dirinya sebagai manusia potensial, aspirtif, dinamis, progresif, evolutif, dan

komunikatif. Dialogika pun akan tercipta bila pemikiran kritis dilibatkan

sebagai cara pandang realitas objektif bagi adanya perubahan dan perbedaan

di dalam pendidikan.

Kedua, perintah mencari ilmu dan prediksi mulia bagi orang-orang

yang berilmu. Kisah dilogika antara Tuhan dan malaikat di dalam al-Qur'an

yang berakhir dengan pengakuan malaikat akan keunggulan adam a.s. atas

dirinya adalah karena ilmu (Q.S. al-Baqarah: 30-34), merupkan indikasi

bahwa ilmu pengetahuan dan orang-orang yang berilmu berada pada derajat

lebih tinggi dari yang lain (Q.S. al-Mujadalah: 11). Selain memberikan

kemahiran dan keahlian, ilmu pengetahun diyakini memiliki kemampuan yang

bersifat partikularistik dalam membaca realitas objektif dan memberikan

informasi secara opersional dalam realitas kehidupan manusia serta

Page 153: Skripsi Abdullah Rois1

153

menghantarkannya pada kualitas tertinggi dalam startifikasi manusia. Karena

itu, perintah mencari dan berkelana (musafarah, mengembara) untuk ilmu

pengetahuan merupakan sesuatu perintah yang paling ditekankan di dalam

Islam.

Ketiga, instruksi teologis bagi umat Islam untuk menjadi umat

terdepan. Ayat al-Qur'an yang menyatakan, Jadikanlah kami (Ya Tuhan)

sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. al-Furqan: 74), dalam

perspektif pendidikan Islam adalah bahwa pendidikan tidak hanya diarahkan

bagi pengembangan manusia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertaqwa

dalam pengertian luas, melainkan bagaimana ia menjadi terdepan dari

kelompok-kelompok manusia tersebut. Manusia terdepan harus mampu

menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator, dan teladan bagi orang-

orang yang bertaqwa (Imam Tolkhah dan Barizi, 2004: 125-128).

Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa jika Friere basis

gerakan pembebasan adalah melakukan kesadaran kritis untuk membuka

kesadaran “kaum tertindas”, maka Islam mendasarkan diri pada kesadaran

untuk memahami realitas yang terjadi di sekitar manusia itu sendiri. Disini ada

“titik temu” antara pembebasan yang diusung Friere dengan yang ada dalam

pendidikan Islam.

Pendidikan humanis dalam pendidikan Islam ini merupakan sebuah

rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik

secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan

yang diembannya sebagai seorang hamba ('abd) dihadapan Khaliq-nya dan

Page 154: Skripsi Abdullah Rois1

154

sebagai 'pemimpin' (khalifah) di muka bumi. Dengan demikian, pendidikan

Islam akan mampu mengantarkan manusia untuk dapat menjadi insan yang

sempurna (insan kamil).

d. Konsep Konsientisasi dalam Perspektif Pendidikan Islam

Konsientisasi harus dimengerti sebagai kesadaran diri sehingga tidak

sekedar berhenti pada refleksi saja, melainkan merembes sampai pada aksi

nyata. dari refleksi menuju tindakan konkret inilah yang menjadi dasar

gerakan pembebasan. Praktik pembebasan dalam pengertian Paulo Freire

adalah proses dialektis yang tak ada habis-habisnya, yaitu berputar antara aksi

dan refleksi. pembebasan kaum tertindas merupakan panggilan dan tugas

manusia pembebas sejati. Namun tugas itu sering diputarbalikkan sehingga

yang terjadi adalah ketidakadilan, eksploitasi dan kekerasan yang dilakukan

kaum penindas.

Sementara itu untuk mempertahankan posisinya, para penguasa, para

penindas, sering melemparkan berbagai ideologi yang disebut mitos. banyak

sekali mitos yang ditanamkan oleh penguasa untuk diterima dan dipercayai

begitu saja, misalnya bahwa rakyat miskin itu bodoh, malas, tidak bisa

diandalkan. bahwa ketaan itu baik, tunduk pada penguasa itu wajib. Tragedi

besar ini menurut Paulo Freire dalam Education The Practice of Freedom

(1984), manusia ditipu oleh slogan-slogan dan ideologi semacam itu. mereka

tidak menetukan apa-apa dalam perkembangan zamannya, tetapi menjalankan

saja yang sudah ditentukan oleh para elit penguasa.

Page 155: Skripsi Abdullah Rois1

155

Melihat alur yang penulis kemukakan di depan, konsep konsientisasi

Paulo Freire mengerucut pada "akal" sebagai bagian dari potensi yang dimiliki

oleh manusia. Dalam konteks konsientisasi, keberadaan akal diungkapkan

oleh Paulo Freire dalam Assegaf dan Suyadi sebagai berikut:

"Semakin akurat orang menangkap kausalitas, yang sebenarnya, semakin krits kesadaran mereka terhadap realitas. Pemahaman mereka masih bersifat magis selama mereka belum bisa menangkap kausalitas. Sedangkan ketika telah mencapai kesadaran kritis, mereka bisa menganalisis kausalitas; apa yang hari ini belum tentu benar pada keesokan harinya. Kesadaran naïf memandang kausalitas sebagai sebuah fakta yang statis, tetap, dan maknanya menipu persepsi mereka" (Assegaf dan Suyadi, 2008: 200).

Mencermati pernyataan Freire di atas, kesadaran mempunyai tingkat-

tingkat atau fase-fase kesadaran (konsientisasi); magis, naïf, dan kritis. Bagi

Freire, tahapan kesadaran individu tidak dimulai dengan kesadaran kritis dan

kemudian menjadi kesadaran magis, juga bukan dari kesadaran magis

langsung ke kesadaran kritis, tetapi juga tidk secara acak. Bagi Freire fase-fase

kesadaran manusia dari magis sampai kritis ini akan seiring dengan

bergulirnya roda kehidupan. Mencermati pernyataan Freire tersebut di atas,

maka fungsi akal manusia, adalah menemukan kausalitas secara sempurna

dengan sarana indra terutama akalnya. Apa yang dipandang akal sebagai

penindasan adalah penindasan, apa yang dipandang akal salah dan sesat adalah

salah dan sesat, apa yang dipandang akal buruk, maka buruklah realitas yang

ada. Intinya, baik dan buruk, benar dan salah, sesat dan lurus, tergantung pada

tingkat kesadaran (akal) memandangnya (Assegaf dan Suyadi, 2008: 200).

Realisasi kesadaran dalam diri manusia ini memestikan dirinya hadir

dalam realitas kebebasan yang dengannya manusia dapat leluasa menentukan

Page 156: Skripsi Abdullah Rois1

156

dan memutuskan, walaupun hal itu pun adanya hanya dalam bentuk realitas

semu. Yang benar-benar ada adalah keraguan sebagai lambang berpikir

manusia tanpa ujung. Jika demikian, eksistensi manusia di dunia berada dalam

wilayah proses terus-menerus tanpa henti kendatipun ia sendiri menyadari

bahwa ia tidak pernah akan melahirkan dan atau menemukan sesuatu yang

sifatnya benar-benar riil. Dalam gerakan wilayah keraguan ke wilayah

penemuan walaupun bersifat semu, diperlukan adanya aktivitas akal yang

berpikir, karena manusia ada karena memang ia berpikir (Muhmidayeli, 2007:

118).

Al-Ghazali dalam Abd. Aziz mengemukakan bahwa akal mempunyai

empat pengertian, yaitu:

1. Sebutan yang membedakan manusia dengan hewan.

2. Ilmu yang lahir disaat telah mencapai usia akil baligh sehingga dapat

mengetahui perbuatan yang baik dan selanjutnya diamalkan, dan perbuatan

yang buruk yang selanjutnya ditinggalkan.

3. Ilmu-ilmu yang didapat dari pengalaman sehingga dapat dikatakan "siapa

yang banyak pengalaman maka ia orang yang berakal".

4. Kekuatan yang dapat menghentikan dorongan naluriah untuk menerawang

jauh ke angkasa, mengekang, dan menundukkan syahwat yang selalu

menginginkan kenikmatan (Abd. Aziz, 2009: 44).

Ahmad D. Marimba dalam Abd. Aziz mengatakan bahwa akal

berfungsi untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan, memecahkan persoalan

yang kita hadapi dan mencari jalan yang efesien untuk menemukan maksud-

Page 157: Skripsi Abdullah Rois1

157

maksud kita (Abd. Aziz, 2009: 44). Bahkan Plato (427-347 SM) menempatkan

akal sebagai kompas manusia dalam memahami dunia ini, sedangkan

Aristoteles memandang akal sebagai keaktifan untuk tumbuh dan pembiakan

(vegetatif), bergerak (animal), dan berfikir (tingkat tertinggi). Jhon Dewey

(1859-1952), penganut aliran pragmatis, menempatkan akal sebagai alat

manusia untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam sekitarnya, dan

alat yang bertugas untuk berfikir (Abd. Aziz, 2009: 44).

Dengan potensi akal ini manusia mampu berpikir dan berkreasi

menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan

kepada manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Kemajuan dunia ini sangat

ditentukan oleh kemajuan fungsi akal manusia. Akal ini pulalah yang

membedakan secara tajam antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya

seperti halnya binatang, sehingga manusia disebut sebagai "hayawanun

natiqun" (binatang yang berakal).

Jika kita mengamati binatang maka kita dapati binatang digerakkan

dengan instink atau nalurinya. Lain halnya dengan manusia. Ia digerakkan

dengan oleh instink dan akal. Sebab itu boleh dita'rifkan tingkah laku manusia

sebagai tindakan manusia yang sengaja diarahkan untuk mencapai tujuan

tertentu. Dengan akal dan ilmunya ia bisa menambah daya produktivitasnya.

Bila mutu karyanya meningkat maka ia akan lebih efektif dan berperan dalam

mengubah alam sekitar dan masyarakat sekelilingnya. Islam menyeru agar

manusia mengambil faedah dari kecenderungan melatih atau menggunakan

akal untuk memikirkan alam sekitarnya. Tidak ada artinya cirri yang

Page 158: Skripsi Abdullah Rois1

158

membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain andaikata akal yang ada itu

dibiarkan saja dan tidak digunakan melayani hidup manusia sehari-hari dalam

segala bidang kegiatannya (Omar Mohammad Al-Taomy, 1979: 120-121).

Muhmidayeli dalam bukunya Teori-teori Pengembangan Sumber Daya

Manusia menyatakan bahwa akal merupakan potensi berpikir manusia yang

membedakan dirinya dengan makhluk-makhluk lain di luar dirinya. Dengan

potensi akal-lah manusia mampu menangkap, mendeskripsikan, memetakan

dan memahami segala sesuatu, tidak sja menyangkut realitas empiris yang

konkret, tetapi juga yang bersifat abstrak dan metafisika, tidak hanya yang

pragmatis, tetapi juga yang idealis. Pendeknya, akl memampukan manusia

mencerna dan memahami berbagai tanda-tanda, lambing-lambang yang ada

dalam keseluruhan realitas yang sangat berguna bagi manusia itu sendiri. Akal

dapat memperkukuh eksistensi manusia di dunia dalam kaitannya dengan alam

semesta dan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan

(Muhmidayeli, 2007: 111).

Dalam Al-Qur'an surat al-Zumar ayat 18 Allah berfirman:

Ï% ©!$# tβθ ãèÏϑtF ó¡o„ tΑ öθ s)ø9 $# tβθ ãèÎ6−F u‹sù ÿ…çµ uΖ |¡ômr& 4 y7 Í×‾≈ s9 'ρé& tÏ%©!$# ãΝßγ1 y‰yδ ª! $# ( y7 Í×‾≈s9 'ρ é&uρ

öΝèδ (#θä9 'ρ é& É=≈t7ø9 F{ $# ∩⊇∇∪

Artinya: "Mereka yang mendengarkan perkataannya lalu mereka pun mengikuti kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal" (Q.S. al-Zumar: 18) (Depag RI, 1971: 748).

Dalam firman Allah SWT di atas, memberikan pemahaman bahwa

sesungguhnya akal manusia cenderung memperlihatkan sikap

Page 159: Skripsi Abdullah Rois1

159

ketertundukannya pada apa yang telah menjadi keputusannya. Ketika manusia

telah menemukan suatu kebenaran, jiwanya cenderung memberikan

pembenaran yang ditampilkannya dalam sikap kepatuhan dan ketundukan.

Dan inilah sebagai wujud Tuhan menunjuki manusia yang telah benar-benar

berusaha mendapatkannya (Muhmidayeli, 2007: 114).

Rene Descrates (w. 1650 M) seorang tokoh rasionalisme menjelaskan

bahwa jiwa adalah terpadu, rasional dan konsisten yang dalam aktivitasnya

selalu terjadi interaksi dengan tubuh. Interaksi jiwa dan tubuh ini dapat

mengubah makna nafsu yang dimaknai dengan pengalaman-pengalaman sadar

yang disertai dengan emosi jasmaniah. Ini berarti hakikat manusia ada pada

aspek kesadaran yang eksistensinya ada pada daya intelek sebagai hakikat

jiwa, namun dalam aktivitasnya terjadi proses interaksi dirinya dengan tubuh

dan materi lainnya.

Banyak filusuf yang kemudian menjadikan persoalan kesadaran ini

menjadi fokus kajiannya. Kita ambil contoh, umpamanya Edmund Husserl

(1859-1938) yang berupaya membuat kategorisasi kesadaran dan aktivitasnya

yang kemudian mempengaruhi analisis eksistensial yang dibuat oleh Martin

Heidegar dengan menyatakan keterlemparan manusia di dunia memestikan

dirinya pun mengakui keterbatasannya, sehingga hidupnya selalu beranjak dari

masalah yang satu ke masalah yang lain tanpa henti. Kesadaran manusia

senantiasa diawali dengan kecemasan dan kegelisahan yang dlam. Jadi,

kecemasan diperlukan bagi manusia dalam proses penyempurnaan-

penyempurnaannya. Dapat dikatakan, bahwa hidup adalah bagaimana

Page 160: Skripsi Abdullah Rois1

160

seseorang dapat menyikapi berbagai realitas dan menatanya sedemikian rupa

agar kehidupannya benar-benar menjadi sesuatu yang penuh makna

(Muhmidayeli, 2007: 118-120).

Suwito dalam bukunya Transformasi Sosial (2004: 98) mengemukakan

bahwa kesadaran diri yang berpusat pada diri individu, akan mendorong

munculnya “pemaknaan ulang” arti kehidupan (siapa, untuk apa, dan kemana),

relasi kehidupan diri dengan kekuatan diluar diri (kosmos, Tuhan). Pemaknaan

ulang dan usaha kreatif ini akan melahirkan gagasan-gagasan baru, yang

akhirnya akan melahirkan tindakan-tindakan inovatif, yang sesuai dengan

kesadaran akan diri dan di luar diri. Dengan adanya kesadaran ini, manusia

sebagai diri tidak terasing dengan dirinya. Dengan kata lain, manusia sebagai

manusia.

Muhammad Abduh dalam Assegaf dan Suyadi mengemukakan bahwa

kesadaran manusia terpusat pada penggunaan akal yang didukung oleh

perasaan dan hati yang kukuh dan suci. Fase-fase intelektualitas manusia

didasarkan atas wahyu, akal, dan hati yang berujung pada keimanan. Bagi

Abduh akal manusia sering mengalami kebuntuan dalam memahami

kausalitas, tetapi hati dan perasaan kadang begitu mudah menerima fakta dan

kausalitas tersebut. Bagi Abduh, pemahaman atas kesadaran manusia atau

keyakinan manusia didasarkan pada penafsiran wahyu secara rasional yang

diyakini dalam hati nurani dan dianggapnya selalu benar dan tidak pernah

dusta. Abduh menyatakan bahwa kebanyakan manusia telah tertipu yaitu

dengan menganggap sesuatu yang benar datang dari bisikan orang-orang

Page 161: Skripsi Abdullah Rois1

161

disekelilingnya. Bagi Abduh, akal memberikan kita penglihatan tentang

kebaikan, kebenaran, tujuan, kausalitas, dan perbedaan kecil dan besar.

Sedangkan perasaan memberikan penglihatan tentang jiwa, kenikmatan,

kesedihan, kepanikan, ketenangan, ketidaksetujuan, dan hal lain yang bisa

dirasakan oleh manusia (Assegaf dan Suyadi, 2008: 201).

Sebagai senjata menjadi khalifah dan 'abd di muka bumi ini, Allah

memberikan akal sebagai pembeda antara yang benar dan yang salah, yang

baik dn yang buruk, serta yang dilarang dan diperintahkan. Dengan akal pula,

akan menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk yang lain. Allah

berfirman:

tβρ â÷ß∆ ù' s? r& } $Ψ9 $# Îh�É9ø9$$ Î/ tβöθ |¡Ψ s? uρ öΝä3|¡à/Ρ r& öΝ çFΡ r&uρ tβθ è=÷Gs? |=≈tGÅ3ø9 $# 4 Ÿξ sù r& tβθ è= É)÷è s? ∩⊆⊆∪

Artinya: "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. Al-Baqarah: 44) (Depag RI, 1971: 16).

Penggunaan akal pada ayat di atas, menunjukkan bahwa Islam

menaruh perhatian yang besar bagi perkembangan akal manusia. Oleh karena

itu, proses pendidikan harus menumbuhkembangkan akal sekaligus

menyandarkannya pada hukum tertinggi Islam. Dengan demikian, pendidikan

Islam akan mencetak hamba-hamba Allah dengan kekuatan intelektualitas

yang tinggi beserta sifat tawadu' dan keimanan yang mendalam. Dengan

demikian, maka peserta didik akan menemukan kesejatian manusia

(humanisasi) yang bahagia di dunia dan di akhirat nanti (Samsul Nizar, 2002:

21-22).

Page 162: Skripsi Abdullah Rois1

162

Akal adalah suatu potensi insaniah yang memampukan dirinya dapat

membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mesti dipilih

dan ditetapkan sebagai sebuah kebenaran dan mana pula yang tidak pantas

ditempatkan sebagai sebuah kebenaran, mana yang indah dan pantas

dicenderungi dan mana pula yang tidak indah atau jelek yang pantas pula

dihindari.

Firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 29 yang berbunyi:

È≅ è% uρ ‘,ys ø9 $# ÏΒ óΟä3În/ §‘ ( yϑsù u!$ x© ÏΒ ÷σ ã‹ù=sù ∅ tΒ uρ u !$ x© ö�à/ õ3u‹ù=sù ....

Artinya: Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (Q.S. al-Kahfi: 29) (Depag RI, 1971: 448).

Firman Allah SWT ini mengisyaratkan bahwa kebenaran yang

sesungguhnya (al-Haq) itu dari Allah SWT dan oleh karena itu perlu ada

perjuangan yang terus menerus dari diri manusia untuk dekat pada pemiliki-

Nya, Tuhan Rabb 'izzati. Karena kebenaran itu milik Allah SWT maka

manusia sebagai pencari dan pejuang kebenaran, maka manusia itu

berkewajiban memaksimalkan fungsi akalnya dengan senantiasa berupaya

mendekatkan pemahamannya dengan Realitas Ilahiyah. Bagi yang berhasil,

maka ia pun akan beriman dan bagi yang tidak berhasil maka ia pun akan

kafir, tergantung pada tingkat pengetahuan pemahaman dan kedekatan dirinya

pada Tuhan sebagai wujud realisasi kesadaran fungsional akalnya tertinggi

dalam memandang berbagai realitas. Pendeknya, tingkat keimanan dan

keyakinan seseorang pada Tuhan Rabb 'izzati sangat tergantung pada kualitas

pemahaman dan pengetahuannya pada eksistensi Tuhan sebagai Maha

Page 163: Skripsi Abdullah Rois1

163

pencipta dan penguasa di mana hukum-hukum humanitas dan alam tunduk

pada hukum-hukum Tuhan Sang Pencipta. Iman dalam hal ini adalah realisasi

petunjuk (hudan) Tuhan kepada diri manusia (Muhmidayeli, 2007: 113-114).

Dengan kata lain, pendidikan yang diselenggarakan hendaknya tidak

menjadikan akal sebagai pembenar (legitimasi) atas segala fakta, tetapi

kebenaran akal baru bisa diterima jika didukung oleh kemantapan hati, karena

kata hati selalu dianggapnya tidak pernah berdusta karena langsung

berhubungan dengan Yang Mahabenar, yaitu Allah SWT.

Kemudian dalam perkembangannya, pendidikan Islam berupaya

mengembangkan potensi akal melalui beberapa langkah konkret, adalah

sebagai berikut:

1. Melandasi pengetahuan akliah dengan jiwa agama (wahyu), dalam arti

anak didik dibiasakan untuk menggunakan kemampuan akalnya

semaksimal mungkin sebagai upaya ijtihad, dan bila ternyata akal belum

mampu memberikan konklusi tentang suatu masalah, masalah tersebut

dikembalikan kepada wahyu (Q.S. 4: 9).

2. Mengajar anak didik untuk memikirkan ciptaan Allah SWT sehingga

memperoleh konklusi bahwa alam diciptakan dengan tidak sia-sia (Q.S. 3:

190-191).

3. Membawa dan mengajak anak didik untuk menguak hukum-hukum alam

dengan dasar suatu teori dan hipotesis-ilmiah melalui kekuatan akal.

4. Memberikan pelajaran menurut kadar kemampuan akalnya, dengan cara

memberikan materi yang lebih mudah dahulu lalu beranjak pada materi

Page 164: Skripsi Abdullah Rois1

164

yang lebih sulit, dari yang konkret menuju yang abstrak. Ingat sabda Nabi

Saw: "Berilah pelajaran kepada manusia menurut kadar kemampuan

akalnya".

5. Mengenalkan anak pada materi logika, filsafat, matematika, kimia, dn

sebagainya, serta materi-materi yang dapat menumbuhkan daya kreativitas

dan produktivitas daya nalar.

6. Mencetak anak didik menjadi seorang berpredikat "Ulil Albab" yaitu

seorang Muslim cendekiawan dan Muslim intelektual dengn cara melatih

daya intelek, daya pikir, dan daya nalar (Abd. Aziz, 2009: 53-54).

Jadi dapat dipahami, bahwa kualitas humanitas manusia ditentukan

oleh kualitas akal sebagai instrument kemanusiaan untuk mencari sebuah

kebenaran. Allah SWT telah menganugerahkan potensi akal pada diri manusia

ini untuk memperoleh kebenaran. Akal sebagai instrument yang berada dalam

diri manusia, yang dengannya memampukan dirinya dapat mendeskripsikan,

menyatakan, memilah-milah, membedakan dan menghubungkan berbagai

realitas yang kesemuanya sangat berguna dalam membuat suatu kesimpulan

dan atau keputusan sebagai suatu kebenaran.

Dengan demikian, kebenaran suatu ilmu dapat ditentukan oleh

kemampuan akal manusia dalam memahami ilmu tersebut, dengan tidak

mengesampingkan keyakinan dalam hati. Dengan konsep akal dalam

pendidikan Islam yang demikian, diharapkan akan melahirkan keseimbangan

antara intelektualitas dan keimanan dalam jiwa peserta didik. Dengan kata

lain, antara konsep konsientisasi dan konsep pendidikan Islam, jika ditinjau

Page 165: Skripsi Abdullah Rois1

165

dari peranan akal manusia, dapat diartikan bahwa konsientisasi menggunakan

akal manusia secara penuh sehingga peserta didik cenderung mengagungkan

akal sebagai sebuah kebenaran yang sejati, sedangkan dalam pendidikan Islam

lebih cenderung menekankan adanya keseimbangan antara intelektualitas dan

keimanan dalam diri peserta didik. Yaitu tetap mengacu pada Dzat Yang

Maha Benar, Allah SWT.

e. Posisi Pemikiran Pendidikan Paulo Freire dalam Pendidikan Islam

Telaah lebih lanjut mengenai pemikiran pendidikan Paulo Freire dalam

pendidikan Islam akan lebih jelas ketika melihat tabel dan skema mengenai

kedua konsep tersebut. Berikut adalah tabel dan skema antara konsep

konsientisasi Paulo Freire dan pendidikan Islam yang penulis coba tuangkan.

Tabel Konsep Konsientisasi dan Pendidikan Islam

Konsep

Konsientisasi Pendidikan Islam

Landasan

Dunia Islam

Subjek

Manusia Manusia

Metodologi

Dialektika Rasionalisasi

Prinsip

Cinta dan Rendah Hati Keimanan

Orientasi

Humanisasi Humanisasi

Page 166: Skripsi Abdullah Rois1

166

Skema Konsep Konsientisasi dan Konsep Pendidikan Islam

HUMANISASI

Pendidikan Islam

Konsientisasi Paulo Freire

DUNIA

ISLAM

RASIONALISASI

DIALEKTIKA

MANUSIA

KEIMANAN

CINTA DAN RENDAH

HATI

Landasan

Prinsip

Metodologi

Subjek Subjek

Konsep

Page 167: Skripsi Abdullah Rois1

167

Jika dicermati dengan seksama dengan melihat tabel dan skema di atas,

dapat dijelaskan bahwa dalam konsientisasi Paulo Freire melandaskan

gagasannya pada dunia, sedangkan dalam pendidikan Islam melandaskan

pendidikannya pada ajaran Islam secara kontekstual dan menyeluruh. Subjek

konsientisasi Paulo Freire adalah manusia, sama halnya yang ada dalam

pendidikan Islam. Adapun jika ditinjau dari segi metodologinya, konsientisasi

bertumpu pada dialektika antara subjek dan objek, sehingga subjektivitas dan

objektivitas tidak bisa dipisahkan, sedangkan dalam pendidikan Islam

metodologi yang digunakan adalah rasionalitas. Adapaun jika ditinjau dari

segi prosesnya, konsientisasi tidak akan pernah terjadi tanpa adanya

dialektika, dan dialektika hanya akan sia-sia tanpa adanya prinsip cinta dan

rendah hati, sedangkan dalam prosesnya pendidikan Islam mengedepankan

aspek keimanan sebagai bagian atas kerja akal. Yang mana manusia

diharapkan akan mampu menyeimbangkan kehidupan dunia (jangka pendek)

dan kehidupan akhirat (jangka panjang). Kemudian orientasi dari konsep

konsientisasi dan pendidikan Islam adalah humanisasi. Humanisasi dalam

pandangan Freire dipahami sebagai "menjadi manusia seutuhnya" bukan

menjadi manusia sebagai hamba Tuhan. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan-

pernyataan Freire yag telah dikutip pada pembahasan awal konsep

konsientissi. Sedangkan dalam pandangan pendidikan Islam humanisasi

dipahami sebagai "menjadi manusia sempurna" (insasn kamil) yang

mengemban tugas sebagai 'abd dan khalifah dimuka bumi ini.

Page 168: Skripsi Abdullah Rois1

168

Mencermati penjelasan mengenai kedua konsep tersebut di atas,

terdapat kesamaan terutama pada persamaannya dalam memandang humanitas

manusia yang bertumpu pada fitrah manusia. Pemikiran pendidikan Paulo

Freire pada dasarnya berupaya untuk mengembangkan akal peserta didik

dalam pembelajaran, yang akan membentuk sikap kritis peserta didik. Sikap

kritis tersebut yang akan menuntun langkah peserta didik selanjutnya dalam

mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Dengan misi pembebasan

sebagai inti proses pendidikan peserta didik, maka mereka akan menemukan

wahana dan jalan pengembangan potensinya secara penuh. Peserta didik yang

mempunyai potensi di bidang seni, olah raga, keterampilan dan lain-lain tidak

akan kehilangan bakatnya dalam proses pendidikan, justru proses pendidikan

akan mampu menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi tersebut

tanpa adanya diskriminasi antara satu dengan lainnya (Assegaf dan Suyadi,

2008: 206).

Pemaknaan filosofis tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan

adalah proses bagaimana manusia menggali segenap potensi (fitrah) yang ada

dalam dirinya dan menghadapkannya pada lingkungan realitas yang dihadapi

secara kritis dan realitis. Dalam konteks pendidikan Islam, penggalian potensi

(fitrah) tersebut telah diungkapkan dalam al-Qur'an dan kewajiban manusialah

untuk mengkaji serta mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan secara

dinamis. Dengan pengertian demikian, maka pendidikan Islam harus mampu

menjadi jembatan bagi dialektika antara realitas dan normativitas agama.

Page 169: Skripsi Abdullah Rois1

169

BAB V

Penutup

A. Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis terhadap data-data yang diperoleh melalui

dokumentasi terhadap pemikiran Paulo Freire dalam perspektif pendidikan

Islam, maka dapat penulis simpulkan, bahwa Paulo Freire (1921-1997) adalah

salah satu tokoh pendidikan yang yang berasal dari Recife, Brazil. Paulo

Freire mengemukakan gagasan pendidikannya dalam konsep konsientisasi

sebagai tujuan radikal pendidikannya. Konsep konsientisasi ini lahir melalui

proses dialogis yang mengantarkan manusia untuk dapat memecahkan

masalah-masalah eksistensial mereka terkait dengan sistem realitas sosial yang

ada. Orientasi konsep konsientisasi Paulo Freire adalah humanisasi "menjadi

manusia seutuhnya". Ide dasar pandangan Freire tentang humanisasi ini

terletak pada pengakuan tehadap fitrah manusia. Freire mengartikan fitrah

manusia sebagai subjek yang berkehendak penuh, bebas,, dan tidak terikat

oleh apapun. Bebas dalam pengertian ini adalah bahwa manusia berhak

mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dengan pengembangan potensi ini

diharapkan muncul adanya kesadaran dalam diri manusia yang berangkat dari

kesadaran magis, naif, sampai pada kesadaran kritis. Kesadaran kritis

merupakan inti dari konsep konsientisasi yang mana mendasarkan dialog

sebagai metodenya. Dengan dialog, akan mengantarkan individu pada

169

Page 170: Skripsi Abdullah Rois1

170

kesadaran terhadap sistem sosial yang menindas tersebut dan juga

dimungkinkan terciptanya pendidikan yang berwawasan pembebasan.

Terdapat kemiripan konsep konsientisasi yang ditawarkan Paulo Freire

tersebut dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk

mengembangkan fitrah manusia menuju terbentuknya insan kamil sesuai

dengan norma Islam. Dalam pengertian tersebut, pendidikan hendak

menciptakan manusia sempurna sebagai tujuan pendidikan Islam. Untuk

menjadi manusia sempurna (insan kamil), manusia harus mampu mengemban

amanah sebagai sebagai seorang hamba ('abd) dihadapan Khaliq-nya dan

sebagai 'pemelihara' (khalifah) di muka bumi. Dengan tugas yang berat ini,

manusia dibekali dengan fitrah atau potensi dasar yang ada dalam diri

manusia. potensi dasar tersebut meliputi potensi naluriyah, potensi inderawi,

potensi akal, dan potensi keagamaan. Dengan pengembangan potensi tersebut,

dimungkinkan munculnya kesadaran diri sebagai bagian dari kesadaran kritis

individu.

B. Saran-saran

Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis mengajukan beberapa

rekomendasi yang berupa saran-saran kepada para pembaca atau terhadap

semua orang yang memiliki komitmen terhadap pengembangan pendidikan

Islam di Indonesia, khususnya terkait penelitian penulis terhadap pemikiran

Paulo Freire. Saran-saran yang penulis rekomendasikan merupakan keluhan

atau bahkan anjuran yang hendaknya dijadikan informasi awal untuk

melakukan refleksi terhadap persoalan-persoalan pendidikan Islam yang

Page 171: Skripsi Abdullah Rois1

171

terjadi agar melahirkan sebuah hasil penelitian yang relatif lebih baik dan

sempurna. Saran-saran yang penulis rekomendasikan adalah sebagai berikut:

1. Bagi para pembaca yang ingin mengkaji dan meneliti lebih jauh pemikiran

Paulo Freire, penulis menyarankan untuk dapat memperoleh karya-karya

Paulo Freire yang lain, agar bisa mendapatkan lebih banyak informasi

tentang pemikiran Paulo Freire.

2. Bagi para pengambil kebijakan khususnya dalam pendidikan Islam,

penulis memberi masukan agar lebih teliti lagi dalam merumuskan suatu

kebijakan, agar dalam pelaksanaan proses pendidikan dapat berjalan

dengan baik dan pada akhirnya pendidikan nasional tidak kehilangan arah

dan tujuannya, yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa

kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,

kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta

bertanggung jawab.

3. Bagi para pendidik, baik pendidik yang mengajarkan mata pelajaran

pendidikan umum maupun mata pelajaran Agama Islam yang secara

langsung bersentuhan dengan peserta didik, penulis memberikan saran

agar dalam melaksanakan proses pembelajaran, hendaknya untuk tidak

melupakan ranah afektif sebagai sesuatu yang harus dicapai dalam proses

pembelajaran, karena proses pendidikan selama ini lebih banyak

menekankan ranah kognitif dan psikomotor, sehingga seorang hanya

mampu memahami agama, tetapi tidak mampu untuk menjadi orang yang

beragama.

Page 172: Skripsi Abdullah Rois1

172

C. Kata Penutup

Akhirnya segala puji bagi Allah, Tuhan yang telah menciptakan alam

beserta isinya, yang telah membimbing dan memberikan taufiq serta hidayah-

Nya kepada penulis, karena penulis yakin bahwa tanpa pertolongan-Nya,

penulis tidak akan dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik serta dapat

berjalan dengan lancar tanpa hambatan yang berarti. Mudah-mudahan upaya

dan ikhtiar penulis dapat bermanfaat sebagai amal shalih yang berguna bagi

para pembaca dan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta bermanfaat bagi

penulis khususnya. Amiin.

Penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan setingi-

tingginya kepada semua pihak, terutama dosen pembimbing (Bpk. Kholid

Mawardi, M. Hum) atas bimbingan, dorongan dan dukungan sampai

selesainya penelitian ini. Permohonan maaf penulis sampaikan kepada semua

pihak atas kesalahan penulis sejak awal penelitian hingga akhir penelitian ini.

Penulis mengharapkan masukan, kritik, dan saran guna lebih

menyempurnakan penelitian ini.

Demikianlah yang dapat penulis paparkan dalam penelitian ini,

terlepas dari banyaknya kesalahan dan kekurangan, penulis berharap semoga

penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca umumnya.

Amiin.

Penulis

Abdullah Rois NIM. 042631002