Skripsi Abdullah Rois1
-
Upload
annisa-okta -
Category
Documents
-
view
54 -
download
0
description
Transcript of Skripsi Abdullah Rois1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Potret buram pendidikan kita berawal dari hal yang sesungguhnya
sangat fundamental. Pendidikan kita tidaklah berangkat dari satu realitas
masyarakat didalamnya, bahkan dapat dikatakan jauh dari realitas. Sebagai
contoh, realitas kehidupan kita sebagian besar ada di pedesaan dan bekerja di
ladang pertanian. Tetapi, kenyataan tersebut tidak digarap dengan baik di
setiap jenjang pendidikan kita, baik dalam proses pembelajaran maupun dalam
kegiatan riset. Contoh lainnya dapat kita cermati dalam pendidikan agama di
persekolahan. Pendidikan agama diajarkan secara antirealitas. Padahal
pluralitas kehidupan beragama kita merupakan realitas yang tidak perlu
dipungkiri lagi. Pendidikan agama masih diajarkan sebagai bagian dari usaha
seseorang untuk memonopoli Tuhan dan kebenaran, dan dengan sendirinya
menghakimi orang lain yang berbeda agama dengannya. Akibatnya, realitas
kehidupan beragama kita kurang berfungsi sebagai pengikat persaudaraan dan
membantu menumbuhkan kearifan dan sikap rendah hati untuk saling
menghormati dan saling memahami perbedaan yang ada. Pada akhirnya,
pluralitas kehidupan beragama lebih cenderung menjadi penyebab konflik
yang tak habis-habisnya (Mahmud Arief, 2008: 21).
Hingga saat sekarang problem dalam dunia pendidikan kita masih saja
menjadi wacana publik yang sangat meresahkan, baik itu menyangkut
1
2
persoalan mutu pendidikan yang sangat rendah, sistem pembelajaran yang
belum memadai serta profesionalitas pengajar yang sangat langka. Sehingga
apa yang menjadi cita-cita dalam dunia pendidikan di tanah air kita hanya baru
sebatas retorika dan angan-angan belaka. Konsekuensi logis dari problem
dalam dunia pendidikan ini yang dapat kita amati secara langsung adalah
munculnya perilaku amoral dalam lingkungan kita yang menempati posisi
yang sangat tinggi. Seperti kekerasan, penipuan, pemerkosaan, pertengkaran
dan pembunuhan.
Walaupun dalam kondisi yang seperti ini, bagi sebagian pendidik
ataupun pemegang kebijakan ingin mengalami terjadinya sebuah perubahan.
Namun keinginan tersebut sangat sering terartikulasikan dalam bentuk
kesadaran naif. Faktor yang paling penting dalam pendidikan adalah
bagaimana menumbuhkembangkan sikap kritis peserta didik terhadap objek,
bukannya apa yang diajarkan pendidik tentang objek. Mengetahui (to know)
tidak sama dengan menebak (to gues); informasi itu akan bermanfaat jika kita
dapat menangkap akar permasalahannya (Freire, 2000: 11).
Fungsi sekolah masa lalu yang mengemban misi agung sebagai
pencerdas kehidupan bangsa, kini tak ubahnya lahan bisnis untuk memperoleh
keuntungan. Akibatnya, hanya kelompok elit sosial-lah yang mendapatkan
pendidikan cukup baik. Kaum miskin menjadi kaum marjinal secara terus-
menerus. Merekalah yang disebut Paulo Freire sebagai "korban penindasan".
Proses penindasan yang sudah mewabah dalam berbagai bidang kehidupan
semakin mendapat legitimasi lewat sistem dan metode pendidikan yang
3
paternalistik, murid sebagai obyek pendidikan, intruksisional dan anti dialog.
Dengan demikian, pendidikan pada kenyataannya tidak lain daripada proses
pembenaran dari praktik-praktik yang melembaga. Dengan konsep
Konsientisasi-nya atau pendidikan sebagai penyadaran, secara ekstrim Freire
menyebutkan bahwa sekolah tidak lebih dari penjinakan. Digiring kearah
ketaatan bisu, dipaksa diam dan keharusannya memahami realitas diri dan
dunianya sebagai kaum yang tertindas. Bagi kelompok elit sosial, kesadaran
golongan tertindas membahayakan keseimbangan struktur masyarakat
hierarkis piramidal ( http://re-searchengines.com/ahmadnajip.html ).
Freire adalah seorang pendidik yang terus mencari membuat ramuan
"obat mujarab" untuk mengubah wajah pendidikan itu sendiri sekaligus wajah
dunianya. Yaitu, dari model pendidikan "gaya bank" (banking concept of
education) ke model pendidikan hadap masalah (problem-posing education)
yang memposisikan pendidik dan peserta didiknya sebagai subyek-subyek
yang mengetahui tugas dan tanggung jawabnya secara benar sesuai dengan
hakikatnya, dari model pendidikan yang tidak terpaut (delinking) ke model
pendidikan yang terpaut (linking) dengan lingkungan sosio-kultural dan sosio-
politiknya (Abd. Malik, dkk. 2001: 162). Pendidikan yang membelenggu dan
yang membebaskan a la Freire secara singkat digambarkannya sebagai
dikotomi model pendidikan yang masing-masing memiliki karakteristik
berbeda dan bahkan saling bertentangan. Model pendidikan yang
membelenggu antara lain memiliki ciri-ciri; guru menanamkan kesadaran
yang keliru kepada siswa dengan melakukan tindakan manipulatif, pendekatan
4
dalam pendidikannya bersifat preskriptif dan sekedar transfer nilai. Sedangkan
model pendidikan yang membebaskan juga memiliki cirri-ciri; guru
mengkondisikan peserta didiknya mengenal kehidupan senyatanya secara
kritis, pendekatan yang dipilih bersifat dialogis dan menempatkan
pengetahuan sebagai suatu yang dinamis dalam proses transformasi yang akan
diuji dalam kehidupan nyata (Abd. Malik, dkk. 2001: 162).
Konsep dan politik pendidikan Freire mempunyai visi filosofis yakni
manusia yang terbebaskan (liberated humanity). Visi ini berpijak pada
penghargaan terhadap manusia dan pengakuan bahwa harapan dan masa depan
yang disampaikan kepada kaum tertindas tidak sekedar menjadi hiburan,
sebagaimana juga bukan untuk terus-menerus mengecam dan menentang
kekuatan objektif kaum tertindas (Paulo Freire, 1999: 12).
Dengan komitmennya pada hubungan dialektis antara praktik dan
teori, Freire senantiasa mendasarkan praktiknya pada ide-ide teoritis yang
meyakinkan, yang selanjutnya berhubungan erat dengan tindakan-tindakan
praktisnya. Ia menghabiskan seluruh hidupnya untuk menjalankan suatu
praksis pedagogis, tanpa definisi muatan a priori, buku teks, atau teknik-
teknik pendidikan. Tujuannya adalah membangun suatu proses pendidikan
yang disebutnya "penyadaran" (conscientization), yang dibangun berdasarkan
realitas sosio dan kultural guru dan murid (Joy A. Palmer, 2003: 238).
Kaitannya dengan konsep pendidikan yang ditawarkan Freire diatas,
dalam Islam–pun sebenarnya telah memberikan kontribusi keilmuan dalam
dunia pendidikan. Islam adalah agama pembebasan karena "Islam
5
memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan
kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan,
mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan
tertindas". Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire telah
diterapkan oleh Nabi Muhammad SAW dalam strategi gerakan dakwah Islam
menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan
sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan
ketidakadilan dalam segala aspeknya. Nabi dalam kerangka dakwah Islam
untuk pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah
ideologi yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya
memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material
kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatanan yang telah ada
menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter
(http://www.uinsuska.info).
Islam adalah agama ilmu dan cahaya, bukanlah suatu agama
kebodohan dan kegelapan. Wahyu yang pertama diturunkan mengandung
perintah membaca kepada Rasulullah. Pengulangan atas perintah tersebut dan
penyebutan kembali mengenai masalah ilmu dan pendidikan itu, dapat kita
rasakan dalam menghubungkan soal pendidikan dengan Tuhan dalam Q.S. Al-
'Alaq ayat 1-5 yang berbunyi:
& t�ø% $# ÉΟó™ $$Î/ y7 În/ u‘ “Ï%©!$# t, n= y{ ∩⊇∪ t, n= y{ z≈ |¡ΣM}$# ôÏΒ @, n=tã ∩⊄∪ ù& t�ø% $# y7š/ u‘uρ ãΠt�ø. F{ $#
∩⊂∪ “Ï% ©!$# zΟ‾= tæ ÉΟn=s) ø9 $$ Î/ ∩⊆∪ zΟ‾= tæ z≈ |¡ΣM}$# $ tΒ óΟs9 ÷Λs>÷è tƒ ∩∈∪
6
"Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang Menciptakan. Dia Telah menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah. dan Tuhanmulah yang Maha pemurah. Yang mengajar (manusia) dengan perantaran kalam. Dia mengajar kepada manusia apa yang tidak diketahuinya". (Q.S. Al-'Alaq : 1-5) (Depag RI, 1971: 1079)
Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan
yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar
bagi semua orang; pintu masjid dan institut-institut terbuka buat semua, tanpa
perbedaan antara si kaya dan si miskin, tinggi atau rendahnya kedudukan
sosial seorang siswa (Athiyah, 1993: 5). Oleh karena itu, di dalam pendidikan
Islam terwujud prinsip-prinsip demokrasi, kebebasan, persamaan dan
kesempatan yang sama buat belajar, tanpa diskrimasi antara si kaya dan si
miskin (Athiyah, 1993: 10).
Berdasarkan latarbelakang masalah diatas, penulis tertarik untuk
melakukan suatu kajian yang penulis konsep dalam sebuah judul :
“Konsep Konsientisasi Paulo Freire Dalam Perspektif Pendidikan Islam”.
B. Definisi Operasional
Untuk menghindari kesalahpahaman serta memudahkan pengertian
yang dimaksud berdasarkan judul di atas, maka penulis memberikan batasan-
batasan pengertian yang tersusun di dalamnya, sehingga tidak menimbulkan
interpretasi yang keliru.
1. Konsep Konsientisasi
Bila melihat dari akar katanya, konsep dalam bahasa Inggris
diartikan dengan draft (kamus Indonesia-English), dan menurut istilah
konsep di maknai sebagai pemikiran umum atau ide, pendapat yang
7
diabstrakkan (Depdikbud, 1993: 764). Sedangkan Konsientisasi
(kesadaran) berakar dari kata sadar, artinya tahu, mengerti, ingat, paham,
serta terbuka hati dan pikirannya untuk berbuat sesuai dengan kata hatinya.
Sedangkan secara terminologi kesadaran adalah keinsyafan akan
perbuatannya (Sujarwa, 2001: 115).
Menurut istilah konsientisasi adalah proses di mana manusia
mendapatkan kesadaran yang terus semakin mendalam tentang realitas
kultural yang melingkupi hidupnya dan akan kemampuannya merubah
realitas itu (Siti Murtiningsih, 2006: 63)
Konsep konsientisasi yang dimaksudkan penulis dalam penelitian
ini adalah sebuah pemikiran mengenai proses yang mendeskripsikan
perkembangan individu yang berubah dari kesadaran magis menuju
kesadaran naif dan akhirnya sampai pada kesadaran kritis.
2. Perspektif
Dalam bahasa inggris; perspective: pandangan, cara pandang (Pius
A Partanto dan M., 1994: 592) dan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
memiliki dua definisi:
a. Cara melukiskan suatu benda dalam permukaan yang mendatar sebagai
mana terlihat oleh mata dengan tiga dimensi (panjang, lebar dan
tinggi).
b. Sudut pandang; pandangan (Depdikbud, 1993: 675).
8
3. Pendidikan Islam
Secara etimologi pendidikan Islam sering disebut dengan istilah
tarbiyyah, ta’dib, ta’lim, atau istilah lain yang maknanyapun memiliki
keunikan makna tersendiri; rabbâ-yarbû-tarbiyah: bermakna tambah dan
berkembang, rabbâ-yurbî-tarbiyah: bermakna tumbuh dan menjadi
besar/dewasa, rabbâ-yarubbu-tarbiyah: bermakna memperbaiki,
menguasai urusan, memelihara dan merawat. Sehingga bila diambil dari
kata kerjanya (rabbâ), maka pendidikan Islam memiliki arti
menumbuhkan, mengembangkan, memelihara, membesarkan dan
menjinakkan (Abdul Mujid dan Yusuf Mudzakir, 2006: 11). Sedang secara
terminology menurut berbagai pakar pendidikan dapat dirumuskan sebagai
berikut:
Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan
suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif
mengembangkan potensi dirinya, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia,
serta serta ketrampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan
Negara (UU Guru dan Dosen, 2006: 72).
Pendidikan adalah suatu tindakan yang sadar bertujuan untuk
memelihara dan mengembangkan fitrah serta potensi (sumber daya insani)
menuju kesempurnaan insani (insan kamil). Pendidikan adalah proses
kegiatan yang dilakukan secara bertahap dan berkesinambungan, seirama
dengan perkembangan anak (Achmadi, 1987: 5).
9
Menurut SA. Ibrahim dalam Arifin mengatakan bahwa pendidikan
Islam adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang
dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam, sehingga
dengan mudah ia dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan
ideologi Islam (HM. Arifin, 1991: 3-4).
Dari beberapa definisi tentang pendidikan Islam di atas, penulis
dapat menarik kesimpulan bahwa pendidikan Islam yang dimaksud penulis
dalam penelitian ini adalah segala usaha untuk memelihara dan
mengembangkan fitrah manusia menuju terbentuknya manusia seutuhnya
(insan kamil) sesuai dengan norma Islam.
C. Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah di atas, maka dapat dirumuskan
permasalahannya adalah : “ Bagaimana Konsep Konsientisasi Paulo Freire
Dalam Perspektif Pendidikan Islam ”.
D. Tujuan dan Manfaat Penelitian
1. Tujuan Penelitian
Dengan melihat rumusan masalah yang telah dipaparkan di atas,
maka maksud dari tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui
bagaimanakah pandangan pendidikan Islam terhadap konsep konsientisasi
Paulo Freire.
2. Manfaat Penelitian
a. Memberikan wawasan dan pengetahuan baru tentang konsep
konsientisasi yang dikembangkan dalam perspektif pendidikan Islam
10
b. Sebagai bahan rujukan bagi penelitian selanjutnya tentang konsep
konsientisasi yang dikembangkan dalam perspektif pendidikan Islam.
c. Sebagai bahan evaluasi bagi suatu lembaga pendidikan Islam serta
tenaga kependidikan untuk menemukan format baru tentang konsep
konsientisasi yang dikembangkan dalam perspektif pendidikan Islam.
d. Untuk memperoleh bahan penyusunan skripsi guna memenuhi
sebagian syarat menyelesaikan studi di STAIN Purwokerto.
E. Tinjauan Pustaka
Konsep konsientisasi yang dikembangkan dalam perspektif pendidikan
Islam merupakan topik yang sedang hangat diperbincangkan dan dikaji oleh
para penulis dalam berbagai perspektif, baik melalui kegiatan diskusi/seminar
maupun dalam bentuk tulisan seperti buku, jurnal, majalah, surat kabar, artikel
dan lain sebagainya. Bentuk kegiatan tersebut sebagian besar merupakan
upaya menata kembali pendidikan yang pada saat ini mengalami
ketertinggalan dan keterpurukan.
Diantara penulis pendidikan Islam di Indonesia misalnya, Imam Hanafi
dalam Jurnal Ilmiah Ke-Islaman mencoba untuk menggali kembali hakikat
keberagamaan yang seharusnya ditampilkan oleh manusia beragama. Dengan
memakai cermin praktek pendidikan yang membebaskan sebagaimana
dilakukan oleh Paulo Freire di Brazil pada paruh 1960-an. Menurut Freire,
kala itu pendidikan di Brazil telah menjadi alat penindasan dari kekuasaan
untuk membiarkan rakyat dalam keterbelakangannya dan ketidaksadarannya
bahwa ia telah menderita dan tertindas. "Pendidikan gaya Bank", dimana
11
murid menjadi celengan dan guru adalah orang yang menabung, atau
memasukkan uang ke celengan tersebut, adalah gaya pendidikan yang telah
melahirkan kontradiksi dalam hubungan guru dengan murid. Lebih lanjut
dikatakan, "konsep pendidikan gaya bank juga memeliharanya dan
mempertajamnya, sehingga mengakibatkan terjadinya kebekuan berpikir dan
tidak munculnya kesadaran kritis pada murid".
Dalam buku Siti Murtiningsih terbitan tahun 2006 yang berjudul
Pendidikan Alat Perlawanan (Teori Pendidikan Radikal Paulo Freir)
menjelaskan bahwa dengan konsep konsientisasi atau pendidikan sebagai
penyadaran, Freire menghidupkan kembali daya kritis dalam system
pendidikan. Freire juga mengembalikkan pemahaman kita tentang hubungan
guru dan murid. Freire menyebut "setiap kebudayaan, lingkungan social dan
ekonomi, guru atau murid selalu mengambil posisi tertentu, entah si penindas
atau tertindas". Freire lalu menyuntikkan kesadaran kritis, dan membuat status
ontologism murid bergeser, dari objek sistem pendidikan menjadi subjek
dengan komitmen politik yang menjadikan dunia sebagai ruang hidup bersama
untuk kemanusiaan.
Buku terjemahan Paulo Freire The Politic of Education: Culture,
Power and Liberation tahun 1999, menjelaskan bahwa daya tarik dan
kekuatan Freire adalah kejujuran untuk mengungkapkan, menyatakan, tanpa
tedeng aling-aling kondisi kemanusiaan kita yang telah sedemikian rapuhnya
di mana kita sendiri justru sering bersikap tidak manusiawi dalam
menghadapinya. Filsafat Freire bertolak dari kehidupan nyata, bahwa di dunia
12
ini sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian
lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil,
dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia. Bagi
Freire, penindasan, apa pun nama dan alasannya, adalah tidak manusiawi,
sesuatu yang menafikan harkat kemanusiaan (dehumanisasi).
Kemudian sebuah artikel yang berjudul Nilai Pedagogis Paulo Freire
dan Masa Depan Pendidikan yang ditulis oleh Ahmad Najip tahun 2003,
mengatakan bahwa pendidikan di Indonesia nampaknya sudah tidak berhasil
ditinjau dari aspek pedagogis. Dunia pendidikan sekarang dinilai kering dari
aspek pedagogis, dan sekolah nampak lebih mekanis sehingga seorang anak
sekolah cenderung kerdil karena tidak mempunyai dunianya sendiri . Untuk
itu, diperlukan adanya satu upaya baru dalam menjalankan proses belajar
mengajar. Baru, dalam pengertian berbeda dari yang selama ini melembaga
dalam dunia pendidikan kita. Salah satu metode pendidikan yang dinilai tepat
dijalankan di dunia ketiga adalah konsep pendidikan Paulo Freire yang
menganggap bahwa pendidikan merupakan proses pembebasan .
Berdasarkan penelaahan penulis bahwa apa yang akan dikaji penulis
dalam penelitian ini yaitu konsep konsientisasi Paulo Freire dalam perspektif
pendidikan Islam berbeda dengan kajian para tokoh di atas. Walaupun pada
hakikatnya ada diantara para pemikir diatas yang menyinggung dan
membahasnya.
Penulis menyadari bahwa dalam penelitian ini masih sangat
memerlukan berbagai pemikiran tokoh-tokoh pendidikan Islam. Hal ini
13
penulis gunakan sebagai bahan acuan dalam menggagas teori untuk
menemukan format ideal yang memiliki koherensi dengan kajian ilmu yang
akan dilakukan oleh penulis.
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Ditinjau dari sifatnya, riset ini tergolong riset kepustakaan (library
research) bukan studi kancah (Sutrisno Hadi, 2004: 4). Maksudnya adalah
menjadikan bahan pustaka sebagai sumber primer yang akan dikaji dalam
penelitian ini dan sumber sekunder yang berkaitan dengan permasalahan
yang dihadapi.
2. Sumber Data
Sumber data yang sering digunakan dalam sebuah penelitian
terdapat dua macam yaitu sumber data primer dan sumber data sekunder.
Sumber data primer atau data tangan pertama adalah sumber data
yang diperoleh langsung dari subjek penelitian dengan mengenakan alat
pengukuran atau pengambilan data langsung pada subjek sebagai sumber
informasi yang dicari (Saifuddin Azwar, 1998: 91). Sumber pertama ini
bisa berupa sumber asli baik berbentuk dokumen maupun berbentuk
peninggalan lainnya (Winarno Surakhmad, 1994: 134). Sedangkan yang
dimaksud sumber data sekunder atau data tangan ke dua adalah data yang
diperoleh dari fihak lain, tidak langsung diperoleh oleh peneliti dari subjek
penelitiannya. Data sekunder biasanya berwujud data dolumentasi atau
data laporan yang telah tersedia. (Saifuddin Azwar, 1998: 91).
14
Sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis
yaitu penelaahan terhadap konsep konsientisasi yang dikembangkan dalam
pendidikan Islam, maka sumber yang digunakan sebagai acuan oleh
penulis dalam penelitian ini adalah berbagai literatur yang relevan dengan
pembahasan yang akan dilakukan oleh penulis, baik berupa buku-buku,
majalah, surat kabar, artikel pendidikan, jurnal pendidikan maupun yang
lainnya.
Secara garis besar di bawah ini ada beberapa literatur yang penulis
gunakan sebagai bahan acuan dalam penelitian ini antara lain, meliputi
buku Falsafah Pendidikan Islam karangan Omar Mohammad, buku Dasar-
Dasar Pokok Pendidikan Islam karangan M. Athiyah, buku Falsafah
Pendidikan Islam karangan Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibany,
buku Filsafat Pendidikan Islam karangan Abd. Aziz, buku Pendidikan
Islam Mazhab kritis karangan Assegaf dan Suyadi, buku Ilmu Pendidikan
Islam karangan Nur Uhbiyati, buku terjemahan William A. Smith yang
berjudul Concientizao: Tujuan dan arah Pendidikan Paulo Freire, buku
terjemahan The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation
karangan Paulo Freire, buku Pendidikan Kaum Tertindas, karangan Paulo
Freire, buku Pendidikan Alat Perlawanan: Teori Pendidikan Radikal Paulo
Freire karangan Siti Murtiningsih.
3. Metode Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah metode dokumentasi. Metode dokumentasi dalam penelitian ini
15
digunakan untuk memperoleh konsep-konsep dan pandangan-pandangan
yang terkait dengan konsep konsientisasi yang berupa buku-buku, internet,
surat kabar dan sebagainya.
4. Metode Analisis Data
Metode anlisis yang digunakan penulis adalah metode Content
Analisis (Analisis isi), yaitu merupakan analisis ilmiah tentang isi pesan
suatu komunikasi (Noeng Muhadjir, 1998: 49). Metode ini melibatkan
olahan filosofis dan teoritis. Pada dasarnya ada tiga syarat di dalam
analisis ini, yaitu objektivitas, sistematis dan generalis (Noeng Muhadjir,
1998: 70). Metode ini penulis gunakan dalam rangka untuk menggali dan
mengungkapkan seluruh pokok-pokok konsep konsientisasi Paulo Freire
dan juga konsep pendidikan Islam.
Sedang kerangka berfikir yang digunakan oleh penulis adalah
sebagai berikut:
a. Berfikir Deduktif
Berfikir deduktif adalah proses pendekatan yang berangkat dari
kebenaran umum mengenai suatu fenomena (teori) dan
menggeneralisasikan kebenaran tersebut pada suatu peristiwa atau data
tertentu yang berciri sama dengan fenomena yang bersangkutan (prediksi)
(Safuddin Azwar, 1998: 40). Dengan kata lain, metode deduktif adalah
suatu metode yang berangkat dari pengetahuan umum, dan bertitik tolak
pada pengetahuan yang khusus (Sutrino Hadi, 1995: 36).
16
Metode ini penulis gunakan dalam penelitian ini dalam rangka
menyimpulkan konsep konsientisasi Paulo Freire dan juga konsep
pendidikan Islam terkait dengan sub pokok pembahasan tertentu, yang
sebelumnya telah penulis identifikasi secara keseluruhan dari pokok-pokok
kedua konsep tersebut melalui metode content analysis.
b. Berfikir Induktif
Metode induktif adalah pengambilan kesimpulan dari pernyataan
atau fakta-fakta khusus menjadi kesimpulan yang bersifat umum. (Sutrisno
Hadi, 1995: 42). Metode ini penulis gunakan dalam rangka untuk menguji
kembli validitas tentang konsep konsientisasi dan konsep pendidikan Islam
yang telah penulis simpulkan dengan menggunakan metode deduktif,
sehingga dalam satu kesimpulan kdang penulis memadukan antara metode
deduktif dan metode induktif.
c. Metode Komparatif
Metode komparatif adalah metode pengambilan kesimpulan
dengan cara membandingkan tentang benda-benda, kesamaan pandangan
dan perubahan-perubahan pandangan orang, pendapat satu dengan lainnya
terhadap suatu kasus atau peristiwa. (Suharsimi Arikunto, 2002: 236).
Metode ini penulis gunakan untuk mengkomparasikan berbagai pemikiran
atau pandangan berkaitan dengan konsep konsentisasi Paulo Freire yang
dikembangkan dalam pendidikan Islam. Sehingga dapat ditarik
kesimpulan dari pemikiran-pemikiran tokoh tersebut.
17
G. Sistematika Penulisan
1. Bagian Muka
Halaman judul, nota pembingbing, halaman pengesahan, halaman
motto, halaman persembahan, halaman kata pengantar dan daftar isi.
2. Bagian Isi
Bab pertama, meliputi: latarbelakang masalah, definisi operasional,
rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode
penelitian, sistematika penulisan skripsi.
Bab kedua, konsep pendidikan Islam, meliputi: konsep manusia
dalam pandangan Islam, pengertian pendidikan Islam, dasar dan tujuan
pendidikan Islam, metode serta kurikulum pendidikan Islam.
Bab ketiga, biografi dari Paulo Freire, meliputi: latar belakang
kehidupan, pemikiran edukatif serta corak pemikiran Paulo Friere.
Bab keempat, meliputi: konsep manusia dalam pandangan Paulo
Freire, pengertian konsep konsientisasi, gagasan dasar konsep
konsientisasi, fitrah manusia menurut Islam, paradigma pendidikan kritis,
pendidikan humanis dalam Islam, konsep konsientisasi Paulo Freire dalam
perspektif pendidikan Islam serta posisinya dalam pendidikan Islam.
Bab kelima, berupa penutup, yang berisikan tentang kesimpulan,
saran-saran dan kata penutup.
3. Bagian Akhir
Pada bagian ini memuat: daftar pustaka, lampiran-lampiran dan
daftar riwayat hidup penulis.
18
BAB II
KONSEP PENDIDIKAN ISLAM
A. Konsep Manusia dalam Pandangan Islam
Begitu sentralnya manusia sebagai makhluk Tuhan, maka hampir
semua ilmu pengetahuan menjadikan manusia sebagai objek studinya. Bukan
hanya ilmu sosial dan humaniora, tetapi sebagian ilmu-ilmu kealaman dan
eksakta juga menjadikan manusia sebagai objek studinya. Yang membedakan
antara ilmu-ilmu tersebut adalah sudut pandang terhadap manusia, sesuai
dengan disiplin masing-masing, misalnya biologi mengkaji manusia dari aspek
biologisnya, kedokteran mengkaji manusia dari aspek kesehatan atau medis,
ilmu politik mengkaji manusia dari sudut pandang politik, ekonomi mengkaji
interaksi manusia dalam bidang ekonomi, sedangkan ilmu pendidikan
membahas manusia dari sudut pandang fenomena dan aktifitasnya dalam
pendidikan.
Oleh karena itu, sebelum menguraikan konsep pendidikn Islam,
penulis menganggap penting untuk mengkaji tentang konsep manusia dalam
pandangan Islam, karena manusia merupakan sesuatu yang sangat vital dalam
pendidikan. Tanpa kejelasan konsep ini, pendidikan Islam tidak akan bisa
dipahami secara jelas dan terkesan meraba-raba.
a. Pengertian Hakikat Manusia
Menurut Nur Khalif dan el-Han dalam “Kamus Ilmiah Popular”,
mengartikan hakikat sebagai kebenaran, kenyataan yang sebenarnya substansi
18
19
(Nur Khalif dan el-Han, t.t.: 166). Dalam filsafat yang disebut hakikat dari
suatu benda (hal), ialah keadaan sebenarnya dari benda (hal) tersebut.
Sedangkan menurut Mahmud Yunus dalam “Kamus Arab Indonesia”, kata
hakikat merupakan bentuk masdar dari “haqqa” , yang berarti sebenarnya
(Mahmud Yunus, 1990: 106). Jadi hakikat manusia dapat diartikan substansi
atau keadaan yang sebenarnya, tetap dan tidak berubah, dan substansi itu
merupakan ciri khas yang di miliki oleh manusia yang dapat membedakan
dengan makhluk lain.
Dalam al-Qur’an hakikat manusia banyak diungkapkan sebagai
makhluk dua dimensi. Asal manusia secara esensial bermula dari Allah,
bersifat nur (cahaya), ruh (hidup), dan ghaib (tidak nampak oleh mata kasar).
Ia tidak dapat didefinisikan oleh kata-kata, huruf, bunyi, ataupun sesuatu,
melainkan hanya Dialah yang dapat mengetahui dan memahaminya,Firman
Allah Qur'an Surat An-Nur ayat 35 berbunyi:
ª!$# â‘θ çΡ ÅV≡uθ≈ yϑ¡¡9 $# ÇÚö‘F{$#uρ 4 ã≅ sWtΒ ÍνÍ‘θ çΡ ;ο 4θ s3ô± Ïϑx. $pκ�Ïù îy$t6 óÁ ÏΒ ( ßy$t6 óÁÏϑø9 $#
’ Îû >πy_%y ã— ( èπy_% y –“9 $# $ pκ ¨Ξr( x. Ò=x. öθ x. A“Íh‘ ߊ ߉s%θムÏΒ ;ο t�yf x© 7π Ÿ2 t�≈ t6•Β 7πtΡθ çG÷ƒ y— āω
7π§‹Ï% ÷�Ÿ° Ÿω uρ 7πŠ Î/ ó�xî ߊ%s3tƒ $pκ çJ÷ƒ y— â ûÅÓムöθs9 uρ óΟs9 çµó¡|¡ ôϑs? Ö‘$ tΡ 4 î‘θœΡ 4’ n?tã 9‘θ çΡ 3 “ωöκ u‰
ª!$# Íν Í‘θ ãΖÏ9 tΒ â !$ t± o„ 4 ÛUÎ�ôØ o„uρ ª! $# Ÿ≅≈sWøΒ F{$# Ĩ$ ¨Ψ=Ï9 3 ª!$#uρ Èe≅ ä3Î/ > óx« ÒΟŠ Î=tæ ∩⊂∈∪
Artinya: "Allah (Pemberi) cahaya (kepada) langit dan bumi. perumpamaan cahaya Allah, adalah seperti sebuah lubang yang tak tembus, yang di dalamnya ada Pelita besar. Pelita itu di dalam kaca (dan) kaca itu seakan-akan bintang (yang bercahaya) seperti mutiara, yang dinyalakan dengan minyak dari pohon yang berkahnya, (yaitu) pohon zaitun yang tumbuh tidak di sebelah timur (sesuatu) dan tidak pula di sebelah barat(nya), yang minyaknya (saja) hampir-hampir menerangi, walaupun tidak disentuh api. cahaya di atas cahaya (berlapis-lapis), Allah membimbing kepada cahaya-Nya siapa yang
20
dia kehendaki, dan Allah memperbuat perumpamaan-perumpamaan bagi manusia, dan Allah Maha mengetahui segala sesuatu." (Q.S. Al-Nur: 35) (Depag RI, 1971: 550).
Sedangkan usul dari manusia adalah berasal dari air, lumpur, debu, dan
bumi. Sebagaimana firman Allah dalam Surat al-Mu'minun: 12-14, yang
berbunyi:
ô‰ s) s9uρ $oΨ ø) n=yz z≈|¡Σ M}$# ÏΒ 7' s#≈ n=ß™ ÏiΒ &ÏÛ ∩⊇⊄∪
§Ν èO çµ≈oΨ ù=yè y_ Zπ x/ ôÜçΡ ’ Îû 9‘#t�s% &Å3Β ∩⊇⊂∪
¢ΟèO $ uΖ ø)n= yz sπ x/ ôÜ‘Ζ9$# Zπ s) n=tæ $uΖ ø)n=y‚ sù sπ s)n= yè ø9$# Zπ tóôÒ ãΒ $uΖ ø)n= y‚sù sπ tó ôÒ ßϑø9 $# $ Vϑ≈sàÏã
$ tΡ öθ |¡s3sù zΟ≈sàÏè ø9$# $ Vϑøtm: ¢ΟèO çµ≈tΡ ù' t±Σr& $) ù=yz t�yz#u 4 x8 u‘$ t7tF sù ª! $# ß|¡ôm r& tÉ) Î=≈sƒø: $# ∩⊇⊆∪
Artinya: "Dan Sesungguhnya kami Telah menciptakan manusia dari suatu saripati (berasal) dari tanah. Kemudian kami jadikan saripati itu air mani (yang disimpan) dalam tempat yang kokoh (rahim). Kemudian air mani itu kami jadikan segumpal darah, lalu segumpal darah itu kami jadikan segumpal daging, dan segumpal daging itu kami jadikan tulang belulang, lalu tulang belulang itu kami bungkus dengan daging. Kemudian kami jadikan dia makhluk yang (berbentuk) lain. Maka Maha sucilah Allah, Pencipta yang paling baik." (Q.S. al-Mu'minun: 12-14) (Depag RI, 1979: 550).
Surat al-Hijjr: 28, yang berbunyi:
øŒ Î)uρ tΑ$s% y7 •/u‘ Ïπs3Í×‾≈n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤÎ) 7, Î=≈yz #\�t±o0 ÏiΒ 9≅≈|Áù= |¹ ôÏiΒ :* yϑym 5βθ ãΖó¡ ¨Β ∩⊄∇∪
Artinya: "Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku akan menciptakan seorang manusia dari tanah liat kering (yang berasal) dari lumpur hitam yang diberi bentuk." (Q.S. al-Hijjr: 28). (Depag RI, 1971: 393).
Ini artinya jika manusia ditinjau dari asal kejadian, maka hakikatnya
bersifat ruhaniyah, sedangkan apabila dilihat dari usul kejadian, maka
hakikatnya adalah bersifat jasmaniah.
21
Persoalan hakikat manusia juga telah dikembangkan oleh beberapa
pemikir muslim. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumiddin sebagaimana dikutip oleh
Ibnu Rusn menggunakan empat istilah dalam membahas tentang esensi
manusia yaitu: qalb, ruh, nafs, dan aql. Pengertian masing-masng istilah
tersebut adalah sebagai berikut:
“Hati (qalb) ialah halus, ketuhanan dan bersifat kerohanian, ia dengan hati yang bertubuh ada hubungannya. Yang halus itu hakikat manusia. “Ruh adalah yang halus, yang mengetahui, dan yang merasa dari mansuia.” “Jiwa (nafs) yaitu yang halus yang telah kami sebutkan yakni hakikat manusia; diri dan dzatnya.” “Akal (aql) kadang ditujukan dan dimaksudkan yang memperoleh pengetahuan, dan itu adalah hati yakni yang halus … kadang ditujukan dan dimaksudkan sifat orang yang berilmu, dan kadang ditujukan dan dimaksudkan tempat pengetahuan yakni yang mengetahui.” (Ibnu Rusn, 1998: 31)
Penggunaan keempat istilah di atas menunjukkan bahwa kajin al-
Ghazali terhadap esensi manusia sangat mendalam, menyertai sepanjang
perkembangan pemikirannya.
Menurut al-Farabi, menyatakan bahwa manusia terdiri dari dua
komponen, yaitu jasad dan jiwa.
1. Komponen jasad Menurut Al-Farabi, komponen ini berasal dari alam ciptaan, yang mempunyai bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan terdiri atas organ. 2. Komponen jiwa Menurut Al-Farabi, komponen jiwa berasal dari alam perintah (alam kholiq) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia. hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan walaupun tidak menyamai Dzat-Nya (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 10-11).
22
Sedangkan Syari'ati dalam Suwito, mengungkapkan bahwa manusia
tercipta dari dua hakikat yang berbeda, yakni tanah (lumpur), dan ruh. Tanah
(Lumpur) adalah simbol kerendahan, kenistaan, dan kekotoran. Sedangkan ruh
adalah spirit yang Maha Sempurna, cenderung mengajak manusia kearah yang
suci dan baik budi. Makna simbolik dari pengertian di atas adalah manusia
diciptakan dalm dua sifat dasar, yakni sifat ketuhanan dan sifat kesyetanan.
Karena hakikat kejadian yang seperti itulah, pada saat tertentu, manusia dapat
mencapai derajat yang tinggi, tapi di sisi lain justru manusia dapat terjebak
pada derajat yang hina (Suwito, 2004: 139-134).
Menurut Achmadi mengemukakan bahwa hakikat wujud manusia
terbagi menjadi dua yaitu segi fisik dan segi rohani. Dari segi fisik manusia
berasal dari tanah yang dalam bentuknya sebagai manusia dalam al-Qur'an
disebut sebagai basyar (Q.S. Al-Hijjr: 26-28), yakni makhluk fisik-biologis
kejadiannya hampir sama dengan makhluk biologis lainnya terutama jenis
binatang mamalia, yaitu bermula dari nutfah (zigote) menjadi 'alaqah
(morulla) kemudian menjadi muthghoh (embrio) dan akhirnya terbentuklah
janin, yang struktur gradual lebih sempurna dari binatang (Q.S. At-Tiin: 4 dan
Q.S. Al-Mu'minun: 13-14) (Achmadi, 1987: 44-45).
Dari segi rohani : setelah pembentukan fisik mendekati sempurna
dalam bentuk janin maka Allah meniupkan ruh-Nya kepada manusia dan sejak
saat itu dia benar-benar menjadi makhluk jasmani rohani yang mulia sehingga
malaikatpun diperintahkan oleh Allah agar tunduk kepada manusia (Adam).
Al-Hijjr 29:
23
Œ Î* sù …çµ çF÷ƒ §θy™ àM ÷‚ x/tΡ uρ ϵŠ Ïù ÏΒ Çrρ •‘ (#θ ãè s) sù …çµ s9 tωÉf≈y™ ∩⊄∪
Artinya: "Maka apabila Aku telah menyempurnakan kehidupannya dan telah meniupkan ruh-Ku (ruh ciptaan-Nya) maka tunduklah kamu (para malaikat) kepadanya dengan bersujud." (Q.S. al-Hijjr: 29) (Depag RI, 1971: 393).
Berdasarkan uraian di atas, dapat dipahami bahwa pengertian hakikat
manusia menurut para tokoh memiliki kesamaan pengertian meskipun
redaksinya berbeda-beda. al-Ghazali menyebutnya dengan istilah qalb, ruh,
nafs, dan Aql. Al-Farabi mengistilahkannya dengan jasad dan jiwa. Sedangkan
Syari'ati mengistilahkan hakikat manusia dengan tanah dan lumpur, yang
keduanya merupakan simbol dari kebaikan dan keburukan manusia. Dengan
demikian dapat disimpulkan hakikat manusia terdiri dari dua unsur yaitu unsur
materi (jasad) dan non materi (ruhani).
b. Fungsi dan Tujuan Penciptaan Manusia
Manusia adalah makhluk Tuhan yang diciptakan dengan bentuk raga
yang sebaik-baiknya (Q.S. At-Tiin: 4) dan rupa yang seindah-indahnya (Q.S.
Al-Tagrabun: 3) dilengkapi dengan berbagai organ psikofisik yang istimewa
seperti panca indera dan hati (Q.S. An-Nahl: 78) agar manusia bersyukur
kepada Allah yang telah menganugerahi keistimewaan-keistimewaan itu.
Dengan demikian, manusia diciptakan Allah bukan sekedar main-main, akan
tetapi memiliki fungsi dan tujuan tertentu. Secara global fungsi dan tujuan
manusia dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu sebagai khalifatullah dan
sebagai 'abdullah (Samsul Nizar, 2002: 17).
24
1). Khalifatullah
Dalam al-Qur'an, konsep khalifah secara jelas tersirat dalam Surat
al-Baqarah ayat 30:
øŒ Î)uρ tΑ$ s% š�•/u‘ Ïπ s3Í×‾≈ n=yϑù=Ï9 ’ ÎoΤ Î) ×≅Ïã%y ’ Îû ÇÚö‘F{$# Zπx/‹Î=yz ( (#þθ ä9$ s% ã≅yè øgrB r& $ pκ�Ïù
tΒ ß‰ Å¡ø/ ム$ pκ�Ïù à7 Ï/ó¡o„ uρ u !$ tΒÏe$!$# ßøt wΥuρ ßxÎm7|¡çΡ x8 ωôϑpt¿2 ⨠Ïd‰ s)çΡ uρ y7 s9 ( tΑ$s% þ’ ÎoΤ Î)
ãΝn=ôã r& $tΒ Ÿω tβθ ßϑn=÷è s? ∩⊂⊃∪
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui." (Q.S. al-Baqarah: 30) (Depag RI, 1971: 13).
Menurut Ahmad Musthafa al-Maraghi sebagaimana dikutip Samsul
Nizar, kata khalifah dalam ayat ini memiliki dua makna, yaitu: (1)
pengganti, yaitu pengganti Allah untuk melaksanakan titahnya di muka
bumi; (2) pemimpin, yang diserahi tugas untuk memimpin diri dan
makhluk lainnya serta memakmurkan dan mendaya gunakan alam semesta
bagi kepentingan manusia secara keseluruhan (Samsul Nizar, 2002: 18).
Karena Allah Dzat yang menguasai dan memelihara alam (Rabbul
'alamin), maka manusia sebagai wakil Tuhan tugas utamanya ialah menata
dan memelihara serta melestarikan alam sembari menggunakan dengan
sebaik-baiknya guna kesejahteraan hidupnya (Q.S. Hud: 61). Jabatan
sebagai khalifatullah ini merupakan anugerah tetpi sekaligus sebagai
25
amanah. Oleh karena itu segala aktivitas dalam kaitannya dengan ke-
khalifah-an ini harus dipertanggungjawabkan kepada Allah (Achmadi,
1987: 60).
Bagi syariati, sebagaimana dikutip Suwito, manusia sebagai
khalifah merupakan gambaran ideal, yaitu manusia yang mempunyai sifat-
sifat ketuhanan yang dapat mengendalikan sifat-sifat rendah dan hina
(Suwito, 2004: 152-153).
Tujuan dan tanggung jawab manusia sebagai khalifah di muka
bumi menurut Hamdani Bakran Adz-Zaky, secara global dapat
digolongkan menjadi dua. Pertama, tugas dan tanggung jawab Uluhiyyah;
yaitu yang berhubungan dengan Tuhannya, yang meliputi: (1) memimpin
diri sendiri, keluarga, lingkungan dan alam untuk bersujud, bertasbih,
bertahmid dan bertakbir. (2) mendidik, merawat, menyembuhkan diri
sendiri, keluarga, lingkungan dan alam agar menjadi sumber rahmat,
ilham, hidayah, serta menjganya dari penyakit, gangguan, rongrongan, dan
bisikan syetan yang akan menyesatkan dan menghancurkan moral spiritual
serta moral Illahiyah. Kedua, tugas dan tanggung jawab rububiyah, yaitu
yang berhubungan dengan makhluknya, yang meliputi: (1) memimpin diri
sendiri, keluarga, lingkungan dan alam, agar dapat mengembangkan
kehidupan yang hidup, bermusyawarah, bermufakat, serta saling
mendatangkan manfaat dan keseimbangan. (2) mendidik, menyembuhkan,
mengawasi diri sendiri, keluarga, lingkungan dan alam secara professional
serta menjaganya dari penyimpangan-penyimpangan dan gangguan,
26
sehingga semuanya bisa menjadi sumber energi kehidupan yang potensial
(Hamdani Bakran Adz-Zaky, 2001: 71-72).
Muhammad Abduh dalam Assegaf-Suayadi tujuan diciptakannya
manusia menurut ayat di atas adalah sebagai khalifah di muka bumi. Ke-
khalifah-an yang demikian sesungguhnya juga merupakan ibadah yang
bernilai tinggi dihadapan Ilahi. Sebagai senjata menjadi khalifah untuk
membuat kemaslahatan di muka bumi, Allah memberikan akal sebagai
pembeda antara yang benar dan salah, yang baik dan buruk, serta yang
dilarang dan diperintahkan.
Dengan demikian, sebagai khalifatullah fi al-Ard, manusia diberi
tugas dan tanggung jawab yang berat. Karena begitu berat tugas dan
tanggung jawab ini kelompok langit, bumi dan bukit-bukit (gunung)
semuanya menolak (Q.S. Al-Ahzab: 72) (Assegf-Suyadi, 2008: 76).
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa implikasi
terpenting dari ke-khalifah-an manusia di muka bumi ini adalah
kemampuannya didalam memimpim diri sendiri, mendidik keluarga,
lingkungan, memahami alam semesta tempat ia hidup, serta melakukan
pengawasan, pemanfaatan, penjagaan, dan penyimpangan-penyimpangan
dan gangguan terhadap ekosistem kehidupan, baik antara manusia alam
dan lingkungannya.
2). 'Abd
Konsep 'abd mengacu pada tugas-tugas individual manusia sebagai
hamba Allah. Tugas ini diwujudkan dalam bentuk pengabdian spiritual
27
kepada Allah SWT yang secara jelas ditegaskan dalam al_qur'an Surat
adz-Dzariyat ayat 56, yang berbunyi:
$ tΒuρ àMø)n= yz £Åg ø: $# }§ΡM}$#uρ āω Î) Èβρ߉ ç7÷èu‹Ï9 ∩∈∉∪
Artinya: " Dan Aku tidk menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (Q.S. Adz-Dzariyat: 56) (Depag RI, 1971: 862).
Konsep ibadah yang dirujukkan pada ayat di atas, ditafsirkan
dengan pengertian patuh kepada Allah sekaligus melaksanakan segala
yang diajarkan-Nya. Dari tujuan Allah menciptakan manusia dalam ayat di
atas, maka proses pendidikan harus membentuk jiwa siswa yang selalu
tunduk pada perintah agama, dengan tanpa mengesampingkan dimensi
inteletualitas (Assegaf-Suyadi, 2008: 75). Dengan demikian konsep 'abd
merupakan tugas-tugas individu manusia sebagai hamba Allah. Tugas ini,
diwujudkan dalam bentuk ritual khusus (ibadah mahdlah) yang pedoman
serta petunjuk pelaksanannya sudah ditentukan oleh Allah dan rasul-Nya
secara rinci dalam al-Qur'an dan Hadits.
Secara lebih luas, konsep 'abd sebenarnya meliputi seluruh
aktivitas manusia dalam kehidupannya. Islam menggariskan seluruh
aktivitas seorang hamba selama ini ia hidup di alam semesta ini dapat
dinilai sebagai ibadah manakala aktivitas itu memang ditujukan semata-
mata hanya untuk mencari ridha Allah SWT. Belajar adalah ibadah
manakala itu dilakukan dengan niat mencari ridha Allah. Bekerja juga
adalah ibadah manakala itu dilakukan dengan niat mencari ridha Allah.
Semua aktivitas seorang hamba dalam dimensi kehidupan adalah ibadah
28
manakal itu benar-benar untuk mencari ridha Allah semata. Pada dasarnya
konsep ini merupakan makna sesungguhnya ibadah manakala dipahami,
dihayati dan diamalkan. Maka seorang muslim akan menemukan jati
dirinya sebagai insan paripurna (al-insan al-kamil). (Samsul Nizar, 2002:
19-20).
Dengan demikian, sebagai seorang hamba manusia harus
menempatkan diri sebagai yang dimiliki, tunduk dan taat kepada semua
ketentuan pemiliknya, serta bersikap tawadu', tidak arogan dan senantiasa
pasrah pada semua titah perintah Allah (tawakal). Bila hal tersebut dapat
direalisasikan oleh seorang hamba dengan sungguh-sungguh, baru seorang
hamba memiliki nilai pengabdian kepada Khaliq-Nya.
c. Potensi Manusia
Manusia sebagai makhluk ciptaan Allah dibekali dengan berbagai
potensi-potensi yang terkandung di dalamnya, hal itu merupakan konsekuensi
logis dari proses penciptaan. Tanpa potensi yang diberikan, Tuhan tidak
mungkin akan mengamanatkan tugas ke-khalifah-an di muka bumi ini kepada
manusia.
Dalam Islam, potensi manusia dikenal dengan istilah fitrah. Kata ini,
menurut Quraish Shihab, terambil dari kata al-fathr, yang berarti belahan,
penciptaan, dan kejadian. Dengan merujuk kepada al-Qur'an Surat ar-Rum:
30, lebih lanjut Quraish shihab mengatakan bahwa manusia sejak asal
kejadiannya membawa potensi-potensi beragama yang hanif dan juga
29
memiliki potensi untuk mengenal nama-nama (Quraish Shihab, 1999: 283-
284).
Beberapa tokoh Islam menyimpulkan kata fitrah dengan arti: suci,
tulus dan murni, agama Islam, keesaan Allah, tabiat asli manusia, potensi
untuk mengabdi, dan kesanggupan untuk menerima kebenaran (Ramayulis,
2004: 278). Dalam versi yang lain, Hasan langgulung, mengatakan bahwa
pada prinsipnya potensi-potensi manusia tersimpul dalam sifat-sifat Allah
(Asma' al-Husna), artinya jika Allah bersifat al-'ilm (Maha Mengetahui) maka
manuisapun memiliki sifat tersebut, dan begitu seterusnya dengan sifat-sifat
yang lain (Hasan Langgulung, 1989: 262-263).
Firman Allah SWT dalam surah Ar-Rum ayat 30 yang berbunyi:
óΟÏ% r' sù y7 yγ ô_uρ È Ïe$# Ï9 $Z/‹ÏΖ ym 4 |N t�ôÜÏù «! $# ÉL©9 $# t�sÜsù } $ ¨Ζ9$# $ pκ ö�n= tæ 4 Ÿω Ÿ≅ƒÏ‰ ö7s? È, ù= y⇐Ï9
«!$# 4 š�Ï9≡ sŒ ÚÏe$!$# ÞΟÍhŠs) ø9$# �∅Å3≈ s9 uρ u�sY ò2r& Ĩ$Ζ9$# Ÿω tβθ ßϑn=ôè tƒ ∩⊂⊃∪
Artinya: "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada agama Allah; (tetaplah atas) fitrah Allah yang Telah menciptakan manusia menurut fitrah itu. tidak ada peubahan pada fitrah Allah. (Itulah) agama yang lurus; tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui" (Q.S. Ar-Rum: 30). (Depag RI, 1971: 145).
Dari ayat tersebut timbullah berbagai interpretasi tentang makna fitrah
sebagaimana dikemukakan dalam Muhaimin dan Abdul Mujib, yaitu:
1. Fitrah berarti suci (thuhr)
Menurut Al-Auza'iy, fitrah adalah kesucian, dlam jasmani dan rohani. Arti
ini didukung oleh hadits Nabi SAW.
30
ا����ة ا� �� %��ن وا�#�"!اد و�� ا���رب و����� ا����� و���
��. ,��- , ا'+ ه�ی�ة(ا�'& .(
"Lima macam dalam kategori kesucian, yaitu berkhitan, memotong rambut, mencukur kumis, menghilangkan kuku, dan mencabut bulu ketiak." (H.R. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)
2. Fitrah berarti Islam (dienul Islam)
Abu Hurairah berpendapat bahwa yang dimaksud fitrah adalah agma.
Pendapat ini didukung oleh hadits Nabi SAW.
���1. ا�اح!9:� '�� ح!39+ ا6 �8 آ��'- ان ا6 �. ادم و'�3- ح��3ء
)روا> ,��ض ��ر(
"Bukanlah aku telah menceritakan kepadamu pada sesuatu yang Allah menceritakan kepadaku dalam Kitab-Nya bahwa Allah menciptakan Adam dan anak cucunya untuk berpotensi menjadi orang Islam." (H.R. Iyadh Humar).
3. Fitrah berarti mengakui ke-Esa-an Allah (at-tauhid)
Manusia lahir dengan membawa konsep tauhid, atau paling tidak ia
berkecenderungan untuk meng-Esa-kan Tuhannya dan berusaha terus
mencari untuk mencapai ketauhidan tersebut.
4. Fitrah berarti murni (al-ikhlas)
Manusia lahir dengan berbagai sifat, salah satu di antaranya adalah
kemurnian (keikhlasan) dalam menjalankan suatu aktivitas.
5. Fitrah berarti kondisi penciptaan manusia yang mempunyai kecerdasan
untuk menerima kebenaran.
31
6. Fitrah berarti potensi dasar manusia sebagai alat untuk mengabdi dan
ma'rifatullah.
7. Fitrah berarti ketetapan atau kejadian asal manusia mengenai kebahagiaan
dan kesesatannya.
Manusia lahir dengan ketetapannya, apkah ia nanti menjadi orang yang
bahagia ataukah menjadi orang yang sesat? Semua itu bergantung pada
ketetapan yang diperoleh manusia sejak lahir.
8. Fitrah berarti tabiat alami yang yang dimiliki manusia (human nature).
9. Fitrah berarti al-Ghorizah (insting) dan Al-Munazzalah (wahyu dari
Allah).
Ibnu Taimiyyah membagi fitrah menjadi dua macam:
a. Fitrah al-Munazzalah
Fitrah luar yang masuk pada diri manusia, fitrah ini berupa petunjuk Al-
Qur'an dan As-Sunnah, yang digunakan sebagai kendali dan pembimbing
bagi fitrah al-Gharizah.
b. Fitrah al-Gharizah
Fitrah intern dalam diri manusia yang memberi daya akal (wahyu al-'aqal),
yang berguna untuk mengembangkan potensi dasar manusia (Muhaimin
dan Abdul Mujib, 1993: 12-21).
Secara global, Jalaludin membagi potensi manusia menjadi empat,
yaitu:
32
a. Potensi Naluriyah (Hidayah al-Gharizziyah)
Potensi ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk
memelihara kebutuhan dan kelanjutan hidup manusia. dorongan tersebut
berupa: (1) insting untuk memelihara diri (makan, minum dan penyucian
tubuh; (2) nafsu amarah untuk bertahan atau menghindari dari gangguan
yang mengancam dirinya; (3) naluri seksual, untuk mengembangkan
jenisnya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
b. Potensi Indrawi (Hidayah al-Hassiyat)
Potensi ini merupakan peluang manusia untuk mengenal sesuatu
diluar dirinya melalui alat indra yang dimilikinya. Potensi ini terdiri atas
indra penglihat, pencium, peraba, pendengar dan perasa.
c. Potensi Akal (Hidayal al-'Aqliyyat)
Potensi ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk
memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisis,
membandingkan, maupun membuat kesimpulan, antara benar dan salah.
d. Potensi keagamaan (Hidayah al-Diniyyat)
Potensi ini berupa dorongan untuk megabdi kepada sesuatu yang
dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi (Jalaludin, 2003: 34-36).
Jadi, potensi-potensi yang dimiliki manusia, sebagaimana diuraikan
diatas, semuanya masih bersifat potensi-potensi dasar yang bekerja secara
alami.
33
d. Implikasi Konsep Manusia dalam Pendidikan
Bertolak dari konsep manusia dalam Islam, maka konsep pendidikan
Islam, dalam perumusannya, harus bertolak dan mempertimbangkan wujud
sekaligus hakikat manusia, tujuan dan fungsi penciptaan manusia serta
potensi-potensi dasar manusia. Dari uraian tersebut, menurut Samsul Nizar,
paling tidak ada 2 (dua) implikasi terpenting dalam hubungannya dengan
pendidikan Islam, yaitu:
a. Karena manusia adalah makhluk yang resultan dari dua komponen (materi
dan immateri), maka konsepsi itu menghendaki proses pembinaan yang
mengacu kearah realisasi dan pengembangan-pengembangan komponen-
komponen tersebut.
Hal ini berarti bahwa sistem pendidikan Islam harus dibangun di
atas kesatuan (integrasi) antara pendidikan Qalbiyyah dan 'Aqliyyah,
sehingga mampu menghasilkan manusia muslim yang pintar secara
intelektual dan teruji secara moral. Jika kedua komponen tersebut
dipisahkan dalam proses pendidikan Islam, maka out-put yang dihasilkan
akan kehilangan keseimbangannya dan tidak akan pernah menjadi pribadi-
pribadi yang sempurna (insan kamil).
b. Al-Qur'an menjelaskan, bahwa fungsi penciptaan manusia di alam ini
adalah sebagai khalifah dan sebagai "abd. Sebagaimana dalam al-Qur'an
Surat al-Baqarah: 30, yang berbunyi:
34
øŒ Î)uρ tΑ$s% š�•/u‘ Ïπ s3Í×‾≈n= yϑù=Ï9 ’ ÎoΤÎ) ×≅Ïã% y ’ Îû ÇÚö‘F{ $# Zπ x/‹Î= yz ( (#þθ ä9$ s% ã≅ yè øgrB r& $pκ�Ïù tΒ
߉ Å¡ø/ ム$ pκ�Ïù à7Ï/ ó¡o„uρ u !$ tΒÏe$!$# ßøt wΥuρ ßxÎm7|¡çΡ x8ω ôϑpt ¿2 ⨠Ïd‰s) çΡ uρ y7 s9 ( tΑ$ s% þ’ ÎoΤÎ) ãΝn= ôã r& $tΒ
Ÿω tβθ ßϑn=÷è s? ∩⊂⊃∪
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."(Q.S. Al-Baqarah: 30) (Depag RI, 1971: 13).
Serta Q.S. Adz-Dzariyat ayat 56, yang berbunyi:
$ tΒuρ àMø)n= yz £Åg ø: $# }§ΡM}$#uρ āω Î) Èβρ߉ ç7÷èu‹Ï9 ∩∈∉∪
Artinya: " Dan Aku tidk menciptakan jin dan manusia, melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku." (Q.S. Adz-Dzariyat: 56) (Depag RI, 1971: 862).
Sebagai senjata menjadi khalifah dan 'abd di muka bumi ini, Allah
memberikan akal sebagai pembeda antara yang benar dan yang salah, yang
baik dn yang buruk, serta yang dilarang dan diperintahkan. Dengan akal pula,
akan menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk yang lain. Allah
berfirman:
tβρ â÷ß∆ ù' s? r& } $Ψ9 $# Îh�É9ø9$$ Î/ tβöθ |¡Ψ s? uρ öΝä3|¡à/Ρ r& öΝ çFΡ r&uρ tβθ è=÷Gs? |=≈tGÅ3ø9 $# 4 Ÿξ sù r& tβθ è= É)÷è s? ∩⊆⊆∪
Artinya: "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. Al-Baqarah: 44) (Depag RI, 1971: 16).
35
Penggunaan akal pada ayat di atas, menunjukkan bahwa Islam
menaruh perhatian yang besar bagi perkembangan akal manusia. Oleh karena
itu, proses pendidikan harus menumbuhkembangkan akal sekaligus
menyandarkannya pada hukum tertinggi Islam. Dengan demikian, pendidikan
Islam akan mencetak hamba-hamba Allah dengan kekuatan intelektualitas
yang tinggi beserta sifat tawadu' dan keimanan yang mendalam. Dengan
demikian, maka peserta didik akan menemukan kesejatian manusia
(humanisasi) yang bahagia di dunia dan di akhirat nanti (Samsul Nizar, 2002:
21-22).
Dalam konteks ini, bisa dipahami bahwa potensi manusia sebagai
khalifah dan 'abd, menghendaki adanya program pendidikan yang
menawarkan sepenuhnya penguasaan ilmu pengetahuan secara totalitas, agar
manusia tegar menjadi khalifah dan taqwa sebagai substansi dari aspek 'abd.
Sementara itu, manusia sebagai makhluk dua dimensi (materi dan immateri),
menghendaki adanya program pendidikan yang sepenuhnya mengacu pada
konsep equilibrium, yaitu integrasi yang utuh antara aspek 'aqliyyah dan aspek
qabliyyah.
B. Pengertian Pendidikan Islam
Dengan diawali sejarah kehidupan manusia, Adam as. sebagai manusia
pertama, proses pendidikan Islam telah dimulai. Allah SWT sebagai murabbi
pertama yang mengajarkan kepada Adam as. dengan ilmu pengetahuan
tentang nama-nama benda (QS. Al-Baqârah: 31), yang tidak diajarkan kepada
makhluk lain, termasuk malaikat sekalipun. Selain pengetahuan yang
36
diberikan kepadanya, telah diajarkan juga norma kehidupan guna memprotek
fitrahnya sebagai makhluk dengan larangan Allah untuk menjauhi pohon
Khuldi (QS. Al-Baqarah: 35).
Dengan berkembangnya peradaban kehidupan manusia, sampainya
pada masa Nabi Muhammad SAW sebagai pengembang pendidikan Islam
telah membawa manusia lebih memahami jati dirinya, hal inilah yang
diajarkan Allah kepada al-Ma’lûm SAW. melalui wahyu pertamanya 5 ayat
dari QS. Al-‘Alaq yang berbunyi:
ù& t�ø% $# ÉΟó™ $$Î/ y7 În/ u‘ “Ï%©!$# t, n= y{ ∩⊇∪ t, n= y{ z≈ |¡ΣM}$# ôÏΒ @, n=tã ∩⊄∪ ù& t�ø% $# y7š/ u‘uρ ãΠt�ø. F{ $#
∩⊂∪ “Ï%©!$# zΟ‾=tæ ÉΟn= s)ø9 $$ Î/ ∩⊆∪ zΟ‾=tæ z≈|¡Σ M}$# $ tΒ óΟs9 ÷Λ s>÷ètƒ ∩∈∪
Artinya: “1.Bacalah dengan (menyebut) nama Tuhanmu yang menciptakan. 2. Dia telah menciptakan manusia dari segumpal darah. 3. Bacalah, dan Tuhanmulah yang paling pemurah. 4. Yang megajar (manusia) dengan perantara kalam, 5. Dia mengajarkan kepada manusia apa yang tidak diketahuinya.” (QS. Al-‘Alaq: 1-5) (Depag RI, 1971: 1079)
Wahyu pertama ini adalah pengetahuan dasar tentang hakikat manusia
dan sebagai way of life menyembah Tuhannya, dengan proses membaca
seluruh alam ini dengan ucapan iqra’ . membaca yang dimaksudkan adalah
men-tadabburi isi alam beserta isinya dan diri dari nabi, karena Sang Ummi
tidak dapat menjawab perintah yang disampaikan oleh Jibril kepada al-Ummi.
Bukan berarti nabi tidak dapat membaca, hal tersebut karena untuk menjaga
kepribadian seorang penyampai wahyu Allah. Perintah membaca disini bukan
hanya ditujukan kepada Nabi Muhammad semata, namun untuk seluruh umat
37
manusia sepanjang sejarahnya, realitas kalimat ini adalah kunci pembuka jalan
kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat (Quraish Shihab, 1996: 167).
Sebelum membicarakan pengertian pendidikn dalam Islam secara lebih
luas, penulis memandang perlu untuk melacak dan mengkaji akar istilah
pendidikan dalam Islam itu sendiri, baik dari sisi etimologi maupun dari sisi
terminologi.
Istilah pendidikan Islam merupakan jalinan dari dua kata, yaitu
pendidikan dan Islam. Islam sebagai kata kunci yang memiliki fungsi sebagai
sifat, penegas dan pemberi ciri khas bagi kata pendidik. Dengan demikian
pendidikan dalam Islam adalah pendidikan yang memiliki ciri khas Islam.
Secara etimologi pendidikan Islam sering disebut dengan istilah
tarbiyyah, ta’dîb, ta’lîm, atau istilah lain yang maknanyapun memiliki
keunikan makna tersendiri; rabbâ-yarbû-tarbiyah: bermakna tambah dan
berkembang, rabbâ-yurbî-tarbiyah: bermakna tumbuh dan menjadi
besar/dewasa, rabbâ-yarubbu-tarbiyah: bermakna memperbaiki, menguasai
urusan, memelihara dan merawat. Sehingga bila diambil dari kata kerjanya
(rabbâ), maka pendidikan Islam memiliki arti menumbuhkan,
mengembangkan, memelihara, membesarkan dan menjinakkan (Abdul Mujib
dan Yusuf Mudzakir, 2006: 11).
a. Al-Tarbiyah
Kata al-Tarbiyah yang bermakna seperti dimaksud diatas terdapat
dalam al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 24 dan asy-Syu’ara ayat 18:
...>>>>>≅è% uρ Éb> §‘ $ yϑßγ÷Η xqö‘ $# $ yϑx. ’ ÎΤ$ u‹−/u‘ #Z��Éó |¹ ∩⊄⊆∪
38
Artinya: “ ….Wahai Tuhanku, kasihanilah mereka berdua, sebagaimana mereka berdua telah mendidikku waktu kecil.” (QS. Al-Isra’: 24) (Depag RI, 1971: 428)
tΑ$s% óΟs9 r& y7 În/ t�çΡ $uΖŠÏù #Y‰‹Ï9 uρ |M ÷WÎ6s9 uρ $ uΖŠÏù ôÏΒ x8 Ì�çΗéå tÏΖ Å™ ∩⊇∇∪
Artinya: “Fir’aun menjawab: “Bukankah kami telah mengasuhmu di antara (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu.” (QS. Asy-Syura’: 18) (Depag RI, 1971: 574).
Uraian di atas, secara filosofis, mengisyaratkan bahwa proses
pendidikan Islam yang terkandung dalam Istilah al-Tarbiyyah, memuat
empat unsur, yaitu: (1) memelihara dan menjaga fitrah anak didik
menjelang dewasa; (2) mengembangkan seluruh potensi menuju
kesempurnaan; (3) mengarahkan seluruh fitrah menuju kesempurnaan; dan
(4) melaksanakan pendidikan secara bertahap (Abdurrahman AnNahlawi,
1992: 32).
Istilah al-Tarbiyah merupakan istilah yang paling popular untuk
merujuk arti pendidikan karena menurut Athiyah Abrasyi, sebagaimana
dikutip oleh Ramayulis (2004: 3), al-Tarbiyah merupakan istilah yang
mencakup keseluruhan kegiatan pendidikan. Ia adalah upaya yang
mempersiapkan individu untuk kehidupan yang lebih sempurna dalam hal
etika, sistematis dalam berpikir, memiliki ketajaman sempurna intuitif, giat
dalam berkreasi, memiliki toleransi pada yang lain, berkompetisi dalam
menangkap bahasa tulisan dan lisan serta memiliki beberapa ketrampilan.
Dengan demikian, makna pendidikan yang terkandung dalam
istilah al-Tarbiyah, dapat disimpulkan sebagai suatu proses pengembangan
39
seluruh potensi, dengan menjaga dan memelihara serta mengarahkan
seluruh fitrah dan potensi peserta didik menuju kebaikan dan
kesempurnaan, yang dilakukan secara bertahap.
b. Al-Ta'lim
Kata al-Ta'lim merupakan bentuk masdar dari kata 'allama, yang
berarti mengajar yakni lebih bersifat pemberian atau penyampaian
pengertian, pengetahuan dan ketrampilan (Achmadi, 1987: 3). Kata al-
Ta'lim dalam al-Qur'an bisa dijumpai yaitu dalam Surat al-Rahman ayat 2-
4 dan al-Baqarah ayat 31, yang berbunyi:
zΝ‾=tæ tβ#uö�à)ø9 $# ∩⊄∪ šYn=y{ z≈ |¡ΣM}$# ∩⊂∪ çµyϑ‾= tã tβ$ u‹t6 ø9 $# ∩⊆∪
Artinya: "Yang Telah mengajarkan Al Quran. Dia menciptakan manusia. Mengajarnya pandai berbicara." (Q.S. Al-Rahman: 2-4) (Depag RI, 1979: 885).
zΝ‾=tæ uρ tΠyŠ#u u !$ oÿôœF{ $# $ yγ‾= ä. ...
Artinya: "Dan dia mengajarkan kepada Adam nama-nama (benda-benda) seluruhnya…." (Q.S. Al-Baqarah: 31) (Depag RI, 1979: 14).
Makna yang terkandung dalam ayat tersebut dalam konteks
pendidikan Islam adalah upaya untuk mengaktualisasikan sifat-sifat
kesempurnaan yang telah dianugerahkan oeh Allah kepada manusia.
Pengertian al-Ta'lim secara lebih luas tersirat dalam al-Qur'an
Surat al-Baqarah ayat 151, yang berbunyi:
!$ yϑx. $uΖ ù=y™ ö‘r& öΝà6‹Ïù Zωθ ß™ u‘ öΝà6ΖÏiΒ (#θ è=÷G tƒ öΝä3ø‹n=tæ $oΨ ÏG≈tƒ# u öΝà6Š Ïj. t“ムuρ
ãΝà6ßϑÏk=yè ムuρ |=≈tG Å3ø9 $# sπyϑò6Ït ø:$# uρ Ν ä3ßϑÏk= yè ãƒuρ $ ¨Β öΝs9 (#θ çΡθ ä3s? tβθ ßϑn= ÷ès? ∩⊇∈⊇∪
40
Artinya: "Sebagaimana (Kami Telah menyempurnakan nikmat Kami kepadamu) kami Telah mengutus kepadamu Rasul diantara kamu yang membacakan ayat-ayat Kami kepada kamu dan mensucikan kamu dan mengajarkan kepadamu Al-Kitab dan Al-Hikmah, serta mengajarkan kepada kamu apa yang belum kamu ketahui." (Q.S. Al-Baqarah: 151) (Depag RI, 1979: 38).
Berdasarkan firman Allah tersebut, menurut Abdul Fattah Jalal,
pendidikan tidak terbatas pada kemampuan membaca secara harfiah, tetapi
lebih luas dari itu, yaitu membaca dengan perenungan yang sarat dengan
pemahaman dan pada gilirannya melahirkan tanggung jawab moral
terhadap ilmu yang diperoleh melalui bacaan itu. Konsep inilah yang
digunakan oleh Rasulullah Saw. didalam mengatur dan mendidik para
sahabat untuk mencapai tingkat tazkiyah (proses penyucian diri) yang
membuat mereka berada dalam kondisi siap untuk mencapai tingkat al-
hikmah (Abdul Fattah Jalal, 1988: 29-34).
Dapat diambil kesimpulan bahwa pendidikan yang terkandung
dalam istilah al-Ta'lim mengandung pengertian bahwa pendidikan
merupakan proses yang didalamnya terkandung adanya transformasi
pengetahuan-pengetahuan, pengertian, dan metode yang tidak hanya
menekankan pada aspek kehidupan serta skill (ketrampilan) yang
semuanya dihayati secara sungguh-sungguh didalam merealisasikannya
dalam kehidupan sehari-hari.
c. Al-Ta'dib
At-ta'dib merupakan bentuk masdar dari kata kerja addaba, juga
diartikan mendidik yang lebih tertuju pada penyempurnaan akhlaq-budi
pakerti (Achmadi, 1987: 4).
41
Menurut al-Attas, sebagaimana dikuti Samsul Nizar, istilah al-
Ta'dib merupakan term yang paling tepat untuk diartikan pendidikan
karena didalamnya mengandung arti ilmu, kearifan, keadilan,
kebijaksanaan, pengajaran serta pengasuhan. Konsep ini didasarkan pada
hadits nabi, yang diriwayatkan oleh al-Asykari dari Ali ra., yang berbunyi:
)روا> ا�@1:�ي , ,�8(اد'3+ ر'+ ��ح1 �<دی=+
Artinya: "Tuhan telh mendidikku, maka ia sempurnakan pendidikanku" (HR. Al-'Asykary dari Ali ra) (Samsul Nizar, 2002: 30).
Muhammad Naquib Al-Attas, sebagaimana dikutip oleh Wan
Daud, secara berhati-hati menerjemahkan kata kerja "addabani" yang ada
dalam hadits tersebut dengan "telah mendidikku", kemudian mengartikan
perkataan "ta'dib" dengan "pendidikan". Dari sini, terjemahan hadits
tersebut adalah "Tuhan telah mendidikku dan menjadikan pendidikanku
sebaik-baik pendidikan". Al-Attas, mengutip Ibnu Mansur dengan
menyamakkan addaba dengan 'allama, pengertian yang memperkuat
posisinya dalam menegaskan bahwa konsep pendidikan Islam yang betul
adalah al-Ta'dib (Wan Daud, 1998: 175).
Muhammad Naquib al-Attas, dalam bukunya Konsep Pendidikan
Islam, sebagaimana dikutip oleh Achmadi, dengan gigih mempertahankan
penggunaan istilah ta'dib untuk konsep pendidikan Islam, bukan tarbiyah
atau ta'lim, dengan alasan bahwa dalam istilah ta'dib, mencakup wawasan
ilmu dan amal yang merupakan esensi pendidikan Islam (Achmadi, 2005:
26).
42
Sedangkan Wan Daud mendefinisikan al-Ta'dib, dengan mengutip
pendapat Al-Farabi, sebagai aktifitas yang bertujuan memproduksi suatu
karakter yang bersumber dari sifat moral (Wan Daud, 1998: 180).
Berdasarkan batasan tersebut, maka al-Ta'dib berarti pengenalan
dan pengakuan yang secara berangsur-angsur ditanamkan dalam diri
manusia (peserta didik) tentang tempat-tempat yang tepat dari segala
sesuatu di dalam tatanan penciptaan. Dengan pendekatan ini, pendidikan
akan berfungsi sebagai pembimbing ke arah pengenalan dan pengakuan
tempat Tuhan yang tepat dalam tatanan wujud dan kepribadiannya.
Terlepas dari kegigihan argumen Naquib al-Attas dan para ahli
pendidikan Islam didalam mempertahankan ketiga term diatas (al-
Tarbiyah, al-Ta'lim, al-Ta'dib) sebagai konsep pendidikan Islam, dalam
pembahasan ini penulis tidak akan memperdebatkan secara panjang lebar,
karena sesungguhnya ketiga term tersebut merupakan satu kesatuan yang
saling terkait, dalam arti bila pendidikan dinisbatkan kepada al-Ta'dib,
harus melalui pengajaran (al-Ta'lim), sehingga dengannya ilmu dapat
diperoleh, sedangkan agar ilmu dapat dipahami, dihayati, dan diamalkan,
peserta didik memerlukan bimbingan (al-Tarbiyah).
Oleh karena itu, pendidikan Islam secara etimologi harus
mencakup ketiga term tersebut, yaitu al-Tarbiyah, al-Ta'lim dan al-Ta'dib.
Dengan demikian yang dimaksud pengertian pendidikan Islam adalah
adanya proses murrabi, mu'allim dan muaddib.
43
Sedang secara terminologi menurut berbagai pakar pendidikan dapat
dirumuskan sebagai berikut:
proses transinternalisasi pengetahuan dan nilai Islam kepada peserta didik melalui upaya pengajaran, pembiasaan, bimbingan, pengasuhan, pengawasan, dan pengembangan potensinya, guna mencapai keselarasan dan kesempurnaan hidup di dunia dan akhirat. (Abdul Mujib dan Yusuf Mudzakir, 2006: 28)
Menurut Muhaimin pendidikan dalam Islam dapat dimaknai secara
sederhana sebagai berikut:
a. Pendidikan menurut Islam, atau pendidikan Islami adalah pendidikan yang
dipahami dan dikembangkan dari ajaran dan nilai-nilai fundamental yang
terkandung dalam al-Qur’an dan al-Sunah.
b. Pendidikan ke-Islam-an atau pendidikan agama Islam, yakni upaya
mendidik agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi
pandangan dan sikap hidup seseorang (way of life).
c. Pendidikan dalam Islam, atau proses dan praktek penyelenggaraan
pendidikan yang berlangsung dan berkembang dalam sejarah umat Islam,
dalam arti proses bertumbuh kembangnya Islam dan Umatnya, baik Islam
sebagai agama, ajaran, maupun sistem budaya dan peradaban sejak zaman
nabi Muhammad SAW. sampai sekarang (Muhaimin, 2002: 29-30).
Dari paparan diatas dapat difahami bahwa pengertian pendidikan Islam
adalah pendidikan yang dipahami dan dikembangkan sesuai dengan nilai-nilai,
sumber dasar hukum Islam yang dibudayakan oleh masyarakat.
Pengertian pendidikan dalam Islam telah banyak didefinisikan oleh
para ahli pendidikan, khususnya pendidikan Islam, antara lain:
44
a. Menurut Muhammad SA. Ibrahimi (Bangladesh) dalam Abdul Mujib dan
Jusuf Mudzakkir menyatakan bahwa Islamic education in true sense of the
lear, is a system of education which enable a man to lead his life
according to the Islamic ideologi, so that he may easily mound his life in
accordance with tenets of Islam. (Pendidikan Islam dalam pandangan yang
sebenarnya adalah suatu sistem pendidikan yang memungkinkan seseorang
dapat mengarahkan kehidupannya sesuai dengan ideologi Islam, sehingga
dengan mudah ia dapat membentuk hidupnya sesuai dengan ajaran Islam)
(Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2006: 25).
b. Oemar Muhammad al-Toumy al-Asyaibany, mengemukakan bahwa
pendidikan Islam adalah proses mengubah tingkah laku individu peserta
didik pada kehidupan pribadi, masyarakat dan alam sekitarnya. Proses
tersebut dilakukan dengan cara pendidikan dan pengajaran sebagai
aktifitas asas dan profesi di antara sekian banyak profesi asasi dalam
masyarakat (Muhammad al-toumy, 1979: 399).
c. Menurut Achmadi, mengatakan bahwa yang dimaksud dengan pendidikan
Islam ialah "Segala usaha untuk memelihara dan mengembangkan fitrah
manusia serta sumber daya insani yang ada padanya menuju terbentuknya
manusia seutuhnya (insane kamil) sesuai dengan norma Islam (Achmadi,
1992: 20).
d. Menurut Muhammad Fadhil al-Jamaly, dalam Samsul Nizar,
mendefinisikan pendidikan Islam sebagai upaya mengembangkan,
mendorong, serta mengajak peserta didik hidup lebih dinamis dengan
45
berdasarkan pada nilai-nilai tinggi dan kehidupan yang mulia. Harapannya
adalah terbentuknya pribadi yang lebih sempurna, dalam potensi akal,
perasaan, maupun perbuatannya (Samsul Nizar, 2002: 31-32).
e. Hasil seminar pendidikan Islam se-Indonesia tahun 1960 merumuskan
pendidikan Islam dengan “Bimbingan terhadap pertumbuhan rohani dan
jasmani menurut ajaran Islam dengan hikmah mengarahkan, mengajarkan,
melatih, mengasuh dan mengawasi berlakunya semua ajaran Islam”
(Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 27).
Dari beberapa pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pengertian
pendidikan Islam secara terminologi adalah usaha bimbingan secara sadar
untuk mengembangkan fitrah manusia dan sumber daya insani menuju
terbentuknya insan kamil sesuai dengan norma Islam yang dilakukan secara
bertahap dan berkesinambungan.
C. Dasar dan Tujuan Pendidikan Islam
Eksistensi kehidupan manusia tidak akan lepas dari interaksi antara
dirinya dengan yang lain. Dalam melakukan interaksinya, menumbuh
kembangkan kepribadiannya menjadi corak kehidupan berpendidikan.
Pertumbuhan dan perkembangan manusia akan menjadi sebuah hasil karya
cipta yang berarti buat dirinya dan makhluk lainnya, bila memiliki pondasi
kuat dalam berinteraksi dan berargumen. Hal tersebut diupayakan untuk
kelangsungan hidup mereka menuju keridlaan Yang Maha Kuasa.
46
a. Dasar Pendidikan Islam
Dasar adalah landasan untuk berdirinya sesuatu, yang berfungsi
mengarah kepada pencapaian tujuan dan landasan sesuatu (Ramayulis,
2004: 53). Dasar pendidikan Islam merupakan landasan operasional yang
dijadikan untuk merealisasikan dasar/ideal pendidikan Islam (Abdul Mujib
dan Jusuf Mudzakkir, 2006: 44). Achmadi menyatakan bahwa dasar
pendidikan Islam adalah pandangan hidup yang melandasi seluruh aktifitas
pendidikan (Achmadi, 2005: 81).
Dalam perumusan dasar pendidikan Islam, yang harus menjadi
pertimbangan selain falsafah suatu bangsa, juga pertimbangan-
pertimbangan teologis seorang muslim. Islam yang diyakini mengandung
kebenaran mutlak yang bersifat fundamental, universal dan eternal, secara
akidah menjadikan manusia sesuai dengan fitrahnya. Oleh karena itu,
proses pendidikan hendaknya didasarkan pada cita-cita tersebut. Dari
sekian banyak nilai yang terkandung dalam Qur’an dan Hadits, nilai yang
paling fundamental adalah nilai tauhid. Tauhid merupakan nilai intrinsik,
nilai dasar, yang paling fundamental dan memiliki posisi yang paling
tinggi. Tauhid merupakan pondasi seluruh ragam ajaran Islam yang secara
terminologis, berarti pengakuan terhadap ke-Esaan Allah. Dan bukan
hanya mengakui akan ke-Esaan-Nya saja, tetapi juga meyakini kesatuan
Pencipta (unity of creation), kesatuan kemanusiaan (unity of mankind),
kesatuan tuntunan hidup (unity of guidance) dan kesatuan tujuan dari
kesatuan ketuhanan (unity of Godhead) (Achmadi, 2005: 83-85).
47
Berdasarkan term diatas, sesungguhnya tauhid saja sudah cukup
sebagai landasan bagi seluruh kegiatan hidup dan kehidupan umat
manusia, karena ia merupakan nilai esensial dan sentral dalam gerak hidup
muslim yang tertuju kesana (ghâyah ‘ala hayyâh), dan termasuk
pendidikan, karena aktifitas pendidikan akan dijiwai oleh norma-norma
Ilâhiyyah, serta motivasi untuk beribadah kepada Sang Khâliq.
Dari literatur yang penulis dapatkan, dalam pengklasifikasian dasar
pendidikan Islam ada beberapa perbedaan, namun esensi dari semuanya
memiliki persamaan persepsi, mengacu pada al-Qur’an dan al-Hadits yang
berimplikasi kepada seluruh aktifitas kehidupan manusia.
Hasan Langgulung dalam “Manusia dan Pendidikan: Suatu
Analisis Psikologis dan Pendidikan” menyatakan bahwa proses pendidikan
didasarkan pada enam komponen, yaitu: al-Qur’an, al-Sunnah, qaul
sahâbah, masâlih al mursalah, ‘urf dan pemikiran hasil ijtihad intelektual
muslim (Hasan Langgulung, 1989: 35). Sedang Abdul Mujib dan Jusuf
Mudzakkir menjadikan keenam komponen tersebut sebagai sumber, acuan
dari pendidikan, kemudian ia lebih menilik kepada operasional yang
menjadi pondasi pendidikan Islam, yaitu: dasar historis, dasar sosiologi,
dasar ekonomi, dasar politik dan administratif, dasar psikologi, dasar
filosofi, dan dasar religius (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir, 2006: 31-
42).
48
1). Dasar Historis
Dasar historis adalah acuan yang berorientasi pada pengalaman
pendidikan masa lalu, baik yang termodifikasi dalam sebuah literatur
maupun kebijakan-kebijakan masa lalu yang dapat dijadikan pijakan pada
masa kini. Dasar ini akan memberikan input tentang kelebihan pendidikan
masa lalu dan kekurangannya atau maju mundurnya peradaban pendidikan
masa lalu yang telah ditempuh. Hal ini pun telah disinyalir oleh Allah
dalam firman-Nya dalam surat al-Hasyr ayat 18 yang artinya: “Dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
hari esok” (QS. Al-Hasyr: 18).
Sejarah masa lalu di Arab misalnya kegemaran mereka tentang
sastra, maka pendidikan sastra menjadi identitas dan potensi akademik
bangsa Arab.
2). Dasar Sosiologis
Dasar sosiologi adalah memposisikan kerangka sosial budaya
menjadi acuannya, yang menjadi tolok ukur dalam prestasi belajar. Karena
relevansi output pendidikan dapat diukur dengan memperhatikan
kebutuhan dan keinginan masyarakat. Sehingga format pendidikan
nantinya tidak akan merusak tatanan sosial masyarakat yang telah
membudaya, tapi penyelenggaraan pendidikan dapat dilakukan dengan
baik.
49
3). Dasar Ekonomi
Presfektif dari dasar ekonomi adalah potensi-potensi finansial,
penggalian dan penggalian sumber-sumbernya serta pertanggungjawaban
terhadap pentasharufannya. Pendidikan akan berjalan dengan baik dengan
adanya kecukupan finansial yang mendukung, dalam hal ini bukan kuota
yang ada saja, namun kebersihan, kesucian, dan tidak tercampurnya
dengan barang syubhât. Ada nilai keberkahan yang hilang bila sumber
finansial tidak bersih, walaupun kelihatannya menunjukkan keberhasilan
dalam pendidikan secara formal, namun kepincangan dalam keberkahan
spiritual yang berimbas kepada outputnya, peserta didik tidak akan
memiliki implikasi yang signifikan terhadap perkembangan moral dan
spiritual. Allah SWT berfirman kepada Nabi Daud dalam Hadits
Qudsinya: “Hai Daud, hindari dan peringatkan pada kaummu dari
makanan syubhât karena sesungguhnya hati orang yang memakan
makanan syubhât itu tertutup dari-Ku”, jadi harta syubhât (tidak jelas
halal-haramnya) saja tidak diperbolehkan, apalagi yang haram.
4). Dasar Politik dan Administratif
Dasar ini memberikan bingkaian ideologis dari suatu masyarakat
pada tempat tertentu, yang dijadikan acuan dalam penyatuan presepsi
tujuan hidup yang dicita-citakan dan direncanakan. Dasar politik ditujukan
agar adanya kebijakan-kebijakan yang ‘ammah untuk kemaslahatan
bersama, sedang dasar administratif untuk memudahkan dalam pengaturan
hal-hal teknis agar tertata dengan proporsional.
50
5). Dasar Psikologi
Dasar psikologis dimaksudkan untuk memberikan informasi
tentang bakat, minat, watak, karakter, motivasi dan inovasi peserta didik,
pendidik, tenaga administrasi serta sumber daya manusia yang lainnya.
Dasar ini bertujuan dalam kepuasan batin dari seluruh komponen
pendidikan dengan adanya peningkatan prestasi dan kompetisi dari
seluruhnya serta adanya suasana makmur sisi luar dan tentram dalam jiwa,
sebagai keindahan dari proses pendidikan.
6). Dasar Filosofis
Dasar filosofis adalah dasar yang memberikan kemampuan untuk
memilih yang terbaik, arahan, pengontrolan kepada semua dasar
operasinal lainnya. Bagi masyarakat sekuler, dasar filosofis
menjadikannya acuan yang terpenting dalam pendidikan, namun bagi
masyarakat religius, muslim misalnya, hanya dijadikan sebagai bagian
dasar cara berfikir tentang pendidikan secara sistematik, radikal dan
universal yang asasnya dari nilai-nilai Ilâhiyyah.
7). Dasar Religius
Dasar religius merupakan dasar pendidikan Islam yang sangat
bermakna, karena merupakan kontruksi dari aktualisasi dasar-dasar
pendidikan yang lainnya. Agama menjadi frame bagi semua dasar
pendidikan Islam yang implikasinya menjadikan pendidikan sebagai
ibadah, karena ibadah merupakan aktualisasi diri (self-actualization) yang
paling ideal dalam pendidikan Islam.
51
b. Tujuan Pendidikan Islam
Manusia di dunia ini, dikelilingi oleh fenomena alam yang tidak
terbilang, yang masing-masing muncul dengan membawa maksud dan
pesan, ujar Bakker yang dikutip oleh Abdur Rahman Shalih Abdullah.
Manusia sebagai makhluk dari Dzat Sang Khâliq, yang mana Ia pun
memiliki tujuan dalam penciptaan makhluk-Nya, yaitu untuk beribadah
kepada-Nya (Abdur Rahman shaleh, 1991: 147). Sebagaimana firman-
Nya:
$ tΒ uρ àMø) n=yz £Åg ø: $# }§ΡM}$#uρ āω Î) Èβρ߉ ç7÷è u‹Ï9 ∩∈∉∪
Artinya : “Aku tidak menciptakan jin dan manusia, kecuali untuk beribadah (mengabdi) kepada-Ku.” (Adz-Dzariat: 56) (Depag RI, 1971: 862).
Secara analitis, tujuan adalah cita-cita, yaitu suasana ideal yang
ingin diwujudkan (Ahmad Warid Khan, 2002: 175). Sedang menurut
Zakiyah Darajat, tujuan adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah
suatu usaha atau kegiatan selesai dikerjakan (Zakiyah Daradjat, 1992:
223). Muzayyin Arifin, mengatakan bahwa tujuan itu bisa jadi
menunjukkan futuritas yang terletak suatu jarak tertentu (Muzayyin Arifin,
1991: 223). Dari beberapa pendapat ini dapat disimpulkan bahwa tujuan
adalah batas akhir (ghâyah) dari suatu usaha atau kegiatan yang dilakukan
seseorang untuk maksud tertentu yang diwujudkan oleh cita-cita, dan
kehendak.
52
Tujuan pendidikan secara umum dapat diartikan sebagai arah yang
diharapkan setelah subjek didik mengalami perubahan proses pendidikan,
baik pada tingkah laku individu maupun dalam kehidupan masyarakat.
Bila dalam Islam, tujuan pendidikan Islam adalah sebagai tujuan
dari keislaman seseorang dengan diharapkan mencapai kesempurnaan
(insân kâmil), karena Islam sendiri sebagai agama samâwi yang memiliki
nilai dan norma sebagai pandangan hidup yang termaktub dalam al-Qur’an
dan al-Hadits (Muzayyin Arifin, 2003: 108).
Selaras dengan fitrah yang dimiliki manusia, begitu juga dengan
pendidikan sebagai alat untuk mengetahui jati diri manusia itu sendiri guna
makrifat kepada Allah SWT., maka tujuan dari pendidikan harus mengarah
kepada dimensi yang dimiliki manusia.
Dalam menentukan tujuan pendidikan Islam sayogyanya
berorientasi pada aspek yang dimiliki manusia itu sendiri, karena dialah
pelaku pendidikan.
Rumusan tujuan pendidikan Islam yang dihasilkan dari seminar
pendidikan Islam sedunia tahun 1980 di Islamabad yang dikutip oleh
Abdul Majid adalah:
"Education aims at the balanced growth of total personality of man through the training of man’s spirit, intellect, the rational self, feeling and bodile sense. Education should, therefore, cater for the growth of man in all its aspects, spiritual, intellectual, imaginative, physical, scientific, linguistic, both individually and collectively, and motivate all these aspect toward goodness and attainment of perfection. The ultimate aim of education lies in the realization of complete submission to Allah on the level of individual, the community and humanity at large" (Abdul Majid, 2006: 82-83).
53
Yang maksudnya bahwa pendidikan seharusnya bertujuan
mencapai pertumbuhan yang seimbang dalam kepribadian manusia secara
total melalui pelatihan spiritual, kecerdasan, rasio, perasaan dan panca
indra. Oleh karena itu, pendidikan seharusnya pelayanan bagi
pertumbuhan manusia dalam segala aspek yang meliputi aspek spiritual,
intelektual imajinasi, fisik, ilmiah, linguistic, baik secara individu, maupun
secara kolektif dan memotivasi semua aspek tersebut kearah kebaikan dan
pencapaian kesempurnaan. Tujuan pendidikan bertumpu pada
terealisasinya ketundukan kepada Allah SWT. baik dalam level individu,
komunitas, dan manusia secara luas.
Menurut Abdur Rahman Shaleh Abdullah, karakteristik-
karakteristik yang harus diperhatikan, antara lain:
1. Keharmonisan antara kebutuhan individu dengan komunitas, karena
tujuan pendidikan Islam bertujuan untuk membentuk pribadi muslim
yang dapat berkomunikasi serta beadaptasi dengan lingkungannya.
2. Keseimbangan antara realitas dengan idealitas, karena harapan dari
tujuan pendidikan Islam adalah mampu untuk mengatasi kesenjangan
sosial dan menempatkannya pada posisi yang ideal norma Islam.
3. Teratur dan tidak labil, dalam artian bahwa dalam penentuan tujuan
pendidikan harus bersifat pasti, dan tidak mudah goyah yang mendasar
pada prinsip-prinsip yang telah dibangun berdasarkan efektif dan
efensial semangat keislaman.
54
4. Berorientasi pada kehidupan dunia dan akhirat, karena kehidupan di
dunia merupakan lahan untuk dimanfaatkan dan hasilnya dituai di
akhirat. Aktifitas yang dilakukan di dunia hendaknya dikembalikan
hanya sebagai wujud kepatuhan kepada Tuhan dan harapan akan ridha-
Nya, sebagaimana firman-Nya.
ö≅è% ¨βÎ) ’ ÎAŸξ |¹ ’Å5 Ý¡èΣuρ y“$u‹øt xΧ uρ †ÎA$yϑtΒ uρ ¬! Éb> u‘ tÏΗs>≈ yè ø9$# ∩⊇∉⊄∪
“Katakanlah: sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Rabb semesta alam.”(QS. Al-An’am: 162) (Depag RI, 1971: 216).
5. Diwujudkan kedalam bentuk tingkah laku yang dapat diteliti,
sebagaimana konsep shalat adalah do’a, namun bukanlah hanya
sekedar do’a, ada aplikasi darinya. Walau dalam Islam niat merupakan
hal yang vital, namun ia merupakan hal tersebut merupakan aspek
yang tersembunyi. Jadi dalam pendidikan Islam diharapkan bentuk-
bentuk prilaku yang mencerminkan kemuliaan (Abdur Rahman Shaleh,
1991: 147-173).
Dengan demikian, tujuan pendidikan Islam yang diharapkan adalah
terciptanya perilaku yang mencerminkan norma-norma Islam sebagai
cerminan terbentuknya manusia yang sempurna (insan kamil). Hal tersebut
dapat tercapai bila komponen-komponen yang positif dari peserta didik
dapat teraktualisasikan.
D. Metode Pendidikan Islam
Bila kembali kita telusuri tentang tujuan dari pendidikan dalam Islam
bahwa, adanya keteraturan dalam proses dengan efektifitas dan efesiensi
55
waktu, maka hal tersebut tidak dapat dicapai bila tanpa cara/teori yang
komprehensif.
Secara umum metode dapat diartikan sebagai cara mengerjakan
sesuatu, dengan cara yang baik maupun yang tidak baik. Dalam pandangan
filosofi pendidikan, metode merupakan alat yang mempunyai fungsi ganda,
yaitu bersifat poligramatis (memiliki kegunaan ganda) dan monopragmatis
(hanya memiliki satu kegunaan) (Muzayyin Arifin, 2003: 89). Jadi metode
pendidikan merupakan sebuah cara untuk digunakan dalam proses pendidikan,
yang satu sisi memiliki kegunaan ganda dan sisi yang lain hanya satu.
Dalam firman Allah SWT. Dinyatakan: “Hai orang-orang yang
beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan yang mendekatkan diri
kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat
keberuntungan” (QS. al-Mâidah: 35), ini berimplikasi bahwa dalam
pelaksanaan pendidikan Islam dibutuhkan adanya metode yang tepat guna
tercapainya cita-cita pendidikan.(Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir, 2006:
165).
Jadi dapat difahami bahwa metode pendidikan merupakan suatu cara
dalam melaksanakan proses pendidikan guna tercapainya cita-cita pendidikan
yang diidamkan.
Dalam Pendidikan Islam, perintah untuk menggunakan metode tertentu
guna mentransformasikan nilai-nilai Islam telah ditegaskan oleh Allah dalam
surat an-Nahl ayat 125, yang berbunyi:
56
äí÷Š $# 4’ n<Î) È≅‹Î6 y™ y7În/ u‘ Ïπyϑõ3Ïtø: $$ Î/ Ïπ sàÏã öθ yϑø9 $#uρ ÏπuΖ |¡pt ø:$# ( Οßγ ø9 ω≈ y_uρ ÉL©9 $$ Î/ }‘Ïδ ß|¡ ômr& 4 ¨β Î) y7 −/ u‘ uθ èδ ÞΟn=ôã r& yϑÎ/ ¨≅ |Ê tã Ï& Î#‹Î6 y™ ( uθ èδ uρ ÞΟn= ôãr& t ω tGôγ ßϑø9 $$Î/ ∩⊇⊄∈∪
Artinya: “Serulah manusia kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu, Dial ah Yang Paling Mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya. Dan Dial ah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. An-Nahl: 125) (Depag RI. 1971: 421).
Ayat tersebut mengandung tiga metode penting dalam pengajaran
agama Islam kepada manusia, yaitu dengan metode bil hikmah, mauidzah
hasanah (ceramah, nasehat) dan mujâdilah bil lati hiya ahsan (diskusi). Dan
dalam mengembangkan metode-metode pengajaran, para pemikir Islam
menggunakan ayat-ayat lainnya.
Dalam penggunaan metode menurut Abdur Rahman Shaleh Abdullah
ada beberapa aspek esensial yang harus diperhatikan oleh seorang pendidik,
yaitu; pertama metode dan relefansinya yang sesuai dengan sasaran dan tujuan
dari pendidikan Islam, yaitu membentuk pribadi yang beriman dan berserah
diri kepada Allah, kedua metode pengajaran yang aktual bersumber dari al-
Qur’an ataupun diderivasi darinya, dan ketiga metode disiplin dan motivasi
atau dalam terminologi al-Qur’an disebut dengan tsawab (penghargaan) dan
‘iqab (hukuman) (Abdur Rahman Shaleh, 1991: 212).
Berkaitan dengan pengembangan metode pendidikan Islam, Abdul
Munir Mulkhan mendiskripsikannya sebagai berikut:
57
1) Allah SWT. menyuruh manusia untuk mencontoh kepribadian Nabi
Muhammad, karena sesungguhnya pada dirinya terdapat tauladan yang
baik (QS. Al-Ahdzab: 21)
2) Allah SWT. menyuruh hambanya agar menyeru manusia menuju jalan
yang lurus dengan hikmah, pengajaran yang baik dan argumentasi yang
dapat dipertanggungjawabkan (QS. An-Nahl: 125).
3) Allah SWT. menyuruh umat Islam untuk mengembangkan sifat arif dan
bijaksana dalam melakukan dan menyelesaikan suatu aktifitas (diskusi)
dan bermusyawarah, serta bertawakal kepada-Nya (QS. Ali Imron: 159
dan QS. Asy-Syuraa’: 38).
4) Manusia diperintahkan untuk melakukan eksplorasi di muka bumi dan
memperhatikan bagaimana kesudahan orang-orang yang mendustakan
Allah (QS. Al-An’am: 11) (Abdul Munir Mulkhan, 1993: 249-250).
Berdasarkan pendapat-pendapat diatas sebenarnya orientasi dari
metode adalah untuk mempermudah proses kesempurnaan manusia, baik
sebagai ‘âbid dan khalîfâtullâh fi al-ard. Jadi dalam menggunakan metode
pendidikan yang sudah diderivasi dari al-Qur’an haruslah dilakukan dengan
secara teliti dan penuh kehati-hatian, karena pelaku pendidikan, dalam hal ini
adalah manusia yang memiliki beragam dimensi yang harus difahami dan
disesuaikan dengannya secara proporsional.
Untuk mewujudkan pelaksanaan metode yang bersumber dari
khazanah Islam sendiri, maka perlu dilakukan pembentukan metode-metode
yang relevan dan efektif yang selanjutnya diaplikasikan secara praktis. Dalam
58
hal ini Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakkir menyebutkan ada enam bentuk
metode pendidikan dalam Islam, yaitu:
a. Metode Diakronis, yaitu metode yang menonjolkan aspek sejarah agar
siswa dapat memiliki pengetahuan yang relevan, sebab-akibat, atau
kesatuan integral. Dengan metode ini, menjadikan siswa selalu ingin
mengetahui lebih lanjut pengalaman yang ia peroleh dari sejarah masa lalu
dan menjadikannya sebagai suatu kenyataan yang memiliki kesatuan yang
mutlak dengan waktu, tempat, kebudayaan, golongan dan lingkungan
tempat terjadinya sejarah atau kejadian tersebut.
b. Metode Sinkronis-Analitis, yaitu metode yang memberikan kemampuan
analitis teoritis sehingga mengembangkan keimanan dan mental-intelek
bagi siswa.
c. Metode Problem Solving (Hill al-Musykilât), yaitu suatu metode yang
menghadapkan siswa dengan berbagai permasalahan suatu cabang ilmu
pengetahuan dengan solusi-solusinya. Dan pengembangannya dapat
melalui teknik simulasi, micro teaching, dan critical incident (tanqîbiyah).
d. Metode Empiris (Tajrîbiyah), yaitu metode pengajaran yang
memungkinkan peserta didik mempelajari ajaran Islam melalui proses
realisasi, aktualisasi, serta interrealisasi norma-norma dan kaidah Islam
melalui proses aplikasi yang menimbulkan suatu interaksi sosial.
e. Metode Induktif (al-Istiqrâiyah), yaitu metode yang digunakan oleh
pendidik dalam menjelaskan materi, berangkat dari materi yang khusus
59
(juz’iyah) menuju kesimpulan yang general. Hal ini dilakukan agar siswa
dapat mengetahui kebenaran hakiki dengan melalui riset.
f. Metode Deduktif, yaitu metode yang digunakan pendidik dalam
menjelaskan materi, yang berangkat dari kaidah-kaidah yang umum
kemudian menjelaskannya dengan contoh-contoh yang spesifik.
Dimaksudkan oleh metode ini agar siswa dapat mengetahui inti dari setiap
materi yang disampaikan oleh pendidik (Abdul Mujib dan Jusuf Mudzakir,
2006: 179-183).
Dari paparan bentuk metode-metode diatas, pada dasarnya dalam
pembentukan dan pelaksanan proses pendidikan Islam harus memperhatikan
berbagai aspek dari keteladanan, perenungan, dan pengaplikasian. Dan hal ini
tidak dapat dilakukan bila tidak melihat pada sisi yang berkaitan dengan diri
manusia/peserta didik dan pendidik serta sisi sosial masyarakatnya.
E. Kurikulum Pendidikan Islam
Dalam bidang pendidikan, kurikulum merupakan unsur terpenting
dalam setiap bentuk dan model pendidikan apa pun. Tanpa adanya kurikulum,
sulit rasanya bagi para perencana pendidikan dalam mecapai tujuan
pendidikan yang diselenggarakan. Mengingat pentingnya kurikulum, maka
kurikulum perlu dipahami dengan baik oleh semua pelaksana pendidikan.
Kurikulum berasal dari bahasa Yunani, yaitu "Curir", yang artinya
"pelari" dan "curere", yang berarti tempat berpacu. Jadi, istilah kurikulum
pada mulanya berasal dari dunia olahraga pada jaman Romawi Kuno di
60
Yunani, yang mengandung pengertian "suatu jarak yang harus ditempuh oleh
pelari dari garis star sampai garis finish (Hasan Langgulung, 1989: 179).
Sedangkan dalam kosakata Arab, istilah kurikulum dikenal dengan
kata manhaj, yang berarti "jalan yang terang" atau jalan yang terang yang
dilalui manusia pada berbagai bidang kehidupan. Apabila pengertian ini
dikaitkan dengan pendidikan, maka manhaj atau kurikulum, berarti jalan
terang yang dialaui pendidikan atau guru latih dengan orang-orang yang di
didik atau dilatihnya untuk mengembangkan pengetahuan, ketrampilan dan
sikap (Samsul Nizar, 2002: 56).
Berdasarkan pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa kurikulum
adalah pondasi yang digunakan oleh para pendidik untuk membimbing para
peserta didiknya kearah maksud atau tujuan pendidikan yang diinginkan
melalui proses akumulasi sejumlah pengetahuan, ketrampilan dan sikap.
Dalam konteks pendidikn Islam, kurikulum yang dirumuskan memiliki
cirri khas tersendiri karena pendidikan Islam dibangun atas dasar ajaran-ajaran
Islam dan pandangan hidup manusia dalam Islam. Bertolak dari pandangan
hidup manusia dan ajaran Islam, serta kaidah-kaidah Islam inilah, kurikulum
pendidikan Islam dirumuskan.
Muhammad at-Toumy Al-Syaibany menyatakan bahwa kurikulum
dikatakan kurikulum pendidikan Islam, apabila memiliki prinsip-prinsip,
sebagai berikut: (1) berorientasi pada Islam, termasuk ajaran dan nilai-
nilainya; (2) prinsip menyeluruh (universal), pada tujuan-tujuan dan
kandungan-kandungan kurikulum; (3) prinsip keseimbangan yang relative
61
antara tujuan-tujuan dan kandungan-kandungan kurikulum; (4) prinsip-prinsip
interaksi antara kebutuhan siswa dan kebutuhan-kebutuhan masyarakat; (5)
prinsip pemeliharaan perbedaan-perbadaan individual diantara peserta didik,
baik perbedaan dari segi bakat, minat, kemampuan, kebutuhan dan
sebagainya; (6) prinsip perkembangan dan perubahan sesuai dengan tuntutan
yang ada dengan tidak mengabaikan nilai-nilai absolute; (7) prinsip pertautan
(integritas) antara mata pelajaran, pengalaman-pengalaman dan aktifitas yang
terkandung didalam kurikulum, begitu pula dengan pertautan antara
kandungan kurikulum dengan kebutuhan murid juga kebutuhan masyarakat
(Muhammad at-Taomy Al-Syaibany, 1979: 520-522).
Dari pernyataan at-Toumy al-Syaibany di atas, kurikulum pendidikan
Islam hendaknya dirumuskan atas dasar prinsip-prinsip illahiyyah dan
insaniyyah yang termanifestasikan dalam materi-materi pelajaran yang
ditawarkan, sehingga dapat terbentuk manusia yang paripurna (insan kamil).
Di samping dasar-dasar atau landasan-landasan dan prinsip-prinsip
diatas, kurikulum pendidikan Islam juga memiliki karakteristik-karakteristik
yang berbeda dengan kurikulum pendidikan yang lain. Karakteristik
kurikulum pendidikan Islam, sebagaimana diuraikan oleh Khoiron Rosyadi
adalah sebagai berikut: (1) menolak dualisme sistem kurikulum, antara
kurikulum agama dengan kurikulum sekuler; (2) menonjolkan tujuan agama
dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, metode, alat dan tehniknya; (3)
meluasnya perhatian dan menyeluruhnya kandungan-kandungannya; (4)
adanya keseimbangan yang relatif, antara kandungan kurikulum dengan ilmu-
62
ilmu, seni, kemestian, pengalaman dan kegiatan yang bermacam-macam; (5)
kecenderungan pada seni halus, aktifitas jasmani, pengetahuan tehnik, latihan
kejuruan dan bahasa asing (Khoiron Rosyadi, 2004: 259-260),.
Dari uraian di atas, menunjukkan bahwa rumusan kurikulum
pendidikan Islam sangat berbeda dengan rumusan kurikulum pendidikan yang
lain, dikarenakan kurikulum pendidikan Islam lebih menonjolkan tujuan
agama dan akhlak. Oleh karena itu, rumusan kurikulum pendidikan Islam
harus diorientasikan kepada pencapaian tujuan agama dan akhlak.
Dari uraian tentang konsep pendidikan Islam di atas, dapat di pahami
bahwa konsep pendidikan yang ditawarkan oleh Islam memiliki konsepsi yang
sangat utuh dan komprehensip. Artinya proses pendidikan yang diharapkan
dalam pendidikan Islam bukan hanya sekedar membentuk pribadi yang cerdas
secara intelektual dan berketrampilan, akan tetapi lebih dari itu, bagaimana
kecerdasan dan ketrampilan yang sudah terbentuk dalam diri peserta didik
memiliki implikasi pengabdian terhadap Khaliknya, baik dalam posisinya
sebagai 'abdullah maupun sebagai khalifatullah fi al ard.
63
BAB III
LATAR BELAKANG KEHIDUPAN
DAN
PEMIKIRAN PAULO FREIRE
A. Biografi Paulo Friere
Paulo Freire lahir pada 19 September 1921 di Recife, sebuah kota kecil
yang letaknya dekat pelabuhan di timur laut Brazil. Recife adalah salah satu
pusat kemiskinan dan keterbelakangan di kawasan Brazilia bagianTimur Laut.
Freire dilahirkan oleh seorang ibu bernama Edeltrus Neves Freire, dan ayahnya
adalah seorang polisi bernama Joaquim Thomis Tocles Freire. Freire berada
dalam didikan kedua orang tuanya dengan sikap yang demokratis, terbuka
dan dialogis. Sikap itu tercermin dalam tindakan kedua orang tuanya yang
selalu menekankan agar menghargai pendapat orang lain. Freire mengakui
bahwa orang tuanyalah yang membuat ia selalu menghormati setiap dialog
serta pendapat-pendapat orang lain (Siti Murtiningsih, 2004: 15).
Ketika krisis ekonomi melanda di Brazilia yakni pada tahun 1929,
keluarga Freire ikut terkena dampaknya dan terjatuh miskin. Masa kecil
Freire adalah masa-masa yang memprihatinkan dan sulit. Pada waktu usianya
baru menginjak delapan tahun, Freire mengalami sendiri penderitaan yang
disebabkan karena kelaparan. Kondisi inilah menjadi embrio prinsip
perjuangan Freire nantinya, bahkan akhirnya mendorongnya untuk bertekad
mempertaruhkan seluruh hidupnya kelak bagi perjuangan melawan
penderitaan akibat kelaparan tersebut. Sejak saat itu, Freire kecil telah
63
64
memutuskan hidupnya untuk berjuang demi kebebasan dan kemerdekaan
dari kelaparan. Freire ingin agar orang lain tidak ada yang merasakan
penderitaan karena kelaparan sebagaimana yang ia alami (Freire, 2008: xi).
Pada tahun 1931, ayahanda Freire meninggal dunia. Ketika itu usia
Freire baru menginjak sepuluh tahun dan keluarganya baru saja pindah dari
Recife ke kota Jabatao. Di Jabatao, Freire dan keluarganya terus berjuang
untuk dapat hidup dengan sejahtera dan mereka mulai menata kembali
kehidupannya. Tiga tahun kemudian, setelah kondisi ekonomi membaik,
Freire kecil dapat melanjutkan pendidikannya di bangku sekolah. Bahkan
Freire dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Freire
melanjutkan pendidikan tingginya di Universitas Recife dengan mengambil
Fakultas Hukum. la juga mempelajari filsafat dan psikologi sambil bekerja
sebagai guru bahasa Portugis di sekolah menengah pertama. Selama periode ini,
Freire membaca karya-karya Marx dan para intelektual katolik seperti Maritian,
Bernanos, dan Moenir yang sangat berpengaruh dalam filsafat pendidikannya.
Pada awal tahun 1944, Freire menikah dengan Elza Maria Costa
Oliveria, seorang guru sekolah dasar (yang kemudian menjadi kepala
sekolah). Perkawinannya tersebut melahirkan tiga orang putri dan dua orang
putra. Perkawinannya dengan seorang kepala sekolah, ternyata membawa
perubahan orientasi pemikirannya yang cukup mendasar, karena mulai
saat itulah Freire mulai tumbuh minatnya pada teori-teori kependidikan,
kemudian ia lebih banyak membaca buku-buku pendidikan, filsafat, dan sosiologi
pendidikan daripada buku-buku hukum, suatu ilmu di mana ia menganggap
65
dirinya sebagai seorang siswa yang rata-rata. Bahkan keilmuan hukum yang
selama ini ia tekuni, ketika menjelang ujian kepengacaraan, ia mengabaikan
hukum sebagai mata pencaharian untuk bekerja sebagai seorang pegawai
kesejahteraan sosial. Ia selanjutnya menjadi kepala Mufti Kemasyarakatan di
negara bagian Pernambuco. Pengalamannya di bidang pelayanan masyarakat
selama bertahun-tahun, membawanya kepada kontak langsung dengan penduduk
miskin di daerah perkotaan. Dari kontak dengan masyarakat miskin tersebut,
dan tugas-tugas kependidikan serta organisasional yang dijalankan di sana,
membuat Freire mulai merumuskan cara untuk berkomunikasi dengan orang-
orang yang tidak memiliki apa-apa, dan inilah yang menjadi cikal-bakal
dialogis dalam proses konsientisasi nantinya.
Pengalamannya di bidang pendidikan, kebudayaan, dan sosial selama
bertahun-tahun, telah membawa Freire meraih gelar doktor pada UniVersitas
Recife. Bahkan Freire untuk pertama kalinya mengungkapkan pemikirannya
dalam bidang filsafat pada tahun 1959, dalam disertasinya di Universitas
Recife dengan tema Pendidikan Orang Dewasa (Adult Education). Karya
ini kemudian disusul oleh karya lainnya sebagai profesor sejarah dan filsafat
pendidikan pada universitas yang sama. Di Recife juga, la melakukan
beberapa eksperimen dalam pengajaran kepada kaum buta huruf.
Pada tahun enam puluhan, Brazilia merupakan bangsa yang lemah dan
miskin. Pelbagai gerakan reformasi seeara serempak bermunculan. Gerakan-
gerakan ini meliputi kaum sosialis, kaum komunis, mahasiswa, kaum
pemimpin buruh, kaum populis, serta kaum militan Kristen. Mereka semua
66
saling berlomba-lomba ingin mewujudkan tujuan sosial politiknya masing-
masing." Di tengah-tengah harapan yang luhur dan hidup berkemakmuran,
Freire menjadi direktur utama Dinas Budaya Universitas Recife (University of
Recife's Cultural Extension Service). Lembaga ini menjalankan program
pemberantasan buta huruf bagi ribuan petani di Brazil. Program ini dapat
dilaksanakan dengan baik karena berhasil meningkatkan minat baca dan
menulis kelompok petani-petani dalam waktu tiga jam saja. Keberhasilan ini
mendorong Freire untuk menerapkan programnya pada masyarakat secara
keseluruhan. Sampai akhirnya tahun 1964 kudeta militer meletus di Brazilia.
Rasa ketakutan mencekam seluruh rakyat Brazil karena di mana-mana warga
sipil ditangkapi dan ditahan. Freire tidak luput dari situasi ini. Ia ditangkap
lantaran ajaran dan metodologinya dalam pemberantasan buta huruf. Dengan
ide-ide revolusionernya, justru membawa Freire pada tempat yang
menyedihkan; penjara. Oleh rezim yang berkuasa saat itu, ide-ide Freire
dianggap sangat berbahaya dan membuatnya patut dituduh subversi. Selama
tujuh puluh hari Freire dijebloskan ke dalam penjara dan selama itu pula ia
menjadi pesakitan dan berulang-ulang diinterogasi. Setelah keluar penjara
bukan berarti angin kebebasan bagi Freire, karena ia langsung diusir dari
negerinya. Ia lantas memutuskan untuk pergi ke Chili dan meneruskan
agenda revolusionernya.
Di Chili, selama lima tahun ia terlibat dalam program pemberantasan
buta huruf yang diselenggarakan pemerintah hingga akhirnya mampu
membuat dunia internasional merasa takjub dan penuh keheranan. Unesco
67
mengakui bahwa Chili rnerupakan salah satu dari lima bangsa di dunia yang
paling berhasil mengatasi masalah pendidikan dasar. Freire kemudian ditarik
bekerja di Unesco pada The Children Institue for Agrarian Reform dalam
program-program yang berhubungan dengan pendidikan. Karena
keberhasilan-keberhasilan Freire dalam bidang ini figurnya mulai menarik
perhatian.
Pada awal tahun 1950, Freire diundang ke Amerika Serikat dan
diperkenankan menjabat sebagai guru besar tamu pada Universitas Harvard.
Ia mengajar di pusat pengkajian pendidikan dan pembangunan Harvard
(Harvard's Center for S'tudies in Education and Development) merangkap
sebagai anggota Pusat Studi Pembangunan dan Perubahan Sosial (The Center
for the Study of Development and Social Change). (Assegaf-Suyadi, 2008:
57-59). Cakrawala intelektual Freire semakin bertambah luas karena
bersentuhan dengan kebudayaan-kebudayaan baru di negeri ini.
Di Amerika Serikat, waktu itu sedang berlangsung huru-hara rasialis
yang meletus sejak tahun 1965. Pelbagai pengalaman Freire di negeri ini
menjadi bagian-bagian penting dari kebangkitan pemikirannya. Freire
mendapati bahwa ternyata tekanan dan penindasan terhadap kaum lemah yang
tidak memiliki kapasitas politik, tidak hanya terjadi pada Negara-negara dunia
ketiga atau negara-negara yang memiliki ketergantungan kebudayaan saja.
Pengenalan ini memperluas pandangan Freire tentang dunia ketiga dan tidak
lagi berkutat pada pengertian geografis belaka. Namun mulai merambah pada
68
perspektif-perspektif yang bersifat politis. Tema-tema kekerasan lantas menjadi
sangat menonjol di dalam karya-karya Freire di kemudian hari.
Pada tahun 1970, Freire meninggalkan Amerika Serikat dan pindah ke
Geneva, Swiss. Di Geneva, Freire bekerja sebagai konsultan sampai
kemudian menjadi asisten sekretaris pendidikan Dewan Gereja-Gereja sedunia
di Geneva. Dalam rangka tugas yang terakhir ini, Freire sering melakukan
perjalanan ke pelbagai belahan dunia. Ia memberikan kuliah dan
mengabdikan dirinya demi membantu pelaksanaan program pendidikan
bagi negara-negara Asia dan Afrika. Ketika itu Freire masih menjadi anggota
komite eksekutif di Institut Actlon Culturalle (IDAC) yang bermarkas di
Geneva.
Sampai pertengahan tahun 1979, pemikiran Freire sudah dikenal di
banyak negara. Sampai kemudian pemerintah Brazil mengundangnya pulang
kembali dari pengasingan pada akhir tahun itu. Di negeri kelahirannya
Freire menerima tawaran untuk memimpin sebuah Fakultas di Universitas Sao
Paulo. Tahun 1988, menteri pendidikan untuk kota Sao Paulo mengundang
Freire dan memberinya tanggung jawab untuk memimpin reformasi sekolah
bagi dua pertiga bagian dari wilayah Negara tersebut (Siti Murtiningsih,
2004: 19).
B. Pemikiran Edukatif Paulo Freire
Pemikiran edukatif Freire, tidak bisa dilepaskan dari sejarah
pemikirannya. Freire yang hidup di tengah masyarakat Amerika Latin yang di
dalamnya berdiri suatu struktur piramida kerucut yang menandakan hirarki
69
penindasan. Sebagian besar rakyat dalam keadaan miskin, tertindas serta
menggantungkan diri pada kaum elit minoritas yang justru karena
kekuasaannya mereka bertindak sebagai kelompok penindas. Dalam keadaan
rakyat yang demikian itu, maka kesadaran rakyat akan selalu tergantung dan
saling menenggelamkan diri. Ketergantungan tersebut menurut Freire dapat
dikelompokkan menjadi dua. Pertama, ketergantungan ekonomis yang
ditandai dengan terputusnya modal baik seeara kuantitatif maupun kualitatif
di tengah sedikit orang saja, yakni kaum elit dan kaum metropolitan. Kedua,
ketergantungan kelas yang ditandai dengan polarisasi dua kelas di mana kelas
yang satu bergantunng sepenuhnya dengan kelas yang lain. Ketergantungan
tersebut muncul akibat ketergantungan ekonomi (Siti Murtiningsih, 2004:
21).
Keadaan struktur masyarakat yang demikian itu, dengan mudah akan
muncul suatu tatanan masyarakat yang vertikal bersama pola relasi sosial yang
memarjinalisasi. Struktur sosial yang hirarkis vertikalis beserta tendensi
marginalisasi ini terjadi baik dalam keluarga maupun dalam sistem
pendidikan yang ada. Situasi seperti ini akan terus memacu berlangsungnya
penindasan dan yang pasti hanya menguntungkan kaum penindas semata.
Tetapi yang lebih tragis, menurut Freire, rakyat yang situasinya seperti itu
akan menghanyutkan masyarakat tertindas untuk menerima dan menghayati
nilai-nilai tertentu yang mendukung ketertindasannya. Nilai-nilai dan sikap
taat, tunduk, patuh, menerima, miskin inisiatif, dan dogmatis tumbuh sangat
70
subur dalam rakyat yang demikian dan pada ujungnya mengukuhkan karakter
fatalistik.
Sebagian besar rakyat dalam keadaan tenggelam pada situasi yang
menindas, represif dan tidak mampu lagi menyadari keberadaan dirinya.
Mereka larut dalam iklim penindasan yang masif dan tidak mempunyai
partisipasi aktif dalam tiap-tiap masalah yang muncul di tengah ma-
syarakat. Mereka terperangkap di dalam kebudayaan "bisu" (Siti Murtiningsih,
2004: 22), yaitu suatu keadaan yang merupakan ciri utama dari
keterbelakangan masyarakat-masyarakat dunia ketiga.
Pada saat rakyat merasa takut, para penguasa memperkuat kedu-
dukannya dengan mengembangbiakkan mitos-mitos yang menumpulkan
kesadaran kritis kaum tertindas. Sebagai contoh dari mitos tersebut adalah
menumpuk kekayaan. Bagi mereka (yang menumpuk kekayaan), kaya adalah
hak yang sepatutnya dan tidak perlu disangkal lagi; bahwa seseorang menjadi
kaya karena ia berusaha keras dan berani mengambil risiko; bahwa apabila
seseorang miskin dan tidak dapat hidup layak itu karena ia tidak mampu,
malas serta tidak tahu berterima kasih; bahwa pemberontakan merupakan
dosa besar terhadap Tuhan; juga bahwa cinta kasih serta kemurahan hati
kaum elit disebabkan karena mereka rela menolong. Dengan mitos ini, seolah-
olah para penindas memanfaatkan ranah kepercayaan kaum tertindas akan
Maha Pengampunnya Tuhan untuk kepentingan penindasannya.
Hingga pada suatu saat, mitos-mitos inilah yang menyebabkan kaum
tertindas menjadi takut akan kebebasan apalagi kekayaan. Mereka
71
melembagakan gambaran diri sebagai kaum tertindas yang dalam dirinya
membentuk sikap yang ikut memperkuat siasat-siasat licik kaum tertindas
tersebut. Pandangan-pandangan bahwa mereka tidak tahu apa-apa, sama sekali
tidak berguna, malas, dan lemah, serta tidak mau belajar, adalah suara-suara
yang paling akrab mereka dengar. Akibatnya mereka buta akan realitas
sosial yang sangat represif (menindas). Mereka meyakini bahwa kondisi
mereka seperti itu adalah yang semestinya terjadi dan karenanya pantas
diterima dengan begitu saja, yang kemudian berakibat pada terdistorsinya
kesadaran mereka.
Perjuangan Freire berambisi untuk menyadarkan kelompok rakyat
tertindas ini bahwa mereka bukanlah objek, melainkan subjek yang bebas dan
mandiri. Bagi Freire, mereka harus sadar akan kedudukannya di dalam
masyarakat di mana pun ia tinggal. Bahkan mereka juga harus sadar bahwa
kemanusiaan mereka telah dihancurkan dan dirampas serta harus direbut lagi
melalui perjuangan yang gigih. Karena dalam jiwa rakyat tertindas telah
terbangun rasa takut dalam perjuangannya, usaha untuk mendapatkan
kemanusiaan kembali itu begitu sulit, berat, dan bahkan menyusahkan.
Hingga pada akhirnya, Freire menyimpulkan bahwa usaha-usaha
pembebasan kesadaran tersebut tidak mungkin hanya dilakukan dengan
penyebaran mitos-mitos belaka. Karena hal itu hanya akan membuat rakyat
menjadi tidak kreatif seperti halnya yang dilakukan oleh kaum penindas
dengan cara-cara mereka. Bagi Freire usaha-usaha penyadaran rakyat
haruslah didukung oleh pelaksanaan skenario pendidikan yang berorientasi
72
pada pembebasan di mana antara guru dan murid terbangun sebuah hubungan
yang dialogis.
Freire lebih memfokuskan pada cara pandang dunia serta gambaran
tentang realitas sosial yang dibangun oleh kaum penindas harus dirombak
melalui pendidikan yang kritis. Selain kepentingan pembebasan, juga karena
tatanan dunia bukanlah hal yang statis. Melainkan dapat diubah dan bisa terus
berkembang. Rakyat tertindas harus terus berjuang dan belajar tidak sekadar
untuk melawan kelaparan tetapi juga untuk memperjuangkan kebebasan dalam
membangun, berkarya, berpartisipasi, dan memperbaiki kehidupannya di dunia
ini. Di samping itu, kelas-kelas tertindas juga harus berjuang mewujudkan
posisinya sebagai subjek dan pribadi otonom dalam menentukan arah
perjuangannya. Inilah yang menurut Freire merupakan unsur pokok dari sikap
kreatif yang penuh tanggung jawab (Assegaf-Suyadi, 2008: 62-63).
C. Corak Pemikiran Paulo Freire
Freire dikenal sebagai seorang filsuf, pendidik dan juga seorang aktivis
politik. Sebagai seorang filsuf, Freire senantiasa mendahului pikiran
pengalaman filsuf-filsuf lainnya yang berasal dari situasi dan posisi
kefilsafatan yang tidak sama, seperti Sarte dan Mounier, Erich Fromm dan
Louis Althusser, Ortega Y Gaset dan Mao, Martin Luther King dan Che
Guevara, Unamuno, dan Marcuse (Abd. Malik Haramain, dkk, 2003: 152).
Hal ini dilakukannya ketika ia terlibat langsung dalam upaya perjuangan-
perjuangan membebaskan kaum tertindas dalam rangka menciptakan dunia
baru khususnya melalui filsafat pendidikan.
73
Gerakan dan pemikiran-pemikiran lain yang turut serta memberi
pengaruh pada pemikiran Freire adalah gerakan tokoh-tokoh teologi
pembebasan. Tokoh teologi pembebasan yang dapat disebut di sini ialah
Gustavo Guteirrez, Rubem Alves, dan juga Juan Luis Segundo. Pada masa
Freire gerakan ini mendesak supaya pihak-pihak gereja terlibat langsung
dalam menanggulangi masalah-masalah rakyat serta aktif melakukan
pembebasan, yang merupakan persoalan konkret bagi rakyat Brazil (Assegaf-
Suyadi: 64). Secara terperinci, corak pemikiran Freire dapat digolongkan
sebagai berikut:
1. Eksistensialisme
Eksistensialisme merupakan pemberontakan terhadap dominasi alam
impersonal yang nihil individualitas yang menggejala pada era modern,
atau pada abad teknologi. Eksistensialisme juga bisa disebut sebagai
pemberontakan terhadap gerakan massa di era kontemporer ini.
Masyarakat modern menyimpan tendensi untuk mereduksi manusia
merosot menjadi mesin. Inilah tuduhan utama eksistensialisme terhadap
gejala dehumanisasi modern. Bahwa manusia ada dalam ancaman
objektivikasi dan menempatkannya sekadar menjadi alat pemenuhan
kebutuhan manusia yang tanpa "rasa". Di samping itu, eksistensialisme
juga menentang keras gerakan-gerakan totaliter yang menindas atau
mendehumanisasi.
Eksistensialisme sangat menjunjung tinggi pengalaman personal
dan memberi tekanan kepada inti kehidupan manusia yang merupakan
74
aspek paling fundamental, karena dalam pengalaman personal tersebut,
manusia dilengkapi dengan kesadaran yang bersifat langsung serta subjektif.
Di samping itu, eksistensialisme juga menganjurkan agar dalam
kehidupannya manusia tidak boleh takut pada introspeksi. Topik-topik
utama dalam eksistensialisme yang berkaitan dengan pendidikan ialah
permasalahan-permasalahan individualitas dan personalitas manusia.
Eksistensialisme mengajak manusia untuk memberontak terhadap segala
hal yang merampas sisi kemanusiaan manusia (assegaf-Suyadi, 2008: 64-
65).
Dalam dua karya besarnya, Pedagogy of the Oppressed dan
Pedagogy of The Critical Consciuosness, Freire terlihat banyak mengutip
pandangan-pandangan para filsuf eksistensialisme seperti Sartre, Jaspers,
Marcel, Heidegger, Eamus, Martin Buber, dan banyak filsuf lainya yang
bisa dikategorikan dalam paham eksistensialisme (Siti Murtiningsih,
2004: 28).
Collins dalam Siti Murtiningsih mengatakan, tidak mengherankan
jika Freire terpengaruh oleh pandangan para filsuf eksistensialis tersebut.
Walaupun demikian, tidaklah mudah untuk mengategorisasikan bahkan
menggolong-golongkan pemikiran Freire dalam ranah eksistensialis ini
kecuali melalui nilai-nilai serta titik-titik perhatian yang terungkap dalam
gagasan-gagasan Freire. Hal ini bisa diamati melalui pemikiranmya
khususnya tentang pendidikan di mana Freire sangat mendambakan suatu
eksistensi yang otentik, yakni kebebasan bagi manusia agar mampu
75
berperan sebagai subjek (Siti Murtiningsih, 2004: 28).
Untuk lebih meyakinkan bahwa Freire adalah seorang
eksistensialis bisa dicermati melalui pemikiran-pemikiran Freire dalam
diskursus mengenai intersubjektivitas. Di samping itu, fokus yang
dikedepankan yaitu dialog sebagai sarana mendasar dalam metodologinya
dan sebagai tolak ukur untuk menilai derajat sejauh mana penindasan atau
keterbukaan mencirikan suatu struktur politik yang berlaku. Hal ini
merupakan bukti bahwa Freire sangat menjunjung tinggi intersubjektivitas
yang berarti juga bisa diduga seorang eksistensialis. Freire sangat
menekankan pentingnya dialog sebagai unsur yang krusial terutama dalam
metodologi tesis-tesisnya, tidak terlepas dalam metodologi pendidikan.
Bagi Freire, dialog merupakan jembatan penghubung antara guru sebagai
subjek dengan murid sebagai subjek yang lain. Dengan demikian, guru dan
murid merupakan dua subjek yang berhadapan dan senantiasa berdialog,
bukannya membentuk hubungan antara subjek dan objek. Pola relasi yang
demikian ini hanya bisa terjadi apabila unsur dialog ditempatkan
sebagai penghubung keduanya. Bahkan dialog juga bisa meniadi
parameter yang mendasar untuk menilai derajat penindasan yang
dijalankan oleh struktur politik penindasan.
Di samping itu, masih ada lagi aspek lain yang ikut memengaruhi
corak pemikiran Freire sebagai seorang eksistensialis, yaitu
penegasannya tentang wujud pribadi dan keputusan-keputusannya dalam
menghadapi interpretasi-interpretasi yang menegaskan makna dunia. Freire
76
misalnya, selalu mendorong pada rakyat tertindas untuk memenuhi
kedudukannya sebagai subjek yang merdeka. Freire mendorong rakyat
tertindas untuk melenyapkan berbagai mitos, slogan-slogan struktur
ekonomi, berikut bentuk pemerintahan yang represif yang tidak memberi
peluang bagi manusia untuk menjadi dirinya sendiri atau menjadi objek
penindasan (Assegaf-Suyadi, 2008: 65-66).
Collins Denis sebagaimana dikutip Assegaf dan Suyadi
mengatakan bahwa Freire sangat menyesalkan keadaan struktur yang
menindasnya, manusia justru mengada sebagai orang lain bahkan meniru
perilaku sang penindas. Hal ini berarti manusia gagal berperan sebagai
dirinya sendiri atau menjadi objek semata, dan didesak untuk kehilangan
pilihan-pilihan bebasnya atas pemikirannya sendiri. Karena hal
semacam itu, menurut Collins, metodologi Freire pun juga selalu
bertujuan mengelaborasi masalah-masalah yang menyebabkan
manusia merasa dipojokkan dalam pemikiran-pemikirannya sendiri serta
mengada bukan sebagai dirinya sendiri, tetapi sebagai orang lain
(Assegaf-Suyadi, 2008: 66).
2. Kristianisme
Freire dilahirkan dan dibesarkan dalam lingkungan keluarga
pemeluk agama Katolik. Keputusan dan kesetiaan yang dimilikinya
terhadap gereja tentu melekat kuat dalam kehidupannya sehari-hari.
Keyakinan Freire terhadap teologi gereja menginspirasinya sehingga ia
tertarik dan berharap bahwa teologi baru akan membuka peluang baru
77
bagi perubahan sosial bagi daratan Amerika Latin dalam aspek-aspeknya
yang mendesak dan fundamental. Dan upaya tersebut menurutnya dapat
dicapai melalui pendidikan tentang tujuan-tujuan ini. Dengan demikian,
dalam hubungan mereka dengan dunia, orang-orang Kristen harus
melebur secara aktif dan mengatasnamakan pembebasan sebagaimana
kristus mengajarkannya.
Berdasarkan hal ini, maka tidak mengherankan apabila Freire
sangat terpengaruh bahkan kental dengan pemikiran-pemikiran revo-
lusioner kaum teologi pembebasan. Bagi kaum teologi pembebasan,
agama merupakan alat pembebas manusia dari institusi-institusi
masyarakat yang menindasnya. Dan para teolog Amerika Latin pun pada
waktu itu, juga telah sadar bahwa agama ternyata turut serta melestarikan
penindasan di Amerika Latin.
Namun demikian, kristianis yang menjadi sumber inspirasi
pembebasan Freire tidak berakar hingga praksis pembebasannya.
konsientisasi sebagai inti pendidikan kritis, misalnya, merupakan karya
murni rasionalitas Freire. Sistem dialog dan kesadaran kritis yang
diusung pendidikan kritis Freire sangat kental dengan rasionalitas
mutlak yang tanpa memedulikan dimensi kristianisme. Manusia sebagai
subjek yang dicita-citakannya merupakan produk pendidikan kritis
antroposentris yang bercorak empirik dan positivistik. Akibatnya,
peserta didik yang lahir dari rahim pendidikan kritis ini akan mengakui
adanya Tuhan, namun memisahkan Tuhan dari praksis kehidupannya. Di
78
sinilah letak kesekularitasannya Freire (Assegaf-Suaydi, 2004: 67).
3. Dialektika
Untuk mengetahui konsep dialektika pemikiran Freire secara
mendalam, terlebih dahulu harus diungkapkan hubungan antara konsep
epistimologi Freire dengan pandangannya tentang realitas. Pandangan
Freire mengenai realitas dunia terpusat pada subjek pandang yaitu
manusia. Artinya, ia akan melihat dunia sebagaimana ia melihat manusia
itu sendiri. Dalam siklus dialektikanya, pemahaman tentang manusia
adalah pemahaman tentang yang bukan manusia itu sendiri. Jadi untuk
memahami manusia, bagi Freire perlu tahu apa yang disebut "bukan
manusia".
Menurut Freire, keberadaan manusia harus selalu diletakkan dalam
hubungannya dengan dunia (termasuk yang bukan manusia) tempat ia
berada. Bagi Freire, dunia manusia adalah dunia yang tersendiri.
Dunia binatang, tumbuhan, dan benda-benda lain (nonmanusia) tidak akan
berarti tanpa peran subjek yaitu manusia untuk mengartikan dan
menafsirkannya dalam rangka memperoleh pengetahuan. Sedangkan
manusia mempunyai kemampuan untuk memersepsikan benda atau dunia
di luar dirinya dan juga mampu memersepsikan keberadaan dirinya
sendiri.
Hubungan manusia dengan dunia yang dialogis integralistik di
atas bersifat unik. Keunikan tersebut terletak pada kemampuannya untuk
mengetahui (act of knowledge). Dan tindakan mengetahui tidak akan
79
terlepas dari pikiran bahasa (though-langguage) yang juga menentukan
orientasi manusia terhadap dunianya. Dengan demikian, maka inti dari
epistemologi pendidikan Freire terletak pada tindakan untuk mengetahui
(act of knowledge) melalui sistem dialektika (Assegaf-Suyadi, 2008: 68).
Dari pandangannya tersebut, Freire sangat menjunjung tinggi
kesadaran. Kesadaran tersebut menurutnya ada yang otentik dan ada yang
tidak otentik. Status kesadaran ini dinyatakan dalam penjelasan
eksistensial mengenai keberadaan manusia dalam dunia. Jelasnya, Freire
berpendapat bahwa kemampuan manusia dalam menggunakan pikiran-
bahasanya, jika dijalankan dengan benar maka pikiran-bahasa tersebut
bukanlah sumber alienasi bagi manusia melainkan sebagai proses
mengetahui dan menamai dunianya sendiri. Dalam proses tersebut,
subjektivitas dan objektivitas menyatu di dalamnya. Subjektivitas manusia
merupakan otoritas penafsiran subjek atau manusia dalam mengetahui
realitas dunianya, sedangkan objektivitas adalah keadaan nyata tempat
dunia dan realitanya ditafsirkan oleh manusia atau subjek itu sendiri dalam
mengetahui dunia.
Dengan demikian, maka manusia bagi Freire, merupakan makhluk
non-dualistik yang menyejarah dan ia baru bermakna manakala telah hadir
dalam hubungan yang dialogis dengan dunia, di mana ia berperan
sebagai subjek pemikiran, budaya, dan sejarah. Oleh karena itu, objektivitas
dan subjektivitas tidak bisa dipisahkan dalam hubungan tersebut.
Manusia suatu saat adalah sebab, tetapi pada saat yang lain manusia
80
merupakan akibat dari sejarah dan kebudayaan itu sendiri. Apabila manusia
mengingkari dan menolak kesempatannya untuk terlibat dalam mengubah
sejarah melalui tindakan pikiran-bahasa yang otentik, ia akan terasing dari
realitasnya, yang mengindikasikan bukan manusia yang otentik lagi.
Keterasingan tersebut tidak lain merupakan akibat dari pikiran-
bahasa manusia itu sendiri yang tidak mencerminkan realitas sebagai proses.
Hal ini berdampak pada penggunaan pikiran-bahasa yang menyimpang,
dalam menjelaskan realitas atau dalam berhubungan dengan dunianya. Jika
penyimpangan ini muncul, maka bisa dengan mudah untuk dideteksi melalui
tanda yang dibawa yakni dominasinya pemahaman mengenai
kenyataan yang dianggap statis. Freire menegaskan bahwa pikiran
tidak akan bekerja tanpa bahasa dan keduanya mustahil tanpa adanya suatu
hal yang menjadi acuan bagi tindakannya (Siti Murtiningsih, 2004: 37-38).
Mengenai keautentikan manusia, ditegaskan oleh Freire bahwa
manusia berbeda, bahkan terkesan bertentangan dengan "binatang" (binatang
adalah kata simbolik yang dipakai Freire untuk mewakili makhluk dan
benda lain selain manusia). Manusia adalah satu-satunya makhluk yang
"ada" dan mempunyai hubungan sejati dengan dunia. Manusia adalah
makhluk yang historis, sedangkan binatang adalah makhluk nonhistoris.
Manusia hidup dalam proses tiada henti secara kritis dan dialogis,
sedangkan binatang hidup dalam kekinian abadi yang berhubungan
seeara nonkritis dan anti dialogis dengan dunia. Manusia
mempunyai kemampuan berefleksi dan selalu bertujuan atas segala
81
tindakan atau perbuatannya dalam berhubungan dengan dunia, sedangkan
segala bentuk tindakan binatang tanpa didasarkan pada ketidaksadaran dan
rutinitas keabadian. Muatan maksud atau "tujuan" (yang dalam bahasa
modern adalah politik) dalam setiap aktivitas manusia adalah dasar
perbedaan dengan tindakan yang dilakukan oleh binatang yang
merupakan sebaliknya dengan manusia. Binatang tidak bisa disebut
"bertindak" walaupun Ia beraktivitas, karena memang binatang tidak
mempunyai tujuan atau maksud terhadap setiap tindakannya. Karena
tidak mempunyai tujuan dan maksud maka tindakannya pun tidak
didasarkan pada kesadaran. Oleh karena itu, manusialah yang mampu
untuk bertindak dan mencipta lantaran kemampuannya berefleksi dengan
dunia. Dimensi hubungan manusia dengan dunianya terangkai dalam
suatu epos (wiracarita) yang menempatkan satu di "sini" berhubungan
dengan satu yang di "sana", sesuatu pada saat "ini" dan sesuatu yang
akan datang atau yang ada di "sana", serta "masa lalu" dan "masa depan".
Dengan demikian, manusia adalah pencipta sejarah sekaligus ciptaan
sejarah (Siti Murtiningsih, 2004: 38).
Apabila manusia tidak mampu menggunakan kemampuan kritisnya
(kemampuan bertujuan dan berefleksi), maka ia sama dengan
binatang, yang hanya hidup di dunia dan mengakomodisi dunia
kebisuan. Demikian pula apabila manusia dalam aktivitasnya tidak dapat
menumbuhkan kesadaran dan reflektivitas, maka la hidup dalam budaya
kebisuan dan kekinian abadi yang mengakibatkan hidup manusia tidak
82
mampu melakukan penamaan terhadap dunianya. Binatang merupakan
makhluk dalam dirinya sendiri sekaligus objek bagi makhluk lainnya.
Tetapi kehidupan binatang juga tidak bisa terlepas dan terpisah dari
aktivitasnya, berkesinambungan, dan di sisi lain dicirikan oleh spesiesnya.
Namun demikian, manusia adalah makhluk yang mampu berefleksi bagi
tindakan praktis. Dalam tindakan praktisnya tersebut manusia dituntut untuk
menjadi manusia secara utuh. Jika manusia mampu merefleksikan dirinya,
maka ia berada dalam sejarah dan meyakini bahwa tindakannya tersebut
adalah benar. Pada bagian lain Freire menyatakan bahwa media yang sangat
penting bagi subjektivitas manusia adalah kemampuan untuk menghormati
dan menghargai subjektivitas Orang lain. Untuk sampai pada tahap ini,
syarat yang harus ditempuh manusia adalah menumbuhkan kesadaran
"berdialog" (Assegaf-Suyadi, 2008: 71).
Selanjutnya, Freire menyatakan bahwa manusia mempunyai
kemampuan yang unik untuk meninjau kembali persepsi (pengetahuannya)
atas sebuah fakta atau realitas. Manusia akan memahami hal-hal yang riil
sebagai masalah yang harus diselesaikan. Dalam proses pemahaman
tersebut, terjadi dialektika di mana memahami diartikan sebagai
"mengagumi" realitas dan mengagumi kembali hingga pada ujungnya
manusia mampu mengajukan kritik terhadap realitas tersebut, terutama pada
sisi sistemnya. Inilah yang dimaksud Freire dengan pengetahuan kritis.
Namun demikian, Freire selalu mengingatkan selalu akan terdapat
dua jebakan yang membahayakan bagi pengetahuan kritis tersebut. Pertama,
83
idealisme subjektif; dan kedua, objektivisme mekanik. Kesalahan pertama
bisa terjadi jika pengetahuan kritis dipakai untuk mengidentifikasi pemikiran
sebagai objek kesadaran, yang akan menjerumuskan manusia pada solipisme
(anggapan bahwa yang benar hanyalah dirinya). Adapun kesalahan kedua
dapat terjadi apabila seseorang mengesampingkan kesalahan mendasar
bahwa kesadaran manusia juga merupakssan bagian dari realitas. Dalam
hal ini terdapat persepsi yang keliru bahwa kesadaran disinyalir sebagai
tiruan terhadap realitas eksternal. Oleh karena itu, kesadaran realitas
bukan hanya tiruan dari fakta-fakta yang nyata, tetapi kenyataan juga
bukan merupakan konstruksi yang tidak terprediksikan oleh kesadaran.
Dua jebakan kesalahan tersebut hanya dapat diatasi dengan pemahaman
dialektikal yang menyatu antara subjektivitas dan objektivitas (Assegaf-
suyadi, 2008: 71-72).
D. Beberapa Karya Paulo Freire
Freire bekerja memulai karyanya ketika sebuah masalah datang
padanya dan menjadikannya jelas bahwa keseluruhan sistem pendidikan yang
berlaku adalah salah satu sebab utama dari tumbuhnya kebudyaan bisu.
Rakyat tenggelam dalam genangan keadaan dimana kesadaran kritis dan
jawaban-jawaban praktis tidak dimungkinkan (Freire, 2000: xi).
Karya pertama Freire ditulis pada hari-hari ketika ia mendekam dalam
penjara. Karya ini berjudul Educacao Como Practica da Liberade (Education
as Practice of Freedom), dan masa-masa sulit dipenjara membuatnya
84
beberapa kali mengalami kemacetan. Freire baru menyelesaikannya di Chili,
tempat ia diasingkan oleh pemerintah Brazil waktu itu. Freire memasukkan
dua eseinya dalam buku ini yaitu Educacao da Liberade dan Extension
Communication, yang terbit dalam edisi Inggris dengan judul Education for
Critical Consciousness.
Pada tahun 1969-1970, tercatat Freire menulis dua esei untuk Harvard
Educational Review. Yang pertama adalah Adult Literacy Process as Cultural
for Freedom, dan yang kedua Cultural Action and Conscientization. Kedua
esei itu merupakan edisi bahasa Inggris dari ringkasan teori-teorinya tentang
pendidikan, yang sebelumnya pernah dielaborasi dalam karya-karyanya yang
berbahasa Portugal dan Spanyol. Artikel yang sama juga pernah diluncurkan
dalam penerbitan bersama, dengan judul Cultur Action for Freedom dan
Pedagogy in Process. Karya ini dibuka dengan sebuah pengantar yang ditulis
oleh Paulo Freire sendiri, yang merupakan refleksi dan pandangannya tentang
tema-tem alienasi dan dominasi yang menyelimuti dunia pendidikan. Setelah
karya itu, terbit sebuah edisi Inggris yang mungil dari karyanya yang terkenal
pedagogy of the Oppresed (Murtiningsih, 2006: 20). Disusul karya lainnya
yaitu The Politic of Education: Culture, Power, and Liberation, Pedagogy of
Hope: Reliving Pedagogy of the Oppresed dan Teacher’s as Cultural Workes:
Letter’s to Those Who Dare Teach (Joy A. Palmer, 2003: 234).
85
BAB IV
Konsep Konsientisasi Dalam Perspektif Pendidikan Islam
A. Konsep Konsientisasi Paulo Freire
a. Konsep Manusia Menurut Pandangan Paulo Freire
Secara ekplisit, Freire tidak memberikan definisi tentang asal-usul
manusia, baik menurut alamiahnya maupun menurut ajaran Kristen. Tetapi
Freire mendefinisikan manusia sebagaimana yang bukan manusia. Artinya,
untuk memahami apa itu manusia, maka haruslah paham apa itu bukan
manusia. Pandangannya yang demikian bertitik tolak pada realitas yang
menunjukkan bahwa aktivitas manusia merupakan kebalikan dari aktivitas
yang bukan manusia. Oleh karena itu, hakikat manusia menurut Freire juga
bertolak dari aktivitas manusia tersebut. Freire mengatakan bahwa di dunia ini
sebagian besar manusia menderita sedemikian rupa, sementara sebagian
lainnya menikmati jerih payah orang lain dengan cara-cara yang tidak adil,
dan kelompok yang menikmati ini justru bagian minoritas umat manusia
(Aseegaf-Suyadi, 2008: 144).
Menurut Lelyveld yang dikutip oleh Murtiningsih mengatakan bahwa
Freire mengembangkan konsep pendidikannya bertolak dari pandangannya
tentang manusia dan dunia. Kodrat manusia, menurut Freire, tidak saja berada-
dalam-dunia, namun berada-bersama-dengan-dunia. Manusia tidak hanya
hidup di dunia tetapi hidup dan berinteraksi dengan dunia. Situasi ini
mengandaikan bahwa manusia perlu sikap orientatif. Orientasi merupakan
85
86
usaha pengembangan bahasa pikiran (thought-language). Artinya bahwa
manusia tidak hanya sanggup, namun juga mengerti dan untuk kemudian
merubah realitas (Murtiningsih, 2006: 7).
Panggilan sejati manusia (man’s ontological vocation) menurut Paulo
Freire adalah menjadi pelaku—subyek, bukan penderita atau obyek—yang
sadar, yang bertindak mengatasi dunia dan realitas yang menindas atau
mungkin menindasnya. Manusia adalah penguasa atas dirinya, maka
panggilan manusia adalah menjadi merdeka, menjadi bebas. Ketidakbebasan
manusia bisa bersumber dari dirinya seperti dikemukakan Erich Fromm dalam
Fear of Freedom (http://pkmirocky.wordpress.com/2009/paulo-freire/).
Para penggagas determinisme menganggap manusia dan seluruh alam
semsesta tak ubahnya jam mekanik yang telah dirancang sebelumnya dan
segala sesuatunya telah ditentukan, tinggal menjalankan saja. Gottfried
Wilhem Leibniz (1646-1716) menyatakan, kita tidak pernah bebas karena
tindakan-tindakan kita setiap saat ditentukan oleh hukum-hukum alam yang
telah dibentuk di masa lalu. Menurutnya, jiwa menggerakkan tubuh dengan
tujuan yang sudah ditentukan seperti sebuah automaton (mesin mekanik yang
berjalan sendiri). Menurut David Hume (1711-1776), keputusan-keputusan
kita tak lepas dari karakter intrinsik kita masing-masing, sehingga untuk bisa
mengambil keputusan yang berbeda, kita harus menjadi manusia yang
berbeda. John Locke (1632-1704) menganggap ada hukum dasar yang
menggerakkan putusan dan tindakan manusia, yaitu prinsip mendapatkan
kesenangan dan menghindari penderitaan. Baruch de Spinoza (1632-1677)
87
menyatakan bahwa tindakan-tindakan dan pengalaman manusia sesungguhnya
telah ditentukan dengan keniscayaan yang sepasti matematika tak ubahnya
roda-roda mekanis, namun kita merasa (seolah-olah) bebas jika kita
menikmatinya. “Sebuah batu di udara dapat merasa bebas jika ia melupakan
tangan yang melemparnya,” tutur Spinoza (http://www.unisosdem.org/article)
Dalam pandangan Freire, apapun nama dan alasannya, penindasan
adalah melawan hakikat kemanusiaan (dehumanisasi). Dehumanisasi bersifat
ganda, dalam pengertian, terjadi atas diri mayoritas kaum tertindas dan juga
atas diri minoritas kaum penindas. Keduanya menyalahi kodrat atau hakikat
manusia itu sendiri. Mayoritas kaum tertindas menjadi tidak manusiawi karena
hak-hak manusiawi mereka dinistakan karena mereka dibuat tak berdaya dan
dibenamkan dalam kebudayaan bisu. Adapun minoritas kaum penindas
menjadi tidak manusiawi karena telah mendustai hakikat keberadaan dan hati
nurani sendiri dengan memaksakan penindasan bagi sesamamnya.
Dehumanisasi – keadaan kurang dari manusia atau tidak lagi manusia – bukan hanya menandai mereka yang kemanusiaannya telah dirampas, melainkan (dalam cara yang berlainan) menandai pihak yang telah merampas kemanusiaan itu, dan merupakan pembengkokan terhadap cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh. Karena dehumanisasi merupakan pembengkokan terhadap cita-cita untuk menjadi manusia yang lebih utuh, cepat atau lambat kaum tertindas akan bangkit dan berjuang melawan mereka yang telah mendehumanisasikan kaumnya (Freire, 1999: 435).
Freire dalam Assegaf juga mengatakan: “The dehumanization resulting from an unjust order is not a cause for despair but for hope, leading to the incessant pursuit of the humanity denied by injustice. Hope, however, does not consist in crossing one’s arms and waiting. As long as I fight, I am moved by hope, and if I fight with hope, then I can wait”. “Dehumanisasi yang dihasilkan oleh adanya aturan yang tidak adil, bukan penyebab keputusasaan tapi (justru) menimbulkan harapan yang
88
membawa pada pencarian tiada henti tentang kemanusiaan, yang disangkal oleh adanya ketidakadilan. Bagaimanapun, harapan, tidak diperoleh hanya dengan berdiam diri dan menunggu. Selama berjuang, aku dibangkitkan oleh harapan, dan ketika aku berjuang dengan disertai harapan, maka aku dapat menunggu” (Assegaf dan Suyadi, 2008: 153).
Collin’s dalam Murtiningsih mengatakan bahwa Freire berusaha keras
mengajak manusia agar menjadi dirinya sendiri. Kalau disebut dalam istilah
Sartre, ialah untuk mengada bagi dirinya (etre pour soi). Yakni menjadi
makhluk yang hidup dan berada dengan sadar serta bebas bagi dirinya sendiri.
Karena manusia adalah makhluk bebas, makhluk yang sadar, dan makhluk
yang merdeka untuk dirinya sendiri. Freire sangat prihatin dengan keadaan di
mana karena struktur yang menindasnya, manusia justru mengada sebagai
orang lain. Hal ini berarti manusia menjadi objek semata, dan didesak untuk
kehilangan pilihan-pilihan atas pemikirannya sendiri. Karena hal seperti itu,
menurut Collins, metodologi Freire pun selalu juga bertujuan mengelaborasi
masalah-masalah yang menyebabkan manusia merasa dipojokkan dalam
pemikiran-pemikirannya sendiri serta mengada bukan sebagai dirinya sendiri,
tetapi sebagai orang lain (Murtiningsih, 2006: 29).
Maka dari itu, tidak ada pilihan lain kecuali memanusiakan kembali
kemanusiaan yang telah terdustakan tersebut dan menjadikan hal ini sebagai
pilihan mutlak. Secara dialektis, suatu kenyataan tidak harus menjadi
keharusan. Jika suatu kenyataan menyimpang dari keharusan, maka manusia
berkewajiban mengubahnya, agar sesuai dengan keharusan. Disinilah letak
peran dan fungsi manusia sebagai pengubah dan “mengada” bersama
dunianya. Tidak ada tugas yang lebih mulia atas manusia kecuali menciptakan
89
realitas sesuai dengan keharusan dan mengembalikan sisi kemanusiaan yang
ternodai. Itulah fitrah manusia sejati, manusia yang memerankan dirinya
sebagai subjek mutlak atau aktor bagi perubahan atas dunianya.
Pada titik inilah yang membedakan manusia dengan binatang, yang
hanya digerakkan oleh naluri. Manusia juga mempunyai naluri, tetapi manusia
mempunyai kelebihan yaitu kesadaran (konsientisasi). Hal ini bukan berarti
manusia menjadi subjek yang tanpa batas, tetapi dengan fitrahnya tersebut,
manusia harus mampu mengatasi keterbatasan yang mengekangnya tadi.
Dengan demikian, orang-orang yang menyerah pada situasi batas, tanpa
adanya usaha untuk mengatasinya, sesungguhnya orang tersebut berada dalam
situasi tidak manusiawi. Manusia adalah penguasa atas dirinya, dan karena itu
fitrah manusia adalah menjadi merdeka dan bebas. Ini adalah ujung
perjuangan humanisasi Freire (Aseegaf-Suyadi, 2008: 145).
Manusia memiliki kemampuan untuk merefleksikan dirinya sebagai
“aku” serta merefleksikan realitas dihadapannya sebagai “bukan aku”. “Aku”
adalah subjek yang sanggup bertutur dalam caranya berhubungan dengan
dunia. Kedudukan ini menghasilkan hubungan manusia, sebagai subjek, dan
dunia, sebagai objek, menjadi tugas yang tak terselesaikan (Murtiningsih:
2006).
Freire berpikiran bahwa manusia menerima kenyataan atau realitas di
hadapannya sebagai proses yang dapat direfleksikan serta dilihatnya sebagai
sejarah. Manusia menyatakan dunianya sebagai bagian sejarah dari kompleks
90
masa lalu, masa kini, dan masa mendatang. Dalam konteks ini, Freire
meyakini bahwa manusia adalah bagian dari sejarah dan budaya objektif.
Dalam bahasa Collin’s yang dikutip Murtiningsih mengatakan bahwa
manusia adalah manusia, sejauh dalam keadaannya sebagai makhluk ia bisa
mengekspresikan diri dalam dialektika yang berlawanan. Maksudnya ilah
statusnya untuk menjadi dan untuk menjadikan. Ini digolongkan manusia
sebagai makhluk sejarah dan budaya (Murtinngsih, 2006: 40).
Sebagai makhluk yang menyejarah, manusia memiliki tugas untuk
menjadi subjek dan untuk memahami dunia. Maksud Freire adalah, sebagai
proyek yang tidak pernah usai dari sebuah prksis, manusia mempunyai tugas
ontologism yang penting yaitu menjadi manusia yang utuh. Jika manusia
mampu merefleksikan dirinya, maka ia berada dalam sejarah dan meyakini
bahwa tindakannya adalah benar. Pada bagian lainnya, Freire menyatakan
bahwa media yang sangat penting bagi manusia, sebagai subjek, untuk
menghormati subjektivitas orang lain adalah “dialog” (Murtiningsih, 2006:
40).
Freire dalam Assegaf menjelaskan bahwa dalam hal ini, bukan berarti
manusia menjadi subjek yang tanpa batas, tetapi dengan fitrahnya tersebut,
manusia harus mampu mengatasi keterbatasan yang mengekangnya tadi.
Dengan demikian, orang-orang yang menyerah pada situasi batas, tanpa
adanya usaha untuk mengatasinya, sesungguhnya orang tersebut berada dalam
situasi tidak manusiawi. Freire juga menegaskan bahwa manusia adalah
penguasa atas dirinya, dan karena itu fitrah manusia adalah menjadi merdeka
91
dan bebas. Ini adalah ujung dari perjuangan humanisasi manusia (Assegaf dan
Suyadi, 2008: 145).
Dalam proses kemanusiaan sebagai makhluk yang sadar, manusia
bukan hanya hidup di dunia namun juga bersama dengan dunia, bersama
orang lain. Hanya manusia sebagai makhluk ‘terbuka’ yang dapat melakukan
transformasi terhadap dunia secara berkesinambungn dengan aksi,
pemahaman dan mengungkapkan kenyataan dalam bahasa yang kreatif.
Manusia dapat hidup bersama dengan dunia karena dia dapat menjaga
jarak dengannya secara objektif. Tanpa objektifikasi (objectification) seperti
ini, termasuk mengobjektifiksi dirinya, manusia hanya dapat hidup di dunia
tanpa pengetahuan tentang dirinya dan dunia.
Lain halnya dengan binatang yang hanya berada di dunia karena tidak
dapat mengobjektifikasi dirinya dan dunia. Binatang hidup tanpa
memperhitungkan waktu, tanpa bahasa verbal, ‘tenggelam’ di dasar dunia
tanpa ada kemungkinan untuk muncul kepermukaan atau mengatur dan
mengikuti perkembangan jaman. Sebaliknya, manusia mampu mengatur dn
mentransendensikan diri serta terus mengembangkan apa yang telah
dilakukannya (Freire, 2002: 123). To exist berarti suatu cara hidup manusia
yang sanggup melakukan transformasi, produksi, membuat keputusan,
berkreasi dan berkomunikasi dengan dirinya sendiri.
Manusia yang hanya sekedar hidup tidak akan dapat melakukan
refleksi dan mengetahui bahwa dirinya hidup di dunia. Berbeda dengan
seseorang subjek yang menghayati hidupnya dengan ‘kekuasaan’ (dominan),
92
dan yang mempertanyakan hubungannya dengan dunia. Kekuasaanya adalah
karya, sejarah, kebudayaan, nilai-dimana manusia menjalani pengembaraanya
dalam dialektika antara determinisme dan kebebasan.
Jika manusia tidak mengikuti perkembangan dunia dan ‘muncul’ ke
permukaan sebagaimana kesadaran dimaknai sebagai pengakuan (admiration)
atas dunia sebagai objek, maka manusia hanya akan menjadi makhluk yang
menyerah pada takdir (determinate being), dan manusia tidak mungkin dapat
berpikir secara bebas. Hanya manusia yang menyadari bahwa dirinya
mempunyai kemauan, yang mampu membebaskan dirinya. Semua ini
merupakan refleksi yang akan menghasilkan perubahan dunia, bukan sekedar
kesadaran semu. Oleh karena itu, kesadaran akan kenyataan yang ada dan
tindakan di dunia adalah konstituen yang tak terpisahkan dari transformasi
dengan pelaku manusia yang menjadi makhluk yang mempunyai hubungan
(beings of relations) (Freire, 2002: 124).
Hal dasar yang membedakan manusia dengan hewan adalah
kemampuan manusia untuk secara sadar ‘hidup di dalam dan dengan dunia’
(being in and with the world). Sementara hewan hanya hidup ‘di dalam dunia’,
manusia dapat hidup ‘bersama dengan dunia’ dalam arti dapat menjaga jarak
secara obyektif dengan dunia. Tanpa obyektifikasi (objectification), yang
termasuk mengobyektifikasi dirinya, manusia hanya hidup ‘di dalam dunia’
tanpa pengetahuan tentang dirinya dan dunia.
Hidup ‘bersama dengan dunia’ berarti, manusia dapat mentransformasi
dunia dan dirinya. Mentransformasi dunia menurut Freire, sama dengan
93
memanusiakannya (to humanize), atau “mengisi (impregnating) dunia dengan
kehadirannya yang sengaja dan berdaya cipta, menanamnya dengan karya
manusia…(Freire, 1999: 127)
Berdasarkan uraian diatas, konsep manusia menurut pandangan Freire
adalah humanisasi “menjadi manusia seutuhnya”. Freire mengartikan fitrah
manusia sebagai subjek yang berkehendak penuh, bebas, dan tidak terikat oleh
apapun. Bebas dalam pengertian ini adalah bahwa manusia berhak
mengembangkan potensi atau bakat yang ada pada dirinya sesuai dengan
kemampuannya. Proses dialogis merupakan media yang sangat penting bagi
manusia sebagai subjek untuk dapat menghormati subjektivitas dirinya dan
dunianya.
Manusia juga dikatakan sebagai makhluk yang menyejarah. manusia
adalah makhluk yang berbeda dengan binatang. Manusia memiliki kesadaran
akan tindakan dan dunia di mana mereka berada. Mereka bertindak sesuai
dengan arah yang ditujunya, menetapkan keputusan-keputusan bagi dirinya
sendiri dan bagi kaitannya dengan dunia serta sesama manusia lainnya, dan
mencampuri dunia dengan kehadirannya yang kreatif dengan cara
memperbarui dunia. Tidak seperti binatang, manusia tidak sekedar hidup,
tetapi juga mengada; dan keberadaanya itu menyejarah.
94
b. Konsep Konsientisasi Paulo Freire
1. Pengertian Konsientisasi
Bila melihat dari akar katanya, konsep dalam bahasa Inggris
diartikan dengan draft (kamus Indonesia-English), dan menurut istilah
konsep di maknai sebagai pemikiran umum atau ide, pendapat yang
diabstrakkan (Salim, 1993: 764). Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(2007: 588), konsep diartikan sebagai rancangan atau ide yang
diabstrakkan dari peristiwa konkret. Sedangkan Konsientisasi (kesadaran)
berakar dari kata sadar, artinya tahu, mengerti, ingat, paham, serta terbuka
hati dan pikirannya untuk berbuat sesuai dengan kata hatinya. Sedangkan
secara terminologi kesadaran adalah keinsyafan akan perbuatannya
(Sujarwa, 2001: 115).
Dalam kamus Freirean, konsientisasi didefinisikan sebagai “proses
perkembangan seorang individu yang berubah dari kesadaran magis
menuju kesadaran naif dan akhirnya sampai pada kesadaran kritis”
(Smith, A. William, 2001: hal.xvii).
Manusia tidak hanya berada di dunia, tetapi juga berinteraksi dengan dunia di mana ia berada. Di dalam situasi keberadaannya tersebut, manusia harus memiliki kesadaran kritis yang diarahkan pada realitas sehingga terjadi suatu interaksi ketika manusia menanyai, menguji dan menjelajahi realitas tersebut. Hal yang paling bernilai bagi manusia adalah menjadi manusia seutuhnya yang dicapai melalui proses pembebasan, atau dalam istilah Freire disebut “konsientisasi” (Judha Semal, 2005: 145).
Dengan kata kunci “sadar”, manusia dapat melangkah lebih dari
sekadar ‘bebas dari’ (penindasan) namun meningkat dan melampaui
dirinya menjadi ‘bebas untuk’ (berkarya, memberi diri untuk sesama).
95
Konsientisasi merupakan istilah khas yang dicetuskan dan
dikembangkan oleh Freire sendiri. Menurut Freire, konsientisasi adalah
sebuah proses dialektis di mana kaum miskin dan tertindas makin lama
makin sadar akan situasi ketertindasannya dan kemudian berkehendak
untuk mengubah kondisinya. Proses dialektis yang dimaksud adalah aksi-
refleksi-aksi yang kemudian menjadi kesatuan praksis. Konsep ini
dilatarbelakangi oleh asumsi bahwa realitas (social) yang ada, secara
historis bukan sesuatu yang jatuh dari langit (give) tetapi dibentuk
(constructe) oleh manusia (http://fpbn3.blogspot.com/2008/riset-dan-
konsientisasi- pendekatan.html)
Menurut Mu’arif dalam “Liberalisasi Pendidikan” mengatakan
bahwa konsientisasi merupakan suatu usaha untuk membebaskan manusia
dari keterbelakangan, kebodohan atau kebudayaan bisu yang selalu
menakutkan. Maksud dari gerakan penyadaran itu adalah agar manusia
bisa mengenal realitas sekaligus dirinya sendiri. Manusia bisa memahami
kondisi kehidupannya yang terbelakang itu dengan kritis. Minimal dengan
usaha penyadaran itu, manusia bisa memahami kondisi dirinya sendiri
serta mampu menganalisa persoalan-persoalan yang menyebabkannya
(Mu’arif, 2008: 79).
Freire dalam Murtiningsih mengemukakan bahwa konsientisasi
adalah proses di mana manusia mendapatkan kesadaran yang terus
semakin mendalam tentang realitas kultural yang melingkupi hidupnya
dan akan kemampuannya untuk mengubah realitas itu. Freire menerangkan
96
konsientisasi sebagai proses menjadi manusia yang lebih penuh atau suatu
proses perkembangan kesadaran melalui tiga tahap yang berbeda tapi
saling berhubungan, yaitu magis, naif dan kesadaran kritis (Murtiningsih,
2006: 63).
Dengan demikian, pembebasan dan pemanusiaan manusia hanya
bisa dilakukan dalam artian yang sesungguhnya jika seseorang memang
benar-benar telah menyadari realitas dirinya sendiri dan dunia sekitarnya
(Freire, 2002: xvii). Freire tiba pada kesimpulan bahwa inti dari kesadaran
manusia adalah intensionalitas pengalaman akan realitas (keterlibatan
penuh dan sadar dalam suatu proses) (Freire, 1999: xxvi).
Dari uraian diatas, dapat dipahami bahwa pengertian konsientisasi
yang dimaksud penulis merupakan suatu usaha untuk menumbuhkan
kesadaran manusia akan relitas yang ada dalam dirinya sendiri maupun
dengan dunianya. Kesadaran diri di sini tidak sekedar berhenti pada tahap
refleksi, tetapi juga merembes sampai aksi nyata yang terus menerus yakni
berubah dari kesadaran magis menuju kesadaran naif dan akhirnya sampai
pada kesadaran kritis.
2. Gagasan dasar Konsientisasi dalam pendidikan
Seperti dikutip Michael W. Apple dkk., dalam Joy A. Palmer,
Freire menulis:
”Pendidikan untuk orang tertindas (adalah) pendidikan yang harus dilaksanakan dengan, bukan untuk, kaum tertindas (individu atau manusia secara keseluruhan) dalam perjuangan tanpa henti untuk meraih kembali kemanusiaan mereka. Pendidikan ini membuat penindasan dan penyebabnya menjadi objek refleksi kaum
97
tertindas, dan dari refleksi itulah lahir pembebasan”. (Joy A. Palmer, 2003: 232),
Tujuan utama manusia sesungguhnya, menurut pandangan Freire,
ialah humanisasi yang ditempuh melalui proses pembebasan. Freire secara
eksplisit juga menyatakan bahwa tujuan akhir yang menjadi dasar
keberadaan manusia adalah untuk menjadi manusia. Manusia tidak sama
dengan binatang. Proses untuk menjadi manusia secara penuh hanya
mungkin apabila manusia berintegrasi dengan dunia (Murtiningsih, 2006:
55). Adalah kesadaran yang menentukan status eksistensi ini. Manusia
mampu menyadari waktu, keluar dari himpitan hari lalu, menemukan hari
ini, dan terus melangkah di masa depan. Dengan kesadaran manusia
bergerak aktif dan kreatif. Peran aktif dalam menghadapi kenyataan itulah
yang lantas mengahasilkan sejarah dan kebudayaan secara dinamis
(Murtiningsih, 2006: 67).
Freire dalam Assegaf dan Suyadi mengemukakan bahwa penindas
dan tertindas merupakan manifestasi dari dehumanisasi yang sejati.
Penindas didehumanisasikan oleh tindakan penindasannya sendiri.
Tindakannya tersebut juga dapat membutakan dirinya sehingga mampu
menghancurkan dirinya sendiri. Sementara itu, yang tertindas
didehumanisasikan oleh realitas eksistensial penindas atas dirinya dan
internalisasi bayang-bayang penindasnya. Freire mengklaim bahwa tugas
kemanusiaan kaum tertindas adalah membebaskan dirinya sendiri dan
penindas-penindasnya;
98
Only power that springs from the weakness of the oppressed will be sufficiently strong enough to free both. (Hanya kekuatan yang muncul dari kelemahan kaum tertindaslah, yang mampu dan cukup kuat untuk membebaskan keduanya sendiri dan penindasnya) (Assegaf-Suayadi, 2008: 148-149).
Konsientisasi mengemban amanah pembebasan, yang dengan
amanah itu berarti penciptaan norma, aturan, prosedur, dan kebijakan baru.
Pembebasan yang bermakna transformasi atas sebuah sistem realitas yang
saling terkait dan kompleks serta reformasi beberapa individu untuk
mereduksi konsekuensi dari pelakunya. Inti utama perbedaan paedagogis
antara konsientisasi dan bentuk pendidikan lainnya terletak pada
permasalahan yang diajukan dalam konsientisasi yang tidak memiliki
jawaban yang telah diketahui sebelumnya. Pendidikan tidak sekedar
mengajarkan ilmu pengetahuan social dalam pelajaran IPS, tetapi juga
mendidik supaya ilmu pengetahuan social tersebut dipahami dan dimaknai
serta direfleksikan dalam praksis kehidupan sehari-hari. Konsientisasi
bukanlah tujuan sederhana yang harus dicapai, tetapi merupakan tujuan
puncak dari pendidikan untuk kaum tertindas (William A. Smith, 2008: 4-
5).
Konsientisasi bukanlah teknik atau transfer informasi, apalagi
untuk pelatihan ketrampilan, tetapi merupakan proses dialogis yang
mengantarkan individu secara bersama-sama untuk memecahkan
masalah-masalah eksistensial mereka.. konsientisasi mengemban amanah
yang pembebabasan, yang dengan amanah itu berarti penciptaan norma,
aturan, prosedur, dan kebijakan baru. Pembebasan yang bermakna
99
transformasi atas sebuah sistem realitas yang saling terkait dan kompleks
serta reformasi beberapa individu untuk mereduksi konsekuensi negatif
dari para pelakunya (Abdurrachman Assegaf dan Suyadi, 2008: 147).
Freire dalam Assegaf mengatakan “As the oppressed, fighting to be human, takeaway the oppressor’s power to dominate and suppres, they restore to the oppressor’s the humanity they had lost in the exercise of oppression”. “Kaum tertindas berjuang mengembalikan kemanusiaan, mengambil alih kekuatan kaum penindas dalam mendominasi dan menindas. Mereka mengembalikan sisi kemanusiaan kaum penindas yang telah hilang, dalam tindakan penindasan mereka” (Assegaf dan Suyadi, 2008: 150).
Pada bagian lain Freire juga mengatakan sebagaimana dikutip
Assegaf bahwa konsientisasi juga merupakan proses dialektika antara aksi
dan refleksi. Hal yang diungkapkan Freire sebagai berikut:
Maka dari itu, pandangan dialektis menunjukkan kepada kita pentingnya menolak sebagai hal yang salah, misalnya pemahaman kesadaran sebagai refleks semata-mata objektivitas jasmani, tetapi pada waktu yang sama pentingnya menolak pemahaman tentang kesadaran yang akan memberikan kesadaran itu daya kuasa yang menentukan daya realitas konkret (Assegaf dan Suyadi, 2008: 151).
Selain itu, konsientisasi merupakan proses respons terhadap
kekuatan-kekuatan yang menghalangi transformasi realitas penindasan
melalui dialogis kritis. Bagi Freire, dialog secara esensial didefinisikan
sebagai kata yang disusun oleh refleksi dan aksi. Kata yang diucapkan
tanpa tindakan (atau maksud tindakan) adalah verbalisme, dan perkataan
tanpa refleksi merupakan aktivisme.
"There is no true word that is not at the same time a praxis. Thus, to speak a true word is to transform the word." "Mengungkapkan perkataan yang benar, dalam waktu yang bersamaan, dapat terefleksikan dalam dataran praksis. Jadi,
100
berbicara dengan kata-kata yang benar, dapat mengubah dunia." (Assegaf dan Suyadi, 2008: 152)
Keberadaan manusia tidak mungkin tanpa kata, juga tidak
berlangsung dalam kata-kata palsu, tetapi hanya dalam kata-kata yang
benar, dengan apa manusia mengubah dunianya. Mengada secara
manusiawi adalah menamai dunia, mengubahnya. Sekali dinamai, maka
dunia pada gilirannya akan tampil kembali di hadapan pemberi nama
sebagai sebuah permasalahan dan membutuhkan penaman baru. Manusia
tidak diciptakan dalam kebisuan, tetapi dalam kata, dalam karya, dalam
tindakan refleksi. Sementara mengucapkan kata yang benar – yakni karya,
praksis – adalah mengubah dunia, maka mengucapkan kata tersebut
bukanlah hak istimewa sejumlah kecil orang, tetapi hak setiap orang
(Freire, 2008: 76-77).
Paulo Freire seorang tokoh pendidikan menyatakan ada dua
pandangan dunia yang mempersepsikan manusia kepada dunianya.
Pandangan pertama melihat manusia sebagai objek, yang dapat dibentuk
dan disesuaikan. Pandangan lainnya melihat manusia sebagai subyek,
makhluk yang bebas dan mampu melampaui dunia.
Dalam konsep pertama manusia berdiam diri, kalaupun melakukan
tindakan hanya bersifat pasif atau patuh (taat) tanpa ada waktu untuk
merefleksikan diri berdasarkan perintah. Manusia akan tenggelam pada
dunianya karena pendidikan adalah satu jalan bagi peserta didik beradaptasi
(menyesuaikan diri dengan lingkungan). Pola pendidikan berdasarkan
pandangan pertama diterapkan untuk melanggengkan status quo (anti
101
perubahan) karena proses belajar adalah sebuah proses transfer pengetahuan
sehingga manusia hanya menampung pengetahuan tersebut atau lebih dikenal
dengan “gaya bank” (http://www.ahmadheryawan.com/).
Lebih jauh Paulo Freire mengungkapkan bahwa proses pendidikan
dalam hal ini hubungan guru-murid di semua tingkatan identik dengan
watak bercerita. Murid lebih menyerupai bejana-bejana yang akan
dituangkan air (ilmu) oleh gurunya. Karenanya, pendidikan seperti ini
menjadi sebuah kegiatan menabung. Murid sebagai "celengan" dan guru
sebagai "penabung". Secara lebih spesifik, Freire menguraikan beberapa
ciri dari pendidikan yang disebutnya model pendidikan "gaya bank"
tersebut.
1. Guru mengajar, murid diajar.
2. Guru mengetahui segala sesuatu, murid tidak tahu apa-apa.
3. Guru berpikir, murid dipikirkan.
4. Guru bercerita, murid mendengarkan.
5. Guru menentukan peraturan, murid diatur.
6. Guru memilih dan memaksakan pilihannya, murid menyetujui.
7. Guru berbuat, murid membayangkan dirinya berbuat melalui perbuatan
gurunya.
8. Guru memilih bahan dan inti pelajaran, murid (tanpa diminta
pendapatnya) menyesuaikan diri dengan pelajaran itu.
102
9. Guru mencampuradukan kewenangan ilmu pengetahuan dan
kewenangan jabatannya, yang ia lakukan untuk menghalangi kebebasan
murid.
10. Guru adalah subyek dalam proses belajar, murid adalah obyek belaka.
Sebagai jawaban atas pendidikan gaya bank tersebut, Freire
menawarkan bahwa sesungguhnya pendidikan semestinya dilakukan
secara dialogis. Proses dialogis ini merupakan satu metode yang masuk
dalam agenda besar pendidikan Paulo Freire yang disebutnya sebagai
proses penyadaran (konsientisasi). Menurutnya, konsientisasi merupakan
proses kemanusiaan yang ekslusif (http://www.ahmadnajip.com).
Erich Fromm dalam Murtiningsih mengatakan bahwa pendidikan
yang memandang orang sebagai objek hanya akan menghasilkan sifat
manusia yang disebut necrophily (cinta benda mati), dan tidak
menumbuhkan sifat biophily (cinta kehidupan). Fromm juga mengatakan
bahwa orang yang dihinggapi necrophily hanya cinta segala sesuatu yang
tidak bertumbuh dan segala sesuatu bersifat mekanis. Padahal ciri khas
kehidupan manusia adalah pertumbuhan fungsional yang teratur
(Murtiningsih, 2006: 73).
Kepentingan sistem bank dalam pendidikan sesungguhnya terletak
pada bagaimana merubah kesadaran peserta didik. Bukan mengubah
keadaan yang membuat peserta didik tidak menyadari realitas yang
dihadapinya (Murtiningsih, 2006: 74). Jadi, sistem bank ini cenderung
melakukan dikotomi atas segala sesuatu, dengan selalu mengandaikan dua
103
tahap dalam tindakan sang pendidik. Dapat dikatakan bahwa sistem
pendidikn ini, dengan memitoskan realitas, terus berusaha menutupi fakta
yang menjelaskan cara manusia berinteraksi dalam dunia. Sistem ini
menolak dialog dan memperlakukan peserta didik sebagai objek
pembantu. Sistem bank dalam pendidikan menghalangi kreativitas dan
menjinakkan kesadaran yang tertuju pada dunia dengan jalan
mengisolasikan kesadaran dari dunia. (Murtiningsih, 2006: 7)
Dalam pandangan yang kedua, pendidikan diarahkan agar manusia
bisa berpikir untuk diri sendiri dan dapat berintegrasi di dunianya melalui
aksi dan refleksi. Cara pandang yang melihat manusia sebagai subjek,
pada gilirannya pandangan ini melahirkan pendidikan hadap masalah.
Gaya pendidikan hadap masalah bukan bertujuan membentuk manusia
yang hanya mampu beradaptasi akan tetapi manusia harus mampu
berintegrasi (menjadi kesatuan) dengan lingkungannya dan melakukan
perubahan (http://www.ahmadheryawan.com/).
Pendidikan “hadap-masalah” sebagai pendidikan alternatif yang
ditawarkan oleh Freire lahir dari konsepsinya tentang manusia. Manusia
sendirilah yang dijadikan sebagai titik tolak dalam pendidikan hadap-
masalah. Manusia tidak mengada secara terpisah dari dunia dan
realitasnya, tetapi ia berada dalam dunia dan bersama-sama dengan realitas
dunia. Realitas itulah yang harus diperhadapkan pada nara didik supaya
ada kesadaran akan realitas itu. Konsep pedagogis yang demikian
didasarkan pada pemahaman bahwa manusia mempunyai potensi untuk
104
berkreasi dalam realitas dan untuk membebaskan diri dari penindasan
budaya, ekonomi dan politik (Manggeng, 2005: 42)
Freire dalam Murtiningsih mengatakan bahwa sistem hadap
masalah dalam pendidikan berangkat dari asumsi tentang manusia sebagai
makhluk yang sadar dengan kesadaran yang tertuju pada dunia. Manusia
dipanggil menjadi makhluk yang sadar dan inilah yang disebut Freire
sebagai tujuan humanisasi. Sistem pendidikan ini tidak bermaksud
menyimpan—sebagaimana sistem pendidikan ala bank. Namun bermaksud
mengemukakan problem-problem manusia dalam kaitannya dengan dunia
eksternal. Metode pendidikan ini mensarikan ciri khas kesadaran yakni
“sadar akan” dan tidak saja ditujukan pada objek luar namun sekaligus
terarah ke dalam diri sendiri sebagai kesadaran “mengenai” kesadaran
(Murtiningsih, 2006: 82).
Freire dalam Murtiningsih juga mengatakan bahwa dialog adalah
unsur yang sangat fundamental. Dialog, demikian Freire, adalah
pertemuan antar-manusia, dengan perantaraan dunia, untuk membangun
martabat insani (Murtiningsih, 2006: 87).
Karena berdialog merupakan metode yang tepat untuk
mendapatkan pengetahuan, maka subjek harus memakai pendekatan
ilmiah dalam berdialektika dengan dunia sehingga dapat menjelaskan
realitas secara benar. Maka sesungguhnya mengetahui itu tidak sama
dengan mengingat atau mengoleksi sesuatu yang sebelumnya telah
diketahui dan yang sekarang terlupakan (Freire, 1999: 105).
105
Dialog selanjutnya menuntut adanya keyakinan yang mendalam
terhadap diri manusia untuk membuat dan membuat kembali, mencipta
dan mencipta kembali, keyakinan pada fitrahnya untuk menjadi manusia
seutuhnya. Keyakinan terhadap diri manusia adalah sebuah prasyarat a
priori bagi dialog; "manusia dialogis" percaya dengan orang lain bahkan
sebelum dia bertatap muka dengannya. "Manusia dialogis" bersifat kritis
dan tahu bahwa walaupun dalam diri manusia terdapat kekuatan untuk
mencipta dan mengubah, namun dalam sebuah situasi keterasingan yang
nyata dia mungkin saja salah dalam menggunakan kemampuan itu.
Bukannya merusak keyakinan terhadap manusia, tetapi kemungkinan itu
justru menyadarkannya sebagai suatu tantangan yang harus dihadapi
(Freire, 2008: 1).
Freire dalam Assegaf-Suayadi juga mengaitkan hal ini dengan
harapan, dalam hal ini harapan yang memanusiakan manusia, dengan
mengatakan bahwa:
"The dehumanization resulting from an unjust order is not a cause for despair but for hope, leading to the incessant pursuit of the humanity denied by injustice. Hope, however, does not consist in crossing one's arms and waiting. As long as I fight, I am moved by hope; and if I fight with hope, then I can wait." "Dehumanissi yang dihasilkan oleh adanya aturan yang tidak adil, bukan penyebab keputusasaan tapi (justru) menimbulkan harapan yang membawa pada pencarian yang tiada henti tentang kemanusiaan, yang disangkal oleh adanya ketidakadilan. Bagaimanapun, harapan, tidak diperoleh hanya dengan berdiam diri dan menunggu. Selama berjuang, aku dibangkitkan oleh harapan, dan ketika aku berjuang dengan disertai harapan, maka aku dapat menunggu." (Assegaf dan Suyadi, 2008: 153)
106
Menurut analisis Freire, dialog yang penuh dengan harapan
merupakan tindakan revolusiaoner, sebagai pengetahuan empiris yang
bertemu dengan pengetahuan kritis. Demikianlah analisis Freire tentang
dialog. Disamping itu, Freire juga menegaskan bahwa dialog tidak boleh
didikotomikan antara aksi dan refleksi.
Kodifikasi menampilkan realitas yang ada termasuk individunya,
yang kemudian dianalisis menurut konteks di mana mereka hidup. Lebih
jauh Freire menegaskan bahwa kodifikasi telah mentransformasikan
pandangan hidup dari konteks kehidupan nyata dalam konteks yang
teoritis. Pengalaman eksistensial tersebut mencakup keseluruhan hidup
siswa, baik pada saat pembelajaran berlangsung maupun di luar
pembelajaran tersebut. Dalam proses dekodifikasi, representasi
pengalaman hidup eksistensial dan proses memahami pengalaman
sebelumnya, akan muncul keraguan dan kemudian akan menggantikan
atau mengubah pendapatnya dengan pengetahuan yang lebih kritis. Freire
mempertahankan model pendidikan progessif yang tidak terpisah dari
moralitas dan emosi. Freire dengan bersemangat mengungkapkan bahwa
dialog merupakan "radically necessary" bagi keberhasilan proses
penyadaran, humanisasi dan transformasi yang sejati (Assegaf dan Suyadi,
2008: 15).
107
Kesadaran Magis
Kesadaran Naif
Humanisasi
Kesadaran Kritis
Manusia Sebagai Subjek
Dialektik-Kritis
Kodifikasi
Sistem Realitas Sosial
Skema Konsep Konsientisasi
Skema di atas menunjukkan bahwa konsientisasi berangkat dari
asumsi yang paling asasi yakni sistem realitas sosial. Dari asumsi ini, akan
menjadikan manusia terlibat secara langsung dengan realitas dunianya.
Dalam keterlibatannya tersebut, manusia senantiasa berdialog secara kritis
dengan kehidupan nyata. Agar dialog berjalan kritis dan bermanfaat, Freire
mensyaratkan agar dialog berlandaskan pada kerendahan hati, cinta, dan
harapan. Pada sisi lain, proses dialogis subjek dengan realitas atau objek,
akan diperjelas oleh kodifikasi yang dilakukannya, yaitu representasi atas
realiatas konkret tersebut yang dianalisis guna menemukan pengetahuan
108
kritis. Pengetahuan kritis inilah yang memunculkan kesadaran
(konsientisasi) dalam tiga tahapan yakni magis, naif dan kritis. Ujung dari
kesadaran tersebut tidak lain adalah pengembangan sisi kemanusiaan
secara lengkap sehingga manusia menjadi manusia yang bebas dan
merdeka (Assegaf dan Suyadi, 2008: 157-158).
Freire mendeskripsikan konsientisasi sebagai proses untuk menjadi
manusia yang seutuhnya; proses perkembangan ini dapat dibagi menjadi
tiga fase; kesadaran magis, naif dan kritis. (A. Smith, 2008: 54). Untuk
lebih jelasnya, mengenai ketiga fase kesadaran manusia dalam skema
tersebut di atas, adalah sebagai berikut :
1. Kesadaran Magis
Mansour fakih dalam A. Smith mengatakan bahwa kesadaran
magis yakni suatu kesadaran masyarakat yang tidak mampu melihat kaitan
antara satu faktor dengan faktor lainnya. Misalnya masyarakat miskin
yang tidak mampu melihat kaitan antara kemiskinan mereka dengan sistem
politik dan kebudayaan. Kesadaran magis lebih melihat faktor di luar
manusia (natural maupun supranatural) sebagai penyebab dan
ketidakberdayaan. Dalam dunia pendidikan, jika proses belajar mengajar
tidak mampu melakukan analisis terhadap suatu masalah maka proses
belajar mengajar tersebut dalam prepektif Freirean disebut sebagai
pendidikan fatalistik. Proses pendidikan model ini tidak memberikan
kemampuan analisis, kaitan antara sistem dan struktur terhadap satu
permasalahan masyarakat. Murid secara dogmatik menerima ‘kebenaran’
109
dari guru, tanpa ada mekanisme untuk memahami ‘makna’ ideologi dari
setiap konsepsi atas kehidupan masyarakat (William A. Smith, 2008: xvii).
Freire dalam A. Smith mengatakan:
Orang-orang yang masih dalam tingkat kesadaran pertama terperangkap dalam "mitos inferioritas alamiah". "Mereka mengetahui bahwa mereka melaku kan sesuatu, apa yang tidak diketahui adalah tindakan untuk mengubah." (William A. Smith, 2008: 60).
Bagi-penindas, jika hendak mendehumanisasikan mereka, di
sinilah pentingnya mencegah orang-orang dari penamaan masalah-
masalah, sehingga mereka tetap terikat dengan penjelasan magis dan
membatasi kegiatan-kegiatannya sekedar menerima secara pasif. Bukannya
melawan atau mengubah realitas di mana mereka hidup, mereka justru
menyesuaikan diri dengan realitas yang ada.
Freire juga mengatakan dalam A. Smith bahwa:
Kesadaran magis dicirikan dengan fatalisme, yang menyebabkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan untuk melawan kekuasaan…(William A. Smith, 2008: 61).
Kesadaran magis atau yang lebih dikenal sebagai kesadaran semi
intransitif, adalah kesadaran di mana, pada diri kaum tertindas, terjebak
oleh mitos inferioritas alam atau merasa rendah diri. Manusia mengetahui
bahwa mereka melakukan sesuatu, tetapi perlakuannya tersebut tidaklah
berusaha untuk melakukan perubahan, justru bersifat penyesuaian.
Sehingga mereka tetap terbelenggu dengan penjelasan magis dan mem-
batasi kegiatan-kegiatannya sekadar menerima secara pasrah. Tahap ini
mempunyai ciri-ciri sifat fatalisme yang mengarahkan orang untuk
110
menyerah begitu saja kepada ketidakmungkinan melawan kenyataan yang
menindas. Manusia dalam kesadaran ini juga tidak dapat mengetahui
pelbagai perubahan yang terjadi pada diri orang lain. Yang mereka ketahui
hanya sebatas pengertian kalau mereka melakukan suatu tindakan. Freire
mengatakan: "Kesadaran magis dicirikan dengan fatalisme, yang menye-
babkan manusia membisu, menceburkan diri ke lembah kemustahilan
untuk melawan kekuasaan (Assegaf dan Suyadi, 2008: 158)." Kesadaran
magis ini mempunyai tiga aspek, yaitu:
a). Aspek Penamaan
Pada aspek ini kesadaran manusia berada pada dua tingkat
tanggapan, terutama kesadaran dalam hal permasalahan-permasalahan
yang paling dehumanisasi dalam kehidupannya. Dua tingkat tanggapan
tersebut dapat diartikan sebagai ciri-ciri dari aspek penamaan dalam
kesadaran magis. Kesadaran magis dalam konteks ini diekspresikannya
dalam bentuk penolakan terhadap permasalahan yang berkaitan dengan
permasalahan mempertahankan hidup. Pada tingkat penolakan terhadap
permasalahan, manusia jelas-jelas menolak bahwa mereka mempunyai
masalah. Tetapi pada tingkatan yang kedua manusia mulai merasakan
bahwa mereka mempunyai masalah, tetapi masalah-masalah tersebut
dianggapnya sebagai rutinitas dalam proses mempertahankan hidup secara
biologis (Assegaf dan Suyadi, 2008: 158-159).
Hal senada juga diungkapkan oleh A. Smith. Dua tingkat
tanggapan dapat didefinisikan sebagai ciri-ciri dari aspek penamaan
111
dalam kesadaran logis, yakni penolakan terhadap masalah dan masalah-
masalah mempertahankan hidup. Pada tingkat penolakan terhadap
masalah, orang-orang jelas-jelas menolak bahwa mereka memiliki
masalah, atau mereka menghindari masalah dengan cara meletakkan
masalah di waktu atau tempat lain (William A. Smith, 2008: 61-62).
Pada tingkat penamaan yang kedua, individu-individu dapat
berkata bahwa mereka memiliki masalah, tetapi masalah-masalah
tersebut didefinisikan dalam pengertian bertahan hidup secara fisik
atau biologis.
Sebagaimana ungkapan Freire:
"Manusia dalam kesadaran semi-intransitif tidak dapat memahami masalah-masalah yang berada di luar lingkungan kebutuhan biologis. Minat mereka semata-mata tertuju pada seputar kelangsungan hidup, dan mereka tidak mempunyai pengertian tentang sisi kehidupan yang berada pada dataran sejarah." (Murtiningsih, 2006: 63)
b). Aspek Berpikir
Kesadaran magis ini ditandai dengan dua orirentasi dasar, yakni
menyerahkan fakta-fakta kepada penguasa untuk menjelaskan mengapa
segalanya seperti ini dan pandangan sederhana tentang hubungan kauslitas.
Freire mengatakan:
Kesadaran magis ... menangkap fakta-fakta dan kemudian menyerahkannya kepada penguasa yang akan mengendalikan kesadaran mereka dan harus dipatuhi (A. Smith, 2008: 63). Orang-orang tidak bisa membedakan antara persepsi mereka atas objek-objek dari tantangan yang ditimbulkan oleh lingkungannya, sehingga mereka terjatuh pada penjelasan magis karena mereka tidak dapat menangkap kausalitas yang sebenarnya (A. Smith, 2008: 63).
112
Aspek berpikir pada kesadaran magis ini juga mempunyai dua
tingkat tanggapan, yakni menyerahkan pelbagai permasalahan kepada
penguasa dan pandangan yang sangat sederhana terhadap hubungan
kausalitas. Segala permasalahan dimintakan penjelasannya kepada
penguasa seputar mengapa segalanya jadi seperti ini. Adapun pan-
dangannya yang sangat sederhana terhadap kausalitas, karena mereka tidak
mampu memahami kondisi mereka yang problematis, dan justru sekadar
mengumpulkan fakta-fakta. Tuhan, nasib, keberuntungan, dan waktu,
semuanya berperan. Di sinilah pentingnya untuk membedakan antara
ketergantungan fatalistik pada penguasa dan kepercayaan yang genuine
pada eksistensi seorang penguasa yang memiliki kekuatan spiritual besar
dan dipandang kritis (Assegaf dan Suyadi, 2008: 159). Freire mengatakan
dalam kutipan Smith: Orang-orang tidak bisa membedakan antara
persepsi mereka atas objek-objek dari tantangan yang ditimbulkan oleh
lingkungannya, sehingga mereka terjatuh pada penjelasan magis karena
mereka tidak dapat menangkap kausalitas yang sebenarnya (William A.
Smith, 2008: 64).
c). Aspek Aksi
Setelah manusia menolak bahwa mereka mempunyai masalah,
kemudian mendefinisikannya secara eksklusif bahwa mereka mengalami
kesulitan untuk mempertahankan hidupnya, dan mengetahui bahwa
mereka bergantung pada Tuhan, alam, dan penindas. Kemudian,
tindakan logis yang mereka lakukan adalah penarikan diri untuk menjauh
113
dari keadaan, menyesuaikan dengan kehidupan yang ada, dan menunggu
segalanya berubah dengan sendirinya (Assegaf dan Suyadi, 2008: 160).
2. Kesadaran Naif
Mansour fakih dalam A. Smith mengatakan bahwa keadaan yang
dikatagorikan dalam kesadaran ini adalah lebih melihat aspek manusia
menjadi akar penyebab masalah masyarakat. Dalam kesadaran ini ‘masalah
etika, kreativitas, ‘need for achevement’ dianggap sebagai penentu
perubahan sosial. Jadi dalam menganalisis mengapa suatu masyarakat
miskin, bagi mereka disebabkan karena ‘salah’ masyarakat sendiri, yakni
mereka malas, tidak memiliki kewiraswataan, atau tidak memiliki budaya
‘membangunan’ dan seterusnya. Oleh karena itu ‘man power development’
adalah sesuatu yang diharapkan akan menjadi pemicu perubahan.
Pendidikan dalam kontek ini juga tidak mempertanyakan sistem dan
struktur, bahkan sistem dan struktur yang ada adalah sudah baik dan benar,
merupakan faktor ‘given’ dan oleh sebab itu tidak perlu dipertanyakan.
Tugas pendidikan adalah bagaimana membuat dan mengarahkan agar
murid bisa masuk beradaptasi dengan sistem yang sudah benar tersebut
(William A. Smith, 2008: xvii).
Perubahan dari kesadaran magis ke kesadaran naif adalah perubahan
dari menyesuaikan diri dengan fakta-fakta kehidupan yang tak terelakkan
guna memperbarui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan
individu-individu dalam sebuah sistem yang pada dasarnya keras.
Kontradiksi yang dihadapi oleh individu yang naif ini terjadi antara
114
sistem ideal yang seharusnya berjalan, dan pelanggaran terhadap sistem
tersebut oleh orang-orang jahat dan bodoh. Jika mereka dapat
"memperbarui" perilakunya, maka sistem tersebut akan berjalan dengan
baik.
Freire melukiskan sikap naif dan romantik tersebut dengan kata-kata
sebagai berikut:
Kesadaran transitif... ditandai dengan penyederhanaan masalah …penjelasan yang fantastis ... dan argumentasi yang rapuh (A. Smith, 2008: 69).
Pergeseran kesadaran magis ke kesadaran naif adalah perubahan
dari memyesuaikan diri dengan realitas kepada perubahan untuk mem-
perbarui penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan individu--
individu dalam sebuah sistem. Dalam perjalanannya, perubahan tersebut
menemui kontradiksi yang kuat antara sistem ideal yang seharusnya
berjalan, dengan sistem yang dilanggar oleh orang-orang yang jahat dan
bodoh. Kesadaran ini dicirikan oleh sikap menyederhanakan masalah
secara berlebihan karena ketakutan nostalgia masa lalu. Berkaitan dengan
hal ini, Freire mengatakan:
"Keadaan kesadaran transitif...dicirikan dengan terlalu menyederhanakan permasalahan...penjelasan yang seadanya... dan alasan yang tidak kuat" (Murtiningsih, 2006: 64).
Orang-orang menghabiskan waktu secara bersama-sama untuk
mencari kesenangan bersama dan lari dari masalah-masalah keseharian.
Mereka minum-minum bersama dan berbincang-bincang tentang masa
lampau yang lebih baik atau keputusasaan mereka terhadap keadaan
115
sekarang. Ketika mereka berbicara tentang apa yang seharusnya
dilakukan, mereka selalu mengacu pada apa yang seharusnya dilakukan
orang lain, atau apa yang harus mereka lakukan untuk memperbarui diri
mereka sendiri atau penindas secara individual yang melanggar norma-
norma yang berlaku dalam sistem yang sedang berjalan. Kehidupan yang
lebih baik berarti melanggengkan status quo; hari esok yang lebih baik
hanya berarti penyempurnaan norma-norma yang berlaku saat ini.
Bagi pemikir naif, yang penting adalah akomodasi terhadap keadaan sekarang yang normal (A. Smith, 2008: 70).
Manusia menghabiskan waktu untuk mencari kebahagiaan bersama
dan lari dari masalah-masalah keseharian yang menimpa mereka. Mereka
selalu membicarakan masa lalu yang selalu lebih baik daripada masa
sekarang dan mereka berputus asa untuk memperbaikinya. Ketika mereka
berbicara tentang apa yang seharusnya mereka lakukan, mereka justru
mengacu pada hal-hal yang dilakukan oleh orang lain (Assegaf dan
Suyadi, 2008: 160). Kesadaran ini mencakup tiga aspek pula, yaitu:
a). Aspek Penamaan
Orang yang naif memandang bahwa sistem yang ideal (hukum,
pemerintahan, polisi) adalah sumber norma; contohnya, para pendeta boleh
memungut uang penghapusan dosa, tetapi mereka harus mengenakan
jubah terbaiknya dan menyelenggarakan upacara pembaptisan sebaik-
baiknya. Kemudian permasalahan muncul ketika ada penyimpangan
terhadap idealitas norma tersebut. Norma yang absah adalah milik kaum
tertindas dan bisa diarahkan ke dalam atau keluar. Pelanggaran ke arah
116
dalam berpusat pada insiden-insiden di mana kaum tertindas melihat
dirinya sebagai sumber masalah, kekotoran, kebiasaan, atas perilaku
mereka. Kaum tertindas menyalahkan dirinya sendiri karena tidak seperti
penindas, atau tidak bisa memenuhi keinginan penindas. Sedangkan
pelanggaran ke arah luar berpusat pada individu atau kelompok dari
kelas penindas yang mengambil keuntungan dari peran dan perilaku
mereka yang melanggar peraturan di dalam sistem yang paternalistik.
Permasalahan dalam kesadaran ini hanya menunjuk individu dan
kelompok, tetapi tidak pernah menunjuk pada sistem, interelasi
antarindividu yang dipaksa oleh harapan dan norma (Assegaf-Suaydi,
2008: 161).
b). Aspek Berpikir
Pola berpikir secara logis-empiris terjadi setelah proses
penamaan. Manusia secara simplistis menyalahkan dirinya sendiri atau
orang lain yang termasuk kelompok tertindas. Cara lain untuk menyalah-
kan diri sendiri adalah dengan sikap menyalahkan nenek moyang
mereka yang dituduh sebagai keluarga yang tidak berbuat apa pun untuk
mereka, mereka menentang akar-akar kultural dan konsekuensinya juga
menentang diri sendiri dengan tanpa dasar. Bagi Freire, proses semacam
ini disebutnya sebagai "memberi makanan kepada benalu penindas".
Oleh karena itu, individu-individu akan selalu melanggengkan ideologi dan
keyakinan penindas. Kaum tertindas men ginternalisasikan kepercayaan-
kepcrcayaan atau mitos-mitos tersebut dan menjadikannya sebagai milik
117
sendiri. Hal ini menunjukkan sebuah proses yang aktif, upaya
sengaja, yang bertentangan dengan penerimaan pasif yang
disebutkan sebagai bagian dari kesadaran magis. Jika kaum tertindas
menyalahkan diri sendiri, mereka pertama-tama bisa menerima
penjelasan penindasnya mengenai keadaannya yang sekarang ini terjadi
(Assegaf-Suaydi, 2008: 161-162).
Menurut A. Smith mengatakan bahwa orang-orang tertindas
dalam kesadaran naif berpendapat bahwa ada sesuatu yang salah.
Mereka dapat mengidentifikasi sejumlah ketidakadilan dan
mengaitkannya dengan kisah panjang bagaimana mereka dieksploitasi.
Akan tetapi, mereka belum bisa melampaui batas dari sekedar
menyalahkan individu-individu. Mereka gagal melihat bahwa kekuatan-
kekuatan yang besar dalam sebuah sistem memaksa kaum tertindas
sekaligus penindas. Mereka secara naif, romantis, dan nostalgis berasumsi
bahwa individu-individu pada dasarnya adalah agen-agen bebas dan
independen dari sistem sosio-ekonomi di mana mereka hidup (William
A. Smith, 2008: 76).
c). Aspek Aksi
Tindakan-tindakan individual pada aspek ini, berkaitan erat
dengan aspek lainnya di mana meraka memahami keadaan. Jika
mereka merasa bersalah atau kawan-kawannya yang salah, mereka
akan mengubah tindakannya karena merasa salah juga. Dan mereka
akan meniru penindasnya, walaupun ia salah. Pendidikan menjadi lebih
118
signifikan sebagai cara untuk menjerumuskan kaum tertindas ke dalam
sistem penindas. Mereka akan memakai pakaian yang berbeda dengan
kawannya yang dipandang salah tadi dan berusaha agar tampak
seperti penindas secara fisik, serta meniru kebiasaan-kebiasaan
penindas.
Freire mengatakan: ".... mereka hidup dalam dualitas di mana menjadi sama dengan menyerupai, dan menyerupai sama berarti menyerupai penindas..." (A. Smith, 2008: 77).
3. Kesadaran Kritis
Pada tahap terakhir, yakni kesadaran transitif kritis, perubahan
yang muncul adalah perubahan sistem yang tidak adil, bukannya
pembaruan atau penghancuran individu-individu tertentu. Proses
perubahan ini memiliki dua aspek: (1) penegasan diri dan penolakan
untuk menjadi "inang bagi benalu", serta (2) berusaha secara sadar
dan empiris untuk mengganti sistem yang menindas dengan sistem
yang adil yang bisa mereka kuasai (Assegaf dan Suyadi, 2008: 162).
Sebagaimana ungkapan Freire berikut ini:
"Kesadaran transitif-kritis dicirikan oleh kedalaman menafsirkan atas masalah: dengan mengganti keterangan-keterangan magis dan prinsip-prinsip sebab-akibat: dengan menguji penemuan seseorang dan keterbukaan terhadap pembaharuan: dengan berusaha menghindari penyelewengan kita memahami masalah dan menghindari prasangka-prasangka saat menganalisisnya: dengan menolak pengalihan tanggung jawab: dengan menolak peran-peran pasif: dengan argumentasi yang kuat: dengan lebih mempraktikan dialog daripada polemik: dengan menerima hal haru karena pertimbangan ke depan bukan hanya karena sifat barunya dan dengan akal sehat tidak menolak sesuatu yang lama hanya karena lamanya: dengan menerima apa yang benar baik dari hal yang baru maupun yang lama."(Murtiningsih, 2006: 64-65)
119
Mansour fakih dalam A. Smith (2008: xvii) mengatakan bahwa
Kesadaran ini lebih melihat aspek sistem dan struktur sebagai sumber
masalah. Pendekatan struktural menghindari ‘blaming the victims’ dan
lebih menganalisis untuk secara kritis menyadari struktur dan sistem
sosial, politik, ekonomi dan budaya dan akibatnya pada keadaaan
masyarakat. Paradigma kritis dalam pendidikan, melatih murid untuk
mampu mengidentifikasi ‘ketidak adilan’ dalam sistem dan struktur yang
ada, kemudian mampu melakukan analisis bagaimana sistem dan struktur
itu bekerja, serta bagaimana mentransformasikannya. Tugas pendidikan
dalam paradigma kritis adalah menciptakan ruang dan kesematan agar
peserta pendidikan terlibat dalam suatu proses penciptaan struktur yang
secara fundamental baru dan lebih baik. Kesadaran kritis ini juga
mempunyai tiga aspek, yaitu:
a). Penamaan
Orang-orang tertindas yang berubah ke kesadaran kritis
menyadari bahwa betapapun kerasnya usaha mereka, mereka tidak akan
mampu menyerupai penindasnva. Kebanggaan menghargai diri sendiri
yang semakin berkembang mendorong mereka untuk menolak penindas
sebagai sosok yang harus ditiru. Mereka menekankan pada
etnisitasnya sendiri, bukan karena mereka melawan penindasnya dan
sekadar ingin tampil beda semata, tetapi karena mereka ingin menjadi diri
mereka sendiri, yaitu sebagai manusia yang jujur dan unik terhadap
tradisi dan kebiasaan yang ada pada diri mereka sendiri. Di samping itu,
120
kesadaran kritis ini juga terfokus pada "sistem". Dalam kesadaran ini
peraturan, peristiwa, hubungan, dan prosedur tertentu dianggap sebagai
contoh dari ketidakadilan sistematis yang dilembagakan oleh penindas.
Perampasan, pembungkaman, dan penyimpangan bukanlah perkecualian,
tetapi kesengajaan yang direncanakan secara sistemik. Konsekuensi-
konsekuensi dari penindasan tersebut tidak hanya terjadi dalam satu
waktu, satu tempat, dan menimpa seorang individu, tetapi berlangsung
dalam jangka waktu yang lama, menyebar luas, dan menimpa banyak
orang bahkan suku. Kekejaman dan penghinaan yang dilakukan penindas
tidak hanya ditujukan pada seorang individu, tetapi dijadikan kebijakan,
norma, prosedur, dan hukum yang harus dipatuhi setiap orang, (mengapa
menyalahkan A padahal yang salah adalah kapitalisme, contohnya)
(Assegaf dan Suyadi, 2008: 163-164).
b). Aspek Berpikir
Kemampuan dalam mendefinisikan masalah sebagai kesalahan
sistem dan bukan kesalahan seorang individu menjadikan individu-individu
kaum tertindas paham tentang dua hal: (1) bagaimana mereka harus kerja
sama untuk bekerja secara sistematis, (2) bagaimana penindas melakukan
cara kerja ini. Mereka mengetahui bahwa tindakan mereka selama ini
berarti "memberi makan benalu". Penindas tidak lagi sekadar kebal
terhadap kritik, tetapi mereka telah menjadi laki-laki dan perempuan awam
yang memiliki kelemahan dan kesalahan. Pandangan kaum tertindas
terhadap penindasnya menjadi lebih realistis, demikian juga terhadap
121
diri sendiri dan kelompok mereka. Sekarang kaum tertindas mengetahui
bahwa diri dan kelompoknya bukan saja baik tapi juga kuat. Mereka serta-
merta menolak dengan gagah berani terhadap kekerasan horizontal dan
penghakiman semaunya sendiri atau norrna yang dibuatnya sendiri secara
sepihak. Dari kehidupan yang menindas tersebut, mereka memahami
adanya tujuan dan seperangkat pengetahuan. Mereka sepenuhnya menolak
ideologi penindas, termasuk perilaku dan kepercayaannya secara total.
Berpikir pada tahap kesadaran kritis, berarti mampu secara jelas
mengartikulasikan kontradiksi-kontradiksi antara tindakan mereka sendiri
dan tujuan pembebasannya. Hal ini bisa menyebabkan sikap menyalahkan
diri sendiri berubah menjadi penyadaran akan kelemahan dan
kekurangan diri secara realistis, dan akhirnya menyadari bahwa
sistemlah yang salah.
Pada tahap kedua kesadaran kritis, individu tertindas mengge-
neralisasi sistem yang menindas ke sistem lain yang menindasnya.
Bahkan mereka bukan hanya memahami bagaimana pendeta
mendapatkan keuntungan dari mereka, tetapi mereka juga memahami
hubungan antara sistem perbankan yang menolak memberikan pinjaman
bagi individu yang lemah, miskin dan tidak memiliki modal serta sistem
keagamaan yang menuntut orang-orang kaya pada tiap tahunnya untuk
membelanjakan semua hartanya untuk menyelenggarakan pesta bagi
seluruh masyarakat, misalnya. Berkaitan dengan hal tersebut Freire
menyatakan: "Kesadaran kritis menganggap semua fakta sebagaimana
122
adanva secara empiris dalam korelasi-korelasi kausalitas dan
lingkungan..." (William A. Smith, 2008: 84-86).
c). Aspek Aksi
Aksi-aksi kaum tertindas pada kesadaran kritis ini, akan menuju
pada dua arah, yakni aktualisasi diri dan mengubah sistem. Mereka akan
mencari model-model peran baru dan pantang untuk sekadar meniru. Paling
tidak, mencari model orang-orang yang tidak fanatik atau penindas
merupakan indikasi yang baik atas kegiatan kritis. Kepercayaan pada
kawan ditunjukkan pada sikap menyandarkan pada belajar kelompok
secara dialogis. Mereka memiliki agresivitas yang tinggi dan selalu
diarahkan untuk menentang penindas atau sistem yang menindas. Di
samping itu, mereka juga memburu informasi melalui membaca,
berdiskusi, bertanya, dan melakukan penelitian untuk menemukan
perspektif baru kemudian diuji coba serta direvisi sesuai dengan hasil dari
perspektif yang mereka temukan sendiri. Refleksi dan aksi menjadi
interdependen, sebuah lingkaran berpikir analitis dan aksi konstan yang
radikal dan dirancang untuk meningkatkan akurasi pemahaman. Proses ini
oleh Freire disebut sebagai prakis yang berlawanan dengan retorika dan
hipotesis yang dianggapnya sebagai verbalisme naif, atau dengan aksi yang
terisolasi yang disebutnya sebagai aktivisme naif. Ciri lain dari kesadaran
ini adalah keberanian kaum tertindas untuk mengambil risiko dan tidak
kenal takut akan tantangan yang akan dihadapi. Mereka lebih berani dalam
123
mengadakan perubahan daripada tertindas karena status quo yang berati
menjadi objek perubahan (A. Smith, 2008: 87-88).
Dengan demikian proses konsientisasi sangat berkaitan erat
dengan keadaan kultural yang terjadi dengan membuka realitas yang
membelenggu manusia dalam keterasingannya. Konsientisasi mencermin-
kan kebangkitan kesadaran secara sempurna. Pada tahap-tahap kesadaran
itulah manusia mampu melontarkan kritik terhadap realitasnya sendiri
secara sistemik dan melakukan praksis terhadapnya. Jika manusia mampu
mencapai tahapan terakhir yakni kesadaran transitif-kritis ini, maka
manusia akan berhasil membebaskan dirinya dari belenggu keterasingan
yang berujunng pada penindasan tersebut. Oleh karena itu, pembebasan
yang dialami kaum tertindas ini adalah pembebasan dari kesadaran naif
menuju kesadaran kritis. Perubahan kesadaran tersebut yang akan
menumbuhkan kekuatan untuk mengadakan perombakan sistem realitas
diri yang statis, manusia hanya mampu beradaptasi dengan realitas yang
proporsional yakni realitas yang dinamis dan manusia terlibat secara
intens bersama dunianya (Assegaf dan Suyadi, 2008: 166). Namun untuk
bisa sampai pada tahap kesadaran ini, Freire mengingatkan:
"Langkah-langkah kritis dari kesadaran transitif menuju kesadaran kritis tidaklah terjadi secara otomatis. Untuk mencapai tingkat ini dibutuhkan program pendidikan yang bersifat aktif dan dialogis yang berhubungan dengan tanggung jawab sosial dan politik, dan disiapkan untuk menghindari bahaya masifikasi." (Murtiningsih, 2006: 65).
Konsientisasi adalah sebuah proses perkembangan dalam tiga fase
yang berbeda tetapi saling berhubungan, yakni fase kesadaran magis, naif
124
dan kritis. Orang-orang dalam fase kesadaran magis menyesuaikan
dengan kehidupan di mana mereka tinggal. Mereka mendefinisikan
masalah dengan mengaitkannya pada persoalan-persoalan cara bertahan
hidup dan merasa bahwa masalah-masalah ini disebabkan oleh ke-
kuasaan-kekuasaan yang di luar jangkauan mereka. Tindakan-tindakan
yang mereka lakukan terentang sejak dari menerima keadaan secara pasif
sampai menggulingkan kekuasaan-kekuasaan yang mereka anggap
membelenggu kehidupan mereka.
Demikianlah konsep konsientisasi yang digagas Paulo Freire. Uraian di
atas mendeskripsikan secara ringkas mengenai konsientisasi yang berangkat
dari asumsi yang paling asasi yakni sistem realitas sosial. Dari asumsi ini,
akan menjadikan manusia terlibat secara langsung dengan realitas dunianya.
Dalam keterlibatan tersebut, manusia senantiasa berdialog secara kritis dengan
realitas kehidupan nyata. Agar dialog berjalan kritis dan bermanfaat, Freire
mensyaratkan agar dialog berlandaskan pada kerendahan hati, cinta, dan
harapan. Pada sisi yang lain, proses dialogis subjek dengan realitas atau objek,
akan diperjelas oleh kodifikasi yang dilakukannya, yaitu representasi atas
realitas konkret tersebut yang kemudian dianalisis guna menemukan
pengetahuan kritis. Pengetahuan kritis inilah yang nantinya memunculkan
kesadaran (konsientisasi) dalam tiga tahapan yakni magis, naif dan kritis.
Ujung dari kesadaran tersebut tidak lain adalah pengembalian sisi
kemanusiaan secara lengkap sehingga menjadi manusia yang bebas dan
merdeka.
125
B. Konsep Konsientisasi Paulo Freire dalam Perspektif Pendidikan Islam
a. Fitrah Manusia menurut Pandangan Islam
Sebagaimana kita ketahui bersama, bahwa konsep konsientisasi Paulo
Freire merupakan sebuah konsep yang berangkat dari asumsi yang paling
asasi yakni sistem realitas sosial. Dari asumsi ini, akan menjadikan manusia
terlibat secara langsung dengan realitas dunianya. Dalam keterlibatan tersebut,
manusia senantiasa berdialog secara kritis dengan realitas kehidupan nyata.
Agar dialog berjalan kritis dan bermanfaat, Freire mensyaratkan agar dialog
berlandaskan pada kerendahan hati, cinta, dan harapan. Pada sisi yang lain,
proses dialogis subjek dengan realitas atau objek, akan diperjelas oleh
kodifikasi yang dilakukannya, yaitu representasi atas realitas konkret tersebut
yang kemudian dianalisis guna menemukan pengetahuan kritis. Pengetahuan
kritis inilah yang nantinya memunculkan kesadaran (konsientisasi) dalam tiga
tahapan yakni magis, naif dan kritis. Ujung dari kesadaran tersebut tidak lain
adalah pengembalian sisi kemanusiaan secara lengkap sehingga menjadi
manusia yang bebas dan merdeka (Assegaf dan Suyadi, 2008: 157-158).
Bila melihat konsep konsientisasi di atas, orientasi akhir dari konsep
konsientisasi adalah humanisme. Ide dasar humanisme Paulo Freire ini
berangkat atas pengakuannya terhadap keberadaan fitrah manusia. Freire
mengartikan fitrah manusia sebagai subjek yang berkehendak penuh, bebas,
dan tidak terikat oleh apapun. Bebas dalam pengertian ini adalah bahwa
manusia bebas mengembangkan potensi atau bakat yang ada pada dirinya
126
sesuai dengan kemampuan dan batas-batasnya (Assegaf dan Suyadi, 2008:
14).
Dalam konsep pendidikan Islam telah dijelaskan, bahwa manusia
sebagai makhluk ciptaan Allah dibekali dengan berbagai potensi-potensi yang
terkandung di dalamnya, hal itu merupakan konsekuensi logis dari proses
penciptaan. Tanpa potensi yang diberikan, Tuhan tidak mungkin akan
mengamanatkan tugas ke-khalifah-an di muka bumi ini kepada manusia.
Dalam Islam, potensi manusia dikenal dengan istilah fitrah. Kata ini,
menurut Quraish Shihab, terambil dari kata al-fathr, yang berarti belahan,
penciptaan, dan kejadian. Dengan merujuk kepada al-Qur'an Surat ar-Rum:
30, lebih lanjut Quraish shihab mengatakan bahwa manusia sejak asal
kejadiannya membawa potensi-potensi beragama yang hanif dan juga
memiliki potensi untuk mengenal nama-nama (Quraish Shihab, 1999: 283-
284).
Beberapa tokoh Islam menyimpulkan kata fitrah dengan arti: suci,
tulus dan murni, agama Islam, keesaan Allah, tabiat asli manusia, potensi
untuk mengabdi, dan kesanggupan untuk menerima kebenaran (Ramayulis,
2004: 278). Dalam versi yang lain, Hasan langgulung, mengatakan bahwa
pada prinsipnya potensi-potensi manusia tersimpul dalam sifat-sifat Allah
(Asma' al-Husna), artinya jika Allah bersifat al-'ilm (Maha Mengetahui) maka
manuisa pun memiliki sifat tersebut, dan begitu seterusnya dengan sifat-sifat
yang lain (Hasan Langgulung, 1989: 262-263).
127
Kata fitrah dalam al-Qur'an sebagaimana dikemukakan oleh Abdul
Mujib dalam tabel berikut ini:
No Kata Tempat Ayat Objek Aspek Korelasi Ayat
Al-Rum: 30 ���ة 1Manusia secara
umum Psikis
Agama Hanif (Islam)
2 +���� Al-Hud: 51 Kata ganti
orang pertama tunggal
Psiko-pisik
Tidak meminta upah
dakwah mengajak
menyembah kepada Allah
3 +���� Yasin: 22 Kata ganti
orang pertama tunggal
Psiko-pisik
Tidak meminta upah
dakwah mengajak
menyembah kepada Allah
4 +���� Al-Zukhruf: 27 Kata ganti
orang pertama tunggal
Psiko-pisik
Beribadah atau
menyembah kepada Allah
5 ����� Thaha: 72 Kata ganti
orang pertama jama'
Psiko-pisik
Keimanan ahli sihir terhadap
kebenaran yang berasl dari Allah
Al-Isra': 51 ���آ� 6Kata ganti
orang pertama jama'
Psiko-pisik
Orang-orang musyrik yang tidak percaya
akan kebangkitan hari akhir.
Berdasarkan tabel di atas maka dapat dipahami sebagai berikut:
1. Objek kata fitrah pada tabel tersebut ditujukan pada tiga kategori, yaitu:
a. Manusia secara umum, seperti pada Q.S. al-Rum: 30. Objek manusia
secara umum ini disebabkan oleh kondisi ayat yang bersift deskriptif,
yaitu sekedar menggambarkan konsep manusia secara umum tanpa
128
dikaitkan dengan aktivitasnya. Konsep manusia disini dikorelasikan
dengan konsep agama yang hanif (Islam). Artinya, setiap
penggambaran konsep manusia tidak boleh lepas dari konsep agama
hanif, sebab di alam arwah ruh manusia telah meyakini dan
menyatakan danya agama hanif itu.
b. Kata ganti (dhamir) orang pertama, baik dalam bentuk tunggal
sepertipada Q.S. Hud: 15, Yasin: 22, al-Zukhruf: 27, maupun dalam
bentuk jamak seperti pada Q.S. Thaha: 72. Objek fitrah ini telah
dikaitkan dengan konsep diri pribadi, sehingga perbuatannya telah
nampak teraktualisasi melalui "al-ibadah". Konsep diri pribadi yang
dicerminkan dari term fitrah selalu berkonotasi baik, sebab hakikat diri
manusia selalu diasumsikan baik dan ia berkecenderungan menuju
arah kebenaran dan kebaikan. Oleh karena itulah maka objek ayat ini
dikorelasikan dengan aktivitas dakwah dan ibadah, sebab keduanya
bukan berada di dalam dunia ide melainkan sudah berada di dunia
empirik yang menyangkut perbuatan nyata manusia.
c. Kata ganti orang kedua jamak, seperti pada Q.S. al-Isra: 51. Objek ini
terkait dengan diri orang lain. Konsep tentang pribadi orang lain tidak
hanya bersumber dari faktor internal manusia, tetapi juga dipengaruhi
oleh faktor eksternal. Karena pengaruh luar maka aktualisasi fitrah
tidak lagi mencerminkan watak atau natur aslinya, sehingga ayat ini
dikorelasikan dengan objek orang-orang musyrik.
129
2. Apabila sifat ayat itu sekedar menggambarkan kondisi fitrah maka struktur
manusia yang dimaksudkan adalah struktur psikis, sebab esensi fitrah
bersifat psikis, yaitu beragama yang hanif. Namun apabila sifat ayat
menggmbarkan aktualisasi fitrah maka struktur yang dimaksudkan adalah
psiko-pisik. Struktur psikis menggambarkan citra bathiniah, sedang
struktur pisik menggambarkan citra lahiriah.
3. Fitrah merupakan wujud abstrak. Sebagai wujud abstrak, ia membutuhkan
aktualisasi. Aktualisasi fitrah yang sesungguhnya adalah al-ibadah. Ibadah
merupakan aktualisasi fitrah manusia yang nyata. Ibadah dalam konteks
ini memiliki ruang lingkup yang luas, mencakup keseluruhan aktivitas
manusia dalam rangka mencari ridha Allah SWT (Abdul Mujib, 2002: 12-
13).
Menurut al-Farabi, dan Ibnu Ruysd menyatakan bahwa manusia
terdiri dari dua komponen, yaitu jasad dan jiwa.
1. Komponen jasad Menurut Al-Farabi, komponen ini berasal dari alam ciptaan, yang mempunyai bentuk, rupa, berkualitas, berkadar, bergerak dan diam, serta berjasad dan terdiri atas organ. Sedangkan menurut Ibnu Rusyd berpendapat bahwa komponen jasad merupakan komponen materi.
2. Komponen jiwa Menurut Al-Farabi, komponen jiwa berasal dari alam perintah (alam kholiq) yang mempunyai sifat berbeda dengan jasad manusia. hal ini karena jiwa merupakan roh dari perintah Tuhan walaupun tidak menyamai Dzat-Nya. Sedangkan Ibnu Rusyd memandang jiwa sebagai kesempurnan awal bagi jasad alami yang organic. Kesempurnaan ini Karen jiwa dapat dibedakan dengan kesempurnaan lain yang merupakan pelengkap dirinya, seperti yang terdapat pada berbagai perbuatan, sedangkan disebut organik karena jiwa menunjukkan jasad yang terdiri dari anggota-anggota (Muhaimin dan Abdul Mujib, 1993: 10-11).
130
Muhammad Abduh dalam Assegaf dan Suyadi mengartikan fitrah
sebagaimana tertera dalam hadits riwayat Abu Hurairah r.a.:
D�Dد ی�D! ,�8 ا����ة �<'Dا> یDEدا�- أو ی�C3ا�- أو ی��1A �- و�+ �
).روا> ا�=%� رى(روایF أو ی�� آ� �-
Artinya: "seseorang tidak dilahrkan kecuali dalam keadaan fitrah. Maka kedua orang tuanya yang menjdikannya Yahudi, Nasrni, dan Majusi, dalam riwayat lain musyrik." (HR. Abu Hurairah).
Hadits tersebut menegaskan keterkaitan antara fitrah dengan
pendidikan. Fitrah dalam hal ini berarti potensi yang dimiliki oleh manusia
untuk menerima agama, iman dan tauhid serta perilaku suci. Kata "potensi"
bisa dimaknai sebagai kemampuan atau kesanggupan yang dapat
dikembangkan, bisa juga diartikan sebagai bakat manusia. jika demikian,
maka pendidikan hendaknya menjadi penopang bagi perkembangan fitrah
manusia, yakni mengembangkan agma, iman, dan perilaku suci serta
mengembangkan bakat atau potensi manusia. berdasarkan hal tersebut, potensi
manusia mencakup dua aspek, yaitu aspek religiositas (agama, iman dan
perilaku suci) dan aspek intelektualitas atau kecerdasan yang mencakup bakat
atau kemampuan (Assegaf dan Suyadi, 2008: 184-185).
Secara global, Jalaludin membagi potensi manusia menjadi empat,
yaitu:
c. Potensi Naluriyah (Hidayah al-Gharizziyah)
Potensi ini merupakan dorongan primer yang berfungsi untuk
memelihara kebutuhan dan kelanjutan hidup manusia. dorongan tersebut
berupa: (1) insting untuk memelihara diri (makan, minum dan penyucian
131
tubuh; (2) nafsu amarah untuk bertahan atau menghindari dari gangguan
yang mengancam dirinya; (3) naluri seksual, untuk mengembangkan
jenisnya dari satu generasi ke generasi berikutnya.
d. Potensi Inderawi (Hidayah al-Hassiyat)
Adalah potensi yang Allah berikan kepada manusia dalam bentuk
kemampuan inderawi sebagai penyempurna hidayah pertama tadi.
Pancaindera ini merupakan jendela komunikasi untuk mengetahui
lingkungan kehidupan manusia dan dalam Al-qur'an banyak sekali
disebutkan fungsi indera manusia seperti pendengaran dan penglihatan:
"Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak
mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran,
penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur" (Q.S. an-Nahl: 78).
Potensi ini merupakan peluang manusia untuk mengenal sesuatu
diluar dirinya melalui alat indra yang dimilikinya. Potensi ini terdiri atas
indra penglihat, pencium, peraba, pendengar dan perasa.
e. Potensi Akal (Hidayal al-'Aqliyyat)
Potensi ini memberikan kemampuan kepada manusia untuk
memahami simbol-simbol, hal-hal yang abstrak, menganalisis,
membandingkan, maupun membuat kesimpulan, antara benar dan salah.
Potensi akal sebagai penyempurna dari kedua hidayah di atas.
Dengan potensi akal ini manusia mampu berpikir dan berkreasi
menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang
diberikan kepada manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Kemajuan
132
dunia ini sangat ditentukan oleh kemajuan fungsi akal manusia. Akal ini
pulalah yang membedakan secara tajam antara manusia dengan makhluk-
makhluk lainnya seperti halnya binatang, sehingga manusia disebut
sebagai "hayawanun natiqun" (binatang yang berakal).
f. Potensi keagamaan (Hidayah al-Diniyyat)
Yaitu petunjuk agama yang diberikan kepada manusia yang
berupa keterangan tentang hal-hal yang menyangkut keyakinan dan
aturan perbuatan yang tertulis dalam Al-qur'an dan Assunah (firman
Allah dan tradisi utusan-Nya). Keyakinan dan perbuatan atau iman dan
amal sholeh ini merupakan pondasi dasar dalam agama Islam untuk
mengarahkan potensi-potensi dari naluri, inderawi dan aqli. Sehingga
agama akan memberikan garis lurus bagi naluri, inderawi dan aqli atau
dengan kata lain antara naluri, inderawi, aqli dan agama ada dalam suatu
garis lurus yang tidak dapat terpisahkan, agar integritas manusia sebagai
manusia, sebagai khalifah Allah di muka bumi dapat berfungsi dengan
baik. Agama memberikan petunjuk tentang rentangan hidup manusia
secara diakronis, yaitu rentangan waktu kehidupan dari alam ruh, alam
rahim, alam dunia, alam kubur dan alam akherat. Agama pula yang
memberikan petunjuk bagaimana hati dan akal dapat secara simultan
berfungsi dengan baik dengan menggunakan fasilitas naluri dan inderawi.
Agama memberikan dorongan dan arahan sekaligus mengontrol fungsi-
fungsi hati dan akal. Agama memberikan tuntunan hati dan akal mampu
melihat kebenaran dan menggerakan perilaku ke hal-hal yang utama.
133
Agama merupakan kebutuhan fitrah manusia sesuai dengan fitrah
manusia itu sendiri. "Maka hadapkanlah wajahmu dengan lurus kepada
Agama Allah, tetaplah fitrah Allah yang telah menciptakan manusia
menurut fitrah itu. Tidak ada perubahan pada fitrah Allah. Itulah Agama
yang lurus, tetapi kebanyakan manusia tidak mengetahui." (Q.S. ar-
Rum: 30).
Potensi ini berupa dorongan untuk megabdi kepada sesuatu yang
dianggap memiliki kekuasaan lebih tinggi (Jalaludin, 2003: 34-36).
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa terdapat titik
temu antara konsep konsientisasi Paulo Freire dengan konsep pendidikan
Islam, yaitu pada orientasi kedua konsep tersebut yang berakhir pada
humanisasi. Sedangkan ide dasar dari konsep konsientisasi Paulo Freire dan
pendidikan Islam adalah mengenai keberadaan fitrah manusia. Jika dalam
pandangan Freire mengartikan fitrah manusia sebagai subjek yang
berkehendak penuh, bebas, dan tidak terikat apapun. Bebas dalam pengertian
Freire disini adalah bahwa manusia bebas mengembangkan potensi atau bakat
yang ada pada dirinya sesuai dengan kemampuan dan batas-batasnya. Dalam
konteks pendidikan Islam, fitrah diartikan sebagai potensi-potensi yang
dimiliki manusia yang telah diberikan oleh Allah SWT. dalam mengemban
amanah sebagai khlifatullah di muka bumi. Potensi-potensi tersebut meliputi;
potensi naluriyah, potensi inderawi, potensi akal, dan potensi keagamaan.
Kemudian potensi-potensi tersebut menuntut adanya pengembangan dari
134
dalam diri manusia, agar manusia dapat menjalankan fungsinya sebagai 'abd
dan khalifah di muka bumi ini.
b. Paradigma Pendidikan Kritis
Menurut Juandi dalam artikelnya "Menuju Pendidikan Dialogis-Kritis"
mengartikan paradigma sebagai suatu cara memandang dunia (world view)
yang dipakai untuk menunjukan sistem pemikiran. Paradigma ini akan
menghasilkan sesuatu tindakan yang merefleksikan paradigma yang dianut.
Dunia pendidikan bila dibenturkan pada paradigma yang berkembang
sesungguhnya akan melahirkan sesutu pemahaman yang radikal tentang
pendidikan. Bagaimana pendidikan itu memandang dunia baik dunia
pendidikan sendiri maupun dunia dalam pengertian sosial kemasyarakatan
(http://www.ikamaliska.com).
Pengertian Pendidikan kritis pada dasarnya merupakan aliran atau
faham dalam pendidikan untuk pemberdayaan dan pembebasan (Mustofa
Rembangy, 2008: 102). Dalam perspektif kritis, proses pendidikan merupakan
proses refleksi dan aksi (praksis) terhadap seluruh tatanan dan relasi sosial dari
sistem dan struktur sosial dan bagaimana peran dan cara kerjanya dalam
menciptakan ruang agar sikap kritis terhadap sistem dan struktur yang
diskriminatif terhadap kaum tertindas dan kaum yang tersingkirkan seperti
kaum miskin, kaum buruh, para penyandang cacat atau mereka yang memiliki
kemampuan berbeda, kaum perempuan, anak-anak, serta bagaimana
melakukan proses dekonstruksi dan berbagai aksi praktis maupun strategi
135
menuju sistem sosial yang sensitif dan non diskriminatif (Mustofa Rembangy,
2008: 10).
Pendidikan Islam merupakan sebuah sistem yang telah memiliki basis
nilai sebagai landasan epistemologi. Secara praktis, paradigma pendidikan
kritis dalam pendidikan Islam menghendaki pendidik-peserta didik untuk
secara bebas berargumentasi tanpa merasa dibatasi oleh kedudukan masing-
masing, dan hanya nilai atau etikalah yang menjembatani proses ini (Assegaf
dan Suyadi, 2008: 226). Dalam konteks pendidik dan peserta didik tersebut,
paradigma pendidikan kritis akan menjadi sebuah pendekatan humanistik-
tauhidik dalam proses pembelajaran yang membentuk manusia (pendidik-
peserta didik) menjadi diri yang memiliki independensi akal, dengan mengacu
pada nilai-nilai Islami, sehingga mampu mengembangkan dan mengamalkan
pengetahuannya secara praktis dengan dilandasi kesadarannya secara
bertanggung jawab (Assegaf dan Suyadi, 2008: 227).
Paradigma pendidikan kritis dalam pendidikan Islam lebih
menekankan pada optimalisasi penggunaan akal (sebagai salah satu potensi
yang dimiliki manusia) dalam mengkaji segala bentuk ciptaan-Nya (wahyu
dan alam). Ajaran Islam sangat menghargai akal sebagai anugerah Allah yang
terbesar bagi manusia (Assegaf dan Suyadi, 2008: 226). Islam mengakui
eksistensi akal untuk berpikir, dan itulah yang membedakannya dengan
makhluk lain, sebagaimana Firman Allah dalam Q.S. al-Baqarah ayat 42 :
Ÿω uρ (#θ Ý¡Î6ù=s? �Yys ø9 $# È≅ÏÜ≈t7ø9$$ Î/ (#θ ãΚçG õ3s? uρ ¨, ys ø9 $# öΝçFΡr&uρ tβθ çΗ s>÷è s? ∩⊆⊄∪
136
Artinya: "Dan janganlah kamu campur adukkan yang hak dengan yang bathil dan janganlah kamu sembunyikan yang hak itu, sedang kamu Mengetahui." (Q.S. al-Baqarah: 42). (Depag RI, 1971: 16).
Firman Allah lagi dalam Q.S. al-'Ankabuut ayat 43:
š�ù=Ï? uρ ã≅≈sVøΒ F{ $# $yγ ç/ Î�ôØ nΣ Ä¨$ ¨Ζ=Ï9 ( $ tΒuρ !$ yγ è=É) ÷è tƒ āω Î) tβθ ßϑÎ=≈ yè ø9$# ∩⊆⊂∪
Artinya: "Dan perumpamaan-perumpamaan Ini kami buat untuk manusia; dan tiada yang memahaminya kecuali orang-orang yang berilmu." (Q.S. al-'Ankabuut: 43) (Depag RI, 1971: 634).
Firman Allah dalam Q.S. Muhammad ayat 24:
Ÿξ sùr& tβρã�−/y‰ tG tƒ šχ#u ö�à) ø9 $# ôΘ r& 4’ n? tã A>θ è= è% !$yγ ä9$x/ ø%r& ∩⊄⊆∪
Artinya: "Maka apakah mereka tidak memperhatikan Al Quran ataukah hati mereka terkunci?" (Q.S. Muhmmad: 24) (Depag RI, 1971: 833). Firman Allah SWT. dalam Q.S. Yunus ayat 100:
$ tΒ uρ šχ%x. C§ø/ uΖÏ9 βr& š∅ ÏΒ ÷σè? āω Î) Èβ øŒÎ* Î/ «!$# 4 ã≅yè øgs† uρ š[ô_ Íh�9$# ’ n? tã šÏ%©!$#
Ÿω tβθ è= É)÷è tƒ ∩⊇⊃⊃∪
Artinya: "Dan tidak ada seorangpun akan beriman kecuali dengan izin Allah; dan Allah menimpakan kemurkaan kepada orang-orang yang tidak mempergunakan akalnya." (Q.S. Yunus: 100). (Depag RI, 1971: 322).
Senada dengan ayat di atas, Islam selalu mengajak manusia untuk
berpikir dan bernalar, agar tiap-tiap pribadi melihat kebenaran, bukan melihat
siapa yang mengatakan kebenaran itu. Begitu pula, mempelajari ilmu agama
yang merupakan perwujudan wahyu Tuhan, tidak dapat terlepas dari fungsi
'aql sebagaimana 'aql itu mempelajari ilmu kealaman untuk dapat
memahaminya (Assegaf dan Suyadi, 2008: 228).
Dalam pandangan Machfudin dalam Sunhaji, pendidikan merupakan
pimpinan dan bimbingan bagi peserta didik. Pendidikan menjadikan
137
prosesnya harus berjalan dengan kebijakan “Learning Process Skill”
daripada “Learning Concept”. Pada pendekatan proses akan ditandai dengan
kurikukulum yang student centered, bukan teacher centered. Peran guru lebih
sebagai fasilitator, mediator, dinamisator, organisator, dan katalisator yang
bekerja keras untuk memberlakukan “dialog” sebagai ruh yang mendasari
hidupnya proses pendidikan, serta tidak mencoba menerapkan sikap “anti
dialog” di dalamnya. Sementara Mansour Fakih dalam Sunhaji juga
mengtakan, proses pendidikan ideal di atas memungkinkan munculnya sikap
kritis (prise conscience) pada peserta didik, di mana persepsi terhadap siswa
tidak lagi ia pandang sebagai “cawan” (yang pasif dan dituangi air ke
dalamnya), tetapi sebagai subjek yang belajar dan bersama-sama dengan
subjek yang mendidik untuk selalu berada dalam derap pencarian makna
sesuatu kebenaran. Paradigma pendidikan semacam ini sering disebut sebagai
pendidikan “produksi kesadaran kritis”. Lebih lanjut, hasil dari proses
pendidikan adalah kesadaran kelas, kesadaran gender, maupun kesadaran
kritis lainnya. Oleh karena itu, pendidikan lebih merupakan pembebasan
manusia. Pendidikan merupakan sarana memproduksi kesadaran untuk
mengembalikan kemanusiaan manusia (http://insaniaku.files.wordpress.com).
Mansour Fakih dalam Sunhaji juga mengatakan, bahwa pendidikan
kritis merupakan media untuk resistensi dan aksi sosial yang tidak dapat
dipisahkan. Pendidikan merupakan bagian dari proses transformasi sosial,
maka pendidikan kritis merupakan proses perjuangan polotik.
138
Melihat dasar filosofis dari pendidikan kritis di atas, maka selanjutnya
ada 3 (tiga) ciri pokok pendidikan kritis.
1. Belajar dari realitas atau pengalaman; yang dipelajari bukan ajaran (teori,
pendapat, kesimpulan, wejangan, nasihat, dan seterusnya) dari seseorang,
tetapi keadaan nyata masyarakat atau pengalaman seseorang atau
sekelompok orang yang terlibat di atas keadaan nyata tersebut. Akibatnya,
tidak ada otoritas pengetahuan seorang yang lebih tinggi dari lainnya.
Keabsahan pengetahuan seorang ditentukan oleh pembuktiannya dalam
realitas tindakan/pengalaman langsung, bukan pada retorika atau
kepintaran omong-nya.
2. Tidak menggurui; karena itu tidak ada guru dan tidak ada murid yang
digurui, semua orang yang terlibat dalam proses pendidikan ini adalah
guru sekaligus murid pada saat yang bersamaan.
3. Dialogis; proses berlangsungnya belajar mengajar bersifat komunikasi
dalam berbagai bentuk kegiatan (diskusi, kelompok bermain, dan
sebagainya), dan media (peraga, grafik, audio-visual, dan sebagainya)
yang lebih memungkinkan terjadinya dialog kritis antara semua orang
yang terlibat dalam proses pelatihan tersebut
(http://insaniaku.files.wordpress.com).
Dari uraian di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa paradigma
pendidikan kritis dalam pendidikan Islam mengacu pada pemberdayaan
potensi yang telah dimiliki oleh manusia. Akal merupakan salah satu dari
potensi yang dimiliki oleh manusia yang memegang peranan penting dalam
139
paradigma pendidikan kritis ini. Dengan akal, manusia mampu menemukan
kebenaran hakiki melalui proses berpikir (tafakkur). Paradigma pendidikan
kritis juga memberikan kebebasan yang sama kepada pendidik dan peserta
didik untuk menyampaikan gagasan dan pikirannya (proses dialogis), akan
tetapi dalam proses penyampaian tersebut harus memperhatikan nilai-nilai
etika yang ada.
c. Pendidikan Humanis
Pendidikan merupakan proses dekonstruksi yang memproduksi wacana
untuk membangkitkan kesadaran kritis kemanuisaan. Pendidikan identik
dengan proses pembebasan manusia. Pendirian ini berangkat dari asumsi
bahwa manusia dalam sistem dan struktur sosial yang ada telah mengalami
proses dehumanisasi. Istilah humanis merupakan kata sifat dari homo
(manusia). Secara istilah humaniora/humanis yang memiliki muatan
pengertian sebagai bahan pendidikan yang mecerminkan keutuhan manusia
dan membantu agar manusia menjadi lebih manusiawi.
Pendidikan humanis tidak hanya memberikan pengetahuan, tetapi
mengajak untuk menghayati, menyelami, serta memahami berbagai bentuk
ekspresi ragam manusia. Oleh karena itu, dapat disebut tidak semata
menyentuh intelektual anak, tetapi lebih jauh adalah sisi kemanusiaannya itu
sendiri, baik dalam konteks individual maupun sosio-kultural. Dengan kata
lain, pendidikan humanis bertujuan untuk pengangkatan manusia muda ke
arah insani atau lebih tegas lagi “memanusiakan manusia muda”
(http://insaniaku.files.wordpress.com).
140
Islam telah menyerukan adanya prinsip persamaan dan kesempatan
yang sama dalam belajar, sehingga terbukalah jalan yang mudah untuk belajar
bagi semua orang; sehingga tidak ada perbedaan antara si kaya dan si miskin,
tinggi dan rendahnya kedudukan sosial seorang siswa (Athiyah al-Abrasyi,
1993: 5). Islam tidak mengatakan kepada si miskin, kaum dijadikan untuk
menduduki tempat-tempat yang rendah sedang orang-orang kaya dijadikan
untuk menduduki tempat-tempat yang tinggi, seperti apa yang disuarakan di
Eropa sampai pada abad ke-19. Sebaliknya Islam senantiasa menyerukan:
Insan ini semua adalah sama ibarat gigi sisir, tidak ada kelebihan kecuali
dengan taqwa. Inilah demokrasi, keadilan dan persamaan di dalam Islam
(Athiyah al-Abrasyi, 1993: 9).
M. Rusli Karim dalam Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi mengatakan
bahwa pendidikan Islam sebagai manifestasi ajaran keislaman harus diacu
kearah pembebasan. Praktik pendidikan tidak mengenal diskriminasi apa pun,
termasuk di dalamnya hegemoni dan privillese pada kelompok manusia
tertentu (Imam Tholkhah dan Ahmad Barizi, 2004: 123). Di sana tidak boleh
terjadi pengultusan kebenaran dengan, misalnya, adanya pengotakan
superioritas guru/dosen dan inferioritas siswa/mahasiswa. Sebaliknya di sana
harus dibina terciptanya demokratisasi pendidikan yang disesuaikan dengan
kualifikasi professional pada masing-masing sivitas akademika yang ada.
Kemudian Asghar Ali Enginer sebagaimana dikutip Imam Tholkhah
dan Ahmad Barizi (2004: 123), menilai bahwa manusia pada dasarnya agen
yang bebas. Keikhlasan sejati tidak ada tanpa kemerdekaan dan kebebasan
141
berpikir dan berbuat. Artinya, kemerdekaan dan kebebasan merupakan
pernyataan asasi yang pertma dan terakhir dari nilai kemanusiaan.
Sebagaimana firman Allah SWT. Q.S. al-An'am ayat 164:
ö≅è% u�ö�xîr& «! $# Èöö/ r& $ |/ u‘ uθ èδ uρ �> u‘ Èe≅ä. &ó x« 4 Ÿω uρ Ü=Å¡õ3s? ‘≅ à2 C§ø/ tΡ āω Î) $ pκ ö�n=tæ 4 Ÿω uρ â‘Ì“s? ×ο u‘Η#uρ u‘ø—Íρ 3“t�÷z é& 4 §ΝèO 4’ n< Î) /ä3În/ u‘ ö/ä3ãè Å_ ó÷£∆ / ä3ã∞Îm7t⊥ ã‹sù $ yϑÎ/ öΝçFΖä. ϵŠ Ïù
tβθ à/ Î=tG øƒ rB ∩⊇∉⊆∪
Artinya: Katakanlah: "Apakah Aku akan mencari Tuhan selain Allah, padahal dia adalah Tuhan bagi segala sesuatu. dan tidaklah seorang membuat dosa melainkan kemudharatannya kembali kepada dirinya sendiri; dan seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain.. Kemudian kepada Tuhanmulah kamu kembali, dan akan diberitakan-Nya kepadamu apa yang kamu perselisihkan." (Q.S. al-An'am: 164) (Depag RI, 1971: 217).
Paradigma tauhid dalam konteks pendidikan Islam bukan saja
mengajarkan kemerdekaan dan kebebasan, melainkan bagaimana
membangunkan manusia dari belenggu-belenggu eksistensial ke arah
kesejatian di seluruh situasi dan kondisi di mana ia "berada". Manusia adalah
sama di hadapan Tuhan, yang membedakan adalah kualitas taqwa.
Sebagaimana Q.S. al-Hujurat ayat 13:
¨β Î) ö/ ä3tΒ t�ò2r& y‰Ψ Ïã «! $# öΝä39s) ø?r& 4 ¨βÎ) ©! $# îΛÎ=tã ×��Î7yz ∩⊇⊂∪
Artinya: "Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Mengenal." (Q.S. al-Hujurat: 13) (Depag RI, 1971: 874).
Sebagaimana dikutip Abd. Aziz, Omar Mohammad al-Toumy
Syaibany menjelaskan pandangan Islam terhadap manusia menjadi (delapan)
prinsip penting, yaitu:
142
1. Kepercayaan bahwa manusia itu makhluk yang termulia di dalam jagad
raya ini.
2. Kepercyaan bahwa manusia mempunyai tiga dimensi; badan, akal dan ruh.
3. kepercayaan akan kemuliaan manusia.
4. Kepercayaan bahwa manusia itu adlah hewn yang berpikir.
5. Kepercayaan bahwa manusia dalam perubahannya selalu terpengaruh oleh
factor-faktor warisan dan alam lingkungan.
6. Kepercayaan bahwa manusia mempunyai motivasi dan kebutuhan.
7. Kepercayaan bahwa manusia mempunyai keluwesan sifat dan selalu
berubah.
8. Kepercayaan bahwa ada perbedaan perorangan di antara manusia. (Abd.
Aziz, 2009: 33).
Al-Abrasy dalam Assegaf dan Suyadi, memandang manusia itu
memiliki kebebasan (liberal), dan kebebasan ini merupakan bagian yang tak
terpisahkan dari khazanah intelektual Islam. Dikatannya:
"Ketika Islam datang, Islam membangkitkan akal manusia dari tidurnya, membebaskannya dari kekangan keterbatasan pemikiran orang-orang terdahulu serta keyakinan mereka, dan mendorongnya untuk bebas berpikir … dan menjadikannya sebagai manusia yang bebas berpendapat dan berpikir". (Assegaf dan Suyadi, 2008: 99)
Kebebasan menurut pandangan Islam bersifat asasi, karena memang
merupakan fitrah manusia dan merupakan hak asasi setiap manusia. Terbukti
Allah melarang manusia merampas hak kebebasan orang lain dan sebaliknya
manusia harus mampu menghargai kebebasan orang lain. Sampai dalam dalam
143
mengajak pada kebenaran pun seperti mengajak orang lain masuk Islam kita
dilarang untuk memaksanya (Achmadi, 1987: 63).
Berkaitan dengan itu, Muhammad Sayyid al-Wakil dalam analisis
sejarahnya mengatakan bahwa, sesungguhnya Islam pernah mendirikan
peradaban besar dan dunia tidak sanggup mendirikan peradaban besar yang
semisal dengannya. Karena Islam memberi kebebasan kepada akal untuk
berfikir dan berkreasi tidak menghambat para pemikir dan tidak membatasi
tema-tema kajian bagi para pengkaji (http://pdf-search-
engine.com/Liberalisasi Pendidikan Islam-html-).
Umat yang sudah berkualitas bebas menelaah dan mengkaji alam
semesta ini untuk memperkuat ketaqwaannya kepada Allah SWT. Bertalian
dengan itu, Iqbal mengatakan kebebasan adalah prasyarat kebaikan. Agama
Islam dalam keasliannya tidak memaksakan atau memperjuangkan suatu
sistem sosial politik yang ekslusif.
Kebebasan merupakan prasyarat kehidupan bagi umat yang
mendayagunakan akalnya dengan akal, fakta bisa diketahui, fenomena alam
bisa dikaji, masalah-maslah ilmiah dapat didiskusikan bahkan dengan akal
pula dapat mengetahui Tuhan semesta alam. Akan merupakan hikmah Allah
‘azza wajallah yang diberikan kepada hamba-Nya. Dengan akal rasional
itulah, yang dijadikan Allah sebagai pelayan-pelayan wahyu untuk memahami
dan memaknai ayat-ayat sekaligus diaktualisasikannya dalam realitas
kehidupan. Metode berfikir rasional dan filosofis melahirkan dinamika dan
sikap optimisme dalam hidup. Metode berfikir tersebut diterapkan oleh faham
144
Qadariyah yang menggambarkan kebebasan manusia dan perbuatan
(http://pdf-search-engine.com/Liberalisasi Pendidikan Islam-html-).
Pendidikan pembebasan yang digelindingkan oleh Freire, sebenarnya
telah diterapkan oleh Nabi Muhammad dalam strategi gerakan dakwah Islam
menuju transformasi sosial. Gerakan dakwah pada masa Nabi dipraktekkan
sebagai gerakan pembebasan dari eksploitasi, penindasan, dominasi dan
ketidakadilan dalam segala aspeknya. Lebih lanjut, Hanif dengan mengutip
Engineer menuliskan bahwa Nabi, dalam kerangka dakwah Islam untuk
pembebasan umat, tidak langsung menawarkan Islam sebagai sebuah ideologi
yang normatif, melainkan sebagai pengakuan terhadap perlunya
memperjuangkan secara serius problem bipolaritas spiritual-material
kehidupan manusia, dengan penyusunan kembali tatatan yang telah ada
menjadi tatanan yang tidak eksploitatif, adil dan egaliter.
Lebih lanjut, Imam Hanafi memberikan penegasan yang lebih
substansial lagi. Menurutnya, Islam adalah agama pembebasan karena "Islam
memberikan penghargaan terhadap manusia secara sejajar, mengutamakan
kemanusiaan, menjunjung tinggi nilai-nilai demokrasi dan keadilan,
mengajarkan berkata yang hak dan benar, dan mengasihi yang lemah dan
tertindas" (http://www.uinsuska.info).
߉ƒ Ì�çΡuρ βr& £ßϑ‾Ρ ’ n? tã šÏ% ©!$# (#θ à/ Ïè ôÒ çGó™$# †Îû ÇÚö‘F{$# öΝßγ n=yè øgwΥuρ Zπ£ϑÍ← r&
ãΝßγ n=yè ôftΡ uρ šÏOÍ‘≡ uθ ø9 $# ∩∈∪
Artinya: "Dan kami hendak memberi karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan
145
menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi)". (Q.S. al-Qashash: 5). (Depag RI, 1971: 609).
Dari ayat di atas, menunjukkan bahwa asal usul diturunkannya Islam
(dan juga rasul-rasul) adalah untuk membebaskan manusia dari belenggu
ketertindasan dan ketidaksadaran.
Nabi Muhammad dalam perjalanan sejarahya, telah melakukan sebuah
gerakan pembebasan yang cukup revolusioner. Nabi Muhammad bukan saja
melakukan pembebabasan terhadap kaum perempuan yang selama berabad-
abad telah tertidas oleh budaya Arab yang memarginalkan peran perempuan
dalam berbagai sektor publik, tetapi juga mewajibkan (faridhat) kepada setiap
Muslim untuk menuntut ilmu pengetahuan. Dengan ilmu pengetahuan inilah,
umat Islam diharapkan mempunyai “kesadaran terhadap realitas”. Dalam
pandangan Asghar Ali Engineer, ilmu pengetahuan ini dapat dihubungkan
dengan nur (cahaya), artinya dengan ilmu pengetahuan manusia mampu
terbebas dari kegelapan menuju cahaya keselamatan
(http://www.uinsuska.info).
Ilmu pengetahuan berasal dari kata ilmu dan pengetahuan. Dalam
pandangan James K. Feiblenan sebagaimana dikutip oleh Endang Saifuddin
Anshari dalam Abd. Aziz (2009: 103), mengatakan bahwa pengetahuan
(ma'rifah/knowledge) adalah hubungan antara objek dan subjek (relation
between object and subject). Dengan kata lain, pengetahuan adalah paham
suatu subjek terhadap objek yang dihapai. Subjek disini adalah manusia
sebagai kesatuan berbagai macam kesanggupan (akal, panca indra, dsb.) yang
digunakan untuk mengetahui sesuatu. Sebaliknya, objek disini adalah benda
146
atau hal yang diselidiki, yang merupakan realitas bagi manusia yang
menyelidiki.
Sementara Tim DEPAG RI sebagaimana dikutip Abd. Aziz,
mengemukakan pengertian ilmu dalam pandangan para ahli mempunyai
pengertian sebagai berikut:
1. Ralph Ross dan Firnest Van Den Haag dalam bukunya "The Fehric of
Society" menulis, "science is empirical, rasional, general, and cumulative
and it is all four at once." (Ilmu adalah sesuatu yang empiris, rasional,
umum, dan kumulatif, dan keempat-empatnya serempak.
2. Ashley Montagu dalam bukunya "The Culture Man" menyebutkan bahwa
"science is asistirnatized knowledge service from observation, study, and
experimentation carried on onder to determine the nature or principles of
what being studied." (Ilmu adalah pengetahuan yang disusun dalam satu
system yang berasl dari pengalaman, studi dan pengalaman untuk
menentukan hakikat dan prinsip tentang sesuatu yang sedang dipelajari.
3. Zakiah Daradjat, dkk. dalam merumuskan "Ilmu adalah seperangkat
rumusan pengembangan pengetahuan yang dilaksanakan secara obyektif,
sistematis, baik dengan pendekatan deduktif, amupun induktif, yang
dimanfaatkan untuk memperoleh keselamatan, kebahagiaan, dan
pengalaman manusia yang berasal dari Tuhan, dan disimpulkan oleh
manusia melalui hasil penemuan pemikiran dari pada ahli (Abd. Aziz,
2009: 103-104).
147
Dari beberapa definisi di atas, ilmu pengetahuan mempunyai ciri-ciri
khusus, yaitu:
1. Objek ilmu pengetahuan adalah empiris, yaitu fakta-fakta empiris yang
dapat dialami langsung oleh manusia dengan menggunakan panca
indranya.
2. Ilmu pengetahuan mempunyai karakterstik tersendiri, yaitu mempunyai
sistemtika, hasil yang diperoleh besifat rasional dan obyektif, universal,
dan kumulatif.
3. Ilmu yang dihasilkan dari pengamatan, pengalaman, studi, dan pemikiran,
baik melalui pendekatan deduktif, maupun pendekatan induktif atau
kedua-duanya.
4. Sumber dari segala ilmu adalah Tuhan, karena Dia yang menciptakannya.
5. Fungsi ilmu adalah untuk keselamatan, kebahagian, pengamanan manusia
dari segala sesuatu yang menyulitkan (Abd. Aziz, 2009: 104-105).
Kata ilmu dalam pengertian teknis operasional ialah kesadaran tentang
realitas. Pengertian ini didapat dari makna-makna ayat yang ada di dalam Al-
Qur’an. Orang yang memiliki kesadaran tentang realitas lewat pendengaran,
penglihatan dan hati akan berfikir rasional dalam menggapai kebenaran.
Sebagaimana firman Allah SWT. dalam Q.S. Al-Israa : 36:
Ÿω uρ ß#ø) s? $ tΒ }§øŠs9 y7s9 ϵÎ/ íΟù= Ïæ 4 ¨βÎ) yì ôϑ¡¡9 $# u�|Ç t7ø9$# uρ yŠ#xσ à/ ø9 $#uρ ‘≅ ä. y7Í×‾≈s9 'ρ é& tβ%x.
çµ÷Ψ tã Zωθ ä↔ó¡ tΒ ∩⊂∉∪
Artinya: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati,
148
semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (Q.S. al-Isra: 36) (Depag RI, 1971: 429).
"Pengetahuan (‘ilm ) dalam pandangan Ibn Khaldul dalam Imam
Hanafi, merupakan suatu persepsi terhadap esensi segala sesuatu, mahiyat
"suatu bentuk persepsi yang bersahaja yang tidak disertai oleh hukum atau
boleh merupakan appersepsi; yaitu hukum bahwa sesuatu hal adalah hal itu".
Sementara Iqbal memberikan pandangan "Ilmu itu harus dinilai dengan
konkrit. Hanya kekuatan intelektual yang menguasai yang konkritlah yang
akan memberi kemungkinan kecerdasan manusia itu melampaui yang konkrit"
(http://www.uinsuska.info/).
Menyimak dari pandangan Ibn Khaldun dan Iqbal tentang ilmu, dapat
ditarik satu garis lurus bahwa ilmu atau realitas kebenaran akan hadir secara
utuh dalam persepsi individu, walaupun dalam pemahaman bisa berbeda atas
suatu realitas atau obyek. Kehadiran secara utuh dari suatu obyek terhadap
subyek adalah suatu realitas yang tak bisa dielakkan. Inilah yang oleh Iqbal
dikatakan bahwa ilmu itu harus dinilai dengan konkrit, yakni ilmu harus bisa
terukur kebenarannya.
Oleh karena, ilmu dalam Islam adalah sebagai kesadaran tentang
realitas, maka realitas yang paling utama ketika manusia itu lahir adalah alam
semesta (mikro kosmos dan makro kosmos). Di alam inilah manusia mulai
mendengar, melihat dan merasakan obyek-obyek yang dialaminya berupa
suara, bentuk dan perasaan. Alam ini merupakan satu titik kesadaran awal
untuk mengenal realitas terutama diri sendiri. Setelah manusia mengalami
kedewasaan dan sempurna akalnya, maka ia mulai berpikir tentang
149
metarealitas, yakni suatu kekuatan supernatural yang ikut bermain dan sibuk
mengurus proses-proses penciptaan dari tiada menjadi ada, dari ada menjadi
tiada.
Kesadaran inilah yang akan membebaskan manusia dari segala bentuk
penindasan di alam semesta. Sebuah kesadaran yang akan menghantarkan
manusia pada posisinya sebagai abd (hamba) sekaligus sebagai khalifah
(wakil Tuhan) di alam semesta ini (http://www.uinsuska.info/).
Ali Syari'ati dalam Suwito juga mengemukakan bahwa manusia yang
"menjadi", atau manusia yang berusaha "menjadi", memiliki tiga karakteristik
yang membedakannya dengan makhluk lain, yakni:
• Kesadaran diri (Self-Awarenes, Self Conciousness). Sifat ini menuntun
manusia untuk memilih dan kemudian menolongnya untuk mencipta
sesuatu yang baru, yang sebelumnya tidak ada di alam semesta.
• Kemauan bebas (Free to choice). Manusia adalah satu-satunya makhluk
yang bebas untuk memilih bagi dirinya sendiri.
• Kreativitas (daya cipta, creativitness). Manusia bukan hanya makhluk
pembuat alat, tapi ia pencipta dan pembuat barang-barang yang belum ada
di alam. (Suwito, 2004: 204).
Pendidikan Islam sebagai instrumen penting orientasi pembebasan
diharapkan mampu menyadarkan manusia ke arah eksistensial. Proses
pendidikan yang dijalankan bagaimana menciptakan manusia kritis, reflektis,
dan integratif. Manusia kritis adalah manusia cerdas di dalam mengidentifikasi
dan mencari solusi terbaik bagi problematika kehidupan yang ada. Manusia
150
reflektif adalah manusia cerdas di dalam membangun keikutsertaan
kerja/kinerja yang baik. Manusia integratif adalah manusia cerdas yang
mampu membangun relasi dengan seluruh elemen-elemen kehidupan secara
menyeluruh, baik dengan sesame maupun dengan lingkungan (Imam Tolkhah
dan Barizi, 2004: 123-124).
Al-qur'an secara tegas mengintruksikan sikap kritis terhadap segala hal
dan melarang taklid. Karena sikap taklid membuat orang tertutup menerima
kebenaran yang rasional. Allah SWT. secara tegas mewanti-wanti manusia di
dalam firman-Nya;
Ÿω uρ ß#ø)s? $ tΒ }§ øŠs9 y7s9 ϵÎ/ íΟù=Ïæ 4 ¨β Î) yì ôϑ¡¡9 $# u� |Çt7ø9 $#uρ yŠ# xσ à/ø9$#uρ ‘≅ ä. y7 Í×‾≈s9 'ρé& tβ%x.
çµ ÷Ψtã Zωθ ä↔ ó¡tΒ ∩⊂∉∪
Artinya: "Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya." (Q.S. al-Israa: 36) (Depag RI, 1971: 429).
Ayat di atas memberikan pengertian bahwa taklid adalah sesuatu yang
di "haramkan" di dalam Islam. Karena taklid bisa menafikan dan sekaligus
memiliki kecenderungan untuk melemparkan tanggung jawab kepada orang
lain (Imam Tolkhah dan Barizi, 2004: 24).
Adalah tugas pendidikan Islam untuk merekonstruksi sistem
pendidikan yang mengarah kepada dehumanisasi. Sistem pendidikan Islam
harus menjadi alternatif ke arah humanisasi pendidikan karena cita-cita ideal
Islam adalah tercapainya bentuk-bentuk dan aspek-aspek kemanusiaan secara
menyeluruh, baik lahir maupun batin. Islam sebagai abstract noun dari kata
151
aslama-yuslimu-islaman, dalam konteks pendidikan, berarti proses kontinuitas
keislaman dan kependidikan dengan mengapresiasi secara positif dan kritis
terhadap perkembangan dan kebutuhan zman. Sehingga dengan begitu Islam
sebagai agama yang sesuai dengan situasi dan kondisi (al-Islam shalih li kulli
zaman wa makan) tidak menjadi kering karena penetrasi global yang terus
berkembang (Imam Tolkhah dan Barizi, 2004: 125).
Lebih Lanjut Imam Tolkhah dan Barizi, mengemukakan beberapa hal
yang perlu diidentifikasi melalui bahasan ini dari ajaran Islam bagi bangunan
sistem pendidikan Islam ke arah pembebasan dan humanisasi. Pertama,
konsep musyawarah dan dialogika (munazharah). Sebuah kisah di dalam al-
Qur'an dikatakan bahwa ketika Nabi Ya'kub a.s. memerintahkan anak-anaknya
mencari Nabi Yusuf a.s. di istana peninggalan Fir'aun, dia berkata: Janganlah
masuk dari stu pintu, tapi masuklah dari pelbagai pintu (Q.S. Yusuf: 67).
Logikanya, adalah jika masuk dari satu pintu, sulit Yusuf ditemukan. Lebih
baik berpencar, meski tetap harus ada persetujuan bersama bahwa sipa saja
yang menemukan mau membagi dengan yang lain. Sebab betapa pun,
penemuan itu adalah penemuan bersama, bukan monopoli pribadi atau
kelompok.
Salah satu ajaran yang bisa diambil dari kisah tersebut adalah
pembangunan sistem kependidikan yang harus didasarkan pada aspek
musyawarah, dialog, dan kebersamaan kepemilikan. Semua sivitas akademika
dan masyarakat secara luas harus dilibatkan dalm pembangunan kependidikan.
Konsep musyawarah dan dialogika ini sebagai kritik terhadap sistem
152
pendidikan naratif (hubungan searah) dan pendidikn "gaya bank" ala Paulo
Freire. Pendidikan gaya bank dan narasi ini mengandaikan peserta didik
laksana bejana-bejana kosong yang perlu diisi oleh guru, semakin penuh
semakin baik. Peserta didik tak lebih sebagai manusia mandul yang perlu
dikasihani dan "disuapi" pelbagi pengetahuan sesuai selera guru tanpa hak
untuk menolak. Implikasinya, sistem pendidikan demikian hanya bertumpu
pada penguasaan materi dan aspek hafalan, bukan pada kemampuan analisis.
Akibatnya, pendidikan cenderung kurang humanis, tidak kritis, dan tidak
membebaskan. Sementara pendidikan dengan sistem musyawarah dan
dialogika berusha mengantarkan peserta didik secara humanis pada kesejatian
dirinya sebagai manusia potensial, aspirtif, dinamis, progresif, evolutif, dan
komunikatif. Dialogika pun akan tercipta bila pemikiran kritis dilibatkan
sebagai cara pandang realitas objektif bagi adanya perubahan dan perbedaan
di dalam pendidikan.
Kedua, perintah mencari ilmu dan prediksi mulia bagi orang-orang
yang berilmu. Kisah dilogika antara Tuhan dan malaikat di dalam al-Qur'an
yang berakhir dengan pengakuan malaikat akan keunggulan adam a.s. atas
dirinya adalah karena ilmu (Q.S. al-Baqarah: 30-34), merupkan indikasi
bahwa ilmu pengetahuan dan orang-orang yang berilmu berada pada derajat
lebih tinggi dari yang lain (Q.S. al-Mujadalah: 11). Selain memberikan
kemahiran dan keahlian, ilmu pengetahun diyakini memiliki kemampuan yang
bersifat partikularistik dalam membaca realitas objektif dan memberikan
informasi secara opersional dalam realitas kehidupan manusia serta
153
menghantarkannya pada kualitas tertinggi dalam startifikasi manusia. Karena
itu, perintah mencari dan berkelana (musafarah, mengembara) untuk ilmu
pengetahuan merupakan sesuatu perintah yang paling ditekankan di dalam
Islam.
Ketiga, instruksi teologis bagi umat Islam untuk menjadi umat
terdepan. Ayat al-Qur'an yang menyatakan, Jadikanlah kami (Ya Tuhan)
sebagai imam bagi orang-orang yang bertaqwa (Q.S. al-Furqan: 74), dalam
perspektif pendidikan Islam adalah bahwa pendidikan tidak hanya diarahkan
bagi pengembangan manusia seutuhnya, yaitu manusia beriman dan bertaqwa
dalam pengertian luas, melainkan bagaimana ia menjadi terdepan dari
kelompok-kelompok manusia tersebut. Manusia terdepan harus mampu
menjadi pemimpin, penggerak, pendorong, inovator, dan teladan bagi orang-
orang yang bertaqwa (Imam Tolkhah dan Barizi, 2004: 125-128).
Dari uraian di atas, dapat diambil kesimpulan bahwa jika Friere basis
gerakan pembebasan adalah melakukan kesadaran kritis untuk membuka
kesadaran “kaum tertindas”, maka Islam mendasarkan diri pada kesadaran
untuk memahami realitas yang terjadi di sekitar manusia itu sendiri. Disini ada
“titik temu” antara pembebasan yang diusung Friere dengan yang ada dalam
pendidikan Islam.
Pendidikan humanis dalam pendidikan Islam ini merupakan sebuah
rangkaian proses pemberdayaan manusia menuju taklif (kedewasaan), baik
secara akal, mental maupun moral, untuk menjalankan fungsi kemanusiaan
yang diembannya sebagai seorang hamba ('abd) dihadapan Khaliq-nya dan
154
sebagai 'pemimpin' (khalifah) di muka bumi. Dengan demikian, pendidikan
Islam akan mampu mengantarkan manusia untuk dapat menjadi insan yang
sempurna (insan kamil).
d. Konsep Konsientisasi dalam Perspektif Pendidikan Islam
Konsientisasi harus dimengerti sebagai kesadaran diri sehingga tidak
sekedar berhenti pada refleksi saja, melainkan merembes sampai pada aksi
nyata. dari refleksi menuju tindakan konkret inilah yang menjadi dasar
gerakan pembebasan. Praktik pembebasan dalam pengertian Paulo Freire
adalah proses dialektis yang tak ada habis-habisnya, yaitu berputar antara aksi
dan refleksi. pembebasan kaum tertindas merupakan panggilan dan tugas
manusia pembebas sejati. Namun tugas itu sering diputarbalikkan sehingga
yang terjadi adalah ketidakadilan, eksploitasi dan kekerasan yang dilakukan
kaum penindas.
Sementara itu untuk mempertahankan posisinya, para penguasa, para
penindas, sering melemparkan berbagai ideologi yang disebut mitos. banyak
sekali mitos yang ditanamkan oleh penguasa untuk diterima dan dipercayai
begitu saja, misalnya bahwa rakyat miskin itu bodoh, malas, tidak bisa
diandalkan. bahwa ketaan itu baik, tunduk pada penguasa itu wajib. Tragedi
besar ini menurut Paulo Freire dalam Education The Practice of Freedom
(1984), manusia ditipu oleh slogan-slogan dan ideologi semacam itu. mereka
tidak menetukan apa-apa dalam perkembangan zamannya, tetapi menjalankan
saja yang sudah ditentukan oleh para elit penguasa.
155
Melihat alur yang penulis kemukakan di depan, konsep konsientisasi
Paulo Freire mengerucut pada "akal" sebagai bagian dari potensi yang dimiliki
oleh manusia. Dalam konteks konsientisasi, keberadaan akal diungkapkan
oleh Paulo Freire dalam Assegaf dan Suyadi sebagai berikut:
"Semakin akurat orang menangkap kausalitas, yang sebenarnya, semakin krits kesadaran mereka terhadap realitas. Pemahaman mereka masih bersifat magis selama mereka belum bisa menangkap kausalitas. Sedangkan ketika telah mencapai kesadaran kritis, mereka bisa menganalisis kausalitas; apa yang hari ini belum tentu benar pada keesokan harinya. Kesadaran naïf memandang kausalitas sebagai sebuah fakta yang statis, tetap, dan maknanya menipu persepsi mereka" (Assegaf dan Suyadi, 2008: 200).
Mencermati pernyataan Freire di atas, kesadaran mempunyai tingkat-
tingkat atau fase-fase kesadaran (konsientisasi); magis, naïf, dan kritis. Bagi
Freire, tahapan kesadaran individu tidak dimulai dengan kesadaran kritis dan
kemudian menjadi kesadaran magis, juga bukan dari kesadaran magis
langsung ke kesadaran kritis, tetapi juga tidk secara acak. Bagi Freire fase-fase
kesadaran manusia dari magis sampai kritis ini akan seiring dengan
bergulirnya roda kehidupan. Mencermati pernyataan Freire tersebut di atas,
maka fungsi akal manusia, adalah menemukan kausalitas secara sempurna
dengan sarana indra terutama akalnya. Apa yang dipandang akal sebagai
penindasan adalah penindasan, apa yang dipandang akal salah dan sesat adalah
salah dan sesat, apa yang dipandang akal buruk, maka buruklah realitas yang
ada. Intinya, baik dan buruk, benar dan salah, sesat dan lurus, tergantung pada
tingkat kesadaran (akal) memandangnya (Assegaf dan Suyadi, 2008: 200).
Realisasi kesadaran dalam diri manusia ini memestikan dirinya hadir
dalam realitas kebebasan yang dengannya manusia dapat leluasa menentukan
156
dan memutuskan, walaupun hal itu pun adanya hanya dalam bentuk realitas
semu. Yang benar-benar ada adalah keraguan sebagai lambang berpikir
manusia tanpa ujung. Jika demikian, eksistensi manusia di dunia berada dalam
wilayah proses terus-menerus tanpa henti kendatipun ia sendiri menyadari
bahwa ia tidak pernah akan melahirkan dan atau menemukan sesuatu yang
sifatnya benar-benar riil. Dalam gerakan wilayah keraguan ke wilayah
penemuan walaupun bersifat semu, diperlukan adanya aktivitas akal yang
berpikir, karena manusia ada karena memang ia berpikir (Muhmidayeli, 2007:
118).
Al-Ghazali dalam Abd. Aziz mengemukakan bahwa akal mempunyai
empat pengertian, yaitu:
1. Sebutan yang membedakan manusia dengan hewan.
2. Ilmu yang lahir disaat telah mencapai usia akil baligh sehingga dapat
mengetahui perbuatan yang baik dan selanjutnya diamalkan, dan perbuatan
yang buruk yang selanjutnya ditinggalkan.
3. Ilmu-ilmu yang didapat dari pengalaman sehingga dapat dikatakan "siapa
yang banyak pengalaman maka ia orang yang berakal".
4. Kekuatan yang dapat menghentikan dorongan naluriah untuk menerawang
jauh ke angkasa, mengekang, dan menundukkan syahwat yang selalu
menginginkan kenikmatan (Abd. Aziz, 2009: 44).
Ahmad D. Marimba dalam Abd. Aziz mengatakan bahwa akal
berfungsi untuk mengumpulkan ilmu pengetahuan, memecahkan persoalan
yang kita hadapi dan mencari jalan yang efesien untuk menemukan maksud-
157
maksud kita (Abd. Aziz, 2009: 44). Bahkan Plato (427-347 SM) menempatkan
akal sebagai kompas manusia dalam memahami dunia ini, sedangkan
Aristoteles memandang akal sebagai keaktifan untuk tumbuh dan pembiakan
(vegetatif), bergerak (animal), dan berfikir (tingkat tertinggi). Jhon Dewey
(1859-1952), penganut aliran pragmatis, menempatkan akal sebagai alat
manusia untuk menyesuaikan diri terhadap lingkungan alam sekitarnya, dan
alat yang bertugas untuk berfikir (Abd. Aziz, 2009: 44).
Dengan potensi akal ini manusia mampu berpikir dan berkreasi
menemukan ilmu pengetahuan sebagai bagian dari fasilitas yang diberikan
kepada manusia untuk fungsi kekhalifahannya. Kemajuan dunia ini sangat
ditentukan oleh kemajuan fungsi akal manusia. Akal ini pulalah yang
membedakan secara tajam antara manusia dengan makhluk-makhluk lainnya
seperti halnya binatang, sehingga manusia disebut sebagai "hayawanun
natiqun" (binatang yang berakal).
Jika kita mengamati binatang maka kita dapati binatang digerakkan
dengan instink atau nalurinya. Lain halnya dengan manusia. Ia digerakkan
dengan oleh instink dan akal. Sebab itu boleh dita'rifkan tingkah laku manusia
sebagai tindakan manusia yang sengaja diarahkan untuk mencapai tujuan
tertentu. Dengan akal dan ilmunya ia bisa menambah daya produktivitasnya.
Bila mutu karyanya meningkat maka ia akan lebih efektif dan berperan dalam
mengubah alam sekitar dan masyarakat sekelilingnya. Islam menyeru agar
manusia mengambil faedah dari kecenderungan melatih atau menggunakan
akal untuk memikirkan alam sekitarnya. Tidak ada artinya cirri yang
158
membedakan manusia dari makhluk-makhluk lain andaikata akal yang ada itu
dibiarkan saja dan tidak digunakan melayani hidup manusia sehari-hari dalam
segala bidang kegiatannya (Omar Mohammad Al-Taomy, 1979: 120-121).
Muhmidayeli dalam bukunya Teori-teori Pengembangan Sumber Daya
Manusia menyatakan bahwa akal merupakan potensi berpikir manusia yang
membedakan dirinya dengan makhluk-makhluk lain di luar dirinya. Dengan
potensi akal-lah manusia mampu menangkap, mendeskripsikan, memetakan
dan memahami segala sesuatu, tidak sja menyangkut realitas empiris yang
konkret, tetapi juga yang bersifat abstrak dan metafisika, tidak hanya yang
pragmatis, tetapi juga yang idealis. Pendeknya, akl memampukan manusia
mencerna dan memahami berbagai tanda-tanda, lambing-lambang yang ada
dalam keseluruhan realitas yang sangat berguna bagi manusia itu sendiri. Akal
dapat memperkukuh eksistensi manusia di dunia dalam kaitannya dengan alam
semesta dan Tuhan sebagai sesuatu yang tidak dapat dipisahkan
(Muhmidayeli, 2007: 111).
Dalam Al-Qur'an surat al-Zumar ayat 18 Allah berfirman:
Ï% ©!$# tβθ ãèÏϑtF ó¡o„ tΑ öθ s)ø9 $# tβθ ãèÎ6−F u‹sù ÿ…çµ uΖ |¡ômr& 4 y7 Í×‾≈ s9 'ρé& tÏ%©!$# ãΝßγ1 y‰yδ ª! $# ( y7 Í×‾≈s9 'ρ é&uρ
öΝèδ (#θä9 'ρ é& É=≈t7ø9 F{ $# ∩⊇∇∪
Artinya: "Mereka yang mendengarkan perkataannya lalu mereka pun mengikuti kebaikannya, mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka Itulah orang-orang yang mempunyai akal" (Q.S. al-Zumar: 18) (Depag RI, 1971: 748).
Dalam firman Allah SWT di atas, memberikan pemahaman bahwa
sesungguhnya akal manusia cenderung memperlihatkan sikap
159
ketertundukannya pada apa yang telah menjadi keputusannya. Ketika manusia
telah menemukan suatu kebenaran, jiwanya cenderung memberikan
pembenaran yang ditampilkannya dalam sikap kepatuhan dan ketundukan.
Dan inilah sebagai wujud Tuhan menunjuki manusia yang telah benar-benar
berusaha mendapatkannya (Muhmidayeli, 2007: 114).
Rene Descrates (w. 1650 M) seorang tokoh rasionalisme menjelaskan
bahwa jiwa adalah terpadu, rasional dan konsisten yang dalam aktivitasnya
selalu terjadi interaksi dengan tubuh. Interaksi jiwa dan tubuh ini dapat
mengubah makna nafsu yang dimaknai dengan pengalaman-pengalaman sadar
yang disertai dengan emosi jasmaniah. Ini berarti hakikat manusia ada pada
aspek kesadaran yang eksistensinya ada pada daya intelek sebagai hakikat
jiwa, namun dalam aktivitasnya terjadi proses interaksi dirinya dengan tubuh
dan materi lainnya.
Banyak filusuf yang kemudian menjadikan persoalan kesadaran ini
menjadi fokus kajiannya. Kita ambil contoh, umpamanya Edmund Husserl
(1859-1938) yang berupaya membuat kategorisasi kesadaran dan aktivitasnya
yang kemudian mempengaruhi analisis eksistensial yang dibuat oleh Martin
Heidegar dengan menyatakan keterlemparan manusia di dunia memestikan
dirinya pun mengakui keterbatasannya, sehingga hidupnya selalu beranjak dari
masalah yang satu ke masalah yang lain tanpa henti. Kesadaran manusia
senantiasa diawali dengan kecemasan dan kegelisahan yang dlam. Jadi,
kecemasan diperlukan bagi manusia dalam proses penyempurnaan-
penyempurnaannya. Dapat dikatakan, bahwa hidup adalah bagaimana
160
seseorang dapat menyikapi berbagai realitas dan menatanya sedemikian rupa
agar kehidupannya benar-benar menjadi sesuatu yang penuh makna
(Muhmidayeli, 2007: 118-120).
Suwito dalam bukunya Transformasi Sosial (2004: 98) mengemukakan
bahwa kesadaran diri yang berpusat pada diri individu, akan mendorong
munculnya “pemaknaan ulang” arti kehidupan (siapa, untuk apa, dan kemana),
relasi kehidupan diri dengan kekuatan diluar diri (kosmos, Tuhan). Pemaknaan
ulang dan usaha kreatif ini akan melahirkan gagasan-gagasan baru, yang
akhirnya akan melahirkan tindakan-tindakan inovatif, yang sesuai dengan
kesadaran akan diri dan di luar diri. Dengan adanya kesadaran ini, manusia
sebagai diri tidak terasing dengan dirinya. Dengan kata lain, manusia sebagai
manusia.
Muhammad Abduh dalam Assegaf dan Suyadi mengemukakan bahwa
kesadaran manusia terpusat pada penggunaan akal yang didukung oleh
perasaan dan hati yang kukuh dan suci. Fase-fase intelektualitas manusia
didasarkan atas wahyu, akal, dan hati yang berujung pada keimanan. Bagi
Abduh akal manusia sering mengalami kebuntuan dalam memahami
kausalitas, tetapi hati dan perasaan kadang begitu mudah menerima fakta dan
kausalitas tersebut. Bagi Abduh, pemahaman atas kesadaran manusia atau
keyakinan manusia didasarkan pada penafsiran wahyu secara rasional yang
diyakini dalam hati nurani dan dianggapnya selalu benar dan tidak pernah
dusta. Abduh menyatakan bahwa kebanyakan manusia telah tertipu yaitu
dengan menganggap sesuatu yang benar datang dari bisikan orang-orang
161
disekelilingnya. Bagi Abduh, akal memberikan kita penglihatan tentang
kebaikan, kebenaran, tujuan, kausalitas, dan perbedaan kecil dan besar.
Sedangkan perasaan memberikan penglihatan tentang jiwa, kenikmatan,
kesedihan, kepanikan, ketenangan, ketidaksetujuan, dan hal lain yang bisa
dirasakan oleh manusia (Assegaf dan Suyadi, 2008: 201).
Sebagai senjata menjadi khalifah dan 'abd di muka bumi ini, Allah
memberikan akal sebagai pembeda antara yang benar dan yang salah, yang
baik dn yang buruk, serta yang dilarang dan diperintahkan. Dengan akal pula,
akan menjadi pembeda antara manusia dengan makhluk yang lain. Allah
berfirman:
tβρ â÷ß∆ ù' s? r& } $Ψ9 $# Îh�É9ø9$$ Î/ tβöθ |¡Ψ s? uρ öΝä3|¡à/Ρ r& öΝ çFΡ r&uρ tβθ è=÷Gs? |=≈tGÅ3ø9 $# 4 Ÿξ sù r& tβθ è= É)÷è s? ∩⊆⊆∪
Artinya: "Mengapa kamu suruh orang lain (mengerjakan) kebaktian, sedang kamu melupakan diri (kewajiban) mu sendiri, padahal kamu membaca Al Kitab (Taurat)? Maka tidaklah kamu berpikir? (Q.S. Al-Baqarah: 44) (Depag RI, 1971: 16).
Penggunaan akal pada ayat di atas, menunjukkan bahwa Islam
menaruh perhatian yang besar bagi perkembangan akal manusia. Oleh karena
itu, proses pendidikan harus menumbuhkembangkan akal sekaligus
menyandarkannya pada hukum tertinggi Islam. Dengan demikian, pendidikan
Islam akan mencetak hamba-hamba Allah dengan kekuatan intelektualitas
yang tinggi beserta sifat tawadu' dan keimanan yang mendalam. Dengan
demikian, maka peserta didik akan menemukan kesejatian manusia
(humanisasi) yang bahagia di dunia dan di akhirat nanti (Samsul Nizar, 2002:
21-22).
162
Akal adalah suatu potensi insaniah yang memampukan dirinya dapat
membedakan mana yang baik dan mana yang buruk, mana yang mesti dipilih
dan ditetapkan sebagai sebuah kebenaran dan mana pula yang tidak pantas
ditempatkan sebagai sebuah kebenaran, mana yang indah dan pantas
dicenderungi dan mana pula yang tidak indah atau jelek yang pantas pula
dihindari.
Firman Allah dalam surah al-Kahfi ayat 29 yang berbunyi:
È≅ è% uρ ‘,ys ø9 $# ÏΒ óΟä3În/ §‘ ( yϑsù u!$ x© ÏΒ ÷σ ã‹ù=sù ∅ tΒ uρ u !$ x© ö�à/ õ3u‹ù=sù ....
Artinya: Dan Katakanlah: "Kebenaran itu datangnya dari Tuhanmu; Maka barangsiapa yang ingin (beriman) hendaklah ia beriman, dan barangsiapa yang ingin (kafir) Biarlah ia kafir". (Q.S. al-Kahfi: 29) (Depag RI, 1971: 448).
Firman Allah SWT ini mengisyaratkan bahwa kebenaran yang
sesungguhnya (al-Haq) itu dari Allah SWT dan oleh karena itu perlu ada
perjuangan yang terus menerus dari diri manusia untuk dekat pada pemiliki-
Nya, Tuhan Rabb 'izzati. Karena kebenaran itu milik Allah SWT maka
manusia sebagai pencari dan pejuang kebenaran, maka manusia itu
berkewajiban memaksimalkan fungsi akalnya dengan senantiasa berupaya
mendekatkan pemahamannya dengan Realitas Ilahiyah. Bagi yang berhasil,
maka ia pun akan beriman dan bagi yang tidak berhasil maka ia pun akan
kafir, tergantung pada tingkat pengetahuan pemahaman dan kedekatan dirinya
pada Tuhan sebagai wujud realisasi kesadaran fungsional akalnya tertinggi
dalam memandang berbagai realitas. Pendeknya, tingkat keimanan dan
keyakinan seseorang pada Tuhan Rabb 'izzati sangat tergantung pada kualitas
pemahaman dan pengetahuannya pada eksistensi Tuhan sebagai Maha
163
pencipta dan penguasa di mana hukum-hukum humanitas dan alam tunduk
pada hukum-hukum Tuhan Sang Pencipta. Iman dalam hal ini adalah realisasi
petunjuk (hudan) Tuhan kepada diri manusia (Muhmidayeli, 2007: 113-114).
Dengan kata lain, pendidikan yang diselenggarakan hendaknya tidak
menjadikan akal sebagai pembenar (legitimasi) atas segala fakta, tetapi
kebenaran akal baru bisa diterima jika didukung oleh kemantapan hati, karena
kata hati selalu dianggapnya tidak pernah berdusta karena langsung
berhubungan dengan Yang Mahabenar, yaitu Allah SWT.
Kemudian dalam perkembangannya, pendidikan Islam berupaya
mengembangkan potensi akal melalui beberapa langkah konkret, adalah
sebagai berikut:
1. Melandasi pengetahuan akliah dengan jiwa agama (wahyu), dalam arti
anak didik dibiasakan untuk menggunakan kemampuan akalnya
semaksimal mungkin sebagai upaya ijtihad, dan bila ternyata akal belum
mampu memberikan konklusi tentang suatu masalah, masalah tersebut
dikembalikan kepada wahyu (Q.S. 4: 9).
2. Mengajar anak didik untuk memikirkan ciptaan Allah SWT sehingga
memperoleh konklusi bahwa alam diciptakan dengan tidak sia-sia (Q.S. 3:
190-191).
3. Membawa dan mengajak anak didik untuk menguak hukum-hukum alam
dengan dasar suatu teori dan hipotesis-ilmiah melalui kekuatan akal.
4. Memberikan pelajaran menurut kadar kemampuan akalnya, dengan cara
memberikan materi yang lebih mudah dahulu lalu beranjak pada materi
164
yang lebih sulit, dari yang konkret menuju yang abstrak. Ingat sabda Nabi
Saw: "Berilah pelajaran kepada manusia menurut kadar kemampuan
akalnya".
5. Mengenalkan anak pada materi logika, filsafat, matematika, kimia, dn
sebagainya, serta materi-materi yang dapat menumbuhkan daya kreativitas
dan produktivitas daya nalar.
6. Mencetak anak didik menjadi seorang berpredikat "Ulil Albab" yaitu
seorang Muslim cendekiawan dan Muslim intelektual dengn cara melatih
daya intelek, daya pikir, dan daya nalar (Abd. Aziz, 2009: 53-54).
Jadi dapat dipahami, bahwa kualitas humanitas manusia ditentukan
oleh kualitas akal sebagai instrument kemanusiaan untuk mencari sebuah
kebenaran. Allah SWT telah menganugerahkan potensi akal pada diri manusia
ini untuk memperoleh kebenaran. Akal sebagai instrument yang berada dalam
diri manusia, yang dengannya memampukan dirinya dapat mendeskripsikan,
menyatakan, memilah-milah, membedakan dan menghubungkan berbagai
realitas yang kesemuanya sangat berguna dalam membuat suatu kesimpulan
dan atau keputusan sebagai suatu kebenaran.
Dengan demikian, kebenaran suatu ilmu dapat ditentukan oleh
kemampuan akal manusia dalam memahami ilmu tersebut, dengan tidak
mengesampingkan keyakinan dalam hati. Dengan konsep akal dalam
pendidikan Islam yang demikian, diharapkan akan melahirkan keseimbangan
antara intelektualitas dan keimanan dalam jiwa peserta didik. Dengan kata
lain, antara konsep konsientisasi dan konsep pendidikan Islam, jika ditinjau
165
dari peranan akal manusia, dapat diartikan bahwa konsientisasi menggunakan
akal manusia secara penuh sehingga peserta didik cenderung mengagungkan
akal sebagai sebuah kebenaran yang sejati, sedangkan dalam pendidikan Islam
lebih cenderung menekankan adanya keseimbangan antara intelektualitas dan
keimanan dalam diri peserta didik. Yaitu tetap mengacu pada Dzat Yang
Maha Benar, Allah SWT.
e. Posisi Pemikiran Pendidikan Paulo Freire dalam Pendidikan Islam
Telaah lebih lanjut mengenai pemikiran pendidikan Paulo Freire dalam
pendidikan Islam akan lebih jelas ketika melihat tabel dan skema mengenai
kedua konsep tersebut. Berikut adalah tabel dan skema antara konsep
konsientisasi Paulo Freire dan pendidikan Islam yang penulis coba tuangkan.
Tabel Konsep Konsientisasi dan Pendidikan Islam
Konsep
Konsientisasi Pendidikan Islam
Landasan
Dunia Islam
Subjek
Manusia Manusia
Metodologi
Dialektika Rasionalisasi
Prinsip
Cinta dan Rendah Hati Keimanan
Orientasi
Humanisasi Humanisasi
166
Skema Konsep Konsientisasi dan Konsep Pendidikan Islam
HUMANISASI
Pendidikan Islam
Konsientisasi Paulo Freire
DUNIA
ISLAM
RASIONALISASI
DIALEKTIKA
MANUSIA
KEIMANAN
CINTA DAN RENDAH
HATI
Landasan
Prinsip
Metodologi
Subjek Subjek
Konsep
167
Jika dicermati dengan seksama dengan melihat tabel dan skema di atas,
dapat dijelaskan bahwa dalam konsientisasi Paulo Freire melandaskan
gagasannya pada dunia, sedangkan dalam pendidikan Islam melandaskan
pendidikannya pada ajaran Islam secara kontekstual dan menyeluruh. Subjek
konsientisasi Paulo Freire adalah manusia, sama halnya yang ada dalam
pendidikan Islam. Adapun jika ditinjau dari segi metodologinya, konsientisasi
bertumpu pada dialektika antara subjek dan objek, sehingga subjektivitas dan
objektivitas tidak bisa dipisahkan, sedangkan dalam pendidikan Islam
metodologi yang digunakan adalah rasionalitas. Adapaun jika ditinjau dari
segi prosesnya, konsientisasi tidak akan pernah terjadi tanpa adanya
dialektika, dan dialektika hanya akan sia-sia tanpa adanya prinsip cinta dan
rendah hati, sedangkan dalam prosesnya pendidikan Islam mengedepankan
aspek keimanan sebagai bagian atas kerja akal. Yang mana manusia
diharapkan akan mampu menyeimbangkan kehidupan dunia (jangka pendek)
dan kehidupan akhirat (jangka panjang). Kemudian orientasi dari konsep
konsientisasi dan pendidikan Islam adalah humanisasi. Humanisasi dalam
pandangan Freire dipahami sebagai "menjadi manusia seutuhnya" bukan
menjadi manusia sebagai hamba Tuhan. Hal ini bisa dilihat dari pernyataan-
pernyataan Freire yag telah dikutip pada pembahasan awal konsep
konsientissi. Sedangkan dalam pandangan pendidikan Islam humanisasi
dipahami sebagai "menjadi manusia sempurna" (insasn kamil) yang
mengemban tugas sebagai 'abd dan khalifah dimuka bumi ini.
168
Mencermati penjelasan mengenai kedua konsep tersebut di atas,
terdapat kesamaan terutama pada persamaannya dalam memandang humanitas
manusia yang bertumpu pada fitrah manusia. Pemikiran pendidikan Paulo
Freire pada dasarnya berupaya untuk mengembangkan akal peserta didik
dalam pembelajaran, yang akan membentuk sikap kritis peserta didik. Sikap
kritis tersebut yang akan menuntun langkah peserta didik selanjutnya dalam
mengembangkan potensi yang ada dalam dirinya. Dengan misi pembebasan
sebagai inti proses pendidikan peserta didik, maka mereka akan menemukan
wahana dan jalan pengembangan potensinya secara penuh. Peserta didik yang
mempunyai potensi di bidang seni, olah raga, keterampilan dan lain-lain tidak
akan kehilangan bakatnya dalam proses pendidikan, justru proses pendidikan
akan mampu menumbuhkan dan mengembangkan potensi-potensi tersebut
tanpa adanya diskriminasi antara satu dengan lainnya (Assegaf dan Suyadi,
2008: 206).
Pemaknaan filosofis tersebut mengindikasikan bahwa pendidikan
adalah proses bagaimana manusia menggali segenap potensi (fitrah) yang ada
dalam dirinya dan menghadapkannya pada lingkungan realitas yang dihadapi
secara kritis dan realitis. Dalam konteks pendidikan Islam, penggalian potensi
(fitrah) tersebut telah diungkapkan dalam al-Qur'an dan kewajiban manusialah
untuk mengkaji serta mengaplikasikannya dalam realitas kehidupan secara
dinamis. Dengan pengertian demikian, maka pendidikan Islam harus mampu
menjadi jembatan bagi dialektika antara realitas dan normativitas agama.
169
BAB V
Penutup
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil analisis terhadap data-data yang diperoleh melalui
dokumentasi terhadap pemikiran Paulo Freire dalam perspektif pendidikan
Islam, maka dapat penulis simpulkan, bahwa Paulo Freire (1921-1997) adalah
salah satu tokoh pendidikan yang yang berasal dari Recife, Brazil. Paulo
Freire mengemukakan gagasan pendidikannya dalam konsep konsientisasi
sebagai tujuan radikal pendidikannya. Konsep konsientisasi ini lahir melalui
proses dialogis yang mengantarkan manusia untuk dapat memecahkan
masalah-masalah eksistensial mereka terkait dengan sistem realitas sosial yang
ada. Orientasi konsep konsientisasi Paulo Freire adalah humanisasi "menjadi
manusia seutuhnya". Ide dasar pandangan Freire tentang humanisasi ini
terletak pada pengakuan tehadap fitrah manusia. Freire mengartikan fitrah
manusia sebagai subjek yang berkehendak penuh, bebas,, dan tidak terikat
oleh apapun. Bebas dalam pengertian ini adalah bahwa manusia berhak
mengembangkan potensi yang dimilikinya. Dengan pengembangan potensi ini
diharapkan muncul adanya kesadaran dalam diri manusia yang berangkat dari
kesadaran magis, naif, sampai pada kesadaran kritis. Kesadaran kritis
merupakan inti dari konsep konsientisasi yang mana mendasarkan dialog
sebagai metodenya. Dengan dialog, akan mengantarkan individu pada
169
170
kesadaran terhadap sistem sosial yang menindas tersebut dan juga
dimungkinkan terciptanya pendidikan yang berwawasan pembebasan.
Terdapat kemiripan konsep konsientisasi yang ditawarkan Paulo Freire
tersebut dengan pendidikan Islam. Pendidikan Islam adalah usaha sadar untuk
mengembangkan fitrah manusia menuju terbentuknya insan kamil sesuai
dengan norma Islam. Dalam pengertian tersebut, pendidikan hendak
menciptakan manusia sempurna sebagai tujuan pendidikan Islam. Untuk
menjadi manusia sempurna (insan kamil), manusia harus mampu mengemban
amanah sebagai sebagai seorang hamba ('abd) dihadapan Khaliq-nya dan
sebagai 'pemelihara' (khalifah) di muka bumi. Dengan tugas yang berat ini,
manusia dibekali dengan fitrah atau potensi dasar yang ada dalam diri
manusia. potensi dasar tersebut meliputi potensi naluriyah, potensi inderawi,
potensi akal, dan potensi keagamaan. Dengan pengembangan potensi tersebut,
dimungkinkan munculnya kesadaran diri sebagai bagian dari kesadaran kritis
individu.
B. Saran-saran
Sebelum mengakhiri tulisan ini, penulis mengajukan beberapa
rekomendasi yang berupa saran-saran kepada para pembaca atau terhadap
semua orang yang memiliki komitmen terhadap pengembangan pendidikan
Islam di Indonesia, khususnya terkait penelitian penulis terhadap pemikiran
Paulo Freire. Saran-saran yang penulis rekomendasikan merupakan keluhan
atau bahkan anjuran yang hendaknya dijadikan informasi awal untuk
melakukan refleksi terhadap persoalan-persoalan pendidikan Islam yang
171
terjadi agar melahirkan sebuah hasil penelitian yang relatif lebih baik dan
sempurna. Saran-saran yang penulis rekomendasikan adalah sebagai berikut:
1. Bagi para pembaca yang ingin mengkaji dan meneliti lebih jauh pemikiran
Paulo Freire, penulis menyarankan untuk dapat memperoleh karya-karya
Paulo Freire yang lain, agar bisa mendapatkan lebih banyak informasi
tentang pemikiran Paulo Freire.
2. Bagi para pengambil kebijakan khususnya dalam pendidikan Islam,
penulis memberi masukan agar lebih teliti lagi dalam merumuskan suatu
kebijakan, agar dalam pelaksanaan proses pendidikan dapat berjalan
dengan baik dan pada akhirnya pendidikan nasional tidak kehilangan arah
dan tujuannya, yaitu terbentuknya manusia yang beriman dan bertaqwa
kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap,
kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang demokratis serta
bertanggung jawab.
3. Bagi para pendidik, baik pendidik yang mengajarkan mata pelajaran
pendidikan umum maupun mata pelajaran Agama Islam yang secara
langsung bersentuhan dengan peserta didik, penulis memberikan saran
agar dalam melaksanakan proses pembelajaran, hendaknya untuk tidak
melupakan ranah afektif sebagai sesuatu yang harus dicapai dalam proses
pembelajaran, karena proses pendidikan selama ini lebih banyak
menekankan ranah kognitif dan psikomotor, sehingga seorang hanya
mampu memahami agama, tetapi tidak mampu untuk menjadi orang yang
beragama.
172
C. Kata Penutup
Akhirnya segala puji bagi Allah, Tuhan yang telah menciptakan alam
beserta isinya, yang telah membimbing dan memberikan taufiq serta hidayah-
Nya kepada penulis, karena penulis yakin bahwa tanpa pertolongan-Nya,
penulis tidak akan dapat menyelesaikan penelitian ini dengan baik serta dapat
berjalan dengan lancar tanpa hambatan yang berarti. Mudah-mudahan upaya
dan ikhtiar penulis dapat bermanfaat sebagai amal shalih yang berguna bagi
para pembaca dan ilmu pengetahuan pada umumnya, serta bermanfaat bagi
penulis khususnya. Amiin.
Penulis menyampaikan ucapan terimakasih dan penghargaan setingi-
tingginya kepada semua pihak, terutama dosen pembimbing (Bpk. Kholid
Mawardi, M. Hum) atas bimbingan, dorongan dan dukungan sampai
selesainya penelitian ini. Permohonan maaf penulis sampaikan kepada semua
pihak atas kesalahan penulis sejak awal penelitian hingga akhir penelitian ini.
Penulis mengharapkan masukan, kritik, dan saran guna lebih
menyempurnakan penelitian ini.
Demikianlah yang dapat penulis paparkan dalam penelitian ini,
terlepas dari banyaknya kesalahan dan kekurangan, penulis berharap semoga
penelitian ini dapat bermanfaat bagi penulis dan para pembaca umumnya.
Amiin.
Penulis
Abdullah Rois NIM. 042631002