Kesempatan atau Ancaman Indonesia Menangkap Peluang dari AEC

1
Kesempatan atau Ancaman Dalam jangka panjang, FTA atau Economic Partnership Agreement (CEPA) dapat membantu proses division of labour. Negara yang tidak dapat menghasilkan suatu produk (barang atau jasa) secara berdayasaing akan terdorong untuk lebih memfokuskan diri pada produk-produk yang memiliki dayasaing lebih baik di negara tersebut. ”Tentu saja hal ini tidak menutup kemungkinan setiap negara untuk dapat menaiki mata-rantai nilai untuk menghasilkan produk bernilai-tambah lebih tinggi. Dalam konteks ini, sebuah FTA/CEPA dapat dipandang sebagai sebuah kesempatan,” kata Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo. Namun peluang tersebut bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Iman mengatakan, ”kesempatan” tersebut merupakan sesuatu yang harus diraih, dan untuk dapat meraihnya perlu persiapan yang baik. ”Oleh karena itu, FTA/CEPA dapat dilihat lebih sebagai ”ancaman” daripada ”kesempatan” apabila tidak diambil langkah- langkah persiapan—mengerjakan pekerjaan rumah,”ujarnya. Kemudian, sebuah pertanyaan yang perlu dipertimbangkan adalah apakah tanpa adanya FTA/CEPA, keadaan kita akan lebih baik dengan kondisi infrastruktur yang kurang berkembang, tingkat bunga perbankan yang tinggi, keterbatasan suplai energi di beberapa tempat, dan rendahnya produktifitas. Kekhawatiran tentang dampak FTA bagi perekonomian Indonesia akhir-akhir ini semakin mengemuka khususnya sehubungan dengan terjadinya defisit nilai perdagangan Indonesia dengan beberapa Negara anggota ASEAN (Singapura, Thailand dan Brunei Darussalam) serta membanjirnya produk impor dari satu Negara Mitra ASEAN yakni RRT. Berdasarkan data tentang pemanfaatan preferensitarif(konsesiFTAs)dapatdisimpulkan bahwa eksportasi negara-negara Mitra FTA ini ke Indonesia tidak sepenuhnya memanfaatkan preferensi tarif yang ada. Khusus untuk produk impor yang berasal dari China, semua negara di dunia mengalami hal yang serupa dengan Indonesia. Dalam konteks ASEAN-China FTA (ACFTA), data menunjukkan bahwa pemanfaatan skim preferensi tarif ACFTA oleh RRT untuk mengekspor produknya ke Indonesia relatif masih rendah dibanding ekspor RRT ke Indonesia yang menggunakan tariff Most Favoured Nation (MFN) (tariff umum yang diterapkan di luar skim FTA dan berlaku untuk semua negara di dunia). Pada tahun 2011 hanya 26% dari total ekspor RRT ke Indonesia yang menggunakan skim ACFTA dan selebihnya (74%) masuk ke Indonesia tanpa menggunakan skim ACFTA. Hal ini dimungkinkan karena rata-rata tariff MFN (simple average tariff) Indonesia saat ini adalah 7% dan termasuk salah satu yang terendah di antara Negara ASEAN-6 atau bahkan sesama negara berkembang di dunia. Data yang sama juga menunjukkan bahwa Indonesia lebih banyak memanfaatkan skim preferensi tarif ACFTA untuk mengekspor dengan adanya AEC termasuk kerjasama perdagangan internasional seperti ACFTA, AKFTA, AANZFTA dan sebagainya tersebut tidak lain ditujukan untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari tahun ke tahun termasuk perkembangan sektor-sektor industri baik manufaktur ataupun jasa serta sektor investasi baik asing maupun domestic” ujar Djatmiko. Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, ekonomi Indonesia terus mengalami peningkatan dan pertumbuhan yang cukup signifikan bahkan sejak AFTA ataupun FTA-FTA itu diberlakukan. PDB secara umum mengalami pertumbuhan terlihat dari nilainya yang mencapai kurang lebih Rp 1200 triliun tahun 2000 menjadi kurang lebih Rp 8000 triliun pada tahun 2012. Nilai tambah yang terjadi di sektor industri nasional juga meningkat dari Rp 266 triliun tahun 2001 menjadi Rp 891 triliun tahun 2010. Kemudian index produksi bulanan industri besar dan sedang tumbuh dari 113,56 tahun 2003 menjadi 142,07 tahun 2011. Jumlah tenaga kerja sektor industri besar dan sedang juga meningkat dari 4,3 juta orang tahun 2004 menjadi 4,5 juta tahun 2010. “Angka-angka tersebut merupakan indikator yang mencerminkan perkembangan positif pada kondisi perekonomian nasional”menurut penjelasan Djatmiko.n Info Kementerian perdagangan (aSean) Pasar ASEAN mewakili sekitar 25% pasar ekspor Indonesia, tetap menjadi pasar potensial seiring berkembangnya populasi ASEAN dan khususnya kelas menengah ASEAN juga menjadi sumber Investasi Langsung Asing (FDI) yang cukup penting. Total FDI dari ASEAN ke ASEAN pada tahun 2009 mencapai US$ 83 milyar, dan US$ 19,92 milyar atau 24% dari jumlah tersebut masuk ke Indonesia Langkah kolektif ASEAN sejalan dengan program reformasi ekonomi Indonesia yang selama ini aktif memainkan peran dalam mendorong proses integrasi di tingkat ASEAN Kesimpulan: pencapaian AEC 2015 akan memiliki arti penting bagi Indonesia karena ASEAN merupakan tujuan ekspor, sumber impor dan sumber FDI bagi INA. MEA semakin mendapatkan perhatian dunia; Indonesia dapat memanfaatkan ASEAN sebagai platform kebijakan perdagangan luar negeri dan Kerjasama Perdagangan Internasional Indonesia Menangkap Peluang dari AEC GATRA 21 AGUSTUS 2013 adv DOK. KEMENDAG Dirjen KPI, Iman Pambagyo Perdagangan 41 .indd 4 8/2/13 11:08:59 PM

Transcript of Kesempatan atau Ancaman Indonesia Menangkap Peluang dari AEC

Kesempatan atau AncamanDalam jangka panjang, FTA atau

Economic Partnership Agreement (CEPA) dapat membantu proses division of labour. Negara yang tidak dapat menghasilkan suatu produk (barang atau jasa) secara berdayasaing akan terdorong untuk lebih memfokuskan diri pada produk-produk yang memiliki dayasaing lebih baik di negara tersebut. ”Tentu saja hal ini tidak menutup kemungkinan setiap negara untuk dapat menaiki mata-rantai nilai untuk menghasilkan produk bernilai-tambah lebih tinggi. Dalam konteks ini, sebuah FTA/CEPA dapat dipandang sebagai sebuah kesempatan,” kata Dirjen Kerja Sama Perdagangan Internasional, Iman Pambagyo.

Namun peluang tersebut bukanlah sesuatu yang datang dengan sendirinya. Iman mengatakan, ”kesempatan” tersebut merupakan sesuatu yang harus diraih, dan untuk dapat meraihnya perlu persiapan yang baik. ”Oleh karena itu, FTA/CEPA dapat dilihat lebih sebagai ”ancaman” daripada ”kesempatan” apabila tidak diambil langkah-langkah persiapan—mengerjakan pekerjaan rumah,” ujarnya. Kemudian, sebuah pertanyaan yang perlu dipertimbangkan adalah apakah tanpa adanya FTA/CEPA, keadaan kita akan lebih baik dengan kondisi infrastruktur yang kurang berkembang, tingkat bunga perbankan yang tinggi, keterbatasan suplai energi di beberapa tempat, dan rendahnya produktifitas.

Kekhawatiran tentang dampak FTA bagi perekonomian Indonesia akhir-akhir ini semakin mengemuka khususnya sehubungan dengan terjadinya defisit nilai perdagangan Indonesia dengan beberapa Negara anggota ASEAN (Singapura, Thailand dan Brunei

Darussalam) serta membanjirnya produk impor dari satu Negara Mitra ASEAN yakni RRT. Berdasarkan data tentang pemanfaatan preferensi tarif (konsesi FTAs) dapat disimpulkan bahwa eksportasi negara-negara Mitra FTA ini ke Indonesia tidak sepenuhnya memanfaatkan preferensi tarif yang ada. Khusus untuk produk impor yang berasal dari China, semua negara di dunia mengalami hal yang serupa dengan Indonesia.

Dalam konteks ASEAN- China FTA (ACFTA), data menunjukkan bahwa pemanfaatan skim preferensi tarif ACFTA oleh RRT untuk mengekspor produknya ke Indonesia relatif masih rendah dibanding ekspor RRT ke Indonesia yang menggunakan tariff Most Favoured Nation (MFN) (tariff umum yang diterapkan di luar skim FTA dan berlaku untuk semua negara di dunia). Pada tahun 2011 hanya 26% dari total ekspor RRT ke Indonesia yang menggunakan skim ACFTA dan selebihnya (74%) masuk ke Indonesia tanpa menggunakan skim ACFTA. Hal ini dimungkinkan karena rata-rata tariff MFN (simple average tariff) Indonesia saat ini adalah 7% dan termasuk salah satu yang terendah di antara Negara ASEAN-6 atau bahkan sesama negara berkembang di dunia.

Data yang sama juga menunjukkan bahwa Indonesia lebih banyak memanfaatkan skim preferensi tarif ACFTA untuk mengekspor

dengan adanya AEC termasuk kerjasama perdagangan internasional seperti ACFTA, AKFTA, AANZFTA dan sebagainya tersebut tidak lain ditujukan untuk meningkatkan Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia dari tahun ke tahun termasuk perkembangan sektor-sektor industri baik manufaktur ataupun jasa serta sektor investasi baik asing maupun domestic” ujar Djatmiko.

Berdasarkan data yang dilansir oleh Badan Pusat Statistik, ekonomi Indonesia terus mengalami peningkatan dan pertumbuhan yang cukup signifikan bahkan sejak AFTA ataupun FTA-FTA itu diberlakukan. PDB secara umum mengalami pertumbuhan terlihat dari nilainya yang mencapai kurang lebih Rp 1200 triliun tahun 2000 menjadi kurang lebih Rp 8000 triliun pada tahun 2012. Nilai tambah yang terjadi di sektor industri nasional juga meningkat dari Rp 266 triliun tahun 2001 menjadi Rp 891 triliun tahun 2010.

Kemudian index produksi bulanan industri besar dan sedang tumbuh dari 113,56 tahun 2003 menjadi 142,07 tahun 2011. Jumlah tenaga kerja sektor industri besar dan sedang juga meningkat dari 4,3 juta orang tahun 2004 menjadi 4,5 juta tahun 2010. “Angka-angka tersebut merupakan indikator yang mencerminkan perkembangan positif pada kondisi perekonomian nasional” menurut penjelasan Djatmiko.n

Info Kementerian perdagangan (aSean)

PasarASEANmewakilisekitar25%pasareksporIndonesia,tetapmenjadipasarpotensialseiringberkembangnyapopulasiASEANdankhususnyakelasmenengah

ASEANjugamenjadisumberInvestasiLangsungAsing(FDI)yangcukuppenting.TotalFDIdariASEANkeASEANpadatahun2009mencapaiUS$83milyar,danUS$19,92milyaratau24%darijumlahtersebutmasukkeIndonesia

LangkahkolektifASEANsejalandenganprogramreformasiekonomiIndonesiayangselamainiaktifmemainkanperandalammendorongprosesintegrasiditingkatASEAN

Kesimpulan:pencapaianAEC2015akanmemilikiartipentingbagiIndonesiakarenaASEANmerupakantujuanekspor,sumberimpordansumberFDIbagi INA.MEAsemakinmendapatkanperhatiandunia;IndonesiadapatmemanfaatkanASEANsebagaiplatformkebijakanperdaganganluarnegeridanKerjasamaPerdaganganInternasional

Indonesia Menangkap Peluang dari AEC

GATRA 21 AGUSTUS 2013

ad

v

do

k. k

emen

dag

Dirjen KPI, Iman Pambagyo

Perdagangan 41 .indd 4 8/2/13 11:08:59 PM