Kenakalan remaja

47
BAB 1 Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Masalah Adapun Hasil Penelitian Badan Narkotika Nasional bekerja sama dengan Universitas Indonesia (BNN, 2011) menunjukkan bahwa pelaku penyalahgunaan narkoba dengan suntikan adalah sebesar 572.000 orang dengan kisaran 515.000 sampai 630.000 orang. Jumlah penyalahgunaan narkoba sebesar 1,5% dari populasi 3,2 juta orang, yang terdiri dari 69% kelompok teratur pakai dan 31% kelompok pecandu dengan proporsi laki-laki sebesar 79% dan perempuan 21% (BNN, 2011). Kelompok teratur pakai terdiri dari penyalahgunaan ganja 71%, shabu 50%, ekstasi 42%, dan obat penenang 22% (BNN, 2011). Kelompok pecandu terdiri dari penyalahgunaan ganja 75%, heroin, putaw 62%, shabu 57%, ekstasi 34%, dan obat penenang 25% (BNN, 2011). H asil surv e i yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak (Ado, 2010) menyebutkan sebanyak 21,2 persen remaja di Indonesia mengaku pernah melakukan aborsi karena hubungan di luar nikah dengan teman dekatnya. Akibatnya 8 ribu atau 1

description

vhjf

Transcript of Kenakalan remaja

Page 1: Kenakalan remaja

BAB 1

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang Masalah

Adapun Hasil Penelitian Badan Narkotika Nasional bekerja sama

dengan Universitas Indonesia (BNN, 2011) menunjukkan bahwa pelaku

penyalahgunaan narkoba dengan suntikan adalah sebesar 572.000 orang

dengan kisaran 515.000 sampai 630.000 orang. Jumlah penyalahgunaan

narkoba sebesar 1,5% dari populasi 3,2 juta orang, yang terdiri dari 69%

kelompok teratur pakai dan 31% kelompok pecandu dengan proporsi laki-

laki sebesar 79% dan perempuan 21% (BNN, 2011). Kelompok teratur

pakai terdiri dari penyalahgunaan ganja 71%, shabu 50%, ekstasi 42%,

dan obat penenang 22% (BNN, 2011). Kelompok pecandu terdiri dari

penyalahgunaan ganja 75%, heroin, putaw 62%, shabu 57%, ekstasi 34%,

dan obat penenang 25% (BNN, 2011).

Hasil survei yang dilakukan oleh Komnas Perlindungan Anak

(Ado, 2010) menyebutkan sebanyak 21,2 persen remaja di Indonesia

mengaku pernah melakukan aborsi karena hubungan di luar nikah dengan

teman dekatnya.  Akibatnya 8 ribu atau 57,1% kasus HIV/AIDS terjadi

pada remaja dengan 37,8% terinfeksi melalui hubungan seks yang tidak

aman dan 62,2% terinfeksi melalui penggunaan narkoba jarum suntik.

Raymon Tambunan (dalam Nawawi, 2001) dalam artikelnya yang

berjudul “Perkelahian Pelajar” menyatakan bahwa tawuran yang anarkis

sering terjadi di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, dan Medan. Di

Jakarta (Polri, 2010) tercatat setiap tahun mengalami peningkatan kasus.

Tahun 1992 tercatat 157 kasus perkelahian pelajar. Tahun 1994 meningkat

menjadi 183 kasus dengan menewaskan 10 pelajar. Tahun 1995 terdapat

194 kasus dengan korban meninggal 13 pelajar dan 2 anggota Polri.

Sedangkan menurut data Bimas Mabes POLRI (Polri, 2010) antara tahun

1

Page 2: Kenakalan remaja

1995 hingga 1999 terjadi sejumlah 1316 kasus tawuran se-Indonesia. Di

Pulau Jawa terjadi sejumlah 933 kasus. Sedangkan tawuran di luar Pulau

Jawa paling banyak terjadi di Polda Sumsel, yaitu sebanyak 253 kasus.

Berdasarkan catatan Kanwil Depdiknas DKI Jakarta (dalam

Nawawi, 2001), selama tahun ajaran 1999/2000, jumlah pelajar yang

terlibat tawuran pelajar tercatat 1.369 orang. Sebanyak 26 pelajar tewas,

56 oramg luka berat, dan 109 orang luka ringan (Suara Pembaharuan,

2000). Menurut versi harian Media Indonesia (2000) 0,08% dari 1.685.084

orang jumlah siswa terlibat tawuran di Jakarta.

Polda Metro Jaya telah melakukan bukti pelanggaran terhadap

17.000 anak dibawah usia 15 tahun selama 2012 dan 8.000 anak selama

Januari-Juni 2013 (Beritasatu, 2013). Salah satu insiden kecelakaan yang

cukup fenomenal pada bulan September 2013 adalah kecelakaan yang

terjadi Minggu dini hari yang menyebabkan tujuh korban tewas dan

sembilan lainnya luka-luka. Ironisnya, penyebab peristiwa itu berasal

dari mobil yang dikendarai AQJ, seorang bocah masih berusia 13 tahun,

anak seorang musisi ternama di Indonesia (Republika, 2013).

Berdasarkan data BPS (BPS, 2010) tindak pidana yang dilakukan

remaja pada umumnya adalah tindak pencurian yaitu sebanyak 60%. Hal

ini dilakukan dengan alasan faktor ekonomi sebesar 46%. Pencurian yang

dilakukan oleh remaja ini karena pihak keluarga kurang mampu

menopang kebutuhan secara materi. Sehingga mereka memilih jalan pintas

melalui mencuri.

Menurut Survei Lembaga Modernisator dan LPEP FEB Unair

(dalam Jawapos, 2013) sebanyak 12,98% pelajar SMP, SMA dan SMK

menjadi perokok aktif dan 14,3% mengaku bahwa kadang-kadang

merokok. Lebih lanjut, mereka menyatakan sebanyak 63% penyebab

merokok karena keluarga.

Berdasarkan fenomena kenakalan remaja (juvenile delinquency)

yang telah dipaparkan sebelumnya, terjadi dari berbagai pengaruh.

Misalnya lingkungan tempat tinggal, keluarga, sekolah, teman sebaya,

2

Page 3: Kenakalan remaja

serta aktivitas yang dilakukan dalam kehidupan sehari-hari (Santrock,

2003). John W. Santrock (2003) mendefinisikan kenakalan remaja

(juvenile delinquency) sebagai rentang perilaku yang luas, mulai dari

perilaku yang tidak dapat diterima secara sosial (seperti bertindak

berlebihan disekolah), pelanggaran (seperti melarikan diri dari rumah),

hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti mencuri). Menurut Helen

(2000), kecenderungan berperilaku delinkuensi adalah kecenderungan

individu melakukan perilaku yang bersifat amoral, antisosial, melanggar

hukum, dan mengarah kriminalitas seperti berbohong, membolos sekolah,

kabur dari rumah, menentang orangtua, membawa benda berbahaya

(pistol, pisau), melacurkan diri, baik untuk tujuan ekonomi atau tujuan

lain, mengkonsumsi minuman keras, atau obat terlarang, seks bebas,

bunuh diri, percobaan pembunuhan, sampai tersangkut pembunuhan,

aborsi, dan penganiayaan yang menyebabkan kematian seseorang. Secara

umum, kenakalan remaja dapat dibedakan menjadi dua. Yakni index

offenses yaitu perilaku kriminal yang dilakukan orang dewasa dan status

offenses yaitu perilaku kenakalan yang apabila dilakukan oleh orang

dewasa tidak dapat disebut ilegal (Santrock, 2003).

Istilah remaja berasal dari bahasa latin adolescere yang artinya

“tumbuh untuk mencapai kematangan“. Kematangan ini bisa terjadi secara

mental, emosional, sosial dan fisik (Hurlock, 1999). Remaja disebut

sebagai masa transisi karena secara fisik telah mengalami perkembangan

layaknya orang dewasa. Namun secara emosi masih belum cukup matang.

Sehingga remaja masih mencari identitas dirinya (Santrock, 2003). Emosi

yang masih belum cukup matang, membuat remaja rentan melakukan

perilaku yang menyimpang yang disebut kenakalan remaja (juvenile

delinquency).

3

Page 4: Kenakalan remaja

Tabel 1.1 Review Jurnal Tentang Kenakalan Remaja

No. Peneliti Metode Hasil 1. Sujoko,

2011Teknik menentukan subjek dengan stratified random sampling.

Hasil ini menunjukkan bahwa ada korelasi positif yang sangat signifikan antara keluarga broken home, pola asuh orang tua dan interaksi teman sebaya terhadap kenakalan remaja.

2. Rahmania dan Suminar, 2012

Purposive sampling, teknik analisis korelasi product moment

Hasil menunjukkan terdapat hubungan negatif antara persepsi terhadap kontrol orang tua dengan kecenderungan perilaku delinkuensi pada remaja yang pernah terlibat tawuran.

3. Murtiyani, 2011

Analitik cross sectional.

Ada hubungan pola asuh orang tua dengan kenakalan remaja di RW V Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo secara positif.

4. Wittenborn, 2002

Prosedur korelasional dan analisis multivariat

Ada hubungan yang signifikan antara gaya pengasuhan permisif dan otoriter dengan tingkat kenakalan. Selain itu, tidak ada hubungan antara gaya pengasuhan authoritative dengan kenakalan remaja.

Beberapa penelitian sebelumnya menunjukkan bahwa kenakalan

remaja (juvenile delinquency) memiliki hubungan dengan pengasuhan dan

faktor teman sebaya. Faktor teman sebaya dapat dikatakan sebagai bentuk

konformitas. Sedangkan dalam pengasuhan orangtua, terdapat dua hal

yakni dukungan dan kontrol. Barber dkk (1994) dan Kakihara (2009)

membedakan kontrol perilaku dan kotrol psikologis. Kontrol perilaku

berfokus pada mengatur perilaku remaja dengan menciptakan struktur

regulasi melalui beberapa tindakan seperti menentukan batas. Sedangkan

kontrol psikologis mengacu untuk mengontrol perilaku, dengan

memanipulasi emosi, pikiran, perasaan, dan ide-ide dengan menerapkan

beberapa teknik berupa menunjukkan ekspresi kecewa, penumbuhan rasa

4

Page 5: Kenakalan remaja

bersalah, penarikan rasa sayang serta teknik-teknik lainnya untuk

menumbuhkan rasa bangga, bersalah, dan malu (Segrin dan Flora,, 2005).

De kemp, Scholte, Overbeek, dan Engels (2006) mengindikasikan bahwa

pengasuhan secara langsung berkaitan dengan perilaku delinkuensi.

Penelitian ini juga menemukan bahwa dukungan berhubungan dengan

menurunnya level perilaku delinkuensi remaja pada interval 6 bulan

berikutnya.

Namun dalam penelitian ini kami memilih untuk lebih fokus pada

gaya pengasuhan. Karena menurut kami, gaya pengasuhan sudah terbentuk

sejak masih anak-anak. Kami memandang bahwa gaya pengasuhan menjadi

faktor yang riskan bagi terbentuknya kenakalan remaja. Karena keluarga

adalah tempat pertama bagi seseorang untuk tumbuh kembang. Oleh karena

itu, kami lebih memfokuskan hubungan gaya pengasuhan dengan

kenakalan remaja (juvenile delinquency).

Berdasarkan fenomena yang terjadi tersebut, peneliti ingin

mengetahui apakah ada hubungan antara pola asuh dengan kenakalan

remaja (juvenile delinquency). Namun kenakalan remaja (juvenile

delinquency) yang ingin diungkap adalah status offenses yakni kenakalan

yang apabila dilakukan orang dewasa tidak dikatakan ilegal. Hal ini ingin

diketahui lebih lanjut oleh peneliti, karena lebih jarang ditemukan data

berupa kenakalan remaja yang tidak sampai melanggar hukum.

1.2. Batasan Masalah

Penelitian lebih sering membahas terkait index offenses yang

menggambarkan kenakalan remja (juvenile delinquency). yang mengarah pada

kriminalitas. Sehingga penelitian ini ingin menfokuskan pada kenakalan

remaja yang tidak sampai ke ranah hukum dan melihat perbedaanya terkait

dengan pola asuh orangtua. Pola asuh yang diteliti yakni authoritarian,

authoritative, permissive, dan neglected. Subjek adalah remaja akhir yang

berusia 17-21 tahun.

5

Page 6: Kenakalan remaja

1.3. Rumusan Masalah

Bagaimana gambaran kenakalan remaja yang terjadi saat ini yang

terkait status offenses (kenakalan yang tidak ilegal dimata hukum)?

Apakah terdapat perbedaan status offenses remaja ditinjau dari pola

asuh orangtua (authoritarian, authoritative, permissive, dan

neglected)?

1.4. Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui gambaran kenakalan

remaja terkait status offenses dan mengetehui apakah ada perbedaan status

offenses ditinjau dari pola asuh orangtua (authoritarian, authoritative,

permissive, dan neglected).

1.5. Manfaat Penelitian

Manfaat yang ingin dicapai dari penelitian ini adalah:

a. Manfaat Teoritis:

Dapat menambah wawasan terkait hubungan antara pola asuh

dengan juvenile delinquency khususnya status offense remaja.

Dapat mengetahui ada atau tidaknya perbedaan status offenses

remaja ditinjau dari pola asuh orangtua (authoritarian,

authoritative, permissive, dan neglected)

b. Manfaat Praktis:

Diharapkan hasil penelitian ini dapat dijadikan panduan bagi

orangtua dalam mengasuh anak. Sehingga dapat dengan tepat

memberikan batas dan kotrol dari perilaku anak.

Diharapkan mampu membuat remaja menyadari pentingnya

mengontrol perilaku agar terhindar dari kenakalan yang melanggar

norma maupun hukum.

6

Page 7: Kenakalan remaja

BAB 2

Kajian Teori

1. Remaja

2.1.1. Pengertian Remaja

Remaja berasal dari kata latin adolensence yang berarti tumbuh atau

tumbuh menjadi dewasa. Istilah adolensence mempunyai arti yang lebih luas lagi

yang mencakup kematangan mental, emosional sosial dan fisik (Hurlock, 1992).

Masa remaja merupakan salah satu periode dari perkembangan manusia. Masa ini

merupakan masa perubahan atau peralihan dari masa kanak-kanak ke masa

dewasa yang meliputi perubahan biologis, perubahan psikologis, dan perubahan

sosial.

Secara teoritis ada pembagian masa perkembangan remaja. Pembagian

masatersebut didasarkan pada timbulnya ciri yang berbeda dari tiap masa atau

munculnya sesuatu ciri membedakan dari masa sebelumnya.

Hurlock (dalam Simandjuntak, 1984) membuat pembagian usia

perkembangan yaitu early adolesence dengan usia 12 hingga 16 tahun dan late

adolesence dengan usia 17 hingga-21 tahun. Pada masa remaja cenderung muncul

masalah dalam lingkup yang lebih luas. Masalah yang ditimbulkan oleh remaja

tidak lagi terbatas dalam lingkungan keluarga, tetapi sudah ke masyarakat yang

lebih luas. Karena itu, masalah yang ditimbulkan oleh remaja menjadi masalah

sosial. Apabila masyarakat atau orang tua menolak kehadiran para remaja untuk

berperan dalam kehidupan masyarakat, maka remaja dapat melakukan hal yang

tidak dikehendaki oleh masyarakat, perilaku yang menarik perhatian untuk

mencari eksistensi dirinya.

Berikut merupakan ciri-ciri remaja:

a. Masa remaja merupakan masa transisi dari masa kanak-kanak ke masa dewasa.

Pada masa ini terjadi proses perkembangan fisik, mental, emosi, maupun sosial.

Keadaan fisik akan menyerupai fisik orang dewasa.

7

Page 8: Kenakalan remaja

b. Remaja mengalami perkembangan kapasitas intelektual dan pengalaman

akademis. Keterampilan dan konsep yang berguna bagi masa depan remaja,

banyak diperoleh pada masa ini.

c. Masa remaja merupakan periode timbulnya keinginan-keinginan, kesadaran

diri, serta pengembangan idealisme. Remaja mengalami keinginan untuk bergaul

lebih luas dan masuk ke dalam kehidupan kelompok. Status dalam kelompok

sangat berarti bagi remaja sehingga norma-norma kelompok, sering mengalahkan

norma-norma keluarga. Disamping itu perhatian terhadap lawan jenis mulai

timbul.

d. Masa remaja dianggap sebagai suatu periode mencari identitas diri, mencari

status yang jelas bagi dirinya Remaja berusaha mendapatkan status kedewasaan

dengan jalan melepaskan diri dari orang tuanya. Masa ini merupakan masa

pertumbuhan dan perkembangan minat terhadap pekerjaan.

2.1.2. Tugas Perkembangan Remaja

Perkembangan masa remaja difokuskan pada upaya meninggalkan sikap

dan perilaku kekanak-kanakan untuk mencapai kemampuan bersikap dan

berperilaku dewasa. Adapun tugas-tugas perkembangan masa remaja menurut

Hurlock (1991) adalah sebagai berikut:

1) Mampu menerima keadaan fisiknya.

2) Mampu menerima dan memahami peran seks usia dewasa.

3) Mampu membina hubungan baik dengan lawan jenis.

4) Mencapai kemandirian emosional.

5) Mencapai kemandirian ekonomi.

6) Mengembangkan konsep dan keterampilan intelektual yang sangat

diperlukan untuk melakukan peran sebagai anggota masyarakat

7) Memahami dan menginternalisasikan nilai-nilai orang dewasa dan

orang tua.

8) Mengembangkan perilaku tanggung jawab sosial yang diperlukan untuk

memasuki dunia dewasa.

9) Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan.

8

Page 9: Kenakalan remaja

10)Memahami dan mempersiapkan berbagai tanggung jawab kehidupan

keluarga.

Tugas-tugas perkembangan fase remaja ini amat berkaitan dengan

perkembangan kognitifnya, yaitu fase operasional formal. Kematangan

pencapaian fase kognitif akan sangat membantu kemampuan dalam

melaksanakan tugas perkembangan dengan baik. Sehingga dapat

melaksanakan tugas-tugas perkembangan yang diperlukan kemampuan

kreatif remaja. Kemampuan kreatif ini banyak diwarnai oleh

perkembangan kognitifnya (Ali dan Asrori, 2009)

2.1.3. Remaja Akhir (Late Adolescent)

Sulaeman (1995) menyebutkan ciri-ciri umum masa remaja akhir yaitu

pemilihan jalan kehidupan mulai menjadi fokus perhatian, mncul kesadaran akan

bakat yang dimiliki, dan kecenderungan untuk menetapkan jenis pekerjaan yang

akan dipilihnya

Menurut Mappiare (1982) ciri- ciri umum remaja akhir yaitu stabilitas

mulai timbul dan meningkat, citra diri dan pandangan yang lebih realistis,

menghadapi masalahnya secara lebih matang, dan perasaan menjadi lebih tenang.

Mappiare (1982) menyatakan bahwa ciri- ciri yang ada pada remaja akhir yang

dikemukakakan sebelunya merupakan ciri-ciri remaja akhir yang dapat dikatakan

tidak mempunyai persoalan serius.

Remaja akhir menurut Widyastuti dkk (2009) adalah remaja yang berusia

sekitar 16-19 tahun dengan ciri mengungkapkan kebebasan diri, pencarian teman

sebaya yang lebih selektif, memiliki citra tersendiri terhadap dirinya, dapat

mewujudkan perasaan cinta, dan memiliki kemampuan berpikir khayal atau

abstrak.

Kesimpulannya adalah remaja akhir merupakan remaja yang sedang

berusaha mencari identitas diri dengan mulai menemukan bakat yang dimiliki,

membangun citra diri, dan berimajinasi tentang kehidupan yang akan datang.

9

Page 10: Kenakalan remaja

2. Kenakalan Remaja

2.2.1. Pengertian Kenakalan Remaja

John W. Santrock (2003) mendefinisikan kenakalan remaja (juvenile

delinquency) sebagai rentang perilaku yang luas, mulai dari perilaku yang tidak

dapat diterima secara sosial (seperti bertindak berlebihan disekolah), pelanggaran

(seperti melarikan diri dari rumah), hingga tindakan-tindakan kriminal (seperti

mencuri). Menurut Helen (2000), kecenderungan berperilaku delinkuensi adalah

kecenderungan individu melakukan perilaku yang bersifat amoral, antisosial,

melanggar hukum, dan mengarah kriminalitas seperti berbohong, membolos

sekolah, kabur dari rumah, menentang orangtua, membawa benda berbahaya

(pistol, pisau), melacurkan diri, baik untuk tujuan ekonomi atau tujuan lain,

mengkonsumsi minuman keras, atau obat terlarang, seks bebas, bunuh diri,

percobaan pembunuhan, sampai tersangkut pembunuhan, aborsi, penganiayaan

yang menyebabkan kematian seseorang.

Kesimpulan kenakalan remaja (juvenile delinquency) adalah perilaku yang

merugikan diri sendiri bahkan oranglain antara lain dengan melawan hukum

(kriminal) maupun yang tidak kriminal (melanggar norma).

2.2.2. Status Offenses dan Index Offenses

Santrock (2006) membuat perbedaan kenakalan remaja (juvenile

delinquency) menjadi index offenses dan status offenses. Index offenses (indeks

pelanggaran) adalah suatu bentuk tindakan yang telah berada pada taraf tindak

kriminal baik itu dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak. Tindakan index

offenses meliputi pencurian, perampokan, pemerkorsaan, pembunuhan, dan lain-

lain. Sedangkan status offenses adalah tindakan-tindakan pelanggaran yang

dilakukan anak-anak hingga remaja namun bukan suatu bentuk tindak kriminal

baik itu dilakukan oleh orang dewasa maupun anak-anak. Tindakan status

offenses antara lain lari dari rumah, membolos sekolah, minum-minuman keras,

menentang orangtua, sulit mengontrol emosi, dan lain-lain.

10

Page 11: Kenakalan remaja

2.2.3. Aspek – Aspek Kenakalan Remaja

Sejumlah ahli telah mengklasifikasikan perilaku delinkuensi remaja ke

dalam berbagai macam bentuk. Jensen (dalam Sarwono, 2002) membagi

kenakalan remaja menjadi empat bentuk yaitu:

a. Kenakalan yang menimbulkan korban fisik pada orang lain: perkelahian,

perkosaan, perampokan, pembunuhan, dan lain-lain.

b. Kenakalan yang meninbulkan korban materi: perusakan, pencurian,

pencopetan, pemerasan, dan lain-lain.

c. Kenakalan sosial yang tidak menimbulkan korban di pihak orang lain:

pelacuran, penyalahgunaan obat, hubungan seks bebas, dan lain-lain.

d. Kenakalan yang melawan status, misalnya mengingkari status anak

sebagai pelajar dengan cara membolos, kabur dari rumah, membantah

perintah, dan lain-lain.

Hurlock (1973) berpendapat bahwa kenakalan yang dilakukan remaja

terbagi dalam empat bentuk, yaitu:

a. Perilaku yang menyakiti diri sendiri dan orang lain.

b. Perilaku yang membahayakan hak milik orang lain, seperti merampas,

mencuri, dan mencopet.

c. Perilaku yang tidak terkendali, yaitu perilaku yang tidak mematuhi

orangtua dan guru seperti membolos, mengendarai kendaran dengan tanpa

surat izin, dan kabur dari rumah.

d. Perilaku yang membahayakan diri sendiri dan orang lain, seperti

mengendarai motor dengan kecepatan tinggi, memperkosa dan

menggunakan senjata tajam.

Berdasarkan bentuk kenakalan remaja yang telah dipaparkan sebelumnya,

dapat disimpulkan bahwa perilaku remaja tersebut dapat menimbulkan dampak

negatif yang tidak baik bagi dirinya sendiri, orang lain, serta lingkungan

sekitarnya.

11

Page 12: Kenakalan remaja

2.2.4. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Kenakalan Remaja

Faktor-faktor kenakalan remaja menurut Santrock, (1996) sebagai berikut :

a. Identitas

Menurut teori perkembangan yang dikemukakan oleh Erikson (dalam

Santrock, 1996) masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi

identitas harus di atasi. Perubahan biologis dan sosial memungkinkan terjadinya

dua bentuk integrasi terjadi pada kepribadian remaja yaitu terbentuknya perasaan

akan konsistensi dalam kehidupannya dan tercapainya peran identitas, kurang

lebih dengan cara menggabungkan motivasi, nilai-nilai, kemampuan dan gaya

yang dimiliki remaja dengan peran yang dituntut dari remaja. Erikson (dalam

Santrock, 1996) percaya bahwa kenakalan remaja terutama ditandai dengan

kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-

aspek peran identitas.

b. Kontrol diri

Hasil penelitian yang Santrock (1996) menunjukkan bahwa kontrol diri

mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang

efektif di masa kanak-kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada

anak, dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh

anak.

c. Usia

Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan

kenakalan masa remaja. Namun, tidak semua anak yang bertingkah laku nakal

pasti saat remaja kan menjadi seseorang yang berperilaku nakal pula (Kartono,

2003).

d. Jenis kelamin

Remaja laki-laki lebih banyak melakukan tingkah laku anti sosial daripada

perempuan. Menurut Kartono (2003) pada umumnya jumlah remaja laki-laki yang

12

Page 13: Kenakalan remaja

melakukan kejahatan dalam kelompok gang diperkirakan 50 kali lipat daripada

gang remaja perempuan.

e. Harapan terhadap pendidikan dan nilai-nilai di sekolah

Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang

rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak

begitu bermanfaat untuk kehidupannya. Sehingga biasanya nilai-nilai mereka

terhadap sekolah cenderung rendah dan mereka tidak mempunyai motivasi untuk

sekolah.

3. Pola Asuh Orang Tua

2.3.1. Pengertian Pola Asuh Orang Tua

Pola asuh terdiri dari dua kata yaitu pola dan asuh. Menurut Kamus Besar

Bahasa Indonesia, pola berarti corak, model, sistem, cara kerja, bentuk (struktur)

yang tetap. Sedangkan kata asuh dapat berati menjaga (merawat dan mendidik)

anak kecil, membimbing (membantu; melatih dan sebagainya), dan memimpin

(mengepalai dan menyelenggarakan) satu badan atau lembaga. Pola asuh berarti

bagaimana orang tua memperlakukan anak, mendidik, membimbing dan

mendisiplinkan serta melindungi anak dalam mencapai proses kedewasaan,

hingga pembentukan norma-norma yang diharapkan oleh masyarakat pada

umumnya (Casmini, 2007).

Menurut Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2004) pengasuhan pada

prinsipnya merupakan parental control. Kohn (dalam Casmini, 2007)

menyatakan bahwa pengasuhan merupakan cara orang tua berinteraksi dengan

anak yang meliputi, pemberian aturan, hadiah, hukuman, pemberian perhatian,

serta tanggapan terhadap perilaku anak. Pada dasarnya pola asuh dapat diartikan

seluruh cara perlakuan orang tua yang di terapkan pada anak. Banyak ahli

mengatakan pengasuhan anak (child rearing) adalah bagian penting dan

mendasar, menyiapkan anak untuk menjadi masyarakat yang baik (Wiwit

Wahyuning., Jash., & Metta Rachmadian, 2003). Ulwan (2009) menambahkan

jika remaja diperlakukan oleh orang tua dengan perlakuan yang kejam, dididik

13

Page 14: Kenakalan remaja

dengan pukulan yang keras dan cemoohan pedas, serta diliputi dengan

penghinaan, ejekan dan pemberian label-label negatif maka yang akan

menimbulkan citra diri negatif pada remaja. Kesimpulannya, pola asuh akan

menjadi membentuk perilaku anak.

Menurut Baumrind (dalam Bee & Boyd, 2004), pola asuh dibagi menjadi

4 jenis yaitu Authoritarian, Authoritativ, permissive,dan neglected.Pola asuh

authoritarian menetapkan standar perilaku pada anak akan tetapi kurang responsif

terhadap hak dan keinginan anak. Orang tua memiliki kendali yang tinggi dalam

membentuk, mengendalikan, dan mengevaluasi perilaku anak. Kurang adanya

kedekatan dan komunikasi antara anak dengan orang tua. Pola asuh ini

menekankan pada kebutuhan orang tua yaitu ketika pendapat orang tua lebih di

utamakan dan hukuman menjadi cara untuk membentuk kepatuhan terhadap anak.

Anak yang dibesarkan dalam pola asuh ini biasanya memiliki mood yang kurang

stabil, pasif, penuh konflik dalam sosialisasi, dan jika frustrasi ia akan cenderung

memusuhi sesama.

Pola asuh authoritative menetapkan standar perilaku atau aturan terhadap

anak namun tetap responsif terhadap kebutuhan anak (Bee & Boyd, 2004). Orang

tua menggunakan pendekatan secara rasional dan demokratis. Terjalin keakraban

antara orang tua dan anak serta peran orang tua yang mampu menghargai dan

mengarahkan aktivitas anak. Orang tua dapat menghargai dan mendengarkan

pendapat anak. Peraturan yang diberikan adalah peraturan yang disertai dengan

penalaran dan alasan. Anak yang dibesarkan dengan pola asuh ini akan lebih

kompeten dalam bersosialisasi, adaptif, terampil bergaul, dan percaya diri.

Pola asuh permissive menetapkan suatu standar dimana orang tua hanya

menerapkan sedikit aturan dan jarang menggunakan kekerasan ataupun kuasa

(Bee & Boyd, 2004). Orang tua bersikap responsif terhadap kebutuhan dan

keinginan anak tanpa adanya tuntuan ataupun kontol terhadap anak. Penerapan

kedisiplinan hanya sedikit dan ada sikap tidak konsisten dalam penerapannya.

Kebebasan yang diberikan lebih banyak bahkan menyebabkan anak dapat berbuat

semaunya. Anak yang dibesarkan dalam pola asuh ini cenderung kurang dewasa,

14

Page 15: Kenakalan remaja

akan mengalami kesulitan ketika menghadapi tugas-tugas, dan kurang patuh

terhadap aturan.

Pola asuh neglected biasanya memiliki interaksi waktu yang sedikit

dengan anak-anaknya. Pola asuh ini orang tua lebih mementingkan kepentingan

sendiri misalnya terlalu sibuk, tidak peduli bahkan tidak tahu anaknya dimana

atau sedang dengan siapa, dan lain sebagainya.

2.3.2. Aspek – Aspek Pola Asuh Orang Tua

Menurut Diana Baumrind (Bee & Boyd, 2004), terdapat empat aspek yang

dalam pola asuh orang tua, yaitu :

1. Kendali dari orang tua (Parental control)

Merupakan tingkah laku orang tua dalam menerima dan menghadapi

perilaku anak yang tidak sesuai dengan perilaku yang diharapkan. Hal ini

juga termasuk usaha orang tua untuk mengubah tingkah laku anak yang

dianggap kurang baik.

2. Tuntutan terhadap tingkah laku matang (Parental maturity demands)

Perilaku orang tua dalam membantu anak agar dapat bersikap mandiri

serta bertanggung jawab dalam segala tindakan.

3. Komunikasi antara orang tua dan anak (Parent-child communication)

Usaha orang tua dalam menciptakan komunikasi verbal dengan anak atau

ada komunikasi dua arah (antara orang tua dan anak).

4. Pengasuhan dan pemeliharaan orang tua terhadap anak (Parental

nurturance)

Ungkapan kasih sayang, perhatian, dan dorongan orangtua pada anak.

Terdiri kehangatan yang merupakan pencurahan bentuk kasih sayang

orang tua berupa sentuhan fisik, dukungan verbal, dan keterlibatan yang

ditunjukkan dengan pengenalan akan tingkah laku dan perasaan anak.

2.3.3. Faktor – Faktor yang Mempengaruhi Pola Asuh Orang Tua

Adapun faktor yang mempengaruhi pola asuh orang tua terhadap anak

adalah (Edward, 2006):

15

Page 16: Kenakalan remaja

a. Pendidikan orang tua

Hasil riset dari Sir Godfrey Thomson menunjukkan bahwa pendidikan

diartikan sebagai pengaruh lingkungan pada individu untuk menghasilkan

perubahan yang tetap atau permanen di dalam kebiasaan tingkah laku, pikiran dan

sikap. Orang tua yang memiliki pengalaman sebelumnya dalam mengasuh anak

akan lebih siap menjalankan pengasuhan. Selain itu orang tua akan lebih mampu

mengamati tanda-tanda pertumbuhan dan perkembangan yang normal (Supartini,

2004).

b. Lingkungan

Lingkungan banyak mempengaruhi dalam perkembangan anak, maka

tidak mustahil jika lingkungan juga ikut serta mewarnai pola-pola pengasuhan

yang diberikan orang tua terhadap anak.

c. Budaya

Sering kali orang tua mengikuti cara-cara yang dilakukan oleh masyarakat

dalam mengasuh anak yaitu kebiasaan-kebiasaan masyarakat dalam mengasuh

anak. Karena pola-pola tersebut, dianggap berhasil dalam mendidik anak kearah

kematangan. Orang tua mengharapkan kelak anaknya dapat diterima dimasyarakat

dengan baik, Oleh karena itu kebudayaan atau kebiasaan masyarakat dalam

mengasuh anak juga mempengaruhi orang tua dalam memberikan pola asuh

terhadap anaknya (Anwar, 2000).

2.4. Perbedaan Status Offenses ditinjau Dari Pola Asuh

Loeber dan Stouthamer (1986) menyatakan dalam penelitiannya bahwa

orang tua yang mengasuh dengan gaya neglected yaitu kurangnya pengawasan,

tidak disiplin, kurangnya dukungan omosional, dan penolakan dapat memprediksi

kenakalan pada remaja. Dornbusch et al. (1998) menyatakan bahwa orangtua yang

authoritarian akan mempengaruhi perilaku anak mereka menjadi cenderung nakal

(juvenile delinquency). Chassin, McLoughlin, dan Sher (1988) menyatakan

bahwa orang tua yang menggunakan obat-obatan terlarang (narkoba) berpengaruh

16

Page 17: Kenakalan remaja

pada anak. Menurut Baumrind (2011) pola asuh neglected dan authoritarian

cenderung dikaitkan dengan penggunaan narkoba.

2.5. Hipotesis

HO : Tidak ada perbedaan status offenses ditinjau dari gaya pengasuhan

(authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected).

HI : Ada perbedaan status offenses ditinjau dari gaya pengasuhan

(authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected)

17

Page 18: Kenakalan remaja

Bab 3

Metode Penelitian

3.1. Identifikasi Variabel

Pada penelitian ini , peneliti ingin mengetahui perbedaan status

offenses ditinjau dari pola asuh (authoritarian, authoritative, permissive,

dan neglected). Variabel tergantung dalam penelitian ini adalah status

offenses sedangkan variabel bebas adalah pola asuh orang tua yang terdiri

atas authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected.

3.2. Definisi Operasional

Kenakalan remaja (juvenile delinquency) yang bersifat status

offenses adalah ketika seorang remaja yang melakukan perilaku bersikap

amoral namun tidak dapat disebut sebagai hal yang ilegal seperti

berbohong, menentang orang tua, membolos sekolah, dan melanggar

peraturan sekolah.Berdasarkan pada kamus besar bahasa Indonesi ,

berbohong adalah ketika seseorang mengucapkan suatu perkataan yang

tidak sesuai dengan kenyataan sehingga hal tersebut dapat dikatakan tidak

benar atau palsu. Menentang orang tua adalah perilaku ketika seseorang

memberikan perlawanan secara perkataan maupun perbuatan sebagai

bentuk ketidaksetujuaan terhadap orang tua. Membolos sekolah adalah

perilaku ketika seseorang tidak mengikuti proses belajar mengajar disertai

dengan ketidakhadiran di sekolah tanpa disertai alasan yang jelas dan tidak

diketahui oleh orangtua. Melanggar peraturan sekolah adalah perilaku

ketika sesorang tidak mematuhi atau melakukan pelanggaran terhadap

aturan yang berlaku di sekolah.

18

Page 19: Kenakalan remaja

Definisi operasional pola asuh adalah cara orangtuas mendidik,

merawat, mendisiplikan, dan melindungi anaknya. Pola asuh

authoritarian adalah pola asuh yang memiliki aturan yang tegas dan keras

dalam membentuk perilaku anak. Kendali anak sepenuhnya berada pada

orangtua. Pola asuh authoritative adalah pola asuh demokratis dengan

menetapkan standar perilaku yang jelas namun tetap mempertimbangkan

keinginan anak, dan mampu menjalin kedekatan dengan anak. Pola asuh

permissive adalah pola asuh yang cenderung memanjakan anak dan tidak

memiliki aturan yang jelas. Kendali anak sepenuhnya berada pada diri

mereka sendiri. Pola asuh neglected adalah pola asuh yang terabaikan

dengan kedekatan emosional antara orangtua dan anak yang sangat lemah.

Pengukuran terhadap perilaku status offenses dan pola asuh

(authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected) diukur dengan

menggunakan skala likert. Angket status offenses terdiri dari pernyataan-

pernyataan mengenai perilaku membolos, menentang orang tua, melanggar

peraturan, dan berbohong. Angket pola asuh terdiri atas pola asuh

authoritarian, authoritative, permissive, dan neglected. Terdapat pilihan

jawaban yang terdiri dari pernyataan yang sangat setuju (SS), setuju (S),

netral (N), tidak setuju (TS), dan sangat tidak setuju (STS).

Tabel Angket

No Variabel Definisi Operasional

Skala Cara Ukur

Hasil Ukur

1. Berbohong Mengucapkan suatu perkataan yang tidak sesuai dengan kenyataan sehingga hal tersebut dapat dikatakan tidak benar atau palsu

Likert Mengisi kuisioner

SS= Sangat setujuS= SetujuN = NetralTS= Tidak setujuSTS= Sangat tidak setuju

19

Page 20: Kenakalan remaja

2. Membolos Tidak mengikuti proses belajar mengajar disertai dengan ketidakhadiran di sekolah tanpa disertai alasan yang jelas.

Likert Mengisi kuisioner

SS= Sangat setujuS= SetujuN = NetralTS= Tidak setujuSTS= Sangat tidak setuju

3. Menentang orang tua

Memberikan perlawanan secara perkataan maupun perbuatan sebagai bentuk ketidaksetujuaan terhadap orang tua

Likert Mengisi kuisioner

SS= Sangat setujuS= SetujuN = NetralTS= Tidak setujuSTS= Sangat tidak setuju

4. Melanggar aturan sekolah

Tidak mematuhi atau melakukan pelanggaran terhadap aturan yang berlaku di sekolah.

Likert Mengisi kuisioner

SS = Sangat setujuS= SetujuN = NetralTS = Tidak setujuSTS = Sangat tidak setuju

5. Authoritative

Pola asuh demokratis dengan menetapkan standar perilaku yang jelas namun tetap mempertimbangkan keinginan anak, dan mampu menjalin

Likert Mengisi kuisioner

SS = Sangat setujuS= SetujuN = NetralTS = Tidak setujuSTS = Sangat tidak

20

Page 21: Kenakalan remaja

kedekatan dengan anak

setuju

6. Authoritarian

Pola asuh yang memiliki aturan yang tegas dan keras dalam membentuk perilaku anak. Kendali anak sepenuhnya berada pada orangtua.

Likert Mengisi kuisioner

SS = Sangat setujuS= SetujuN = NetralTS = Tidak setujuSTS = Sangat tidak setuju

7. Permissive Pola asuh yang cenderung memanjakan anak dan tidak memiliki aturan yang jelas. Kendali anak sepenuhnya berada pada diri mereka sendiri.

Likert Mengisi kuisioner

SS = Sangat setujuS= SetujuN = NetralTS = Tidak setujuSTS = Sangat tidak setuju

8. Neglected Pola asuh yang terabaikan dengan kedekatan emosional antara orangtua dan anak yang sangat lemah.

Likert Mengisi kuisioner

SS = Sangat setujuS= SetujuN = NetralTS = Tidak setujuSTS = Sangat tidak setuju

3.3. Populasi dan Teknik Pengambilan Sampel

Pada penelitian ini peneliti menggunakan subjek yang berusia 17-

21 tahun yang dikatakan sebagai remaja akhir. Remaja berjenis kelamin

21

Page 22: Kenakalan remaja

laki-laki dan perempuan dan berdomisili di kota Surabaya. Subjek yang

digunakan adalah 30 orang dari SMA Kristen Petra 5 Surabaya dan 30

orang remaja yang bersekolah di SMA 9 Surabaya. Subjek adalah remaja

yang sedang bersekolah atau berstatus sebagai pelajar yang totalnya adalah

60 orang. Teknik pengambilan sampel dilakukan secara non random yaitu

accidental. Artinya memberikan angket pada siswa yang ditemui pada saat

menyebar angket.

3.4. Metode Pengambilan Data

Pengambilan data dalam penelitian ini menggunakan dua skala

angket dengan pertanyaan tertutup yang disebarkan pada sampel. Skala

tersebut yaitu skala pola asuh dan skala status offenses. Skala pola asuh

dengan 16 pertanyaan dan skala status offenses dengan 15 pertanyaan.

3.5. Teknik Analisis

Skala favorable SS memiliki nilai 5, S memiliki nilai 4, N memiliki nilai 3,

TS memiliki nilai 2, STS memiliki nilai 1. Skala unfavorable SS memiliki

nilai 1, S memiliki nilai 2, N memiliki nilai 3, TS memiliki nilai 4, STS

memiliki nilai 5. Kemudian data-data yang diperoleh akan dianalisis

menggunakan analisis statistik, yaitu:

A. Uji Instrumen

Uji Reliabilitas

Neuman (1997) juga mengatakan bahwa alat ukur yang

reliabel adalah alat ukur yang menghasilkan hasil yang relatif

sama. Uji reliabilitas ini dilakukan dengan test retest yaitu

memberikan angket yang sama pada subjek yang sama dengan

periode waktu tertentu agar dapat mengetahui kekonsistenan

subjek. Alat ukur dapat dikatakan reliabel apabila alpha cronbach

(α) lebih dari 0,6

22

Page 23: Kenakalan remaja

Uji validitas

Validitas yang digunakan dalam peneltiian ini adalah content

validity untuk menguji apakah pertanyaan yang diajukan telah

sesuai dengan konteks yang ingin diukur yakni terkait kenakalan

remaja berupa status offenses dan pola asuh orangtua authoritative,

authoritarian, permissive, neglected. Alat ukur dapat dikatakan

valid apabila alpha cronbach (α) > 0,3

B. Uji Asumsi

Uji Normalitas Sebaran

Uji normalitas sebaran dilakukan untuk mengetahui

distribusi data, data ekstrem dengan juling kanan, juling kiri, atau

data tersebar merata. Suatu data dikatakan memenuhi distribusi

normal maka nilai koefisien ρ > 0,05.

C. Uji Hipotesis

Apabila data yang dihasilkan normal, maka menggunakan

parametrik dengan anava 1 jalur untuk melihat mean pada keempat pola

asuh (authoritative, authoritarian, permissive, neglected ) terhadap status

offenses. Selain itu apabila ada perbedaan, ingin mengetahui pola asuh

manakah yang berkontribusi paling besar terhadap status offenses.

Namun apabila data yang dihasilkan tidak normal, maka

menggunakan non parametrik yaitu Kruskal Wallis untuk melihat apakah

ada perbedaan kenakalan remaja berupa status offenses ditinjau dari pola

asuh yaitu authoritative, authoritarian, permissive, neglected. Uji

hipotesis akan menyatakan adanya alpha cronbach (α) < 0,05.

3.6.Blue Print Angket

23

Page 24: Kenakalan remaja

Skala Status Offenses

Dimensi Favorable Unfavorable Jumlah

butir

Proporsi

Membolos

sekolah

1, 2, 4 3 4 26,67%

Menentang

orangtua

5, 6 7, 8 4 26,67%

Berbohong 9, 10, 11, 12 - 4 26,67%

Melanggar

peraturan

sekolah

13, 14, 15 - 3 20%

Skala Pola Asuh

Dimensi Favorable Unfavorable Jumlah

butir

Proporsi

Authoritative 1, 2, 3, 4 - 4 25%

Authoritarian 5, 6, 7, 8 - 4 25%

Permissive 9, 10, 11, 12 - 4 25%

Neglecting 13, 14, 15,

16

- 4 25%

24

Page 25: Kenakalan remaja

Lampiran Angket

Angket Status Offenses

No Pernyataan SS S N TS STS

1. Jika guru sedang menjelaskan

pelajaran dengan cara yang

membosankan saya merasa ingin

membolos mata pelajaran tersebut.

2. Bila terlambat sekolah, saya berpikir

lebih baik nongkrong di tempat lain.

3. Saya akan tetap mengikuti pelajaran

yang membosankan daripada

membolos.

4. Saya lebih suka pergi bersama

teman-teman daripada mengikuti les.

5. Bila orang tua tidak mengijinkan

saya berpacaran maka saya akan

kabur bersama pacar saya.

6. Bila orang tua membuat saya kesal,

ingin rasanya untuk memaki.

7. Bila orang tua memaksakan

kehendaknya saya berusaha

memahami alasan mereka.

8. Bila orang tua membuat saya kesal,

saya akan memberikan kritikan yang

halus agar mereka tidak tersinggung.

9. Bila saya mendapat nilai ulangan

harian buruk, saya akan memalsu

25

Page 26: Kenakalan remaja

tanda tangan orang tua pada kertas

ulangan tersebut.

10. Saya mengatakan pada orang tua

bahwa saya tidak punya pacar

padahal saya sedang berpacaran.

11. Saya menutupi nilai saya yang buruk

pada orang tua.

12. Saya memilih untuk mengatakan

sedang mengerjakan tugas kelompok

ketika orang tua melarang pergi

bersenang-senang bersama teman-

teman.

13. Jika kepala sekolah membuat

peraturan sekolah yang terlalu ketat,

saya akan mengajak teman-teman

untuk berdemo agar peraturan

tersebut dihilangkan.

14. Saya tidak suka menggunakan atribut

yang seharusnya diwajibkan untuk

digunakan saat sekolah.

15. Saya suka merokok di sekolah.

Angket Pola Asuh

No Pernyataan SS S N TS STS

1. Saya pikir orang tua mendukung saya

untuk mandiri dalam melakukan

kegiatan belajar di rumah.

2. Saya menilai orang tua selalu

memberikan teladan yang baik bagi

saya untuk berperilaku.

3. Orang tua memberikan ijin kepada

26

Page 27: Kenakalan remaja

saya untuk melalukan kegiatan

bersama teman-teman sebatas

kegiatan tersebut sesuai norma.

4. Orang tua menetapkan batasan-

batasan yang jelas agar perilaku saya

tidak menyimpang.

5. Orang tua melarang saya untuk

mengikuti suatu kegiatan tanpa alasan

yang jelas.

6. Orang tua saya memberikan aturan-

aturan yang menghambat aktivitas

saya.

7. Orang tua saya memberikan hukuman

fisik ketika saya tidak mentaati

peraturan.

8. Orang tua memegang kendali penuh

terhadap perilaku saya.

9. Orang tua membebaskan saya

melakukan kegiatan apapun asal

masih dalam sepengetahuan mereka.

10. Orang tua selalu menuruti apapun

yang saya inginkan.

11. Orang tua tidak memberikan

peraturan yang jelas bagi saya

sehingga saya memiliki kendali

sepenuhnya atas perilaku saya.

12. Orang tua tidak pernah mengontrol

perilaku saya meskipun hal tersebut

melanggar norma.

13. Orang tua tidak pernah memberikan

penghiburan ketika saya sedih.

27

Page 28: Kenakalan remaja

14. Orang tua saya akan bersikap cuek

walaupun saya mendapatkan nilai

yang baik di sekolah.

15. Orang tua jarang mengajak saya

berbicara tiap kali ada kesempatan.

16. Orang tua saya malas berdiskusi

mengenai berbagai hal dengan saya.

Daftar Pustaka

28

Page 29: Kenakalan remaja

Ado, (2010). Diunduh pada 1 Oktober 2013 http://health.liputan6.com/read/302884/komnas-pa-212-persen-remaja-pernah-aborsi

Ali, M. & Asrori, M. (2009). Psikologi Remaja.Jakarta : Bumi Aksara.

Anwar, M. (2000). Peranan Gizi dan Pola Asuh dalam Meningkatkan Kualitas Tumbang Anak.

Barber, B. K., Maughan, S. L., & Olsen, J. A. (2005). Patterns of parenting across adolescence. New Directions for Child and Adolescent Development, 1008, 5 – 16

Baumrind, D. (2011). Prototypical Descriptions of 3 Parenting Styles http://www.devpsy.org/teaching/parent/baumrind parenting_styles.pdf  

Bee, H. & Boyd, D. (2004). The Developing Child”, 10th ed, Pearson Education.Berita Satu, (2000). Diunduh pada 5 Oktober 2013

http://www.beritasatu.com/hukum-kriminalitas/137315-polisi-larang-anak-dibawah-umur-mengemudi.html

BNN, (2011). Diunduh pada 1 Oktober 2013 http://bnn.go.id/portal/

BPS, (2010) Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://www.bps.go.id/hasil_publikasi/flip_2011/4401003/files/search/searchtext.xml

Casmini. (2007). Emotional Parenting. Yogyakarta: Pilar Media.

Chassin, L., McLaughlin, L. M., & Sher, K J. (1988). Self-awareness theory, family history of alcoholism, and adolescent alcohol involvement. Journal ofAbnormal Psychology, 97, 206-217.

De Kemp, R. A. T., Scholte, R.H. J., Overbeek, G.., Engels, & Rutger C. M. E. (2006). Early Adolescent Delinquency : The Role of Parents and Best Friends. Criminal Justice and Behavior 33: 488

Dornbusch, S. M., Ritter, P. L., Mont-Reynaud, R., & Chein, Z. (1990). Family decision making and academic performance in a diverse high school population. Journal of Adolescent Research, 5,143-160.

Edward, D. C. (2006). Ketika Anak Sulit Diatur : Panduan Orang Tua Untuk Mengubah Masalah Perilaku Anak. Bandung : PT. Mizan Utama.

Helen, (2000). Peranan psikologi dalam menanggulangi masalah juvenile delinquency di Indonesia. Jurnal ilmiah psikologi arkhe. Vol 5, 9, 79-84.

Hurlock, E.B. (1973). Adolecent Development. Tokyo: McGraw-Hill, Kogakusha, Ltd.

29

Page 30: Kenakalan remaja

Hurlock, E.B. (1991). Child Development. 6th. Ed. (Alih Bahasa oleh Tjandrasa, M; dan Zarkasih, M.). Jakarta: PT. Gelora Aksara Pratama.

Hurlock, E.B. (1992). Developmental Psycology : A Life Span Approach, fifth edition. Mc Graw Hill.

Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta : Erlangga.

Jawapos, (2013). Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://www.jawapos.com/

Kartono, K. (2003). Kenakalan Remaja (Patologi sosial 2). Cetakan Ketiga. Bandung: PT Raja Grapindo Persada.

Kakihara, F. & Tilton-W, L. (2009). Adolescents' interpretations of parental control: differential by domain and types of control. Child Development Volume 80 number 6

Loeber, R. & Stouthamer, M. (1986). Family Factors as Correlates and Predictors of Juvenile Conduct Problem and Delinquency. Crime andJustice: An Annual Review ofResearch (7th ed, pp. 29-149). Chicago: University of Chicago Press.

Mappiare, A. (1982). Psikologi Remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Media Indonesia, (2000). Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://www.indonesiamedia.com/

Murtiyani, N. (2011). Hubungan Pola Asuh Orang Tua dengan Kenakalan Remaja Di RW Kelurahan Sidokare Kecamatan Sidoarjo. Jurnal Keperawatan. Vol 1, No. 1.

Nawawi, A. (2001). Diunduh pada 3 Oktober 2013 Intervensi sosial terhadap tawuran remaja http://www.scribd.com/doc/91828342/Intervensi-Sosial-Tawuran-Pelajar

Neuman, L. (1997). Social Research Methods: Qualitative and Quantitative Approach (3th ed.). Massachusetts: Allyn and Bacon A Viacom Company.

Polri, 2010. Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://metro.polri.go.id/

Rahmania, A. M. dan Suminar, D. R. (2012). Hubungan antara Persepsi terhadap Kontrol Orangtua dengan Kecenderungan Perilaku Delikuensi pada Remaja yang pernah Terlibat Tawuran. Jurnal Psikologi Pendidikan dan Perkembangan Vol. 1, No. 3.

Republika, 2013. Diunduh pada 5 Oktober 2013 http://www.republika.co.id/berita/nasional/jawa-timur/13/09/10/msw3n0-polisi-perketat-pemberian-sim-di-bawah-umur

Santrock, J.W. (1996). Adolescence. 6th Edition. Dubuque, Lowa : Wm. C. Brown Publishers.

Santrock, J. W. (2003). Adolescece Perkembangan Remaja. Jakarta: Erlangga.

30

Page 31: Kenakalan remaja

Santrock, J. W (2006). Life – Span Development jilid 2 (terjemahan). Jakarta: Erlangga.

Sarwono, W. S. (2004). Psikologi remaja. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.Segrin, C. & Flora, J. (2005). Family communication. New Jersey: Lawrence

Erlbaum Associates, Publishers.Simandjuntak, B. (1984). Latar Belakang Kenakalan Remaja. Bandung:

Percetakan Offset Alumni.Suara Pembaruan, (2000). Diunduh pada 5 Oktober 2013

http://www.suarapembaruan.com/home/

Sujoko. (2011). Hubungan antara Keluarga Broken Home, Pole Asuh Orang Tua, dan Interaksi Teman Sebaya dengan Kenakalan Remaja.

Sulaeman, D. (1995). Psikologi Remaja, Dimensi-dimensi Perkmbangan. Bandung: Mandar Maju.

Supartini. (2004). Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. EGC, Jakarta.

Ulwan. 2009??

Widyastuti, dkk. (2009). Kesehatan Reproduksi. Yogyakarta : Fitramaya.

Wiwit Wahyuning., Jash., & Metta Rachmadian, 2003??

Wittenborn, M. (2002). The Relations Between Parenting Styles and Juvenile Delinquency. Honors Theses. Paper 266.

31