Kelompok Print Farkol

15
TUGAS FARMAKOLOGI LOW MOLECULAR WEIGHT HEPARIN ( LMWH ) KELAS : B NAMA KELOMPOK : LUQMAN T.H 2443012072 MEI TRIANASARI 2443012164 SHERLY UNTARI 2443012170 THERESIA O. SUTAL 2443012202 LIS ANGGRAINI LAY 2443012210 IKA SRI RETNO G. 2443012233 AMBAR WATI PUTRI ADI 2443012235 HELMY A.W. 2443012245 ENIK TIKASARI T. 2443012248 PUTU MIRAH R. 2443012251 WONG MEI LY 2443012268 UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA

description

MIRAH RISTA N.

Transcript of Kelompok Print Farkol

TUGAS FARMAKOLOGILOW MOLECULAR WEIGHT HEPARIN ( LMWH )

KELAS : BNAMA KELOMPOK : LUQMAN T.H 2443012072MEI TRIANASARI 2443012164SHERLY UNTARI 2443012170THERESIA O. SUTAL 2443012202LIS ANGGRAINI LAY 2443012210IKA SRI RETNO G.2443012233AMBAR WATI PUTRI ADI 2443012235HELMY A.W. 2443012245ENIK TIKASARI T.2443012248PUTU MIRAH R. 2443012251WONG MEI LY 2443012268

UNIVERSITAS KATOLIK WIDYA MANDALA SURABAYA 2015OBAT KARDIOVASKULARPenyakit kardiovaskular adalah penyakit yang menyerang jantung dan pembuluh darah. Penyakit kardiovaskular merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian diseluruh dunia. Pada tahun 2005, penyakit ini menyebabkan 17,5 juta kematian, yaitu sekitar 30% dari total kematian pada tahun tersebut (Lindholm and Mendhis, 2007). CVD merupakan sekumpulan penyakit yang terdapat pada jantung dan pembuluh darah dengan manifestasi terbesar berupa penyakit jantung koroner (PJK) atau coronary heart disease (CHD). Gambaran klinis CVD termasuk iskemia tanpa gejala, angina pektoris stabil, angina tidak stabil, infark miokard, gagal jantung, dan kematian mendadak. Terdapat beberapa faktor risiko CVD yang tidak dapat dimodifikasi, yaitu usia, jenis kelamin, dan genetik; sedangkan faktor yang dapat dimodifikasi antara lain merokok, obesitas, dislipidemia, hipertensi, dan diabetes mellitus.Tata laksana terapi CVD dapat dilakukan melalui (Gaziano, et al., 2006) : 1. Terapi non farmakologi: memperbaiki pola hidup seperti diet pada pasien dengan faktor risiko CVD, mengurangi kebiasaan merokok, melakukan olahraga teratur, dan istirahat yang cukup. 2. Terapi farmakologi: pengobatan dengan golongan beta bloker, angiotensin converting enzyme (ACE) inhibitor, angiotensin receptor blocker (ARB), calcium channel blocker (CCB), diuretik, antitrombotik, antiplatelet, dan vasodilator.KIMIA DAN FARMAKOLOGI HEPARIN DVT adalah suatu kondisi dimana trombus terbentuk pada vena dalam terutama di tungkai bawah dan inguinal. Bekuan darah dapat menghambat darah dari tungkai bawah ke jantung, yang fatal jika sumbatan di pembuluh darah paru atau jantung (Levitan N., et al, 1999).Pencegahan DVT (Deep Vein Thrombosis) secara farmakologis salah satunya dengan memberikan antikoagulan unfractionated heparin (UFH) dan Low Molecular Weight Heparin (LMWH) (Krivak TC, Zorn KK, 2007). Heparin merupakan campuran heterogen dari sulfated mucopolysaccharide. Obat ini mengikat permukaan sel endotel. Aktivitas biologis obat ini tergantung pada penghambat protease plasma antitrombin III (AT III). Antitrombin menghambat protease-protease faktor pembekuan darah (clotting faktor) dengan pembentukan kompleks-kompleks stabil equimolar dengan mereka. Tanpa adanya heparin reaksi ini lambat, dengan adanya heparin, reaksi ini dipercepat menjadi 1000 kali. Hanya kira-kira 1/3 dari molekul-molekul dalam preparat heparin komersial mempunyai efek percepatan pembekuan karena sebagian sisanya kekurangan polisakarida khusus yang dibutuhkan untuk peningkatan afinitas tinggi dengan antitrombin III. Molekul-molekul heparin aktif mengikat secara kuat pada antitrombin dan menyebabkan perubahan konformasi (penyesuaian) dalam penghambat ini. Perubahan konformasi dari antitrombin membuka situs aktifnya untuk berinteraksi lebih cepat dengan protease-protease faktor-faktor pembekuan yang telah diaktifkan. Heparin mengkatalisis reaksi antitrombin-protease tanpa dihabiskan. Gambar : Mekanisme kerja heparin (Hirsh J, 2001 ; Sonia, S 2001)Fraksi-fraksi berat molekul tinggi High molecular weight (HMW) heparin dengan afinitas tinggi pada antitrombin secara nyata menghambat pembekuan (koagulasi) darah. Fraksi-fraksi heparin ini mempunyai MW (berat molekul) berkisar 5.000- 30.000. Fraksi-fraksi berat molekul rendah low molecular weight (LMW) heparin menghambat faktor X yang telah diaktifkan tetapi mempunyai sedikit efek pada antitrombin dan pada koagulasi, dibandingkan dengan jenis HMW. Penelitian telah menunjukkan bahwa heparin-heparin LMW, seperti enoxaparin dan delteparin efektif dalam mencegah terjadinya trombosis vena dalam pada periode pasca operatif. Obat-obat ini juga telah terbukti efektif dalam pengobatan penyakit tromboembolik vena akut dan sindroma-sindroma koroner akut (Bertram KD, 2002). LMWH terdiri dari fragmen UFH yang mempunyai respon antikoagulan yang dapat diprediksi dan aktifitas yang lebih terhadap faktor Xa. Pada meta analisis pasien yang mengalami operasi urologi, ortopedi dan bedah umum, disimpulkan bahwa UFH subkutan efektif mencegah DVT pada pasien risiko menengah sampai risiko tinggi, dengan sedikit peningkatan komplikasi perdarahan. Pada pasien ginekologi penggunaan heparin telah dibandingkan dengan kontrol, dimana dijumpai penurunan deteksi DVT pada kelompok yang menggunakan heparin dibandingkan dengan kontrol (3% vs 29%), dengan pemberian 5000 U UFH subkutan 2 jam sebelum operasi dan paska operasi dua kali sehari selama 7 hari. LMWH diperkenalkan sebagai profilaksis dengan beberapa kelebihan seperti pemberian hanya 1 kali sehari dan keuntungan teoretis berkurangnya risiko perdarahan. Beberapa penelitian telah membandingkan penggunaan LMWH dalteparin 2500 U satu kali sehari dengan UFH 5000 U dua kali sehari untuk perioperatif operasi abdominal, dan tidak ditemukan perbedaan bermakna dalam hal kejadian DVT ataupun episode perdarahan. Terapi antikoagulan dengan UFH dan LMWH mempunyai risiko. Risiko utama adalah perdarahan, osteoporosis (terapi UFH berkepanjangan) dan heparin induced trombocytopenia. Risiko perdarahan dengan UFH tampaknya lebih tinggi dan respon individu yang bervariasi. Terapi inisial menunjukkan bahwa 50% kasus DVT mulai terbentuk pada saat operasi dan 25% terjadi dalam kurun waktu 72 jam setelah operasi. Oleh karena itu, penting untuk memulai profilaksis sebelum dilakukan induksi anestesi pada pasien risiko menengah sampai risiko tinggi. Pemberian LMWH atau UFH juga dapat diberikan sebelum operasi pada pasien risiko tinggi. Adanya peningkatan risiko perdarahan selama operasi tidak banyak dibuktikan pada beberapa penelitian yang telah dilakukan (Krivak TC, Zorn KK, 2007).STRUKTUR LMWH Merupakan glikosaminoglikan yang terdiri atas rantai-rantai residu selang- seling dari D-glycosamine dan glycuronic atau iduronic acid (Tsiara S et al., 2011). Berbagai jenis LMWH dapat dibentuk melalui proses degradasi yang berbeda-beda meliputi enoxaparin (eliminasi chemical ), tinzaparin (eliminasi enzymatic ), dalteparin (nitrous acid depolymerization), dan ardeparin (oxidative cleavage) (Fareed B. and Walenga JM., 2007). MEKANISME KERJA Efek antikoagulan UFH dan LMWH melalui aktivasi AT. Susunan pentasakarida terdistribusi secara acak sepanjang molekul UFH dan LMWH den berinteraksi dengan AT endogen. LMWH mengandung susunan pentasakarida lebih sedikit daripada UFH. Pentasakarida berikatan AT memicu perubahan konformasi di dalam molekul AT dan mempercepat interaksinya dengan thrombin dan Factor-Xa. Perbedaan utama antara UFH dan LMWH adalah pada mekanisme inhibisi terhadap Factor-Xa dan thrombin. Kebanyakan rantai UFH mengandung paling sedikit 18 sakarida dan membentuk kompleks ternary dengan AT dan thrombin. Berbeda dengan UFH, kompleks LMWH dan AT mengikat Factor-Xa dan mengkatalisis inaktivasinya. Jadi, LMWH memperlihatkan aktivitas lebih tinggi terhadap Factor-Xa daripada Factor-IIa, dimana UFH menginaktivasi keduanya. Selain itu, UFH dan LMWH memicu pelepasan penghambat Tissue Factor dari endotelium yang cedera, meningkatkan efek inhibisinya pada Factor-Xa dan Factor-VIIa dan juga berkontribusi terhadap aktivitas antikoagulan endogen (Tsiara S et al., 2011). LMWH diberikan secara subkutan satu atau dua kali sehari. LMWH menghasilkan efek antikoagulan yang lebih dapat diprediksi dari pada UFH dan memiliki waktu paruh lebih panjang serta bioavailabilitas lebih baik, dihubungkan dengan penurunan ikatannya pada protein plasma, endotelium, dan makrofag. Eliminasinya bergantung pada dosis. Dalam hal ini tidak diperlukan pemeriksaan laboratorium, kecuali pada pasien yang mengalami insufisiensi ginjal dan memiliki berat badan terlalu tinggi atau rendah. Selain itu, LMWH berikatan pada trombosit lebih sedikit dibandingkan UFH dan memiliki afinitas lebih lemah pada sel endotel dan von Willebrand factor. Oleh karena itu, LMWH kurang berpengaruh pada trombosit dan sel endotel sehingga pendarahan yang ditimbulkan lebih kecil dibandingkan dengan UFH. Walaupun pasien yang diterapi dengan LMWH tidak memerlukan pengawasan, aktivitas Antifactor-Xa plasma seharusnya diperiksa pada pasien-pasien tertentu (usia tua, hamil, obesitas, dan dengan penyakit ginjal berat). Aktivitas Antifactor-Xa biasanya diperiksa menggunakan chromogenic assay yang tersedia secara komersial (Tsiara S et al., 2011).

INDIKASI DAN KONTRAINDIKASI LMWH mulai diberikan pada saat hemostasis primer terjadi. Pada pasien trauma LMWH diberikan dalam waktu 36 jam sesudah terjadi trauma. Kontraindikasi langsung pemberian LMWH meliputi: 1. Pendarahan intrakanial,2. Pendarahan tidak terkontrol yang masih berlangsung,3. Cedera medulla spinalis inkomplit yang dihubungkan dengan hematoma spinal (Geerts WH., 2006). Berbagai jenis LMWH memiliki perbedaan indikasi yang diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai profilaksis DVT berdasarkan berbagai bukti klinis yang mendukung. Tabel 1 memperlihatkan bahwa, enoxaparin diindikasikan paling luas sebagai profilaksis dan terapi DVT. Tinzaparin diindikasikan sebagai terapi tetapi tidak sebagai profilaksis DVT pada beberapa kelompok pasien. Dalteparin diindikasikan sebagai profilaksis namun tidak sebagai terapi DVT (Fareed J, Adiguzel C. and Thethi I.,2007).Tabel 1 : Indikasi pemberian LMWH parenteral yang diterima oleh Food and Drug Administration (FDA) sebagai profilaksis dan terapi DVT. (Dikutip dari Fareed J et al, 2011).Enoxaparin merupakan jenis LMWH yang menjadi pilihan terapi farmakologis untuk profilaksis DVT pada pasien dengan trauma mayor. Keamanan dan efikasi enoxaparin bergantung pada kondisi klinis pasien. Gagal ginjal, obesitas, penggunaan vasopresor dan perubahan volume distribusi (perubahan berat badan lebih dari 10 kg sesudah pemberian) merupakan faktor predisposisi pasien mengalami perubahan farmakokinetik. Pada populasi ini disarankan melakukan evaluasi terhadap kadar Antifactor-Xa. Levine dan rekan-rekannya melaporkan insiden trombosis 6,3% pada saat kadar Antifactor-Xa lebih dari 0,1 IU/mL dan 18,8% pada saat levelnya 0,05 IU/mL. Hasil penelitian ini dipergunakan sebagai dasar pemberian profilaksis untuk mencegah DVT yaitu kadar Antifactor-Xaantara 0,1-0,3 IU/mL. Kadar Antifactor-Xa biasanya diperiksa 4 jam sesudah pemberian enoxaparin dosis ketiga. Hass dan rekan rekannya melakukan penelitian mengenai farmakokinetik enoxaparin 30 mg secara subkutan dua kali sehari pada pasien trauma multipel menemukan bahwa hanya 9,5% pasien mengalami kenaikkan kadar Antifactor-Xa lebih dari 0,1 IU/mL sesudah 12 jam pemberian terapi. Hasil ini mengindikasikan bahwa dosis enoxaparin terstandarisasi tidak memperlihatkan efikasi yang baik untuk mencegah DVT pada semua pasien trauma multipel (McMillian WD and Rogers FB.,2010).Penggunaan dalteparin sebagai profilaksis DVT pada pasien trauma mengalami peningkatan. Sebuah pusat penelitian mengevaluasi pemberian dalteparin 5.000 IU subkutan seharipada 743 pasien dengan risiko tinggi melaporkan bahwa rata-rata DVT proksimal dan PE non-fatal berturut-turut 3,9% dan 0,8%. Data awal pada cedera medula spinalis memperlihatkan bahwa pemberian dalteparin 5.000 IU subkutan sehari dan enoxaparin 30 mg subkutan dua kali sehari sama-sama memberikan proteksi dari DVT dan risiko pendarahan (McMillian WD and Rogers FB., 2010).

KOMPLIKASI Komplikasi perdarahan dari pemberian LMWH sebagai profilaksis DVT bervariasi dari penurunan kadar hemoglobin sementara sampai perdarahan yang memerlukan intervensi (angiografi dan pembedahan). LMWH dikatakan meningkatkan insiden perdarahan mayor pada saat digunakan sebagai profilaksis DVT. Hal ini didukung oleh penelitian Geerts dan rekan-rekannya yang melakukan observasi pada pasien yang mendapatkan UFH mengalami episode perdarahan lebih sedikit dibandingkan LMWH (berturut-turut 0,6% vs 2,9%) namun tidak signifikan. Perdarahan diperkirakan mayor pada saat hemoglobin turun 2 g/dL atau lebih, atau transfusi lebih dari 2 unit packed red blood cell (PRC) (Datta I et al.,2010).LMWH dan UFH secara langsung dibandingkan pada tiga publikasi. Green dan rekan-rekannya menemukan insiden perdarahan non-fatal dari pemberian LMWH dan UFH berturut-turut 0% dan 9,5%. Mereka juga melaporkan 2 pasien (9%) meninggal karena PE pasif pada kelompok UFH. Keseluruhan insiden (perdarahan atau trombosis) adalah 0% pada kelompok LMWH dan 34% pada kelompok UFH. Geerts dan rekan-rekannya menemukan rata-rata perdarahan dari LMWH dan UFH berturut-turut 2,9% dan 0,6%. Mereka tidak menemukan adanya perdarahan fatal. Pada penelitian Spinal Cord Injury Thromboprophylaxis Investigators, rata-rata perdarahan untuk pemberian LMWH dan UFH berturut-turut 2,6% dan 5,3%. Dengan menggunakan analisis regresi, mereka mengidentifikasi umur lebih dari 50 tahun, kadar hemoglobin rendah dan pemberian profilaksis antikoagulan jangka pendek merupakan faktor prediksi mengalami perdarahan mayor. Tabel 2 memperlihatkan perbedaan komplikasi perdarahan dari pemberian LMWH pada beberapa kelompok penelitian. (Datta I et al.,2010)Tabel 2 : Ringkasan komplikasi perdarahan dalam berbagai penelitian LMWH pada pasien trauma. (Datta et al, 2010)Protamine sulphate secara efektif melawan efek antikoagulan dari UFH, namun hanya memiliki efek parsial pada LMWH. Diperkirakan 60% (utamanya aktivitas antifactor Xa) dari efek LMWH dinetralisis oleh protamine sulphate. Pemberian infus protamine sulphate seharusnya tidak melebihi dosis maksimum yaitu 50 mg. Pemberian dosis ulangan protamine sulphate seharusnya dipertimbangkan pada saat perdarahan berlanjut dan tidak bergantung pada hasil antifactor Xa plasma atau kadar aPTT yang memanjang (Tsiara S.,et al, 2011). Fresh Frozen Plasma (FFP) dan/atau rekombinan Factor VIIa efektif melawan efek antikoagulan LMWH dan seharusnya diberikan pada pasien yang tidak stabil dengan perdarahan berat atau perdarahan pasca operasi (Tsiara S.,et al, 2011). Heparin Induced Thrombocytopenia (HIT) merupakan agregasi trombosit yang dimediasi imun sampai terjadi trombositopenia yang memiliki asosiasi kuat dengan terbentuknya trombosis arterial dan vena. HIT secara khas terjadi antara hari 4 dan 14 dari terapi heparin. Berpotensi menimbulkan kejadian fatal, jika tidak terdeteksi dini, meliputi tromboemboli, PE dan perdarahan. 2Diagnosis HIT terdiri dari klinis (trombositopenia) dan deteksi serum (antibodi HIT) (Datta I.,et al, 2010).

DAFTAR PUSTAKABertram KD. Farmakologi dasar dan klinik jilid II. Edisi : 8. Editor :bagian farmakologi fakultas kedokteran universitas airlangga. Surabaya: Salemba medika. 2002: 393-397Datta I, Ball CG, Rudmik L, Hameed SM, and Kortbeek JB. Complications related to deep venous thrombosis prophylaxis in trauma: a systematic review of the literature. Journal of Trauma Management. 2010;4(1):111.Fareed B. and Walenga JM. Why differentiate low molecular weight heparins for venous thromboembolism?. Thrombosis Journal. 2007;5(8):1 3.Fareed J, Adiguzel C. and Thethi I. Differentiation of Parenteral Anticoagulans In The Prevention and Treatment of Venous Throboemboli. Thrombosis Journal.2007;5(8):13Geerts WH. Prevention of Venous Thromboembolism in High-Risk Patients. American Society of Hematologi. 2006;462466Gaziano, T.A., Gaziano, J.M., 2008. Epidemiology of Cardiovascular Disease. In: Fauci, A.S., et al., eds. Harrisons Principles of Internal Medicine. 17th ed. USA: McGraw-Hill, 1375.Krivak TC, Zorn KK. Venous thromboembolism in obstetrics and gynecology. Obstet Gynecol 2007;109:761-77.Levitan N, Dowlati A, Remick SC, Tahsildar HI, Sivinski LD, Beyth R, et al. Rates of initial and recurrent thromboembolic disease among patients with malignancy versus those without malignancy. Risk analysis using Medicare claims data. Medicine (Baltimore) 1999 (Sep);78(5):28591.Lindholm, L.H., Mendhis, S., 2007. Prevention of cardiovascular in developingcountries. The Lancet, 370(9589), pp. 720-722.McMillian WD and Rogers FB. Deep vein thrombosis and pulmonary embolism. In: Rabinovici R, Frankel HL, and Kirton O (eds). Trauma, Critical Care and Surgical Emergencies. 1st. London: Informa Healthcare; 2010.p. 264 274Tsiara S, Pappas K, Boutsis D, dan Laffan M. New Oral Anticoagulants: Should They Replace Heparins and Warfarin. Hellenic J Cardiol. 2011;52 :52 67.