kelompok 3 KLINIK FARMASI.docx
description
Transcript of kelompok 3 KLINIK FARMASI.docx
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Farmasi klinik pada umumnya didefinisikan sebagai suatu keahlian
profesional dalam bidang kesehatan yang bertanggung jawab untuk
meningkatkan keamanan, kerasionalan dan ketetapan penggunaan terapi
obat oleh penderita melalui penerapan pengetahuan dan fungsi
terspesialisasi dari apoteker dalam pelayanan penderita . farmasi klinik
ini memerlukan pengumpulan data dan interpretasi data penderita serta
keterlibatan penderita dan interaksi langsung antarprofesional. Pelayanan
farmasi dalam pengertian tradisional , berkaitan dengan fungsi meracik
dan mendistribusikan sediaan obat untuk penggunaan langsung oleh
penderita .
Pelayanan Farmasi klinik adalah pelayanan Farmasi yang diberikan
sebagai bagian dari perawatan penderita melalui interaksi dengan profesi
kesehatan lainnya yang secara langsung terkait dengan perawatan
penderita. Ruang lingkupnya meliputi pengkajian order obat,
pengambilan sejarah pengobatan penderita, partisipasi dalam kunjungan
ke ruangan perawatan penderita, pembuatan Profil Pengobatan
Penderita (P3), Pemantauan Terapi Obat (PTO) pendidikan dan konseling
bagi penderita, proses penggunaan obat, penatalaksanaan interaksi obat,
seleksi terapi obat, pelayanan informasi obat bagi profesi kesehatan,
peranan dalam program jaminan mutu, Evaluasi Penggunaan Obat (EPO),
pemantauan reaksi obat yang merugikan (MESO), pelayanan total
parenteral nutrition.
Definisi ringkas pelayanan farmasi klinik adalah penetapan
pengetahuan obat untuk kepentingan penderita , dengan memperhatikan
1
kondisi penyakit penderita dan kebutuhannya untuk mengerti terapi
obatnya, dan pelayanan ini memerlukan hubungan professional dekat
antra apoteker , penderita dokter, perawat dan lain-lain yang terlibat
memberikan perawatan kesehatan . dengan kata lain , farmasi klinik
adalah pelayanan berorientasi penderita , berorientasi obat dan
berorientasi antardisiplin.
1.2. Tujuan
1.2.1. Untuk mengetahui tentang proses penggunaan obat.
1.2.2. Untuk mengetahui tentang penatalaksanaan interaksi obat.
1.2.3. Untuk mengetahui tentang seleksi terapi obat.
BAB II
PEMBAHASAN
2
1.2.1 Proses Penggunaan Obat
Proses penggunaan obat dapat diidentifikasi rasionalitasnya
dengan menggunakan Indikator 8 Tepat dan 1 Waspada. Indikator 8
Tepat dan 1 Waspada tersebut adalah Tepat diagnosis, Tepat
Pemilihan Obat, Tepat Indikasi, Tepat Pasien, Tepat Dosis, Tepat cara
dan lama pemberian, Tepat harga, Tepat Informasi dan Waspada
terhadap Efek Samping Obat.
Beberapa pustaka lain merumuskannya dalam bentuk 7 tepat
tetapi penjabarannya tetap sama. Melalui prinsip tersebut, tenaga
kesehatan dapat menganalisis secara sistematis proses penggunaan
obat yang sedang berlangsung. Penggunaan obat yang dapat dianalisis
adalah penggunaan obat melalui bantuan tenaga kesehatan maupun
swamedikasi oleh pasien.
Berikut ini adalah penjabaran dari Indikator Rasionalisasi
Obat yaitu 8 Tepat dan 1 Waspada:
Tepat Diagnosis
Penggunaan obat harus berdasarkan penegakan diagnosis
yang tepat. Ketepatan diagnosis menjadi langkah awal dalam
sebuah proses pengobatan karena ketepatan pemilihan obat dan
indikasi akan tergantung pada diagnosis penyakit pasien.
Contohnya misalnya pasien diare yang disebabkan Ameobiasis
maka akan diberikan Metronidazol. Jika dalam proses penegakkan
diagnosisnya tidak dikemukakan penyebabnya adalah
Amoebiasis, terapi tidak akan menggunakan metronidazol.
Pada pengobatan oleh tenaga kesehatan, diagnosis merupakan
wilayah kerja dokter. Sedangkan pada swamedikasi oleh pasien,
Apoteker mempunyai peran sebagai second opinion untuk pasien
yang telah memiliki self-diagnosis.
3
Tepat pemilihan obat
Berdasarkan diagnosis yang tepat maka harus dilakukan
pemilihan obat yang tepat. Pemilihan obat yang tepat dapat
ditimbang dari ketepatan kelas terapi dan jenis obat yang sesuai
dengan diagnosis. Selain itu, Obat juga harus terbukti manfaat dan
keamanannya. Obat juga harus merupakan jenis yang paling
mudah didapatkan. Jenis obat yang akan digunakan pasien juga
seharusnya jumlahnya seminimal mungkin
Tepat indikasi
Pasien diberikan obat dengan indikasi yang benar sesuai
diagnosa Dokter. Misalnya Antibiotik hanya diberikan kepada
pasien yang terbukti terkena penyakit akibat bakteri.
Tepat pasien
Obat yang akan digunakan oleh pasien mempertimbangkan
kondisi individu yang bersangkutan. Riwayat alergi, adanya
penyakit penyerta seperti kelainan ginjal atau kerusakan hati,
serta kondisi khusus misalnya hamil, laktasi, balita, dan lansia
harus dipertimbangkan dalam pemilihan obat. Misalnya
Pemberian obat golongan Aminoglikosida pada pasien dengan
gagal ginjal akan meningkatkan resiko nefrotoksik sehingga harus
dihindari.
Tepat dosis
Dosis obat yang digunakan harus sesuai range terapi obat
tersebut. Obat mempunyai karakteristik farmakodinamik maupun
farmakokinetik yang akan mempengaruhi kadar obat di dalam
darah dan efek terapi obat. Dosis juga harus disesuaikan dengan
4
kondisi pasien dari segi usia, bobot badan, maupun kelainan
tertentu.
Tepat cara dan lama pemberian
Cara pemberian yang tepat harus mempertimbangkan
mempertimbangkan keamanan dan kondisi pasien. Hal ini juga
akan berpengaruh pada bentuk sediaan dan saat pemberian obat.
Misalnya pasien anak yang tidak mampu menelan tablet
parasetamol dapat diganti dengan sirup.Lama pemberian meliputi
frekuensi dan lama pemberian yang harus sesuai karakteristik
obat dan penyakit. Frekuensi pemberian akan berkaitan dengan
kadar obat dalam darah yang menghasilkan efek terapi.
Contohnya penggunaan antibiotika Amoxicillin 500 mg dalam
penggunaannya diberikan tiga kali sehari selama 3-5 hari akan
membunuh bakteri patogen yang ada. Agar terapi berhasil dan
tidak terjadi resistensi maka frekuensi dan lama pemberian harus
tepat.
Tepat harga
Penggunaan obat tanpa indikasi yang jelas atau untuk
keadaan yang sama sekali tidak memerlukan terapi obat dan
merupakan pemborosan dan sangat membebani pasien, termasuk
peresepan obat yang mahal. Contoh Pemberian antibiotik pada
pasien ISPA non pneumonia dan diare non spesifik yang
sebenarnya tidak diperlukan hanya merupakan pemborosan serta
dapat menyebabkan efek samping yang tidak dikehendaki.
Tepat informasi
Kejelasan informasi tentang obat yang harus diminum atau
digunakan pasien akan sangat mempengaruhi ketaatan pasien
5
dan keberhasilan pengobatan. Misalnya pada peresepan
Rifampisin harus diberi informasi bahwa urin dapat berubah
menjadi berwarna merah sehingga pasien tidak akan berhenti
minum obat walaupun urinnya berwarna merah.
Waspada efek samping
Pemberian obat potensial menimbulkan efek samping, yaitu
efek tidak diinginkan yang timbul pada pemberian obat dengan
dosis terapi. Contohnya Penggunaan Teofilin menyebabkan
jantung berdebar.
Prinsip 8 Tepat dan 1 Waspada diharapkan dapat menjadi
indikator untuk menganalisis rasionalitas dalam penggunaan
Obat. Kampanye POR diharapkan dapat meningkatkan efektivitas
dan efisiensi belanja obat dan mempermudah akses masyarakat
untuk memperoleh obat dengan harga terjangkau. POR juga dapat
mencegah dampak penggunaan obat yang tidak tepat sehingga
menjaga keselamatan pasien. Pada akhirnya, POR akan
meningkatkan kepercayaan masyarakat (pasien) terhadap mutu
pelayanan kesehatan.
Selain itu proses penggunaan obat dapat dibagi menjadi 2
golongan, yaitu :
a) Umum
1) Cara minum obat sesuai anjuran yang tertera pada
etiket atau brosur.
2) Penggunaan obat tanpa petunjuk langsung dari dokter
hanya boleh untuk penggunaan obat bebas dan obat
6
bebas terbatas serta untuk masalah kesehatan yang
ringan.
3) Waktu minum obat , sesuai dengan waktu yang
dianjurkan :
Pagi, berarti obat harus diminum antara pukul
07.00 - 08.00 WIB
Siang, berarti obat harus diminum antara pk12.00
-13.00 WIB
Sore, berarti obat harus diminum antara
pukul.17.00-18.00 WIB
Malam, berarti obat harus diminum antara pukul
22.00-23.00 WIB
4) Aturan minum obat yang tercantum dalam etiket harus
di patuhi. Bila tertulis :
1 (satu) kali sehari, berarti obat tersebut diminum
waktu pagi hari atau malam hari, tergantung dari
khasiat obat tersebut.
2 (dua) kali sehari, berarti obat tersebut harus
diminum pagi dan malam hari
3 (tiga) kali sehari, berarti obat tersebut harus
diminum pada pagi, siang dan malam hari
4 (empat) kali sehari, berarti obat tersebut haus
diminum pada pagi, siang, sore dan malam hari.
5) Minum obat sampai habis, berarti obat harus diminum
sampai habis, biasanya obat antiotika.
6) Penggunaan obat bebas atau obat bebas terbatas tidak
dimaksudkan untuk penggunaan secara terus –
menerus.
7
7) Hentikan penggunaan obat apabila tidak memberikan
manfaat atau menimbulkan hal–hal yang tidak
diinginkan, segera hubungi tenaga kesehatan terdekat.
8) Sebaiknya tidak mencampur berbagai jenis obat dalam
satu wadah
9) Sebaiknya tidak melepas etiket dari wadah obat karena
pada etiket tersebut tercantum cara penggunaan obat
dan informasi lain yang penting.
10) Bacalah cara penggunaan obat sebelum minum obat,
demikian juga periksalah tanggal kadaluarsa.
11) Hindarkan menggunakan obat orang lain walaupun
gejala penyakit sama.
12) Tanyakan kepada apoteker di apotek atau petugas
kesehatan di poskesdes untuk mendapatkan informasi
penggunaan obat yang lebih lengkap.
b) Khusus
Obat Oral (Obat Dalam)
Pemberian obat oral (melalui mulut) adalah cara yang
paling praktis, mudah dan aman. Yang terbaik adalah
minum obat dengan air matang.
Obat oral terdapat dalam beberapa bentuk sediaan
yaitu tablet, kapsul, puyer dan cairan.
Apabila dalam etiket tertulis :
8
Maka petunjuk Penggunaan Obat Oral Untuk Bayi / Anak Balita
- Sediaan cairan untuk bayi dan balita harus jelas dosisnya.
Gunakan sendok takar yang tersedia didalam kemasannya.
- Berikan minuman kesukaan anak setelah minum obat yang
terasa pahit/ kurang enak
Obat Luar
Sediaan Kulit
Beberapa bentuk sediaan obat untuk penggunaan
kulit, yaitu bentuk bubuk halus (bedak), cairan (lotion),
setengah padat (krim, salep). Untuk mencegah
kontaminasi (pencemaran), sesudah dipakai wadah
harus tetap tertutup rapat.
Cara penggunaan bubuk halus (bedak ) :
• Cuci tangan
• Oleskan/taburkan obat tipis–tipis pada daerah yang
terinfeksi.
• Cuci tangan kembali untuk membersihkan sisa obat.
• Sediaan ini tidak boleh diberikan pada luka terbuka
dan gunakan sampai sembuh, atau tidak ada gejala
lagi.
9
Sediaan Obat Mata
Terdapat 2 macam sediaan untuk mata, yaitu bentuk
cairan (obat tetes mata) dan bentuk setengah padat
(salep mata). Dua sediaan tersebut merupakan produk
yang pembuatannya dilakukan secara steril (bebas
kuman) sehingga dalam penggunaannya harus
diperhatikan agar tetap bebas kuman.
Apabila mengalami peradangan pada mata (glaukoma
atau inflamasi), petunjuk penggunaan harus diikuti
dengan benar.
Untuk mencegah kontaminasi (pencemaran), hindari
ujung wadah obat tetes mata terkena permukaan benda
lain (termasuk mata) dan wadah harus tetap tertutup
rapat sesudah digunakan..
Cara penggunaan :
Cuci tangan.
Tengadahkan kepala pasien; dengan jari telunjuk
tarik kelopak mata bagian bawah.
Tekan botol tetes atau tube salep hingga cairan atau
salep masuk dalam kantung mata bagian bawah .
Tutup mata pasien perlahan–lahan selama 1 sampai
2 menit.
Untuk penggunaan tetes mata tekan ujung mata
dekat hidung selama 1-2 menit; untuk penggunaan
salep mata, gerakkan mata ke kiri-kanan, ke atas
dan ke bawah
Setelah obat tetes atau salep mata digunakan, usap
ujung wadah dengan tisu bersih, tidak disarankan
untuk mencuci dengan air hangat.
Tutup rapat wadah obat tetes mata atau salep mata.
10
Cuci tangan untuk menghilangkan sisa obat pada
tangan.
PERHATIAN
Sediaan Obat Hidung
Terdapat 2 macam sediaan untuk hidung, yaitu obat
tetes hidung dan obat semprot hidung.
Cara penggunaan obat tetes hidung :
Cuci tangan.
Bersihkan hidung
Tengadahkan kepala
Teteskan obat dilubang hidung
Tahan posisi kepala selama beberapa menit
agar obat masuk ke lubang hidung.
Bilas ujung obat tetes hidung dengan air
panas dan keringkan dengan kertas tisu
kering.
Cuci tangan untuk menghilangkan sisa obat
pada tangan.
Cara penggunaan obat semprot hidung :
Cuci tangan.
Bersihkan hidung dan tegakkan kepala.
Semprotkan obat ke dalam lubang hidung
sambil tarik napas dengan cepat.
11
Untuk posisi duduk : tarik kepala dan
tempatkan diantara dua paha
Cuci botol alat semprot dengan air hangat
(jangan sampai air masuk ke dalam botol) dan
keringkan dengan tissue bersih setelah
digunakan.
Cuci tangan untuk menghilangkan sisa obat
pada tangan.
Sediaan Tetes Telinga
Hindarkan ujung kemasan obat tetes telinga dan alat
penetes telinga atau pipet terkena permukaan benda
lain (termasuk telinga), untuk mencegah kontaminasi
Cara penggunaan obat tetes telinga :
Cuci tangan
Bersihkan bagian luar telinga dengan ”cotton
bud”
Kocok sediaan terlebih dahulu bila sediaan
berupa suspensi.
Miringkan kepala atau berbaring dalam posisi
miring dengan telinga yang akan ditetesi obat,
menghadap ke atas.
Tarik telinga keatas dan ke belakang (untuk
orang dewasa) atau tarik telinga kebawah dan
ke belakang (untuk anak-anak)
Teteskan obat dan biarkan selama 5 menit.
Keringkan dengan kertas tisu setelah digunakan
12
Tutup wadah dengan baik.
Jangan bilas ujung wadah dan alat penetes obat.
Cuci tangan untuk menghilangkan sisa obat
pada tangan.
Sediaan Supositoria
Cara penggunaan supositoria :
Cuci tangan
Buka bungkus aluminium foil dan basahi
supositoria dengan sedikit air.
Pasien dibaringkan dalam posisi miring
Dorong bagian ujung supositoria ke dalam
anus dengan ujung jari.
Cuci tangan untuk menghilangkan sisa obat
pada tangan .
Jika supositoria terlalu lembek, sehingga sulit
untuk dimasukkan kedalam anus, maka
sebelum digunakan sediaan supositoria
ditempatkan di dalam lemari pendingin
selama 30 menit kemudian tempatkan pada
air mengalir sebelum membuka bungkus
kemasan aluminium foil.
Sediaan Krim/Salep Rektal
Cara penggunaan krim/salep rektal :
a. Tanpa aplikator
Bersihkan dan keringkan daerah rektal,
Masukkan salep atau krim secara perlahan ke
dalam rektal
13
Cuci tangan untuk menghilangkan sisa obat
pada tangan
b. Dengan menggunakan aplikator
Hubungkan aplikator dengan wadah krim/salep
yang sudah dibuka.
Masukkan kedalam rektum
Tekan sediaan sehingga krim/salep keluar.
Buka aplikator, cuci bersih dengan air hangat
dan sabun.
Cuci tangan untuk menghilangkan sisa obat
pada tangan.
Sediaan Ovula /obat vagina
Cara penggunaan sediaan ovula denganmenggunakan
aplikator :
Cuci tangan dan aplikator dengan sabun dan air
hangat, sebelum digunakan
Baringkan pasien dengan kedua kaki
direnggangkan
Ambil obat vagina dengan menggunakan
aplikator
Masukkan obat kedalam vagina sejauh mungkin
tanpa dipaksakan
Biarkan selama beberapa waktu
Cuci bersih aplikator dan tangan dengan sabun
dan air hangat setelah digunakan.
14
1.2.2 Penatalaksanaan Interaksi Obat
Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah
atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan.
Kemungkinan terjadinya peristiwa interksi harus selalu
dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih
diberikan secara bersamaan atau hampir bersamaan. Tidak semua
interaksi obat membawa pengaruh yang merugikan, beberapa
interaksi justru diambil manfaatnya dalam praktek pengobatan,
misalnya saja peristiwa interaksi antara probenesid dengan penisilin,
di mana probenesid akan menghambat sekresi penisilin di tubulus
ginjal, sehingga akan memperlambat ekskresi penisilin dan
mempertahankan penisilin lebih lama dalam tubuh.
Interaksi dapat membawa dampak yang merugikan kalau
terjadinya interaksi tersebut sampai tidak dikenali sehingga tidak
dapat dilakukan upaya-upaya optimalisasi. Secara ringkas dampak
negatif dari interaksi ini kemungkinan akan timbul sebagai:
- Terjadinya efek samping,
- Tidak tercapainya efek terapetik yang diinginkan.
Langkah pertama dalam penatalaksanaan interkasi obat adalah
waspada terhadap pasien yang memperoleh obat-obat yang mungkin
dapat berinteraksi dengan obat lain. Kemudian perlu dinilai apakah
interkasi yang terjadi bermakna klinis dan ditemukan kelompok-
kelompook pasien yang berisiko mengalami interaksi obat. Langkah
berikutnya adalah memberitahu dokter dan mendiskusikan berbagai
15
langka yang dapat diambil untuk meminimalkan berbagai efek
samping obat yang mungkin terjadi. Beberapa penatalaksanaan
interaksi obat antara lain :
1. Hindari kombinasi obat yang berinteraksi
2. Penyesuaian dosis
3. Memantau pasien
Pemantauan pasien dapat meliputi hal-hal berikut ini:
1. Pemantauan klinis untuk menentukan berbagai efek yang
tidak diinginkan.
2. Pengukuran kadar obat dalam darah.
3. Pengukuran indikator interaksi.
4. Melanjutkan pengobatan seperti sebelumnya.
Angka kejadian (incidence) dari interaksi obat tidak terlalu
jarang dalam klinik. Menurut laporan diperkirakan +7% dari kejadian
efek samping obat disebabkan karena peristiwa interaksi obat, dan
kurang lebih 1/3 dari pasienpasien yang meninggal karena efek
samping obat (+ 4% dari kematian di rumah sakit ) dikarenakan oleh
interaksi obat. Peristiwa interaksi ini menjadi pokok yang penting
untuk selalu diperhatikan dengan melihat kebiasaan peresapan
polifarmasi yang ada dalam praktek. Sebagai contoh, setiap pasien
yang datang ke Puskesmas rata-rata akan medapat obat + 4 jenis pada
saat yang bersamaan. Walaupun secara teoritik atau eksperimental
kemungkinan terjadinya interaksi sangat beraneka-ragam tetapi tidak
semua interaksi tersebut bermakna atau penting dalam klinik.
Perubahan ini hanya menyangkut interaksi yang penting secara klinik.
Kepentingan klinik ini secara sekali lagidilihat dari dampak yang
terjadi apakah mempengaruhi terjadinya efek toksis ataukah
menyebabkan kegagalan tercapainya efek terapik.
16
Obat yang terlibat dalam peristiwa
Interaksi obat paling tidak melibatkan 2 jenis obat :
Obat obyek, yakni obat yang aksinya atau efeknya dipengatuhi
atau diubah oleh obat lain. Obat presipitan (precipitan drug), yakni
obat yang mempengaruhi atau mengubah aksi atau atau efek obat lain.
1) Obat obyek
Obat-obat yang kemungkinan besar menjadi obyek interaksi
atau efeknya dipengaruhi oleh obat lain, umumnya adalah obat-
obat yang memenuhi cirri :
a. Obat-obat di mana perubahan sedikit saja terhadap dosis
(kadar obat) sudah akan menyebabkan perubahab besar
pada efek klinik yang timbul. Secara farmakologi obat-obat
seperti ini sering dikatakan sebagai obat-obat dengan
kurva dosis respons yang tajam (curam; steep dose
response curve). Perubahan, misalnya dalam hal ini
pengurangan kadar sedikit saja sudah dapat mengurangi
manfaat klinik (clinical efficacy) dari obat.
b. Obat-obat dengan rasaio toksis terapik yang rendah (low
toxic:therapeutic ratio), artinya antara dosis toksik dan
dosis terapetik tersebut perbandinganya (atau
perbedaanya) tidak besar. Kenaikan sedikit saja dosis
(kadar)obat sudah menyebabkan terjadinya efek toksis.
Kedua ciri obat obyek di atas, yakni apakah obat yang
manfaat kliniknya mudah dikurangi atau efek toksiknya
mudah diperbesar oleh obat presipitan, akan saling
berkaitan dan tidak berdiri sendiri-sendiri. Obat-obat
seperti ini juga sering dikenal dengan obat-obat dengan
lingkupterapetik yang sempit (narrow therapeutic range).
17
Obat-obat yang memenuhi ciri-ciri di atas dan sering menjadi obyek
interaksi dalam klinik meliputi
antikoagulansia: warfarin,
antikonvulsansia (antikejang): antiepilepsi,
hipoglikemika: antidiabetika oral seperti tolbutamid,
klorpropamid dll,
anti-aritmia: lidokain,prokainamid dll,
glikosida jantung: digoksin,
antihipertensi,
kontrasepsi oral steroid,
antibiotika aminoglikosida,
obat-obat sitotoksik,
obat-obat susunan saraf pusat, dan lain-lain.
2) Obat presipitan
Obat-obat presipitan adalah obat yang dapat mengubah
aksi/efek obat lain. Untuk dapat mempengaruhi aksi/efek obat
lain, maka obat presipitan umumnya adalah obat-obat dengan
ciri sebagai berikut:
a. Obat-obat dengan ikatan protein yang kuat, oleh karena dengan
demikian akan menggusur ikatan-ikatan yang protein obat lain
yang lebih lemah. Obat-obat yang tergusur ini (displaced)
kemudian kadar bebasnya dalam darah akan meningkat dengan
segala konsekuensinya, terutama meningkatnya efek toksik. Obat-
obat yang masuk di sini misalnya aspirin, fenilbutazon, sulfa dan
lain lain.
b. Obat-obat dengan kemampuan menghambat (inhibitor) atau
merangsang (inducer)enzim-enzim yang memetabolisir obat
dalam hati. Obat-obat yang punya sifat sebagai perangsang enzim
18
(enzyme inducer) misalnya rifampisin, karbamasepin, fenitoin,
fenobarbital dan lain-lain akan mempercepat eliminasi
(metabolisme) obat-obat yang lain sehingga kadar dalam darah
lebih cepat hilang. Sedangkan obat-obat yang dapat menghambat
metabolisme (enzyme inhibator) termasuk kloramfenikol,
fenilbutason, alopurinol, simetidin dan lain-lain,akan
meningkatkan kadar obat obyek sehingga terjadi efek toksik.
c. Obat-obat yang dapat mempengaruhi /merubah fungsi ginjal
sehingga eliminasi obat-obat lain dapat dimodifikasi. Misalnya
probenesid, obat-obat golongan diuretika dan lain-lain. Ciri-ciri
obat presipitantersebut adalah kalau kita melihat dari segi
interaksi farmakokinetika, yakni terutama pada proses distribusi
(ikatan protein), metabolisme dan ekskresi renal. Masih banyak
obat-obat lain diluar ketiga ciri ini tadi yang dapat bertindask
sebagai obat presipitan dengan mekanisme yang berbeda-beda.
Pembagian dan mekanisme interaksi
Interaksi obat berdasarkan mekanismenya dapat dibagi menjadi 3
golongan besar,
1) Interaksi farmasetik
Interaksi ini merupakan interaksi fisiko-kimiawi di mana
terjadi reaksi fisiko-kimiawi antara obat-obat sehingga mengubah
(menghilangkan) aktifitas farmakologik obat. Yang sering terjadi
misalnya reaksi antara obat-obat yang dicampur dalam cairan
secara bersamaan, misalya dalam infus atau suntikan . Campuran
penisilin (atau antibiotika beta-laktam yang lain) dengan
aminoglikosida dalam satu larutan tidak dianjurkan. Walaupun
obat obat ini pemakaian kliniknya sering bersamaan, jangan
dicampur dalam satu suntikan.
19
Beberapa tindakan hati-hati (precaution) untuk menghindari
interaksi farmasetik ini mencakup:
Jangan memberikan suntikan campuran obat kecuali kalau
yakin betul bahwa tidak ada interaksi antar masing-masing
obat.
Dianjurkan sedapat mungkin juga menghindari pemberian
obat bersama- sama lewat infus.
Selalu perhatikan petunjuk pemberian obat dari pembuatnya
(manufacturer leaflet), untuk melihat peringatan peringatan
pada pencampuran dan cara pemberian obat (terutama untuk
obat-obat parenteral misalnya injeksiinfus dan lain-lain)
Sebelum memakai larutan untuk pemberian infus,
intravenosa atau yang lain, perhatikan bahwa tidak ada
perubahan warna, kekeruhan, presipitasi dan lain-lain dari
larutan.
Siapkan larutan hanya kalau diperlukan saja. Jangan
menimbun terlalu lama larutan yang sudah dicampur, kecuali
untuk obat-obat yang memang sudah tersedia dalam bentuk
larutan seperti metronidazol , lidakoin dan lain-lain.
Botol ifus harus selalu diberi label tentang jenis larutannya,
obat-obat yang sudah dimasukkan, termasuk dosis dan dan
waktunya.
Jika harus memberi per infus dua macam obat, berikan lewat
2 jalur infus, kecuali kalau yakin tidak ada interaksi. Jangan
ragu-ragu konsul apoteker rumah sakit.
2) Interaksi farmakokinetik
Interkasi farmakokinetik terjadi bila obat presipitan
mempengaruhi atau mengubah proses absorpsi, distribusi (ikatan
protein), metabolisme, dan ekskresi dari obat-obat obyek.
20
Sehingga mekanisme interaksi inipun dapat dibedakan sesuai
dengan proses-proses biologik (kinetik) tersebut.,Interaksi dalam
proses absorpsi dapat terjadidengan berbagai cara misalnya :
Perubahan (penurunan) motilitas gastrointestinal oleh
karena obat-obat seperti morfin atau senyawa-senyawa
antikolinergik dapat mengubah absorpsi obat-obat lain.
Kelasi yakni pengikatan molekul obat-obat tertentu oleh
senyawa logam sehingga absorpsi akan dikurangi, oleh
karena terbentuk senyawa kompleks yang tidak
diabsorpsi. Misalnya kelasi antara tetrasiklin dengan
senyawasenyawa logam berat akan menurunkan absorpsi
tetrasiklin.
Makanan juga dapat mengubah absorpsi obat-obat
tertentu, misalnya: umumnya antibiotika akan menurun
absorpsinya bila diberikan bersama dengan makanan.
3) Interaksi distribusi
Interaksi dalam proses distribusi terjadi terutama bila obat-
obat dengan ikatan protein yang lebih kuat menggusur obat-obat
lain dengan ikatan protein yang lebih lemah dari tempat
ikatannya pada protein plasma. Akibatnya maka kadar obat bebas
yang tergusur ini akan lebih tinggi pada darah dengan segala
konsekuensinya, terutama terjadinya peningkatan efek toksik.
Sebagai contoh, misalnya meningkatnya efek toksik dari
antikoagulan warfarin atau obatobat hipoglikemik (tolbutamid,
kolrpropamid) karena pemberian bersamaan dengan
fenilbutason, sulfa atau aspirin. Hampir sama dengan interaksi ini
adalah dampak pemakaian obat-obat dengan ikatan protein yang
tinggi pada keadaan malnutrisi (hipoproteinemia). Karena kadar
protein rendah, maka obat-obat dengan ikatan protein yang tinggi
21
akan lebih banyak dalam keadaan bebas karena kekurangan
protein untuk mengikat obat sehingga dengan dosis yang sama
akan memberikan kadar obat bebas yang lebih tinggi dengan
akibat meningkatnya efek toksik.
Disamping itu interaksi dalam proses distribusi dapat terjadi
bila terjadi perubahan kemampuan transport atau uptake seluler
suatu obat oleh karena obat-obat lain. Misalnya obat-obat
antidepresan trisiklik atau fenotiasin akan menghambat transport
aktif ke akhiran saraf simpatis dari obat-obat antihipertensif
(guanetidin, debrisokuin), sehingga mengurangi/menghilangkan
efek antihipertensi.
Interaksi dalam proses metabolisme
Interaksi dalam proses metabolisme dapat terjadi
dengan dua kemungkinan, Pemacuan enzim (enzyme
induction) Suatu obat (presipitan) dapat memacu
metabolisme obat lain (obat obyek) sehingga mempercepat
eliminasi obat tersebut. Kenaikan kecepatan eliminasi
(pembuangan atau inaktivasi) akan diikuti dengan
menurunnya kadar obat dalam darah dengan segala
konsekuensinya. Obat-obat yang dapat memacu enzim
metabolism obat disebut sebagai enzyme inducer. Dikenal
beberapa obat yang mempunyai sifat pemacu enzim ini yakni:
- Rifampisin,
- Antiepileptika: fenitoin, karbamasepin, fenobarbital.
Dari berbagai reaksi metabolisme obat, maka reaksi oksidasi fase I
yang dikatalisir oleh enzim sitokrom P-450 dalam mikrosom
hepar yang paling banyak dan paling mudah dipicu.
Penghambatan enzim (enzyme inhibitor). Metabolisme suatu obat
22
juga dapat dihambat oleh obat lain. Obat-obat yang punya
kemampuan untuk menghambat enzim yang memetabolisir obat
lain dikenal sebagai penghambat enzim (enzyme inhibitor). Akibat
dari penghambatan metabolisme obat ini adalah meningkatnya
kadar obat dalam darah dengans egala konsekuensinya, oleh
karena terhambatnya proses eliminasi obat. Obat-obat yang
dikenal dapat menghambat aktifitas enzim metabolisme obat
adalah:
- Kloramfenikol
- Isoniazid
- Simetidin
- Propanolol
- Eritromisin
- Fenilbutason
- Alopurinol, dll.
Tergantung dari jenis obat obyek yang mengalami interaksi, yakni
terutama obat dengan lingkup terapi yang sempit, maka interaksi
metabolisme dapat membawa dampak merugikan. Umumnya
secara ringkas dapat dikatakan bahwa,
Pemacuan enzim akan berakibat kegagalan terapi, karena
kadar optimal tidak tercapai.
Penghambatan enzim akan berakibat mengingkatnya kadar
obat melampaui ambang toksik.
Contoh-contoh interaksi dalam metabolisme baik berupa
pemacuan enzim atau penghambatan enzim.
Interaksi dalam proses ekskresi
Interaksi obat atau metabolitnya melalui organ ekskresi
terutama ginjal dapat dipengaruhi oleh obat-obat lain.
Yang paling dikenal adalah interaksi antara probenesid
23
dengan penisilin melalui kompetisi sekresi tubuli
sehinggan proses sekresi penisilin terhambat, maka kadaar
penisilin dapat dipertahankan dalam tubuh. Interaksi
probenisid dan penisilin adalah contoh interaksi yang
menguntungkan secara terapetik. Klinidin juga
menghambat sekresi aktif digoksin dengan akibat
peningkatan kadar digoksin dalam darah, kira-kira sampai
2 kali, sehingga terjadi peningkatan kejadian efek toksik
digoksin. Salisilat menghambat sekresi aktif metotreksat.
Obat-obat diuretika menyebabkan retensi lithium karena
hambatan pada proses ekskresinya. Furosemid juga dapat
meningkatkan efek toksik ginjal dari
aminoglikosida,kemungkinan oleh karena perubahan
ekskresi aminoglkosida.
Interaksi farmakodinamik
Interaksi farmakodinamik berbeda dengan interaksi
farmakokinetik. Pada interaksi farmakokinetik terjadi
perubahan kadar obat obyek oleh karena perubahan pada
proses absorpsi, distribusi, metabolisme dan ekskresi obat.
Pada interaksi farmakodinamik tidak terjadi perubahan
kadar obat obyek dalam darah. Tetapi yang terjadi adalah
perubahan efek obat obyek yang disebabkan oleh obat
presipitan karena pengaruhnya pada tempat kerja obat.
Interaksi farmakodinamik dapat dibedakan menjadi :
a) Interaksi langsung (direct interaction)
Interaksi langsung terjadi apabila dua obat atau lebih
bekerja pada tempat atau reseptor yang sama, atau
bekerja pada tempat yang berbeda tetapi dengan
hasil efek akhir yang sama atau hampir sama.
24
Interaksi dua obat pada tempat yang sama dapat
tampil sebagai antagonisme atau sinergisme.
Interaksi langsung ini dapat terbagi lebih lanjut
sebagai berikut:
- Antagonisme pada tempat yang sama
Antagonisme adalah keadaan dimana efek dua
obat pada tempat yang sama saling berlawanan
atau menetralkan. Banyak contoh interaksi
seperti ini, misalnya: Pembalikan (penetralan)
efek opiat oleh obat nalokson, pengobatan aritma
yang disebabkan intoksikasi antidepresan
triklisik dengan obat fisotigmin, pengobatan
keracunan pestisida organofosfat dengan sulfas
atropin untuk menetralisir efek-efek kolinergik
yang terjadi.
- Sinergisme pada tempat yang sama
Sinergisme adalah interkasi di mana efek dua
obat yang bekerja pada tempat yang sama saling
memperkuat. Walaupun banyak contoh interaksi
yang merugikan dengan mekanisme ini tetapi
banyak pula interaksi yang menguntungkan
secara terapetik. Contoh-contoh interaksi ini,
misalnya:
Efek obat pelemas otot
depolarisasi(depolarizing muscle relaxants)
akan diperkuat/ diperberat oleh antibiotika
aminoglikosida, kolistin dan polimiksin
karena keduanya bekerja pada tempat yang
sama yakni pada motor end plate otot seran
lintang.
25
Kombinasi obat beta-blocker dan Ca ++-
channel blocker seperti verapamil dapat
menyebabkanaritmia/asistole. Keduanya
bekerja pada jaringan konduksi otot jantung
yang sama. Sinergisme pada tempat yang
berbeda dari efek yang sama atau hampir
sama. Obat-obat dengan efek akhir yang
sama atau hampir sama, walaupun tempat
kerja ata reseptornya berlainan, kalau
diberikan bersamaan akan memberikan efek
yang saling memperkuat. Misalnya,
Alkohol dan obat-obat yang berpengaruh
terhadap susunan saraf pusat,
Antara berbagai obat yang punya efek yang
sama terhadap susunan saraf pusat, misalnya
depresi susunan saraf pusat.
Kombinasi antibiotika, misalnya penisilin dan
aminoglikosida
Kombinasi beberapa obat antihipertensi
b) Interaksi tidak langsung
Interkasi tidak langsung terjadi bila obat
presipitan punya efek yang berbeda dengan obat obyek,
tetapi efek obat presipitan tersebut akhirnya dapat
mengubah efek obat obyek. Beberapa contoh antara
lain :
Interaksi antara obat-obat yang mengganggu agregasi
trombosit (salisilat, fenilbutason, ibuprofen,
dipiridamol, asam mefenamat, dll.) dengan obat-obat
antikoagolan seperti warfarin sehingga kemungkinan
26
perdarahan lebih besar oleh karena gangguan proses
hemostasis.
Obat-obat yang menyebabkan perlukaan
gastrointestinal seperti aspirin, fenilbutason,
indometasin, dan obatobat antiinflamasi non-steroid
yang lain, bila diberikan pada pasien-pasien yang
sedang mendapatkan antikoagulansia seperti warfarin,
maka dapat terjadi perdarahan yang masif dari
perlukaan tadi.
Obat-obat yang menurunkan kadar kalium akan
menyebabkan peningkatan efek toksik glikosida
jantung digoksin. Efek toksik glikosida jantung ini lebih
besar pada keadaan hipokalemia. Tetapi sebaliknya
hipokalemia akan mengurangi efek klinik obat-obat
antiaritmia seperti lidokain, prokainamid, kinidin, dan
fenitoin. Obat presipitan yang mengurangi kadar
kalium terutama adalah diuretika.
Efek diuresis obat-obat diuretika tertentu seperti
furosemid akan berkurang bila diberikan bersama
dengan obat - obat antiinflamasi non-steroid seperti
aspirin, fenilbutason, ibuprofen, indometasin, dll.
Kemungkinan oleh karena penghambatan simtesis
prostaglandin oleh obat-obat presipitan tersebut, yang
sebenarnya diperlukan untuk menimbulkan efek
diuretika furosemid
Dampak klinik interaksi obat
Secara teoritis banyak sekali interaksi yang mungkin terjadi
dengan mekanisme yang telah diuraikan di muka. Namun demikian,
27
tidak semuanya memberikan dampak klinik yang penting. Dampak
klinik akan sangat tergantung pada ciri-ciri obat obyek, yakni:
Profil hubungan dosis (kadar) dengan respons dari obat obyek.
Untuk obat-obat dengan kurva kadar vs. respons yang curam
(steep dose-response curve), di mana perubahan sedikit kadar
atau jumlah obat akan berpengaruh besar terhadap efek obat,
maka setiap perubahan kadar karena interaksi obat akan
memberikan perubahan efek yang sangat berarti.
Obat-obat dengan resiko toksik: terapetik yang rendah (low
toxic:therapeutic ratio), atau sering dikenal juga sebagai obat
dengan lingkup terapi sempit. Di samping kedua hal di atas,
makna klinik interaksi obat juga akan sangat tergantung
kepada jenis dari efek yang terjadi, terutama untuk interaksi
farmakodinamik, yakni apabila efek obat obyek yang
mengalami perubahan tersebut merupakan efek farmakologik
utama/penting terhadap timbulnya efek terapetik maupun
efek toksik dari obat. Misalnya perubahan sedikit saja dari efek
antikoagulasi, bisa terjadi perdarahan atau kegagalan
antikoagulasi. Secara ringkas, makna klinik yang bisa terjadi
ada 2 macam, yakni:
Meningkatnya efek toksik baik disertai dengan
meningkatnya kadar obat obyek atau tidak.
Kegagalan efek terapetik.
Perlu dicatat bahwa mekanisme interaksi farmakokinetik dan
farmakodinamik tidak selamanya berdiri sendiri-sendiri. Adakalanya
interaksi tersebut terjadi karena kedua mekanisme tersebut, sehingga untuk
ini yang penting adalah mengevaluasi/mengobservasi efek yang terjadi.
Sebagai contoh interaksi antara aspirin dengan obat-obat hipoglikemik atau
28
dengan antikoagulan warfarin. Disamping interaksi kinetik pada ikatan
protein, juga ada interaksi dinamik yang memperberat efek yang terjadi.
Pasien yang rentan terhadap interaksi obat
Efek dan keparahan interkasi obat dapat sangat bervariasi antara
pasien yang satu dengan yang lain. Berbagai faktor yang dapat
mempengaruhi kerentanan pasien terhadap interaksi obat.
a) Orang lanjut usia
b) Orang yang minum lebih dari satu macam obat
c) Pasien yang mempunyai gangguan fungsi ginjal dan hati
d) Pasien dengan penyakit akut
e) Pasien dengan penyakit yang tidak setabil
f) Pasien yang memiliki karakteristik genetik tertentu
Interaksi obat yang bermakna klinis
Tidak semua interaksi obat bermakna secara klinis. Beberapa
interaksi obat secara teoritis mungkin terjadi, sedangkan interaksi obat
yang lain harus dihindari kombinasinya atau memerlukan pemantauan
yang cermat. Banyak interaksi obat yang kemungkinan besar
berbahaya, terjadi hanya pada sejumlah kecil pasien. Bagaimanapun,
ada bermacam-macam kelompok obat yang lebih mungkin terlibat
dalan interaksi obat yang bermakna secara klinis. Contoh obat-obat
yang interaksinya bermakna klinik.
a. Obat yang rentang terapinya sempit (antiepilepsi, digoksin,
siklosporin, teofilinam warfarin.
b. Obat yang memerlukan pengaturan dosis teliti (obat antidiabet
oral, antihipertensi)
c. Penginduksi Enzim (asap rokok, fenitoin, griseofulvin,
karbamazepin, rifampisina)
d. Penghambat enzim (amiodaron, diltiaze, eritromisina, fluoksetin,
ketokonazol)
29
1.2.3 Seleksi Terapi Obat
Obat merupakan sarana intervensi penting dlm pelayanan medis
maka dilakukannya penyeleksian tentang terapi obat.
Pembelanjaan obat di RS merupakan komponen pembiayaan yg paling
besar.
Umumnya penerimaan dana dari sektor obat di rumah sakit swasta
merupakan
penunjang utama bagi pemasukan dana rumah sakit.
Banyak dijumpai inefisiensi pengelolaan dan penggunaan obat di RS.
Masih adanya mis-persepsi tentang penggunaan obat di RS.
Pada dasarnya seleksi terapi obat diperlukan untuk meningkatkan
efisiensi pelayanan terhadap pasien,dalam hal ini dengan memperhatikan
obat yang sesuai untuk efek terapi yang diinginkan .namun dalam hal ini
perlu dilakukan seleksi terhadap obat apakah sesuai dengan efek terapi
yang diinginkan atau tidak
Tujuan pengelolaan obat di rumah sakit
- Agar obat tersedia di saat diperluka
- Kuantitas mencukupi
- Mutu terjamin
- Mendukung “Good Quality Care” di rumah sakit.
- Menambah pendapatan Rumah Sakit (Swasta). Diperlukan efisiensi
pengelolaan obat rumah sakit
1. Prinsip Pengelolaan Obat di Rumah Sakit
a. Masing-masing tahap (seleksi dan perencanaan, pengadaan,
distribusi, penggunaan) dapat berjalan sinkron dan saling
mengisi
30
b. Masukan informasi masing-masing tahap hrs dpt dipercaya.
c. Sumber informasi harus tersedia.
Perencanaan
Tahap :
1. Seleksi
2. Analisis metode perencanaan
3. Analisis data berkala
4. Menentukan priortas
5. Menghitung jumlah kebutuhan yang paling ekonomis
6. Menghitung waktu pengadaan yang paling ekonomis.
a. Proses kegiatan sejak meninjau masalah kesehatan di rumah
sakit, identifikasi pemilihan terapi, bentuk sediaan, kriteria
pemilihan, standarisasi/penyusunan formularium
b. Penentuan seleksi obat merupakan tugas dari PFT
c. Apoteker di PFT harus ambil peran aktif
2. Pentingnya Seleksi Obat
- Banyaknya jenis obat dapat mempersulit seleksi
- 70% obat adalah produk me-too, duplikatif atau non essensial
drug.
- Obat yg toksisitasnya sangat besar dibanding khasiatnya,
harus merupakan pilihan sekunder
- Informasi tentang khasiat dan toksisitas obat baru relatif
kurang memadai.
3. Pedoman Seleksi Obat
- Obat yang dipilih harus bermutu
- Jenis obat sesedikit mungkin. Hindari duplikasi dan kesamaan
jenis dan bentuk sediaan obat.
31
- Obat baru hanya dipakai bila lebih besar keuntungannya
dibanding obat yang sudah ada.
- Kombinasi obat dipakai bila lebih menguntungkan dibanding
obat tunggal.
- Pilih obat yang merupakan drug of choice penyakit yang ada.
- Kontraindikasi, efek samping harus diamati agar diperoleh
gambaran rasio risiko dan keuntungan produk
- Upayakan jenis obat termasuk sediaan obat generik
- Penggunaan obat tradisional sangat dimungkinkan apabila
ada permintaan khusus.
4. Prinsip Umum Seleksi Obat
- Pilih jenis obat seminimum mungkin R Tergantung dari
jenis penyakit R Sesuai data epidemiologi
- Utamakan obat generik daripada obat paten
- Pilih satu sediaan obat untuk setiap jenis obat
- Gunakan daftar obat sesuai dg tingkat penggunaan
(level of use)
- Gunakan standar normal pengobatan yang umum.
32
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Proses penggunaan obat pada umumnya didasarkan terhadap
pemahaman pasien tentang cara penggunaan obat,hal ini sangat
berpengaruh terhadap efek yang nantinya akan diberikan oleh obat
tersebut.Penatalaksanaan interaksi dilakukan dengan memperhatikan
keadaan pasien,obat yang akan diberikan,serta efek apa yang akan
dihasilkan apabila digunakan lebih dari satu jenis obat.
Seleksi terapi obat dilakukan agar terhadap pasien dengan
diagnosa tertentu dapat diberikan obat yang tepat guna yang memiliki
efek terapi yang baik,sehingga tidak merugikan pasien.
3.2 Saran
Agar makalah ini dapat dijadikan panduan bagi mahasiswa lain
dalam mencari informasi dan penerapannya
33