kel-10-human-capital.docx
-
Upload
dallas-pope -
Category
Documents
-
view
56 -
download
2
description
Transcript of kel-10-human-capital.docx
1
BAB 1
PENDAHULUAN
1. 1 Latar Belakang
Human capital berbeda dengan human resources management,
namun juga dapat bersinergis. Human capital lebih memandang manusia
sebagai asset intangible dan human resources management memandang
manusia sebagai cost atau beban biaya yang merugikan perusahaan..
Konsep human capital muncul, karena adanya pergeseran peranan
sumber daya manusia. Human capital muncul dari pemikiran bahwa
manusia merupakan aset yang memiliki banyak kelebihan yaitu
kemampuan manusia apabila digunakan dan disebarkan tidak akan
berkurang melainkan bertambah baik bagi individu yang
bersangkutan maupun bagi organisasi, manusia mampu mengubah data
menjadi informasi yang bermakna, manusia mampu berbagi intelegensia
dengan pihak lain.
Konsep human capital merupakan masalah yang sangat menarik
dan penting sejak terjadinya pergeseran dari ekonomi yang berbasis
industri kearah ekonomi yang mengarah pada kecantikan sistem
komunikasi, informasi, dan pengetahuan. Konsep human capital
merupakan hal yang penting yang dibutuhkan pada masa sekarang,
berdasarkan pada :
a. Kuatnya tekanan persaingan keuntungan finansial dan non finansial.
b. Pengakuan Pimpinan bisnis dan politik tentang modal manusia vs
2
peningkatan kinerja
c. Terjadi perubahan yang cepat yang ditandai adanya proses
dan teknologi yang baru tidak akan bertahan lama apabila
pesaing mampu mengadopsi teknologi yang sama. Namun, untuk
mengimplementasikan perubahan, tenaga kerja yang dimiliki
industri harus memiliki skill dan kemempuan yang lebih baik.
d. Untuk tumbuh dan beradaptasi, kepemimpinan oraganisasi
harus mengenali nilai dan kontribusi manusia.
Oleh sebab itu, merupakan keharusan bagi perusahaan untuk
memahami human capital karena dengan konsep human capital dapat
mengukur kemampuan manusia untuk mengubah data menjadi hasil yang
bernilai bagi organisasi.
1. 2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Human capital ?
2. Apakah yang menjadi komponen dari human capital ?
3. Bagaimana cara pengelolaan human capital ?
4. Seperti apa penerapan human capital badi bidang kesehatan ?
1. 3 Tujuan
1. Mengetahui apakah pengertian human capital.
2. Mengetahui apakah yang menjadi komponen dari human capital.
3. Mengetahui bagaimana cara pengelolaan human capital.
4. Mengetahui bagaimana aplikasi penerapan human capital dalam
bidang kesehatan.
3
BAB 2
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Pengertian Human Capital
Drucker menyatakan bahwa tantangan organisasi masa kini adalah
merespon pergeseran dari yang terfokus pada masalah industri ekonomi ke
arah knowledge ekonomi. Peregeseran ini meliputi seluruh aspek manajemen
organisasi yaitu efisiensi operasi, marketing, struktur organisasi yang akan
menghasilkan keuntungan bisnis yang lebih tinggi. Secara kualitatif
kontribusu human capital dipusatkan pada nilai dan tindakan manusia.
Stockley (2003) mendefinisikan pengertian human capital adalah “The
term of human capital is recognition that people in organization and bisiness
are an important an essential asset who contribute to development and
growth, in a similar way as physical asset such as machines and money. The
collective attitude, skill and abilities of people contribute to organization
performance and productivity. Any expenditure in training, development,
health and support is an investement not just an expense”. Artinya bahwa
human capital merupakan konsep menjelaskan bahwa manusia dalam
organisasi dan bisnis merupakan aset yang penting dan beresensi, yang
memiliki sumbangan terhadap pengembangan dan pertumbuhan, sama seperti
halnya aset fisik misal mesin dan modal kerja. Sikap dan ketrampilan dan
kemampuan manusia memiliki kontribusi terhadap kinerja dan produktivitas
organisasi. Pengeluaran untuk pelatihan, pengembangan, kesehatan dan
dukungan merupakan investasi dan bukan hanya biaya tapi merupakan
investasi.
4
Menurut Edwinson dan malone (1997)“human capital is the individual
knowledge, experiance, capability, skills, creativity, inovativeness.”
Knowledge meliputi pengetahuan mengenai tes akademik yang diperoleh
melalui pendidikan, skill adalah kemampuan untuk bekerja / memenuhi
kemampuan praktikal.
2.2 Komponen Human Capital
Manusia adalah komponen yang sangat penting di dalam proses inovasi.
Manusia dengan segala kemampuannya bila dikerahkan keseluruhannya akan
menghasilkan kinerja yang luar biasa. Ada enam komponen dari modal
manusia menurut Ancok 2002 , yakni:
A. Modal intelektual
B. Modal emosional
C. Modal sosial
D. Modal ketabahan
E. Modal moral
F. Modal kesehatan
Keenam komponen modal manusia ini akan muncul dalam sebuah kinerja
yang optimum apabila disertai oleh modal kepemimpinan dan modal struktur
organisasi yang memberikan wahana kerja yang mendukung. (Ancok, 2002)
A. Modal intelektual
Modal intelektual adalah perangkat yang diperlukan untuk
menemukaan peluang dan mengelola ancaman dalam kehidupan. Banyak
pakar yang mengatakan bahwa modal intelektual sangat besar peranannya
5
di dalam menambah nilai suatu kegiatan. Berbagai perusahaan yang
unggul dan meraih banyak keuntungan adalah perusahaan yang terus
menerus mengembangkan sumber daya manusianya (Ross, dkk, 1997).
Manusia harus memiliki sifat proaktif dan inovatif untuk
mengelola perubahan lingkungan kehidupan (ekonomi, sosial, politik,
teknologi, hukum dll) yang sangat tinggi kecepatannya. Mereka yang tidak
dapat beradaptasi pada perubahan akan merasakan kesulitan. Dalam
kondisi yang ditandai oleh perubahan yang super cepat manusia harus
terus memperluas dan mempertajam pengetahuannya dan
mengembangkaan kreatifitasnya untuk berinovasi.
Don Tappscott dalam bukunya ‘Digital Ecomy: Promise and Peril
in the Age of Networked Intelligence (1998) mengemukakan 12 tema
ekonomi baru akibat dari meluasnya pengaruh internet. Salah satu tema
ekonomi baru itu adalah tema ekonomi berbasis pengetahuan (knowledge
based economy). Hanya pekerja yang memiliki pengetahuan yang luas dan
terus menambah pengetahuan yang dapat beradaptasi dengan kondisi
perubahan lingkungan strategik yang luar biasa cepatnya.
Modal intelektual terletak pada kemauan untuk berfikir dan
kemampuan untuk memikirkan sesuatu yang baru, maka modal intelektual
tidak selalu ditentukan oleh tingkat pendidikan formal yang tinggi. Banyak
orang yang tidak memiliki pendidikan formal yang tinggi tetapi dia
seorang pemikir yang menghasilkan gagasan yang berkualitas.
6
B. Modal Emosional
Goldman menggunakan istilah Emotional Intelligence untuk
menggambarkan kemampuan manusia untuk mengenal dan mengelola
emosi diri sendiri, serta memahami emosi orang lain agar dia dapat
mengambil tindakan yang sesuai dalam berinteraksi dengan orang lain.
Ada empat dimensi dari kecerdasan emosional yakni (Bradberry &
Greaves, 2005)
a. Self-Awareness
b. Self Management
c. Social Awareness
d. Relationship Management
a. Self-Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi diri sendiri
secara tepat dan akurat dalam berbagai situasi secara konsisten. Bagaimana
reaksi emosi di saat menghadapi suatu peristiwa yang memancing emosi,
sehingga seseorang dapat memahami respon emosi dirinya sendiri dari
segi positif maupun segi negatif.
b. Self Management adalah kemampuan mengelola emosi secara baik,
setelah memahami emosi yang sedang dirasakannya, apakah emosi positif
atau negatif. Kemampuan mengelola emosi secara positif dalam
berhadapan dengan emosi diri sendiri akan membuat seseorang dapat
merasakan kebahagiaan yang maksimal.
c. Social Awareness adalah kemampuan untuk memahami emosi orang lain
dari tindakannya yang tampak. Ini adalah kemampuan berempati,
memahami dan merasakan perasaan orang lain secara akurat. Dengan
7
adanya pemahaman ini individu sudah memiliki kesiapan untuk
menanggapi situasi emosi orang lain secara positif.
d. Relationship Management adalah kemampuan orang untuk berinteraksi
secara positif dengan orang lain, walaupun orang lain tersebut memiliki
emosi yang negatif. Kemampuan mengelola hubungan dengan orang lain
secara positif ini adalah hasil dari ketiga dimensi lain dari kecerdasan
emosi (self awareness, self management and sosial awareness).
Orang yang memiliki modal emosional yang tinggi memiliki sikap
positif di dalam menjalani kehidupan. Dia memiliki pikiran positif
(positive thingking) di dalam menilai sebuah fenomena kehidupan
meskipun itu dipandang buruk oleh orang lain. Khususnya di dalam
menghadapi perbedaan pendapat, orang yang memiliki modal emosional
yang baik akan menyikapinya dengan positif, sehingga diperoleh manfaat
yang besar bagi pengembangan diri, atau pengembangan sebuah konsep.
Modal intelektual akan berkembang atau terhambat
perkembangannya sangat ditentukan oleh modal emosional. Orang yang
hatinya terbuka dan bersikap positif dan terbuka serta menghindari
penilaian negatif atas sebuah pemikiran orang lain akan memperoleh
manfaat dari perbedaan pendapat tersebut. Modal intelektualnya akan
bertambah dengan sikap positif.
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa inteligensi emosional
ini lebih menentukan kesuksesan hidup seseorang dibanding dengan IQ
(Goleman, 1997). Beberapa tahun terakhir ini makin banyak pembicaraan
tentang pentingnya peranan inteligensi emosional (emotional intelligence)
8
di dalam menunjang kesuksesan hidup manusia (Goleman, 1996). Apa
yang ditulis oleh Daniel Goleman tersebut sangat sesuai dengan ajaran
agama yang mengajar agar orang bersifat sabar, dan lebih baik diam kalau
tidak bisa memilih kata-kata yang baik.
C. Modal Sosial
Istilah modal sosial (social capital) sudah lama muncul dalam
literatur. Istilah ini pertama kali muncul di tahun 1916 di saat ada diskusi
tentang upaya membangun pusat pembelajaran masyarakat (Cohen &
Prusak, 2001). Konsep modal sosial diangkat kepermukaan sebagai
wacana ilmiah oleh James S. Coleman (1990). Pembahasan tentang
konsep modal sosial oleh Putnam (1993) yang menggambarkan kualitas
kehidupan masyarakat Amerika yang makin menurun dalam hal kelekatan
antar sesama warga.
Konsep ini terdapat dalam dua buku yang ditulis oleh Francis
Fukuyama (1995, 2000). Yang pertama adalah Trust: The Social Virtues
and the Creation of Prosperity yang terbit tahun 1995. Kemudian diikuti
oleh buku yang kedua yaitu dengan judul The Great Depression: Human
Nature and the Reconstitution of Social Order yang diterbitkan di tahun
2000. Di samping tulisan Fukuyama, buku tulisan Robert Putnam yang
berjudul Bowling Alone: The Collapse and Revival of American
Community yang terbit tahun 2000 juga menjadi pedoman pembahasan
terhadap konsep modal sosial. Selain itu muncul berbagai artikel jurnal
yang membahas topik tersebut dengan mengajukan berbagai pendapat
tentang apa yang dimaksud dengan modal sosial. Adler & Kwon (2002)
9
menyajikan reviw yang baik berisikan berbagai pandangan pakar tentang
modal sosial.
Munculnya berbagai tulisan tentang modal sosial adalah suatu
respon terhadap semakin merenggangnya hubungan antar manusia., dan
semakin melemahnya ketidakpedulian terhadap sesama manusia.
Di mata Fukuyama (2000) transisi masyarakat dari masyarakat
industri menuju masyarakat informasi semakin memperenggang ikatan
sosial dan melahirkan banyaknya patologi sosial seperti meningkatnya
angka kejahatan, anak-anak lahir di luar nikah dan menurunnya
kepercayaan pada sesama komponen masyarakat.
Dalam upaya membangun sebuah bangsa yang kompetitif peranan
modal sosial semakin penting. Banyak kontribusi modal sosial untuk
kesuksesan suatu masyarakat. Dalam era informasi yang ditandai semakin
berkurangnya kontak berhadapan muka (face to face relationship), modal
sosial sebagai bagian dari modal maya (virtual capital) akan semakin
menonjol peranannya (Ancok, 1998)
Pandangan para pakar dalam mendefinisikan konsep modal sosial
dapat dikategorikan ke dalam dua kelompok. Kelompok pertama
menekankan pada jaringan hubungan sosial (social net-work), sedangkan
kelompok kedua lebih menekankan pada karakteristik (traits) yang
melekat (embedded) pada diri individu manusia yang terlibat dalam
sebuah interaksi sosial.
Pendapat kelompok pertama ini diwakili antara lain oleh para
pakar berikut. Brehm & Rahn ( 1997, p. 999) berpendapat bahwa modal
10
sosial adalah” jaringan kerjasama di antara warga masyarakat yang
memfasilitasi pencarian solusi dari permasalahan yang dihadapi mereka”.
Definisi lain dikemukan oleh Pennar (1997, p.154) “the web of social
relationships that influences individual behavior and thereby affects
economic growth” ( “jaringan hubungan sosial yang mempengaruhi
perilaku individual yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi).
Woolcock (1998,p. 153) mendefinisikan modal sosial sebagai “the
information, trust, and norms of reciprocity inhering in one’s social
networks”. Cohen dan Prusak (2001, p.3) berpendapat bahwa” Social
capital consists of the stock of active connections among people: the trust,
mutual understanding and shared values and behaviours that bind the
members of human networks and communities and make cooperative
action possible. (Modal sosial adalah kumpulan dari hubungan yang aktif
di antara manusia: rasa percaya, saling pengertian dan kesamaan nilai dan
perilaku yang mengikat anggota dalam sebuah jaringan kerja dan
komunitas yang memungkinkan adanya kerjasama).
Pandangan kelompok pertama menekankan pada aspek jaringan
hubungan sosial yang diikat oleh kepemilikan informasi, rasa percaya,
saling memahami, dan kesamaan nilai, dan saling mendukung. Menurut
pandangan kelompok ini modal sosial akan semakin kuat apabila sebuah
komunitas atau organisasi memiliki jaringan hubungan kerjasama, baik
secara internal komunitas/organisasi, atau hubungan kerjasama yang
bersifat antar komunitas/organisasi. Jaringan kerjasama yang sinergistik
11
yang merupakan modal sosial akan memberikan banyak manfaat bagi
kehidupan bersama.
Pendapat pakar dari kelompok kedua diwakili antara lain oleh
Fukuyama. Fukuyama (1997) menjelaskan bahwa “Social capital can be
defined simply as the existence of a certain set of informal values or norms
shared among members of a group that permit cooperation among them.
(Modal sosial adalah serangkaian nilai-nilai atau norma-norma informal
yang dimiliki bersama di antara para anggota suatu kelompok masyarakat
yang memungkinkan terjalinnya kerjasama di antara mereka).
Sebuah organisasi adalah kumpulan sejumlah manusia yang saling
berinteraksi dan bekerja sama untuk mencapai tujuan organisasi. Selain itu
sebuah organisasi harus bekerja sama dengan organisasi lain untuk
mencapai kesuksesan yang lebih besar. Kerjasama dengan organisasi lain
ini diwujudkan dalam sebuah aliansi strategik (strategic alliances), atau
dalam sebuah pengabungan (merger) organisasi. Modal sosial adalah dasar
bagi terbentuknya sinergi di dalam melaksanakan tugas organisasi.
Dengan bersinergi dapatlah diperoleh hasil kerja yang lebih besar, jika
dibandingkan dengan bekerja sendiri. Dengan bahasa sederhana jika dua
orang bekerja sendiri-sendiri masing-masing orang hanya dapat
menyelesaikan satu pekerjaan saja, dengan bersinergi dengan orang lain
masing-masing orang bisa menyelesaikan lebih banyak pekerjaan lainnya.
Modal Intelektual baru akan berkembang bila masing-masing
orang berbagi wawasan. Untuk dapat berbagi wawasan orang harus
membangun jaringan hubungan sosial dengan orang lainnya. Kemampuan
12
membangun jaringan sosial inilah yang disebut dengan modal sosial.
Semakin luas pergaulan seseorang dan semakin luas jaringan hubungan
sosial (social networking) semakin tinggi nilai seseorang.
Modal sosial dimanifestasikan pula dalam kemampuan untuk bisa
hidup dalam perbedaan dan menghargai perbedaan (diversity). Pengakuan
dan penghargaan atas perbedaan adalah suatu syarat tumbuhnya kreativitas
dan sinergi. Kemampuan bergaul dengan orang yang berbeda, dan
menghargai dan memanfaatkan secara bersama perbedaan tersebut akan
memberikan kebaikan untuk semua karyawan.
D. Modal Ketabahan (Adversity Capital)
Konsep modal ketabahan berasal dari pandangan Paul G. Stoltz
yang ditulis dalam buku Adversity Quotient: Turning Obstacles into
Opportunities ( 1997). Ketabahan adalah modal untuk sukses dalam
kehidupan, apakah itu kehidupan pribadi ataukah kehidupan sebuah
organsanisasi . Khususnya di saat menghadapi kesulitan, atau problem
yang belum terpecahkan hanya mereka yang tabah yang akan berhasil
menyelesaikannya. Demikian pula bila seuah perusahaan sedang dilanda
kesulitan karena tantangan berat yang dihadapinya karena kehadiran
perubahan lingkungan yang membuat cara kerja lama tidak lagi memadai.
Berdasarkan perumpamaan pada para pendaki gunung, Stoltz
membedakan tiga tipe manusia, quitter, camper dan climber. Tipe pendaki
gunung yang mudah menyerah dinamainya dengan quitter yakni orang
yang bila berhadapan dengan masalah memilih untuk melarikan diri dari
13
masalah dan tidak mau menghadapi tantangan guna menaklukkan masalah.
Orang seperti ini akan sangat tidak efektif dalam menghadapi tugas
kehidupan yang berisi tantangan. Demikian pula dia tidak efektif sebagai
pekerja sebuah organisasi bila dia tidak kuat.
Tipe camper adalah tipe yang berusaha tapi tidak sepenuh hati.
Bila dia menghadapi sesuatu tantangan dia berusaha untuk mengatasinya,
tapi dia tidak berusaha mengatasi persoalan dengan segala kemapuan yang
dimilikinya. Dia bukan tipe orang yang akan mengerahkan segala potensi
yang dimilikinya untuk menjawab tantangan yang dihadapinya. Bila
tantangan persoalan cukup berat dan dia sudah berusaha mengatasinya tapi
tidak berhasil, maka dia akan melupakan keinginannya dan beralih ke
tempat lain yang tidak memiliki tantangan seberat itu.
Tipe ketiga adalah climber yang memiliki stamina yang luar biasa
di dalam menyelesaikan masalah . Dia tipe orang yang pantang menyerah
sesulit apapun situasi yang dihadapinya. Dia adalah pekerja yang produktif
bagi organisasi tempat dia bekerja. Orang tipe ini memiliki visi dan cita-
cita yang jelas dalam kehidupannya. Kehidupan dijalaninya dengan sebuah
tata nilai yang mulia, bahwa berjalan harus sampai ketujuan. Orang yang
tipe ini ingin selalu menyelesaikan pekerjaan dengan tuntas (sense of
closure) dengan berpegang teguh pada sebuah prinsip etika. Dia bukan tipe
manusia yang ingin berhasil tanpa usaha. Bagi dia hal yang utama
bukanlah tercapainya puncak gunung, tetapi adalah keberhasilan menjalani
proses pendakian yang sulit dan menegangkan hingga mencapai puncak.
14
E. Modal Moral
Banyak penelitian menunjukkan bahwa kinerja perusahaan sangat
tergantung pada sejauh mana perusahaan berpegang pada prinsip etika
bisnis di dalam kegiatan bisnis yang dilakukannya. Untuk berperilaku
sesuai dengan kaidah etik perusahaan memiliki berbagai perangkat
pendukung etik, yang salah satunya adalah manusia yang memiliki moral
yang tidak berperilaku yang melanggar etik. Kehancuran dan kemunduran
berbagai perusahaan besar di USA seperti Enron (perusahaan listrik
terbesar), dan Arthur Anderson (perusahaan konsultan keuangan yang
beroperasi di seluruh dunia) disebabkan oleh perilaku bisnis yang
melanggar etika bisnis. Demikian pula dengan kasus krisis keuangan di
Indonesia tahun 1997-1978 yang membuat perbankan Indonesia bangkrut
karena kasus BLBI (Bantuan Likuiditas Bank Indonesia) adalah
disebabkan oleh perilaku para pemain bisnis yang tidak berpegang pada
etika bisnis.
Banyak hasil penelitian menunjukkan bahwa perusahaan yang
berpegang pada prinsip etika memiliki citra perusahaan yang baik. Citra
ini tidak hanya membuat orang suka membeli produk dan jasa perusahaan
tersebut, tetapi juga membuat harga saham di pasar bursa meningkat
secara signifikan. Selain itu perusahaan yang berperilaku etikal juga akan
menarik banyak calon pekerja yang berkualitas untuk melamar menjadi
pekerja di perusahaan tersebut (lihat Strategic Finance, vol 83, No. 7, p.20,
January 2002). Sebaliknya kalau sebuah perusahaan melakukan perilaku
yang melanggar etika bisnis maka kerugianlah yang akan dialaminya.
15
Sebagai contoh sepatu Nike kehilangan banyak pembeli setelah ada
publikasi yang luas mengenai anak-anak di bawah umur yang bekerja di
perusahaan nike di negara dunia ke tiga penbuat sepatu Nike. Menurut
Doug Lennick & Fred Kiel (2005) alat pengukur Moral Competency
Inventory ( Inventori untuk mengukur kompetensi moral). Ada empat
komponen modal moral yang membuat seseorang memiliki kecerdasan
moral yang tinggi yakni:
1. Integritas (integrity), yakni kemauan untuk mengintegrasikan nilai-
nilai universal di dalam perilaku. Individu memilih berperilaku yang
tidak bertentangan dengan kaidah perilaku etikal yang universal.
Orang berperilaku atas keyakinan bahwa perilaku dalam bekerja yang
etikal adalah sesuatu yang harus dilakukan dan akan membuat dirinya
bersalah jika hal itu dilakukan.
2. Bertanggung-jawab (responsibility) atas perbuatan yang dilakukannya.
Hanya orang-orang yang mau bertanggung-jawab atas tindakannya
dan memahami konsekuensi dari tindakannya yang bisa berbuat
sejalan dengan prinsip etik yang universal.
3. Penyayang (compassionate) adalah tipe orang yang tidak akan
merugikan orang lain, karena dia menyadari memberi kasih sayang
pada orang lain adalah juga sama dengan memberi kasih sayang pada
diri sendiri. Orang yang melanggar etika adalah orang yang tidak
memiliki kasih sayang pada orang lain yang dirugikan akibat
perbuatannya yang melanggar hak orang lain.
16
4. Pemaaf (forgiveness) adalah sifat yang diberikan pada sesama
manusia. Orang yang memiliki kecerdasan moral yang tinggi
bukanlah tipe orang pendendam yang membalas perilaku yang tidak
menyenangkan dengan cara yang tidak menyenangkan pula. Sama
halnya dengan modal intelektual yang berbasis pada kecerdasan
intelektual maka modal moral dasarnya adalah kecerdasan moral yang
berbasis pada empat kompetensi moral di atas.
Modal moral menjadi semakin penting peranannya karena upaya
membangun manusia yang cerdas dengan IQ tinggi dan manusia yang
pandai mengelola emosinya dalam berhubungan dengan orang lain
tidaklah menghantarkan manusia pada kebermaknaan hidup.
Kebermaknaan hidup adalah sebuah motivasi yang kuat yang mendorong
orang untuk melakukan sesuatu kegiatan yang berguna. Hidup yang
berguna adalah hidup yang memberi makna pada diri sendiri dan orang
lain. Selain itu modal moral ini juga memberikan perasaan hidup yang
komplit (wholeness). Inilah yang disebut oleh Abraham maslow dengan
‘Peak Experience’ , perasaan yang muncul karena kedekatan dengan sang
Pencipta. Konsep yang demikian ini banyak yang menyebutnya dengan
istilah modal spiritual (lihat Sinetar, 2000). Stephen Covey (1986)
memasukkan bagian dari hal yang bersifat spiritual ini dalam bagian
kegiatan manusia yang harus ditingkatkan agar manusia menjadi manusia
yang efektif. Bagi orang beragama modal intelektual, emosional, modal
sosial, modal ketabahan dan modal moral yang dibicarakan di atas adalah
bagian dari ekspresi Modal spiritual. Semakin tinggi iman dan takwa
17
seseorang semakin tinggi pula ke lima modal di atas. Namun demikian
banyak orang yang menyarankan agar modal spiritual dipisahkan dari
kelima modal di atas, dengan tujuan untuk semakin menekankan betapa
pentingnya upaya pengembangan spiritualitas dan keberagamaan manusia.
Di mata orang yang berpandangan demikian, agama akan menjadi
pembimbing kehidupan agar tidak menjadi egostik yang orientasinya
hanya memikirkan kepentingan dirinya sendiri. Oleh karena itu upaya
untuk mengembangkan keagamaan adalah bagian mutlak dan utama bagi
tumbuhnya masyarakat yang makmur dan sejahtera serta aman dan damai.
F. Modal Kesehatan
Badan atau raga adalah wadah untuk mendukung manifestasi
semua modal di atas. Badan yang tidak sehat akan membuat semua modal
di atas tidak muncul dengan maksimal. Oleh karena itu kesehatan adalah
bagian dari modal manusia agar dia bisa bekerja dan berfikir secara
produktif. Stephen Covey (1986) dalam buku yang berjudul “Seven Habits
of Highly Effective People”, mengatakan bahwa kesehatan adalah bagian
dari kehidupan yang harus selalu dijaga dan ditingkatkan kualitasnya
sebagai pendukung manusia yang efektif. Bila badan sedang sakit semua
sistim tubuh kita menjadi terganggu fungsinya, akibatnya kita jadi malas
berfikir dan berbuat (modal intelektual) , dan seringkali emosi (modal
emosional) kita mudah terganggu kestabilannya, dan seringkali kita mudah
menyerah menghadapi tantangan hidup (modal ketabahan). Selain itu
semangat untuk berinteraksi dengan orang lain (modal sosial) dengan
orang lainpun menjadi berkurang.
18
Jadi kesehatan merupakan sesuatu yang harus dijaga kestabilannya
karena apabila kesehatan tidak stabil maka akan mempengaruhi tingkat
kinerja dan produktivitas seseorang.
2.3 Pengelolaan Human Capital
Pengelolaan human capital dilakukan untuk mengetahui kualitas dari
pekerja dalam organisasi. Pengelolaan Human capital dilakukan melalui tiga
tahap yaitu :
a. Identifikasi kesiapan human capital
b. Pengembangan human capital
c. Pengukuran human capital
2.3.1 Identifikasi kesiapan human capital
Identifikasi human capital bertujuan untuk mengetahui kesiapan
kompetensi individu untuk dilakukan pengembangan manusia.
Proses identifikasi ini meliputi :
a) Strategic job families
b) Pengembangan profil competenc
c) penilaian kesiapan human capital
a) Strategic job families
Menentukan pekerjaan-pekerjaan yang memiliki dampak yang tinggi
terhadap strategi peningkatan kualitas. Dalam hal ini, penilai harus
mengetahui pekerjaan yang strategis dan orang-orang yang memiliki
potensi untuk menempati pekerjaan tersebut.
19
b) Pengembangan profil competenc
Pada tahap ini dirinci kebutuhan pekerjaan yang detail dan tugas-
tugas yang mengacu pada profil kompetensi tertentu. Profit kompetensi
ini menggambarkan pengetahuan, skill dan value yang diperlukan untuk
keberhasilan karyawan dalam pekerjaanya. Pengetahuan meliputi latar
belakang umum pengetahuan yang harus dimiliki. Skill berperan untuk
melengkapi kemampuan pengetahuan dasar. Nilai merupakan karakteristik
/ perilaku yang menghasilkan performance pada pekerjaan tertentu.
c) penilaian kesiapan human capital
Pada langkah ini, menilai kapabilitas yang ada dengan kompetensi
karyawan untuk pelaksanaan strategi job families.
2.3.2 Pengembangan Human Capital
Untuk mencapai tingkat kinerja yang ingin dicapai dengan lebih cepat
dan murah, program pengembangan human capital hanya difokuskan
dalam jumlah sedikit dari karyawan-karyawan dalam pekerjaan yang
strategis. Hal ini akan lebih mengefisenkan pengeluaran untuk program-
program human resources. Program untuk mengembangkan kompetensi
individu dalam strategi job families harus dipisahkan dengan pengeluaran
operasional tahunan,kemajuan dalam penutupan kesenjangan kompetensi.
Terdapat dua kunci dalam pengembangan human capital yaitu :
a. Manusia adalah aset yang memiliki nilai yang dapat ditingkatkan
melalui infestasi. Dalam human capital ,hal ini bertujuan untuk
memaksimalkan nilai organisasi dengan mengatur resiko. Jika nilai
20
manusia meningkat , maka kinerja orang meningkat, kapasitas
meningkat, dan nilai untuk pelanggan dan stakeholder lain meningkat.
b. Kebijakan human capital harus sesuai dengan dukungan visi dan misi
organisasi, corevalue, dan tujuan organisasi yaitu misi dan visi, tujuan
dan strategi telah didefinisikan sebagai arahan yang telah dirancang
untuk dapat diimplementasikan dan dinilai oleh sebuah standar,
bagaimana konsep human capital ini dapat membantu organisasi
mencapai visinya.
Pengembangan human capital disebut dengan the strategic value
model. Yang dimaksud the strategic value model adalah setiap orang
diharuskan memiliki strategi dalam penyusunan nilai dan menentukan
skala prioritas yang sesuai dengan tujuan.
Pengembangan human capital ini antara lain dapat dilakukan melalui:
1. Internalisasi Corporate Culture
Pada tahap internalisasi, budaya perlu dikelola atau di manage.
Tahap ini dapat dicapai jika budaya perusahaan dapat diukur
(measurable). Internalisasi corporate culture perlu mendapatkan
perhatian serius dari berbagai pihak yang terlibat dan kompeten,
bagaimana membuat budaya perusahaan menjadi terlihat (tangible).
Dengan adanya internalisasi coorporate culture, maka akan terlihat
bahwa si A dari Bank X sedangkan B dari Bank Y, hanya melihat dari
sikap dan perilaku. Keadaan ini disebabkan secara tidak sadar baik A
dan B telah tumbuh dan memahami nilai-nilai yang berlaku di Bank
21
masing-masing, sehingga sikap dan perilakunya akan mengikuti pola
yang ada di perusahaan masing-masing.
2. Memastikan pelaksanaan Good Corporate Governance
Good corporate governance merupakan seperangkat peraturan
yang mengatur hubungan antara pemegang saham, pengurus atau
pengelola perusahaan, pihak kreditur, pemerintah, karyawan serta
para pemegang kepentingan internal dan eksternal lainnya yang
berkaitan dengan hak-hak dan kewajiban atau dengan kata lain suatu
sistem yang mengatur dan mengendalikan peraturan.(FCGI, 2002)
Prinsip utama dalam GCG menurut Soenarto (2003) terdiri dari :
1) Keterbukaan
2) Integritas
3) Akuntabilitas
3. Mengembangkan SDM profesional sebagai human capital yang
produktif dan prudent
SDM yang profesional diharapkan bisa bekerja sangat efektif
dengan bisa menentukan prioritas secara bijaksana untuk
meningktakan produktivitas organisasi.
4. Menciptakan pemimpin/leader sebagai role model & people manager
Seorang pemimpin tidak hanya bisa menjadi orang yang menuntut
karyawannya untuk berperilaku atau bertindak sesuai dengan tuntutan
22
organisasi, melainkan seorang pemimpin juga sebagai role model
(model panutan). Yang dimaksud dengan model panutan adalah
seorang pemimpin yang meyakini kebenaran nilai baik yang
diajarkannya sehingga mampu menerapkannya dalam perilaku sehari-
hari. Tidak ada kekuatan yang besar dari pemimpin tanpa menjadikan
dirinya contoh atau panutan.
Pengembangan human capital tidak hanya menciptakan seorang
kader sebagai role model saja, melainkan dengan menciptakan seorang
pemimpin atau kader yang mampu mengatur orang-orang atau pekerja
yang disebut people manager. Karena leader sebagai people manager
yang sangat penting dalam perkembangan human capital juga agar
tetap pada tujuan organisasi yang efektif.
5. Menegakkan dan meningkatkan kepatuhan hukum.
Dalam mengembangkan human capital bisa dilakukan dengan
menegakkan dan meningkatkan kepatuhan hukum. Menegakkan dan
meningkatkan kepatuhan hukum diharapkan dapat menciptakan
lingkungan organisasi yang sesuai dengan visi organisasi tersebut
sehingga human capital dapat dikembangkan.
2.3.3 Pengukuran Human Capital
Rancangan ukuran human capital diharapkan dapat memberikan
data- data baru dan mampu menunjukkan hasil dengan akurat.
Selama ini, jarang sekali dilakukan penilaian dampak dari progran
human capital. Organisasi bisnis dapat menilai human capital dari
23
aspek satuan standar akuntasi dalam income statement dan balance
sheet, selain itu juga melalui ROI (return of investment). Dalam hal ini
pengukuran ROI ditujukan untuk mengukur kinerja personil, sistem
data dan informasi yang saling mendukung untuk menghasilkan
profitabilitas.
Terdapat tiga tingkatan yang harus diperhatikan dalam
menetapkan ukuran dan agar human capital dapat diukur yaitu :
a. Tahap pertama, menyesuaikan human capital dengan
tujuan perusahaan yang telah ditetapkan. Sehingga
human capital yang didapat sesuai dengan yang
dibutuhkan oleh perusahaan. Tujuan ini meliputi strategi
keuangan, pelanggan dan tujuan SDM.
b. Unit bisnis, dalam tahapan ini mengamati perubahan
dalam layanan tingkat menengah, kualitas dan hasil-hasil
produktif. Pengukuran merupakan hal yang fundamental
untuk mengetahui nilai dan perkembangan perusahaan.
Tujuan dari rangkaian seluruh kegiatan bisnis adalah
meningkatkan kualitas, produktivitas, seluruh perubahan
yang diukur dengan beberapa kombinasi dari biaya,
waktu, volume, kesalahan dan tindakan-tindakan manusia.
c. Manajemen human resources berdampak pada manajemen
human capital yang meliputi perencanaan, perekrutan,
kompensasi pengembangan dan mempertahankan human
capital perusahaan.
24
Pengukuran human capital lebih menyeluruh dibandingkan
pengukuran manajerial dengan pengukuran perspektif finansial
tradisional hal ini disebabkan
1) Tanggung jawab manajemen pada saat sekarang adalah
informasi yang berdasarkan aktivitas pekerjaan-pekerjaan
yang merupakan hal yang perlu disertakan dengan data
finansial.
2) Data finansial menceritakan apa yang telah terjadi. Data
human capital menginformasikan mengapa hal ini terjadi.
3) Apabila kita ingin memanage masa yang akan datang,
dari waktu yang lampau, maka kita perlu indikator antara.
Informasi merupakan kunci dari kinerja manajemen dan
peningkatan informasi yang dapat berguna apabila informasi
disebarkan. Tipe Data Yang Diukur dalam Human Capital Terdapat tiga
tipe data, yaitu organizational, relational dan human yang harus
terintegrasi dalam pengukuran organisasi :
a) Data organisasi menginformasikan kepemilikan perusahaan.
b) Data relational menginformasikan kondisi di luar
organisasi seperti pelanggan, pesaing, pasar dan kebutuhan/
keinginan stakeholder lain dari perusahaan.
c) Data human menginformasikan bagaimana aset-aset aktif
yaitu manusia menjalankan organisasi untuk mencapai tujuan.
Apabila kita dapat memahami bagaimana ketiga data ini
berhubungan satu sama lain dimana ketiganya saling mendukung dan
25
mengarahkan, maka konsep ini disebut intelektual capital. Terdapat
beberapa macam cara Pengukuran HC, antara lain :
1. Pengukuran Dampak Human capital Terhadap Proses
Organisasi merupakan kumpulan dari proses. Proses
berlangsung dalam unit bisnis. Ekonomi value added
merupakan ukuran terbaik untuk proses. Ukuran dampak
human capital terhadap proses ini memberikan 5 point nilai
tambah yaitu :
a. Setting requirement Setiap proses membutuhkan
pengaturan-pengaturan tertentu, dimana pengaturan tersebut
disesuaikan dengan visi, misi, serta tujuan perusahaan.
b. Interference from outside the process, melalui
partnerisasi dengan unit lain yang memberi dampak
pada proses, maka proses akan berjalan tepat waktu dan
memberikan hasil yang terbaik. (contoh: seorang tenaga
kesehatan perlu berhubungan dengan unit lain misalnya
administrasi pada kelurahan. Dimana dengan adanya
partnerisasi lintas sektor ini dapat membantu tenaga
kesehatan untuk memperoleh data tentang masyarakat)
c. Proses yang ditujukan pada perorangan, melalui
training(pelatihan), komunikasi, pengawasan, dan
insentif. Hal tersebut dibutuhkan untuk membantu
kinerja seseorang pada tingkat yang diharapkan.
d. Feedback, informasi yang akurat dapat menurunkan
26
kesalahan dan mempersingkat waktu untuk
membetulkan deviasi dari tingkatan tertentu.
e. Konsekuensi dengan memberikan penghargan atau
tindakan-tindakan koreksi pada kebiasaan dan waktu
yang benar
Peningkatkan proses dapat menghasilkan banyak nilai,
yang diukur secara finansial, karena jika kita menghemat waktu,
maka kita bisa menghemat uang.
2. Pengukuran Dampak Human capital Terhadap Hasil
Ukuran yang terfokus pada hasil, yang diukur dari
peningkatan kinerja yang dapat mengarah pada investasi
dalam aset bisnis misalnya ROI (return on investment) dan
program training yaitu:
a. Hasil unit bisnis, yang terdiri dari kinerja organisasi,
yaitu kinerja finansial tradisional seperti economis value
added (EVA), pertumbuhan penjualan, pangsa pasar dan
kinerja saham.
b. Faktor pendorong kinerja utama yang secara
langsung berkontribusi terhadap unit bisnis/hasil di
perusahaan seperti : produktivitas, kualitas, inovasi dan
kepuasan konsumen yang dicantumkan dalam
balanced scorecard.
c. Kapabilitas human capital yang diukur dari :
27
- kualitas manusia dalam mencapai hasil-hasil bisnis
kritis seperti workforce proficiency
- adaptasi keterikatan kerja dan tenaga kerja.
d. Proses pengembangan human capital yang hasilnya
berupa kemampuan human capital, sumber daya dan
operasi. Termasuk dalam evaluasi ini adalah proses
kinerja dan proses human capital yang lebih luas
seperti layanan pembelajaran dan manajemen
pengetahuan.
Ukuran diatas, merupakan teknik pengukuran untuk
mengidentifikasi kebutuhan khusus perusahaan dan solusi
pencapaian target yang sesuai dengan kebutuhan.
3. Pengukuran Aspek Financial Human capital Manajemen
Ukuran finansial human capital terdiri atas ukuran
Return On Investment (ROI). ROI dalam human capital
menurut Fitz-End (1999) dapat dilihat dari :
1. Revenue per Employee
Rasio antara SDM dan finansial diukur dengan
revenue per employee. Ukuran ini mengukur
bagaimana karyawan dapat memberikan kontribusi
finansial berupa jumlah penjualan terhadap atau
bagaimana tenaga edukatif dan tenaga
administratif memberi kontribusi terhadap tujuan
28
perusahaan.
2. Human capital Revenue Factor ( HCRF)
Hal ini merupakan ukuran dasar dari
produktivitas manusia dengan menganalisis berapa
banyak waktu yang diperlukan untuk menghasilkan
sejumlah penjualan. Penerapan di bidang kesehatan
dilihat dari berapa banyak waktu yg dibutuhkan untuk
melakukan survei penduduk dalam suatu periode
tertentu, dan menghasilkan penelitian ilmiah dibidang
kesehatan.
3. Human Economic Value Added (HEVA)
Tujuan dari ukuran ini adalah untuk
menentukan bahwa tindakan manajerial telah
menambah nilai ekonomis, bukan hanya laporan
keuangan yang diberikan secara umum. HEVA
merupakan turunan dari EVA
(Economic value added) yaitu:
Dalam perhitungan HEVA, melibatkan aspek SDM,
yakni berapa banyak jam kerja penuh (full time)
EVA(Economic Value Added)
= Net operating profit after tax – the cost of capital
29
yang telah dilakukan oleh karyawan yang dapat
menghasilkan laba bersih setelah cost of capital.
HEVA dihitung dengan cara :
HEVA = Net operating profit after tax - cost of capital
FTEs (Full Time Empleyees)
Semakin tinggi nilai HEVA maka semakin tinggi
keuntungan yang dihasilkan oleh karyawan. Hal ini
berati bahwa secara finansial, pelaksanaan program
human capital manajemen baik.
4. Human Capital cost of Factor (HCCF)
Dalam menghitung besaran HCCF ini maka perlu
diketahui konsep- konsep mengenai cost of capital.
Terdapat empat Prinsip Cost Of capital yaitu :
1. Pay and benefit cost for employees
2. Pay cost for contingent
3. The cost of absteeism
4. The cost of turnover
Dari prinsip diatas, pay diartikan sebagai pembayaran
kompensasi tunai yang sedang berjalan (current)
dan tidak termasuk pembayaran kompensasi jangka
panjang. Benefit cost adalah sejumlah uang yang
dibayarkan sebagai biaya oleh perusahaan untuk
mendapatkan jasa-jasa/manfaat dari karyawan.
30
Absteeism, merupakan biaya perusahaan untuk
karyawan tidak mengerjakan tugas yang diberikan.
turnover, merupakan biaya yang dikeluarkan oleh
perusahaan termasuk pemberhentian karyawan dan
biaya penempatan. Keuntungan dan kerugian yang
berada dalam kurva pembelajaran produktivitas
(learning curve productivity), adalah Kombinasi
dari biaya kompensasai tunai (pay), benefit cost,
opportunity cost (contingent), absense dan
perputaran karyawan merupakan total cost of
human capital dalam organisasi. maka HCCF dapat
dirumuskan menjadi :
Berdasarkan persamaan tersebut, apabila nilai
HCCF yang diperoleh tinggi, maka program human
capital yang dilakukan buruk, karena karyawan tidak
mampu memberikan hasil yang terbaik dan memberikan
pengeluaran yang tinggi.
5. Human capital value added (HCVA)
Human capital value added diperoleh dari rasio
pengurangan penjualan dengan total pengeluaran dan
kompensasi dan benefit cost per jumlah waktu kerja penuh
HCCF=Pay+ Benefit + Contingent labor + absense + Turnover
31
yang diberikan oleh karyawan. Ukuran ini dirumuskan
dengan :
Berdasarkan rasio diatas, maka apabila rasio ini
tinggi, maka pelaksanaan program human capital yang
dilakukan baik, hal ini berarti, setiap jam kerja penuh
karyawan dapat memberikan kontribusi terhadap penjualan
setelah dikurangi kompensasi dan benefit cost.
6. Human Capital Return on Investment (HCROI)(depe)
Ukuran ini diperoleh dengan membandingkan
penjualan yang telah dilakukan dikurangi total biaya,
kompensasi dan benefit cost terhadap pembayaran kompensasai
(pay) dan cost benefit. Ukuran ini dirumuskan menjadi ;
Berdasarkan rumusan diatas, nilai rasio ini berarti
kemampuan perusahaan/lembaga untuk menutupi pengeluaran,
biaya kompensasi dan benefit cost.
7. Human Capital Market Value (HCMV)
HCROI=REVENEU−(EXPENSE−PAY ∧BENEFIT )
PAY ∧BENEFIT
HCVA=REVENEU−(Expense−Pay∧Benefit )
FTEs
32
Ukuran ini diperoleh dari membandingkan selisih nilai
pasar aktiva dengan nilai terhadap jam kerja penuh karyawan.
Ukuran ini dirumuskan menjadi :
Pengukuran keberhasilan program human capital
misalnya training dapat diamati dari dampaknya terhadap :
1. Kemampuan mengoperasikan mesin/layanan baik
individu maupun kelompok
2. Kemampuan karyawan menunjukkan kualitas kerjanya
3. Seberapa cepat produk baru di pasarkan
4. Produktivitas tenaga kerja
4. Ukuran Accenture Human capital Development Framework
Ukuran ini memungkinkan organisasi untuk mendiagnosa
kekuatan dan kelemahan dalam proses kunci human capital,
prioritas investasi, perkembangan kinerja dan evaluasi seluruh
dampak investasi dalam bisnis. Untuk mendapatkan kinerja
organisasi yang tinggi maka setiap institusi tergantung pada tiga
hal yaitu manusia, proses, dan teknologi. Hal yang paling
penting adalah manusia, karena manusia memiliki karakteristik
serta kapasitas. Prinsip pengukuran human capital menurut
Acecenture HC Development adalah :
a. Penekanan pada investasi untuk meningkatkan nilai
HCMV = MARKET VALUE−BOOK VALUEFTEs
33
individu dan tenaga kerja pada umumnya.
b. Meliti kembali apakah organisasi telah menetapkan visi
yang jelas dan disebarkan (seperti misi, visi, nilai inti,
tujuan dan strategi)
5. Ukuran Human capital Assesment and Accountability
Framework (HCAAF)
Menurut pendapat ini, human capital system
generally means the related set of policies and practices
that an agency uses to accomplish some aspect of human
capital management. Dalam pengertian ini, sistem human
capital berhubungan dengan rangkaian kebijakan dan
praktik yang digunakan oleh organisasi untuk
menyukseskan program human capital. Prinsip-prinsip
sistem layanan tersebut pada intinya meliputi perencanaan
penyusunan tujuan, penerapan dan evaluasi. Kelima sistem
tersebut adalah :
a. Strategic Alignment (Planning and Goal-Setting)
b. Leadership and Knowledge Management
(Implementation)
c. Results-Oriented Performance Culture (Implementation)
d. Talent Management (Implementation)
e. Accountability (Evaluating Results)
34
a. Strategic Alignment (Planning and Goal-Setting)
Sistem pertama yang mendukung program human
capital adalah strategic alignment. Menurut Lisa (2006)
strategic alignment ini adalah ,a system led by senior
management typically the Chief Human Capital Officer
(CHCO) that promotes alignment of human capital
management strategies with agency mission, goals, and
objectives by means of effective analysis, planning,
investment, measurement and management of human capital
PLANNING AND GOAL SETTING
IMPLEMENTATION EVALUATING RESULTS
Strategic Alignment
Leadership & Knowledge
Talent Management
Results- Oriented
Accountability
Provide Direction Implement Human Capital Strategies
Provide Outcome Information
35
management programs. Dalam pengertian ini strategic
management merupakan sistem yang dijalankan oleh
manajemen senior, biasanya adalah Chief Human Officer
yang berusaha untuk menyesuaikan strategi HCM dengan
misi organisasi, tujuan, yang diukur dari keefektifan
analisis, perencanan investasi, pengukuran dan manajemen
human capital. Tugas dari fungsi human capital
management adalah menyesuaikan strategi human capital
management dengan misi, dan tujuan organisasi dan
mengintegrasikan dengan rencana strategis dan anggaran.
b. Leadership and Knowledge Management (Implementation)
Kepemimpinan dan manajemen pengetahuan
merupakan sistem yang memfokuskan pada kelangsungan
kepemimpinan dengan mengidentifikasi dan merujuk pada
potensi kesenjangan dalam kepemimpinan efektif,
implementasi, dan perbaikan program dalam memperoleh
pengetahuan dan mendororng pembelajaran. Dalam
pengertian ini kepemimpinan dan manajemen pengetahuan
didefinisikan sebagai is the HCAAF implementation
system focused on identifying and addressing agency
leadership competencies so that continuity of leadership is
ensured, knowledge is shared across the organization,
and an environment of continuous learning is present.
Manajemen pengetahuan dan kepemimpinan merupakan
36
implementasi sistem HCAAF yang memfokuskan pada
identifikasi dan merujuk pada kompetensi kepemimpinan
sehingga kelangsungan kepemimpinan dapat dipertahankan,
pengetahuan disebarkan keseluruh organisasi dan lingkungan
pembelajaran yang berkelanjutan tetap ada. Standar
pelaksanaan dari sistem ini adalah pemimpin dan
manajer dapat mengatur manusia secara efektif, meyakinkan
kelangsungan kepemimpinan, mempertahankan lingkungan
pembelajaran yang mendorong peningkatan kinerja dan
menyediakan sarana untuk berbagi pengetahuan kritis ke
seluruh organisasi. Manajemen pengetahuan harus di
dukung oleh investasi yang sesuai dalam pelatihan dan
teknologi.
Dalam pelaksanaannya, sistem kepemimpinan dan
manajemen pengetahuan ini dicantumkan dalam sebuah
metrik. Terdapat tiga macam metrik yang berfungsi
untuk menjelaskan fungsi-fungsi pengukuran aspek-aspek
aset nirwujud yang disajikan pada tabel berikut:
37
Tabel 2.1 Metric Leadership and Knowledge Management
Required Metric Description Purpose
Organization Results
Metric: Competency Gaps
Closed for Management
and Leadership
Difference between
competencies needed and
competencies possessed
by managers and leaders
To determine how the
agency should target its
recruitment, retention and
development efforts to bring
the competencies of its
managers and leaders into
alignment with the agency’s
current and future needs
Employee Perspective
Metric: Leadership &
Knowledge Management
index
A score based on items from
the governmentwide Annual
Employee Survey
To determine the extent to
which employees hold their
leadership in high regard,
both overall and on specific
facets of leadership
performance Merit System Metric:
Merit-Based Execution of
the Leadership and
Knowledge Management
system.
An assessment, conducted by
OPM or by agencies with
OPM oversight, of
compliance with merit
system principles and related
laws, rules, and regulations
governing the Leadership
and Knowledge Management
system
To determine that decisions,
policies, processes, and
practices executed under the
Leadership and Knowledge
Management system comply
with the merit system
principles and related laws,
rules, and regulations
38
Dalam sistem kepemimpinan dan manajemen
pengetahuan memerlukan tiga metrik yang mencoba
menganalisis secara khusus masalah-masalah dalam
organisasi. Metrik-metrik ini adalah
1. Metrik hasil organisasi yang memuat tentang
kesenjangan kompetensi yang dapat diatasi oleh
manajemen dan kepemimpinan. Metrik ini menjelaskan
perbedaan antara kompetensi yang diperlukan dan
kompetensi yang dimiliki. Hasil dari metrik ini akan
mengarahkan manajemen untuk menentukan target
rekruitment, retensi karyawan dan jenis pengembangan
karyawan yang sesuai dengan kebutuhan kompetensi saat
ini dan masa yang akan datang.
2. Metrik perspektif karyawan, metriks ini memuat
tentang skor karyawan tentang item-item yang disediakan
sebagai survey karyawan. Hasil dari metrik ini adalah
menentukan sejauh mana penghargaan karyawan terhadap
kepemimpinan baik secara umum maupun secara
kepemimpinan dalam lingkup yang lebih sempit.
3. Metrik merit sistem, menentukan keputusan, kebijakan,
dan pelaksanaan dibawah sistem kepemimpinan dan
manajemen pengetahuan.
c. The Results-Oriented Performance Culture System
39
(Implementation)
Suatu sistem budaya kinerja yang berorientasi pada
hasil merupakan implementasi HCAAF yang
memfokuskan pada perbedaan, orientasi hasil, kinerja
tenaga kerja yang tinggi, sebagaimana sistem manajemen
kinerja dengan efektif merencanakan, mengawasi,
mengembangkan dan menghargai kinerja karyawan.
Definisi dari sistem ini adalah, a system that promotes a
diverse, high-performing workforce by implementing and
maintaining effective performance management system
and awards programs. Menurut pengertian ini adalah
sistem yang mengacu pada perbedaan, kinerja tinggi
karyawan yang ditempuh dengan implementasi dan
memperbaiki sistem kinerja manajemen dan program
penghargaan.
Sebuah organisasi mempunyai perbedaan, orientasi
pada hasil, tenaga kerja dengan kinerja yang tinggi dan
sistem manajemen kinerja yang secara efektif membedakan
antara kinerja tinggi dan rendah serta menghubungkan
individu/team/kinerja unit terhadap tujuan organisasi dengan
hasil yang diinginkan. Dalam pelaksanaannya, sistem
budaya kinerja yang berorientasikan pada hasil ini
dicantumkan dalam sebuah metrik. Sistem budaya
berorientasi hasil membutuhkan 4 metrik yang terdiri dari:
40
Tabel 2.2 Metric The Results-Oriented Performance Culture
System
Required Metric Description Purpose
Organization Metric: SES
Performance/Organization
all Performance
Relationship
Relationship between SES
performance ratings and
accomplishment of the
agency’s strategic goals
To determine the extent to
which SES appraisals and
awards are appropriately
based on achievement of
organizational results
Organization Metric:
Workforce Performance
Appraisals Aligned to
Mission, Goals and
Outcomes
Degree of linkage between
all employees’ performance
appraisal plans and agency
mission, goals, and outcomes
To determine whether all
employees have
performance appraisal
plans that effectively link
to the agency’s mission,
goals, and outcomes
Employee Perspective
Metric: Results-Oriented
Performance Culture Index
A score based on items from
the governmentwide Annual
Employee Survey
To determine the extent to
which employees believe
their organizational
culture promotes
improvement in
processes, products and
services, and
organizational outcomes
41
Merit System Metric:
Merit-Based Execution of
the Results-Oriented
Performance Culture
system
An assessment, conducted by
OPM or by agencies with
OPM oversight, of
compliance with merit
system principles and related
laws, rules, and regulations
governing the Results-
Oriented Performance
Culture system
To determine that
decisions, policies,
processes, and practices
executed under the
Results-Oriented
Performance Culture
system comply with the
merit system principles
and related laws, rules,
and regulations
1. Organizational metrik : memuat tentang tingkatan
performa SES dan pencapaian tujuan strategik perusahaan.
Dengan tujuan menentukan jangkauan penilaian dan
penghargaan SES yang secara benar berdasarkan pada hasil
organisasi yang di dapat.
2. Organizational metrik : yang memuat tentang
kinerja organisasi. Metrik ini mengarahkan untuk
menentukan penilaian dan penghargaan yang berdasarkan
pada prestasi hasil kinerja. Metrik organizational, berisi
tentang penilaian kinerja tenaga kerja yang disesuaikan
dengan misi, tujuan dan hasil. Metrik ini berguna untuk
menentukan apakah seluruh karyawan memiliki kinerja
yang secara efektif berhubungan dengan misi, tujuan dan
hasil organisasi.
42
3. Metrik perspektif karyawan : metriks ini memuat
tentang skor karyawan tentang budaya kinerja yang
berorientasi hasil. Metrik ini menentukan apakah karyawan
percaya bahwa bahwa budaya organisasi mengacu pada
peningkatan proses, produk dan jasa dan hasil organisasi.
4. Metrik merit sistem : metrik ini menentukan
bahwa keputusan, kebijakan, proses dan pelaksanaan
budaya yang berorientasi hasil sesuai dengan prinsip,
hukum yang berhubungan, aturan dan regulasi.
d. The Talent Management System
Sistem manajemen bakat merupakan implementasi sistem
HCAAF yang terfokus pada kepemilikan kualitas manusia
yang sesuai dengan kompetensi dalam aktivitas misi yang
kritis. Menurut pengertian ini, sistem manajemen bakat adalah,
as system that addresses competency gaps, particularly in
mission- critical occupations, by implementing and
maintaining programs to attract, acquire, promote, and retain
quality talent. Dalam definisi ini sistem manajemen bakat
merupakan sistem yang menunjukkan kesenjangan kompetensi,
khususnya untuk pekerjaan-pekerjaan dengan misi kritis
dengan cara penerapan dan perbaikan program dengan tujuan
menarik, memperoleh, memacu dan mempertahankankan
kualitas talenta. Dalam pelaksanaannya, sistem manajemen
bakat ini dicantumkan dalam sebuah metrik.
43
Tabel 2.2 Metric The Talent Management System
Required Metric Description Purpose
Organization Metric:
Competency Gaps Closed
for Mission Critical
Occupations
Difference between
competencies needed and
competencies possessed by
employees in mission critical
occupations
To determine how the
agency should target its
recruitment, retention, and
development efforts to bring
the competencies of its
workforce into alignment
with the agency’s current
and future needs Employee Perspective
Metric: Talent
Management Index
A score based on Items from
the government wide Annual
Employee Survey
To determine the extent to
which employees think
the organization has talent
necessary to achieve
organizational goals
Employee Perspective
Metric: Job Satisfaction
Index
A score based on items from
the governmentwide Annual
Employee Survey
To determine the extent to
which employees are
satisfied with their jobs
and various aspects
thereof
44
Merit System Metric:
Merit-Based Execution of
the Talent Management
system
An assessment, conducted by
OPM or by agencies with
OPM oversight, of
compliance with merit
system principles and related
laws, rules, and regulations
governing the Talent
Management system
To determine that
decisions, policies,
processes, and practices
executed under the Talent
Management system
comply with the merit
system principles and
related laws, rules, and
regulations
1. Metrik organisasi, yang memuat tentang
kesenjangan kompetensi yang berhubungan dengan
pekerjaan dengan misi kritis. Metrik ini menjelaskan
perbedaan antara kompetensi yang dibutuhkan dengan
kompetensi yang dimiliki dimana keduanya berhubungan
dengan pekerjaan dengan misi khusus. Metrik ini berguna
untuk menentukan target rekrutment, mempertahankan
karyawan yang ada dan usaha-usaha pengembangan
sesuai dengan kebutuhan pada saat ini dan akan datang.
2. Metrik perspektif karyawan, metrik ini menentukan
apakah menurut pendapat karyawan organisasi memiliki
orang-orang yang berbakat yang diperlukan untuk mencapai
tujuan organisasi.
3. Metrik perspektif karyawan, metrik ini menentukan
apakah karyawan merasa puas dengan pekerjaan dan
45
berbagai aspek yang ada.
4. Metrik Merit sistem. Metrik ini berfungsi untuk
menentukan bahwa keputusan, kebijakan, proses dan
pelaksanaan sistem manajemen bakat sesuai dengan
prinsip, aturan dan hukum yang berlaku.
e. The Accountability Sy s t e m
Akuntabilitas merupakan sistem HCAAF untuk
mengevaluasi hasil dan menyediakan alat untuk
mengawasi dan menganalisis kinerja organisasi dari
seluruh aspek dalam kebijakan human capital manajemen
(HCM), program dan aktivitas yang harus mendukung
misi perusahaan tersebut. Sistem ini harus dijalankan
dengan efektif dan sesuai dengan prinsip merit sistem.
Sistem ini didefinisikan sebagai, a system that contributes
to agency ssperformance by monitoring and evaluating the
results of its human capital management policies, programs
and activities, by analyzing compliance with merit system
principles and by identifying and monitoring. Sistem ini
berkontribusi terhadap kinerja organisasi dengan
pengawasan dan evaluasi hasil kebijakan, program dan
aktivitas human capital.
46
BAB 3
APLIKASI DAN ANALISIS KRITIS
3.1 Aplikasi
Bagian Diklat
RSUD AL IHSAN
Bagian Diklat
Awal berdiri tahun 1996 sebagai Insatalsi Diklat yang dipimpin oleh Dra.
Hj. Maria Zaina Rachmansjah (1996-2004) dan sejak tahun 2004 sesuai
dengan kebutuhan manajemen dirubah menjadi Bagian Diklat yang
dipimpin oleh dr. H. Pandith A. Arismunandar, MM
Bagian Diklat mempunyai tugas pokok sebagai berikut :
1. pengembangan SDM rumah sakit melalui kegiatan
pendidikan dan latihan Formal dan Non Formal yang kompeten dengan
landasan Aqidah Islam
2. Meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap SDM
rumah sakit yang Amanah dilandasi Iman dan Taqwa (IMTAQ), serta
memenuhi persyaratan Ilmu Pengetahuan dan Tekhnologi (IPTEK) terkini
3. Menjalin kerjasama dengan pihak terkait dalam negeri /
luar negeri , dalam penyelenggaraan pendidikan / pelatihan / training/
seminar / simposium yang berhasil guna dan berdaya guna
47
Visi
Menjadi tempat Pendidikan , Pelatihan dan Penelitian yang unggul dan
mandiri yang bernuansa Islam
M i s i
� Menyelenggarakan pelayanan kegiatan pendidikan dan
pelatihan yang berkualitas, efisien dan efektif dengan berpedoman
kepada Rencana Strategis Rumah Sakit
� Menyiapkan SDM profesional yang bertumpu pada
peningkatan aspek Knowledge, Skill dan Afektif dengan mengikuti
perkembangan IPTEK (Evidence Based) yang memiliki jiwa Ahlakul
kharimah
� Mengupayakan bagian Diklat menjadi Unit Profit Center
dengan menyelenggarakan kegiatan pendidikan dan pelatihan formal / non
formal yang mempunyai nilai jual
� Diperolehnya kepuasan dan kenyamanan dan keamanan
dalam kegiatan diklat yang diselenggarakan baik secara internal dan
external.
N i l a i - n i l a i :
� Adanya komitmen bersama untuk keselarasan dalam
mencapai Visi Diklat dan Visi Rumah Sakit
� Berkomitmen dengan mutu melalui pola TQM sebagi
kunci sukses keberhasilan
48
� Berpedoman kepada Bio Ethico Medico Legal yang tidak
bertentangan dengan kaidah Islam
� Senyum, sapa, santun dan sabar menjadi sikap amanah
para petugas diklat
Dalam bidang peningkatan sumber daya manusia menjadi
perhatian penting khsusunya bidang pendidikan formal sdm keperawatan
melalui penyetaraan jenjang DIII serta S1 Keperawatan, peningkatan SDM
non medis jenjang DIII dan S1 berbagai disiplin ilmu serta program dokter
spesialist.
Untuk melaksanakan tugas dan fungsi rumah sakit sejak tahun
2000 telah dibuat kebijakan bahwa tenaga keperawatan diharuskan
berpendidikan minimlal DIII keperawatan. Untuk tenaga perawat yang
berpendidikan SPK diusahakan untuk melanjutkan jenjang pendidikannya
ke AKPER / DIII keperawatan dan dilakukan secara bertahap karena
adanya keterbatasan dana.
Jumlah tenaga yang telah mengikuti pendidikan formal adalah :
1. Pendidikan DIII
� Keperawatan 44 orang
� Kebidanan 1 orang
� Kesehatan Gigi 1 orang
� Anesthesi 1 orang
2. S1 Sedangkan untuk tenaga Non Medis sebagai berikut :
� S2 Manajemen 7 orang
� S1 Manajemen 10 orang
49
� S1 Keperawatan 5 orang
� DIII Rekam Medis 1 orang
Untuk tenaga medis dari dokter umum kejenjang spesilaist sebagai
berikut :
� Spesialist Patologi Klinik 1 orang
� Spesialist Kebidanan 1 orang
� Spesilaist Syaraf 1 orang
Dalam hal pelatihan, memfokuskan diri pada berbagai upaya
peningkatan kinerja karyawan yang berkaitan dengan aspek manajemen
dan klinis baik yang diselenggaranan oleh internal maupun oleh external,
seperti manajemen kepala ruangan, manajemen pelayanan, PPGD, ACLS.
Berkaitan dengan peningkatan sumberdaya manusia RSI Al Ihsan
juga dijadikan sebagai tempat pendidikan dan penelitian baik oleh tenaga
medis maupun non medis mulai dari tingkat SLTA sampai program Pasca
Sarjana.
Sejak tahun 2004 RSI Al Ihsan telah mengadakan perjanjian
kerjasama sebagai lahan praktek program pendidikan profesi dokter
Universitas Islam Bandung.
Sumber : http://rsudalihsan.jabarprov.go.id/bag_diklat.html
3.2 Analisis kritis
Di RSI Al - Ihsan memiliki bagian instalasi diklat. Dimana
instalasi diklat ini memiliki tugas pokok, yaitu pengembangan SDM
rumah sakit melalui kegiatan pendidikan dan latihan formal dan non
50
formal yang kompeten dengan landasan Aqidah Islam, meningkatkan
pengetahuan, keterampilan dan sikap SDM rumah sakit yang amanah
dilandasi iman dan taqwa (IMTAQ), serta memenuhi persyaratan ilmu
pengetahuan dan teknologi (IPTEK) terkini, menjalin kerjasama dengan
pihak terkait dalam negeri / luar negeri , dalam penyelenggaraan
pendidikan / pelatihan / training/ seminar / simposium yang berhasil guna
dan berdaya guna. Dari tugas pokok yang ada di instalasi ini kita
mendapatkan tiga aspek yang menjadi kefokusan instalasi ini dengan
harapan dapat memaksimalkan konsep human capital, yaitu aspek aqidah,
pengetahuan keterampilan, dan pengalaman. Tiga aspek ini mewakili
komponen human capital, menurut ancook 2002 ada 6 komponen yaitu
Modal intelektual, emosional, sosial, ketabahan, moral, kesehatan. Tiga
aspek ini yang menjadi kefokusan diklat merupakan upaya konkrit yang
dilakukan diklat dalam memaksimalkan konsep human capital.
Upaya pemaksimalan human capital juga terlihat dari visi yang
diusung diklat instalasi ini yaitu Menjadi tempat Pendidikan , Pelatihan
dan Penelitian yang unggul dan mandiri yang bernuansa Islam. Tanda
upaya memaksimalkan konsep human capital yang tercermin dalam visi
instalasi ini semakin jelas ketika kita mencoba memahami jabaran visi
berupa misi-misi yaitu diadakannya pendidikan dan pelatihan untuk
menyiapkan SDM profesional guna tercapainya kepuasan kerja.
Perhatikan sekali lagi, kita melihat alur pengelolaan yang di
siapkan pihak instalasi diklat dalam upaya memaksimalkan konsep human
capital. Yang pertama mengidentifikasi kesiapan sdm yang ada, itulah
51
kenapa pihak instalasi diklat ini memaparkan profil sdm yang tersedia, hal
ini diharapakan dapat mengetahui sudah memenuhi standar tidak sdm
yang tersedia, jika belum maka akan di berikan pendidikan dan pelatihan
guna upgrade sdm. Mereka juga memberikan standar tingkat pendidikan.
Pemberian pelatihan dan pendidikan merupakan salah satu tahap
pengelolaan human capital yaitu pengembangan human capital.
52
BAB 4
PENUTUP
4.1 Kesimpulan
Human capital merupakan teori dalam manajemen SDM yaitu
melihat bahwasanya sumber daya manusia merupakan suatu aset
intengible. Ini berbanding terbalik dengan teori human resources yang
menyatakan bahwa manusia sebagai suatu beban biaya. Namun dalam
penerapannya kedua teori ini dapat bersinergis yaitu dimana human
resources sebagai dasar penggunaan human capital.
Komponen human capital sendiri menurut Ancook 2002 terdapat 6
komponen yaitu intelektual, emosi, sosial, ketabahan, moral, kesehatan.
Dimana keenam komponen ini akan bekerja optimal jika disertai dengan
modal kepemimpinan dan modal struktur orgaanisasi yang efektif.
Adapun pengelolaan human capital melalui tiga tahapan yaitu
mengidentifikasi kesiapan human capital, pengembangan human capital
serta pengukuran human capital. Pengukuran human capital sangat
diperlukan untuk dapat menilai kontribusi dan produktifitas karyawan
pada suatu perusahaan.
4.2 Saran
Diharapkan semakin banyaknya organisasi yang menerapkan
human capital pada manajemennya. Organisasi harus melihat manusia
sebagai aset bukan sebagai beban, karena akan lebih memberikan
keuntungan lebih baik bagi organisasi dan juga pekerja. Agar setiap
53
organisasi bisa menerapkan human capital pada setiap organisasinya, maka
harus bisa memahi komponen, cara pengembangan, dan juga bagaimana
cara pengukuran human capital. Penerapan human capital bisa berupa
pemberian pendidikan dan pelatihan pada pekerja di organisasinya.
54
DAFTAR PUSTAKA
Kaplan, R.S. and Norton, D.P. (1992). The Balanced Scorecard – Measures that
Drive Performance, Harvard Business Review, January–February, 71–79.
Kaplan, R.S. and Norton, D.P. (2004). Strategy Maps: Converting Intangible
Assets into Tangible Outcomes. Harvard Business Review, 71–9.
Cheese & Bob Thomes.(2003).Human Capital Measurement How To Do You
Measure Up?.Accenture human Performance Insight.
Paul Squires.(2005). Concept on Managing Human Capital Applied
Skill and knowledge. LLC. Morristown NJ.
www.slideshare.net/dianechristina/human-capital-measurement-presentation?
from=ss_embed 16:30 16/05/12