Kekerasan dlm rmh tangga

1
KEKERASAN DAN KONFLIK RUMAH TANGGA SERTA SOLUSINYA AGAIMANA sebuah keluarga yang ideal menurut anda? Pertanyaan ini tentulah sangat mudah untuk memahaminya. Keluarga ideal adalah sebuah keluarga yang terpenuhi semua kebutuhannya dan kemudian teratur komunikasinya serta saling menghargai dan memperhatikan satu sama lain. Memang benar bahwa sepasang suami isteri atau ayah dan ibu merupakan insan yang memiliki peranan besar dan utama dalam membina sebuah keluarga. Untuk menjalankan peran ini, tentunya diperlukan banyak hal dari berbagai aspek, seperti ilmu pengetahuan tentang kekeluargaan dan perkawinan, pengetahuan pendidikan, perkembangan anak-anak dan kemantapan intelektual serta emosi kejiwaan. Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Aceh, Raihan Putri, mengatakan bahwa semua faktor pendukung yang harus dimiliki suami isteri seperti yang sudah disebutkan di atas sudah selayaknya harus dimiliki dan diseimbangkan kadarnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mutlak dilakukan untuk menghindari terjadinya konflik dan perselisihan keluarga. Konflik keluarga menjadi faktor pendukung penyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumah tangga. Diakui oleh Raihan bahwa masih banyak masyarakat yang kurang memahami bahwa jika terjadi konflik dalam sebuah keluarga, yang sangat rentan menjadi korban tindak kekerasan adalah perempuan dan anak. Dalam Pasal 1 (1) Undang-undang No. 23 tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa kekerasan dalam rumah tangga adalah setiap perbuatan terhadap seorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. Di Aceh sendiri, tindak kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam rumah tangga, juga kerap terjadi. Pascatsunami, ribuan bahkan ratusan ribu jiwa kehilangan keluarga mereka. Kondisi ini membuat mereka kembali berupaya untuk membentuk sebuah keluarga yang baru demi menyeimbangkan kehidupannya. Dalam kenyataannya, kehidupan keluarga baru ini terkadang tidak berjalan dengan mulus. Raihan Putri mengatakan, dengan berbagai sebab, ada banyak konflik yang terjadi dan menimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga. Walaupun demikian, sangat disayangkan bahwa sebagian besar kasus kekerasan tidak terselesaikan dengan baik, baik melalui jalur hukum ataupun tindakan secara adat. Hal ini terjadi karena adanya anggapan bahwa setiap hal yang terjadi di dalam keluarga merupakan sebuah rahasia yang tidak boleh diketahui oleh umum dan merupakan aib bagi pasangan suami isteri. Padahal menurut Raihan, pelibatan pihak ketiga sebagai mediator untuk menyelesaikan konflik yang terjadi dalam keluarga akan menjadi hal penting untuk mempertahankan keutuhan keluarga itu sendiri. Hal senada juga dikatakan Maina, Staf Mitra Sejati Perempuan Indonesia (MiSPI) Aceh. ANDA DAN HUKUM DALAM KESEHARIAN - 77 Rubrik ini dipublikasikan atas kerjasama Harian Serambi INDONESIA dengan IDLO Semua artikel dalam seri ini dapat ditemukan pada website IDLO di http://www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp Menurut Maina, kekerasan terhadap perempuan merupakan masalah yang paling banyak terjadi di daerah-daerah di Indonesia, termasuk Aceh. “Dalam sebulan bisa lebih dari tiga pelaporan kasus tindak kekerasan yang diterima MiSPI,” ujar Maina. Dengan kenyataan tersebut, tidak heran bahwa dari data yang dikeluarkan MiSPI Aceh, jumlah kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang ditangani oleh MiSPI Aceh melonjak sangat drastis dari 8 kasus di tahun 2006 menjadi 65 kasus di tahun 2007. Sementara itu kasus tindak kekerasan terhadap perempuan (di luar rumah tangga) di tahun 2006 mencapai 4 kasus dan di tahun 2007 meningkat menjadi 7 kasus. Kasus-kasus tersebut disebabkan oleh tidak hanya budaya patriarki dimana laki-laki lebih dominan dalam kehidupan keluarga dan masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh faktor ekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakat tentang pemahaman hukum yang melarang tindak kekerasan dalam rumah tangga. Walaupun demikian, sebut Maina, disayangkan bahwa dengan adanya pandangan bahwa semua persoalan keluarga cukup diketahui oleh keluarga inti yang bersangkutan saja, tidak banyak konflik dalam keluarga yang berbuntut tindak kekerasan dalam rumah tangga diselesaikan secara hukum. Padahal, tambah Maina, persoalan tindak kekerasan, apalagi yang sudah menjurus ke arah yang lebih berat, sebaiknya diselesaikan secara hukum sehingga perempuan yang menjadi korban bisa terlindungi dengan baik dan memiliki jaminan kuat untuk tidak lagi mengalami kekerasan tersebut. Pandangan di atas juga diakibatkan minimnya pengetahuan masyarakat tentang pemahaman hukum yang melindungi kaum perempuan. Maina menyebutkan bahwa masih banyak anggota masyarakat yang belum terlalu memahami undang-undang, khususnya Undang-undang nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Menurut Maina, MiSPI sendiri merupakan organisasi nonpemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan penegakan hak-hak kemanusiaan berdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dan keadilan. Selama ini MiSPI merupakan lembaga yang selalu peduli terhadap hal-hal yang berkaitan dengan hukum dan perempuan. Untuk menangani kasus-kasus tindak kekerasan terhadap perempuan, kini MiSPI pun sudah memiliki rumah aman bagi korban kekerasan sehingga korban bisa ditangani dan didampingi dengan baik. Rumah aman ini berfungsi untuk memberi perlindungan pada korban tindak kekerasan terutama perempuan, sehingga korban bisa merasa lebih baik dan bisa terus melupakan trauma yang dirasakannya. Upaya penyelesaian konflik di dalam rumah tangga bisa ditempuh dengan dua cara, dengan jalur litigasi (menggunakan jalur hukum) dan jalur nonlitigasi (musyawarah dan mufakat keluarga namun tetap melibatkan pihak ketiga sebagai mediatornya). Upaya nonlitigasi biasanya menjadi jalan upaya awal yang ditawarkan untuk menyelesaikan perselisihan. Dengan dilakukan musyawarah, diharapkan persoalan bisa diselesaikan dengan baik dan tentunya bisa terus mempertahankan tali silaturrahmi keluarga. Hanya saja, sebut Maina, penyelesaian persoalan melalui musyawarah mempunyai kelemahan yaitu tidak adanya jaminan tertulis bahwa korban tindak kekerasan tidak akan mengalami hal yang sama di kemudian hari. Kendati demikian, cara ini selalu dikedepankan sebagai mediasi penyelesaian konflik dan perselisihan keluarga. Sementara itu, upaya litigasi adalah upaya akhir jika perselisihan dan konflik tidak bisa diselesaikan secara kekeluargaan. Pelibatan aparat penegak hukum akan memberi pemahaman hukum lebih luas kepada korban dan pelaku tindak kekerasan. Pascatsunami, di Aceh, khususnya Kota Banda Aceh, sejumlah lembaga penegakan hukum seperti kepolisian dan lembaga kesehatan seperti rumah sakit, kini sudah menyediakan ruang khusus untuk penanganan masalah hukum yang berkaitan dengan perempuan dan anak. Di kepolisian misalnya, kini sudah tersedia satu sarana yang disebut Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yang dikhususkan untuk menangani tidak kejahatan yang menyebabkan kekerasan terhadap perempuan dan anak. Selain itu, di rumah sakit kini juga ada layanan konsultasi terkait dengan persoalan tindak kekerasan terhadap perempuan dan anak. Salah satu rumah sakit yang sudah menyediakan layanan ini adalah rumah sakit Bhayangkari Banda Aceh. Adanya berbagai sarana dan fasiltas pelayanan untuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di rumah tangga, sebut Raihan, akan lebih memberikan satu pemahaman dan pelayanan hukum yang lebih baik terhadap dua kelompok rentan ini. Raihan Putri menambahkan bahwa dalam mencari upaya penyelesaian konflik dalam keluarga, sebaiknya tidak hanya bertumpu pada satu jalan saja, misalnya dengan membiarkan saja konflik berlangsung hingga berhenti dengan sendirinya. Sebelum melibatkan pihak ketiga, ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk berintrospeksi terhadap masalah yang timbul, yaitu 1. Menilai bentuk tingkah laku yang dikatakan bermasalah 2. Memberi pengertian terperinci secara lebih objektif terhadap tingkah laku yang bermasalah itu 3. Memberi gambaran terhadap masalah yang ada. 4. Mencari masukan untuk upaya penyelesaian, 5. Terus berupaya berkomunikasi untuk menyelesaikan masalah. Dengan demikian, jika ada perselisihan atau konflik di dalam keluarga, sebaiknya mereka dianjurkan untuk melibatkan pihak ketiga untuk menyelesaikan kasus tersebut sesegera mungkin. Selain itu pihak yang berselisih perlu dianjurkan untuk tidak ragu-ragu untuk meminta pendapat pihak ketiga karena memang itu diperlukan untuk memberi banyak alternatif solusi menyelesaikan masalah dan konflik. ***** B

Transcript of Kekerasan dlm rmh tangga

Page 1: Kekerasan dlm rmh tangga

KEKERASAN DAN KONFLIK RUMAH TANGGA SERTA SOLUSINYAAGAIMANA sebuah keluarga yang idealmenurut anda? Pertanyaan ini tentulah sangatmudah untuk memahaminya. Keluarga ideal

adalah sebuah keluarga yang terpenuhi semuakebutuhannya dan kemudian teratur komunikasinyaserta saling menghargai dan memperhatikan satu samalain. Memang benar bahwa sepasang suami isteri atau ayah dan ibu merupakan insan yang memiliki perananbesar dan utama dalam membina sebuah keluarga.Untuk menjalankan peran ini, tentunya diperlukanbanyak hal dari berbagai aspek, seperti ilmupengetahuan tentang kekeluargaan dan perkawinan, pengetahuan pendidikan, perkembangan anak-anakdan kemantapan intelektual serta emosi kejiwaan.

Kepala Badan Pemberdayaan Perempuan danPerlindungan Anak Aceh, Raihan Putri, mengatakanbahwa semua faktor pendukung yang harus dimilikisuami isteri seperti yang sudah disebutkan di atassudah selayaknya harus dimiliki dan diseimbangkankadarnya dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini mutlakdilakukan untuk menghindari terjadinya konflik danperselisihan keluarga.

Konflik keluarga menjadi faktor pendukungpenyebab terjadinya tindak kekerasan dalam rumahtangga. Diakui oleh Raihan bahwa masih banyakmasyarakat yang kurang memahami bahwa jikaterjadi konflik dalam sebuah keluarga, yang sangatrentan menjadi korban tindak kekerasan adalahperempuan dan anak.

Dalam Pasal 1 (1) Undang-undang No. 23 tahun2004 tentang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga, disebutkan bahwa kekerasan dalam rumahtangga adalah setiap perbuatan terhadap seorangterutama perempuan, yang berakibat timbulnyakesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual,psikologis dan/atau penelantaran rumah tanggatermasuk ancaman untuk melakukan perbuatan,pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secaramelawan hukum dalam lingkup rumah tangga.

Di Aceh sendiri, tindak kekerasan terhadapperempuan, khususnya dalam rumah tangga, jugakerap terjadi. Pascatsunami, ribuan bahkan ratusanribu jiwa kehilangan keluarga mereka. Kondisi inimembuat mereka kembali berupaya untuk membentuksebuah keluarga yang baru demi menyeimbangkankehidupannya. Dalam kenyataannya, kehidupankeluarga baru ini terkadang tidak berjalan dengan mulus. Raihan Putri mengatakan, dengan berbagaisebab, ada banyak konflik yang terjadi danmenimbulkan tindak kekerasan dalam rumah tangga.

Walaupun demikian, sangat disayangkan bahwasebagian besar kasus kekerasan tidak terselesaikandengan baik, baik melalui jalur hukum ataupuntindakan secara adat. Hal ini terjadi karena adanyaanggapan bahwa setiap hal yang terjadi di dalam keluarga merupakan sebuah rahasia yang tidakboleh diketahui oleh umum dan merupakan aib bagipasangan suami isteri. Padahal menurut Raihan, pelibatan pihak ketiga sebagai mediator untukmenyelesaikan konflik yang terjadi dalam keluargaakan menjadi hal penting untuk mempertahankankeutuhan keluarga itu sendiri.

Hal senada juga dikatakan Maina, Staf MitraSejati Perempuan Indonesia (MiSPI) Aceh.

ANDA DAN HUKUM DALAM KESEHARIAN - 77

Rubrik ini dipublikasikan atas kerjasama Harian Serambi INDONESIA dengan IDLO

Semua artikel dalam seri ini dapat ditemukan pada website IDLOdi http://www.idlo.int/English/External/IPacehnews.asp

Menurut Maina, kekerasan terhadap perempuanmerupakan masalah yang paling banyak terjadi di daerah-daerah di Indonesia, termasuk Aceh. “Dalam sebulan bisa lebih dari tiga pelaporan kasus tindakkekerasan yang diterima MiSPI,” ujar Maina.

Dengan kenyataan tersebut, tidak heran bahwadari data yang dikeluarkan MiSPI Aceh, jumlahkasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yangditangani oleh MiSPI Aceh melonjak sangat drastisdari 8 kasus di tahun 2006 menjadi 65 kasus ditahun 2007. Sementara itu kasus tindak kekerasanterhadap perempuan (di luar rumah tangga) di tahun2006 mencapai 4 kasus dan di tahun 2007meningkat menjadi 7 kasus. Kasus-kasus tersebutdisebabkan oleh tidak hanya budaya patriarki dimanalaki-laki lebih dominan dalam kehidupan keluargadan masyarakat, tetapi juga disebabkan oleh faktorekonomi dan minimnya pengetahuan masyarakattentang pemahaman hukum yang melarang tindakkekerasan dalam rumah tangga.

Walaupun demikian, sebut Maina, disayangkanbahwa dengan adanya pandangan bahwa semuapersoalan keluarga cukup diketahui oleh keluargainti yang bersangkutan saja, tidak banyak konflikdalam keluarga yang berbuntut tindak kekerasandalam rumah tangga diselesaikan secara hukum.Padahal, tambah Maina, persoalan tindak kekerasan,apalagi yang sudah menjurus ke arah yang lebih berat,sebaiknya diselesaikan secara hukum sehinggaperempuan yang menjadi korban bisa terlindungi dengan baik dan memiliki jaminan kuat untuk tidaklagi mengalami kekerasan tersebut. Pandangan diatas juga diakibatkan minimnya pengetahuanmasyarakat tentang pemahaman hukum yangmelindungi kaum perempuan. Maina menyebutkanbahwa masih banyak anggota masyarakat yangbelum terlalu memahami undang-undang, khususnyaUndang-undang nomor 23 tahun 2004 tentangpenghapusan kekerasan dalam rumah tangga.

Menurut Maina, MiSPI sendiri merupakanorganisasi nonpemerintah yang bertujuan untuk mewujudkan penegakan hak-hak kemanusiaanberdasarkan prinsip-prinsip kesetaraan dankeadilan. Selama ini MiSPI merupakan lembagayang selalu peduli terhadap hal-hal yang berkaitandengan hukum dan perempuan.

Untuk menangani kasus-kasus tindak kekerasanterhadap perempuan, kini MiSPI pun sudah memiliki rumah aman bagi korban kekerasan sehingga korbanbisa ditangani dan didampingi dengan baik. Rumahaman ini berfungsi untuk memberi perlindungan padakorban tindak kekerasan terutama perempuan,sehingga korban bisa merasa lebih baik dan bisa terus melupakan trauma yang dirasakannya.

Upaya penyelesaian konflik di dalam rumahtangga bisa ditempuh dengan dua cara, dengan jalurlitigasi (menggunakan jalur hukum) dan jalur nonlitigasi(musyawarah dan mufakat keluarga namun tetapmelibatkan pihak ketiga sebagai mediatornya). Upayanonlitigasi biasanya menjadi jalan upaya awal yangditawarkan untuk menyelesaikan perselisihan. Dengandilakukan musyawarah,diharapkan persoalan bisa diselesaikan dengan baik

dan tentunya bisa terus mempertahankan talisilaturrahmi keluarga. Hanya saja, sebut Maina,penyelesaian persoalan melalui musyawarahmempunyai kelemahan yaitu tidak adanya jaminantertulis bahwa korban tindak kekerasan tidak akanmengalami hal yang sama di kemudian hari. Kendatidemikian, cara ini selalu dikedepankan sebagai mediasi penyelesaian konflik dan perselisihankeluarga.

Sementara itu, upaya litigasi adalah upaya akhirjika perselisihan dan konflik tidak bisa diselesaikansecara kekeluargaan. Pelibatan aparat penegakhukum akan memberi pemahaman hukum lebih luaskepada korban dan pelaku tindak kekerasan.

Pascatsunami, di Aceh, khususnya KotaBanda Aceh, sejumlah lembaga penegakan hukumseperti kepolisian dan lembaga kesehatan sepertirumah sakit, kini sudah menyediakan ruang khusus untuk penanganan masalah hukum yang berkaitandengan perempuan dan anak. Di kepolisianmisalnya, kini sudah tersedia satu sarana yangdisebut Ruang Pelayanan Khusus (RPK) yangdikhususkan untuk menangani tidak kejahatan yangmenyebabkan kekerasan terhadap perempuan dananak. Selain itu, di rumah sakit kini juga ada layanankonsultasi terkait dengan persoalan tindak kekerasanterhadap perempuan dan anak. Salah satu rumahsakit yang sudah menyediakan layanan ini adalahrumah sakit Bhayangkari Banda Aceh.

Adanya berbagai sarana dan fasiltas pelayananuntuk penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak yang terjadi di rumah tangga,sebut Raihan, akan lebih memberikan satupemahaman dan pelayanan hukum yang lebih baikterhadap dua kelompok rentan ini.

Raihan Putri menambahkan bahwa dalammencari upaya penyelesaian konflik dalam keluarga,sebaiknya tidak hanya bertumpu pada satu jalansaja, misalnya dengan membiarkan saja konflik berlangsung hingga berhenti dengan sendirinya.

Sebelum melibatkan pihak ketiga, ada beberapahal yang perlu dilakukan untuk berintrospeksiterhadap masalah yang timbul, yaitu1. Menilai bentuk tingkah laku yang dikatakan

bermasalah2. Memberi pengertian terperinci secara lebih

objekt i f terhadap t ingkah laku yangbermasalah itu

3. Memberi gambaran terhadap masalah yang ada.4. Mencari masukan untuk upaya penyelesaian,5. Terus berupaya berkomunikas i untuk

menyelesaikan masalah.Dengan demikian, jika ada perselisihan atau

konflik di dalam keluarga, sebaiknya merekadianjurkan untuk melibatkan pihak ketiga untukmenyelesaikan kasus tersebut sesegera mungkin.Selain itu pihak yang berselisih perlu dianjurkan untuktidak ragu-ragu untuk meminta pendapat pihak ketigakarena memang itu diperlukan untuk memberibanyak alternatif solusi menyelesaikan masalah dankonflik. *****

B