Kegagalan Multi Organ

22
KEGAGALAN MULTI ORGAN Patofisiologi, Pencegahan dan Terapi ISKEMIA DAN REPERFUSI SEBAGAI PENYEBAB KEGAGALAN MULTI ORGAN Kegagalan multi organ terus menjadi penyebab kematian lanjut setelah cedera. Kegagalan multi organ juga menjadi penyebab terbanyak mortalitas di unit terapi intensif setelah penyakit medis katastrofik mayor dan komplikasi bedah. Patogenesis dari sindrom ini masih belum dapat dimengerti sepenuhnya, tapi cenderung berkaitan dengan sejumlah kombinasi dari respon inflamasi disregulasi, maldistribusi aliran darah, cedera iskemia-reperfusi dan disregulasi fungsi imun. Awalnya sindrom kegagalan multi organ diduga sebagai akibat dari sepsis. Ide ini berdasarkan pengamatan bahwa onset dini dari kegagalan respiratorik setelah sejumlah kejadian stress koinsiden dengan respon septic pada banyak pasien. Respon ini antara lain meliputi demam, leukosistosis, peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi vascular perifer. Goris dan kawan-kawan mendemonstrasikan bahwa lebih dari 50% pasien mengalami kegagalan multi system organ tanpa bukti adanya infeksi. 1

Transcript of Kegagalan Multi Organ

Page 1: Kegagalan Multi Organ

KEGAGALAN MULTI ORGAN

Patofisiologi, Pencegahan dan Terapi

ISKEMIA DAN REPERFUSI SEBAGAI PENYEBAB

KEGAGALAN MULTI ORGAN

Kegagalan multi organ terus menjadi penyebab kematian lanjut setelah cedera.

Kegagalan multi organ juga menjadi penyebab terbanyak mortalitas di unit terapi intensif

setelah penyakit medis katastrofik mayor dan komplikasi bedah. Patogenesis dari

sindrom ini masih belum dapat dimengerti sepenuhnya, tapi cenderung berkaitan dengan

sejumlah kombinasi dari respon inflamasi disregulasi, maldistribusi aliran darah, cedera

iskemia-reperfusi dan disregulasi fungsi imun.

Awalnya sindrom kegagalan multi organ diduga sebagai akibat dari sepsis. Ide ini

berdasarkan pengamatan bahwa onset dini dari kegagalan respiratorik setelah sejumlah

kejadian stress koinsiden dengan respon septic pada banyak pasien. Respon ini antara lain

meliputi demam, leukosistosis, peningkatan cardiac output dan penurunan resistensi

vascular perifer. Goris dan kawan-kawan mendemonstrasikan bahwa lebih dari 50%

pasien mengalami kegagalan multi system organ tanpa bukti adanya infeksi. Sebagai

tambahan, Nuytinck dkk. Menemukan bahwa pasien dengan kegagalan multi organ yang

meninggal memiliki bukti adanya inflamasi akut dan kronik pada seluruh organ mereka.

Penemuan ini mengarah pada ide bahwa kegagalan multi system organ berasal dari

sindrom respon inflamasi sistemik (systemic inflammatory response syndrome/SIRS) dan

disregulasi respon hiperinflamasi sistemik dari pada sepsis atau infeksi. Satu kejadian

tersering yang dapat menyebabkan scenario ini adalah iskemia/cedera reperfusi. Tujuan

tinjauan ini adalah untuk membahas ide bahwa iskemia/cedera reperfusi adalah suatu

kejadian yang sering menjadi predisposisi sindrom klinis dari kegagalan multiple system

organ.

Meskipun istilah kegagalan muti organ pertamakali disebutkan pada akhir

1970an, sindrom klinisnya telah dijelaskan dengan baik pada awal 1960an. Haimovici

1

Page 2: Kegagalan Multi Organ

menggambarkan seorang laki-laki usia 60 tahun dengan iskemia tungkai akut akibat

emboli artei femoralis. Pasien ini menjalani operasi pemindahan emboli diikuti dengan

fasciotomi untuk pembengkakan yang berat. Prosedur tersebut diselesaikan dalam waktu

8 jam setelah onset nyeri. Postoperasi, pasien mengalami gagal jantung, gagal ginjal,

gagal pulmo dan gagal tungkai, dan kemudian pasien ini meninggal. Haimovisi menyebut

hal ini sebagai sindrom myonephropathic-metabolik, tetapi saat ini kita menyadari bahwa

gejala local yang menyebabkan pembengkakan ekstremitas adalah sebagai akibat dari

iskemia/cedera reperfusi, suatu deteriorasi sistemik sebagai SIRS dan disfungsi atau

kegagalan multi organ. Kedua kegagalan sistemik dan local ini sekarang diketahui

sebagai akibat dari respon inflamasi local dan sistemik sebagai hasil cedera

reperfusi/iskemik pada jaringan dengan darah yang teroksigenasi.

Patofisiologi yang tercatat dengan baik dari cedera iskemia adalah hilangnya

oksigen sebagai hasil dari perubahan metabolisme aerob menjadi anerob pada tingkat

seluler. Seiring teknik pembedahan untuk menahan aliran iskemia ke organ telah

meningkat, menjadi jelas bahwa terdapat suatu periode waktu yang terbatas dari organ

seseorang untuk dapat mentoleransi iskemia sebelum kerusakan ireversibel terjadi.

Pengamatan ini mendasari prinsip terapi bedah bahwa outcome dari prosedur apapun

untuk menahan aliran iskemia jaringan adalah cesara proporsional terbalik dengan waktu

dan onset dari iskemia untuk menahan alirannya. Bagaimanapun, iskemia sebagai

penyebab kematian tidak dapat menjelaskan semua gejala dari penyakit.

KOMPONEN DARI ISKEMIA/REPERFUSI

Kita sekarang mengetahui dari penelitian dasar model iskemia dan reperfusi bahwa dua

masalah dasar terjadi selama reperfusi dari otot skelet yang iskemik. Pertama adalah

fenomena no-reflow: selama restorasi aliran ke jaringan, sejumlah persentase kapiler

bahkan cabang-cabang arteri kecil tetap teroklusi dengan thrombus, dengan konsekuensi

iskemi yang nyata pada sel yang disuplai oleh pembuluh tersebut. Masalah kedua adalah

cedera sel endotel generalisata sebagai akibat mediator oksigen reaktif, platelet activating

factor dan leukosit polimorfonuklear (PMN) terkait interaksi endotel yang menyebabkan

2

Page 3: Kegagalan Multi Organ

edema yang disebabkan luapan kapiler yang berlanjut menjadi kerusakan jaringan akibat

produk akitvasi PMN.

PENGHINDARAN ISKEMIA/CEDERA REPERFUSI

Quinones-Baldrich dan kawan-kawan menemukan bahwa agen fibrinolitik urokinase,

ketika diberikan pada hewan percobaan pada saat terjadinya reperfusi, menghasilkan

peningkatan fungsi otot. Penulis mengkombinasikan teknologi ini dengan konsep

reperfusi terkontrol pada kelompok pasien yang menjalani embolektomi untuk oklusi

vaskuler akut. Penulis menggunakan reperfusi tungkai terisolasi dengan darah yang

mengandung 100.000 unit urokinasi yang dimasukkan dengan pompa infus dengan

kecepatan aliran yang ditingkatkan secara bertahap setelah 30 menit. Penulis mencoba

teknik ini pada 10 pasien yang menunjukkan iskemia tungkai bawah berat akut. Pasien-

pasien ini diterapi dengan kateter tromboembolektomi diikuti dengan perfusi tungkai

terisolasi menggunakan pompa ekstrakorporeal dengan pertukaran panas dan oksigenator

untuk memperfusi ekstremitas yang terisolasi pada tekanan fisiologis dengan darah

autolog yang mengandung urokinase dosis tinggi. Penyelamatan tungkai terpenuhi pada 7

dari 10 pasien. Berhubungan dengan diskusi ini, bagaimanapun, tidak ada satupun dari

pasien-pasien ini mengalami kegagalan multi system organ atau tanda-tanda SIRS setelah

reperfusi. Menggunakan teknik ini, sirkulasi sistemik dari pasien tidak menampakkan

drainage vena dari ekstremitas sampai vaskularisasi ekstremitas telah dibersihkan dengan

pompa ekstrakorporeal. Kemudian tidak hanya dengan teknik mengontrol reperfusi ini

saja dapat mengurangi no-reflow pada tingkat jaringan local, ini juga mencegah produk

dari cedera reperfusi untuk masuk ke sirkulasi sistemik.

Pendekatan lain untuk masalah klinis ini yang mungkin lebih efektif adalah

dengan mencegah komponen cedera reperfusi, yang dilaporkan oleh Byersdorf dkk.

Mereka juga menggunakan reperfusi tungkai terisolasi setelah tromboembolektomi untuk

ekstemitas yang iskemik. Teknik ini berbeda dimana teknik ini menggunakan larutan

terperfusi yang mirip dengan yang digunakan untuk preservasi miokardial selama bypass

arteri koronaria dari pada menggunakan agent fibrinolitik seperti yang digunakan

Quinones-Baldrich dkk. Byerdiff dkk mempelajari 19 pasien yang mengalami periode

3

Page 4: Kegagalan Multi Organ

iskemia tungkai yang panjang yang diterapi dengan klirens kateter Forgerty dari gross

thrombus diikuti dengan isolasi vascular dan reperfusi dengan larutan reperfusi yang

mengandung darah/kritaloid, allopurinol dan glutamate aspartat selama 30 menit. Tidak

jelas dari laporan tersebut apakah cacat sistemik terjadi. Penulis menyatakan bahwa tidak

terjadi komplikasi sistemik pada 16 pasien yang bertahan, tetapi 3 pasien meninggal,

semuanya karena syok kardiogenik selama prosedur reperfusi. Karena tungkai terisolasi,

dapat disangkal bahwa penyebab kematian diakibatkan sekuele cedera reperfusi, tetapi

tidak dapat dipastikan kebenaran 100% dari laporan ini. Bagaimanapun, prinsip reperfusi

terkontrol dengan menggunakan agen fibrinolitik dan aliran kekuatan-menekan untuk

mencegah fenomena no-reflow yang didukung dengan larutan reperfusi yang

mengandung campuran nutrisi, oksigen, pemakan radikal dan larutan impermeate untuk

mencegah cedera reperfusi dalam rangka isolasi sirkulasi sistemik untuk mencegah SIRS

menunjukkan kecanggihan klinis.

Mirip dengan hal ini, strategi yang lebih canggih telah digunakan menggunakan

reperfusi terkontrol setelah iskemia/cedera reperfusi yang terjadi selama pengobatan

infark miokardial dan bypass kardipulmonari untuk grafting bypass arteri koronaria atau

transplantasi jantung. Reperfusi dari iskemia mikardium dikaitkan dengan risiko

signifikan dari kegagalan multi organ. Meskipun beberapa masalah ini mungkin sekunder

terhadap bypass kardiopulmonari, sebuah komponen signifikan dikarenakan oleh cedera

reperfusi. Reperfusi terkontrol dari iskemia miokardium memiliki konsentrasi komposisi

ionik, substrat metabolic dan adanya leukosit dan platelet daam lauratan reperfusi

mereka. Buckberg mendemonstrasikan bahwa peningkatan penyembuhan fungsi

miokardial diperoleh dalam iskemia mikardial ketika larutan reperfusi blood based

bersifat hipokalsemik. Byersdorf mendemonstrasikan kemajuan signifikan pada

kontraktilitas miokardial pada pasien yang diobati dengan reperfusi termodifikasi setelah

vaskularisasi arteri koronaria emergensi untuk oklusi koronari akut. Pada penelitian ini,

reperfusi termodifikasi terdiri dari darah kardioplegia yang bersifat hipokalsemik,

glutamate/asparta, hiperosmolar, alkalotik, dan mengandung diltiazem yang diberikan

pada tekanan 50 mmHg selama 20 menit pada saat reperfusi.

4

Page 5: Kegagalan Multi Organ

Inaktivasi/Filtrasi Leukosit

Pengukuran yang lebih baru untuk menyaring leukosit atau menghambat aktivasi leukosit

telah ditambahkan pada teknik reperfusi terkontrol dan telah sukses dalam mereduksi

cedera reperfusi. Reperfusi deplesi leukosit telah menunjukkan penurunan ukuran infark

pada binatang coba dari iskemia regional dan reperfusi termodifikasi. Menggunakan

kombinasi reperfusi deplesi leukosit dan darah tereperfusi dengan aspartat/glutamate,

kelompok Drinkwater memulai sebuah uji klinis double blind acak pada jantung manusia

tranplantasi. Pada penelitian specimen biopsy miokardial dari 16 pasien yang menjalani

reperfusi deplasi leukosit mengalami cedera ultrastrukural yang lebih sedikit secara

signifikan. Tidak ada laporan kasus mengenai adult repiratory distress syndrome

(ARDS) atau kegagalan multi organ (MOF) pada penelitian ini, tetapi terdapat dua

pengamatan penting. Pertama, pada kelompok control terdapat bukti cedera reperfusi 10

menit setelah inisiasi reperfusi, yang mengindikasikan cedera ini mulai dengan cepat.

Kedua, deplesi leukosit mencegah cedera reperfusi dini ini, menunjukkan bahwa kedua

sel endotel dan leukosit nampaknya primer terhadap reperfusi.

Sitokin

Kemajuan klinis dalam reperfusi tungkai iskemik dan miokardium telah

mendemonstrasikan bahwa reperfusi terkontrol dan isolasi vascular dari organ untuk

menghindari respon sistemik dapat mencegah MOF setelah iskemia dan reperfusi.

Bagaimanapun juga, tidak selalu mungkin untuk mengisolasi organ iskemik dari sirkulasi

sistemik. Di bawah lingkungan seperti ini, sitokin yang terelaborasi saat reperfusi organ

sistemik diikuti dengan aktivasi respon inflamasi pada organ distal. Contoh klasik adalah

iskemia visceral dan cedera reperfusi yang terkait dengan perbaikan aneurisma aorta

thoraks dan abdominal. Penemuan dan hubungan telah didemonstrasikan, bahwa

peningkatan ekspresi neutrofil CD11-B intraoperatif selama cross-clamping supraceliac

adalah marker untuk perkembangan selanjutnya dari disfungsi organ posroperasi. Mereka

menginvestigasi hubungan antara iskemia visceral dan aktivasi neutrofil, sepsis dan

disfungsi organ yang mengikuti reperfusi visceral pada 51 pasien yang menjalani cross-

5

Page 6: Kegagalan Multi Organ

clamping supraceliac, 5 dengan clamping suprarenal dan 8 dengan clamping infrarenal

untuk perbaikan aneurisma aorta. Terdapat korelasi yang signifikan antara waktu clamp

visceral dan ekspresi CD11-B intraoperatif. Menariknya, tidak terdapat perbedaan antara

operasi bypass dengan non-bypass terkait dengan ekspresi neutrofil, mengindikasikan

bahwa perbedaan yang terjadi adalah karena waktu clamp saja. Lebih penting untuk

diskusi ini adalah, terapat peningkatan signifikan pada waktu clamp dan ekspresi CD11-B

pada pasien yang mengalami sepsis berat dan disfungsi organ postoperasi. Peneliti ini

juga mengamati bahwa level postoperasi dari ekspresi CD11-B meningkat pada pasien

yang meninggal intraoperatif dan pada sejumlah pasien yang mengalami MOF. Makalah

ini mendemonstrasikan bahwa iskemia visceral/cedera repefusi terkait dengan perbaikan

aneurisma menyababkan upregulasi dari molekul adhesi CD11-B pada PMN sirkulasi dan

terkait dengan perkembangan dari MOF. Sebagai tambahan pengamatan bahwa level

preoperative dari CD11-B dapat mengidentifikasi suatu resiko pasien menunjukkan

bahwa dibawah situasi tertentu PMN adalah primer mengacu pada episode

iskemia.reperfusi. Cedera reperfusi/iskemia adalah paling berat di bawah kondisi ini.

Hubungan klinis ini menunjukkan bahwa iskemia visceral mengakibatkan priming atau

aktivasi leukosit yang menyebabkan sekuele sistemik pada organ yang jauh setelah

reperfusi. Ide ini telah dibuktikan pada model eksperimen.

Molekul Adhesi Sel

Endothelial cell adhesion molecules (ECAMS) diduga memiliki peran penting pada

iskemia/cedera reperfusi dengan menyababkan adhesi terhadap leukosit pada sel endotel.

Molekul adhesi interseluler 1/intercellular adhesion molecule 1(ICAM-1) adalah salah

satu molekul adhesi yang telah menunjukkan penigkatan regulasi seagai respon terhadap

sitokin. Peningkatan regulasi ini berlanjut menjadi interaksi sel endothelial leukosit

(adhesi) dan infiltrasi neutrofil pada jaringan yang terkena. Meyer dkk mengukur ekspresi

ICAM-1 pada hepar dan organ lainnya setelah iskemoa hepatic/cedera reperfusi hepar

pada tikus Sprague-Dwaley dengan menggunakan oklusi selama 45 menit pada lobus

lateral hepar yang diikuti dengan 5 jam reperfusi. Setelah reperfusi, ICAM-1 diupregulasi

tidak hanya pada lobus hepar yang iskemik tetapi pada lobus yang non iskemik, jantung,

6

Page 7: Kegagalan Multi Organ

ginjal, usus dan pancreas. Peningkatan regulasi pada paru tidak signifikan. Penelitian ini

menunjukkan bahwa sel endotel diaktivasi oleh peningkatan regulasi ICAM-1 pada organ

yang jauh setelah reperfusi dari hepar iskemik, yang dapat memediasi suatu respon

inflamatori pada organ-organ yang jauh.

Dalam mendukung ide ini, Sun dan kawan2 melakukan evaluasi histologik dari

berbagai organ setelah 8 atau 12 jam iskemia dan reperfusi dari ektremitas bawah tunggal

seekor kelinsi. Pemeriksaan histologik menunjukkan destruksi inflamatorik masif dari

hati dan ginjal. Cedera lebih jelas pada area dengan aliran darah terbesar selama

reperfusi. Makalah ini mengindikasikan bahwa iskemia dan reperfusi dari suatu organ

tunggal menyebabkan aktivasi endotelial pada organ yang jauh yang menyebabkan

cedera inflamasi pada organ jauh tersebut. Ketika mungkin, strategi untuk mereperfusi

organ iskemik dalam isolasi sirkulasi sistemik sebaiknya digunakan. Ketika reperfusi

terisolasi tidak memungkinkan, strategi untuk memodifikasi untuk mereperfusi utuk

mencegah aktivasi sistemik sel endotel dan PMN harus dikembangkan.

Salah satu contoh strategi seperti itu didemonstrasikan oleh Ned dkk. Dengan

menggunakan hewan coba terkontrol secara acak, peneliti ini berhipotesis bahwa cedera

organ multipel pada konsentrasi xantin oksidase mungkin dapat diturunkan dengan

memberikan bolus larutan koloid saat reperfusi. Iskemia hepatoenterik dijaga selama 40

menit dengan balon kateter pada aorta thoracic diikuti dengan reperfusi selama 3 jam.

Kelompok menerima baik bolus larutan hetastarch (Hextend), human albumin 5% atau

ringer laktat. Cedera organ multipel dievaluasi dengan adanya pelepasan aktivitas lactic

dehydrogenase (LDH) ke dalam plasma dan dengan evaluasi histologik dari cedera

lambung dan pulmo. Aktivitas LDH sirkulasi lebih tinggi secara significan pada hewan

coba yang menerima larutan ringer laktat dari pada kelinci yang diberikan larutan lanilla.

Cedera lambung menurun secara significan dengan pemberian larutan koloid. Cedera

paru (ativitas LDH pada cabang alveolar) menurun secara significan dengan pemberian

larutan Hetastarch. Sebagai tambahan larutan Hetastarch menghasilkan aktivitas xantin

oxidase 50% lebih rendah selama reperfusi dibandingkan dengan RL atau albumin.

Bersama penelitian hewan sebelumnya yang menunjukkan penurunan PMN disamping

endotel setelah iskemia/reperfusi dengan mikroskopi in vivo setelah hemodilusi

7

Page 8: Kegagalan Multi Organ

profilaktik dengan dekstran dan hetastarch, data ini menunjukkan sejumlah kepastian

tentang strategi ini.

ISKEMIA SISTEMIK/CEDERA REPERFUSI

Setelah iskemia/reperfusi yang dapat diisolasi secara local dan iskemia/reperfusi local

nonisolasi, iskemia/cedera reperfusi sistemik seperti syok hemoragik, henti jantung

(cardiac arrest) dan hypoksia menunjukkan tingkat kompleksitas berikutnya dalam

memahami penyakit yang kompleks ini. Syok hemoragik adalah prototipe dari

iskemia/cedera reperfusi iskemik. Telah terdapat prognosis yang Sangay baik dalam

penanganan syok hemoragik selama lebih dari 40 tahun terakhir. Terobosan utama telah

dibuat sebagai hasil dari penelitian eksperimen yang menemukan bahwa, setelah

hemoragik, restorasi volume intravaskular dengan darah saja tidak adekuat untuk

mempertahankan perfusi jeringan. Hal ini kemudian mendorong penambahan resusitasi

kristaloid terhadap tranfusi darah untuk penanganan syok hemoragik. Hal ini

peningkatkan angka survival seperti diuraikan dalam kasus berikut, meski pada pasien

tertentu tetap buruk.

Seorang laki-laki 20 tahun mengalami luka tembak pada abdomen dan tiba di

ruang gawat darurat dengan tekanan darah 80 mmHg. Pasien kemudian dibawa segera ke

ruang operasi dimana dalam tubuhnya ditemukan perdarahan dari hilum lien dan

pembuluh lainnya. Lien pasien ini kemudian diangkat dan beberapa perdarahan lainnya

diligasi dengan 10 unit darah yang ditranfusikan ke pasien. Tekanan darah pasien terjaga

dengan baik melalui prosedur ini. Postoperatif di ruang pemulihan pasien mengalami

disfungsi pulmo berat akibat ARDS dan kemudian mengalami MOF memanjang yang

membutuhkan waktu 2 bulan di ICU.

Pasien ini mengalami disfungsi multi organ sebagai akibat cedera reperfusi, yang

menginisiasi SIRS. Kasus ini meminimalkan sebagian besar namun tidak semua faktor

komplikasi yang terlibat pada cedera yang dialami pasien. Sejumlah kecil cedera residual

masih tersisa karena lien telah diangkat. Oleh karena itu mekanisne predominan adlah

iskemia memanjang akibat kehilangan darah dan reperfusi, dan reperfusi melibatkan 10

unit bank darah. Tranfusi darah setelah cedera dikaitkan dengan berkembangnya ARDS

8

Page 9: Kegagalan Multi Organ

dan MOF. Tidak diketahui apakah kaitan ini adalah karena tranfusi darah itu sendiri atau

kumlah tranfusi darah, yang mengindikasikan derajat syok yang diderita oleh pasien.

Bagaimanapun, penelitian terbaru pada manusia dan studi laboratorium mengindikasikan

faktor pada bank darah, khususnya darah yang disimpang lebih dari 40 hari, mungkin

berkontribusi dalam kejadian ARDS dan MOF setelah resusitasi.

Seperti iskemia/cedera reperfusi tungkai lokal, banyak bukti eksperimen saat ini

menyatakan bahwa aliran darah mikrovaskular pada banyak organ tidak kembali normal

setelah resusitasi dengan kristaloid untuk syok hemoragik, meskipun aliran tubuh total

(cardiac output) telah kembali normal atau di atas normal. Gangguan mikrosirkulasi ini

telah disangkal terkait dengan cedera reperfusi dan fenomena no-reflow. Seperti dengan

reperfusi viseral, reperfusi terkontrol terisolasi dari jaringan iskemik terkait dengan syok

hemoragik adalah tidak praktis. Bagaimanapun, korelasi klinis pada reperfusi terkontrol

selama syok hemoragik nampak ketika konsumsi oksigen digunakan sebagai indikasi

aliran darah yang adekuat pada pasien yang diresusitasi dari syok hemoragik dengan level

pemberian oksigen yang tinggi. Ketika pasien dimonitor secara hati-hati dan perhatian

diberikan dalam pemberian oksigen dan konsumsi oksigen, telah diperlihatkan bahwa

pasien dengan tingkat pemberian dan konsumsi oksigen supernormal adalah cenderung

untuk lebih bisa bertahan dan mengalami kegagalan organ yang lebih sedikit dari pada

pasien yang diresusitasi dengan tingkat pemberian dan konsumsi oksigen yang normal.

Mengacu pada pengamatan ini, hipotesis yang nyata adalah dengan mengajukan

penekanan cardiac output ke level supranormal akan meningkatkan survival dan

menurunkan disfungsi organ yang diduga dengan menurunkan fenomena no-reflow pada

berbagai sistem organ setelah resusitasi syok hemoragik. Beberapa studi acak prospektif

telah dirancang untuk menguji hipotesis ini dengan hasil-hasil yang membingungkan.

Disamping masalah dengan rancangan penelitian dan fakta bahwa diperkirakan sepertiga

dari seluruh pasien mencapai tingkat pemberian dan konsumsi oksigen supranormal

hiperdinamik dengan sendirinya dengan induksi terapeutik, cenderung untuk mencapai

level pemberian dan konsumsi supranormal selama resusitasi dari syok hemoragik. Di sisi

lain, walau cara ini tidak disangkal akan memberikan perbaikan pada tingkat morbiditas

dan mortalitas, namun jelas tidak cukup untuk mencegah ARDS dan MOF itu sendiri.

9

Page 10: Kegagalan Multi Organ

Law dan kawan2 secara propektif mengevaluasi 13 pasien cedera berat dengan

syok hemoragik. Mereka semua diresusitasi dengan pemberian dan konsumsi oksigen

pada level supranormal selama 24 jam, 6 dari 13 pasien mengalami disfungsi multi organ.

Pada penelitian ini, secara prospektif diukur sejumlah variasi sitokin dalam serum dari

pasien2 ini pada berbagai waktu seteleh MRS. Menariknya, ICAM-1 secara signifikan

menngkat pada akhir resusitasi pada serum pasien yang mengalami MOF tapi tetap

normal pada pasien yang tidak mengalami MOF. Sebagai tambahan, ketika MOF

dihitung dengan skor severitas, terdapat korelasi yang sangat baik antara level serum dari

ICAM-1 terlarut pada akhir resusitasi dengan beratnya MOF. Level serum dari sitokin

proinflamatori interleukin 6 (IL-6) dan IL-8 juga meningkat seiring beratnya MOF

meningkat dengan berjalannya waktu. Data ini konsisten dengan hipotesis bahwa

hiperaktivitas respon inflamatori terjadi sebagai hasil cedera reperfusi sistemik yang

mengakibatkan MOF pada pasien cedera berat. Studi yang lebih terkini telah mengolah

penemuan ini.

Seecamp dkk mengukur level serum dari tumor nekrosis alfa (TNFalpha), IL-1,

IL-6, ICAM-1, E-selektin, antagonis reseptor IL-1 (IL-1ra), serum TNF reseptir-2

(sTNFr2) dan IL-10 pada tiga kelompok pasien bedah dengan berbagai derajat

iskemia/reperfusi. Kelompok 1 meliputi pasien yang menjalani operasi tungkai elektif

tanpa torniquet. Kelompok 2 meliputi pasien yang operasi tungkai dengan torniquet.

Kelompok ketiga terdiri dari pasien trauma insidental, yang secara retrospektif dibagi

menjadi yang sesudahnya mengalami disfungsi organ multipel dan yang tidak. Sampel

darah serial dilakukan selama 5 hari. Tidak terdapat peningkatan sitokin pada kelompok

1. Ketika torniquet diaplikasilan (waktu rata2 105 menit) operasi tungkai elektif

menghasilkan peningkatan signifikan pada serum dari IL-6, IL-1ra, dan IL10 tetapi tidak

TNFr2. Di sisi lain, aplikasi torniquet tidak meningkatkan luapan molekul adhesi. ICAM-

1 terlarut dan E-selectin terlarut tetap tidak berubah selam 5 hari pengamatan pada

kelompok 1 dan 2. Semua pasien cedera multipel mengalami peningkatan signifikan dari

sitokin segera setelah trauma (lebih dari 10-20 kali dibandingkan pasien operasi tungkai

elektif). Lebih jauh lagi, ketika pasien trauma insidental dibagi berdasarkan skor MOF

mereka menjadi yang memiliki (n=8) dan yang tidak memiliki (n=22) disfungsi organ

multipel (MOD), perbedaan yang jelas terlihat dalam serum IL-6 dan IL-1ra pada 4 hari

10

Page 11: Kegagalan Multi Organ

pertama dan level serum IL-10 pada 2 hari pertama setelah trauma. Level sitokin serum

secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang mengalami MOD 3-4 hari setelah onset

dari MOD. Tidak seperti hasil pada penelitian kami, meskipun meningkat tajam, TNFr2

tidak berbeda antara pasien yang mengalami MOD dan yang tidak. Mirip dengan hasil

pada penelitian kami, peningkatan level sitokin serum terkait dengan ekspresi dan luapan

ICAM-1 dan E-selektin, dengan level serum ICAM-1 yang lebih tinggi secara signifikan

pada pasien dengan MOD dibandingkan pasien non-MOD 3-5 hari setelah trauma dan

peningkatan serum E-selektin terlarut 2-4 hari setelah trauma. Penulis ini

mengkonfirmasi bahwa pelepasan sitokin dan molekul adhesi terlarut ke dalam sirkulasi

berkorelasi baik dengan derajat trauma dan perluasan dari iskemia/cedera reperfusi

terkait. Lebih jauh lagi, kedua kelompok mediator jelas terkait dengan perkembangan

MOD pada pasien dengan cidera multipel dengan iskemua/cedera reperfusi generalisata

yang disebabkan oleh syok hemoragik. Bersama-sama, studi ini mengindikasikan bahwa

perkembangan MOF setelah syok hemoragik dan cedera terkait dengan level yang tinggi

dari citokin proinflamatori yang bersirkulasi dan aktivasi PMN segera setelah reperfusi.

Seperti yang telah ditinjau oleh Waxman, banyak strategi untuk membatalkan

cedera reperfusi sitemuk ini telah diuji dengan model eksperimental, tetapi sedikit studi

klinis yang bermakna telah dilaporkan. Pada salah satu studi prospektif, uji acak

rekombinan superoksid dismutase (SOD) manusia diberikan selama 5 hari setelah cedera

pada pasien dengan 1 hingga 24 cedera multipel. Kelompok yang menerima terapi

antioksidan dengan SOD memiliki kegagalan organ yang lebih sedikit dan durasi

perawatan di ICU yang lebih pendek.

Vedder dkk mencegah aktivasi PMN dengan menggunakan antibodi monoklonal

pda CD11-CD18 dan menunjukkan tanda penurunan cedera organ setelah syok

hemoragik dan resusitasi pada kelinci. Penemuan yang mirip telah ditunjukkan pada

hewan coba babi. Sebuah uji klinis pada manusia menggunakan antibodi monoclonal ini

sUdah dilakukan.

Dengan logika yang mirip dengan apa yang menjadi penyebab penggunaan cairan

resusitasi terapi memanjang untuk mengontrol reperfusi dari iskemia tungkai dan selama

operasi transplantasi jantung seperti yang telah didiskusikan sebelumnya, Barquist dan

kawan-kawan membuat regimen resusitasi pada pasien cedera berat. Algoritma terapi

11

Page 12: Kegagalan Multi Organ

untuk mencegah dan menyingkirkan iskemia/cedera reperfusi dengan menggunakan

antioksidan dan resusitasi langung splanknik telah diberikan pasien-pasien trauma cedera

berat. Folat penghambat xantin oksidase dan manitol scavenger radikal bebas diberikan

secara serempak. Agen vasoaktif meliputi isoproterenol, dobutamin, nitrogliserin,

nitropruside dan prostaglandin E digunakan secara berurutan dalam rangka memperbaiki

perfusi usus yang abnormal seperti terukur pada tonometri. Dengan menggunakan

regimen terapi penulis menemukan penurunan insiden kegagalan multi sistem organ dan

lama perawatan di ICU dibandingkan dengan pada kontrol historis. Selanjutnya, pada

studi yang mirip pada institusi yang sama, regimen cairan resusitasi dimodifikasi juga

untuk melibatkan lidokain, selenium, polimiksin B dan hidrokortison sebagai tambahan

dengan glutamin, asetilsistein dan vitamin A dan E. Protokol ini menghasilkan

normalisasi aliran darah splanknik pada 90% pasien dan menandai reduksi insiden

kegagalan multi sistem organ dan lama perawatan di ICU. Meskipun studi ini

menjanjikan, penting untuk diingat bahwa kelompok pembanding adalah kontrol historis.

Hipotesis terbaru menyatakan bahwa kegagalan multi sistem organ adalah hasil

dari respon proinflamatori eksagregasi yang koeksis dengan respon counterinflamatori

eksagregasi, dengan manifestasi klinis yang bergantung pada derajat ketidakseimbangan

antara respon antiinflamasi counterregulasi dan respon proinflamatori. Dengan hipotesis

ini, antisitokin memiliki peran penting dalam modulasi patogenesis dari iskemia/cedera

reperfusi segera setelah reperfusi dari respon counterinflamatorik eksagregasi seiring

disfungsi imun mengakibatkan peningkatan infeksi. Berbagai studi klinis mendukung ide

ini. Law dan kawan-kawan menunjukkan bahwa segera setelah resusitasi seorang pasien

yang mengalami cedera yang secara serontak mengalami kegagalan organ, peningkatan

level ICAM-I, IL-6 dan IL-8, sitokin proinflamatori TNFalpha dan IL-1 tidak ditemukan

pada pasien-pasien ini. Bagaimanapun juga level TNF terlarut yang diduga sebagai

sitokin counterinflamatori, meningkat pada pasien yang mengalami MOF dan derajat

peningkatan sebanding dengan derajat kegagalan organ. Cinat dan kawan-kawan

menunjukkan peningkatan yang mirip pada IL-Ira dan TNF terlarut yang ditemukan

segera setelah cedera. Lebih lanjut yang memperumit ide ini, walau laporan ini

menunjukkan bahwa insult subletal umumnya berhubungan terbentuknya MOF, Miner et

al menunjukkan bahwa suatu episode awal dari iskemia/reperfusi pada usus kecil tikus

12

Page 13: Kegagalan Multi Organ

(30 menit diikuti dengan 24 jam reperfusi) merupakan cara untuk melindungi usus dari

episode iskemia/reperfusi berikutnya. Binatang yang diteliti dengan 2 iskemia/reperfusi

menunjukkan cedera mukosa yang lebih sedikit secara signifikan dari pada binatang yang

mengalami 1 episode, disamping peningkatan infiltrasi neutrofil, leukotrien B4 dan

adanya neutrofil teraktivasi sistemik menunjukkan bahwa episode inisial menyebabkan

respon adaptasi terkait dengan preservasi sitoarsitektural mengikuti insult selanjutnya.

Sehingga, berulangnya iskemia/reperfusi berpotensi menimbulkan respon inlamatori

lokal dan aktifasi sistemik dari neutrofil. Studi ini mendukung ide dari episode-episode

iskemia/reperfusi terkait dengan fase hiperinflamatori awal yang diikuti dengan fase

sitokin counterinlamatori, yang menumpulkan efek dari stimulus proinflamatori

berikutnya.

Simpulan

Kegagalan multi organ setelah iskemia/decera reperfusi dipengaruhi oleh keseimbangan

sitokin-sitokin proinflamatoy dan counterinflamatori. MOF bisa terjadi pada kedua ujung

dari spektrum. Jika iskemia/reperfusi menyebabkan respon hiperinflamatori berat, ia akan

langsung menyebabkan MOF. Di sisi lain, sitokin counterinflamatori juga disebabkan

oleh iskemia/reperfusi. Di bawah lingkungan yang sama, sitokin counterinflamatori

dapat memproteksi dari episode iskemia/reperfusi lebih lanjut jika organ sembuh dari

episode ini. Di sisi lain, di bawah lingkungan yang berbeda, sitokin counterinflamatori

dapat membantu terjadinya MOF. Jika iskemia/reperfusi terjadi dalam keadaan adanya

PMN primer, konsekuensinya cukup berat. Mirip, jika terjadi stimulus hiperinflamatori

multiple secara simultan seperti pada pasien cedera multipel dengan iskemia/cedera

reperfusi sistemik, tranfusi darah, dan cedera jaringan, konsekuensi terberat dapat terjadi.

Terapi dari iskemia/cedera reperfusi pada dasarnya adalah teknik reperfusi terkontrol.

Teknik ini telah dikembangkan dengan baik untuk transplantasi, bedah kardiothoraks,

vaskular dan telah dimulai sebagai strategi untuk resusitasi pasien cedera. Modifikasi

respon awal dari aspek lain dari syok dan cedera untuk memodulasi efek cedera jaringan

dan tranfusi darah membutuhkan penelitian lebih lanjut. Sebagai tambahan, dibutuhkan

peningkatan pemahaman tentang fase hipoinflamatori.

13

Page 14: Kegagalan Multi Organ

14