Kebijakan Publik

20
Kebijakan publik termasuk ilmu yang sifatnya multidisipliner, ini dikarenakan melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi. Studi tentang kebijakan mulai berkembang semenjak era tahun 1970-an melalui tulisan Harold Laswell dan Kaplan. Definisi dari kebijakan publik yang paling awal dikemukakan oleh Harold Laswell dan juga Abraham Kaplan yang mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan, nilai- nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of goals, values, and practices). 1 Senada dengan definisi kebijakan Laswell, George C. Edwards III dan Ira Sharkansky mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan pemerintah yang berupa program-program untuk pencapaian sasaran atau tujuan. 2 Tidak jauh berbeda dari Laswell dan Edward III, James Anderson melihat bahwa kebijakan publik sebagai suatu kebijaksaan yg dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat- pejabat pemerintah, dengan melalui proses yang diawali 1 Harold Laswell dalam Howlett, Michael dan M Ramesh, 1995, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem, Oxford University Press, Toronto. 2 Edwards, George C and Ira Sharkansky, 1978, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, WH. Freeman.

description

KEBPUB

Transcript of Kebijakan Publik

Page 1: Kebijakan Publik

Kebijakan publik termasuk ilmu yang sifatnya multidisipliner, ini dikarenakan

melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi.

Studi tentang kebijakan mulai berkembang semenjak era tahun 1970-an melalui

tulisan Harold Laswell dan Kaplan. Definisi dari kebijakan publik yang paling awal

dikemukakan oleh Harold Laswell dan juga Abraham Kaplan yang mendefinisikan

kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan,

nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of goals, values, and practices).1

Senada dengan definisi kebijakan Laswell, George C. Edwards III dan Ira

Sharkansky mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan pemerintah yang

berupa program-program untuk pencapaian sasaran atau tujuan.2 Tidak jauh berbeda

dari Laswell dan Edward III, James Anderson melihat bahwa kebijakan publik

sebagai suatu kebijaksaan yg dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat

pemerintah, dengan melalui proses yang diawali tahap formulasi masalah, formulasi

kebijakan, penentuan kebijakan, implementasi kebijakan dan diakhiri dengan evaluasi

kebijakan.3

Kemudian tidak jauh dari pengertian kebijakan publik sebelumnya, Riant

Nugroho merumuskan kebijakan publik lebih sederhana yakni kebijakan publik

dipandang sebagai keputusan yang dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai

strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. 4 Kebijakan publik

dapat dikatakan sebagai strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal,

memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-

citakan. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-

1 Harold Laswell dalam Howlett, Michael dan M Ramesh, 1995, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem, Oxford University Press, Toronto.

2 Edwards, George C and Ira Sharkansky, 1978, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, WH. Freeman.

3 Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Edisi 2 Holt, Rinehart and Winston, New Yorks 4 Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, PT.Elexmedia

Komputindo, Jakarta

Page 2: Kebijakan Publik

preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada

proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat

positif, namum juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima

salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah

tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas

sehingga kebijakan publik lebih banya pada ranah zero-sum-game, yaitu menerima

yang ini, dan menolak yang itu.5

Pandangan berbeda muncul dari Carl Friedrich, Peter Woll, Thomas Dye dan

Subarsono. Friedrich mengartikan bahwa kebijakan publik adalah suatu tindakan yang

mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah

dalam suatu lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan

tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan

sasaran yang diinginkan.6 Peter Woll, scholar yang satu ini ikut memberikan

kontribusi terkait dengan pemahaman kebijakan publik dengan mengartikan kegiatan

tersebut sebagai sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di

masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang

mempengaruhi kehidupan masyarakat.7

Begitu juga dengan Friedrich dan Woll, Thomas Dye memberikan definisi

kebijakan publik yang juga berbeda dengan para scholar sebelumnya, Dye

mengartikan kebijakan publik sebagai tindakan apapun yang dipilih pemerintah untuk

dilakukan atau untuk tidak dilakukan.8 Ini menegaskan kembali bahwa kebijakan

publik adalah perwujudan “tindakan” dan bukan sekedar pernyataan keinginan

pemerintah atau pejabat publik semata. Dan pilihan pemerintah untuk tidak

5 Ibid6 Friedrich, Carl J. dan Edward S. Mason, 1941, Public Policy The Journal of Politics, Cambridge

University Press.7 Woll, Peter,1974, Public Policy, University Press of America. 8 Dye, Thomas R. 1995, Understanding Public Policy. Prentice Hall, New Jersey

Page 3: Kebijakan Publik

melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh

pada dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu.9

Sedangkan menurut Subarsono kebijakan publik merupakan serangkaian

aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.10

Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup

penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan,

dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting,

rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang

lebih bersifat intelektual.11

Berkenaan dengan definisi kebijakan ini, dalam mendefinisikan kebijakan

haruslah melihat apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan

mengenai suatu persoalan. Alasannya adalah karena kebijakan merupakan suatu

proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi, sehingga definisi

kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang

memadai.

Berdasar pada hal tersebut, definisi dari James Anderson yang mirip dengan

definisi Laswell dan Friedrich dirasa sebagai pengertian yang lebih tepat. Anderson

merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh

seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan

tertentu yang dihadapi.12 Jadi, definisi ini memusatkan perhatian pada apa yang

sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain

itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara policy (kebijakan) dan decision

(keputusan) pemilihan salah satu di antara berbagai alternatif kebijakan yang tersedia.

9 Ibid10 Subarsono, AG. 2008 Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, Dan Aplikasi. Pustaka Pelajar,

Yogyakarta.11 Ibid12 Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Edisi 2 Holt, Rinehart and Winston, New Yorks

Page 4: Kebijakan Publik

Berdasarkan diskusi di atas, penulis merumuskan definisi kebijakan publik

sebagai respon suatu sistem politik melalui kekuasaan pemerintah terhadap masalah-

masalah masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan publik adalah keputusan pemerintah

guna memecahkan masalah publik. Keputusan itu bisa berimplikasi pada tindakan

maupun bukan-tindakan. Kata ‘publik’ dapat berarti masyarakat atau perusahaan, bisa

juga berarti negara sebagai sistem politik serta administrasi. Sementara ‘pemerintah’

adalah orang atau sekelompok orang yang diberi mandat oleh seluruh anggota suatu

sistem politik untuk melakukan pengaturan terhadap keseluruhan sistem

pemerintahan.

Dengan garis besar kebijakan publik ini maka kemudian kebijakan publik

diharuskan memiliki konsep-konsep yang berisi tujuan, nilai-nilai, dan

pelaksanaannya dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta dan

menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah. Dengan kondisi

ini dapat ditarik garis besarnya pula bahwa tujuan utama dari adanya kebijakan publik

adalah upaya untuk mengintervensi kepentingan publik yang tidak memiliki kapasitas

tertentu dan dalam hal tertentu pula dengan harapan terciptanya proses pemerintahan

dan masyarakat yang ideal.

Model kebijakan di atas memiliki satu kesamaan, yaitu bahwa proses

kebijakan berjalan dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja

kebijakan. Semua pengertian dari para ahli tersebut memiliki beberapa persamaan

diantaranya model format kebijakan adalah “gagasan kebijakan”, “formalisasi dan

legalisasi kebijakan”, “implementasi”, baru kemudian menuju pada kinerja atau

mencapai prestasi yang diharapkan yang didapatkan setelah dilakukan evaluasi

kinerja kebijakan.

Dari teori-teori proses kebijakan kita dapat melihat tiga kata kunci yakni

Page 5: Kebijakan Publik

formulasi, implementasi, dan kinerja. Setelah sebuah kebijakan diformulasikan,

langkah selanjutnya tentu saja mengimplementasikan kebijakan tersebut dan dinilai

kinerjanya. Mengenai implementasi kebijakan, ada pernyataan menarik dari ahli

kebijakan Sofyan Effendi dalam buku karangan Riant Nugroho yang mengatakan

bahwa rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, dan 20%

sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi tersebut.13

Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-

masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan dan selain

itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi. 14 Melihat bahwa implementasi

merupakan tugas yang memakan sumber daya paling besar, maka tugas implementasi

kebijakan juga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih. Terkadang dalam praktik

proses kebijakan publik, terdapat pandangan bahwa implementasi akan bisa berjalan

secara otomatis setelah formulasi kebijakan berhasil dilakukan.

Nugroho menyatakan implementation myopia yang sering terjadi di Indonesia

salah satunya adalah selama ini kita anggap kalau kebijakan sudah dibuat, maka

implementasi akan jalan dengan sendirinya.15 Terkadang sumber daya sebagian besar

dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi kebijakan

yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan sebaliknya.16

Dalam kaitannya dengan topik penelitian ini, penulis akan berusaha meninjau

implementasi kebijakan BPH Migas dalam menjamin ketersediaan BBM Bersubsidi

di Kota Samarinda sejak tahun 2011 hingga 2013. Seperti yang disimpulkan dari

teori-teori proses kebijakan bahwa setelah formulasi kebijakan, maka proses yang

harus dilakukan adalah proses implementasi yang menuju pada kinerja kebijakan,

13 Sofyan Effendi dalam Nugroho, Riant, 2008, Public Policy. PT Elex Media Komputindo, Jakarta14 Nugroho, Riant, 2008, Public Policy. PT Elex Media Komputindo, Jakarta15 Ibid16 Ibid

Page 6: Kebijakan Publik

maka UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas yang telah menjadi suatu kebijakan

publik juga harus melalui tahap implementasi agar tujuan yang tersirat dalam tiap

pasalnya dapat menjadi nyata. Dikarenakan tahap proses yang diteliti dalam tesis ini

adalah tahap implementasi, maka yang dibahas selanjutnya adalah terkait

implementasi kebijakan.

Sebagai salah satu output dari kebijakan pemerintah yang tertulis dalam UU,

BPH Migas berperan penting sebagai implementor tingkat pertama yang akan

menjalankan program-program dalam kegiatan usaha hilir Migas nasional. Pada tahap

pelaksanaannya pun BPH Migas sudah disediakan SOP yang telah dibuat oleh

Menteri ESDM dalam PerMen ESDM sebagai pedoman pelaksanaannya, sehingga

proses implementasinya lebih terstruktur dan tidak sembarangan.

Akan tetapi seperti penjelasan pada sub-bab implementasi kebijakan

sebelumnya bahwa suatu proses implementasi adalah proses yang kompleks, rumit

dan tidak mudah. Dengan demikian dirasa perlu untuk melihat faktor yang

mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan implementasi itu dari berbagai penjelasan

para ahli kebijakan publik.

Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan implementasi jika dilihat dari sudut

pandang aktor kunci pelaksanaannya terbagi menjadi tiga kubu, yakni yang

menggunakan model top-down, buttom-up dan sintesis.17 Ini untuk merangkai,

membahas dan mengkomparasikan detail perkembangan teori implementasi kebijakan

publik. Puzzle implementasi kebijakan publik akan di susun dalam taksonomi latar

belakang gagasan praktika kebijakan; dari konstruksi atas atau dari bawah.

Untuk model top-down, model ini mengangkat peran para pembuat kebijakan

sebagai aktor utamanya. Para pendukung kubu ini yang salah satu diantaranya adalah

Pressman dan Wildavsky menganggap kejelian para pembuat keputusan di tingkat

17 Parsons, Wayne, 1997, Public Policy. Elgar

Page 7: Kebijakan Publik

atas dalam merumuskan dan merancang kebijakan publik dari awal hingga

implementasinya akan mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan.18 Hal tersebut di

perkuat melalui pernyataan oleh Van meter dan Van Horn yang menyatakan bahwa

dukungan para pemangku kepentingan dan hubungan antar lembaga di tingkat atas

dalam pembuatan kebijakan berpengaruh dalam keberhasilan pelaksanaan

implementasi kebijakan.19

Pembahasan pertama yang dibedah Hill dan Hupe adalah narasi dari founding

father teoritikus implementasi kebijakan model top-down; Jeffrey Pressman and

Aaron Wildavsky. Pemikiran utama mereka tentang implementasi yaitu suatu

kebijakan normalnya mengandung tujuan dan keinginan untuk mencapainya.20 Dan

keberhasilan dari pelaksanaannya akan sangat tergantung pada bagaimana relasi

antara organisasi yang berbeda di tingkatan lokal. Semakin banyak link dalam rantai

impelementasi maka memerlukan tingkat kerjasama antar lembaga yang tinggi.

Dalam ranah impelementasi, mereka mengenalkan gagasan “impelementation deficit”

dan mematematisasi pelaksaan kebijakan.21

Pressman dan Wildavsky cenderung menggunakan pendekatan model rasional

dalam mensetting tujuan kebijakan yang menitik beratkan pada sudut pandang

pembuat kebijakan. Namun dengan membacanya secara kontekstual, tumbuhnya

perspektif model rasional sebagai tonggak awal studi implementasi adalah sangat

wajar mengingat kebutuhan saat itu adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa

banyak kebijakan mengalami kegagalan saat diimplementasikan dan bagaimana

menghasilkan suatu formula implementasi yang tingkat kegagalannya rendah. Namun 18 Pressman and Wildavsky dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public Policy:

Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.19 Van Meter, D.S. dan Van Horn, C.E. 1974. The Policy Implementation Process : A Conceptual

framework.” Administration And Society, Sage Publications, New York.20 Opcit21 Ibid

Page 8: Kebijakan Publik

pada perjalanannya Wildavsky mulai meragukan model tersebut, terlebih dalam teks

yang ditulisnya bersama Giandomenico, “Impelementation as  Evolution” yang dalam

pengalaman empirisnya melihat kontradiksi antara pembuatan regulasi yang rigid dan

impelementasi yang fleksibel yang menyebabkan skeptisme terhadap model

rasional.22

Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan Donald Van Meter dan Carl Van

Horn. Kedua pakar dari Amerika ini berpedoman pada karya Pressman dan

Wildavsky, namun diberi sentuhan progressif menjadi sebuah model proses

impelementasi. Pendekatan-pendekatan sebelumnya meski dianggap sangat

membantu memahami proses implementasi, namun sangat kurang dalam kerangka

teoritik. Dalam mengembangkan kerangka teoritis, mereka didasarkan pada 1) teori

organisasi, 2) studi tentang dampak kebijakan publik  dan 3) berbagai studi hubungan

antar-pemerintah.23

Van Meter dan Van Horn memulai analisanya dengan pertimbangan

kebutuhan untuk mengklasifikasi kebijakan untuk memberi solusi pada kesulitan-

kesulitan yang terjadi dalam ranah implementasi. Implementasi, menurut mereka akan

sukses ketika sedikit perubahan diperlukan dan tujuan konsensus tinggi.24 Berkaca

pada ragam kasus, secara pragmatis kebijakan dengan perubahan yang terjadi secara

inkremental justru biasanya akan mendapat banyak dukungan, oleh karenanya jika

menginginkan kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan

perubahan marginal yang terjadi secara incremental.25

Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear

22 Ibid23 Van Meter dan Van Horn dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public Policy:

Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.24 Ibid25 Ibid

Page 9: Kebijakan Publik

dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel

yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik seperti yang

telah dijelaskan pada sub-bab model implementasi kebijakan adalah sebagai berikut:

1) policy standards and objectives, 2) the resources and incentives made available; 3)

the quality of inter-organizational relationships;  4) the characteristics of the

implementation agencies; 5) the economic, social and political environment; dan 6)

the ‘disposition’ or ‘response’ of the implementers, yang mana satu sama lain proses

saling terkait dan menjadi rangkaian tahapan sistemis yang dilakukan secara

longitudinal.26

Model yang diusung oleh Van Meter dan Van Horn memang menjelaskan

pentingnya partisipasi implementor dalam penyusunan tujuan kebijakan, namun

pendekatan mereka terkatagori pendekatan top-down, sebab  standar dan tujuan

kebijakan dikomunikasikan pada implementor melalui jaringan interorganisasional,

atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah para implementor memahami dan

menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan

dan standar tersebut.27

Tokoh pengusung top-down lain yang dijelaskan Hill dan Hupe adalah

Sabatier dan Mazmanian. Dalam teorinya dinyatakan bahwa ada tiga kelompok

variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni; 1). Karakteristik dari

Masalah (tractability of the problems); 2). Karakteristik Kebijakan/ undang-undang

(ability of statute to structure implementation). 3). Variabel Lingkungan (non

statutory variables affecting implementation).28

Namun hasil dari penjelasan para pendukung kubu top-down ini mendapat

26 Ibid27 Ibid28 Sabatier dan Mazmanian dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public Policy:

Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.

Page 10: Kebijakan Publik

kritikan langsung oleh kubu selanjutnya yakni buttom-up. Menurut para ahli di kubu

ini, kekuatan implementasi tidaklah berasal dari kehebatan para pembuat kebijakan di

tingkat atas karena peran dari implementor street-level lah yang banyak berperan

penting.29 Ini dikarenakan para implementor di lapisan paling bawah yang berhadapan

langsung dengan sasaran kebijakan sehingga dianggap lebih mengerrti bagaimana

kondisi dan solusi dalam pelaksanaan implementasi.30

Model Bottom-up diprakarsai oleh Michael Lypsky melalui bukunya yang

diterbitkan tahun 1980. Pendekatan Bottom-up merupakan kritik atas pandangan

model top-down yang menafikan kontribusi peran pelaksana tingkat bawah (street

level beaurocrazy) pada proses implementasi. Dalam gagasan Lypsky

mempermasalahkan proses politik tak hanya tidak berhenti saat kebijakan sudah

diputuskan, tapi juga pada saat proses berlangsungnya kebijakan. ‘Politik’ tetap

berlangsung pada street level beaurocrazy yang menentukan tingkat keberhasilan

implementasi.31

Dengan mengutip pendapat Marx bahwa street level beaurocrazy sejatinya

harus bisa menentukan pilihan-pilihannya sendiri walau dalam kondisi pressure

tertentu. Oleh karena itu, Lypsky menganggap perlu mempertimbangkan apa yang

menjadi aspirasi, tujuan kebutuhan dan permasalahan-permaslahan yang ditemui para

pelaksana. Pernyataan Lypsky menjadi benar karena apa yang menjadi masalah dalam

proses implementasi bisa tampak berbeda dari perspektif tingkat yang berbeda.

Tingkat top, mungkin karena sudat pandangnya yang makro bisa memiliki pandangan

berbeda dengan para pelaksana di tingkat bawah, oleh karena itu agar tidak terjadi gap

pemahaman, melibatkan aktor-aktor tingkat bawah dinilai perlu.32

29 Michael Lypsky dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public Policy: Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.

30 Ibid31 Ibid32 Ibid

Page 11: Kebijakan Publik

Selanjutnya Benny Hejrn, latar pemikirannya tentang impelementasi

berorientasi pada bottom-up. Seperti Wildavsky dan Pressman, ia mengkaji pada

interaksi antara organisasi. Namun ia melakukan kajian tambahan mengindentifikasi

jaringan aktor yang terlibat serta mengidentifikasi tujuan, strategi, dan sebagainya.

Model implementasi ini didasarkan kepada jenis kebijakan publik yang mendorong

masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau masih

melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah.33 Bagi Hjern

implementasi akan efektif bila tanpa ada previlege tertentu bagi para aktor-aktornya.

Selanjutnya yang ikut dalam perdebatan teori implementasi ada Susan Barrett

dan Colin Fudge. Mereka mengkrtik model top-down yang dianggapnya

mendepolitisasi hubungan antara kebijakan-action.34 Pandangan mereka menitik

beratkan bahwa proses politik terus terjadi dalam seluruh implementasi, dan oleh

karena itu sulit, menurut mereka, membuat jarak antara pembuatan kebijakan dan

implementasi dalam muatan politisnya.35 Konsekuensi logis dari pandangan demikian,

mereka menganjurkan model bottom-up.

Namun Barrett dan Fudge berpendapat implementasi bukanlah ihwal yang

dikompromikan dengan para policy-maker pasca impelementasi tersebut

diselenggarakan, karena itu justu merupakan kebijakan yang gagal. Barrett dan Fudge

mendahulukan performance daripada conformance (keseuaian), jadi para

impelementor lebih cenderung untuk mengedepankan prestasi terlebih dahulu.36

Hasil perdebatan yang dikemukakan di atas tampil kontradiktif antara

33 Ibid34 Susan Barrett dan Colin Fudge dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public

Policy: Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.35 Ibid36 Ibid

Page 12: Kebijakan Publik

pandangan top-down dan bottom-up. Nalar model top-down dikritik karena terlalu

menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan. Klaim ilmiah dari

pengusung top-down ini secara general memiliki maksud implementasi yang telah

dihitung dan dianalisis dengan cermat oleh pembuat kebijakan atau top leader nya

maka kebijakan dengan sendirinya akan lebih berhasil dalam implementasinya. Jelas

pandangan ini selanjutnya dikritik karena dinilai menafikan peran pelaksana tingkat

bawah yang pada kenyataannya justru lebih banyak berperan.

Kemudian, yang jelas kebijakan pasti akan diimplementasikan bukan di ruang

hampa. Selalu ada kerumitan dan keunikan tersendiri di setiap ruang dan waktunya.

Maka setiap ruang dan waktu pemerintahan yang berbeda, akan membawa perbedaan

pula dalam cara pemecahan masalahnya. Begitulah dunia berjalan secara dialektis.

Namun perbedaan pendekatan tersebut sejatinya tak bersifat konforntatif atau

vis a vis, karena bila memahaminya secara dialektis perbedaan tersebut akan

tergantung dari konteks ragam isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan itu sendiri. Isu

atau jenis kebijakan yang berbeda akan memerlukan perbedaan pendekatan pula. Jadi

tidak bisa dipandang secara deterministik dalam salah satu perspektif. Belum lagi

perbedaan yang menyangkut hal-hal bersifat ekonomi-politik, kultural, dan sosial

akan menemui perbedaan pendekatan yang lebih rumit lagi

Dalam konteks implementasi kebijakan oleh BPH Migas maka ragam outputs yang keluar dari para pembuat kebijakan termasuk BPH Migas sendiri tidak dapat di generalisir menjadi satu model saja.hal ini dikarenakan jenis kebijakan yang ada berbeda anatara satu dengan yang lainnya.