Kebijakan Publik
-
Upload
yoga-bisma-lispaduka -
Category
Documents
-
view
101 -
download
1
description
Transcript of Kebijakan Publik
Kebijakan publik termasuk ilmu yang sifatnya multidisipliner, ini dikarenakan
melibatkan banyak disiplin ilmu seperti ilmu politik, sosial, ekonomi, dan psikologi.
Studi tentang kebijakan mulai berkembang semenjak era tahun 1970-an melalui
tulisan Harold Laswell dan Kaplan. Definisi dari kebijakan publik yang paling awal
dikemukakan oleh Harold Laswell dan juga Abraham Kaplan yang mendefinisikan
kebijakan publik sebagai suatu program yang diproyeksikan dengan tujuan-tujuan,
nilai-nilai, dan praktik-praktik tertentu (a projected of goals, values, and practices).1
Senada dengan definisi kebijakan Laswell, George C. Edwards III dan Ira
Sharkansky mendefinisikan kebijakan publik sebagai suatu tindakan pemerintah yang
berupa program-program untuk pencapaian sasaran atau tujuan.2 Tidak jauh berbeda
dari Laswell dan Edward III, James Anderson melihat bahwa kebijakan publik
sebagai suatu kebijaksaan yg dikembangkan oleh badan-badan dan pejabat-pejabat
pemerintah, dengan melalui proses yang diawali tahap formulasi masalah, formulasi
kebijakan, penentuan kebijakan, implementasi kebijakan dan diakhiri dengan evaluasi
kebijakan.3
Kemudian tidak jauh dari pengertian kebijakan publik sebelumnya, Riant
Nugroho merumuskan kebijakan publik lebih sederhana yakni kebijakan publik
dipandang sebagai keputusan yang dibuat negara, khususnya pemerintah, sebagai
strategi untuk merealisasikan tujuan negara yang bersangkutan. 4 Kebijakan publik
dapat dikatakan sebagai strategi untuk mengantar masyarakat pada masa awal,
memasuki masyarakat pada masa transisi, untuk menuju pada masyarakat yang dicita-
citakan. Sebagai sebuah strategi, dalam kebijakan publik sudah terangkum preferensi-
1 Harold Laswell dalam Howlett, Michael dan M Ramesh, 1995, Studying Public Policy: Policy Cycles and Policy Subsystem, Oxford University Press, Toronto.
2 Edwards, George C and Ira Sharkansky, 1978, The Policy Predicament: Making and Implementing Public Policy, WH. Freeman.
3 Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Edisi 2 Holt, Rinehart and Winston, New Yorks 4 Nugroho, Riant, 2003, Kebijakan publik: Formulasi, Implementasi, dan Evaluasi, PT.Elexmedia
Komputindo, Jakarta
preferensi politis dari para aktor yang terlibat dalam proses kebijakan, khususnya pada
proses perumusan. Sebagai sebuah strategi, kebijakan publik tidak saja bersifat
positif, namum juga negatif, dalam arti pilihan keputusan selalu bersifat menerima
salah satu dan menolak yang lain. Meskipun terdapat ruang bagi win-win dan sebuah
tuntutan dapat diakomodasi, pada akhirnya ruang bagi win-win sangat terbatas
sehingga kebijakan publik lebih banya pada ranah zero-sum-game, yaitu menerima
yang ini, dan menolak yang itu.5
Pandangan berbeda muncul dari Carl Friedrich, Peter Woll, Thomas Dye dan
Subarsono. Friedrich mengartikan bahwa kebijakan publik adalah suatu tindakan yang
mengarah pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau pemerintah
dalam suatu lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya hambatan-hambatan
tertentu seraya mencari peluang-peluang untuk mencapai tujuan atau mewujudkan
sasaran yang diinginkan.6 Peter Woll, scholar yang satu ini ikut memberikan
kontribusi terkait dengan pemahaman kebijakan publik dengan mengartikan kegiatan
tersebut sebagai sejumlah aktivitas pemerintah untuk memecahkan masalah di
masyarakat, baik secara langsung maupun melalui berbagai lembaga yang
mempengaruhi kehidupan masyarakat.7
Begitu juga dengan Friedrich dan Woll, Thomas Dye memberikan definisi
kebijakan publik yang juga berbeda dengan para scholar sebelumnya, Dye
mengartikan kebijakan publik sebagai tindakan apapun yang dipilih pemerintah untuk
dilakukan atau untuk tidak dilakukan.8 Ini menegaskan kembali bahwa kebijakan
publik adalah perwujudan “tindakan” dan bukan sekedar pernyataan keinginan
pemerintah atau pejabat publik semata. Dan pilihan pemerintah untuk tidak
5 Ibid6 Friedrich, Carl J. dan Edward S. Mason, 1941, Public Policy The Journal of Politics, Cambridge
University Press.7 Woll, Peter,1974, Public Policy, University Press of America. 8 Dye, Thomas R. 1995, Understanding Public Policy. Prentice Hall, New Jersey
melakukan sesuatu juga merupakan kebijakan publik karena mempunyai pengaruh
pada dampak yang sama dengan pilihan pemerintah untuk melakukan sesuatu.9
Sedangkan menurut Subarsono kebijakan publik merupakan serangkaian
aktivitas intelektual yang dilakukan dalam proses kegiatan yang bersifat politis.10
Aktivitas politis tersebut nampak dalam serangkaian kegiatan yang mencakup
penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan,
dan penilaian kebijakan. Sedangkan aktivitas perumusan masalah, forecasting,
rekomendasi kebijakan, monitoring, dan evaluasi kebijakan adalah aktivitas yang
lebih bersifat intelektual.11
Berkenaan dengan definisi kebijakan ini, dalam mendefinisikan kebijakan
haruslah melihat apa yang sebenarnya dilakukan daripada apa yang diusulkan
mengenai suatu persoalan. Alasannya adalah karena kebijakan merupakan suatu
proses yang mencakup pula tahap implementasi dan evaluasi, sehingga definisi
kebijakan yang hanya menekankan pada apa yang diusulkan menjadi kurang
memadai.
Berdasar pada hal tersebut, definisi dari James Anderson yang mirip dengan
definisi Laswell dan Friedrich dirasa sebagai pengertian yang lebih tepat. Anderson
merumuskan kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan oleh
seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya masalah atau persoalan
tertentu yang dihadapi.12 Jadi, definisi ini memusatkan perhatian pada apa yang
sebenarnya dilakukan dan bukan pada apa yang diusulkan atau dimaksudkan. Selain
itu konsep ini juga membedakan secara tegas antara policy (kebijakan) dan decision
(keputusan) pemilihan salah satu di antara berbagai alternatif kebijakan yang tersedia.
9 Ibid10 Subarsono, AG. 2008 Analisis Kebijakan Publik: Konsep, Teori, Dan Aplikasi. Pustaka Pelajar,
Yogyakarta.11 Ibid12 Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Edisi 2 Holt, Rinehart and Winston, New Yorks
Berdasarkan diskusi di atas, penulis merumuskan definisi kebijakan publik
sebagai respon suatu sistem politik melalui kekuasaan pemerintah terhadap masalah-
masalah masyarakat. Dengan kata lain, kebijakan publik adalah keputusan pemerintah
guna memecahkan masalah publik. Keputusan itu bisa berimplikasi pada tindakan
maupun bukan-tindakan. Kata ‘publik’ dapat berarti masyarakat atau perusahaan, bisa
juga berarti negara sebagai sistem politik serta administrasi. Sementara ‘pemerintah’
adalah orang atau sekelompok orang yang diberi mandat oleh seluruh anggota suatu
sistem politik untuk melakukan pengaturan terhadap keseluruhan sistem
pemerintahan.
Dengan garis besar kebijakan publik ini maka kemudian kebijakan publik
diharuskan memiliki konsep-konsep yang berisi tujuan, nilai-nilai, dan
pelaksanaannya dibuat oleh badan pemerintah, bukan organisasi swasta dan
menyangkut pilihan yang dilakukan atau tidak dilakukan pemerintah. Dengan kondisi
ini dapat ditarik garis besarnya pula bahwa tujuan utama dari adanya kebijakan publik
adalah upaya untuk mengintervensi kepentingan publik yang tidak memiliki kapasitas
tertentu dan dalam hal tertentu pula dengan harapan terciptanya proses pemerintahan
dan masyarakat yang ideal.
Model kebijakan di atas memiliki satu kesamaan, yaitu bahwa proses
kebijakan berjalan dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja
kebijakan. Semua pengertian dari para ahli tersebut memiliki beberapa persamaan
diantaranya model format kebijakan adalah “gagasan kebijakan”, “formalisasi dan
legalisasi kebijakan”, “implementasi”, baru kemudian menuju pada kinerja atau
mencapai prestasi yang diharapkan yang didapatkan setelah dilakukan evaluasi
kinerja kebijakan.
Dari teori-teori proses kebijakan kita dapat melihat tiga kata kunci yakni
formulasi, implementasi, dan kinerja. Setelah sebuah kebijakan diformulasikan,
langkah selanjutnya tentu saja mengimplementasikan kebijakan tersebut dan dinilai
kinerjanya. Mengenai implementasi kebijakan, ada pernyataan menarik dari ahli
kebijakan Sofyan Effendi dalam buku karangan Riant Nugroho yang mengatakan
bahwa rencana adalah 20% keberhasilan, implementasi adalah 60% sisanya, dan 20%
sisanya adalah bagaimana kita mengendalikan implementasi tersebut.13
Implementasi kebijakan adalah hal yang paling berat, karena di sini masalah-
masalah yang kadang tidak dijumpai dalam konsep, muncul di lapangan dan selain
itu, ancaman utama, adalah konsistensi implementasi. 14 Melihat bahwa implementasi
merupakan tugas yang memakan sumber daya paling besar, maka tugas implementasi
kebijakan juga sepatutnya mendapatkan perhatian lebih. Terkadang dalam praktik
proses kebijakan publik, terdapat pandangan bahwa implementasi akan bisa berjalan
secara otomatis setelah formulasi kebijakan berhasil dilakukan.
Nugroho menyatakan implementation myopia yang sering terjadi di Indonesia
salah satunya adalah selama ini kita anggap kalau kebijakan sudah dibuat, maka
implementasi akan jalan dengan sendirinya.15 Terkadang sumber daya sebagian besar
dihabiskan untuk membuat perencanaan padahal justru tahap implementasi kebijakan
yang seharusnya memakan sumber daya paling besar, bukan sebaliknya.16
Dalam kaitannya dengan topik penelitian ini, penulis akan berusaha meninjau
implementasi kebijakan BPH Migas dalam menjamin ketersediaan BBM Bersubsidi
di Kota Samarinda sejak tahun 2011 hingga 2013. Seperti yang disimpulkan dari
teori-teori proses kebijakan bahwa setelah formulasi kebijakan, maka proses yang
harus dilakukan adalah proses implementasi yang menuju pada kinerja kebijakan,
13 Sofyan Effendi dalam Nugroho, Riant, 2008, Public Policy. PT Elex Media Komputindo, Jakarta14 Nugroho, Riant, 2008, Public Policy. PT Elex Media Komputindo, Jakarta15 Ibid16 Ibid
maka UU No.22 Tahun 2001 tentang Migas yang telah menjadi suatu kebijakan
publik juga harus melalui tahap implementasi agar tujuan yang tersirat dalam tiap
pasalnya dapat menjadi nyata. Dikarenakan tahap proses yang diteliti dalam tesis ini
adalah tahap implementasi, maka yang dibahas selanjutnya adalah terkait
implementasi kebijakan.
Sebagai salah satu output dari kebijakan pemerintah yang tertulis dalam UU,
BPH Migas berperan penting sebagai implementor tingkat pertama yang akan
menjalankan program-program dalam kegiatan usaha hilir Migas nasional. Pada tahap
pelaksanaannya pun BPH Migas sudah disediakan SOP yang telah dibuat oleh
Menteri ESDM dalam PerMen ESDM sebagai pedoman pelaksanaannya, sehingga
proses implementasinya lebih terstruktur dan tidak sembarangan.
Akan tetapi seperti penjelasan pada sub-bab implementasi kebijakan
sebelumnya bahwa suatu proses implementasi adalah proses yang kompleks, rumit
dan tidak mudah. Dengan demikian dirasa perlu untuk melihat faktor yang
mempengaruhi keberhasilan pelaksanaan implementasi itu dari berbagai penjelasan
para ahli kebijakan publik.
Faktor yang mempengaruhi pelaksanaan implementasi jika dilihat dari sudut
pandang aktor kunci pelaksanaannya terbagi menjadi tiga kubu, yakni yang
menggunakan model top-down, buttom-up dan sintesis.17 Ini untuk merangkai,
membahas dan mengkomparasikan detail perkembangan teori implementasi kebijakan
publik. Puzzle implementasi kebijakan publik akan di susun dalam taksonomi latar
belakang gagasan praktika kebijakan; dari konstruksi atas atau dari bawah.
Untuk model top-down, model ini mengangkat peran para pembuat kebijakan
sebagai aktor utamanya. Para pendukung kubu ini yang salah satu diantaranya adalah
Pressman dan Wildavsky menganggap kejelian para pembuat keputusan di tingkat
17 Parsons, Wayne, 1997, Public Policy. Elgar
atas dalam merumuskan dan merancang kebijakan publik dari awal hingga
implementasinya akan mempengaruhi keberhasilan suatu kebijakan.18 Hal tersebut di
perkuat melalui pernyataan oleh Van meter dan Van Horn yang menyatakan bahwa
dukungan para pemangku kepentingan dan hubungan antar lembaga di tingkat atas
dalam pembuatan kebijakan berpengaruh dalam keberhasilan pelaksanaan
implementasi kebijakan.19
Pembahasan pertama yang dibedah Hill dan Hupe adalah narasi dari founding
father teoritikus implementasi kebijakan model top-down; Jeffrey Pressman and
Aaron Wildavsky. Pemikiran utama mereka tentang implementasi yaitu suatu
kebijakan normalnya mengandung tujuan dan keinginan untuk mencapainya.20 Dan
keberhasilan dari pelaksanaannya akan sangat tergantung pada bagaimana relasi
antara organisasi yang berbeda di tingkatan lokal. Semakin banyak link dalam rantai
impelementasi maka memerlukan tingkat kerjasama antar lembaga yang tinggi.
Dalam ranah impelementasi, mereka mengenalkan gagasan “impelementation deficit”
dan mematematisasi pelaksaan kebijakan.21
Pressman dan Wildavsky cenderung menggunakan pendekatan model rasional
dalam mensetting tujuan kebijakan yang menitik beratkan pada sudut pandang
pembuat kebijakan. Namun dengan membacanya secara kontekstual, tumbuhnya
perspektif model rasional sebagai tonggak awal studi implementasi adalah sangat
wajar mengingat kebutuhan saat itu adalah untuk menjawab pertanyaan mengapa
banyak kebijakan mengalami kegagalan saat diimplementasikan dan bagaimana
menghasilkan suatu formula implementasi yang tingkat kegagalannya rendah. Namun 18 Pressman and Wildavsky dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public Policy:
Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.19 Van Meter, D.S. dan Van Horn, C.E. 1974. The Policy Implementation Process : A Conceptual
framework.” Administration And Society, Sage Publications, New York.20 Opcit21 Ibid
pada perjalanannya Wildavsky mulai meragukan model tersebut, terlebih dalam teks
yang ditulisnya bersama Giandomenico, “Impelementation as Evolution” yang dalam
pengalaman empirisnya melihat kontradiksi antara pembuatan regulasi yang rigid dan
impelementasi yang fleksibel yang menyebabkan skeptisme terhadap model
rasional.22
Kemudian pembahasan dilanjutkan dengan Donald Van Meter dan Carl Van
Horn. Kedua pakar dari Amerika ini berpedoman pada karya Pressman dan
Wildavsky, namun diberi sentuhan progressif menjadi sebuah model proses
impelementasi. Pendekatan-pendekatan sebelumnya meski dianggap sangat
membantu memahami proses implementasi, namun sangat kurang dalam kerangka
teoritik. Dalam mengembangkan kerangka teoritis, mereka didasarkan pada 1) teori
organisasi, 2) studi tentang dampak kebijakan publik dan 3) berbagai studi hubungan
antar-pemerintah.23
Van Meter dan Van Horn memulai analisanya dengan pertimbangan
kebutuhan untuk mengklasifikasi kebijakan untuk memberi solusi pada kesulitan-
kesulitan yang terjadi dalam ranah implementasi. Implementasi, menurut mereka akan
sukses ketika sedikit perubahan diperlukan dan tujuan konsensus tinggi.24 Berkaca
pada ragam kasus, secara pragmatis kebijakan dengan perubahan yang terjadi secara
inkremental justru biasanya akan mendapat banyak dukungan, oleh karenanya jika
menginginkan kebijakan terimplementasikan dengan baik, maka sebaiknya dengan
perubahan marginal yang terjadi secara incremental.25
Model ini mengandaikan bahwa implementasi kebijakan berjalan seara linear
22 Ibid23 Van Meter dan Van Horn dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public Policy:
Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.24 Ibid25 Ibid
dari kebijakan publik, implementor, dan kinerja kebijakan publik. Beberapa variabel
yang dimasukkan sebagai variabel yang mempengaruhi kebijakan publik seperti yang
telah dijelaskan pada sub-bab model implementasi kebijakan adalah sebagai berikut:
1) policy standards and objectives, 2) the resources and incentives made available; 3)
the quality of inter-organizational relationships; 4) the characteristics of the
implementation agencies; 5) the economic, social and political environment; dan 6)
the ‘disposition’ or ‘response’ of the implementers, yang mana satu sama lain proses
saling terkait dan menjadi rangkaian tahapan sistemis yang dilakukan secara
longitudinal.26
Model yang diusung oleh Van Meter dan Van Horn memang menjelaskan
pentingnya partisipasi implementor dalam penyusunan tujuan kebijakan, namun
pendekatan mereka terkatagori pendekatan top-down, sebab standar dan tujuan
kebijakan dikomunikasikan pada implementor melalui jaringan interorganisasional,
atau dengan perkataan lain, yang terpenting adalah para implementor memahami dan
menyetujui tujuan dan standar yang telah ditetapkan, bukan turut menentukan tujuan
dan standar tersebut.27
Tokoh pengusung top-down lain yang dijelaskan Hill dan Hupe adalah
Sabatier dan Mazmanian. Dalam teorinya dinyatakan bahwa ada tiga kelompok
variabel yang mempengaruhi kesuksesan implementasi, yakni; 1). Karakteristik dari
Masalah (tractability of the problems); 2). Karakteristik Kebijakan/ undang-undang
(ability of statute to structure implementation). 3). Variabel Lingkungan (non
statutory variables affecting implementation).28
Namun hasil dari penjelasan para pendukung kubu top-down ini mendapat
26 Ibid27 Ibid28 Sabatier dan Mazmanian dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public Policy:
Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.
kritikan langsung oleh kubu selanjutnya yakni buttom-up. Menurut para ahli di kubu
ini, kekuatan implementasi tidaklah berasal dari kehebatan para pembuat kebijakan di
tingkat atas karena peran dari implementor street-level lah yang banyak berperan
penting.29 Ini dikarenakan para implementor di lapisan paling bawah yang berhadapan
langsung dengan sasaran kebijakan sehingga dianggap lebih mengerrti bagaimana
kondisi dan solusi dalam pelaksanaan implementasi.30
Model Bottom-up diprakarsai oleh Michael Lypsky melalui bukunya yang
diterbitkan tahun 1980. Pendekatan Bottom-up merupakan kritik atas pandangan
model top-down yang menafikan kontribusi peran pelaksana tingkat bawah (street
level beaurocrazy) pada proses implementasi. Dalam gagasan Lypsky
mempermasalahkan proses politik tak hanya tidak berhenti saat kebijakan sudah
diputuskan, tapi juga pada saat proses berlangsungnya kebijakan. ‘Politik’ tetap
berlangsung pada street level beaurocrazy yang menentukan tingkat keberhasilan
implementasi.31
Dengan mengutip pendapat Marx bahwa street level beaurocrazy sejatinya
harus bisa menentukan pilihan-pilihannya sendiri walau dalam kondisi pressure
tertentu. Oleh karena itu, Lypsky menganggap perlu mempertimbangkan apa yang
menjadi aspirasi, tujuan kebutuhan dan permasalahan-permaslahan yang ditemui para
pelaksana. Pernyataan Lypsky menjadi benar karena apa yang menjadi masalah dalam
proses implementasi bisa tampak berbeda dari perspektif tingkat yang berbeda.
Tingkat top, mungkin karena sudat pandangnya yang makro bisa memiliki pandangan
berbeda dengan para pelaksana di tingkat bawah, oleh karena itu agar tidak terjadi gap
pemahaman, melibatkan aktor-aktor tingkat bawah dinilai perlu.32
29 Michael Lypsky dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public Policy: Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.
30 Ibid31 Ibid32 Ibid
Selanjutnya Benny Hejrn, latar pemikirannya tentang impelementasi
berorientasi pada bottom-up. Seperti Wildavsky dan Pressman, ia mengkaji pada
interaksi antara organisasi. Namun ia melakukan kajian tambahan mengindentifikasi
jaringan aktor yang terlibat serta mengidentifikasi tujuan, strategi, dan sebagainya.
Model implementasi ini didasarkan kepada jenis kebijakan publik yang mendorong
masyarakat untuk mengerjakan sendiri implementasi kebijakannya atau masih
melibatkan pejabat pemerintah, namun hanya di tataran bawah.33 Bagi Hjern
implementasi akan efektif bila tanpa ada previlege tertentu bagi para aktor-aktornya.
Selanjutnya yang ikut dalam perdebatan teori implementasi ada Susan Barrett
dan Colin Fudge. Mereka mengkrtik model top-down yang dianggapnya
mendepolitisasi hubungan antara kebijakan-action.34 Pandangan mereka menitik
beratkan bahwa proses politik terus terjadi dalam seluruh implementasi, dan oleh
karena itu sulit, menurut mereka, membuat jarak antara pembuatan kebijakan dan
implementasi dalam muatan politisnya.35 Konsekuensi logis dari pandangan demikian,
mereka menganjurkan model bottom-up.
Namun Barrett dan Fudge berpendapat implementasi bukanlah ihwal yang
dikompromikan dengan para policy-maker pasca impelementasi tersebut
diselenggarakan, karena itu justu merupakan kebijakan yang gagal. Barrett dan Fudge
mendahulukan performance daripada conformance (keseuaian), jadi para
impelementor lebih cenderung untuk mengedepankan prestasi terlebih dahulu.36
Hasil perdebatan yang dikemukakan di atas tampil kontradiktif antara
33 Ibid34 Susan Barrett dan Colin Fudge dalam Hill, Michael dan Peter Hupe, 2002, Implementing Public
Policy: Governance in Theory and Practice, Sage Publication, London.35 Ibid36 Ibid
pandangan top-down dan bottom-up. Nalar model top-down dikritik karena terlalu
menitik beratkan pada sudut pandang pembuat kebijakan. Klaim ilmiah dari
pengusung top-down ini secara general memiliki maksud implementasi yang telah
dihitung dan dianalisis dengan cermat oleh pembuat kebijakan atau top leader nya
maka kebijakan dengan sendirinya akan lebih berhasil dalam implementasinya. Jelas
pandangan ini selanjutnya dikritik karena dinilai menafikan peran pelaksana tingkat
bawah yang pada kenyataannya justru lebih banyak berperan.
Kemudian, yang jelas kebijakan pasti akan diimplementasikan bukan di ruang
hampa. Selalu ada kerumitan dan keunikan tersendiri di setiap ruang dan waktunya.
Maka setiap ruang dan waktu pemerintahan yang berbeda, akan membawa perbedaan
pula dalam cara pemecahan masalahnya. Begitulah dunia berjalan secara dialektis.
Namun perbedaan pendekatan tersebut sejatinya tak bersifat konforntatif atau
vis a vis, karena bila memahaminya secara dialektis perbedaan tersebut akan
tergantung dari konteks ragam isu-isu kebijakan, atau jenis kebijakan itu sendiri. Isu
atau jenis kebijakan yang berbeda akan memerlukan perbedaan pendekatan pula. Jadi
tidak bisa dipandang secara deterministik dalam salah satu perspektif. Belum lagi
perbedaan yang menyangkut hal-hal bersifat ekonomi-politik, kultural, dan sosial
akan menemui perbedaan pendekatan yang lebih rumit lagi
Dalam konteks implementasi kebijakan oleh BPH Migas maka ragam outputs yang keluar dari para pembuat kebijakan termasuk BPH Migas sendiri tidak dapat di generalisir menjadi satu model saja.hal ini dikarenakan jenis kebijakan yang ada berbeda anatara satu dengan yang lainnya.