PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Embed Size (px)
Transcript of PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
BAB I
Tugas Kelompok
Mata Kuliah
: Epidemiologi dan Biostatistik LanjutDosen
: Prof. Dr. Ridwan Amiruddin, SKM., M.Kes., M.Sc.PH
KELOMPOK 4A. ST. NURHAFIFA YUSUF
P1802212006
NUR ASDAMUSTARING
P1802212007
MASLAMAH
P1802212010
RYRYN SURYAMAN PRANA PUTRA
P1802212407
KONSENTRASI ADMINISTRASI DAN KEBIJAKAN KESEHATAN
PROGRAM STUDI FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2012
BAB I
PENDAHULUANA. LATAR BELAKANG Sektor kesehatan merupakan bagian penting perekonomian di berbagai negara. Sejumlah pendapat menyatakan bahwa sektor kesehatan sama seperti spons menyerap banyak sumber daya nasional untuk membiayai banyak tenaga kesehatan. Pendapat yang lain mengemukakan bahwa sektor kesehatan seperti pembangkit perekonomian, melalui inovasi dan investasi dibidang tekhnologi biomedis atau produksi dan penjualan obatobatan, atau dengan menjamin adanya populasi yang sehat yang produktif secara ekonomi. Sebagian warga masyarakat mengunjungi fasilitas kesehatan sebagai pasien atau pelanggan, dengan memanfaatkan rumah sakit, klinik atau apotik; atau sebagai profesi kesehatan perawat, dokter, tenaga pendukung kesehatan, apoteker, atau manajer. Karena pengambilan keputusan kesehatan berkaitan dengan hal kematian dan keselamatan, kesehatan diletakkan dalam kedudukan yang lebih istimewa dibanding dengan masalah sosial yang lainnya.Kesehatan juga dipengaruhi oleh sejumlah keputusan yang tidak ada kaitannya dengan layanan kesehatan: kemiskinan mempengaruhi kesehatan masyarakat, sama halnya dengan polusi, air kotor atau sanitasi yang buruk. Kebijakan ekonomi, seperti pajak merokok, atau alkohol dapat pula mempengaruhi perilaku masyarakat. Penyebab mutakhir meningkatnya obesitas ditengah masyarakat mencakup kesediaan makanan cepat saji yang murah namun tinggi kalori, penjualan soft drinks disekolah, juga menurunnya kebiasaan berolah raga. Memahami hubungan antara kebijakan kesehatan dan kesehatan itu sendiri menjadi sedemikian pentingnya sehingga memungkinkan untuk menyelesaikan masalah kesehatan utama yang terjadi saat ini meningkatnya obesitas, wabah HIV/AIDS, meningkatnya resistensi obat sekaligus memahani bagaimana perekonomian dan kebijakan lain berdampak pada kesehatan. Kebijakan kesehatan memberi arahan dalam pemilihan teknologi kesehatan yang akan dikembangkan dan digunakan, mengelola dan membiayai layanan kesehatan, atau jenis obat yang dapat dibeli bebas. Untuk memahami hal tersebut, perlu mengartikan apa yang dimaksud dengan kebijakan kesehatan.B. RUMUSAN MASALAH
Rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1. Apa pengertian kebijakan dan kebijakan publik? 2. Apa urgensi kebijakan publik?3. Bagaimana ciri dan jenis kebijakan publik?4. Bagaimana proses dan tahapan kebijakan publik?5. Bagaimana hubungan antara epidemiologi dan proses kebijakan publik?6. Bagimana analisis kebijakan publik?7. Bagaimana dampak kebijakan publik?8. Bagaimana contoh penerapan kebijakan publik di bidang kesehatan?
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui pengertian kebijakan dan kebijakan publik 2. Mengetahui urgensi kebijakan publik 3. Mengetahui siapa yang membuat kebijakan
4. Mengetahui ciri dan jenis kebijakan publik 5. Mengetahui proses tahapan kebijakan publik di bidang kesehatan 6. Mengetahui bagaimana hubungan antara epidemiologi dan proses kebijakan publik7. Mengetahui analisis kebijakan publik 8. Mengetahui dampak kebijakan publik9. Mengetahui contoh penerapan kebijakan publik di bidang kesehatan
BAB II
PEMBAHASANA. PENGERTIAN KEBIJAKAN
Pengertian Kebijakan
Kebijakan atau policy adalah seperangkat panduan pengambilan keputusan. Penyediaan kebijakan merupakan kerangka kerja yang diusulkan yang dapat diuji dan diukur kemajuannya. Idealnya kebijakan itu berisi definisi yang jelas terhadap masalah yang akan diselesaikan, pernyataan tujuan (pendekatan dan kegiatannya) terhadap tujuan-tujuan yang akan dicapai (Pal, 1992).
Pengertian Kebijakan Publik
Definisi kebijakan oleh Thomas Dye yang menyatakan bahwa kebijakan umum/publik adalah apa yang dilaksanakan dan tidak dilaksanakan oleh pemerintah tampaknya berlawanan dengan asumsi yang lebih formal bahwa segala kebijakan disusun untuk mencapai suatu maksud atau tujuan tertentu.
Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Kebijakan publik memiliki beberapa definisi. Salah seorang pakar kebijakan publik mendefinisikan bahwa kebijakan publik adalah segala sesuatu yang dikerjakan atau tidak dikerjakan oleh pemerintah, mengapa suatu kebijakan harus dilakukan dan apakah manfaat bagi kehidupan bersama harus menjadi pertimbangan yang holistik agar kebijakan tersebut mengandung manfaat yang besar bagi warganya dan berdampak kecil dan sebaiknya tidak menimbulkan persoalan yang merugikan, walaupun demikian pasti ada yang diuntungkan dan ada yang dirugikan, disinilah letaknya pemerintah harus bijaksana dalam menetapkan suatu kebijakan (Thomas Dye, 1992; 2-4).
Sedangkan Perpustakaan Nasional USA Medicine Science Heading mendefinisikan kebijakan publik sebagai a course of method of action selected, usually by government, from among alternatives to guide and determine present and future decisions. Pengertian Kebijakan Kesehatan
Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan (dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam system kesehatan. Kebijakan ini mencakup sektor publik (pemerintah) sekaligus sektor swasta. Tetapi karena kesehatan dipengaruhi oleh banyak faktor penentu diluar system kesehatan, para pengkaji kebijakan kesehatan juga menaruh perhatian pada segala tindakan dan rencana tindakan dari organisasi diluar system
B. URGENSI KEBIJAKAN PUBLIK
Ada tiga alasan mengapa kebijakan publik penting dan perlu dipelajari. Sholichin Abdul Wahab dengan mengikuti pendapat dari Anderson (1978) dan Dye (1978) menjelaskan ketiga alasan itu diantaranya:
1. Alasan ilmiah (scientific reason), Kebijakan publik dipelajari dengan maksud untuk memperoleh pengetahuan yang luas tentang asal-muasalnya, proses-proses perkembangannya dan konsekuensi-konsekuensinya bagi masyarakat. Pada gilirannya hal ini akan menambah pengertian tentang sistem politik dan masyarakat secara umum.2. Alasan profesional (professional reason)Studi kebijakan dimaksudkan untuk menghimpun pengetahuan ilmiah di bidang kebijakan publik guna memecahkan masalah-masalah sosial sehari- hari. James E. Anderson termasuk yang mendukung profesionalitas (bukan hanya saintifik). Menurutnya, jika kita mengetahui sesuatu tentang fakta-fakta yang membantu dalam membentuk kebijakan publik atau konsekuensi-konsekuensi dari kebijakan-kebijakan yang mungkin timbul, jika kita tahu bagaimana individu, kelompok atau pemerintah dapat bertindak untuk mencapai tujuan-tujuan kebijakan mereka, maka kita layak memberikan hal tersebut dan tidak layak untuk berdiam diri. Oleh karenanya menurut Anderson adalah sesuatu yang sah bagi seorang ilmuwan politik memberikan saran-saran kepada pemerintah maupun pemegang otoritas pembuat kebijakan agar kebijakan yang dihasilkannya mampu memecahkan persoalan-persoalan dengan baik. Tentunya pengetahuan yang didasarkan pada fakta adalah prasyarat untuk menentukan dan menghadapi masalah-masalah masyarakat.3. Alasan politis (political reason).Mempelajari kebijakan publik pada dasarnya dimaksudkan agar pemerintah dapat menempuh kebijakan yang tepat guna mencapai tujuan yang tepat pula. Sebagaimana telah diuraikan di atas beberapa ilmuwan politik cenderung pada pilihan bahwa studi kebijakan publik seharusnya diarahkan untuk memastikan apakah pemerintah mengambil kebijakan yang pantas untuk mencapai tujuan-tujuan yang tepat. Mereka menolak pendapat bahwa analis kebijakan harus bebas nilai. Bagi mereka ilmuwan politik tidak dapat berdiam diri atau tidak berbuat apa-apa mengenai masalah-masalah politik. Mereka ingin memperbaiki kualitas kebijakan politik dalam cara-cara menurut yang mereka sangat diperlukan, meskipun dalam masyarakat seringkali terdapat perbedaan substansial mengenai kebijakan apa yang disebut benar dan tepat itu. C. SIAPA YANG MEMBUAT KEBIJAKANSistem kebijakan secara keseluruhan merupakan pola institusional dimana kebijakan di buat, terdiri dari kebijakan kebijakan, stakeholders, dan lingkungan (Dunn, 1981). Terdapat tiga pola yang telah ditetapkan, meskipun hal ini jarang dalam bentuk yang sebenarnya (van der Grinten, 1996). Walaupun dikembangkan untuk diaplikasikan dalam jurisdiksi politik, prinsip prinsip yang ada dapat diterapkan untuk organisasi seperti perusahaan dan assosiasi professional.
Pada sistem yang ekstrim, sistem kebijakan unicentric dimana kebijakan ditentukan oleh satu otoritas, pemerintahan secara umum, semuanya powerful, menjadi penting dengan hanya mengambil satu keputusan yang meliputi keseluruhan sistem. Hasilnya adalah sistem regulasi dimana pemerintah mengalokasikan dan mengkoordinasikan tugas tugas. Contohnya adalah pemerintahan totalitarian di Asia selatan.
Pada ekstrim yang lain adalah sistem kebijakan multicentric, secara esensial merupakan marketplace, dimana banyak pihak yang terlibat. Pemerintah bertugas sebagai wasit, pengawas standar minimal mutu, fasilitator dari kehendak para pelaku pasar yang hanya ikut bila memberi keuntungan. Keadaan ini banyak ditemukan di negara-negara yang menganut sistem demokrasi.
Ketiga, sistem kebijakan tipe intermediate adalah sistem plucentric dimana model ini merupakan sebuah jaringan (network). Power dibagi kedalam sejumlah aktor yang interdependent meliputi pemerintah, pekerja, dan buruh yang harus bekerja sama dalam mencapai berbagai tujuan tujuan mereka. Keberhasilan kebijakan hanya dapat dicapai bila di dukung sepenuhnya oleh para pelaku. Ini adalah system policy neocorporatist yang telah diterapkan di Jepan dan Jerman pada dekade ini.
Sistem kebijakan negara dipengaruhi bagaimana partisipasi dalam interaksi pengambilan kebijakan. Hal tersebut juga ditentukan pentingnya hubungan mereka, dan yang menjadi penting untuk ahli epidemiologi untuk menjalin komunikasi. Tetapi hal pertama keterlibatan partisipants harus dpat diidentifikasi. Pelaku yang paling penting adalah para politisi, pegawai negeri, staf ahli, dan yang berminat.
D. CIRI DAN JENIS KEBIJAKAN PUBLIK
Ciri-ciri Kebijakan Publik :
1. Kebijakan publik merupakan tindakan yang mengarah pada tujuan, bukan tindakan yang acak dan kebetulan. Kebijakan publik dalam sisem politik modern merupakan suatu tindakan yang direncanakan.
2. Kebijakan pada hakikatnya terdiri atas tindakan-tindakan yang saling berkait dan berpola yang mengarah pada tujuan tertentu yang dilakukan oleh pejabat-pejabat pemerintah dan bukan merupakan keputusan yang beridiri sendiri. Kebijakan tidak hanya berupa keputusan untuk membuat undang-undang, melainkan diikuti pula dengan keputusan-keputusan yang bersangkut-paut dengan implementasi dan pemaksaan pemberlakuannya.
3. Kebijakan bersangkut-paut dengan apa yang senyatanya dilakukan pemerintah dalam bidang-bidang tertentu, misalnya dalam mengatur kebijakan kesehatan, dan bukan sekedar apa yang ingin dilakukan oleh pemerintah dalam bidang-bidang tersebut.
4. Kebijakan publik mungkin berbentuk positif, mungkin pula negatif. Dalam bentuknya yang positif, mungkin akan mencakup beberapa bentuk tindakan pemerintah yang dimaksudkan untuk mempengaruhi masalah tertentu, sementara dalam bentuknya yang negatif, kemungkinan meliputi keputusan-keputusan pejabat pemerintah untuk tidak bertindak atau tidak melakukan tindakan apapun ketika campur tangan pemerintah sebenarnya diharapkan. Sudah barang tentu tiadanya bentuk campur tangan/ keterlibatan pemerintah dapat membawa dampak tertentu bagi seluruh atau sebagian warga. Jenis Kebijakan Publik
Banyak pakar mengajukan jenis kebijakan publik berdasarkan sudut pandangnya masing- masing. James Anderson. Misalnya, menyampaikan kategori tentang kebijakan publik tersebut sebagai berikut:
1. Kebijakan substansif versus kebijakan prosedural. Kebijakan substantif yakni kebijakan yang menyangkut apa yang akan dilakukan oleh pemerintah. Sedangkan kebijakan prosedural adalah bagaimana kebijakan substantif tersebut dapat dijalankan. 2. Kebijakan distributif versus kebijakan regulatori versus kebijakan re-distributif. Kebijakan distributif. Kebijakan distributis menyangkut distribusi pelayanan atau kemanfaatan pada masyarakat atau individu. Kebijakan regulatori adalah kebijakan yang berupa pembatasan atau pelarangan terhadap perilaku individu atau kelompok masyarakat. Sedangkan kebijakan re-distributif adalah kebijakan yang mengatur alokasi kekayaan, pendapatan, pemilikan atau hak-hak di antara berbagai kelompok dalam masyarakat.
3. Kebijakan material versus kebijakan simbolis. Kebijakan material adalah kebijakan yang memberikan keuntungan sumber daya konkrit pada kelompok sasaran. Sedangkan kebijkan simbolis adalah kebijakan yang memberikan manfaat simbolis pada kelompok sasaran.
4. Kebijakan yang berhubungan dengan barang umum (public goods) dan barang privat (privat goods). Kebijakan public goods adalah kebijakan yang bertujuan mengatur pemberian barang atau pelayanan publik. Sedangkan kebijakan privat goods adalah kebijakan yang mengatur penyediaan barang atau pelayanan untuk pasar bebas. E. PROSES KEBIJAKAN PUBLIK
Proses mengacu kepada cara bagaimana kebijakan dimulai, dikembangkan atau disusun, dinegosiasi, dikomunikasikan, dilaksanakan dan dievaluasi. Pendekatan yang paling sering digunakan untuk memahami proses kebijakan adalah dengan menggunakan apa yang disebut tahapan heuristiks (Sabatier dan JenkinsSmith 1993). Yang dimaksud disini adalah membagi proses kebijakan menjadi serangkaian tahapan sebagai alat teoritis, suatu model dan tidak selalu menunjukkan apa yang sebenarnya terjadi didunia nyata. Namun, serangkaian tahapan ini membantu untuk memahami penyusunan kebijakan dalam tahapantahapan yang berbeda:
Identifikasi masalah dan isu: menemukan bagaimana isu isu yang ada dapat masuk kedalam agenda kebijakan, mengapa isu isu yang lain justru tidak pernah dibicarakan. Perumusan kebijakan: menemukan siapa saja yang terlibat dalam perumusan kebijakan, bagaimana kebijakan dihasilkan, disetujui, dan dikomunikasikan. Peran penyusunan kebijakan dalam pemerintahan dibicarakan Pelaksanaan Kebijakan: tahap ini yang paling sering diacuhkan dan sering dianggap sebagai bagian yang terpisah dari kedua tahap yang pertama. Namun, tahap ini yang diperdebatkan sebagai tahap yang paling penting dalam penyusunan kebijakan sebab bila kebijakan tidak dilaksanakan, atau dirubah selama dalam pelaksanaan, sesuatu yang salah mungkin terjadi dan hasil kebijakan tidak seperti yang diharapkan. Evaluasi kebijakan: temukan apa yang terjadi pada saat kebijakan dilaksanakan bagaimana pengawasannya, apakah tujuannya tercapai dan apakah terjadi akibat yang tidak diharapkan. Tahapan ini merupakan saat dimana kebijakan dapat diubah atau dibatalkan serta kebijakan yang baru ditetapkan..
Ada sejumlah peringatan dalam penggunaan kerangka yang berguna dan sederhana ini. Pertama, proses kebijakan terlihat seperti proses yang linier dengan kata lain, proses ini berjalan dengan mulus dari satu tahap ke tahap yang lain, dari penemuan masalah hingga ke pelaksanaan dan evaluasi. Namun, sebenarnya jarang terlihat jelas sebagai suatu proses. Mungkin pada saat tahap pelaksanaan masalah baru ditemukan atau kebijakan mungkin diformulasikan tetapi tidak pernah mencapai tahap pelaksanaan. Dengan kata lain, penyusunan kebijakan jarang menjadi suatu proses yang rasional iterative dan dipengaruhi oleh kepentingan sepihak i.e. pelaku. Banyak yang sependapat dengan Lindblom (1959) bahwa proses kebijakan adalah sesuatu yang dicampur aduk oleh para penyusun kebijakan. Namun, tahap heuristics telah berlangsung sekian lama dan tetap bermanfaat. Tahap ini dapat digunakan untuk mengkaji tidak hanya kebijakan tingkat nasional tetapi juga internasional
Guna memahami bagaimana kebijakan disebarkan ke seluruh dunia. Dimensi paling inti dari kebijakan publik adalah proses kebijakan. Di sini kebijakan publik dilihat sebagai sebuah proses kegiatan atau sebagai satu kesatuan sistem yang bergerak dari satu bagian ke bagian lain secara berkesinambungan, saling menentukan dan saling membentuk. Beberapa ahli menjabarkan proses kebijakan publik diantaranya :
1. Proses Kebijakan Publik Menurut Easton
Model proses kebijakan yang paling klasik dikembangkan oleh David Easton (1984). Easton melakukan analogi dengan sistem biologi. Pada dasarnya sistem biologi merupakan proses interaksi antar mahluk hidup dengan lingkungannya, yang akhirnya menciptakan kelangsungan perubahan hidup yang relatif stabil. Dalam terminologi ini, Easton menganalogikannya dengan kehidupan sistem politik. Kebijakan publik dengan sistem mengandaikan bahwa kebijakan merupakan hasil atau output dari sistem (politik). Seperti dipelajari dalam ilmu politik, sistem politik terdiri atas input, throughput dan output, seperti digambarkan sebagai berikut:
Dari gambar tersebut dapat dipahami bahwa proses formulasi kebijakan publik berada dalam sistem politik dengan mengandalkan pada masukan (input) yang terdiri atas dua hal, yaitu tuntutan dan dukungan. Model Easton inilah yang dikembangkan oleh para akademis di bidang kebijakan publik, seperti: Anderson, Dunn, Patton dan Savicky, dan Effendy.
2. Tahap- Tahap Kebijakan Publik Menurut William Dunn James E. Anderson, David W. Brady, dan Charles Bullock III (1978) membagi proses kebijakan menjadi:
1. Agenda kebijakan (policy agenda)
2. Perumusan kebijakan (policy formulation)
3. Penetapan kebijakan (policy adoption)
4. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
5. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)Model ini selanjutnya dibandingkan dengan model proses kebijakan yang dikembangkan oleh William N. Dunn sebagai berikut:
William Dunn menjabarkan tahapan kebijakan terdiri dari 4 proses:
1. Penyusunan Agenda
Agenda setting adalah sebuah fase dan proses yang sangat strategis dalam realitas kebijakan publik. Dalam proses inilah memiliki ruang untuk memaknai apa yang disebut sebagai masalah publik dan prioritas dalam agenda publik dipertarungkan. Jika sebuah isu berhasil mendapatkan status sebagai masalah publik, dan mendapatkan prioritas dalam agenda publik, maka isu tersebut berhak mendapatkan alokasi sumber daya publik yang lebih daripada isu lain.Dalam agenda setting juga sangat penting untuk menentukan suatu isu publik yang akan diangkat dalam suatu agenda pemerintah. Issue kebijakan (policy issues) sering disebut juga sebagai masalah kebijakan (policy problem). Policy issues biasanya muncul karena telah terjadi silang pendapat di antara para aktor mengenai arah tindakan yang telah atau akan ditempuh, atau pertentangan pandangan mengenai karakter permasalahan tersebut. Menurut William Dunn (1990), isu kebijakan merupakan produk atau fungsi dari adanya perdebatan baik tentang rumusan, rincian, penjelasan maupun penilaian atas suatu masalah tertentu. Namun tidak semua isu bisa masuk menjadi suatu agenda kebijakan.Ada beberapa Kriteria isu yang bisa dijadikan agenda kebijakan publik (Kimber, 1974; Salesbury 1976; Sandbach, 1980; Hogwood dan Gunn, 1986), diantaranya:
1. Telah mencapai titik kritis tertentu yang jika diabaikan, akan menjadi ancaman yang serius;2. Telah mencapai tingkat partikularitas tertentu yang berdampak dramatis;3. Menyangkut emosi tertentu dari sudut kepentingan orang banyak (umat manusia) dan mendapat dukungan media massa;4. Menjangkau dampak yang amat luas ;5. Mempermasalahkan kekuasaan dan keabsahan dalam masyarakat ;6. Menyangkut suatu persoalan yang fasionable (sulit dijelaskan, tetapi mudah dirasakan kehadirannya)
Penyusunan agenda kebijakan seyogianya dilakukan berdasarkan tingkat urgensi dan esensi kebijakan, juga keterlibatan stakeholder. Sebuah kebijakan tidak boleh mengaburkan tingkat urgensi, esensi, dan keterlibatan stakeholder.
2. Formulasi kebijakan
Masalah yang sudah masuk dalam agenda kebijakan kemudian dibahas oleh para pembuat kebijakan. Masalah- masalah tadi didefinisikan untuk kemudian dicari pemecahan masalah yang terbaik. Pemecahan masalah tersebut berasal dari berbagai alternatif atau pilihan kebijakan yang ada. Sama halnya dengan perjuangan suatu masalah untuk masuk dalam agenda kebijakan, dalam tahap perumusan kebijakan masing- masing alternatif bersaing untuk dapat dipilih sebagai kebijakan yang diambil untuk memecahkan masalah.3. Adopsi/ Legitimasi Kebijakan
Tujuan legitimasi adalah untuk memberikan otorisasi pada proses dasar pemerintahan. Jika tindakan legitimasi dalam suatu masyarakat diatur oleh kedaulatan rakyat, warga negara akan mengikuti arahan pemerintah. Namun warga negara harus percaya bahwa tindakan pemerintah yang sah mendukung. Dukungan untuk rezim cenderung berdifusi - cadangan dari sikap baik dan niat baik terhadap tindakan pemerintah yang membantu anggota mentolerir pemerintahan disonansi. Legitimasi dapat dikelola melalui manipulasi simbol- simbol tertentu. Di mana melalui proses ini orang belajar untuk mendukung pemerintah.
4. Penilaian/ Evaluasi Kebijakan
Secara umum evaluasi kebijakan dapat dikatakan sebagai kegiatan yang menyangkut estimasi atau penilaian kebijakan yang mencakup substansi, implementasi dan dampak. Dalam hal ini, evaluasi dipandang sebagai suatu kegiatan fungsional. Artinya, evaluasi kebijakan tidak hanya dilakukan pada tahap akhir saja, melainkan dilakukan dalam seluruh proses kebijakan. Dengan demikian, evaluasi kebijakan bisa meliputi tahap perumusan masalah- masalah kebijakan, program- program yang diusulkan untuk menyelesaikan masalah kebijakan, implementasi, maupun tahap dampak kebijakan.
3. Proses Kebijakan Publik oleh Patton dan Savicky
Proses kebijakan model ini dikembangkan melalui siklus proses kebijakan sebagai berikut:
1. Mendefinisikan masalah (define the problem)
2. Menentukan kriteria evaluasi (detrmine evaluation criteria)
3. Mengidentifikasi kebijakan-kebijakan alternatif (identify alternative policies)
4. Mengevaluasi kebijakan-kebijakan alternatif (evaluate alternative policies)
5. Menyeleksi kebijakan-kebijakan pilihan (select preferred policy)
6. Menerapkan kebijakan-kebijakan pilihan (implement the preferred policy)
4. Model proses kebijakan oleh Thomas R. Dye
Model proses kebijakan ini terdiri dari :
1. Identifikasi masalah kebijakan (identification of policy problem)
2. Pengaturan agenda (agenda setting)
3. Perumusan kebijakan (policy formulation)
4. Pengesahan kebijakan (policy legitimation)
5. Pelaksanaan kebijakan (policy implementation)
6. Evaluasi kebijakan (policy evaluation)
Dalam bidangn kesehatan, proses kebijakan publik sama halnya dengan proses kebijaka publik lainnya, hanya saja kerangka konsep yag digunakan mengacu pada determinan kesehatan yang mempengaruhi proses kebijakan lainnya. Model konseptual untuk penyusunan kebijakan kesehatan (Sumber: Ruward et.al.1994 in Spasoff, 1999 ).
Sedangkan model proses kebijakan publik di bidang kesehatan berkaitan dengan epidemiologi adalah : (sumber: Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan Kesehatan, Ridwan, 2011)
Siklus seperti pada gambar diatas akan memberi framework pada organisasi. Siklus telah dibatasi kedalam langkah langkah yang lebih sederhana. Beberapa siklus kebijakan meliputi langkah agenda-setting, dengan melihat issu-issu yang dipertimbangkan menjadi kebijakan. Langkah ini ditempati oleh identifikasi masalah dan kebutuhan, dimana banyak arah dalam agenda kebijakan, hal hal ini dapat menjadi kontribusi epidemiologi. Penyusunan alternatif tindakan, estimasi konsekuensi, dan pemilihan satu atau lebih kegiatan untuk implememntasi yang telah dikombinasikan ke dalam langkah tunggal dari pemilihan pengambilan kebijakan.
Spesifikasi tujuan menjadi hal yang mendasar dalam pengambilan kebijakan, spesifikasi tujuan dalam perspektif epidemiologi menjadi tool dalam implementasi dan evaluasi. Dalam setiap siklus diharapkan epidemiologi dapat memberi kontribusi.
F. EPIDEMIOLOGI TERHADAP PROSES KEBIJAKAN KESEHATANEpidemiologi memberikan kontribusi terhadap siklis kebijakan diantaranya sbb: (Sumber: Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan Kesehatan, Ridwan Amiruddin, 2011)1. Assessment of population health.
Ahli epidemiologi dapat berkontribusi terhadap konseptual dan pengukuran Kesehatan, menggunakan keahliannya dalam megolah data kesehatan populasi. Lebih khusus lagi, mereka dapat menilai kebutuhan Kesehatan dan risiko-risikonya, menentukan dampak masalah Kesehatan terhadap Masyarakat, dan menilai inequalitas dalam Kesehatan. Hampir semua riset epidemiologi terikat dengan determinan penyebab sehat dan masalah Kesehatan.
2. Assessment of potential interventions
Ahli epidemiologi dapat mengavaluasi dan menyusun fakta berdasarkan efikasi intervensi yang potensial dan menilai efektifitasnya.
3. Policy choices
Ahli apidemiologi dapat memberi saran terhadap penceghaan penyakit, model dampak dari variasi intervensi terhadap Kesehatan populasi secatra keseluruhan, dan memberikan dasar tujuan untuk memilih prioritas diantara banyak pilihan.
4. Policy implementation
Ahli epidemiologi dapat berkontribusi untuk menyusun tujuan dan objective yang berarti, menyediakan dasar-dasar rasional untuk alokasi resoursis, dan memberi saran terhadap data yang dibutuhkan untuk mendukung evaluasi kebijakan.
5. Policy evaluation
Ahli epidemiologi dapat membantu mengembangkan desain riset yang valid dan reliable, dan dapat melaksanakan surveilens masalah Kesehatan dan pelayanan Kesehatan, mendeteksi kejadian yang tidak biasa dan mengevaluasi variasi wilayah dalam pelayanan Kesehatan.
G. ANALISIS KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG KESEHATAN William N. Dunn (2000) mengemukakan bahwa analisis kebijakan adalah suatu disiplin ilmu sosial terapan yang menggunakan berbagai macam metode penelitian dan argumen untuk menghasilkan dan memindahkan informasi yang relevan dengan kebijakan, sehingga dapat dimanfaatkan di tingkat politik dalam rangka memecahkan masalah-masalah kebijakan. Weimer and Vining, (1998:1): The product of policy analysis is advice. Specifically, it is advice that inform some public policy decision. Jadi analisis kebijakan publik lebih merupakan nasehat atau bahan pertimbangan pembuat kebijakan publik yang berisi tentang masalah yang dihadapi, tugas yang mesti dilakukan oleh organisasi publik berkaitan dengan masalah tersebut, dan juga berbagai alternative kebijakan yang mungkin bisa diambil dengan berbagai penilaiannya berdasarkan tujuan kebijakan.
Analisis kebijakan publik bertujuan memberikan rekomendasi untuk membantu para pembuat kebijakan dalam upaya memecahkan masalah-masalah publik. Di dalam analisis kebijakan publik terdapat informasi-informasi berkaitan dengan masalah-masalah publik serta argumen-argumen tentang berbagai alternatif kebijakan, sebagai bahan pertimbangan atau masukan kepada pihak pembuat kebijakan.Analisis kebijakan terdiri dari beberapa bentuk, yang dapat dipilih dan digunakan. Pilihan bentuk analisis yang tepat, menghendaki pemahaman masalah secara mendalam, sebab kondisi masalah yang cenderung menentukan bentuk analisis yang digunakan. Berdasarkan pendapat para ahli (Dunn, 1988; Moekijat, 1995; Wahab, 1991) dapat diuraikan beberapa bentuk analisis kebijakan yang lazim digunakan sbb:
1. Analisis Kebijakan ProspektifBentuk analisis ini berupa penciptaan dan pemindahan informasi sebelum tindakan kebijakan ditentukan dan dilaksanakan. Menurut Wiliam (1971), ciri analisis ini adalah:
mengabungkan informasi dari berbagai alternatif yang tersedia, yang dapat dipilih dan dibandingkan.
Diramalkan secara kuantitatif dan kualitatif untuk pedoman pembuatan keputusan kebijakan.
Secara konseptual tidak termasuk pengumpulan informasi.
2. Analisis Kebijakan Restrospektif (AKR)Bentuk analisis ini selaras dengan deskripsi penelitian, dengan tujuannya adalah penciptaan dan pemindahan informasi setelah tindakan kebijakan diambil. Beberapa analisis kebijakan restropektif, adalah:
1. Analisis berorientasi Disiplin, lebih terfokus pada pengembangan dan pengujian teori dasar dalam disiplin keilmuan, dan menjelaskan sebab akibat kebijakan. Contoh: Upaya pencarian teori dan konsep kebutuhan serta kepuasan tenaga kesehatan di Indonesia, dapat memberi kontribusi pada pengembangan manajemen SDM original berciri Indonesia (kultural). Orientasi pada tujuan dan sasaran kebijakan tidak terlalu dominan. Dengan demikian, jika ditetapkan untuk dasar kebijakan memerlukan kajian tambahan agar lebih operasional.
2. Analisis berorientasi masalah, menitikberatkan pada aspek hubungan sebab akibat dari kebijakan, bersifat terapan, namun masih bersifat umum. Contoh: Pendidikan dapat meningkatkan cakupan layanan kesehatan. Orientasi tujuan bersifat umum, namun dapat memberi variabel kebijakan yang mungkin dapat dimanipulasikan untuk mencapai tujuan dan sasaran khusus, seperti meningkatnya kualitas kesehatan gigi anak sekolah melalui peningkatan program UKS oleh puskesmas.
3. Analisis beriorientasi penerapan, menjelaskan hubungan kausalitas, lebih tajam untuk mengidentifikasi tujuan dan sasaran dari kebijakan dan para pelakunya. Informasi yang dihasilkan dapat digunakan untuk mengevaluasi hasil kebijakan khusus, merumuskan masalah kebijakan, membangun alternatif kebijakan yang baru, dan mengarah pada pemecahan masalah praktis. Contoh: analis dapat memperhitungkan berbagai faktor yang mempengaruhi keberhasilan atau kegagalan pelayanan KIA di Puskesmas. Informasi yang diperoleh dapat digunakan sebagai dasar pemecahan masalah kebijakan KIA di puskesmas.
3. Analisis Kebijakan TerpaduBentuk analisis ini bersifat konprehensif dan kontinyu, menghasilkan dan memindahkan informasi gabungan baik sebelum maupun sesudah tindakan kebijakan dilakukan. Menggabungkan bentuk prospektif dan restropektif, serta secara ajeg menghasilkan informasi dari waktu ke waktu dan bersifat multidispliner.Bentuk analisis kebijakan di atas, menghasilkan jenis keputusan yang relatif berbeda yang, bila ditinjau dari pendekatan teori keputusan (teori keputusan deksriptif dan normatif), yang dapat diuraikan sebagai berikut:
1. Teori Keputusan Deskriptif, bagian dari analisis retrospektif, mendeskripsikan tindakan dengan fokus menjelaskan hubungan kausal tindakan kebijakan, setelah kebijakan terjadi. Tujuan utama keputusan adalah memahami problem kebijakan, diarahkan pada pemecahan masalah, namun kurang pada usaha pemecahan masalah.2. Teori Keputusan Normatif, memberi dasar untuk memperbaiki akibat tindakan, menjadi bagian dari metode prospektif (peramalan atau rekomendasi), lebih ditujukan pada usaha pemecahan masalah yang bersifat praktis dan langsungH. DAMPAK KEBIJAKAN PUBLIK Beberapa dampak kebijakan publik:1. Dampak pada masalah publik (pada kelompok sasaran) yang diharapakan atau tidak. 2. Dampak pada kelompok diluar sasaran sering disebut eksternalitas / dampak melimpah (spillover effects)
3. Dampak sekarang dan yang akan datang
4. Dampak biaya langsung dikeluarkan untuk membiayai program dan tak langsung (yang dikeluarkan publik akibat suatu kebijakan.
Faktor Penyebab Kebijakan Tak Memperoleh Dampak yang Diinginkan (Anderson, 1996) :1. Sumber daya tak memadai 2. Cara implementasi tak tepat 3. Masalah publik sering disebabkan banyak faktor tetapi kebijakan yang dibuat hanya mengatasi satu faktor saja.
4. Cara menanggapi kebijakan yang justru dapat emngurangi dampak yang diinginkan
5. Tujuan-tujuan kebijakan tak sebanding bahkan bertentangan satu sama lain.6. Biaya yang dikeluarkan jauh lebih besar dari masalahnya. 7. Banyak masalah publik yang tak mungkin dapat diselesaikan.
8. Timbulnya masalah baru sehingga mendorong pengalihan perhatian dan tindakan
9. Sifat dari masalah yang akan dipecahkan
I. CONTOH PENERAPAN KEBIJAKAN PUBLIK DI BIDANG KESEHATAN1. Proses Perumusan Kebijakan Global TB/HIV oleh WHO
Kelompok Kerja Global TB/HIV menyumbang dalam perumusan kebijakan sementara kegiatan kerjasama TB/HIV, dengan komisi penulis yang menyiapkan versi awal dan berikutnya. Kelompok Kerja mengkoordinasikan tanggapan global terhadap epidemi TB dan HIV yang saling bersilangan, menempa kerja sama antara komunitas HIV/AIDS dan TB. Keanggotaannya meliputi manajer program, lembaga donor, LSM, lembaga pendidikan, aktivis dan kelompok pendukung pasien yang bekerja dengan WHO dan UNAIDS baik untuk program TB maupun HIV. Komisi penulis meliputi pakar teknis tuberkulosis dan HIV, pembuat kebijakan dalam manajemen kesehatan, orang yang hidup dengan HIV dan penasehatnya, manajer program TB dan HIV nasional maupun internasional, dan lembaga donor. Naskah kebijakan telah dibicarakan pada konperensi internasional oleh stakeholder nasional dan internasional dalam program HIV dan TB serta telah disahkan oleh Kelompok Kerja Global TB/HIV dan Strategic and Technical Advisory Group untuk TB (STAG), yang memberikan kepada WHO strategi eksternal dan nasehat teknis dalam penanggulangan TB. Tujuan umum kebijakan ialah mengurangi beban TB dan HIV pada populasi yang terkena kedua penyakit tersebut.
Tujuan khusus kegiatan kerja sama TB/HIV adalah:
(1) membangun mekanisme kerja sama antara program TB dan HIV/AIDS;
(2) mengurangi beban TB pada orang dengan HIV/AIDS; dan
(3) mengurangi beban HIV pada pasien TB
(Kebjakan sementara kegiatan Kerjasama TB/HIV Stop TB Department and Department of HIV/AIDS World Health Organization, Geneva, Switzerland, 2004)2. Kebijakan Mengenai DBD di Indonesia
Banyak langkah yang telah ditempuh oleh pemerintah untuk mengurangi jumlah penderita DBD di Indonesia, mulai dari program pencegahan sampai program case management untuk masyarakat yang telah terjangkit oleh virus dengue ini, tahapan-tahapan program tersebut, antara lain :Pemberantasan Sarang Nyamuk
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) yaitu kegiatan memberantas jentik nyamuk di tempat berkembangbiaknya baik dengan cara kimia, yaitu dengan larvasida, biologi dengan cara memelihara ikan pemakan jentik atau dengan bakteri ataupun dengan cara fisik yang kita kenal dengan kegiatan 3M (Menguras, Menutup, Mengubur) yakni menguras bak mandi, bak WC; menutup TPA rumah tangga (tempayan, drum dll) serta mengubur atau memusnahkan barang-barang bekas (kaleng, ban dll).
Pencegahan penyakit DBD melalui metode lingkungan atau fisik untuk mengendalikan nyamuk tersebut antara lain dengan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), pengelolaan sampah padat, modifikasi tempat perkembangbiakan nyamuk hasil samping kegiatan manusia, dan perbaikan desain rumah. Sebagai contoh : Menguras bak mandi/penampungan air sekurang-kurangnya sekali seminggu. Mengganti/menguras vas bunga dan tempat minum burung seminggu sekali Mengubur kaleng-kaleng bekas, aki bekas dan ban bekas di sekitar rumah dan lain sebagainya.
Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) pada dasarnya, untuk memberantas jentik atau mencegah agar nyamuk tidak dapat berkembang biak. Pemberantasannya perlu peran aktif masyarakat khususnya memberantas jentik Aedes.aegypti di rumah dan lingkungannya masing-masing. Cara ini adalah suatu cara yang paling efektif dilaksanakan karena :
tidak memerlukan biaya yang besar bisa dilombakan untuk menjadi daerah yang terbersih menjadikan lingkungan bersih budaya bangsa Indonesia yang senang hidup bergotong royong dengan lingkungan yang baik tidak mustahil, penyakit lain yang diakibatkan oleh lingkungan yang kotor akan berkurang.
Program 3M Plus
Sebenarnya pelaksanaan 3M Plus merupakan upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk yang sederhana dan efektif. Melalui program ini, masyarakat dapat memutus rantai perkembang biakan nyamuk Aedes Aegypti. Sebagai gambaran, beberapa hal pembersihan yang dilakukan dalam 3M Plus merupakan upaya untuk mempersempit penyediaan sarang reproduksi bagi hewan vektor penyakit ini dan hal ini merupakan bagian yang sangat penting sebagai langkah awal untuk menghindari peningkatan prevalensi penderita PBD serta menghindari terjadinya KLB pada penyakit ini. Sedangkan untuk membasmi jumlah nyamuk dewasa yang telah dapat berkembang biak, dapat dilakukan dengan pengasapan (fogging) digunakan untuk mengurangi jumlah nyamuk dewasa yang dapat bertelur sebanyak 200 400 per hari. Jika dibandingkan dari kedua langkah diatas, tentu saja program 3M Plus memiliki peranan yang sangat penting untuk membatasi penyebaran virus penyakit ini asalkan masyarakat melakukannya secara kontinyu dan teratur.
Permasalahan mengenai efektifitas pelaksanaan program Pemberantasan Sarang Nyamuk melalui 3M Plus adalah kurangnya minat masyarakat untuk melakukan semua hal tersebut. Hal ini berkaitan dengan pemahaman masyarakat untuk terbiasa memiliki pola hidup bersih dan sehat sehingga merasa bahwa bukan hal yang kondusif untuk hidup berdampingan dengan nyamuk Aedes Aygepti.
Efektifitas pelaksanaan kegiatan Pemberantasan Sarang Nyamuk ini melalui 3M Plus ini dapat terlaksana dengan baik jika semua jajaran masyarakat memiliki kesadaran untuk melakukannya secara serempak dan kontinyu di seluruh bagian negara Indonesia in. Atupun dapat ditambah dengan adanya kebijakan dari pemerintah pusat ataupun daerah mengenai pentingnya melakukan 3M Plus yang disertai dengan pemberlakuan punishment bagi tiap masyarakat yang tidak melakukan ataupn terlibat di dalam program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) ini. Sebagai contoh, mungkin kita dapat mengikuti pemberlakuan kebijakan di negara Singapura dan Malaysia yang memberikan denda bagi warganya yang kedapatan terdapat jentik nyamuk Aedes Aegypti di rumahnya. Atupun seperti Sri Lanka menggunakan gerakan Green Home Movement untuk tujuan yang sama yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aeds Aegypti dan menempelkan stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah dengan stiker hitam akan dberikan peringatan sebanyak 3 kali dan jka tidak dilakukan akan dikenai denda. Sedangkan untuk para pejabat pemerintahan Indonesia, mungkin dapat meniru semangat Jendral Grogas dalam membasmi penyakit ini dari Kuba pada 100 tahun yang lalu yaitu dengan menggunakan metode pelaksanaan progam program PSN secara serentak dan besar besaran di seluruh negeri.Semua contoh diatas seharusnya dapat dijadikan contoh oleh tiap daerah yang berpotensi menjadi daerah endemi DBD ketika musim penghujan datang apalagi saat ini telah adanya otonomi daerah yang dapat memberikan kebebasan kepada tiap derah untuk menyusun program ataupun kegiatan yang bertujuan untuk membasmi sarang nyamuk secara benar tanpa terlupakan adanya pengawasan dari pihak pemerintahan pusat.
Peraturan mengenai PSN dan 3M
Pelaksanaan PSN sebenarnya merupakan sebuah program pencegahan penyebaran penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) yang bersifat wajib. Hal tersebut dikarenakan adanya peraturan tertulis yang dibuat oleh pejabat pemerintahan provinsi. Sebagai gambaran, wajib PSN dengan 3-M di wilayah Provinsi DKI, lanjut Salimar, dasarnya adalah Surat Edaran (SE) Gubernur DKI No 46/SE/2004 tentang PSN digelar tidak hanya di luar, tapi juga dalam rumah dan ruangan.
Adapun dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus DKI Jakarta, nomor 6 tahun 2007 tentang pencegahan demam berdarah melalui Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), dijelaskan pada:
Pasal 4
1. PSN 3M Plus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf a, dilakukan untuk memutus siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus melalui kegiatan 3M Plus. 2. Pemutusan siklus hidup nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilakukan oleh orang perorang, pengelola, penanggung jawab atau pimpinan pada semua Tatanan Masyarakat. 3. Kegiatan pemutusan siklus hidup nyamuk sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan secara terus menerus dan berkesinambungan dengan membasmi jentik nyamuk di semua tempat penampungan / genangan air yang memungkinkan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk. 4. Kegiatan PSN sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2) dan ayat (3) dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu sekali
SANKSI
Pasal 21
1. Setiap orang yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan pada tempat tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk Aedes aegypti dan jentik nyamuk Aedes albopictus dikenakan sanksi sebagai berikut :
a) Teguran tertulis;b) Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui penempelan stiker di pintu rumah;c) Denda paling banyak Rp.50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan.
2. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertingkat. Pasal 22
1. Setiap pengelola, penanggung jawab atau pimpinan yang karena kedudukan, tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab terhadap urusan kerumahtanggaan dan/atau kebersihan Tatanan Masyarakat yang melanggar ketentuan Pasal 4 ayat (2) dan ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti dan jentik nyamuk Aedes albopictus pada pada Tatanan Masyarakat yang menjadi lingkup tanggung jawabnya dikenakan sanksi sebagai berikut :
a) teguran tertulis;b) teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui penempelan stiker di lobby atau 11 pintu masuk kantor;c) denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (Satu Juta Rupiah) atau paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan.2. Pengenaan sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan secara bertingkat.
Adapun peraturan lain yang mengatur mengenai program 3M sebenarnya dimulai tahun 1990 s/d sekarang dikembangkan program pemberantasan intensif Demam Berdarah Dengue di desa/Kelurahan endemis Demam Berdarah Dengue dengan kegiatan penanggulangan fokus, foging massal sebelum musim penularan, abatisasi selektif serta penyuluhan don penggerakkan PSN melalui kerjasama lintas program dan sektor. Kemudian stratifikasi desa disempurnakan menjadi 3 strata yaitu: endemis, sporadis dan bebas/potensial.
Pada periode ini tepat pada tahun 1992 terbit KepMenkes Nomor : 581 tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue berdasarkan Kepmenkes Nomor 581 tahun 1992, tentang pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue, surat Edaran Mendagri, No. 443/115/Bandes, perihal operasionalisasi Kep. Menkes No. 581 tahun 1992, Surat Edaran Tim Pembina UKS tingkat pusat No. 80/fPUKS oo/X/93, tentang Pembinaan UKS dalam upaya pencegahan penyakit Demam Berdarah Dengue, Surat Edaran Tim Penggerak PKK Pusat No. 500/ SKR/PKK.PST/94, tentang penyuluhan dan motivasi gerakan PSN Demam Berdarah Dengue, SK Mendagri No. 31-VI tahun 1994., tentang pembentukan kelompok operasional pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue dan surat Edaran Mendagri No. 912/351/Bangda tahun 1994 tentang penyediaan dana dalam rangka menanggulangi penyakit Demam Berdarah Dengue.
Berdasarkan Kepmenkes tersebut, tugas dan fungsi Subdit Arbovirosis ditetapkan bahwa: Upaya pemberantasan penyakit Demam Berdarah Dengue dilakukan melalui pelaksanaan kegiatan: pencegah, penemuan dan pelaporan penderita, pengamatan, penyakit, penyelidikan epidemiologi, penanggulangan seperlunya serta penanggulangannya lain dan penyuluhan kepada masyarakat.Abatisasi (Larvasiding)
Larvasiding adalah pemberantasan jentik dengan bahan kimia dengan menaburkan bubuk larvasida. Pemberantasan jentik Aedes aegypti dengan bahan kimia terbatas untuk wadah (peralatan) rumah tangga yang tidak dapat dimusnahkan, dibersihkan,dikurangi atau diatur. Dalam jangka panjang penerapan kegiatan larvasiding sulit dilakukan dan mahal. Kegiatan ini tepat digunakan apabila survelans penyakit dan vector menunjukkan adanya periode berisiko tinggi dan di lokasi dimana wabah mungkin timbul. Menentukan waktu dan tempat yang tepat untuk pelaksanaan larvasiding sangat penting untuk memaksimalkan efektifitasnya.
Terdapat 2 jenis larvasida yang dapat digunakan pada wadah yang dipakai untuk menampung air minum (TPA) yakni: temephos (Abate 1%) dan Insect growth regulators (pengatur pertumbuhan serangga) Untuk pemberantasan larva dapat digunakan abate 1 % SG. Cara ini biasanya digunakan dengan menaburkan abate kedalam bejana tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah adanya jentik selama 2-3 bulan. Kegiatan larvasiding meliputi:a. Abatisasi selektif
Abatisasi selektif adalah kegiatan pemeriksaan tempat penampungan air (TPA) baik didalam maupun diluar rumah pada seluruh rumah dan bangunan di desa/kelurahan endemis dan sporadik dan penaburan bubuk abate (larvasida) pada TPA yang ditemukan jentik dan dilaksanakan 4 kali setahun. Pelaksana abatisasi adalah kader yang telah dilatih oleh petugas Puskesmas.Tujuan pelaksanaan abatisasi selektif adalah sebagai tindakan sweeping hasil penggerakan masyarakat dalam PSN-DBD.
b. Abatisasi massal
Abatisasi massal adalah penaburan abate atau altosid (larvasida) secara serentak diseluruh wilayah/daerah tertentu disemua TPA baik terdapat jentik maupun tidak ada jentik di seluruh rumah/bangunan. Kegiatan abatisasi massal ini dilaksanakan dilokasi terjadinya KLB DBD. Dalam kegiatan abatisasi massal masyarakat diminta partisipasinya untuk melaksanakan pemberantasan Aedes aegypti di wilayah masing-masing. Tenaga di beri latihan dahulu sebelum melaksanakan abatisasi, agar tidak mengalami kesalahan.
Peraturan Daerah mengenai Abatisasi atau Pemberantasan Jentik Nyamuk
Pemeriksaan Jentik Berkala yang selanjutnya disingkat PJB adalah pemeriksaan tempat penampungan air dan tempat perkembangbiakan nyamuk dan jentik nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus oleh Petugas Kesehatan untuk mengetahui ada atau tidaknya jentik nyamuk pada tatanan masyarakat.Dalam Pasal 5 :
1) PJB sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf b wajib dilakukan oleh Petugas Kesehatan setiap 3 (tiga) bulan sekali.2) Selain Petugas Kesehatan, pemeriksaan dan pemantauan jentik juga wajib dilaksanakan secara rutin oleh Jumantik. 3) Dalam hal pemeriksaan dan pemantauan oleh Jumantik sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilaksanakan sekurang-kurangnya 1 (satu) minggu sekali, dengan kegiatan sebagai berikut :
a) Memeriksa setiap tempat, media, atau wadah yang dapat menjadi tempat perkembangbiakan Nyamuk Aedes aegypti dan Aedes albopictus pada Tatanan Masyarakat dan mencatat di kartu jentik; b) Memberikan penyuluhan dan memotivasi Masyarakat; c) Melaporkan hasil pemeriksaan dan pemantauan kepada Lurah.
4) Ketentuan lebih lanjut mengenai pemeriksaan dan pemantauan jentik nyamuk sebagaimana dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Gubernur.Fogging
Fogging merupakan suatu kegiatan penyemprotan insektisida dan PSN-DBD serta penyuluhan pada masyarakat sekitar kasus dengan radius 200 meter, dilaksanakan 2 siklus dengan interval 7 hari oleh petugas. Biasanya Fogging diadakan 2 kali di suatu tempat menggunakan malathion dalam campuran solar dosis 438 g/ha. (500 ml malathion 96%technical grade/ha). Sasaran adalah rumah serta bangunan di pinggir jalan yang dapat dilalui mobil di desa endemis tinggi. Alat yang dipakai swing fog SN 1 untuk bangunan dan mesin ULV untuk perumahan. Waktu pengasapan pagi dan sore ini dengan memperhatikan kecepatan angin dan suhu udara. Fogging dilakukan oleh tim yang terlatih dari Dinas Kesehatan Propinsi dan Pusat sesudah survei dasar. Penanggulangan fogging fokus ini dilakukan dengan maksud untuk mencegah/membatasi penularan penyakit. Cara ini dapat dilakukan untuk nyamuk dewasa maupun larva. Untuk nyamuk dewasa saat ini dilakukan dengan cara pengasapan (thermal fogging) atau pengagutan (colg Fogging = Ultra low volume). Pemberantasan nyamuk dewasa tidak dengan menggunakan cara penyemprotan pada dinding (resisual spraying) karena nyamuk Ae.aegypti tidak suka hinggap pada dinding, melainkan pada benda-benda yang tergantung seperti kelambu dan pakaian yang tergantung. Untuk pemakaian di rumah tangga dipergunakan berbagai jenis insektisida yang disemprotkan yang disemprotkan kedalan kamar atau ruangan misalnya, golongan organophospat atau pyrethroid synthetic.[30]
Adapun syarat-syarat untuk melakukan fogging, yaitu:
1. Adanya pasien yang meninggal di suatu daerah akibat DBD.2. Tercatat dua orang yang positif terkena DBD di daerah tersebut.3. Lebih dari tiga orang di daerah yang sama, mengalami demam.Plus adanya jentik-jentik nyamuk Aedes Aegypti.
Apabila ada laporan DBD di rumah sakit atau puskesmas di suatu daerah, maka pihak rumah sakit harus segera melaporkan dalam waktu 24 jam, setelah itu akan langsung diadakan penyelidikan epidemiologi kemudian baru fogging fokus.
Peraturan mengenai Fogging
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Daerah Khusus DKI Jakarta, nomor 6 tahun 2007 tentang pengendalian demam berdarah, dijelaskan pada:
Pasal 11
1) Penanggulangan Fokus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf b merupakan kegiatan pemberantasan nyamuk DBD dengan cara pengasapan atau fogging.2) Pengasapan atau fogging sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan 2 (dua) putaran dengan interval waktu 1 (satu) minggu dalam radius 100 (seratus) meter.
Pasal 12
1) Pengasapan atau fogging sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 wajib dilaksanakan oleh Puskesmas pada setiap Penyelidikan Epidemiologi positif paling lama 3 (tiga) kali 24 (dua puluh empat) jam.2) Selain Puskesmas, pengasapan atau fogging dapat dilakukan oleh Masyarakat dengan tenaga terlatih dibawah pengawasan Puskesmas.3) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaan pengasapan dirumah dan lingkungan masing-masing.
Pasal 13
1) Fogging massal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 huruf c merupakan kegiatan pengasapan fokus secara serentak dan menyeluruh pada saat KLB.2) Kegiatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib dilaksanakan oleh Puskesmas dibawah koordinasi Unit Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebanyak 2 (dua) putaran dengan interval waktu 1 (satu) minggu.3) Selain Unit Kerja Perangkat Daerah yang bertanggung jawab dibidang kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pengasapan atau fogging massal dapat dilakukan oleh Masyarakat dengan tenaga terlatih dibawah pengawasan Puskesmas.4) Masyarakat wajib membantu kelancaran pelaksanaan Fogging massal dirumah dan lingkungan masing-masing.
Surveilans Epidemiologi
Surveilans Epidemiologi DBD adalah kegiatan analisis secara sistematis dan terus menerus terhadap penyakit DBD dan kondisi yang memperbesar resiko terjadinya, dengan maksud agar peningkatan dan penularannya dapat dilakukan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi epidemiologi kepada penyelenggara program kesehatan. Proses surveilans dibagi menjadi dua kegiatan,yaitu :
1. Kegiatan inti; mencakup (1) surveilans: deteksi, pencatatan, pelaporan, analisis, konfirmasi dan umpan balik (2) tindakan: respon segera (epidemic type response) dan respon terencana (management type response) 2. Kegiatan pendukung; mencakup, pelatihan, supervisi, penyediaan dan manajemen sumber daya.
Program surveilans epidemiologi DBD meliputi surveilans penyakit yang dilakukan dengan cara meminta laporan kasus dari rumah sakit dan sarana kesehatan serta surveilans vektor yang dilakukan dengan melakukan penelitian epidemiologi di daerah yang terjangkit DBD. Pelaksanaan surveilans epidemiologi vektor DBD untuk deteksi dini biasanya dilakukan penelitian di tempat-tempat umum; sarana air bersih; pemukiman dan lingkungan perumahan; dan limbah industri, RS serta kegiatan lain.
Kegiatan di atas dilakukan oleh petugas kesehatan, juru pemantau jentik dan tim pemberantasan nyamuk di sekolah dan masyarakat. Sebagai indikator keberhasilan program tersebut adalah Angka Bebas Jentik (ABJ).
Surveilans epidemiologi penyakit DBD memegang peranan penting dalam upaya memutus mata rantai penyakit DBD. Namun, pada kenyataanya belum berjalan dengan baik disebabkan karena faktor eksternal dan internal, misalnya petugas puskesmas tidak menjalankan tugas dengan sebagaimana mestinya dalam melakukan Pemantauan Jentik Berkala (PJB).
Berdasarkan surveilans epidemiologi DBD yang telah dilakukan peningkatan dan penyebaran jumlah kejadian penyakit DBD ada kaitannya dengan beberapa hal berikut:
1. Pertumbuhan penduduk yang tinggi
2. Urbanisasi yang tidak terencana & tidak terkendali
3. Tidak adanya kontrol vektor nyamuk yang efektif di daerah endemis
4. Peningkatan sarana transportasi
Badan Litbangkes berkerja sama dengan Namru telah mengembangkan suatu sistem surveilen dengan menggunakan teknologi informasi (Computerize) yang disebut dengan Early Warning Outbreak Recognition System ( EWORS ).
EWORS adalah suatu sistem jaringan informasi yang menggunakan internet yang bertujuan untuk menyampaikan berita adanya kejadian luar biasa pada suatu daerah di seluruh Indonesia ke pusat EWORS (Badan Litbangkes. Depkes RI.) secara cepat. Melalui sistem ini peningkatan dan penyebaran kasus dapat diketahui dengan cepat, sehingga tindakan penanggulangan penyakit dapat dilakukan sedini mungkin. Dalam masalah DBD pada tahun 2004, EWORS telah berperan dalam hal menginformasikan data kasus DBD dari segi jumlah, gejala/karakteristik penyakit, tempat/lokasi, dan waktu kejadian dari seluruh rumah sakit DATI II di Indonesia.[35]
Peraturan Daerah
Pasal 6
1) Surveilans sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 huruf c terdiri dari :
a. Surveilans Aktif Rumah Sakit;b. Surveilans Berbasis Masyarakat.
2) Surveilans Aktif Rumah Sakit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a merupakan kewajiban Rumah Sakit melaporkan setiap kasus baru DBD yang dirawat ke Dinas Kesehatan dalam waktu 1 (satu) x 24 (dua puluh empat) jam.3) Surveilans Berbasis Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b merupakan kewajiban Masyarakat melaporkan setiap penderita DBD ke Puskesmas.
Case Management
Berbagai macam aksi telah dicanangkan untuk mencegah munculnya dan meluasnya kasus DBD (preventif primer). Namun, disamping aksi pencegahan, diperlukan juga penanganan kasus yang baik demi mencegah meningkatnya angka kematian dan Case Fatality Rate (CFR). Hal yang penting dalam penanganan kasus adalah penegakan diagnosis dan pengobatan segera (preventif sekunder). Sebagaimana yang diketahui, penyakit DBD sering salah didiagnosis dengan penyakit lain seperti flu atau typhoid/ tipus. Hal ini disebabkan karena infeksi virus dengue yang menyebabkan DBD bisa bersifat asimptomatik atau tidak jelas gejalanya. Data dari berbagai rumah sakit menunjukkan bahwa pasien DBD sering menunjukkan gejala batuk, pilek, demam, mual, muntah maupun diare. Masalah bisa bertambah karena virus tersebut dapat masuk bersamaan dengan infeksi penyakit lain seperti flu atau tipus. Oleh karena itu perlu kejelian pemahaman tentang perjalanan penyakit virus dengue, patofisiologi, dan ketajaman pengamatan klinis. Untuk memperoleh kepastian tentang diagnosis, perlu juga dilakukan pemeriksaan penunjang di laboratorium.
Penegakan diagnosis dengan cepat sangat penting karena memberikan efek yang besar terhadap prognosis penyakit. Jika terjadi keterlambatan sedikit saja, keadaan pasien bisa jauh lebih parah karena fase klinis penyakit DBD cukup pendek. Keputusan perawatan yang diberikan juga harus sesuai dengan kondisi pasien, apakah rawat inap biasa sudah cukup atau harus mendapatkan perawatan intensif di ICU. 3. Aplikasi Program dalam Masyarakat
PSN dan 3M
Kurangnya sosialisasi[36] adalah salah satu penyebab PSN belum optimal sebagaimana fakta di daerah Tangerang dan Banten masih banyak warga yang tidak mengetahui 3M plus itu apa. Dapat dilihat juga beberapa komentar warga mengenai PSN, diantaranya adalah Bakir, seorang ketua RT di Larangan Utara, Kecamatan Ciledug, juga belum pernah mendapat penjelasan mengenai DBD dan cara penanggulangannya. Ia tak paham mengenai PSN dengan 3M + 1M. Kalau ada sosialisasi soal itu, pasti saya tahu karena kebetulan rumah saya dekat dengan ketua RW. Kalau ada apa-apa, Pak Lurah Larangan biasanya segera memberi tahu. Tetapi, tahun ini saya belum dengar apa-apa mengenai pemberantasan DBD, jelasnya. Namun, beberapa waktu lalu di kawasan padat permukiman rumah petak tersebut pernah ditarik iuran untuk bayar orang bersih-bersih selokan, tetapi itu sudah lama sekali. Seorang warga Perumahan Kehakiman di belakang Puskesmas Sukasari, Tangerang, juga tidak pernah tahu apa itu 3M + 1M. Sepanjang tahun 2004 dan tahun 2005, di kompleksnya belum pernah ada penjelasan tentang DBD dari aparat kesehatan setempat.
Tidak hanya didaerah pemukiman, tetapi adapula sekolah yang belum pernah mendengar penjelasan PSN dengan 3M + 1M dari aparat kesehatan. Saya mah dengar soal PSN dan harus ikut pencanangan PSN oleh Pak Wali dari Kepala Dinas Pendidikan minggu lalu. Setelah itu langsung saya minta siswa SD sini kerja bakti membersihkan sekolah dan lingkungan kami, kata Kepala Sekolah SDN Pondok Bahar IV Kecamatan Karangtengah AM Bhakty NTR.
Kemudian adapula komentar masyarakat yang skeptis mengenai PSN diantaranya adalah di Kecamatan Cipondoh, Yanti, ibu rumah tangga warga RT 01 RW 01, Kelurahan Cipondoh, mengaku tidak tahu-menahu mengenai PSN dan 3M + 1M. Ia tidak terlalu peduli mengenai bahaya DBD karena rumahnya hanya beberapa meter dari Puskesmas Cipondoh.
Penuturan komentar-komentar di atas mengenai ketidaktahuan masyarakat mengenai pemberantasan DBD melalui 3M sangat ironis sekali karena gubernur daerah setempat telah mencanangkan program PSN tersebut bahkan telah dilakukan aksi pengasapan di daerah pemukiman dan tempat-tempat umum seperti sekolah.
Keadaan di atas mengindikasikan bahwa pencegahan DBD tidak hanya cukup dengan acara pencanangan dan pemasangan spanduk berisi peringatan, karena pada kenyatannya masyarakat sangat mengharapkan dokter atau aparat kesehatan lain bersedia menjelaskan soal DBD langsung ke masyarakat agar mereka benar-benar paham penyakit yang sulit didiagnosa itu sekaligus mendapat dorongan untuk memberantasnya.
Kegiatan PSN DBD harus dijadikan prioritas oleh setiap daerah yang memiliki laporan kasus DBD.Walaupun pelaksanaan PSN memang membutuhkan waktu yang agak lama, sehingga memerlukan peran aktif masyarakat akan tetapi keberhasilan dari upaya ini cukup besar dalam rangka penurunan angka penyakit DBD. Abatisasi
Temephos berupa sand granules ditaburkan dengan pasir sebagai carrier ke dalam bejana tempat penampungan air. Penaburan larvasida di tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah timbulnya jentik selama 2-3 bulan. Larvasida yang dipakai adalah abate 1 % dengan dosis 1 gr per 10 liter air. Namun cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk secara permanen, karena masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida selain itu pula diperlukan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya.
Penelitian peningkataan kualitas lingkungan dalam rangka pemberantasan demam berdarah di Kodya Sukabumi, propinsi Jawa Barat tahun 1988/89 dilakukan oleh Sumengen dkk yang diawali dengan intruksi PSN oleh Walikota Sukabumi. Intervensi dilakukan dengan cara fogging, abatisasi dan PSN di 4 kelurahan endemis tinggi, abatisasi dan PSN di 4 kelurahan endemis sedang, PSN di 5 kelurahan endemis rendah. fogging menggunakan malathion 96% technical grade dosis 438 per ba dilakukan 2 cycle. abatisasi menggunakan 1 % abate sand granules abate dengan dosis 1 gr per 10 liter. Setelah 6 bulan intervensi diadakan survei penilaian didapat hasil pengawasan kualitas lingkungan secara konsisten lebih efektif dari pada intervensi lain. Penurunan, house index mencapai 13,3 container index 1,0 dan breteau index 13,4.
Hasil studi lain yang dilakukan oleh Kasnodiharjo di Kotamadya Pontianak, Kalimantan Barat tahun 1990 menunjukkan pengetahuan sikap dan prilaku masyarakat menunjukkan bahwa, sebagian besar warga masyarakat (83 %) pernah mendengar tentang dengan demam berdarah, 81% diantaranya bahwa demam berdarah adalah suatu penyakit yang berbahaya. Sedangkan mereka yang mengetahui tentang pencegahan demam berdarah dengan cara menutup rapat TPA 17 % dengan cara mengganti air 27 % dan menaburkan abate pada TPA 29 %[37]. Fogging
Sebagai tindaklanjut dari penetapan kejadian luar biasa (KLB) demam berdarah pada tiga pekan lalu, Pemprov DKI Jakarta akan melakukan pengasapan fokus serentak di 3.291 titik pada 258 kelurahan yang ada di Jakarta dengan total luas titik 13.164 hektar atau 60 persen wilayah DKI.[38] Dari 258 kelurahan tersebut, 135 diantaranya berkategori kelurahan status merah untuk demam berdarah dan 123 untuk berkategori kuning.Setiap titik fokus akan diasap oleh dua tim yang terdiri atas masing-masing satu kepala regu dan enam petugas penyemprotan. Kepala regu berasal dari petugas puskesmas sedangkan petugas yang menyemprot berasal dari anggota masyarakat dan petugas Linmas yang sudah dilatih. Obat-obatan yang digunakan berasal dari yang telah ada di puskesmas dan sudin masing-masing untuk jenis Fendona sebanyak 3.843 liter dan cynoff sebanyak 7.545 liter.
Bantuan Dinkes sebanyak 14.000 liter yang digunakan untuk cadangan bila kurang. Terdapat empat mesin untuk satu titik, setiap titik mempunyai cakupan empat hektar. Mesin yang disiapkan berjumlah 2.000 unit dari kelurahan dan 429 unit mesin dari puskesmas, sehingga total mencapai sekitar 2.429 unit. Dana yang dibutuhkan untuk pengasapan fokus serentak bagi dua siklus berjumlah Rp1.928.000 untuk setiap titik sehingga diperkirakan membutuhkan biaya Rp6,3 miliar.
Di Jakarta Utara sendiri, Pihak Sudin Kesehatan Mayarakat (Kesmas) Jakarta Utara gencar melakukan fogging fokus serentak di 32 titik fokus penyemprotan, namun jumlah kasus DBD di Jakarta Utara setiap hari mengalami peningkatan yang signifikan.
Data Sudin Kesmas, pada 15 Januari 2008 jumlah kasus tercatat 91 orang. Dalam seminggu jumlah kasus meningkat 100 % menjadi 197 orang pada 21 Januari 2008. Sedangkan jumlah RW rawan DBD periode Desember 2007 Januari 2008 tercatat 118 RW. Kecamatan yang paling banyak RW nya masuk dalam kategori RW rawan yakni Kecamatan Kelapa Gading dengan 38 RW. Dan jumlah RW terbanyak dalam satu kelurahan di kuasai oleh Kelurahan Kelapa Gading Timur sebanyak 16 RW. Selain itu hampir setiap kecamatan terdapat RW rawan seperti di Kecamatan Penjaringan ada 5 RW, di Kecamatan Pademangan 9 RW, Kecamatan Tanjung Priok 35 RW, Kecamatan Koja 5 RW dan Kecamatan Cilincing terdapat 26 RW. Fogging fokus serempak yang dilaksanakan pada Jumat (18/01/2007)-Minggu (20/01/2007) belum semua titik fokus tersemprot karena banyaknya jumlah area fokus penyemprotan dengan jumlah petugas sebanyak 100 orang yang dibagi dalam 20 tim. Untuk itu akan diadakan lagi penyemprotan siklus II di wilayah yang belum dilakukan fogging. Di Jakarta Utara terdapat 16 kelurahan zona merah sesuai ketetapan Gubernur DKI Jakarta. Ke 16 kelurahan tersebut antara lain Penjaringan, Pademangan Barat, Pademangan Timur, Tanjung Priok, Kebun Bawang, Warakas, Sunter Agung, Koja, Lagoa, Rawa Badak Utara, Tugu Utara, Tugu Selatan, Kelapa Gading Timur, Pegangsaan Dua, Semper Barat dan Semper Timur.Masih di Puskesmas Kecamatan Tg. Priok data yang berhasil dihimpun perkembangan kasus DBD, dari Januari hingga 10 April 2007, jumlah kasus DBD tercatat 116 kasus. Dengan perincian di Kelurahan Sunter Agung 67 Kasus, Sunter Jaya 25 Kasus, Papanggo 25 kasus, Warakas 59 kasus, Tg.Priok 42 kasus, dan Sungai Bambu 26 kasus. Sedangkan pelaksanaan foging khusus ( Fokus ) yang telah dilakukan, di Kelurahan Sunter Jaya 26 fokus, Sunter Agung 16 Fokus, Papanggo 1 fokus,Warakas 13 Fokus, Tg.Priok 5 Fokus, Sungai Bambu 16 fokus dan Kebon Bawang 12 fokus. Total pelaksanan focus 89 kali se-Kecamatan Tg. Priok.
Sasaran fogging massal akan dilaksanakan di 118 RW di kelurahan zona merah Jakarta Utara, terdiri dari 12 RW di Kelurahan Penjaringan, 4 RW Pademangan Barat, 4 Pademangan Timur, 8 Tanjung Priok, 9 Kebon Bawang, 8 Sunter Agung, 8 Warakas, 5 Koja, 5 Lagoa, 5 Rawa Badak Utara, 5 Tugu Selatan, 5 Tugu Utara. Kemudian 17 RW di Kelurahan Kelapa Gading Timur, 15 Pegangsaan Dua, 4 Semper Timur dan 4 RW di Semper Barat.
Sedangkan untuk kelurahan lainnya yang masuk dalam zona kuning, juga akan dilaksanakan kegiatan fogging dan kegiatan kesehatan lingkungan berupa laporan kegiatan Pemantauan Jentik Berkala (PJB) dan Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN) oleh para jumantik dan kader. Case Management
Jumlah pasien rawat inap penderita demam berdarah dengue (DBD) di Rumah Sakit Pasar Rebo semakin meningkat dan melebihi kapasitas kamar yang dimiliki rumah sakit tersebut. Pada tanggal 21 April 2007 jumlah pasien penderita DBD yang masuk ke RS Pasar Rebo mencapai 85 pasien, terdiri atas 54 pasien dewasa dan 31 pasien anak-anak.[41] Kapasitas ruang ruang inap yang kami miliki sudah full, sampai-sampai pasien DBD terpaksa kami rawat di selasar luar, ujar Edi Customer Service Rumah Sakit Pasar Rebo ketika ditemui wartawan.
Pasien rawat inap yang tidak tertampung di kamar, terpaksa dirawat di selasar-selasar rumah sakit. Sampai saat ini pasien penderita DBD yang dirawat di selasar luar untuk Ruang Melati sebanyak 10 orang, sedangkan di Ruang Mawar sebanyak delapan orang, dan salah satunya adalah Sofyan. S (15 thn) yang kini dalam kondisi kritis dan terpaksa dirawat di ruang ICU. Terhitung sejak awal April hingga 21 April 2007, pasien penderita DBD yang dirawat inap di Rumah Sakit Pasar Rebo sudah mencapai angka 1.463 pasien, yang terdiri atas 938 pasien dewasa dan 525 pasien anak-anak. Perda Vs Aplikasi Program di Masyarakat
Dalam kenyatannya, serapi apapun peraturan daerah yang dibuat, tetap saja jumlah penderita demam berdarah terus meningkat dari tahun ke tahun. Pemerintah pun dibuat pusing karenanya, dari data-data yang kita temukan di internet, dapat diketahui bahwa kegiatan yang telah dicanangkan oleh pemerintah tidak semulus apa yang terjadi di lapangan. Seperti program Pemberantasan Sarang Nyamuk (PSN), berupa Jumat bersih ataupun kerja bakti di lingkungan sekitar yang mencakup 3M (Mengubur, Menguras, dan Menutup) yang kemudian disempurnakan lagi menjadi 3M plus[42]. Walaupun sudah gencar begitu, hingga dibuat iklan layanan masyarakatnya, tetap saja masyarakat belum terlalu mengaplikasikannya dalam kehidupan mereka. Siapakah kemudian yang akan disalahkan? Pemerintahkah? Masyarakatkah? Jikalau pemerintah yang disalahkan, namun nyatanya mereka para pejabat telah berusaha sedemikian rupa, mengeluarkan berbagai peraturan untuk menertibkan program-program tersebut, namun tetap saja sesempurna apapun peraturannya, jika tidak diiringi dengan pengawasan yang cukup, hasil di lapangan akan berbeda, seperti fogging, dalam perda telah disebutkan bahwa fogging dilakukan oleh orang yang terlatih dari puskesmas setempat, namun kenyataannya bahwa efektivitas program penyemprotan (fogging) massal dalam rangka memberantas nyamuk aedes aegypty penyebab wabah demam berdarah dengue (DBD) di DKI Jakarta dipertanyakan kalangan warga. Dalam suarakarya.com disebutkan bahwa sejumlah warga menyatakan kecewa karena fogging putaran pertama, Jumat pekan lalu, terkesan dilakukan asal-asalan. Karena itu tak heran jika nyamuk atau kecoa tidak lantas mati setelah penyemprotan dilakukan. Pada malam hari setelah penyemprotan, banyak nyamuk dewasa tetap bergentayangan. Padahal menurut Asisten Kesehatan Masyarakat (Askesmas) Pemprov DKI Jakarta Rohana Manggala, jenis obat yang digunakan dalam penyemprotan veridona dan cynoff paling efektif membunuh nyamuk dewasa.
Menurut Tony Bramantoro, warga RT 014/RW 03, Kelurahan Kemayoran, Jakarta Pusat, asap fogging lebih pekat berbau minyak solar. Petugas penyemprot pun bukan tenaga yang mengerti ukuran campuran obat, mereka hansip dan tramtib, kata Tony.
Pengakuan senada disampaikan Sudarto Legowo, warga RT 001/RW 06, Kelurahan Kebon Baru, Tebet, Jaksel. Beda dengan dulu, dalam fogging putaran pertama ini kecoa dan nyamuk dewasa tidak mati. Saya curiga, obat yang digunakan palsu, ujarnya.
Masih dalam fogging, bila penanganan pengasapan dilakukan dengan cara yang tidak benar maka hal ini akan membahayakan kesehatan masyarakat, disamping itu pula cara ini memerlukan dana yang sangat mahal dalam pelaksanaannya. Penaburan larvasida di tempat penampungan air seperti bak mandi, tempayan, drum dapat mencegah timbulnya jentik selama 2-3 bulan.Larvasida yang dipakai adalah abate 1 % dengan dosis 1 gr per 10 liter air. Namun cara ini tidak menjamin terbasminya tempat perindukkan nyamuk secara permanen, karena masyarakat pada umumnya tidak begitu senang dengan bau yang ditimbulkan larvasida selain itu pula diperlukan abate secara rutin untuk keperluan pelaksanaannya.[44] Sehingga pelaksanaan ini masih terasa memberatkan bagi warga yang hanya memiliki pendapatan pas-pasan untuk hidup.
Oleh karena itu, mengapa pemerintah lebih menganjurkan masyarakat untuk bekerja bakti dalam artian melaksanakan program 3M yang meliputi PSN dan Jumat Bersih, kedua program ini lebih efektif karena tidak perlu mengeluarkan uang yang terlalu banyak, keuntungan lain yang dapat diperoleh yaitu lingkungan mereka menjadi terjaga kebersihannya, sehingga mereka tidak hanya mencegah demam berdarah ini berkembang namun juga penyakit-penyakit lain.
Diharapkan agar program yang telah disusun oleh pemerintah ini nantinya akan dapat dilaksanakan secara efektif di masyarakat secara keseluruhan, bukan hanya masyarakat DKI Jakarta saja, namun masyarakat Indonesia secara keseluruhan, sehingga angka penderita demam berdarah dapat menurun seiring dengan peningkatan kesadaran masyarakat untuk menjaga kebersihan lingkungan mereka.
Namun, masyarakat juga perlu pengawasan dan bimbingan penuh dari pemerintah. Pemerintah jangan hanya membuat peraturannya saja, namun kemudian lepas tangan dan berharap peraturan itu bisa terlaksana dengan baik di lapangan. Harapannya, pemerintah bisa memperketat pengawasan terhadap setiap peraturan yang mereka buat, entah itu dengan turun langsung ke lapangan atau melalui pembentukan kader-kader kesehatan sebagai perpanjangan tangan mereka. Penyebab tidak langsung DBD yang juga harus menjadi agenda pemerintah untuk diselesaikan adalah masalah pendidikan, bagaimanapun usaha pemerintah untuk menjalankan program DBD, jika pendidikan tidak mulai diperbaiki dari saat ini, maka angka penderitanya tidak akan pernah dapat diturunkan, dengan peningkatan pendidikan, masyarakat akan dapat mengubah persepsi mereka bahwa bagaimanapun juga mencegah lebih baik daripada mengobati, sehingga secara tidak langsung pula mereka akan lebih sadar untuk menjaga dan memperhatikan kebersihan lingkungan sekitar.BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kebijakan kesehatan dapat meliputi kebijakan publik dan swasta tentang kesehatan. Kebijakan kesehatan diasumsikan untuk merangkum segala arah tindakan (dan dilaksanakan) yang mempengaruhi tatanan kelembagaan, organisasi, layanan dan aturan pembiayaan dalam system kesehatan. 2. Model proses kebijakan yang dikembangkan oleh para para ilmuwan kebijakan publik di atas mempunyai satu kesamaan yaitu bahwa proses kebijakan berjalan dari formulasi menuju implementasi, untuk mencapai kinerja kebijakan. Pola kesamaan tersebut menjelaskan bahwa proses kebijakan adalah dari gagasan kebijakan, formalisasi dan legalisasi kebijakan, implementasi, baru kemudian menuju kinerja atau mencapai prestasi yang diharapkan sebagai hasil dari evaluasi kinerja kebijakan.3. Dalam proses kebijakan, Epidemiologi memberikan kontribusi berupa penilaian terhadap kesehatan populasi dan intervensi yang mungkin ditegakkan, pemilihan dan pelaksanaan kebijakan serta evaluasi kebijakan.
B. SARAN 1. Pemerintah mempunyai tempat utama dalam pendanaan pelayanan kesehatan di sebagian besar negara. Negara memegang peranan utama dalam mengalokasikan sumber dayasumber daya untuk prioritasprioritas kesehatan yang berkompetisi dan dalam mengatur cakupan kegiatan kesehatan. Olehnya itu, pemerintah sebaiknya memberikan perhatian besar terhadap kebijakan public terutama di bidang kesehatan agar setiap individu dapat merasakan dampak positif dari kebijakan kesehatan. DAFTAR PUSTAKA
Amiruddin, Ridwan. 2011. Epidemiologi Perencanaan dan Pelayanan Kesehatan. Cetakan 1.Makassar: Masagena Press. Buse,Kent dkk. Making Health Policy, Understanding Public Health (online). Diakses pada tanggal 26 September 2012 pada www.google.com.
Langgo, Irfan. 2009. Membuat Analisa Kebijakan Publik . (0nline) Diakses dari http://irfanlanggo.blogspot.com/2009/11/membuat-analisa-kebijakan-publik.html pada tanggal 24 September 2012Projo,Abdi. 2010. Kebijakan Publik. (online). Diakses pada http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/pengertian-kebijakan-publik.html pada tanggal 26 September 2012.Projo,Abdi. 2010. Kebijakan Publik sebagai Proses. Diakses pada http://abdiprojo.blogspot.com/2010/04/kebijakan-publik-sebagai-proses.html pada tanggal 26 September 2012 Subargus, Amin. 2007. Analisis terhadap kebijakan pemberantasan sarang Nyamuk (PSN) dalam upaya penanggulangan Demam Berdarah Dengue (DBD) di wilayah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.WHO.2004. Kebjakan sementara kegiatan Kerjasama TB/HIV Stop TB Department and Department of HIV/AIDS World Health Organization. Switzerland: Geneva diakses pada tanggal 26 September 2012
Wikipedia. 2012. Kebijakan Publik (online). http://id.wikipedia.org/wiki/Kebijakan_publik diakses Tanggal 24 September 2012http://khafidsociality.blogspot.com/2011/04/contoh-dan-analisis-kebijakan-publik.html 25http://koage.multiply.com/journal/item/7?&show_interstitial=1&u=%2Fjournal%2FitemPolicy Evaluation
Assesment of potential intervention
Policy choices
Policy Implementation
Assesment of population health
Health status
determinants
Health policy
Autonomous developments