Etika Kebijakan Publik

of 56 /56
BAB 1 PENDAHULUAN Masalah tentang etika dalam kebijakan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam kebijakan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan kebijakan publik. Padahal, dalam literatur tentang kebijakan publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan kebijakan publik itu sendiri. Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase kebijakan publik mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut 1

Embed Size (px)

Transcript of Etika Kebijakan Publik

BAB 1 PENDAHULUAN

Masalah tentang etika dalam kebijakan publik di Indonesia kurang dibahas secara luas dan tuntas sebagaimana terdapat di negara maju, meskipun telah disadari bahwa salah satu kelemahan dasar dalam kebijakan publik di Indonesia adalah masalah moralitas. Etika sering dilihat sebagai elemen yang kurang berkaitan dengan kebijakan publik. Padahal, dalam literatur tentang kebijakan publik, etika merupakan salah satu elemen yang sangat menentukan kepuasan publik yang dilayani sekaligus keberhasilan kebijakan publik itu sendiri. Elemen ini harus diperhatikan dalam setiap fase kebijakan publik mulai dari penyusunan kebijakan pelayanan, desain struktur organisasi pelayanan, sampai pada manajemen pelayanan untuk mencapai tujuan akhir dari pelayanan tersebut. Dalam konteks ini, pusat perhatian ditujukan kepada aktor yang terlibat dalam setiap fase, termasuk kepentingan aktor-aktor tersebut apakah para aktor telah benar-benar mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan yang lain. Misalnya, dengan menggunakan nilai-nilai moral yang berlaku umum (six great ideas) seperti nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice), kita dapat menilai apakah para aktor tersebut jujur atau tidak dalam penyusunan kebijakan, adil atau tidak adil dalam menempatkan orang dalam unit dan jabatan yang tersedia, dan bohong atau tidak dalam melaporkan hasil manajemen kebijakan. Dalam kebijakan publik, perbuatan melanggar moral atau etika sulit ditelusuri dan dipersoalkan karena adanya kebiasaan masyarakat kita melarang orang membuka rahasia atau mengancam mereka yang mengadu. Sementara itu,

1

kita juga menghadapi tantangan ke depan semakin berat karena standard penilaian etika kebijakan publik terus berubah sesuai perkembangan paradigmanya. Dan secara substantif, kita juga tidak mudah mencapai kedewasaan dan otonomi beretika karena penuh dengan dilema. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pelanggaran moral atau etika dalam kebijakan publik di Indonesia akan terus meningkat

Pentingnya Etika dalam Kebijakan Publik. Saran klasik di tahun 1900 sampai 1929 untuk memisahkan antara administrasi dan politik (dikotomi) menunjukan bahwa administrator harus sungguh-sungguh netral, bebas dari pengaruh politik ketika memberikan pelayanan publik. Akan tetapi kritik bermunculan menentang ajaran dikotomi administrasi politik pada tahun 1930-an, sehingga perhatian mulai ditujukan kepada keterlibatan para administrator dalam keputusan-keputusan publik atau kebijakan publik. Sejak saat ini mata publik mulai memberikan perhatian khusus terhadap permainan etika yang dilakukan oleh para birokrat pemerintahan. Penilaian keberhasilan seorang administrator atau aparat pemerintah tidak semata didasarkan pada pencapaian kriteria efisiensi, ekonomi, dan prinsip-prinsip administrasi lainnya, tetapi juga kriteria moralitas, khususnya terhadap

kontribusinya terhadap public interest atau kepentingan umum (Henry, 1995). Alasan mendasar mengapa kebijakan publik harus diberikan adalah adanya public interest atau kepentingan publik yang harus dipenuhi oleh pemerintah karena pemerintahlah yang memiliki tanggung jawab atau responsibility. Dalam membuat/menatapkan kebijakan ini pemerintah diharapkan secara profesional

2

melaksanakannya, dan harus mengambil keputusan politik secara tepat mengenai siapa mendapat apa, berapa banyak, dimana, kapan, dan sebagainya. Padahal, kenyataan menunjukan bahwa pemerintah tidak memiliki tuntunan atau pegangan kode etik atau moral secara memadai. Asumsi bahwa semua aparat pemerintah adalah pihak yang telah teruji pasti selalu membela kepentingan publik atau masyarakatnya, tidak selamanya benar. Banyak kasus membuktikan bahwa kepentingan pribadi, keluarga, kelompok, partai dan bahkan struktur yang lebih tinggi justru mendikte perilaku seorang birokrat atau aparat pemerintahan. Birokrat dalam hal ini tidak memiliki independensi dalam bertindak etis, atau dengan kata lain, tidak ada otonomi dalam beretika. Alasan lain lebih berkenaan dengan lingkungan di dalam birokrasi yang memberikan pelayanan itu sendiri. Desakan untuk memberi perhatian kepada aspek kemanusiaan dalam organisasi

(organizational humanism) telah disampaikan oleh Denhardt. Dalam literatur tentang aliran human relations dan human resources, telah dianjurkan agar manajer harus bersikap etis, yaitu memperlakukan manusia atau anggota organisasi secara manusiawi. Alasannnya adalah bahwa perhatian terhadap manusia (concern for people) dan pengembangannya sangat relevan dengan upaya peningkatan produktivitas, kepuasan dan pengembangan kelembagaan. Alasan berikutnya berkenaan dengan karakteristik masyarakat publik yang terkadang begitu variatif sehingga membutuhkan perlakuan khusus.

Mempekerjakan pegawai negeri dengan menggunakan prinsip kesesuaian antara orang dengan pekerjaannya merupakan prinsip yang perlu dipertanyakan secara etis, karena prinsip itu akan menghasilkan ketidak adilan, dimana calon yang dipekerjakan hanya berasal dari daerah tertentu yang relatif lebih maju. Kebijakan

3

affirmative action dalam hal ini merupakan terobosan yang bernada etika karena akan memberi ruang yang lebih luas bagi kaum minoritas, miskin, tidak berdaya, dsb untuk menjadi pegawai atau menduduki posisi tertentu. Ini merupakan suatu pilihan moral (moral choice) yang diambil oleh seorang birokrat pemerintah berdasarkan prinsip justice as fairness sesuai pendapat John Rawls yaitu bahwa distribusi kekayaan, otoritas, dan kesempatan sosial akan terasa adil bila hasilnya memberikan kompensasi keuntungan kepada setiap orang, dan khususnya terhadap anggota masyarakat yang paling tidak beruntung. Kebijakan mengutamakan putera daerah merupakan salah satu contoh yang populer saat ini. Alasan penting lainnya adalah peluang untuk melakukan tindakan yang bertentangan dengan etika yang berlaku dalam penyusunan kebijakan publik sangat besar. Kebijakan publik tidak sesederhana sebagaimana dibayangkan, atau dengan kata lain begitu kompleksitas sifatnya baik berkenaan dengan nilai pemberian pelayanan itu sendiri maupun mengenai cara terbaik pemberian pelayanan publik itu sendiri. Kompleksitas dan ketidakmenentuan ini mendorong pengambil keputusan dalam kebijakan publik mengambil langkah-langkah profesional yang didasarkan kepada keleluasaan bertindak (discretion). Dan keleluasaan inilah yang sering menjerumuskan pembuat kebijakan publik atau aparat pemerintah untuk bertindak tidak sesuai dengan kode etik atau tuntunan perilaku yang ada. Dalam pembuatan kebikajakan yang berhubungan dengan pelayanan publik khususnya di Indonesia, pelanggaran moral dan etika dapat diamati mulai dari proses kebijakan publik (pengusulan program, proyek, dan kegiatan yang tidak didasarkan atas kenyataan), desain organisasi pelayanan publik (pengaturan struktur, formalisasi, dispersi

4

otoritas) yang sangat bias terhadap kepentingan tertentu, proses manajemen pelayanan publik yang penuh rekayasa dan kamuflase (mulai dari perencanaan teknis, pengelolaan keuangan, SDM, informasi, dsb.), yang semuanya itu nampak dari sifat-sifat tidak transparan, tidak responsif, tidak akuntabel, tidak adil, dsb. Tidak dapat disangkal, semua pelanggaran moral dan etika ini telah diungkapkan sebagai salah satu penyebab melemahnya pemerintahan Indonesia. Alasan utama yang menimbulkan tragedi tersebut sangat kompleks, mulai dari kelemahan aturan hukum dan perundang-undangan, sikap mental manusia, nilainilai sosial budaya yang kurang mendukung, sejarah dan latar belakang kenegaraan, globalisasi yang tak terkendali, sistim pemerintahan, kedewasaan dalam berpolitik, dsb. Bagi Indonesia, pembenahan moralitas yang terjadi selama ini masih sebatas lip service tidak menyentuh sungguh-sungguh substansi pemenahan moral itu sendiri. Karena itu pembenahan moral merupakan beban besar di masa mendatang dan apabila tidak diperhatikan secara serius maka proses pembusukan terus terjadi dan dapat berdampak pada disintegrasi bangsa.

5

BAB 2 KERANGKA TEORITIS

2.1 Konsep dan Definisi Etika Secara etimologik, etika berasal dari kata Yunani Ethos yang berarti watak kesusilaan atau adat. Identik dengan perkataan moral yang berasal dari kata Latin Mos yang bentuk jamaknya Mores yang berarti adat atau cara hidup. Etika dan moral sama artinya, tetapi dalam pemakaian sehari-hari terdapat sedikit perbedaan. Moral atau moralitas dipakai untuk perbuatan yang sedang dinilai, sedangkan etika dipakai untuk pengkajian sistem nilai-nilai yang ada. Istilah lainnya yang identik dengan etika; susila (sansekerta) yang berorientasi kepada dasar-dasar, prinsip, aturan hidup (sila) yang lebih baik (su) dan akhlak (arab) yang berarti moral. Pakar teori administrasi seperti Poedjawijatna (1972:3) menggambarkan konsep etika merupakan cabang dari filsafat, dimana sebagai filsafat etika mencari keterangan (benar) yang sedalam-dalamnya, dengan kata lain etika hendak mencari tindakan manusia manakah yang baik atau manakah yang buruknya. Sedangkan Bertens dan Keban (2004:147), menggambarkan konsep etika dengan beberapa arti salah satu diantaranya dan biasa diginakan orang adalah kebiasaan, adat atau akhlak dan watak. Selanjutnya Salam Burhanuddin (1991:1) mengungkapkan bahwa etika adalah sebuah refelksi kritis dan rasional mengenai nilai dan norma moral yang menentukan dan terwujud dalam sikap dan pola perilaku manusia, baik secara pribadi maupun sebagai kelompok. Pakar lainnya, Magnis Suseno (1990), mengatakan bahwa etika adalah ilmu dan bukan sebuah ajaran, yang memberi kita

6

norma tentang bagaimana kita hidup adalah moralitas. Hobbes dalam Widodo (2006:48), mengatakan bahwa etika berkaitan dengan standar perilaku diantara orang-orang dalam kelompok sosial. Penjelasan mengenai etika yang lebih detil diungkapkan oleh Bratawijaya (1992:243), adalah ilmu pengetahuan tentang asas-asas akhlak dan moral, yang diuraikan menjadi dua jenis etika yaitu: 1. Etika Umum adalah menyajikan suatu pendekatan yang teliti mengenai norma-norma yang berlaku umum bagi setiap warga masyarakat, yang terbagi dalam tiga bagian yaitu; norma santun, norma hukum, dan norma moral. 2. Etika Khusus adalah penerapan etika umum dalam kegiatan pofesi, misal etika dosen, etika sekertaris, etika dokter, etika bisnis dan etika pelayanan. Dari beberapa uraian definisi tentang etika tersebut dapat disimpulkan bahwa terdapat tiga arti penting etika, yaitu (1) sebagai nilai-nilai moral dan normanorma moral yang menjadi rujukan bagi setiap orang atau suatu kelompok dalam mengatur perilakunya, atau yang disebut dengan sistem nilai, (2) sebagai kumpulan asas atau nilai moral yang sering dikenal dengan kode etik, dan (3) sebagai ilmu tentang yang baik atau buruk, yang acapkali disebut filsafat moral. Secara umum nilai-nilai moral nampak dari enam nilai besar atau yang dikenal dengan six great ideas Denhardt (1988), yaitu nilai kebenaran (truth), kebaikan (goodness), keindahan (beauty), kebebasan (liberty), kesetaraan (equality), dan keadilan (justice). Dalam dunia administrasi publik atau pelayanan publik, etika diartika sebagai filsafat dan professional standards (kode etik), atau rights rules of conduct (aturan berperilaku yang benar) yang seharusnya dipatuhi oleh pemberi pelayanan publik atau administrasi publik (Denhardt, 1988:17), etika didefinisikan sebagai cabang filsafat yang berkenaan dengan nilai-nilai yang berhubungan dengan

7

perilaku manusia, dalam kaitannya dengan benar atau salah suatu perbuatan, dan baik atau buruk motif dari tujuan perbuatan tersebut. 2.2 Etika Administrasi Publik Etika merupakan bagian dari filsafat, niali dan moral. Etika bersifat abstrak dan berkenaan dengan persoalan baik dan buruk, sedangkan Administrasi Publik bersifat konkrit dan harus mewujudkan apa yang diinginkan publik. Artinya kedua hal tersebut saling bertolak belakang yang menimbilkan masalah yaitu bagaimana menghubungkan gagasan administrasi seperti keteraturan, efisiensi, kemanfaatan dan kinerja yang dapat menrapkan etika dalam prakteknya sehingga terwujud suatu hal yang baik dan menghindari yang buruk dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawab administrator. Menurut Chandler dan Plano (1988), dalam etika terdapat empat aliran utama, yaitu: 1) Empirical theory, berpendapat bahwa etika diturunkan dari pengalaman manusia dan persetujuan umum. 2) Rational theory, berasumsi bahwa baik atau buruk sangat tergantung dari alasan rasional dan logika yang melatarbelakangi suatu perbuatan, bukan pengalaman. 3) Intuitive theory, berasumsi bahwa manusia secara alamiah memiliki pemahaman tentang apa yang benar dan salah, baik dan buruk. 4) Relevation theory, berasumsi bahwa yang benar dan salah berasal dari kekuasaan di atas manusia yaitu dari Tuhan. Disamping keempat aliran tersebut, yang sering dipertentangkan dalam administrasi publik karena pengaruhnya kepada administrator adalah pendekatan teleologis atau utilitarianisme, deontologist dan virtue ethics. Pendekatan teleologis dan utilitarianisme merupakan pendekatan yang berorientasi kepada tujuan dan difokuskan kepada akibatnya Heichelbech

8

(2003:1189-1191). Teologi secara khusus berkenaan dengan maksud dan tujuan, sementara utilitarian berkaitan dengan akibat yang dirasakan apakah memenuhi kepentingan atau meningkatkan kepuasan. Menurut Aristoteles, tujuan dan maksudlah yang menentukan apakah sesuatu itu baik atau bermanfaat. Dengan kata lain, etis tidaknya suatu tindakan ditentukan oleh motif atau tujuannya seseorang melakukan tindakan tersebut. Sayangnya pernyataan tersebut ditentang oleh scientific revolution yang berpendapat bahwa bukan tujuan atau maksud yang menentukan sesuatu itu baik atau tidak baik suatu tindakan, tetapi lebih ditentukan oleh prinsip-prinsip ilmiah atau rasionalisasi yang digunakan dalam suatu tindakan. Aliran utilitarianisme pertama muncul di Inggris pada akhir abad ke delapan belas. Aliran ini menolak rationalisme dengan memberikan argumentasinya bahwa sesuatu itu etis (baik) atau tidak etis (atau buruk), sangat tergantung bukan pada alasan yang digunakan tetapi kemampuan menghasilkan suatu kenikmatan, atau mengurangi kesengsaraan seseorang dalam proses hidup dan kehidupan manusia. Jeremy Bantham dalam tulisannya berjudul The Principles of morals and Legislation, berpendapat bahwa prinsip etis atau tidak etisnya suatu kegiatan tergantung kepada kecenderungan menghasilkan kebahagiaan, atau mengurangi kebahagiaan. Dengan kata lain, etika benar-benar peduli terhadap kebahagiaan setiap orang dalam proses hidup dan kehidupan. Mengikuti Jeremy Bentham, Jhon Stuart Mill dalam tulisan utilitarianism setuju bahwa sesuatu kegiatan dianggap baik secara etis tergantung kepada utility atau kegunaannya yaitu apakah kegiatan itu akan meningkatkan kebahagiaan atau kesenangan, dan dianggap buruk secara etis bila tidak mendatangkan kesenangan,

9

akan tetapi ia akan lebih menekankan bahwa tidak hanya sekedar meningkatkan kebahagiaan atau mengurangi kesengsaraan bagi yang berkepentingan, tetapi lebih penting lagi menghasilkan kebahagiaan paling tinggi bagi setiap orang di muka bumi ini. Jadi dalam Pandangan Mill, suatu kegiatan itu etis bila menghasilkan kebahagiaan yang lebih besar dan lebih luas lagi cakupannya. Untuk menghasikan yang lebih besar ini diperlukan peningkatan efisiensi, bila efisiensi telah dimaksimalisasikan dalam suatu birokrasi maka menurut pandangan utilitarian, birokrasi tersebut telah bertindak etis. Apa yang disampaikan dalam utilitarianisme ini dikritik karena dalam kenyataannya tidak mudah menghitung utilitas atau kegunaan secara tepat. Demikian pula tidak dipersoalkan kebahagiaan siapa, apakah yang ingin dibahagiakan itu adalah legitimate berhak mendapatkannya, atau kepada orang atau kelompok orang tertentu yang tidak pantas membahagiakannya. Atau kepentingan yang dilayani harus benar-benar kepentingan dari orang-orang yang

membutuhkannya secara sah. Kritik yang lain datang dari kelompok utilitarian kontemporer atau dikenal dengan nama consequenialists, dimana mereka mempertanyakan mengapa harus kebahagiaan yang dijadikan ukuran, apakah tidak sebaiknya mempertimbangkan juga kepentingan lain seperti hak-hak dasar atau hak asasi manusia. Deontologi merupakan salah satu cabanmg etika yang menekankan kewajiban, tugas, tanggungjawab dan prinsip-prinsip yang harus diikuti. Tokoh utamanya adalah Imanuel Kant dan Jhon Rawls dalam Keban (2004:151). Dentologi berbeda dengan utilitarianisme dalam hal tidak memperhatikan atau memperdulikan konsekuensi atau akibat dari suatu perubahan sebagai pertimbangan

10

moral, tetapi lebih menekankan compliance dan enforcement (ketaatan dan kesesuaian) terhadap suatu kewajiban, tanggungjawab, aturan dan prinsip-prinsip yang berlaku. Bagi kaum deontologist, ada banyak hubungan nonconsequensil yang perlu diperhatikan, hubungan bapak dan anak, afiliansi bisnis, yang dapat memperkaya kehidupan moral. Jhon Rawis menekankan bahwa etis tidaknya sangat tergantung kepada apakah prinsip-prinsip utama telah diikuti atau tidak, misalnya dalam mendistribusikan pelayanan publik atau barang publik, telah menerapkan prinsip justice as fairness atau tidak. Deontologi di kritik karena lebih menekankan rasionalitas, dan tidak memperhatikan unsur manusianya. Karenanya sering dinilai sebagai konsep etika yang dangkal. Virture Ethics berasal dari filsafat Yunani kuno, yang muncul sebagai reaksi terhadap aliran utilitarianisme dan deontologi. Berdasarkan aliran ini baik atau buruk, benar atau salah tidak tergantung dari akibat atau konsekunsi(utilitarianisme), tetapi dari The excellences of character yang ditunjukkan dari integritas Bowman (2003:1259-1263). Maka substansi aktual dari etika atau moral ini tidak dapat dipahami dengan memprediksi hasil atau akibat, atau kesesuaian dengan kewajiban, tetapi dipahami dari internal imperative to do right. Ketiga aliran tersebut, menurut Bowman, membentuk segitiga etika (Ethical Triangel), dimana aliran deontologi memusatkan perhatian pada kewajiban dan prinsip yang harus diikuti. Ketiga aliran tersebut mewarnai isu etika atau moral dalam praktik administrasi publik. Ada yang mempersoalkan apa yang dikerjakan pemerintah dari aspek ketaatan dan pemenuhan kewajiban dan prinsip-prinsip yang telah ditetapkan (deontologi). Karena itu, etika jenis ini lebih berkenaan dengan cara atau metode administrasi publik. Sementara itu ada yang mempersoalkan

11

akibat yang dirasakan atau dinikmati (utilitarianisme). Karena itu, etika ini berkenaan dengan tujuan. Dalam pemberian pelayanan publik, telah terjadi pergeseran paradigma etika. Pergeseran tersebut dapat ditelusuri dalam tulisan Denhardt yang berjudul The Ethics of Public Service (1988). Penulis ini menggambarkan sejarah etika pelayanan publik melalui karya Wayne A. R. Leys tahun 1944, yang oleh penulis disebut model-The 1940s. Leys memberikan saran kepada pemerintah Amerika Serikat tentang bagaimana menghasilkan suatu good public policy decisions. Ia berpendapat bahwa sudah waktunya meninggalkan kebiasaan atau tradisi yang selama ini selalu menjadi pegangan utama dalam menentukan suatu perumusan kebijakan karena pemerintah terus berhadapan dengan berbagai masalah baru. Denhardt (1988:6), mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan etika harus digunakan dalam menilai apakah suatu kebijakan sudah dianggap baik atau buruk. Singkatnya, dalam model ini dikatakan bahwa agar menjadi etis, diperlukan seorang administrator selalu menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan kebijakan daripada yang hanya sekedar menerima atau tergantung pada kebiasaan dan tradisi yang ada. Hurst A. Anderson di tahun 1953 mengungkapkan dalam suatu pidatonya dengan judul Ethical Values in Administration (nilai-nilai etika dalam administrasi), katanya masalah etika sangat penting dalam setiap kebijakan administratif, tidak hanya mereka yang memformulasikan kebijakan publik. Etika itu sendiri harus dipandang sebagai asumsi-asumsi yang menuntun kehidupan dan pekerjaan kita semua. Dengan kata lain, kita harus memiliki apa yang disebut philosophi of personal and soail living. Denhardt (1988), pendapat ini diklasifikasikan sebagai

12

model II-The 1950s yang berintikan bahwa agar dianggap etis maka seorang administrator hendaknya mengevaluasi dan mempertanyakan standar dan asumsiasumsi yang digunakan sebagai dasar perumusan suatu kebijakan. Standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar yang ada pada suatu masyarakat, dan tidak sekedar bergantung semata pada kebiasaan dan tradisi. Yang dimaksud nilainilai dasar (core values) masyarakat meliputi antara lain kebebasan, kesetaraan, keadilan, kebenaran, kebaikan dan estetika. Tahun 1960-an memunculkan nuansa baru dalam etika pelayanan publik. Robert T. Golembiewski memaparkan dalam tulisannya yang berjudul Man, Management dan Morality tahun 1965, bahwa praktik-praktik birokrasi yang telah berlangsung sekian lama yang didasarkan pada teori-teori birokrasi tradisional telah membawa dampak negatif pada individu-individu yang bekerja dalam birokrasi itu sendiri. Para individu tersebut merasa tertekan dan frustasi dan karena itu sisi etika dari praktik tersebut perlu mendapatkan perhatian. Standar-standar yang perlu ditetapkan dalam birokrasi jaman dulu belum tentu cocok sepanjang masa, karena itu harus dilihat apakah masih pantas dipertahankan atau tidak, disini Golembiewski melihat etika sebagai sesuatu yang harus disesuaikan dengan waktu. Karena itu, Denhardt (1988), melihat pendapat ini Sebagai Model III-The 1960s, yang pada intinya agar menjadi etis seorang administrator sebaiknya mengevaluasi dan mempertanyakan standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan suatu kebijakan, standar-standar tersebut harus merefleksikan nilai-nilai dasar yang ada pada publik dan tidak semata bergantung pada kebiasaan dan/atau budaya. Standar etika bisa berubah ketika seseorang mencapai suatu pemahaman yang lebih baik terhadap standar-standar moral yang berlaku secara umum.

13

Para ahli administrasi publik yanng tergolong dalam masyarakat New public administration yang muncul di tahun 1970an, memberikan nuansa baru atau kondisi baru yang mengharapkan agar administrator memperhatikan administratic responsibility. David K. Hart, salah satu intelektualnya, menilai bahwa administrasi publik saat itu sudah bersifat impartial dan sudah waktunya mengubah paradigma lama untuk memperbaiki kepercayaan publik yang waktu itu sudah pudar. Nilai keadilan yang disarankan disini sebenarnya hanya merupakan sebagian dari core values yang telah disebutkan diatas, sehingga pengalaman di tahun 1970an tersebut lebih menggambarkan penyempuarnaan content atau isi dari etika itu sendiri, sebagai pelengkap dari tinjauan tentang process dan context yang telah diungkapkan dalam model-model sebelumnya. Model ini disebut model IV- The 1970s, yang merupakan akumulasi penyempurnaan dari model-model sebelumnya dimana dikatakan bahwa dengan menjadi etis seorang administrator harus benar-benar memberi standar, atau asumsi yang melandasi pembuatan kebijakan administratif. Denhardt (1988:16),

mengatakan bahwa standar-standar ini mungkin berubah dari waktu ke waktu dan administrator harus mampu merespon tantangan-tantangan dan tuntutan-tuntutan baru dengan memperbaharui standar-standar tersebut. Isi dari standar-standar tersebut harus merefleksikan komitmen terhadap nilai-nilai dasar masyarakat dan administrator harus memahami bahwa yang akan bertanggungjawab penuh terhadap standar yang digunakan dan terhadap kebijakan-kebijakan itu sendiri. Setelah model keempat diatas, muncul beberapa pendapat secara signifikan memberikan kontribusi bagi penyempurnaan paradigma etika pelayanan publik. Dua tokoh yang memberi kontribusi tersebut adalah John Rohr dalam karyanya

14

Ethics for Administrator tahun 1986. John Rohr Denhardt dalam tulisannya memberikan sumbangan yang sangat berarti yaitu bahwa dalam proses pengujian dan mempertanyakan standar dan asumsi yang digunakan dalam pengambilan kebijakan diperlukan indevendensi, dan tidak boleh tergantung dari pemikiran pihak luar seperti Mahkamah Agung atau Pengadilan Negeri dan sebagainya. Karena itu, Denhardt (1988), menyebutnya sebagai model V-After Rohr, dimana dikatakan bahwa dapat disebut etis maka seorang administrator harus secara independen masuk dalam proses menguji dan mempertanyakan standar-standar yang digunakan dalam pembuatan kebijakan. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu ketika nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik atau ketika masalah-masalah sosial baru diungkapkan. Denhardt, (1988:22) mengatakan bahwa administrator harus memahami bahwa ia akan

bertanggungjawab baik secara perorangan maupun kelompok terhadap kebijakankebijakan yang dibuat dan tahap standar etika yang dijadikan dasar kebijakankebijakan. Setelah model V yang didasarkan pada pendapat Denhardt (1988:26), menggambarkan suatu model akhir yang disebut model VI-After Cooper. Model ini menggambarkan pemikiran Cooper bahwa administrator, birokrasi dan etika terdapat hubungan penting dimana etika para administrator justru sangat ditentukan oleh konteks birokrasi dimana ia bekerja. Jadi lingkungan birokrasi menjadi sangat menentukan, bahkan begitu menentukan sehingga seringkali para administrator hanya memiliki sedikit otonomi beretika. Sehingga agar dapat dikatakan etis apabila seorang administrator harus mampu mengatur secara independen proses menguji dan mempertanyakan standar yang digunakan dalam pembuatan kebijakan,

15

paling tidak kebijakan yang secara sah dibuat pada tingkatan birokrasi itu. Isi dari standar tersebut mungkin berubah dari waktu ke waktu bila nilai-nilai sosial dipahami secara lebih baik dan masalah-masalah sosial baru nulai terungkap. Administrator dalam hal ini harus siap menyesuaikan standar-standar tersebut dengan perubahan-perubahan tersebut, senantiasa merefleksikan komitmennya pada nilai-nilai dasar masyarakat dan tujuan birokrasinya. Administrator

bertanggungjawab secara perorangan dan profesional, dan bertanggungjawab dalam birokrasi terhadap kebijakan yang dibuat dan standar etika yang digunakan dalam kebijakan itu. Dari gambaran singkat tentang pergeseran paradigma etika pelayanan publik di atas dapat disimpulkan bahwa selama ini etika dan moralitas sudah mendapatkan perhatian yang serius dalam dunia pelayanan publik atau administrasi publik. Tiga hal pokok yang menarik perhatian dalam paradigma ini yaitu (1) proses menguji dan mempertanyakan standar etika dan asumsi, secara independen; (2) isi standar etika yang seharusnya merefleksikan nilai-nilai dasar masyarakat dan perubahan standar tersebut baik sebagai akibat dari penyempurnaan pemahaman terhadap nilai-nilai dasar masyarakat, maupun sebagai akibat dari munculnya masalahmasalah baru dari waktu ke waktu; (3) konteks birokrasi dimana para administrator bekerja berdasarkan tujuan birokrasi dan peranan yang dimainkan mereka, yang dapat mempengaruhi otonomi mereka dalam beretika. 2.3 Implementasi Nilai-Nilai Etik Implementasi etika dan moral dalam praktek dapat dilihat dari kode etik yang dimiliki oleh administrator publik. Kode etik di Indonesia masih terbatas pada beberapa kalangan seperti ahli hukum dan kedokteran., sedangkan pada profesi

16

yang lain masih belum ada. Tidak adanya kode etik ini memberikan peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengesampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik berfungsi sebagai kontrol langsung sikap dan perilaku dalam bekerja, mengingat tidak semua aspek dalam bekerja diatur secara lengkap melalui aturan/tata tertib yang ada dalam suatu organisasi pelayanan publik. Kita perlu belajar dari negara yang sudah maju dan memiliki kedewasaan bertika, seperti Amerika Serikat yang menetapkan nilai-nilai yang dijadikan kode etik bagi administrator publik adalah menjaga integritas, kebenaran., kejujuran, ketabahan, respek, perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan

kepentingan publik, perlindungan terhadap informasi yang bersifat rahasia, dukungan terhadap sistem merit dan program affirmative action. Semua nilai yang terdapat dalam kode Etik Administrasi ini tidak muncul dengan tiba-tiba tetapi melalui suatu kajian yang mendalam dan membutuhkan waktu yang lama,dan didukung oleh diskusi dan dialog yang berkelanjutan. Untuk membantu menerapkan prinsip-prinsip etika dan moral di Indonesia, pengalaman negara-negara lain perlu diadopsi dan perlu berupaya keras menerapkannya. Etika perumus kebijakan, etika pelaksana kebijakan, etika evaluator kebijakan, etika administrasi publik/birokrat publik, etika perencana publik, etika PNS, dan sebagainya harus diprakarsai dan mulai diterapkan sebelum berkembangnya budaya yang bertentangan dengan moral dan etika. Salah satu etika administrasi publik yang dapat digunakan sebagai rujukan atau referensi bagi para birokrasi publik dalam menjalankan tugas dan kewenangannya yaitu American Society for Administration (ASPA), yang dikutip oleh Widodo (2006:70) sebagai berikut:

17

1. Pelayanan kepada masyarakat yaitu pelayanan di atas kepentingan sendiri. 2. Rakyat yang berdaulat dan mereka yang bekerja dalam instansi pemerintah dan pada akhirnya bertanggungjawab kepada rakyat. 3. Hukum mengatur semua tindakan dari instansi pemerintah. Dalam artian bahwa semua tindakan birokrasi seharusnya mengacu kepada kepentingan rakyat. 4. Manajemen yang efektif dan efisien merupakan dasar bagi birokrasi. Penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan dan/atau penyelewengan tidak dapat dibenarkan. 5. Sistem penilaian kecakapan, kesempatan yang sama, dan asas-asas itikad baik akan didukung, dijalankan dan dikembangkan. 6. Perlindungan terhadap kepercayaan rakyat sangat penting, konflik kepentingan, penyuapan, hadiah atau faviritisme yang merendahkan jabatan publik untuk kepentingan pribadi tidak diterima (tidak etis). 7. Pelayanan kepada masyarakat menuntut kepekaan khusus dengan ciri-ciri sifat keadilan, keberanian, kejujuran, persamaan, kompetensi dan kasih sayang. Birokrasi publik harus menghargai sifat-sifat tersebut secara arif dan bijak untuk melaksanakannya. 8. Hati nurani memegang peranan penting dalam memilih arah tindakan. Ini memerlukan kesadaran akan makna ganda moral dalam kehidupan dan pengkajian tentang prioritas nilai tujuan yang baik tidak pernah membenarkan cara yang tidak beretika. 9. Para administrator publik tidak hanya terlibat untuk mencegah hal yang tidak etis, tetapi juga untuk mengusahakan hal yang etis melalui pelaksanaan tanggungjawab dengan penuh semangat dan tepat pada waktunya. Nilai etika tersebut di atas dapat digunakan sebagai rujukan bagi birokrat khususnya para pemimpin dalam bersikap, bertindak, berperilaku, dalam merumuskan kebijakan dalam rangka melaksanakan tugas pokok, fungsi, kewenangan dan tangungjawabnya, sekaligus dapat digunakan standar untuk menilai, apakah sikap, tindakan, perilaku dan kebijakan-kebijakan itu dinilai baik atau buruk oleh publik. Selanjutnya yang dapat digunakan untuk menilai baik buruknya suatu pelayanan publik yang diberikan oleh birokrasi dapat dilihat dari baik buruknya penerapan nilai-nilai sebagai berikut :

18

1. Efisiensi, yaitu para birokrat tidak boros dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat. Dalam artian bahwa para birokrat secara berhatihati agar memberikan hasil yang sebesar-besarnya kepada publik. Dengan demikian nilai efisiensi lebih mengarah pada penggunaan sumber daya yang dimilki secara cepat dan tepat, tidak boros dan dapat dipertanggungjawabkan kepada publik. Jadi dapat dikatakan baik (etis) jika birokrat publik menjalankan tugas dan kewenangannya secara efisien. 2. Efektivitas, yaitu para birokrat dalam melaksanakan tugas-tugas pelayanan kepada publik harus baik (etis) yaitu memenuhi target atau tujuan yang telah ditentukan sebelumnya tercapai. Tujuan yang dimaksud adalah tujuan publik dalam pencapaian tujuannya, bukan tujuan pemberi pelayanan (birokrat publik). 3. Kualitas layanan, yaitu kualitas pelayanan yang diberikan oleh para birokrat kepada publik harus memberikan rasa kepuasan kepada yang dilayani. Dalam artian bahwa baik (etis) tidaknya pelayanan yang di birokrat kepada publik ditentukan oleh kualitas pelayanan. 4. Responsivitas, yaitu berkaitan dengan tanggungjawab birokrat dalam merespon kebutuhan publik yang sangat mendesak. Birokrat dalam menjalankan dinilai baik (etis) jika responsibel dan memiliki profesional atau kompetensi yang sangat tinggi. 5. Akuntabilitas, yaitu berkaitan dengan pertanggungjawaban dalam melaksanakan tugas dan kewenangan administrasi publik. Birokrat yang baik (etis) adalah birokrat yang akuntabel dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya. Etika administrasi publik tersebut di atas belum cukup menjamin untuk menghapus perilaku korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) pada birokrasi publik.

19

Beberapa hal yang terpenting yaitu tergantung pada karakter dari masing-masing pelaku atau orangnya masing-masing. Maka kesadaran melalui keimanan dan ketaqwaan harus melekat pada diri orang tersebut. Orang yang mempunyai tingkat religius yang tinggi tentu tidak akan melakukan KKN, jika orang tersebut mengetahui dan meyakini bahwa perbuatan tersebut merupakan suatu perilaku yang tidak baik, tercela dan tidak terpuji, terutama jika dilihat dari keyakinan dan keagamaan yang mereka anut, karena segala perilaku harus dipertanggungjawabkan di kemudian hari di hadapan Allah SWT. Dengan adanya keimanan dan ketaqwaan yang kuat pada diri manusia sudah pasti tercegah munculnya niat untuk melakukan KKN sekalipun kesempatan terbuka lebar untuk melakukannya. Oleh karena itulah menurut Widodo (2006:74), mengatakan bahwa tindakan KKN pada dasarnya terjadi karena hasil pertemuan antara niat dan kesempatan yang terbuka. Tindakan KKN bisa terjadi, baik pada birokrasi publik tingkat tinggi, menengah, maupun rendahan. Karena itu untuk mencegah KKN menurut Widodo adalah diupayakan untuk tidak mempertemukan antara niat dan kesempatan, melalui mekanisme akuntabilitas publik, menjunjung tinggi dan mernegakkan etika administrasi publik pada jajaran birokrasi publik.

20

BAB 3 PEMBAHASAN

Dibutuhkan Kode Etik dalam administrasi publik. Kode etik administrasi publik di Indonesia masih terbatas pada beberapa profesi seperti ahli hukum dan kedokteran sementara kode etik untuk profesi yang lain masih belum nampak. Ada yang mengatakan bahwa kita tidak perlu kode etik karena secara umum kita telah memiliki nilai-nilai agama, etika moral Pancasila, bahkan sudah ada sumpah pegawai negeri yang diucapkan setiap apel bendera. Pendapat tersebut tidak salah, namun harus diakui bahwa ketiadaan kode etik ini telah memberi peluang bagi para pemberi pelayanan untuk mengenyampingkan kepentingan publik. Kehadiran kode etik itu sendiri lebih berfungsi sebagai alat kontrol langsung bagi perilaku para pegawai atau pejabat dalam bekerja. Salah satu contoh yang relevan dengan pelayanan publik adalah kode etik yang dimiliki ASPA (American Society for Public Administration) yang telah direvisi berulang kali dan terus mendapat kritikan serta penyempurnaan dari para anggotanya. Nilai-nilai yang dijadikan pegangan perilaku para anggotanya antara lain integritas, kebenaran, kejujuran, ketabahan, respek, menaruh perhatian, keramahan, cepat tanggap, mengutamakan kepentingan publik diatas kepentingan lain, bekerja profesional, pengembangan profesionalisme, komunikasi terbuka dan transparansi, kreativitas, dedikasi, kasih sayang, penggunaan keleluasaan untuk kepentingan publik, beri perlindungan terhadap informasi yang sepatutnya dirahasiakan, dukungan terhadap sistim merit dan program affirmative action.

21

3.1 Studi Kasus pada Universitas Garut 3.1.1 Sekilas Universitas Garut Pembangunan kualitas sumberdaya dalam pembangunan nasional manusia merupakan faktor kunci yang harus ditingkatkan. Sejalan dengan pemikiran

tersebut, maka pembangunan kualitas sumberdaya manusia merupakan sesuatu keharusan. Apalagi saat ini kemajuan di bidang ilmu pengetahuan dan teknologi yang diikuti oleh arus globalisasi dan informasi sangat membutuhkan tenaga-tenaga ahli (sumberdaya manusia) yang handal dan bermutu. Pendirian Universitas Garut yang berada di bawah naungan Yayasan Universitas Garut (YUNGA), bertujuan untuk menghasilkan ilmuwan yang mampu memahami dan ahli dalam bidangnya serta menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat. Berorientasi kepada pembangunan kehidupan masyarakat Indonesia dan pembangunan nasional. Menganut paham pendidikan seumur hidup dan kemudian dalam mengembangan diri serta berkeyakinan bahwa unsur sikap dan kemampuan hidup sama pentingnya dengan pengetahuan. Juga melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dalam mewujudkan sosok ilmuwan yang memiliki daya tranformasi iman-amanah kekuatan ilmualamiah, keseyogyaan intelektual-integritas, keterjangkauan visidiner-imajinatif, keharusan perspektif-inovatif, ketegaran kritis-etis, kearifan, mandiri, terbuka, dan kesungguhan dedikasi patriotik. Universitas Garut didirikan di Garut - Jawa Barat pada tanggal 21 Desember 1998 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia melalui Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor: 0173/ D/ O/ 1998. Pembentukan Universitas Garut merupakan penggabungan (merger) dari 5 (lima)

22

perguruan tinggi swasta di Garut dan sekaligus berubah bentuk menjadi Universitas Garut. Sampai saat ini, Universitas Garut memiliki 7 (tujuh) Fakultas dan 1 (satu) Program Pascasarjana, yaitu: Fakultas Ekonomi yang mengelola tiga program studi (Akuntansi-S1, Manajemen-S1 dan Akuntansi-D3), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik mengelola dua program studi (Ilmu Administrasi Negara-S1, Kesejahteraan Sosial-S1), Fakultas Teknik yang mengelola satu program studi (TelekomunikasiD3), Fakultas Agama yang mengelola satu program studi (Pendidikan Agama Islam-S1), Fakultas Pertanian mengelola dua program studi (Agronomi-S1 dan Peternakan S-1), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam yang mengelola satu program studi (Farmasi-S1), Fakultas Ilmu Komunikasi, serta Program Pascasarjana (S2) dengan kosentrasi Administrasi Negara.

3.1.2 Visi, Misi dan Tujuan Universitas Garut Visi Universitas Garut adalah Menjadi universitas terkemuka dalam mengembangkan ilmu dan teknologi, serta menghasilkan sumberdaya manusia terdidik, beriman, berkualitas, dan berahlak mulia dengan multi kompetensi yang mampu bersaing pada tataran nasional, regional, dan global. Misi Universitas Garut yaitu: 1. Melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi, yang terdiri dari pendidikan, penelitian, pengabdian masyarakat, serta meneguhkan agama dan budaya 2. Menyelenggarakan pendidikan tinggi yang sesuai dengan kebutuhan masyarakat Indonesia pada umumnya dan masyarakat Garut pada khususnya; 3. Menghasilkan lulusan yang berkualitas dan mampu berkompetisi pada dunia kerja;

23

4.

Menggalakan kegiatan penelitian yang ditujukan bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan kemaslahatan umat;

5.

Mengabdikan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam membantu masyarakat untuk memecahkan masalah rekayasa dalam hal meningkatkan mutu kerja dan pendapatan masyarakat;

6.

Menyelenggarakan sistem administrasi sesuai dengan tugas pokok dan fungsi.

Tujuan Universitas Garut yaitu: 1. Meningkatkan kualitas manusia Indonesia, yaitu manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berbudi luhur, berkepribadian, berdisiplin, bekerja keras, tangguh, bertanggung jawab, mandiri, cerdas dan terampil serta sehat jasmani dan rohani; 2. Menumbuhkan dan memperdalam rasa cinta tanah air, mempertebal semangat kebangsaan dan rasa kesetiakawanan sosial; 3. Menumbuhkan rasa percaya pada diri sendiri serta sikap dan perilaku yang inovatif dan kreatif; 4. Memberikan kesempatan belajar dan kesempatan meningkatkan keterampilan bagi anak yang berasal dari daerah/ bertempat tinggal di daerah terpencil; 5. Memperhatikan dan mengembangkan anak didik yang berbakat istimewa sesuai dengan tingkat pertumbuhan pribadinya; 6. Meningkatkan penulisan, penerjemahan serta penyebaran buku karya ilmiah dan hasil penelitian di dalam maupun di luar negeri dalam rangka pengembangan dan memasyarakatkan ilmu pengetahuan dan Teknologi; 7. 8. Membina dan mengembangkan Tri Dharma Perguruan Tinggi; Menciptakan suasana lingkungan kampus yang sehat jasmani dan rohani.

24

Untuk menegaskan tujuan dan harapan dari pendirian Universitas Garut serta sekaligus mengembangan misi Tri Dharma Perguruan Tinggi, maka Universitas Garut berusaha secara bertahap dengan jalan melakukan pembenahan-pembenahan dalam rangka menopang peningkatan pembangunan daerah khususnya dan pembangunan nasional dalam bidang pendidikan pada umumnya. Dengan pembenahan-pembenahan yang dilakukan maka diharapkan Universitas Garut dapat berperan sebagai perguruan tinggi handal khususnya di Wilayah Priangan dan Jawa Barat pada umumnya. Namun dalam rangka pembenahan dan pengembangan tersebut, Universitas Garut dihadapkan dengan berbagai tantangan, yaitu antara lain: 1. Laju perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang begitu cepat dari berbagai sektor, 2. Tuntutan masyarakat yang semakin kritis dan lebih maju terhadap perkembangan teknologi dan informasi, 3. Keterbatasan dana yang dimiliki universitas. Untuk menghadapi permasalahan dan tantangan di atas, maka Universitas Garut menyusun suatu rencana strategis (Renstra) Universitas Garut yang disusun berdasarkan tujuan Universitas Garut, yakni menghasilkan ilmuwan yang mampu memahami dan ahli dalam bidangnya serta menyesuaikan diri dengan perkembangan ilmu dan kebutuhan masyarakat. Berorientasi kepada pembangunan kehidupan masyarakat Indonesia dan pembangunan nasional. Menganut paham pendidikan seumur hidup dan kemudian dalam mengembangan diri serta berkeyakinan bahwa unsur sikap dan kemampuan hidup sama pentingnya dengan

25

pengetahuan. Juga melaksanakan Tridharma Perguruan Tinggi dalam mewujudkan sosok ilmuwan yang memiliki daya tranformasi iman-amanah kekuatan ilmualamiah, keseyogyaan intelektual-integritas, keterjangkauan visidiner-imajinatif, keharusan perspektif-inovatif, ketegaran kritis-etis, kearifan, mandiri, terbuka, dan kesungguhan dedikasi patriotik. Sehingga dapat menempatkan Universitas Garut pada kedudukan yang lebih baik dan semakin mendapatkan kepercayaan dari masyarakat, serta mampu menghadapi tantangan dan memanfaatkan peluang dengan segala keterbatasan yang ada secara efektif dan efisien.

3.1.3 Landasan Pengembangan Universitas Garut Latar belakang kesejarahan lahirnya Yayasan Universitas Garut sebagai pencetus lahirnya Universitas Garut, memberikan makna tersendiri dalam sistem pendidikan yang akan dilaksanakan Universitas Garut, yang berupaya mencitrakan diri sebagai suatu model yang berakar pada nilai-nilai luhur budaya bangsa, serta berfungsi sebagai pengusung nilai religiusitas Islami dengan bercirikan penguasaan yang ideal terhadap perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Karenanya, Universitas Garut berusaha menterjemahkannya dalam suatu model pendidikan sebagai sub sistem pendidikan tinggi nasional yang mengemban Tridharma Perguruan Tinggi, dengan tetap menjamin terpelihara dan berkembangnya nilai luhur budaya bangsa, menjunjung tinggi nilai agama, serta mengaktualisasikan nilai-nilai ajarannya dalam keseluruhan aspek kehidupan, terutama dalam masyarakat dan kehidupan ilmiah. Dalam pada itu, Universitas Garut sebagai subsistem pendidikan tinggi nasional mendasarkan diri pada dasar-dasar filosofi lembaga pendidikan sebagai berikut:

26

1.

Universal hakikiyah dan objektif dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk mencapai kebenaran dan kenyataan.

2.

Kebebasan akademik dan kebebasan mimbar dalam lapangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara arif dan bertanggung jawab

3.

Ketahanan kampus yang mandiri, dinamis, tangguh dan berwibawa sebagai garda depan kehidupan masyarakat ilmiah.

4.

Sikap berbudaya dan berkeadaban serta teologis ilahiyah usaha ilmu pengetahuan dan teknologi guna kemanfaatan, kebahagiaan dan peradaban manusia.

5.

Orientasi Wawasan Nusantara dan Ketahanan Nasional dalam memaknai dan menyikapi globalisasi dan arus pluralisme, sebagai wujud keterlibatan yang bersifat holistik dan integralistik pada perkembangan internasional.

6.

Kinerja research dan development, yang mencitrakan penelitian dan pengembangan keilmuan yang berorientasi pada kebutuhan, memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, memiliki spektrum keilmuan yang luas, mengidentifikasi dan membuat solusi masalah masyarakat dan industri yang perlu segera di atasi, serta senantiasa mengacu pada tantangan dan masa depan.

7.

Citra dan kinerja lembaga pendidikan yang sistemik, berencana, terarah yang lebih menyeluruh dan makin meningkat sebagai langkah mewujudkan kemampuan untuk senantiasa berkembang.

3.1.4 Strategi Pengembangan Universitas Garut Sebagai bagian dari sistem pendidikan nasional, maka tujuan pendidikan Universitas Garut diselaraskan dengan tujuan pendidikan nasional, baik yang

27

diamanatkan dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara, Undang-Undang tentang Pendidikan Nasional, dan Peraturan Pemerintah tentang Pendidikan Tinggi. Universitas Garut diharapkan mampu untuk mencapai tujuan pendidikan tinggi, yaitu: 1. Menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang memiliki kemampuan akademik dan/ atau profesional yang dapat menerapkan, mengembangkan dan/ atau menciptakan ilmu pengetahuan, teknologi, dan/ atau kesenian. 2. Mengembangkan dan menyebarluaskan ilmu pengetahuan, teknologi dan/ atau kesenian serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional. Di samping itu, peranan Universitas Garut diarahkan untuk menjadi: 1. Pusat pemeliharaan, penelitian, serta pengembangan ilmu, teknologi, dan/ atau kesenian sesuai dengan kebutuhan pembangunan. 2. Tempat mendidik mahasiswa agar berjiwa penuh pengabdian dan memiliki jiwa besar yang bertanggungjawab terhadap masa depan dan negara Indonesia. 3. Tempat membina mahasiswa sehingga bermanfaat bagi pembangunan nasional dan pembangunan daerah. 4. Bersikap terbuka dan tanggap terhadap perubahan dan kemajuan ilmu, teknologi dan/ atau kesenian. Untuk pelaksanaannya, Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan sistem pendidikan nasional, peraturan tentang pokok-pokok dan penataan

28

organisasi, tata cara penyusunan kurikulum, dan sebaginya, agar terdapat keseragaman dalam penyelenggaraan pendidikan di semua perguruan tinggi. Tujuan dari pengembangan sarana dan SDM adalah sebagai bagian dari rencana strategis Universitas Garut dalam mengikuti perubahan di dunia pendidikan. Dengan dukungan sarana fasilitas dan SDM yang berkualitas diharapkan dapat meningkatkan kualitas lulusan yang lebih kompeten, sehingga pada gilirannya UNIGA dapat memainkan perannya secara maksimal, untuk mampu bersinergi dengan komponen lainnya dalam rangka peningkatan kemampuan SDM di Indonesia, khususnya di Kabupaten Garut.

3.2 Etika Kebijakan Publik dalam Lingkungan Universitas Garut Implementasi etika administrasi publik dalam lingkungan Universitas Garut secara umum telah dilakukan sedemikian rupa dengan menyesuaikan kondisi yang ada di lingkungan Universitas Garut. Hal ini tentunya terdapat perbedaan antara dunia pendidikan yaitu perguruan tinggi dengan etika administrasi publik yang dilakukan atau diterapkan pada organisasi pemerintah, namun selain perbedaan tersebut adapula persamaan antara keduanya. Untuk menilai sejauhmana penerapan etika administrasi publik yang dilakukan di lingkungan Universitas Garut dengan dasar rujukan yaitu ASPA (American Society for Administration) yang dikutip oleh Widodo (2006:70) dapat dijelaskan sebagai berikut: 1. Pelayanan yang dilakukan dalam artian pelayanan publik yang ditujukan kepada stakeholders secara umum berlandaskan di atas kepentingan sendiri,

29

namun tidak jarang suatu kebijakan ditetapkan digunakan kepentingan sendiri atau kalangan tertentu. 2. Tanggung jawab dan tugas yang dibebankan kepada pegawai relatif besar dan berdasarkan atas kemauan atau perintah untuk kepentingan pihak tertentu. 3. Kebijakan yang diambil tidak jarang berdasarkan kepentingan pribadi, sehingga dampak yang diinginkan oleh lapisan managemen selalu tidak tercapai, hal ini tentu mengganggu aktivitas organisasi secara keseluruhan. 4. Pengelolaan manajemen yang efektif dan efisien terkadang berbenturan dengan kebijakan yang dibuat demi kepentingan kelompok tertentu, dan terkadang terjadi penyalahgunaan pengaruh, penggelapan, pemborosan, dan penyelewengan dalam hal kekuasaan dan kewenangan. 5. Belum ada sistem penilaian kecakapan atau etika baku yang dilaksanakan di lingkungan Universitas Garut, penilaian lebih sering berdasarkan subjektivitas pimpinan terhadap aktivitas para pegawainya. 6. Perlindungan terhadap kepercayaan pegawai, kinerja pegawai, prestasi pegawai kurang mendapat perhatian, yang pada akhirnya para pegawai melakukan aktivitas pekerjaannya disesuaikan dengan kondisi. Konflik kepentingan masih saja terjadi antara pimpinan yang menyebabkan pegawai tidak konsentrasi/fokus terhadap pekerjaan, tidak jarang pekerjaan yang dilakukan untuk kepentingan pimpinan. 7. Pelayanan yang dilakukan kurang berdasarkan etika administrasi publik yang baik dan benar, hal ini dipengaruhi oleh subjektivitas pelaksana pelayanan dan terkadang tidak menerapkan etika tersebut.

30

8. Pelaksanaan kegiatan/aktivitas terkesan dilakukan secara ganda, dalam artian bahwa kegiatan/aktivitas tersebut menyalahi apa yang diungkapkan nurani kita dan tidak mengikuti cara-cara yang beretika, sehingga menimbulkan tekanan bagi pegawai dalam pelaksanaannya. 9. Masih terdapat pimpinan yang berlaku kurang etis dalam pelaksanaan administrasi publik yang berdampak pada kinerja organisasi keseluruhan. Penjelasan tersebut diatas bersifat analisasis kasuatif, artinya bahwa analisis yang dilakukan tidak secara global pada tataran/lingkup organisasi Universitas Garut, namun secara parsial yang didasarkan pada kegiatan-kegiatan/aktitasaktivitas yang dilakukan pada proses pelaksanaan administrasi publik pada lingkup Universitas Garut. Hal tersebut dilakukan dengan alasan tidak semua kegiatan yang dilakukan di lingkungan Universitas Garut melalui cara-cara yang tidak beretika. Untuk lebih memperdalam hasil analisis tersebut untuk menilai baik buruknya suatu pelayanan publik yang dilakukan oleh anggota organisasi di lingkungan Universitas Garut berdasarkan faktor efisiensi, efektivitas, kualitas pelayanan, responsivitas, dan akuntabilitas, dapat dilihat pada uraian berikut: 1. Faktor Efisiensi Dari sisi efisiensi masih terdapat penyelewengan atau pemborosan sumber daya, dalam artian hasil yang diperoleh atau diberikan melalui pertimbangan finansial/ekonomis semata sehingga kurang mengedapankan prestasi/kinerja dari para pegawai. Namun secara umum dinilai cukup baik dengan kondisi yang ada dalam usaha meningkatkan etika pelayanan kepada publik 2. Faktor Efektivitas

31

Keefektifan pelayanan dan aktivitas yang dilakukan cukup baik, namun pada kondisi tertentu membutuhkan pengertian para pegawai dalam pelaksanaan aktivitas pekerjaan yang harus menyesuaikan dengan keinginan pimpinan dengan kebijakannya yang bersifat insidental. 3. Faktor Kualitas Pelayanan Etika dalam kualitas pelayanan kepada publik dirasakan kurang, hal ini terlihat dari kemampuan komunikasi sumber daya manusia yang ada masih kurang dan sering terjadi kesalahfahaman antar pegawai. 4. Faktor Responsivitas Dengan jumlah dan kapasitas sumber daya manusia relatif kurang menyebabkan tingkat respon relatif kurang memadai dalam hal pelayanan kepada publik. Respon yang tinggi terjadi apabila pimpinan mempunyai kebijakan atau kepentingan yang insidental diluar pelayanan publik. 5. Faktor Akuntabilitas Pertanggungjawaban dalam pelaksanaan tugas sebagai bentuk akuntabilitas relatif kurang disebabkan semua kebijakan bersifat top down yang lebih mengedepankan kepentingan pimpinan, selama kondisi ini masih berlangsung akan mengakibatkan akuntabilitas yang dikehendaki akan rendah.

32

BAB 4 KESIMPULAN DAN SARAN

4.1 Kesimpulan Dari paparan dan analisis yang telah disampaikan dapat disimpulkan sebagai berikut: a. Penerapan etika administrasi publik sebagai perwujudan pelayanan yang baik kepada publik di Universitas Garut relatif cukup baik, hal ini tidak terlepas dari lembaga Universitas Garut sebagai lembaga pendidikan yang mengajarkan, mendidik, dan membentuk manusia sebagai insan yang mempunyai budi pekerti dan ilmu pengetahuan yang baik sebagai bekal masa depan. b. Tolok ukur yang dijadikan penilaian dalam analisis tidak serta merta dapat diterapkan secara ideal, hal ini tentunya disesuaikan dengan situasi yang terjadi dimana kondisi dari organisasi, sumber daya manusia dan sumber-sumber daya lainnya belum secara sempurna menerapkan atau mengimplementasikan etika administrasi yang baik. 4.2 Saran Berdasarkan kesimpulan yang dikemukakan maka kami memberikan saran yang diharapkan dapat membantu atau memberikan solusi dalam penerapan etika administrasi publik untuk mewujudkan pelayanan yang memuaskan kepada publik sebagai berikut: a. Sumber daya manusia sebagai unsur utama dalam pelaksanaan etika administrasi yang baik harus secara sadar dan paham bahwa pelayanan

33

kepada publik mempunyai konsekuensi yang dapat merugikan jika kualitas etika yang dimiliki rendah. b. Untuk menilai secara objektif diperlukan analisis lebih dalam mengenai penerapan etika administrasi terutama dalam kebijakan yang berhubungan dengan publik, hal ini disebabkan masih banyak faktor yang harus dianalisis sehingga dapat dilihat secara komprehensif.

34

DAFTAR PUSTAKA

.................................(2000). Teori Administrasi Publik,. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta Bertens, K. (2000). Etika. Seri Filsafat Atma Jaya. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Denhardt, Kathryn G. (1988). The ethics of Public Service. Westport, Connecticut: Greenwood Press. Henry, Nicholas. (1995). Public Administration and Public Affairs. Sixth Edition. Englewood Cliffs, N.J.: Prentice-Hall International, Inc. Perry, James L. (1989). Handbook of Public Administration. San Fransisca, CA: Jossey- Bass Limited. Shafritz, Jay.M. dan E.W.Russell. (1997). Introducing Public Administration. New York, N.Y.: Longman.

35