KEANEKARAGAMAN DAN PARASITISASI PARASITOID PADA … · keanekaragaman dan parasitisasi parasitoid...

35
KEANEKARAGAMAN DAN PARASITISASI PARASITOID PADA PERTANAMAN SAYURAN DI BOGOR MUHAMAD NURHUDA NUGRAHA DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN FAKULTAS PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013

Transcript of KEANEKARAGAMAN DAN PARASITISASI PARASITOID PADA … · keanekaragaman dan parasitisasi parasitoid...

KEANEKARAGAMAN DAN PARASITISASI PARASITOID

PADA PERTANAMAN SAYURAN DI BOGOR

MUHAMAD NURHUDA NUGRAHA

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN

SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Keanekaragaman dan

Parasitisasi Parasitoid pada Pertanaman Sayuran di Bogor adalah benar karya saya

dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun

kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip

dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah

disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir

skripsi ini.

Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut

Pertanian Bogor.

Bogor, September 2013

Muhamad Nurhuda Nugraha

NIM A34070052

ABSTRAK

MUHAMAD NURHUDA NUGRAHA. Keanekaragaman dan Parasitisasi

Parasitoid pada Pertanaman Sayuran di Bogor. Dibimbing oleh DAMAYANTI

BUCHORI.

Pada suatu pertanaman, lingkungan agroekosistem dapat memengaruhi

keanekaragaman serta keefektifan komunitas parasitoid sebagai musuh alami

serangga hama. Sebuah survei untuk mempelajari keanekaragaman serangga

parasitoid dan parasitisasinya dilakukan di beberapa lahan sayuran di Bogor pada

bulan Agustus sampai Oktober 2012 berdasarkan 3 kriteria pertanaman berbeda,

yaitu: pola budidaya (organik dan konvensional), keanekaragaman tanaman

sayuran di sekitar (5-8 sp. dan 9-15 sp.) dan perbedaan umur pertanaman (3, 4 dan

5 bulan). Dengan membuat garis transek sepanjang 50 langkah di setiap lahan

pertanaman yang telah dipilih, telur larva dan pupa serangga hama dikumpulkan,

lalu dihitung kejadian parasitisasi dan keanekaragaman parasitoidnya. Hasil

penelitian ini menunjukkan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap tiga

kriteria pertanaman yang digunakan. Walaupun begitu, berdasarkan

keanekaragaman tanaman sekitar, tingkat parasitisasi pada lahan dengan

keanekaragaman tanaman sayuran yang lebih sedikit (5-8 sp.), lebih tinggi

dibandingkan lahan dengan keanekaragaman tanaman sayuran yang lebih banyak

(9-15 sp.). Hal ini dapat disebabkan karena keterbatasan unit pengambilan contoh

dan faktor lain yang memengaruhi seperti habitat sekitar, cuaca dan interaksi yang

kompleks antar spesies dalam suatu agroekosistem.

Kata kunci: keanekaragaman, parasitisasi, parasitoid, praktek pertanian, umur

tanaman

ABSTRACT

MUHAMAD NURHUDA NUGRAHA. Diversity and Parasitism of Parasitoids in

Vegetable Plants in Bogor. Supervised by DAMAYANTI BUCHORI.

In an agricultural area, agroecosystem could influence diversity and

parasitism of parasitoids as natural enemies of insect pests. A survey to learn

diversity and rate of parasitism of insect pests by parasitoids had been conducted

in several agricultural fields with different criteria, such as farming practice

(organic and convensional), species richness of vegetable crops (5-8 sp. and 9-15

sp.) and different crop ages (3, 4 and 5 months), in Bogor from August to October

2012. By making a 50 steps line transect for every field, eggs, larvae and pupa of

insect pests were collected monthly, reared in laboratory and incidence of

parasitism were calculated. The results showed that there were no significant

differences on diversity and rate of parasitism based on three criterias used.

However, based on the diversity of vegetable plant species around, the rate of

parasitism in field with less plant species diversity (5-8 sp.) was higher than the

field with more vegetable plant species diversity (9-15 sp.). These results might be

caused by the limited number of samplings conducted and other potential factors

such as surrounding habitat, seasonal fluctuation, and complex interactions

between species in agroecosystem.

Key words: biodiversity, parasitism, parasitoids, farming practice, different plant

age

© Hak Cipta Milik IPB, tahun 2013

Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang

Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan

atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan,

penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau

tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan

yang wajar IPB.

Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis

dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB.

KEANEKARAGAMAN DAN PARASITISASI PARASITOID

PADA PERTANAMAN SAYURAN DI BOGOR

MUHAMAD NURHUDA NUGRAHA

Skripsi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar

Sarjana Pertanian

pada

Program Studi Proteksi Tanaman

DEPARTEMEN PROTEKSI TANAMAN

FAKULTAS PERTANIAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2013

Judul Skripsi : Keanekaragaman dan Parasitisasi Parasitoid pada

Pertanaman Sayuran di Bogor Nama Mahasiswa : Muhamad Nurhuda Nugraha

NIM : A34070052

Disetujui oleh

Dr. Ir. Damayanti Buchori, MSc.

Dosen Pembimbing

Diketahui oleh

Dr. Ir. Abdjad Asih Nawangsih, M.Si

Ketua Departemen

Tanggal lulus :

PRAKATA

Syukur alhamdulillah penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena berkat

rahmat dan karuniaNya, penelitian dan penulisan tugas akhir sarjana ini dapat

diselesaikan. Tugas akhir sarjana ini berjudul: ”Keanekaragaman dan Parasitisasi

Parasitoid pada Pertanaman Sayuran di Bogor” dan berlangsung sejak Maret 2012

hingga September 2013. Penulis sangat bersyukur atas ilmu dan pengalaman yang

didapat selama proses meraih gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian Bogor.

Penghargaan dan ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada Dr. Ir.

Damayanti Buchori, M.Sc atas bimbingan yang diberikan hingga penelitian dan

penulisan tugas akhir sarjana ini diselesaikan, dan juga kepada Dr. Akhmad Rizali

atas arahan dan pelatihan yang diberikan. Penulis yakin ilmu baru yang didapat

seperti cara penggunaan perangkat keras GPS Map dan perangkap lunak Quantum

GIS dan R, akan lebih bermanfaat suatu hari nanti. Ucapan terima kasih juga

penulis sampaikan kepada Mba Adha Sari dan Mba Nita selaku laboran di

Laboratorium Pengendalian Hayati yang telah banyak membantu dan juga kepada

Pa Sudarsono serta Yasin Farid sebagai teman dan rekan kerja yang baik dalam

penelitian ini. Penulis juga ucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang telah

membantu dalam tahap identifikasi dan analisis statistik yaitu Pa Puji, Mba Laras,

Rizki, Tuti, Pa Uyung serta kepada teman-teman di Goettingen yang telah banyak

membantu memudahkan akses terhadap jurnal-jurnal internasional. Kepada Bu

Tri, Pa Giyanto dan Pa Kikin atas diskusi dan arahan selama penulis menempuh

studi di departemen ini. Kepada seluruh teman-teman di Departemen Proteksi

Tanaman dan Laboratorium Pengendalian Hayati Faperta IPB secara khusus dan

teman-teman dari berbagai departemen dan fakultas di Institut Pertanian Bogor

baik junior maupun senior serta teman seperjuangan atas dukungan dan

kebersamaannya. Akhirnya, ucapan terima kasih penulis sampaikan sedalam-

dalamnya kepada Ibu dan Bapak yang sangat Penulis cintai atas perhatian, kasih

sayang, kepercayaan, doa serta kesabaran yang diberikan. Juga atas diskusi dan

cerita-cerita masa lalu yang menginspirasi dan memotivasi penulis dalam

menjalani hidup ini.

Akhir kata, tidak ada yang sempurna di dunia ini, karena kesempurnaan

hanya milik Tuhan Sang Pencipta seluruh alam. Semoga tulisan ini bermanfaat.

Aamiin.

Bogor, September 2013

Muhamad Nurhuda Nugraha

i

DAFTAR ISI

DAFTAR TABEL vi

DAFTAR GAMBAR vi

PENDAHULUAN 1

Latar Belakang 1

Tujuan Penelitian 3

Manfaat Penelitian 3

BAHAN DAN METODE 4

Waktu dan Lokasi Penelitian 4

Metode Penelitian 5

Survei dan Penentuan Lokasi 5

Pengambilan Contoh Serangga 9

Identifikasi Serangga 9

Analisis Data 9

HASIL DAN PEMBAHASAN 10

Keanekaragaman, Serangan Hama dan Parasitisasi Parasitoid pada

Pertanaman Sayuran di Bogor 10

Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Keanekaragaman dan Tingkat

Parasitisasi Parasitoid: Studi Kasus pada Pertanaman Caisin 13

Pengaruh Keanekaragaman Tanaman Sayuran di Sekitar terhadap

Keanekaragaman dan Tingkat Parasitisasi Parasitoid: Studi Kasus pada

Pertanaman Polikultur Kubis 15

Pengaruh Perbedaan Umur Tanaman terhadap Keanekaragaman

Parasitoid: Studi Kasus pada Pertanaman Terung 18

SIMPULAN DAN SARAN 20

DAFTAR PUSTAKA 21

RIWAYAT HIDUP 25

vi

DAFTAR TABEL

1. Deskripsi lokasi penelitian di daerah Bogor 4

2. Keanekaragaman spesies sayuran di sekitar pertanaman polikultur kubis

di Desa Tugu Selatan, Cisarua 7

3. Keanekaragaman, serangan hama dan parasitisasi parasitoid pada

pertanaman sayuran di Bogor 10

4. Frekuensi serangan hama pada pertanaman sayuran di Bogor 11

5. Jumlah parasitoid (per individu inang) pada pertanaman sayuran di Bogor 12

6. Keanekaragaman, tingkat serangan hama dan parasitisasi parasitoid pada

pertanaman caisin organik dan konvensional 13

7. Komposisi spesies parasitoid antar lahan dengan sistem pertanian berbeda

berdasarkan indeks kemiripan Sorensen 14

8. Kelimpahan hama dan parasitoid pada pertanaman terung dengan umur

3, 4 dan 5 bulan 19

DAFTAR GAMBAR

1. Peta lokasi penelitian di daerah Bogor 5

2. Gambar pertanaman caisin (a) organik di Desa Tugu Selatan dan (b)

konvensional di Desa Situ Daun 6

3. Pertanaman kubis dengan keanekaragaman (a) 5-8 spesies tanaman

sayuran dan (b) 9-15 spesies tanaman sayuran di sekitar 7

4. Pertanaman terung berumur (a) 3 bulan di Desa Bojong dan (b) terung

berumur 4 bulan di Desa Bantarsari 8

5. Rataan tingkat serangan hama dan parasitisasinya pada pertanaman

sayuran di Bogor 13

6. Hubungan tropik herbivor (hama) dan parasitoidnya pada (a) pertanaman

caisin organik dan (b) pertanaman caisin konvensional 14

7. Keanekaragaman, tingkat serangan hama dan parasitisasi parasitoid pada

pertanaman kubis polikultur dengan 5-8 spesies dan 9-15 spesies

tanaman sayuran di sekitarnya 15

8. Hubungan tropik herbivor (hama) dan parasitoidnya pada pertanaman

kubis polikultur dengan (a) 5-8 spesies dan (b) 9-15 spesies tanaman

sayuran di sekitarnya 16

9. Keanekaragaman parasitoid pada pertanaman kubis polikultur dengan

(a) 5-8 dan (b) 9-15 spesies tanaman sayuran di sekitar serta (c) irisan

diantara keduanya 17

10. Keanekaragaman, tingkat serangan hama dan parasitisasi parasitoid pada

pertanaman terung dengan umur 3 bulan, 4 bulan dan 5 bulan 18

11. Hubungan tropik herbivor (hama) dan parasitoidnya pada pertanaman

terung dengan umur (a) 3 bulan, (b) 4 bulan dan (c) 5 bulan 19

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Sayuran memiliki peranan penting dalam kehidupan manusia sebagai salah

satu sumber asupan vitamin dan mineral. Pada tahun 2011, produktivitas rata-rata

sayuran segar di Indonesia mencapai 9,5 ton/ha (FAO 2013). Nilai ini tidak

sebesar tahun sebelumnya yang mencapai 10 ton/ha. Penurunan ini tidak lepas

dari permasalahan hama dalam praktek budidayanya. Di sisi lain, praktek

budidaya dengan penggunaan pestisida sintetik yang berlebihan pada sayuran

segar dalam mengendalikan permasalahan hama dinilai lebih banyak

menimbulkan efek negatif di kalangan produsen maupun konsumen. Efek negatif

ini dapat berupa timbulnya resistensi hama terhadap pestisida, kontaminasi pada

bahan pangan serta pencemaran lingkungan.

Pengendalian hama dan penyakit terpadu (PHT) merupakan suatu konsep

yang dikembangkan sebagai salah satu bentuk resolusi dari efek negatif

intensifikasi dalam pertanian. Dalam konsep ini, serangga musuh alami memiliki

peran yang sangat penting dalam menekan serangan organisme pengganggu

tanaman (Losey dan Vaugan 2006; Buchori et al. 2008). Salah satu bentuk jasa

ekosistem (ecosystem services) dalam suatu areal pertanian yang banyak

menguntungkan petani adalah parasitisme oleh serangga parasitoid terhadap

serangga hama.

Secara sederhana, parasitoid dapat diartikan sebagai serangga yang stadia

larvanya mampu memarasit serangga lainnya (Godfray 1994). Walaupun

demikian, parasitoid merupakan kelompok yang dipisahkan dari kelompok

organisme parasit pada umumnya. Hal ini menurut Gordh et al. (1999)

dikarenakan parasitoid memiliki beberapa karakteristik yang unik, diantaranya

adalah: 1) sifat parasitisasi parasitoid hanya diekspresikan pada stadia larva, 2)

stadia imago hidup bebas di alam, 3) larva parasitoid biasanya membunuh dan

memakan inangnya, 4) parasitoid memiliki ukuran tubuh yang kurang lebih sama

dengan inangnya, 5) parasitoid dan inangnya berada pada grup taksonomi yang

berdekatan (serangga dengan serangga). Berdasarkan keanekaragaman, biologi

dan perkembangan/jenis parasitisasinya, serangga parasitoid telah diperhatikan

sejak lama sebagai salah satu agen pengendalian hayati yang efektif. Sejak awal

1970, sebanyak 907 spesies parasitoid yang didominasi oleh ordo Hymenoptera

(84,4%) dan Diptera (1,4%) telah digunakan dalam program pengendalian hayati

di berbagai tempat di penjuru dunia (Clausen 1978).

Dalam upaya pelestarian serangga parasitoid, terdapat beberapa hal yang

dapat memengaruhi keanekaragaman dan keefektifan komunitas parasitoid

sebagai musuh alami pada suatu pertanaman, diantaranya adalah pengelolaan

lingkungan pada suatu agroekosistem (Letourneau dan Altieri 1999). Setiap

wilayah akan memiliki karakter agroekosistem pertanaman yang berbeda sebagai

hasil dari iklim, topografi, tanah, kondisi ekonomi dan sejarah penggunan lahan

yang memengaruhinya. Perbedaan karakter agroekosistem pertanaman juga dapat

ditentukan oleh tujuan dan skala produksinya. Hal ini berkaitan dengan teknologi,

sumberdaya dan cara budidaya yang digunakan (Mattson et al. 1984; Altieri

1989). Walaupun demikian, pertanaman dapat dikategorikan berdasarkan tipe dari

2

pertanian atau agroekosistemnya (Norman 1979). Pertanaman organik dan

konvensional atau pertanaman polikultur dan monokultur merupakan contoh

kategori pertanaman yang dapat dibedakan berdasarkan pola budidayanya.

Pada pertanaman yang dikelola secara organik, keanekaragaman spesies

pada tiga level tropik (tanaman-herbivor-parasitoid) lebih tinggi secara signifikan

dibandingkan dengan lahan yang dikelola secara konvensional (Macfadyen 2009).

Sebenarnya hubungan keanekaragaman musuh alami pada suatu pertanaman

dengan keefektifan dalam pengendalian hayati itu sendiri masih belum begitu

jelas. Hal ini karena adanya pola interaksi yang sangat kompleks antar spesies

yang terjadi dalam suatu ekosistem. Menurut Stireman et al. (2005),

keanekaragaman musuh alami dapat meningkatkan keefektifan pengendalian

hayati apabila musuh alami yang berbeda dapat melengkapi satu sama lain. Model

ekologi seperti ini dapat terjadi apabila setiap spesies musuh alami

memangsa/memarasit kelompok hama, baik dari jenis atau waktu yang berbeda.

Keanekaragaman musuh alami juga berpotensi meningkatkan keefektifan

pengendalian hayati, karena dapat meningkatkan kemungkinan hadirnya agen

musuh alami yang superior. Namun, interaksi negatif antar spesies musuh alami

dapat juga terjadi dan mengakibatkan pengandalian hayati menjadi kurang efektif.

Keanekaragaman musuh alami seperti parasitoid dapat meningkatkan keefektifan

pengendalian hayati apabila interaksi positif yang terjadi lebih kuat daripada

interaksi negatif yang dihasilkan diantara spesies musuh alami dalam suatu

agroekosistem (Letourneau dan Bothwell 2008).

Di sisi lain, pertanaman yang dikelola secara konvensional dengan

intensifikasi berupa peningkatan penggunaan pupuk kimia dan pestisida, dapat

menyebabkan degradasi habitat dan kehilangan keanekaragaman beberapa grup

taksonomi (Lohaus et al. 2012). Penggunaan pupuk kimia dapat mempengaruhi

pertumbuhan, perkembangan, respon biokimia dan fenologi tanaman secara

langsung. Hal ini secara tidak langsung juga akan mempengaruhi interaksi antara

tanaman, herbivor dan musuh alaminya. Kualitas nutrisi herbivor dipengaruhi oleh

kualitas nutrisi tanaman, sedangkan tingkat parasitisasi dipengaruhi juga oleh

kualitas inangnya (herbivor). Benrey dan Denmo (1997) menunjukkan bahwa

larva Pieris rapae yang pertumbuhannya lambat sebagai akibat dari kurangnya

nutrisi yang didapat dari tanaman, memiliki tingkat parasitisasi oleh Cotesia

glomerata yang lebih tinggi dibandingkan dengan larva yang pertumbuhannya

lebih cepat. Aplikasi pestisida lewat udara (semprot) juga dapat mempengaruhi

interaksi antara tanaman, herbivor dan parasitoidnya dalam suatu ekosistem secara

lebih luas. Hal ini karena dampak pesitisida terdapat organisme non-target

menjadi tidak terhindarkan. Keefektifan pengandalian hayati menjadi terganggu

sebagai akibat dari toksisitas semprotan yang diaplikasikan secara intensif dan

berulang-ulang (Ridgway et al. 1976; Riehl et al. 1980).

Keanekaragaman tanaman sekitar sebagai salah satu bagian dari struktur

jaring-jaring makanan juga dapat memengaruhi keberadaan dan tingkat

parasitisasi oleh serangga parasitoid. Hal ini berkaitan dengan ketersediaan inang

alternatif, nektar sebagai sumber makanan parasitoid dewasa dan selter sebagai

tempat berlindung yang disediakan oleh tanaman lain di sekitar pertanaman

(Menalled et al. 1999). Semakin beragamnya suatu pertanaman, semakin

melimpah pula parasitoidnya dan diharapkan memberikan pengendalian hama

yang lebih baik. Moreira dan Mooney (2013) menunjukkan bahwa pertanaman

3

sayuran Baccharis salicifolia polikultur dengan empat genotipe berbeda,

menghasilkan populasi aphid, semut dan parasitoid yang lebih melimpah

dibandingkan pertanaman Baccharis salicifolia monokultur. Hal ini tentunya

mempengaruhi perubahan pola interaksi tropik yang terjadi dalam agroekosistem

pertanaman tersebut. Sebaliknya, penurunan keanekaragaman inang dapat

memengaruhi keanekaragaman organism parasitoid secara negatif. Hal ini

tergambarkan dalam model hubungan ekologi antara inang dan

parasit/parasitoidnya (Lafferty 2012).

Umur tanaman sebagai bagian dari fenologi tanaman dapat memberikan

informasi kejadian parasitisasi dan keanekaragaman spesies parasitoid pada

tanaman tersebut (Barron et al. 2004). Hal ini menjadi penting karena jenis hama

yang menyerang dan parasitoid yang berperan dalam pengendalian hayati dapat

berbeda tergantung pada kondisi pertumbuhan dan perkembangan tanaman yang

berbeda.

Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari tingkat parasitisasi serta

keanekaragaman serangga parasitoid pada beberapa pertanaman sayuran di daerah

Bogor berdasarkan tiga kriteria pertanaman, yaitu pola budidaya, keanekaragaman

tanaman sayuran di sekitar lahan dan perbedaan umur tanaman.

Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan informasi dasar mengenai

keanekaragaman, persebaran serta parasitisasi parasitoid pada beberapa lahan

pertanaman sayuran di wilayah Bogor serta mengetahui faktor-faktor yang dapat

memengaruhinya. Informasi ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan dalam

pembuatan model pertanian berkelanjutan yang diiringi dengan sistem PHT.

4

BAHAN DAN METODE

Waktu dan Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Maret 2012 sampai Mei 2013.

Pengambilan contoh serangga dilakukan selama tiga bulan berturut-turut dari

bulan Agustus sampai Oktober 2012 pada beberapa lahan sayuran di empat desa

di daerah Bogor, yaitu: Tugu Selatan (Cisarua), Situ Daun (Tenjolaya), Bojong

(Kemang) dan Bantarsari (Ranca Bungur) (Tabel 1). Curah hujan pada bulan

Agustus, September and Oktober 2012 masing-masing adalah 110 mm, 370 mm

dan 374 mm. Proses identifikasi dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati,

Departemen Proteksi Tanaman, Institut Pertanian dari bulan November 2012

sampai April 2013.

Tabel 1 Deskripsi lokasi penelitian di daerah Bogor

Desa, Kecamatan Koordinat lokasib Komoditas

Kode

lokasi

Unit

pengambilan

contoh

Sistem

pertanianc

Bantarsari, Ranca

Bungur 6°32'19.44"LS Terung BS1 2 2,3

Ketinggian: 188 mdpla 106°44'27.70"BT

BS2 3 2,3

BS3 3 2,3

Pare BS1 1 2,3

Timun BS4 1 2,3

Bojong, Kemang 6°30'58.78"LS Terung BJ1 3 2,3

Ketinggian: 156 mdpl 106°45'19.86"BT

Situ Daun, Tenjolaya 6°36'30.83"LS Caisin SD1 3 2,3

Ketinggian: 301 mdpl 106°42'35.50"BT

SD2 3 2,3

SD3 3 2,3

SD4 1 2,3

Tugu Selatan, Cisarua 6°42'31.63"LS Kubis TS1 2 1,5

Ketinggian: 970 - 1169

mdpl 106°57'14.15"BT

TS2 1 2,4

TS5 2 1,6

TS6 3 1,6

TS7 4 1,6

Caisin TS1 1 1,5

TS3 3 1,5

Sawi TS2 1 2,4

Brokoli TS5 1 1,6

Tomat TS4 1 2,4

a mdpl (meter di atas permukaan laut). Diukur dengan GPS Map Garmin CX60

b LS (lintang selatan), BT (bujur timur)

c 1 Organik; 2 Konvensional; 3 Monokultur; 4 Oligokultur; 5 Polikultur (5-8 spesies tanaman

sayuran); 6 Polikultur (9-15 spesies tanaman sayuran)

5

Metode Penelitian

Survei dan Penentuan Lokasi Penelitian ini dimulai dengan melakukan pencarian lahan pertanaman

sayuran di wilayah Bogor. Sebanyak 31 calon wilayah diseleksi menjadi 16

wilayah yang tersebar di 15 desa dan 11 kecamatan berdasarkan kemudahan akses

dan kriteria yang ditentukan. Lokasi pengambilan contoh kemudian dipilih

menjadi 5 wilayah di 4 desa berdasarkan 3 kriteria pertanaman, yaitu sistem

budidaya, keanekaragaman tanaman sekitar dan perbedaan umur tanaman

(Gambar 1). Berdasarkan lokasi yang dipilih, ditemukan delapan jenis komoditas

sayuran yang dapat diamati, yaitu caisin, kubis, brokoli, sawi, terung, tomat,

timun dan pare (Tabel 1).

Gambar 1 Peta lokasi penelitian di daerah Bogor

Caisin merupakan komoditas yang mewakili kriteria pertanaman

berdasarkan sistem budidayanya, yaitu organik dan konvensional (Tabel 1).

Pertananaman caisin yang ada di Desa Tugu Selatan, Cisarua dan Situ Daun,

Tenjolaya memiliki sistem pertanaman yang cukup berbeda. Caisin di Desa Tugu

Selatan dikelola secara polikultur-organik dengan mengandalkan pupuk organik

dan pestisida nabati dan kultur teknis sebagai cara untuk mengendalikan serangan

hama dan penyakitnya. Sedangkan caisin di Desa Situ Daun dikelola secara

monokultur-konvensional yang sangat bergantung pada penggunaan pupuk dan

pestisida kimia sintetik dalam praktek budidayanya (Gambar 2).

Bogor, Jawa Barat

6

Gambar 2 Gambar pertanaman caisin (a) organik di Desa Tugu Selatan dan (b)

konvensional di Desa Situ Daun

Pada pertanaman sayuran di Desa Tugu Selatan, terdapat dua pertanaman

polikultur organik yang dikelola secara terpisah (Gambar 3). Kedua pertanaman

ini dapat dibedakan berdasarkan keanekaragaman spesies tanaman sayuran yang

ada di sekitarnya. Satu pertanaman memiliki keanekaragaman 5-8 spesies

tanaman sayuran, sedangkan pertanaman lain memiliki keanekaragaman 9-15

spesies tanaman sayuran (Tabel 2). Berdasarkan ketersediaan unit pengambilan

contoh selama tiga bulan pengamatan, kubis merupakan komoditas sayuran yang

dapat mewakili kedua pertanaman berdasarkan keanekaragaman tanaman sayuran

di sekitar lahan.

a

b

7

Tabel 2 Keanekaragaman spesies sayuran di sekitar pertanaman polikultur kubis

di Desa Tugu Selatan, Cisarua

5-8 spesies tanaman sayurana 9-15 spesies tanaman sayuran

b

Caisin (Brassica rapa var. parachinensis

L.)

Caisin (Brassica apa var. parachinensis

L.)

Bayam Hijau (Amaranthus hybridus L.) Bayam Hijau (Amaranthus hybridus L.)

Timun (Cucumis sativus L.) Timun (Cucumis sativus L.)

Tomat (Solanum lycopersicum L.) Tomat (Solanum lycopersicum L.)

Buncis (Phaseolus vulgaris L.) Buncis (Phaseolus vulgaris L.)

Selada (Lactuca sativa L.) Selada (Lactuca sativa L.)

Kacang Panjang (Vigna unguiculata

subsp. sesquipedalis L.)

Kacang Panjang (Vigna unguiculata

subsp. sesquipedalis L.)

Wortel (Daucus carota L.) Wortel (Daucus carota L.)

Kemangi (Ocimum citriodorum Vis.)

Kapri (Pisum sativum L.)

Jagung (Zea mays L.)

Brokoli (Brassica oleracea L.)

Terung (Solanum melongena L.)

Kacang Hijau (Vigna radiata L.)

Kacang Merah (Vigna angularis Willd.) a terletak di lokasi TS1

b terletah di lokasi TS5, TS6, TS7

Gambar 3 Pertanaman kubis dengan keanekaragaman (a) 5-8 spesies tanaman

sayuran dan (b) 9-15 spesies tanaman sayuran di sekitar

a b

8

Terung digunakan untuk mewakili sayuran dengan perbedaan umur. Hal ini

karena pertanaman terung di Desa Bojong dan Bantarsari pada awal pengambilan

contoh (Agustus 2012) telah memasuki umur 3 bulan dan memulai fase

generatifnya. Sehingga empat lokasi yang ada di dua desa ini dapat digunakan

untuk melihat serangan hama dan parasitisasi parasitoid selama tiga bulan

pengambilan contoh berturut-turut. Selanjutnya, didapat tiga perbedaan umur

tanaman terung berbeda, yaitu, 3 bulan, 4 bulan dan 5 bulan (Gambar 4). Pada

penelitian ini, kontrol manajemen pengelolaan lahan seperti pemberian pupuk dan

manajemen terhadap hama sengaja tidak diperhatikan untuk melihat perbandingan

antara pertanaman yang dikelola secara organik dan konvensional.

Gambar 4 Pertanaman terung berumur (a) 3 bulan di Desa Bojong dan (b) 4 bulan

di Desa Bantarsari

a

b

9

Pengambilan Contoh Serangga Pengambilan contoh serangga hama dilakukan setiap bulannya dari bulan

Agustus sampai Oktober 2012. Pada setiap lahan dilakukan pengambilan contoh

pada transek sepanjang 50 langkah dengan waktu tiap transek 30 menit. Jenis

hama yang diambil pada penelitian ini meliputi serangga dari ordo Lepidoptera

dan Coleoptera yang merupakan jenis hama yang mendominasi pada pertanaman

sayuran. Telur, larva dan pupa serangga hama yang ditemukan di jalur transek

dikumpulkan dan dimasukan ke dalam wadah untuk kemudian diberi label.

Serangga kemudian dibawa ke laboratorium untuk dipelihara dengan diberi pakan

alami dan dihitung kejadian parasitisasinya.

Identifikasi Serangga

Identifikasi serangga hama dan parasitoid (ordo Hymenoptera dan Diptera)

yang muncul dilakukan di Laboratorium Pengendalian Hayati, hingga ke tingkat

morfospesies berdasarkan struktur morfologi, jenis inang dan parasitoid dengan

mengacu pada buku The Pest of Crops in Indonesia (Kalshoven 1981),

Hymenoptera of the World (Goulet dan Huber 1993) dan Manual of Nearctic

Diptera Volume 2 (McAlpine 1987). Khusus indentifikasi hingga spesies

dilakukan dengan bantuan taksonomis dari LIPI.

Analisis Data

Keanekaragaman, persentase serangan hama dan parasitisasi parasitoid

dihitung secara terpisah berdasarkan jenis komoditas dan kriteria pertanaman yang

dimilikinya. Persentase serangan hama dan parasitisasi parasitoid dihitung dengan

rumus yang dimodifikasi dari Hamid et al. (2003), yaitu:

Pengaruh sistem budidaya terhadap kekayaan spesies, tingkat serangan hama dan

parasitisasi parasitoid diuji dengan analisis nilai tengah (t-test) dan analisis ragam

(One way ANOVA) menggunakan program SPSS 17 untuk Windows (SPSS

2008). Kemiripan komposisi spesies parasitoid antar lokasi dihitung

menggunakan Indeks Sorensen yang memiliki persamaan:

IS : Indeks Kemiripan Spesies

A : Jumlah spesies parasitoid di lahan 1

B : Jumlah spesies parasitoid di lahan 2

C : Jumlah spesies parasitoid yang sama di kedua lahan yang

dibandingkan

Perbedaan komposisi spesies parasitoid antar lahan uji dengan Analysis of

Similarity (ANOSIM) menggunakan perangkat lunak R dengan paket vegan (R

Core Team 2013). Gambar interaksi tropik inang-parasitoid dibuat dengan

perangkat lunak R dengan paket bipartite.

10

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keanekaragaman, Serangan Hama dan Parasitisasi Parasitoid pada

Pertanaman Sayuran di Bogor

Pengambilan contoh dengan metode transek garis yang dilakukan pada

penelitian ini menggambarkan kelimpahan relatif serangan hama sekaligus tingkat

kematiannya yang disebabkan oleh parasitoid (parasitism rate) di suatu

agroekosistem pertanian pada rentang waktu tiga bulan pengamatan. Penelitian ini

memperlihatkan bahwa tanaman sayuran famili Brassicaceae (kubis, caisin,

brokoli, sawi) menunjukkan kecenderungan tingkat serangan hama yang lebih

tinggi dibandingkan famili Solanaceae (terung dan tomat) dan Curcubitaceae (pare

dan timun) (Tabel 3). Rendahnya tingkat serangan hama pada famili Solanaceae

dan Curcubitaceae diduga karena adanya dengan gangguan intensif pada skala

agroekosistem yang bersifat letal, yaitu saat digunakannya pestisida sintetik. Hal

serupa juga diduga terjadi pada pertanaman caisin di enam lokasi yang

menunjukkan tingkat serangan hama yang berbeda-beda (Tabel 1). Selain hama,

penggunaan pestisida sintetik juga dapat mengganggu keberadaan musuh alami

serangga seperti parasitoid apabila diaplikasikan terus menerus walaupun dengan

dosis sub-letal (De Cock et al. 1996).

Tabel 3 Keanekaragaman, serangan hama dan parasitisasi parasitoid pada

pertanaman sayuran di Bogor

Komoditas Desa, Kecamatan Lahan

Jumlah

Spesies

Hama

Persentasi

Serangan

Hama (%)

Jumlah

Spesies

Parasitoid

Persentasi

Parasitisasi

(%)

Caisin Situ Daun, Tenjolaya L1 4 14,0 2 24,8

L2 2 6,0 1 25,0

L3 1 2,0 0 0

L4 2 16,0 0 0

Tugu Selatan, Cisarua L5 3 35,7 2 20,0

L6 3 35,9 1 15,0

Kubis Tugu Selatan, Cisarua L1 3 36,0 3 33,8

L2 4 36,0 1 5,6

L3 5 35,8 1 9,4

L4 4 38,8 1 12,7

L5 4 35,3 2 18,8

Brokoli Tugu Selatan, Cisarua L1 4 66,7 2 15,0

Sawi Tugu Selatan, Cisarua L1 2 18,0 1 11,1

Terung Bantarsari, Ranca

Bungur L1 2 26,0 1 12,5

L2 1 5,3 0 8,3

L3 1 13,3 1 19,4

Bojong, Kemang L4 1 7,3 1 33,3

Tomat Tugu Selatan, Cisarua L1 2 10,0 0 0

Pare Bantarsari, Ranca

Bungur L1 2 10,0 0 0

Timun Bantarsari, Ranca

Bungur L1 0 0 0 0

11

Delapan komoditas sayuran yang dipilih di empat desa di wilayah Bogor

menunjukkan tingkat parasitisasi parasitoid yang beragam (Tabel 3). Selain

karena faktor ketersediaan inang dan kompetisi di alam, hal ini diduga karena

dipengaruhi faktor alam lain yang memengaruhi, salah satunya adalah kondisi

habitat sekitar (Tylianakis et al. 2007). Tidak adanya kejadian parasitisasi pada

dua sayuran caisin di Desa Situ Daun, pare dan timun di Desa Bantarsari, serta

tomat di Desa Tugu Selatan diduga karena pengaruh intensifikasi dalam pertanian

(Lohaus et al. 2013).

Frekuensi serangan hama pada penelitian ini memperlihatkan persebaran

serangan hama pada setiap unit transek pengamatan. Semakin tinggi frekuensi

serangan hama, maka semakin tinggi potensi kerusakan yang diakibatkan oleh

suatu hama. Crocidolomia pavonana dan Plutella xylostella merupakan hama

yang serangannya banyak tersebar pada pertanaman kubis (Tabel 4). Serangan

hama serupa juga banyak tersebar di pertanaman sayuran caisin, brokoli dan sawi

yang juga berasal dari famili Brasicaceae. Hal ini diduga karena prilaku imago

kedua hama tersebut dalam menentukan tempat untuk meletakan telur. Prilaku ini

salah satunya dipengaruhi oleh ketersediaan sumber makanan. Selain itu,

terbatasnya kemampuan terbang imago juga dapat membatasi area persebaranya

(dispersal area). Menurut Mo et al. (2001), persebaran imago Plutella xylostella

hanya terbatas sejauh 13-24 meter. Phyllotreta vittata (Coleoptera) merupakan

hama yang paling banyak tersebar pada pertanaman brokoli. Hal ini diduga karena

imago hama ini memiliki mobilitas yang tinggi, sehingga keberadaan telur dan

serangan nimfanya pun bisa lebih tersebar (Knodel dan Olson 2002). Hal tersebut

juga diduga terjadi pada Epilachna sp yang merupakan hama yang serangannya

paling banyak tersebar pada pertanaman terung.

Tabel 4 Frekuensi serangan hama pada pertanaman sayuran di Bogor

Spesies hama* Caisin Kubis Brokoli Sawi Terung Tomat Pare Timun

Ordo Lepidoptera

Acherontia sp

2,0

Agrotis sp

3,0

Crocidolomia pavonana 5,9 13,1 20,0

Eupterote sp 7,6 4,4

Hellula sp 2,5 2,9 6,7

Mahasena corbetti

8,0

Noctuidae-1 2,0

Orgyia sp

4,6

Pieris brassicae 2,0 5,5

Plusia sp 2,0

2,0

Plutella xylostella 9,9 12,9 10,0 12,0

Spodoptera litura 5,9 6,0

6,0 2,0 8,0 2,0

Ordo Coleoptera

Epilachna sp

12,4

Phyllotreta vittata

4,9 30,0

Rodolia sp

8,0

Total 16,1 36,6 66,7 18,0 11,8 10,0 10,0

* Frekuensi serangan dihitung berdasarkan presence/absence serangan hama pada setiap individu

tanaman yang diamati. Data ditampilkan dalam bentuk rataan aritmatik dengan unit

pengambilan contoh sebagai ulangan. Caisin (n = 14), kubis (n = 12), brokoli (n = 1), sawi (n =

1), terung (n = 11), pare (n = 1), tomat (n = 1), timun (n = 1)

12

Diadegma semiclausum dan Tachinidae-1 merupakan parasitoid yang

banyak memarasit hama pada tanaman caisin dan kubis (Tabel 5), sedangkan

parasitoid Pediobius foveolatus dan Trichogramma spp hanya ditemukan

memarasit hama pada tanaman terung. Hal ini diduga karena keberadaan

parasitoid dipengaruhi oleh keberadaan inangnya. Diadegma semiclausum dan

Tachinidae-1 merupakan parasitoid larva dari Crocidolomia pavonana dan

Plutella xylostella, sedangkan Pediobius foveolatus dan Trichogramma

merupakan parasitoid telur dan larva dari Epilachna sp. Kelimpahan parasitoid

pada penelitian ini bergantung pada sifat parasitoid itu sendiri dalam memarasit

hama, baik secara soliter atau gragarius.

Tabel 5 Jumlah parasitoid (per individu inang) pada pertanaman sayuran di Bogor

Spesies Parasitoid Caisin Kubis Brokoli Sawi Terung Tomat Pare Timun

Ordo Hymenoptera

Apanteles sp1 2(2) 4(4)

Bracon sp

1(1)

Diadegma semiclausum 1(1) 6(6)

Eriborus sp3 2(2)

Goryphus sp

1(1)

Idris sp 6(1)

Pediobius foveolatus

24(5)

Pteromalus puparum 1(1)

Telenomus sp 7(1) 40(1) 8(1)

Tetrastichus howardi 40(3) 23(2) 35(2)

40(1)

Trichogramma spp

78(4)

Ordo Diptera

Tachinidae-1 6(6) 7(7)

1(1)

Tachinidae-2 1(1) 1(1)

Tachinidae-3 1(1)

Tachinidae-4 1(1) 2(1)

Tingkat serangan hama dan parasitisasi yang berbeda-beda pada delapan

komoditas sayuran yang diamati selama tiga bulan pengamatan menunjukkan

keefektifan peran parasitoid sebagai musuh alami yang berbeda-beda (Gambar 5).

Rendahnya tingkat parasitisasi parasitoid dibandingkan tingkat serangan hama

pada pertanaman brokoli, kubis, sawi dan caisin secara umum menunjukkan peran

parasitoid masih belum efektif dalam mengendalikan populasi hama. Fenomena

sebaliknya terlihat pada pertanaman terung yang menunjukkan tingkat parasitisasi

parasitoid yang lebih tinggi dibandingkan tingkat serangan hamanya. Pola

interaksi seperti kompetisi, predasi, dan hubungan simbiosis inter dan intraspesies

dalam suatu ekosistem dapat memengaruhi keefektifitasan musuh alami serangga

(Showalter 2011).

13

Gambar 5 Rataan tingkat serangan serangan hama dan parasitisasinya pada

pertanaman sayuran di Bogor

Pengaruh Sistem Budidaya terhadap Keanekaragaman dan Tingkat

Parasitisasi Parasitoid: Studi Kasus pada Pertanaman Caisin

Penelitian ini memperlihatkan bahwa rata-rata serangan hama pada

pertanaman organik lebih tinggi secara signifikan dibandingkan pertanaman

konvensional (t = -7,964; P = 0,004). Hal ini menurut MacFadyen (2009)

merupakan konsekuensi dari tidak digunakannya pestisida sintetik dalam praktek

budidayanya. Di sisi lain, keanekaragaman hama tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata walaupun nilai rata-ratanya lebih tinggi pada pertanaman organik

dibanding konvensional (t = -1,571; P= 0,214). Hal ini berbeda dengan penelitian

Bengtsson et al. (2005) yang menunjukkan bahwa keanekaragaman arthopoda

secara signifikan lebih tinggi pada pertanaman organik dibandingkan pertanaman

konvensional. Hal serupa juga terjadi dengan tingkat parasitisasi parasitoid dan

keanekaragamannya yang juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan (t =

-0,655; P = 0, 552 dan t = -2,086; P = 0,116 (Tabel 6). Hal ini juga dapat

disebabkan karena terbatasnya jumlah unit pengambilan contoh atau karena

adanya faktor-faktor lain yang memperngaruhi, salah satunya adalah struktur

lanskap sekitar (Marino dan Landis 1996; Yaherwandi 2005).

Tabel 6 Keanekaragaman, tingkat serangan hama dan parasitisasi parasitoid pada

pertanaman caisin organik dan konvensional

Sistem

Budidaya Unit

Rataan

Spesies

Hama

Rataan

Persentase

Serangan

Hama (%)

Rataan Spesies

Parasitoid

Rataan

Persentase

Parasitisasi

(%)

Organik 2 3 ± 0* 35,8 ± 0,2 2 ± 0,5 18 ± 3,5

Konvensional 4 2 ± 1,1 9,5 ± 6,6 1 ± 0,8 12 ± 14,4 *

Data ditampilkan dalam rataan aritmatik ± standar deviasi

16,1

36,4

66,7

18,0 11,8

10,0 10,0

15,3 17.09 15,0

11,1

18,9

0

10

20

30

40

50

60

70

80

Caisin

(n=14)

Kubis

(n=12)

Brokoli

(n=1)

Sawi

(n=1)

Terung

(n=11)

Tomat

(n=1)

Pare

(n=1)

Timun

(n=1)

(%)

Komoditas

Serangan hama (%)

Parasitisasi parasitoid (%)

14

Komposisi spesies parasitoid dengan sistem budidaya yang sama memiliki

nilai indeks kemiripan yang tinggi (Tabel 7). Sedangkan komposisi spesies

parasitoid antar lahan dengan sistem budidaya berbeda menunjukkan rentang nilai

yang cukup luas, yaitu dari 0,73 hingga 0,89. Namun, hasil analisis kemiripan

menggunakan ANOSIM, sistem budidaya juga tidak memiliki pengaruh yang

signifikan terhadap komposisi spesies antar lahan (R = 0,429; P = 0,186).

Tabel 7 Komposisi spesies parasitoid antar lahan dengan sistem pertanian

berbeda berdasarkan indeks kemiripan Sorensen

Lahan* LO1 LO2 LK1 LK2 LK3 LK4

LO1 1 LO2 0,82 1

LK1 0,76 0,73 1 LK2 0,80 0,76 0,82 1

LK3 0,89 0,84 0,84 0,89 1 LK4 0,89 0,84 0,84 0,84 1 1

* LO = lahan organik; LK = lahan konvensional

Interaksi tropik memperlihatkan hubungan makan-memakan suatu

organisme antar level tropik. Hubungan tropik inang-parasitoid pada kedua sistem

budidaya memperlihatkan kompleksitas struktur interaksi yang hampir sama,

walaupun memiliki komposisi parasitoid yang berbeda (Gambar 6). Pada pola

interaksi tersebut diketahui bahwa parasitoid Tachinidae-1 dan Tetrastichus

howardi mendominasi kompetisi dengan memarasit lebih satu inang. Menurut

Hawkin (1994) dalam suatu komunitas inang-parasitoid, hanya ada satu atau

beberapa spesies parasitoid saja yang memiliki pengaruh besar dalam perannya

sebagai agen pengendali hayati. Hal ini disebabkan karena adanya perbedaan

kapabilitas pencarian inang tertentu oleh parasitoid di setiap habitat berbeda pada

kondisi dan waktu tertentu. Walaupun begitu, interaksi inter dan intraspesies pada

masing-masing level tropik (inang-parasitoid) pada penelitian ini masih belum

begitu diketahui.

Gambar 6 Hubungan tropik herbivor (hama) dan parasitoidnya pada (a)

pertanaman caisin organik dan (b) pertanaman caisin konvensional

N = 9

N = 46

N = 7

N = 32

Parasitoid

Herbivor

1 6 7 1 6 7

8 19 20 21 18 16 10 17

1 C. pavonana, 6 Plutella xylostella, 7 Spodoptera litura

8 Apanteles sp1, 10 D. semiclausum, 16 Tachinidae-1, 17 Tachinidae-2, 18 Tachinidae-3

19 Tachinidae-4, 20 Telenomus sp, 21 Tetrastichus howardi

(a) Organik (b) Konvensional

15

Pengaruh Keanekaragaman Tanaman Sayuran di Sekitar terhadap

Keanekaragaman dan Tingkat Parasitisasi Parasitoid: Studi Kasus pada

Pertanaman Polikultur Kubis

Hasil penelitian ini memperlihatkan bahwa keanekaragaman dan persentase

serangan hama pada pertanaman polikultur dengan keanekaragaman 5-8 dan 9-15

spesies tanaman sayuran di sekitar tidak memiliki perbedaan yang nyata (t = -

2,357; P = 0,142 dan t = -2,275; P = 0,809). Hal serupa terlihat pada parasitisasi

parasitoid dan keanekaragamannya (t = 3,677; P = 0,067 dan t = 1,750; P =

0,222), walaupun tingkat parasitisasi parasitoid pada pertanaman kubis dengan

keanekaragaman tanaman sayuran yang lebih sedikit (5-8 spesies) terlihat jauh

lebih tinggi dibandingkan pertanaman kubis dengan keanekaragaman tanaman

sayuran yang lebih banyak (9-15 spesies) (Gambar 7). Hal ini tidak sesuai dengan

hasil penelitian Macfadyen et al. (2009) yang menyatakan bahwa

keanekaragaman tanaman di sekitar secara tidak langsung dapat meningkatkan

keanekaragaman parasitoid di sekitarnya. Hal ini juga dapat disebabkan karena

terbatasnya unit pengambilan contoh. Selain itu, hal ini juga dapat disebabkan

karena spesies parasitoid pada pertanaman dengan keanekaragaman tanaman yang

lebih tinggi menemukan inang alternatif pada pertanaman lain di sekitarnya

sebagai salah satu cara untuk bertahan dalam menghadapi kompetisi dengan

individu spesies lainnya (Rodriguaz dan Hawkin 2000). Adanya senyawa kimia

volatil yang dikeluarkan oleh spesies tanaman tertentu di sekitar pertanaman yang

juga dapat memengaruhi prilaku parasitoid dalam menemukan inang/hama

(Thaler 1999; Stireman 2002, Girling et al. 2010).

Gambar 7 Keanekaragaman, tingkat serangan hama dan parasitisasi parasitoid

pada pertanaman kubis polikultur dengan 5-8 spesies dan 9-15

spesies tanaman sayuran di sekitarnya

Penelitian ini juga memperlihatkan bahwa komposisi spesies antar lahan

pada pertanaman kubis berdasarkan keanekaragaman tanaman sayuran di

sekitarnya menunjukkan hasil yang tidak signifikan (R = 0,083; P =

3 4 3 1

36,0

36,6 33,8

13,6

0

1

2

3

4

5

6

7

0

10

20

30

40

50

60

70

5-8 sp. tanaman sayuran 9-15 sp. tanaman sayuran

(Spesies) (%)

Jumlah hama Jumlah parasitoid

Serangan hama (%) Parasitisasi parasitoid (%)

16

0,499). Terdapat beberapa speseis parasitoid yang ditemukan pada kedua

kelompok pertanaman kubis, yaitu: Apanteles sp1, Diadegma semiclausum,

Eriborus sp3 dan Tachinidae-1 (Gambar 9). Hal ini diduga karena adanya

persamaan jenis sayuran yang ada pada kedua pertanaman kubis, yaitu: caisin,

bayam hijau, timun, tomat, buncis, selada, kacang panjang dan wortel (Tabel 2).

Namun, ada juga spesies parasitoid yang hanya ditemukan pada pertanaman kubis

dengan keanekaragaman 5-8 spesies atau 9-15 spesies tanaman sayuran di

sekitarnya saja. Idris sp dan Tachinidae-2 merupakan speseis parasitoid yang

hanya ditemukan pada pertanaman kubis dengan keanekaragaman 5-8 spesies

tanaman sayuran di sekitarnya, sedangkan Pteromalum puparum, Tachinidae-4,

Telenomus sp dan Tetrastichus howardi merupakan speseis parasitoid yang hanya

ditemukan pada pertanaman kubis dengan keanekaragaman 9-15 speseis tanaman

sayuran di sekitarnya. Hal ini diduga karena adanya pengaruh tanaman atau

vegetasi yang ada di sekitar pertanaman yang memengaruhi perilaku pencarian

inang/hama serangga parasitoid.

Struktur interaksi tropik pada pertanaman dengan keanekaragaman tanaman

dengan 9-15 spesies tanaman sayuran disekitarnya terlihat lebih kompleks

dibandingkan dengan pertanaman dengan keanekaragaman tanaman dengan 5-8

spesies tanaman sayuran disekitarnya (Gambar 8). Hal ini dapat dilihat dari

jumlah spesies yang terlibat dan tingkat parasitisasi yang terjadi di kedua jaring-

jaring makanan. Pola interaksi ini memperlihatkan bahwa Diadegma semiclausum

lebih mendominasi persaingan dengan 3 spesies parasitoid lainnya dalam

memarasit Plutella xylostella. Sedangkan Tachinidae-1 bertahan dalam kompetisi

dengan memarasit dua spesies inang berbeda. Menurut Althof (2003), strategi

parasitisasi oleh suatu individu spesies parasitoid dapat memengaruhi spesifisitas

inang, di mana parasitoid koinobiont memiliki inang yang lebih spesifik dari pada

parasitoid idiobiont. Parasitoid koinobion biasanya membiarkan inang tumbuh

lebih lanjut setelah proses parasitisasi, sedangkan parasitoid idiobiont tidak. Hal

ini nantinya dapat memengaruhi tingkat parasitisasi suatu spesies parasitoid saat

berkompetisi dengan spesies lainnya dalam suatu komunitas.

Gambar 8 Hubungan tropik herbivor (hama) dan parasitoidnya pada pertanaman

kubis polikultur dengan (a) 5-8 spesies dan (b) 9-15 spesies tanaman

sayuran di sekitarnya

1 C. pavonana 4 Phyllotreta vittata, 5 Pieris brassicae, 6 Plutella xylostella, 7 Spodoptera litura

8 Apanteles sp1, 10 D. semiclausum, 11 Eriborus sp3, 13 Idris sp, 15 Pteromalum puparum

16 Tachinidae-1, 17 Tachinidae-2, 19 Tachinidae-4, 20 Telenomus sp, 21 Tetrastichus howardi

(b) 9-15 spesies tanaman sayuran (a) 5-8 spesies tanaman sayuran

8 10 11 15 16 19 20 21 8 10 1

1

13 16 17

Parasitoid

N = 16 N = 9

N = 93 N = 24

Herbivor

7 6 5 1 1 6 4

N = 9

N = 24

4

17

Gambar 9 Keanekaragaman parasitoid pada pertanaman kubis polikultur dengan (a) 5-8 dan (b) 9-15 spesies tanaman sayuran di sekitar

serta (c) irisan diantara keduanya

a

Apanteles sp1

Diadegma semiclausum

Eriborus sp3

Tachinidae-1

Idris sp

Tachinidae-2

Pteromalum puparum

Tachinidae-4

Telenomus sp

Tetrastichus howardi

b

c

18

Pengaruh Perbedaan Umur Tanaman terhadap Keanekaragaman dan

Tingkat Parasitisasi Parasitoid: Studi Kasus pada Pertanaman Terung

Keanekaragaman maupun tingkat parasitisasi parasitoid tidak memiliki

perbedaan yang nyata terhadap umur tanaman terung (F1,2 = 0,364; P = 0,706 dan

F1,2 = 0,029; P = 0,972). Hal serupa juga terjadi pada keanekaragaman dan tingkat

serangan hama. Tingkat parasitisai yang lebih tinggi dari tingkat serangan hama

menunjukkan keefektifan fungsi ekologi serangga parasitoid dalam memarasit

inangnya (top-down regulation). Penurunan yang yang tidak signifikan terhadap

tingkat parasitisasi menunjukkan bahwa pada rentang umur 3 sampai 5 bulan

terjadi kestabilan dalam komunitas pertanaman terung. Penurunan ini dapat

disebabkan karena adanya fluktuasi terhadap kondisi lingkungan (Gambar 10).

Menurut Schowalter (2011), fluktuasi cuaca dan gangguan lain dari lingkungan

seperti insektisida, dapat menjadi pemicu perubahan struktur komunitas serangga.

Gambar 10 Keanekaragaman, tingkat serangan hama dan parasitisasi parasitoid

pada pertanaman terung dengan umur 3 bulan, 4 bulan dan 5 bulan

Penelitian ini memperlihatkan bahwa komposisi spesies antar lahan pada

pertanaman terung berdasarkan perbedaan umur menunjukkan perbedaan yang

tidak signifikan (R = -0,035; P = 0,689). Walaupun begitu, terdapat perbedaan

komposisi spesies parasitoid pada pertanaman terung dengan umur berbeda.

Bracon sp dan Pediobius foveolatus hanya ditemukan pada tanaman terung

berumur 3 bulan, sedangkan Goryphus sp, Tetrastichus howardi dan

Trichogramma spp terdapat pada terung berumur 4 bulan. Komposisi spesies

parasitoid berkurang pada tanaman terung berumur 5 bulan (Tabel 10).

1 2 1 1 1 0

12,0 11,5

12,0

20,8

18,8

16,7

0

1

2

3

0

5

10

15

20

25

30

3 bulan 4 bulan 5 bulan

(Spesies) (%)

Umur tanaman

Jumlah Hama (spesies) Jumlah parasitoid (spesies)

Serangan Hama (%) Parasitisasi parasitoid (%)

19

Tabel 8 Kelimpahan hama dan parasitoid pada pertanaman terung dengan umur 3,

4 dan 5 bulan

Spesies Serangga Umur tanaman

3 bulan 4 bulan 5 bulan

Hama Acherontia sp

2

Epilachna sp 22 16 18

Mahasena corbetti

4

Spodoptera litura 2 1

Parasitoid

Bracon sp 1

Goryphus sp

1

Pediobius foveolatus 24

Tetrastichus howardi

40

Trichogramma spp

40 38

Hubungan tropik inang-parasitoid selama 3 bulan pengamatan pada

pertanaman terung memperlihatkan struktur interaksi tropik yang sederhana

(Gambar 11). Hal ini dilihat dari sedikitnya spesies yang terlibat dan pola interaksi

yang terbentuk. Terdapat perubahan terhadap komposisi spesies pada dua level

tropik. Walaupun begitu, belum diketahui bagaimana cuaca dan faktor alam

lainnya memengaruhi setiap individu spesies hama dan parasitoid dalam

penelitian ini.

Gambar 11 Hubungan tropik herbivor (hama) dan parasitoidnya pada pertanaman

terung dengan umur (a) 3 bulan, (b) 4 bulan dan (c) 5 bulan

2 Epilachna sp, 3 Mahasena corbetti, 7 Spodoptera litura

9 Bracon sp, 12 Goryphus sp, 14 Pediobius foveolatus, 21 Tetrastichus howardi, 22 Trichogramma sp

Parasitoid Parasitoid

Herbivor Herbivor

9 14 12 21 22 22 (a) 3 bulan (b) 4 bulan (c) 5 bulan

7 2 2 3 2

N = 6

N = 24

N = 5

N = 20 N = 18

N = 1

20

SIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan pola budidayanya, pertanaman organik dan konvensional

memiliki tingkat parasitisasi yang tidak jauh berbeda. Pada kedua jenis

pertanaman ini, perbedaan komposisi spesies parasitoid antar lahan tidak

menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pertanaman polikultur dengan

keanekaragaman tanaman yang lebih rendah (5-8 sp.) memiliki tingkat parasitisasi

yang lebih tinggi dibanding pertanaman polikultur dengan keanekaragaman

tanaman yang lebih tinggi (9-15 sp.). Walaupun demikian, diantara keduanya

tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pertanaman terung berdasarkan

perbedaan umur juga tidak menunjukkan perbedaan yang signifikan. Pada rentang

umur 3-5 bulan, tingkat parasitisasi parasitoid menunjukkan nilai lebih tinggi

dibandingkan tingkat parasitisasi hamanya.

Untuk lebih memahami pengaruh agroekosistem terhadap keefektifan

pengendalian hayati, diperlukan penelitian lebih lanjut terkait faktor-faktor lain

yang dapat memengaruhi tingkat parasitisasi dan keanekaragaman parasitoid

dengan unit pengambilan contoh yang lebih banyak. Selain itu, diperlukan juga

studi lebih dalam terhadap struktur jaring-jaring makanan dalam suatu ekosistem

dan memahami interaksi yang terjadi di dalamnya untuk mengetahui peranan

setiap individu spesies dalam proses parasitisasi serangga hama.

21

DAFTAR PUSTAKA

[FAO] Food and Agriculture Organization of the United Nations. 2013.

FAOSTAT database. Tersedia pada: http://faostat3.fao.org/ home/ index.

Html #DOWNLOAD.

Althoff DM. 2003. Does parasitoid attack strategy influence host specificity? A

test with New World braconids. Ecological Entomology [Internet]. [diunduh

2013 Jul 3]; 28:500–502. Tersedia pada: http://althofflab .syr. edu/

_reprints/Althoff03.pdf.

Altieri MA. 1989. Agroecology: a new research and development paradigm for

word agriculture. Agriculture, Ecosystems, and Environment [Internet].

[diunduh 2013 Jul 17]; 27 (1989):37-46. Tersedia pada:

http://www.agroecologie.be/img/download/Altieri1989_agroecology_a_new

_research.pdf.

Barron MC, Wratten SD, Barlow ND. 2004. Phenology and parasitism of the red

admiral butterfly Bassaris gonerilla (Lepidoptera: Nymphalidae). New

Zealand Journal of Ecology [Internet]. [diunduh 2013 Apr 29]; 28(1): 105-

111. Tersedia pada: http://www.nzes.org.nz/nzje/free_issues/

NZJEcol28_1_105.pdf.

Bengtsson J, Anhstrom J, Weibull AC. 2005. The effects of organic agriculture on

biodiversity and abundance: a meta-analysis. Journal of Applied Ecology

[Internet]. [diunduh 2013 Jul 3]; 42:261–269. Tersedia pada:

http://www.bgu.ac.il/desert_agriculture/Agroecology/Reading/ Bengtsson05

.pdf. doi: 10.1111/j.1365-2664.2005.01005.x.

Benrey B, Denno RF. 1997. The slow-growth-high-mortality hypothesis: A test

using the cabbage butterfly. Ecology [Internet]. [diunduh 2013 Sep 5];

78(4), 987-999. Tersedia pada: http://www.jstor.org/

discover/10.2307/2265852?uid=3738224&uid=2129&uid=2&uid=70&uid=

4&sid=21102607923547.

Buchori D, Sahari B, Nurindah. 2008. Conservation of Agroecosystem through

Utilization of Parasitoid Diversity: Lesson for Promoting Sustainable

Agriculture and Ecosystem Health. Hayati [Internet]. [diunduh 2013 Apr

29]; 15:165–172. Tersedia pada: http://core.kmi. open.ac.uk/ display

/5516350.

Clausen CP. 1978. Introduced Parasites and Predators of Arthropod Pests and

Weeds: A World Review. Washington (US) : USDA.

De Cock A, DeClercq P, Tirry L, Degheele O. 1996. Toxicity of Diafenthiuron

and imidacloprid to the predatory bug Podisus maculiventris (Heteroptera:

pentatomidae). Environmental Entomology [Internet]. [diunduh 2013 Sep

3]; 25:476-480. Tersedia pada: http://link.springer.com/ article/

10.1007%2FBF02769828.

Girling RD, Stewart-Jones A, Dherbecourt J, Staley JT, Wright DJ, Poppy GM.

2010. Parasitoids select plants more heavily infested with their caterpillar

hosts: a new approach to aid interpretation of plant headspace volatiles.

Proceedings of Royal Society B [Internet]. [diunduh 2013 Jul 3]; Tersedia

pada: http://rspb.royalsocietypublishing.org/content/early/2011/ 01/21/rspb.

2725:1-8. full. doi:10.1098/rspb.2010.2725.

22

Godfray HCJ. 1994. Parasitoids. Behavioral and Evolutionary Ecology. New

Jersey (US): Princeton University Press.

Gordh G, Legner EF, Caltagirone LE. 1999. Biology of parasitic Hymenoptera. Di

dalam Bellows TS, Fisher TW, editor. Handbook of Biological Control:

Principles and Applications of Biological Control. San Diego (US):

Academic Press.

Goulet H, Huber JT. 1993. Hymenoptera of the World. An Identification Guide to

Families. Ottawa (CA): Agriculture Canada.

Hamid H, Buchori D, Triwidodo H. 2003. Keanekaragaman Parasitoid dan

Parasitisasinya pada Pertanaman Padi di Kawasan Taman Nasional Gunung

Halimun. Hayati [Internet]. [diunduh 2013 Jul 3]; 10:85–90. Tersedia pada:

http://repository.ipb.ac.id/bitstream/handle/123456789/9204/Hasmiandy_Ha

mid_keanekaragaman.pdf.

Hawkins BA. 1994. Pattern and Process in Host-Parasitoid Interaction.

Cambridge (UK): Cambridge University Press.

Kalshoven LGE. 1981. The Pests of Crops in Indonesia. Jakarta (ID): PT Ichtiar

Baru Van Hoeve.

Knodel JJ, Olson DL. 2002. Crucifer Flea Beetle Biology and Integrated Pest

Management in Canola. North Dakota (US). North Dakota State University.

[Internet]. [diunduh 2013 Sep 3]. Tersedia pada: http://www.ag.ndsu.

edu/pubs/plantsci/pests/e1234.pdf.

Lafferty KD. 2012. Biodiversity loss decreases parasite diversity: theory and

patterns. Phil. Trans. Proceedings of Royal Society B [Internet]. [diunduh

2013 Jul 15]; 367: 2814–2827. Tersedia pada:

http://rstb.royalsocietypublishing .org /content/367/1604/2814.full. doi: 10.

1098 / rstb.2012. 0110.

Letourneau DK, Altieri MA. 1999. Biology of parasitic Hymenoptera. Di dalam

Bellows TS, Fisher TW, editor. Handbook of Biological Control: Principles

and Applications of Biological Control. San Diego (US): Academic Press.

Letourneau DK, Bothwell SG. 2002. Comparison of organic and conventional

farms: challenging ecologists to make biodiversity functional. The

Ecological Society of America [Internet]. [diunduh 2013 Apr 29]; 430-438.

Tersedia pada: http://www.esajournals.org/doi/abs/ 10.1890/ 070081?j

ournalCode=fron.

Lohaus K, Vidal S, Theis C. 2013. Farming practices change food web structures

in cereal aphid-parasitoid-hyperparasitoid communities. Oecologia

[Internet]. [diunduh 2013 Feb 28]; 171:249-259. Tersedia pada: http:/

link.springer.com /article/ 10.1007%2Fs00442-012-2387-8. doi:10. 1007/

s00442-012-2387-8.

Losey JE, Vaughan M. 2006. The economic value of ecological services provided

by insects. BioScience [Internet]. [diunduh 2013 Jan 28]; 56(4):311-323.

Tersedia pada: http://www.xerces.org/ wp-content/ uploads/ 2008/

09/economic_value_ insects.pdf.

23

Macfadyen S, Gibson R, Polaszek A, Morris RJ, Craze PG, Planque R,

Symondson WOC, Memmott J. 2009. Do differences in food web structure

between organic and conventional farms affect the ecosystem service of pest

control?. Ecology Letters [Internet]. [diunduh 2013 Apr 28]; 12:229-238.

Tersedia pada: http://www.insectecology.com/wordpress/wp-content/

uploads/2009/07/Macfad yenetal2009EcolLetters.pdf. doi: 10.1111/j.1461-

0248. 2008.01279.x.

Mattson PC, Altieri M A, Gagne WC. 1984. Modification of small farmer practice

for better pest management. Annual Review of Entomology [Internet].

[diunduh 2013 Jul 17]; 29:303-402. Tersedia pada:

http://www.annualreviews.org/doi/pdf/10.1146/annurev.en.29.010184.0021

23.

Marino PC, Landis DA. 1996. Effect of Landscape structure on parasitoid

diversity and parasitism in agroecosystems [Internet]. Ecology Application

[diunduh pada 2013 Apr 29]; 6(1):276-284. Tersedia pada:

http://www.landislab.ent.msu.edu/pdf/ Landis% 20PDF%20Collection/

63.Marino.Landis.1996.Effects%20of%20 Landscape%20Structure%20on%

20Parasitoid%20Diversity%20and%20Parasitism%20in%20Agroecosystem

s.pdf.

McAlpine JF. 1987. Manual of Nearctic Diptera Volume 2. Ottawa (CA):

Research Branch Agriculture Canada.

Menalled FD, Marino PC, Gage SH dan Landis DA. 1999. Does agricultural

landscape structure affect parasitism and parasitoid diversity?. Ecology

Application [Internet]. [diunduh 2012 Des 23]; 9(2):634-641. Tersedia pada:

http://www.landsat.org/publications/pdfs_ps.

Mo J, Baker G, Keller M, Roush R. 2001. Estimation of some characteristic

dispersal ranges of diamondback moth (Plutella xylostella) (Lepidoptera:

Plutellidae). Di dalam: Endersby NM, Ridland PM, editor. The management

of diamondback moth and other crucifer pests. Proceedings of the 4th

International Workshop; 2001 Nov; Melbourne, Australia. Melbourne

(AU): Department of Primary Industries. hlm. 107-114 [diunduh 2012 Des

13]; Tersedia pada: http://web.entomology.cornell. edu/Shelton

/diamondback-moth/pdf/2001papers/2001DBM14.pdf.

Moreira X, Mooney KA. 2013. Influence of plant genetic diversity on interactions

between higher trophic levels. Biology Letters [Internet]. [diunduh 2013

Aug 31]; 9 (3):1-4. Tersedia pada: http://www.ncbi.nlm.

nih.gov/pubmed/23485879. doi: 10.1098/rsbl.2013.0133.

Norman MJT. 1979. Annual Cropping Systems in The Tropics: An Introduction.

Gainesville (US): University Press.

R Development Core Team. 2013. R: A language and environment for statistical

computing. Vienna (AT). R Foundation for Statistical Computing. Tersedia

pada: http://www.R-project.org.

Ridgway RL, King EG, Carfillo JL. 1976. Augmentation of natural enemies for

control of plant pests in the western hemisphere. Di dalam: Ridgway RL,

Vinson SB, editor. Biological control by augmentation of natural enemies

New York (USA): Plenum Press. hlm. 379-416. [diunduh 2013 Sep 5].

Tersedia pada: http://link.springer.com/content/pdf/10.1007/978-1-4684-

2871-1_13.pdf

24

Riehl LA, Brooks RF, McCoy CW, Fisher TW, Dean HA. 1980.

Accomplishments toward improving integrated pest management for citrus.

Di dalam: Huffaker CB, editor. New technology of pest control. New York

(USA): John Wiley, & Sons. hlm. 319-363.

Rodriguez MA, Hawkins BA. 2000. Diversity, function and stability in parasitoid

communities. Ecology letters [Internet]. [diunduh 2013 Jul 2]; 3:35-40.

Tersedia pada: http://www2.uah.es/ marodriguez/ MARodriguez_Papers/

Rodriguez_&_ Hawkins_ 2000_EcoLetts.pdf.

Schowalter TD. 2011. Insect Ecology. An Ecosystem Approach. Edisi ke-3. San

Diego (US): Academic Press.

Stireman JO. 2002. Host location and selection cues in a generalist tachinid

parasitoid. Entomologia Experimentalis et Applicata [Internet]. [diunduh

2013 Jul 2]; 103: 23–34. Tersedia pada: http://www. wright.edu /~john.

stireman/ StiremanEntexpAppl.pdf.

Stireman JO, Nason JD, Heard S. 2005. Host-associated genetic differentiation in

phytophagous insects: General phenomenon or isolated exceptions?

evidence from a goldenrod-insect community. Evolution [Internet].

[diunduh 2013 Sep 5]; 59:2573-2587. Tersedia pada:

http://stiremanlab.files.wordpress.com/2012/07/stiremanetal2005evolution.p

df.

SPSS Inc. 2008. SPSS Base 17.0 for Windows User's Guide. Chicago (US). SPSS

Inc.

Thaler JS. 1999. Jasmonate-inducible plant defences cause increased parasitismof

herbivores. Nature [Internet]. [diunduh 2013 Jul 3]; 399:696-688. Tersedia

pada: http:// purple.niagara.edu/wje/Bio123/Thaler%201999%20Plant%20

defenses.pdf.

Tylianakis JM, Tscharntke T, dan Lewis OT. 2007. Habitat modification alters the

structure of tropical host-parasitoid food webs. Nature [Internet]. [diunduh

2012 Des 10]; 445:202-205. Tersedia pada: http://www.nature.com/

nature/journal/v445/n7124/abs/nature05429.html.

Yaherwandi. 2005. Keanekaragaman Hymenoptera parasitoid pada beberapa tipe

lanskap pertanian di Daerah Aliran Sungai (DAS) Cianjur, Kabupaten

Cianjur, Jawa Barat [disertasi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.

25

RIWAYAT HIDUP

Penulis yang bernama Muhamad Nurhuda Nugraha, dilahirkan di kota

Rangkas Bitung pada tanggal 25 Oktober 1989 dan tumbuh besar di Pandeglang,

Banten sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara dari pasangan Didi Atmaja dan

Enok Purnama. Penulis lulus dari MTsN I Pandeglang pada tahun 2004 dan lulus

dari SMAN I Pandeglang lalu diterima sebagai mahasiswa Departemen Proteksi

Tanaman, Institut Pertanian Bogor pada tahun 2007 melalui jalur USMI.

Selama menempuh studi di IPB, Penulis aktif di lembaga kerohanian FKRD

(Forum Komunikasi Rohis Departemen) dan beberapa kepanitiaan dan organisasi

lainnya di kampus. Pada tahun 2010 Penulis mengikuti mobility program dari

SEAMEO RIHED untuk belajar selama satu semester di departemen Tropical

Agriculture International Program, Kasetsart University, Thailand dalam skema

MIT Kredit Transfer Mahasiswa. Pada tahun 2011, Penulis juga mendapatkan

beasiswa dari Erasmus Mundus: EXPERTS untuk belajar di Fakultas Pertanian

selama satu semester di Goettingen University, Jerman. Selama menempuh

program sarjana di IPB, Penulis mengikuti beberapa pelatihan, diantaranya adalah

Pelatihan Penggunaan R Statistic, Pelatihan Penggunaan GPS & Quantum GIS

serta Training in Rapid Biodiversity Assessment 2013.