KATARAK DIABETIKUMedit

17
KATARAK DIABETIKUM : PATOGENESIS, EPIDEMIOLOGI, DAN TERAPI Katarak pada pasien diabetes merupakan penyebab utama kebutaan di negara berkembang. Patogenesis perkembangan katarak diabetikum masih belum sepenuhnya diketahui. Beberapa penelitian dasar yang ada telah menegaskan peran jalur poliol dalam mencetuskan proses terjadinya penyakit. Penelitian berdasarkan populasi sangat meningkatkan pengetahuan kita mengenai hubungan antara diabetes dan pembentukan katarak dan memiliki faktor resiko yang telah jelas terhadap berkembangnya katarak. Pasien diabetes juga memiliki resiko yang lebih besar terhadap komplikasi setelah pembedahan katarak phacoemulsifikasi bila dibandingkan pasien non diabetik. Inhibitor aldosa-reduktase dan anti-oksidan telah terbukti menguntungkan untuk mencegah kondisi penurunan penglihatan ini secara penelitian eksperimental in vitro dan in vivo. Penelitian ini memberikan sebuah pandangan dari patogenesis katarak diabetikum, penelitian kilinis yang meneliti hubungan antara perkembangan diabates dan katarak, dan terapi katarak dibetikum terkini. 1. Pendahuluan Di seluruh dunia terdapat lebih dari 285 juta orang yang menderita diabetes melitus. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 430 juta pada tahun 2030 berdasarkan International Diabetes Federation. 1

description

ktarak

Transcript of KATARAK DIABETIKUMedit

Page 1: KATARAK DIABETIKUMedit

KATARAK DIABETIKUM : PATOGENESIS, EPIDEMIOLOGI, DAN TERAPI

Katarak pada pasien diabetes merupakan penyebab utama kebutaan di negara berkembang.

Patogenesis perkembangan katarak diabetikum masih belum sepenuhnya diketahui. Beberapa

penelitian dasar yang ada telah menegaskan peran jalur poliol dalam mencetuskan proses

terjadinya penyakit. Penelitian berdasarkan populasi sangat meningkatkan pengetahuan kita

mengenai hubungan antara diabetes dan pembentukan katarak dan memiliki faktor resiko yang

telah jelas terhadap berkembangnya katarak. Pasien diabetes juga memiliki resiko yang lebih

besar terhadap komplikasi setelah pembedahan katarak phacoemulsifikasi bila dibandingkan

pasien non diabetik. Inhibitor aldosa-reduktase dan anti-oksidan telah terbukti menguntungkan

untuk mencegah kondisi penurunan penglihatan ini secara penelitian eksperimental in vitro dan

in vivo. Penelitian ini memberikan sebuah pandangan dari patogenesis katarak diabetikum,

penelitian kilinis yang meneliti hubungan antara perkembangan diabates dan katarak, dan terapi

katarak dibetikum terkini.

1. Pendahuluan

Di seluruh dunia terdapat lebih dari 285 juta orang yang menderita diabetes

melitus. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 430 juta pada tahun 2030

berdasarkan International Diabetes Federation.

Komplikasi yang sering dari DM tipe 1 dan 2 adalah retinopati diabetes, di mana

dianggap sebagai penyebab ke 5 yang paling sering mengakibatkan kebutaan di US. Pada

95% DM tipe 1 dan 60% DM tipe 2 dimana dengan durasi penyakit lebih dari 20 tahun,

tanda-tanda retinopati diabetik terjadi. Beberapa kasus berat dari retinopati diabetik

proliferatif terlihat pada pasien yang menderita DM tipe 1. Kontrol ketat dari

hiperglikemia, kadar lemak dalam darah, dan tekanan darah tampak menguntungkan

untuk mencegah perkembangan atau progresinya.

Katarak dianggap sebagai penyebab utama dari kerusakan penglihatan pada

pasien diabetes seiring dengan meningkatnya insidensi dan progresi katarak pada pasien

diabetes melitus. Hubungan antara diabetes dan pembentukan katarak telah digambarkan

pada penelitian klinis epidemiologis dan penelitian dasar. Mengacu pada meningkatnya

1

Page 2: KATARAK DIABETIKUMedit

angka penderita DM tipe 1 dan 2 di seluruh dunia, insidensi katarak diabetik jelas

meningkat. Meskipun terdapat pembedahan katarak, yang merupakan prosedur

pembedahan mata yang paling sering dilakukan di dunia, merupakan terapi yang efektif,

penjelasan patomekanisme untuk memperlambat atau mencegah perkembangan katarak

pada pasien diabetes tetap merupakan tantangan. Selain itu, pasien DM memiliki angka

komplikasi pembedahan katarak yang lebih tinggi. Baik diabetes dan katarak

mengakibatkan kerugian yang sangat besar secara kesehatan maupun ekonomi,

khususnya pada negara berkembang, di mana terapi diabetes tidak adekuat dan

pembedahan katarak seringkali tidak dapat dilaksanakan.

2. Patogenesis Katarak Diabetikum

Enzim aldosa reduktase (AR) mengakatalisis reduksi glukosa menjadi sorbitol

melalui jalur poliol, sebuah proses yang berhubungan dengan perkembangan katarak

diabetikum. Penelitian ekstensif difokuskan pada peran utama jalur AR sebagai faktor

pencetus pada pembentukan katarak diabetikum.

Telah menunjukkan bahwa akumulasi intraselular dari sorbitol memicu perubahan

osmotik yang menghasilkan fiber lensa hidropik yang memburuk dan membentuk katarak

diabetik. Pada lensa, sorbitol diproduksi lebih cepat dari konversinya menjadi fruktosa

oleh enzim sorbitol dehidrogenase. Sebagai tambahan, karakter polar dari sorbitol

mencegah perpindahan intraseluler melalui difusi. Akumulasi peningkatan sorbitol

memberi efek hiperosmotik yang menghasilkan suatu infus cairan untuk

menyeimbangkan gradien osmotik. Penelitian terhadap binatang menunjukkan bahwa

akumulasi poliol intraseluler menyebabkan kolaps dan liquefaksi serat lensa, yang

akhirnya menghasilkan pembentukan kekeruhan lensa. Penemuan ini telah menyebabkan

“hipotesis osmotik” dari pembentukan glukosa pada katarak, menegaskan bahwa terdapat

peningkatan cairan intraseluler sebagai respon terhadap akumulasi poliol yang dimediasi

oleh AR, menyebabkan pembengkakan lensa yang berhubungan dengan perubahan

kompleks biokimiawi yang secara pasti memicu pembentukan katarak.

Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa stres osmotik pada lensa

disebabkan oleh akumulasi sorbitol yang memicu perkembangan katarak. Tikus yang

2

Page 3: KATARAK DIABETIKUMedit

mengekspresikan hiperglikemik transgenik yang berlebihan dalam mengekspresikan AR

dan gen fosfolipase D (PLD) lebih berpeluang untuk terjadinya katarak diabetikum,

kontras dengan tikus diabetes yang hanya mengekspresikan PLD, sebuah enzim dengan

fungsi utama dalam osmoregulasi lensa. Penemuan ini menunjukkan bahwa kerusakan

osmoregulasi tersebut mungkin membuat lensa rentan, bahkan terjadinya peningkatan

kecil terhadap stres osmotik yang dimediasi AR, yang secara potensial memicu

pembentukan katarak progresif.

Peran stres osmotik sangat penting untuk pembentukan katarak yang cepat pada

pasien muda dengan DM tipe 1 mengacu pada pembengkakan yang berat di serat lensa

kortikal. Sebuah penelitian oleh Oishi dkk, telah meneliti AR yang dihubungkan terhadap

perkembangan katarak diabetikum dewasa. Tingkat AR dalam sel darah merah pada

pasien berusia <60 tahun dengan durasi singkat diabetes secara positif berkorelasi dengan

angka kejadian katarak subkapsular posterior. Sebuah korelasi negatif telah ditunjukkan

pada pasien diabetes antara sejumlah AR pada eritrosit dan densitas sel epitel lensa, di

mana diketahui menurun pada pasien diabetes dibandingkan dengan pasien non diabetes,

menunjukkan peran AR yang potensial pada patomekanisme ini.

Jalur poliol telah di gambarkan sebagai mediator primer diabetes dari stres

oksidatif yang diinduksi pada lensa. Stres osmotik disebabkan oleh akumulasi sorbitol

yang menginduksi stres di retikum endoplasma (ER), tempat utama untuk sintesis

protein, secara pasti memicu pembentukan radikal bebas. Stres ER mungkin juga terjadi

dari fluktuasi level glukosa yang mengawali sebuah respon protein ulfold (UPR) yang

membentuk Spesies Oksigen Reaktif (ROS) dan menyebabkan stres oksidatif yang

merusak serat lensa. Terdapat beberapa publikasi yang ada yang mendeskripsikan stres

oksidatif yang merusak serat lensa oleh radikal bebas pada pasien diabetes,

bagaimanapun, tidak terdapat bukti bahwa radikal bebas ini mencetuskan proses

pembentukan katarak akan tetapi lebih pada mempercepat dan memperburuk

perkembangannya. Hidrogen peroksida (H2O2) meningkatkan humor akuos pada pasien

diabetes dan menginduksi pembentukan radikal hidroksil (OH-) setelah memasuki lensa

melalui proses yang dideskripsikan sebagai reaksi fenton. Radikal bebas nitrit okside

(NO), faktor lain yang meningkat pada lensa pasien diabetes dan pada humor akuos,

3

Page 4: KATARAK DIABETIKUMedit

mungkin memicu peningkatan pembentukan peroxynitrat, di mana kemudian

menginduksi kerusakan sel mengacu pada benda-benda teroksidasinya.

Selain itu peningkatan level glukosa pada humor akuos mungkin menginduksi

glikasi protein lensa, sebuah proses yang menghasilkan pembentukan radikal superoksida

(O2-) dan pada pembentukan hasil akhir glikasi tingkat tinggi. Melalui interaksi antara

AGE dengan reseptor permukaan sel seperti reseptor untuk hasil akhir glikasi tingkat

tinggi pada epitel lensa, O2- dan H2O2 dibentuk.

Sebagai tambahan untuk meningkatkan level radikal bebas, lensa pada pasien

diabetes menunjukkan kerusakan kapasitas antioksidan, meningkatkan kerentanan

terhadap stres oksidatif. Kehilangan antioksidan dieksaserbasi oleh glikasi dan inaktifasi

enzim antioksidan pada lensa seperti superoksida dismutase. Copper-zink superoksida

dismutase 1 (SOD1) merupakan isoenzim dismutase superoksida dominan pada lensa, di

mana penting untuk degradasi radikal superoksida (O2-) menjadi hidrogen peroksida

(H2O2) dan oksigen. Pentingnya SOD1 pada perlindungan melawan perkembangan

katarak pada pasien dengan DM telah ditunjukkan pada variasi penelitian binatang in

vitro dan in vivo.

Kesimpulannya, terdapat publikasi hipotesis pendukung yang bervariasi bahwa

mekanisme yang mengawali pembentukan katarak diabeteik adalah pembentukan poliol

dari glukosa oleh AR, dimana menghasilkan stres osmotik pada serat lensa yang memicu

pembengkakan dan ruptur.

3. Penelitian Klinis Mengenai Insidensi Katarak Diabetik

Beberapa penelitian klinis telah menunjukkan perkembangan katarak terjadi lebih

sering dan pada usia yang lebih muda pada usia pasien dengan diabetes dibandingkan

pasien tanpa diabetes.

Data dari Framingham dan penelitian mata lain mengindikasi terdapat tiga-empat

kali lipar peningkatan prevalensi pada pasien di atas 65 tahun. Resiko ini meningkat pada

pasien dengan durasi diabetes yang lebih lama dan pada mereka dengan kontrol

metabolik yang buruk. Katarak khusus yang dikenal sebagai katarak snowflake (butiran

salju) terlihat banyak diderita oleh pasien diabetes tipe 1 dan berkembang dengan cepat.

4

Page 5: KATARAK DIABETIKUMedit

Katarak dapat reversible pada pasien muda dengan kontrol metabolik yang baik. Jenis

katarak yang paling sering terlihat pada pasien diabetes adalah katarak yang berhubungan

dengan usia atau variasi katarak senilis, dimana cenderung terjadi lebih awal dan

progresif lebih cepat dari pada pasien non diabetes.

The Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy meneliti insidensi

ekstraksi katarak pada pasien dengan diabetes. Selain itu, faktor tambahan yang

berhubungan dengan resiko tinggi pembedahan katarak telah ditentukan. Insidensi

kumulatif selama 10 tahun dari pembedahan katarak sebesar 8,3% pada pasien dengan

diabetes tipe 1 dan 24,9% pada mereka yang menderita diabetes tipe 2. Kriteria dari

pembedahan katarak termasuk usia, berat-ringannya retinopati diabetik dan proteinuria

pada diabetes tipe 1 sementara usia dan penggunaan insulin berhubungan dengan

peningkatan resiko pada pasien diabetes tipe 2.

Sebuah pemeriksaan kohort follow-up oleh Beaver Dam Eye Study, yang diikuti

oleh 3684 peserta berusia 43 tahun dan lebih tua, dilakukan 5 tahun setelah evaluasi dasar

menunjukkan hubungan antara diabetes melitus dan pembentukan katarak. Pada

penelitian ini, insidensi dan progresi katarak subkapsular posterior dan kortikal

dihubungkan dengan diabetes. Selain itu, peningkatan kadar terglikasi hemoglobin

terbukti berhubungan dengan peningkatan risiko katarak nuklear dan kortikal.

Analisis lebih jauh dari penelitian Beaver Dam Eye mengenai prevalensi

perkembangan katarak telah diteliti pada sebuah populasi sebesar 4926 pada dewasa.

Pasien diabetes lebih mudah terjadi opasitas lensa kortikal dan menunjukkan angka yang

lebih tinggi terhadap pembedahan katarak dibandingkan pasien non diabetes. Analisis

data membuktikan bahwa durasi diabetes yang lebih lama berhubungan dengan

peningkatan frekuensi katarak kortikal serta peningkatan frekuensi pembedahan katarak.

Tujuan penelitian Blue Mountains Eye yang berdasar metode populasi secara

cross-sectional adalah untuk meneliti hubungan antara katarak nuklear, kortikal dan

subkapsular posterior pada 3654 peserta anatara tahun 1992 sampai 1994. Penelitian

didukung oleh penemuan sebelumnya terhadap efek bahaya dari diabetes pada lensa.

Katarak subkapsular posterior tampak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik

dengan diabetes. Namun, berbeda dengan penelitian Beaver Dam Eye, katarak nuklear

5

Page 6: KATARAK DIABETIKUMedit

tampak lemah, tidak signifikan secara statistik, berhubungan setelah menyelaraskan

dengan faktor resiko katarak lain yang tidak diketahui.

Penelitian kohort berbasis populasi dari 2335 peserta >49 tahun dilaksanakan

pada daerah Blue Mountains Australia telah meneliti hubungan antara diabetes dan

insidensi katarak selama 5 tahun. Hasil dari penelitan ini dilakukan oleh kelompok

peneliti yang sama sebagaimana Blue Mountains Eye Study menunjukkan insidensi yang

dua kali lipat lebih tinggi terhadap katarak kortikal pada sampel dengan gangguan

glukosa puasa. Hubungan yang signifikan secara statistik ditunjukkan antara insidensi

katarak subkapsular posterior dan angka pasien diabetes yang baru di diagnosis.

The Visual Impairment Project mengevaluasi faktor resiko terhadap

perkembangan katarak di Australia. Penelitian menujukkan bahwa diabetes melitus

merupakan faktor resiko independen untuk katarak subkapsular posterior ketika terjadi

lebih dari 5 tahun.

Tujuan dari Barbados Eye Study adalah untuk mengevaluasi hubungan antara

diabetes dan opasitas lensa diantara 4314 peserta kulit hitam. Penulis menemukan bahwa

riwayat diabetes (angka kejadian sebesar 18%) berhubungan dengan perubahan lensa,

khususnya pada usia yang lebih muda.

4. Pembedahan Katarak pada Pasien Diabetes

Phacoemulsifikasi saat ini merupakan teknik yang dianjurkan pada banyak jenis

katarak. Teknik ini dikembangkan oleh Kelman pada tahun 1967 dan tidak diterima

secara luas sampai 1996. Hasil teknik tersebut dapat terjadi inflamasi paska operatif dan

astigmatisme, lebih cepat terjadi rehabilitasi visual dan, dengan lensa lapis modern,

insidensi yang lebih rendah dari kapsulotomi dibandingkan dengan pembedahan

ekstrakapsular. Terdapat pergeseran penekanan terhadap ekstraksi katarak yang lebih

awal pada pasien diabetes. Pembedahan katarak merupakan hal yang dianjurkan sebelum

opasitas lensa menghalangi pemeriksaan fundus dengan jelas.

Sementara hasil akhir keseluruhan dari pembedahan katarak sangat baik, pasien

dengan diabetes mungkin memiliki penglihatan yang lebih buruk daripada mereka tanpa

diabetes. Pembedahan mungkin menyebabkan akselerasi cepat terhadap retinopati,

6

Page 7: KATARAK DIABETIKUMedit

menginduksi rubeosis atau memicu perubahan makular, seperti edema makular atau

edema makular sistoid. Hasil yang paling buruk mungkin dapat terjadi pada mata yang

telah dioperasi dengan retinopathy proliferatif aktif dan/atau edema makular.

Pada pasien diabetes dengan atau tanpa kejadian retinopati diabetik, sawar cairan-

darah mengalami gangguan yang memicu peningkatan resiko inflamasi paska operasi dan

perkembangan edema makular, sebuah proses yang dieksaserbasi oleh pembedahan

katarak. Faktor yang mempengaruhi jumlah inflamasi paska operatif dan insidensi edema

makular sistoid angiografi dan klinis adalah durasi pembedahan, ukuran luka dan ruptur

kapsular posterior atau kehilangan vitreus. Liu dkk, menunjukkan bahwa pembedahan

phacoemulsifikasi mempengaruhi sawar air-darah lebih berat pada pasien diabetes

dengan retinopati diabteik proliferatif daripada pada pasien dengan retinopati diabetik

non proliferatif atau pasien non DM. sebuah analisis dari Medicare (n=139759) dari

tahun 1997 sampai 2001 membuktikan bahwa angka diagnosis edema makular sistoid

setelah pembeahan katarak secara statistik lebih tinggi pada pasien diabetes daripada

pasien non diabetes.

Beberapa penelitian klinis menelitii peran pembedahan katarak phacoemulsifikasi

terhadap progresi retinopati diabetik. Satu tahun setelah pembedahan katarak, progresi

angka retinopati diabetik berjarak antara 21% dan 32%. Borrilio dkk melaporkan angka

progresi sebesar 25% setelah follow-up 6 bulan. Sebuah review retrospektif dari 150 mata

dari 119 pasien diabetes yang dilakukan pembedahan phacoemulsifikasi menunjukkan

progresi yang mirip dari retinopati diabetik pda 255 kasus dalam periode 6-10 bulan

follow-up.

Sebuah penelitian prospektif yang mengevaluasi onset atau perburukan edema

makula pada 6 bulan diikuti dari pembedahan katarak pada pasien dengan diabetik non

proliferatif ringan atau sedang dilaporkan terjadi insidensi sebesar 29% (30 dari 104

mata) dengan edema makula berdasarkan data angiografi. Krepler dkk meneliti 42 pasien

yang dilakukan pembedahan katarak dan melaporkan progresi retinopati diabetik sebesar

12% pada operasi dengan 10,8% non operasi selama 12 bulan follow up. Selama 12 bulan

waktu follow up, bersamaan dengan itu Squirrell dkk menunjukkan bahwa lebih dari 50

pasien dengan diabetes tipe 2 dilakukan pembedahan phacoemulsifikasi unilateral sebesar

7

Page 8: KATARAK DIABETIKUMedit

20% dari mata yang telah dioperasi dan 16% dari mata yang nonoperasi memiliki

progresi retinopati diabetik. Liao dan Ku menemukan pada penelitian retrospektif bahwa

lebih dari 19 mata dengan retinopati diabetik preoperatif ringan hingga sedang, 11 mata

(57,9%) menunjukkan progresi retinopati diabetik 1 tahun setelah pembedahan,

sementara 12 mata (63,2%) progresif setelah 3 tahun postoperatif. Angka progresifitas

secara statitistik signifikan ketika dibandingkan dengan mata tanpa retinopati preoperatif.

Sebuah penelitian prospektif yang telah dipublikasi sebelumnya mengevaluasi mata dari

50 pasien diabetes dan tanpa retinopati setelah pembedahan katarak oleh tomografi

optikal koheren. Penulis melaporkan sebuah insidensi sebesar 22% untuk edema makuli

mengikuti pembedaha katarak (11 dari 50 mata) sementara makula edema tidak terjadi

pada mata tanpa retinopati. Ketika hanya mata dengan retinopati diabetik yang

dikonfimasi telah dievaluasi (n=26), insidensi terhadap edema makula postoperatif dan

abnormalitas sistoid meningkat sebesar 42% 911 dari 26 mata). Perubahan minimal dari

nilai dasar pada ketebalan titik tengah telah diobservasi pada mata dengan tidak ada

retinopati. Mata dengan retinopati diabetik nonproliferatif sedang atau retinopati diabetik

proliferatif berkembang mengingkat dari 145 цm dan 131 цm pada 1 bulan dan 3 bulan,

berturut-turut. Perbedaan pada ketebalan retina antara 2 kelompok pada 1 dan 3 bulan

signifikan secara statistik dan di antara pasien dengan retinopati kebalikan berkolerasi

dengan perbaikan ketajaman penglihatan.

5. Terapi Anti-katarak

5.1. Inhibitor Aldose-Reductase. Inhibitor Aldose Reductase (ARI) terdiri dari

variasi komponen yang berbeda secara struktural seperti ekstrak tumbuhan, jaringan

binatang atau molekul spesifik yang kecil. Pada tikus dengan diabetes, flavonid

tumbuhan, seperti quercitrin atau isoflavon genistein, telah menunda pembentukan

katarak diabetik. Contoh dari produk alami dengan aktifitas inhibitor AR yang telah

diketahui adalah ekstrak dari tumbuhan asli pribumi seperti Ocimum sanctum, Withania

somnifera, Curcuma longa, dan Azadirachta indica atau Indian herbal Diabecon. Level

dari poliol pada lensa tikus telah berkurang dengan injeksi ARI intrinsik yang berisi

ekstrak ginjal manusia dan lensa sapi. Obat anti-inflamasi non steroid, seperti sulindax,

8

Page 9: KATARAK DIABETIKUMedit

aspirin, atau naproxen telah dilaporkan dapat menunda katarak pada tikus diabetik

melalui aktifits inhibitor AR.

Beberapa penelitian eksperimental mendukung peran AR dalam pencegahan dan

tidak hanya menunda pembentukan katarak diabetikum. Pada model tikus diabetik,

hewan diterapi dengan inhibitor AR renirestat. Penelitian melaporkan reduksi akumulasi

sorbitol pada lensa bila dibandingkan pada tikus diabetik yang tidak diterapi. Selain itu,

pada tikus diabetes yang diterapi Ranirestat tidak terdapat tanda kerusakan lensa seperti

degeneratif, pembengkakan, atau disrupsi serat lensa setelah periode terapi, berbeda

dengan kelompok yang tidak diterapi.

Pada penelitian yang mirip, tikus diabetes telah diterapi dengan ARI yang

berbeda, Fidarestat. Terapi Fidarestat secara lengkap mencegah perubahan katarak pada

hewan diabetes. Pada anjing yang diaplikasikan ARI Kinostat telah menunjukkan

perkembangan berkebalikan dari katarak diabetes.

ARI yang lain dengan efek menguntungkan pada pencegahan katarak diabetik

meliputi Alrestatin, Imrestat, Ponalrestat, Epalrestatm Zenarestat, Minalrestat, atau

Lidorestat. Penelitian ini menyediakan sebuah potensi rasional terhadap penggunaan ARI

di masa depan pada pencegahan atau terapi katarak diabetikum.

5.2. Terapi Anti-oksidan Katarak Diabetikum. Kerusakan oksidatif terjadi

secara tidak langsung sebagai hasil dari akumulasi poliol selama pembentukan katarak

diabetikum, penggunaan agen antioksidan mungkin bermanfaat. Beberapa antioksidan

yang berbeda telah dilaporkan dapat menunda pembentukan katarak pada hewan dengan

diabetes. Ini termasuk antioksidan asam lipoic alfa, dimana telah menunjukkan

keefektifannya dalam baik menunda dan mencegah progresifitas katarak pada tikus

diabetes.Yoshida dkk, menunjukkan bahwa terapi kombinasi pada tikus diabetes dengan

vitamin E, lipid yang larut, vitamin antioksidan dan insulin secara sinergis mencegah

perkembanan dan progresi katarak pada hewan.

Piruvat, antioksidan endogen, telah memperoleh perhatian terhadap efek

inhibisinya pada pembentukan katarak diabetikum dengan menurunkan pembentukan

sorbitol dan peroksidase lipid pada lensa. Sebuah penelitan yang dilakukan oleh Varma

dkk, menunjukkan bahwa insidensi katarak pada tikus diabetes lebih rendah pada

9

Page 10: KATARAK DIABETIKUMedit

kelompok yang diterapi dengan piruvat daripada pada kelompok kontrol yang tidak

diterapi. Selain itu, derajat beratnya dari opasitas pada tikus yang diterapi dengan piruvat

lebih sedikit dari hewan kontrol. Efek menguntungkan dari piruvat pada pencegahan

katarak terutama dikarakteristikan terhadap kemampuan efektidnya terhadap spesies

oksigen reaktif yang diproduksi oleh peningkatan level gula pada hewan diabetes.

Namun, observasi klinis pada manusia memperkirakan bahwa efek vitamin

antioksidan pada perkembangan katarak adalah kecil dan mungkin tidak terbukti relevan

secara klinis.

5.3. Agen Farmakologis untuk Terapi Edema Makular yang Mengikuti

Pembedahan Katarak. Prostaglandin proinflamasi telah menunjukkan berperan pada

mekanisme yang memicu kebocoran cairan dari kapiler perifoveal ke dalam ruangan

ekstraselular dari regio makular. Mengacu pada kemampuan obat anti-inflamasi

nonsteroid (NSAIDs) untuk memblok enzim siklooksigenase bertanggungjawab untuk

produksi prostaglandin, penelitian memperkirakan bahwa NSAIDs mungkin juga

menurunkan insidensi, durasi dan keberatan edema makular sistoid oleh inhibisi

pelepasan dan perusakan sawar darah-retina.

Nepafenac, NSAID topikal diindikasikan untuk mencegah dan terapi nyeri

segmen anterior dan inflamasi setelah pembedahan katarak, telah digunakan sebelunya

pada percobaan klinis untuk menguji manfaatnya dalam menurunkan insidensi edema

makular setelah pembedahan katarak. Bahan aktif nya merupakan obat yang secara cepat

berpenetrasi ke kornea untuk membentuk metabolit aktif, amfenac, oleh hidrolisis

intraokular secara khususnya di retina, epitel badan siliar dan koroid.

Penelitian retrospektif membandingkan insidensi edema makular setelah banyak

peristiwa fakoemulsi antara 240 pasien diterapi selama 4 minggu dengan prednisolon

topikal dan 210 pasien diterapi dengan kombinasi prednisolon dan nepafenac dalam

waktu yang bersamaan. Penulis menyimpulkan bahwa paien diterapi dengan prednisolon

topikal saja memiliki insidensi edema makular yang signifikan lebih tinggi secara

statistik daripada mereka yang diterapi dengan tambahan nepafenac.

10