KATARAK DIABETIKUMedit
-
Upload
aiyasoraya -
Category
Documents
-
view
154 -
download
1
description
Transcript of KATARAK DIABETIKUMedit
KATARAK DIABETIKUM : PATOGENESIS, EPIDEMIOLOGI, DAN TERAPI
Katarak pada pasien diabetes merupakan penyebab utama kebutaan di negara berkembang.
Patogenesis perkembangan katarak diabetikum masih belum sepenuhnya diketahui. Beberapa
penelitian dasar yang ada telah menegaskan peran jalur poliol dalam mencetuskan proses
terjadinya penyakit. Penelitian berdasarkan populasi sangat meningkatkan pengetahuan kita
mengenai hubungan antara diabetes dan pembentukan katarak dan memiliki faktor resiko yang
telah jelas terhadap berkembangnya katarak. Pasien diabetes juga memiliki resiko yang lebih
besar terhadap komplikasi setelah pembedahan katarak phacoemulsifikasi bila dibandingkan
pasien non diabetik. Inhibitor aldosa-reduktase dan anti-oksidan telah terbukti menguntungkan
untuk mencegah kondisi penurunan penglihatan ini secara penelitian eksperimental in vitro dan
in vivo. Penelitian ini memberikan sebuah pandangan dari patogenesis katarak diabetikum,
penelitian kilinis yang meneliti hubungan antara perkembangan diabates dan katarak, dan terapi
katarak dibetikum terkini.
1. Pendahuluan
Di seluruh dunia terdapat lebih dari 285 juta orang yang menderita diabetes
melitus. Angka ini diperkirakan akan meningkat menjadi 430 juta pada tahun 2030
berdasarkan International Diabetes Federation.
Komplikasi yang sering dari DM tipe 1 dan 2 adalah retinopati diabetes, di mana
dianggap sebagai penyebab ke 5 yang paling sering mengakibatkan kebutaan di US. Pada
95% DM tipe 1 dan 60% DM tipe 2 dimana dengan durasi penyakit lebih dari 20 tahun,
tanda-tanda retinopati diabetik terjadi. Beberapa kasus berat dari retinopati diabetik
proliferatif terlihat pada pasien yang menderita DM tipe 1. Kontrol ketat dari
hiperglikemia, kadar lemak dalam darah, dan tekanan darah tampak menguntungkan
untuk mencegah perkembangan atau progresinya.
Katarak dianggap sebagai penyebab utama dari kerusakan penglihatan pada
pasien diabetes seiring dengan meningkatnya insidensi dan progresi katarak pada pasien
diabetes melitus. Hubungan antara diabetes dan pembentukan katarak telah digambarkan
pada penelitian klinis epidemiologis dan penelitian dasar. Mengacu pada meningkatnya
1
angka penderita DM tipe 1 dan 2 di seluruh dunia, insidensi katarak diabetik jelas
meningkat. Meskipun terdapat pembedahan katarak, yang merupakan prosedur
pembedahan mata yang paling sering dilakukan di dunia, merupakan terapi yang efektif,
penjelasan patomekanisme untuk memperlambat atau mencegah perkembangan katarak
pada pasien diabetes tetap merupakan tantangan. Selain itu, pasien DM memiliki angka
komplikasi pembedahan katarak yang lebih tinggi. Baik diabetes dan katarak
mengakibatkan kerugian yang sangat besar secara kesehatan maupun ekonomi,
khususnya pada negara berkembang, di mana terapi diabetes tidak adekuat dan
pembedahan katarak seringkali tidak dapat dilaksanakan.
2. Patogenesis Katarak Diabetikum
Enzim aldosa reduktase (AR) mengakatalisis reduksi glukosa menjadi sorbitol
melalui jalur poliol, sebuah proses yang berhubungan dengan perkembangan katarak
diabetikum. Penelitian ekstensif difokuskan pada peran utama jalur AR sebagai faktor
pencetus pada pembentukan katarak diabetikum.
Telah menunjukkan bahwa akumulasi intraselular dari sorbitol memicu perubahan
osmotik yang menghasilkan fiber lensa hidropik yang memburuk dan membentuk katarak
diabetik. Pada lensa, sorbitol diproduksi lebih cepat dari konversinya menjadi fruktosa
oleh enzim sorbitol dehidrogenase. Sebagai tambahan, karakter polar dari sorbitol
mencegah perpindahan intraseluler melalui difusi. Akumulasi peningkatan sorbitol
memberi efek hiperosmotik yang menghasilkan suatu infus cairan untuk
menyeimbangkan gradien osmotik. Penelitian terhadap binatang menunjukkan bahwa
akumulasi poliol intraseluler menyebabkan kolaps dan liquefaksi serat lensa, yang
akhirnya menghasilkan pembentukan kekeruhan lensa. Penemuan ini telah menyebabkan
“hipotesis osmotik” dari pembentukan glukosa pada katarak, menegaskan bahwa terdapat
peningkatan cairan intraseluler sebagai respon terhadap akumulasi poliol yang dimediasi
oleh AR, menyebabkan pembengkakan lensa yang berhubungan dengan perubahan
kompleks biokimiawi yang secara pasti memicu pembentukan katarak.
Selain itu, penelitian telah menunjukkan bahwa stres osmotik pada lensa
disebabkan oleh akumulasi sorbitol yang memicu perkembangan katarak. Tikus yang
2
mengekspresikan hiperglikemik transgenik yang berlebihan dalam mengekspresikan AR
dan gen fosfolipase D (PLD) lebih berpeluang untuk terjadinya katarak diabetikum,
kontras dengan tikus diabetes yang hanya mengekspresikan PLD, sebuah enzim dengan
fungsi utama dalam osmoregulasi lensa. Penemuan ini menunjukkan bahwa kerusakan
osmoregulasi tersebut mungkin membuat lensa rentan, bahkan terjadinya peningkatan
kecil terhadap stres osmotik yang dimediasi AR, yang secara potensial memicu
pembentukan katarak progresif.
Peran stres osmotik sangat penting untuk pembentukan katarak yang cepat pada
pasien muda dengan DM tipe 1 mengacu pada pembengkakan yang berat di serat lensa
kortikal. Sebuah penelitian oleh Oishi dkk, telah meneliti AR yang dihubungkan terhadap
perkembangan katarak diabetikum dewasa. Tingkat AR dalam sel darah merah pada
pasien berusia <60 tahun dengan durasi singkat diabetes secara positif berkorelasi dengan
angka kejadian katarak subkapsular posterior. Sebuah korelasi negatif telah ditunjukkan
pada pasien diabetes antara sejumlah AR pada eritrosit dan densitas sel epitel lensa, di
mana diketahui menurun pada pasien diabetes dibandingkan dengan pasien non diabetes,
menunjukkan peran AR yang potensial pada patomekanisme ini.
Jalur poliol telah di gambarkan sebagai mediator primer diabetes dari stres
oksidatif yang diinduksi pada lensa. Stres osmotik disebabkan oleh akumulasi sorbitol
yang menginduksi stres di retikum endoplasma (ER), tempat utama untuk sintesis
protein, secara pasti memicu pembentukan radikal bebas. Stres ER mungkin juga terjadi
dari fluktuasi level glukosa yang mengawali sebuah respon protein ulfold (UPR) yang
membentuk Spesies Oksigen Reaktif (ROS) dan menyebabkan stres oksidatif yang
merusak serat lensa. Terdapat beberapa publikasi yang ada yang mendeskripsikan stres
oksidatif yang merusak serat lensa oleh radikal bebas pada pasien diabetes,
bagaimanapun, tidak terdapat bukti bahwa radikal bebas ini mencetuskan proses
pembentukan katarak akan tetapi lebih pada mempercepat dan memperburuk
perkembangannya. Hidrogen peroksida (H2O2) meningkatkan humor akuos pada pasien
diabetes dan menginduksi pembentukan radikal hidroksil (OH-) setelah memasuki lensa
melalui proses yang dideskripsikan sebagai reaksi fenton. Radikal bebas nitrit okside
(NO), faktor lain yang meningkat pada lensa pasien diabetes dan pada humor akuos,
3
mungkin memicu peningkatan pembentukan peroxynitrat, di mana kemudian
menginduksi kerusakan sel mengacu pada benda-benda teroksidasinya.
Selain itu peningkatan level glukosa pada humor akuos mungkin menginduksi
glikasi protein lensa, sebuah proses yang menghasilkan pembentukan radikal superoksida
(O2-) dan pada pembentukan hasil akhir glikasi tingkat tinggi. Melalui interaksi antara
AGE dengan reseptor permukaan sel seperti reseptor untuk hasil akhir glikasi tingkat
tinggi pada epitel lensa, O2- dan H2O2 dibentuk.
Sebagai tambahan untuk meningkatkan level radikal bebas, lensa pada pasien
diabetes menunjukkan kerusakan kapasitas antioksidan, meningkatkan kerentanan
terhadap stres oksidatif. Kehilangan antioksidan dieksaserbasi oleh glikasi dan inaktifasi
enzim antioksidan pada lensa seperti superoksida dismutase. Copper-zink superoksida
dismutase 1 (SOD1) merupakan isoenzim dismutase superoksida dominan pada lensa, di
mana penting untuk degradasi radikal superoksida (O2-) menjadi hidrogen peroksida
(H2O2) dan oksigen. Pentingnya SOD1 pada perlindungan melawan perkembangan
katarak pada pasien dengan DM telah ditunjukkan pada variasi penelitian binatang in
vitro dan in vivo.
Kesimpulannya, terdapat publikasi hipotesis pendukung yang bervariasi bahwa
mekanisme yang mengawali pembentukan katarak diabeteik adalah pembentukan poliol
dari glukosa oleh AR, dimana menghasilkan stres osmotik pada serat lensa yang memicu
pembengkakan dan ruptur.
3. Penelitian Klinis Mengenai Insidensi Katarak Diabetik
Beberapa penelitian klinis telah menunjukkan perkembangan katarak terjadi lebih
sering dan pada usia yang lebih muda pada usia pasien dengan diabetes dibandingkan
pasien tanpa diabetes.
Data dari Framingham dan penelitian mata lain mengindikasi terdapat tiga-empat
kali lipar peningkatan prevalensi pada pasien di atas 65 tahun. Resiko ini meningkat pada
pasien dengan durasi diabetes yang lebih lama dan pada mereka dengan kontrol
metabolik yang buruk. Katarak khusus yang dikenal sebagai katarak snowflake (butiran
salju) terlihat banyak diderita oleh pasien diabetes tipe 1 dan berkembang dengan cepat.
4
Katarak dapat reversible pada pasien muda dengan kontrol metabolik yang baik. Jenis
katarak yang paling sering terlihat pada pasien diabetes adalah katarak yang berhubungan
dengan usia atau variasi katarak senilis, dimana cenderung terjadi lebih awal dan
progresif lebih cepat dari pada pasien non diabetes.
The Wisconsin Epidemiologic Study of Diabetic Retinopathy meneliti insidensi
ekstraksi katarak pada pasien dengan diabetes. Selain itu, faktor tambahan yang
berhubungan dengan resiko tinggi pembedahan katarak telah ditentukan. Insidensi
kumulatif selama 10 tahun dari pembedahan katarak sebesar 8,3% pada pasien dengan
diabetes tipe 1 dan 24,9% pada mereka yang menderita diabetes tipe 2. Kriteria dari
pembedahan katarak termasuk usia, berat-ringannya retinopati diabetik dan proteinuria
pada diabetes tipe 1 sementara usia dan penggunaan insulin berhubungan dengan
peningkatan resiko pada pasien diabetes tipe 2.
Sebuah pemeriksaan kohort follow-up oleh Beaver Dam Eye Study, yang diikuti
oleh 3684 peserta berusia 43 tahun dan lebih tua, dilakukan 5 tahun setelah evaluasi dasar
menunjukkan hubungan antara diabetes melitus dan pembentukan katarak. Pada
penelitian ini, insidensi dan progresi katarak subkapsular posterior dan kortikal
dihubungkan dengan diabetes. Selain itu, peningkatan kadar terglikasi hemoglobin
terbukti berhubungan dengan peningkatan risiko katarak nuklear dan kortikal.
Analisis lebih jauh dari penelitian Beaver Dam Eye mengenai prevalensi
perkembangan katarak telah diteliti pada sebuah populasi sebesar 4926 pada dewasa.
Pasien diabetes lebih mudah terjadi opasitas lensa kortikal dan menunjukkan angka yang
lebih tinggi terhadap pembedahan katarak dibandingkan pasien non diabetes. Analisis
data membuktikan bahwa durasi diabetes yang lebih lama berhubungan dengan
peningkatan frekuensi katarak kortikal serta peningkatan frekuensi pembedahan katarak.
Tujuan penelitian Blue Mountains Eye yang berdasar metode populasi secara
cross-sectional adalah untuk meneliti hubungan antara katarak nuklear, kortikal dan
subkapsular posterior pada 3654 peserta anatara tahun 1992 sampai 1994. Penelitian
didukung oleh penemuan sebelumnya terhadap efek bahaya dari diabetes pada lensa.
Katarak subkapsular posterior tampak memiliki hubungan yang signifikan secara statistik
dengan diabetes. Namun, berbeda dengan penelitian Beaver Dam Eye, katarak nuklear
5
tampak lemah, tidak signifikan secara statistik, berhubungan setelah menyelaraskan
dengan faktor resiko katarak lain yang tidak diketahui.
Penelitian kohort berbasis populasi dari 2335 peserta >49 tahun dilaksanakan
pada daerah Blue Mountains Australia telah meneliti hubungan antara diabetes dan
insidensi katarak selama 5 tahun. Hasil dari penelitan ini dilakukan oleh kelompok
peneliti yang sama sebagaimana Blue Mountains Eye Study menunjukkan insidensi yang
dua kali lipat lebih tinggi terhadap katarak kortikal pada sampel dengan gangguan
glukosa puasa. Hubungan yang signifikan secara statistik ditunjukkan antara insidensi
katarak subkapsular posterior dan angka pasien diabetes yang baru di diagnosis.
The Visual Impairment Project mengevaluasi faktor resiko terhadap
perkembangan katarak di Australia. Penelitian menujukkan bahwa diabetes melitus
merupakan faktor resiko independen untuk katarak subkapsular posterior ketika terjadi
lebih dari 5 tahun.
Tujuan dari Barbados Eye Study adalah untuk mengevaluasi hubungan antara
diabetes dan opasitas lensa diantara 4314 peserta kulit hitam. Penulis menemukan bahwa
riwayat diabetes (angka kejadian sebesar 18%) berhubungan dengan perubahan lensa,
khususnya pada usia yang lebih muda.
4. Pembedahan Katarak pada Pasien Diabetes
Phacoemulsifikasi saat ini merupakan teknik yang dianjurkan pada banyak jenis
katarak. Teknik ini dikembangkan oleh Kelman pada tahun 1967 dan tidak diterima
secara luas sampai 1996. Hasil teknik tersebut dapat terjadi inflamasi paska operatif dan
astigmatisme, lebih cepat terjadi rehabilitasi visual dan, dengan lensa lapis modern,
insidensi yang lebih rendah dari kapsulotomi dibandingkan dengan pembedahan
ekstrakapsular. Terdapat pergeseran penekanan terhadap ekstraksi katarak yang lebih
awal pada pasien diabetes. Pembedahan katarak merupakan hal yang dianjurkan sebelum
opasitas lensa menghalangi pemeriksaan fundus dengan jelas.
Sementara hasil akhir keseluruhan dari pembedahan katarak sangat baik, pasien
dengan diabetes mungkin memiliki penglihatan yang lebih buruk daripada mereka tanpa
diabetes. Pembedahan mungkin menyebabkan akselerasi cepat terhadap retinopati,
6
menginduksi rubeosis atau memicu perubahan makular, seperti edema makular atau
edema makular sistoid. Hasil yang paling buruk mungkin dapat terjadi pada mata yang
telah dioperasi dengan retinopathy proliferatif aktif dan/atau edema makular.
Pada pasien diabetes dengan atau tanpa kejadian retinopati diabetik, sawar cairan-
darah mengalami gangguan yang memicu peningkatan resiko inflamasi paska operasi dan
perkembangan edema makular, sebuah proses yang dieksaserbasi oleh pembedahan
katarak. Faktor yang mempengaruhi jumlah inflamasi paska operatif dan insidensi edema
makular sistoid angiografi dan klinis adalah durasi pembedahan, ukuran luka dan ruptur
kapsular posterior atau kehilangan vitreus. Liu dkk, menunjukkan bahwa pembedahan
phacoemulsifikasi mempengaruhi sawar air-darah lebih berat pada pasien diabetes
dengan retinopati diabteik proliferatif daripada pada pasien dengan retinopati diabetik
non proliferatif atau pasien non DM. sebuah analisis dari Medicare (n=139759) dari
tahun 1997 sampai 2001 membuktikan bahwa angka diagnosis edema makular sistoid
setelah pembeahan katarak secara statistik lebih tinggi pada pasien diabetes daripada
pasien non diabetes.
Beberapa penelitian klinis menelitii peran pembedahan katarak phacoemulsifikasi
terhadap progresi retinopati diabetik. Satu tahun setelah pembedahan katarak, progresi
angka retinopati diabetik berjarak antara 21% dan 32%. Borrilio dkk melaporkan angka
progresi sebesar 25% setelah follow-up 6 bulan. Sebuah review retrospektif dari 150 mata
dari 119 pasien diabetes yang dilakukan pembedahan phacoemulsifikasi menunjukkan
progresi yang mirip dari retinopati diabetik pda 255 kasus dalam periode 6-10 bulan
follow-up.
Sebuah penelitian prospektif yang mengevaluasi onset atau perburukan edema
makula pada 6 bulan diikuti dari pembedahan katarak pada pasien dengan diabetik non
proliferatif ringan atau sedang dilaporkan terjadi insidensi sebesar 29% (30 dari 104
mata) dengan edema makula berdasarkan data angiografi. Krepler dkk meneliti 42 pasien
yang dilakukan pembedahan katarak dan melaporkan progresi retinopati diabetik sebesar
12% pada operasi dengan 10,8% non operasi selama 12 bulan follow up. Selama 12 bulan
waktu follow up, bersamaan dengan itu Squirrell dkk menunjukkan bahwa lebih dari 50
pasien dengan diabetes tipe 2 dilakukan pembedahan phacoemulsifikasi unilateral sebesar
7
20% dari mata yang telah dioperasi dan 16% dari mata yang nonoperasi memiliki
progresi retinopati diabetik. Liao dan Ku menemukan pada penelitian retrospektif bahwa
lebih dari 19 mata dengan retinopati diabetik preoperatif ringan hingga sedang, 11 mata
(57,9%) menunjukkan progresi retinopati diabetik 1 tahun setelah pembedahan,
sementara 12 mata (63,2%) progresif setelah 3 tahun postoperatif. Angka progresifitas
secara statitistik signifikan ketika dibandingkan dengan mata tanpa retinopati preoperatif.
Sebuah penelitian prospektif yang telah dipublikasi sebelumnya mengevaluasi mata dari
50 pasien diabetes dan tanpa retinopati setelah pembedahan katarak oleh tomografi
optikal koheren. Penulis melaporkan sebuah insidensi sebesar 22% untuk edema makuli
mengikuti pembedaha katarak (11 dari 50 mata) sementara makula edema tidak terjadi
pada mata tanpa retinopati. Ketika hanya mata dengan retinopati diabetik yang
dikonfimasi telah dievaluasi (n=26), insidensi terhadap edema makula postoperatif dan
abnormalitas sistoid meningkat sebesar 42% 911 dari 26 mata). Perubahan minimal dari
nilai dasar pada ketebalan titik tengah telah diobservasi pada mata dengan tidak ada
retinopati. Mata dengan retinopati diabetik nonproliferatif sedang atau retinopati diabetik
proliferatif berkembang mengingkat dari 145 цm dan 131 цm pada 1 bulan dan 3 bulan,
berturut-turut. Perbedaan pada ketebalan retina antara 2 kelompok pada 1 dan 3 bulan
signifikan secara statistik dan di antara pasien dengan retinopati kebalikan berkolerasi
dengan perbaikan ketajaman penglihatan.
5. Terapi Anti-katarak
5.1. Inhibitor Aldose-Reductase. Inhibitor Aldose Reductase (ARI) terdiri dari
variasi komponen yang berbeda secara struktural seperti ekstrak tumbuhan, jaringan
binatang atau molekul spesifik yang kecil. Pada tikus dengan diabetes, flavonid
tumbuhan, seperti quercitrin atau isoflavon genistein, telah menunda pembentukan
katarak diabetik. Contoh dari produk alami dengan aktifitas inhibitor AR yang telah
diketahui adalah ekstrak dari tumbuhan asli pribumi seperti Ocimum sanctum, Withania
somnifera, Curcuma longa, dan Azadirachta indica atau Indian herbal Diabecon. Level
dari poliol pada lensa tikus telah berkurang dengan injeksi ARI intrinsik yang berisi
ekstrak ginjal manusia dan lensa sapi. Obat anti-inflamasi non steroid, seperti sulindax,
8
aspirin, atau naproxen telah dilaporkan dapat menunda katarak pada tikus diabetik
melalui aktifits inhibitor AR.
Beberapa penelitian eksperimental mendukung peran AR dalam pencegahan dan
tidak hanya menunda pembentukan katarak diabetikum. Pada model tikus diabetik,
hewan diterapi dengan inhibitor AR renirestat. Penelitian melaporkan reduksi akumulasi
sorbitol pada lensa bila dibandingkan pada tikus diabetik yang tidak diterapi. Selain itu,
pada tikus diabetes yang diterapi Ranirestat tidak terdapat tanda kerusakan lensa seperti
degeneratif, pembengkakan, atau disrupsi serat lensa setelah periode terapi, berbeda
dengan kelompok yang tidak diterapi.
Pada penelitian yang mirip, tikus diabetes telah diterapi dengan ARI yang
berbeda, Fidarestat. Terapi Fidarestat secara lengkap mencegah perubahan katarak pada
hewan diabetes. Pada anjing yang diaplikasikan ARI Kinostat telah menunjukkan
perkembangan berkebalikan dari katarak diabetes.
ARI yang lain dengan efek menguntungkan pada pencegahan katarak diabetik
meliputi Alrestatin, Imrestat, Ponalrestat, Epalrestatm Zenarestat, Minalrestat, atau
Lidorestat. Penelitian ini menyediakan sebuah potensi rasional terhadap penggunaan ARI
di masa depan pada pencegahan atau terapi katarak diabetikum.
5.2. Terapi Anti-oksidan Katarak Diabetikum. Kerusakan oksidatif terjadi
secara tidak langsung sebagai hasil dari akumulasi poliol selama pembentukan katarak
diabetikum, penggunaan agen antioksidan mungkin bermanfaat. Beberapa antioksidan
yang berbeda telah dilaporkan dapat menunda pembentukan katarak pada hewan dengan
diabetes. Ini termasuk antioksidan asam lipoic alfa, dimana telah menunjukkan
keefektifannya dalam baik menunda dan mencegah progresifitas katarak pada tikus
diabetes.Yoshida dkk, menunjukkan bahwa terapi kombinasi pada tikus diabetes dengan
vitamin E, lipid yang larut, vitamin antioksidan dan insulin secara sinergis mencegah
perkembanan dan progresi katarak pada hewan.
Piruvat, antioksidan endogen, telah memperoleh perhatian terhadap efek
inhibisinya pada pembentukan katarak diabetikum dengan menurunkan pembentukan
sorbitol dan peroksidase lipid pada lensa. Sebuah penelitan yang dilakukan oleh Varma
dkk, menunjukkan bahwa insidensi katarak pada tikus diabetes lebih rendah pada
9
kelompok yang diterapi dengan piruvat daripada pada kelompok kontrol yang tidak
diterapi. Selain itu, derajat beratnya dari opasitas pada tikus yang diterapi dengan piruvat
lebih sedikit dari hewan kontrol. Efek menguntungkan dari piruvat pada pencegahan
katarak terutama dikarakteristikan terhadap kemampuan efektidnya terhadap spesies
oksigen reaktif yang diproduksi oleh peningkatan level gula pada hewan diabetes.
Namun, observasi klinis pada manusia memperkirakan bahwa efek vitamin
antioksidan pada perkembangan katarak adalah kecil dan mungkin tidak terbukti relevan
secara klinis.
5.3. Agen Farmakologis untuk Terapi Edema Makular yang Mengikuti
Pembedahan Katarak. Prostaglandin proinflamasi telah menunjukkan berperan pada
mekanisme yang memicu kebocoran cairan dari kapiler perifoveal ke dalam ruangan
ekstraselular dari regio makular. Mengacu pada kemampuan obat anti-inflamasi
nonsteroid (NSAIDs) untuk memblok enzim siklooksigenase bertanggungjawab untuk
produksi prostaglandin, penelitian memperkirakan bahwa NSAIDs mungkin juga
menurunkan insidensi, durasi dan keberatan edema makular sistoid oleh inhibisi
pelepasan dan perusakan sawar darah-retina.
Nepafenac, NSAID topikal diindikasikan untuk mencegah dan terapi nyeri
segmen anterior dan inflamasi setelah pembedahan katarak, telah digunakan sebelunya
pada percobaan klinis untuk menguji manfaatnya dalam menurunkan insidensi edema
makular setelah pembedahan katarak. Bahan aktif nya merupakan obat yang secara cepat
berpenetrasi ke kornea untuk membentuk metabolit aktif, amfenac, oleh hidrolisis
intraokular secara khususnya di retina, epitel badan siliar dan koroid.
Penelitian retrospektif membandingkan insidensi edema makular setelah banyak
peristiwa fakoemulsi antara 240 pasien diterapi selama 4 minggu dengan prednisolon
topikal dan 210 pasien diterapi dengan kombinasi prednisolon dan nepafenac dalam
waktu yang bersamaan. Penulis menyimpulkan bahwa paien diterapi dengan prednisolon
topikal saja memiliki insidensi edema makular yang signifikan lebih tinggi secara
statistik daripada mereka yang diterapi dengan tambahan nepafenac.
10